MIMPI
BERTEMU
KEYNES
DAN
PEREKONOMIAN
INDONESIA
“Satu‐satunya
kepastian
dalam
jangka
panjang
adalah
kita
semua
akan
mati”
–John
Maynard
Keynes
Dalam
mimpi,
saya
bertemu
dengan
ekonom
yang
terkenal
dengan
falsafah
“the
principle
of
effective
demand”,
yaitu
John
Maynard
Keynes.
Keynes
memiliki
pemikiran
ekonomi
yang
relatif
berseberangan
dengan
teori
ekonomi
klasik
yang
diprakarsai
oleh
“The
Glasgow
Man”,
Adam
Smith
dan
David
Ricardo.
Pemikiran
ekonomi
Keynes
lebih
mengutamakan
sisi
permintaan
(demand
side),
dibanding
Smith
dan
Ricardo
yang
lebih
mengutamakan
sisi
penawaran
(supply
side).
Di
mimpi
tersebut
(meskipun
saya
dan
Keynes
tidak
pernah
mengenal
sekalipun
karena
perbedaan
generasi
dan
letak
geografis
yang
sangat
jauh),
Keynes
setidaknya
berdiskusi
tentang
tiga
hal
strategis
dalam
pendekatan
perekonomian
versi‐nya
yang
dapat
diaplikasikan
dengan
baik
di
negara
tempat
saya
dilahirkan,
Indonesia.
Ketiga
hal
strategis
tersebut
adalah
1)
Tentang
Uang
dan
Kualitas
Kredit,
2)
Tentang
Entrepreneurship
dan
Faktor
Kelembagaan,
serta
3)
Tentang
Preferensi
Likuiditas
dan
Perpajakan.
Entah,
dalam
mimpi
tersebut
Keynes
berinteraksi
dengan
para
pemikir
lain,
seperti
David
Ricardo,
Modgliani
and
Miller,
Hilman
Minsky,
Joseph
Schumpeter,
Kizner,
Edith
Penrose,
dan
Amartya
Sen,
sehingga
mampu
menjelaskan
filosofi
dan
konsep
yang
dapat
diaplikasikan
dalam
pendekatan
ekonomi
modern.
Singkatnya,
Keynes
menceritakan
kepada
saya
bahwa
pendekatan
ekonominya
sangat
relevan
dan
dapat
membawa
negara
saya
mencapai
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkualitas.
Hal
pertama
yang
disampaikan
Keynes
adalah
tentang
permasalahan
tingginya
tingkat
pengembalian
di
pasar
modal,
sehingga
pasar
modal
negara
saya
tercatat
sebagai
pasar
modal
terbaik
di
Asia
Pasifik
dengan
peningkatan
sebesar
46,1%
(dari
2.543
menjadi
3.703),
diikuti
Thailand
dengan
kenaikan
40,9%
dan
Filipina
37,6%.
Kenaikan
IHSG
yang
begitu
besar
menandakan
membaiknya
iklim
investasi
di
Indonesia,
namun
Keynes
mengingatkan
kembali
bahwa
uang
tidak
memiliki
sifat
netral
dan
berperan
penting
mempengaruhi
motif
dan
keputusan
aktor
ekonomi
yang
dapat
berdampak
pada
situasi
ketidakpastian.
Artinya,
uang
bukanlah
barang
tanpa
bertuan,
bukanlah
barang
tanpa
tujuan,
dan
tidak
hanya
1
Strategic
Development
Institute
(SDI)
berperan
sebagai
alat
tukar
dalam
suatu
perekonomian.
Secara
naluri,
uang
akan
mengalir
deras
ke
tempat
yang
memiliki
efek
pengganda
relatif
tinggi
dan
akan
kembali
ke
tempat
asalnya
yang
lebih
berkualitas
dan
aman
(flight
to
quality)
ketika
“perantauan”
telah
usai
dan
keuntungan
terealisasi.
Keynes
mengingatkan
bahwa
pasar
modal,
intinya
adalah
spekulatif
dan
dipenuhi
oleh
aktor
ekonomi
dengan
keterbatasan
rasionalitas
dan
memiliki
reaksi
yang
beragam
meskipun
dihadapkan
oleh
situasi
yang
relatif
sama.
