Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
MENUJU INDEKS BIAYA KONSTRUKSI RUMAH SEJAHTERA MURAH (IBK-RSM) Andreas Wibowo1, Arief Sabaruddin2, Edi Nur3, Rian Wulan Desriani4 1
Peneliti, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, E-mail korespondensi:
[email protected]
ABSTRAK Salah satu isu program pembangunan rumah nasional bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah menentukan indeks biaya konstruksi (IBK) yang berlaku untuk suatu daerah atau waktu tertentu. Sejauh ini belum ada IBK yang dipublikasikan, baik oleh instansi Pemerintah atau lembaga lainnya. Tulisan ini menyajikan diskursus penyusunan IBK spesifik untuk rumah sejahtera murah (IBK-RSM) dan alternatif metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan regresi. Analisis sensitivitas memperlihatkan dari sekian banyak komponen biaya konstruksi, enam item biaya mempunyai pengaruh terbesar terhadap variasi biaya konstruksi secara keseluruhan: semen, besi, kayu kelas II, pasir pasang, upah pekerja, dan upah tukang. Menggunakan salah satu referensi biaya di lebih dari 20 ibu kota provinsi, model IBK-RSM ini diaplikasikan sebagai ilustrasi. Beberapa isu terkait dengan upaya mendefinisikan IBK-RSM, termasuk standarisasi terminologi harga satuan yang berlaku di daerah dan keterbatasan studi didiskusikan dalam tulisan ini. Kata kunci: rumah murah, indeks biaya konstruksi, simulasi, sensitivitas, regresi
1. PENDAHULUAN Salah satu isu pembangunan perumahan di Indonesia adalah backlog yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencapai 13,6 juta unit rumah untuk tahun 2012. Angka ini ditengarai akan terus meningkat setiap tahun bila laju kenaikan permintaan tidak diimbangi dengan laju pasokan yang signifikan. Di satu sisi kebutuhan perumahan demikian besar; di sisi lain, masih banyak kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki daya beli terbatas. Pemerintah telah mengeluarkan program pembangunan rumah (sejahtera) murah (RSM) bagi MBR. Terlepas dari pro dan kontra program tersebut, isu harga rumah perlu dieksaminasi lebih lanjut. Kebijakan yang menetapkan harga rumah yang seragam sangat tidak direkomendasikan mengingat komponen harga rumah berbeda secara geografis. Kebijakan harga yang tidak tepat dapat berdampak negatif bagi pasokan dan permintaan rumah sederhana yang pada gilirannya berkonsekuensi pada kesinambungan program itu sendiri. Penetapan harga bisa didasarkan pada indeks harga konsumen yang diterbitkan BPS tiap bulannya. Namun, indeks ini tidak merefleksikan biaya konstruksi sebenarnya karena merupakan agregasi kelompok barang konsumsi yang sebagian besar tidak berkaitan dengan proses konstruksi. Untuk itu perlu disusun sebuah indeks biaya yang lebih spesifik yaitu indeks biaya konstruksi (IBK). Secara prinsip, IBK seharusnya merefleksikan perbandingan perubahan harga dari waktu ke waktu suatu produk barang atau jasa yang sifatnya tetap. [1] Indeks ini sangat bermanfaat bagi kepentingan penyesuaian atau perkiraan biaya aktivitas konstruksi di masa mendatang.[2,3] Tulisan ini mempunyai dua motivasi yaitu mengusulkan disusunnya suatu IBK spesifik untuk rumah sejahtera murah (IBK-RSM) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas seperti zonasi harga atau
ISBN 978-979-99327-8-5
I-1
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
penetapan perubahan harga rumah dari waktu ke waktu dan menawarkan alternatif metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan regresi yang menjadi fokus dalam tulisan ini.
2. METODOLOGI Struktur biaya sebuah proyek konstruksi merupakan suatu hal yang kompleks, bahkan untuk rumah sederhana sekalipun. Selain biaya tidak langsung, biaya langsung terdiri dari puluhan atau ratusan item biaya yang berasal dari upah, material, dan peralatan. Bila seluruh item biaya dimasukkan sebagai komponen IBK-RSM, penyusunan indeks tentunya menjadi proses yang membutuhkan biaya dan waktu yang besar karena melibatkan survei harga untuk waktu dan lokasi yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan adanya seleksi item-item biaya yang berpengaruh secara signifikan terhadap biaya total dan perhatian dapat difokuskan pada item-item biaya ini. Pada studi ini digunakan satu desain rumah dengan luas 36 m2 dengan asumsi variasi desain rumah sederhana relatif terbatas untuk perhitungan volume pekerjaan (Gambar 1). Spesifikasi RSM yang digunakan dalam model adalah fondasi batu kali, dinding dengan pasangan conblock tanpa plesteran, lantai beton tumbuk, pekerjaan kusen kayu kelas II, plafon eternit dengan rangka kayu, dan atap asbes gelombang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku seperti Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No. 403/KPTS/M/2002 dan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 25 tahun 2011. Adapun harga satuan pekerjaan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang tata cara perhitungan harga satuan untuk bangunan gedung dan perumahan yang relevan seperti SNI 2835:2008, SNI 2836:2008, dan SNI 2837:2008. Dengan demikian konsep rumah murah dalam tulisan ini tidak merujuk pada desain rumah dengan kualitas rendah melainkan pada konsep yang tetap mengacu pada standar teknis tetapi dengan beberapa item finising yang dihilangkan untuk mereduksi biaya. Pengaruh suatu item biaya ditentukan dari seberapa sensitif biaya total terhadap variabilitas item biaya tersebut.Untuk mendapatkan sensitivitas semua item biaya digunakan pendekatan Simulasi Monte Carlo (SMC). Piranti lunak yang digunakan adalah @Risk versi 5.5.[4] Pendekatan simulasi dilakukan dengan alasan kepraktisan semata di mana setiap item biaya yaitu upah dan material dianggap sebagai variabel acak dan diasumsikan mengikuti distribusi normal dengan skenario koefisien variasi (coefficient of variation) 10%, 20%, dan 30%. Biaya tidak langsung diasumsikan persentase biaya langsung sehingga biaya total merupakan fungsi biaya langsung. Berdasarkan analisis sensitivitas output SMC dapat diketahui item-item biaya yang paling berpengaruh terhadap biaya total. Pengaruh ini dinilai dari dua metrik yaitu koefisien korelasi Spearman dan koefisien regresi standar yang produknya, berdasarkan Metode Pratt, menghasilkan koefisien determinasi (R2) model. [5,6] R2 1r1 2 r2
n rn
(1)
dengan i=koefisien regresi standar item i, ri=koefisien korelasi Spearman item i dan biaya langsung total. Nilai R2 digunakan untuk menetapkan jumlah item biaya yang akan menjadi komponen IBK. Sebagai konsiderannya adalah jumlah item diupayakan minimal namun menghasilkan R2 yang masih dapat diterima. Penggunaan jumlah item
ISBN 978-979-99327-8-5
I-2
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang minimal mempunyai dua manfaat. Pertama, jumlah item yang besar akan meningkatkan time lag antara verifikasi harga dan perhitungan indeks, dan kedua, indeks dengan jumlah elemen yang lebih lebih sedikit justru lebih sensitif terhadap perubahan harga ketimbang indeks dengan komponen yang banyak.[7]
TAMPAK DEPAN
TAMPAK SAMPING KIRI
1.50
TAMPAK SAMPING KANAN
SKALA 1 : 100
SKALA 1 : 100
1.20
SKALA 1 : 100
4.80
6 1.50
KM / WC 3.00
A
5 4 TAMPAK BELAKANG
3.00
RUANG INTI
SKALA 1 : 100
B
3
B 3.00
20
A
0.00
+2.40
7.50
D
2
DENAH SKALA 1 : 100
RUANG INTI
SLOOF BETON 10/20
- 0.80
3.00
3.00
3
0.00 - 0.20
Pasir Urug Pond. BT. Kali Setempat
- 0.80
3.00
C
0.00 - 0.20
Pasir Urug Pond. BT. Kali Setempat
3.00
3.00
0.00
RUANG INTI
RUANG INTI
1 B
+ 2.40
+ 2.40
+ 2.40 3.00
HALAMAN
A
+ 4.10
+ 4.10
2
TERAS
1.50
KUDA-KUDA KAYU 5/10 GORDING 5/7 IKATAN ANGIN 5/7
KUDA-KUDA KAYU 5/10 SENG GELOMBANG GORDING 5/7
RUANG INTI
4
B
POTONGAN A - A
POTONGAN B - B
SKALA 1 : 100
SKALA 1 : 100
3.00
C
D
Gambar 1: Desain Rumah (Sejahtera) Murah Setelah terpilih, data output hasil simulasi item-item biaya diregresikan linear terhadap data output biaya total dengan intersep nol (zero-intercept linear regression). Pendekatan ini digunakan untuk memaksimumkan kontribusi item biaya terhadap IBK. Koefisien regresi yang diperoleh menjadi koefisien pengali item biaya dan berdasarkan koefisien-koefisien ini, biaya langsung dapat dihitung sebagai:
C b1 X1 b2 X 2
bm X m
(2)
dengan C=biaya langsung RSM, bi=koefisien regresi item terpilih i, Xi=harga item biaya terpilih i. Untuk menentukan IBK ditentukan lokasi dan tahun basis dengan indeks pada lokasi dan tahun tersebut=100. Dengan demikian,
m IBK k ,t bi X i ,k ,t i 1
m
b X i 1
i
i , K ,T
100
(3)
dengan IBKk,t=IBK pada kota k periode t, Xi,k,t=harga item i pada lokasi k periode t, Xi,K,T=harga item pada lokasi basis K periode basis T. Secara diagramatis, metodologi perhitungan IBK diillustrasikan dalam Gambar 2.
ISBN 978-979-99327-8-5
I-3
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Asumsi Distribusi Item Biaya dan Parameternya
Desain Rumah Sederhana Murah (RSM) Standar
Hitung Volume Pekerjaan
Hitung Analisis Harga Satuan Pekerjaan
Regresi Linear Output Data Simulasi Item Biaya Terseleksi terhadap Biaya Total
Analisis Sensititivitas dan Tentukan Item Biaya yang Paling Berpengaruh
Simulasi Biaya Langsung Total RSM
Ekstrak Koefisien Regresi
Formulasi Indeks Biaya Konstruksi RSM (IBK-RSM)
Susun IBK-RSM
Gambar 2: Metodologi Perhitungan IBK
3. APLIKASI PERHITUNGAN Lokasi dan tahun dasar dalam studi ini dipilih Jakarta dan 2011. Harga upah dan material berasal dari data sekunder Jurnal Harga Satuan Bangunan Konstruksi dan Interior Edisi XXXI tahun 2011-2012. Simulasi dengan asumsi-asumsi yang telah ditetapkan dilakukan dengan iterasi 1000 kali. Dengan berbagai pertimbangan seperti simplifikasi perhitungan, dipilih 6 (enam) item biaya yang mampu menjelaskan 67% variasi biaya langsung RSM. Tidak ada perbedaan berarti terhadap item-item biaya untuk koefisien variasi yang berbeda. Tabel 1 memberikan contoh statistik lebih detil untuk keenam item biaya terseleksi saat koefisien variasi=10%. Tabel 1: Koefisien Regresi dan Korelasi Simulasi, cov=10% Jenis Biaya Upah Upah Material Material Material Material
Uraian Biaya Upah tukang/OH Upah pekerja/OH Semen/kg Kayu kelas II/m3 Besi polos/kg Pasir pasang/m3
Koefisien Regresi () 0,547 0,519 0,291 0,181 0,170 0,103
Koefisien Korelasi (r) 0,471 0,485 0,315 0,181 0,157 0,101
Produk .r 0,26 0,25 0,09 0,03 0,03 0,01
Kumulatif .r 0,26 0,51 0,60 0,63 0,66 0,67
Tabel 2 memperlihatkan koefisien regresi linear dengan biaya langsung dan enam item biaya sebagai variabel independen berdasarkan 1000 data iterasi SMC untuk masing-masing skenario koefisien variasi. Bila setiap koefisien regresi dikalikan dengan harga satuannya masing-masing diperoleh kontribusi item biaya terhadap IBKRSM di lokasi dan tahun basis (Gambar 3). Tidak ada perbedaan substansial, hanya 1 sampai 2%, yang bisa diamati dari koefisien variasi yang berbeda. Dengan hasil ini disimpulkan IBK-RSM cukup didasarkan pada koefisien regresi dari salah satu skenario koefisien variasi saja yang dalam kajian ini diambil 10%. Secara proporsi,
ISBN 978-979-99327-8-5
I-4
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
komponen penyusun IBK-RSM menurut harga di lokasi dan tahun basis adalah upah pekerja (26%), besi polos (22%), upah tukang (19%), kayu kelas II (13%), pasir pasang (10%), dan semen (9%). Tabel 2: Koefisien Nonstandar Regresi Linear dengan Intersep Nol Item Biaya
Koefisien Variasi (%) 10 20 25,31 26,03 5.421,86 5.362,18 2,42 2,34 1.718,07 1.616,20 134,35 135,20 206,62 213,73
Pasir pasang/m3 Semen/kg Kayu kelas II/m3 Besi polos /kg Upah tukang/OH Upah pekerja/OH
100% 90%
Upah pekerja 26%
27%
26%
Upah tukang Besi polos
80%
Kayu kelas II
70% 60%
30 27,38 5.959,63 2,39 1.605,58 124,46 201,16
20%
20%
19%
Semen Pasir pasang
50% 40%
23%
22%
22%
13%
13%
13%
9%
9%
10%
9%
9%
10%
10%
20%
30%
30% 20% 10% 0%
Koefisien Variasi
Gambar 3: Kontribusi Item Biaya terhadap IBK-RSM di Lokasi dan Tahun Basis Karena indeks sifatnya rasio, koefisien regresi dapat dibagi dengan bilangan apa pun tanpa mengubah besaran indeksnya yang dalam hal ini diambil 36 yaitu luas bangunan RSM. Hasilnya akhirnya, IBK-RSM tersusun dari 0,70m3 pasir pasang; 150,61 kg semen; 0,07m3 kayu kelas II; 47,72 kg besi polos; 3,73 OH tukang (tenaga kerja terampil); dan 5,74 OH pekerja. Bila dibandingkan dengan construction cost index (CCI) dan building cost index (BCI) yang dipublikasikan secara periodik oleh Engineering News Record (ENR) sejak tahun 1908/1915, misal, komponen penyusun indeks berbeda. Penyusun CCI adalah 200 jam pekerja, 25 cwt (1 cwt=100 pon) baja profil, 1,128 ton semen, 1.088 board-ft (1 board-ft=0,002360 m3) kayu 24 sementara penyusun BCI adalah sama kecuali untuk komponen upah yaitu 68,28 jam tukang.[8] Tabel 3 memperlihatkan beberapa statistik harga item biaya upah/material penyusun IBK-RSM tahun 2011 berasal dari 22 ibu kota provinsi atau lokasi terdekat, bila data tidak tersedia. Sebagaimana tersaji, harga sangat beragam antara satu lokasi dan lokasi lainnya sehingga menjastifikasi perlunya IBK-RSM dibangun. Menggunakan referensi harga yang tersedia, IBK-RSM dapat dengan mudah dihitung menggunakan Persamaan (3). Tabel 4 memperlihatkan agregasi IBK-RSM beberapa wilayah di Indonesia. Gambar 4 menyajikan sebaran IBK-RSM di 22 ibu kota provinsi
ISBN 978-979-99327-8-5
I-5
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
sampel. Standar deviasi terhitung adalah 11 di mana seluruh nilai indeks tidak homogen. Tabel 3: Statistik Harga Item Biaya Upah/Material Harga 2011 (Rp.) Item Biaya Rata-rata Min Max Pasir pasang/m3 134.444 60.000 225.000 Semen/kg 1.217 1.000 1.507 Kayu kelas II/m3 3.438.323 2.500.000 5.007.000 Besi polos /kg 11.590 19.260 6.356 Upah tukang/OH 63.064 42.500 98.000 Upah pekerja/OH 48.214 32.500 84.000 Sumber: Jurnal Harga Satuan Bangunan Konstruksi dan Interior Edisi XXXI Tahun 2011-2012, data diolah
Tabel 4: Statistik IBK-RSM Tahun 2011 Wilayah
Rata-rata
IBK-RSM Tahun 2011a Min Max
Jawa
81
68
100
Sumatera Bali, NTB, NTT
91 89
76 74
103 109
Kalimantanb
95
89
101
82
77
88
68
109
Sulawesi
c d
87 Nasional Cat: a) Data berasal harga upah/material dari ibu kota provinsi b) Hanya meliputi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan c) Hanya meliputi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah d) Data sekunder berasal dari survei di 22 ibu kota provinsi
Gambar 4: IBK-RSM 2011 di 22 Ibu Kota Provinsi Untuk memperoleh laju inflasi harga RSM di suatu lokasi dan tahun tertentu, Persamaan (3) dengan mudah diadaptasi sebagai berikut: IBK k ,t f k ,t ,t 1 1 (5) IBK k ,t 1
ISBN 978-979-99327-8-5
I-6
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dengan fk,t,t-1=laju inflasi harga RSM di lokasi k dari tahun t – 1 ke tahun t. Tantangan ke Depan Penyusunan IBK-RSM memberikan banyak manfaat seperti memberikan informasi tentang ekskalasi harga RSM di beberapa wilayah di Indonesia sehingga Pemerintah bisa mengambil kebijakan yang pas untuk akselerasi pembangunan RSM. Namun demikian ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bila IBK-RSM memang akan disusun dan dipublikasikan. Implementasi peraturan tentang spesifikasi teknis RSM dalam praktik yang masih menjadi isu besar bagi pembangunan RSM di Indonesia. Pada dasarnya konstruksi RSM harus tetap memenuhi spesifikasi teknis rumah sesuai dengan SNI guna memberikan jaminan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penghuninya. Tantangan terbesarnya tentu terletak pada aspek biaya konstruksi mengingat RSM disediakan bagi MBR yang memiliki daya beli sangat terbatas. Label ‘murah’ tidak seharusnya berkonotasi dengan kualitas substandar, sebagaimana telah disinggung sebelummnya. Selain dukungan fasilitas fiskal, upaya reduksi biaya dapat diupayakan melalui eliminasi sejumlah komponen nonstruktural, sebagaimana diterapkan dalam kajian ini. Persoalan kedua menyangkut perbedaan harga. Variasi harga merupakan sesuatu yang sifatnya alamiah namun perbedaan ini setidaknya mampu merefleksikan perbedaan spesifikasi atau kompetensi. Sampai saat ini klasifikasi dan terminologi pekerja terampil dan nonterampil masih kabur sementara kualitas besi tulangan yang merupakan salah satu komponen penting IBK masih banyak yang nonstandar di pasaran. Beragamnya spesifikasi dan kompetensi material dan pekerja konstruksi menyebabkan perhitungan indeks kurang akurat disebabkan komparasi yang tidak setara. Pada konteks ini, definisi spesifikasi dan kompetensi item biaya yang akan disurvei yang lebih spesifik sangat dibutuhkan. Pun, hal-hal teknisnya lainnya seperti metode sampling dan periode survei perlu didesain dengan matang bila data primer yang digunakan. Keterbatasan Studi Studi ini memiliki sejumlah keterbatasan yang membuat hasil kajian ini perlu digunakan secara berhati-hati. Sejauh ini kajian hanya mengandalkan data sekunder yang berasal dari satu referensi yang perlu divalidasi, terutama bila dikaitkan dengan berbagai tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Data primer berdasarkan metode sampling yang andal sangat direkomendasikan untuk penyusunan indeks yang lebih akurat. Koefisien dalam perhitungan indeks didasarkan pada asumsi item biaya terdistribusi normal dengan tiga skenario koefisien variasi. Meski koefisien variasi tidak menyebabkan perubahan berarti bagi pemilihan item biaya penyusun IBK-RSM, asumsi normalitas perlu diverifikasi dalam kajian mendatang. Keterbatasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi konstruksi yang digunakan di mana dalam kajian ini masih konvensional berbasis semen. Bila bahan bangunan lokal dengan perlakuan teknologi tertentu mampu memenuhi persyaratan minimum dengan biaya yang tentunya diharapkan lebih ekonomis digunakan, perhitungan IBK-RSM dengan sendirinya perlu disesuaikan. Metodologi perhitungan IBK-RSM dalam tulisan ini hanya satu dari sekian banyak alternatif yang bisa dipertimbangkan. Dengan sejumlah keterbatasan yang ada,
ISBN 978-979-99327-8-5
I-7
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
tulisan ini meninggalkan sejumlah isu dan tantangan yang menarik untuk dikaji dalam studi lanjutan.
4. KESIMPULAN Penyusunan IBK mempunyai peran strategis dalam program pembangunan RSM bagi MBR. Melalui IBK Pemerintah dapat menetapkan zonasi dan estimasi harga RSM untuk kurun waktu berbeda secara lebih akurat untuk pengambilan kebijakan. Tulisan ini menawarkan dua hal. Pertama, diskursus penyusunan IBK-RSM dan, kedua, alternatif metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan regresi. Melalui analisis sensitivitas diperoleh enam item biaya penyusun IBK-RSM yaitu harga pasir pasang, semen, kayu kelas II, besi polos, upah tukang, dan pekerja. Simulasi memperlihatkan keenam item biaya tersebut mampu menjelaskan 67% variasi biaya langsung RSM. Menggunakan daftar harga dari satu jurnal referensi, IBK-RSM dapat dihitung. Hasil perhitungan memperlihatkan sebaran indeks yang luas yang mengkonfirmasi argumentasi bahwa penetapan harga RSM tidak dapat distandarkan yang berlaku generik secara nasional. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam perhitungan dan pemberlakuan IBK-RSM, termasuk isu implementasi spesifikasi teknis RSM dan variasi spesifikasi dan kompetensi komponen penyusun IBK-RSM. Dengan segala keterbatasan yang ada, kajian yang disampaikan dalam tulisan perlu penelaahan lebih lanjut untuk bisa diaplikasikan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Williams, T P (1994) Predicting Changes in Construction Cost Indexes using Neural Networks. Journal of Construction Engineering and Management, 120(2), 306-320. Hwang, S (2009) Dynamic Regression Models for Prediction of Construction Costs. Journal of Construction Engineering and Management, 135(5), 360-375. Brown, J A and Hajdaj, E (2001) Government Computerized Cost Index. AACE International Transaction, EST.05.1-EST.05.8. Palisade Corporation (2009) Guide to Using @Risk: Risk Analysis and Simulation Add-in for Microsoft Excel. N.Y: Palisade Corporation. Bring, J (1996) A Geometry Approach to Compare Variables in a Regression Model. The American Statistician, 50(1), 57-62. Pratt, J W (1987) Dividing the Indivisible: Using Simple Symmetry to Partition Variance Explained. Proceeding of the 2nd International Tampere Conference, 245-260. Hassanein, A A G and Khalil, B N L (2006) Building Egypt1- A General Indicator Cost Index for the Egyptian Construction Industry. Engineering, Construction, and Architectural Management, 13(5), 463-480. Engineering News Record (2013) Construction Economics
(diakses 17 Januari 2013).
ISBN 978-979-99327-8-5
I-8
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KONSEP WHOLESALE INFRASTRUCTURE BERBASIS MODIFIED SHADOW TOLL UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL NASIONAL Andreas Wibowo1 1
Profesor Riset, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, Jalan Panyawungan Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung, e-mail: [email protected]
ABSTRAK Sebagai sebuah infrastruktur ritel, jalan tol mengandung risiko permintaan yang tinggi yang kerap menjadi kendala masuknya investasi di sektor ini. Tulisan ini menyajikan wacana implementasi konsep infrastruktur borongan (wholesale infrastructure) yang biasa dikenal dalam proyek air minum dan kelistrikan untuk pengusahaan jalan tol. Dengan konsep ini badan usaha jalan tol menjual jasanya kepada penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) berdasarkan usulan desain tarif dan realisasi volume lalulintas. Desain tarif didasarkan pada model tol bayangan (shadow toll) di mana tarif tidak ditetapkan rata melainkan bervariasi mengikuti volume lalulintas. User-pays principles tetap diberlakukan dengan tarif awal dan penyesuaiannya mengikuti tarif yang ditetapkan PJPK. Aplikasi tol bayangan memungkinkan risiko teralokasi secara lebih seimbang antara PJPK dan badan usaha. Skim penjaminan Pemerintah dapat diberlakukan tanpa berkonflik dengan peraturan perundangan yang berlaku. Aplikasi model tol bayangan yang dimodifikasi (modified shadow toll/MST) ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk membuat sektor jalan tol menjadi lebih atraktif bagi calon badan usaha. Beberapa isu yang relevan dengan implementasi MST juga didiskusikan dalam tulisan ini. Kata kunci: jalan tol, infrastuktur borongan, risiko lalulintas, tol bayangan, penjaminan
1. PENDAHULUAN Sejak diperkenalkan tahun 1978, panjang total jalan tol nasional sampai akhir tahun 2012 hanya lebih kurang 742 km atau tumbuh sekitar 21 km per tahun.[1] Laju ini jauh di bawah kebutuhan pembangunan infrastruktur jalan tol yang demikian besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan keterbatasan fiskal yang ada, Pemerintah terus mendorong badan usaha, khususnya badan usaha milik swasta, untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaannya. Namun, upaya ini tidak semudah yang diperkirakan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah investasi infrastruktur khususnya jalan tol memiliki karakteristik yang spesifik yang salah satunya adalah risiko investasi yang tinggi. Selain pembebasan lahan yang masih menjadi masalah klasik, salah satu sumber risiko adalah ketidakpastian volume lalulintas. Di lain pihak, sumber pendapatan utama untuk pemulihan biaya termasuk biaya modal berasal dari realisasi volume saat jalan tol beroperasi. Persoalannya, estimasi untuk jangka pendek sudah demikian sulit, apalagi untuk jangka panjang karena volume lalulintas dipengaruhi banyak faktor.[2] Banyak studi empiris yang mengkonfirmasi adanya bias optimisme (optimism bias) dalam perkiraan volume lalulintas.[3-5] Untuk menarik minat calon badan usaha, beberapa pemerintah berupaya memitigasi risiko bagi badan usaha dengan bersedia menyerap sebagian risiko lalulintas melalui berbagai inovasi kontrak. Least present value for revenue (LPRV), misal, merupakan salah satu inovasi kontrak pengadaan badan usaha yang dilatarbelakangi
ISBN 978-979-99327-8-5
I-9
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
faktor tingginya ketidakpastian volume lalulintas.[2] Penjaminan pendapatan minimum (minimum revenue guarantee) untuk memberikan proteksi bagi badan usaha atas risiko rendahnya volume dari yang dijanjikan sudah jamak diaplikasikan di banyak jalan tol.[6,7] Saat ini jalan tol nasional masih bersifat infrastruktur ritel (retail infrastructure) yang menyediakan jasa dan layanan langsung kepada penggunanya.[8] Tulisan ini menawarkan wacana infrastruktur jalan tol sebagai infrastruktur borongan (wholesale infrastructure) sebagaimana dipraktikkan untuk sektor air minum dan kelistrikan.[9] Model ini dikombinasikan dengan konsep tol bayangan (shadow toll) untuk pembagian risiko yang lebih efisien antara Pemerintah dan badan usaha. Beberapa isu dan kendala terkait dengan implementasi wacana ini juga dibahas secara detil dalam tulisan. Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan alternatif model pengusahaan jalan tol untuk meningkatkan minat calon badan usaha berinvestasi di sektor jalan tol.
2. INFRASTRUKTUR BORONGAN VERSUS RITEL Beberapa sektor infrastruktur mempunyai karakteristik infrastruktur borongan di mana ada satu pembeli tunggal (sole offtaker) dari layanan atau jasa yang dihasilkan. Pada sektor listrik, misal, independent power producers (IPPs) menjual listriknya kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) selalu penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) melalui perjanjian jual beli (offtake agreement) yang di dalamnya mengatur, inter alia, kuantitas output yang diperjualbelikan, struktur tarif, dan skedul pembayarannya. Secara prinsip hal yang sama berlaku pula untuk sektor air minum dengan perusahaan daerah air minum (PDAM) bertindak sebagai PJPK. Dengan adanya perjanjian jual beli, risiko permintaan bertransformasi menjadi risiko wanprestasi oleh PJPK. Gambar 1 memperlihatkan hubungan kontraktual yang terjadi antarpemangku kepentingan dalam sebuah proyek investasi infrastruktur borongan. Ada satu pembeli tunggal (offtaker)–dalam konteks ini adalah PJPK–output yang dihasilkan oleh badan-badan usaha dalam kontrak terpisah yang nantinya akan didistribusikan oleh PJPK kepada konsumen (lihat Gambar 2). Berbeda dengan infrastruktur borongan, pada infrastruktur ritel badan usaha menjual langsung outputnya kepada pengguna sementara antara PJPK dan badan usaha tetap diikat oleh perjanjian kerjasama (lihat Gambar 3). Struktur inilah yang terjadi untuk sektor jalan tol nasional sampai saat ini. Karakteristik yang demikian mengekspos badan usaha langsung ke risiko permintaan; artinya, lebih rendah atau tingginya permintaan dibandingkan ekspektasi sepenuhnya menjadi risiko badan usaha. Tol Bayangan (Shadow Toll) Model tol bayangan sebagai alternatif user-pays principle dikembangkan di Inggris sekitar tahun 1990-an. Model ini diikuti oleh banyak negara, salah satunya Portugal yang secara masif mengaplikasikannya.[10] Dalam model ini tarif tidak dikenakan langsung kepada penggunanya melainkan dibayar oleh pemerintah kepada badan usaha. Tarif tidak diset rata (flat) tetapi bervariasi tergantung pada realisasi permintaan dengan laju kenaikan yang biasanya menurun. Volume lalulintas dibagi menjadi beberapa ban (band), biasanya didesain sampai empat kategori. Pada kategori tertinggi di mana volume lalulintas melebihi ambang tertinggi yang diijinkan umumnya tidak ada pembayaran oleh pemerintah kepada badan usaha dengan tujuan untuk tidak memberikan keuntungan berlebihan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 10
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
bagi badan usaha (lihat Gambar 4). Secara matematis, pendapatan yang diterima badan usaha dengan sistem tol bayangan ini pada suatu periode tertentu adalah:
RA V1T1 untuk 0 V1 VA R R T V untuk V V V B A 1 1 A 2 B R RC RB T2 V2 untuk VB V3 VC RD RC T3V3 untuk V4 VC
(1)
dengan R=pendapatan, RA=pendapatan bila volume lalulintas berada dalam ban A,VA=volume lalulintas realisasi berada dalam ban A, T=selisih volume lalulintas antardua ban, V=selisih volume lalulintas antardua ban. Ditilik dari hubungan antara otoritas dan badan usaha, jalan tol berbasis tol bayangan dapat dikategorikan sebagai infrastruktur borongan karena tidak terjadi transaksi langsung antara badan usaha dan pengguna. Dengan mengasosiasikan tarif dengan volume lalulintas realisasi, model tol bayangan sebenarnya mengandung elemen penjaminan atas risiko lalulintas.[11] Elemen ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat penjaminan langsung atas risiko permintaan sulit diimplementasikan bila merujuk pada peraturan perundangan yang berlaku. Pengguna
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
Kreditor
Kontrak Perencanaan
ok a Pa s
re K ak on tr ak M O
ak
Kontraktor Konstruksi
tr on
on tr
Kontrak Konstruksi
K
Badan Usaha
K
n
Konsultan Perencana
K
Kontrak Jual Beli
di t
Sponsor Proyek
Kontraktor Operasi dan Pemeliharaan (O&M)
Pemasok
Gambar 1: Struktur Infrastuktur Borongan Tipikal
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 11
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Produsen Jasa/Layanan
Distributor
Konsumen
Pengguna
Badan Usaha
Badan Usaha PJPK (Offtaker)
Pengguna
Badan Usaha
Badan Usaha
Pengguna
Gambar 2: Model Single-Buyer (diadaptasi dari Workshop on Economic Cooperation in Central Asia and Asian Development Bank [8])
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
Kreditor
Kontrak Perencanaan
ak on tr K Kontrak Konstruksi
Badan Usaha
Kontraktor Konstruksi
K
on tr
M O
ak
ak
Pa s
tr on
ok a
K
n
Konsultan Perencana
K
Kontrak Kerjasama
re
di t
Sponsor Proyek
Pemasok
Kontraktor Operasi dan Pemeliharaan (O&M)
Pengguna
Gambar 3: Struktur Infrastuktur Ritel Tipikal
Band A
Band B
Band C
Band D
Pendapatan
T3 T4 – T3
T2 T3 – T2
T2 T1
Pendapatan
Level Tarif (T)
T4 T3
T1 T2 – T1
Tarif V1=V2 – V1
V1
V2=V3 – V2
V2
V3=V4 – V3
V3
V4
Volume Lalulintas Realisasi (V)
Gambar 4: Struktur Tarif Model Tol Bayangan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 12
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. MODIFIED SHADOW TOLL Rezim tarif yang berlaku saat ini yaitu price-cap, sesuai Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 (PP 15/2005) tentang Jalan Tol, tidak mengaitkan penyesuaian tarif dengan tinggi rendahnya volume realisasi, kecuali dengan laju inflasi. Di tengah tingginya risiko dan ketidakpastian volume lalulintas, keberadaan penjaminan pendapatan minimum diperlukan dalam banyak kasus. Namun Peraturan Presiden No. 78 tahun 2010 (Perpres 78/2010) secara tegas menyatakan Pemerintah hanya bersedia menjamin risiko yang bersumber dari PJPK dan/atau instansi Pemerintah. Dengan kata lain, skim penjaminan lebih bersifat memproteksi badan usaha hanya dari risiko politis atau kuasikomersial. Penulis berargumentasi bahwa dengan batasan ini, penjaminan pendapatan minimum secara umum sulit diberikan. Karakteristik tol bayangan sebagai infrastruktur borongan untuk memitigasi risiko permintaan dapat dimanfaatkan. Modifikasi diperlukan karena model tol bayangan tidak dikenal di sektor jalan tol nasional. Beberapa perubahan dari model aslinya dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Badan usaha dan PJPK melakukan perjanjian kerjasama di mana badan usaha mempunyai kewajiban untuk merencanakan, membangun, membiayai, dan mengoperasikan jalan tol selama masa konsesi. Kontrak standar Build, Operate, Transfer (BOT) dapat digunakan. Badan usaha dianggap sebagai penyedia layanan yang menjual jasanya kepada PJPK dalam bentuk borongan (wholesale) dengan tarif dan volume yang diatur dalam kontrak. b. Tarif yang dikenakan kepada pengguna berbeda dengan tarif yang diberikan kepada badan usaha. Tarif pengguna berdasarkan tarif awal yang ditetapkan sebelumnya oleh PJPK dengan penyesuaian tarif tetap mengikuti PP 15/2005. Sementara itu tarif yang berlaku bagi badan usaha adalah tarif berdasarkan penawaran yang diajukan badan usaha mengikuti model tol bayangan (lihat Persamaan 1). Dalam konteks ini badan usaha diberi kebebasan menentukan empat ban volume lalulintas dan tarif yang berlaku untuk masing-masing ban. Tentunya dalam menetapkan batas bawah-atas tiap ban dan tarifnya, calon badan usaha mempertimbangkan tarif awal PJPK. c. Badan usaha bertransaksi dengan pengguna atas nama PJPK menggunakan tarif yang ditetapkan PJPK. Hasil pendapatan dapat dimasukkan dalam suatu rekening khusus (escrow account) yang akan digunakan PJPK membayar badan usaha sesuai dengan tarif dan volume realisasi yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama. Di sini PJPK bertindak sebagai kuasi pembeli tunggal (quasi-offtaker) atas layanan yang diberikan badan usaha. d. PJPK dapat mengajukan usulan penjaminan kepada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) selaku satu-satunya badan usaha penjaminan infrastruktur (BUPI). Penjaminan dibutuhkan untuk memberikan proteksi dari risiko wanprestasi pembayaran oleh PJPK. Risiko ini dapat dijamin karena bersumber dari janji PJPK untuk bisa memenuhi kewajiban kontraktualnya, sesuai kriteria Perpres 78/2010. Selanjutnya, Perpres 78/2010 memberikan hak bagi BUPI untuk menagih PJPK atas pembayaran kepada badan usaha bila penjaminan aktif (called). Hak ini dikenal dengan hak regres yang gunanya mencegah aji mumpung (moral hazard) PJPK saat mengajukan usulan penjaminan. Gambar 5 memperlihatkan secara skematik hubungan kontraktual dalam kontrak MST yang diusulkan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 13
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Kontrak Kerjasama Kontrak Perencanaan
ok a Pa s ak on tr
M O
K
ak
Kreditor
Kontraktor Konstruksi
tr on
Pengguna
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII)
K
Pemasok
Kontrak Konstruksi
Badan Usaha
Kontrak Kredit
n
Konsultan Perencana
Kontrak Regres
Pe Ko nj nt am ra in k an
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
Sponsor Proyek
Kontraktor Operasi dan Pemeliharaan (O&M)
Gambar 5: Struktur Infrastruktur Modified Shadow Toll
Ada beberapa keunggulan yang dapat diidentifikasi dengan mengaplikasikan MST ini. Pertama, badan usaha tetap mempunyai insentif untuk mengoperasikan jalan tol secara efisien dan berusaha meningkatkan realisasi volume lalulintas karena hal tersebut akan meningkatkan pendapatan. Kedua, ketidakpastian risiko yang dihadapi badan usaha tereduksi dengan diberlakukannya tol bayangan. Di satu sisi, badan usaha terproteksi dari rendahnya realisasi lalulintas dari prediksi secara substansial; di sisi lain, badan usaha juga dicegah menikmati pendapatan berlebihan saat realisasi lalulintas jauh di atas prediksi. Ketiga, usulan model memungkinkan skim penjaminan sebagaimana diatur Perpres 78/2010 diberlakukan. Dengan fitur keunggulan ini, investasi jalan tol diyakini akan menjadi lebih atraktif bagi calon badan usaha.
4. ISU YANG RELEVAN Untuk MST bisa diaplikasikan ada sejumlah isu yang perlu diperhatikan. Dari perspektif institusional, PJPK akan mengelola portofolio jalan tol yang diselenggarakan menggunakan model ini dan berbagi risiko volume lalulintas dengan badan-badan usaha. Saat ini, PJPK di sektor jalan tol adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), sebuah badan pengatur yang dibentuk sesuai dengan amanat PP 15/2005. Bila ditilik dari tugas dan fungsi yang dibebankan Pemerintah, pengelolaan risiko bukan menjadi domain BPJT sehingga perlu dicari institusi spesifik yang lebih pas. Salah satu kandidat ideal adalah Badan Layanan Umum (BLU) Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT karena pada dasarnya BLU adalah semibadan usaha. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 406/KMK.05/2009, Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU. Instansi ini bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum. Disebut ideal karena BLU tidak dibentuk untuk mengutamakan keuntungan tetapi tetap dituntut menjalankan praktik bisnis yang sehat. Meski demikian fungsi BLU Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT perlu diperluas dari kondisi eksisting. Saat ini di samping mengelola dana bergulir pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol, BLU hanya mengelola hasil pengusahaan jalan tol penugasan Pemerintah. Perluasan fungsi BLU tentunya harus dibarengi dengan peningkatan infrastruktur pendukung BLU, terutama dari sumber daya manusianya. Persoalan lain yang perlu
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 14
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dikaji adalah hubungan antara Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT dan BPJT sendiri selaku regulator jalan tol nasional. Isu kedua adalah pengadaan badan usaha menggunakan model tol bayangan. Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan ada tiga metode pengusahaan jalan tol, biasa disebut metode A, metode B, dan metode C. Pada metode A, parameter lelang adalah tarif terendah, metode B besaran dukungan terendah yang diminta, dan metode C nilai skor berdasarkan kewajaran biaya, rencana konstruksi, tarif awal golongan I, dan masa konsesi. Lelang menggunakan tol bayangan di mana calon badan usaha mengusulkan proposal baik untuk tarif maupun ban volume lalulintas tidak termasuk tiga metode yang disebutkan. Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan – mengingat calon badan usaha diberikan opsi menentukan ban dan tarif untuk masing-masing ban – adalah menggunakan nilai sekarang (present value/PV) pendapatan terendah sebagai parameter lelang. Dalam banyak hal model ini mirip dengan LPRV meski ada sejumlah perbedaan. Berbeda dengan tol bayangan yang memberikan alokasi risiko yang relatif seimbang (balanced), LPRV tidak memberikan proteksi atas risiko pendapatan rendah sementara membatasi pendapatan yang diterima badan usaha yang menyebabkan pendekatan ini tidak banyak diminati oleh badan usaha.[12] PJPK perlu mengumumkan dari awal tingkat diskonto (discount rate) yang akan digunakan untuk mengevaluasi proposal yang diusulkan calon badan usaha. Masalahnya adalah menentukan tingkat diskonto yang tepat untuk mendapatkan nilai PV pendapatan sementara tingkat diskonto sendiri berkaitan dengan risiko. Semakin rendah tingkat diskonto, semakin tinggi risiko yang harus ditanggung.[12] Hal lain adalah struktur pembayaran tol bayangan. Bila badan usaha memberi bobot lebih besar untuk ban bawah yang lebih konservatif, risiko yang ditanggung PJPK lebih besar dibandingkan bila badan usaha membagi relatif rata bobot untuk semua ban.[13] Untuk isu-isu tersebut perlu kajian yang lebih mendalam sebelum MST diaplikasikan.
5. KESIMPULAN Tulisan ini menawarkan sebuah alternatif pengusahaan jalan tol menggunakan konsep infrastrukur borongan untuk jalan tol yang sebenarnya berkarakter sebagai infrastruktur ritel. Pada model yang diusulkan, badan usaha jalan tol memperoleh pendapatan dengan menjual layanannya ke PJPK menggunakan desain tarif dan realisasi volume lalulintas. Desain tarif diusulkan memanfaatkan model tol bayangan di mana tarif tidak diset rata melainkan mengikuti volume lalulintas. Model ini memungkinkan alokasi risiko yang lebih seimbang antara PJPK dan badan usaha. Skim penjaminan pemerintah juga bisa diaplikasikan untuk memberikan proteksi badan usaha atas risiko wanprestasi pembayaran oleh PJPK. Tulisan ini juga mendiskusikan tiga isu tentang perluasan tugas dan fungsi BLU Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT, struktur pembayaran tol bayangan, dan penentuan tingkat diskonto untuk mengevaluasi proposal calon badan usaha untuk MST bisa diaplikasikan di sektor jalan tol nasional.
DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pengatur Jalan Tol (2013) Progres Pembangunan <www.bpjt.net> (diakses 25 Januari 2013)
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 15
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2.
3.
4. 5.
6. 7. 8.
9. 10. 11.
12.
13.
Engel E, Fischer R, and Galetovic A (2001) Least Present Value of Revenue Auctions and Highway Franchising. Journal of Political Economy, 109(5), 9931020. Flyvbjerg B, Holm M K S and Buhl S L (2005) How (In)accurate Are Demand Forecasts in Public Work Projects? Journal of the American Planning Association, 71(2), 131-146. Flyvbjerg B, Holm M K S and Buhl S L (2006) Inacccuracy in Traffic Forecasts. Transport Reviews, 26(1), 1-24. Bain R (2009) Error and Optimism Bias. Transportation, 36, 469-482. Kerf M et al. (1998) Concessions for Infrastructure: A Guide to Their Design and Award. Washington, D.C.: World Bank. Estache A, Juan E and Trujillo L (2007) Public-Private Partnerships in Transport. Washington, D.C.: World Bank. Workshop on Economic Cooperation in Central Asia and Asian Development Bank (1999) Challenges and Opportunities in Transportation. Manila: Asian Development Bank. Lovei L (2000) The Single-Buyer Model. Public Policy for the Private Sector <www.worldbank.org/html/fpd/notes> (diakses 24 Januari 2013). Yescombe E R (2007) Public-Private Partnerships: Principles of Policy and Finance, Oxford: Butterworth-Heinemann. Charoenpornpattana A, Minato T and Nakahama S (2003) Government Supports as Bundle of Real Options in Built-Operate-Transfer (diakses 24 Januari 2013). Vassallo J M (2010) The Role of Discount Rate in Tendering Highway Concessions under the LPRV Approach. Transportation Research Part A: Policy and Practice, 44, 806-814. Reddel P (2004) Payment Mechanisms Issue Paper <wwwhttp://www.ppiaf.org/sites/ppiaf.org/files/documents/toolkits/highwaystoolk it/6/bibliography/pdf/payment_mechanisms.pdf> (diakses 25 Januari 2013).
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 16
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ANALISIS RISIKO PADA PELAKSANAAN PROYEK FLY-OVER PASAR KEMBANG SURABAYA Cahyono Bintang Nurcahyo1, M. Arif Rohman2 Bernadus Bayu Baskoro3 1,2,3
Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5939925, email: [email protected]
ABSTRAK Proyek konstruksi merupakan proyek yang memiliki banyak ketidakpastian dan risiko. Diperlukan sebuah pendekatan manajemen risiko untuk mengetahui dan mengendalikan risiko yang mungkin akan terjadi. Salah satu tahap terpenting dari manajemen risiko ialah analisis risiko yang bertujuan untuk mengetahui risiko-risiko yang signifikan terhadap proyek tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis risiko pada Proyek Pembangunan Fly-Over Pasar Kembang Surabaya. Tahapan penelitan ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu identifikasi risiko, analisis risiko dan respon risiko. Identifikasi adalah tahap mencari variabel-variabel risiko yang relevan pada proyek. Analisis risiko adalah proses mencari beberapa risiko yang signifikan pada aspek waktu maupun aspek biaya. Metode yang digunakan dalam analisis risiko adalah Severity Index dan Matriks Probabilitas-Dampak. Tahap terakhir adalah menentukan respon risiko terhadap risiko yang signifikan. Respon risiko diperoleh dengan melakukan wawancara terstruktur dengan para responden yaitu personel kontraktor yang menangani proyek pembangunan Fly-Over Pasar Kembang Surabaya ini. Berdasarkan hasil analisis risiko didapatkan 5 macam variabel risiko yang signifikan terhadap aspek waktu, yaitu kerusakan peralatan, kemacetan pada lalu lintas, kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kendala saat pengeboran, dan kebisingan saat pemancangan. Sedangkan 6 variabel risiko yang signifikan terhadap aspek biaya, yaitu kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kerusakan peralatan, keterlambatan pengiriman material, kerusakan material hotmix saat pengiriman, kerusakan material saat pengiriman dan kendala saat pengeboran. Secara umum, kontraktor cenderung mengambil respon mengurangi dan mengalihkan risiko yang signifikan, baik terhadap aspek waktu ataupun aspek biaya. Kata kunci: analisis risiko, Fly-Over Pasar Kembang, severity index, matriks probabilitas-dampak.
1. PENDAHULUAN Risiko merupakan suatu sebab dan akibat yang mengiringi perjalanan baik buruknya suatu pekerjaan proyek. Dalam setiap detail pekerjaan proyek pembangunan maka akan ada risiko baik besar maupun kecil yang terdapat didalamnya. Hal ini harus diperhatikan dan diperhitungkan oleh tim manajemen risiko terlebih dahulu untuk menghindari membengkaknya biaya pelaksanaan proyek dan kerugian yang didapat. Proyek Pembangunan Fly-Over Pasar Kembang merupakan proyek skala menengah yang tidak luput dari berbagai risiko. Kesalahan dalam penanganan risiko akan menyebabkan kerugian cukup besar. Pembangunan proyek Fly-Over Pasar Kembang Surabaya ini bernilai Rp. 122.990.000.000,00 (Seratus Dua Puluh Dua Miliar Sembilan Ratus Sembilan Puluh Juta Rupiah) termasuk PPN 10%. Proyek ini dikerjakan oleh tiga kontraktor dengan menggunakan sistem joint operation atau kerjasama operasi, yaitu PT. Pembangunan Perumahan, PT. Gorip Nanda Putra dan PT Bangkit Lestari Jaya. Dalam penerapan joint operation, maka ketiga kontraktor tersebut menjadi satu organisasi dalam pelaksanaan proyek. Pada bulan September 2012 pelaksanaan proyek telah mencapai sekitar 20%, yaitu mencapai pekerjaan pondasi pier head. Beberapa kendala sudah terjadi sampai tahap ini diantaranya terhentinya proyek akibat sengketa penggunaan lahan dengan PT KAI. Kemacetan di lokasi proyek juga turut menghambat hampir semua tahap pelaksanaan. ISBN 978-979-99327-8-5
I - 17
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan manajemen risiko untuk mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi. Salah satu proses terpenting dari manajemen risiko adalah identifikasi risiko. Proses ini merupakan proses menentukan risiko-risiko mana yang mungkin akan memberikan efek terhadap proyek serta mendokumentasikan risiko-risiko yang telah teridentifikasi tersebut [1]. Proses ini dikatakan penting karena pada bagian proses inilah semua risiko yang berpotensi terjadi akan dapat diketahui untuk selanjutnya dilakukan tindakan lebih lanjut. Pada proses ini semua risiko yang mungkin terjadi harus terdata dan tidak boleh ada yang tertinggal, karena jika ini terjadi tidak ada yang bisa memastikan bahwa nantinya risiko yang belum terdata tadi dapat terjadi dan belum ada kesiapan penanganannya. Dan dilakukan analisis untuk mengetahui seberapa potensial risiko-risiko tersebut dalam mempengaruhi tercapainya sasaran kegiatan dan selanjutnya dilakukan respon pada risiko tersebut.
2. METODOLOGI Tahapan awal adalah identifikasi variabel risiko. Variabel risiko diperoleh dari studi pustaka, yang kemudian digunakan pada survei pendahuluan kepada para responden terpilih, untuk mengetahui relevansi dari risiko. Selain itu, survei pendahuluan juga bertujuan untuk menambahkan risiko lain yang sesuai kondisi lapangan, yang belum muncul dari studi pustaka. Hasil dari survei pendahuluan akan digunakan pada survei utama. Pada survei utama, responden diberi pertanyaan melalui kuesioner mengenai tingkat probabilitas dan dampak yang terjadi pada suatu risiko menurut pandangan responden. Langkah selanjutnya adalah menganalisis data hasil dari survei utama untuk mengetahui tingkat probabilitas dan dampak terjadinya risiko terhadap kelangsungan proyek. Hasil analisis diatas akan dipetakan ke dalam matriks probabilitas-dampak untuk mengetahui tingkat risiko, terhadap aspek waktu maupun aspek biaya. Untuk mengetahui bagaimana respon yang ditentukan pada suatu risiko dilakukan wawancara terhadap beberapa responden yang telah dipilih sebelumya. Adapun caracara penanganan risiko terdiri dari beberapa cara, yaitu risk retention (menerima risiko), risk avoidance (menghindari risiko), risk mitigation (mengurangi risiko) dan risk transfer (mengalihkan risiko). [2]
3. ANALISIS A. Identifikasi Risiko Hasil identifikasi risiko yang didapat dari beberapa literatur, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Identifikasi Risiko Awal Variabel Risiko A. Risiko Alam - Pekerjaan terhambat kondisi cuaca hujan - Terjadi genangan air di sekitar lokasi ptoyek B. Risiko Tenaga Kerja - Kurangnya tenaga kerja terampil
ISBN 978-979-99327-8-5
Sumber literatur 3 4 5
1
2
-
-
6
7
I - 18
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) - Produktivitas tenaga kerja kurang C. Risiko Kecelakaan Kerja - Pekerja terjatuh dari ketinggian - Pekerja tertimpa material - Pekerja terbentur alat berat D. Risiko Material dan Peralatan - Kesulitan mendatangkan peralatan - Kerusakan peralatan - Pencurian alat dan material - Kualitas material tidak sesuai spesifikasi - Kerusakan material saat penyimpanan - Kerusakan material saat pengiriman - Keterlambatan pengiriman material - Kerusakan material hotmix saat pengiriman E. Risiko Teknis - Pekerjaan tidak memenuhi spesifikasi - Kesalahan saat pemasangan pracetak U-Ditch - Ketidaksempurnaan hasil pekerjaan karena tidak sesuai JMF (Job Mixing Formula) - Terjadi penurunan permukaan karena lapis pondasi agregat tidak memenuhi spesifikasi - Terjadi keruntuhan pada struktur - Keterlambatan pelaksanaan pemancangan - Kendala saat pengeboran F. Risiko Sosial dan Lingkungan - Demo protes dari warga - Kemacetan lalu lintas - Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek - Kebisingan saat pemancangan Keterangan : 1 = Kartam and Kartam, 2001 [3] ; 2 = Han and Diekmann, 2001 [4] ; 3 = Mulholland and Christian, 1999 [5] ; 4 = Kangari, 1995 [6] ; 5 = Charoenngam and Yeh, 1999 [7] ; 6 = Zhi,1995 [8] ; 7 = Hastak & Shaked, 2000 [9]
B. Responden Penelitian Pemilihan responden dalam penelitian ini didasarkan atas kompetensi responden pada bidangnya. Responden dari penelitian ini adalah Project Manager, Site Engineer Manager, Site Operations Manager, Quality Control, Logistik, Quantity Survey, Cost Control dan Pelaksana. Informasi profil responden berupa jenjang pendidikan dan pengalaman responden dalam menangani proyek konstruksi, dapat dibaca pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 : Jenjang pendidikan responden Jenjang Pendidikan S1 D3 SMA / Sederajat
Jumlah 3 4 3
% 30 40 30
Jumlah 2 3 3 1 1
% 20 30 30 10 10
Tabel 3 : Pengalaman responden Jumlah Proyek Yang Pernah Dikerjakan < 5 proyek 6 - 10 proyek 11 -15 proyek 16 - 20 proyek >20 proyek
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 19
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
C. Relevansi Variabel Risiko Penentuan relevansi variabel risiko dilakukan melalui analisis sederhana. Apabila terdapat satu responden saja yang menyatakan risiko tersebut relevan, maka risiko tersebut dinyatakan relevan. Dalam penelitian ini, semua risiko yang telah diidentifikasi dinyatakan relevan. D. Analisis Variabel Risiko Survei utama dilakukan melalui instrumen kuesioner kepada responden. Survei tersebut menggunakan variabel-variabel yang relevan dari hasil survei pendahuluan, yang diterapkan pada setiap tahapan pelaksanaan proyek. Analisis variabel risiko dilakukan untuk menganalisis survey utama. Analisis dilakukan terhadap penilaian probabilitas risiko dan dampak risiko terhadap aspek waktu maupun aspek biaya. Analisis menggunakan metode Severity Index (SI) menggunakan Persamaan 1 berikut. [10] 4
SI
a x
i i
i 0
4
4 xi
100%
...………………………………………...……………………………(1)
i 0
dimana, ai = konstanta penilaian ; xi = probabilitas responden ; i = 0, 1, 2, 3, 4, ..., n ; x 0, x1, x2, x3, x4, adalah respon probabilitas responden ; a0 = 0, a1 = 1, a2 = 2, a3= 3, a4 = 4 ; x0 = probabilitas responden ‘sangat rendah’ dari survei ; x1= probabilitas responden ‘rendah’ dari survei ; x2 = probabilitas responden ‘cukup’ dari survei ; x3 = probabilitas responden ‘tinggi/besar’ dari survei ; x4 = probabilitas responden ‘sangat tinggi’ dari survei
Untuk keterangan skala penilaian probabilitas, skala dampak pada aspek waktu dan aspek biaya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 : Skala Penilaian Probabilitas, Dampak Terhadap Waktu dan Biaya Skala Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat Tinggi
Probabilitas (%) (SR) (R) (C) (T) (ST)
≤ 20 > 20 – 40 > 40 – 60 > 60 – 80 > 80 – 100
Dampak tambahan waktu tambahan biaya (dalam hari) (dalam Rp) ≤1 ≤ 10 juta >1–7 > 10 - 25 juta > 7 – 14 > 25 - 50 juta > 14 – 21 > 50 - 100 juta > 21 – 28 > 100 juta
Dari kuesioner utama didapat penilaian responden terhadap probabilitas terjadinya variabel risiko pekerjaan terhambat kondisi cuaca hujan pada tahap mobilitas utilitas jaringan, kabel Telkom, kabel PLN, traffic light, PDAM pipa gas, CCTV. 2 responden menyatakan bahwa probabilitas terjadinya sangat rendah, 4 responden menyatakan bahwa probabilitas terjadinya rendah, 3 responden menyatakan bahwa probabilitas terjadinya cukup atau sedang, dan 1 responden menyatakan bahwa probabilitas terjadinya risiko tersebut tinggi. Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut: SI
((0 x2) (1x4) (2 x3) (3x1) (4 x0)) 100% 32,5% 4 x(10)
Dari perhitungan menggunakan rumus, didapatkan nilai SI bernilai 32,5%. Adapun, klasifikasi dari skala penilaian pada probabilitas dan dampak pada perhitungan severity index adalah: [11]
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 20
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
1. Sangat Rendah / Kecil 2. Rendah / Kecil 3. Cukup/ Sedang 4. Tinggi / Besar 5. Sangat Tinggi / Besar
(SR/SK) (R/K) (C) (T/B) (ST/SB)
0.00 ≤ SI < 12.5 12.5 ≤ SI < 37.5 37.5 ≤ SI < 62.5 62.5 ≤ SI < 87.5 87.5 ≤ SI < 100
E. Perhitungan Tingkat Risiko Sebelum melakukan analisis nilai risiko, kategori risiko (probabilitas dan dampak) yang telah didapat sebelumnya, dapat dikonversikan dalam bentuk angka, sebagai berikut: Sangat Rendah / Very Low SR / VL = 1 Rendah / Low R/L = 2 Cukup / Medium C/M = 3 Tinggi / High T/H = 4 Sangat Tinggi / Very High ST / VH = 5 Setelah mendapatkan kategori probabilitas dan dampak, maka dapat dilakukan analisis nilai risiko dengan melakukan pemetaan pada tiga matriks probabilitas-dampak, seperti terlihat pada gambar 1.
Matriks I PMBOK Guide by PMI
Matriks II Risk Assessment and Allocation for Highway Construction Management
Matriks III JISC
Gambar 1: Matriks probabilitas-dampak Penggunaan tiga skenario matriks probabilitas-dampak tersebut, selain bertujuan untuk mendapatkan hasil tingkat risiko yang bervariasi, juga untuk memilih yang lebih sesuai dengan kondisi di lapangan. F. Risiko Yang Berdampak Signifikan Dari hasil analisis, diambil variabel-variabel risiko yang memiliki kategori tinggi pada aspek waktu dan aspek biaya. Terdapat tiga macam skenario yang didapat dari tiga hasil pemetaan dimana risiko dominan tersebut akan dikonsultasikan kepada responden dari pihak kontraktor. Selanjutnya responden akan memilih salah satu skenario tingkat risiko yang paling sesuai dengan kondisi lapangan. Dalam penelitian ini responden menentukan bahwa hasil pemetaan pada matriks III adalah yang paling mendekati kondisi riil di lapangan. Risiko signifikan terhadap aspek waktu pada tiap tahap pelaksanaan, dapat dilihat pada tabel 5. Sedangkan risiko signifikan terhadap aspek biaya pada tiap tahap pelaksanaan, dijelaskan pada tabel 6.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 21
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 5 : Risiko signifikan terhadap aspek waktu pada tiap tahap pelaksanaan Kode Variabel Risiko P I R (P,I) A. Mobilisasi Utilitas Jaringan, Kabel Telkom, Kabel PLN, Traffic Light, PDAM, Pipa Gas, dll 9 Kerusakan peralatan 3 3 T 12 Kemacetan lalu lintas 4 3 T 13 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T B. Pekerjaan Saluran Drainase Pracetak U-Ditch 19 Kerusakan peralatan 3 3 T 27 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T 28 Kemacetan lalu lintas 3 3 T C. Pekerjaan Pengaspalan 36 Kerusakan peralatan 3 3 T 42 Kemacetan lalu lintas 3 3 T D. Pekerjaan Pemancangan dan Pengeboran Pondasi 52 Kerusakan peralatan 3 3 T 59 Kendala saat pengeboran 3 3 T 61 Kebisingan saat pemancangan 3 3 T E. Pekerjaan Struktur 70 Kerusakan peralatan 3 3 T 78 Kemacetan lalu linat 3 3 T
Tabel 6 : Risiko signifikan terhadap aspek biaya pada tiap tahap pelaksanaan Kode Variabel Risiko P I R (P,I) A. Mobilisasi Utilitas Jaringan, Kabel Telkom, Kabel PLN, Traffic Light, PDAM, Pipa Gas, dll 9 Kerusakan peralatan 3 3 T 13 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T B. Pekerjaan Saluran Drainase Pracetak U-Ditch 19 Kerusakan peralatan 3 3 T 23 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T 27 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T C. Pekerjaan Pengaspalan 36 Kerusakan peralatan 3 3 T 38 Kerusakan material hotmix saat pengiriman 2 4 T 39 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T D. Pekerjaan Pemancangan dan Pengeboran Pondasi 52 Kerusakan peralatan 3 3 T 55 Kerusakan material saat pengiriman 2 4 T 56 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T 59 Kendala saat pengeboran 3 3 T E. Pekerjaan Struktur 70 Kerusakan peralatan 3 3 T 74 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T
G. Respon Terhadap Risiko Yang Signifikan Pada penelitian ini, respon risiko hanya dilakukan pada risiko yang berkategori tinggi. Respon risiko tersebut diperoleh melalui survei ketiga berupa wawancara dengan responden. Tabel 7 menjelaskan respon risiko terhadap aspek waktu, sedangkan tabel 8 memperlihatkan respon risiko terhadap aspek waktu. Tabel 7 : Respon risiko terhadap aspek waktu No 1 2
Variabel Risiko Kerusakan peralatan Kemacetan lalu lintas
ISBN 978-979-99327-8-5
Respon Risiko - Melakukan pemeriksaan awal terhadap alat berat - Berkoordinasi dengan vendor penyedia alat berat - Berkoordinasi dengan pihak terkait - Melakukan manajemen lalu lintas
I - 22
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 3 4
Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek Kendala saat pengeboran
5
Kebisingan saat pemancangan
- Melakukan sosialisasi kepada warga dan pengguna jalan - Menerapkan S.H.E Management - Memastikan alat dalam kondisi baik - Opsi alat pengganti yang lebih baik Melakukan penjadwalan yang lebih baik
Tabel 8 : Respon risiko terhadap aspek biaya No 1 2 3 4
Variabel Risiko Kerusakan peralatan Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek Keterlambatan pengiriman material
5
Kerusakan material hotmix saat pengiriman Kerusakan material saat pengiriman
6
Kendala saat pengeboran
Respon Risiko - Melakukan pemeriksaan awal terhadap alat berat - Berkoordinasi dengan vendor penyedia alat berat - Melakukan sosialisasi kepada warga dan pengguna jalan - Menerapkan S.H.E Management - Mengatur ulang jadwal pengiriman - Menambah vendor material - Melengkapi truk pengangkut dengan penutup - Mengatur ulang jadwal pengiriman Memastikan kontrak bahwa kualitas material adalah tanggung jawab vendor - Memastikan alat dalam kondisi baik - Opsi alat pengganti yang lebih baik
4. KESIMPULAN Risiko yang signifikan terhadap aspek waktu adalah kerusakan peralatan, kemacetan pada lalu lintas, kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kendala saat pengeboran, dan kebisingan saat pemancangan. Sedangkan risiko-risiko yang signifikan terhadap aspek biaya adalah kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kerusakan peralatan, keterlambatan pengiriman material, kerusakan material hotmix saat pengiriman, kerusakan material saat pengiriman dan kendala saat pengeboran Ada beberapa variasi respon kontraktor terhadap risiko. Secara umum, kontraktor cenderung mengambil respon mengurangi dan mengalihkan risiko yang signifikan, baik terhadap aspek waktu ataupun aspek biaya.
DAFTAR PUSTAKA 1. PMI (2008) A Guide to the Project Management Of Body Knowledge (PMBOK Guide) 4th edition. USA : Project Management Institute. 2. Kezner, Harold (2001) Project Management 7th edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. 3. Kartam, N A and Kartam, S A (2001) Risk and Its Management in The Kuwaiti Construction Industry : A contractors' perspective. International Journal of Project Management, 19(6), 325-335. 4. Han, S H and Diekmann, J E (2001) Making A Risk-based Bid Decision for Overseas Construction Projects. Construction Management and Economics, 19(8), 765-776. 5. Mulholland, B and Christian, J (1999) Risk Assessment in Construction Schedules. Journal of Construction Engineering and Management, 125(1), 8-15. 6. Kangari, R (1995) Risk Management Perceptions and Trends of US Construction. Journal of Construction Engineering and Management-Asce, 121(4), 422-429.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 23
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
7. Charoenngam, C and Yeh, C-Y (1999) Contractual Risk and Liability Sharing in Hydropower Construction. International Journal of Project Management, 17(1), 2937. 8. Zhi, H (1995) Risk Management for Overseas Construction Projects. International Journal of Project Management, 13(4), 231-237. 9. Hastak, M and Shaked, A (2000) Icram-1: Model for International Construction Risk Assessment. Journal of Management in Engineering, 16(1), 59-69. 10. Al Hammad, A.M. (2000) Common Interface Problems among Various Construction Parties. Journal Performance Construction Facilities. 11. Abd.Majid, M.Z. and McCaffer, R. (1997) Assessment of Work Performance of Maintenance Contractors in Saudi Arabia. Journal of Management in Engineering.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 24
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENENTUAN HARGA PRODUK PERUMAHAN (WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO) Lila Ayu Ratna Winanda1, Ripkianto2 Ekky Cahya Ramadhan3 Dosen Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Malang email: [email protected] Dosen Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Malang email: [email protected] Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional Malang email: [email protected] 1
2
3
ABSTRAK Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu kabupaten yang perkembangan penduduknya begitu pesat, sangat berpengaruh pada kondisi ekonomi dan pendapatan masyarakatnya. Hal ini sangat berdampak terhadap permintaan masyarakat akan hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman berupa perumahan. Tingginya permintaan masyarakat Sidoarjo terhadap hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman, menuntut masyarakat untuk menentukan harga, lokasi dan tipe rumah yang sesuai dengan jenis pekerjaan dan daya beli masyarakat. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara dan kuisioner terhadap masyarakat sidoarjo dan sebelum dilakukan analisa deskriptif terhadap data perlu adanya validitas terhadap data primer. Data sekunder adalah berupa harga satuan upah dan bahan untuk wilayah Kabupaten Sidoarjo, Perda izin mendirikan bangunan dan hasil penelitian terdahulu. Metode analisa kelayakan investasi perumahan baru wilayah Kabupaten Sidoarjo ini adalah Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil analisa data yang didapatkan menurut minat konsumen adalah produk perumahan baru di Kecamatan Krian dengan daya beli masyarakat untuk rumah tipe 36 dengan harga 150 juta dan angsuran sebesar 1,5 – 2 juta. Dari analisa kelayakan investasi untuk perumahan baru yang akan dibangun menggunakan metode Net Present Value (NPV) didapat nilai NPV = Rp. 35,879,305.27 dan bernilai positif, maka pembangunan perumahan layak untuk dilaksanakan. Dari metode Internal Rate of Return (IRR) didapatkan nilai IRR = 15,01793 % yang artinya pembangunan perumahan tersebut bernilai > 12 % ( tingkat suku bunga ), maka pembangunan perumahan layak untuk dilaksanakan. Harga untuk produk perumahan adalah Rp. 224,920,660.26 dan dari perhitungan Capital Recovery untuk menghitung didapatkan nilai angsuran sebesar Rp. 1,481,986.55 untuk masa angsuran selama 15 tahun. Kata kunci: produk perumahan, harga produk, sidoarjo
1. LATAR BELAKANG Kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat luas semakin hari semakin meningkat sehingga berbagai upaya dan inovasi dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pengembang dalam upaya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat yang terjangkau. Dewasa ini masyarakat membutuhkan perumahan yang dapat dijangkau dengan tingkat pendapatan dan juga pemenuhan kebutuhan yang lain sehingga apabila disediakan banyak perumahan tidak selamanya mampu memenuhi kebutuhan karena harga yang cukup tinggi sehingga masyakarat sulit untuk membelinya. Kota Sidoarjo merupakan kota dengan sektor industry yang berkembang cukup pesat dikarenakan lokasinya berdekatan dengan pusat bisnis yaitu Surabaya. Kota Sidoarjo sebagai salah satu kota kabupaten yang perkembangannya penduduknya begitu pesat berpengaruh pada kondisi ekonomi atau pendapatan dari tahun ke tahun
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 25
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang semakin meningkat sehingga berpengaruh terhadap permintaan masyarakat terhadap hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman berupa perumahan. Dengan tingginya permintaan masyarakat sidoarjo terhadap hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman berupa perumahan, menuntut masyarakat menentukan harga, lokasi, dan tipe rumah yang sesuai dengan, jenis pekerjaan, kemampuan beli masyarakat maupun, tingkat kenyamanan serta, akses jalan sehingga kebutuhan masyarakat akan hunian yang nyaman dapat diwujudkan atau direncanakan. Selain untuk memenuhi permintaan masyarakat sidoarjo, perumahan yang direncanakan diharapkan juga dapat memenuhi kriteria kelayakan bagi pengembangnya.
