Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN METAKOGNITIF BERBASIS MASALAH TERBUKA BERPENGARUH TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V SD GUGUS 8 BLAHBATUH Ni Wayan Listiani1, I Wayan Wiarta2, I Wayan Darsana3 1,2,3
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan menggunakan rancangan “Nonequivalent Control Group Design”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling. Masing-masing kelompok eksperimen berjumlah 41 dan kelompok kontrol 35 orang siswa. Data hasil belajar matematika dikumpulkan dengan instrumen berupa tes essay. Kemudian data dianalisis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari hasil analisis uji-t diperoleh bahwa thit =5,20 > ttab ( =0,05, 74)= 2,00 dengan nilai rata-rata kelompok eksperimen 76,22 dan nilai rata-rata kelompok kontrol 66,36. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. Kata-kata kunci: metakognitif berbasis masalah terbuka, hasil belajar Abstract This study aims to determine significant differences in learning outcome between students that learned math using problem-based learning model Metacognitive open to students that learned using conventional teaching the fifth grade SD 8 Blahbatuh District school year 2013/2014. This research was a quasi-experimental design using "Nonequivalent Control Group Design". The population in this study were all students of class V SD 8 Blahbatuh District. Sampling using random sampling, experimental group numbered 41 and the control group of 35 students. Mathematics learning outcomes data collected by instruments such as essay tests. Then the data were analyzed by t-test. The results showed that there were significant differences between students that learned to use problem-based learning model Metacognitive open to students that learned using conventional learning. This is evident from the results of t-test analysis found that thit = 5.20> ttab ( = 0.05, 74) = 2.00 with an
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) average value acquisition experimental group 76.22 average value of the control group 66,36. Similarly. So, it can be concluded that the problem-based learning model Metacognitive open affects the outresult of the fifth grade students learn math SD 8 Blahbatuh district school year 2013/2014. Keywords: metacognitive problem-based open, learning outcome
PENDAHULUAN Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan merupakan salah satu cara pembentukan kemampuan manusia untuk menggunakan rasional seefektif dan seefisien mungkin sebagai jawaban dalam menghadapi masalah–masalah yang timbul dalam usaha menciptakan masa depan yang baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, antara lain dengan perbaikan mutu pembelajaran (Hasman, 2008). Pembelajaran di sekolah merupakan serangkaian kegiatan yang secara sadar telah terencana. Dengan adanya perencanaan yang baik, akan mendukung keberhasilan pengajaran. Usaha perencanaan pengajaran diupayakan agar siswa memiliki kemampuan maksimum dan meningkatkan motivasi, tantangan dan kepuasan sehingga mampu memenuhi harapan baik oleh guru sebagai pembawa materi maupun siswa sebagai penggarap ilmu pengetahuan. Salah satu upaya untulk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar (SD) dinilai sangat memegang peranan penting karena Matematika memiliki peranan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dapat berhitung, dapat menghitung isi dan berat, dapat mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menafsirkan data, dapat menggunakan kalkulator dan komputer. Selain itu agar siswa mampu mengikuti pelajaran Matematika lebih lanjut, dan agar para siswa dapat berpikir logis, kritis, dan praktis serta bersikap positif dan berjiwa kreatif (Suherman, 2003). Matematika juga
berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model Matematika, kalimat Matematika, diagram, grafik atau tabel (Mahendra, 2007). Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Menurut Muhsetyo (2009), sebagai pengetahuan Matematika memiliki ciri-ciri khusus antara lain abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Keabstrakan Matematika karena objek dasarnya abstrak yaitu, fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Fungsi pembelajaran Matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Ketiga fungsi Matematika tersebut hendaknya dijadikan acuan dalam pembelajaran Matematika sekolah. Pertama, Matematika sebagai alat yaitu untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya persamaanpersamaan atau tabel-tabel dalam modelmodel Matematika yang menyederhanakan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian Matematika lainnya. Bila seorang siswa dapat melakukan perhitungan, tetapi tidak tahu alasannya, maka tentu ada yang salah dalam pembelajaran atau ada sesuatu yang belum dipahaminya. Kedua, dengan belajar Matematika dapat membentuk pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan dalam pengertian-pengertian tersebut. Ketiga, Matematika sebagai ilmu pengetahuan. Guru harus menunjukkan betapa Matematika selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah (Suherman, 2003). Menurut Kurnia Septa (2011) belajar matematika merupakan tentang konsep-
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
konsep dan struktur abstrak yang terdapat dalam matematika serta mencari hubungan konsep-konsep dan struktur matematika. Belajar matemtika harus melalui proses yang bertahan dari konsep yang sederhana ke konsep lebih konpleks. Setiap konsep matematika dapat dipahami dengan baik jika pertama-tama disajikan dalam bentuk konkrit. Russeffendi dalam kunai septa (2011) mengungkapkan bahwa alat peraga adalah alat untuk menerangkan/ mewujudkan konsep matematika sehingga materi pelajaran yang disajikan mudah dipahami oleh siswa Tujuan pembelajaran Matematika di sekolah mengacu kepada fungsi Matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam GBHN. Tujuan umum pembelajaran Matematika di SD adalah sebagai berikut: a) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien. b) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Lebih lanjut menurut Karim (1996:10) tujuan khusus diberikan Matematika di SD adalah: a) Menumbuhkan dan mengembangkan ketrampilan berhitung sebagai latihan dalam kehidupan seharihari. b) Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika. c) Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. Sudjana (2010:22) menyatakan bahwa “hasil belajar adalah kemampuan– kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Kemampuan–kemampuan yang dimiliki sebagai hasil belajar dapat berupa: (1) knowledge atau pengetahuan, (2) attitudes atau sikap (kepribadian), (3) skills atau keterampilan – keterampilan, dan (4) experiential atau pengalaman. Menurut Iskandar (2011:128) “hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif
maupun kualitatif”. Lebih lanjut Nasution (dalam Iskandar, 2011:128), menyatakan “hasil belajar merupakan suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar”. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan keterampilan, (3) sikap dan cita-cita (Sudjana, 2010:22). Berdasarkan teori Taksonomi Bloom klasifikasi hasil belajar secara garis besar dibagi menjadi tiga katagori ranah antara lain (Hasan dan Asmawi, 1991): a) Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian. b) Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai, ranah afekif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi,dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai. c) Ranah psikomotor, meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Secara teoritis dari timbulnya permasalahan tersebut bukan disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor siswa, guru, sarana dan prasarana maupun proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti menarik untuk mengembangkan dan meneliti pembelajaran metakognitif. untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam mata pelajaran Matematika melalui model pembelajaran metakognitif berbasis masalah terbuka dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa yang dicapai dapat optimal, karena memiliki keunggulan. Model pembelajaran ini menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, dan mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya (Suzana: 2004).
