Focus
|1
PANCASILA : LAHIR, HIDUP DAN BERTAHAN
Di tengah era globalisasi serta menguatnya paham sekulerisme, individualisme, dan liberalisme, eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mulai dilupakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Pada saat seperti ini, sebagian masyarakat Indonesia telah terjebak dilematik sistem, antara kapitalis dan liberlisme yang justru mendekatkan ke arah disintegrasi terlebih dalam mempersepsikan kebebasan demokrasi dan reformasi. Di usianya yang ke-65, Pancasila justru tidak semakin dihayati, tetapi terasa luntur dan hanya menjadi slogan belaka. Perlu ditandaskan, bahwa filosofi hidup tersebut perlu lebih diintensifkan kepada generasi muda. Seminar Nasional Pancasila yang diselenggarakan oleh UNNES untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 menjadi lebih menarik, bukan hanya menampilkan pandangan tokoh-tokoh pendidikan terkemuka dari UNY, UNNES, Ikatan Alumni UNNES serta tak kalah menariknya pendapat dari Gubernur Jawa Tengah, H. Bibit Waluyo. Gubernur mengatakan bahwa Pancasila, bersama-sama dengan UUD 1945, Sang Merah Putih dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar. Sebagai orang yang kenyang dengan pendidikan militer, Gubernur yakin nasionalisme perlu lebih diintensifkan, utamanya di kalangan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Krisisi multidimensi yang terdiri dari 4 (empat) krisis, yaitu krisis jatidiri, krisis ideologi bangsa, krisis karakter dan krisis kepercayaan justru dapat menghambat pembangunan. Solusi tepatnya adalah reaktualisasi Pancasila, sebab sebagai falsafah bangsa, pancasila merupakan konsep yang terbuka dan visioner sesuai dengan perkembangan jaman. Menambahkan pidato kunci yang disampaikan oleh Gubernur Jateng tersebut, Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof.
Focus
|2
Wuryadi, mengatakan, Pancasila dan nasionalisme adalah dua hal yang harus sejalan dan tidak boleh berdiri sendiri. "Pancasila tidak dapat hidup dan diimplementasikan
dalam
kehidupan
tanpa
nasionalisme,
nasionalisme bangsa Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa
sebaliknya landasan
Pancasila. Menurutnya, masih ada pihak yang memahami Pancasila secara berbeda terkait dengan pidato Soekarno (Bung Karno) pada 1 Juni 1945 dengan hasil rumusan Panitia Sembilan pada 18 Agustus 1945. “Secara sekilas istilah dan rumusan Pancasila berdasarkan pidato Bung Karno dan rumusan Panitia Sembilan memang berbeda,” kata Wuryadi yang juga Guru Besar Emeritus Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) UNY. Ia mengatakan, Soekarno pada pidato 1 Juni 1945 menyebutkan rumusan mengenai Pancasila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/ Perikemanusiaan, Mufakat/Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rumusan Panitia Sembilan menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang dirumuskan juga berdasarkan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan perwakilan dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Marsma TNI (Purn) A. Gani Yusuf dan pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang, Prof. A.T. Sugito justru menyesalkan, saat ini masih banyak masyarakat yang mencoba mengutak-atik Pancasila dan UUD 1945 tanpa memikirkan akibat dari setiap perubahan terhadap penjabarannya. Hal tersebut diperparah dengan belum adanya kesamaan persepsi atau penafsiran yang jelas tentang pemahaman hakikat falsafaf Pancasila, sehingga Pancasila sering dikhawatirkan sama dengan agama. Pancasila bukan merupakan agama tetapi suatu falsafah yang diyakini dan disepakati sebagai suatu
Focus
|3
kebenaran yang mengandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran agama. Ia mengatakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu merupakan jati diri bangsa Indonesia yang sebenarnya dan harus dipertahankan dari gempuran nilai-nilai budaya asing. Dikesempatan lain, Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Sudijono Sastroatmodjo, Berbagai kejadian kekerasan dan pertikaian, baik antarsuku, antar kelompok, demonstrasi secara berlebihan yang terjadi akhir-akhir ini semakin menunjukkan terkikis dan lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila. Hal tersebut mengindikasikan melemahnya karakter, menipisnya identitas dan jati diri bangsa, rapuhnya kepercayaan yang terakumulasi dalam suatu bentuk krisis kehidupan. Pancasila
yang
telah
dijadikan
sebagai
falsafah,
dasar,
ideolog,
pandangan hidup bangsa Indonesia, mengandung konsekuensi logis bahwa kita sebagai pendukungnya berkewajiban mengamankan, melestarikan, dan melaksanakan nilai-nilai moral Pancasila itu dalam kehidupan, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan kehidupan seperti itu sebagai tanggung jawab kita agar apa yang telah disepakati itu benar-benar dapat terealisir dalam kehidupan. Sebagai dasar negara, dan karakter bangsa, tentunya Pancasila harus dipahami