2. KAJIAN PUSTAKA Perumahan Sesuai dengan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia No 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sehat terdapat beberapa pengertian yang terkait dengan perumahan, yaitu: a. Rumah Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah sebagai tempat membina keluarga, tempat berlindung dari iklim dan tempat menjaga kesehatan keluarga. b. Perumahan Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. c. Standar dan Ketentuan Perumahan : Sebagai wadah kehidupan manusia, rumah dituntut untuk dapat memberikan sebuah lingkungan binaan yang aman, sehat dan nyaman. Untuk itulah Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya memberikan arahan, standar peraturan dan ketentuan yang harus diwujudkan oleh pihak pengembang.Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Sesuai dengan UU No 4 Tahun 1992, selain membangun unit rumah, pengembang juga diwajibkan untuk : a. Membangun jaringan prasarana lingkungan rumah mendahului pembangunan rumah, memelihara dan mengelolanya sampai pengesahan dan penyerahan kepada Pemerintah Daerah. b. Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum. c. Melakukan penghijauan lingkungan. d. Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan. Harga Jual Produk Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa harga adalah jumlah uang atau alat tukar lain yang senilai, yang harus dibayarkan untuk produk atau jasa pada waktu tertentu dan di pasar tertentu. Harga adalah satu-satunya unsur dalam bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan penjualan. Pada perusahaanperusahaan besar, penetapan harga biasanya ditangani oleh manajer divisi atau lini produk, akan tetapi pihak manajemen teras tetap menentukan tujuan dan kebijakan umum mengenai harga jual, dan sering juga menyetujui usulan harga yang diajukan oleh para manajernya (Philip Kotler 1998 : 120). Terdapat enam langkah pokok dalam ISBN 978-979-99327-8-5
I - 26
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
penetapan harga jual suatu produk yang dapat dilakukan oleh produsen (Philip Kotler 1998 : 162), yaitu dengan : 1. Penetapan tujuan pemasaran. Seperti misalnya bertahan hidup, maksimalisasi keuntungan jangka pendek, unggul dalam pangsa pasar, atau unggul dalam kualitas produk. 2. Penentuan kurva permintaan yang akan memperlihatkan jumlah produk yang akan dibeli di pasar dalam waktu tertentu, pada berbagai tingkat harga. Makin inelastis permintaan, makin mampu perusahaan menaik - turunkan harganya. 3. Perusahaan memperkirakan perilaku biaya pada berbagai tingkat produksi dan perilaku biaya dalam kurva pengalamannya. 4. Perusahaan menguji dan mengambil harga - harga pesaing sebagai dasar penetapan harga jualnya sendiri. 5. Perusahaan memilih salah satu dari berbagai metode harga, yaitu : cost plus, analysis break even dan target profit, perceived value, going rate dan sealedbid pricing. Pemilihan Lokasi Menurut Sudharto P.Hadi (2005:104) tahapan dalam pengembangan permukiman secara garis besar dibagi ke dalam tahap perencanaan awal dan pada tahap operasional (ketika permukiman telah mulai dihuni). Dilihat dari sisi lingkungan, setidaknya ada dua persoalan yang muncul ketika letak pembangunan permukiman telah diputuskan. Pertama, apakah daerah tersebut layak secara ekologis. Karena banyak permukiman yang dibangun di daerah yang seharusnya menjadi daerah konservasi seperti di daerah perbukitan atau daerah resapan air. Sehingga menimbulkan banjir dan berkurangnya cadangan air tanah. Kedua, permukiman yang dibangun oleh suatu badan usaha (real estate) hampir seluruhnya menempati daerah pinggiran kota. Menurut Leaf (1995) kondisi ini dianggap memperburuk dampak lingkungan di perkotaan. Karena menciptakan penghuni kota yang bergantung pada alat transportasi kendaraan bermotor, terutama mobil. UU No 4 Tahun 1992 dan PP No 29 Tahun 1986 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan merupakan salah satu sarana untuk melakukan pencegahan terhadap suatu rencana kegiatan, misalnya proyek yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Untuk mencapai maksud tersebut diusahakan dengan cara sebagai berikut (Soeharto, Iman, 1996 : 371) : a. Memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan lokasi proyek dan alam di sekitarnya. b. Mengelola penggunaan sumber daya secara bijaksana dengan merencanakan, memantau, dan mengendalikan secara bijaksana. c. Memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif.Dua halpenting yang perlu diperhatikan sebagai dasar pertimbangan lokasi (Surowiyono, Tutu TW, 2007:13) adalah kondisi lingkungan secara geografis dan kondisi lingkungan menurut kebutuhan strategis. Aliran Kas Proyek Aliran kas proyek dikelompokkan menjadi tiga,yaitu aliran kas awal, aliran kas periode operasi, dan aliran kas terminal. - Aliran kas awal ( initial cash flow).
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 27
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Aliran kas awal adalah pengeluaran untuk merealisasi gagasan sampai menjadi kenyataan fisik. Termasuk dalam initial cash flow adalah pengeluaran. Pengeluaran kas untuk investasi pada awal periode.Misalnya pembayaran untuk tanah, pembangunan gedung pabrik, pembelian peralatan, dan juga termasuk biaya – biaya pendahuluan dan sebelum operasional termasuk penyiapan modal kerja.Initial cash flow ini mungkin dapat terjadi tidak hanya pada awal investasi tapi dapat juga terjadi beberapa kali sepanjang usia investasi. - Aliran kas operasi (operasional cash flow). Yaitu aliran kas yang timbul selama operasi proyek investasi yang bersangkutan. Pada periode ini jumlah pendapatan dari hasil penjualan produk telah melampaui pengeluaran biaya operasi dan produksi. - Aliran kas terminal. Yaitu aliran kas yang terjadi pada saat investasi berakhir. Aliran kas terminal terdiri atas nilai sisa (salvage value ) dari asset dan pengembalian (recovery) modal kerja. - Kriteria Penilaian Investasi. Telah diutarakan sebelumnya, bahwa sebelum menyetujui usulan suatu proyek (investasi), perlu dikaji klayakannya dari segala macam aspek. Langkah berikutnya adalah menganalisis aliran kas tersebut dengan memakai metode dan criteria yang telah dipakai secara luas untuk memilah – memilah mana yang dapat diterima dan harus ditolak. Kriteria tersebut banyak berhubungan dengan disiplin ilmu engineering diantaranya adalah konsep ekuivalen yaitu pengaruh waktu terhadap nilai mata uang. Nilai waktu terhadap uang dari arus kas pada investasi yang mencakup waktu yang lama dan bertahun-tahun, ini dirimuskan sebagai bunga ( interest ) atau tingkat/ arus pengembalian (rate of return ).
3. METODOLOGI PENELITIAN Data dan Pengumpulan Data Penentuan harga produk perumahan meninjau wilayah kabupaten Sidoarjo dengan terlebih dahulu mengetahui minat, daya beli dan lokasi masyarakat terhadap produk baru perumahan. Variabel penelitian ini ternagi dalam variabel terikat dan bebas. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan. Pengamat akan dapat memprediksi ataupun menerangkan variabel dalam variabel terikat beserta perubahannya yang terjadi kemudian. Variabel terikat beserta perubahannya yang terjadi kemudian. Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keputusan pembelian. Sedangkan variabel bebas (independent variable) adalah variabel dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel terikat dan mempunyai hubungan bagi variabel terikat nantinya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah minat, daya beli dan lokasi. Metode yang digunakan dalam penentuan harga produk perumahan ini adalah pengolahan data primer dari hasil kuisioner dan wawancara serta data sekunder yang merupakan sumber data pendukung penelitian yang membahas tentang variabel yang mempengaruhi pemilihan terhadap hunian berupa perumahan yang nyaman menurut
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 28
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
masyarakat kabupaten sidoarjo yang nantinya juga akan dilakukan analisis investasi terhadap bangunan yang akan dibangun. Analisa Data Pendahuluan Langkah awal yang dilakukan dalam dalam penelitian ini adalah menentukan minat konsumen terhadap pembelian perumahan di wilayah Sidoarjo. Dalam analisis data statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi, perhitungan mean, median atau modus. Analisa disini dilakukan dengan mendeskripsikan minat konsumen dengan melakukan perhitungan mean terhadap data minat konsumen yang telah diperoleh dari pengumpulan data dari sampel dan disajikan melalui tabel, grafik, prosentase dan diagram. Analisa Daya Beli Konsumen disini dilakukan untuk menganalisa daya beli masyarakat Sidoarjo terhadap tipe sebuah produk perumahan, harga produk, serta kemampuan cicilan masyarakat terhadap tipe produk perumahan yang telah dipillih. Analisa yang dilakukan adalah analisa deskriptif dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul dan didapatkan dari sampel dengan disajikan melalui tabel, dan prosentase dengan melakukan perhitungan mean atau rata – rata dari data terlebih dahulu. Analisa Kelayakan Investasi Sebelum menyetujui usulan suatu proyek ( investasi ), perlu dikaji kelayakannya dari beberapa aspek. Langkah awal adalah dengan menganalisa aliran kas proyek yang direncanakan dengan memakai metode yang telah dipakai secara luas untuk memilah – milah mana yang dapat diterima atau ditolak, yang nantinya dapat dipakai sebagai acuan dalam melakukananalisa kelayakan investasi. Analisa kelayakan investasi dalam aspek kelayakan financial dipandang sebagai salah satu langkah awal yang mengharuskan obyektifitas perhitungan – perhitungan yang dimaterialkan berupa uang. Agar didapatkan akurasi tepat maka setiap perumusan maupun dasar perhitungan harus dilakukan secara teoritis. Agar didapatkan akurasi yang tepat maka setiap perumusan maupun dasar perhitungan harus dilakukan secara teoritis. Hal ini dilakukan agar tergali teori – teori yang konsisten dengan perhitungan teknis terhadap pengambilan keputusan investasi. Metode analisa kelayakan investasi yang digunakan dalam perspektif perhitungan ekonomi teknik disini adalah Metode Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return ( IRR ). Harga Produk Perumahan Harga Produk Perumahan disini adalah hasil yang ingin dicapai dan diketahui setelah dilakukannya analisa terhadap aliran kas proyek yang direncanakan, dan analisa kelayakan investasi terhadap proyek perumahan yang telah direncanakan. Dari beberapa aspek analisa yang telah disebut dan dilakukan, kita dapat mengetahui berapa harga sebuah produk perumahan, dan apakah harga sebuah produk perumahan yang telah ditentukan sesuai dengan minat dan daya beli masyarakat kabupaten Sidoarjo.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 29
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Analisa Deskriptif Untuk Minat Konsumen Dari hasil kuisioner yang telah dilakukan terhadap warga perumahan Sidoarjo dengan diambil sampel secara acak dari populasi masyarakat wilayah sidoarjo yaitu 50 responden, maka didapatkan data sebagai berikut : a. Lokasi Berdasarkan wawancara dan survey yang telah dilakukan, didapatkan beberapa informasi mengenai kondisi dari beberapa Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang merupakan lokasi survey untuk penentuan lokasi perumahan, antara lain: 1. Kecamatan Sedati - Masih terdapat lahan kosong untuk pengembangan perumahan. - Akses jalan masuk di beberapa perumahan di sekitar lokasi kurang mudah. - Termasuk daerah tambak terluas di Sidoarjo. - Kondisi lalu lintas jalan raya di sekitar lokasi padat. - Kondisi air di daerah ini mulai payau. 2. Kecamatan Krian - Daerah sekitar lokasi masih bersih. - Lahan untuk pengembangan perumahan masih luas. - Jauh dari lokasi lumpur lapindo. - Kondisi air bersih. - Lokasi dekat dan akses lebih mudah menuju Kota Surabaya. - Harga rumah relatif lebih murah dibandingkan daerah lain dengan bentuk, desain dan ukuran bangunan yang tidak jauh berbeda dengan perumahan di lokasi lain. - Prioritas warga yang bekerja di Kota Surabaya memilih rumah di Kecamatan Krian daripada di Kota Surabaya disebabkan oleh perbedaan harga yang tinggi. 3. Kecamatan Kahuripan - Lokasi di tengah kota, dekat dengan jalan TOL. - Posisi jauh dari lokasi Lumpur Lapindo. - Lahan untuk pengembangan perumahan sedikit. - Kondisi sosial lokasi yang kurang begitu baik. 4. Kecamatan Gedangan - Lokasi jauh dengan Lumpur Lapindo. - Salah satu daerah industry di Sidoarjo. - Dekat dengan pusat kota. - Lahan untuk pengembangan perumahan masih luas. - Kondisi lalu lintas pada sangat padat. - Kondisi air mulai kurang bersih. 5. Kecamatan Buduran - Sangat dekat dengan pusat kota. - Kondisi lalu lintas atau akses jalan padat. - Kondisi air tanah kurang bersih. - Lahan untuk pengambangan perumahan masih tersedia. 6. Kecamatan Tulangan - Lahan untuk pengembangan perumahan masih sangat luas.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 30
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
- Lokasi cukup dekat dengan Lumpur Lapindo. - Untuk pengembangan perumahan kurang begitu bagus dikarenakan jalan. - Akses masuk ke Kecamatan tersebut kurang mudah. 7. Kecamatan Waru - Akses jalan mudah dan sangat dekat dengan kota Surabaya. - Jauh dari pusat kota Sidoarjo. - Perbedaan harga yang tinggi untuk sebuah produk perumahan di lokasi ini dibandingkan kecamatan lain. 8. Kecamatan Tarik - Lokasi jauh dari Lumpur Lapindo. - Akses jalan menuju lokasi Kecamatan Tarik kurang mudah. - Jauh dari pusat kota. - Daerah ini dirasa kurang maju dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Sidoarjo. b. Alasan Pemilihan Lokasi Untuk minat konsumen terhadap alasan pemilihan lokasi rata - rata adalah karena kedekatan dengan pusat kota, tempat kerja dan beraktifitas dengan prosentase 66% dengan responden sebanyak 33 orang. Fasilitas tambahan disini juga diberikan untuk melengkapi perumahan yang direncanakan, sesuai data dari kuisioner fasilitas tambahan yang diinginkan oleh responden untuk sebuah perumahan adalah taman/taman bermain dengan prosentase 38% dengan responden sebanyak 19 orang yang memilih. B. Analisa Daya Beli Konsumen a. Tipe dan Harga Produk Perumahan Untuk tipe dan harga produk perumahan, rata – rata daya beli warga Kabupaten Sidoarjo terhadap produk perumahan dengan prosentase responden 68% dengan jumlah responden 34 orang adalah pada Tipe rumah 36 dengan harga 150 juta.Untuk desain rumah juga sebelumnya warga terlebih dahulu mengevaluasi sebelum menentukan untuk memilih rumah, dan desain rumah yang rata – rata diminati untuk perumahan di wilayah kabupaten sidoarjo adalah desain rumah yang dilengkapi carport, 2 kamar tidur dan tinggi plafond 4 meter. b. Cicilan Perbulan Untuk cicilan perbulan yang warga Kabupaten Sidoarjo sanggupi atau inginkan sesuai dengan jenis pekerjaan adalah cicilan 1,5–2 juta perbulan untuk sebuah peroduk perumahan menengah. Sesuai data dari kuisioner didapatkan rata – rata 88% atau 44 orang dari jumlah responden memilih cicilan perbulan 1,5–2 juta karena menyesuaikan dengan pendapatan dan kemampuan mereka untuk cicilan perbulannya. Pemilihan cicilan untuk sebuah produk perumahan yang responden pilih disini sangat dipengaruhi oleh kesesuaian dengan pendapatan warga atau sumber dari pendapatan lain.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 31
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
C. Analisa Biaya a. Modal Investasi dan Pembiayaan Dalam proyek pembangunan perumahan ini dialokasikan untuk pembangunan rumah sederhana sebanyak 30 unit dengan satu tipe pembangunan rumah yaitu tipe 36/90. Struktur biaya modal investasi, maka modal pembiayaan pekerjaan adalah sebagai berikut : 1. Pengeluaran biaya untuk pengadaan tanah dan perencanaan diasumsikan keluar pada bulan ke-0 dengan anggapan bahwa proyek sudah mulai dikerjakan. 2. Perencanaan pelaksanaan pematangan tanah yang mencakup : a. Pembuatan sarana dan prasarana yaitu jalan dan pembuatan saluran drainase sudah dikerjakan mulai bulan ke-0 dengan anggapan bahwa proyek sudah mulai dikerjakan. b. Penyambungan listrik perumahan sudah dikerjakan mulai bulan ke-0 dengan anggapan bahwa proyek sudah dikerjakan dan penyambungan PLN direncanakan untuk 30 Rumah sesuai yang direncanakan. c. Pembangunan rumah dilakukan setiap 2 bulan sekali, mulai bulan ke dua dan setelah pembangunan rumah selesai dilakukan 3. instalasi listrik terhadap rumah yang telah dibangun. 4. Selain dana untuk pengadaan tanah, perencanaan, pematangan tanah serta biaya pembangunan rumah masih ada dana yang dialokasikan untuk pengurusan IMB. b. Analisa Arus Kas Bila tingkat bunga efektif tahunan untuk pinjaman modal sebesar i = 12%. Sehingga bunga pinjaman yang harus dibayar pada bank sebesar 12,68 % /12 yaitu 1,057% per bulan. Menghitung biaya modal (Cost of Capital) dilakukan dengan mempertimbangkan struktur pendanaan dari sisi pengembang, baik biaya pribadi maupun biaya hutang. Total biaya investasinya sebesar Rp. 6,230,669,637.15. Alternatif pendanaannya adalah sebagai berikut: 1. Alternatif I, 100% modal Investasi 2. Alternatif II, 20% modal sendiri dan 80% pinjaman bank Dengan tingkat bunga 12% dan bunga efektif pemajemukan pertahun sebesar 12,68% maka tingkat bunga efektif pemajemukan per bulan sebesar 1,057% sehingga alternatif nilai angsurannya adalah Rp. 444,122,131.74 Analisa Harga Pendapatan pengembang diperoleh dari nilai penjualan 30 unit rumah. Sebelum memprediksi pendapatan penjualan rumah setiap per bulannya, perlu dilakukan analisa terhadap rumah untuk menentukan harga rumah yang akan dijual beserta angsuran per bulannya selama 15 tahun. Berdasarkan analisa diperoleh keuntungan perusahaan yaitu 10% dari harga rumah Rp. 204,473,327.51 yaitu sebesar Rp. 20,447,332.75 untuk setiap penjualan per unit rumah dan untuk uang muka (down payment) digunakan uang muka sebesar 30% dari harga jual rumah yaitu 30% dari Rp. 224,920,660.26, didapatkan uang muka sebesar Rp. 67,476,198.08. Analisa perhitungan untuk mengetahui nilai angsuran perbulandilakukan berdasarkan nilai jumlah uang (present) untuk harga jual rumah yang didapatkan dari
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 32
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
analisa harga rumah yang didapatkan untuk setiap penjualan rumah per unitnya maka dapat nilai angsuran perbulan dapat diketahui dengan menggunakan rumus pemasukan kembali modal (capital recovery). Untuk rumus yang digunakan sebagai berikut: Pi (1 i ) n (1 i ) n 1 Nilai tahunan (Annual) dihitung berdasarkan data nilai sekarang dengan tingkat bunga tertentu serta periode waktu tertentu. Dapat dikatakan juga sebagai suatu angka (Annual) yang dikumpulkan sebagai suatu pengembalian modal (Capital Recovery Factor). Untuk perhitungan angsuran perbulan pada masa angsuran 15 tahun Rumah Tipe 36/90 m2, Tabel 4.6 :
A=
A=
Pi (1 i ) n (1 i ) n 1
224,920,660.26 x 0,0065(1 0,0065)180 A= (1 0,0065)180 1 = Rp. 1,481,986.55 Harga Jual Rumah : = Harga rumah tipe 36/90 m2 + Keuntungan 10% dari harga rumah = Rp. 204,473,327.51+ Rp. 20,447,332.75 = Rp. 224,920,660.26
Analisa Pendapatan Langkah selanjutnya adalah memprediksikan penjualan rumah dalam 1 tahun beserta total pendapatan dari penjualan 30 unit rumah. Untuk harga rumah pada penjualan di setiap bulannya selalu berbeda sesuai prinsip time value of money. Sebagai contoh untuk perhitungan harga jual rumah pada bulan ke-4 atau tepatnya 2 bulan setelah penjualan pertama pada bulan ke-2 sebagai berikut: P= F
1 (1 r ) n
1 (1 0,0065)2 = Rp. 222,043,339.02
= 224,920,660.26 x
Penilaian Kelayakan Investasi Net Present Value ( NPV ) Tingkat bunga untuk menentukan nilai NPV yaitu 12%. Hasil analisa NPV menunjukan nilai positif maka proyek perumahan tersebut dinilai layak dan dapat dipertimbangkan karena NPV > 0. Dari perhitungan NPV dianggap layak diterima karena sesuai dengan hasil olah kuisioner yaitu terhadap cicilan perumahan, sesuai yang diinginkan. Hasil NPV yang didapatkan terhadap tingkat bunga 12% adalah sebesar Rp. 35,879,305.27 karena penerimaanya mampu menutupi semua biaya pengeluaran dan hasil untuk cicilan/angsuran memenuhi sesuai permintaan yaitu didapatkan nilai angsuran perbulan Rp. 1,481,986.55 masa angsuran selama 15 tahun.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 33
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Internal Rate of Return (IRR) Untuk mendapatkan nilai IRR dilakukan dengan mencari besarnya NPV dengan memberikan nilai i variable (berubah-ubah) sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu nilai i saat NPV mendekati nol yaitu NPV+ dan NPV- dengan cara coba-coba (trial and error), selanjutnya dilakukan interpolasi untuk mendapatkan IRR sebesar 15, 01793% sehingga melebihi tingkat bunga 12% sehingga dapat dikatakan bahwa proyek perumahan yang akan dilaksanakan layak.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Minat masyarakat Sidoarjo terhadap lokasi perumahan yang terpilih adalah Krian dengan alasan dekat pusat kota, tempat kerja dan sebagian berdasarkan pemenuhan fasilitas taman. Daya beli masyarakat Sidoarjo terhadap produk perumahan adalah rumah tipe 36 dengan harga 150 juta, sedangkan untuk cicilan perbulan yang dipilih adalah sebesar 1,5 - 2 juta. 2. Hasil analisa kelayakan dengan perhitungan Net Present Value (NPV)= Rp. 35,879,305.27 dan Internal Rate of Return (IRR) = 15,01793 % sehingga memenuhi syarat kelayakan investasi. 3. Berdasarkan analisa, harga produk perumahan sebesar Rp. 224,920,660.26 dengan nilai angsuran sebesar Rp. 1,481,986.55 untuk tipe rumah 36/90 selama 15 tahun angsuran. Saran 1. Kajian serupa hendaknya dapat dikembangkan pada produk-produk bangunan komersial yang lain sehingga mencakup segala aspek (seperti pembangunan rusun dan rusunawa). 2. Wilayah studi dapat diperluas pada penelitian selanjutnya sehingga diperoleh generelisasi hasil yang lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Hariadi, M.Wahyu Tri. (2010). Studi Kelayakan Investasi Dengan Analisa Ekonomi Teknik Pada Perumahan Permata Regency. ITN-Malang. Kodoatie, Robert J. (1995). Analisis Ekonomi Teknik. Penerbit Andi Yogyakarta Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional), Jilid I, Erlangga, Jakarta. Djamin, Z. 1984. Perencanaan & Analisa Proyek, Edisi Satu,Universitas Indonesia, Jakarta. Kuswadi, 2007. Analisis Keekonomian Proyek. Penerbit Andi Yogyakarta Pujawan, I Nyoman. 1995. Ekonomi Teknik, Edisi 1, Penerbit PT. GunaWidya Indonesia, Jakarta. Aliludin, Arson. 2007. Ekonomi Teknik. Penerbit PT Raja Grafindo Persada Indonesia, Jakarta.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 34
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KETAHANAN TENAGA KERJA PROYEK KONSTRUKSI DENGAN MENGGUNAKAN SURVIVAL ANALYSIS Feri Harianto1 Andik Widiyanto2 1 2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP,ITATS, Telp. 031-5945043, e-mail:[email protected] Alumni Jurusan Teknik Sipil, FTSP, ITATS, Telp. 031-5945043, e-mail:[email protected]
ABSTRAK Tenaga kerja mempunyai batas kejenuhan dalam bekerja di suatu proyek, tingginya tingkat turnover tenaga kerja dapat diprediksi dari seberapa besar keinginan untuk berpindah yang dimiliki oleh anggota suatu organisasi(perusahaan).Turnover tenaga kerja yang tinggi menyita perhatian perusahaan karena mengganggu pelaksanaan proyek dan menelan biaya yang tinggi, oleh karena itu perusahaan perlu menguranginya sampai pada batas yang dapat diterima.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh usia,kepemimpinan,lingkungan kerja,kepuasan kerja terhadap tingkat lamanya bekerja(ketahanan)tenaga kerja di Proyek Pembangunan Rusunawa PT.Sier dan Proyek Hunian di Komplek Darmo Hill. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner, analisis yang digunakan adalah survival analysis.Responden penelitian ini yaitu tukang dan pekerja.Hasil penelitian ini adalah ketahanan tertinggi tenaga kerja berdasarkan usia adalah kelompok 21-30 tahun dengan rata – rata bertahan 2,3 bulan,tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor kurang baik dapat bertahan lebih dari 3 bulan,tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang baik dapat bertahan rata-rata 2,19 bulan,tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang baik dapat bertahan rata-rata 2,35 bulan. Sedangkan faktor usia,kepuasan kerja,kepemimpinan,lingkungan kerja tidak berpengaruh signifikan(α>5%) terhadap tingkat lamanya bekerja tenaga kerja. Kata kunci: survival, ketahanan, turnover intention
1. PENDAHULUAN Para pengusaha sulit mengikat tenaga kerja konstruksi dalam kontrak(karyawan tetap) karena tidak ada jaminan selalu ada proyek,selain itu tenaga kerja konstruksi juga ingin bekerja freelance dan ada pekerjaan lainnya guna menambah pendapatan mereka[18].Dinamika yang tinggi di pekerjaan konstruksi membuat para pekerja mudah mengalami kejenuhan sehingga para pekerja mudah pindah dari proyek yang satu ke proyek yang lainnya.Turnover para pekerja yang tinggi menjadi perhatian perusahaan karena mengganggu pelaksanaan proyek konstruksi dan menelan biaya yang tinggi.Oleh karena itu perusahaan perlu mengurangi turnover tersebut sampai pada batas yang diterima.Menurut Rubianto faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intention adalah usia,gaji,kepemimpinan,lingkungan kerja,dan kepuasan kerja[12].Menurut Sunjoto dan Harsono yang mempengaruhi turnover intention adalah kepuasan kepuasan kerja[15].Menurut Rita Andini kepuasan gaji,kepuasan kerja dan komitmen organisasi berpengaruh terhadap turnover intention[9].Sedangkan menurut Kusmono yang mempengaruhi turnover intention adalah matangnya efektifitas kepemimpinan dan hasil kerja maksimal[3].Menurut Maier pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi dari pada pekerja yang lebih tua[5].Pada kenyataannya besarnya gaji(upah) tenaga kerja di konstruksi relatif sama antar proyek yang satu dengan yang lain.Untuk itu pada penelitian ini ingin mengetahui pengaruh usia,kepemimpinan,lingkungan kerja dan kepuasan kerja terhadap tingkat lamanya
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 35
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
bekerja(ketahanan) pada proyek pembangunan rusunawa PT.Sier dan proyek hunian di kompleks Darmo Hill di Surabaya.
2. DASAR TEORI 2.1 Turnover Intention Turnover intention diartikan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain[16].Menurut Lum et.al[4] menyatakan turnover intentions adalah keinginan seseorang untuk keluar dari organisasi,yaitu evaluasi mengenai posisi seseorang saat ini berkenan dengan ketidakpuasan dapat memicu keinginan seseorang untu keluar dan mencari pekerjaan lain.Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya,bahwa turnover intentions pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan. 2.2 Pengaruh Usia Usia merupakan salah satu faktor demografi yang mempengaruhi diferensiasi tenaga kerja dalam sikap dan perilaku [14]. Hubungan antara usia dengan kinerja menjadi isu penting yang semakin meningkat selama dekade yang akan datang [11].Maier [5] mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua.Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan turnover intention dengan arah hubungan negatif,artinya semakin tinggi usia seseorang,semakin rendah turnover intentionnya[7].Hal ini disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindahpindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga,mobilitas yang menurun,tidak mau repot pindah kerja,dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar. 2.3 Pengaruh Kepemimpinan Pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat agar apa yang diharapkan dapat diwujudkan secara bersama dengan stafnya dan bukan menyebabkan stress kerja bagi bawahannya.Menurut Ivancevich dan Matteson Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi[19].Pada hakekatnya kepemimpinan merupakan hubungan dimana diri seseorang atau seorang pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain untuk mau bekerja sama secara sukarela,sehubungan dengan tugasnya untuk mencapai yang diinginkan pemimpin.Mengingat setiap orang pemimpin mempunyai cara tersendiri dalam menjalankan kepemimpinannya maka dalam mencapai tujuan organisasi akan menggunakan seefektif mungkin kekuasaannya agar orang lain dapat diarahkan perilakunya dalam berbagai kondisi. 2.4 Pengaruh Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan dapat mempengaruhi dalam bekerja meliputi pengaturan penerangan, pengontrolan suara gaduh, pengaturan kebersihan tempat kerja dan pengaturan keamanan tempat kerja. Perusahaan harus dapat memperhatikan kondisi yang ada dalam peusahaan baik di dalam maupun di luar ruangan tempat kerja, sehingga karyawan dapat bekerja dengan lancar dan merasa aman.Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 36
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
untuk diperhatikan manajemen.Kemajuan perusahaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal,sejauh mana tujuan perusahaan tercapai dapat dilihat dari seberapa besar perusahaan memenuhi tunutan lingkungannya[13]. 2.5 Pengaruh Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah sebagai konsep praktis yang sangat penting, karena merupakan dampak dari keefektifan kinerja dan kesuksesan dalam bekerja, sementara kepuasan yang rendah pada organisasi adalah sebagai rangkaian penurunan moral organisasi dan meningkatnya absensi.Davis dan Newton [1] menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai seperangkat peraturan yang menyangkut tentang perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka. Pegawai yang bergabung dalam suatu organisasi akan membawa keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja sehingga kepuasan kerja menunjukan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul berkaitan dengan pekerjaan yang disediakan sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja yang bersifat dinamik[17].Turnover tenaga kerja berhubungan dengan ketidakpuasan kerja[6].Faktor-faktor yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang,kondisi kerja yang mendukung,rekan sekerja yang mendukung,kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan[11].
3. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Proyek Pembangunan Rusunawa PT. Sier dan Proyek Hunian di Kompleks Darmo Hill Surabaya.Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner.Reponden pada penelitian ini adalah tukang dan pekerja(kuli) dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang.Skala pengukuran yang digunakan pada kuesioner untuk mengukur variabel kepemimpinan,lingkungan kerja,dan kepuasan kerja dengan pemberian skor,yaitu : Untuk jawaban baik, diberi skor 3. Untuk jawaban cukup, diberi skor 2. Untuk jawaban kurang, diberi skor 1. Sedangkan variabel usia dari responden pemberian skornya,yaitu: Untuk jawaban ≤20tahun, diberi skor 1. Untuk jawaban 20-30tahun, diberi skor 2. Untuk jawaban ≥30tahun, diberi skor 3. Sedangkan variabel lama bekerja dari responden pemberian skornya,yaitu: Untuk jawaban <1 bulan, diberi skor 1. Untuk jawaban 1-3 bulan, diberi skor 2. Untuk jawaban >3 bulan, diberi skor 3. Indikator-indikator yang digunakan untuk membuat kuesioner dalam penelitian ini seperti pada tabel 1.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 37
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 1. Indikator-Indikator Penelitian Indikator Kepemimpinan Kalimat dalam menyapaikan pesan Bahasa dalam menyapaikan informasi Sikap dalam memberi perintah kerja Memberikan contoh yang baik pada bawahannya Kecepatan analisis Melibatkan bawahan Bersikap adil bijaksana Mendiskusikan masalah pekerjaan Mengarahkan tugas-tugas bawahan Mengorganisir aktivitas lapangan Memberikan pekerjaansesuai kemampuan Kelebihan dan kekurangan bawahan Semangat kerja keras Memberikan pengahargaan Mendengar ide bawahan Menerima kritikan bawahan Lingkungan Kerja Mendapatkan bonus Promosi kenaikan posisi Ingin lebih baik dari yang lain Saling membantu dengan yang lain Dorongan moral dari teman Cakap dalam kerja tim Informasi bersifat umum untuk semua Bersedia tukar sift bila ada keperluan mendesak Teman yang sportif Atasan yang bijaksana Job diskripsi yang jelas Peraturan kerja yang jelas Jam kerja jelas Fasilitas tempat kerja yang memadai Kepuasan Kerja Adanya kebebasan berpendapat dalam pekerjaan Tak ada kekangan dalam berinovasi Promosi kenaikan posisi Kesempatan yang sama tiap individu Adanya pujian dari atasan Pujian untuk kerja tim yang bagus
Sebelum kuesioner disebarkan dilakukan uji validitas dan reliabilitas.Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kuesioner sudah tepat dan handal untuk mengukur variabel penelitian.Pengujian reliabilitas menggunakan formula cronbach alpha (koefisien alfa cronbach), dimana secara umum yang dianggap reliabel (andal) apabila nilai alfa cronbachnya > 0,6.Sedangkan pengujian validitas menggunakan metode korelasi product moment pearson.Suatu alat ukur dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar atau sama dengan nilai r tabel (N=50) yaitu 0,279 atau nilai signifikansi < 0,05 (α = 5%).Analisis penelitian ini menggunakan metode survival analysis dan regresi Cox (nonparamatrik) dimana tidak perlu lagi mencari distribusi yang cocok untuk data life time yang digunakan.Fungsi-fungsi yang dianalisis dalam metode nonparametrik yaitu fungsi ketahanan dan fungsi hazard,rumus umum fungsi ketahanan dan fungsi hazard seperti pada persamaan 1 dan 2[2;8].
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 38
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
St = S0(t)e^y ............................(1) Ht = H0(t)e^y............................(2) Dimana : Ht : hazard pada waktu tertentu. St : survival pada waktu terntu. e : bilangan natural=2,714.
H0 : baseline hazard pada waktu tertentu. S0 : baseline survival pada waktu tertentu. y=b1x1+b2x2+b3x3+.......+bnxn.
4. HASIL DAN DISKUSI Berdasarkan variabel usia ketahanan lama bekerja(gambar 1) kelompok tenaga kerja yang berusia 21-30 tahun dan di atas 31 tahun secara umum memiliki ketahanan kerja lebih tinggi dibandingkan kelompok tenaga kerja yang berusia di bawah 20 tahun. Sedangkan pada gambar 2 menjelaskan bahwa kelompok tenaga kerja usia di bawah 20 tahun memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok tenaga kerja lainnya. Berdasarkan hasil analisis lifetime keplan-Meier kelompok tenaga kerja usia di bawah 20 tahun rata-rata dapat bertahan di proyek selama 1,63 bulan,sedangkan kelompok usia 21-30 tahun rata-rata bertahan selama 2,3 bulan, dan kelompok usia di atas 30 tahun dapat bertahan selama 2,25 bulan. Survival Plot for LAMA
Hazard Plot for LAMA
Kaplan-Meier Method Complete Data
Empirical Hazard Function Complete Data
100
Table of Statistics M ean M edian IQ R 1.62500 1 1 2.30769 2 1 2.25000 2 1
60
40
20
USIA 1 2 3
0.8
Table of S tatistics M ean M edian IQ R 1.62500 1 1 2.30769 2 1 2.25000 2 1
0.6 Rate
Percent
80
0 0.0
1.0
USIA 1 2 3
0.4
0.2
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 1. Fungsi Ketahanan Lama Bekerja Berdasarkan Variabel Usia
0.0 0.0
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 2. Fungsi Hazard Lama Bekerja Berdasarkan Variabel Usia
Berdasarkan variabel kepemimpinan(gambar 3) kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang kurang baik memiliki ketahanan kerja lebih tinggi dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang baik maupun yang cukup baik. Pada gambar 4 kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang baik dan cukup baik memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok tenaga kerja lainnya.Sedangkan hasil analisis lifetime KeplanMeier kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,26 bulan,sedangkan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang cukup baik rata-rata dapat bertahan selama 2,08 bulan,dan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang kurang baik dapat bertahan selama lebih dari 3 bulan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 39
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Survival Plot for LAMA
Hazard Plot for LAMA
Kaplan-Meier Method Complete Data
Empirical Hazard Function Complete Data
100
Table of Statistics M ean M edian IQ R 3.00000 3 0 2.07692 2 1 2.26087 2 1
60
40
Table of Statistics M ean M edian IQ R 3.00000 3 0 2.07692 2 1 2.26087 2 1
0.6
20
0 0.0
PEMIMPIN 1 2 3
0.8
Rate
80
Percent
1.0
PEMIMPIN 1 2 3
0.4
0.2
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
0.0 0.0
3.0
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 3. Fungsi Ketahanan Lama Gambar 4. Fungsi Hazard Lama Bekerja Bekerja Berdasarkan Variabel Berdasarkan Variabel Kepemimpinan Kepemimpinan Berdasarkan variabel lingkungan kerja(gambar 5) kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang baik secara umum memiliki ketahanan kerja lebih tinggi dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang cukup baik.Pada gambar 6 menjelaskan bahwa kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang cukup baik memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang baik.Hasil analisis lifetime Keplan-Meier untuk kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,19 bulan,sedangkan kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang cukup baik rata-rata dapat bertahan selama 2,13 bulan.Pada variabel ini tidak ditemukan tenaga kerja yang menyatakan bahwa lingkungan kerja di tempatnya bekerja itu kurang baik. Hazard Plot for LAMA
Survival Plot for LAMA
Empirical Hazard Function Complete Data
Kaplan-Meier Method Complete Data
100
60
40
LINGKUNGAN 2 3
0.8
Table of S tatistics M ean M edian IQ R 2.12500 2 0 2.19048 2 1
Table of S tatistics M ean M edian IQ R 2.12500 2 0 2.19048 2 1
0.6 Rate
Percent
80
0.4
0.2
20
0 0.0
1.0
LINGKUNGAN 2 3
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 5. Fungsi Ketahanan Lama Bekerja Berdasarkan Variabel Lingkungan Kerja
0.0 0.0
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 6. Fungsi Hazard Lama Bekerja Berdasarkan Variabel Lingkungan Kerja
Berdasarkan Variabel kepuasan kerja(gambar 7) kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang baik secara umum memiliki ketahanan kerja lebih tinggi dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan ketahanan lama bekerja kelompok tenaga kerja yang lain.Pada gambar 8 kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang kurang memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok tenaga kerja lainnya.Hasil analisis lifetime Keplan-Meier kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,35 bulan, sedangkan kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang cukup baik rata-rata dapat bertahan ISBN 978-979-99327-8-5
I - 40
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
selama 2,08 bulan,dan untuk kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang kurang baik rata-rata dapat bertahan selama 2 bulan. Survival Plot for LAMA
Hazard Plot for LAMA
Kaplan-Meier Method Complete Data
Empirical Hazard Function Complete Data
100
KEPUASAN 1 2 3 Table of S tatistics M ean M edian IQ R 2.00000 1 2 2.07692 2 1 2.35000 2 1
60
40
20
KEPUASAN 1 2 3
0.8
Table of S tatistics M ean M edian IQ R 2.00000 1 2 2.07692 2 1 2.35000 2 1
0.6
Rate
Percent
80
0 0.0
1.0
0.4
0.2
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
0.0 0.0
0.5
1.0
1.5 2.0 LAMA BEKERJA
2.5
3.0
Gambar 7. Fungsi Ketahanan Lama Gambar 8. Fungsi Hazard Lama Bekerja Bekerja Berdasarkan Variabel Kepuasan Berdasarkan Variabel Kepuasan Kerja Kerja Dari tabel 2 berdasarkan uji wald bahwa variabel usia(1) dan usia(2) tingkat signifikansinya 0.276 dan 0.803. Koefisien regresi untuk variabel usia(1) dan usia(2) tersebut tidak signifikan(p-value>5%).Hasil perhitungan tersebut diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok tenaga kerja dengan usia di atas 30 tahun dengan kelompok tenaga kerja usia 20-30 tahun, maupun antara kelompok tenaga kerja usia di atas 20-30 tahun dengan kelompok tenaga kerja usia dibawah 20 tahun.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Mobley[7] bahwa semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah turnover intentionnya. Untuk variabel pemimpin(1) dan pemimpin(2) berdasarkan uji wald tingkat signifikansinya 0.630 dan 0.941(tabel 1). Koefisien regresi untuk variabel pemimpin(1) dan pemimpin(2) tersebut tidak signifikan(p-value>5%),hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok pekerja kepemimpinan baik dengan kelompok pekerja kepemimpinan cukup baik, maupun antara kelompok pekerja kepemimpinan cukup baik dengan kelompok pekerja kepemimpinan kurang baik.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Koesmono[3] bahwa matangnya efektifitas kepemimpinan dan hasil kerja maiksimal serta tuntutan kerja yang menyenangkan dapat mendorong dan mengembangkan komitmen organisasi. Untuk variabel lingkungan kerja berdasarkan uji wald tingkat signifikansinya 0.749(tabel 1). Koefisien regresi untuk variabel lingkungan kerja tersebut tidak signifikan(p-value>5%),ini berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok tenaga kerja pada lingkungan kerja yang baik dengan kelompok tenaga kerja pada lingkungan cukup baik.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Rivai[13] bahwa kemajuan perusahaan di pengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan yang bersifat intenal dan eksternal. Untuk variabel kepuasan(1) dan kepuasan(2) tersebut baru signifikan pada tingkat signifikansi 0.637 dan 0.533 berdasarkan uji wald.Koefisien regresi untuk variabel kepuasan(1) dan kepuasan(2) tersebut tidak signifikan(p-value>5%),hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok pekerja dengan kepuasan baik,kelompok pekerja dengan kepuasan cukup baik,kelompok pekerja dengan kepuasan cukup baik dan kelompok pekerja dengan kepuasan kurang baik.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Mathis dan Jackson[6] bahwa masuk-keluar(turnover) tenaga kerja berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 41
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Berdasarkan tabel 2 dibentuk persamaan fungsi regresi cox seperti persamaan 5 : H(t/X) = exp (0.493 usia(1) – 0.092 usia(2) – 0.512 pemimpin(1) + 0.022 pemimpin(2) + 0.145 lingkungan kerja + 0.275 kepuasan(1) + 0.192 kepuasan(2) ..........(5) Tabel 2.Variabel Persamaan Regresi Cox Variabel Usia Usia(1) Usia(2) Pemimpin Pemimpin(1) Pemimpin(2) Lingkungan kerja Kepuasan Kepuasan(1) Kepuasan(2)
B
SE
0,493 -0,092
0,453 0,368
-0,512 0,022 0,145
1,063 0,300 0,452
0,275 0,192
0,584 0,309
Wald 1,738 1,185 0,062 0,252 0,232 0,005 0,102 0.499 0,223 0,388
df 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1
Sig. 0,419 0,276 0,803 0,882 0,630 0,941 0,749 0,779 0,637 0,533
Exp(B) 1,637 0,912 0,599 1,022 1,156 1,317 1,212
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Berdasarkan variabel usia kelompok tenaga kerja usia 21-30 tahun dan di atas 30 tahun cenderung lebih lama bertahan selama lebih dari 2,25 bulan di proyek. 2. Berdasarkan variabel kepemimpinan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang kurang baik dapat bertahan selama lebih dari 3 bulan. 3. Berdasarkan variabel lingkungan kerja diketahui bahwa kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,19 bulan,tidak ditemukan lingkungan kerja yang kurang baik. 4. Berdasarkan variabel kepuasan kerja diketahui bahwa kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,35 bulan. 5. Berdasarkan regresi cox variabel usia, kepemimpinan, lingkungan kerja, dan kepuasan kerja tidak ada yang berpengaruh terhadap lamanya bekerja para tenaga kerja. Model yang ditulis dalam penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan penambahan variabel lainnya yang berpengaruh terhadap lamanya ketahanan tenaga kerja di proyek konstruksi,juga perlunya suasana yang tepat dalam mengisi kuesioner sehingga responden mengisi dengan konsentrasi.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Davis, Keith and W. Newstrom.(1999). Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh. Terjemahan.Jakarta:Erlangga. 2. Hardius Usman,Nurdin Sobari.(2009).Teknik Analisis Data Life Time Dalam Riset Marketing.Jakarta:Salemba Empat. 3. Koesmono, Teman. (2007).Pengaruh Kepemimpinan dan Tuntutan Tugas Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Variabel Moderasi Motivasi Perawat Rumah Sakit Swasta Surabaya, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.9, No.1, Maret 2007.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 42
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. Lum, Lille,John Kervin,Kathleen Clark,Frank Reid & Wendy Sola.(1998). Explaining Nursing Turnover Intent:Job Satisfaction, Pay Satisfaction, or Organizational Commitment.Journal of Organizational Behavior. 5. Maier, N, R, F.(1971). Psychology in Industry. Cambridge: The Riverside Press. 6. Mathis, Robert.L, & John Jackson.(2001).Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:PT. Salemba Empat. 7. Mobley,W.H.(1986).Pergantian Karyawan: Sebab, Akibat dan Pengendaliannya. Terjemahan Jakarta:PT Pustaka Binaman Pressindo. 8. M.Sopiyudin Dahlan.(2009).Analisis Survival.Jakarta:Sagung Seto. 9. Rita Andini.(2006).Analisa Pengaruh Peran kepemimpinan dan pengembangan karir terhadap komitmen organisasi dalam meningkatkan kinerja karyawan,Tesis tidak di terbitkan Universitas Diponegoro semarang. 10. Robbins,Stephen,(2001).Perilaku Organisasi (Organizatonal Behaviour). Jakarta:PT.Prehalindo. 11. Robbins, Stephen P.(1996).Organizational Behaviour Concept, Controversiest, Applications, Prentice Hall. Inc,Englewoods Cliffs 12. Rubiyanto.(2011).Analisis Ketahanan Tenaga Kerja Proyek Konstruksi Dengan Menggunakan Life Time Analysis,Skripsi sarjana tak diterbitkan, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. 13. Rivai, Harif, A.(2001).Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasional Terhadap Intensi Keluar.Tesis,Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 14. Rhodes, S.R.(1983).Age-related differences in work attitudes and behavior: a revies and conceptual analysi psychological bulletin,Maret 1983 15. Sunjoyo, dan Harsono.(2003).Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komintmen Organisasional Terhadap Turnover Intention, Sosiohumanika,16A(1),Januari 2003. 16. Suwandi, dan Nur Indriantoro.(1999).Pengujian Model Turnover Pasewark dan Strawser: Studi Empiris pada Lingkungan Akuntansi Publik, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 17. Tett, R.T and Meyer J.P.(1993), Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover intention and Turnover. Personnel Psychology. 46: 259-293 18. Thomas Mola.(2013), SDM Konstruksi : Peningkatan Ketrampilan Dinilai Urgen, http://www.bisnis.com/articles/sdm-konstruksi-peningkatan-keterampilan-dinilaiurgen,diunduh 19 Januari 2013. 19. Wahyuningsih, T.(2001). Dampak Pergantian Pimpinan Pada Kinerja Organisasi, Jurnal Administrasi dan Bisnis, Vol 1, No. 2 Hal. 29-42.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 43
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 44
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENGARUH PORSI IDR DAN USD TERHADAP ESKALASI HARGA KONTRAK KONSTRUKSI Suhariyanto1 1
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang, Jalan Soekarno-Hatta No. 9 Malang, Telp 0341-404424, email : [email protected]
ABSTRAK Dalam rangka program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di sektor Pekerjaan Umum (2011-2025) dibutuhkan dana sebesar Rp. 481,18 triliun. Sekitar 73% atau senilai Rp356,80 triliun kebutuhan dana tersebut akan didanai dari badan usaha atau investor swasta nasional maupun asing. Pendanaan melalui investor asing biasanya akan menggunakan mata uang asing, misalnya USD dan dana pendamping mata uang IDR. Dalam kontrak kontruksi di Indonesia, pemerintah menghimbau agar semaksimal mungkin menggunakan kandungan lokal, yang dalam direpresentasikan dengan penggunaan mata uang IDR. Dalam studi ini dilakukan kajian pengaruh porsi IDR dan USD terhadap besaran eskalasi kontrak konstruksi. Kajian dilakukan dengan melakukan simulasi eskalasi dengan menggunakan variasi porsi IDR dan USD pada pada proyek XYZ, salah satu proyek di Indonesia dengan standar kontrak internasional dan didanai oleh Loan Asing. Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin besar porsi IDR maka eskalasi yang terjadi akan semakin besar. Untuk mengurangi besar eskalasi maka porsi IDR dalam kontrak seharusnya dibuat seminimal mungkin, hal ini kontradiktif dengan himbauan pemerintah agar semaksimal mungkin menggunakan IDR. Kata kunci: porsi, eskalasi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di sektor Pekerjaan Umum (2011-2025) dibutuhkan dana sebesar Rp. 481,18 triliun. Sekitar 73% atau senilai Rp356,80 triliun kebutuhan dana tersebut akan didanai dari badan usaha atau investor swasta nasional maupun asing. Pendanaan melalui investor asing biasanya akan menggunakan mata uang asing, misalnya USD dan dana pendamping mata uang IDR. Dalam kontrak kontruksi di Indonesia, pemerintah menghimbau agar semaksimal mungkin menggunakan kandungan lokal, yang direpresentasikan dengan penggunaan mata uang IDR. Dalam studi ini dilakukan kajian pengaruh porsi IDR dan USD terhadap besaran eskalasi kontrak konstruksi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: ”Bagaimana pengaruh porsi IDR dan USD terhadap eskalasi harga kontrak konstruksi’?
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 45
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
1.3 Batasan Masalah Kajian dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut: a) Definisi “content” dalam Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan luar negeri direpresentasikan dalam porsi currency IDR dan USD. b) Simulasi eskalasi dilakukan dengan variasi porsi IDR 100%, 50% , 25% dan 0%.
2. METODE KAJIAN Kajian dilakukan dengan melakukan simulasi eskalasi dengan menggunakan variasi porsi IDR dan USD pada proyek XYZ, salah satu proyek di Indonesia dengan standar kontrak internasional dan didanai oleh Loan Asing.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Proyek Proyek yang dijadikan obyek kajian adalah proyek XYZ yang merupakan salah satu proyek di Indonesia yang menggunakan standart kontrak FIDIC dan didanai oleh loan asing dan dana pendamping dari APBN. Komposisi pendanaan adalah 90% Loan dan 10% dana pendamping. Untuk Loan menggunakan mata uang USD, sedangkan untuk dana pendamping menggunakan mata uang IDR. Perbandingan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan luar negeri diperkirakan 25% komponen dalam negeri dan 75% komponen luar negeri. Proyek merupakan proyek multiyear dengan nilai kontrak USD 178 juta dan durasi penyelesaian tiga tahun. Perhitungan eskalasi (price adjustment) dihitung menggunakan formula sesuai yang tercantum dalam dokumen kontrak FIDIC klausul 70.1 dan FIDIC, Part II Condition of Particular Application sebagai berikut: Increase and Decrease of Cost will be calculated as follows :- (i) Local Currency portion by reference to the Wholesale Price Indices of Construction Materials by Type of Construction published by the Badan Pusat Statistik, Jakarta, Table 1.15 item 3 Public Works on Roads, Bridges and Ports and (ii) Foreign Currency portion by reference to a single suitable index [to be specified by the Contractor] published in the country from which goods will be imported into Indonesia. The value of work executed each month in each currency, less not applicable amounts which are items for mobilisation, demobilisation, Contractor’s temporary works, Provisional Sums, Dayworks and Engineer and Other Forms of Technical Studies, will be adjusted by applying a non adjustable factor of 20% and then using the formula “current index minus base index divided by base index”. Value of price adjustment = ((V – N) x 80%) x ((C – B) ÷ B) V = value of work executed in a particular month N = value of not applicable work items executed in a particular month (mobilization, demobilization, Contractor’s temporary works, Provisional Sums, Daywork and Engineer and Other Forms of Technical Studies) C = Current index (the index applicable for the month in which the work was executed) B = Base index (the index applicable at a date 28 days before the submission of the tender)
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 46
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Perhitungan indek masing-masing currency pada perhitungan price adjustment adalah sebagai berikut: (i) Local Currency portion by reference to the Wholesale Price Indices of Construction Materials by Type of Construction published by the Badan Pusat Statistik, Jakarta, Table 1.15 item 3 Public Works on Roads, Bridges and Ports and (ii) Foreign Currency portion by reference to a single suitable index [to be specified by the Contractor] published in the country from which goods will be imported into Indonesia Price adjustment dihitung setiap bulan sesuai realisasi pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan adjustment factor yang berlaku saat itu. Local dan Foreign Content Dalam perhitungan price adjustment, pengertian Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) atau Local Content dan Tingkat Komponen Luar Negeri (TKLN) atau Foreign Content belum dipahami secara sama antara penyedia jasa, pengguna jasa dan auditor. Tingkat komponen dalam negeri untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, sedangkan tingkat komponen dalam negeri untuk jasa adalah perbandingan antara harga jasa yang diperlukan dikurangi harga komponen jasa luar negeri terhadap harga seluruh jasa yang diperlukan. Meskipun secara definisi “content” tidaklah sama dengan “currency”, maka dalam prakteknya “currency” dianggap merupakan representasi dari “content”. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar tetapi dalam perhitungan price adjustment digunakan “content” karena lebih aplikatif . Simulasi Eskalasi Berdasarkan simulasi variasi besarnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (local currency) dan (foreign currency) maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Simulasi Variasi Besarnya Local dan Foreign Currency Simulasi
Tingkat Komponen
Estimasi Eskalasi Local (IDR)
Foreign (USD)
Total (IDR Equivalent)
Local
Foreign
Keadaan 1
100%
0%
1,067,441,982,458.90
-
1,067,441,982,458.90
Keadaan 2
50%
50%
533,720,991,229.45
16,670,528.02
683,172,274,901.74
Keadaan 3
25%
75%
266,860,495,614.73
25,005,792.03
491,037,421,123.16
Keadaan 4
0%
100%
-
33,341,056.03
298,902,567,344.58
Catatan : USD 1 ~ IDR 8.965,00 Pembahasan Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin besar porsi IDR maka eskalasi yang terjadi akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena faktor penyesuaian harga (adjustment factor = ((C – B) ÷ B)) untuk local currency (IDR) lebih besar dibandingkan dengan foreign currency (USD)
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 47
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Perbandingan trend faktor penyesuaian harga (adjustment factor) untuk local currency (IDR) dan foreign currency (USD) dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Gambar 1. Trend Adjustment Factor Berdasarkan Gambar 1, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Slope adjustment factor untuk local currency factor lebih curam dibandingkan dengan foreign currency factor. Adjustment factor untuk porsi foreign currency relatif stabil dibandingkan untuk porsi local currency. Adjustment factor untuk local currency antara 30 s/d 70% sedangkan untuk foreign currency antara 5 s/d 20% Kondisi politik dan perekonomian Indonesia sangat mempengaruhi adjustment factor porsi local currency, sebagai contoh jika terdapat kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah maka secara signifikan adjustment factor untuk local currency akan mengalami kenaikan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasakan kajian yang dilakukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Semakin besar porsi IDR maka nilai eskalasi akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena faktor penyesuaian harga (adjustment factor) untuk local currency (IDR) lebih besar dibandingkan dengan foreign currency (USD) 2. Adjustment factor untuk porsi foreign currency relatif stabil dibandingkan untuk porsi local currency 4.2 Saran Untuk kontrak multiyear yang didanai oleh loan, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam berkaitan dengan besarnya Tingkat Komponen Dalam Negeri karena akan mempengaruhi besarnya eskalasi.
5. DAFTAR PUSTAKA 1. Federation Internationale Des Ingenieurs Conseils , 1992, Condition of Contract for Works of Civil Engineering Construction, Fourth Edition 1987, Reprinted 1992
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 48
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
with further amendments, FIDIC, Part I General Conditions With Forms of Tender and Agreement. 2. Federation Internationale Des Ingenieurs Conseils , 1992, Condition of Contract for Works of Civil Engineering Construction, Fourth Edition 1987, Reprinted 1992 with further amendments, FIDIC, Part II Condition of Particular Application with Guidelines for Preparation of Part II Clauses 3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 49
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 50
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ANALISA PENETAPAN TARIF SEWA ASRAMA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEKERJAAN UMUM (STUDI KASUS PADA BALAI DIKLAT PU WILAYAH VIII BANJARMASIN) Kristo Putranto1, Tri Joko Wahyu Adi2, Retno Indryani2 1
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya. E-Mail: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya
ABSTRAK Balai Diklat Pekerjaan Umum (PU) sebagai Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum yang bertugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan pegawai bidang pekerjaan umum dilengkapi dengan sarana asrama yang ditujukan untuk keperluan akomodasi. Namun dalam perkembangannya, asrama ini juga ditujukan sebagai salah satu sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Besarnya tarif sewa untuk kamar asrama Balai Diklat PU ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 38 Tahun 2012 tetapi panduan perhitungan untuk mendapatkan tarif tersebut tidak diuraikan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang usulan panduan perhitungan tarif sewa untuk asrama di lingkungan Balai Diklat PU dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18 Tahun 2007 serta memberikan contoh aplikasi panduan perhitungan tarif tersebut pada Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin.Penelitian ini dimulai dengan identifikasi pendapatan dan biaya-biaya yang terjadi dalam kegiatan operasional Asrama Balai Diklat PU secara umum. Selanjutnya dikaji cara pengestimasian besaran dari tiap-tiap biaya untuk merumuskan komponen perhitungan tarifnya. Terakhir, komponen perhitungan tarif tersebut diaplikasikan pada Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin. Hasil dari penelitian ini berupa komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU yaitu pendapatan, biaya investasi, biaya operasional tetap, biaya operasional variabel, biaya pemeliharaan, dan biaya perawatan. Hasil aplikasi komponen perhitungan tarif pada objek penelitian menghasilkan besaran tarif sewa sebesar Rp 192.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 50%, Rp 154.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 75%, dan Rp 143.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 90%. Kata Kunci: Operasional dan Pemeliharaan Aset, Penetapan Tarif Sewa, Asrama Balai Diklat PU.
1. PENDAHULUAN Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan sumber penerimaan pajak negara selain dari penerimaan pajak. PNBP memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi penerimaan negara. Balai Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Umum (Balai Diklat PU) merupakan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum yang melaksanakan pendidikan dan pelatihan pegawai bidang pekerjaan umum.. Salah satu fungsi Balai Diklat PU sebagaimana disebutkan pada pasal 18 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 21/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Laksana Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum adalah pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bagi Balai Diklat yang sudah berstatus PNBP.Jenis PNBP yang diselenggarakan dan dikelola oleh Balai Diklat PU salah satunya merupakan PNBP yang bersumber dari Jasa Penggunaan Prasarana/Sarana Kamar Asrama.Tujuan dari pembangunan Asrama Balai Diklat PU ini adalah untuk menunjang pelaksanaan tugas
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 51
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
pokoknya. Namun dalam perkembangannya, Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin juga ditujukan sebagai salah satu sumber PNBP. Besarnya tarif sewa untuk kamar asrama Balai Diklat PU ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 38 Tahun 2012, tetapi panduan perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan tarif tersebut tidak dicantumkan. Sebagai pembanding, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, melalui Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18/PERMEN/M/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rumah Susun Sederhana yang Dibiayai APBN dan APBD, telah memberikan panduan perhitungan tarif sewa Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) bagi masyarakat menengah bawah khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Ruang lingkup peraturan tersebut meliputi kebijakan penetapan tarif, dasar perhitungan, komponen, serta struktur perhitungan tarif. Hal semacam ini belum dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadapperhitungan dan penetapan tarif sewa kamar Asrama Balai Diklat PU berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah: 1.
2.
Mengkaji komponen perhitungan besaran tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU untuk merumuskan konsep panduan perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU Mengaplikasikan komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU dalam penentuan besaran tarif sewa per hari per kamar untuk Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin.
2. METODOLOGI PENELITIAN Agar dapat mencapai tujuan penelitian di atas, penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif dan perhitungan, dengan data yang dikumpulkan melalui: 1. 2.
Kajian pustaka pada literatur, peraturan terkait, dan penelitian terdahulu. Observasi ke lokasi objek penelitian serta wawancara dengan pihak terkait.
