Kenangan dari pengalaman lima kakak beradik di masa : -
Akhir penjajahan Belanda (1942) Pendudukan Tentara Jepang (1943 s/d 1945) Hari-hari di awal Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada suatu hari di tahun 1942 saya mendengar Ayah berkata bahwa di Eropa sedang berkecamuk perang Dunia: Perang Dunia ke II ….. Sejak hari itu saya perhatikan bahwa semua orang dewasa rajin mendengarkan radio, terutama pada saat warta berita. Pemberitaan di radio meramalkan bahwa perang akan meluas dan cerita yang tersebar mengatakan bahwa pulau Jawapun akan terkena pecahan perangnya. Apa artinya itu, pada saat itu saya tidak mengetahuinya. Kami sekeluarga bertempat tinggal di kota Bandung. Ayah, Ibu dan kami, lima kakak beradik. Sementara berita di radio menyiarkan perkembangan peperangan di Eropa, kehidupan kami sekeluarga di kota Bandung berjalan biasabiasa saja. Ayah setiap pagi pergi dan pulang kantor pada sore harinya dengan mengendarai sepeda. Ayah bekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api yang pada saat itu bernama Staats Spoorwegen disingkat S.S. Ayah adalah Ahli Teknik di bagian Jembatan dan Bangunan. Ibu mengatur segala sesuatu di rumah dengan didampingi oleh empat orang pembantu. Mereka sekeluarga adalah Pak Rustam bersama istrinya yang bernama Mbok Rinem dan dua orang anak. Setiap pembantu mempunyai tugasnya masingmasing. 2
Mbok Rinem pergi ke pasar, memasak setiap harinya dan sering meminta kami membantu membersihkan kecambah/taoge.
Pak Rustam bertugas membersihkan kebun dan mengurus kucing. Kucing-kucing kami paling senang beranak di kamar Pak Rustam dan Mbok Rinem ….. mungkin sebagai ungkapan rasa terima kasih pada Pak Rustam yang sudah mengurus mereka.
Parnis, anak perempuan mereka tugasnya mengurus segala sesuatu kebutuhan kami, anak-anak. Parnislah yang selalu menyiapkan baju sekolah dan mengawasi pada saat kami berlima makan. Dia memiliki kepribadian yang sabar dan jarang sekali memarahi kami. Sudar, adiknya Parnis yang laki-laki mendapat tugas membersihkan rumah akan tetapi perhatian dia lebih sering ke bermain kelereng dari pada memegang sapu dan kadang-kadang berkelahi dengan abang kami.
Kami berlima kakak beradik pada saat itu duduk berurutan di kelas satu, dua, tiga, empat dan lima. Sekolah kami adalah Eerste Europese Lagere School B, disingkat Een B. Seperti harihari sebelum ada berita tentang pecahnya perang, kami bersekolah seperti biasa. Kemudian ketika pesawat terbang musuh mulai 4
melintas di atas kota, peraturan sekolah mengharuskan murid-muridnya membawa wajan penggorengan dan sepotong karet khusus yang bentuknya mirip dengan kue wafel.
Pada saat ada serangan udara musuh, wajan itu harus kami pakai sebagai topi dan apabila ada bom jatuh maka kami harus menggigit potongan karet itu. Rupanya musuh akan datang dengan pesawat terbang dan akan menjatuhkan bom di atas kota Bandung dan mungkin juga di atas kepala kami. Kata Ibu Guru, wajan itu untuk mencegah agar pecahan kaca atau pecahan bom yang meledak tidak melukai kepala kami. Potongan karet harus kami gigit untuk mencegah agar gendang telinga tidak pecah apabila ada tekanan udara karena ledakan bom. Ternyata demikian pentingnya wajan dan karet itu, dan kami mematuhi peraturan sekolah. Di samping tas yang berisi buku tulis dan pensil, kami juga membawa satu tas khusus yang berisi pembalut dan obat-obatan untuk berjaga-jaga seandainya kami terluka di sekolah.
Untunglah selama kami bersekolah tidak ada satu bompun yang meledak di dekat sekolah kami. Bersyukurlah kata Ibu. Sesuai dengan ketentuan sekolah, Ibu membelikan kami wajan; satu untuk setiap anak. Kakak-kakak mendapat wajan yang berwarna abu-abu dengan guratan putih menyerupai awan putih di langit yang mendung. Adik dan saya mendapat wajan dengan ukuran lebih kecil sesuai dengan besar kepala kami. Warnanya hijau daun dengan tepian bergaris berwarna emas. Bagus sekali! Saya sangat bangga memiliki wajan sebagus itu dan tidak pernah lupa membawanya ke sekolah. Diam-diam dalam hati saya mengagumi kakakkakak yang tanpa mengomel menerima saja wajan yang berwarna abu-abu suram itu. 6