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
Model pembelajaran metakognitif merupakan salah satu model pembelajaran yang membelajarkan peserta didik untuk mampu berpikir kreatif dalam memecahkan suatu permasalahan. Dalam hal ini peserta didik mampu merencanakan, mengatur, sampai mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya. Dalam hal ini pembelajaran berpusat pada siswa atau student centered. Model pembelajaran metakognitif diyakini membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna, pemahaman siswa menjadi lebih mendalam, dan lebih luas penerapannya. Setiap model pembelajaran akan memiliki suatu sintaks. Adapun sintaks dari model pembelajaran metakognitif adalah sebagai berikut. (1) Pembukaan, pada tahap ini siswa menggali pengetahuan awal yang terkait dengan materi yang akan didiskusikan. (2) Pengembangan kemampuan kognitif, pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah tipe kognitif. (3) Pengembangan kemampuan metakognitif, Sebelum dilaksanakan pengembangan kemampuan tipe metakognitif, terlebih dahulu siswa diberikan masalah matematika tipe metakognitif, kemudian dilanjutkan dengan fase berikut. (a) Perencanaan, guru membimbing siswa dalam merencanakan dan melaksanakan kembali prosedur penyelesaian, strategi kognitif yang digunakan, dan pengetahuan awal yang relevan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. (b) Pemantauan, guru membimbing siswa dalam memantau prosedur penyelesaian, pengetahuan awal yang relevan dan strategi kognitif yang digunakan. (c) Refleksi, Guru membimbing siswa merefleksi kembali proses pemahaman konsep yang telah dilakukan dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika tipe metakognitif. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang telah diperoleh siswa dengan pernyataan yang diberikan sehingga dalam hal ini akan terjadi proses kontrol dan refleksi terhadap kegiatan kognitif yang telah dilakukan. (4) Penutup, pada tahap ini siswa dibimbing dalam membuat simpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam hal ini siswa tidak hanya sekedar berpikir tetapi lebih dari itu. Siswa diajak untuk belajar berpikir mengenai bagaimana
menyelesaikan suatu permasalahan, mulai dari merencanakan, melaksanakan, hingga merefleksi kegiatan yang telah dilakukan. Dengan pengetahuan dan keterampilan metakognitif ini para peserta didik sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Jika siswa merasa dirinya salah, maka dia akan segera menyadarinya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Suzana (2004) mendefinisikan “pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya.” Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa (student centered). Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa jika mereka menemukan kesulitan dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka, artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan sebagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreatifitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban siswa yang beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian, model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterpaduan, keterbukaan, dan ragam berpikir (Suyatno, 2009). Model pembelajaran metakognitif berbasis masalah terbuka maksudnya proses pembelajaran yang lebih menekankan pada kemampuan proses refleksi, kontrol, dan regulasi diri terhadap semua aktivitas kognitif yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan berlandaskan masalah terbuka. Dengan demikian siswa akan dapat melatih
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
kemampuannya dalam memcahkan masalah Matematika dan mampu untuk berpikir kritis. Berdasarkan kelebihan tersebut, secara teoritis model pembelajaran metakognitif berbasis masalah terbuka membuat siswa untuk dapat berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika hasil belajar dapat optimal. Pembelajaran konvensional merupakan model yang masih banyak digunakan oleh guru. Model pembelajaran konvensional menekankan kepada guru sebagai pusat informasi (teacher centered) dan peserta didik sebagai penerima informasi. Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah digunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan peserta didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber“gaya bank” (banking concept of education). Penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh peserta didik, yang wajib diingat dan dihafal. Proses ini lebih jauh akan berimplikasi pada terjadinya hubungan yang bersifat antagonisme di antara guru dan peserta didik. Guru sebagai subjek yang aktif dan peserta didik sebagai objek yang pasif dan diperlakukan tidak menjadi bagian dari realita dunia yang diajarkan kepada mereka. Burrowes (2003) pembelajaran konvensional lebih menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada peserta didik untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Sementara O’Malley & Pierce (dalam Gunada, 2010:39) mendefinisikan pembelajaran konvensional merupakan aktivitas belajar yang bersifat linier dan deterministik. Pembelajaran yang