Tahapan penelitian dan metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Identifikasi Komponen Perhitungan Tarif Sewa Tahap ini dimulai dengan studi literatur mengenai biaya-biaya yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan suatu hotel atau penginapan dan cara pengestimasian nilainya, pendapatan-pendapatan yang mungkin terjadi, serta tingkat hunian. Komponen-komponen ini yang akan mempengaruhi perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU dan selanjutnya akan berujung sebagai konsep panduan perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU. Langkah selanjutnya yaitu menentukan cara untuk mengestimasi masing-masing komponen. Konsep panduan perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU pada penelitian ini akan mengacu pada pedoman perhitungan tarif sewa pada Permenpera Nomor 18 Tahun 2007, dengan melakukan penyesuaian pada pengklasifikasian biayanya sesuai kondisi di lingkungan Balai Diklat PU. Perhitungan tarif sewa ini akan menggunakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa jumlah pendapatan minimal harus sama dengan jumlah pengeluaran. 2. Penentuan Besaran Tarif Sewa
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 52
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tahap ini dimulai dengan pengidentifikasian dan pengestimasian nilai dari seluruh biaya yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin, termasuk juga pendapatan serta tingkat huniannya. Karena asrama ini belum dioperasionakan maka akan digunakan tiga asumsi tingkat hunian dalam penelitian ini, yaitu tingkat hunian sebesar 50%, 75%, dan 90%. Seluruh kamar pada asrama ini memiliki luas dan fasilitas yang serupa. Hasil identifikasi komponen-komponen tersebut selanjutnya dimasukkan dalam perhitungan berdasarkan konsep panduan perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU untuk mendapatkan besaran tarif sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin per kamar per hari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Komponen Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU Wiyasha (2007: 10) mengadaptasi struktur pendapatan dan biaya pada industri perhotelan dari Laventhol & Howardsebagaimana disajikan pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Struktur Pendapatan dan Biaya Hotel menurut Wiyasha Sumber Pendapatan Kamar Makanan Minuman Lain-lain Sumber Biaya Biaya operasional departemen hotel Gaji dan upah Biaya bunga Biaya depresiasi Harga Pokok Makanan Harga Pokok Minuman Adiministrasi dan Umum Pemasaran Energi dan Daya Pemeliharaan Sarana Fisik Fee Manajemen Lain-lain Laba
Proporsi (%) 59,9 24,3 9,0 6,8 Proporsi (%) 10,4 37,0 7,2 6,7 7,5 1,9 4,7 4,3 5,2 3,4 2,6 6,9 2,2
Hasil observasi pada Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin menunjukkan bahwa pendapatan yang terjadi hanya berasal dari penyewaan kamar. Sedangkan biayabiaya yang terjadi antara lain biaya investasi, pemakaian listrik fasilitas bersama dan listrik kamar, pencetakan leaflet untuk keperluan promosi, pemakaian air, pemeliharaan rutin gedung, penggantian komponen gedung, pemakaian internet, laundry, dan penyediaan bahan habis pakai. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa komponen biaya untuk perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU adalah:
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 53
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 2. Komponen Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU No Komponen Rincian Komponen Keterangan 1 Pendapatan Tarif sewa \K Tingkat hunian Keterangan 2 Biaya Dikeluarkan pada Biaya pra konstruksi Investasi awal investasi, Biaya konstruksi dihitung dalam Biaya pengawasan nilai tahunan Tingkat bunga Periode investasi 3 Biaya Dikeluarkan per Biaya Pemasaran Operasional tahun Biaya Listrik Fasum Tetap Biaya Internet Harga satuan 4 Biaya Dikeluarkan per Biaya Operasional Operasional tahun Departemen Variabel Biaya Listrik Ruangan Biaya Air Harga satuan 5 Biaya Dikeluarkan per Jenis dan besaran Pemeliharaan komponen yang rutin tahun dipelihara Harga satuan 6 Biaya Dikeluarkan sesuai Jenis dan besaran Perawatan usia perawatan komponen yang komponen rusak/habis umur ekonomisnya Harga satuan 3.2. Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin 3.2.1. Perhitungan Biaya Investasi Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya investasi Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin tanpa memasukkan nilai wajar tanahnya adalah: Tabel 3. Rekapitulasi Biaya Investasi Asrama Tahun Besaran Biaya (Rp) 2011 1.307.081.000 2012 996.404.000 3.2.2. Perhitungan Biaya Operasional Tetap 3.2.2.1. Perhitungan Biaya Pemasaran Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya pemasaran Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut:
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 54
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 4. RekapitulasiBiaya Pemasaran Asrama Uraian Jumlah (lbr) Harga per Lembar (Rp) Cetak Leaflet 300 10.000
Total (Rp) 3.000.000
3.2.2.2. Perhitungan Biaya Listrik Fasilitas Umum Kebutuhan listrik fasilitas umum yang dihitung meliputi kebutuhan listrik untuk penerangan luar, penerangan ruangan bersama, dan pengoperasian pompa air. Tiap komponen memiliki daya dan waktu pemakaian yang berbeda. Perhitungan kebutuhan biaya listrik dilakukan dengan mengalikan antara tarif listrik yang berlaku dengan besar daya yang dibutuhkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan PT Perusahaan Listrik Negara, besarnya persentase batas hemat terhadap jam nyala ratarata nasional x daya tersambung (kVA) atau H1 untuk Kota Banjarmasin ditetapkan sebesar 1391,5 kWhsehingga pemakaian sampai dengan 1391,5 kWh dihitung dengan tarif Rp 885,-/kWh dan selebihnya dihitung dengan tarif Rp 1.380,-/kWh Tabel 5. Rekapitulasi Biaya Total Listrik Fasilitas Umum No Rincian Biaya Total Biaya per Tahun 1 Penerangan Luar Rp 833.676,2 Penerangan Ruangan Rp 37.722.900,3 Listrik Pompa Rp 2.384.640,Total Rp 40.941.216,3.2.2.3. Perhitungan Biaya Internet Rekapitulasi biaya penggunaan internet Asrama adalah: Tabel 6. Rekapitulasi Biaya Internet Asrama Rincian Akses Internet
Jumlah (unit) 1
Biaya per Bulan (Rp) 1.100.500
Total per Bulan (Rp) 1.100.500
Total per Tahun (Rp) 13.206.000
3.2.3. Perhitungan Biaya Operasional Variabel 3.2.3.1. Perhitungan Biaya Operasional Departemen Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya operasional departemen Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut: Tabel 7. RekapitulasiBiaya Operasional Departemen Rincian Biaya per Kamar per Bulan (Rp) Laundry 219.500 Bahan Habis Pakai 740.000 Total per Kamar per Bulan 959.500 3.2.3.2. Perhitungan Biaya Listrik Ruangan Dengan cara perhitungan yang sama dengan biaya listrik fasilitas umum, rekapitulasi biaya listrik ruangan Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah: Tabel 8. Rekapitulasi Biaya Total Listrik Ruangan ISBN 978-979-99327-8-5
I - 55
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
No 1
Daya Tarif (Rp/kWh) (a) (b) (kWh/hari) Pemakaian 591,72 1380 Total Biaya/kamar/bulan Listrik Rincian
Total (c=ab) Rp 816,573,6 Rp 816,573,6
3.2.3.3. Perhitungan Biaya Air Masih menggunakan cara perhitungan yang sama dengan perhitungan biaya listrik fasilitas umum, rekapitulasi biaya air Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut: Tabel 9. Rekapitulasi Biaya Air Asrama Pemakaian Air (m3) Tarif (Rp/m3) Sub Total (Rp) 6 7.280 43.680 Total per Kamar per Bulan
Total (Rp) 43.680 43.680
Selanjutnya untuk mengetahui nilai biaya operasional variabel total tahunan pada tingkat hunian tertentu, nilai masing-masing biaya per kamar per bulan di atas dikalikan dengan jumlah bulan tersewa sesuai asumsi tingkat hunian yang dikehendaki. Sebagai contoh, jika asumsi tingkat hunian yang digunakan adalah 50% atau seluruh kamar tersewa selama 6 bulan, maka perhitungan biaya operasional variabel tahunannya yaitu: Tabel 10. Besaran Biaya Operasional Variabel pada Tingkat Hunian 50%
Jenis Biaya
Biaya per Kamar per Bulan (Rp)
a Biaya Listrik Biaya Air Biaya BHP Biaya Laundry
B 816.573,6 43.680 219.500 740.000
Jumlah Kamar Tersewa (unit) c 17 17 17 17
Jumlah Bulan Tersewa (Bulan)
Total Biaya Tahun 2011 (Rp)
d 6 6 6 6
e = bcd 83.290.507 4.455.360 22.389.000 75.480.000
3.2.4. Perhitungan Biaya Pemeliharaan Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya pemeliharaan rutin Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut: Tabel 11. Uraian Kegiatan AC Split
Perhitungan Estimasi Biaya Pemeliharaan Asrama Satu Harga Satuan Waktu Volume Total Biaya (Rp) an (Rp) Per 3 bulan unit 20 210.000 4.200.000 Total Biaya per Tahun (12 Bulan) 16.800.000
3.2.5. Perhitungan Biaya Perawatan Rekapitulasi biaya perawatan Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah: Tabel 12. Perhitungan Biaya Penggantian Komponen No
Jenis
Satu-
ISBN 978-979-99327-8-5
Vol
Usia
Harga
%
Total Biaya
I - 56
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11
Penggantia n Pompa Air TV LCD 22’ TV LCD 32’ Dispenser AC Lemari Pengecatan dinding, kolom, balok Pengecatan daun pintu Pengecatan plafon Pengurasan septic tank Plester
an unit unit unit unit unit unit
1 17 2 2 20 17
Kompone n 15 4 4 4 8 8
Satuan (Rp) 1.500.00 3.500.00 0 5.365.00 0 2.000.00 0 3.500.00 0 2.812.50 0 0
Penggantian 100 100 100 100 100 100
(Rp) 3.000.000 59.500.000 10.730.000 4.000.000 70.000.000 47.812.500
m2
1230
7
35.000
100%
43.050.000
m2
87,5
7
35.000
100%
3.062.500
m2
306
7
35.000
100%
10.710.000
unit
1
3
300.000
100%
300.000
m2
821, 5 45.000 10% 36.958.500 3 3.2.6. Estimasi Kenaikan Biaya Setelah diketahui besaran dari masing-masing biaya, selanjutnya dihitung estimasi kebutuhan biaya untuk periode perhitungan selama 20 tahun mendatang terhitung mulai tahun 2011 sampai dengan 2030. Estimasi kebutuhan biaya dilakukan untuk masingmasing komponen dengan asumsi kenaikan berdasarkan tingkat inflasi atau hasil perhitungan rata-rata kenaikan komponen yang bersangkutan dari tahun ke tahun. Tingkat inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,66% berdasarkan tingkat inflasi rata-rata pada Kota Banjarmasin dari tahun 2006 sampai dengan 2011 sesuai data BPS Wilayah Kalimantan Selatan. 3.2.7. Perhitungan Tarif Sewa Perhitungan dari masing-masing komponen biaya pada saat ini telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Selanjutnya akan diestimasi kebutuhan biaya total tiap tahun selama periode pengamatan yaitu 20 tahun dengan mempertimbangkan Present Value (PV) dan Annual Value (AV). Perhitungan dilakukan dengan BI Rate (i) yang digunakan sebesar 7,5% tiap tahun berdasarkan rata-rata BI Rate selama 5 tahun terakhir, yaitu mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Metode yang digunakan dalam perhitungan tarif sewa adalah Analisis Titik Impas. Tarif didapatkan berdasarkan kondisi impas antara pendapatan dan pengeluaran pada tingkat hunian tertentu. Tabel 13. Rekapitulasi Total Biaya Asrama pada Tingkat Hunian 50% Tahun
Biaya Investasi
Biaya Op. Tetap
Biaya Op. Variabel
Biaya Pemeliharan
2011
1,307,081,000
57,147,216
185,614,867
2012
996,404,000
Biaya Perawatan
Total
Nilai pada Tahun 2011
16,800,000
1,566,643,083
1,566,643,083
67,402,320
207,528,965
16,910,880
1,288,246,165
1,198,368,526
2013
67,422,251
208,669,253
17,022,492
293,113,996
253,641,100
2014
67,442,313
209,862,842
17,134,840
305,979
294,745,974
237,258,887
2015
67,462,508
211,114,660
17,247,930
74,155,833
369,980,931
277,041,917
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 57
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2016
67,482,835
212,430,127
17,361,767
38,194,336
335,469,065
233,673,873
2017
67,503,298
213,815,201
2018
67,523,895
215,276,436
17,476,354
312,078
299,106,931
193,809,781
17,591,698
59,500,254
359,892,283
216,926,837
2019
67,544,628
2020
67,565,498
216,821,034
17,707,803
152,880,004
454,953,469
255,093,426
218,456,919
17,824,675
318,298
304,165,390
158,647,640
2021 2022
67,586,505
220,192,803
17,942,318
39,471,497
345,193,123
167,485,607
80,401,782
248,066,548
18,060,737
346,529,067
156,403,534
2023
80,423,067
250,032,123
18,179,938
427,122,681
179,329,221
2024
80,444,494
252,129,398
18,299,925
350,873,817
137,037,973
2025
80,466,062
254,371,114
18,420,705
62,304,198
415,562,079
150,979,301
2026
80,487,772
256,771,285
18,542,282
44,433,598
400,234,937
135,265,808
2027
80,509,625
259,345,323
18,664,661
161,141,015
519,660,624
163,374,542
2028
80,531,623
262,110,178
18,787,847
361,429,648
105,701,191
2029
80,553,766
265,084,492
18,911,847
364,887,817
99,267,482
2030
80,576,055
268,288,768
19,036,665
78,487,553
337,712
367,901,488
Total Total Biaya per Tahun A = P(A/P, 7,5%, 20)
93,104,511 5,979,054,243 586,498,534.57
Tabel 14. Perhitungan Tarif Sewa pada Tingkat Hunian 50% Total Biaya Tarif Tahunan Sewa (Rp) (Rp) a c e f = e/d 50% 180 586.498.53 191.666 5 Kedua langkah di atas diulang untuk tingkat hunian 75% dan 90% dengan menggunakan data biaya operasional variabel dan hari tersewa yang sesuai. Rekapitulasi hasil perhitungan tarif sewa pada tingkat hunian 50%, 75%, dan 90% akan disajikan dalam tabel 15 berikut: Tingkat Hunian
Unit Kamar Tersewa b 17
Hari Tersewa
Unit kamar x hari tersewa d = bc 3060
Tabel 15. Rekapitulasi Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin pada berbagai Tingkat Hunian Tingkat Hunian 50% 75% 90%
Tarif Sewa per Kamar per Hari (Rp) 192.000 154.000 143.000
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penyempurnaan bagi PP Nomor 38 Tahun 2012 berupa penyertaan komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU agar tarif yang dihasilkan mampu menutup biaya-biaya yang terjadi atau bahkan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara serta dapat digunakan selama umur ekonomis aset.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 58
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, kesimpulan yang didapat antara lain: 1. Komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU meliputi: a. Pendapatan b. Biaya Investasi c. Biaya Operasional Tetap, meliputi: Biaya Pemasaran Biaya Energi dan Daya (Biaya Listrik Fasilitas Umum dan internet) d. Biaya Operasional Variabel, meliputi: Biaya Operasional Departemen (housekeeping) Biaya Energi dan Daya (biaya listrik ruangan dan biaya air) e. Biaya Pemeliharaan f. Biaya Perawatan 2. a. b. c.
Tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin yang dihitung berdasarkan komponen perhitungan tarif sewa di atas adalah: Pada tingkat hunian sebesar 50%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah Rp 192.000,-/kamar/hari Pada tingkat hunian sebesar 75%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah Rp 154.000,-/kamar/hari Pada tingkat hunian sebesar 90%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah Rp 143.000,-/kamar/hari
4.2. Saran Penelitian ini baru memperhitungkan tarif sewa asrama yang mempertimbangkan pengembalian investasi dan tanpa memasukkan nilai wajar tanahnya. Berdasarkan struktur taruf sewa pada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18 Tahun 2007, tarif ini dikategorikan sebagai tarif sewa komersial. Tarif sewa komersial ini mengindikasikan bahwa Asrama Balai Diklat PU harus bersaing dengan hotel atau penginapan sejenis di sekitarnya. Sementara, dalam kenyataannya Asrama Balai Diklat PU umumnya juga menerapkan tarif yang lebih rendah bagi penyewa dari kalangan instansi pemerintah. Tarif yang lebih rendah ini didapatkan dengan perhitungan tanpa mempertimbangkan biaya investasi. Tarif semacam ini dikategorikan dalam struktur tarif sewa dasar. Penelitian ini belum memperhitungkan tarif sewa dasar yang dapat dikenakan bagi Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin. Penelitian selanjutnya dapat menyempurnakan hasil penelitian ini dengan memperhitungkan tarif sewa komersial dengan memperhitungkan nilai wajar tanah, memperhitungkan tarif sewa dasar yang dapat dikenakan, dan sekaligus merumuskan struktur tarif sewa yang sesuai bagi Asrama Balai Diklat PU.
5. DAFTAR PUSTAKA 1.
Anonim (2007) Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rumah Susun Sederhana yang Dibiayai APBN dan APBD. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18/PERMEN/M/2007.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 59
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2.
3. 4.
5. 6.
7.
Anonim (2008) Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. Anonim (2010) Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2010. Isramaulana, Aulia (2011) Analisis Penetapan Harga Sewa Rumah Susun Sederhana Sewa Mahasiswa Unlam Banjarmasin). Tesis Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Waldiyono (2008) Ekonomi Teknik: Konsepsi, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widayati, Farida (2005) Analisis Penetapan Tarif Klas VVIP dan VIP Ruang Paviliun Wijaya Kusuma: Studi Kasus BPRSUD Salatiga. Tesis Magister, Universitas Diponegoro. Wiyasha, IBM (2007) Akuntansi Manajemen untuk Hotel dan Restoran. Yogyakarta: Andi.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 60
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
METODE SISTEM PENGUKURAN DAN PENILAIAN KINERJA INDUSTRI KONSTRUKSI Elizar Dosen Jurusan Teknik Sipil FT, Universitas Islam Riau, Kampus UIR Jl.Kaharuddin Nst Km.13 No.113,Pekanbaru, Riau , email: [email protected]
ABSTRAK Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025. Tantangan dari suatu negara besar adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi. Untuk mendukung pelaksanaan proyek MP3EI, industri konstruksi mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional sehingga dituntut memiliki potensi dan kehandalan kinerja yang baik untuk menghadapi tantangan dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Pengukuran dan penilaian kinerja merupakan suatu proses pengamatan dalam berbagai sistem pencapaian sasaran, tujuan, misi dan visi melalui hasil-hasil produksi, jasa maupun proses pelaksanaan dalam suatu kegiatan. Paper ini membahas tentang berbagai metode yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran dan penilaian kinerja industri konstruksi berdasarkan referensi penelitian sebelumnya maupun literatur yang berkaitan dengan metode sistem pengukuran dan penilaian kinerja. Metode yang dibahas dalam paper ini untuk mengukur kinerja proyek konstruksi antara lain : Performance Prism, Project Performance Monitoring System (PPMS), Integrated Performance Measurement System (IPMS), Key Performance Indicators (KPI), Balanced Scorecard dan Diversity Scorecard. Berdasarkan hasil tinjauan terhadap berbagai metode pengukuran dan penilaian diusulkan menggunakan metode Performance Prism yang memberikan pengukuran dan penilaian kinerja secara komprehensif untuk industri konstruksi. Kata kunci: pengukuran, penilaian, kinerja, industri konstruksi.
1. PENDAHULUAN Konstruksi Indonesia adalah sarana informasi dan komunikasi dunia konstruksi nasional untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan kebanggaan masyarakat terhadap kemampuan pelaku konstruksi dalam menghasilkan produk-produk insfrastruktur dan upaya meningkatkan kompetensi serta profesionalisme pelaku industri konstruksi. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025. Tantangan dari suatu negara besar adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi. Untuk mendukung pelaksanaan proyek MP3EI, industri konstruksi mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional sehingga dituntut memiliki potensi dan kehandalan kinerja yang baik untuk menghadapi tantangan dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Kinerja merupakan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan suatu organisasi khususnya pekerjaan konstruksi dengan sumber daya yang terbatas sesuai sasaran dan tujuan perencanaan dalam pembangunan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 61
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Pengukuran dan penilaian kinerja menjadi suatu proses yang sangat penting dalam pengamatan berbagai sistem sehingga pencapaian sasaran, tujuan, misi dan visi melalui hasil-hasil produksi, jasa maupun proses pelaksanaan dalam suatu kegiatan dapat diketahui tingkat keberhasilannya. Penilaian kinerja dapat menganalisis kemungkinan terjadi penyimpangan dan melakukan tindakan koreksi agar sumber daya dapat digunakan secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian suatu sasaran dan tujuan proyek konstruksi. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian review terhadap beberapa metode yang dapat digunakan sebagai instrumen pengukuran dan penilaian kinerja industri konstruksi. Metode yang diambil berdasarkan beberapa referensi penelitian terdahulu yaitu : Performance Prism, Project Performance Monitoring System (PPMS), Integrated Performance Measurement System (IPMS), Key Performance Indicators (KPI), Balanced Scorecard dan Diversity Scorecard.
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran dan Penilaian Kinerja Kinerja adalah hasil yang dapat dicapai oleh sekelompok atau individu pada suatu organisasi dengan kemampuan dan ketersediaan sumberdaya terbatas sesuai dengan spesifikasi, biaya, waktu yang telah ditetapkan Kinerja merupakan penilaian secara individu, kelompok, departemen atau organisasi yang mencakup dua kelompok pengukuran yaitu efisiensi (produktivitas) dan efektivitas. Efisiensi berfokus terhadap rasio operasional (volume pekerjaan/orang jam). Efektivitas meliputi pengukuran yang berfokus pada seberapa dekat tujuan jangka panjang terpenuhi, termasuk trend peningkatan terakhir. Jumlah pekerjaan ulang, jumlah kecelakaan, kepuasan pemilik terhadap proyek yang talah selesai [2]. Untuk melakukan penilaian dan pengukuran kinerja perlu diidentifikasikan indikatorindikator standar yang sesuai dengan sasaran dan tujuan perusahaan. Indikator-indikator tujuan akhir pencapaian proyek haruslah ditampilkan dan dijadikan pegangan selama pelaksanaan proyek. Indikator-indikator yang biasanya menjadi sasaran pencapaian tujuan akhir proyek adalah sebagai barikut: [5] a. Indikator kinerja biaya, untuk memantau keuangan proyek diperlukan indikator arus kas proyek rencana dan penggunaan biaya dalam periode waktu proyek. b. Indikator kinerja waktu, dalam monitor dan evaluasi proyek menggunakan kurva S, yaitu plotting dan kumulatif persentase bobot pekerjaan yang mempresentasikan kemajuan dari awal hingga akhir proyek. c. Indikator kinerja mutu, menggunakan kurva S dengan 2 indikator yaitu Produk Sesuai Mutu (PSM) atau Produk Tidak Sesuai Mutu (PTSM) d. Indikator Kinerja K3, kurva S dapat dijadikan indikator yang menunjukkan biaya kumulatif dari Kondisi Tanpa Kecelakaan (KTK) dan Kondisi Dengan Kecelakaan (KDK) 2.2. Metode Performance Prism Performance Prism merupakan pengembangan dari teknik pengukuran kinerja sebagai suatu kerangka kerja (framework) yaitu bantuan pemikiran yang berusaha mengintegrasikan lima perspektif dan struktur untuk memikirkan jawaban atas lima pertanyaan mendasar [7] :
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 62
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
1. Stakeholder Satisfaction, siapa yang menjadi stakeholder dan apa yang mereka inginkan serta apa yang mereka perlukan? 2. Stakeholder Contribution, kontribusi apa yang kita inginkan dan perlukan dari stakeholder? 3. Strategies, strategi apa yang telah diterapkan untuk memenuhi apa yang diinginkan dan diperlukan stakeholder? 4. Processes, proses apa yang diperlukan untuk menjalankan strategi yang sudah ditetapkan? 5. Capabilities, kemampuan apa saja yang diperlukan untuk mengoperasikan proses lebih efektif dan efisien?
Gambar 1. Ruang Lingkup Performance Prism [7] Filosofi performance prism berasal dari sebuah bangun prisma yang memiliki lima segi yaitu untuk atas dan bawah adalah satisfaction dari stakeholder dan kontribusi stakeholder. Sedangkan untuk ketiga sisi berikutnya adalah strategy, process dan capability. Prisma juga dapat membelokkan cahaya yang datang dari salah satu bidang ke bidang yang lainnya. 2.3. Metode Performance Monitoring System (PPMS) Performance Monitoring System (PPMS) merupakan aliran pengumpulan data dan penyebarluasan data. PPMS dapat membantu manajer proyek dan staff menilai kinerja proyek pada waktu yang tepat. Kategori pengukuran kinerja proyek dapat ditambah dan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 63
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dikurangi sesuai dengan tujuan proyek. Penggunaan PPMS memungkinkan manajer proyek membandingkan dan menyajikan data dengan mudah dalam bentuk grafik dan kurva. Sistem menyediakan sarana identifikasi daerah-daearh mana saja yang dinilai berkinerja rendah untuk segera ditangani. Banyaknya parameter kinerja yang digunakan tergantung pada tingkat kecanggihan proyek dan sejauh mana upaya monitoring dicari. Data proyek yang berhubungan dengan parameter di simpan dalam database untuk dianalisa dan dibuat laporan [3]. Client
Consultans
DATABASE
DATA ENTRY
Contractor
PPMS
ACTION ACTION
REPORTING
Database
Computing Framework
Reporting
Corrective Action To improve Performance
Gambar 2. Pengembangan Framework PPMS [3] Kategori penilaian kinerja proyek terdiri dari 8 (delapan) kategori penting yaitu people, cost, time, quality, safety and health, environment, customer satisfaction dan communication. Penerapan indikator lingkungan dan masyarakat merupakan tanggapan terhadap keprihatinan terhadap masalah lingkungan dengan pendekatan sistem kontrak. 2.4. Integrated Performance Measurement System (IPMS) Integrated Performance Measurement System (IPMS) merupakan sistem pengukuran kinerja yang dibuat di Centre of Strategic Manufacturing, University of Strathclyde, Glasglow [9], dengan tujuan mendeskripsikan arti yang tepat bentuk integrasi, efektif
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 64
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dan efisien Sistem Pengukuran Kinerja (SPK), untuk mencapai tujuan tersebut maka dideskripsikan sebagai berikut [10] : 1.Komponen pokok dari sistem pengukuran kinerja. 2.Membuat garis arahan pengukuran kinerja terbaik yang sebaiknya digunakan. Model IPMS membagi level bisnis suatu organisasi menjadi 4 (empat) level yaitu : Business (Corporate-Bisnis Induk), Business Unit, Business Process dan Activity. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja dengan Model IPMS harus mengikuti tahapan-tahapan identifikasi stakeholder dan requirement, melakukan eksternal monitor (benchmarking), menetapkan objectives bisnis, mendefinisikan indikator, melakukan validasi dan spesifikasi indikator kinerja.
Gambar 3. Konsep Framework IPMS [8] Gambar 3 menunjukkan bagaimana kegiatan operasional selaras dan terintegrasi dengan tujuan strategi objektif organisasi melalui pemilihan indikator kinerja yang tepat. Kerangka kerja terdiri dari serangkaian 4 (empat) bidang tindakan yang seimbang berdasarkan visi dan strategi organisasi yaitu sebagai berikut [8] : 1. Customer, bagaimana memenuhi keinginan pelanggan? 2. Learning and Growth, bagaimana mendukung inovasi, perubahan, perbaikan berkelanjutan? 3. Financial, bagaimana tindakan memenuhi strategi tujuan keuangan? 4. Internal Business Processes, seberapa jauh kinerja proses internal bisnis? 2.5. Key Performance Indicator (KPI) Key Performance Indicator merupakan suatu pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk meninjau kemajuan organisasi terhadap tujuannya. Indikator diuraikan dan ditetapkan sebagai faktor pencapaian target pada suatu kelompok maupun individu. Pencapaian target ditinjau dan dilakukan secara berkala. Karakteristik KPI telah diidentifikasikan dari beberapa literatur, KPI tidak harus memenuhi semua karakteristik yang berguna untuk penilaian suatu lembaga. Pada umumnya perspektif KPI mencakup sebagai barikut [1] :
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 65
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
1. Financial, mengukur dampak ekonomi terhadap pertumbuhan, keuntungan dan resiko dari perspektif pemegang saham (net income, ROI, ROA, cash flow) 2. Customer, mengukur kemampuan organisasi untuk memberikan kualitas barang dan jasa yang memenuhi harapan pelanggan (customer retention, provitability, satisfaction and loyality) 3. Internal Business Processes, mengukur proses bisnis internal yang menciptakan kepuasan pelanggan dan pemegang saham (project management and total quality management) 4. Learning and Growth, mengukur lingkungan organisasi yang mendorong terjadinya perubahan, inovasi, pertukaran informasi dan perkembangan (moral staff, pelatihan dan pertukaran pengetahuan)
Gambar 4. Perspektif KPI [1] Strategi pengelolaan dokumen harus berbentuk level-level dimana Key Performance Incators strategi untuk pencatatan seluruh bagian perusahaan. Untuk pencapaian proses tersebu maka strategi pengelolaan dokumen harus searah dengan strategi perusahaan. 2.6. Balanced Scorecard (BSC) Balanced Scorecard dikembangkan oleh Robert Kaplan seorang akutansi, Professor di Havard University dan David Norton konsultan di daerah Boston. Pada Tahun 1990 Kaplan dan Norton memimpin sebuah penelitian pada beberapa perusahaan untuk menerapkan metode pengukuran kinerja. Kriteria pertimbangan Balanced Scorecard terdiri atas sebagai berikut [6]: 1. Customer, organisasi harus menjawab tiga pertanyaan secara kritis : Siapa pelanggan yang menjadi target pencapaian tujuan?, apa saja proposisi nilai layanan pelanggan?, apa saja yang diharapkan dan kebutuhan pelanggan? 2. Internal Processes, untuk memenuhi keinginan pelanggan, harus mengidentifikasikan proses internal sebagai perbaikan kegiatan yang ada. 3. Employee Learning and Growth, untuk mencapai hasil proses internal, pelanggan dan pemegang saham maka diperlukan pengukuran perspsektif pembelajaran dan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 66
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
pertumbuhan karyawan terhadap skill karyawan, kepuasan karyawan, ketersediaan informasi dan kesesuaian tempat. 4. Financial, pengukuran financial merupakan komponen penting dari Balanced Scorecard terutama dalam mencari keuntungan. 5.
Gambar 5. Framework Balanced Scorecard [6] Gambar 5 menunjukkan kerangka kerja Balanced Scorecard. BSC menetapkan pengukuran financial sebagai ukuran hasil utama dari keberhasilan suatu perusahaan dengan tambahan pengukuran tiga perspektif Costomer, Internal Business process, Learning and Growth. 2.7. Diversity Scorecard Diversity Scorecard digambarkan sebagai keragamanan scorecard yang seimbang, tujuan dipilih secara teliti dan pengukuran berdasarkan dari strategi organisasi yang memiliki hubungan dengan keragamanan strategi. Pengukuran dipilih untuk merepresentasikan alat Diversity Scorecard bagi keragaman pemimpin yang digunakan dalam berkomunikasi dengan eksekutif, manajer, karyawan dan stakeholder eksternal untuk mencapai keragaman misi dan keragaman strategi tujuan. Tujuan dasar dan ukuran Diversity Scorecard umumnya melihat kinerja keragaman organisasi berdasarkan 6 (enam) sudut pandang yaitu sebagai berikut [4] : 1. Financial impact, untuk sukses finacial, bagaimana seharusnya diketahui oleh pemegang saham? 2. Diverse customer/community partnership, untuk mencapai visi, bagaimana kita memberikan produk dan melayani masyarakat pelanggan yang beragam? 3. Workforce profile, untuk memotivasi tenaga kerja, bagaimana kita mendukung produktivitas, iklim kerja yang inklusif? 4. Workplace climate/culture, untuk mengetahui keinginan pelanggan, bagaimana menerapkan tenaga kerja?, bagaimana mempertahankan mereka?
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 67
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5. Diversity leadership commitment, untuk mencapai visi, bagaimana kita mendukung akuntabilitas kepemimpinan yang beragam. 6. Learning and growth, untuk mencapai visi, bagaimana kita mendukung kemampuan untuk perubahan dan perbaikan? 7.
Gambar 6. Framework Diversity Scorecard [4] Gambar 8 menggambarkan penjabaran strategi organisasi dan menghubungkan ke strategi keanekaragaman. Diversity Scorecard berakar dari visi dan strategi organisasi serta didukung kepemimpinan.
3. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa review berdasarkan pada beberapa referensi dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Berdasarkan dari berbagai referensi tersebut dilakukan identifikasi terhadap berbagai metode pengukuran dan penilaian kinerja yang dapat diterapkan pada industri konstruksi. Selanjutnya dianalisa tingkatan masing-masing kelebihan dan sistem analisa dari metode-metode tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil kajian dari beberapa referensi mengenai metode pengukuran dan penilaian kinerja industri konstruksi maka dapat dirangkum dalam bentuk matrik sebagai berikut ini.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 68
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 1. Hasil Perbandingan Perspektif Metode Pengukuran dan Penilaian Kinerja Perspektif Kinerja Stakeholder Satisfaction Stakeholder Contribution Strategies Processes Capabilities People Cost / Financial Time Quality Safety and Health Environment Customer Satisfaction Communication Learning and Growth Internal Business Processes Workforce profile Workplace climate/culture leadership commitment
PP
PPMS
IPMS
KPI
BSc
DSc
Keterangan: PP: Performance Prism, PPMS: Project Performance Monitoring System, IPMS: Integrated Performance Measurement System, KPI: Key Performance Indicators, BSc: Balanced Scorecard dan DSc: Diversity Scorecard
5. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa Integrated Performance Measurement System (IPMS), Key Performance Indicators (KPI), Balanced Scorecard (BSc) dan Diversity Scorecard (DSc) memiliki perspektif kinerja yang sama hanya pada masing-masing metode memiliki fokus pengukuran yang berbeda. Pada Project Performance Monitoring System (PPMS) lebih berfokus terhadap pengukuran kinerja internal sedangkan pada metode Performance Prism berfokus pada kepuasan stakeholder baik pemerintah maupun swasta dengan kontribusi stakeholder secara terintegrasi memungkinkan dapat menentukan strategi untuk mencapai keinginan dan kebutuhan stakeholder dengan maksimal. Berdasarkan kesimpulan tersebut metode pengukuran dan penilaian diusulkan menggunakan metode Performance Prism yang memberikan pengukuran dan penilaian kinerja secara komprehensif untuk industri konstruksi. Metode Performance Prism akan lebih komprehensif jika berkolaborasi dengan metode Diversity Scorecard.
6. DAFTAR PUSTAKA 1.
Bauer, Kent, (2004), Key Performance Indicators: The Multiple Dimensions, Information Management and Source Media Inc., Brookfield USA. www.information-management.com
2.
Bernold L.E and Abourizk S.M (2010), Managing Performance in Construction, Jhon Wiley and Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 69
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3.
Cheung,SO; Suen,HCH and Cheung KKW (2004), PPMS: a Wab-base Construction Project Performance Monitoring System, Elsevier, Automation in Construction 13, 361-376.
4.
Hubbard, Edward E (2004), The Diversity Scorecard: Evaluating The Impact of Diversity on Organizational Performance, Elsevier Butterworth-Heinemann.
5.
Husen, Abrar (2011), Manajemen Proyek: Perencanaan, Penjadwalan dan Pengendalian Proyek, Andi Offset, Yogyakarta.
6.
Kaplan, RS (2010), Conceptual Foundation of the Balanced Scorecard, Harvard Business School, Harvard University.
7.
Nelly, A; Adams, C and Crowe, P (2001), The Performance Prism In Practise, Measuring Busness Excellence 5, 22001, pp . 6 - 1 2, MCB University Press, 1368 – 3047.
8.
Powell,D and Netland, T (2010), Towards an Integrated Performance Measurement System for Cellular Manufacturing: Insights from the Case of Volvo Aero Norway, POMS 21st Annual Conference, Vancouver.
9.
Suartika,I Made; Suwignjo, Patdono dan Syairuddin, Bambang (2007), Perancangan dan Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Dengan Metode Integrated Performance Measurement Systems, Jurnal Teknik Industri, Vol 9 No.2, 131-143.
10.
Suwignjo, P., 2000, “Sistem Pengukuran Kinerja: Sejarah Perkembangan dan Agenda Penelitian ke Depan”, Proceeding Seminar Nasional Performance Management, Bagian C, Hotel Wisata, Jakarta.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 70
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KAJIAN KERANGKA LEGISLATIF PENERAPAN GREEN CONSTRUCTION DALAM PROYEK BANGUNAN GEDUNG DI INDONESIA Wulfram I. Ervianto1, Biemo W. Soemardi2, Muhamad Abduh3 Surjamanto4 1
Kandidat Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 2 Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 3 Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 4 Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected]
ABSTRAK Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di Bumi diyakini oleh para peneliti disebabkan salah satunya adalah pembangunan. Sebuah gagasan yang dianggap berpotensi dapat mengurangi pemanasan global adalah dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu terjemahan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat praktis dikenal dengan green construction dimana implementasinya mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak. Kajian tentang green construction ditinjau dari aspek teknis telah banyak dilakukan untuk meyakinkan dapat diterapkannya di Indonesia. Selain kajian aspek teknis tentu dibutuhkan kepastian apakah kerangka legislatif yang telah ada di Indonesia dapat mengakomodasi secara komprehensif bila green construction diterapkan. Sampai dengan saat ini belum ada informasi yang lengkap tentang pemetaan kerangka legislatif yang mendukung penerapan green construction. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap berbagai peraturan yang telah mengakomodasi konsep green construction dalam bentuk mapping kerangka legislatif untuk mendukung penerapan green construction untuk bangunan gedung baru di Indonesia. Data dan informasi diperoleh melalui dokumen dalam bentuk undang-undang, peraturan menteri, peraturan daerah dan peraturan lain yang terkait dengan bangunan ramah lingkungan, yaitu Undang-Undang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010, Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Peraturan Daerah (Perda) berupa Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012. Hasil kajian menyatakan bahwa dalam tahap perencanaan terdapat 42 Pasal/ayat yang mengatur tentang perencanaan bangunan hijau, 53 pasal/ayat pada tahap pelaksanaan, dan 26 pasal/ayat pada tahap operasional bangunan. Kata kunci: Landasan Legislatif; Green Construction, Bangunan gedung.
1. PENDAHULUAN Fenomena global warming yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca menjadi topik yang banyak dibahas dalam berbagai forum ilmiah. Salah satu indikator bahwa bumi tengah mengalami perubahan adalah tingginya konsentrasi karbondioksida (CO2) di udara yang bersifat menghalangi pelepasan panas dari bumi. Konsumsi energi yang besar dengan pertumbuhan 2% per tahun sampai tahun 2020 akan menghasilkan emisi global CO2 dan gas rumah kaca lainnya naik menjadi dua kali lipat dari tahun 19651998 yang berdampak pada perubahan iklim dunia [11]. Bila cara-cara pembangunan tetap dilakukan seperti biasanya tanpa perubahan, maka pada tahun 2050 diperkirakan konsentrasi CO2 akan mencapai 500 part per million (ppm) atau menjadi dua kali lipat konsentrasinya bila dibandingkan sebelum revolusi industri [13]. Secara global,
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 71
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Indonesia berada di urutan ke lima dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca atau sekitar 4,63% [14]. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007, Indonesia sepakat untuk menurunkan konsentrasi CO2 di udara sebesar 26% sampai dengan 41% di akhir tahun 2020 dan disepakati tentang “peta jalur hijau” dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon. Salah satu agenda yang diusulkan adalah melakukan promosi sustainable construction untuk penghematan bahan dan pengurangan limbah (bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi [12]. Kedua hal tersebut diatas terkait erat dengan daya dukung lingkungan yang dapat dikelompokan menjadi dua komponen, yaitu: kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Tujuan sustainable construction adalah menciptakan bangunan berdasarkan disain yang memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien dan ramah lingkungan selama operasional bangunan [6]. Bagian dari sustainable construction adalah green construction yang merupakan proses holistik yang bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara lingkungan alami dan buatan [7]. Green construction didefinisikan suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi untuk meminimalkan dampak negatif proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan mendatang [8]. Green construction mencakup aspek, faktor, dan indikator. Faktor green construction di Indonesia dapat disintesakan menjadi 16 faktor [9]. Dalam setiap faktor green construction terdapat sejumlah indikator green construction. Indikator green construction untuk bangunan gedung di Indonesia adalah 142 indikator, yang terdiri dari 77 indikator prioritas I dan 65 indikator prioritas II. Secara rinci indikator prioritas I terbagi menjadi 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori minimum waste, dan 49,33% kategori maksimum value. Sedangkan dalam prioritas II terbagi menjadi 27,69% kategori perilaku, 12,31% kategori minimum waste, dan 60% kategori maksimum value. Komposisi indikator green construction secara keseluruhan adalah 21,43% dalam kategori perilaku, 24,29% dalam kategori minimum waste, dan 54,29% dalam kategori maksimum value. [8]. Dengan terdefinisikannya faktor dan indikator green construction tersebut diatas tentunya semakin besar posibilitas diterapkannya green construction dalam proses pembangunan di tingkat praktis. Namun demikian masih perlu dikaji lebih mendalam dalam hal-hal sebagai berikut: peraturan legislatif, risiko yang akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan, kesiapan kontraktor, kesiapan konsultan pengawas, kesiapan pemasok material bangunan pabrikasi maupun bukan pabrikasi, kesiapan pekerja konstruksi secara keseluruhan. Tentu saja semua hal tersebut tidak dapat ditunggu kesiapannya secara simultan, akan tetapi harus direncanakan dan dikelola secara strategis agar green construction secara perlahan dapat diterapkan di Indonesia. Dari berbagai hal tersebut diatas aspek yang berkekuatan untuk mendorong penerapan green construction di Indonesia adalah peraturan yang berkekuatan hukum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah sebagai regulator.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 72
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan kesepakatan Indonesia dalam Konferensi di Bali pada bulan Desember 2007 tentang “peta jalur hijau” dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon. Merujuk pada agenda dalam Konstruksi Indonesia untuk melakukan promosi sustainable construction melalui penghematan bahan dan pengurangan limbah (bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi. Dimulainya era green dengan terdefinisikannya konsep green secara komprehensif dalam berbagai infrastruktur seperti green building dan green construction, maka diperlukan berbagai peraturan yang berkekuatan hukum sebagai dasar dalam implementasinya di tingkat praktis.
3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dalam penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap kerangka legislatif yang telah ada untuk mendukung dalam penerapan green construction pada bangunan gedung di Indonesia.
4. KAJIAN PUSTAKA Definisi “kerangka” adalah garis besar atau rancangan [10], sedangkan legislatif berasal dari kata legislate yang berarti lembaga yang bertugas membuat undang-undang [10]. Lembaga legislatif berwenang untuk menentukan kebijakan dan membuat undang undang disertai dengan hak-hak tertentu yang dimilikinya. Keanggotaan lembaga legislatif dianggap sebagai perwakilan rakyat, karena itulah lembaga legislatif sering dinamakan sebagai badan atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut [4]: (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; (b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah. Terkait dengan green construction, aspek legislatif yang telah ada saat ini adalah Undang-Undang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002. Sedangkan peraturan yang mengatur secara spesifik tentang bangunan ramah lingkungan adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010. Di tingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Bangunan Gedung Hijau adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012. Peraturan setingkat menteri yang sedang dipersiapkan adalah Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung terdiri dari 10 Bab dan 49 Pasal, bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya. Pasal-pasal yang terkait dengan aspek lingkungan adalah pasal 11; pasal 14, terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang ruang terbuka hijau yang seimbang; pasal 15, tentang persyaratan pengendalian dampak lingkungan; pasal 22, tentang sirkulasi dan pertukaran udara; pasal 23, tentang keharusan mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami; pasal 24, tentang sistem pembuangan air kotor/kotoran/sampah dan penyaluran air hujan; pasal 25 ayat 1, tentang penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan; pasal 26 ayat 4,
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 73
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
tentang kenyamanan kondisi udara dalam ruang, pasal 26 ayat 6, kenyamanan tingkat getaran; pasal 39 tentang dekonstruksi bangunan. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010. Dalam peraturan ini mencakup tiga hal, yaitu: (a) Kriteria bangunan ramah lingkungan; (b) Sertifikasi bangunan ramah lingkungan; (c) Registrasi lembaga sertifikasi bangunan ramah lingkungan. Bagian yang terkait langsung dengan bangunan ramah lingkungan adalah Bab II tentang Kriteria Bangunan Ramah Lingkungan yang diatur dalam pasal 4. Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Tujuan adanya rapermen ini adalah terselenggaranya fungsi bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan keandalan teknis dan mengutamakan aspek bangunan hijau yang meliputi: (a) efisiensi dalam penggunaan energi; (b) efisiensi dalam penggunaan air; (c) mutu udara dalam bangunan gedung; (d) pengelolaan limbah; (e) manajemen penyelenggaraan bangunan gedung. Kriteria bangunan hijau dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, kriteria pembangunan yang mencakup aspek perencanaan dan pelaksanaan. Lebih spesifik kriteria yang memuat tahap pelaksanaan adalah: (a) manajemen efisiensi energi; (b) manajemen efisiensi air; (c) manajemen penggunaan material; (d) manajemen pelaksanaan konstruksi. Kedua, kriteria pemanfaatan yang mencakup aspek pemeliharaan, aspek perawatan, dan aspek pemeriksaan berkala. Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. Peraturan ini mulai diberlakukan sejak bulan April 2012. Dalam peraturan ini dibedakan menjadi dua, yaitu bangunan baru (new building) dan bangunan lama (eksisting). Aspek yang perhatikan dalam bangunan baru adalah disain yang menjadi standar teknis bangunan yang memiliki lima kriteria, yaitu: (a) pengelolaan bangunan masa konstruksi; (b) pengelolaan lahan dan limbah; (c) efisiensi energi; (d) efisiensi air; (e) kualitas udara dan kenyamanan termal. Sedangkan aspek yang diperhatikan dalam bangunan lama adalah konsumsi energi yang memiliki empat kriteria, yaitu: (a) pengelolaan bangunan masa operasional; (b) konservasi dan efisensi energi; (c) konservasi dan efisiensi air (d) serta kualitas udara dan kenyamanan termal. Peraturan ini bersifat wajib atau mandatori, oleh karenanya bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan aturan tersebut akan dikenakan sanksi berupa tidak akan mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi bangunan baru (new building) dan tidak akan mendapat Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan untuk bangunan lama (existing building). 5.
DATA DAN ANALISIS
Untuk mendapatkan kerangka legislatif yang mendukung penerapan green construction pada bangunan gedung di Indonesia didahului dengan melakukan pendataan terkait dengan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Sejumlah peraturan tersebut selanjutnya diinterpretasikan secara detil untuk menentukan bagian-bagian yang terkait dengan penerapan green construction pada bangunan gedung. Mengingat konsep ini masih relatif baru di Indonesia, saat ini belum banyak regulasi yang mengatur penerapannya di Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa yang
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 74
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
mengatur dalam pembangunan gedung terkait dengan aspek lingkungan dan merupakan bagian dari konsep green construction. Analisis data yang digunakan secara deskriptif mengingat karakter data berupa paparan dalam berbagai regulasi. Untuk mengidentifikasi pasal dan ayat dalam peraturan yang terkait dengan tahapan dalam proyek konstruksi akan dibedakan menjadi dua, yaitu langsung (L) dan tidak langsung (TL). Langsung didefinisikan jika aktivitas tersebut diciptakan pada tahapan proyek tersebut, sedangkan Tidak Langsung jika aktivitas terjadi sebagai akibat dari aktivitas tahapan proyek lainnya. Tabel 1 : Pasal dan ayat dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung yang terkait dengan lingkungan. Deskripsi Pasal 14, terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang ruang terbuka hijau yang seimbang. Pasal 15, persyaratan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 22, sirkulasi dan pertukaran udara. Pasal 23, keharusan mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami. Pasal 24, sistem pembuangan air kotor/kotoran/sampah dan penyaluran air hujan. Pasal 25 ayat 1, Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan. Pasal 26 ayat 4, Kenyamanan kondisi udara dalam ruang. Pasal 26 ayat 6, Kenyamanan tingkat getaran. Pasal 39, Dekonstruksi bangunan.
Pr.
Pl.
Op.
L
-
-
L L L
-
TL TL
L
L
TL
L
L /TL
TL
L L L
L L /TL
TL TL -
Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 2 : Pasal dan ayat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 08 tahun 2010 yang terkait dengan aspek lingkungan Pasal 4 – a, Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan. Pasal 4 – b, Terdapat fasilitas, sarana, dan rasarana untuk konservasi sumber daya Air dalam bangunan gedung Pasal 4 – c, Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana konservasi dan diversifikasi Energi Pasal 4 – d, Menggunakan bahan yang bukan bahan perusak ozon dalam bangunan Gedung
ISBN 978-979-99327-8-5
Deskripsi Material bangunan yang bersertifikat eco-label. Material bangunan lokal. Mempunyai sistem pemanfaatan air yang dapat dikuantifikasi. Menggunakan sumber air yang memperhatikan konservasi sumber daya air. Mempunyai sistem pemanfaatan air hujan. Menggunakan sumber energi alternatif terbarukan yang rendah emisi gas rumah kaca. Menggunakan sistem pencahayaan dan pengkondisian udara buatan yang hemat energi. Refrigeran untuk pendingin udara yang bukan bahan perusak ozon. Melengkapi bangunan gedung dengan peralatan pemadam kebakaran yang bukan bahan perusak ozon.
Pr. L
Pl. TL
Op. TL
L
L
-
L
L
TL
L
L
-
L
L
TL
L
L
TL
L
L
TL
L
L
TL
L
L
TL
I - 75
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Pasal 4 – e, Terdapat fasilitas,sarana, dan prasarana pengelolaan air limbah domestik Pada bangunan gedung Pasal 4 – f, Terdapat fasilitas pemilahan sampah Pasal 4 – g, Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
Pasal 4 – g, Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan
Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Deskripsi Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pengolahan air limbah domestik pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus. Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pemanfaatan kembali air limbah domestik hasil pengolahan pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus.
Pr.
Pl.
Op.
L
L
TL
L
L
TL
-
L
L
-
Melakukan pengelolaan sistem sirkulasi udara bersih.
L
L
TL
Memaksimalkan penggunaan sinar matahari.
L
L
TL
L
-
TL
L
-
TL
L
-
-
L
-
TL
L
-
TL
L
L
-
Melengkapi bangunan gedung dengan ruang terbuka hijau sebagai taman dan konservasi hayati, resapan air hujan dan lahan parkir. Mempertimbangkan variabilitas iklim mikro dan perubahan iklim. Mempunyai perencanaan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan tata ruang. Menjalankan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan perencanaan. Mempunyai sistem peringatan dini terhadap bencana dan bencana yang terkait dengan perubahan iklim. Menggunakan material bangunan yang tahan terhadap iklim atau cuaca ekstrim intensitas hujan yang tinggi, kekeringan dan temperatur yang meningkat.
Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 3 : Pedoman teknis pelaksanaan dalam Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Item
II.2.2, Manajemen efisiensi energi
ISBN 978-979-99327-8-5
Deskripsi Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya listrik yang tersedia dan/atau menyediakan sumber catu daya mandiri (generator power supply). Menggunakan alat transportasi vertikal/lif konstruksi (material/passenger hoist) yang hemat energi. Menggunakan seoptimal mungkin pencahayaan alami. Memasang alat ukur beban listrik atau kWh meter terpisah untuk masing-masing kelompok beban >100 kVa sehingga memudahkan untuk
Pr.
Pl.
Op.
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
I - 76
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Item
II.2.3, Manajemen efisiensi air
II.2.4, Manajemen penggunaan material
II.2.5, Manajemen pelaksanaan konstruksi bangunan gedung
ISBN 978-979-99327-8-5
Deskripsi memantau penggunaan daya listrik masingmasing kelompok. Mendorong penggunaan sumber daya non-fosil dalam kegiatan pelaksanaan. Menyediakan penampungan air hujan dengan kapasitas semaksimal mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber air bersih proyek. Melakukan manajemen air dewatering Sumur resapan dan/atau kolam penampungan air hujan digunakan untuk menjaga keseimbangan air tanah, mengurangi aliran permukaan dan/atau untuk alternatif sumber air bersih Manajemen penggunaan air dengan memisahkan kegiatan yang memerlukan air untuk kebersihan dengan kegiatan yang membutuhkan air dengan kualitas lebih rendah Menggunakan material secara efisien dan cermat untuk mengurangi sisa bahan tak terpakai (zero waste, zero defect, dan sistem pracetak) Menggunakan material yang bahan baku dan proses produksinya ramah lingkungan. Menyiapkan area pemilahan dan menyelenggarakan manajemen sampah untuk tempat material sisa pelaksanaan proyek sebelum digunakan kembali dan/atau didaur ulang. Mengutamakan penggunaan material lokal hasil olahan yang mudah diperoleh di sekitar kawasan proyek. Menggunakan pemasok bahan konstruksi yang bersedia membawa/mengambil kembali kemasan pembungkus, pallets, dan material yang tidak terpakai atau material sisa yang ditimbulkan oleh produk yang disediakannya. Melakukan penjadwalan pengadaan material secara akurat untuk mengurangi penyimpanan. Mendorong penggunaan kembali material untuk kantor proyek, bedeng pekerja konstruksi, dan gudang. Mendorong penggunaan kembali alat bantu konstruksi seperti cetakan beton, perancah, dan alat bantu lainnya. Manajemen Kebisingan, Getaran, dan Debu 1. Manajemen kebisingan dan getaran dari kegiatan pelaksanaan konstruksi yang
Pr.
Pl.
Op.
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
I - 77
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Item
Deskripsi dirasakan di luar area konstruksi. 2. Manajemen debu konstruksi yang dirasakan di luar area konstruksi. Testing – Commissioning 1. Testing Commissioning dilakukan oleh pihak ketiga independen. 2. Aktifitas testing commissioning dimulai sejak proses desain hingga penyusunan bahan training untuk manajemen gedung. 3. Pelaksanaan testing commissioning harus mengacu kepada pedoman tertentu.
Pr.
Pl.
Op.
-
L
-
Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 4 : Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. Kriteria
Efisiensi energi
Kriteria efisiensi air Kualitas udara dalam ruang
Pengelolaan Lahan dan Limbah
Pelaksanaan Kegiatan Konstruksi
Keselamatan, kesehatan kerja Dan lingkungan
Deskripsi Pasal 6, Ayat 1, 2, 3. Sistem selubung bangunan. Pasal 7, Ayat 1-3. Sistem ventilasi. Pasal 8, Ayat 1-3; Pasal 9, Ayat 1-9. Sistem pengkondisian udara. Pasal 10, Ayat 1, 2; Pasal 11, Ayat 1-6. Sistem pencahayaan. Pasal 12, Ayat 1-3. Sistem transportasi dalam gedung. Pasal 13, Ayat 1-6. Sistem kelistrikan. Pasal 15, Ayat 1, 2. Perencanaan peralatan saniter hemat air. Pasal 16, Ayat 1, 2; Pasal 17, Ayat 1-3. Perencanaan pemakaian air. Pasal 18, Ayat 1-5. Kualitas udara dalam ruang. Pasal 20; Pasal 21, Ayat 1-6; Pasal 22, Ayat 1-4; Pasal 23, Ayat 1, 2, 3. Persyaratan tata ruang. Pasal 26, Ayat 1,2; Fasilitas pendukung. Pasal 26, Ayat 3,4. Pasal 8, Ayat 1-3. Pengelolaan limbah padat dan Pasal 9, Ayat 1-9. limbah cair. Pasal 28, Ayat 1, 2; Pasal 29, Ayat 1-3. Keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan. Pasal 30, Ayat 1, 2. Konservasi air pada saat pelaksanaan kegiatan konstruksi. Pasal 31, Ayat 1, 2, 3. Pengelolaan limbah B3 kegiatan konstruksi . Pasal 29, Ayat 1. Pelaksana konstruksi wajib menyediakan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK)dan bedeng pekerja. Pasal 29, Ayat 2. Pelaksana konstruksi harus membuat sumur resapan sementara untuk air limbah kegiatan
ISBN 978-979-99327-8-5
Pr. L L
Pl. -
Op. -
L
-
-
L
-
-
L L
-
-
L
-
-
L -
-
L
L
-
-
L
-
-
L L L
-
L -
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
I - 78
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Kriteria
Konservasi air pada saat kegiatan konstruksi
Pengelolaan b3 kegiatan konstruksi
Deskripsi konstruksi dan menyediakan kolam pengendapan (sump pit) untuk penampungan limbah bentonite, lumpur dan sisa beton. Pasal 29, Ayat 3. Penggunaan jaring pengaman di sekeliling bangunan (full safety net) untuk mengendalikan sebaran debu dan puing Pasal 30, Ayat 1. Air bersih untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan konstruksi harus menggunakan tempat penampungan air (water reservoir). Pasal 30, Ayat 2. Melaksanaan kegiatan konstruksi yang melakukan pemompaan air (dewatering) Pasal 31, Ayat 1. Apabila pelaksana konstruksi menggunakan B3 harus menyediakan absorban untuk penyimpanannya Pasal 31, Ayat 2. Pelaksana konstruksi juga harus melakukan pemilahan sampah berdasarkan sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3 dan menyediakan tempat sampah sementara serta mengatur posisi/letak penempatannya sehingga tidak mengganggu lingkungan Pasal 31, Ayat 3. Pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pr.
Pl.
Op.
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
-
L
-
Tabel 5 : Rekapitulasi pasal/ayat yang mengatur tentang bangunan hijau dibedakan berdasarkan perencanaan, pelaksanaan, dan operasional. No. 1.
2.
3.
4.
Nama Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 yang Terkait Dengan Aspek Lingkungan. Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. Jumlah
ISBN 978-979-99327-8-5
Perencanaan
Pelaksanaan
Operasional
9 pasal/ayat
6 pasal/ayat
6 pasal/ayat
20 pasal/ayat
15 pasal/ayat
15 pasal/ayat
-
18 pasal/ayat
-
13 pasal/ayat
11 pasal/ayat
2 pasal/ayat
42 pasal/ayat
50 pasal/ayat
23 pasal/ayat
I - 79
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Peraturan Tentang Bangunan Hijau di Indonesia 53
42
26 20
Pelaksanaan
18
Operasional
15 15 9
9
13
9 0
Perencanaan
0
11 2
Undang-Undang Peraturan Menteri Rapermen Pergub DKI Jakarta Republik Indonesia Negara Lingkungan Pekerjaan Umum Nomor 38 Tahun Nomor 28 Tahun Hidup Nomor 08 Tentang Pedoman 2012 2002 Tahun 2010 Teknis Bangunan Hijau
Total
Gambar 1: Rekapitulasi komposisi peraturan yang mengakomodasi green construction pada tahap perencanaan, pelakasanaan, dan operasional.
6. KESIMPULAN Berdasarkan kajian dari masing-masing peraturan tentang bangunan hijau yang ada di Indonesia (tabel 1-4), dapat dinyatakan bahwa terdapat 42 Pasal/ayat yang mengatur tentang perencanaan bangunan hijau di Indonesia, sedangkan banyaknya pasal/ayat yang mengatur pada tahap pelaksanaan adalah 53 dan pada tahap operasional bangunan sebanyak 26 pasal/ayat. Dari empat peraturan tersebut diatas yang mengakomodasi tentang green construction terbanyak berturut-turut adalah: (1) Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau; (2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan; (3) Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau; (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
7. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
…….., Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. ……., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 80
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
……., Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. ……., Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. ……., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Conseil International Du Batiment (1994). Plessis, D., Chrisna, Edit (2002) : Agenda 21 for Sustainable Construction in Developing Countries’ Pretoria: Capture Press. Ervianto, W.I. (2012), Laporan Penelitian “Identifikasi Faktor Green Construction Pada Bangunan Gedung di Indonesia”, ITB-JICA. Ervianto, W.I. (2012), Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit ANDI, Yogyakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kwanda T. (2003), Pembangunan permukiman yang berkelanjutan untuk mengurangi polusi udara , Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 31, no.1, hh. 20-27. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (2007), Konstruksi Indonesia 2030 Untuk Kenyamanan Lingkungan Terbangun, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional, Jakarta. Salim, E. (2010), Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Gramedia, Jakarta. World Resources Institute (2005).
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 81
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 82
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KAJIAN POTENSI PENERAPAN ASURANSI GEMPA BUMI UNTUK RUMAH TINGGAL DI INDONESIA Vetivera Kumala Dewi1 1
Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected].
ABSTRAK Indonesia terletak di jalur cincin api pasifik , dimana lempeng Australia dan lempeng Pasifik terhujam di bawah lempeng Eurasia menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi. Peristiwa gempa bumi di Indonesia menduduki peringkat kesembilan di dunia dalam jumlah korban selama abad ke 20. Berdasarkan studi dan simulasi yang dilakukan oleh World Bank, potensi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh gempa bumi di Indonesia dapat mencapai 30 milyar dolar amerika atau tiga persen dari nilai Pendapatan Domestik Bruto indonesia, dimana kerugian terbesar disumbangkan oleh keperluan untuk merekonstruksi rumah tinggal. Berdasarkan fakta tersebut diatas mungkinkah risiko akibat gempa bumi dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga, dengan harapan seluruh masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dapat memperoleh kembali infrastrukturnya. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi penting sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, salah satu opsi yang dapat dilakukan adalah membentuk kerjasama dengan pihak swasta melalui mekanisme tertentu. Studi terhadap penerapan pengalihan risiko melalui mekanisme asuransi dilakukan pada negara Turki yang juga rentan terhadap bencana gempa bumi untuk melihat potensi penerapannya di Indonesia. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa di Indonesia telah ada regulasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memulai kerjasama pemerintah dengan swasta, diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dalam pasal 4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana dalam pasal 4 dan 5. Perusahaan asuransi di Indonesia yang berfungsi sebagai pool asuransi gempa bumi telah dibentuk dan diberi nama Maskapai Asuransi Indonesia Pengelola Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK). Kata kunci: bencana alam; pengalihan risiko; kerjasama pemerintah swasta
1. PENDAHULUAN Secara geografis Indonesia terletak dalam wilayah yang berpotensi terjadinya bencana yang diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif serta bentuk negara yang berupa kepulauan adalah sebagian faktor yang mempengaruhi seringnya terjadi bencana di Indonesia. Beberapa catatan tentang gempa yang terjadi beberapa tahun terakhir adalah: (a) pada tahun 2005 di pulau Nias dan sekitarnya menelan korban sekitar 1000 jiwa; (b) gempa yang terjadi pada akhir tahun 2006 yang yang terjadi di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah yang menelan korban 6.234 jiwa. Kejadian gempa di Indonesia secara rinci dapat dilihat dalam tabel 1. Terjadinya gempa tersebut diatas dikarenakan posisi Indonesia yang dikelilingi oleh tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Apabila lempeng-lempeng tersebut bertemu akan menghasilan energi yang cukup besar. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pacific Ring of Fire yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Dampak yang terjadi adalah rusaknya berbagai jenis infrastruktur salah satunya adalah rumah tinggal. Menurut data dari World Bank, kehilangan/kerugian terbesar akibat gempa bumi terjadi pada rumah tinggal. Selain itu, tingginya arus urbanisasi menambah kerentanan masyarat di
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 83
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
perkotaan terhadap bahaya gempa bumi apabila pembangunan rumah tinggal tidak mengikuti standar pedoman bangunan tahan gempa di Indonesia. Tabel 1. Bencana Gempa Bumi di Indonesia No.
Tanggal
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
26 November 2007 12 September 2007 6 Maret 2007 11 Agustus 2006 17 Juli 2006 27 Mei 2006 28 Maret 2005 26 Desember 2004 4 Juni 2000 12 Desember 1992 1938 24 November 1833
Raba, Sumbawa Lepas pantai Bengkulu Padang Pulau Simeuleu, Sibolga Selatan Tasikmalaya Imogiri, Bantul Sibolga Sebelah Barat Laut Banda Aceh Bengkulu (Laut Hindia) Pulau Flores Laut Banda Sumatera
Kekuatan (SR) 6,7 7,9 6,4 6,0 7,7 5,9 8,5 – 8,7 9,3 7,3 7,6 8,5 8,7
Jumlah korban +3 9+ >60 * >400 6234 * 230.000 >100 >2.100 * *
Sumber: Pengelolaan Resiko Bencana Gempa Bumi melalui penataan ruang catatan: * tidak ada data
2. TUJUAN KAJIAN Berdasarkan aspek lokasi wilayah Indonesia yang berada dalam daerah rawan bencana gempa bumi yang berpotensi menimbulkan kerugian finansial dalam jumlah relatif besar maka perlu adanya kajian mengenai potensi penerapan asuransi gempa bumi melalui kerjasama pemerintah swasta.
3. KAJIAN PUSTAKA Berdasarkan studi dan simulasi yang dilakukan oleh world bank, potensi kerugian akibat gempa bumi dengan periode ulang 250 tahun diperkirakan mencapai 30 milyar dolar amerika, atau tiga persen dari Gross Domestic Product (GDP). Kerusakan dan kerugian secara konsisten disumbangkan paling besar dari keperluan untuk rekonstruksi rumah tinggal, yang disusul oleh infrastruktur publik misalnya: jalan, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Belajar pada kejadian gempa Yogyakarta dengan korban ± 6.234 orang, gempa selatan Tasikmalaya dengan korban lebih dari 400 orang, serta gempa di sebelah selatan laut Banda Aceh dengan korban ± 230.000 orang maka ketiga lokasi tersebut pantas untuk diteliti jenis kerusakan terhadap bangunan infrastruktur lebih spesifik tempat tinggal. Jenis kerusakan pada bangunan rumah tinggal satu lantai dan bangunan bertingkat bangunan akibat gempa di Yogyakarta dapat dilihat dalam tabel 2 [8]. Tabel 2. Jenis Kerusakan Bangunan Akibat Gempa Yogyakarta No. 1. 2. 3.
Jenis kerusakan Bangunan bertingkat > 2 lantai Dinding retak (NS) Gunungan miring (NS) Tangga retak (S)
ISBN 978-979-99327-8-5
Rumah tinggal Dinding miring (NS) Dinding pecah pada sudut-sudut bangunan (NS) Plesteran retak-retak (NS)
I - 84
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
No. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis kerusakan Bangunan bertingkat > 2 lantai Rumah tinggal Plat lantai retak (S) Retakan/patahan di lantai (NS) Tulangan kolom patah (S) Dinding diatas pintu patah (NS) Kolom lantai bergeser (S) Plafon rusak, runtuh (NS) Balok diatas pintu terpuntir (S) Dinding roboh (NS) Pertemuan balok dan kolom retak (S) Gunungan retak horisontal (NS) Retak Dinding (NS) Kolom (pasangan bata) pecah (S) Ikatan angin lepas (S)
Sumber: laporan kerusakan gempa UAJY, 2006. Catatan. S : kerusakan struktural, NS : kerusakan non struktural.
Jenis kerusakan bangunan akibat gempa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) kerusakan ringan, (2) kerusakan sedang, (3) kerusakan berat. Jenis kerusakan yang dapat dikategorikan dalam rusak ringan adalah suatu bangunan yang tidak diperlukan perbaikan dan masih aman untuk dihuni, misalnya retak rambut pada dinding. Jenis kerusakan yang dapat dikategorikan dalam rusak sedang adalah sebuah bangunan yang perlu perbaikan ringan. Jenis kerusakan yang dapat dikategorikan dalam rusak berat adalah bangunan yang perlu perbaikan berat agar bangunan aman untuk dihuni. Secara umum kerangka pikir dalam kajian ini melibatkan tiga aspek yaitu aspek finansial, aspek regulasi dan aspek teknis seperti dalam gambar 1. Aspek regulasi
Aspek finansial
Pemerintah
Aspek teknis
KPS
Asuransi
Rumah sederhana
Rumah menengah Rumah mewah
Gambar 1. Kerangka Pikir Dalam Kajian Kerjasama Pemerintah Swasta Aspek Finansial Instrumen anggaran utama pemerintah Indonesia untuk membiayai pengeluaran pasca bencana melalui pendanaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Rekonstruksi pasca bencana sebagian besar dibiayai melalui dana cadangan di Bendahara Umum Negara, yang pencairannya memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada tahun 2010 dan 2011, alokasi dana untuk rekonstruksi adalah 450 juta dolar amerika (≈Rp. 4 triliun) per tahun, Berdasarkan pengalaman sebelumnya untuk penarikan dana ini membutuhkan beberapa bulan, dan berakibat pada keterlambatan dalam pemulihan pasca bencana, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup dan program ganti rugi rumah. Angka ini cukup besar dan untuk memperoleh manfaat yang
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 85
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
optimum perlu dipikirkan mekanisme pengelolaan dana. Dalam kajian ini diprioritaskan pada rumah tinggal sederhana dengan pertimbangan bahwa masyarakat dalam klas bawah ini akan terkendala dalam mengembalikan infrastruktur yang mengalami kerusakan. Aspek Teknis Secara teknis telah banyak dipublikasikan persyaratan bangunan tahan gempa, salah satunya oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Maksud dari bangunan tahan gempa adalah meminimalkan resiko kerugian penghuni dan sekitarnya (yakni keselamatan nyawa serta harta benda) akibat bencana gempa. Tujuan utama persyaratan konstruksinya adalah: bahwa bangunan tidak rusak dalam bencana gempa ringan, bangunan rusak sebagian namun tidak roboh pada waktu bencana gempa sedang, dan bila roboh pada gempa dasyat, bangunan dapat diperbaiki lagi. Persyaratan bangunan tahan gempa adalah: (1) Bangunan harus terletak di atas tanah yang stabil, (2) Denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris atau seragam, (3) Pondasi harus diikat kaku dengan balok pondasi (sloof), (4) Pada setiap luasan dinding 12 m2, harus dipasang kolom, dapat menggunakan bahan kayu, beton bertulang, baja, pilaster ataupun bambu, kolom diikat kaku dengan sloof, (5) Harus dipasang balok keliling yang diikat kaku dengan kolom, (6) Keseluruhan kerangka bangunan harus terikat secara kokoh dan kaku, (7) Gunakan kayu kering sebagai konstruksi kuda-kuda, pilih bahan atap yang seringan mungkin, dan ikat kaku dengan konstruksi kuda-kuda, (8) Bahan dinding pilih yang seringan mungkin, papan, papan berserat, papan lapis, bilik, ikat bahan dinding dengan kolom, (9) Bila bahan dinding menggunakan pasangan bata/batako, perhatikan mutu bahan bata/batako, bahan tidak patah, dan berbunyi nyaring ketika diadukan. Pada setiap jarak vertikal 30 cm, pasangan diberi anker yang dijangkarkan ke kolom, panjang anker 50 cm, diameter 6 mm, (10) Perhatikan bahan spesi/adukan, setiap jenis tras, pasir atau semen mempunyai sifat khusus, sebaiknya perbandingan campuran mengikuti standar yang ada, (11) Demikian pula pemilihan perbandingan campuran bahan beton, ikutilah standar yang ditentukan (12) Terakhir, pelaksanaan konstruksi, hendaknya dilakukan oleh orang yang cukup mempunyai keahlian dan berpengalaman [7]. Aspek Regulasi Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tujuan penanggulangan bencana antara lain adalah: butir a, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; butir c, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; butir e, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta. Secara eksplisit dalam undang-undang tersebut diatas dapat dimaknai bahwa pemerintah akan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, salah satunya adalah kehilangan infrastruktur berupa tempat tinggal. Dalam butir lain disebutkan adanya posibilitas pemerintah untuk menjalin kerjasama dengan pihak swasta melalui skema kemitraan. Terkait dengan hal ini, infrastruktur vital bagi masyarakat pasca bencana gempa adalah tidak berfungsinya atau rusaknya tempat
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 86
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
tinggal. Bagi masyarakat kurang mampu, hal ini tentu menjadi beban berat untuk memulihkan kembali tempat tinggal mereka. Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam pasal 4 butir b disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan pra bencana dapat dilakukan bila dalam sistuasi terdapat potensi terjadinya bencana. Berdasarkan pernyataan tersebut jelas bahwa wilayah Indonesia berada pada situasi potensi bencana. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008tentangPendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, pasal 4menyatakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah; (2) Dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: (a) Anggaran Pendapatan Belanja Negara; (b). Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan/atau (c) masyarakat. Sedangkan dalam pasal 5, dalam anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyediakan pula: (a) dana kontinjensi bencana, yaitu dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu; (b) dana siap pakai, yaitu dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir; dan(c) dana bantuan sosial berpola hibah, adalah dana yang disediakan pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai bantuan penanganan pascabencana. Mekanisme untuk memperoleh bantuan dari pemerintah dapat dilihat dalam gambar 2. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana bertujuan untuk mendukung penguatan upaya penanggulangan bencana, pengurangan ancaman dan risiko bencana, pengurangan penderitaan korban bencana, serta mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat. Dalam peraturan ini lebih cenderung keterlibatan lembaga internasional setelah terjadinya gempa. Permohonan tertulis pemerintah daerah kepada BNPB
BNPB melakukan evaluasi, verifikasi, dan koordinasi dengan instansi terkait
Dewan Perwakilan Rakyat Menyetujui untuk mendapatkan dana bantuan sosial berpola hibah
Penetapan oleh Kepala BNPB, disampaikan kepada Menteri Keuangan
Gambar 2. Mekanisme Pengajuan Bantuan Sosial Berpola Hibah
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 87
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Terkait dengan aspek legislatif tentang perusahaan asuransi dan reasuransi dalam:
diatur
Peraturan Pemerintah no 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalam Pasal 12 ayat (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dan menerapkan Retensi Sendiri, yang besarnya didasarkan pada kemampuan keuangan dan tingkat risiko yang dihadapi. Pasal 12 ayat (2) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi harus menjaga perimbangan yang sehatantara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto, dan perimbangan antara jumlah premi neto dengan modal sendiri. Pasal 20, Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif.Pasal 21, Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis risiko yang sehat. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 422 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam Pasal 13 ayat (1) Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari polis asuransi dengan mata uang asing dilakukan dengan mata uang rupiah, pembayaran tersebut harus menggunakan kurs yang ekuivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 481 tahun 1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Pasal 21 ayat (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki retensi sendiri untuk setiap penutupan risiko. (2) Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada profil risiko yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Besarnya retensi sendiri untuk setiap risiko didasarkan pada Modal Sendiri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pasal 16A, Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dapat melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko khusus Penerapan Asuransi Gempa di Negara Lain. Beberapa negara yang lebih dahulu menerapkan asuransi gempa antara lain adalah Turki, China, dan Jepang. Di negara Turki, pihak yang bertanggung jawab untuk memantau program dan melakukan audit terhadap operasional Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) adalah sebuah reasuransi yaitu Milli Re. TCIP ini dibebaskan dari semua pajak, retribusi, dan biaya dan akumulasi dana ini akan disimpan dalam rekening yang terpisah Sedangkan untuk melakukan audit rekening setiap tahun dilakukan oleh perusahaan audit independen agar dihasilkan hasil audit yang dapat dipercaya publik. Bagi pembeli infrastruktur tempat tinggal wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku serta dapat menunjukan polis asuransi pada saat pembelian.Salah satu syarat yang diwajibkan bagi penduduk Turki dalam membuka rekening gas, air, listrik, dan telepon adalah kepesertaan dalam asuransi yang dibuktikan dengan polis asuransi. Hal ini juga merupakan syarat bagi penduduk Turki dalam hal pengajukan kredit perumahan serta menjamin bahwa infrastruktur yang akan dibangun memenuhi spesifikasi bangunan tahan gempa sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 88
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. DISKUSI Beberapa poin penting dalam aspek regulasi yang berpotensi digunakan sebagai landasan dalam membentuk mekanisme kerjasama pemerintah swasta dalam rekonstruksi infrastruktur pasca bencana. Secara detil mekanisme yang akan digunakan perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam. Tabel 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. No.