Keynes
juga
sedikit
mengingatkan
pentingnya
kebijakan
dan
regulasi
arus
masuk
yang
selektif,
alih‐alih
menahannya
dalam
jangka
yang
lebih
panjang
dengan
membuat
kebijakan
moneter
yang
represif,
artinya
penanaman
modal
yang
sifatnya
riil
harus
benar‐benar
dilakukan
dan
diarahkan
melalui
kebijakan
strategis
yang
dirancang
dan
diimplementasikan
oleh
negara
dalam
jangka
panjang.
Efek
positif
dari
Foreign
Direct
Investments
(FDI)
bukan
hanya
terciptanya
peningkatan
lapangan
kerja
dan
nilai
tambah
perekonomian
(melalui
peningkatan
kapasitas
produksi
dan
perluasan
cakupan
wilayah),
melainkan
juga
bagi
pola
berbisnis
domestik
yang
semakin
lama
dapat
belajar
dan
melakukan
proses
apropriasi
nilai
(value
appropriation)
dari
perusahaan
Multinasional,
melalui
mekanisme
kerjasama
strategis.
Ketika
perusahaan
multinasional
melakukan
akuisisi
terhadap
perusahaan
lokal
yang
memiliki
aset
strategis
dan
jaringan
luas,
maka
seharusnya
ada
transformasi
nilai,
peningkatan
kualitas
SDM,
serta
tata
kelola
perusahaan,
yang
bermuara
pada
peningkatan
nilai,
penetrasi
industri,
dan
stabilitas
keuangan
dan
moneter.
Tanpa
tata
kelola
perusahaan
yang
baik
(di
level
mikro)
adalah
tidak
mungkin
mewujudkan
stabilitas
keuangan
dan
moneter
(level
makro).
Selain
itu,
ketika
rezim
suku
bunga
rendah
di
Jepang
(0,25%)
dan
US
(0,5%),
serta
krisis
hutang
di
beberapa
negara
Eropa
seperti
PIIGS
(Portugal‐Inggris‐Irlandia‐Greece‐Spain),
telah
menghujamkan
segelintiran
aliran
uang
masuk
ke
negara
emerging
economies,
khususnya
Indonesia.
Disparitas
suku
bunga
yang
sangat
tinggi
membuat
investor
dengan
dana
panas
tersebut
seperti
mendapatkan
surga
baru
untuk
berinvestasi,
namun
investasi
di
sektor
finansial
tersebut
jelas
hanya
memiliki
efek
pengganda
yang
sangat
kecil
bagi
pertumbuhan
ekonomi
berkualitas.
Dalam
mimpi
tersebut,
Keynes
juga
menyoroti
kualitas
kredit
perbankan.
Menurutnya,
penciptaan
uang
ditentukan
oleh
kredit
dan
seharusnya
disalurkan
pada
sektor
produktif,
2
Strategic
Development
Institute
(SDI)
sehingga
terjadi
peningkatkan
kapasitas,
perluasan,
penciptaan
lapangan
kerja,
serta
pendapatan
nasional
yang
dapat
meningkatkan
sisi
permintaan.
Eksogenitas
perekonomian
adalah
hasil
dari
aliran
kredit
yang
diciptakan
oleh
dinamika
sektor
produksi
dalam
sistem
ekonomi.
Kredit
perbankan
nasional
di
tahun
2010,
memiliki
rata‐rata
peningkatan
pada
kisaran
rata‐rata
20‐22%,
jika
dilihat
secara
pertumbuhan
hal
tersebut
terbilang
positif,
namun
jika
dilihat
dari
kualitas
kredit,
khususnya
tingkat
penyerapan
pinjaman
dan
kesesuaian
antara
pola
peningkatan
kredit
dan
pertumbuhan
sektor
produktif
atau
yang
menjadi
sektor
unggulan
di
Indonesia,
seperti
sektor
agribisnis,
manufaktur,
dan
pertambangan,
kualitas
kredit
masih
relatif
rendah.
