MENYAMBUT HARI LAHIR PANCASILA 1 JUNI 1945. Tulisan ini sebagai pelengkap tulisan yang terdahulu yang berjudul MELEK PANCASILA. Sejak dimulainya kekuasannya rezim Otoriterisme militer fasis pimpinan jendreral TNI AD Soeharto pada tahun 1966, Pancasila 1 Juni 1945 ciptaan Bung Karno yang telah ditetapkan sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dikubur, dan diganti dengan Kesaktian Pancasikla yang digunakan sebagai payung hukum untuk melaksanakan pembantaian massal 3 juta Rakyat yang tak bersalah, dan pembunuhan secara pelan-pelan dan sadis terhadap Bung Karno sebagai Proklamator dan Periden pertama NKRI. Tahun 1998 dimulainya gerakan reformasi,yang dampaknya adalah “lengsernya” rezim otoriterisme militer fasis Soeharto (yang selanjutnya akan saya sebut Orde Baru). Maka muncullah apa yang disebut era reformasi, namun demikian Pancasila 1 Juni 1945 juga belum menggema dikalangan masyarakat kita, ironoinya yang terkesan menggema sampai sekarang adalah Kesaktian Pancasila hasil rekayasa Orede Baru. Yang megema dikalangan para penegak negara (kecuali almarhum Gus Dur), adalah sumpah setia rezim reformasi dibawah monumen Kesaktiam Pancsila, yang telah menimbulkan malapetaka besar kemanusiaan di NKRI. Menurut pengamatan saya diera reformasi ini para penegak NKRI yang silih berganti telah lengah misi dalam melakukan tugasnya untuk menumbuhkan kesadaran rakyat Indonesia dalam menerima dan memahamhi secara mendalam tentang ajaran Pancasila 1 Juni 1945, yang tert era dalam Lima Sila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia-nasionalisme, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarataan/perwakilan” atau Demokrasi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (baca tentang MELEK PANCASILA terkait). Usaha untuk menumbuhkan kesadaran dalam menerima dan memahami Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45 diera Bung Karno dilakukan melalui Indoktrinasi tentang Pancasila, dan UUD 45, yang tercermin dalam TUJUH BAHAN-BAHAN POKOK INDOKTRINASI. Sayangnya usaha ini belum sampai pada tujuananya telah dihantam oleh klik militer fasis Indonesia yang anti Pancasila dalam bentuk kudeta merangkak yang memakam korban 3 juta Rakyat yang tak bersalah, termasuk Bung Karno yang dibunuh secara biadap.
1
Sejak dimulainya apa yang disebut era reformasi ini, Pancasila 1 Juni 1945 nampak hanya sayup-sayut sampai dalam kesadaran bangsa Indonesia, dampaknya adalah muncul kembalinya gagasan Jakarta-Charter, munculnya fatwa yang mengharamkan Pluralisme, muncuknya niat untuk mengganti Pancasial dengan Syariah islam, HTI dan bahkan ISIS. Dalam tulisan ini yang akan dibahas secara mendalam adalah tentang pluralisme, karena adanya sikap penolakan tentang pluralisme oleh MUI, maka pluralisme telah merupakan tantangan besar bagi persatuan bangsa dan kehidupan NKRI. Padahal tentang penghalalan plurasislae ini terlihat jelas dalam sila pertama dari Pancasila yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pidato membangun dunia kembali dimula sidang umum P.B.B September 1960, Bung Karno mengatakan : “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buda dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari penganut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami.Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karateristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.” (kutiapan selesai). Dari kutipan tersebut diatas jelas bahwa Sila Pertama dari pancasila mencerminkan adanya penghalalan budaya Pluralisme, dan budaya pluralisme inilah yang menjadi kunci dari persatuan bangsa Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI). Menurut pengamatan saya masalah Pluralisme di Indonesia pada umumnya hanya ditanggapi sebagai kemajemukan, jika pluralisme hanya ditanggapi sebagai adanya kemajemukan, maka persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak akan terselesaikan, karen a disini orang hanya melihat adanya kemajemukan saja,tapi kesadarannya atau jiwanya (demensi intern individu) belum dapat menerima adanya pluralisme itu. Karena disini orang hanya melihat pluralisme dari satu demensi saja, yaitu demensi luarnya. Untuk secara konsekwen menjalankan pluralisme, yang perlu kita tekankan adalah, pluralisme harus diterima dan dihayati dalam hati sanubari kita masing-masing, artinya Pluralisme harus dihayati dari empat demensi, yaitu demensi dalam,luar,tunggal dan jamak. 2