Pasal butir a pasal 4
1
butir c butir e
Deskripsi Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
Tabel 4.Peraturan Pemerintah Nomor21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. No.
Pasal
1
Pasal 3
2
Pasal 4
butir b
Deskripsi Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan pra bencana dapat dilakukan bila dalam sistuasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Tabel 5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana. No.
1
2
Pasal
Deskripsi
Pasal 4
Dana penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah
Pasal 5
Pemerintah menyediakan pula: 1. Dana kontinjensi bencana, 2. Dana siap pakai, 3. Dana bantuan sosial berpola hibah
Sumber dana 1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara. 2. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan/atau 3. Masyarakat
-
Secara jelas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (tabel 3), Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (tabel 4), dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana (tabel 5) mengakomodasi potensi untuk melakukan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga dan pengalokasian dana untuk rekonstruksi seteleah bencana. Beberapa hal yang perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam adalah mengenai besarnya premi yang ditetapkan oleh asuransi jika dibandingkan dengan serapan dana
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 89
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang digunakan untuk kegiatan rekonstruksi bagi masyarakat. Perlu dilakukan perhitungan dalam jangka waktu tertentu untuk mendapatkan informasi secara detil mengenai manfaat antara keduanya. Selain itu perlu kajian terhadap prosedur pencairan dana/klaim jika terjadi bencana dalam hal aspek waktu. Asuransi Gempa Bumi di Indonesia Salah satu cara untuk mengelola risiko dalam berbagai kasus adalah dengan menyertakan pihak ketiga yang berperan sebagai pihak yang mengambil risiko, dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Secara detil definisi asuransi adalah cakupan dalam kontrak dimana satu pihak menyanggupi untuk mengganti kerugian atau menjamin kemungkinan terjadinya risiko atau bahaya tertentu. Selain asuransi juga dikenal juga reasuransi yang didefinisikan sebagai transaksi asuransi antara perusahaan asuransi yang mengalihkan sebagian atau semua risiko dengan perusahaan asuransi lain yang menerima pengalihan risiko itu yang diatur dengan kontrak.Terkait dengan posisi Indonesia yang berada dalam wilayah bencana seperti telah disampaikan diatas, perlu kiranya pemerintah meningkatkan kepedulian terhadap kemungkinan timbulnya kerugian akibat gempa bumi pada propinsi yang mempunyai posisi strategis dalam hal perekonomian dan aktivitas industri. Kepedulian tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk kerja sama dengan pihak asuransi. Kepedulian pemerintah terhadap kemampuan pihak asuransi akibat gempa bumi dengan cara mewajibkan semua perusahaan asuransi umum yang beroperasi di Indonesia untuk bekerja sama mengasuransikan risiko-risiko khusus melalui suatu usaha bersama yang disebut dengan Pool Reasuransi Gempa Bumi di Indonesia (PRGBI). Keikutsertaan perusahaan asuransi dan reasuransi umum pada pool gempa bumi ini bersifat wajib. PRGBI mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2003 dan tarif wajib untuk gempa bumi diperkenalkan dan disahkan oleh pemerintah. Pada tanggal 1 Januari 2004, PRGBI bertransformasi menjadi PT. Asuransi Maskapai Asuransi Indonesia dan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK) Indonesia. Asuransi ini didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bagi industri asuransi Indonesia dalam hal pengetahuan dan statistik mengenai risiko bencana. Obyek pertanggungan yang dapat ditanggung sama seperti pada asuransi kebakaran, berupa bangunan, pondasi, penggalian, persediaan barang, dll.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam kajian ini adalah: 1. Dalam hal aspek regulasi telah ada beberapa poin yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memulai merancang skema kerjasama pemerintah dengan swasta, namun masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dalam aspek waktu, prosedur pencairan/klaim, besarnya premi, serta manfaat lain yang belum dapat terlihat secara jelas dalam kajian ini. 2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai segmentasi masyarakat yang berhak mendapatkan asuransi yang dibiayai pemerintah, serta bagaimana mekanisme untuk mendapatkan fasilitas tersebut
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 90
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
6. DAFTAR PUSTAKA 1. ……., Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana 2. …….,Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana 3. ……., Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing Nonpemerintah 4. ……., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana 5. Asuransi Maskapai Asuransi Indonesia dan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK) Indonesia, 2011, Statistik Asuransi Gempa Bumi Indonesia. 6. Gurenko, E., Lester, R., Mahul, O., Gonulal, S. O., 2006., Earthquake insurance un Turkey, The World Bank. 7. http://puskim.pu.go.id, diunduh 14 Januari 2013 8. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, Laporan Kerusakan Gempa Yogyakarta. 9. www.gfdrr.org/drfi
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 91
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 92
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
TINJAUAN PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO PADA INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA Tampanatu P. F. Sompie1 , Syanne Pangemanan2 Geertje E. Kandiyoh3 1
2
3
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 04318125288, email: tpf_sompie @yahoo.com Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431815288, email: upe_sp2000 @yahoo.com Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431815288, email: [email protected]
ABSTRAK Industri konstruksi seringkali dianggap sebagai suatu industri yang tingkat resikonya tinggi. Resiko yang dihadapi pada suatu proyek konstruksi sudah ada sejak awal proyek, selama proyek berjalan sampai proyek berakhir, bahkan tahapan awal sebelum dimulainya proyek sudah berhadapan dengan resiko. Manajemen resiko merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur semua resiko pada proyek yang dilaksanakan sehingga suatu keputusan yang diambil dapat diterima untuk mengelola resiko. Cara menyeimbangkan ketidak-tentuan resiko dengan kontrak, kebutuhan keuangan, persyaratan operasional dan organisatoris harus diketahui. Dalam rangka untuk mencapai keseimbangan ini, identifikasi resiko dan analisis risiko yang sesuai diperlukan. Kalangan industri dan jasa konstruksi di Indonesia pada umumnya telah menerapkan sistem manajemen resiko pada setiap proyek konstruksi yang mereka kerjakan. Keadaan yang ideal dari suatu proyek konstruksi pada kenyataannya sering tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Resikoresiko yang menjadi bahan pertimbangan dalam tulisan ini berupa Perubahan dalam pekerjaan; Perubahan dalam peraturan pemerintah; Biaya untuk proses yang legal; Desain yang tidak sesuai; Material yang tidak sesuai; Bahaya pada lingkungan proyek; Ketersediaan pekerja, alat dan material; Ijin dan peraturan; Kualitas pekerjaan; Keselamatan pekerjaan; dan Keselamatan kerja. Kesemua aspek resiko ini akan dilihat terhadap pengaruh resiko yang terjadi seperti Biaya akhir; Waktu rencana; Kualitas konstruksi; Keselamatan konstruksi; dan Lingkungan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa survey terhadap 30 perusahaan yang bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi, dengan menggunakan penyebaran kuisioner, kemudian ditabulasikan menggunakan Microsoft Excel. Hasil yang diperoleh berupa resiko pada Perubahan yang terjadi dalam Pekerjaan dan Peraturan Pemerintah serta Biaya Proses yang Legal sangat berpengaruh pada Biaya Akhir. Kualitas Konstruksi sangat besar dipengaruhi oleh Desain serta Material yang tidak sesuai. Sedangkan Lingkungan akan sangat besar terpengaruh oleh Bahaya pada Lingkungan Proyek serta Keselamatan Kerja. Ketersediaan Pekerja, Alat dan Material beserta Ijin dan Peraturannya sangat berpengaruh pada Waktu Rencana. Sementara Kualitas Konstruksi sangat dipengaruhi oleh Kualitas Pekerjaan. Kata kunci: manajemen resiko, industri jasa konstruksi
LATAR BELAKANG Perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi semakin pesat dewasa ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk serta adanya berbagai inovasi-inovasi baru yang muncul di berbagai bidang kehidupan manusia. Peralatan serta produk lainnya yang berteknologi canggih banyak bermunculan, dimana kesemuanya itu diharapkan untuk mempermudah manusia dalam melakukan sesuatu. Dampak dari perkembangan teknologi ini juga dirasakan pada bidang industri dan jasa konstruksi dunia. Industri konstruksi merupakan salah satu industri terbesar di dunia. Peralatan baru yang muncul yang disertai hadirnya berbagai software komputer yang canggih semakin
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 93
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
mempermudah pekerjaan dalam bidang konstruksi. Saat ini berbagai teknik baru muncul yang diharapkan dapat mempercepat pekerjaan suatu proyek yang sedang dilakukan, serta mempermudah dalam mengevaluasi suatu pekerjaan. Akan tetapi, dengan segala kemajuan yang ada saat ini, bukan berarti industri jasa kontruksi tidak akan diperhadapkan pada suatu resiko kegagalan. Industri konstruksi juga merupakan suatu bisnis yang sangat kompetitif dengan tingkatan yang tinggi kemungkinannya untuk bangkrut apabila tidak dikelola dengan baik. Pemahaman akan aspek-aspek teknis dari konstruksi sangatlah diperlukan, disisi lain orang-orang yang bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi juga haruslah mempunyai pemahaman yang baik akan aspek-aspek profesi bisnis dan manajemen. Banyak faktor yang berpengaruh pada keberhasilan maupun kegagalan suatu proyek konstruksi yang dilakukan. Faktor ini bukan melulu dikarenakan oleh faktor teknis pada bidang konstruksi saja, melainkan juga melibatkan berbagai faktor lainnya diluar bidang keteknikan. Masih jelas dalam ingatan bagaimana industri dan jasa konstruksi di Indonesia mengalami pukulan yang berat di penghujung akhir tahun 90an. Dimulai dengan krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia yang menyebar dengan cepat menghantam perekonomian Indonesia. Akibat dari resesi ekonomi ini menjadikan industri konstruksi Indonesia merupakan pihak yang paling merasakan dampak ini, yang ditandai dengan terhentinya banyak proyek konstruksi yang berakibat pada ambruknya banyak perusahaan di bidang konstruksi serta terjadi pengangguran besar-besaran dari para pekerja dan para profesional yang terlibat di dalamnya. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan dalam suatu proyek konstruksi diperlukan suatu pengelolaan yang baik dan terpadu. Pendekatan secara keseluruhan kepada manajemen suatu resiko adalah untuk mengantisipasi apa yang bisa terjadi, kemudian menganalisanya, dan khususnya menentukan besarannya dan menilai kemungkinan akan timbulnya resiko tersebut dalam jangka waktu proyek. Fungsi utama dari manajemen resiko adalah untuk mengurangi resiko. Mengurangi resiko berarti meminimalkan resiko sampai resiko itu mencapai suatu tingkatan yang dapat diterima oleh pengambil resiko dalam suatu proyek konstruksi. Manajemen resiko dapat didefiniskan sebagai mengidentifikasi, menganalisa, mengendalikan, dan meminimalkan kerugian yang berhubungan dengan suatu kejadian.
PEMBATASAN MASALAH Berpangkal pada kenyataan bahwa setiap proyek konstruksi yang dikerjakan berpeluang untuk mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya untuk menurunkan ancaman-ancaman yang memberi dampak pada keberlangsungan proyek. Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang hendak ditinjau dalam makalah ini adalah penerapan manajemen resiko dalam suatu pekerjaan konstruksi yang dibatasi pada pengaruh resiko pada industri dan jasa konstruksi di Indonesia yang dilihat dari aspek biaya akhir yang dikeluarkan; waktu rencana proyek; mutu dari konstruksi yang dikerjakan; keselamatan dalam pengerjaan konstruksi; serta lingkungan dari proyek konstruksi tersebut. Banyak proses-proses dan rumusan-rumusan yang dirancang untuk membantu memberikan beberapa kepastian dari berbagai macam aspek yang ditinjau. Namun perlu disadari bahwa tidak semua kemungkinan dapat dipertimbangkan dikarenakan dengan berbagai keterbatasan serta tujuan yang hendak dicapai.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 94
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
TINJAUAN PUSTAKA Istilah resiko mengacu pada kemungkinan terjadinya kerugian atau kesempatan untuk terjadinya suatu kerugian. Para pengambil resiko sering dengan sepenuh hati beresiko untuk memperoleh beberapa keuntungan yang mungkin, terutama ketika pada evaluasi pribadi mereka, keuntungan yang mungkin diperoleh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang mungkin terjadi. Pengambilan resiko yang sukses adalah: penghematan waktu, memperoleh status, mendapatkan sensasi, menyingkirkan bahaya, mengambil suatu tantangan, dan menerima suatu penghargaan moneter. Derajat pengetahuan tentang bahaya dan resiko dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan: 1. Resiko sepenuhnya diketahui oleh pengambil resiko; 2. Resiko tersembunyi dari pengambil resiko; 3. Informasi tentang resiko tersedia dengan mudah, tetapi para pengambil resiko tidak memberikan perhatian untuk menggunakan atau untuk mendapatkan informasi ini; 4. Resiko merupakan hal yang tidak pasti dan tergambarkan pada semua hal; tidak ada informasi ada tersedia. Setiap jenis pengaturan kontrak akan melibatkan suatu resiko yang merata resiko secara berbeda. Analisis resiko yang jelas menjadi semakin penting sebagai suatu aspek dari konstruksi untuk diselidiki pada segala tahapan proyek. Dengan pendekatan baru dan pandangan berbeda yang tersedia, analisis risiko akan menjadi, jika hal itu belum ada, suatu aspek standard yang bisa diterima dari pekerjaan manajemen proyek. Hal yang mendasar dari berbagai proyek, dengan ketiadaan pengalaman terdahulu yang tepat menandakan ada suatu kemungkinan yang besar, bahwa hasil yang diharapkan tidak akan terjadi secara tepat. Dengan kata lain, ada suatu resiko yang berkaitannya dengan capaian dari produk jadi atau biayanya, atau target waktu, mungkin juga ada suatu penyimpangan (deviasi) dari rencana tersebut. Langkah utama dari proses kontrak konstruksi meliputi permohonan penawaran, persiapan penawaran, pemasukan penawaran, penerimaan kontrak, dan administrasi kontrak. Sebelum proses penawaran dapat berlangsung, pemilik harus menentukan kebutuhan untuk proyek dan mempunyai rencana yang diperlukan, spesifikasi, dan dokumen lainnya yang sudah dipersiapkan. Aktivitas ini menyusun tahapan pengembangan proyek konstruksi. Untuk proyek yang besar, langkah-langkah di dalam proses pengembangan proyek meliputi: - Mengenali kebutuhan proyek; - Determinasi dari kelayakan teknis dan keuangan proyek; - Persiapan dari rencana terperinci, spesifikasi, dan perkiraan biaya proyek; - Persetujuan oleh badan regulasi. Hal ini meliputi memenuhi peraturan penetapan wilayah, peraturan di bidang bangunan, lingkungan dan peraturan lainnya. Manajemen resiko bukanlah hal yang baru, hal ini merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur semua resiko untuk yang mana proyek atau bisnis diarahkan sehingga suatu keputusan yang diambil dengan sadar dapat diterima pada bagaimana cara untuk mengelola resiko. Suatu sistem manajemen resiko haruslah praktis, realistis dan harus hemat biaya. Manajemen resiko perlu untuk tidak terlalu rumit maupun memerlukan koleksi tentang sejumlah data yang luas. Aspek-aspek seperti akal sehat, analisa, keputusan, intuisi, pengalaman, dan suatu kesediaan untuk mengoperasikan suatu pendekatan yang
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 95
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
disiplin kepada salah satu dari banyak ciri yang paling kritis tentang segala bisnis atau proyek di mana resiko dihasilkan. Proses manajemen resiko dipilah ke dalam sistem manajemen resiko yang menunjukkan urutannya yang berhubungan dengan resiko. Secara alamiah sistem manajemen resiko harus diaplikasikan kepada setiap pilihan dengan pertimbangan. Umumnya, langkah-langkahnya adalah: - Identifikasi resiko : mengidentifikasi sumber dan jenis resiko; - Klasifikasi resiko : mempertimbangkan jenis resiko dan efek-nya baik pada orang maupun organisasi; - Analisis risiko : mengevaluasi segala konsekuensi yang berhubungan dengan jenis resiko, atau kombinasi resiko, dengan menggunakan teknik analitis. Menilai dampak resiko dengan menggunakan berbagai teknik pengukuran resiko; - Sikap resiko : keputusan apapun tentang resiko akan dipengaruhi oleh sikap dari orang atau organisasi yang membuat keputusan; - Respon resiko : mempertimbangkan bagaimana resiko harus diatur oleh baik yang mengalihkannya kepada pihak lain atau yang menahannya / mengerjakannya. Risk Identification
Risk Classification
Risk Analysis
Risk Attitude
Risk Response Gambar 1: The Risk Management Framework (Sumber: Roger Flanagan & George Norman p. 46)
Sistem Manajemen Resiko adalah: - Resiko harus diidentifikasi, diklasifikasikan dan dianalisa sebelum sesuatu tindakan dibuat; - Suatu resiko yang sudah teridentifikasi bukanlah suatu resiko, hal itu merupakan suatu masalah manajemen; - Waspada dalam menggunakan pendekatan intuitif yang semata-mata hanya untuk mengelola resiko; - Manajemen resiko perlu untuk berkelanjutan mulai dari awal proyek sampai proyek tersebut berakhir; - Suatu kelemahan dalam mendefinisikan resiko struktur akan menghasilkan resiko yang lebih besar;
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 96
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
-
Gunakan lensa yang bersudut pandang luas dan suatu lensa zoom untuk visi dari apa yang dapat terjadi di masa datang, Gunakan semua gagasan yang muncul baik gagasan yang kreatif maupun yang negatif; Selalu mempunyai suatu rencana darurat untuk mengatasi kejadian yang terburuk yang mungkin terjadi; Sistem Manajemen Resiko jangan terlalu rumit atau membebani, sistem ini perlu untuk diintegrasikan ke dalam kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.
Resiko dan ketidak-pastian tidak hanya terjadi pada proyek-proyek besar. Selagi ukuran adalah merupakan suatu pertimbangan yang penting, faktor-faktor lainnya seperti lokasi, kompleksitas, kemampuan membangun, dan jenis bangunan semuanya dapat berkontribusi pada terjadinya resiko. Lagipula, merupakan hal yang jarang terjadi pada dua proyek konstruksi untuk menjadi sama satu dengan yang lain. Secara alamiah, proyek-proyek tersebut sudah berbeda, yang mana berarti bahwa pengaturan pada setiap proyek haruslah selalu dipertimbangkan ulang. Untungnya, suatu sistem manajemen resiko yang efektif memuat satu set teknik yang dapat diaplikasikan pada setiap proyek. Bukan hanya saat pelaksanaan konstruksi, kesalahan desain memberikan kontribusi terhadap kegagalan bangunan. Bangunan yang mengalami gagal fungsi sebelum akhir umur pemakaiannya yang direncanakan termasuk dalam kegagalan bangunan. Bangunan yang berefek jelek terhadap lingkungan sekitarnyanya bisa karena kesalahan dalam konsep desain, walaupun pelaksanaannya benar, itu pun termasuk dalam kegagalan bangunan juga. Kegagalan bangunan adalah resiko yang tidak berdiri sendiri, selalu ada sebab akibat yang menyertainya, tanggung jawab harusnya dipikul bersama-sama. Bisa jadi permasalahan timbul karena hal non-teknis yang mengakibatkan kegagalan teknis. Proses perizinan dan tender sering tidak profesional. Peraturan terkadang tidak kompatibel dengan peraturan lainnya karena dibuat sendiri-sendiri. Dari sisi pihak yang terkait langsung dengan pekerjaan konstruksi perlu sekali penegakkan kode etik secara benar.
METODE PENDEKATAN / PENELITIAN Metode yang dilakukan untuk mendapatkan hasil dan pembahasan pada tulisan ini adalah dengan melakukan survey manajemen resiko terhadap sekitar 30 perusahaan yang bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi. Survey yang dilakukan menggunakan metode penyebaran kuisioner. Hasil yang diperoleh dari kuisioner ini kemudian diolah dan ditabulasikan dengan menggunakan Microsoft Excel. Tabel yang tersaji kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari faktorfaktor Resiko yang ada terhadap Pengaruh Resiko dari berbagai aspek yang ditinjau.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 97
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ANALISA / PEMBAHASAN Tabel 1: Resiko yang ditinjau NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RESIKO PERUBAHAN DALAM PEKERJAAN PERUBAHAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH BIAYA UNTUK PROSES YANG LEGAL DESAIN YANG TIDAK SESUAI MATERIAL YANG TIDAK SESUAI BAHAYA PADA LINGKUNGAN PROYEK KETERSEDIAAN PEKERJA, ALAT DAN MATERIAL IJIN DAN PERATURAN KUALITAS PEKERJAAN KESELAMATAN KERJA
KONDISI IDEAL KONDISI DI LAPANGAN P=1 KR=2KT=3 L=4 P=1 KR=2 KT=3 L=4 19 1 4 6 6 9 5 10 17 0 1 12 6 9 3 12 14 0 1 15 9 5 2 14 1 2 22 5 2 8 17 3 0 22 6 2 1 26 1 2 8 2 3 17 3 15 3 9 0 22 1 7 0 23 2 5 16 2 1 11 5 8 2 15 1 14 2 13 0 17 3 10 1 17 0 12 0 19 1 10
KET: P : PEMILIK KR : KONTRAKTOR KT : KONSULTAN L : PIHAK LAIN YANG TERLIBAT
Resiko berupa Perubahan yang terjadi dalam pekerjaan; Perubahan dalam peraturan pemerintah; Biaya legal proses; Bahaya pada lingkungan proyek; Ijin dan peraturan pada kondisi ideal berpengaruh terutama pada pemilik, akan tetapi kondisi di lapangan paling dirasakan oleh kontraktor dan pihak lain yang terlibat. Sementara untuk Desain yang tidak sesuai idealnya merupakan tanggung jawab dari konsultan perencana akan tetapi pada kenyataannya selain dirasakan oleh konsultan, akan berpengaruh juga pada kontraktor pelaksana. Resiko dari pemanfaatan material yang tidak sesuai dan Ketersediaan dari para pekerja, peralatan yang digunakan serta material yang dipakai pada idealnya dan pada kenyataannya akan berpengaruh pada kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut. Pada kondisi ideal, Kualitas pekerjaan dan Keselamatan kerja dikerjakan oleh kontraktor, sementara kondisi di lapangan kedua faktor resiko tersebut dialami oleh kontraktor.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 98
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) P NO
RESIKO
BA
E
N
G
A
R
WR
1
2
3
4
5
1
2
3
1 PERUBAHAN DLM PEKERJAAN
0
3
2
8
17 2
0
2 PERUBAHAN DLM PERATURAN
3
1
2
7
17 0
3 BIAYA PROSES YG LEGAL
0
4
3
9
4 DESAIN YG TIDAK SESUAI
0
3
9
5 MATERIAL YG TIDAK SESUAI
0
8
6 BAHAYA PADA LINGK. PROYEK
3
U
H
R
E
QK
I
K O
KK
L
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
12 10
2
3
17
6
2
2
22
2
3
1
23
3
2
0
2
3
11
9
7
2
4
12
8
4
6
19
0
3
2
21
4
2
1
2
14 5
1
3
10 11
6
1
16
5
2
5
18
2
4
1
21
6
0
1
2
9
9
0
5
12
9
4
3
1
3
3
20
3
14
2
7
4
19
4
1
2
4
6
8
8
0
3
13
9
5
2
0
2
2
24
3
11
5
7
4
20
3
1
3
3
8
11
5
3
6
8
4
9
3
8
6
8
3
5
7
7
5
7
4
3
3
1
5
18
7 TERSEDIA PEKERJA,ALAT&MATERIAL 0
4
12
8
6
2
1
3
4
20
0
3
8
11
8
0
18
3
4
5
20
3
2
1
4
8 IJIN DAN PERATURAN
3
1
7
12
7
3
2
4
3
18
1
11
12
5
1
6
12
4
8
0
16
6
1
4
3
9 KUALITAS PEKERJAAN
1
7
6
11
5
2
0
15
9
4
2
1
3
1
23
3
14
6
3
4
18
5
1
3
3
4 10 10 5 1 2 7 KK : Keselamatan Konstruksi L : Lingkungan
12
7
2
2
7
2
15
4
2
1
1
0
#
15
3
4
3
4
10 KESELAMATAN KERJA Catatan: BA : Biaya Akhir; WR : Waktu Rencana; QK : Kualitas Konstruksi
ISBN 978-979-99327-8-5
4
S
I - 99
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Berdasarkan tabulasi di atas dapat dilihat bahwa: - Perubahan Dalam Pekerjaan paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir, besar pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Perubahan Dalam Peraturan Pemerintah: sangat besar pengaruhnya pada Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana dan Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak ada pengaruhnya pada Lingkungan. - Biaya Proses yang Legal paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir dan Waktu Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Desain yang Tidak Sesuai paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana, paling besar pengaruhnya pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Material yang Tidak Sesuai tidak secara signifikan memberikan pengaruh pada Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana, paling besar berpengaruh pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Bahaya pada Lingkungan Proyek rata-rata berpengaruh pada Biaya Akhir, besar pengaruhnya pada Waktu Rencana, tidak secara signifikan berpengaruh pada Kualitas Konstruksi dan Keselamatan Konstruksi, dan paling besar berpengaruh pada Lingkungan. - Ketersediaan Alat, Pekerja dan Material rata-rata berpengaruh pada Biaya Akhir, paling besar pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya besar pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Ijin dan Peraturan berpengaruh besar pada Biaya Akhir, paling besar pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Kualitas Pekerjaan besar berpengaruh pada Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya paling besar pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. - Keselamatan Kerja berpengaruh rata-rata pada Biaya Akhir dan Waktu Rencana, pengaruhnya besar pada Kualitas Konstruksi, paling berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan. KESIMPULAN Dari berbagai aspek resiko yang ditinjau hasil yang diperoleh berupa resiko pada Perubahan yang terjadi dalam Pekerjaan dan Peraturan Pemerintah serta Biaya Proses yang Legal sangat berpengaruh pada Biaya Akhir. Kualitas Konstruksi sangat besar dipengaruhi oleh Desain serta Material yang tidak sesuai. Sedangkan Lingkungan akan sangat besar terpengaruh oleh Bahaya pada Lingkungan Proyek serta Keselamatan Kerja. Ketersediaan Pekerja, Alat dan Material beserta Ijin dan Peraturannya sangat
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 100
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
berpengaruh pada Waktu Rencana. Hasil pada Kualitas Konstruksi sangat dipengaruhi oleh Kualitas Pekerjaan. Belajar dari pengalaman terdahulu, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri dan jasa konstruksi di Indonesia pada umumnya telah menerapkan manajemen resiko dalam pelaksanaan proyek konstruksi mereka. Pengawasan serta konsistensi dalam implementasi dari manajemen resiko yang telah diterapkan oleh kalangan perusahaan jasa konstruksi harus dijalankan dalam setiap tahapan pelaksanaan proyek.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Flanagan, R & Norman, G (1993) Risk Management and Construction. Blackwell Science, UK Nunnally, S. W (1998) Construction Methods and Management, Fourth Edition. Prentice-Hall, Inc, USA Pilcher, R (1992) Principle of Construction Management, Third Edition. McGrawHill International (UK) Limited, UK Pilcher, R (1994) Project Cost Control in Construction, Second Edition. Blackwell Scientific Publication, UK Thygerson, A. L (1992) Safety, Second Edition. Jones and Bartlett Publisgers, Inc, Boston Woodward, J. F (1997) Construction Project Management, Getting It Right First Time. Thomas Telford Publishing, London
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 101
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 102
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ISU-ISU UTAMA YANG MENJADI KONTRAK PSIKOLOGIS DI INDUSTRI KONSTRUKSI Anton Soekiman1 1
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141, Tlp: 022 2033691, ext. 443, Fax: 022 2033692, Email: [email protected]
ABSTRAK Dalam industri konstruksi kita mengenal ada dua bentuk ikatan hubungan kerja, yakni: kontrak individual (tingkat white-collar) dan kontrak kolektif (tingkat blue-collar). Keduanya dapat berbentuk kontrak formal maupun informal yang dikenal sebagai kontrak psikologis. Kontrak informal atau kontrak psikologis dapat dipandang sebagai arah baru dalam melihat hubungan antara pekerja dan pemberi kerja di industri konstruksi, di luar aspek formal dari hubungan yang ada. Kita juga dapat melihatnya sebagai aspek subyektif untuk memahami hubungan kerja, yang memungkinkan melihat perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah. Menarik untuk dikaji apakah ada inkompatibilitas antara harapan pekerja dan harapan pemberi kerja di industri konstruksi, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan kepastian kerja jangka panjang. Hal ini perlu diketahui karena gap ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja yang dapat berakibat pada turunnya motivasi kerja, buruknya kinerja, bahkan putusnya kontrak. Makalah ini menggambarkan apa saja yang menjadi ekspektasi sekaligus kontrak psikologis dari perusahaan penyedia jasa konstruksi, staf proyek serta pekerja lapangan secara deskriptif dengan datadata yang diperoleh melalui survei dan wawancara pada beberapa penyedia jasa konstruksi di beberapa kota di Indonesia. Kata kunci: Hubungan kerja, Kontrak psikologis, Harapan, Kepuasan kerja, Motivasi kerja
1. PENDAHULUAN Dalam industri konstruksi kita mengenal ada dua bentuk ikatan hubungan kerja, yakni: kontrak individual (tingkat white-collar) dan kontrak kolektif (tingkat blue-collar). Keduanya dapat berbentuk kontrak formal maupun informal yang dikenal sebagai kontrak psikologis. Kontrak informal atau kontrak psikologis dapat dipandang sebagai arah baru dalam melihat hubungan antara pekerja dan pemberi kerja di industri konstruksi, di luar aspek formal dari hubungan yang ada seperti definisi dari Herriot (1998): ……….Informal beliefs of each of parties as their mutual obligations within the employment relationship. Kontrak psikologis juga dapat kita lihat sebagai aspek subyektif untuk memahami hubungan kerja, yang memungkinkan melihat perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah dan bukan hanya sesuatu yang ditetapkan oleh majikan (Herriot dan Pemberton, 1997). Menarik untuk dikaji apakah ada inkompatibilitas antara harapan pekerja dan harapan pemberi kerja di industri konstruksi, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan kepastian kerja jangka panjang. Hal ini perlu diketahui karena gap ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja yang dapat berakibat pada turunnya motivasi kerja, buruknya kinerja, bahkan putusnya kontrak. Makalah ini mencoba menggambarkan apa saja yang menjadi ekspektasi sekaligus kontrak psikologis dari perusahaan penyedia jasa konstruksi, staf proyek serta pekerja lapangan secara deskriptif dengan data-data yang diperoleh melalui survei dan ISBN 978-979-99327-8-5
I - 103
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
wawancara pada beberapa perusahaan penyedia jasa konstruksi di beberapa kota di Indonesia.
2. MANAJEMEN SDM DAN HUBUNGAN KERJA Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) diantaranya meliputi perencanaan kebutuhan tenaga kerja sesuai tujuan organisasi, pengadaan, integrasi, pengembangan dan pemeliharaan SDM. Implementasi dari fungsi ini mengarah kepada hubungan antar pemberi kerja dengan pekerja juga antar sesama pekerja pada berbagai level, yang dikenal sebagai hubungan kerja (lihat Gambar 1).
Gambar 1: Model hubungan kerja antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan tim proyek (diadop dari Loosemore et al, 2003) Pengadaan SDM merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan organisasi akan tenaga kerja yang sesuai dengan strategi jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan dalam industri konstruksi sering kali juga merupakan pemenuhan kebutuhan segera. Proses pengadaan SDM ini meliputi perencanaan pengadaan, seleksi dan rekrutmen. Perencanaan pengadaan terdiri dari analisa kebutuhan, evaluasi situasi yang ada, analisa dan perencanaan pekerjaan, analisa kapasitas yang ada, analisa turn-over tenaga kerja, mempersiapkan spesifikasi dan job descriptions. Pemenuhan kebutuhan tersebut dipenuhi melalui seleksi yang dilakukan melalui berbagai cara seperti: 1. Wawancara, yang dapat dilakukan secara terstruktur ataupun tidak, baik individual maupun panel. 2. Tes/ujian, yang dapat meliputi: General ability, Aptitude, Cognitive ability, Personality, dan Integrity. 3. Metode lain, seperti: Self assessment, Peer assessment, Graphology, Bio data, Astrology, Assessment centres (outsourcing selection process). Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan yang dapat menutupi “gap” antara kebutuhan organisasi dan kapasitas serta interes dari kandidat diperlukan pemahaman dan pengenalan yang cukup dari calon tenaga kerja yang dapat diperoleh melalui kombinasi antara wawancara dengan metode-metode lain.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 104
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Sementara itu rekrutmen merupakan proses penempatan SDM pada posisi yang dibutuhkan, yang dicapai melalui proses eksternal dan internal. Proses eksternal dapat berupa iklan lowongan kerja, agen penyedia tenaga kerja, berita dari mulut ke mulut, ataupun melalui pendekatan secara langsung pada para kandidat. Sedangkan proses internal dapat berupa job posting secara konvensional ataupun memanfaatkan teknologi informasi yang dikenal sebagai human resource information systems (HRISs based). Proses pengadaan ini kemudian akan dilanjutkan dengan proses integrasi, di mana SDM yang baru direkrut/bergabung dengan suatu organisasi diperkenalkan dengan situasi, budaya, dan suasana kerja dari organisasi tersebut. Proses ini penting agar SDM yang baru bisa membaur dan saling memahami dengan organisasinya sehingga tercipta irama kerja yang diharapkan akan memberikan kinerja yang baik untuk menunjang pencapaian tujuan organisasi. Proses selanjutnya adalah pengembangan SDM yang dilakukan melalui program pengembangan dan latihan secara berkelanjutan. Pengembangan SDM ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pekerja dalam kerangka tujuan organisasi. Pembelajarannya sendiri dapat dilakukan secara internal melalui proses pembelajaran di dalam organisasi (Keep dan Rainbird, 2000), yang meliputi: pembelajaran individu maupun pembelajaran organisasi. Pembelajaran secara internal ini dikenal sebagai Onthe-job training, misalnya: menemukan dan memecahkan masalah-masalah dalam operasional sehari-hari, transfer dan rotasi kerja, bimbingan dan diskusi secara intern. Pembelajaran dapat juga dilakukan secara eksternal melalui program-program pelatihan yang dikenal sebagai off-the-job training, misalnya: kuliah/grup diskusi oleh perusahaan/institusi pelatihan, program belajar jarak jauh, eksternal mentoring/coaching, kursus-kursus, akreditasi, dan sebagainya. Semua proses manajemen SDM dari perencanaan kebutuhan tenaga kerja hingga pengembangannya bertujuan untuk mendukung kinerja organisasi, yang diwujudkan dalam bentuk manajemen kinerja meliputi: Perencanaan tujuan, sasaran dan standar keberhasilan Pengawasan pelaksanaan secara kontinu Memberikan/menyediakan dukungan dan fasilitas yang diperlukan Membentuk kesepakatan mengenai kinerja antara pimpinan dan bawahannya Memanfaatkan umpan balik dari lingkup internal dari level bawah sampai atas dan pihak-pihak eksternal. Selanjutnya organisasi perlu melakukan langkah-langkah untuk menjaga dan memelihara aset SDM-nya melalui manajemen karier dan manajemen penghargaan bagi SDM-nya. Manajemen karier ini meliputi: Perencanaan struktur dan jalur karier (structure and career path) Sistem penilaian kinerja (performance appraisal system), meliputi: kriteria kinerja terhadap siapa, kapan, dan bagaimana, serta frekuensinya serta penilaian kinerjanya (assessment) Manajemen penghargaan bertujuan untuk memberikan penghargaan pada prestasi, loyalitas, dan komitmen kerja yang merupakan respons terhadap kebutuhan dan harapan SDM, sekaligus untuk mempertahankan komitmen, kepuasan kerja, motivasi, dan loyalitasnya pada organisasi (lihat Gambar 2). Bentuk penghargaan dapat berupa: 1. Penghargaan yang bersifat ekstrinsik (tangible hygiene factors), seperti: gaji, bonus, komisi, suasana kerja, kendaraan dinas, pensiun.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 105
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2. Penghargaan yang bersifat intrinsik (intangible hygiene factors), seperti : gaya hidup, kenyamanan, kebanggaan, status, tantangan.
Gambar 2: Daur strategi manajemen SDM (diadop dari Loosemore et al, 2003) Sebagai hasil dari pengelolaan berbagai faktor SDM tersebut di atas muncullah hubungan kerja yang dapat ditinjau melalui 2 pendekatan, sebagai berikut: 1. Pendekatan tradisional yang bersifat reaktif, mengandalkan penanganan dampak dari SDM yang buruk dan hanya menangani hubungan antara perwakilan employee/employer 2. Pendekatan modern yang bersifat proaktif Pendekatan tradisional fokus pada menghubungkan aturan dan prosedur yang berlaku berkaitan dengan ketenagakerjaan, seperti: hak, kewenangan, legitimasi, dan kewajiban. Pendekatan ini dianggap gagal memperhatikan aspek peran individu dalam hubungan kerja, sementara serikat pekerja yang muncul hanya berfungsi melindungi kepentingan pekerja (collective bargaining). Pendekatan kontemporer memperhatikan aspek motivasi, ideologi, perspektif organisasi, perspektif pekerja, di mana psychological contract menjadi penting, pekerja dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
3. BENTUK-BENTUK HUBUNGAN KERJA DI INDUSTRI KONSTRUKSI Hubungan ketenagakerjaan menggambarkan hubungan antara pekerja/operatives dan manajer serta sistem yang mengendalikan hubungan tersebut. Wujud dari hubungan kerja tersebut bisa berbentuk formal maupun informal melalui : 1. Kontrak/perjanjian kerja formal, berdasar pasal2 dan syarat pekerjaan mengenai apa yang diharapkan dari pekerja dan apa yang diberikan majikan sebagai imbalannya 2. Kontrak psikologis, berdasarkan pemahaman atas ekspektasi pekerja dan majikan (employee/employer) Sementara itu dalam industri konstruksi kita mengenal dua jenis kontrak, yakni: 1. Kontrak individual (tingkat white-collar) pada level manajer dan tenaga profesional 2. Kontrak kolektif (tingkat blue-collar) pada level pekerja/buruh lapangan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 106
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Kontrak Rahasia Pekerja sebagai manusia memiliki kebutuhan dan keperluan yang mungkin berbeda dengan kebutuhan/keperluan pemberi kerja, untuk itu perlu dipahami apa saja yang menjadi kebutuhan/keperluan mereka. Oleh sebab itu hubungan dengan orang lain tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman isi kontrak tak tertulis yang menciptakan pengaruh riil. Kontrak tak tertulis atau kontrak rahasia inilah yang sering diistilah dengan Kontrak psikologis (Rees dan McBain, 2004). Menjaga hubungan tidak cukup dengan mengatakan semua yang anda tahu tentang seseorang atau mengatakan semua yang anda tidak tahu atau hanya tahu setengahsetengah. Dan juga tidak cukup dengan memberi reaksi terhadap aksi orang lain atau mengabaikan semua aksi. Oleh karena itu pahamilah ‘written rule of relationship’ untuk ditaati tetapi jangan lupa memahami ‘the unwritten rule’ dalam bentuk pengecualian atau isyarat seperti dinyatakan oleh Suryanto (2007): ..............kemampuan dalam menjalin hubungan, dibangun di atas pemahaman bahwa semua orang mengajukan Kontrak Tak Tertulis yang isinya sama: “tolong pahami saya”. Supaya tidak terjadi bongkar pasang atau bertentangan dengan keinginan anda, maka yang dituntut adalah keberanian berkorban lebih dulu untuk memahami orang lain tanpa syarat. Sebab fakta alamiah menunjukkan kalau anda lebih dulu memahami tidak berarti anda yang merugi tetapi justru menjadi jalan untuk dipahami orang lain. Kontrak psikologis Merupakan aspek subyektif untuk memahami hubungan kerja, memungkinkan melihat perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah (bukan hanya sesuatu yang ditetapkan oleh majikan (Herriot dan Pemberton, 1997). Kontrak psikologis ini dapat dipandang sebagai arah baru dalam melihat hubungan pekerja-majikan, di luar aspek formal dari hubungan yang ada. Kontrak psikologis juga dapat ditinjau sebagai suatu Continuum Contract antara Relational Contract dan transactional Contract (Rousseau, 1995), di mana Relational Contract berorientasi pada jangka panjang (open-ended within unitary organizations, exchange of loyalty, kepercayaan dan dukungan), sementara itu Transactional Contract berorientasi pada jangka pendek (in pluralistic organizational context, mutual self interest). Isu ini perlu diperhatikan melihat kemungkinan adanya inkompatibilitas antara harapan pekerja dan harapan majikan, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan kepastian kerja jangka panjang. Jurang perbedaan ekspektasi antara pekerja dan majikan ini perlu dihindari karena memberikan dampak buruk berupa penurunan motivasi kerja yang akan berakibat pada penurunan kinerja bahkan dapat menimbulkan pelanggaran kontrak dan putusnya kesepakatan kerja. Perbedaan ekspektasi ini dapat terjadi karena berbagai faktor (Maslach dan Leiter, 1997), misalnya: Work Overload (ketidaksesuaian antara beban kerja dan kapasitas pekerja) Lack of control Insufficient reward (intrinsic) Breakdown of community (fragmented personal relationships) Absence of fairness Conflicting values
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 107
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. KONTRAK PSIKOLOGIS DI INDUSTRI KONSTRUKSI Para stakeholder di industri konstruksi yang memilik karakteristik tersendiri dibandingkan dengan bidang lain, sehingga sangat mungkin memiliki kontrak psikologis yang khas pula. Karena itu menarik untuk dilihat apa saja ekspektasi dari perusahaan penyedia jasa konstruksi yang dalam hal ini diwakili oleh para manajer lapangan terhadap para pekerja di level bawahnya, dan demikian juga sebaliknya apa saja ekspektasi dari para mandor dan pekerja lapangan terhadap manajer proyeknya/perusahaan penyedia jasa konstruksi dimana dia bekerja. Karena variabel yang hendak dicari sangat terbuka yakni ekspektasi perusahaan/manajer proyek terhadap mandor dan pekerjanya, dan demikian juga sebaliknya maka metode pengumpulan data yang dipilih adalah melalui wawancara. Metode ini dipilih agar kita dapat memperoleh gambaran dari faktor-faktor yang muncul secara bebas dan variatif. Metoda pengumpulan data dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1. Menentukan perusahaan yang akan diwawancara 2. Wawancara, yang dalam hal ini dilakukan secara langsung maupun melalui berbagai alat komunikasi seperti telepon, dan email. 3. Mengelompokkan hasil wawancara ke dalam isu-isu utama, seperti: Kesejahteraan, hubungan kerja, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), reward dan penghargaan, pengembangan karir, dan sebagainya. Dari isu-isu dan faktor-faktor yang diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan gambaran umum mengenai ekspektasi dari perusahaan penyedia jasa konstruksi, para staf, maupun pekerja lapangan. Dalam penelitian ini ada tujuh perusahaan yang berlokasi di Bandung dan sekitarnya yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui wawancara, dimana setiap perusahaan diwakili oleh seorang pekerja lapangan dan seorang staf pada level engineer atau manajer tekniknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan faktor-faktor yang menjadi ekspektasi atau harapan dari pekerja lapangan, staf pekerja/engineer, serta pihak perusahaan penyedia jasa konstruksi. Isu-isu ekspektasi pekerja lapangan (mandor) yang menonjol: Kesejahteraan : Isu ini dianggap penting dan secara umum meliputi upah, tempat tinggal, pinjaman darurat, bantuan pengobatan. Dan yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Hubungan Kerja : Isu ini kurang mendapat perhatian, tetapi secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik. Kelangsungan Kerja : Isu ini dianggap paling penting dan sangat diharapkan, sementara kondisi yang ada berada dalam kontinum sedang sampai puas K3 : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Reward & Penghargaan : Isu ini sangat variatif dari tidak terpikirkan sampai sangat mengharapkan. Pegembangan Karir : Isu ini dianggap tidak penting dan secara umum memang tidak ada program pengembangannya
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 108
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Isu-isu ekspektasi staf pekerja/engineer yang menonjol: Kesejahteraan : Isu ini dianggap penting dan secara umum meliputi upah, tempat tinggal, kesehatan. Dan yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Hubungan Kerja : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Kelangsungan Kerja : Isu ini sangat variatif dari hanya mengganggap sebagai batu loncatan saja sampai sangat mengharapkan kelangsungan kerja K3 : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Reward & Penghargaan : Isu ini dianggap penting dan secara umum yang ada dianggap cukup Pegembangan Karir : Isu ini sangat variatif dari tidak terpikirkan sampai mengharapkan dan secara umum yang ada dianggap cukup Isu-isu ekspektasi perusahaan yang menonjol: Kinerja karyawan : Isu ini dianggap paling penting dan secara umum perusahaan menganggap apa yang ada sekarang sudah cukup baik tapi mengharapkan adanya peningkatan. Hubungan Kerja : Umumnya perusahaan menganggap Isu ini penting dan secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas Analisis Untuk pegawai lapangan, faktor utama yang menjadi harapannya adalah masalah kelangsungan kerja, diikuti kesejahteraan terutama besarnya upah/harga borongan yang disepakati. Kemudian masalah K3 sedangkan hubungan kerja, reward, penghargaan dan masalah pengembangan karir tidak menjadi ekspektasi utama. Untuk pegawai pada level staf/manager, faktor utama yang menjadi harapannya adalah masalah reward, penghargaan, dan hubungan kerja, diikuti kesejahteraan terutama besarnya upah dan fasilitas-fasilitas lain. Kemudian masalah K3 dan masalah pengembangan karir sedangkan kelangsungan kerja tidak menjadi ekspektasi utama karena mereka umumnya memiliki rencana jangka panjang untuk karirnya sendiri, seperti pindah kerja ataupun menjadi wiraswasta. Kalau hasil ini dibandingkan dengan hierarki kebutuhan Maslow, maka nampak bahwa pegawai lapangan/mandor lebih berorientasi kepada kebutuhan dasar (pada level 1 hierarki Maslow, sementara untuk staf/manager orientasinya ada pada level yang lebih tinggi. Untuk perusahaan, faktor utama yang menjadi harapannya adalah masalah kinerja karyawan, di mana walaupun mereka umumnya cukup puas dengan kondisi sekarang tapi mereka mengharapkan adanya peningkatan. Untuk memelihara sekaligus meningkatkan motivasi karyawan pada level staf lapangan perusahaan menyediakan reward dan penghargaan yang umumnya berupa bonus dan fasilitas-fasilitas lain selain upah, sementara untuk level buruh lapangan umumnya tidak ada program reward dan penghargaan. Hubungan kerja juga mendapat perhatian dari perusahaan karena dianggap dapat mempengaruhi suasana kerja dan kinerja karyawan dan hubungan kerja
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 109
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang ada sekarang umumnya sudah dianggap cukup memuaskan. Kemudian masalah K3 umumnya perusahaan sudah menyediakan perlengkapannya dan berharap ini akan meningkatkan motivasi karyawannya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Isu utama yang menjadi ekspektasi dari para manajer proyek, mandor dan pekerja lapangan serta perusahaan yang dihasilkan dari sampel penelitian ini menunjukkan perbedaan. Ekspektasi dari para manajer proyek lebih mengarah pada pengembangan karier, sedangkan ekspektasi dari para mandor dan pekerja lapangan lebih mengarah pada kebutuhan dasar. Sementara ekspektasi dari perusahaan lebih mengarah pada kinerja. Isu-isu utama yang menjadi ekspektasi dari ketiga kelompok responden selengkapnya adalah sebagai berikut: Isu-isu utama yang menjadi ekspektasi para manajer proyek lebih mengarah kepada hal-hal sebagai berikut: (1) reward, penghargaan dan hubungan kerja, (2) kesejahteraan, (3) masalah K3, dan (4) masalah pengembangan karir. Sementara itu kelangsungan kerja tidak menjadi ekspektasi utama bagi para manajer proyek. Isu utama yang menjadi ekspektasi para mandor dan pekerja lapangan lebih mengarah kepada hal yang merupakan kebutuhan dasar sebagai berikut: (1) kelangsungan kerja, (2) besarnya upah/harga yang diterima, dan (3) masalah K3. Sementara hubungan kerja, reward, penghargaan dan masalah pengembangan karir tidak menjadi ekspektasi utama bagi para mandor dan pekerja lapangan. Sedangkan Isu utama yang menjadi ekspektasi perusahaan adalah masalah kinerja, sementara masalah-masalah lain lebih diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kinerja karyawannya. Hasil penelitian ini diperoleh melalui wawancara yang dilakukan secara terbatas, untuk itu dapat ditindak lanjuti dengan penelitian lanjutan pada berbagai subjek pelaku konstruksi yang lebih rinci. Untuk itu sampel penelitian dapat diperluas agar mewakili subjek penelitian yang hendak dicari. Misalnya dengan membagi varian sample point berdasarkan tipe perusahaan (besar, menengah, dan kecil), atau berdasarkan jenis perusahaan (kontraktor, konsultan, dan suplier), juga perlu dicari figur yang tepat untuk diwawancara. Budaya organisasi dan karakter pribadi dari responden juga perlu diteliti, karena sangat mungkin mempengaruhi pola pikir dan respon dari responden.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4.
Herriot, P. (1998) The role of the HR function in building a new proposition for staff. In: P. Sparrow and M. Marchington (eds.) Human Resource Management: The New Agenda. Pitman, London. Herriot, P. and Pemberton, C. (1997) Facilitating new deals. Human Resource Management Journal, Vol. 7(1), pp. 45-56. Keep, E. and Rainbird, H. (2000) Towards the learning organization? In: S. Bach and K. Sisson (eds.) Personnel Management: A Comprehensive Guide to Theory and Practice. Blackwell, Oxford. Loosemore, M., Dainty, A. and Lingard, H. (2003) Human Resource Management in Construction Projects. Spon Press, London.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 110
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5. 6. 7. 8.
Maslach, C. and Leiter, M.P. (1997) The Truth about Burnout. San Francisco: Jossey Bass. Rees, D. and McBain, R. (2004) People Management: Challenges and Opportunities. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Rousseau, D.M. (1995) Psychological Contracts in Organisations: Understanding the Written and Unwritten Agreements. Sage, London. Suryanto, D. (2007) Transformational Leadership. (www.pemimpin-unggul.com).
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 111
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 112
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
STUDI JEJAK KARBON PADA RANTAI PASOK DI PROYEK KONSTRUKSI Hermawan1, Puti Farida Marzuki2, Muhamad Abduh2, R. Driejana3 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10 Bandung, email: [email protected] 2 Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL), Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10 Bandung 3 Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL) Kelompok Keahlian Pengelolaan Limbah dan Udara, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10 Bandung
ABSTRAK Konstruksi merupakan sektor yang mengkonsumsi material yang bervariasi termasuk asal material yang dapat diperoleh langsung dari alam dan dapat pula dipabrikasi. Metode pengerjaannya pun dapat dikerjakan di lapangan (on site) dan di luar lapangan (off site). Kegiatan yang dimulai dari ekstrasi material, metode pengerjaannya dan pengiriman membutuhkan energi dan sekaligus menghasilkan emisi CO2. Besarnya energi dan emisi CO2 dapat ditelusuri dengan menggunakan jejak karbon. Jejak karbon pada masing-masing material ini bervariasi. Material yang memiliki jejak karbon CO2 yang cukup besar adalah semen dan baja. selain menghasilkan emisi CO2, kedua material tersebut juga membutuhkan energi yang besar. Hal ini bukan berarti bahwa material selain baja baja tulangan tidak membutuhkan energi dan tidak menghasilkan CO2, namun energi yang dibutuhkan dan emisi CO2 yang dihasilkan tidak sebesar baja tulangan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi deskriptif terhadap kajian jejak karbon pada rantai pasok material konstruksi. Tujuan dari tulisan ini untuk melakukan gap analysis pada jejak karbon rantai pasok di proyek konstruksi. Kata kunci: jejak karbon, rantai pasok, proyek konstruksi
1. PENDAHULUAN Konstruksi merupakan sektor yang mengkonsumsi material yang jenisnya sangat bervariasi dan berasal dari berbagai sumber. Ada material yang langsung diperoleh dari alam seperti pasir, kayu, dan air tetapi ada juga yang harus diproduksi melalui industri. Material yang melalui proses industri seperti semen, baja, batu bata, dan kaca memiliki kontribusi yang dominan pada proses konstruksi. Metode pengerjaan komponen yang digunakan dalam proses konstruksi dapat dibagi menjadi dua yaitu on site dan off site. Penggunaan material dalam konstruksi baik menurut jenis, asal material, dan metode pengerjaan, membutuhkan energi dan sekaligus menghasilkan emisi, salah satunya CO2. Kegiatan yang dimulai dari penambangan bahan mentah, proses produksi, pengiriman ke proyek konstruksi sampai instalasi material membutuhkan energi dan menghasilkan emisi CO2. Menurut Gumaste (2006) meskipun terdapat kebutuhan energi dan emisi CO2 sebagai hasil rangkaian kegiatan tersebut, tidak semua memiliki jumlah keperluan dan emisi yang sama. Semen dan baja khususnya baja tulangan merupakan dua material yang ada dalam konstruksi yang memerlukan energi yang besar dan merupakan sebagai penghasil emisi CO2 yang besar. Hal ini bukan berarti bahwa material selain semen dan baja khususnya baja tulangan tidak memerlukan energi dan tidak menghasilkan CO2, namun energi yang dibutuhkan dan emisi CO2 yang dihasilkan tidak sebesar semen dan baja tulangan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 113
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Meningkatnya jumlah keperluan semen dapat disebabkan karena pertumbuhan negara berkembang termasuk Indonesia yang melibatkan penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur yang layak menjadi salah satu pilar untuk dapat bersaing dengan negara lain (Scwab, 2011). Pemakaian semen dalam jumlah yang besar bukan hanya di negara berkembang, tetapi pada beberapa negara lain juga mencapai jumlah yang sangat besar, sebagai contoh konsumsi semen pada tahun 2006 di Uni Eropa mencapai 237 juta ton apabila dijumlahkan di seluruh dunia jumlah pemakaian semen mencapai 2.6 miliar ton (Glavind, 2012). Berdasarkan kondisi di atas ada sutau prediksi yang memberikan analisis bahwa kebutuhan semen sampai tahun 2030 akan mencapai lima kali lipat dari tahun 1990, dengan nilai yang berjumlah lima milliar di seluruh dunia atau akan meningkat 85%. (Müller, dan Harnisch, 2012; Glavind, 2012). Pertumbuhan sektor konstruksi di Indonesia pun menunjukkan tren yang terus meningkat. Dalam satu dekade yang dimulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Pertumbuhan sektor kontruksi mengalami kenaikan. Tahun 2001, sektor konstruksi tumbuh 3.6%, tahun 2002 sebesar 4.5% sampai pada tahun 2007 tumbuh 6.3%. Akan tetapi pada tahun 2008 dampak krisis finansial secara global menghambat pertumbuhan sehingga pada tahun 2009 pertumbuhannya menjadi 4.6% apabila dibandingkan tahun 2008 yang bertumbuh sebesar 6% (Pengembangan Satelite Account Sektor Konstruksi Tahun 2011). Berdasarkan data pertumbuhan sektor konstruksi di atas secara tidak langsung kebutuhan material semen dalam dekade tersebut berjumlah besar. Apabila dipetakan ke dalam jenis proyek konstruksi yang terdiri atas proyek konstruksi infrastruktur dan noninfrastruktur, porsi kebutuhan semen di Indonesia 25%-30% digunakan pada proyek infrastruktur dan 70%-75% digunakan oleh proyek non infrastruktur (Goeritno, 2012). Dengan tren sektor konstruksi yang terus meningkat, konsumsi semen tentunya akan meningkat seiring dengan arah tren sektor konstruksi. Kapasitas produksi semen yang mampu disediakan produsen semen dari tahun 2010 sampai sekarang 53.5 juta ton/tahun, sedangkan konsumsi semen nasional pada tahun 2010 sebesar 42.09 juta ton dan tahun 2011 sebesar 43.57 juta ton. Dengan demikian, estimasi kebutuhan semen nasional sampai pada tahun 2025 sebesar 70.82 juta ton (Natsir, 2011). Dengan demikian, baik secara global atau pada skala Indonesia, kebutuhan semen memiliki kecenderungan terus meningkat sejalan dengan penyediaan infrastruktur yang layak yang menjadi pilar untuk berkompetisi. Sehingga industri semen menjadi komoditas utama dan industri yang strategis bagi perekonomian suatu negara (US, EPA, 2012; Mc. Leod, 2005). Sebagai bahan yang proses pembuatannya melalui pabrikasi yang membutuhkan energi, industri semen pun membutuhkan energi dan juga menghasilkan CO2. Semen dipabrikasi dari berbagai macam mineral yaitu kalsium 60% yang diperoleh dari batu kapur sebagi bahan utamanya, silikon 20%, alumunium 10%, zat besi 10% serta unsur lain yang dibutuhkan kemudian dipanaskan pada suhu 1.500C2.700C dalam klinker. CO2 yang dihasilkan dari pabrikasi semen berasal dari pemakaian bahan bakar untuk pemanasan, mencampur semua mineral yang dibutuhkan, dan proses kalsinasi ketika kalsium karbonat dipanaskan akan hancur menjadi kalsium oksida dengan melepas sejumlah CO2. Sementara semen dihasilkan dari proses kalsinasi hampir 92%-95%. Proses inilah yang menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Emisi CO2 yang dihasilkan pada proses ini antara 50%-60% (NRMCA, 2010). Oleh karena itu, pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memberikan hasil bahwa meskipun semen sebagai material yang penting untuk proyek konstruksi, proses yang ada pada hulu memberikan dampak signifikan terhadap pemanasan global, yaitu CO2 yang dihasilkan selama proses pabrikasinya. Bahkan industri semen merupakan salah
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 114
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
satu industri mayor sebagai penghasil CO2 (Rehan dan Nehdi 2005). Total besarnya CO2 yang dihasilkan oleh industri semen berkisar 6%, sedangkan setiap satu kilogram semen dari proses yang terjadi di klinker mengemisi hampir 0.8-1 kg CO2 ke atmposfer atau setiap 1 ton semen akan menghasilkan 1 ton CO2 juga yang artinya bahwa setiap berat semen yang dihasilkan akan memiliki perbandingan 1:1 (Mc. Caffrey,2001; Rehan dan Nehdi, 2005; Worrel 2001; Nielsen, 2008). Sebagai bahan yang proses pembuatannya melalui pabrikasi yang membutuhkan energi, industri semen pun membutuhkan energi dan juga menghasilkan CO2. Semen dipabrikasi dari berbagai macam mineral yaitu kalsium 60% yang diperoleh dari batu kapur sebagi bahan utamanya, silikon 20%, alumunium 10%, zat besi 10% serta unsur lain yang dibutuhkan kemudian dipanaskan pada suhu 1.500C-2.700C dalam klinker. CO2 yang dihasilkan dari pabrikasi semen berasal dari pemakaian bahan bakar untuk pemanasan, mencampur semua mineral yang dibutuhkan, dan proses kalsinasi ketika kalsium karbonat dipanaskan akan hancur menjadi kalsium oksida dengan melepas sejumlah CO2. Sementara semen dihasilkan dari proses kalsinasi hampir 92%-95%. Proses inilah yang menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Emisi CO2 yang dihasilkan pada proses ini antara 50%-60% (NRMCA, 2010). Oleh karena itu, pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memberikan hasil bahwa meskipun semen sebagai material yang penting untuk proyek konstruksi, proses yang ada pada hulu memberikan dampak signifikan terhadap pemanasan global, yaitu CO2 yang dihasilkan selama proses pabrikasinya. Bahkan industri semen merupakan salah satu industri mayor sebagai penghasil CO2 (Rehan dan Nehdi 2005). Total besarnya CO2 yang dihasilkan oleh industri semen berkisar 6%, sedangkan setiap satu kilogram semen dari proses yang terjadi di klinker mengemisi hampir 0.8-1 kg CO2 ke atmposfer atau setiap 1 ton semen akan menghasilkan 1 ton CO2 juga yang artinya bahwa setiap berat semen yang dihasilkan akan memiliki perbandingan 1:1 (Mc. Caffrey,2001; Rehan dan Nehdi, 2005; Worrel 2001; Nielsen, 2008). Material lain yang menjadi komplemen semen selain air dan agregat adalah baja. Baja merupakan material mayor setelah semen yang juga hampir digunakan di proyek infrastruktur dan noninfrastruktur di seluruh dunia. Bahkan baja juga merupakan salah satu material yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi suatu negara (OECD, 2011). Secara global, produksi baja juga memberikan indikasi yang terus meningkat. Total produksi baja kasar pada tahun 2007, 1.3435 miliar ton, sedangkan pada tahun 2008 total produksi baja kasar mengalami kenaikan sebesar 5.6%. Sebaran distribusi produksi baja kasar terdiri atas Cina 34%, Jepang 9.3%, Asia 10.5%, Uni Eropa 15.9%, non-Uni Eropa 2.9%, NAFTA (Argentina, Brasil, Venezuela, dan Amerika Latin) 10.5%, CIS (Canada, Mexico dan US) 9.6%, lain-lain 7.2%. (Kundak, 2009). Pertumbuhan produksi baja dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2010 dapat dlihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1: Pertumbuhan Baja Dunia Tahun 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 Jumlah baja 595 644 717 719 770 752 849 1.144 1414 (mega ton) Sumber: Global economic outlook and steel demand trends Eldar Askerov, 23-24 April 2012
2011 1.527
Penggunaan baja pada konstruksi menjadi alternatif dan memiliki tren yang meningkat setelah adanya isu pemanasan global yang salah satunya diakibatkan oleh penebangan hutan untuk mendapatkan kayu yang digunakan pada konstruksi. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa komoditas baja dapat menjadi pilar bagi suatu negara untuk
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 115
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
berkompetisi di pasar global. Begitu pula dengan sektor konstruksi di Indonesia, pertumbuhan pemakaian baja sebagai material konstruuksi di Indonesia pada tahun 2004-2008 rata-rata 8.25% (Natsir, 2011). Bahkan estimasi potensi kebutuhan baja nasional menurut RPJM 2012-2014 akan terus meningkat, pada tahun 2013 diestimasikan kebutuhan baja akan mencapai 13.900.000 ton dan pada tahun 2014 sebesar 16.000.000 ton (pusbinsdi.net). Dengan demikian, pemakaian baja di Indonesia pun memiliki tren potensi yang positif. Sebagai material yang dihasilkan dari proses pabrikasi maka material baja memiliki potensi menghasilkan CO2. CO2 yang dihasilkan dari industri baja berkisar antara 4%-5% (OECD, 2011; Kundak, 2009). Bahkan 90% CO2 yang dihasilkan dari pembuatan baja berasal dari 9 negara seperti Cina, Brasil, Uni Eropa, India, Jepang, Korea, Rusia, Ukraina, dan Amerika (Kundak, 2009). Menurut Environmental Product Declaration/EPD, (2012) pembuatan baja menghasilkan 430 kg CO2 eq/.ton. Berkaitan dengan kedua material tersebut yaitu semen dan baja, sektor yang mempunyai persentase yang signifikan terhadap penggunaan material tersebut adalah sektor konstruksi. Sementara sektor konstruksi dianalisis sebagai sektor yang turut memberikan kontribusi CO2 yang menyebabkan meningkatnya efek gas rumah kaca. Isu efek gas rumah kaca menjadi penting karena menjadi dasar untuk mencapai sustainable.