Tercatat,
jumlah
pinjaman
yang
belum
dicairkan
mencapai
22%
dari
total
kredit,
dengan
porsi
kredit
yang
masih
didominasi
oleh
sektor
non‐tradable,
seperti
sektor
perdagangan,
jasa
dunia
usaha,
dan
telekomunikasi
dibanding
sektor
tradable,
seperti
manufaktur,
pertanian,
dan
properti.
Tingginya
aliran
modal
masuk
ke
sektor
finansial
dan
rendahnya
kualitas
kredit
perbankan,
ditambah
suku
bunga
perbankan
yang
masih
relatif
tinggi
(diatas
satu
digit)
akan
menciptakan
gap
yang
relatif
besar
antara
perkembangan
sektor
finansial
dan
sektor
riil
di
Indonesia
(de‐coupling
semakin
tinggi).
Kualitas
fungsi
intermediasi
perbankan
dalam
menjembatani
pihak
surplus
dan
defisit
menjadi
sangat
rendah,
sebagai
akibat
dari
lemahnya
interkoneksi
antara
sektor
keuangan
dan
sektor
riil,
sehingga
membentuk
kualitas
pertumbuhan
ekonomi
yang
rendah
dan
kurang
produktif.
Gejala
de‐coupling,
dalam
jangka
panjang,
bukan
hanya
menggeser
peta
persaingan
industri,
melainkan
memperbesar
tren
de‐industrilisasi,
meningkatkan
permasalahan
sosial
dan
ekonomi,
serta
menurunkan
indikator
kualitas
ekonomi,
seperti
tingkat
harapan
hidup,
tingkat
kecerdasan
atau
pendidikan,
serta
pendapatan
per
kapita.
Keynes
mengingatkan
jika
tidak
dikelola
secara
produktif
oleh
regulasi
negara,
maka
kredit
dalam
suatu
sistem
ekonomi
dapat
berdampak
kontraproduktif,
khususnya
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
sektor
produktif
yang
menjadi
keunggulan
bersaing
negara
bersangkutan.
Orientasi
kalangan
perbankan
yang
hanya
mengejar
keuntungan
atau
marjin
jangka
pendek
dapat
memiliki
dampak
destruktif.
Mayoritas
penguasaan
bank
oleh
pihak
asing,
sebagai
dampak
dari
regulasi
kepemilikan
di
Indonesia
yang
memperbolehkan
pihak
asing
memiliki
saham
sampai
99%,
juga
berperan
signifikan
terhadap
mandeknya
produktifitas
perbankan
di
Indonesia.
Bahkan,
jika
dibandingkan,
Indonesia
jauh
lebih
liberal
3
Strategic
Development
Institute
(SDI)
dibanding
US
yang
hanya
memperbolehkan
pihak
asing
memiliki
30%
saham
perbankan.
Secara
logika,
pihak
asing
jelas
lebih
mengutamakan
keuntungan
privat
dibanding
keuntungan
kolektif.
Keuntungan
menjadi
target
utama
dan
apropriasi
atas
keuntungan
harus
dilakukan
sebesar
dan
sesegera
mungkin.
Peneterasi
kredit,
tidak
cukup
untuk
mengukur
efektifitas
intermediasi
dan
kualitas
kredit
perbankan,
khususnya
untuk
meningkatkan
nilai
tambah
sektor
produktif
suatu
negara.
Overalokasi
pada
sektor
non‐tradable
membuat
perusahaan
hanya
“memarkir”
dana
hasil
pinjaman
bank
untuk
kepentingan
berjaga‐jaga
dan
mengantisipasi
lonjakan
atau
ekspansi
bisnis
ketika
ada
peluang.
Selain
itu,
penetapan
daftar
negatif
terhadap
beberapa
industri
dengan
tingkat
pengembalian
yang
tidak
atraktif
dan
memiliki
periode
yang
relatif
lama,
seperti
sektor
pertanian,
pertambangan,
dan
konstruksi,
juga
dapat
memperlambat
pertumbuhan
pada
sektor
tersebut,
meskipun
sektor
tersebut
terbilang
produktif,
mampu
menghasilkan
nilai
tambah,
serta
keunggulan
daya
saing
bagi
perekonomian
Indonesia.