bersifat linier didesain dengan kerangka kerja berupa serangkaian aktivitas belajar dalam suatu tata urutan yang sistematis dan asil belajar (berupa perilaku) yang dapat menentukan secara pasti (deterministik) serta teramati. Pembelajaran konvensional memiliki kelemahan, antara lain: (1) Guru sulit mengetahui sampai dimana pemahaman peserta didik-peserta didiknya terhadap materi yang telah disampaikan. (2) Guru sering menganggap bahwa peserta didik yang duduk diam di kelas serta mendengarkan pembicaraan gurunya, mereka itu sedang belajar dan memperhatikan dengan baik. Tetapi sebetulnya, mungkin sebagian besar dari peserta didik yang duduk diam tersebut hanya menunjukkan sikap sopan kepada gurunya bukan memahami apa yang dijelaskan oleh gurunya. Oleh karena itu, para guru yang menggunakan pembelajaran konvensional perlu melaksanakan evaluasi di akhir pembelajaran untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang telah disampaikan. (3) Peserta didik sering kali memiliki pengertian yang berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh guru. Hal ini disebabkan karena ceramah berupa rangkaian kata-kata yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan salah pengertian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar Matematika antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas V SD Gugus VIII Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi eksperimental) dengan desain Nonequivalent Control Group Design. Pada rancangan penelitian ini, kedua kelompok subjek penelitian dipilih secara acak (random). Menurut Dantes (2012: 97) “pemberian pre test pada desain Nonequivalent Control Group Design biasanya digunakan untuk mengukur ekuivalensi/penyetaraan kelompok”. Dalam penelitian ini yang dibandingkan hanya skor
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
post test. Sedangkan pre test, tidak dilaksanakan, untuk menyetarakan kedua kelompok digunakan nilai sumatif semester 2 kelas IV. “Populasi adalah keseluruhan objek dalam suatu penelitian” (Agung (2012:47). Keseluruhan objek penelitian akan menjadi target kesimpulan dari hasil akhir. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD 1 Belega dari Gugus VIII Blahbatuh yang terdiri dari 6 Sekolah yaitu SD N 1 Belega, SD N 2 Belega, SD N 3 Belega, SD N 1 Bono, SD N 2 Bono, SD N 3 Bono. Berdasarkan informasi dari ketua UPT, populasi dalam penelitian ini memiliki kemampuan akademik yang setara. Agung (2011:45) menyatakan bahwa “sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil, yang dianggap mewakili seluruh populasi dan diambil dengan menggunakan teknik tertentu”. Pengambilan sampel dengan menggunakan random sampling dengan cara undian. Dari dua kelas tersebut diundi kembali untuk menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah diundi terpilih kelas V di SD N 1 Belega sebagai kelas eksperimen yang diberikan perlakuan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka sedangkan yang terpilih sebagai kelas kontrol yaitu kelas V SD N 3 Belega yang menggunakan pembelajaran konvensional. Untuk meyakinkan kedua kelas tersebut benar-benar setara, dilakukan uji empirik melalui uji-t dengan menggunakan nilai sumatif siswa kelas IV semester 2 tahun ajaran 2012/2013, untuk mengetahui kesetaraan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sebelum dilakukan uji kesetaraan dengan uji-t, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan homogenitas varians antar kelas. Berdasarkan hasil analisis thitung = -0,25 dan ttabel dengan taraf signifikan 5% dan dk (41 + 35) – 2 adalah 74 adalah 2,00. Sehingga thitung lebih kecil dari ttabel maka kedua kelompok penelitian ini setara dimana thitung < ttabel = (-0,25< 2.00). Sugiyono (2010: 38) menyatakan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat . Variabel bebas yang sering disebut sebagai variabel independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahanya atau timbulnya variabel dependen terikat (Sugiyono, 2010: 39). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran metakognitif berbasis pemecahan masalah terbuka yang dikenakan pada kelompok eksperimen sedangkan pembelajaran konvensional dikenakan pada kelompok kontrol. Variabel terikat yang sering disebut variabel dependen merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2010: 39). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah data tentang hasil belajar matematika siswa kelas V. Instrumen yang digunakan untuk mengukur data tersebut adalah tes hasil belajar matematika siswa. Berdasarkan jenis data tersebut maka instrumen yang digunakan untuk mengukur data tersebut adalah tes hasil belajar matematika siswa. “Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok” (Arikunto, 2002). Tes yang digunakan berupa tes esay. Dalam penelitian ini menggunakan ujit yang diawali dengan analisis prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Sebelum dilaksanakan pengujian untuk memperoleh simpulan, data yang diperoleh harus diuji normalitasnya. Untuk menguji normalitas digunakan uji ChiSquare (X 2) pada taraf signifikan 5% dan derajat kebebasan (dk) = ( k – 1 ). Uji homogenitas dilakukan untuk menunjukkan bahwa perbedaan yang