2. TUJUAN Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melakukan identifikasi gap analysis jejak karbon pada rantai pasok di proyek konstruksi.
3. KAJIAN PUSTAKA Rantai Pasok Supply chain atau rantai pasok merupakan suatu konsep yang relatif baru di dunia konstruksi, yang awal perkembangannya berasal dari industri manufaktur. Konsep supply chain berhubungan erat dengan lahirnya konsep lean production yang berakar pada pemikiran lean thinking yang telah mengubah paradigma produksi dalam industri manufaktur. Tuntutan terhadap efisiensi memaksa perusahaan untuk membentuk struktur organisasi yang lebih sederhana, mendorong perusahaan untuk lebih fokus pada bisnis intinya, dan menyerahkan aktifitas pendukungnya pada pihak lain. Perkembangan ini mengakibatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu bisnis, bukan lagi merupakan output dari satu organisasi secara individu, namun merupakan output dari suatu rangkaian organisasi, yang disebut supply chain (Maylor, 2003). Dalam konteks konstruksi, kompleksitas supply chain konstruksi digambarkan oleh Vaidyanathan (2001) seperti tertera pada Gambar 1, secara makro, pihak-pihak yang terlibat dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu: penyedia jasa yang terdiri atas penyandang dana, penyedia jasa struktur, mekanikal, elektrikal, dan arsitektur dan kelompok kedua yaitu penyedia barang/material yang terdiri atas pemasok material/produk bangunan dan subkontraktor.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 116
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Structural Engineer
Mechanical Engineer
Penyandang dana
General Contractor (Construction Manager at risk) ia
l
Owner
A lir
an
m
Produk Bangunan Manufaktur II
Arsitek
at er
Produk Bangunan Manufaktur I
Electrical Engineer
A lir
an
in
fo r
m
as i
Produk Bangunan Manufaktur n
Sub Kontraktor I
Pekerja langsung
Sub Kontraktor II
Pekerja tidak langsung
Pekerja langsung
Gambar 1 Rantai pasok konstruksi Sumber: Vaidyanathan (2001)
Kedua kelompok besar ini akan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsi dari masing-masing anggota kelompok tersebut terhadap kontraktor sebagai bagian yang akan mewujudkan keinginan owner sehingga kontraktor secara kontinu dan langsung akan mempunyai hubungan garis komando terhadap owner. Hubungan antara arsitek dengan owner hanya garis koordinasi, sementara hubungan owner dengan subkontraktor sebatas hanya untuk mengetahui aliran informasi dan aliran material. Sejalan dengan pengertian supply chain dalam konteks manufaktur, dalam konteks konstruksi, supply chain dapat didefinisikan sebagai suatu proses dari sekumpulan aktivitas perubahan material alam hingga menjadi produk akhir (misalnya jalan, bangunan, dan jasa perencanaan), untuk digunakan oleh pengguna jasa dengan mengabaikan batas-batas organisasi yang ada. Tambahan dalam definisi Tommelein dkk (2003) menyatakan bahwa dalam jaringan yang terstruktur tersebut selain dilakukan untuk memenuhi kebutuhan owner, juga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota supply chain tersebut. Dalam konteks pola tradisional, pembentukan supply chain konstruksi yang terlibat dalam suatu proses produksi, dimulai pada tahap penawaran, ketika suatu jaringan supply chain konstruksi suatu kontraktor akan memiliki daya saing tertentu terhadap jaringan supply chain konstruksi dari kontraktor lainnya dalam memenangkan tender. Dalam tahap ini, hal itu menunjukkan bahwa persaingan yang terjadi bukan lagi persaingan antarperusahaan konstruksi secara individu, melainkan merupakan persaingan antarjaringan supply chain konstruksi antar jaringan perusahaan yang tergabung dalam suatu hubungan proses produksi konstruksi yang ditawarkan dalam penawaran. Dalam tahap pelaksanaan, ketika terjadi proses pengadaan yang dilakukan oleh kontraktor dalam penyusunan jaringan supply chain-nya, akan menentukan seberapa besar tingkat efisiensi yang terjadi dalam proses produksinya. Hal ini menghasilkan produk dan jasa yang sesuai dengan value dari owner. Apa yang terjadi dalam konstruksi tersebut membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa keunggulan persaingan yang menjadi aturan main sekarang ini adalah keunggulan persaingan antarjaringan supply chain (Christopher, 1998). Di tengah kompetisi usaha yang semakin ketat, kontraktor dituntut untuk melakukan efisiensi dalam proses konstruksinya. Pola supply chain yang memiliki daya saing pada tahap pengadaan, selanjutnya akan memberikan kinerjanya pada tahap produksi (pelaksanaan). Hal itu menunjukkan bahwa desain suatu jaringan supply chain berperan sangat penting. Suatu
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 117
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
studi menunjukkan bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 2002). Hal ini menunjukkkan bahwa pola supply chain konstruksi akan memberikan kontribusi terhadap efisiensi suatu pelaksanaan proyek, sehingga pola suatu supply chain konstruksi memiliki potensi untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan dalam industri konstruksi. Dalam konteks konstruksi ketika fragmentasi sudah menjadi bagian dari karakteristik industri ini, peningkatan yang dapat dilakukan adalah melalui manajemen hubungan terhadap organisasi yang terlibat dalam suatu susunan jaringan supply chain yang menghasilkan produk konstruksi tertentu. Konsep supply chain management merupakan konsep yang relatif baru. Konsep ini merupakan perluasan dari konsep logistik yang lingkupnya adalah optimasi aliran (optimizing flows) di dalam lingkup suatu organisasi tertentu (Christopher, 1998). Konsep supply chain management memperlihatkan bahwa konsep logistik belum mencukupi dalam usaha untuk mencapai optimalisasi aliran yang terjadi sehingga perlu diperluas hingga keluar batas organisasi tersebut ke hulu dengan supplier-nya dan ke hilir dengan customernya (Christopher, 1998). Dengan demikian, hal yang paling mendasar dari manajemen hubungan dalam suatu supply chain menyangkut hubungan antar organisasi yang berbeda dalam suatu proses produksi. Dalam konteks persaingan bisnis yang semakin ketat, melalui penerapan konsep ini diharapkan daya saing yang berkelanjutan dapat tercapai (Christopher, 1998). Hal inilah yang menunjukkan pentingnya penerapan supply chain manajemen dalam praktik bisnis saat ini, termasuk dalam industri konstruksi. Fragmentasi yang sudah menjadi karakteristik industri konstruksi, yang disebabkan tingginya tingkat kebutuhan spesialisasi dalam industri ini, telah menyebabkan terpecah-pecahnya suatu proses (aktivitas) menjadi paket-paket yang lebih kecil, yang masing-masing melibatkan pihak tertentu. Akhirnya dalam suatu proyek konstruksi bangunan, yang melibatkan item pekerjaan yang sangat banyak, yang menuntut keahlian tertentu di dalam produksinya, telah membentuk jaringan supply chain yang kompleks. Hal di atas menujukkan bahwa karakteristik dalam industri konstruksi pun telah menuntut suatu konsep manajemen yang dapat mengatur hubungan antarmata rantai yang menghasilkan output produk konstruksi sehingga peran konsep dalam industri konstruksi menjadi penting. Jejak karbon pada konstruksi Analisa daur hidup/life cycle analysis merupakan kerangka utama yang digunakan dalam beberapa penelitian jejak karbon. Dalam perkembangannya analisis daur hidup dimodifikasi ke dalam beberapa bentuk seperti analisa daur hidup input output dan analisis daur hidup hybrid. Analisa daur hidup dapat mempunyai batasan-batasan sampai sejauh mana estimasi jejak karbon dalam proses konstruksi. Batasan-batasan yang terdapat pada analisa daur hidup terdiri dari gate to gate, cradle to gate dan cradle to cradle. Berikut ini merupakan penelitian jejak karbon dengan menggunakan kerangka utama analisa daur hidup. Penelitian jejak karbon yang telah dilakukan pada ruang lingkup konstruksi meliputi beberapa bagian yaitu pada objek material, industri konstruksi, ataupun pada proyek konstruksi. Objek penelitian yang dilakukan juga bervariasi seperti pada bangunan komersial, perumahan, perkerasan jalan atau pada komponen bangunan seperti dinding, tangga. Penelitian jejak karbon untuk material konstruksi yang dilakukan dalam bentuk studi perbandingan antarmaterial konstruksi yang digunakan pada bangunan seperti kayu (Buchanan dan Levine, 1999; Pullen, 2000), material on site dan off site (Barret dan Wiedmann, 2007), kebutuhan energi dan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 118
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
emisi CO2 pada aliran material yang digunakan ready mix (Low, 2005); pada perkerasan kaku dan fleksibel (Zapata dan Gambatese, 2005; Amlan dan Cassi, 2011) serta pada rumah dan apartemen (Hammond and Jones 2008; Tatari dan Kucukvar, 2012). Jejak karbon pada penggunaan beton pracetak juga dilakukan oleh Peng dan Pheng (2011) untuk elemen kolom pada gedung dan (Wong dan Tang, 2012) pada komponen dinding, anak tangga, dan plat lantai. Penelitian jejak karbon dilakukan berkaitan dengan konstruksi khususnya pada industri semen (Worrel, 2001) termasuk juga emisi yang ditimbulkan oleh transportasi yang digunakan oleh ready mix (Palaniappa, 2009). Penelitian jejak karbon yang langsung terkait pada proyek konstruksi dengan objek perumahan (Seol dan Hwang, 2001; Baouendi, 2005), infrastruktur dan noninfrastruktur Hendrickson dan Horvath (2000), estimasi untuk pembangunan perumahan baru (Hodgson, 2008) Kasozi dan Tutesigensi (2007) mengembangkan model penilaian jejak karbon pada proyek konstruksi yang dapat diakses oleh para pengelola proyek konstruksi. Sharrard (2008); dan Inui (2011) melakukan estimasi jejak karbon pada fase konstruksi. Lingkup penelitian jejak karbon juga ada yang dilakukan pada level negara dan kota khususnya yang erat hubungannya dengan kegiatan transportasi, rumah tangga, limbah, atau bangunan industri (Kenny dan Gray 2009; Brown 2009; Brown, 2012; Baron, 2011). Hasil dari penelitian jejak karbon juga dapat digunakan sebagai estimasi untuk pembangunan konstruksi yang setipe sehingga optimal energi dan emisi CO2 optimal (Qi dan Chang, 20112). Khusus pada proyek konstruksi untuk memetakan sumber emisi CO2 secara langsung dan tidak langsung juga memperhitungkan faktor biaya dengan metode Particle Swarm Optimatization (PSO) yang dilakukan oleh Liu (2012). Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi gap analysis jejak karbon pada rantai pasok di proyek konstruksi dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2: Pemetaan penelitian jejak karbon pada konstruksi No
Tahun
1
2001
2
2009
3
2011
4
1999
5
2000
6
2005
7
2005
Studi Kasus CO2 Emission The Global Cement Industry (Worrel, E., et.al, 2001) Carbon Emissions based on Readymix Concrete Transportation: A Production Home Building Case Study in the Greater Phoenix Arizona Area (Palaniappan , S, et. al., 2009) Calculation of the corporate carbon footprint of the cement industry by the application of MC3 methodology (Cajio, J., et. al., 2011) Wood Based Building Materials and Atmospheric Carbon Emissions (Buchanan, A.H. & Honey, B.G., 1994) Estimating The Embodied Energy Of Timber Building Products (Pullen, S, 2000) Material Flow Analysis in US (Low, Shi-Man, 2005) Energy Consumption of Asphalt and Reinforced Concrete Pavement Materials and Construction (Zapata, P., dan Gambatese, J.A, 2005)
ISBN 978-979-99327-8-5
Lingkup Jejak Karbon Pada Konstruksi Industri
Metode Obyek
LCA
LCAIO
LCAEIO
Semen
-
-
-
Literature review (Gate to Gate)
Industri
Beton Pracetak
Cr to Gate
-
-
-
Industri
Semen
-
-
-
Literature review (Gate to Gate)
Material
-
-
-
Literature review (Gate to Gate)
Material
Hostel, Kantor, Rumah & Industri Gedung
-
-
-
Material
Beton
Cr to Cr
-
-
Input Output Analysis (Cr to Gate) -
Material
Perkerasan kaku dan fleksibel
Cr to Cr
-
-
-
Lain-lain
I - 119
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 8
2007
9
2008
10
2011
11
2012
12
2000
13
2001
14
2005
15
2007
16
2007
17
2008
18
2009
19
2009
20
2010
21
2010
22
2011
A Comparative Carbon Footprint Analysis of On-Site Construction and an Off-Site Manufactured House (Barret, J. dan Wiedmann, T, 2007) Embodied energy and carbon in construction materials (G. P., Hammond,. and C. I., Jones, 2008) Managing the Embodied Carbon (Peng, W., Pheng, Low S.,2011) Comparative Embodied Carbon Analysis of the Prefabrication Elements compared with In-Situ Elements in Residential Building Development of Hongkong (Wong, F., Tang, YT., 2012) Resource Use and Environmental Emissions of U.S. Construction Sectors Construction Sectors (Hendrickson, S., Horvath, A., 2000)
Material
-
-
-
-
Literature review (Gate to Gate)
Material
Material Material
Beton Pracetak Beton Pracetak
Gate to Gate Cr to Site
-
-
-
-
-
-
-
-
Gate to Gate
-
Cr to Gate
-
-
-
Estimation of CO2 Emissions In Life Cycle of Residential Buildings (Seol, S., Hwang, Y., 2001) Energy and Emission Estimator A Prototype Tool for Designing Canadian Houses (Baouendi, R. et. al. 2005) A Framework for Apprasing Construction Projects Using Carbon Footprint (Kasozi, P. dan Tutesigensi, A., 2007) Estimating Construction Project Environmental Effects Using an Input-Output-Based Hybrid LifeCycle Assessment Model (Sharrard, Aurora L.et. al., 2008) Carbon Footprint of Single-Family Residential New Construction (Hodgson, J., etl al., 2008) Comparative performance of six carbon footprint models for use in Ireland (Kenny T dan Gray, N.F., 2009) The geography of metropolitan carbon footprints (Brown, M.,A.,2009)
Proyek Konstruksi
Highway bridge; fasilitas industri & bangunan komersial; residential infrastruktur Resi densial
Proyek Konstruksi
Resi densial
Gate to Gate
-
-
-
Proyek Konstruksi
-
Gate to Gate
-
-
-
Proyek Konstruksi
-
-
-
Gate to Gate
-
Proyek Konstruksi
Resi densial
Gate to Gate
-
-
-
Proyek Konstruksi
Rumah & transpor tasi
-
-
Proyek Konstruksi
Resi – densial & dan tranportasi
-
-
Gate to Gate
-
Forecasting the carbonfootprint of road freight transport in 2020 (Piecyk, M., McKinnon, A.C., 2010) Twelve metropolitan carbon footprints: A preliminary comparative global assessment (Sovacool, Benyamin K., Brown, M.A, 2010)
Proyek Konstruksi
Gate to Gate
-
-
-
-
-
-
Literature review (Gate to Gate)
Carbon Footprint For HMA (Hot Mix Asphalt) And PCC (Portland Cement Concrete) Pavements (Mukherjee,
Proyek Konstruksi
Gate to Gate
-
-
-
ISBN 978-979-99327-8-5
Proyek Konstruksi
LCI + literature review (Cr to Site)
Proyek Konstruksi
Transpor tasi, bangunan, industri, pertanian & limbah Rekayasa Konstruksi,
Literature review (Gate to Gate)
I - 120
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2011) 23
2011
Carbon Footprint of High Speed Rail (Baron, T., et. al. 2011)
Proyek Konstruksi
24
2011
Proyek Konstruksi
25
2012
26
2012
27
2012
28
2012
Embodied Energy and Gas Emissions of Retaining Wall Structures (Inui, T., et. al., 2011) Integrated carbon footprint and cost evaluation of a drinking water infrastructure system for screening expansion alternatives (Qi, Cheng dan Chang, Ni-Bin, 20112) Optimizing cost and CO2 emission for construction projects using particle swarm optimization (Liu, Sha. et.al., 2012) Sustainability Assessment of U.S. Construction Sectors: Ecosystems Perspective (Tatari, O., dan Kucukvar, M, 2012) Pemodelan Jejak Karbon pada Rantai Pasok Material Konstruksi di Indonesia
Transportasi Rekayasa Konstruksi, Transportasi Struktur
Cr to Gate
-
-
-
Gate to Gate
-
-
-
Proyek Konstruksi
Infrastruktur air minum
-
-
-
Studi banding (Gate to Gate)
Proyek Konstruksi
-
-
-
-
Particle Swamp Optimization (PSO) - Gate to Gate
Proyek Konstruksi
Residensial
-
-
Gate to Gate
-
Industri Konstruksi (baja dan semen) dan Proyek Konstruksi
Material semen dan baja
-
-
-
Cr to installation
4. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal yang meliputi: (1) penelitian jejak karbon yang telah dilakukan memiliki kesamaan yaitu menggunakan analisa daur hidup sebagai dasar estimasi jejak karbon, (2) ruang lingkup dari masing-masing penelitian memiliki beberapa variasi yaitu dari cradle to cradle, gate to gate, cradle to gate, sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki ruang lingkup cradle to installation, (3) objek dari penelitian jejak karbon yang telah dilakukan memiliki variasi yaitu penggunaan material konstruksi yang digunakan di proyek konstruksi seperti semen dan beton pracetak; estimasi energi dan CO2 dari proses pelaksanaan konstruksi pada gedung, perumahan dan transportasi; sedangkan penelitian yang akan dilakukan berawal dari hulu yaitu ekstrasi material semen dan baja, kemudian delivery material sampai ke hilir yaitu proses instalasi kedua material tersebut pada proyek infratruktur dan non infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA Amlan Mukherjee1 dan Cassi, D., 2011, Carbon Footprint For HMA and PCC Pavements, Research Report and Best Practices, Michigan Department of Transportation. 2. Baouendi, R. et. al. 2005, Energy and Emission Estimator: A Prototype Tool for Designing Canadian Houses, Journal of Architectural Engineering. 1.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 121
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Baron, T., et. al. 2011, Carbon Footprint of High Speed Rail, Research Report of International Union of Railways. 4. Brown, M.,A.,2009, et. al., The geography of metropolitan carbon footprints, Policy and Society 27, 285–304. 5. Barret, J. dan Wiedmann, T., A Comparative Carbon Footprint Analysis of On-Site Construction and an Off-Site Manufactured House, Research Report, Stockholm Environment Institute, University of York, YO10 5DD, UK, November 2007. 6. Bertelsen, Sven (2002), Complexity Construction in A New Perspective revised paper of a report originally prepared as a contribution for an IGLC championship, http://www.bertelsen.org/strategisk_r%E5dgivning_aps/pdf/Complexity%20 %20Construction%20in%20a%20New%20Perspective.pdf (8/20/2004 DATA 25) 7. Buchanan, A.H., Honey, B.G., 1994, Energy and carbon dioxide implications of building construction, Journal of Energy and Building, 20, p:205-217. 8. Cass, D dan Mukherjee, A., 2011, Calculation of greenhouse gas emissions for highway construction operations by using a hybrid life-cycle assessment approach: case study for pavement operations, the dissertation at University of Pittsburgh. 9. Christopher, M. ( 1998), Logistics and Supply Chain Management, Second Edition, Prentice Hall 10. EPA, 2009, Potential for Reducin Greenhouse Gas Emissions in the Construction Sector. 11. EPD, Steel Reinforcement Products For Concrete, Celsa Steel Service A/S, 2012 12. Glavind, M., 2012, Sustainability of cement, concrete and cement replacement materials in construction, Danish Technological Institute, Denmark. 13. Global economic outlook and steel demand trends Eldar Askerov, 23-24 April 2012 14. Goeritno, B., 2012, Supply Demand Material dan Peralatan Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Investasi Infrastruktur Nasional, Seminar Nasional Peluang Pasar Material dan Peralatan Konstruksi Untuk Mendukung Penyelenggaraan Infrastruktur Nasional, Jakarta 4 Mei 2012. 15. Gumaste, K.S., 2006, Embodied Energy Computations in Buildings, Advances in Energy Research. 16. G. P., Hammond,. and C. I., Jones, 2008, Embodied energy and carbon in construction materials, Proceedings of the Institution of Civil Engineers - Energy, 161 (2), pp. 87-98 17. Hendrickson, S., Horvath, A., 2000, Resource Use And Environmental Emissions of U.S. Construction Sectors, Journal of Construction Engineering and Management, January/February. 18. Hertwich, Edgar E and Peters, Glen P., (2009), Carbon Footprint of Nations: A Global, Trade-Linked Analysis, Environmental Science & Technology Vol. 43 No. 16, 2009, American Chemical Society Published on Web 06/15/2009. 19. Hodgson, J., etl al., 2008, Carbon Footprint of Single-Family Residential New Construction, California Building Industry Association 20. Inui, T., et. al., 2011, Embodied Energy and Gas Emissions of Retaining Wall Structures, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering , October 2011 21. Kasozi, P. dan Tutesigensi, A., 2007, A Framework for Appraising Construction Projects Using Carbon Footprint. Procs 23rd Annual ARCOM Conference, 3-5 September 2007, Belfast, UK,, Belfast UK. 3.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 122
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 22. Kenny
T dan Gray, N.F., 2009, Comparative performance of six carbon footprint models for use in Ireland, Environmental Impact Assessment Review 29; 1-6. 23. Kundak M., et. al., 2009, CO2 Emissions in The Steel Industry, Metalurgija 48 (2009) 3, 193-197. 24. Liu, Sha. et.al., 2012, Optimizing cost and CO2 emission for construction projects using particle swarm optimation, Journal of Habitat International, p:1-8. 25. Low, Shi-Man, Material Flow Analysis of Concrete in the United States, Thesis of Master of Science in Building Technology at the Massachusetts Institutute of Technology, June 2005. 26. Maylor, H., 2003, Project Management, third edition, Prentice-Hall. 27. Mc. Caffrey, R. 2001, Climate change and the cement industry, Envriromental Overview Climate Change, GCL Magazine. 28. Mc. Leod, R.S., Ordinary Portland Cement with extraordinarily high CO2 emissions. What can be done to reduce them? BFF Autumn, 2005. 29. Monahan, J, Powell, J.C., 2011, An embodied carbon and energy analysis of modern methods of construction in housing: a case study using a lifecyle assessment framework, Journal of Energy and Buildings, 43 p:179-188. 30. Müller, N dan Harnisch, J., 2012, A Blueprint for a climate friendly cement industry, WWF International 31. National Ready Mixed Concrete Association (NRMCA), Concrete CO2 Fact Sheet, February, 2012. 32. Natsir, M., 2011, Sistem Rantai Pasok Material Dan Peralatan Konstruksi Untuk Mendukung Investasi Infrastruktur, Konstruksi Indonesia 2011, Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan Inovasi Investasi dan Dukungan Sektor Konstruksi Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. 33. Nielsen, C.V., 2008, Carbon Footprint of Concrete Buildings seen in the Life Cycle Perspective, Proceedings NRMCA 2008 Concrete Technology Forum, June 2008, Denver 34. OECD, 2011, Making Steel More Green: Challenges and opportunities, Workshop on green growth in shipbuilging, Paris, 7-8 July 2011. 35. O’Brien W.J., et.al., 2009, Construction Supply Chain Management Handbook, CRC Press Taylor & Francis Group. 36. Palaniappan , S, et. al., 2009, Carbon Emissions based on Ready-mix Concrete Transportation: A Production Home Building Case Study in the Greater Phoenix Arizona Area, download 15 Mei 2012. 37. Pengembangan Satelite Account Sektor Konstruksi Tahun 2011, Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum Badan Pusat Statistik, Jakarta 2011. 38. Peng, W., Pheng, Low S., 2011, Managing the embodied carbon of precast concrete coloumns, Journal of Materials in Civil Engineering, August 2011. 39. Piratla, Kaylan R., et.al., 2012, Estimation of CO2 emissions from the life cycle of a potable water pipeline project, Journal of Management in Engineering, ASCE, January 2012. 40. Pullen, S., Estimating The Embodied Energy Of Timber Building Products, Journal of the Institute of Wood Science, Vol. 15 No. 3 (Issue 87) Summer 2000. 41. pusbinsdi.net 42. Qi, Cheng dan Chang, Ni-Bin, 20112, Integrated carbon footprint and cost evaluation of a drinking water infrastructure system for screening expansion alternatives, Journal of Cleaner Production 27 (2012) 51-63
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 123
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 43. Rehan,
R., dan Nehdi, M., Carbon Dioxide Emissions and Climate Change: Policy Implications for The Cement Industry, Environmental Science & Policy 8 (2005), 105-114. 44. Scwab, K., 2011, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum, Geneva Switzerland 45. Seol, S., Hwang, Y., 2001, Estimation of CO2 Emissions In Life Cycle of Residential Buildings, Journal of Construction Engineering and Management, September/October. 46. Sharrard, Aurora L.et. al., 2008, Estimating Construction Project Environmental Effects Using an Input-Output-Based Hybrid Life-Cycle Assessment Model, Journal of Infrastructure System. 47. Tatari, O., dan Kucukvar, M, 2012, Sustainability Assessment of US Construction Sectors:
Ecosystems Perspective, Journal of Construction Engineering and Management, August 2012. 48. Tommelein, I.D.; Walsh, K.D.; Hershauer, J.C. (2003). Improving Capital Projects Supply Chain Performance. Research Report PT172-11. Texas: Construction Industry Institute. 241 p. 49. US, EPA., CO2 Emissions Profile of U.S. Cement Industry?, 2012. 50. Vaidyanathan, K. ( 2001), Value of Visibility Planning in An Enginerr-to-Order Environment, 7 Desember 2004. 51. Wong, F., Tang, YT., 2012, Comparative Embodied Carbon Analysis of the Prefabrication Elements compared with In-situ Elements in Residential Building Development, World Academy of Science, Engineering and Technology 62. 52. Worrel, E., et.al, 2001, Carbon Dioxide Emissions From The Global Cement Industry, Rev. Energy Environment, Vol. 26., 303-329 53. Zapata, P., dan Gambatese, J.A., Energy Consumption of Asphalt and Reinforced Concrete Pavement Materials and Construction, Journal of Infrastructure Systems, March 2005.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 124
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PERKEMBANGAN JOINT OPERATION PADA PROYEK INFRASTRUKTUR DI INDONESIA Arman Jayady1, Krishna S. Pribadi2, Muhamad Abduh3, Senator Nur Bahagia4 1
Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Sipil ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 085283641889, email: [email protected] 2 Dosen Program Studi Teknik Sipil FTSL, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935, email: [email protected], 3 Dosen Program Studi Teknik Sipil FTSL, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935, email: [email protected] 4 Dosen Program Studi Teknik Industri FTI, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935, email: [email protected]
ABSTRAK Joint Operation (JO) diperkenalkan di Indonesia sejak 1991 sebagai bentuk kemitraan antara badan usaha jasa konstruksi asing (BUJKA) dengan badan usaha jasa konstruksi nasional (BUJKN). JO sering diimplementasi pada proyek infrastruktur berskala besar yang memiliki karakteristik kompleks, beresiko besar dan berteknologi tinggi. Saat krisis moneter 1997 seiring dengan ambruknya perekonomian nasional implementasi JO pada proyek infrastruktur juga mengalami penurunan dengan drastis, namun seiring dengan economy recovery, maka implementasi JO pada proyek infrastruktur mulai marak. Beberapa data yang telah dihimpun dari lembaga terkait menunjukkan trend peningkatan yang signifikan sehubungan dengan kehadiran BUJKA serta pertumbuhan nilai proyek yang diimplementasi dengan JO. Keterlibatan BUJKA melalui implementasi JO disatu sisi memberikan manfaat terhadap BUJKN dalam hal transfer of knowledge namun disisi lain dapat mengganggu pertumbuhan kelangsungan BUJKN pada khususnya serta perekonomian nasional pada umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut pengkajian tentang faktorfaktor yang berpengaruh terhadap perkembangan JO menjadi sesuatu yang penting. Kajian ini merupakan bagian dari penelitian utama penulis dengan topik Efektifitas Joint Operation dalam Transfer of Knowledge pada Proyek Infrastruktur di Indonesia. Studi literatur, diskusi terbatas dengan para praktisi, birokrat, serta akademisi, dilakukan dalam pengkajian ini yang bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang dominan yang mempengaruhi perkembangan JO di Indonesia. Hasil sementara kajian menunjukkan bahwa lemahnya pendanaan pemerintah untuk infrastruktur, lemahnya daya saing BUJKN, liberalisasi pasar konstruksi, serta perilaku strategis bisnis perusahaan jasa konstruksi menjadi faktor dominan yang melatarbelakangi trend perkembangan implementasi JO di Indonesia. Key Words : Joint Operation, Infrastruktur, BUJKA, BUJKN, Trend
1. Latar Belakang Joint Operation (JO) merupakan bentuk kemitraan pada sektor jasa konstruksi yang fonomenal pada dua dekade terakhir. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya infrastruktur yang dikerjakan dengan formasi JO antara perusahaan jasa konstruksi asing dan perusahaan jasa konstruksi lokal, terlebih pada infrastruktur yang berkarakteristik kompleks, beresiko berat, serta berteknologi tinggi. JO telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1991 melalui regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 50/PRT/1991, dan perubahan terakhir dari regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2011. Dalam regulasi tersebut JO didefinisikan sebagai bentuk kerjasama operasi antara satu atau lebih Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) dengan satu atau lebih Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional (BUJKN) yang bersifat sementara dan bukan merupakan bentuk badan hukum baru. Regulasi tersebut sebenarnya mengatur persyaratan pemberian izin perwakilan kontraktor asing di Indonesia. Tujuan diterbitkan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 125
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
regulasi tersebut seperti dinyatakan dalam konsiderannya adalah untuk mendorong peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional dan perekonomian nasional. Sehingga dalam mencapai tujuan dari regulasi tersebut maka setiap BUJKA yang akan melaksanakan aktifitas proyeknya di Indonesia diwajibkan bermitra dengan BUJKN serta wajib melakukan transfer of knowledge kepada partner lokalnya. Meski kini JO juga diaplikasi oleh sesama perusahaan jasa konstruksi nasional, namun JO antara BUJKA dan BUJKN juga semakin marak terlebih beberapa tahun semenjak Indonesia melakukan upaya pemulihan perekonomian pasca krisis moneter 1997. Indikasi perkembangan JO di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan trend kehadiran BUJKA di Indonesia dan Gambar 2 menunjukkan trend nilai proyek yang diselenggarakan dengan mekanisme JO pada Kementerian Pekerjaan Umum untuk lima tahun terakhir.
Gambar 1: Jumlah BUJKA dalam tahun di Indonesia. (Kementerian PU, 2012)
Gambar 2: Nilai Proyek JO (Asing – Lokal) dalam milyar rupiah (Kementerian PU, 2012)
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 126
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Dari grafik pada kedua gambar diatas menunjukkan adanya asosiasi yang positif antara trend pertumbuhan kehadiran BUJKA dengan nilai proyek yang diimplementasi dengan JO antara BUJKA dan BUJKN di Indonesia pada lima tahun terakhir. Tabel 1: Indikasi Perkembangan JO di Indonesia
Tabel 1 secara rinci menunjukkan adanya pertumbuhan kehadiran BUJKA yang signifikan pada tahun 2011 sebesar 22.22% dari tahun sebelumnya, dan secara perlahan tetap menunjukkan trend kenaikan sebesar 4.35% pada tahun 2012 dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai proyek yang diselenggarakan dengan formasi JO antara BUJKA dan BUJKN mengalami kenaikan drastis pada tahun 2009 sebesar 398.46% dari tahun sebelumnya, dan secara berturut turut menunjukkan trend peningkatan sebesar 205.56%, 170.91%, 58.69% yang dihitung berdasarkan tahun sebelumnya. Analisa diatas merupakan fakta yang kuat terhadap trend peningkatan perkembangan implementasi JO di Indonesia.
2. Permasalahan Meningkatnya kehadiran BUJKA di Indonesia secara langsung dapat mengancam perolehan pasar konstruksi infrastruktur domestik oleh BUJKN, yang berimplikasi pada terganggunya pertumbuhan industri konstruksi di Indonesia, walaupun pada sisi lain merupakan tantangan bagi BUJKN dalam meningkatkan kapasitas internalnya dalam menghadapi persaingan pada tingkat domestik maupun global. Meningkatnya perolehan pasar domestik oleh BUJKA dari sisi finansial secara langsung juga dapat mengganggu perekonomian nasional, return finansial yang diharapkan kembali ke negara dari suatu kegiatan pembangunan infrastruktur menjadi berkurang karena adanya aliran dana ke luar negeri oleh pemilik BUJKA. Hal tersebut bila dibiarkan terus menerus dapat mengganggu perekonomian nasional baik pada level mikro maupun makro, sehubungan dengan hal tersebut maka kajian tentang faktor-faktor penyebab perkembangan implementasi JO di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Hasil kajian diharapakan dapat dijadikan dasar untuk mencari solusi lanjutan dalam menyiapkan strategi jangka panjang dalam meningkatkan daya saing industri jasa konstruksi nasional yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi maksimal bagi perekonomian nasional pada umumnya.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 127
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. Tujuan Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menguraikan hasil kajian sementara sehubungan dengan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi trend perkembangan implementasi JO di Indonesia. Hasil kajian diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penelitian lanjutan dalam mendisain konsep JO yang tepat sehingga dapat memberikan manfaat maksimal bagi perkembangan industri jasa konstruksi di Indonesia baik dari sisi kuantitas maupun kualitas sehingga pada akhirnya mampu berkontribusi secara maksimal bagi perekonomian nasional. Penelitian ini merupakan bagian integral dari penelitian utama penulis tentang Efektifitas Joint Operation dalam Transfer of Knowledge pada Proyek Infrastruktur di Indonesia. Hasil dari kajian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam hal memperkuat argumen sehubungan dengan penelitian utama penulis.
4. Tinjauan Literatur 4.1 Joint Venture (JV) Perkembangan terkini dalam hal bisnis pada konteks global terdapat kecenderungan dari para pebisnis dalam merubah strategi bisnis mereka dari paradigma lama yang bersifat individual dan kompetitif menjadi kolektif dan kooperatif. Hal tersebut nampak dari tumbuhnya sistem kerjasama antara pebisnis baik pada lingkup domestik dalam suatu negara maupun antar negara (cross border). Joint Venture (JV) menjadi sesuatu hal yang populer saat ini dikarenakan manfaatnya, khususnya sebagai konsep alternatif strategis bisnis dalam kompetisi pada tingkat global (Ozorhon dkk, 2010). Dalam skala luas JV terjadi pada berbagai sektor baik pada industri manufaktur maupun jasa, menurut Wallace (2004) JV adalah bertemunya dua atau lebih pebisnis independen yang memiliki tujuan bersama dalam mencapai outcome tertentu yang mana tidak dapat dicapai bila dijalankan secara sendiri. Selanjutnya Wallace (2004) membagi JV dalam tiga varian berdasarkan tingkat kohesivitasnya yaitu : a. Loosely coupled JV. Pada tipe ini memiliki karakteristik bersifat sementara, implementasi pada bisnis yang sederhana, kohesivitas rendah, berbasiskan agreement. b. Moderately coupled JV. Pada tipe ini memiliki karakteristik bersifat sementara, implementasi pada bisnis menengah keatas, lebih formal, memiliki variabel-variable penting yang kritis dalam pelaksanaan, seperti : waktu, kedalaman dan keluasan kerjasama, serta kemauan dalam membuka diri (perusahaan) terhadap partner. Serta berbasiskan agreement, bersifat sementara. c. Tightly coupled JV. Merupakan pengembangan dari Moderately coupled JV dan memiliki tingkat kohesivitas tinggi diwujudkan dalam interaksi yang lebih ekstensif serta keterbukaan antara pihak yang terlibat. Kolektivitas merupakan penekanan utama pada JV tipe ini, juga melibatkan integrasi formal dari sumber daya, proses, infrastruktur, serta pelayanan dari pihak yang terlibat. Biasanya membentuk badan hukum baru dan bersifat jangka panjang. 4.2 Joint Operation (JO) Seperti halnya yang terjadi pada beberapa negara didunia, JV juga terjadi di Indonesia pada berbagai sektor bisnis, baik pada sektor bisnis manufaktur maupun jasa. Khusus pada sektor jasa konstruksi, di Indonesia JV diaplikasi antar perusahaan yang ISBN 978-979-99327-8-5
I - 128
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
membentuk entitas legal baru (Perseroan Terbatas) yang juga merupakan bentuk JV permanen. Di Indonesia JV permanen diatur melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2007. Sedangkan untuk JV pada sektor konstruksi yang bersifat sementara diaplikasi dengan istilah yang populer disebut dengan JO. Dalam perspektif global, JO dapat disebut sebagai JV temporer pada sektor konstruksi, hal tersebut dikarenakan adanya kesamaan karakteristik dengan JV loosely coupled atau JV moderately coupled yang berlaku di luar negeri khususnya pada sektor konstruksi.
5. Pembahasan Dengan menggunakan ishikawa diagram dapat ditunjukkan pada Gambar 3 tentang hasil kajian sementara tentang faktor-faktor dominan penyebab perkembangan implementasi JO di Indonesia. Faktor dominan penyebab perkembangan implementasi JO di Indonesia adalah : 1. Lemahnya pendanaan infrastruktur oleh pemerintah (masuknya pendanaan asing); 2. Lemahnya daya saing BUJKN; 3. Liberalisasi pasar konstruksi (globalisasi pasar) 4. Perilaku strategis bisnis perusahaan jasa konstruksi
Perkembangan JO Di Indonesia
Gambar 3: Ishikawa Diagram- Perkembangan JO pada Proyek Infrastruktur di Indonesia 5.1 Faktor Lemahnya Pendanaan Pemerintah (Masuknya Pendanaan Asing) Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dalam memacu pembangunan secara keseluruhan sebuah negara, khususnya sektor perekonomian. World Bank Report (1994) mengibaratkan infrastruktur sebagai sebuah payung yang menaungi aktifitas, serta memegang peran penting dalam industri perekonomian secara keseluruhan. Infrastruktur juga dapat diartikan sebagai jasa serta fasilitas penting dalam menunjang fungsi-fungsi ekonomi (Sullivan dan Sheffrin, 2003). World Bank (dikutip dari Kartiwan dkk, 2010) menyatakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen pertahun maka Indonesia perlu menganggarkan pembiayaan infrastruktur sebesar lima persen pertahun dari total PDB.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 129
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Gambar 4: Pertumbuhan PDB Indonesia (BPS, 2013)
Gambar 5: Perkembangan Anggaran Infrastruktur 2008 – 2013 dalam triliun rupiah (RAPBN,
Untuk menganggarkan infrastruktur sebesar 2013) lima persen pertahun dari total PDB bukan merupakan hal yang mudah bagi Indonesia, hal tersebut dikarenakan sangat terbatasnya pembiayaan pemerintah melalui APBN, terlebih setelah pemerintah mencanangkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak bulan Mei tahun 2011, sehingga diprediksi kebutuhan infrastruktur di Indonesia terus membengkak pada tahun-tahun mendatang. Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan PDB Indonesia, serta Gambar 5 menunjukkan pembiayaan infrastruktur APBN, Gambar 6 menunjukkan prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2011 – 2025 dalam menunjang MP3EI serta skema pembiayaannya.
Gambar 6: Prediksi kebutuhan infrasrtruktur (2011-2025) dalam menunjang MP3EI (Sumber: Kemenkoekuin, 2011) Dari Gambar 6 diatas nampak bahwa kebutuhan akan pendanaan diluar pemerintah sangat mendesak dalam menunjang pembangunan infrastruktur yang sekaligus akan menunjang perekonomian nasional. Masuknya dana asing baik dalam bentuk pinjaman luar negeri dan dalam wujud kemitraan pemerintah dan swasta (PPP) disatu sisi sangat membantu pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur yang terus mendesak, namun disisi lain terkandang menjadi beban tersendiri bagi pemerintah dalam mengakomodir persyaratan yang diberikan oleh lembaga atau negara pemilik modal (privilege), salah satunya adalah tuntutan akan kehadiran jasa konstruksi asing dari pemilik modal, yang berakibat meningkatnya kehadiran BUJKA serta meningkatnya nilai proyek yang diselenggarakan dengan formasi JO di Indonesia.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 130
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5.2 Faktor Lemahnya Daya Saing Perusahaan Menurut Porter (1998) sebuah negara dikatakan memperoleh keunggulan daya saing bila perusahaan (pada negara tersebut) kompetitif. Lebih lanjut Porter juga menjelaskan bahwa daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri dalam melakukan inovasi dalam kemampuan. Sehubungan dengan daya saing pada perusahaan industri, Ambastha dan Komaya (2004) mendifinisikan daya saing pada level perusahaan adalah kemampuan perusahaan untuk merancang, memproduksi produk pasar yang unggul dalam hal harga dan nonharga dibanding yang ditawarkan oleh pesaing. WEF (World Economic Forum) dalam menyusun rangking daya saing sebuah negara berdasarkan 12 pilar daya saing dalam sebuah negara, salah satu pilar tersebut adalah infrastruktur. Menurut WEF (2011) daya saing infrastruktur pada sebuah negara adalah cerminan dari kualitas infrastruktur negara tersebut meliputi infrastruktur: jalan, jalan kereta, pelabuhan, transportasi udara, kelistrikan, serta komunikasi.
Gambar 7: Rangking Daya Saing Infrastruktur (World Economic Forum, 2011) Fakta menunjukkan bahwa Indonesia menempati rangking 44 dari 139 negara pada tahun 2011, dan khusus untuk daya saing infrastruktur Indonesia menempati peringkat 82, tertinggal jauh dibanding Singapura dan Malaysia yang masing-masing berada pada urutan 5 dan 30 (Gambar 7). Fakta tersebut menunjukkan rendahnya daya saing infrastruktur kita yang merupakan cerminan dari rendahnya daya saing perusahaan jasa konstruksi kita pada tingkat global. Rendahnya daya saing BUJKN dalam menghadapi pasar domestik merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya keterlibatan BUJKA dalam proyek infrastruktur di Indonesia terlebih pada proyek yang berkarakteristik kompleks, beresiko besar dan berteknologi tinggi. 5.3 Faktor Liberalisasi Pasar World Trade Organization (WTO) adalah satu-satunya lembaga multilateral di dunia yang mengatur tentang tata perekonomian dunia. WTO dideklarasikan di Marakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994. Pendeklarasian WTO saat itu dihadiri oleh 124 negara dan salah satunya adalah Indonesia. Isi deklarasi WTO sebenarnya merupakan hasil kesepakatan dari delapan kali perundingan beberapa negara yang dilakukan di Uruguay atau yang biasa disebut dengan Putaran Urugay. Isi kesepakatan tersebut tediri atas 15 subyek yang menyangkut masalah Tariff, Non-Tariff Measures, Tropical Products, Natural Resource-Based Products, Textiles and Clothing, Agriculture, GATT Articles, MTN
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 131
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Agreements and Arrangements, Subsidies and Countervailing Measures, Dispute Settlement, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) including trade in counterfeit goods, Trade Related Investment Measures (TRIMs), Functioning of the GATT system (FOGs), Safeguard, dan Trade in Services. Pada subyek yang terakhir yaitu masalah Trade in Services berisi tentang kesepakatan tentang aturan perdagangan jasa atau yang dikenal dengan General Agreement Trade and Services (GATS), dimana jasa konstruksi adalah termasuk dalam bagian subyek tersebut. Dengan kesepakatan tersebut maka seluruh anggota WTO harus berkomitmen untuk mengurangi atau menghapus hambatan tarif maupun non-tarif melalui upaya: 1. Memperluas akses pasar barang dan jasa; 2. Menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan; 3. Memperluas cakupan dari ketentuan dan disiplin GATT; 4. Memperkuat kelembagaan/institusi perdagangan multilateral. Setelah masuknya Indonesia dalam wadah WTO sebagai wujud komitmen, maka pemerintah Indonesia menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan meratifikasi Undang-Undang No. 7 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organizaton (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) pada tanggal 2 November 1994. Keterlibatan Indonesia didalam WTO bermakna secara langsung Indonesia telah masuk dalam pusaran globalisasi yang berefek pada kesediaan untuk tunduk dalam proses liberalisasi pasar dunia termasuk pada sektor konstruksi. Pendanaan swasata asing baik melalui modus kemitraan pemerintah swasta (PPP) serta modus lainnya yang memberi impact pada kehadiran BUJKA tidak dapat dibendung lagi, indikator tersebut nampak dari Gambar 1 dan 2 yang diperlihatkan sebelumnya dan juga pada Gambar 8 dibawah yang menunjukkan meningkatnya trend penanaman modal asing di Indonesia (PMA). Dari grafik nampak bahwa sejak tahun 1995, satu tahun setelah ratifikasi persetujuan WTO oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, hingga tahun 2012 secara konsisten arus PMA terus meningkat dan secara signifikan meningkat dengan tajam pada tahun 2009 hingga 2011, dan pada Desember 2012 tercatat nilai arus masuk PMA telah mencapai USD 24.56 billion (BKPM, 2013). Hal tersebut berasosiasi positif dengan peningkatan kehadiran BUJKA di Indonesia serta peningkatan proyek yang diselenggarakan dengan formasi JO di Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan WTO yang memberi efek terhadap liberalisasi pasar khususnya pada sektor konstruksi turut memberi andil yang cukup besar terhadap meningkatnya kehadiran BUJKA dan nilai proyek yang diselenggarakan dengan formasi JO pada sektor infrastruktur di Indonesia.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 132
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Gambar 8: Grafik Penanaman Modal Asing di Indonesia (Sumber : Web-BKPM, 2013) 5.4 Faktor Perilaku Strategis Bisnis Perusahaan Karakteristik industri konstruksi memiliki perbedaan signifikan dengan industri manufaktur dalam hal produk. Pada industri manufaktur produk yang dihasilkan cenderung sama atau replicable sehingga dalam proses produksi, metode, skill, bahan, serta waktu yang dibutuhkan juga cenderung berulang (repeatable). Namun pada industri konstruksi, produk yang dihasilkan cenderung unik, immobility, serta bervariasi (Zang, 2007), dan sophisticated yang terkadang sulit ditebak baik dalam hal bentuk serta spesifikasi yang dibutuhkan owner dimasa mendatang. Dalam kondisi demikian setiap perusahaan jasa konstruksi berpotensi dalam terjadinya lack terhadap sumber daya (asset/ resources) yang dimiliki dalam menghadapi tantangan baru terhadap sebuah jenis proyek yang akan dikerjakan. Aset dalam sebuah perusahaan dapat berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible). Dalam perspektif aset, aset tangible tidak dapat bermanfaat atau bernilai dengan maksimal bila tidak didukung dengan aset intangible, dalam hal ini adalah knowledge. Davenport dan Prusak (1998) menyatakan bahwa knowledge adalah sesuatu yang critical dalam proses bisnis, juga merupakan aset yang memimpin dalam sebuah organisasi bisnis. Lebih lanjut Davenport dan Prusak mengatakan bahwa knowledge dapat memberikan keuntungan yang berkelanjutan (sustainable advantage) bagi sebuah perusahaan. Dengan karakteristik produk konstruksi yang telah disebutkan diatas sehubungan dengan tantangan yang terus berubah pada setiap saat, maka tidaklah berlebihan bila sebuah perusahaan jasa konstruksi menjadikan joint operation (joint venture) sebagai perilaku strategis dalam menjalankan bisnisnya dalam memperoleh manfaat sebesarbesarnya baik dalam hal aset tangible maupun intangible.
6. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kehadiran BUJKA di Indonesia berasosiasi dengan pertumbuhan nilai proyek yang dikerjakan dengan formasi JO di Indonesia khususnya pada proyek yang diselenggarakan pada kementerian pekerjaan umum di Indonesia. Terjadinya peningkatan kehadiran BUJKA di Indonesia
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 133
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
serta meningkatnya nilai proyek yang diimplementasi dengan JO merupakan indikasi perkembangan implementasi JO di Indonesia. Dengan melakukan diskusi terbatas dengan para praktisi, birokrat, akademisi, dan dengan didukung data sekunder dari sumber terkait, serta dibantu dengan metode ishikawa diagram, dapat ditarik kesimpulan faktor utama dari meningkatnya perkembangan implementasi JO disebabkan karena empat faktor yang dominan. Faktor tersebut adalah lemahnya pendanaan pemerintah dalam hal infrastruktur, yang berakibat masuknya dana asing. Faktor kedua adalah lemahnya daya saing BUJKN, baik dalam hal tangible asset maupun dalam hal intangible asset, faktor ketiga adalah liberalisasi pasar konstruksi, hal tersebut ditandai dengan bergabungnya Indonesia dalam wadah WTO sehingga arus kehadiran perusahaan jasa konstruksi manca negara ke Indonesia tidak dapat dibendung, faktor yang terakhir adalah, perilaku strategis dari sebuah perusahaan jasa konstruksi dalam upaya meningkatkan kapasitas internalnya khususnya dalam hal knowledge dalam rangka mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan proyek yang akan datang.
Referensi : Ambastha, Adjitabah., Momaya, K. (2004): Competitiveness of Firms: Review of theory frameworks and models, Singapore Management Review, vol. 26 Davenport, Thomas H., Prusak, Laurence. (1998) : Working Knowledge, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts. Kartiawan Irwan., Al Katuuk, Kamajaya., Soenardji, Hendra N. (2010) : Wajah Jasa Konstruksi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, p 15. Kementerian Pekerjaan Umum. (1991). Tentang perizinan perwakilan perusahaan jasa konstruksi asing. No. 50/PRT/1991. Kementerian Pekerjaan Umum. (2006). Tentang perizinan perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing. No. 28/PRT/M/2006. Kementerian Pekerjaan Umum. (2011). Pedoman persyaratan pemberian izin perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing. No. 05/PRT/M/2011. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2011). Tinjauan ekonomi dan keuangan-sinergi pembangunan imfrastruktur. Edisi 02 Februari 2011. Kementerian Perdagangan. (2012) : WTO Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia, diunduh dari : http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/files/content/4/wto200410301128 36.pdf Nash, David J. (2009). Sustainable critical infrastructure systems: a framework for meeting 21st century. National academic press. P. Vii, 5-7. Senaratne, S., Priyadarshi, G.M. (2008): Knowledge /Technology Transfer Mechanisms ini Sri Lankan Construction Organization, General Mangement Organizational, p 189. Ozorhon, Beliz., Arditi, David., Dikmen, Irem., Birgonul, M Talat. (2010) : Performance of Joint Ventures in Construction, Journal of Management in Engineering, Vol. 26, pp. 209-222. Presiden Republik Indonesia. (1994). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan agreement establishing the world trade Organization.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 134
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Presiden Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Porter, Michael E. (1998) : On Competition, Havard Business Review Sullivan, arthur; Sheffrin, Steven M. (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. pp. 474. ISBN 0-13063085-3 World Development report. (1994). Infrastructure for Development. World Development Indicators. The World Bank, Washington D.C. Wallace, Robert. (2004) : Strategic Partnerships : An Entrepreneur's Guide to Joint Ventures and Alliances, Chicago, IL, USA: Dearborn Trade, A Kaplan Professional Company, p 24. Zhang, Shuangtian. (2007) : Risk Sharing in Joint Venture Projects, JAIRO Japanese Institional Repository Online.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 135
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 136
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PERANCANGAN ARSITEKTUR PERANGKAT LUNAK UNTUK PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) PEMBANGUNAN GEDUNG DENGAN METODE UML Kamaludin Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional-Bandung, Jl. PHH. Mustofa 23 Bandung
Email: [email protected] atau [email protected]
ABSTRAK Salah satu bagian dari kehidupan pada masa kini yang terus mengalami perkembangan guna menjadi sebuah alat untuk membantu penggunanya dalam melakukan pekerjaannya sehingga tercapai hasil yang maksimal dengan efektif dan efisien adalah Perangkat lunak atau software. Banyak pendekatan untuk pengembangan dan perancangan pada perangkat lunak. Salah satu pendekatan dalam merancang arsitektur perangkat lunak pada bidang teknik sipil yaitu Object Oriented Development berbasis United Modelling Language (UML). Penulis membuat arsitektur perangkat lunak dengan tujuan memperkenalkan suatu metoda perancangan dan pengembangan suatu sistem software dibidang teknik sipil. Beberapa diagram yang berbasis UML yang digunakan dalam perancangan arsitektur perangkat lunak ini diantaranya diagram use case, diagram activity, diagram class, diagram sequence dan diagram collaboration yang digunakan untuk model perancangan sistem. Diagram Use case digunakan untuk merancang sistem yaitu user kepada komputer. Activity digunakan untuk menggambarkan proses penginputan dan perhitungan yang terjadi. Hubungan antar tabel barang dan jenis pekerjaan, serta paramter lainnya digambarkan dengan memakai Class diagram. Sequence diagram diperlukan untuk menggambarkan scenario yang terjadi antar user dan komputer serta memodelkan user menginput data pada komputer menggunakan Collaboration. Setelah hasil perancangan tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam bahasa pemograman untuk menggambarkan bagaimana sistem ini dapat terapkan. Hasil implementasi menggunakan metode UML (United Modelling Language) ini dapat dipelajari bagaimana merancang perangkat lunak dibidang teknik sipil dengan metode UML, serta hasil yang diperoleh dengan adanya perancangan arsitektur akan mempermudah dalam perancangan dan pengembangan perangkat lunak yang berkelanjutan. Kata kunci: Rencana Anggaran Bangunan (RAB), Perangkat Lunak, Unified Modeling Language (UML), use case, activity diagran, class diagram.
1. PENDAHULUAN Salah satu bagian dari kehidupan pada masa kini yang terus mengalami perkembangan guna menjadi sebuah alat untuk membantu penggunanya dalam melakukan pekerjaannya sehingga tercapai hasil yang maksimal dengan efektif dan efisien adalah Perangkat lunak atau software. Banyak penemuan teknologi yang membantu kehidupan manusia sehingga berbagai jenis objek pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat, teratur, dan sistematis. Kemajuan teknologi komputer dan informasi memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut, mulai dari perindustrian, bisnis, jasa, serta multimedia. Tak terkecuali perkembangan rekayasa perangkat lunak terutama bidang teknik sipil. pekerjaan dalam perencanaan teknik sipil dengan menggunakan perhitungan manual membutuhkan waktu lama serta ketelitian yang cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu alat bantu yang dapat mempermudah pekerjaan dalam menyelesaikan perhitungan tersebut, sehingga dapat menciptakan suatu efisiensi dalam pekerjaan serta keakuratan yang cukup baik jika digunakan dalam perhitungan struktur. Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membuat suatu disain perangkat
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 137
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
lunak/aplikasi teknik sipil dengan objeknya adalah Rencana Anggaran Bangunan (RAB). Pembuatan aplikasi ini selain RAB sebagai objeknya, dapat juga digunakan struktur beton maupun struktur kayu sebagai objek. Membangun sistem software yang kompleks memerlukan perancangan model yang sistematis dalam mengerjakan pekerjaan analisis dan desainnya. Pada perancangan aplikasi ini digunakan pemodelan berorientasi objek dengan UML (United Modelling Language). Demi membangun sebuah sistem yang lebih komplek, pengembangan sistem tersebut dibuat dan ditampilkan dari sudut pandang yang berbeda terhadap suatu sistem yang dihadapi. Sistem tersebut digambarkan dengan beberapa diagram UML (United Modelling Language) diantaranya diagram use case, diagram activity, diagram class, diagram sequence dan diagram deployment. Perancangan dengan membangun model menggunakan notasi-notasi yang tepat, melakukan verifikasi bahwa model yang dibuat memenuhi syarat sistem, dan menambahkan detail menjadi implementasi. Pemrogaman berorientasi objek merupakan suatu pendekatan pemrograman yang menggunakan object dan class. Saat ini konsep pemrogaman berorientasi objek sudah semakin berkembang. Pemrogaman berorientasi objek bukanlah sekedar cara penulisan sintaks progam yang berbeda. N amun lebih dari itu, pemrogaman berorientasi objek merupakan cara pandang dalam menganalisa sistem dan permasalahan pemrograman. Dalam pemrogaman berorientasi objek, setiap bagian dari progam adalah object. Sebuah object mewakili suatu bagian progam yang akan diselesaikan.
2. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk memperkenalkan cara merancang perangkat lunak b. Untuk mendapatkan dokumentasi perancang perangkat lunak dengan metode UML. c. Untuk mempermudah implementasi dalam pengembangan perangkat lunak.
3. METODE PENELITIAN Dalam pengembangan perangkat lunak, penulis menggunakan teknologi berorientasi objek dengan metoda UML (United Modelling Language), dimana tahapan pengembangnya sebagai berikut: a. Kebutuhan sistem, dengan mempelajari buku-buku serta referensi-referensi yang berkaitan dengan pembuatan perangkat lunak disain RAB dengan metoda UML. b. Analisis, data-data yang telah diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui kebutuhan sistem dan menentukan objek-objek yang diperlukan. c. Perancangan, tahapan ini dimulai dari perancangan arsitektur sistem, proses antar muka, dan interaksi sistem dengan pengguna. d. Implementasi, hasil rancangan yang telah dibuat kemudian direalisasikan kedalam kode program yang siap digunakan. Verifikasi, setelah selesai maka dilakukan serangkain tes untuk menjamin bahwa sistem dapat berjalan dengan baik.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 138
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. METODE UML UML adalah bahasa pemodelan untuk sistem atau perangkat lunak yang berparadigma berorientasi objek. Pemodelan sesungguhnya digunakan untuk penyederhanaan permasalahan-permasalahan yang kompleks sedemikian rupa sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami. Adapun tujuan pemodelan yaitu sebagai sarana analisis, pemahaman, visualisasi, dan komunikasi antar anggota tim pengembang, serta sebagai sarana dokumentasi. Tabel 4.1 Notasi pada Uses Diagram No.
Simbol
Nama
Use case 1.
Case
Deskripsi Menggambarkan proses / kegiatan yang dapat diakukan Menggambarkan entitas / oleh aktor subyek yang dapat melakukan
2. suatu proses Relasi antara case dengan Actor
actor ataupun case dengan case lain.
3.
Tabel 4.2 Simbol Activity Diagram
Relation
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 139
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 4.3 Simbol Class Diagram
Tabel 4.4 Simbol Sequnce Diagram
5. MODEL WATER FALL Model siklus hidup (life cycle model) adalah model utama dan dasar dari banyak model. Salah satu model yang cukup dikenal dalam dunia rekayasa perangkat lunak adalah The Waterfall Model. Disebut waterfall (berarti air terjun) karena memang diagram tahapan prosesnya mirip dengan air terjun yang bertingkat. Model ini adalah model klasik yang bersifat sistematis, berurutan dalam membangun software.
Gambar 5.1 Ilustrasi model waterfall
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 140
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tahapan-tahapan dalam The Waterfall Model secara ringkas adalah sebagai berikut: a. Tahap investigasi dilakukan untuk menentukan apakah terjadi suatu masalah atau adakah peluang suatu sistem informasi dikembangkan b. Tahap analisis bertujuan untuk mencari kebutuhan pengguna dan organisasi serta menganalisa kondisi yang ada. c. Tahap disain bertujuan menentukan spesifikasi detil dari komponen-komponen sistem informasi (manusia, hardware, software, network dan data) dan produkproduk informasi yang sesuai dengan hasil tahap analisis. d. Tahap implementasi merupakan tahapan untuk mendapatkan atau mengembangkan hardware dan software (pengkodean program), melakukan pengujian, pelatihan dan perpindahan ke sistem baru. e. Tahapan perawatan (maintenance) dilakukan ketika sistem informasi sudah dioperasikan. Pada tahapan ini dilakukan monitoring terhadap pengembangan yang akan dilakukan.
6. ANALISIS PERANCANGAN 6.1 Analisa program berjalan Analisa software perhitungan RAB yang sedang berjalan ini berdasarkan pada software RAB yang tersedia di buku terbitan Kawan Pustaka yang berjudul “Panduan Praktis Menghitung Biaya Membangun Rumah”. Proses yang terjadi yaitu user menghitung volume setiap pekerjaan secara manual, lalu user menginput setiap hasil perhitungan volume ke sistem, setelah semua volume selesai diinput user melihat hasil kalkulasi total biaya, kemudian user mencetak laporan perhitungan RAB.
Gambar 6.1 Sistem yang sedang berjalan pada Sistem RAB yang ada 6.2 Use Case Skenario use case digunakan untuk menjelaskan bagaimana pengguna berinteraksi dengan sistem pada setiap use case yang telah dibuat sebelumnya. Jumlah scenario
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 141
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
sama dengan jumlah use case yang ada dan di dalam setiap skenario dicantumkan skenario normal dan scenario alternatif. Skenario normal adalah aksi-reaksi yang terjadi antara user dan sistem pada kondisi normal, sedangkanskenario alternatif adalah aksireaksi yang terjadi ketika user melakukan hal lain pada setiap use case nya.
6.3 Class Diagram Conceptual Diagram ini menggambarkan struktur sistem dari segi penamaan objek dan jalannya sistem. Pada class diagram conceptual, dipaparkan class-class yang digunakan untuk perancangan class diagram nantinya dan dipastikan akan digunakan, karena jika tidak nantinya pendefinisian class tersebut sulit dipertanggungjawabkan kegunaannya. Hubungan antar class konsep ini merupakan hubungan memakai dan dipakai dimana dua buah objek/class akan dihubungkan oleh link jika ada objek yang dipakai oleh objek lainnya.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 142
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Gambar 6.3 Class Concept Diagram Sistem RAB untuk Pembangunan 6.4 Sequence Diagram Sequence diagram menggambarkan kelakuan objek pada use case dengan mendeskrpsikan waktu hidup objek dan message yang dikirimkan diterima antarobjek. Oleh karena itu untuk menggambar diagram sekuen harus diketahui dahulu objek-objek yang terlibat dalam sebuah use case beserta metode-metode yang dimiliki kelas yang diinstantiasi menjadi objek itu. Sequence diagram dibuat sebanyak use case yang sudah ada.
Gambar 6.4 Sequence Diagram untuk Use Case Buat Proyek Baru
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 143
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
7. KESIMPULAN a. Perancangan dengan metode UML bermanfaat dalam perancangan perangkat lunak di bidang teknik sipil. b. Mendapatkan dokumen lengkap untuk implementasi pembuatan perangkat lunak yang siap diimplementasikan c. Metode UML ini mempermudah dalam merancang suatu sistem informasi perangkat lunak dalam hal ini dengan studi kasus RAB. d. Adanya perancangan arsitektur akan mempermudah dalam perancangan dan pengembangan perangkat lunak yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA 1. A.S, Rosa., M. Shalahuddin. 2011. Modul Pembelajaran Rekayasa Perangkat Lunak (Terstruktur Dan Berorientasi Objek). Bandung : Modula 2. Bahrami, Ali.1999.Object Oriented Systems Development.McGraw – Hill Singapore. 3. Bastos, R. M. dan Duncan Dubugras A. Ruiz. 2002. Extending UML Activity Diagram for Workflow Modeling in Production Systems. Brazil. 4. Cipta Karya 2011. Daftar Harga Satuan Pekerjaan. Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya,Bandung. 5. Irawan, Yanto., Monica Ranala., Ariani N.S. 2010. Panduan Praktis Menghitung Biaya Membangun 6. Rumah. Jakarta : Kawan Pustaka. 7. Nugroho, Adi. 2010. Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode USDP. Yogyakarta : Penerbit Andi. 8. Segui, W.T. 2003. LRFD Steel Design, 3rd ed. Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove. 9. Shalahuddin, M. dan Rosa A. S. 2010. Modul Pembelajaran Pemrograman Berorientasi Objek dengan Bahasa Pemrograman C++, PHP, dan Java. Bandung : Penerbit Modula. 10. Sumarta, T., B. Siswoyo, dan N. Juhana. 2004. Perancangan Model Berorientasi Objek Menggunakan UML Studi Kasus Sistem Pengolahan Parkir Pada PT. TRIKARYA ABADI. Bandung : Universitas Komputer Indonesia. 11. Windarti, Ira. dan Lintang Yuniar Banowosari. 2006. Sistem Informasi Bidang Kemahasiswaan dengan Metode Berorientasi Objek Menggunakan UML. Depok : Universitas Gunadarma.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 144
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ANALISA KOMPETENSI KERJA MANDOR DAN TUKANG BERDASARKAN PERSYARATAN JABATAN KERJA DALAM STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA Irika Widiasanti1 , Rizal Z Tamin2, Deni Haryanto3 1
Mahasiswa Program Doktor Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email:[email protected] 2 Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 3 Almuni Jurusan Teknik Sipil, Universitas Negeri Jakarta , email: [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang pada pekerjaan struktur . Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang berupa survei terhadap tenaga kerja mandor dan tukang yang dimaksud. dengan melakukan pengamatan langsung menggunakan pedoman pengamatan kepada responden yang diambil secara acak berstrata dengan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara guna mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Berdasarkan hasil penelitian kompetensi mandor dan tukang yang mengacu pada SKKNI, didapat kompetensi mandor pembesian sebesar 57,45 % dan mandor tukang batu sebesar 50,00 %. Untuk jabatan tukang, rata-rata kompetensi tukang besi beton sebesar 41,79 %, rata-rata kompetensi tukang batu sebesar 62,20 %, dan rata-rata kompetensi tukang bekisting sebesar 56,10 %. Tingkat kompetensi yang rendah tersebut disebabkan oleh sebagian kriteria unjuk kerja (KUK) yang ada dalam SKKNI yang menjadi tanggung jawab mandor dan tukang dilakukan jabatan lainnya. Kata kunci : tenaga kerja trampil, kompetensi kerja
PENDAHULUAN Undang-undang No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, BAB III Pasal 9, menyebutkan bahwa tenaga kerja yang melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, pekerjaan keteknikan konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan atau keahlian kerja.. Kondisi tersebut mencerminkan adanya tuntutan kualitas tenaga kerja yang professional dan memerlukan langkah nyata dalam mempersiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk mengukur kualitas tenaga kerja konstruksi. Upaya pemerintah dalam menjalankan amanat UU tersebut adalah dengan adanya sistem sertifikasi kerja. Sertifikasi kerja yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh tenaga kerja yang berkompeten di bidangnya. Standar kompetensi kerja yang digunakan pada sistem sertifikasi tersebut adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 145
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
undangan[8].. Untuk tenaga kerja jasa kontruksi, SKKNI disusun berdasarkan analisis kompetensi setiap jabatan kerja yang melibatkan para pelaku pelaksana langsung di lapangan dan ahlinya dari jabatan kerja yang bersangkutan. Diharapkan SKKNI ini dapat meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia dan hasil pekerjaannya.. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tentang data penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama, jumlah pekerja bangunan di Indonesia pada Agustus tahun 2010 tercatat sekitar 5.592.897 orang. Dalam struktur jasa konstruksi, tenaga kerja langsung yang terlibat dikelompokkan menjadi tenaga ahli, tenaga terampil, dan buruh kasar. Distribusinya adalah kelompok tenaga ahli sekitar 10%, kelompok tenaga terampil 30%, dan kelompok buruh kasar adalah sisanya (60%)[10]. Dua kelompok pertama wajib memiliki sertifikat[14]. Artinya, dari 5.592.897 tenaga kerja konstruksi, sebanyak 2,24 juta tenaga kerja wajib memiliki sertifikat. Berdasarkan data Statistik Profesi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, jumlah tenaga kerja ahli yang bersertifikat baru mencapai sekitar 114.395 orang (20,45 % dari 559.290 tenaga ahli), dan jumlah tenaga kerja terampil yang bersertifikat baru mencapai sekitar 299.690 orang (17,84 % dari 1,68 juta tenaga kerja terampil). Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa penerapan proses sertifikasi tenaga kerja masih jauh dari harapan dan amanat Undang Undang No.18 Tahun 1999.. Tenaga kerja bidang konstruksi yang ada terkadang kurang dibekali oleh kemampuan teknik yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan finansial maupun pendidikan yang mampu dicapai oleh masyarakat pada umumnya. Kebanyakkan tenaga terampil jasa kontruksi, dalam hal ini mandor, tukang, maupun buruh mendapatkan kemampuan di bidang konstruksi tersebut secara turun temurun, atau otodidak. Tenaga kerja yang memiliki latar belakang pendidikan yang relatif rendah merupakan jumlah tenaga kerja yang cukup dominan yang bekerja di sektor jasa konstruksi, umumnya mereka berperan sebagai tenaga mandor dan tukang[9]. Sehingga timbul pertanyaan, apakah tenaga kerja dengan keterbatasan pendidikan keteknikan, serta belum memiliki sertifikat keterampilan kerja, sudah memenuhi kompetensi kerja sesuai persyaratan jabatan kerja dan unit kompetensi dalam SKKNI.