Kedua,
Keynes
menjelaskan
pentingnya
peran
entrepreneur
dalam
perekonomian
(sejalan
dengan
pemikiran
Joseph
Schumpeter),
koordinasi,
serta
efisiensi
dalam
kelembagaan
pemerintah/institusi.
Inti
dari
diskusi
dengan
Keynes
adalah
krusialitas
dari
proses
kreasi
nilai
(value
creation)
sebagai
titik
awal
pembentukan
permintaan
dalam
perekonomian.
Jumlah
wirausaha
di
Indonesia
sangat
minim,
hanya
1%
dari
total
angkatan
kerja.
Lalu
Bagaimana
perekonomian
dapat
berjalan
ke
arah
produktif?
Entrepreneur
berperan
signifikan
khususnya
dalam
merancang
model
bisnis
dan
kegiatan
atau
unit
usaha
produktif,
melalui
pembentukan
nilai
dari
konfigurasi
rantai
nilai
(value
chain)
yang
dimiliki,
terbentuklah
penawaran
nilai
(value
proposition)
yang
dapat
diapresiasi
oleh
masyarakat,
sehingga
menciptakan
permintaan.
Tingginya
permintaan
ditentukan
oleh
tingginya
aktivitas
pembentukan
nilai
yang
dilakukan
oleh
entrepreneur.
Selain
itu,
peran
entrepreneur
juga
signifikan
dalam
meningkatkan
jumlah
lapangan
pekerjaan
(langsung
ataupun
tidak
langsung),
peningkatan
laba
korporasi,
peningkatan
ekspor
dan
cadangan
devisa,
serta
peningkatan
penerimaan
negara
melalui
perpajakan.
Nilai
memiliki
penggerak
(value
drivers)
yang
mampu
mengarahkan
proses
penciptaan
nilai
menjadi
keunggulan
daya
saing
yang
berkelanjutan.
4
Strategic
Development
Institute
(SDI)
Namun,
signifikansi
peran
entrepreneur
tidak
berjalan
efektif,
khususnya
dalam
memicu
pertumbuhan
ekonomi
berkualitas
jika
tidak
ditunjang
oleh
penguatan
mekanisme
kelembagaan.
Dalam
teori
kelembagaan,
salah
satu
isu
menarik
adalah
bagaimana
perusahaan
selalu
mencari
alternatif
biaya
transaksi
paling
efisien
sebagai
strategi
utama,
karena
adanya
pertentangan
antara
sikap
opportunistik
(opportunistic
behavior)
dan
pengetahuan
yang
terbatas
(bounded
rationality),
sehingga
pasar
tidak
selalu
menjadi
solusi
paling
efisien.
Proses
ekonomisasi
dilakukan
dengan
memilih
alternatif
atau
model
transaksi
terbaik
bagi
organisasi
sehingga
dapat
mencapai
keunggulan
kinerja
berkesinambungan.
Untuk
itu,
selain
dibutuhkan
penguatan
interkoneksi
antara
strategi
dan
struktur
kelembagaan
dalam
koridor
korporasi,
dibutuhkan
juga
penguatan
perangkat
birokrasi
yang
memberikan
solusi,
bukan
hanya
efektif
dan
efisien.
Aspek
birokrasi
harus
ditinjau
ulang
khususnya
dari
sisi
penetapan
dan
pengembangan
peraturan,
percepatan
administrasi,
dan
keselarasan
pengembangan
sistem
birokrasi
dengan
konteks
ekonomi
modern
yang
lebih
mengutamakan
pengetahuan
dan
reputasi.
Tidak
ada
cara
lain,
perangkat
reputasi
yang
semakin
memburuk
di
bidang
hukum
membentuk
tingkat
ketidakpercayaan
yang
tinggi,
bukan
hanya
pada
konteks
individu
melainkan
pada
tingkat
institusi.
Reformasi
radikal
di
bidang
hukum
merupakan
tantangan
terbesar
terkait
reformasi
struktural
dan
tata
kelola
birokrasi
Indonesia
kedepan.