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
terjadi pada uji hipotesis benar-benar terjadi akibat adanya perbedaan antar kelornpok, bukan sebagai akibat perbedaan dalam kelompok. Homogenitas varians diuji dengan menggunakan uji F. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini, yaitu menggunakan analisis uji-t sampel berkorelasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data diperoleh skor ratarata hasil belajar Matematika untuk kelompok eksperimen Model Pembelajaran Metakognitif Berbasis Masalah Terbuka adalah Rerata ( ) = 76.22 dengan varian s2 = 60.98 dan Standar Deviasi (SD) = 7,81. Sedangkan skor rata-rata hasil belajar Bahasa Indonesia untuk kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional adalah Rerata ( ) = 66.36 dengan varian s2 = 63.73 dan Standar Deviasi (SD) = 7.98. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Chi Square, hasil belajar Matematika kelas Eksperimen ( Hit) adalah 8,647 dan pada taraf signifikan 5% dan dk = (k-1) diperoleh (X2Tabel) yaitu 11.07, ini berarti X2 hit < X2 tabel maka data hasil belajar Matematika di kelas Eksperimen berdistribusi normal. Sedangkan data hasil belajar Matematika di kelas Kontrol ( Hit) adalah 3,954 dan pada taraf signifikan 5% dan dk = (k-1) diperoleh (X2Tabel) yaitu 11.07, ini berarti X2 hit < X2
Tabel 1. Uji Hipotesis N dk thit
Kelas Kelas Eksperimen
ttab
Simpulan
2.00
Ha diterima
41 74
Kelas Kontrol
tabel maka data hasil belajar Matematika di kelas Kontrol juga berdistribusi normal. Dari tabel 4.3, dapat dilihat bahwa dengan db (40,34) dan taraf signifikan 5% diperoleh Ftabel sebesar 1.67 dan dari hasil perhitungan data hasil belajar Matematika kelas eksperimen dan kontrol diperoleh Fhit sebesar 1.180. ini berarti Fhit
5,2018
35
Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thitung = 5,2018 dan ttabel dengan dk = (41+35)-2 = 74 dan taraf signifikansi 5% adalah 2.00. ini berarti thitung lebih dari ttabel ( thitung > ttabel), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan antara siswa yang model pembelajaran masalah terbuka dibelajarkan dengan
dibelajarkan dengan metakognitif berbasis dan siswa yang model pembelajaran
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
konvensional di kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014.
dalam menjelaskan materi dikelas dengan ceramah dapat dikurangi, sehingga siswa
Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, uji-t yang dilakukan pada data post-test diperoleh thitung post-test diperoleh thitung = 5,2018 dan ttabel dengan dk = (41+35)-2 = 74 dan taraf signifikansi 5% adalah 2.00. thitung > ttabel berarti hipotesis yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar Matematika antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh pada taraf signifikan 0,05 diterima. Hal ini mengadung arti bahwa siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka hasil belajar pada ranah kognitifnya lebih baik dari pada siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Konvensional. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka merupakan model pembelajaran yang secara penuh melibatkan aktivitas seluruh siswa dalam proses pembelajaran. Model Pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka ini menepatkan siswa dalam kondisi pembelajran yang menarik dan mudah berinteraksi dengan sumber belajarnya dengan berbasis masalah terbuka dapat menghadirkan sumber belajar yang beragam yang secara langsung dengan permasalah yang terbuka membantu penerapan model pembelajaran ini. Aktivitas belajar dirancang Inovatif sehingga memungkinkan siswa dapat belajar lebih santai, disamping menumbuhkan tanggungjawab, kerjasama, dan rasa percaya diri pada siswa. Kenyataan ini didukung dari temuan dilapangan selama pembelajaran menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka, siswa terlihat lebih aktif. Siswa lebih cenderung siap dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dengan mempelajari terlebih dahulu materi yang akan dibahas di kelas. Model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka kecenderungan guru