KAJIAN TEORI Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.[16] Tukang adalah pekerja terampil yang bertugas membuat bahan dan produk atau fasilitas sesuai spesifikasi desain[14]. Tukang biasanya mendapatkan keterampilan langsung di lapangan. Di bidang konstruksi,[16] tenaga kerja tukang merupakan tenaga kerja terampil yang digunakan dalam proyek konstruksi sebagai tenaga penggerak dan pelaksana implementasi desain di lapangan. Tenaga kerja tukang bekerja berdasarkan perintah dan koordinasi dari mandor yang merupakan perpanjangan tangan dari kontraktor pelaksana. Mandor adalah orang yang mengepalai beberapa tukang dan bertugas untuk mengawasi pekerjaan mereka[12]. Mandor biasanya ditugaskan oleh pemborong atau kontraktor, tetapi ada juga yang mengurus pekerjaan pemeliharaan rumah dan sebagainya sendiri, dalam hal ini mereka bertindak sebagai pemborong kecil. Mandor
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 146
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
juga merupakan pekerja di lapangan yang memiliki wewenang atas pekerja konstruksi/tukang di bawahnya dan harus dapat mengurusi tukang-tukangnya yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Gambar berikut ini, dapat dilihat contoh sebuah struktur organisasi proyek beserta kualifikasi keahlian atau keterampilannya. Dari bagan struktur tersebut terlihat kedudukan mandor maupun tukang dalam pelaksanaan suatu proyek.
Gambar 1 : Tipikal Organisasi Pelaksana Proyek[7] Kompetensi Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaanya atau karakteristik individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superior di tempat kerja atau pada situasi tertentu[13]. Pendapat lain tentang kompetensi [15], adalah kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan uraian tentang hakikat kompetensi diatas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu aktivitas. Kemampuan itu merujuk pada beberapa karakteristik, baik yang bersifat dasar, perilaku, keterampilan, maupun pengetahuan dengan tingkat kemampuan yang dapat berubahubah. Perubahan tersebut bergantung pada sejauh keterampilan, perilaku, dan pengetahuan tersebut diasah. Apabila seseorang yang sudah menguasai standar kompetensi dengan tingkatan yang tinggi secara terus-menerus, ia sudah masuk ke dalam kategori orang yang berkompetensi di bidang tugas tersebut. Standard Kompetensi Berdasar pada arti bahasa, standar kompetensi terbentuk atas kata standar dan kompetensi. Menurut KBBI, kata standar dapat diartikan sebagai ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan kata kompetensi telah didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu aktivitas pekerjaan atau tugas yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Standar kompetensi menjelaskan tentang kompetensi yang dibutuhkan untuk kinerja yang efektif dan berperan sebagai patokan pengujian[13]. Dengan demikian dapat ISBN 978-979-99327-8-5
I - 147
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
disimpulkan bahwa standar kompetensi merupakan ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan atau yang telah disepakati tentang kompetensi yang diperlukan pada suatu bidang pekerjaan oleh seluruh “stake holder” di bidangnya. Dengan pernyataan lain yang dimaksud dengan Standar Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan kriteria unjuk kerja (KUK) yang dipersyaratkan. Standar Kompetensi Kerja Dalam rangka menyiapkan tenaga kerja profesional di bidang jasa konstruksi pada suatu jabatan kerja tertentu, baik untuk pemenuhan kebutuhan nasional di dalam negeri maupun untuk kepentingan penempatan ke luar negeri, diperlukan adanya perangkat standar yang dapat mengukur dan menyaring tenaga kerja yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kompetensinya[7]. Standar kompetensi kerja yang akan menjadi tolak ukur pada penelitian ini mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui Badan Pembinaan Konstruksi Dan Sumber Daya Manusia, Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (BPKSDM–KPK). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia ( SKKNI ) dibutuhkan sebagai tolak ukur untuk menentukan kompetensi tenaga kerja sesuai dengan jabatan kerja yang dimilikinya[6]. SKKNI disusun berdasarkan analisis kompetensi setiap jabatan kerja yang melibatkan para pelaku atau pelaksana langsung di lapangan dan dengan mengacu pada format dan ahlinya dari jabatan kerja yang bersangkutan. Selanjutnya finalisasi konsep konsep SKKNI tersebut dilaksanakan dalam suatu Konvensi Nasional yang melibat para Pakar dan Nara Sumber yang berkaitan dengan Jabatan Kerja tersebut. Diharapkan dengan adanya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia ( SKKNI ) tersebut dapat meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia dan hasil pekerjaan di lapangan. Pembahasan Penelitian Yang Relevan Penelitian mengenai pemberlakuan standar sertifikasi keterampilan bagi tenaga kerja mandor dan tukang telah dilakukan oleh Nur Yekti Merryardani dan Leo Willyanto dalam Tugas Akhir yang berjudul “Kajian Relevansi Pemberlakuan Standar Sertifikasi Keterampilan Mandor danTukang pada Proyek Konstruksi Indonesia“ (2008). Penelitian tersebut lebih menekankan pada perlu tidaknya sertifikasi tukang diterapkan dan seberapa jauh pengetahuan yang diperoleh dalam proses sertifikasi benar-benar memperkaya pengetahuan mandor dan tukang yang bersangkutan.Hasil dari analisis penelitian tersebut adalah tingkat pemahaman mandor maupun tukang atas syarat kompetensi ketrampilannya belum memenuhi serta kompetensi mandor dan tukang yang dipersyaratkan dalam SKKNI belum tercapai. Namun, penelitian tersebut masih kurang memberikan gambaran pasti tentang bagaimana tingkat kompetensi kerja mandor dan tukang pada proyek yang bernilai cukup besar (diatas 10 Milyar Rupiah). Karena tingkat kompetensi mandor dan tukang pada kondisi tersebut tidak diketahui jelas. Dengan demikian, untuk menambah gambaran nyata atau acuan dilapangan dalam upaya meningkatkan kompetensi tenaga kerja, perlu adanya pengamatan langung tentang kompetensi kerja mandor dan tukang secara lebih mendalam pada satu proyek
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 148
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
(studi kasus), sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat kompetensi kerja mandor dan tukang pada proyek yang bersangkutan
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Berpikir Masalah yang diangkat untuk diteliti adalah tentang kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang pada proyek konstruksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengamatan kepada tenaga kerja mandor dan tukang untuk mengetahui bagaimana tingkat kompetensinya. Tingkat kompetensi dimaksudkan untuk dapat dianalisis, apakah tenaga kerja tersebut telah memenuhi seluruh kompetensi yang ada dalam standar kompetensi kerja atau tidak. Sehingga dapat menjadi gambaran nyata, informasi, serta sebagai evaluasi bagi kontraktor tentang kompetensi kerja mandor dan tukang yang bekerja pada proyek konstruksinya. Penelitian dimulai dengan melakukan studi pustaka dan observasi pendahuluan yang mendukung permasalahan yang dibahas. Kemudian ditentukan metode penelitian dan pengumpulan data yang tepat untuk memperoleh data. Berdasarkan hasil pengumpulan studi pustaka dan data lapangan, kemudian data hasil pengamatan diolah sesuai dengan tujuan, indikator instrumen, dan memperhatikan batasan yang telah ditentukan. Pengamatan kompetensi kerja mandor dan tukang yang dilakukan ini mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk masingmasing jabatan yang telah dibuat oleh pemerintah.Pada bagian akhir penelitian ini akan disajikan kesimpulan dari tujuan permasalahan yang dibahas, yaitu tingkat kompetensi dari tenaga kerja yang ada pada proyek tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang memfokuskan pada studi kasus kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan struktur di proyek d’Green Pramuka Residences. Dalam penelitian ini populasi tenaga kerja mandor dan tukang konstruksi dibatasi pada mandor pembesian, mandor tukang batu, tukang besi beton, tukang batu, dan tukang bekisting dan perancah pada tower Chrisyant. Instrument penelitian yang dibuat berdasarkan persyaratan kompetensi dari SKKNI dan referensi lain yang relevan. Data yang diperoleh dari survey akan dianalisa untuk mengetahui kompetensi kerja dari tenaga kerja. Pengumpulan Data Untuk menentukan jumlah sampel dari populasi yang berstrata, maka metode yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian ini adalah dengan tekniksampel acak berstrata (Stratified Random Sampling). Karena jumlah populasi dari tiap strata berbeda-beda Tabel Error! No text of specified style in document.-1: Data populasi dan sampel mandor dan tukang proyek d’Green Pramuka Residences Jabatan Kerja Mandor Pembesian
Mandor Tukang Batu Tukang Besi Beton Tukang Batu Tukang Bekisting dan Perancah
ISBN 978-979-99327-8-5
Populasi
Sampel
1 1 37 33 30
1 1 6 3 3
I - 149
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Jabatan Kerja
Populasi
Sampel
Jumlah
102
14
Pada penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan diantaranya : metode observasi dan metode wawancara (interview). Metode observasi menggunakan jenis instrument panduan pengamatan check list dengan jenis observasi sistematis untuk pengamatan kompetensi kerja mandor dan tukang. Metode wawancara menggunakan jenis instrument pedoman wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan kepada pelaksana engineering dari kontraktor KMY untuk mendapatkan pendapat dan gambaran tentang proses pelaksanaan standar kerja serta kompetensi mandor dan tukang pekerjaan struktur yang bekerja pada proyek d’Green Pramuka Residences. Mengenai kisi-kisi instrumen untuk panduan pengamatan check list mengacu pada syarat jabatan kerja dan unit kompetensi yang ada dalam SKKNI dari masingmasing jabatan kerja. Kisi-kisi instrumen terbagi menjadi 5 kelompok sesuai dengan 5 jabatan kerja yang diamati. Metode Analisis Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menjabarkan/ mendeskripsikan hasil penelitian kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang dalam bentuk persentase. Keuntungan menggunakan persentase sebagai alat untuk menyajikan informasi adalah bahwa dengan persentase tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat kompetensi dari masing-masing jabatan kerja yang menjadi fokus pengamatan. Penelitian yang menggunakan data kualitatif ini diperoleh dari hasil pengamatan terhadap mandor dan tukang berupa Lembar Hasil Pengamatan yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dari masing-masing jabatan kerja. Setelah melakukan wawancara, diskusi, serta pengamatan kompetensi kerja terhadap mandor dan tukang, selanjutnya data yang diperoleh tersebut dihitung berdasarkan tingkat kesesuaiannya dengan kompetensi yang ada dalam instrumen masing-masing jabatan serta memperhatikan batasan yang telah ditentukan. Pada bagian akhir penelitian, persentase dari tingkat kompetensi mandor dan tukang lalu diinterpretasikan sesuai dengan hasil analisis dan fakta yang ada di lapangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Responden dalam penelitian ini adalah tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan struktur pada tower Chrisyant proyek d’Green Pramuka Residences, yang berjumlah 14 orang. Berikut profil seluruh responden penelitian. Tabel Error! No text of specified style in document.-2 Profil responden No. Nama Responden Usia (Tahun)
1 2 3 4 5 6 7
Sunarto Gono Tarno Nasin (1)* Sutrisno Sunarto Indra
(2) (3) (4) (5)
ISBN 978-979-99327-8-5
48 37 27 32 52 30 30
Jabatan Kerja
Mandor Pembesian Mandor Batu/Cor dan Tukang Mandor Besi (Pabrikasi) Pekerjaan Tukang Besi (Pabrikasi) Galian Tukang Besi (Perakitan) Tukang Besi (Perakitan) Tukang Besi (Lapangan)
Pendidikan Pengalaman terakhir Kerja (Tahun)
SD SD SMP SMP STN SMP SMP
27 5 12 15 33 12 15 I - 150
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
No. Nama Responden Usia (Tahun)
8 9 10 11 12 13 14
Amin Kasmain Rusdi Sarkadi Tekno Ahmad Rusmanto
(6) (1) (2) (3) (1) (2) (3)
Jabatan Kerja
Pendidikan Pengalaman terakhir Kerja (Tahun)
35 60 24 51 35 23 29
Tukang Besi (Lapangan) SMP 8 Tukang Batu/cor SD 40 Tukang Batu/cor SMP 8 Tukang Batu/cor SD 35 Tukang Bekisting SMP 4 Tukang Bekisting SMP 1 (Vertikal) Tukang Bekisting SMP 5 (Vertikal) (Vertikal) Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jabatan kerja tukang besi beton pada tower Chrisyant dibagi menjadi 3 bagian, yakni pabrikasi, perakitan, dan lapangan. Menurut Sunarto, Mandor Pembesian, pembagian kerja tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan hasil pekerjaan sehingga tukang dapat fokus dan lebih bertanggung jawab atas hasil pekerjaannya tanpa memerlukan pengawasan yang ekstra. Dipilihnya 2 orang dari setiap kelompok bertujuan sebagai perbandingan kompetensi tukang besi dalam kelompok kerjanya. Untuk jabatan kerja tukang batu/cor juga terdapat pembagian kerja, yaitu bagian pekerjaan batu dan pengecoran. Pekerjaan batu yang diamati adalah pekerjaan pasangan batako untuk bekisting pile cap, tie beam, dan lantai kerja. Sementara untuk pekerjaan bekisting, pelaksanaannya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pekerjaan bekisting vertikal dan bekisting horizontal. Dalam penelitian ini yang diamati adalah pekerjaan bekisting vertikal, yaitu pekerjaan kolom pada lantai basement 2 dan retaining wall. Kompetensi Mandor Pembesian Berdasarkan hasil pengamatan, maka dapat dihitung persentase kompetensi kerja mandor pembesian proyek d’Green Pramuka Residences menurut SKKNI, yaitu dengan cara menghitung kriteria unjuk kerja yang dipenuhi oleh mandor tersebut. Adapun hasil persentase kompetensi kerja mandor pembesian disajikan pada tabel berikut. Tabel Error! No text of specified style in document.-3 Persentase kompetensi kerja mandor pembesian menurut SKKNI Unit No. Kompetensi KUK (UK) 1 4-10 2 11-17 3 18-22 4 23-28 5 29-38 6 39-51 Total
Jumlah KUK Tiap Unit Kompetensi 7 7 5 6 10 13 48
Jumlah KUK yang Sesuai 3 6 2 3 8 6 28
*Persentase Kompetensi : UK 1= Persentase Maks.Tiap UK x
Persentase Maks. Persentase Tiap Unit Kompetensi Mandor Kompetensi Pembesian* 16.67 7.14 16.67 14.29 16.67 6.67 16.67 8.33 16.67 13.33 16.67 7.69 100 % 57,45 % = 16.67 x
= 7.14 %
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kompetensi mandor baru mencapai 57,45 % . Sehingga dapat dikatakan bahwa Mandor Pembesian / Penulangan Beton pada proyek ini, belum memenuhi kompetensi yang disyaratkan pada Jabatan Kerja mandor pembesian menurut SKKNI. Kompetensi Mandor Tukang Batu Tabel Error! No text of specified style in document.-4 Persentase kompetensi kerja mandor tukang batu menurut SKKNI
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 151
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Unit No Kompetensi KUK (UK) 1 4-10 2 11-17 3 18-22 4 23-28 5 29-38 6 39-46 Total
Jumlah KUK Tiap Unit Kompetensi 7 7 5 6 10 8 43
Jumlah KUK yang Sesuai 1 6 2 3 6 4 22
Persentase maks. Persentase Tiap Unit Kompetensi Mandor Kompetensi Tukang Batu 16.67 2,38 16.67 14,29 16.67 6,67 16.67 8,33 16.67 10,00 16.67 8,33 100 % 50,00 %
Kompetensi Tukang Besi Beton Tabel Error! No text of specified style in document.-5 Persentase kompetensi kerja tukang besi beton menurut SKKNI
6 7 6 4 4 3 4 1 2
Jumlah KUK yang Persentase Kompetensi Persentase sesuai Tukang Besi Beton Maks Tukang keTiap Unit 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 6 6 6 6 6 11.11 11.11 11.11 11.11 11.11 11.11 6 6 6 4 6 4 11.11 9.52 9.52 9.52 6.35 9.52 3 3 3 3 3 3 11.11 5.56 5.56 5.56 5.56 5.56 0 0 0 0 0 0 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 4 0 0 0 0 11.11 8.33 11.11 0.00 0.00 0.00 1 2 0 0 0 0 11.11 3.70 7.41 0.00 0.00 0.00 0 0 1 1 3 2 11.11 0.00 0.00 2.78 2.78 8.33 0 0 0 0 0 0 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 1 2 2 1 1 11.11 11.11 5.56 11.11 11.11 5.56
37
21 22 18 16 19 16
Unit No. Jumla Kompetensi Item h (UK) KUK KUK 1 2 3 4 5 6 7 8 9
4-9 10-16 17-22 23-26 27-30 31-33 34-37 38 39,40
TOTAL
100 %
6 11.11 6.35 5.56 0.00 0.00 0.00 5.56 0.00 5.56
49.33 50.26 40.08 36.90 40.08 34.12
Kompetensi Tukang Batu Tabel Error! No text of specified style in document.-6 Persentase kompetensi kerja tukang batu menurut SKKNI Unit Kompetens i (UK) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
6 6 6 3 3 3 3 3 2 2
Jumlah KUK yang Sesuai Tukang ke1 2 3 6 6 6 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 3 1 1 1 1 3 1 3 1 3 0 0 0 1 1 1
37
25
No. Jumlah KUK KUK 4-9 10-15 16-21 22-24 25-27 28-30 31-33 34-36 37,38 39,40
TOTAL
24
25
Persentase Maks. Tiap Unit
Persentase Kompetensi Tukang Batu
10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 % 10.00 %
1 10.00 6.67 5.00 10.00 10.00 3.33 3.33 10.00 0.00 5.00
2 10.00 6.67 5.00 10.00 6.67 3.33 10.00 3.33 0.00 5.00
3 10.00 6.67 5.00 10.00 10.00 3.33 3.33 10.00 0.00 5.00
100 %
63.33
60.00
63.33
Kompetensi Tukang Bekisting Tabel Error! No text of specified style in document.-7 Persentase kompetensi kerja tukang bekisting menurut SKKNI
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 152
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
7 10 7 5 4
Jumlah KUK yang Sesuai Tukang ke1 2 3 5 5 5 5 4 4 2 1 2 3 3 4 3 3 3
33
18
Unit Jumlah Kompetensi No. KUK KUK (UK) 1 2 3 4 5
4-10 11-20 21-27 28-32 33-35 TOTAL
16
18
Persentase Maks. Tiap Unit
Persentase Kompetensi Tukang Bekisting
20.00 % 20.00 % 20.00 % 20.00 % 20.00 %
1 14.29 10.00 5.71 12.00 15.00
2 14.29 8.00 2.86 12.00 15.00
3 14.29 8.00 5.71 16.00 15.00
100 %
57.00
52.15
59.00
Pembahasan Hasil Penelitian Kompetensi Kerja Dari hasil penelitian , tingkat kompetensi tenaga kerja bidang struktur di proyek ini yang meliputi jabatan kerja mandor pembesian , mandor tukang batu , tukang besi beton, tukang batu , dan tukang bekisting berkisar 50 – 60 %. Selintas terlintas bahwa tenaga kerja tersebut kurang kompeten pada jabatan kerjanya masing-masing. Namun pengamatan selanjutnya, menghasilkan bahwa sebagian KUK tersebut menjadi tanggung jawab jabatan kerja lainnya.. Secara garis besar, jumlah kriteria unjuk kerja (KUK) yang menjadi tanggung jawab jabatan kerja lain pada masing-masing jabatan disajikan pada tabel berikut. Tabel Error! No text of specified style in document.-8 Kriteria unjuk kerja mandor dan tukang yang menjadi tugas jabatan lain Jabatan kerja
Mandor Pembesian Mandor Tukang Batu Tukang Besi Beton Tukang Batu Tukang Bekisting
Jumlah kriteria Jabatan kerja yang Jumlah Jumlah kriteria yang menjadi mengerjakan Jumlah kriteria yang tidak tanggung sebagian kriteria kriteria yang dipenuhi secara jawab orang dipenuhi keseluruhan lain K3, Pelaksana, 48 28 20 18 K3, Pelaksana, 43 22 21 17 Logistik K3, Pelaksana, 37 14 23 17 Logistik Logistik, 37 22 15 8 Kenek tukang batu K3, Pelaksana, 33 16 17 14 mandor
KESIMPULAN Dari hasil penelitian kompetensi mandor dan tukang yang mengacu pada SKKNI, didapat kompetensi mandor pembesian sebesar 57,45 % dan mandor tukang batu sebesar 50,00 %. Untuk jabatan tukang, rata-rata kompetensi tukang besi beton sebesar 41,79 %, tukang batu sebesar 62,20 %, dan tukang bekisting sebesar 56,10 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan struktur pada proyek d’Green Pramuka Residences tidak memenuhi kompetensi kerja yang ada dalam SKKNI. Hal ini dikarenakan sejumlah kriteria unjuk kerja yang ada dalam SKKNI masing-masing jabatan tersebut menjadi tanggung jawab jabatan lain.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 153
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
DAFTAR PUSTAKA 1. …….., (1999), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi 2. …….., (2003), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 3. …….., (2006), SKKNI : Mandor Pembesian / Penulangan Beton. Departemen Pekerjaan Umum. 4. …….., (2006), SKKNI : Mandor Tukang Batu / Bata. Departemen Pekerjaan Umum 5. …….., (2006), SKKNI : Tukang Batu / Bata. Departemen Pekerjaan Umum 6. …….., (2006), SKKNI: Tukang Bekisting dan Perancah. Departemen Pekerjaan Umum. 7. …….., (2006), SKKNI: Tukang Besi Beton. Departemen Pekerjaan Umum. 8. …….., (2007), Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional. 9. Achmad A, Cakra Nagara. (2005), . Menyikapi Era Persaingan Global di Bidang Jasa Konstruksi dari Aspek Sumber Daya Manusia Nasional. Bulletin BPKSDM 3:6. 10. Arifin, Doedoeng Zenal. (2010), . Evaluasi Kebijakan Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi Di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) [disertasi]. Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta. 11. Dipohusodo, Istimawan. (2007). Manajemen Proyek & Konstruksi. Yogyakarta: Kanisius. 12. Frick, Heinz & Puja L. Setiawan. (2007). Seri Konstruksi Arsitektur 4: Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan. Yogyakarta: Kanisius 13. Fuad, Noor & Gofur Ahmad. (2009). Integrated Human Resources Development. Jakarta : PT. Grasindo 14. H. Wright, Paul. (dialih bahasa oleh Harinaldi) (2005). Pengantar Engineering. Jakarta : Erlangga 15. Hutapea P, Nurianna Thoha, (2008). Kompetensi Plus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 16. Nur Yekti & Leo Willyanto (2008) , Kajian Relevansi Pemberlakuan Standar Sertifikasi Keterampilan Mandor danTukang pada Proyek Konstruksi Indonesia., Thesis, Institut Teknologi Bandung
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 154
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KAJIAN KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN DI KOTA SURAKARTA Widi Hartono1 Agus P Saido2 1)
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta Email :
[email protected]
Abstrak Kota Surakarta merupakan kota yang memiliki perkembangan infrastruktur yang begitu pesat. Bangunanbangunan infrastruktur tumbuh pesat seiring dengan perkembangan kota. Hampir di setiap penjuru kota dapat ditemui bangunan seperti mall, pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, pasar, apartemen/rumah susun, rumah sakit, perguruan tinggi atau sekolah. Potensi infrastruktur yang besar tersebut akan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran. Untuk itu perlu dilakukan kajian dalam rangka mengantisipasi bahaya kebakaran atau menangani kejadian kebakaran. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data observasi lapangan dan wawancara kepada pihak pengelola gedung. Sedangkan data sekunder berupa data cetak biru dari bangunan, standar sistem proteksi kebakaran bangunan, hasil studi pustaka yang berbentuk jurnal, dan buku-buku yang membahas mengenai kebakaran gedung, keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran. Dari hasil kajian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa nilai rata-rata keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran pada empat bangunan pemerintah di kota Surakarta sebesar 86.04 termasuk kategori baik. Dari keempat bangunan yang diamati terdapat satu bangunan yang memiliki skor cukup yaitu bangunan PT Pos Indonesia. Kata Kunci: Keandalan, Kebakaran, Proteksi, Bangunan Gedung, Kota Surakarta,
1. PENDAHULUAN Kota Surakarta merupakan kota dengan perkembangan yang cukup pesat. Banyak bangunan infrastruktur berdiri di kota Surakarta mulai dari mall, department store, perkantoran, hotel, condotel, ruko, dan perumahan. Bangunan-bangunan gedung tersebut semakin meramaikan pertumbuhan ekonomi di kota Bengawan. Peningkatan jumlah bangunan gedung akan semakin meningkatkan risiko terjadinya kebakaran di kota Surakarta. Pada tahun 2011 terjadi 47 kejadian kebakaran yang didominasi rumah menjadi obyek yang banyak terbakar. Selama lima tahun terakhir tahun 2011 merupakan tahun dimana rumah yang terbakar memiliki jumlah yang terbesar. Dilihat dari penyebab kebakaran yaitu listrik, kompor gas, kompor minyak dan lainnya, listrik merupakan penyebab kebakaran paling banyak tiap tahunnya. Penyebab listrik ini kebanyakan diakibatkan karena korsleting listrik. Hal ini disebabkan karena instalasi listrik yang ada tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Penggunaan steker yang bertumpuk-tumpuk sering ditemui, hal ini akan menjadikan instalasi tersebut sangat riskan terjadi korsleting. Begitu pula adanya instalasi kabel tambahan yang asal-asalan, kabel terbuat dari material yang tidak baik, ukuran kabel yang terlalu kecil kemudian karet pelapis kabel yang mudah sobek akan menjadikan kabel mudah panas dan terbakar. Kerugian yang diderita akaibat kebakaran tidak bisa dibilang sedikit. Korban jiwa dan luka merupakan kerugian yang tidak bisa diganti dengan uang. Selama tiga tahun
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 155
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
terakhir hampir tiap tahun terdapat korban jiwa karena kebakaran. Bahkan pada tahun 2009 terdapat korban jiwa sebanyak lima orang. Secara material kerugian akibat kebakaran di Kota Surakarta dapat dilihat pada Tabel 3. Tahun 2008 merupakan tahun yang memiliki kerugian terbesar akibat kebakaran yaitu sebesar Rp. 4.782.100.000. Kerugian materi disebabkan karena kerusakan obyek yang terbakar sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi dan hancurnya bangunan gedung. Tabel 1. Jenis Bangunan Yang Terbakar Jenis Yang Terbakar Banyaknya Tahun Kebakaran Rumah Kantor Industri Pasar 2011 47 22 1 3 2010 30 11 1 2009 44 12 1 2008 52 10 1 1 1 2007 40 9 1
Lainnya 24 18 31 39 30
Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
Tabel 2. Penyebab Terjadinya Kebakaran Penyebab Kebakaran Banyaknya Tahun Kebakaran Listrik Kompor Gas Kompor Minyak 2011 47 22 13 2010 30 19 3 2009 44 16 2 2 2008 52 31 1 4 2007 40 13 4
Lainnya 12 8 24 23 23
Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
Tabel 3. Korban Jiwa dan Kerugian Korban Banyaknya Tahun Kebakaran Mati Luka-luka 2011 47 1 2010 30 2 2009 44 5 3 2008 52 2007 40
Taksiran Kerugian 1.515.500.000 771.500.000 655.975.000 4.782.100.000 477.950.000
Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
2. KAJIAN PUSTAKA Hasil kajian yang dilakukan Slamet [8] menunjukkan bahwa pos pelayanan pemadam kebakaran pada tiap kecamatan di Kota Surakarta masih kurang. Perlengkapan untuk pemadaman kebakaran belum memadai dan personil pemadam kebakaran masih perlu ditingkatkan. Pada beberapa gedung di sebuah universitas ditemukan masih rendahnya fasilitas alat bantu evakuasi dan penyediaan sarana pemadam kebakaran (Sufianto [9]).. Menurut Lasino dkk. [5] dalam penelitiannya menunjukkan bahwa gedung perhotelan relatif lebih baik dalam penerapan Fire Sasfety Management (FSM) dibandingkan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 156
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
bangunan perkantoran atau rumah sakit. Hal ini disebabkan salah satunya adalah ketidaktahuan pihak manajemen bangunan tentang FSM. Menurut Hasofer dkk. [4] tingkat cidera dan kematian pada kebakaran gedung cukup tinggi dan penyebab kebakaran gedung apartemen tergantung dari sumber api dan penghuni apartemen. Zang dkk [10] menemukan minimnya peralatan untuk penanggulangan kebakaran pada rumah sewa swata dibandingkan rumah sewa pemerintah. Pengguna atau pemakai bangunan memiliki pemahaman yang rendah terhadap keselamatan bahaya kebakaran terutama pada gedung-gedung pemerintahan di Malaysia. Persepsi pengelola terhadap keselamatan kebakaran mempengaruhi kesadaran pengguna gedung terhadap bahaya kebakaran (Nawal [6]). Terdapat dual hal yang perlu diperhatikan dalam meminimalisasi risiko kebakaran gedung tinggi perkantoran di DKI Jakarta yaitu pemahaman terhadap desain sistem hidran dan proteksi terhadap resiko kebakaran (Adventus dkk., [1]). Chow, W. K. [2], mengkaji penggunaan A Fire Safety Ranking System EB-FSRS untuk menilai keselamatan kebakaran pada gedung high-rise di Hongkong. Ruegg, R. T., dkk [7] mengkaji penggunanaan sprinklers lebih efektif digunakan pada protektsi kebakaran gedung dengan manfaat lainnya berupa deteksi asap sebagai peringatan dini kebakaran.
3. METODE Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data observasi lapangan dan wawancara kepada pihak pengelola gedung. Sedangkan data sekunder berupa data cetak biru dari bangunan, standar sistem proteksi kebakaran bangunan, hasil studi pustaka yang berbentuk jurnal, dan buku-buku yang membahas mengenai kebakaran gedung dan keandalan gedung terhadap bahaya kebakaran. Obyek penelitian yang dikaji adalah bangunan publik yang dimiliki oleh pemerintah baik yang berbentuk BUMN atau perusda yang terletak di Kota Surakarta. Adapun bangunan gedung yang dijadikan obyek penelitian adalah gedung PT Pos Indonesia cabang Surakarta, PT Telkom Indonesia Cabang Surakarta, RS Dr Moewardi Surakarta dan RS Jiwa Daerah Surakarta. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data primer dan data sekunder. 2. Mengelompokkan data berdasarkan kegunaannya, sehingga memudahkan pada saat dilakukan analisis. 3. Analisis Data. Menganalisis data secara deskriptif, melakukan penilaian terhadap komponen bangunan dan menganalisis keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran. 4. Pembahasan. Melakukan pembahasan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran 5. Kesimpulan. Kesimpulan yang didapat dari hasil analisa menjelaskan rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 157
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN a. PT Pos Indonesia Cabang Surakarta Dari data yang diperoleh ditemukan bahwa sistem APAR (Alat Pemadam Api Ringan) masih belum sesuai dengan aturan yang ada. Hal tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua APAR terlihat mencolok dan tampak jelas, ada beberapa yang terletak di pojok ruangan yang tidak semua orang dapat melihatnya. Selain itu APAR tidak pernah dilakukan pemeriksaan, tidak ada kartu atau label yang menunjukkan waktu pemeliharaan. Penerapan Hydrant sudah sesuai dengan aturan yang ada, hanya saja tidak ada personil yang terlatih untuk mengatasi kebakaran di dalam bangunan kantor PT Pos Indonesia. Hidran halaman tidak ditemui disekitar bangunan. Di kantor PT Pos Indonesia tidak ditemui satupun sprinkler yang terpasang. Sarana jalan keluar di kantor PT Pos Indonesia cabang Surakarta sudah baik, hanya saja pada bangunan ini tidak ditemui indikator arah dan tanda eksit pada saran jalan keluar. Dari segi aksesibiltas kendaraan pemadam kebakaran dapat ditemui lebar jalan yang sesuai yaitu 4 meter. Tidak ditemukan tanda akses untuk akses kendaraan pemadam kebakaran. Hasil pengkajian keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran terhadap bangunan PT Pos Indonesia cabang Surakarta memiliki skor 75.88 atau termasuk dalam kategori cukup baik. Tabel 3. NKSKB PT Pos Surakarta No KSKB/SUB KSKB Hasil Penilaian Penilaian Komponen Kelengkapan Tapak I. Kelengkapan Tapak 1 Sumber Air 60 2 Jalan Lingkungan 100 3 Jarak Antar Bangunan 80 4 Hidran Halaman 70 Jumlah Penilaian Komponen Sarana Penyelamatan II. Sarana Penyelamatan 1 Jalan Keluar 90 2 Konstruksi Jalan Keluar 100 3 Landasan Helikopter 100 Jumlah Penilaian Komponen Proteksi Aktif III. Proteksi Aktif 1 Deteksi dan Alarm 50 2 Siames Connection 50 3 Pemadam Api Ringan 80 4 Hidran Gedung 90 5 Sprinkler 0 6 Sistem Pemadam Luapan 40 7 Pengendali Asap 50 8 Deteksi Asap 50 9 Pembuangan Asap 50 10 Lift Kebakaran 100 11 Cahaya Darurat 100 12 Listrik Darurat 80 13 Ruang Pengendali Operasi 50 Jumlah Penilaian Komponen Proteksi Pasif III. Proteksi Pasif 1 Ketahanan Api Struktur Bangunan 80 2 Kompartemenisasi Ruang 50 3 Perlindungan Bukaan
ISBN 978-979-99327-8-5
75 Jumlah Total
Standar Penilaian
Bobot
Nilai Kondisi
C B C C
24 25 27 25 23
3,6 6,48 4,8 3,864
Jumlah Nilai
18,744
B B B
25 38 35 27
8,55 8,75 6,75 24,05
K K C B K K K K K B B C K
25 8 8 8 8 8 7 8 8 7 7 8 8 7
1 1 1,6 1,8 0 0,7 1 1 0,875 1,75 2 1,6 0,875 15,2
C K
26 36 32
7,488 4,16
C
32
6,24 17,89 75,88
I - 158
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
b. PT Telkom Indonesia Cabang Surakarta Penerapan APAR pada bangunan PT Telkom dinilai sudah baik. Ditemukan pada kartu pemeliharaan tidak mencantumkan nama petugas yang melakukan pengecekan berkala. Kondisi hidran yang terdapat pada kantor ini kondisinya sudah sangat baik, baik dari segi jumlah dan penempatannya. Pada bangunan PT Telkom tidak memiliki sistem sprinkler. Hal ini disebabkan karena bangunan ini sebagian besar menggunakan peralatan elektronik yang rentan terhadap air. Oleh karena itu untuk mengganti fungsi sprinkler, maka digunakan sistem Bonpet. Bonpet fungsinya sama seperti sprinkler yaitu mengantisipasi penjalaran api pada suatu ruangan. Perbedaannya adalah kalau sprinkler memakai air tetapi kalau Bonpet memakai gas yang digunakan untuk memadamkan api. Penerapan jalan keluar pada bangunan PT Telkom baik dari fasilitas fisik dan tanda penunjuknya dalam keadaan sangat baik. Akses kendaraan pemadam kebakaran sudah memenuhi standar yang, tetapi masih belum ada tanda akses bagi kendaraan pemadam kebakaran. Hidran halaman dan siamese connection juga terdapat pada bangunan ini. Keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran pada bangunan PT Telkom Indonesia Cabang Surakarta secara umum sudah baik, yang ditunjukkan dengan skor keandalan sebesar 96.93. c. Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta Di Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta sprinkler hanya terdapat di dapur yang masuk dalam ruang Instalasi Gizi. Untuk ruang perawatan pasien dan ruang lainnya menggunakan sistem proteksi kebakaran jenis lain seperti APAR dan hidran. Sistem detektor tidak ditemui pada rumah sakit ini, sedangkan alarm masih menggunakan alarm manual. Penerapan untuk hidran di dalam bangunan sudah terpenuhi dan sesuai dengan peraturan, meskipun untuk perawatan masih kurang. Untuk hidran halaman telah tersedia dengan baik, penempatan hidran dan jumlahnya. Penerapan APAR yang sudah terpenuhi diantaranya APAR mudah dijangkau dan mencolok, dipasang kokoh pada dinding, tersedia sarana penunjuk APAR, perletakan APAR di setiap bangsal dan pemeliharaan APAR yang dilakukan setahun sekali. Penerapan APAR yang tidak terpenuhi adalah tidak ada kartu atau label pemeliharaan APAR dan identifikasi petugas, serta masih terdapat penghalang di bawah perletakan APAR misalnya pot bunga dan kursi penunggu pasien. Jalur untuk eksit telah ditetapkan dan didukung adanya tanda penunjuk arah sepanjang jalur eksit. Seluruh jalur eksit menuju pada satu titik berkumpul yaitu di basement bawah masjid. Penerapan tangga darurat yang telah terpenuhi diantaranya penempatan penandaan, pemasangan dan ukuran huruf. Penerapan yang tidak terpenuhi adalah tangga dalam gedung tidak tertutup, tidak ada penandaan tingkat teratas dan terbawah, penandaan tidak adanya akses atap. Tangga darurat di gedung ini adalah tangga yang digunakan untuk naik-turun lantai RS dan bukan tangga khusus evakuasi. Perlu diberi penandaan sehingga pengguna RS di tingkat teratas dapat menuju tangga turun yang terdekat dan tidak menuju atap. Penerapan akses pemadam kebakaran yang telah sesuai diantaranya lapis perkerasan terbuat dari paving blok, panjang lapis perkerasan sepanjang jalur masuk mobil pemadam sampai bagian belakang rumah sakit, dan akses masuk petugas pemadam.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 159
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Sedangkan penerapan yang tidak sesuai peraturan adalah jalur masuk mobil lewat pintu utama dan pintu samping hanya 3 m, lebar minimum perkerasan, adanya mobil yang diparkir sepanjang jalur akses melalui pintu utama, tidak adanya penandaan jalur masuk pemadam kebakaran. Hasil penilaian keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran di Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta memiliki skor 88.881 yang termasuk pada kategori baik. d. Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta Penerapan sprinkler tidak ditemukan di Rumah Sakit Jiwa ini dikarenakan bentuk bangunan RS yang sebagian besar berlantai satu dan berbentuk blok-blok bangunan yang terpisah satu dengan lainnya sehingga apabila terjadi kebakaran penjalaran api relatif kecil dan lama karena bangunan terpisah cukup jauh. Tidak ditemukan sistem deteksi kebakaran dan alarm yang digunakan masih. Penempatan alarm kebakaran ini berada di pos satpam dan IGD dan berbentuk sirine. Penerapan mengenai hidran yang telah dipenuhi diantaranya tersedia hidran halaman, jalur mobil pemadam terletak radius 50 m dari hidran halaman. Di RSJ terdapat 2 hidran halaman yang letaknya di dekat ruang laundry dan di dekat kantin. Penerapan APAR tidak dapat dipenuhi semuanya, penerapan APAR yang sudah memenuhi syarat diantaranya APAR mudah dijangkau dan mencolok, dipasang kokoh pada dinding, perletakan APAR di setiap bangsal perawatan pasien dan setiap lantai di gedung administrasi maupun auditorium, dan pemeliharaan APAR yang dilakukan 6 bulan sekali. Ditemukan tidak ada kartu atau label pemeliharaan APAR dan identitas petugas, serta tidak adanya sarana penunjuk lokasi APAR. Penempatan APAR di RS Jiwa telah sesuai dengan peraturan yaitu memiliki jarak antar APAR 25 m, tiap bangsal perawatan pasien berada dalam bangunan yang terpisah dan masing-masing memiliki satu APAR, sedangkan untuk bangunan administrasi yang bertingkat tiap lantai memiliki satu APAR. Penerapan akses pemadam kebakaran yang telah sesuai peraturan diantaranya lebar jalan masuk, lebar minimum perkerasan dan panjang minimum, jalur masuk regu pemadam dapat melewati jalan dari timur ke dalam sampai bagian belakang rumah sakit. Jalan di RSJ memutar sehingga memudahkan petugas pemadam memasuki area yang terbakar. Lapis perkerasan terbuat dari perkerasan aspal. Penerapan yang tidak sesuai peraturan adalah tidak adanya penandaan jalur masuk pemadam kebakaran dan tidak ada pintu akses khusus masuk petugas pemadam ke dalam gedung. Nilai keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran pada gedung Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta memiliki skor 82.54 termasuk dalam kategori baik. Tabel 4. Rekapitulasi NKSKB No 1 2 3 4
KSKB Kelengkapan Tapak Sarana Penyelamat Proteksi Aktif Proteksi Pasif NKSKB
PT Pos 18,74 24,05 15,20 17,89 75,88
PT Telkom 23,45 25,00 24,25 24,23 96,93
RS Dr Moewardi 22,70 25,00 16,88 24,23 88,81
RS Jiwa 18,78 25,00 13,70 25,06 82,54
5. KESIMPULAN Dari hasil kajian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa nilai rata-rata keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran pada empat bangunan pemerintah di
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 160
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
kota Surakarta sebesar 86.04 termasuk kategori baik. Dari keempat bangunan yang diamati terdapat satu bangunan yang memiliki skor cukup yaitu bangunan PT Pos Indonesia.
REFERENSI 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7. 8.
9.
10.
Adventus, M. R., Soepandji, B. S., Abidin, I. S., dan Trigunarsyah, B (2006), Studi Treatment Factors Terhadap Risiko Kebakaran Pada Bangunan Tinggi Perkantoran Di DKI Jakarta, Seminar Nasional “Kegagalan Bangunan, Solusi dan Pencegahan”, Kampus UPH, Lippo Karawaci Chow, W. K., (2002), Proposed Fire Safety Ranking System EB-FSRS for Existing High-Rise Nonresidential Buildings in Hong Kong, Journal Of Architectural Engineering Hartono, W., Saido, A. P., Winanto, A. S., (2010). Pemetaan Kebakaran Di Kota Surakarta. Seminar Nasional Pengelolaan Infrastruktur dalam Menyikapi Bencana Alam. Jurusan Teknik Sipil UNS Hasofer, A.M., dan Thomas, I., (2006), Analysis of fatalities and injuries in building fire statistics, Fire Safety Journal Lasino, dan Suhedi F. (2005). Kajian Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran (Fire Safety Management) pada Bangunan Gedung Tinggi Di Indonesia. Kolokium Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Bidang Permukiman melalui Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Desember. Nawal BT. HJ M. K. (2007), Sikap Dan Tindakbalas Penghuni Bangunan Dalam Menghadapi Situasi Kebakaran Kajian Kes: Menara Ansar, Johor Bahru, Tesis, Fakulti Kejuruteraan Sains Dan Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia Ruegg, R. T., dan Fuller, Sk. K., (1985), The Economics of Fire Protection: FasResponse Residential Sprinklers, Construction Management and Economics Slamet (2003), Kualitas Pelayanan Kantor Pemadam Kebakaran Kota Surakarta Dalam Pemadaman Kebakaran, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Sufianto, H. (2000), Kajian Arsitektur: Sistim Keamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Kampus Universitas Brawijaya, Jurnal Teknik, Edisi April 2000, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Zhang, G., Lee, A. H., Lee, H. C., dan Clinton, M., (2006), Fire safety among the elderly in Western Australia, Fire Safety Journal
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 161
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 162
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
IDENTIFIKASI RISIKO BENCANA PADA JARINGAN JALAN DI INDONESIA Mona Foralisa1, Krishna S. Pribadi2 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil ITB, Jl. Ganeca no 10 Bandung, Telp 0813-67659974, email: [email protected] 2 Dosen Program Studi Magister Teknik Sipil Pengutamaan Manajemen & Rekayasa Konstruksi FTSL, ITB, Jl Ganeca no 10 Bandung, Telp 022-2502272, email: [email protected]
ABSTRAK Kerugian dan kerusakan pada jaringan jalan yang diakibatkan oleh bencana sangat besar. Bencana gempa bumi dan tsunami Aceh (2004), Yogyakarta (2006), Sumatera Barat (2009) merupakan beberapa bencana yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Mengingat jaringan jalan merupakan akses yang dapat membantu keberlangsungan kehidupan masyarakat, dan akses utama maka jaringan jalan harus dipersiapkan dengan baik dalam menghadapi bencana. Jaringan jalan yang terkena bencana akan menyebabkan gangguan pergerakan dari masyarakat, bahkan dapat membuat daerah terkena bencana menjadi daerah yang tidak dapat diakses, baik untuk pemberian bantuan maupun untuk jalur evakuasi. Keterbatasan akses tersebut akan membuat tindakan untuk daerah yang terkena bencana tersebut akan terganggu atau terhambat. Untuk itu perlu dilakukan Manajemen Risiko Bencana Alam pada jaringan jalan. Tahap awal dalam manajemen risiko bencana adalah melakukan identifikasi risiko terhadap bahaya alam pada jaringan jalan. Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi risiko bencana pada jaringan jalan bukan tol. Bahaya alam yang difokuskan adalah bahaya gempa. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi factor risiko yaitu karakteristik hazard gempa, kerentanan jaringan jalan ditinjau dari karakteristik dan kondisi eksisting jaringan jalan. Hasil penelitian ini adalah mendapatkan faktor-faktor risiko yang memengaruhi tingkat risiko pada jaringan jalan. Kata kunci: bahaya alam, bencana, risiko, gempa, jalan
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di atas lempeng benua, lempeng Indo Australia dan lempeng Pasifik tak hanya menjadikan kaya sumber daya alam, namun juga rawan akan bencana geologi. lempeng Indo Australia terus bergerak ke arah utara sedang lempeng Pasifik bergerak ke arah barat. Hal ini antara lain yang menyebabkan posisi Indonesia tidak stabil dan rawan bencana geologi. Sebagai akibat gerakan lempeng-lempeng itulah yang menimbulkan bencana geologi berupa letusan gunung berapi (vulkanologi), gempa bumi, gempa bumi dan gerakan tanah. Diungkapkan dari 129 gunung api sekitar 13 % berada di Indonesia dan saat ini kondisinya sangat aktif. Selain itu ada tiga gunung api di dasar laut. Potensi gempa bumi di berbagai lokasi, potensi gempa bumi serta gerakan tanah juga di berbagai lokasi. Secara umum pada daerah yang pernah terjadi bencana ada peluang akan terjadi lagi (http://www.esdm.go.id). Gempa adalah fenomena geologi berupa getaran di permukaan akibat tumbukan lempeng-lempeng tektonik, atau berupa letusan gunungapi yang menimbulkan erupsi material gunungapi atau leleran magma. Gempa-gempa ini dikenal sebagai gempa tektonik dan gempa volkanik. Kedua gempa ini sering menimbulkan kerugian kepada manusia, baik itu berupa korban harta ataupun korban nyawa. Maka gempa ini menjadi
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 163
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
bencana bagi manusia. Masalah terbesar dari gempa adalah bahwa manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya sampai saat ini belum bisa menduga kapan gempa akan terjadi. Sejumlah parameter gempa bisa diukur dan diteliti, kemudian dari data-data gempa yang terekam akan dapat dianalisis periode ulang dari gempa (Natawidjaja, 2005; Asrurifak, dkk., 2010). Periode ulang ini adalah biasanya dalam kelipatan 50 tahun. Akan tetapi perhitungan ini adalah khususnya untuk gempa besar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Untuk gempa kecil hampir setiap hari terjadi. Di Indonesia tercatat 7000 kali gempa setiap tahunnya, di antaranya 50-60 kali gempa yang dapat langsung dirasakan oleh manusia (Puja, 2005). Kenyataan tersebut di atas memberikan gambaran tentang sebuah potensi bencana. Gempa bumi adalah salah satu dari banyak bahaya alam yang paling merusak, gempagempa tersebut bisa terjadi setiap saat di sepanjang tahun, dengan dampak yang tibatiba dan hanya memberikan peringatan sedikit waktu saja. Gempa dapat menghancurkan bangunan-bangunan dalam waktu yang sebentar saja, membunuh atau melukai penduduk. Gempa tidak hanya merusak kota-kota secara menyeluruh tetapi juga bisa mengacaukan pemerintahan, ekonomi dan struktur sosial dari satu negara (UNDP, 1995 : 17). Gempa juga dapat mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur pada daerah yang terkena bencana gempa. Salah satu infrastruktur yang dapat mengalami kerusakan adalah jaringan jalan. Kerusakan jalan dan jembatan yang terjadi pada saat bencana dapat berakibat sangat fatal, karena dapat mengakibatkan terputusnya jalur evakuasi yang akan berujung pada tertundanya bantuan kemanusiaan. Dampak lanjutan akibat kerusakan ataupun terputusnya jalan dan jembatan adalah terhambatnya kegiatan distribusi barang dan jasa yang menyebabkan menurunnya atau terhentinya pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan dampak bencana tersebut, maka perlu dan penting untuk dilakukan analisis risiko bencana pada jaringan jalan. Untuk itu, langkah-langkah untuk pengelolaan penanggulangan bencana menjadi sangat penting untuk dilakukan, baik sebelum, sesudah maupun saat terjadinya bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan pengurangan dampak. Kegiatan lainnya yang diambil pada saat sebelum terjadinya bencana adalah kegiatan pencegahan (prevention) dan kesiapsiagaan. Kegiatan pencegahan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya bencana, dan dititikberatkan pada upaya penyebarluasan berbagai peraturan perundangundangan yang berdampak dalam meniadakan atau mengurangi risiko bencana. Kegiatan kesiapsiagaan ditujukan untuk menyiapkan respon masyarakat bila terjadi bencana, yang dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah. Sedangkan kegiatan pengurangan risiko/dampak dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana atau dikenal dengan istilah Mitigasi (Akbar, 2006 : 2-3). Bahaya bencana banjir, gempa, dan gerakan tanah merupakan bahaya yang paling banyak mengancam jaringan jalan di Indonesia. Banjir merupakan bencana paling sering mengancam. Di Indonesia bencana banjir hampir terjadi setiap tahun, akan tetapi walaupun lebih sering terjadi, dampak (kerusakan dan kerugian) akibat banjir tidak terlalu besar dibandingkan bila terjadi bencana gempa. Bencana gempa bukan bencana yang terjadi secara periodic seperti banjir. Kejadian gempa jarang terjadi, tetapi bila terjadi, kerugian akan jauh lebih besar dibandingkan dengan bencana banjir. Dari data yang diolah dari Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi beberapa daerah
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 164
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang terkena bencana selama tahun 2004 – 2011, tercatat bahwa kerugian pada bidang jalan dan jembatan akibat gempa 10 kali lipat dibandingkan dengan kerugian akibat bencana banjir. Tujuan Mengidentifikasi faktor-faktor risiko bencana gempa pada jaringan jalan sebagai tahap awal untuk melakukan penilaian risiko terhadap jaringan jalan.
2. STUDI PUSTAKA Gempabumi secara umum dapat didefinisikan sebagai gerakan tiba-tiba yang terjadi di dalam kerak atau mantel bumi bagian atas. Gerakan tiba-tiba ini disebabkan oleh adanya pelepasan energi yang menyebabkan deformasi pada suatu lokasi di dalam bumi. Bencana akibat gempabumi umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu bencana primer dan bencana sekunder (Day, 2002). Bencana primer adalah efek langsung dari proses gempanya, yaitu (a) efek dari perekahan dan pergerakan pada sesar, (b) efek goncangan atau getaran dari gelombang seismik yang menjalar dari sumber gempa ke sekitarnya, (c) tsunami apabila pusat gempa terjadi di bawah laut. Bencana sekunder adalah bencana ikutan atau bencana geologi yang dipicu oleh getaran gempabumi, yaitu kerusakan akibat gerakan tanah dan terjadinya banjir bandang. Karakteristik Bahaya Gempabumi Klasifikasi gempabumi berdasarkan peristiwa yang menyebabkannya, digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Gempabumi tektonik, adalah gempa yang terjadi karena pelepasan tenaga yang dirambatkan kepermukaan bumi, akibat gesekan antara lempeng samudera dan lempeng benua yang menghasilkan sesar atau kekenyalan elastik. Gempa tektonik merupakan jenis gempa yang sering terjadi di Indonesia. Umumnya daerah tumbukan dan retakan lempeng merupakan pusat gempa (hiposentrum) di dalam bumi, selanjutnya menimbulkan getaran di permukaan bumi (episentrum). 2. Gempabumi vulkanik adalah akibat aktivitas gunungapi, yaitu gerakan magma dari dalam bumi naik ke atas. Gerakan magma ini menimbulkan getaran-getaran gempa yang dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar gunungapi sebelum gunung tersebut meletus. 3. Gempabumi runtuhan (terban), adalah gempabumi yang disebabkan oleh runtuhnya lubang-lubang interior bumi, misalnya runtuhnya lorong tambang dan lorong sebuah goa. Gempabumi ini paling kecil getarannya Sesar aktif adalah sesar atau patahan yang mempunyai sejarah atau indikasi pergerakan dalam kurun 11.000 tahun terakhir (California Geological Survey, 2007). Apabila ada indikasi pergerakan pada waktu yang lebih tua sampai dengan sekitar 1.6 juta tahun lalu (Zaman Kuarter), maka sesar tersebut diklasifikasikan sebagai sesar yang berpotensi aktif. Hasil pemetaan rekahan sesar pasca gempabumi ini akan sangat berguna untuk: 1. Evaluasi kerusakan yang diakibat oleh gempa tersebut, 2. Merevisi peta ancaman dan risiko bencana gempabumi untuk usaha mitigasi bencana ke depan, dan 3. Merencanakan rehabilitasi dan rekonstruksi dari wilayah bencana.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 165
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Bencana yang disebabkan oleh gempabumi dapat berupa: 1. Rekahan/patahan di permukaan bumi (ground rupture): deformasi kerakbumi dapat mengakibatkan permukaan daratan rekah dan terpatahkan hingga mencapai areal yang sangat luas. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat berdampak pada bangunan-bangunan, dan infrastruktur yang ada di daerah tersebut. 2. Getaran atau guncangan permukaan tanah (ground shaking): secara langsung berdampak sangat serius adalah runtuhnya bangunan- bangunan. Pada umumnya bangunan-bangunan yang berada diatas lapisan batuan yang padat (firm) dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang berada diatas batuan sedimen jenuh. 3. Longsoran tanah (mass movement): hampir semua longsoran tanah dapat terjadi pada radius 40 km dari pusat gempa (epicenter) dan untuk gempa yang sangat besar dapat mencapai radius 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. 4. Kebakaran: pada umumnya gempa menginduksi api yang berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi. 5. Perubahan pengaliran (drainage modifications or changes): dapat terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya (subsidence) permukaan daratan seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempabumi. 6. Perubahan air bawah tanah (ground water modifications): regim air bawah tanah dapat mengalami perubahan oleh perpindahan yang disebabkan oleh sesar atau oleh goncangan. 7. Tsunami: gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Proses terjadinya bencana Secara skematis, hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan, risiko dan kejadian bencana dapat digambarkan pada skema berikut:
Gambar 1. Hubungan Bahaya, Kerentanan, Risiko dan Kejadian Bencana (Sumber : BNPB, 2007) Berdasarkan Gambar 1 di atas risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentana daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Ancaman bahaya khususnya bahaya alam umumnya bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal. Sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan atau kapasitas dalam menghadapai ancaman tersebut semakin meningkat (Nurjanah et al, 2012). Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 166
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
R = f( Bahaya x
)
……………………………….
(1)
Keterangan : R = risiko f = fungsi Kerentanan Menurut BNPB (2011), kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya (hazard). Dengan kata lain, kerentanan adalah kombinasi derajat mudahnya masyarakat terpengaruh terhadap risiko bencana (susceptibility) dan daya bertahan atau kemampuan masyarakat bertahan terhadap kehilangan atau bencana (resilience). Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Kerentanan dapat ditinjau dari interaksi antara kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi: 1. Kerentanan fisik (infrastruktur): Menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indicator, yaitu persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, dan jaringan PDAM. 2. Kerentanan sosial: Menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (hazards). Pada kondisi sosial yang rentan dapat menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. 3. Kerentanan ekonomi: Menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin. Menurut Benson dan Twigg (2007), analisis kerentanan merupakan komponen dari analisis risiko bencana yang bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi kelompok rentan dalam suatu wilayah. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat mereka tergolong sebagai kelompok rentan, serta menganalisis bagaimana mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kerentanan suatu kelompok. 3. Menilai kebutuhan dan kapasitas kelompok tersebut. 4. Meyakinkan bahwa kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk menurunkan kerentanan tersebut, diantaranya melalui intervensi kepada kelompok sasaran atau mitigasi dan mencegah kebijakan-program yang berpotensi berdampak merugikan.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 167
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Ketahanan Kemampuan bertahan masyarakat terhadap bencana gempabumi berdasarkan ketahanan alami, yaitu: 1. Kelandaian topografi pada daerah dataran atau dataran bergelombang. 2. Tinggal pada daerah berbatuan dasar, bukan di atas endapan alluvial. 3. Pada daerah yang stabil dan bukan pada daerah yang tersesarkan atau zona sesar aktif. Kemampuan Masyarakat Bertahan Terhadap Bencana Berdasarkan Ketahanan Buatan Kemampuan masyarakat bertahan berdasarkan ketahanan buatan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat jalur evakuasi dan sarana jalan bila tiba-tiba terjadi bencana untuk memudahkan masyarakat melakukan evakuasi dan penanganan kesehatan. 2. Tersedianya fasilitas kesehatan yang diperlukan untuk tanggap darurat, yaitu rumah sakit, puskesmas, dan jumlah tenaga kesehatan. 3. Banyaknya jumlah penduduk yang berpendidikan. 4. Keberadaan alat peringatan dini, tersedianya jalur alternatif, dan akses alat berat ke lokasi bencana, serta dekatnya jarak keberadaan alat ke lokasi bencana. 5. Rekayasa teknik sipil, yaitu membangun bangunan evakuasi dan sarana jalan penghubung dari pemukiman ke bangunan evakuasi atau bukit, sehingga penyelamatan dapat dijangkau kurang dari 10 menit. 6. Keberadaan konstruksi pelindung seperti tembok penahan tanah, krib, bronjong, susunan batuan bertulang, atau tanggul penahan gelombang laut yang dikembangkan untuk meredam gempabumi, tsunami, letusan gunungapi, abrasi, banjir, dan gerakan tanah serta tujuan evakuasi awal. 7. Tersedianya saluran tepi yang ditembok, bersistem undakan dengan dilengkapi bak kontrol, serta kondisi saluran tepi yang selalu bersih untuk meredam banjir dan gerakan tanah. 8. Terbangunnya desa yang punya kebijakan penanggulangan bencana atau desa yang pernah mendapat pelatihan penanggulangan bencana, serta keberadaan organisasi penanggulangan bencana di masyarakat. 9. Terbangunnya kesiagaan dan kesadaran masyarakat akan adanya bencana agar semakin meningkatkan partisipasi dan ketenangan secara psikologis masyarakat di daerah rawan bencana.
3. METODOLOGI Metoda pendekatan yang dilakukan dalam studi ini adalah studi literatur dari berbagai penelitian terdahulu dan data sekunder dari berbagai instansi pemerintah. Dari hasil studi literatur maka dihasilkan perumusan faktor dan sub faktor yang memengaruhi tingkat risiko bencana gempa bumi. Faktor dan sub faktor ini ditentukan berdasarkan penelitian literatur. Dari beberapa literatur yang dikaji dapat disimpulkan ada 3 (tiga) faktor yang berpengaruh terhadap bencana gempa bumi beserta sub faktornya, yaitu sebagai berikut : a. Faktor bahaya (hazard), dengan sub faktor : goncangan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 168
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
b. Faktor kerentanan (vulnerability), dengan sub faktor : kerentanan fisik/infrastruktur, kerentanan sosial kependudukan dan kerentanan ekonomi. c. Faktor ketahanan/kapasitas (capacity), dengan sub faktor : sumberdaya alami, sumberdaya buatan dan mobilitas/ aksesibilitas penduduk. Untuk menentukan faktor risiko bencana maka digunakan peta-peta tematik. Peta-peta tematik yang berpengaruh terhadap bencana gempa pada jaringan jalan adalah Peta kelerengan, Peta bentuklahan, Peta geologi, Peta magnitude gempa, Peta kedalaman gempa, Peta penggunaan lahan, Peta kepadatan penduduk.
4. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan tahap awal dari penilaian risiko pada jaringan jalan di Indonesia. Penelitian ini dibatasi pada tahap melakukan identifikasi risiko pada jaringan jalan. Parameter-parameter di dalam penentuan skor dan kriteria terhadap bencana gempabumi (Tabel 1): 1. Zona sesar (mengacu klasifikasi sesar yang dipersiapkan untuk di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum): a. Terdiri atas zona sesar tidak aktif, zona sesar aktif tidak pasti, zona sesar aktif potensial, dan zona sesar aktif. b. Pembagiannya berdasarkan pada umur dan litologi yang tersesarkan (lebih tua dari Kuarter, Kuarter, Holosen), juga kondisi tektonik (daerah bertektonik stabil, bergempabumi, gempabumi berfokus dangkal). 2. Magnitudo gempa (berdasarkan besaran gempabumi yang menimbulkan tsunami serta kerusakan yang ditimbulkan): Semakin besar magnitudo gempa, maka semakin rentan terhadap terjadinya bencana gempabumi. Tsunami dapat terjadi pada 6,5 SR. 3. Kedalaman pusat gempa a. Semakin dangkal suatu pusat gempa, maka daerah yang berada di atasnya akan semakin rentan. b. Pembagiannya berdasarkan bahwa bagian zona subduksi dari palung sampai kedalaman 40-50 km-an, umumnya bersifat regas (elastik) dan dibanyak bagian bidang kontaknya terekat/terkunci erat. 4. Jarak dari pantai ke jalan/jembatan : Semakin dekat jarak dari pantai ke jalan/jembatan, maka semakin rentan karena semakin dangkal atau dekat dengan pusat gempa. 5. Litologi penyusun: a. Semakin resisten, mantap, dan stabil suatu batuan, maka resistensi terhadap bencana gempa adalah semakin rendah. b. Litologi penyusun terdiri atas batuan intrusi, metamorf, sedimen, sedimen volkanik, dan endapan alluvial. 6. Kelerengan dibagi berdasarkan pengalaman kestabilan lereng di lapangan: a. Semakin besar lereng, maka semakin rentan untuk terjadi longsor bila terjadi gempa. Umumnya pada lereng >45%, longsoran sudah terjadi. b. Bentuklahan secara umum berupa dataran, dataran bergelombang, perbukitan bergelombang sedang, perbukitan bergelombang kuat, dan perbukitan bergelombang curam.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 169
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
7. Kepadatan penduduk, pembagiannya lebih ketat karena multi hazard: Untuk lebih jelas, skor dan kriteria dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Skor Dan Kriteria Terhadap Bencana Gempabumi Skor
Kelas
1
Rendah
2
Menengah
3
Tinggi
4
Sangat tinggi
ISBN 978-979-99327-8-5
Keterangan Zona sesar tidak aktif: terdapat pada daerah pra-Kuarter yang bertektonik stabil. Magnitudo gempa, <5 SR: daerah gempa kecil Kedalaman pusat gempa: agak dalam >60 km Jarak ke jalan/jembatan >50 km: keberadaan dan posisi jalan/ jembatan jauh dari zona sesar. Litologi disusun oleh intrusi dan metamorf: granodiorit, diorit, dasit, sekis, filit, dan marmer. Kelerengan 0-15%: dataran, dataran bergelombang. Kepadatan penduduk <100 jiwa/km2: tidak ada aktivitas manusia Zona sesar aktif tidak pasti: jika terdapat dalam batuan yang lebih tua dari Kuarter dan tidak ada keterangan lain mengenai pergerakan sesar. Magnitudo gempa, 5-7 SR: daerah lipatan dan retakan, ditan-dai oleh dinding retak-retak, banyak pohon tumbang. Kedalaman pusat gempa: agak dangkal >50-60 km Jarak ke jalan/jembatan 30-50 km: keberadaan dan posisi jalan/jembatan agak jauh dari zona sesar. Litologi disusun oleh vulkanik: breksi vulkanik berkomponen andesit dan basal, tuff, dan lapili. Kelerengan 15-45%: perbukitan bergelombang sedang. Kepadatan penduduk 100-500 jiwa/km² (sepi): hanya terdiri dari suatu kumpulan permukiman. Zona sesar aktif potensial: pergeseran terhadap batuan berumur Kuarter atau sesar di daerah bergempabumi. Magnitudo gempa, 7-8 SR: daerah aktif, semua orang panik, bangunan yang tidak kuat akan rusak parah, jembatan roboh Kedalaman pusat gempa: dangkal >40-50 km Jarak ke jalan/jembatan 10-30 km: keberadaan dan posisi jalan/jembatan dekat dengan zona sesar. Litologi disusun oleh sedimen dan sedimen vulkanik: breksi/ konglomerat vulkanik, massa dasar batupasir, batulempung. Kelerengan 45-70%: perbukitan bergelombang kuat. Kepadatan penduduk 500-1000 jiwa/km² (agak ramai): terdapat pusat keramaian seperti pasar, obyek pariwisata Zona sesar aktif: waktu Holosen, gempabumi berfokus dangkal, bangunan dan jalan bergeser, pergeseran aluvial sungai. Magnitudo gempa, >8 SR: daerah sangat aktif, kehancuran total, seluruh bangunan hancur dan porak-poranda. Kedalaman pusat gempa: dangkal <40 km (posisinya di bawah garis pantai Pulau Sumatera) Jarak dari tepi pantai ke arah darat <10 km: posisi jalan pada zona sesar, dekat dengan pantai, pada zona dangkal. Litologi disusun oleh sedimen dan endapan aluvial: pelapukan kuat, bersifat lepas, dan kemiringan lapisan searah kelerengan.