Hakekat pluralisme : Pluralisme, egaliterisme dan mutikulturalisme adalah bentuk tertinggi dari kesadaran manusia yang sudah berada pada tingkatan kesadaran ``Green meme``,adalah suatu kesadaran yang menurut urutan Spiral Dynamics dari Don Beck Chritopher Cowan ditempatkan dalam jajaran tingkat ke 6. Dalam tingkatan ini manusia sudah dapat mempunyai perasaan saling hormat-menghotmati antar sesama manusia, mempunyai rasa kemanusiaan yang sama, mempunyai kepekaan terhadap dirinya sendiri (kritis terhadap dirnya sendiri), kepekaan ekologi dan jaringan kehidupan dalam masyarakat. Disini manusia telah dibebaskan dari segala macam dogma-dogma agama, demikian juga manusia telah bebas dari rasa angkara murka dan kebencian terhadap sesama manusia yang berlainan kepercayaan atau agamnya. Diakui atau tidak diakui, kesadaran bangsa kita belum sampai pada tingkatan yang sedemikian itu (untuk mencapai kesadaran sema cam itu jalannya masih jauh). Mungkin sekitar 70 persen dikalangan masyarakat kita masih berkesadaran menurut dogma-dogma agama, yang mengarahkan manusia pada kesadaran egozentris dan ethnozentris, ini tercermin dan sangat menonjol dari fatwa MUI, yang mengharamkan plurakisme. Jika kita periksa menurut Spiral Dynamics kesadaran bangsa Indonesia masih berada dalam tingkatan yang ke 4. Terutama di Indonesia dengan adamya MUI,maka kesadarn pluralisme masih menghadapi TANTANGAN yang besar sekali, sehinga untuk tercapainya persatuan bangsa yang hakiki, yaitu sesama manusia saling bergandengan tangan masih sukar dibayangkan. Realita pluralisme yang tercermin di Indonesia itu pada hakekatnya adalah menghomoginisasikan antara orang-orang yang jujur dan orang-orang bersih dari korupsi, penipu, preman, penjahat, koruptor, para pelanggar HAM, orde baru dan kroni-kroninya dan pelaksana KKN dicampur adukkan jadi satu, dianggap sebagai suatu homoginitas persaudaraan dari suatu kemajemukan, dengan alasan gotong royong krena kita ini semuan saudara dalam menjalankan pluralisme demokrasi. Mencampur adukan antara baik dan buruk hanya sekedar unutuk memenuhi romantisme perkataan pluralisme tanpa menyadari secara hakiki apa hakekat sebenarnya dari perkataan pluralisme, ternyata telah menyebabkan bangsa kita terjerumus pada kesalahan yang fatal, dan membahayakan keutuhan negara kita. Kesalahan ini harus segera dikoreksi. Dari adanya kesalahan semacam inilah, 3
maka bermunculan masalah-masalah seperti Aceh,Papua, Poso, Ambon dan yang lebih hebat lagi adalah melahirkan orde baru babak ke dua, ketiga dst. Dengan dalih pluralisme seperti itu, mka < /span>semua kekuatan orde baru dapat lolos dari jeratan hukum negara RI. Hal semacam ini belum disadari oleh masyarakat kita terutama para elite bangsa Indonesia, meskipun mengaku demokrat dan reformis. Untuk dapat benar-benar menghayati jiwa pluralisme, maka diperlukan adanya evolusi “Meme” dari bangsa Indonesia.Diperlukan adanya transformasi dengan lompatan katak dari kesadaran yang masih berada ditingkat 4 ke kesadaran tingkat 6. “Meme” adalah suatu perkataan yang digunakan oleh Don Beck dan Chritopher Cowan dalam penelitiannya tentang kesadaran Manusia, dalam Spiral Dynamics yang ditunjukkan dalam 8 tingkatan “meme”. Seperti halnya dengan “Gene” dalam DNA, yang dapat bekembang biak melaui sperma dan telur, maka “Meme” dapat berkembang biak melaui otak manusia. Contoh kongkrit yang masih relevan misalnya sikap Paus Benediktus XVI dalam kunjungannya di Turki pada tanggal 01.12.2014. Tidakan ini bisa menimbulkan evolusi kesadaran dari kalangan umat kristen khususnya Katolik dan juga umat Islam . Jika sikap Paus Benekdiktus XVI ini bisa menular kesaradan MUI, maka umat Islam di Indonesia tidak akan lagi mengharamkan doa bersama seperti apa yang di fatwakan oleh MUI. Jika ini bisa terjadi, maka diharapkan akan terjadilah tranformasi dari kesadaran tingkat 4 ke tingkat 6. Setelah tranformasi ini terjadi, maka kesulitan dalam menghadapi adanya pluralisme di negeri kita akan dapat diatasi secara mudah dan pasti akan selamtlah kehidupan bangsa Indonesia yang Bineka Tunggal Ika secara hakiki yang sudah final.
Kesimpulam akhir adalah : Untuk mempertahankan kehidupan NKRI dan persatuan secara hakiki bagi bangsa Indonesia, maka MUI harus segera mencabut fatwanya yang telah mengharamkan Pluralisme. Fatwa MUI Tentang Haramnya Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama; Klik ( https://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralis me-liberalisme-dan-sekulerisme-agama.htm )
4
Hidup Pancasila 1 Juni 1945!; NKRI sudah Final! NKRI harga Mati!.
Roeslan.
5