lebih leluasa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri dan menjadi sumber belajar tambahan bagi siswa lain sedangkan guru lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator dari pada pengajar. Berbeda dengan pembelajaran Matematika yang menggunakan pembelajaran Konvensional, selama pembelajaran siswa terlihat kurang aktif. Siswa hanya mendengarkan secara teliti serta berusaha mencatat materi yang dipaparkan oleh guru. Hal ini mengakibatkan siswa pasif, karena dominasi guru dalam pembelajaran melumpuhkan keingginan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri, sehingga siswa hanya menjadi pendengar yang cenderung membuat siswa jenuh, kurang inisiatif dan selalu bergantung pada guru. Perbedaan hasil belajar Matematika siswa yang muncul juga disebabkan karena siswa yang mengikuti pembelajaran pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka mempunyai pengalaman belajar yang lebih inovatif dan kreatif serta tanpa ada rasa canggung dalam berbagi informasi dan mampu mempresentasikan pendapatnya kepada teman dan guru. Sehingga siswa tidak akan lupa dengan pelajaran Matematika, sehingga hasil belajar Matematika siswa lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran Konvensional. Berdasarkan kajian teori dan hasil analisis uji-t, dapat diambil keputusan bahwa model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Dari keputusan tersebut ada suatu perbedaan yang terlihat selama penelitian berlangsung. Perbedaan tersebut adalah kelompok eksperimen yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka yang memiliki skor rata-rata hasil belajar yang lebih dari kelompok kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Diana (2012) menyebutkan bahwa dengan
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
menggunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah lebih baik sehingga terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika siswa kelas IV semester genap di gugus XV, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2011-2012. Hal ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran metakognitif berbasis masalah terbuka dan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional di kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh Tahun Ajaran 2013/2014. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan melalui model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka dengan siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional di kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh Tahun Ajaran 2013/2014. Dilihat dari tes akhir pembelajaran (post test) diketahui bahwa rata-rata hasil belajar yang dicapai kelompok eksperimen sebesar 76,22 > 66,36 rata-rata hasil belajar yang dicapai kelompok kontrol dan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan uji-t diketahui bahwa thitung= 5,20 dan dengan taraf signifikan 5% dk= 82 diperoleh ttabel = 2,00 yang berarti thitung lebih dari pada ttabel (3,85 > 2,00) sehingga H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti terdapat pengaruh model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V Sekolah Dasar Gugus 8 Blahbatuh Tahun Ajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. Guru di SD Gugus VIII Blabatuh, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan melalui model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran
konvensional. Disarankan kepada guru hendaknya dalam membelajarkan siswa dapat memfasilitasi siswa dengan sumber belajar yang beragam disertai model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka sehingga aktivitas siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Disarankan kepada siswa hendaknya lebih membiasakan diri untuk lebih aktif dalam pembelajaran, tidak selalu menunggu arahan dari guru untuk mempelajari suatu konsep. Siswa dapat belajar dengan teman ataupun mencari sumber belajar sebanyak-banyaknya sehingga mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri khususnya dalam pembelajaran matematika dan siswa terlatih untuk berpikir kreatif, logis dan kritis terhadap permasalahan yang diberikan guru. Bagi para peneliti lain yang ingin meneliti dengan mempergunakan model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terbuka disarankan untuk menggunakan pokok bahasan yang lainnya, karena materi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada pokok bahasan pecahan, untuk mengetahui kemungkinan hasil penelitian yang berbeda pada pokok bahasan lainnya. DAFTAR RUJUKAN Agung, 2011. Metodelogi Penelitian Suatu Pengantar. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Dantes. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset. Diana. 2012. Pengaruh model pembelajaran Metakognitif berbasis masalah terhadap hasil belajar matematika siswa kelas IV semester genap di gugus XV, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2011-2012. Djamarah. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
Karim, Muchtar A., dkk. 1996. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Depdikbud. Nasution, S. 2011. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suherman, dkk. 2003. Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
Suyatno.2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka. Suzana, Y. (2004). “Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi. Bandung 15 Mei 2004.