I - 170
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Skor
Kelas
Keterangan Kelerengan >70%: perbukitan bergelombang curam. Kepadatan penduduk >1000 jiwa/km² (ramai): pusat keramaian pasar, obyek pariwisata, perkantoran
5. KESIMPULAN Dari hasil studi literatur dan penggunaan peta tematik, maka dapat didapatkan bahwa risiko dari jaringan jalan dapat diidentifikasi dengan mengidentifikasi hazard, kerentanan dan ketahanan atau kapasitas dari jaringan jalan tersebut. Faktor penting yang diidentifikasi pada tahap ini adalah sumber gempa, magnitude dan kedalaman gempa, jarak dari tepi pantai, litologi penyusun, kelerengan, kepadatan penduduk, dan kepadatan bangunan. Pada tahap selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan penilaian terhadap risiko pada jaringan jalan. Penilaian risiko dapat dilakukan dengan melakukan pembobotan pada masing-masing faktor untuk mendapatkan tingkat risiko pada jaringan jalan. Pada tahap selanjutnya juga dapat diteliti bagaimana jarak dari bangunan dari jalan yang akan memengaruhi risiko bila terjadi bencana. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya runtuhan bangunan yang mengakibatkan kerusakan pada jalan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Akbar, Roos (2006) Pentingnya Pertimbangan Kebencanaan Dalam Penataan Ruang. Materi Seminar Nasional : Mitigasi Bencana Alam di Indonesia: Solusi Professional dari Kacamata Geologi Lingkungan, Local Genious, Teknologi dan Planning, Malang. 2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2007) Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia 3. Benson dan Twigg (2007) Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Risiko Bencana. Diakses dari www.preventionweb.net tanggal 18 Januari 2012 4. Day, RW (2002) Geotechnical Earthquake Engineering Handbook. New York : McGraw Hill. 5. Duwaldi, Sheila Rimal. Hazard Mitigation R & D Series : Article 1 : Taking a Key Role in Reducing Disaster Risks. Public Roads, FHWA Publication. May/June 2010. Vol 73 No 6. Diakses dari www.fhwa.gov/publication/publicroads 6. Natawidjaja, D. H. (2005) “Gempabumi dan tsunami Aceh-Sumut, 26 Desember 2004: Memahami proses alam, mengatasi dampak, dan mengantisipasi bencana alam di masa depan.” Seminar Nasional Gempabumi dan Tsunami (Potensi dan Mitigasi), IAGI, Mataram, 19 Februari 2005. 7. Nurjanah et al. (2012) Manajemen Bencana. Bandung: Penerbit Alfabeta. 8. Puja, I. P. (2005) “Informasi monitoring gempabumi dan tsunami.” Seminar Nasional Gempabumi dan Tsunami (Potensi dan Mitigasi), IAGI, Mataram, 19 Februari 2005
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 171
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 172
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
IDENTIFIKASI INDIKATOR GREEN CONSTRUCTION PADA PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG DI INDONESIA Wulfram I. Ervianto1, Biemo W. Soemardi2, Muhamad Abduh3, Surjamanto4 1
Kandidat Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 2 Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 3 Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected] 4 Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, email: [email protected]
ABSTRAK Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di Bumi diyakini oleh para peneliti disebabkan salah satunya adalah pembangunan. Sebuah gagasan yang dianggap berpotensi dapat mengurangi pemanasan global adalah dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu terjemahan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat praktis dikenal dengan green construction dimana implementasinya mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan indikator green construction khususnya untuk bangunan gedung. Untuk mendapatkan data digunakan instrumen kuisioner dan sebagai respondennya adalah kepala proyek, bagian riset dan pengembangan pada perusahaan kontraktor dalam kualifikasi besar dan menengah yang berdomisili di kota besar sebagai representasi nasional Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah: (a) jumlah indikator green construction yang dihasilkan adalah 142 indikator yang terdiri dari 77 indikator Prioritas I dan 65 indikator Prioritas II; (b) indikator green construction Prioritas I terdiri dari 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori minimum waste, dan 49,33% kategori maksimum value; (c) indikator green construction Prioritas II terdiri dari 27,69% kategori Perilaku, 12,31% kategori Minimum Waste, dan 60% kategori Maksimum Value. Kata Kunci: Indikator; Green Construction; Bangunan Gedung; Indonesia
1. PENDAHULUAN Kepedulian dunia terhadap keberlanjutan Bumi telah dimulai sejak tahun 1992 dengan dipublikasikannya konsep pembangunan berkelanjutan yang mencakup tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup dalam KTT Bumi tahun 1992. Dalam pertemuan tersebut disepakati pola pembangunan baru yang diterapkan secara global yang disebut dengan Environmentally Sound and Sustainable Development (ESSD). Sebagai respon terhadap gerakan tersebut, di lingkup nasional, Indonesia telah menyepakati untuk menurunkan konsentrasi CO2 di udara sebesar 26%-41% di akhir tahun 2020 dalam konferensi Bali yang diselenggarakan pada tahun 2007. Dalam dokumen Konstruksi Indonesia 2030, salah satu agenda yang diusulkan adalah melakukan promosi sustainable construction untuk penghematan bahan dan pengurangan limbah/bahan sisa serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi [6]. Tujuan sustainable construction adalah menciptakan bangunan berdasarkan disain yang memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien, dan ramah lingkungan selama operasional bangunan [1]. Salah satu
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 173
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
bagian dari sustainable construction adalah green construction yang merupakan proses holistik yang bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara lingkungan alami dan buatan [8].
2. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan kesepakatan Indonesia dalam Konferensi Bali tahun 2007 tentang “peta jalur hijau” dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon. Merujuk pada agenda dalam Konstruksi Indonesia untuk melakukan promosi sustainable construction melalui penghematan bahan dan pengurangan limbah (bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi. Maka untuk mencapai green construction diperlukan kajian tentang alat/instrumen untuk mengukur proses konstruksi yang dapat dinyatakan green. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka tujuan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi indikator green construction dalam proses konstruksi pada bangunan gedung di Indonesia.
3. KAJIAN LITERATUR Definisi green construction adalah suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi untuk meminimalkan dampak negatif proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan mendatang [2]. Daya dukung lingkungan hidup dapat dikelompokan menjadi dua komponen, yaitu: kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam lingkup international konsep green construction mencakup hal-hal sebagai berikut: perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi, konservasi material, tepat guna lahan, manajemen limbah konstruksi, penyimpanan dan perlindungan material, kesehatan lingkungan kerja, menciptakan lingkungan kerja yang ramah lingkungan, pemilihan dan operasional peralatan konstruksi, dokumentasi [3]. Sedangkan Kibert menyatakan bahwa konsep green construction mencakup hal-hal sebagai berikut: rencana perlindungan lokasi pekerjaan, program kesehatan dan keselamatan kerja, pengelolaan limbah pembangunan atau bongkaran, pelatihan bagi subkontraktor, reduksi jejak ekologis proses konstruksi, penanganan dan instalasi material, kualitas udara [5]. Dalam lingkup nasional upaya penerapan green construction sudah dilakukan, antara lain oleh kontraktor nasional P.T. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. Instrumen yang digunakan untuk menilai green construction disebut dengan Green Contractor Assessment Sheet yang mencakup hal-hal sebagai berikut: tepat guna lahan, efisiensi dan konservasi energi, konservasi air, manajemen lingkungan proyek konstruksi, sumber dan siklus material, kesehatan dan kenyamanan di dalam lokasi proyek konstruksi [7]. Sedangkan di tingkat nasional, perangkat penilaian bangunan hijau di Indonesia untuk gedung baru dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) yang disebut dengan Sistem Rating GREENSHIP Versi 1.0. [4]. Berdasarkan pustaka tersebut diatas maka faktor green construction dapat disintesakan menjadi 16 faktor, yaitu: Perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi; Sumber dan siklus material; Rencana perlindungan lokasi pekerjaan;Manajemen limbah konstruksi; Penyimpanan dan perlindungan material; Kesehatan lingkungan kerja tahap konstruksi; Program kesehatan dan keselamatan kerja; Pemilihan dan operasional peralatan konstruksi; Dokumentasi; Pelatihan bagi subkontraktor; Pengurangan jejak ekologis
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 174
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
tahap konstruksi; Kualitas udara tahap konstruksi; Konservasi air; Tepat guna lahan; Efisiensi dan konservasi energi; Manajemen lingkungan proyek konstruksi. Berdasarkan 16 faktor green construction tersebut diatas selanjutnya dikembangkan indikator green construction dari setiap faktor. Jumlah indikator green construction secara keseluruhan adalah 144 indikator
4. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian untuk mendapatkan indikator green construction melalui beberapa tahap (gambar 2). Metoda reskoring digunakan untuk mendapatkan indikator green construction yang “penting” dan “operasional”. Mulai
Data Berdasarkan tingkat kepentingan
Data Berdasarkan tingkat operasional
Reskoring Berdasarkan tingkat kepentingan
Reskoring Berdasarkan tingkat operasional
Pemilihan indikator penting dan operasional dalam setiap faktor
Indikator penting dan operasional
Urutan indikator green construction tiap faktor dalam kategori prioritas II
Urutan indikator green construction tiap faktor dalam kategori prioritas I
Selesai
Gambar 2. Metodologi Penelitian
5. DATA DAN ANALISIS DATA Data diperoleh melalui survey ke beberapa kota di Indonesia yang difokuskan pada nilai konstruksi yang diselesaikan relatif tinggi (nilai pekerjaan yang telah diselesaikan oleh pihak pemborong menurut realisasi proyek yang telah diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan nilai kontrak antara pemilik dengan kontraktor) yaitu di Pulau Jawa dan Sumatera. Namun demikian, dalam penelitian ini menambahkan responden yang ada di Pulau Bali dengan pertimbangan adanya kecenderungan peningkatan proyek yang menerapkan konsep green. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepala proyek dan bagian riset/pengembangan dalam perusahaan kontraktor yang termasuk dalam kualifikasi menengah dan besar (grade 5, 6 dan 7), dengan pertimbangan: (1) kemampuan manajemen perusahaan, (2) kesiapan teknologi dalam menerapkan green construction, (3) tanggap terhadap hal-hal baru (green construction). Jumlah kontributor responden adalah 71 responden yang berasal dari 11 kota di Indonesia. Data di Pulau Jawa terwakili oleh Surabaya, Semarang, Magelang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 175
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Keterwakilan data di Pulau Sumatera ditunjukan oleh responden yang berdomisili di Medan, Pekanbaru, Riau. Untuk Pulau Bali diwakili oleh responden yang berdomisili di Denpasar, sedangkan satu responden berasal dari Tarakan Kalimantan (gambar 3-8). Komposisi Responden Berdasarkan Domisili Perusahaan (dalam %) Tarakan Denpasar Surabaya Semarang Magelang Yogyakarta Bandung Jakarta Pekan Baru Riau Medan
1.41 9.86 18.31
9.86 2.82 5.63 4.23
29.58 1.41 2.82 14.08 -
10
20
30
40
Gambar 3. Domisili Responden Kualifikasi Kontraktor (dalam %)
Besar-Grade 7 Besar-Grade 6 Menengah-…
Kepemilikan Perusahaan 62.12
BUMN
5
13.64 Swasta
24.24
Gambar 4. Kualifikasi Kontraktor
41
Gambar 5. Kepemilikan Perusahaan
Jabatan Responden (dalam %) Riset dan Pengembangan Engineer Kepala Proyek
11.27 4.23
84.51 -
20
40
60
80
100
Gambar 6. Jabatan Responden
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 176
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Pengalaman Kerja Responden (dalam %) > 20 tahun
14.08
15 - < 20 tahun
21.13
10 - < 15 tahun
18.31
5 - < 10 tahun
25.35
0 - < 5 tahun
21.13
Gambar 7. Pengalaman Kerja Responden Pengalaman Melaksanakan Proyek Green (dalam %) Tidak Pernah
49.30
Pernah
50.70 49
49
50
50
51
51
Gambar 8. Pegalaman Melaksanakan Proyek Green
Pengelompokan Indikator Green Construction Berdasarkan Prioritas
Pemilihan indikator green construction yang akan digunakan dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: kelompok prioritas pertama dan kelompok prioritas kedua. Indikator yang masuk dalam kelompok prioritas pertama jika indikator tersebut penting dan operasional, penting dan sangat operasional, sangat penting dan operasional, sangat penting dan sangat operasional. Sedangkan yang kedua jika indikator tersebut sangat penting dan cukup operasional, penting dan cukup operasional, cukup penting dan cukup operasional, cukup penting dan operasional, cukup penting dan sangat operasional. Hasil pengelompokan data dapat dilihat dalam gambar 9.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 177
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Jumlah Indikator Green Construction 5
Manajemen Lingkungan Proyek
10
Konservasi Energi
9 2 2
Tepat Guna Lahan Konservasi Air
7
3
Kualitas Udara Tahap Konstruksi
1
Pengurangan Jejak Ekologis Tahap Konstruksi
1
Pelatihan Bagi Subkontraktor
1
5 5 3 3
Dokumentasi Pemilihan dan Operasional Peralatan Konstruksi
2 1
Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
5
3
2
Kesehatan Lingkungan Kerja Tahap Konstruksi
5
Penyimpanan dan Perlindungan Material
2
5
Perencanaan dan Perlindungan Lokasi Pekerjaan
7
3
9 4
Sumber dan Siklus Material
Prioritas II
12
3
Manajemen Limbah Konstruksi
Perencanaan dan Penjadwalan Proyek Konstruksi
11
0
6 5
Prioritas I
Gambar 9. Indikator Green Construction
Pengelompokan Indikator Green Construction dalam Perilaku, Minimum Waste dan Maksimum Value.
Indikator green construction yang telah dikelompokan berdasarkan prioritas I dan prioritas II dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (a) Kategori pertama adalah indikator yang termasuk dalam perilaku (behaviour), yang didefinisikan sebagai tanggapan/reaksi individu terhadap rangsangan/lingkungan. (b) Kategori kedua adalah indikator yang termasuk dalam minimum waste, yang didefinisikan sebagai aktivitas
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 178
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya limbah sehingga beban di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat berkurang serta mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana sehingga mempermudah untuk proses daur ulang. (c) Kategori ketiga adalah indikator yang termasuk dalam kategori maksimum value, yang didefinisikan sebagai aktivitas yang bertujuan untuk mencapai nilai tertentu. Pengertian “nilai” adalah hal-hal yg penting atau berguna bagi kemanusiaan (KBBI). Isu penting pada saat ini adalah keberlanjutan kehidupan manusia yang memuat isu lingkungan (energi, air, udara, tanah, kesehatan dan keselamatan). Berdasarkan definisi seperti tersebut diatas, maka indikator green construction dalam Prioritas I dapat dikelompokan kedalam tiga kategori, yaitu: perilaku, minimum waste, dan maksimum value dengan persentase berturut-turut 16%, 34,67%, dan 49,33% (gambar 10). Sedangkan indikator green construction dalam Prioritas II dengan persentase berturut-turut 27,69%, 12,31%, dan 60% (Gambar 11). Secara keseluruhan persentase indikator green construction jika dikelompokan dalam tiga kategori adalah sebagai berikut: 21,43% dalam kategori perilaku, 24,29% dalam kategori minimum waste, dan 54,29% dalam kategori maksimum value (Gambar 12).
Persentase Indikator Green Construction Prioritas I Maksimum value
49.33
Minimum waste Perilaku
34.67 16.00
Gambar 10. Pengelompokan Indikator Green Construction Prioritas I Dalam Kategori Perilaku (Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
Persentase Indikator Green Construction Prioritas II Maksimum value Minimum waste Perilaku
60.00 12.31 27.69
Gambar 11. Pengelompokan Indikator Green Construction Prioritas II Dalam Kategori Perilaku (Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 179
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Persentase Indikator Green Construction Maksimum value Minimum waste Perilaku
54.29 24.29 21.43
Gambar 12. Pengelompokan Indikator Green Construction Dalam Kategori Perilaku (Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
6. KESIMPULAN Jumlah indikator green construction yang dihasilkan secara keseluruhan adalah 142 indikator yang terdiri dari 77 indikator Prioritas I dan 65 indikator Prioritas II. Secara rinci indikator Prioritas I terdiri dari 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori minimum waste, dan 49,33% kategori maksimum value. Sedangkan dalam Prioritas II terdiri dari 27,69% kategori Perilaku, 12,31% kategori Minimum Waste, dan 60% kategori Maksimum Value. Komposisi indikator green construction secara keseluruhan terdiri dari 21,43% dalam kategori Perilaku, 24,29% dalam kategori Minimum Waste, dan 54,29% dalam kategori Maksimum Value.
DAFTAR PUSTAKA 1. Conseil International Du Batiment, 1994. 2. Ervianto W.I., 2012, Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit ANDI, Yogyakarta 3. Glavinich, T. E., 2008, Contractor's Guide to Green Building Construction, John Wiley. 4. Green Building Council Indonesia, 2010, GREENSHIP Versi 1.0, Jakarta. 5. Kibert, C., 2008, Sustainable Construction, John Wiley & Sons, Canada. 6. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional 2007, Konstruksi Indonesia 2030 Untuk Kenyamanan Lingkungan Terbangun, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional, Jakarta. 7. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., 2008, Green Construction Assessment Sheet, Jakarta. 8. Plessis D., Chrisna, Edit., 2002: Agenda 21 for Sustainable Construction in Developing Countries’ Pretoria: Capture Press.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 180
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
ANALISA PENETAPAN HARGA JUAL UNIT RUMAH (PADA PERUMAHAN GRAND MERIDIAN, MANADO) Alland Adrian Josep1, Retno Indryani 2 1
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: [email protected]
ABSTRAK Harga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk. Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan menurun, namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh. Makalah ini memaparkan penetapan harga jual unit rumah. Studi kasus yang digunakan adalah unit rumah pada perumahan Grand Meridian Manado. Penetapan harga jual dilakukan dengan metode analisa titik impas yang mempertemukan kurva biaya dan kurva pendapatan. Kurva pendapatan diperoleh dari kurva permintaan berdasarkan survey ke masyarakat. Kurva biaya diperoleh dari perhitungan biaya tetap dan biaya variabel yang dibutuhkan. Berdasarkan analisa tersebut didapat harga jual Rp 466.300.000 untuk tipe 90 dengan jumlah unit optimum 72 unit, Rp 630.600.000 untuk tipe 120 dengan jumlah unit optimum 54 unit, dan Rp 895.130.000 untuk tipe 180 dengan jumlah unit optimum 54 unit. Kata kunci: Analisa Titik Impas, Harga, Kurva Biaya, Kurva Permintaan,
1. PENDAHULUAN Menurut Kotler dan Armstrong (2001)[1] harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaatmanfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut. Harga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk, sehingga sangat menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk. Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan menurun, namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh. Perumahan Grand Meridian yang dikembangkan oleh PT. Jaya Perkasa Propertindo merupakan perumahan baru di kota Manado. Perumahan yang dibangun di wilayah Ring Road Kecamatan Sario ini, memiliki konsep modern dengan wilayah berkontur yang mempunyai pemandangan indah ke segala arah yaitu pantai, kota, dan gunung. Perumahan Grand Meridian menawarkan produk berupa rumah tinggal tipe 90, tipe 120, dan tipe 180. Di sekitar wilayah Kecamatan Sario juga dibangun beberapa perumahan seperti Citraland Manado, Grand Kawanua, dan Tamansari Wika. Beberapa perumahan tersebut akan menjadi kompetitor bagi Grand Meridian dalam hal penjualan rumah. Banyaknya pilihan bagi pembeli dapat menimbulkan persaingan yang ketat antar perumahan. Oleh sebab itu harga jual adalah faktor utama yang wajib diperhatikan pihak pengembang. Harga jual rumah merupakan acuan pertimbangan pemilihan rumah oleh pembeli, disamping berbagai fasilitas yang ditawarkan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan analisa penetapan harga jual rumah pada proyek perumahan Grand Meridian.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 181
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2. METODOLOGI 2.1 Langkah Penelitian Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Latar Belakang Rumusan Masalah
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Data Primer: Kuesioner
Data Sekunder: Biaya tetap Biaya variabel
Menetapkan kurva permintaan
Menetapkan kurva biaya
Analisa Titik Impas dan Analisa Marginalitas (Mc = Mr) Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
2.2 Data Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang akan digunakan, dua jenis data tersebut yaitu: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh melalui sumber-sumber asli, sumber asli disini diartikan sebagai sumber pertama dari mana data tersebut diperoleh. Pada penelitian ini data primer diperoleh melalui survei terhadap masyarakat. 2. Data Sekunder Data sekunder terdiri dari data-data mengenai biaya pembangunan Perumahan Grand Meridian. 2.3 Kurva Biaya Untuk membuat kurva biaya, perlu dilakukan identifikasi biaya-biaya yang diperlukan dalam proyek pembangunan perumahan Grand Meridian, setelah itu dapat dibuat sebuah kurva biaya seperti pada Gambar 2.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 182
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) biaya
TC=FC+VC VC
FC volume
2.4 Kurva Permintaan Kurva permintaan diperoleh dengan survei menggunakan kuesioner, untuk mengetahui seberapa besar permintaan masyarakat terhadap unit rumah di perumahan Grand Meridian. 2.5 Analisa Titik Impas dan Analisa Marginalitas Dalam menetapkan harga, digunakan metode analisa titik impas dan analisa marginalitas, yang menggunakan persamaan MC=MR untuk mencari volume optimum (Q). MR (marginal revenue) adalah perubahan pendapatan untuk perubahan satu unit yang terjual, merupakanGambar turunan2.dari TR.Biaya Sedangkan TR merupakan perkalian P (harga Kurva (Pujawan,2009)[2] jual) x Q. MC (marginal cost) adalah perubahan biaya yang disebabkan perubahan satu unit rumah yang terjual (Gaspersz, 2001)[3].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kurva Biaya Kurva biaya dibentuk dari 2 komponen kurva yaitu kurva biaya tetap dan kurva biaya variabel. Yang termasuk biaya variabel adalah biaya tanah untuk kavling rumah dan biaya konstruksi rumah, sedangkan yang termasuk biaya tetap adalah : 1. Biaya tanah untuk fasilitas umum 2. Biaya perizinan 3. Biaya sertifikasi tanah 4. Biaya konstruksi jalan 5. Biaya konstruksi Daerah Hijau (Taman) 6. Biaya penerangan jalan umum 7. Biaya pemasaran Berdasarkan analisa dan perhitungan, persamaan biaya total per tipe rumah dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan kurva biaya total per tipe rumah dapat dilihat pada Gambar 3 s/d Gambar 5. Tabel 1. Persamaan Biaya Total Variabel
Biaya Variabel
Biaya Tetap
Persamaan
Unit
(Rp)
(Rp)
Biaya Total
90
Q1
332759272
9348125278,29
9348125278,29 + 332759272 Q1
120
Q2
440237456
7350662611,99
7350662611,99 + 440237456 Q2
180
Q3
569689912
2996193999,45
2996193999,45 + 569689912 Q3
Tipe
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 183
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Kurva Biaya Total Tipe 90 Biaya (Rp)
80,000,000,000.00 Kurva Biaya Variabel Tipe 90
60,000,000,000.00 40,000,000,000.00
Kurva Biaya Tetap Tipe 90
20,000,000,000.00 0.00 0
50
100
150
200
Jumlah Unit Rumah (Q1)
Kurva Biaya Total Tipe 90
Kurva Biaya Total Tipe 120 Biaya (Rp)
60,000,000,000.00 Kurva Biaya Variabel Tipe 120
40,000,000,000.00 20,000,000,000.00
Kurva Biaya Tetap Tipe 120
0.00 0
20
40
60
80
100
Jumlah Unit Rumah (Q2)
Kurva Biaya Total Tipe 120
Gambar 3. Kurva Biaya Total Tipe 90
Kurva Biaya Total Tipe 180 Biaya (Rp)
20,000,000,000.00 Kurva Biaya Variabel Tipe 180
15,000,000,000.00 10,000,000,000.00
Kurva Biaya Tetap Tipe 180
5,000,000,000.00 0.00 0
10
20
Jumlah Unit (Q3)
30
Kurva Biaya Total Tipe 180
Gambar 4. Kurva Biaya Total Tipe 120 3.2 Kurva Permintaan Untuk mengetahui kesediaan para responden dalam membeli rumah pada proyek perumahan Grand Meridian dalam tingkatan harga tertentu, maka dilakukan survei. Hasil survei dapat dilihat pada Tabel 2 s/d Tabel 4.
Gambar 5. Kurva Biaya Total Tipe 180 ISBN 978-979-99327-8-5
I - 184
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 2 Hasil Kuesioner Tipe 90
Tabel 3 Hasil Kuesioner Tipe 120
Tabel 4 Hasil Kuesioner Tipe 180
Agar dapat dijadikan kurva permintaan yang menggambarkan hubungan harga yang ditetapkan pada berbagai tingkatan dan tingkat permintaan, hasil survei perlu diolah kembali. Pengolahan data hasil survei dilakukan dengan cara pembobotan. Pembobotan dilakukan untuk mendapatkan jumlah permintaan menurut tingkat harga. Pembobotan merupakan proses perkalian antara jumlah kesediaan responden pada masing-masing tingkat permintaan dengan nilai probabilitasnya. Nilai probabilitas untuk masing tingkat permintaan yaitu : Pasti membeli (1), Ingin membeli (0,75), Mungkin membeli (0,5), Tidak ingin membeli (0,25), Pasti tidak membeli (0). Berdasarkan perhitungan, maka jumlah permintaan per tipe rumah dapat dilihat pada Tabel 5 s/d Tabel 7. Tabel 5 Jumlah Permintaan Tipe 90
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 185
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 6 Jumlah Permintaan Tipe 120
Tabel 7 Jumlah Permintaan Tipe 180
Hubungan antara tingkat harga dan jumlah permintaan menghasilkan kurva seperti Gambar 6 s/d Gambar 8
Kurva Permintaan Rumah Tipe 90 600000000 Kurva Permintaan Rumah Tipe 90
580000000 560000000 540000000y = -1,869,951.72x + 600,935,066.11 R² = 0.99 520000000 0 10 20 30
Linear (Kurva Permintaan Rumah Tipe 90) 40
Kurva Permintaan Rumah Tipe 120 Biaya (Rp)
800000000 780000000
Kurva Permintaan Rumah Tipe 120
760000000 740000000 720000000
y = -3,556,634.30x + 822,656,957.93 R² = 1.00
Linear (Kurva Permintaan Rumah Tipe90 120) 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 Gambar 6. Kurva Permintaan Rumah Tipe
700000000
Jumlah Unit Rumah
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 186
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Biaya (Rp)
Kurva Permintaan Rumah Tipe 180 1200000000 1150000000 1100000000 1050000000
y = -6,118,251.93x + 1,225,514,138.82 R² = 0.99 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 Jumlah Unit Rumah
Kurva Permintaan Rumah Tipe 180 Linear (Kurva Permintaan Rumah Tipe 180)
Dari kurva permintaan dapat diperoleh persamaan harga jual dari setiap rumah yang ada pada proyek perumahan Grand Meridian, yaitu: 1. Tipe 90: P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11 2. Tipe 120: P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93 3. Tipe 180: P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82 3.3 Penetapan Harga Dalam menetapkan harga, penelitian ini menggunakan metode analisa titik impas, yang mempertemukan antara kurva permintaan dan kurva biaya. Persamaan MR=MC digunakan untuk mencari volume atau Q untuk mendapatkan keuntungan maksimum. (Gaspersz,2001)[3}. MR atau Marginal Revenue adalah perubahan pendapatan untuk perubahan satu unit Gambar 8. Kurva Rumah TipeRevenue 180 yang terjual, merupakan turunan dari Permintaan TR. TR atau Total adalah total pendapatan yang diperoleh dari hasil perkalian antara harga jual dan volume. MC atau Marginal Cost adalah perubahan biaya yang disebabkan oleh perubahan satu unit rumah yang terjual, merupakan turunan dari TC. TC atau Total Cost adalah biaya total yang dibutuhkan untuk membuat seluruh unit rumah. 1. Penetapan Harga Tipe 90 Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual untuk tipe 90 adalah: P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11 Dimana P adalah Harga Jual, dan Q1 adalah jumlah unit terjual untuk rumah tipe 90. Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut: TR = P x Q1 = (-1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11) x Q1 = -1.869.951,72Q12 + 600.935.066,11Q1 Keuntungan maksimum tercapai apabila: MR = MC MR adalah turunan dari persamaan pendapatan total (TR) terhadap jumlah unit terjual, sehingga MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: MR = TR/ Q1 MR = -3.739.903,44Q1 + 600.935.066,11 MC adalah turunan dari persamaan biaya total (TC) terhadap jumlah unit terjual, sehingga MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: ISBN 978-979-99327-8-5
I - 187
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
MC
= TC/ Q1
Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4 adalah: TC = 9.348.125.278,29 + 332.759.272Q1 Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut: MC = TC/ Q1 MC = 332.759.272 Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah: MR = MC -3.739.903,44Q1 + 600.935.066,11 = 332.759.272 Q1 = 72 unit Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat dihitung harga jual sebagai berikut: P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11 P = -1.869.951,72 (72) + 600.935.066,11 P = Rp 466.298.542,27 Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 90 berdasarkan analisa titik impas untuk mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 466.298.542,27 (dibulatkan Rp 466.300.000) per unit dengan Q optimum 72 unit. 2. Penetapan Harga Tipe 120 Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual untuk tipe 120 adalah: P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93 Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut: TR = P x Q2 = (-3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93) x Q2 = -3.556.634,30Q22 + 822.656.957,93Q2 MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: MR = TR/ Q2 MR = -7.113.268,6Q2 + 822.656.957,93 MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: MC = TC/ Q2 Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4 adalah: TC = 7.350.662.611,99 + 440.237.456Q2 Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut: MC = TC/ Q2 MC = 440.237.456 Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah: MR = MC -7.113.268,6Q2 + 822.656.957,93 = 440.237.456
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 188
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Q2 = 54 unit Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat dihitung harga jual sebagai berikut: P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93 P = -3.556.634,30 (54) + 822.656.957,93 P = Rp 630.598.705,73 Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 120 berdasarkan analisa titik impas untuk mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 630.598.705,73 (dibulatkan Rp 630.600.000) per unit dengan Q optimum 54 unit. 3. Penetapan Harga Tipe 180 Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual untuk tipe 180 adalah: P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82 Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut: TR = P x Q3 = (-6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82) x Q3 = -6.118.251,93Q32 + 1.225.514.138,82Q3 MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: MR = TR/ Q3 MR = -12.236.503,86Q3 + 1.225.514.138,82 MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut: MC = TC/ Q3 Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4 adalah: TC = 2.996.193.999,45 + 569.689.912Q3 Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut: MC = TC/ Q3 MC = 569.689.912 Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah: MR = MC -12.236.503,86Q3 + 1.225.514.138,82 = 569.689.912 Q3 = 54 unit Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat dihitung harga jual sebagai berikut: P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82 P = -6.118.251,93 (54) + 1.225.514.138,82 P = Rp 895.128.534,60 Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 180 berdasarkan analisa titik impas untuk mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 895.128.534,60 (dibulatkan Rp 895.130.000) per unit dengan Q optimum 54 unit.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 189
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dapat disimpulkan bahwa harga jual unit rumah yang sesuai dengan analisa biaya dan analisa permintaan pasar yaitu : 1. Harga Jual Tipe 90 adalah Rp 466.300.000 untuk jumlah unit optimum 72 unit. 2. Harga Jual Tipe 120 adalah Rp 630.600.000 untuk jumlah unit optimum 54 unit. 3. Harga Jual Tipe 180 adalah Rp 895.130.000 untuk jumlah unit optimum 54 unit.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.
Kotler, P. & Armstrong, G. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Pujawan, I Nyoman. 2009. Ekonomi Teknik. Surabaya: Guna Widya. Gaspersz, V. 2001. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Josep, Alland Adrian. 2013. Analisa Penetapan Harga Jual Unit Rumah Pada Proyek Perumahan Grand Meridian, Manado. Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 190
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
KAJIAN KELAYAKAN FINANSIAL INVESTASI GEDUNG PARKIR BERTINGKAT PADA PUSAT PERBELANJAAN DI KOTA MALANG Ripkianto1, Tiong Iskandar2 Hamim Mufijar3 1
Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp: 0341-561431 ex.230, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp: 0341-561431 ex.230 3 Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp: 0341-561431 ex.230, email: [email protected]
ABSTRAK Kota Malang memiliki beberapa pusat perbelanjaan yang mengalami masalah parkir dan kemacetan, salah satunya adalah Mall Olympic Garden (MOG). Banyaknya aktivitas kegiatan masyarakat yang berpusat di kawasan MOG mengakibatkan banyaknya kendaraan parkir pada badan jalan dan menimbulkan kemacetan, sehingga diperlukan areal parkir tambahan. Perlu dilakukan kajian/ analisa ulang terhadap kelayakan areal parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan tersebut ditinjau dari segi kapasitas ruang parkir kendaraan. Pemerintah Kota Malang melalui dinas terkait dapat membuat kebijakan untuk menghilangkan areal parkir di badan jalan dan merencanakan gedung parkir bertingkat di belakang pusat perbelanjaan tersebut guna mengatasi masalah kemacetan yang terjadi. Data primer dalam penelitian ini berupa data volume kendaraan parkir yang diperoleh melalui survey di lokasi penelitian. Data sekunder berupa data kapasitas parkir, tarif parkir, penelitian terdahulu, peraturan daerah tentang pengelolaan parkir dan daftar harga satuan pekerjaan konstruksi. Alternatif gedung parkir bertingkat yang direncanakan terdiri dari dua alternatif, yaitu konstruksi beton bertulang dan baja profil WF. Metode yang digunakan dalam analisa kelayakan finansial ini adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Break Event Point (BEP). Dari hasil analisa menunjukkan bahwa kebutuhan parkir di MOG sangat tinggi dan melebihi kapasitas parkir yang ada dengan pertumbuhan kendaraan parkir 2,4 % per tahun, untuk itu perlu direncanakan gedung parkir bertingkat sebagai areal parkir tambahan. Dari perhitungan NPV didapat nilai NPV = Rp.3.261.862.492,38 untuk gedung alternatif A (beton bertulang) dan nilai NPV = Rp.130.870.974,89 untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Keduanya bernilai positif, maka pembangunan gedung parkir layak untuk dilaksanakan. Dari perhitungan IRR didapat nilai IRR = 20,607% untuk gedung alternatif A dan IRR = 12,268% untuk gedung alternatif B. Nilai IRR kedua alternatif gedung parkir tersebut bernilai > 12% (tingkat suku bunga), maka pembangunan gedung parkir bertingkat layak untuk dilaksanakan. Dari analisa BEP diperoleh waktu pencapaian BEP gedung alternatif A pada tahun ke-6,5 (6 tahun 6 bulan) dan gedung parkir B pada tahun ke-9,83 (9 tahun 10 bulan). Kata kunci : kelayakan finansial, gedung parkir, pusat perbelanjaan
1. LATAR BELAKANG Masalah parkir dan kemacetan saat ini merupakan masalah yang biasa terjadi di Kota Malang, terutama di pusat-pusat perbelanjaan. Titik kemacetan sering terjadi pada jalan di sekitar Mall Olympic Garden (MOG). Areal parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan tersebut tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang parkir, terutama pada saat jam-jam sibuk. Akibatnya, badan jalan di sekitar Mall Olympic Garden dijadikan areal parkir tambahan, sehingga sering terjadi kemacetan. Dengan kondisi pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Malang yang cukup tinggi, maka perlu dilakukan kajian/ analisa ulang terhadap kelayakan areal parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan tersebut ditinjau dari segi kapasitas ruang parkir ISBN 978-979-99327-8-5
I - 191
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
kendaraan. Perencanaan gedung parkir bertingkat tersebut harus memperhitungkan jumlah kebutuhan untuk kendaraan yang parkir di sekitar pusat perbelanjaan di masa sekarang dan prediksi di masa yang akan datang. Dengan demikian Pemerintah Kota Malang melalui dinas terkait dapat membuat kebijakan untuk menghilangkan areal parkir di badan jalan sekitar pusat perbelanjaan dan merencanakan gedung parkir bertingkat di belakang pusat perbelanjaan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kebutuhan masyarakat akan areal parkir di Mall Olympic Garden (MOG) jika ditinjau dari segi kapasitas ruang parkir kendaraan dan mengetahui layak atau tidaknya pembangunan gedung parkir bertingkat untuk dilaksanakan di Mall Olympic Garden (MOG).
2. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Analisa Kelayakan Rencana Investasi Investasi berasal dari kata investment yang mempunyai arti menanamkan uang atau modal dalam bidang industri atau bidang lainnya. Pada dasarnya investasi merupakan usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik proyek baru ataupun perluasan proyek yang telah ada. Analisa kelayakan rencana investasi pada suatu proyek dilakukan dalam 2 tahap yaitu evaluasi pendahuluan dan studi kelayakan proyek. Evaluasi pendahuluan bertujuan untuk mengetahui apakah ada faktor yang dapat menghambat jalannya pembangunan suatu proyek yang kemungkinan besar tidak dapat diatasi, sedangkan studi kelayakan bertujuan untuk menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang disajikan pada akhir studi yang merupakan dasar pertimbangan (secara komersial, teknis, ekonomis dan sosial) untuk memutuskan apakah investasi itu menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan. B. Konsep Dasar Ekonomi Teknik a. Pengertian Ekonomi Teknik Ekonomi teknik adalah suatu subyek yang mempunyai inti suatu pengambilan keputusan yang didasarkan pada perbandingan ekuivalensi nilai-nilai uang dari beberapa alternatif rangkaian kegiatan sehubungan dengan keperluan pembiayaan. b. Metode Net Present Value (NPV) Net Present Value atau nilai bersih sekarang adalah nilai yang menunjukkan ekuivalensinya pada saat ini, yaitu semua uang yang akan diterima ataupun yang akan dikeluarkan selama umur ekonomis dihitung dalam nilai yang sama. Net Present Value (NPV) dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (present value) dari selisih antara hasil proyek dengan modal yang ditanam pada discount rate tertentu. NPV menunjukkan kelebihan manfaat dibanding biaya. c. Metode Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) atau laju pengembalian investasi internal adalah suatu parameter yang digunakan sebagai tolok ukur suatu investasi untuk menentukan kelayakan dari segi ekonomi. Internal Rate of Return merupakan nilai suku bunga yang diperoleh jika BCR sama dengan 1 (BCR = 1), atau suku bunga jika NPV bernilai sama dengan nol (NPV = 0). IRR dihitung atas dasar penerimaan kas bersih dan total nilai pinjaman untuk keperluan investasi. Nilai IRR sangat penting diketahui sejauh mana kemampuan proyek ini dapat dibiayai dengan melihat suku bunga pinjaman yang berlaku.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 192
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
d. Metode Break Event Point (BEP) Break Event Point (BEP) atau analisa titik impas adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai titik impas dimana besarnya biaya yang dikeluarkan sama dengan besarnya penerimaan yang diperoleh. C. Konsep Dasar Gedung Parkir a. Pengertian Parkir Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu, misalnya untuk kegiatan belanja, bekerja, sekolah dan kegiatan-kegiatan lainnya. b. Penempatan Fasilitas Parkir Kegiatan parkir dapat dilakukan pada badan jalan dan di area parkir khusus di luar badan jalan. Fasilitas parkir pada badan jalan (on-street parking) adalah fasilitas parkir yang menggunakan tepi jalan. Fasilitas parkir di luar badan jalan (off-street parking) adalah fasilitas parkir kendaraan di luar tepi jalan umum yang dibuat khusus atau penunjang kegiatan yang dapat berupa tempat parkir dan/ gedung parkir. c. Pengertian Gedung Parkir Menurut Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Tempat Parkir, gedung parkir adalah fasilitas parkir off-street dengan tipe lahan parkir yang tertutup berupa bangunan, dapat berupa basement atau bertingkat yang mana tiap lantainya dibuat sedemikian rupa agar dapat dipergunakan untuk parkir kendaraan. d. Rancangan Gedung Parkir 1. Kebutuhan Lahan Parkir, sangat dipengaruhi oleh jenis-jenis kegiatan yang ada pada suatu pusat kegiatan. Semakin banyak orang dan kegiatan yang dilakukan, semakin banyak juga lahan parkir yang diperlukan. 2. Sistem Perpindahan Antar Lantai, [1] Secara mekanis, dengan menggunakan lift atau elevator. Sistem ini hanya efektif digunakan bila keterbatasan ruang adalah tinggi dan lamanya parkir adalah cukup panjang. [2] Dengan menggunakan ramp atau lantai dengan kemiringan (sloping floor), dapat berupa jalur belokan memutar yang mendaki (helical ramp) atau jalur lurus yang mendaki (straight ramp). Tinggi minimal ruang bebas pada lantai gedung parkir adalah 2,50 meter. 3. Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP), yang dimaksud satuan ruang parkir adalah tempat parkir untuk satu kendaraan. Penentuan atas satuan ruang parkir didasarkan pada dimensi kendaraan standar, lebar bukaan pintu kendaraan dan ruang bebas kendaraan parkir. 4. Penentuan Gang Parkir (Driveway), yang dimaksud dengan gang parkir adalah jalan yang menghubungkan antara ruang parkir dan ramp, selain itu gang parkir mempunyai fungsi untuk sirkulasi kendaraan dalam bangunan parkir.
3. METODE PENELITIAN Garis besar prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer berupa data volume kendaraan parkir yang diperoleh melalui survey di lokasi penelitian.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 193
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Data sekunder berupa data kapasitas parkir, tarif parkir, penelitian terdahulu, peraturan daerah tentang pengelolaan parkir dan daftar harga satuan pekerjaan konstruksi. Dari data tersebut kemudian dilakukan analisa meliputi estimasi kebutuhan parkir, perencanaan gedung parkir, penghitungan biaya dan evaluasi kelayakan rencana investasi.
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Estimasi Kebutuhan Parkir a. Kebutuhan Parkir Saat Ini Survey kendaraan parkir dilakukan pada satu hari kerja dan satu hari libur sesuai dengan jam operasi pusat perbelanjaan yaitu mulai pukul 10.00-22.00 WIB pada areal parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan dan areal parkir pada badan jalan di sekitar pusat perbelanjaan. Kebutuhan parkir dihitung dengan cara menjumlahkan kendaraan parkir maksimum pada saat jam puncak di areal parkir pusat perbelanjaan dan pada badan jalan. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan parkir mobil saat ini = 627 + 182 = 809 Satuan Ruang Parkir (SRP). 2. Kebutuhan parkir sepeda motor saat ini = 358 + 143 = 501 SRP. b. Prediksi Kebutuhan Parkir Selama 10 Tahun Pertumbuhan kendaraan parkir di areal parkir MOG bulan dalam 6 bulan terakhir (Januari-Juni 2012) mencapai 1,2 % (Building Management MOG : 2012). Dari data tersebut diasumsikan bahwa terdapat penambahan jumlah kendaraan parkir sebesar 2,4
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 194
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
% per tahun atau 24 % per 10 tahun (sesuai umur rencana gedung parkir) dari kebutuhan parkir saat ini. Kebutuhan parkir selama 10 tahun diperoleh dengan mengalikan kebutuhan parkir saat ini dengan 124 %. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan parkir mobil selama 10 tahun = 809 x 124 % = 1003,16 ≈ 1004 SRP. 2. Kebutuhan parkir sepeda motor selama 10 tahun = 501 x 124 % = 621,24 ≈ 622 SRP. B. Perencanaan Gedung Parkir a. Perencanaan Kapasitas Gedung Parkir Gedung parkir akan dibangun pada areal parkir mobil yang terletak di belakang Mall Olympic Garden dengan luas efektif 40 m x 75 m dengan umur rencana 10 tahun. Pembangunan gedung parkir ini akan menghilangkan 162 areal parkir mobil di lokasi rencana pembangunan gedung parkir tersebut. Untuk kebutuhan parkir sepeda motor, Mall Olympic Garden saat ini telah memiliki kapasitas parkir sebanyak 770 SRP, sedangkan kebutuhan parkir sepeda motor selama 10 tahun adalah 622 SRP, dengan demikian kapasitas parkir sepeda motor sudah mencukupi dan tidak perlu dilakukan penambahan areal parkir sepeda motor. Untuk kebutuhan parkir mobil, Mall Olympic Garden saat ini telah memiliki kapasitas parkir mobil sebanyak 630 SRP, namun 162 areal parkir di belakang pusat perbelanjaan dihilangkan untuk pembangunan gedung parkir, maka kapasitas parkir yang ada sebanyak 630 – 162 = 468 SRP. Kebutuhan parkir mobil selama 10 tahun adalah 1004 SRP, dengan demikian kapasitas parkir mobil tidak mencukupi dan perlu melakukan penambahan areal parkir mobil sebanyak 1004 – 468 = 536 SRP. b. Perencanaan Desain Gedung Parkir Direncanakan gedung parkir 6 lantai dengan panjang 72 m dan lebar 33 m (luas gedung parkir per lantai = 2376 m2). Lantai 1 memiliki kapasitas parkir sebesar 86 SRP, sedangkan lantai 2 sampai dengan lantai 6 masing-masing lantai memiliki kapasitas parkir sebesar 90 SRP. Gedung parkir keseluruhan memiliki kapasitas total sebesar 536 SRP. Berdasarkan tata letaknya, gedung parkir rencana merupakan gedung parkir dengan jenis lantai terpisah, artinya tiap lantainya memiliki 2 bagian yang memiliki beda tinggi 1,7 m. Sistem perpindahan antar lantai menggunakan straight ramp dengan lebar 4 m dan panjang 10 m dengan kemiringan 9,65º. Besarnya 1 ruang parkir adalah 2,6 m x 5,0 m dengan gang parkir selebar 6,5 m. Kendaraan direncanakan parkir dengan sudut 90º terhadap gang parkir. Karena mempunyai kapasitas parkir yang besar, maka dibuat 1 buah pos karcis masuk dan 1 buah pos karcis keluar. Berdasarkan jenis konstruksinya, direncanakan dua buah alternatif gedung parkir yaitu konstruksi beton bertulang (alternatif A) dan baja profil WF (alternatif B). Pondasi yang digunakan untuk kedua alternatif tersebut adalah pondasi bored pile. Perhitungan analisa struktur gedung parkir menggunakan program bantu STAAD Pro V8i.
C. Perhitungan Estimasi Biaya Gedung Parkir a. Biaya Pendahuluan Biaya pendahuluan terdiri dari biaya mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan biaya studi, perencanaan (DED) dan pengawasan gedung parkir. Hasil perhitungan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 195
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
biaya pendahuluan untuk gedung parkir alternatif A (beton bertulang) adalah sebesar Rp.318.496.000,00 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) adalah sebesar Rp.422.586.000,00. b. Biaya Investasi Tetap 1. Biaya Konstruksi Dari hasil perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan gedung parkir alternatif A (beton bertulang) diperoleh biaya konstruksi sebesar Rp.6.656.000.000,00 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) sebesar Rp.9.630.000.000,00. 2. Biaya Investasi Alat Penunjang Biaya investasi alat penunjang terdiri dari pos jaga karcis, komputer + printer, alat bantu parkir, penerangan gedung parkir dan sistem pencegah kebakaran. Dari hasil perhitungan biaya investasi alat penunjang diperoleh biaya investasi alat penunjang sebesar Rp.95.000.000,00. 3. Biaya Operasional dan Perawatan Total biaya operasional adalah sebesar Rp.479.040.000,00 per tahun dan akan bertambah sebesar 10 % dari biaya operasional tersebut seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang parkir dan kenaikan upah minimum pegawai parkir per tahun. Biaya perawatan rutin per tahun yang terdiri dari perawatan alat-alat penerangan dan pemadam kebakaran sebesar Rp.9.500.000,00 per tahun. Biaya perawatan berkala setiap 5 tahun untuk perbaikan struktur adalah sebesar Rp.133.120.000,00 per 5 tahun untuk konstruksi beton bertulang dan sebesar Rp.192.600.000,00 per 5 tahun untuk konstruksi baja profil WF. Dari perhitungan biaya pendahuluan, biaya investasi tetap dan biaya operasional dan perawatan diperoleh rekapitulasi biaya gedung parkir alternatif A (beton bertulang) sebesar Rp.16.388.952.356,03 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) sebesar Rp.19.586.002.356,03. Hasil perhitungan rekapitulasi biaya gedung parkir tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 : Rekapitulasi Biaya Gedung Parkir per Tahun NO. TAHUN
TAHUN TINJAUAN
1
2012
0
2 3 4 5
2013 2014 2015 2016
1 2 3 4
6
2017
5
7 8 9 10
2018 2019 2020 2021
6 7 8 9
11
2022
10
GEDUNG PARKIR ALTERNATIF A (BETON BERTULANG) BIAYA PENDAHULUAN Rp318.496.000,00 BIAYA KONSTRUKSI Rp6.656.000.000,00 BIAYA INVESTASI ALAT PENUNJANG Rp95.000.000,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp488.540.000,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp537.394.000,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp591.133.400,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp650.246.740,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp715.271.414,00 BIAYA PERAWATAN BERKALA UNTUK STRUKTUR Rp133.120.000,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp786.798.555,40 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp865.478.410,94 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp952.026.252,03 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.047.228.877,24 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.151.951.764,96 BIAYA PERAWATAN BERKALA UNTUK STRUKTUR Rp133.120.000,00 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.267.146.941,46 JUMLAH BIAYA Rp16.388.952.356,03 URAIAN BIAYA
GEDUNG PARKIR ALTERNATIF B (BAJA PROFIL WF) Rp422.586.000,00 Rp9.630.000.000,00 Rp95.000.000,00 Rp488.540.000,00 Rp537.394.000,00 Rp591.133.400,00 Rp650.246.740,00 Rp715.271.414,00 Rp192.600.000,00 Rp786.798.555,40 Rp865.478.410,94 Rp952.026.252,03 Rp1.047.228.877,24 Rp1.151.951.764,96 Rp192.600.000,00 Rp1.267.146.941,46 Rp19.586.002.356,03
D. Pendapatan Gedung Parkir Pendapatan gedung parkir diperoleh dari tarif parkir yang dikenakan kepada pengguna jasa parkir dikurangi dengan pajak pendapatan parkir sebesar 25 % yang dibayarkan kepada Pemerintah Kota Malang. Tarif parkir saat ini sebesar Rp.3.500,00 ISBN 978-979-99327-8-5
I - 196
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dan akan mengalami kenaikan tarif sebesar Rp.500,00 per 2 tahun, sedangkan pertumbuhan kendaraan sebesar 2,4 % per tahun. Hasil perhitungan estimasi pendapatan gedung parkir selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 : Estimasi Pendapatan Gedung Parkir No.
Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Prediksi Jumlah Jumlah Hari per Kendaraan Per Hari Tahun Rp3.500,00 2057 Rp3.500,00 2106,37 365 Rp3.500,00 2156,92 365 Rp4.000,00 2208,69 365 Rp4.000,00 2261,70 365 Rp4.500,00 2315,98 365 Rp4.500,00 2371,56 365 Rp5.000,00 2428,48 365 Rp5.000,00 2486,76 365 Rp5.500,00 2546,44 365 Rp5.500,00 2607,56 365 JUMLAH PENDAPATAN SELAMA UMUR RENCANA
Tarif Parkir
Pendapatan Parkir Sebelum Pajak
Pendapatan Parkir Setelah Pajak
Rp2.690.885.120,00 Rp2.018.163.840,00 Rp2.755.466.362,88 Rp2.066.599.772,16 Rp3.224.682.920,67 Rp2.418.512.190,50 Rp3.302.075.310,77 Rp2.476.556.483,08 Rp3.803.990.758,01 Rp2.852.993.068,50 Rp3.895.286.536,20 Rp2.921.464.902,15 Rp4.431.970.458,96 Rp3.323.977.844,22 Rp4.538.337.749,98 Rp3.403.753.312,48 Rp5.111.983.641,58 Rp3.833.987.731,18 Rp5.234.671.248,97 Rp3.926.003.436,73 Rp38.989.350.108,02 Rp29.242.012.581,02
Keterangan :
E. Tarif Evaluasi Kelayakan Rencana Investasi Saat Ini Rp3.500,00 a. Kenaikan Metode Present Value (NPV) TarifNetRp500,00 per 2tahun Pertumbuhan Dari hasil perhitungan analisa 2,40% per tahunkelayakan dengan menggunakan metode NPV untuk Kendaraan gedung parkir alternatif A (beton bertulang) mendapatkan nilai NPV sebesar Pajak Rp.3.261.862.492,38 parkir alternatif B (baja profil WF) mendapatkan nilai Pendapatan 25,00%dan gedung per tahun NPV sebesar Rp.130.870.974,89. Hasil perhitungan analisa kelayakan dengan metode Parkir NPV untuk masing-masing alternatif gedung parkir dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Nilai NPV dari kedua alternatif gedung parkir tersebut bernilai positif, maka keduanya dinyatakan layak untuk dilaksanakan. Gedung parkir dengan alternatif A (beton bertulang) memiliki nilai NPV yang lebih besar daripada gedung parkir alternatif B (baja profil WF), dengan demikian investasi gedung parkir menggunakan konstruksi beton bertulang memiliki keuntungan investasi yang lebih besar daripada menggunakan jenis konstruksi baja profil WF. Tabel 3 : Net Present Value Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang) TAHUN n 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DISC RATE P/F FACT (%) 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
KEUNTUNGAN (BENEFIT) Rp2.018.163.840,00 Rp2.066.599.772,16 Rp2.418.512.190,50 Rp2.476.556.483,08 Rp2.852.993.068,50 Rp2.921.464.902,15 Rp3.323.977.844,22 Rp3.403.753.312,48 Rp3.833.987.731,18 Rp3.926.003.436,73
PRESENT WORTH BENEFIT Rp1.801.932.000,00 Rp1.647.480.685,71 Rp1.721.449.206,30 Rp1.573.896.417,19 Rp1.618.864.886,25 Rp1.480.105.038,86 Rp1.503.598.769,63 Rp1.374.718.875,09 Rp1.382.574.411,52 Rp1.264.068.033,39
TOTAL Rp29.242.012.581,02 Rp15.368.688.323,94
BIAYA INVESTASI (COST) Rp7.558.036.000,00 Rp537.394.000,00 Rp591.133.400,00 Rp650.246.740,00 Rp715.271.414,00 Rp919.918.555,40 Rp865.478.410,94 Rp952.026.252,03 Rp1.047.228.877,24 Rp1.151.951.764,96 Rp1.400.266.941,46
PRESENT WORTH COST Rp7.558.036.000,00 Rp479.816.071,43 Rp471.247.927,30 Rp462.832.785,74 Rp454.567.914,56 Rp521.986.493,41 Rp438.478.297,69 Rp430.648.328,09 Rp422.958.179,37 Rp415.405.354,74 Rp450.848.479,23
Rp16.388.952.356,03 Rp12.106.825.831,55
NPV (A) = PRESENT WORTH BENEFIT — PRESENT WORTH COST = Rp3.261.862.492,38
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 197
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 4 : Net Present Value Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF) DISC RATE P/F FACT (%)
Tahun
n
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
KEUNTUNGAN (BENEFIT) Rp2.018.163.840,00 Rp2.066.599.772,16 Rp2.418.512.190,50 Rp2.476.556.483,08 Rp2.852.993.068,50 Rp2.921.464.902,15 Rp3.323.977.844,22 Rp3.403.753.312,48 Rp3.833.987.731,18 Rp3.926.003.436,73
PRESENT WORTH BENEFIT
BIAYA INVESTASI (COST)
PRESENT WORTH COST
Rp1.801.932.000,00 Rp1.647.480.685,71 Rp1.721.449.206,30 Rp1.573.896.417,19 Rp1.618.864.886,25 Rp1.480.105.038,86 Rp1.503.598.769,63 Rp1.374.718.875,09 Rp1.382.574.411,52 Rp1.264.068.033,39
Rp10.636.126.000,00 Rp10.636.126.000,00 Rp537.394.000,00 Rp479.816.071,43 Rp591.133.400,00 Rp471.247.927,30 Rp650.246.740,00 Rp462.832.785,74 Rp715.271.414,00 Rp454.567.914,56 Rp979.398.555,40 Rp555.737.042,79 Rp865.478.410,94 Rp438.478.297,69 Rp952.026.252,03 Rp430.648.328,09 Rp1.047.228.877,24 Rp422.958.179,37 Rp1.151.951.764,96 Rp415.405.354,74 Rp1.459.746.941,46 Rp469.999.447,34
TOTAL Rp29.242.012.581,02 Rp15.368.688.323,94
Rp19.586.002.356,03 Rp15.237.817.349,04
NPV (B) = PRESENT WORTH BENEFIT — PRESENT WORTH COST = Rp130.870.974,89
b. Metode Internal Rate of Return (IRR) Dari hasil perhitungan analisa kelayakan dengan menggunakan metode IRR, gedung parkir harus mempunyai nilai IRR diatas tingkat suku bunga (IRR > 12%) untuk dapat dikatakan layak. Gedung parkir alternatif A (beton bertulang) mendapatkan nilai IRR = 20,6065422 % dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) mempunyai nilai IRR = 12,2676785 %, maka kedua gedung parkir tersebut layak untuk dilaksanakan. Hasil perhitungan analisa kelayakan dengan metode IRR untuk masing-masing alternatif gedung parkir dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 : Internal Rate of Return Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang) Tahun
n
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DISC RATE P/F FACT (%) 20,6065422 1,0000 20,6065422 0,8291 20,6065422 0,6875 20,6065422 0,5700 20,6065422 0,4726 20,6065422 0,3919 20,6065422 0,3249 20,6065422 0,2694 20,6065422 0,2234 20,6065422 0,1852 20,6065422 0,1536 JUMLAH
KEUNTUNGAN (BENEFIT)
PRESENT WORTH (BENEFIT)
Rp2.018.163.840,00 Rp1.673.345.245,78 Rp2.066.599.772,16 Rp1.420.740.119,42 Rp2.418.512.190,50 Rp1.378.591.770,51 Rp2.476.556.483,08 Rp1.170.482.087,66 Rp2.852.993.068,50 Rp1.118.011.793,05 Rp2.921.464.902,15 Rp949.238.785,23 Rp3.323.977.844,22 Rp895.492.712,03 Rp3.403.753.312,48 Rp760.310.776,18 Rp3.833.987.731,18 Rp710.089.222,91 Rp3.926.003.436,73 Rp602.895.457,41 Rp29.242.012.581,02 Rp10.679.198.000,00
PRESENT WORTH (COST) Rp7.558.036.000,00 Rp7.558.036.000,00 Rp537.394.000,00 Rp445.576.160,46 Rp591.133.400,00 Rp406.390.704,49 Rp650.246.740,00 Rp370.651.348,41 Rp715.271.414,00 Rp338.055.030,70 Rp919.918.555,40 Rp360.491.515,01 Rp865.478.410,94 Rp281.210.181,52 Rp952.026.252,03 Rp256.479.618,79 Rp1.047.228.877,24 Rp233.923.944,36 Rp1.151.951.764,96 Rp213.351.891,29 Rp1.400.266.941,46 Rp215.031.543,34 Rp16.388.952.356,03 Rp10.679.198.000,00 NPV Rp0,00
BIAYA INVESTASI(Rp)
Tabel 6 : Internal Rate of Return Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF) Tahun
n
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DISC RATE P/F FACT (%) 12,2676785 1,0000 12,2676785 0,8907 12,2676785 0,7934 12,2676785 0,7067 12,2676785 0,6295 12,2676785 0,5607 12,2676785 0,4994 12,2676785 0,4449 12,2676785 0,3962 12,2676785 0,3529 12,2676785 0,3144 JUMLAH
ISBN 978-979-99327-8-5
KEUNTUNGAN (BENEFIT)
PRESENT WORTH (BENEFIT)
Rp2.018.163.840,00 Rp1.797.635.674,81 Rp2.066.599.772,16 Rp1.639.633.913,88 Rp2.418.512.190,50 Rp1.709.165.248,37 Rp2.476.556.483,08 Rp1.558.939.525,35 Rp2.852.993.068,50 Rp1.599.657.494,65 Rp2.921.464.902,15 Rp1.459.056.868,74 Rp3.323.977.844,22 Rp1.478.682.470,27 Rp3.403.753.312,48 Rp1.348.714.848,11 Rp3.833.987.731,18 Rp1.353.187.689,65 Rp3.926.003.436,73 Rp1.234.250.331,63 Rp29.242.012.581,02 Rp15.178.924.100,00
PRESENT WORTH (COST) Rp10.636.126.000,00 Rp10.636.126.000,00 Rp537.394.000,00 Rp478.672.051,64 Rp591.133.400,00 Rp469.003.424,52 Rp650.246.740,00 Rp459.530.092,61 Rp715.271.414,00 Rp450.248.111,14 Rp979.398.555,40 Rp549.143.373,92 Rp865.478.410,94 Rp432.242.817,40 Rp952.026.252,03 Rp423.512.007,63 Rp1.047.228.877,24 Rp414.957.550,22 Rp1.151.951.764,96 Rp406.575.883,05 Rp1.459.746.941,46 Rp458.912.778,76 Rp19.586.002.356,03 Rp15.178.924.100,00 NPV Rp0,00
BIAYA INVESTASI(Rp)
I - 198
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
c.
Metode Break Event Point (BEP) Dari hasil analisa kelayakan dengan menggunakan metode BEP, waktu pencapaian BEP untuk gedung parkir alternatif A (beton bertulang) adalah pada tahun ke-6,5 (6 tahun 6 bulan) dan untuk gedung parkir alternatif B (baja profil WF) adalah pada tahun ke-9,83 (9 tahun 10 bulan). Hasil analisa metode BEP dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Break Event Point Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang)
Gambar 3. Break Event Point Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF)
5. KESIMPULAN 1.
2.
Kebutuhan lahan parkir di Mall Olympic Garden saat ini sangat tinggi dan melebihi kapasitas parkir yang ada. Pertumbuhan kendaraan parkir di Mall Olympic Garden mencapai 2,4 % per tahun. Untuk itu, perlu dilakukan penambahan areal parkir. Dari analisa menggunakan metode Net Present Value (NPV) didapat nilai NPV = Rp.3.261.862.492,38 untuk gedung alternatif A (beton bertulang) dan nilai NPV = Rp.130.870.974,89 untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Dari hasil perhitungan NPV kedua alternatif gedung parkir diatas memiliki nilai yang positif,
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 199
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
maka pembangunan gedung parkir bertingkat di Mall Olympic Garden (MOG) layak untuk dilaksanakan. Dari analisa menggunakan metode Internal Rate of Return (IRR) didapat nilai IRR = 20,607 % untuk gedung alternatif A (beton bertulang) dan IRR = 12,268 % untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Nilai pembangunan kedua alternatif gedung parkir tersebut bernilai > dari tingkat suku bunga (12 %), maka pembangunan gedung parkir bertingkat di Mall Olympic Garden (MOG) layak untuk dilaksanakan. Dari analisa menggunakan metode Break Event Point (BEP), gedung parkir alternatif A (beton bertulang) memiliki waktu pencapaian BEP pada tahun ke-6,5 (6 tahun 6 bulan) dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) memiliki waktu pencapaian BEP pada tahun ke-9,83 (9 tahun 10 bulan).
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Abubakar, I (1998) Pedoman perencanaan dan pengoperasian fasilitas parkir. Jakarta: Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. 2. Giatman, M (2006) Ekonomi teknik. Jakarta: Rajawali Press. 3. Kasuma, I.G. Narendra (2011) Analisis kelayakan finansial rencana pembangunan gedung parkir bertingkat di pasar Lokitasari, Tesis Program Pascasarjana, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Udayana Denpasar. 4. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : 272/ HK.105/ DRJD/ 96 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir. 5. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Tempat Parkir. 6. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). 7. Pujawan, I Nyoman (1995) Ekonomi teknik. Jakarta: Guna Widya. 8. Setiawan, Rudy (2005) Studi kelayakan pembangunan gedung parkir dan analisis ‘willingness to pay’ : studi kasus Universitas Kristen Petra, Jurnal Teknik Sipil, Universitas Kristen Petra Surabaya. 9. Supriyatna, Yatna (2011) Estimasi biaya pemeliharaan bangunan gedung, Majalah Ilmiah, Universitas Komputer Indonesia Bandung. 10. Sutojo, Siswanto (1996) Studi kelayakan proyek : teori & praktek. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Presindo. 11. Valentino, Wendra (2003) Studi kelayakan bangunan parkir bertingkat untuk kampus dalam kota, Skripsi, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Bandung.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 200
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
INDEKS PENGARUH PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM KEBERHASILAN PROYEK APARTEMEN DI SURABAYA Herry Pintardi Chandra1, I Putu Artama Wiguna2 1Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 0315946094, Jurusan Teknik Sipil UK. Petra Surabaya, email: [email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: [email protected]
ABSTRAK Pemangku kepentingan mempunyai dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi keluaran proyek. Dominasi pemangku kepentingan ini disebabkan oleh adanya kekuasaan, legitimasi, urgensi, kedekatan, dan pengetahuan pemangku kepentingan. Sikap pemangku kepentingan dapat dibedakan dari aktif beroposisi hingga aktif mendukung tujuan proyek. Besarnya pengaruh yang disebabkan oleh dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi pemangku kepentingan ini dapat dinyatakan dalam suatu Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan pada proyek apartemen di Surabaya. Data dikumpulkan dari jawaban kuesioner terhadap 9 proyek apartemen di Surabaya dengan total responden sebanyak 18 orang yang terdiri dari 9 orang mewakili pemilik apartemen, dan 9 orang mewakili kontraktor apartemen. Teknik analisis yang dilakukan adalah menghitung besarnya Stakeholder Impact I, Stakeholder Vested Interest-Impact Index , dan Stakeholder Influence Index . Makin besar angka Stakeholder Influence Index makin besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proyek.Menurut pemilik apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari pemilik, disusul kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat dengan angka indeks masing-masing sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07. Kontraktor berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan terkecil berasal dari pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23. Kata kunci: indeks pengaruh, pemangku kepentingan, apartemen.