Lemahnya
keinginan
politik
(political
will)
dalam
melalukan
perubahan
dan
tidak
efektifnya
fungsi
kepemimpinan
membuat
langkah
perbaikan
hanya
sebatas
wacana,
bukan
realitas.
Reformasi
sudah
selayaknya
diarahkan
pada
ketiga
penguatan
aspek
birokrasi,
yaitu
peraturan
(pembentukan
dan
konsistensi
penegakannya),
administrasi
(prosedur
dan
tata
cara
pengembangan
sistem
administrasi),
dan
perbaikan
kultur
birokrasi
di
tingkat
pemimpin
dan
pelaksana,
sehingga
birokrasi
yang
kita
miliki
mampu
menjadi
penunjang
produktif
dan
memberikan
solusi‐solusi
penting
bagi
peningkatan
produktifitas
perekonomian
dan
berperan
strategis
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
berkualitas.
Dalam
era
globalisasi,
Keynes
juga
mengingatkan
bahwa
dalam
menghadapi
liberalisasi
dan
globalisasi,
dibutuhkan
peran
institusi
negara
untuk
meningkatkan
koordinasi
dan
kerjasama
tingkat
nasional,
regional,
dan
global.
Dibutuhkan
suatu
terobosan
yang
dapat
menghidupkan
kembali
peran
faktor
institusi
dalam
dinamika
ekonomi,
karena
pada
5
Strategic
Development
Institute
(SDI)
dasarnya
berbagai
gejala
instabilitas
global
dapat
dihindari
melalui
pembentukan
komunitas
atas
dasar
tujuan
dan
kepentingan
bersama,
melalui
pengelolaan
kebijakan
makroekonomi
dan
sinkronisasi
dapat
menghasilkan
manfaat
bersama
yang
berperan
penting
terhadap
pembentukan
stabilitas
ekonomi.
Ketiga,
Keynes
rupanya
menyoroti
permasalahan
ledakan
penduduk
dan
tingginya
tingkat
kemiskinan
dan
pengangguran
di
Indonesia
sebagai
kegagalan
peran
pemerintah
memacu
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkualitas.
Sebagai
catatan,
laju
pertumbuhan
penduduk
kita
sangat
tinggi
(mencapai
1,2%
per
tahun
dengan
rata‐rata
kelahiran
bayi
per
tahun
mencapai
4,5
juta
jiwa)
dengan
struktur
piramida
penduduk
yang
mayoritas
terdapat
pada
usia
muda
dan
produktif
(15
–
35
tahun),
artinya
di
satu
sisi
kita
dapat
memanfaatkan
momentum
ini
untuk
memacu
peningkatkan
kualitas
dan
produktifitas
penduduk,
sehingga
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
berkualitas.
Di
sisi
lain,
ketika
kita
gagal
memanfaatkan
momentum
tersebut,
biaya
sosial
yang
timbul
akan
semakin
tinggi
dan
menjadi
beban
negara.
Situasi
paradoksial
inilah
yang
harus
menjadi
fokus
pemerintah
kedepan.
Peran
negara
harus
hadir
dalam
dimensi
kualitas
SDM,
karena
hingga
saat
ini
kita
masih
berada
di
peringkat
106
dari
169
negara
terkait
Indeks
Pembangunan
Manusia
(Human
Development
Index).
Fokus
pemerintah
sudah
sepantasnya
diarahkan
ke
sisi
hulu,
yaitu
membangun
sistem
pendidikan
dan
program
perbaikan
gizi
yang
sistematis.
Standarisasi
dan
kemandirian
pendidikan
merupakan
solusi
penting
bagi
kemajuan
pendidikan
bangsa,
selain
pengembangan
infrastruktur
fisik.
Pembentukan
standar
sistem
pendidikan
yang
mandiri
dan
berkualitas
juga
harus
menekankan
aspek
prioritas,
karena
hampir
tidak
mungkin
(meskipun
dengan
anggaran
pendidikan
sebesar
20%
dari
APBN)
mampu
menjangkau
keseluruhan
sistem
pendidikan
di
daerah.
