Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Oleh H. Hayono Isman, S.IP
Disampaikan pada Bimbingan Teknis Pendidikan Karakter Bangsa, Yayasan Bhakti Tri Dharma KOSGORO, 3 Oktober 2013, Sawangan Depok
S
Pengantar S
Daniel Bell dalam karyanya The End of Ideology menyampaikan tesis tentang kematian ideologi-ideologi besar pada tahun 1960 akibat gelombang demokratisasi (democratic wave) dan globalisasi (liberalisasi).
S
Demikian pula Pancasila, sebagai basis ideologis, common platform, dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia, juga mengalami degradasi pemaknaan akibat gelombang demokratisasi dan globalisasi.
S
Pemaknaan Pancasila mulai terdegradasi. Jejak pendapat Kompas menyimpulkan 52 persen responden yang mampu menyebut semua sila Pancasila secara benar. Hal ini sebuah fakta ‘kecil’ yang memperlihatkan bahwa memori kolektif masyarakat tentang dasar negara ini sudah semakin menghawatirkan. Karena itu, upaya untuk menggali kembali nilai-nilai Pancasila bersifat sangat mendesak. Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan, karena itu, lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa mendatang
Pancasila Pasca Reformasi
S Pasca reformasi 1998, Pancasila diwacanakan kembali dengan
pertanyaan: apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi? S Mengenai pertanyaan ini, Bung Karno sendiri telah menjawabnya
pada 30 September 1960, dihadapan Sidang Umum PBB menyampaikan pidato berjudul ”To Build the World Anew”. Soekarno mengajukan Pancasila sebagai tandingan terhadap dua ideologi dunia yang ditetapkan Bertrand Russell, liberalisme dan komunisme. Russell mengomentari pidato Bung Karno itu dalam suatu harian di Inggris dengan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Soekarno sebagai “The Great Thinker in the East”.
Pancasila Pasca Reformasi…Lanjutan S
Di Indonesia sendiri, beberapa pakar masih berbeda pandangan mengenai hal ini. Azyumardi Azra menghendaki adanya upaya mengembalikan Pancasila sebagai ideologi yang bersifat terbuka, dimana Pancasila harus ditempakan pada wacana publik (public discourse). Sementara itu, Yudi Latief mendukung pandangan Soekarno, sehingga menekankan agar “Kembali ke Pancasila”, yaitu Pancasila sebagai leitstar (bintang panutan arah), Weltanschauung (system nilai), falsafah, atau ideologi guna mengatasi berbagai persoalan multidimensi yang dihadapi bangsa ini.
S
Kedua alur pemikiran yang saling bertentangan di atas, pada dasarnya, mengajukan hal yang sama: cara pandang yang baru dan “benar” terhadap Pancasila. Selain itu, keduanya bertolak dari premis yang sama, yakni evaluasi terhadap interpretasi dan penyelewengan pelaksanaan Pancasila pada setiap periode kepemimpinan di masa-masa sebelumnya.
Memahami Pancasila sebagai Ideologi
S Pancasila memiliki hakikat sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan tujuan nasional (negara). S Hakikat Pancasila sebagai pandangan hidup
mencirikannya sebagai norma moral bangsa Indonesia; hakikat Pancasila sebagai dasar negara termanifestasi pada norma hukum negara Indonesia; dan hakikat sebagai tujuan nasional/negara mengkarakterkannya sebagai norma politik (kebijakan) pembangunan nasional Indonesia.
Pancasila sebagai Sistem Nilai (Weltanschauung) S Pancasila sebagai ideologi adalah ideologi dalam arti
netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. S Dengan kata lain, ideologi dalam arti netral tersebut
ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa, seperti halnya Pancasila sebagai ideologi
Negara Republik Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila Sebagai pandangan Hidup S Pancasila merupakan weltanschauung (pandangan
hidup) serta nilai atau cita negara (staatsidee) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms yang otentik dan khas Indonesia.
S Pancasila bukan konsepsi yang diadopsi dari
pengalaman sejarah negara-negara lain, melainkan diambil dari pengalaman historis dalam sejarah Indonesia (Indonesian historical experiences). Jadi, setiap sila dalam Pancasila memiliki akar historis atau alasan mengada (reason of being) yang kuat. Selain itu, setiap sila tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sila Pertama
S Ketuhanan (Religiusitas)
S “Ketuhanan Yang Maha Esa “ S
Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya.
Sila Kedua
S
Kemanusiaan (Moralitas)
S
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”
S
Pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kesadaran inilah yang menjadi semangat membangun kehidupan masyarakat dan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih, serta dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap hidup yang harmoni penuh toleransi dan damai.
Sila Ketiga
S Persatuan (Kebangsaan) Indonesia S Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa
bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka
bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke.
Sila Keempat S “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan” S Permusyawaratan dan Perwakilan S Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup
berdampingan dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri,
Sila Kelima
S “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
S Keadilan Sosial S Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma
berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa.
Kesimpulan
S Bahwa pancasila mempunyai arti sangat penting
bagi kehidupan masyarakat bangsa indonesia, pancasila mempunyai nilai-nilai positif bagi kehidupan kita. S Disamping itu banyak langkah - langkah yang harus
kita ambil untuk menjalankan atau menerapkan pancasila dalam kehidupan kita.