secara
lestari,
apalagi
dalam
konteks
pembangunan,
maka
keberadaannya perlu perlu menjadi sandaran dalam sikap dan perilaku bangsa Indonesia agar pembangunan nasional yang telah dijabarkan dalam kebijakan pemerintah tidak mengalami degradasi yang dapat merugikan. Subyektivikasi Pancasila menggarisbawahi bahwa sebagai warga bangsa kita punya kewajiban untuk loyal dan taat pada institusi Negara, termasuk taat dan loyal pada dasar, ideologi dan falsafah Negara Pancasila yang menjadi moral bangsa Indonesia. Moral Pancasila berarti keseluruhan asas dan nilai yang terkandung dalam diri Pancasila yaitu lima sila bulat utuh sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yang oleh bangsa Indonesia
Focus
|4
dipersepsi sebagai nilai moral yang berkualitas baik, berguna, bermanfaat bagi kehidupan bersama. Moral Pancasila yang secara bulat utuh merujuk pada lima sila, namun oleh Notonagoro kelima nilai moral itu disederhanakan menjadi empat tabiat saleh atau empat tabiat moral yaitu : (1) Tabiat saleh kebijaksanaan; (2) Tabiat saleh kesederhanaan; (3) Tabiat saleh keteguhan; (4) Tabiat saleh keadilan (Notonagoro, 1975 : 91). Empat tabiat saleh ini substansinya sejalan dengan lima sila bulat utuh, dengan demikian empat tabiat saleh itu yang menjadi pedoman moral bangsa Indonesia. Konsekuensinya,
setiap
individu
rakyat
Indonesia
termasuk
penyelenggara Negara agar memperoleh predikat penilaian bermoral, ia harus mampu mengerti, memahami, dilanjutkan mensikapi dan melaksanakan empat tabiat saleh atau empat pedoman moral tersebut dalam kehidupan. Jika hal ini dilakukan secara benar dan konsisten maka perbuatan yang mereka lakukan itu dimaknai sebagai “subyetivikasi obyektif”, suatu perbuatan yang secara praksis fungsional mendatangkan manfaat bagi kehidupan bersama. Hal seperti inilah yang mestinya menjadi perhatian kita semua, lebih lagi bagi para
penyelenggara
Negara
sebagai
representasi
dari
Negara.
Dengan
melaksanakan empat pedoman moral termaksud, maka para penyelenggara Negara akan menjadi pelindung, pengayom, pelayan yang baik bagi rakyat yang
dipimpin.
Ia
lebih
mengutamakan
kepentingan
umum
di
atas
kepentingan pribadi atau kelompok, yang oleh Aristoteles diberi sebutan manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk berpolitik, makhluk bermasyarakat yang mengedepankan kebersamaan, tidak merugikan pihak lain tetapi menguntungkan semua pihak, dan oleh Immanuel Kant dimaknai perbuatan moral “imperatif katagoris”. Agar pembangunan nasional dalam rangka memperbaiki, meningkatkan kondisi kehidupan bangsa (bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pendidikan, agama, dan lain sebagainya) dari kurang atau belum baik menjadi baik atau lebih baik, perlu dukungan dari kita semua, dukungan dari setiap individu rakyat Indonesia dan para penyelenggara Negara. Oleh karena itu
Focus
|5
agar pendukung pembangunan (setiap individu rakyat Indonesia dan para penyelenggara Negara) dapat melaksanakan kewajibannya, bekerja dengan baik dan benar, mereka perlu mendapat pencerahan tentang pentingnya pemahaman dan penanaman nilai moral empat tabiat saleh tersebut dalam diri mereka. Hal ini dirasa sangat penting karena dengan berhasilnya penanaman nilai moral dalam diri mereka, maka mereka akan mampu mengaktualisasi nilai moral tersebut dalam sikap dan perilaku yang sejalan dengan makna substansi “subyektivikasi obyektif”. Terutama bagi para penyelenggara Negara, sifat subyektivikasi obyektif sangat relevan dan penting untuk dipahami dan dilaksanakan Konsekuensi yang diakibatkan oleh perilaku demikian itu, maka pembangunan nasional sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945 akan membuahkan hasil yang bermanfaat.
(Galih*)
Focus
|6
Diskusi Rabuan FIS Unnes pada Rabu 12 Mei 2010 bertempat di Gedung C7 Lantai 3 FIS Unnes dengan tema “Subyektivikasi Moral Pancasila Dalam Pembangunan Nasional” menampilkan Guru Besar Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS Prof.Dr. Suyahmo, M.Si. sebagai Pembicara. Acara ini dihadiri oleh dosen dan mahasiswa yang mayoritas dari lingkungan FIS Unnes. Dalam Diskusi Rabuan ini, Prof. Suyahmo menyampaikan uraian terkait dengan nilai-nilai moral Pancasila yang apabila dapat dihayati, dipahami dan diaplikasikan secara baik oleh warga Negara Indonesia, khususnya para pemimpin dan penyelenggara Negara, maka pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 akan dapat mencapai hasil yang maksimal. Berikut ini uraian yang disampaikan oleh Prof.Suyahmo dalam Diskusi Rabuan FIS Unnes, 12 Mei 2010
Rektor: Nilai Kebersamaan Sudah Mulai Terkikis Rabu, 26 Mei 2010 20:13:07 WIB | Oleh : Zuhdiar Laeis