Perbaikan
standarisasi
pendidikan
harus
dimulai
dari
kota‐kota
besar,
khususnya
di
pulau
Jawa
dan
Sumatera,
yang
secara
total
memiliki
konsentrasi
jumlah
penduduk
masing‐masing
sebesar
58,7%
dan
21%.
Perbaikan
standarisasi
dilakukan
untuk
membentuk
“role
model”
bagi
sistem
pendidikan
nasional,
sehingga
dapat
diterapkan
pada
wilayah
yang
relatif
tidak
memiliki
jumlah
penduduk
padat.
Dengan
begitu,
prioritas
akan
menciptakan
kesetaraan
dan
kesamaan
(equality)
diantara
sesama
anak
bangsa.
Selain
itu,
perbaikan
mutu
gizi
harus
dilakukan
yaitu
dengan
membentuk
program
perbaikan
gizi
secara
sistematis
dan
berkelanjutan.
Pada
proses
implementasi,
koordinasi
antara
Kementerian
Kesehatan
dan
Kementerian
terkait
program
6
Strategic
Development
Institute
(SDI)
perbaikan
gizi
harus
ditingkatkan
secara
lebih
intensif,
sehingga
distribusi
dan
sosialisasi
perbaikan
gizi
dapat
dijalankan
secara
optimal
di
berbagai
daerah,
termasuk
daerah
terpencil.
Sistem
pelayanan
kesehatan
manusia
dan
gizi
secara
terpadu
(Integrated
Health
and
Nutrition
Center)
yang
dijalankan
oleh
negara
secara
efektif
mampu
mereduksi
jarak
kualitas
gizi
antara
kaum
marjinal
(miskin)
dan
kaum
intelektual
(kaya),
sebagai
dampak
negatif
kapitalisme.
Namun,
peningkatan
inflasi
(proyeksi
6,9%)
yang
dipicu
oleh
peningkatan
harga
komoditas
dan
bahan
bakar
di
tahun
2011
akan
semakin
menggerus
daya
beli
masyarakat
dan
menambah
beban
negara,
khususnya
jika
program
konversi
dan
pembatasan
bahan
bakar
minyak
tidak
berjalan
efektif.
Selain
itu,
tingginya
inflasi
juga
dapat
mengurangi
preferensi
likuiditas
kaum
miskin,
khususnya
untuk
meningkatkan
kualitas
konsumsi.
Bobot
konsumsi
kebutuhan
primer
yang
relatif
tinggi
dalam
komponen
pengeluaran
kaum
miskin,
akan
membuat
ironi
dalam
pilihan
hidup
mereka
secara
rasional,
apakah
dengan
mengurangi
konsumsi,
berhutang,
atau
sampai
titik
paling
ekstrem
yaitu
bunuh
diri.
Tingginya
inflasi
membentuk
tendensi
perilaku
rumah
tangga
untuk
mengurangi
pembelian
yang
bersifat
“tidak
terlalu
perlu”
yang
dapat
mengurangi
besaran
konsumsi
secara
domestik
dan
penerimaan
pajak
negara.
Selain
itu,
tendensi
pengurangan
konsumsi
juga
akan
mengurangi
pendapatan
sisi
korporasi
yang
akan
menurunkan
nilai
tambah
ekonomi
dan
penerimaan
perpajakan.
Dimana
peran
negara?
Peningkatan
rasio
penerimaan
pajak
terhadap
produk
domestik
bruto
(PDB)
menjadi
12%
di
tahun
2011,
tidak
akan
berarti
apapun
jika
realiasasi
dan
implementasi
kebijakan
pemerintah
tidak
diarahkan
untuk
sebesar‐besarnya
kemakmuran
rakyat.
Pemerintah
juga
hanya
pandai
berbicara
dan
bergelut
dengan
taruhan
politik
masing‐masing,
bukan
memperbaiki
substansi
permasalahan
negara
satu
per
satu.
Keterbukaan
investasi
terhadap
pihak
asing
ataupun
swasta
domestik
jelas
akan
berdampak
kontraproduktif
ketika
perangkat
kebijakan
tidak
diarahkan
untuk
perbaikan
kualitas
hidup
dan
produktifitas
rakyat.
Liberalisasi
tanpa
penguatan
regulasi
hanya
menciptakan
malapetaka,
optimisime
semu
dunia
finansial,
dan
semakin
meningkatkan
ketidakpastian.
Ketidakpastian
dapat
memunculkan
perilaku
atau
respon
spontan
yang
tidak
berlogika
(animal
spirit).
Menurut
prinsip
liquidity
premia,
ketika
orang
atau
investor
dihadapkan
oleh
situasi
yang
sama,
maka
persepsi
mereka
terhadap
ketidakpastian
kurang
lebih
juga
7
Strategic
Development
Institute
(SDI)
sama,
namun
mereka
belum
tentu
memiliki
reaksi
yang
sama.
Simpulan
tersebut
menunjukkan
bahwa
faktor
ketidakpastian
dapat
mengiring
perekomian
kearah
yang
lebih
spekualtif
dan
memicu
pembentukan
krisis
baru.
Keynes
selalu
mengingatkan
bahwa
dalam
perekonomian
tidak
ada
suatu
hal
yang
pasti
dan
satu‐satunya
kepastian
dalam
jangka
panjang
adalah
kita
semua
akan
mati,
artinya
tidak
ada
yang
mampu
memprediksi
masa
depan
dengan
tingkat
probabilitas
kesalahan
mendekati
nol.
Masa
depan
adalah
masa
depan,
yang
selalu
hadir
dan
pergi
dengan
kenangan
dan
pelajaran
berarti
bagi
peradaban
manusia.
Kebanyakan
ekonom
dan
kita
terjebak
pada
situasi
dimana
perhitungan
dan
model
ekonomi
yang
rumit
dan
kompleks
seakan
mampu
memprediksi
masa
depan
dan
menyelesaikan
permasalahan.
Sebagai
aliran
yang
lebih
bersifat
institusionalis,
pandangan
Post‐Keynesian
menanggap
bahwa
masa
lalu
adalah
faktor
yang
tidak
dapat
dilepaskan
dalam
analisis
ekonomi,
sementara
masa
depan
mengandung
unsur
ketidakpastian
yang
secara
alami
juga
mempengaruhi
tindakan
agen
ekonomi
saat
ini,
sehingga
model
probabilitas
yang
rumit
tidak
akan
pernah
dapat
menyelesaikan
masalah,
melainkan
hanya
berperan
sebagai
alat
bantu
yang
bersifat
explanatory,
bukan
predictive.
Penguatan
peran
negara
mutlak
dibutuhkan
untuk
mereduksi
ketimpangan
ekonomi,
membentuk
program
pembangunan
ekonomi
berkualitas
yang
terarah
dan
sistematis,
mengurangi
distorsi,
serta
racun
(toxic)
dalam
perekonomian,
seperti
kualitas
SDM
yang
tidak
memadai,
produktifitas
rendah,
dan
tingkat
pengangguran
yang
tinggi.
Investasi
harus
dikelola
secara
produktif,
bukan
ortodoks.
Namun,
bukan
berarti
keterbukaan
tidak
membawa
manfaat
sama
sekali,
justru
dengan
keterbukaan
itulah
kita
mampu
mengembangkan
potensi
sumber
daya
dan
membentuk
jejaring
relasional
yang
membentuk
daya
saing
secara
global.
Terakhir,
Keynes
menegaskan
sekali
lagi
bahwa
dirinya
sama
sekali
tidak
mempertentangkan
mekanisme
pasar
yang
diprakarsai
oleh
ekonom
klasik,
melainkan
menekankan
pentingnya
peran
negara
dalam
menciptakan
sistem
pasar
yang
adil
dan
berkualitas
bagi
pemenuhan
tujuan
bersama.
Penguatan
peran
negara
tidak
lain
juga
ditujukan
untuk
menyelamatkan
mekanisme
pasar
itu
sendiri.
Written
by:
Aji
Jaya
Bintara,
SE,
MSM
(Founder
of
Strategic
Development
Institute)
8
Strategic
Development
Institute
(SDI)