1. Pendahuluan Pembangunan apartemen di Surabaya dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kemajuan yang pesat. Keberhasilan pelaksanaan proyek apartemen senantiasa dipengaruhi oleh pemangku kepentingan terkait. Pemangku kepentingan merupakan individu atau organisasi yang aktif terlibat dalam proyek, berkepentingan terhadap proyek yang bisa memberikan pengaruh positif atau negatif dalam eksekusi, penyelesaian atau keluaran proyek. Pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi [1], memberikan masukan dan manfaat dalam membuat keputusan [2], dan mempunyai kepentingan pribadi terhadap keberhasilan proyek [3]. Dilain pihak, pemangku kepentingan mempunyai legitimasi terhadap klaim dari aspek substansi proyek [4]. Pemangku kepentingan berfungsi sebagai pengontrol, pelaksana, penghambat, dan penasehat [5]. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keberhasilan proyek merupakan keberhasilan dalam mengelola perbedaan demi perbedaan dari pemangku kepentingan yang ada dalam proyek [6]. Hal senada juga menjelaskan bahwa pemangku kepentingan mempunyai perbedaan kepentingan pribadi dan seringkali persepsi keberhasilan proyek tidak sejalan dengan berbagai kepentingan pemangku kepentingan [7]. Perbedaan kepentingan dan harapan pemangku kepentingan ini akan mempengaruhi sikap pemangku kepentingan terhadap tujuan organisasi. Sikap
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 201
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
pemangku kepentingan dapat dibedakan dari aktif beroposisi hingga aktif mendukung tujuan proyek. Pemangku kepentingan adalah sumber utama ketidakpastian dalam proyek. Ward dan Chapman [8] memperkenalkan konsep yang berkaitan dengan bentuk, manfaat, dan ketidakpastian pemangku kepentingan. Pendekatan yang dipakai untuk mengklasifikasi pemangku kepentingan adalah kekuasaan, legitimasi, dan urgensi [9], posisi terhadap proyek [3], indeks dampak- kepentingan pribadi [10], dan indeks dampak pemangku kepentingan eksternal [11]. Bertolak dari uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa pemangku kepentingan mempunyai dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi keluaran proyek. Untuk memperhitungkan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pemangku kepentingan selama pembangunan proyek apartemen tersebut, maka perlu mengetahui sejauh mana pengaruh pemangku kepentingan terkait. Oleh karena itu diperlukan suatu indeks yang dapat memberikan gambaran yang terkait dengan dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi dari pemangku kepentingan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya indeks pengaruh pemangku kepentingan yang dapat mempengaruhi keberhasilan proyek. Dominasi Pemangku Kepentingan Dominasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Impact I) adalah penguasaan yang ditimbulkan oleh individu atau organisasi yang terlibat dalam proyek atau yang kepentingannya dapat mempengaruhi keberhasilan proyek. Dominasi yang ditimbulkan oleh pemangku kepentingan terhadap suksesnya proyek disebabkan oleh Kekuasaan (Power P), Legitimasi (Legitimate L), Urgensi (Urgency U), Kedekatan (Proximity D), dan Pengetahuan (Knowledge K) [12]. Bourne dan Walker [10] menyampaikan hubungan antara kepentingan-dominasi dan konsep yang diturunkan dari penilaian risiko dengan menganalisis probabilitas-dominasi. Kekuasaan merupakan kemampuan individu yang dapat mempengaruhi individu lainnya sehingga dapat menanggapi perintah yang diberikannya [13]. Kekuasaan ini akan meningkat jika kemampuannya untuk memobilisasi dan menarik kembali terhadap masa dan kekuatan politik yang dimiliki sama besarnya [14]. Legitimasi merupakan syarat mutlak untuk suksesnya transaksi dengan pemangku kepentingan [1], yang timbul karena adanya posisi, kewenangan resmi, budaya masyarakat, kontraktual, legal, dan kebenaran moral [12]. Urgensi merupakan tingkat dimana tuntutan atau klaim dari pemangku kepentingan meminta perhatian dengan segera, sensitif terhadap waktu, dan bersifat kritis [9]. Kedekatan pemangku kepentingan berkaitan dengan keberadaan dan hubungannya dengan proyek [12]. Pengetahuan merupakan sesuatu yang melekat pada pemikiran, dialektika, dan hirarkhi yang dibedakan atas priori knowledge dan posteriori knowledge [15]. Sikap Pemangku Kepentingan Sikap (Attitude ) adalah kecenderungan untuk bereaksi pada situasi, orang, atau konsep dengan respon utama yang bisa bersifat positif atau negatif [13]. Ada 5 tingkatan sikap dari pemangku kepentingan, yaitu aktif beroposisi, pasif beroposisi, tidak berkomitmen, pasif mendukung, dan aktif mendukung terhadap keberhasilan proyek [3]. Sikap pemangku kepentingan didasarkan dari kepercayaan dan nilai yang
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 202
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dipegangnya, dan mempengaruhi perilakunya dalam bentuk tindakan dan pertimbangan terhadap pelaksanaan proyek itu. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest V} merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan proyek [16]. Perbedaan klaim, hak, dan harapan pemangku kepentingan dapat mempengaruhi proses organisasi dan dalam kasus yang ekstrim dapat menampakkan ancaman bagi proyek [1]. Pemangku kepentingan biasanya melihat kepentingan pribadi dalam isu strategis. Cleland dan Ireland [4] mengidentifikasi kepentingan pribadi pemangku kepentingan berdasarkan variabel Misi yang Relevan (Mission Relevancy MR) , Kepentingan Ekonomi (Economic Interest EI), Hak Hukum (Legal Right LR), Dukungan Politik (Political Support PS), Kesehatan dan Keselamatan ( Health and Safety HS), Gaya Hidup (Lifestyle LS), Tantangan (Opportunism O ), dan Kelangsungan Hidup (Survival S). Stakeholder Influence Index Nguyen et al. [12] merekomendasikan formula Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest-Impact Index ) yang merupakan gabungan dari variabel Dampak Pemangku Kepentingan (Stakeholder Impact I) dan Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest V). Untuk menggabungkan Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan ( ) dengan Sikap Pemangku Kepentingan ( ) dipakai Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan (Stakeholder Influence Index . Makin besar angka Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan, makin besar pengaruh pemangku kepentingan tersebut dalam keberhasilan proyek.
2. Metode Sampel dari penelitian ini adalah 9 proyek apartemen di Surabaya dengan total responden sebanyak 18 orang yang terdiri dari 9 orang mewakili pemilik apartemen, dan 9 orang mewakili kontraktor apartemen. Penelitian dilakukan pada saat pelaksanaan proyek apartemen berlangsung. Data [17] di analisis dengan menggunakan formula Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan (Stakeholder Influence Index ) [12]. Tahapan analisis yang dilakukan adalah: (1) menghitung dominasi pemangku kepentingan (Stakeholder Impact I ), (2) menghitung Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest-Impact Index ), dan (3) menghitung Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan ( Stakeholder Influence Index ). Untuk lengkapnya dapat dilihat formula berikut: Stakeholder Impact I = P+L+U+D+K ...........................................................................(1) Stakeholder Vested Interest-Impact Index Stakeholder Influence Index
=
*
√
........................................................(2)
..................................................................(3)
Angka indeks mencerminkan besarnya pengaruh pemangku kepentingan dalam keberhasilan proyek, makin tinggi angka indeks makin besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proyek.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 203
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. Hasil dan Pembahasan 1. Dominasi Pemangku Kepentingan (I) Analisis Dominasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Impact I) merupakan analisis jumlah dari dominasi pemangku kepentingan yang disebabkan adanya Power (P), Legitimate (L), Urgency (U), Proximity (D), dan Knowledge (K). Skala pengukuran Power (P) adalah 1,00 = sangat rendah; 2,00 = rendah; 3,00 = tinggi; 4,00 = sangat tinggi. Skala pengukuran Legitimate (L) adalah 0 = tidak berhubungan langsung dengan proyek hingga 3,00 = berhubungan dalam bentuk kontraktual dengan proyek. Skala pengukuran Urgency (U) adalah 0 = tidak membutuhkan tindakan segera hingga 3,00 = membutuhkan tindakan segera. Skala pengukuran Proximity (D) adalah 0 = tidak terlibat langsung dalam proyek hingga 3,00 = terlibat penuh dalam proyek. Skala pengukuran Knowledge (K) adalah 0 = tidak mau mengetahui hingga 3,00 = mengetahui penuh. Tabel 1 menunjukkan hasil Dominasi Pemangku Kepentingan (I) versi pemilik. Menurut pemilik apartemen, dominasi terbesar dari pemangku kepentingan berasal dari pemilik bangunan itu sendiri yang disebabkan oleh kekuasaan yang dimiliki dalam mempengaruhi keluaran proyek. Sebaliknya, dominasi pemangku kepentingan terkecil berasal dari konsumen yang disebabkan oleh rendahnya legitimasi yang dimilikinya. Legitimasi konsumen paling rendah jika dibandingkan dengan kekuasaan, urgensi, kedekatan, dan pengetahuan konsumen tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap dominasi pemangku kepentingan. Tabel 1. Dominasi Pemangku Kepentingan (I) Versi Pemilik No
Pemangku. Kepentingan 1 Pemilik 2 Kontraktor 3 Subkontaktor 4 Perencana 5 Pengawas 6 Konsumen 7 Pemerintah 8 Masyarakat Sumber:Olahan peneliti
Power (P) 4,00 2,78 1,33 2,11 3,11 1,78 1,67 0,78
Legitimate (L) 3,00 2,44 0,89 1,56 2,22 0,44 1,00 0,22
Urgency (U) 2,89 2,33 1,00 1,33 2,11 0,78 1,33 1,67
Proximity (D) 2,44 3,00 1,89 1,33 2,89 0,56 1,00 1,11
Knowledge (K) 3,78 4,78 2,78 3,22 4,11 0,67 1,89 0,89
Impact (I) I = P+L+U+D+K 16,11 15,33 7,89 9,55 14,44 4,23 6,89 4,67
Kontraktor mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemilik apartemen dalam menilai dominasi pemangku kepentingan. Menurut kontraktor, dominasi pemangku kepentingan terbesar berasal dari kontraktor yang mengerjakan apartemen itu yang disebabkan karena pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, dominasi pemangku kepentingan terkecil berasal dari masyarakat yang disebabkan oleh rendahnya legitimasi yang dimilikinya. Tabel 2 menunjukkan besarnya Dominasi Pemangku Kepentingan versi kontraktor. Tabel 2. Dominasi Pemangku Kepentingan (I) Versi Kontraktor No
Pemangku. Kepentingan 1 Pemilik 2 Kontraktor 3 Subkontraktor 4 Perencana 5 Pengawas 6 Konsumen 7 Pemerintah 8 Masyarakat Sumber:Olahan peneliti
Power (P) 4,00 3,00 1,78 2,56 2,78 2,00 2,22 1,22
ISBN 978-979-99327-8-5
Legitimate (L) 3,00 2,33 1,67 2,22 2,33 1,33 1,33 0,56
Urgency (U) 2,89 2,44 1,56 1,78 2,33 1,67 1,56 1,67
Proximity (D) 2,00 3,00 2,22 1,78 2,67 1,22 0,78 0,78
Knowledge (K) 3,33 4,78 2,89 3,56 4,00 1,89 2,00 1,33
Impact (I) I = P+L+U+D+K 15,22 15,55 10,12 11,90 14,11 8,11 7,89 5,56
I - 204
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
2. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (V) Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat pengaruh kepentingan pribadi setiap pemangku kepentingan adalah 1,00 = sangat tidak berpengaruh; 2,00 = tidak berpengaruh; 3,00 = netral; 4,00 = berpengaruh; dan 5,00 = sangat berpengaruh. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan besarnya tingkat pengaruh kepentingan pribadi dari setiap pemangku kepentingan berdasarkan versi pemilik dan versi kontraktor. Tabel 3. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (I) Versi Pemilik No
Pemangku MR EI LR PS HS LS O S RataKepentingan rata V 1 Pemilik 5,00 5,00 4,89 4,00 3,44 4,11 4,67 4,78 4,49 2 Kontraktor 4,00 4,56 4,00 3,56 4,56 2,78 4,67 3,67 3,98 3 Subkontraktor 2,89 3,56 2,67 2,33 3,44 1,89 3,22 2,33 2,79 4 Perencana 3,44 3,56 3,33 2,56 2,44 3,44 3,56 3,33 3,21 5 Pengawas 3,56 3,67 3,44 3,33 3,44 2,00 4,22 3,00 3,33 6 Konsumen 3,11 3,67 2,56 2,22 2,22 3,67 2,33 2,78 2,82 7 Pemerintah 2,11 2,56 3,78 3,44 3,22 2,11 3,11 2,67 2,92 8 Masyarakat 1,67 2,22 1,89 2,44 2,78 1,67 2,22 1,67 2,07 Sumber:Olahan peneliti Keterangan: MR = Mission Relevancy; EI = Economic Interest; LR = Legal Right; PS = Poltical Support; HS = Health and Safety; LS = Lifestyle; O = Opportunism; S = Survial; V = (MR+EI+LR+PS+HS+LS+O+S ):6 .
Menurut versi pemilik apartemen dan kontraktor, kepentingan pribadi pemilik mempunyai nilai rata-rata tingkat pengaruh terbesar jika dibandingkan dengan pemangku kepentingan lainnya. Pemilik apartemen berpendapat bahwa kontribusi terbesar dalam memberikan tingkat pengaruh kepentingan pribadi pemilik berdasarkan misi yang relevan dan kepentingan ekonomi dengan nilai mean masing-masing sebesar 5,00 (sangat berpengaruh). Kontraktor berpendapat sama dengan pemilik apartemen yang mengisyaratkan bahwa nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi pemilik disebabkan oleh misi yang relevan dan kepentingan ekonomi dari pemilik tersebut dengan nilai mean masing-masing sebesar 4,89. Pemilik apartemen dan kontraktor berpandangan sama yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi masyarakat paling kecil dibandingkan dengan tingkat pengaruh kepentingan pribadi pemangku kepentingan lainnya. Besarnya nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi masyarakat menurut pemilik apartemen adalah 2,07 dan menurut kontraktor adalah 1,93. Ini berarti bahwa kepentingan pribadi masyarakat tidak berpengaruh terhadap keluaran proyek. Tabel 4. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (I) Versi Kontraktor No
Pemangku MR EI LR PS HS LS O S RataKepentingan rata V 1 Pemilik 4,89 4,89 4,44 3,78 3,67 3,67 3,78 4,44 4,20 2 Kontraktor 4,22 4,33 4,22 3,56 4,89 3,00 4,56 4,11 4,11 3 Subkontraktor 2,56 3,33 3,11 2,56 3,44 2,22 3,78 3,00 3,00 4 Perencana 3,33 2,89 3,67 2,78 2,44 2,89 3,44 3,00 3,06 5 Pengawas 3,00 3,00 3,78 3,56 3,78 2,67 3,44 2,78 3,25 6 Konsumen 2,89 3,11 2,44 2,67 3,11 3,78 2,22 2,67 2,86 7 Pemerintah 2,22 2,44 3,00 2,89 2,67 2,11 2,22 1,89 2,43 8 Masyarakat 1,56 1,78 2,00 2,00 2,44 1,89 2,11 1,67 1,93 Sumber:Olahan peneliti MR = Mission Relevancy; EI = Economic Interest; LR = Legal Right; PS = Poltical Support; HS = Health and Safety; LS = Lifestyle; O = Opportunism; S = Survial; V = (MR+EI+LR+PS+HS+LS+O+S):6.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 205
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. Sikap Pemangku Kepentingan ( Analisis Sikap Pemangku Kepentingan ( Stakeholder Attitude ) ditinjau berdasarkan sikap pemangku kepentingan yang mempengaruhi keluaran proyek. Skala pengukuran untuk menentukan sikap pemangku kepentingan yang digunakan adalah 1,00 = aktif beroposisi; - 0,50 = pasif beroposisi; 0 = tidak berkomitmen; 0,5 = pasif mendukung; dan 1,00 = aktif mendukung. Hasil selengkapnya dari analisis Sikap Pemangku Kepentingan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilik apartemen dan kontraktor mempunyai pandangan yang sama terhadap sikap pemangku kepentingan yang mempengaruhi keluaran proyek. Keduanya berpendapat bahwa pemilik dan kontraktor aktif mendukung tujuan proyek (nilai mean sebesar 1,00), dan menganggap sikap masyarakat tidak berkomitmen terhadap tujuan proyek (nilai mean menurut pemilik sebesar - 0,11 dan menurut kontraktor sebesar 0,33) . Namun demikian, menurut pemilik apartemen dan kontraktor sikap masyarakat tersebut tidak sampai menimbulkan kecenderungan beroposisi. Menurut pandangan pemilik, sikap pengawas (nilai mean 0,83) lebih mendukung keberhasilan proyek jika dibandingkan dengan subkontraktor (nilai mean 0,56). Sebaliknya dibenak kontraktor, sikap subkontraktor (nilai mean 0,61) lebih mendukung keberhasilan proyek jika dibandingkan dengan sikap pengawas (nilai mean – 0,17) Tabel 5. Sikap Pemangku Kepentingan No
Pemangku Kepentingan
Mean Pemilik 1,00 0,94 0,56 0,56 0,83 0,11 0,06 -0,11
1 Pemilik 2 Kontraktor 3 Subkontaktor 4 Perencana 5 Pengawas 6 Konsumen 7 Pemerintah 8 Masyarakat Sumber:Olahan peneliti
Kontraktor 0,78 1,00 0,61 0,22 -0,17 0,17 - 0,06 -0,33
4. Stakeholder Vested Interest-Impact Index Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest-Impact Index ) sangat dipengaruhi oleh pemilik dan kontraktor. Menurut pemilik apartemen, pemilik sangat besar dominasi dan kepentingan pribadinya dalam mencapai tujuan proyek yang ditunjukkan oleh nilai sebesar 1,70. Tabel 6. Stakeholder Vested Interest-Impact Index No
Pemangku Kepentingan
1 Pemilik 2 Kontraktor 3 Subkontraktor 4 Perencana 5 Pengawas 6 Konsumen 7 Pemerintah 8 Masyarakat Sumber:Olahan peneliti
Vested Interest = V
Impact = I √
Pemilik 4,49 3,98 2,79 3,21 3,33 2,82 2,92 2,07
Kontraktor 4,20 4,11 3,00 3,06 3,25 2,86 2,43 1,93
Pemilik 16,11 15,33 7,89 9,55 14,44 4,23 6,89 4,67
Kontraktor 15,22 15,55 10,12 11,90 14,11 8,11 7,89 5,56
Pemilik 1,70 1,56 0,94 1,11 1,39 0,69 0,90 0,62
Kontraktor 1,60 1,60 1,10 1,21 1,35 0,96 0,88 0,66
Pendapat yang sama diberikan oleh kontraktor dimana kedua pelaku ini menduduki peringkat teratas dengan nilai sebesar 1,60. Hasil selengkapnya analisis Stakeholder Vested Interest-Impact Index dapat dilihat dalam Tabel 6. ISBN 978-979-99327-8-5
I - 206
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5. Analisis Stakeholder Influence Index Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proyek konstruksi apartemen berlangsung, pengaruh terbesar ditunjukkan oleh pemilik dan kontraktor. Menurut pemilik apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari pemilik, disusul kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat dengan angka indeks masing-masing sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07. Kontraktor berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan terkecil berasal dari pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23. Ini berarti bahwa pengawas seringkali mempunyai sikap yang bersebrangan dengan sikap kontraktor dalam melaksanakan proyek. Hal ini bisa dimengerti karena tugas pengawas adalah mengawasi kinerja kontraktor terhadap kemungkinan penyimpangan yang bisa terjadi di lapangan. Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan yang berasal dari masyarakat sebesar – 0,22 dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengawas yang besarnya – 0,23. Ini berarti bahwa besarnya pengaruh masyarakat yang disebabkan dominasi, kepentingan pribadi, dan sikap masyarakat lebih tidak bersebrangan dibandingkan pengawas. Tabel 7. Stakeholder Influence Index No
Pemangku Kepentingan
1 Pemilik 2 Kontraktor 3 Subkontraktor 4 Perencana 5 Pengawas 6 Konsumen 7 Pemerintah 8 Masyarakat Sumber:Olahan peneliti
Pemilik 1,70 1,56 0,94 1,11 1,39 0,69 0,90 0,62
Kontrak tor 1,60 1,60 1,10 1,21 1,35 0,96 0,88 0,66
Pemilik 1,00 0,94 0,56 0,56 0,83 0,11 0,06 -0,11
Kontrak tor 0,78 1,00 0,61 0,22 -0,17 0,17 -0,06 -0,33
= * Pemilik 1,70 1,47 0,53 0,62 1,15 0,08 0,05 -0,07
Kontrak tor 1,25 1,60 0,67 0,27 -0,23 0,16 -0,05 -0,22
Peringkat Pemilik 1 2 5 4 3 6 7 8
Kontrak tor 2 1 3 4 8 5 6 7
Pembahasan Ada perbedaan pandangan terhadap besarnya Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan ini dilihat dari sudut pandang pemilik apartemen dan kontraktor pelaksana apartemen itu. Perbedaan pandangan ini lebih disebabkan karena posisi dan kepentingan pribadi yang dimiliki oleh pemilik dan kontraktor. Pemilik apartemen menganggap bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar dari pemilik itu sendiri, disusul kontraktor dan pengawas. Demikian juga kontraktor mempunyai pandangan bahwa dirinya merupakan pemangku kepentingan yang memberikan pengaruh terbesar dalam pelaksanaan proyek, disusul pemilik dan subkontraktor. Walker et al. [18] melakukan penelitian terhadap pengaruh, pemetaan, dan visualisasi pemangku kepentingan. Posisi pemangku kepentingan dilihat dari perspektif politik, maksud dan tujuan, nilai pertimbangan, tingkat campur tangan, dan penguatan pengikatan pemangku kepentingan. Posisi ini akan memberikan pandangan yang berbeda terhadap pengaruh pemangku kepentingan. Sebuah model empiris [19] tentang pengaruh kondisi pemangku kepentingan dalam keberhasilan proyek menunjukkan besarnya peranan dominasi pemangku kepentingan terhadap keluaran proyek. Dominasi pemangku kepentingan ini mempunyai variabel indikator terpenting yang berkaitan dengan kedekatan pemangku kepentingan [19]. Model tersebut mendukung dominasi pemangku kepentingan sebagai bagian dari penentuan Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan. Makin dekat dengan ISBN 978-979-99327-8-5
I - 207
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
proyek, makin besar pengaruh pemangku kepentingan itu terhadap keberhasilan proyek [16,19]. Untuk meningkatkan kedekatan pemangku kepentingan dapat dilakukan dengan meningkatkan keterlibatannya dalam proyek, dan meningkatkan komunikasi intim dengan pemangku kepentingan [19]. Dalam penelitian ini, pemilik apartemen dan kontraktor beranggapan bahwa dominasi pemangku kepentingan yang terkait dengan kedekatan pemangku kepentingan lebih banyak disebabkan oleh kontraktor dan pengawas dibandingan dengan pemangku kepentingan lainnya.
4. Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa ada perbedaan pandangan terhadap besarnya Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan ini dilihat dari sudut pandang pemilik apartemen dan kontraktor pelaksana apartemen itu. Menurut pemilik apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari pemilik, disusul kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat dengan angka indeks masing-masing sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07. Kontraktor berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan terkecil berasal dari pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23. Limitasi dari penelitian ini adalah terbatasnya jumlah responden dan jenis responden dari pemangku kepentingan diluar pemilik dan kontraktor. Oleh karena itu disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk memperhatikan pandangan dari pemangku kepentingan lainnya.
Daftar Pustaka 1. Freeman, R.E. (1984), Strategic Management; A Stakeholder Approach, Pitman Publishing Inc., Marshfield, MA. 2. Phillips, R. (2003), Stakeholder Theory and Organizational Ethics, BerrettKoehler Publisher, Inc., San Francisco, CA. 3. McElroy, B. and Mills, C. (2000), Managing Stakeholder in Turner, J.R. and Simister, .J.S.(eds). Gower Handbook of Project Management, Third Edition, Gower Publishing Limited, Hampshire, hal.757-775. 4. Cleland, D.I. and Ireland, L.R. (2007), Project Management: Strategic Design and Implementation, 5 th.Edition, Mc Graw-Hill, New York. 5. Callan, K., Sieimieniuch, C., Sinclair, M. (2006), A Case Study of Example of the Role Matrix Technique, International Journal Project Management, Vol. 24, hal.506-515. 6. Toor, S.R., and Ogunlana, S.O. (2010), Beyond the’ Iron Triangle’: Stakeholder Perception of Key Performance Indicators (KPIs) for Large –Scale Public Sector Development Projects, International Journal of Project Management ,Vol.28, hal.228-236. 7. Bryde, D.J., Brown, D. (2005). The Influence of a Project Performance Measurement System on the Success of a Contract for Maintaining Motorways and Trunk Roads, Project Management Journal, Vol. 35 (4), hal. 57-65. 8. Ward, S., and Chapman, C. (2008), Stakeholders and Uncertainty Management in Projects, .Journal of Construction Management and Economics, Vol. 26, hal.563577.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 208
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
9. Mitchell, R.K., Agle, B.R., and Wood, D.J. (1997), Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience : Defining the Principle of Who & What Really Counts, Academy of Management Review, Vol. 22 (4), hal.853-886. 10. Bourne, L. and Walker, D. (2005), Visualising and Mapping Stakeholder Influence, Management Decision, Vol.43 (5/6), hal.649-660. 11. Olander, S. (2007), Stakeholder Impact Analysis in Construction Project Management, Construction Management and Economics, Vol.25 (3), hal.277287. 12. Nguyen, N.H., Skitmore, M. and Wong, J.K.W. (2009), Stakeholder Impact Analysis of Infrasrtucture Project Management in Developing Countries: A Study of Perception of Project Managers in State-Owned Engineering Firm in Vietnam, Construction Management and Economics, Vol.27, hal.1129-1140. 13. Certo, S.C. (1997), Modern Management, Seventh Edition, Prentice Hall, New Jersey 07458. 14. Post, J.E., Preston, I.E., and Sachs, S. (2002), Redefining the Corporation: Stakeholder Management and Organizational Wealth, Stanford University Press, Stanford, USA. 15. Stanford Encyclopedia of Philosophy, (2008), Aristotle. 16. Bourne, L. (2005), Project Relationship Management and the Stakeholder , Thesis, RMIT University, Melbourne. 17. Hartono, R., dan Tedjo, E.S. (2010), Analisis Stakeholder pada Proyek Konstruksi, Skripsi No.21011725/SIP/2010, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra, Surabaya. 18. Walker, D.H.T., Bourne, L.M., and Shelley, A. (2008), Influence, Stakeholder Mapping and Visualitation, .Journal of Construction Management and Economics, Vol.26, hal. 645-658. 19. Chandra, H.P., Indarto, Wiguna, I.P.A., dan Kaming, P. (2011), Model Pemangku Kepentingan dalam Keberhasilan Proyek, Jurnal Teknik Industri. Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik Industri, Vol.13, No.1, Juni, hal.51-58. .
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 209
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 210
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENGARUH SISTEM PEMBERIAN UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS BURUH KONSTRUKSI PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR DI SURABAYA Thahiril Lazib 1, Retno Indryani 2, Yusroniya Eka Putri 3 1.
Mahasiswa Program Magister, Bidang Keahlian Manajemen Proyek Konstruksi Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia, email: [email protected] 2. Dosen Jurusan Teknik Sipil , Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 3. Dosen Jurusan Teknik Sipil , Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia
Abstrak SDM merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proyek kontraktor, salah satu tolak ukur kesuksesan adalah produktivitasnya. Pemberian upah dilakukan kontraktor untuk meningkatkan produktivitas buruh. Kontraktor selalu berusaha memberikan upah minimal, namun berusaha mendapatkan kinerja yang maksimal, untuk itu sistem pemberian upah yang tepat sangat diperlukan agar hubungan perusahaan dengan buruh bejalan baik. Penelitian ini sebagai penelitian survei dengan sampel 37 mandor dan 13 pengawas lapangan. Variabel penelitian terdiri dari variabel sistem prosentase pekerjaan (termin), pekerjaan selesai baru dibayar (100%), harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, insentif, tidak ada insentif, borongan, jumlah hari dan variabel produktivitas buruh konstruksi dengan indikator kedisiplinan, presensi, semangat kerja, kuantitas pekerjaan, dan kualitas pekerjaan, dengan metode chisquare maka diketahui masing-masing sistem yang mempunyai hubungan terhadap produktivitas, dan dengan menggunakan average indeks maka diketahui sistem yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap produktivitas. Ada hubungan sistem pemberian upah dengan produktivitas buruh konstruksi, dan pengaruh terbesar terhadap produktivitas adalah sistem termin dengan indeks rata-rata 87.45 %, disusul sistem borongan 77.63%, sedangkan sistem dengan pengaruh paling kecil adalah sistem harian dengan 18%. Kata kunci: Sistem pemberian upah, produktivitas buruh konstruksi, pengaruh terbesar.
1. Pendahuluan Persaingan bisnis antar perusahaan jasa pelaksana konstruksi (kontraktor) semakin ketat baik di pasar domestik maupun internasional. Untuk memenuhi kepuasan pelanggan, produktivitas sangat penting bagi perusahaan untuk dikelola dengan baik. Menurut Handoko (2001), kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor penentu keberhasilan suatu proyek. Untuk mendapatkan kualitas sumber daya manusia yang baik diperlukan proses pengelolaan sejak seseorang direkrut hingga menempati posisi jabatan tertentu. Suatu perusahaan tanpa didukung tenaga kerja yang sesuai baik dari segi kuantitas maupun kualitas, strategi, operasional, dan fungsional maka perusahaan itu tidak akan mampu mempertahankan keberadaan, mengembangkan dan memajukannya dimasa mendatang. Tolak ukur kesuksesan perusahaan khususnya perusahaan jasa pelaksana konstruksi dapat dilihat dari produktivitas perusahaan yang dihasilkannya. Semakin tinggi produktivitas perusahaan tersebut maka akan semakin sukses juga perusahaannya. Seperti yang dijelaskan oleh Alvan (1987) indikator perusahaan dapat dikatakan sukses dilihat dari kemampuan perusahaan tersebut untuk mendapatkan laba (profitability), kemampuannya untuk terus tumbuh dan berkembang (growth), kemampuannya untuk mendapatkan proyek yang berkelanjutan (sustainability), serta yang tidak kalah penting
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 211
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
adalah kemampuan perusahaan tersebut untuk bersaing (competitiveness) dengan perusahaan lain baik dari dalam maupun luar negeri. Soepriyono (1999: 368) menulis “Pemberian balas jasa kepada karyawan berupa uang (upah) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan pada akhirnya untuk meningkatkan produktivitas karyawan”. Hal ini sejalan dengan pendapat Anoraga (1998) yang menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang bekerja mengharapkan imbalan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya. Karena adanya upah yang sesuai, maka akan timbul rasa gairah kerja yang semakin baik. Pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup bagi diri maupun keluarganya, merasa dibutuhkan perusahaan dan pekerja membutuhkan pekerjaan tersebut sehingga terjadi hubungan timbal balik yang selaras sehingga akan timbul kepuasan dan semangat kerja, karyawan yang dapat meningkatkan produktivitasnya juga. Kontraktor saat ini banyak menerapkan sistem kerja outsorcing kepada buruh konstruksi, sehingga dalam pemberian upah membutuhkan sistem dan perlakuan yang berbeda. Dalam pemberian upah kepada karyawan semua perusahaan jasa pelaksana konstruksi menginginkan memberikan upah yang seminimal mungkin, namun berusaha mendapatkan kinerja yang semaksimal mungkin, sementara sistem tersebut tidak banyak mendapat perhatian dari manajer perusahaan kontraktor, padahal hal tersebut adalah faktor yang sangat penting. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian bagaimana pengaruh masing-masing sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi di Surabaya dan sistem pemberian upah yang mana yang memberikan pengaruh paling besar terhadap produktivitas.
2. Dasar Teori 2.1 Sistem pemberian upah Handoko (2001) menjelaskan pengertian upah sebagai segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa dari kerja karyawan pada perusahaan. Pemberian upah merupakan suatu masalah yang kompleks dan paling berarti bagi karyawan maupun organisasi (perusahaan). Pendapat lain dikemukakan oleh Rivai (2004) yang juga menjelaskan mengenai pemberian upah merupakan salah satu pelaksanaan fungsi manajemen sumber daya manusia yang berhubungan dengan semua jenis pemberian penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas. “Upah merupakan balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan atas jasanya pada perusahaan”, (Umar, 2003:16). Sedangkan menurut Sukamti (2001), upah merupakan uang dan jaminan yang diberikan kepada pegawai sebagai penukar dari kerja mereka. Flippo (1980) menjelaskan bahwa upah merupakan harga untuk jasa yang diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau Badan Hukum. Sedangkan menurut Dessler (1998) menyatakan upah adalah setiap bentuk pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari dipekerjakannya karyawan itu. Menurut undang-undang kecelakaan tahun 1974 No. 33 pasal 7 upah adalah tiap pembayaran berupa uang, makan, serta pakaian dan perumahan yang di terima oleh buruh sebagai ganti bekerja. Upah dapat dibayarkan melalui satuan waktu, per jam, perhari, dsb. Ada beberapa pendapat mengenai sistem upah, Rivai (2004) menyebutkan ada 4 sistem pengupahan, yaitu sistem pengupahan menurut produksi (upah yang berdasarkan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 212
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
jumlah produksi pekerjaan yang dihasilkan karyawan), sistem pengupahan menurut senioritas dan lamanya kerja (besarnya upah yang diberikan kepada berdasarkan lamanya karyawan bekerja pada perusahaan), dan sistem yang terakhir yaitu sistem pengupahan menurut kebutuhan (besarnya upah yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dari masing-masing karyawan, seperti karyawan yang sudah menikah, dan mempunyai 2 anak nilai upah akan berbeda dengan karyawan yang masih lajang). Pendapat lain sistem pengupahan oleh Dessler (1998) yang menjelaskan sistem pengupahan, yaitu sistem pengupahan berdasarkan waktu yaitu karyawan diberi upah atas dasar waktu pelaksanaan pekerjaannya, contohnya kerja harian, mingguan atau bulanan. Sistem pengupahan yang kedua yaitu sistem borongan, yaitu berkaitan dengan kompensansi secara lansung dengan jumlah produksi yang dihasilkan karyawan, dan sistem yang terakhir adalah sistem insentif, yaitu sistem pemberian upah dengan adanya tambahan insentif atau bonusan jika karyawan berprestasi. Seperti yang dijelaskan oleh Baker, Gibbs, dan Holmström (1994) bahwa sebagian ekonom mempunyai pendapat akan pentingya pemberian insentif pada suatu perusahaan. Pemberian insentif harus melalui pengukuran akan kinerja dan tingkat pekerjaan pada masing-masing pekerja. Ketiga sistem tersebut dengan pembayaran dapat dilakukan secara langsung (direct financial payment). Di dalam undang-undang kecelakaan tahun 1974 No. 33 pasal 7 juga dijelaskan bahwa upah dapat dibayarkan melalui satuan waktu, per jam, perhari, dsb. 2.2 Produktivitas Menurut Siagian (2002), produktivitas kerja adalah “kemampuan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan output yang optimal, kalau mungkin yang maksimal”. Seperti halnya devinisi di atas Syarif (1991) juga mengatakan bahwa produktivitas secara sederhana merupakan hubungan antara kualitas yang dihasilkan dengan jumlah kerja yang dilakukan untuk mencapai hasil itu, sedangkan secara umum adalah bahwa produktivitas merupakan ratio antara kepuasan atas kebutuhan dan pengorbanan yang dilakukan. Pendapat lain mengenai produktivitas adalah seperti yang dikemukakan oleh Swastha dan Sukotjo (1995) produktivitas merupakan sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah, energi, dan sebagainya) yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut. Syarif (1991) mengkutip dari Sabourin, menjelaskan pengertian mengenai produktivitas yang merupakan “ratio dari apa yang dihasilkan terhadap saluran apa yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut”. Seperti yang dikemukakan oleh Komarudin (1992), produktivitas pada hakekatnya meliputi sikap yang senantiasa mempunyai pandangan bahwa metode kerja hari ini harus lebih baik dari metode kerja kemarin dan hasil yang dapat diraih esok harus lebih banyak atau lebih bermutu daripada hasil yang diraih hari ini. Sedangkan menurut Woekirno (1979) produktivitas merupakan kesadaran untuk menghasilkan sesuatu yang lebih banyak daripada yang telah atau sedang berada dalam usahanya. Kusriyanto (1993) juga memberikan pendapatnya bahwa produktivitas merupakan nisbah atau ratio antara hasil kegiatan (output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk mewujudkan hasil tersebut (input). Nawawi dan Handari (1990) menjelaskan konsep lain dari produktivitas kerja yang merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh dengan jumlah kerja yang dikeluarkan. Produktivitas kerja dikatakan tinggi jika hasil ynag diperoleh lebih besar dari pada sumber tenaga kerja yang dipergunakan dan sebaliknya.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 213
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Dalam pengukuran produktivitas kerja pada dasarnya digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektivitas dan efisiensi kerja karyawan dalam menghasilkan suatu hasil. Seperti yang dikemukakan oleh Syarif (1991), tingkat produktivitas kerja dapat diukur dengan berdasarkan waktu yang meliputi kecepatan kerja, kedisiplinan waktu kerja, dan tingkat absensi. Pengukuran lain dilakukan melalui output yaitu hasil produksi karyawan yang diperoleh sesuai produk yang diinginkan perusahaan. Sedikit berbeda dengan Syarif (1991), Ravianto (1986) menggunakan alat pengukuran produktivitas karyawan perusahaan berdasarkan physical productivity, pengukuran, produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran (Size) panjang, berat, banyaknya unit, waktu dan banyaknya tenaga kerja. Alat ukur yang kedua yaitu Value productivity, yaitu dengan menggunakan nilai uang, sedangkan menurut Hasibuan (2000) pengukuran produktivitas dapat berupa 6 indikator. Indikator pertama yaitu prestasi, penilaian hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas pekerjaan. Indikator kedua kedisiplinan yaitu penilaian kepatuhan dalam mematuhi peraturan yang ada. Indikator yang ketiga adalah kreatifitas, penilaian kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreatifitas untuk menyelesaikan pekerjaannya. Indikator keempat adalah bekerja sama, penilaian kesediaan karyawan berpartipasi dan bekerja sama baik dengan karyawan lain maupun atasan. Indikator yang lain adalah kecakapan dalam bekerja, dan indikator terakhir adalah tanggung jawab terhadap pekerjaan. Berbeda dengan pendapatnya Hasibuan (2000), dikutip oleh Khoiriyah (2009), Simamora dan Heryanto (2004) menilai indikator produktivitas kerja melalui 3 hal yaitu loyalitas yaitu kesetiaan pegawai terhadap organisasi (perusahaan) dan semangat berkorban demi tercapainya tujuan organisasi, tanggung Jawab, rasa memiliki organisasi dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dilakukan dan ditekuni serta berani menghadapi segala konsekuensi dan resiko dari pekerjaan tersebut, dan penilaian terakhir adalah ketrampilan, kemampuan pegawai untuk melaksanakan tugas serta menyelesaikan pekerjaan. Pengukuran produktifitas lain seperti yang dikutip oleh Laitila (2005) yaitu: Kualitas output (Drucker, 1999), efisiensi dan kontrol waktu, pengetahuan dan kompetensi karyawan (Sipilä, 1996), dan intensitas kerjasama dengan pelanggan (Sipilä, 1996). Umar (2003) menjelaskan bahwa “produktivitas memiliki dua dimensi, yakni: efektivitas yang mengarah pada pencapaian unjuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu. Dimensi yang kedua adalah efisiensi yang berkaitan dengan upaya yang membandingkan masukan dengan realisasi penggunaan atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan”. Umar (2003) juga mengkutip dari Timpe (1989) yang menjelaskan ciri-ciri pegawai yang produktif adalah: Cerdas dan dapat belajar dengan cepat, kompeten secara profesional, kreatif dan inovatif, memahami pekerjaan, cerdik, tidak mudah menyerah, selalu mencari perbaikan, prestasi yang baik, dan selalu meningkatkan kualitas diri. 2.3 Buruh Konstruksi Rivai (2004) menulis tentang pengertian buruh konstruksi yaitu “orang yang bekerja di bawah perintah orang lain sebagain pekerja pekerjaan konstruksi dan orang tersebut menerima upah sebagai imbalan atas pekerjaan yang mereka”. Sedangkan definisi dari kata buruh itu sendiri menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. adalah “Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di (baik diperusahaan/luar perusahaan ) dan menerima upah atau imbalan adalah buruh”. Pada pelaksanaan sekarang buruh
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 214
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
konstruksi dipekerjakan secara outsourcing. Wikipedia menjelaskan mengenai buruh merupakan kelas sosial yang terdiri dari orang-orang yang melakukan kerja manual atau bekerja untuk mendapatkan upah, pada dasarnya ada kekurangan tenaga terampil di bidang ini. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR: PER. 06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas (PHL). Pada tahun 2003 pemerintah juga menetapkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh. 2.4 Penelitian Sebelumnya Pada penelitian yang dilakukan oleh Arlina (2006) tentang pengaruh upah dan lingkungan kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Polysindo Eka Perkasa Kaliwungu-Kendal, yang menyimpulkan bahwa upah dan lingkungan kerja berbanding lurus terhadap produktivitas, semakin besar upah, dan semakin baik pula lingkungan kerja maka produktivitas akan naik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2005) mengenai pengaruh motivasi kerja karyawan terhadap produktivitas kerja karyawan di industri furniture di semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan. Dari penelitian Adrew dan Hyginus (1994) yang meneliti mengenai produktivitas dan gaji di negara yang sedang berkembang, dengan studi kasus di Barbados. Hasil penelitian menyebutkan bahwa efisiensi dari pengupahan, mempunyai dampak yang positif secara langsung terhadap produktifitas pekerja. Pendapat di atas diperkuat oleh penelitian Bhatti and Qureshi (2007), yang meneliti tentang dampak partisipasi karyawan terhadap kepuasan kerja, komitmen dan produktivitas karyawan. Dengan meningkatkan partisipasi dari karyawan, maka akan mempunyai efek positif terhadap kepuasan, komitmen, dan produktifitas karyawan. Pendapat tersebut sedikit ada perbedaan dengan penelitian Özmucur (1997) tentang perbedaan penggajian dan produktivitas pada industri manufaktur swasta dan pemerintah, dengan studi kasus di Turki. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat dekat antara gaji dan produktifitas perusahaan manufaktur swasta, tapi tidak ada hubungan yang erat antara gaji yang diberikan terhadap produktifitas pada pegawai pemerintah. Penelitian lain mengenai produktivitas diantaranya oleh Thwala dan Monese (2007) tentang motivasi merupakan salah satu alat untuk meningkatkan produktivitas pada industri konstruksi. Paper tersebut menyebutkan bahwa produktivitas adalah salah satu faktor yang paling utama yang mempengaruhi pencapaian organisasi. Salah satu faktor untuk meningkatkan produktifitas adalah dengan memberikan motivasi kepada pekerja. Pendapat di atas sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoon (2009), yaitu meneliti mengenai apakah produktivitas berhubungan dengan upah, dengan studi kasus di Malaysia menyebutkan bahwa untuk jangka pendek pengupahan mempunyai hubungan positif terhadap produktivitas, sedangkan untuk jangkah panjang berbeda. Peningkatan upah melebihi peningkatan produktivitas justru menyebabkan peningkatan biaya. Pletter (2004) meneliti mengenai keadilan dan kelayakan dalam sistem pengupahan, bahwa salah satu tugas yang cukup sulit bagi bagian personalia adalah menentukan upah yang dapat diterima oleh karyawan maupun perusahaan, hal ini terjadi karena dalam upah melekat dua kepentingan yang saling bertentangan. Bagi karyawan upah adalah sumber penghasilan, maka ada kecenderungan menuntut upah yang tinggi,
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 215
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
sedangkan bagi perusahaan sebaliknya ada kecenderungan untuk menentukan upah yang seminimal mungkin.
3. Metodologi Penelitian 3.1 Konsep Penelitian ini adalah penelitian survei untuk mengetahui pengaruh sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi pada perusahaan jasa pelaksana konstruksi (kontraktor) berdasarkan persepsi dari mandor atau pengawas lapangan pada perusahaan kontraktor di Surabaya. 3.2 Model Model dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh masing-masing sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi berdasarkan persepsi dari responden yaitu mandor atau pengawas lapangan, seperti pada gambar 3.1 berikut Sistem Prosentase pekerjaan Sistem pekerjaan selesai baru dibayar Sistem harian
Sistem Mingguan Sistem 2 Mingguan Sistem bulanan Sistem Pemberian bonus Sistem tidak ada bonus
Produktivitas
Buruh Kedisiplinan Presensi Semangat kerja
Sistem borongan Sistem jumlah hari kerja
Gambar 3.1. Macam-macam sistem pemberian upah kepada buruh konstruksi di Surabaya
4. Hasil dan Pembahasan 4.1.Deskripsi Variabel Penelitian 4.1.1.Gambaran obyek dan responden penelitian Berbagai macam proyek yang dikerjakan oleh sampel perusahaan konstruksi ini antara lain proyek infrastruktur diantaranya jalan, jembatan, pelabuhan, dan lain-lain. Sedangkan proyek bangunan terdiri dari pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan bangunan hotel, perkantoran, ruko, pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit, puskesmas, perpustakaan dan sekolah, bangunan komersial, perumahan, dan lain-lain. 4.1.2.Jumlah, posisi dan jabatan responden Sampel dalam penelitian ini adalah 37 orang mandor (pimpinan buruh kontruksi pada proyek tertentu) dan 13 pengawas proyek (pegawai perusahaan kontraktor yang ditunjuk untuk mengawasi proyek yang sedang dikerjakan) pada perusahaan kontraktor Surabaya, penelitian dilakukan di berbagai proyek yang sedang di kerjakan dengan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 216
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
lokasinya di Surabaya, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Bojonegoro, seperti pada tabel 4.1 yang menunjukkan jumlah sampel penelitian. Tabel 4.1 jumlah sampel penelitian Posisi (jabatan) Pengawas proyek Mandor
Jumlah 13 orang 37 orang
Prosentase 26% 74%
Dari 50 kuisioner diketahui bahwa beberapa sistem yang digunakan oleh kontraktor Surabaya adalah terdapat pada tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 4.2 sistem dan jumlah responden yang pernah menggunakanya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sistem pemberian upah Sistem prosentase pekerjaan (termin) Sistem pekerjaan selesai baru dibayar (100%) Sistem harian (dibayarkan setiap hari) Sistem mingguan Sistem 2 mingguan Sistem bulanan Sistem Intensif (ada bonus) Sistem tidak ada bonus Sistem borongan Sistem jumlsh hsri kerja
Jumlah responden yang menggunakan 50 orang 32 orang 9 orang 37 orang 32 orang 14 orang 37 orang 50 orang 50 orang 50 orang
4.2. Hubungan sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh kontruksi 4.2.1 Uji Independensi Uji independensi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau keterkaitan antara variabel sistem upah (variabel sistem yang terdiri atas 10 buah atribut) dan variabel produktivitas (faktor disiplin, kehadiran, semangat, kuantitas, dan kualitas). Pengujian dilakukan dengan menggunakan nilai Pearson Chi Square. Dari hasil uji chisquare didapatkan Tabel 4.3 Chi-Square hitung antara sistem upah dan produktivitas Pearson Chi-Square Disiplin
Value 298,236
Table Value 50,9985
P-Value 0,000
Keputusan Tolak H0
Pearson Chi-Square Kehadiran Pearson Chi-Square Semangat Pearson Chi-Square Kualitas Pearson Chi-Square Kuantitas
263,632 600,357 535,146 451,511
50,9985 50,9985 50,9985 50,9985
0,000 0,000 0,000 0,000
Tolak H0 Tolak H0 Tolak H0 Tolak H0
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kelima variabel produktivitas (disiplin, kehadiran, semangat, kualitas, kuantitas) mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan variabel sistem upah dilihat dari semua nilai Pearson Chi-Square yang didapatkan dari hasil perhitungan lebih besar dari nilai Pearson Chi-Square tabel serta bisa dilihat dari semua nilai P yang kurang dari . Karena semua variabel X saling dependen dengan variabel Y, maka kelima variabel X dapat digunakan untuk langkah selanjutnya. 4.3. Sistem pemberian upah yang memberikan pengaruh produktivitas paling besar Suprianto (2000) menjelaskan untuk menganalisa sistem pemberian upah yang memberikan pengaruh paling besar terhadap produktivitas buruh dapat digunakan analisa hasil indeks rata-rata dari masing masing sistem. Dari prosentase terbesar indeks rata-rata tersebut maka akan didapatkan produktivitas buruh konstruksi terbesar. Dari rekapitulasi hasil kuisioner, maka didapatkan hasil tabel 4.4
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 217
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 4.4 penjumlahan dari rekapitulasi hasil kuisioner PRODUKTIVITAS Sistem Upah Sistem Pemperian upah (gaji)
Termin 100% per hari per minggu per dua minggu per bulan bonus tidak ada bonus borongan jumlah hari
Total
Sangat setuju 18 37 4 4 2 2 52 5 152 85 361
Setuju 137 89 22 100 64 19 93 95 25 43 687
Ragu 80 21 14 59 84 28 37 73 20 64 480
Tidak setuju 15 8 4 21 10 20 4 70 23 35 210
Total Sangat tidak setuju 0 5 1 1 0 1 0 7 30 23 68
250 160 45 185 160 70 186 250 250 250 1806
Tabel 4.5 Tabel rata-rata Persepsi responden tentang produktivitas buruh konstruksi untuk masing-masing sistem pemberian upah. Produktivitas (Bi)
Sistem Pemperian upah (gaji)
Sangat setuju 0.050 0.102 0.011 0.011 0.006 0.006 0.144 0.014 0.421 0.235
Termin 100% Per hari Per minggu Per dua minggu Per bulan Bonus Tidak ada bonus Borongan Jumlah hari
Setuju 0.199 0.130 0.032 0.146 0.093 0.028 0.135 0.138 0.036 0.063
Ragu 0.167 0.044 0.029 0.123 0.175 0.058 0.077 0.152 0.042 0.133
Tidak setuju 0.071 0.038 0.019 0.100 0.048 0.095 0.019 0.333 0.110 0.167
Sangat tidak setuju 0.000 0.074 0.015 0.015 0.000 0.015 0.000 0.103 0.441 0.338
Indeks rata-rata tersebut dihitung untuk setiap sistem pemberian upah. Persamaan yang n digunakan adalah:
xB
B x i 1 n
i i
B i 1
x100%
i
Di mana : x B : rata-rata tertimbang beban ke-I (persepsi responden tentang produktivitas pada masing-masing Bi : sistem) data ke-I (persepsi responden tentang produktivitas pada masing-masing sistem) xi : n: banyak data i: Persepsi responden tentang produktivitas buruh konstruksi untuk masing-masing sistem pemberian upah. x B Termin = ((18x0.050)+(137x0.199)+(80x0.167)+(15x0.017)+(0x0.000)) x 100% = 87.453% (0.050+0.199+0.167+0.017+0)
x B 100%
= ((37x0.102)+(89x0.130)+(21x0.044)+(8x0.038)+(5x0.074)) x 100%
ISBN 978-979-99327-8-5
= 43.657%
I - 218
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) (0.102+0.130+0.044+0.038+074)
x B harian = ((4x0.011)+(22x0.032)+(14x0.029)+(4x0.019)+(1x0.015)) x 100%
= 11.772%
(0.011+0.032+0.029+0.019+015)
x B mingguan= ((4x0.011)+(100x0.146)+(59x0.123)+(21x0.100)+(1x0.015)) x 100%
= 60.789%
(0.011+0.146+0.123+0.100+0.015)
x B 2mingguan = ((2x0.006)+(64x0.093)+(84x0.175)+(10x0.048)+(0x0.000)) x 100%
= 65.821%
(0.006+0.093+0.175+0.048+0)
x B bulanan
= ((2x0.006)+(19x0.028)+(28x0.058)+(20x0.095)+(1x0.015)) x 100% (0.006+0.028+0.058+0.095+0.015)
x B bonus = ((52x0.144)+(93x0.135)+(37x0.077)+(4x0.019)+(0x0.000)) x 100%
= 20.297% = 61.266%
(0.144+0.135+0.077+0.019+0)
x B tidakbonus = ((5x0.014)+(95x0.138)+(73x0.152)+(70x0.333)+(7x0.103)) x 100%
= 65.311%
(0.014+0.138+0.152+0.333+0.103)
x B borongan = ((152x0.421)+(25x0.036)+(20x0.042)+(23x0.110)+(30x0.441))x100%
= 77.631%
(0.421+0.036+0.042+0.110+0.441)
x B jumlah hari= ((85x0.235)+(43x0.063)+(64x0.133)+(35x0.167)+(23x0.338)) x100%
= 47.904%
(0.235+0.063+0.133+0.167+0.338)
Dari hasil perhitungan, maka dihasilkan tabel 4.6 Tabel 4.6 Hasil average indeks No
Sistem pemberian upah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Termin 100% Per hari Per minggu Per dua minggu Per bulan Bonus Tidak ada bonus Borongan Jumlah hari kerja
Indeks rata rata (%) 87.45 43.65 11.77 60.79 65.82 20.29 61.27 65.31 77.63 47.90
Dari hasil average indeks di atas diketahui bahwa sistem termin adalah sistem yang paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas buruh kontruksi di Surabaya.
5. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan sebagai berikut : 1. Beberapa sistem pemberian upah digunakan oleh kontraktor di Surabaya, diantaranya sistem prosentase pekerjaan (termin), sistem pekerjaan selesai baru dibayar (100%), sistem harian, (dibayarkan setiap hari), sistem mingguan, sistem 2 mingguan, dan sistem bulanan, sistem insentif (ada bonus), sistem tidak ada bonus, sistem borongan, dan sistem jumlah hari kerja. 2. Ada hubungan antara sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh kontruksi 3. Sistem termin adalah sistem yang memberikan pengaruh paling besar terhadap produktivitas buruh konstruksi di Surabaya jika dibandingkan dengan sistem yang lainya.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 219
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Pustaka Adrew. S. dan Hyginus L. (1994). “The Wage-Productivity Hypothesis in A Small Developing Country: The Case of Barbados”, Journal of Social and Economic Studies, 43: 4 ISSN: 0037-7651. Alvan, J.(1987). Industri Jasa Kostruksi di Indonesia, Aksara, Jakarta. Anoraga, A. (1998). Membina Hubungan Karyawan dan Manajemen. Cipta Ilmu, Bandung. Arlina, B. (2006). “Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada PT. Polysindo Eka Perkasa Kaliwungu-Kendal”, Administrasi Bisnis FISIP, Universitas Diponegoro. Baker, G., Gibbs, M., and Holmstrom, B. (1994). “The Internal Economics of The Firm: Evidence From Personnel Data”, Quarterly Journal of Economics, Vol. 109, pp. 881-919. Bhatti, K. K., and Qureshi T. M. (2007). “Impact of Employee Participation on Job Satisfaction, Employee Commitment And Employee Productivity”, International Review of Business Research Papers, Vol.3 No.2 June 2007, Pp. 54-68. Damayanti, R. (2005). “Pengaruh Motivasi Kerja Karyawan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Di Industri Furniture Di Semarang”, Skripsi, Fakultas ilmu sosial, Universitas Negeri Semarang. Dessler, G. (1998). Human Resources Development, Cipta media, Jakarta. Drucker, P. F. (1999) Knowledge-Worker Productivity: The Biggest Challenge. California Management Review, Vol. 41, No. 2, pp. 79-94. Flippo, L. B. (1980). Prinsiple of Personal Management, Mc Graw-Hill, Koga Kusha, Tokyo. Handoko, H. (2001). Manajemen Personalian Dan Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta. Hasibuan, Y. (2000). Tugas Manajer Perusahaan, Graha Ilmu, Jakarta. Khoon, G. S. (2009). “Is Productivity Linked to Wages? An Empirical Investigation in Malaysia”. CenPRIS Working Paper, No. 102/09 June. Kusriyanto, B. (1993). Meningkatkan Produktivitas Karyawan, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Laitila, J. (2005) “Designing Performance measures for Research Activities”, Master’s thesis, Tampere University of Technology, Department of Industrial Management, 12.7.2005. Khoiriyah, L. (2009). Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada CV. Aji Bali Jayawijaya. Skripsi Program Studi Pendidikan Akuntansi.Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nawawi, H., dan Handari K. (1990). Administrasi Personel Untuk Peningkatan Produktivitas Kerja, Haji Masagung, Jakarta. Özmucur, S. (1997). “Wage and productivity differentials in private and public manufacturing: the case of Turkey”. Department of Economics, University of Pennsylvania, , 3718 Locust Walk, Philadelphia, PA 19104-6297. Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang perlindungan pekerja harian lepas (PHL). Ravianto, J. (1986). Pengukuran Produktivitas, Kanisius, Yogyakarta. Rivai, V. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Siagian, P. (2002). Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta. ISBN 978-979-99327-8-5
I - 220
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Soepriyono, A. (1999). Pemberian Upah Karyawan Untuk Peningkatan Perusahaan, Persada Ilmu, Jakarta. nd Sipilä, J. (1996) The Expert and the Client-How to Handle these Two Roles? 2 Edition. Porvoo, WSOY. Syarif, R. (1991). Produktivitas, Depdikbud, Jakarta. Swastha, B. dan Sukotjo, I. (1995). Pengantar Bisnis Modern, 3d Edition, Liberty, Yogyakarta. Thwala, W. D., and Monese, L. N. (2007). “Motivation as a tool to improve productivity on the construction site”, Paper of Department of Quantity Surveying and Construction Management, University of Johannesburg. Umar, H. (2003). Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Umar, H. (2003). Metode Riset Perilaku Organisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Woekirno, S. (1979). Faktor-Faktor Produktivitas Karyawan, Gramedia, Jakarta.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 221
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“ Halaman ini sengaja dikosongkan ”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 222
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENGUKURAN TINGKAT KEPUASAN OWNER TERHADAP PENERAPAN MANAJEMEN PROYEK OLEH BUJK ASING DI INDONESIA Tri Joko Wahyu Adi1 1
Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email: [email protected]
ABSTRAK Tantangan globalisasi meningkatkan kompetisi dan lingkungan persaingan yang semakin dinamis. Oleh karena itu, indutri konstruksi, khususnya Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) berupaya meningkatkan kinerjanya guna memberikan kepuasan kepada pemilik proyek (owner). Dilain sisi, penerapan manajemen proyek konstruksi merupakan jaminan bahwa proyek konstruksi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. BUJK (kontraktor) asing yang masuk ke Indonesia selama ini dikenal tertib dan rapi dalam menerapkan manajemen proyek. Namun, benarkah owner sudah merasa puas dengan hasil yang diberikan? Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana owner puas terhadap penerapan manajemen proyek konstruksi oleh kontraktor asing yang ada di Indonesia. Populasi penelitian ini adalah owner yang telah menggunakan jasa kontraktor asing di Indonesia. Responden penelitian adalah para pimpinan proyek dan staf teknis yang terlibat langsung dalam proyek. Area penelitian meliputi Riau dan Surabaya (mewakili Indonesia bagian barat), Balikpapan (mewakili Indonesia bagian tengah) dan makassar, NTB serta Papua (mewakili Indonesia bagian timur). Kuisioner digunakan sebagai alat pengumpulan data, dan hasilnya dioleh mengunakan Important-Performance Analysis (IPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar kontraktor asing sudah menerapkan prinsip manajemen proyek namun belum semua owner merasa puas terhadap hasil kerja mereka. Selain itu juga ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki, khususnya terkait kecepatan penanganan masalah/ gangguan lingkungan, komunikasi yang terintegrasi dengan partner lokal, serta mekanisme alih pengetahuan dan teknologi yang belum jelas. Kata kunci: Kepuasan owner, Penerapan manajemen proyek, kontraktor asing
8.
PENDAHULUAN
Kepuasan pelanggan telah menjadi sesuatu yang penting dalam semua bidang produksi seiring dengan semakin meningkatnya kompetensi dan lingkungan persaingan yang semakin ketat membuat setiap perusahaan harus terus meningkatkan dan memperbaiki kinerja untuk dapat memuaskan pelanggannya. Perusahaan menggunakan pengukuran kepuasan pelanggan dalam pengembangan, memonitor, dan mengevaluasi penawaran produk dan layanan serta memotivasi dan untuk kompensasi karyawan (Anderson et al. 1994). Mengukur kepuasan pelanggan juga bermanfaat bagi organisasi, misalnya, meningkatkan komunikasi antar pihak, memungkinkan kesepakatan bersama, mengevaluasi progress menuju tujuan, dan memonitoring hasil yang telah dicapai dan perubahan-perubahan yang ada (Burns and Bush, 2006; Naumann, 1995). Dalam persaingan dunia usaha, kepuasan pelanggan menjadi target utama para pelaku usaha. Untuk keberlangsungan perusahaan tersebut, kepuasan pelanggan menjadi hal yang vital dalam menentukan profit perusahaan. Demikian juga pada industri konstruksi, pentingnya kepuasan pelanggan dan orientasi kepada pelanggan telah tumbuh dikarenakan ketatnya kompetisi. Sebagai penyedia jasa, dalam hal ini kontraktor dan konsultan harus bekerja semaksimal mungkin untuk memuaskan pemilik proyek yang bertindak sebagai pelanggan. Sejak
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 223
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dulu, kinerja dalam bidang konstruksi telah diukur melalui faktor biaya, waktu, dan kualitas atau bisa juga disebut sebagai tiga kendala (triple constraint). Dari “triple constraint” itu, sebuah proyek dianggap sukses jika bangunan tersebut disampaikan atau diselesaikan pada waktu yang tepat dengan harga yang tepat dan berkualitas (Atkinsson, 1999). Menurut Karna (2009), Konstruksi dapat dikategorikan sebagai proyek industri yang lebih spesifik dengan fitur khusus mengenai produksinya, seperti temporalitas, lokasi terbatas, dan bisa disebut sebagai produk yang “one-way ticket”. Karena sifat kompleks dari konstruksi dan karakteristik khusus dari proses produksi proyek, konstruksi telah memiliki beberapa masalah dalam menghasilkan kualitas yang berorientasi pada pelanggan. Meskipun hal tersebut telah diketahui cukup lama, orientasi pelanggan pada konstruksi telah tertinggal dan mengakibatkan pelanggan tidak puas. Hal ini juga dikarenakan pengukuran kinerja proyek secara tradisional atau triple constraint sudah terlalu sederhana untuk diterapkan didalam lingkungan proyek (Dainty et al, 2003). Oleh karena itu perlu adanya sebuah pengembangan yang lebih mendetail mengenai konsep tradisional itu agar lebih bermanfaat bagi sebuah proyek konstruksi. Penerapan manajemen proyek konstruksi akan memerlukan pengetahuan tentang berbagai aspek seperti integrasi, lingkup, mutu, biaya, waktu, resiko, komunikasi, SDM, pengadaan, lingkungan, keselamatan, keuangan dan klaim (PMBOK & CMBOK, 2009). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah badan usaha jasa konstruksi baik nasional maupun asing menerapkan prinsip dan fungsi manajemen proyek konstruksi sehingga pelanggan menjadi puas. Tjiptono & Gregorius (2005) menyebutkan dalam bukunya bahwa kepuasan pelanggan telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis dan manajemen. Organisasi bisnis dan non-bisnis pun berlomba-lomba mencanangkan kepuasan pelanggan sebagai salah satu tujuan strategiknya. Survei yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahan yang masuk dalam fortune 500 menunjukkan bahwa 71% diantaranya berkeyakinan bahwa kepuasan pelanggan merupakan salah satu tantangan terbesar dalam tahun-tahun selanjutnya, namun hanya 18% perusahaan yang memiliki program mapan untuk memantau kepuasan pelanggan (Business Review Weekly, 31 March 1997). Lovelock, Patterson & Walker (2004) mengamati bahwa terjadi tren serupa di kawasan Asia, Australia, dan Selandia Baru. Susetyo (2002) menyebutkan bahwa kontraktor asing yang masuk ke Indonesia dapat dianggap sebagai pendatang baru yang potensial. Pada era globalisasi pasar bebas yang sudah tidak dapat dicegah, proteksi tidak mungkin dilakukan karena sudah ada perjanjian bebas diantara negaranegara yang mempunyai kepentingan sama. Oleh sebab itu harus dicari strategi lain agar supaya proyek konstruksi nasional tidak dikuasai oleh kontraktor asing. Penelitian ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana pelanggan puas terhadap manajemen proyek konstruksi yang diterapkan oleh badan usaha jasa konstruksi. Disamping itu, kegiatan ini juga penting untuk memahami sejauh mana sesungguhnya badan usaha jasa konstruksi menerapkan sistem manajemen untuk mencapai keberhasilan suatu proyek baik dipandang dalam perspektif perusahaan maupun pelanggan. Kajian ini akan juga memberikan pemahaman bagaimana kinerja manajemen proyek konstruksi oleh badan usaha jasa konstruksi nasional dengan kualifikasi kecil, menengah dan besar serta asing atau multinasional di Indonesia.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 224
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
9.
DASAR TEORI
2.1. Identifikasi variabel kepuasan konstruksi terhadap penerapan manajemen proyek konstruksi Sebagai dasar dalam menentukan variabel kepuasan pelanggan konstruksi, penelitian ini mengacu pada penelitian yang ditulis oleh Idrus & Sodangi (2011) mengenai evaluasi kinerja kualitas dari kontraktor di Nigeria. Disebutkan bahwa kinerja kualitas dari sebuah proyek konstruksi terbagi menjadi 2 dimensi yaitu kualitas fasilitas/ product yang dibangun serta kualitas dari layanannya/ service. Dimensi produk disini maksudnya adalah hasil dari gedung atau bangunan konstruksi yang telah dibangun oleh para penyedia jasa, sedangkan dimensi servis maksudnya adalah pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa kepada owner selama masa proyek berlangsung dari awal rencana hingga produk/ bangunan selesai dikerjakan. Kombinasi dari kedua kualitas tersebut akan sangat berperan dalam pencapaian tingkat kinerja kualitas. Tabel 9 di bawah berisi beberapa dimensi kualitas produk dan layanan (Idrus & Sodangi, 2011) yang diambil dari beberapa literatur seperti Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985), Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988), Gronroos (1988), Garvin (1988), dan Evans dan Lindsay (2005). Tabel 9. Dimensi kepuasan pada level proyek No A 1
Dimensi Product Performance
2
Features
3
Reliability
4
Conformance
5
Durability
6
Serviceability
7
Aesthetics
8
Perceived quality
B. 1
Service Time
2
Timeliness
3
Completeness
4
Courtesy
ISBN 978-979-99327-8-5
Deskripsi Fungsi dasar dari fasilitas yang memenuhi kebutuhan pengguna dan tujuan akhirnya. Karakteristik yang melengkapi fungsi dasar fasilitas. Tingkat kepercayaan dimana pengguna akhir dapat menggunakan fasilitas sampai akhir umur rencana, tanpa kegagalan. Tingkat dimana operasional konstruksi memenuhi standar desain dan spesifikasi. Jumlah penggunaan dari pengguna terakhir dapatkan dari fasilitas sebelum adanya penggantian untuk perbaikan. Kecepatan, kesopanan, dan kompetensi dengan pemeliharaan pada fasilitas dapat dilakukan. Tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman pengguna akhir terhadap tampilan fasilitas, merasa, suara, rasa, atau bau. Tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman pengguna akhir terhadap image fasilitas dan publisitas. Durasi kontrak, termasuk waktu tunggu untuk mobilisasi di lapangan. Penyelesaian kontrak pada tanggal yang dijadwalkan/direncanakan. Jumlah item pada daftar yang terealisasi pada saat penyelesaian proyek. Tingkat rasa hormat, kesopanan, keramahan, dan kebaikan di lapangan dan karyawan
I - 225
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5
Consistency
6
Accessability & Convinience
7
Accuracy
8
Responsiveness
9
Reliability
10
Communication
11 12 13
Credibility Security Competence
14
Tangibles
15
Understanding
16
Assurance
17
Empathy
18
Recovery
lainnya. Kemampuan untuk tetap stabil memberikan tingkat pelayanan yang sama untuk semua klien. Kemudahan setelah kontrak pelayanan telah diperoleh. Kemampuan untuk menyediakan layanan yang tepat pada saat pertama dengan jumlah pekerjaan ulang minimal. Kemampuan untuk bereaksi terhadap masalah yang tak terduga selama kontrak. Kesediaan dan kesiapan untuk memberikan layanan yang cepat. Kemampuan untuk menjanjikan melakukan layanan yang handal dan akurat Menjaga pelanggan terus mendapatkan informasi dalam bahasa yang dapat mereka mengerti dan mendengarkan pelanggan ketika diperlukan. Kejujuran dan kepercayaan. Fisik, keuangan dan kerahasiaan. Memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan pada semua karyawan. Fisik fasilitas dan peralatan, dan penampilan karyawan. Kemampuan untuk memahami kebutuhan dan persyaratan klien. Pengetahuan dan kesopanan dari karyawan dan kemampuan mereka untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan. Tingkat kepedulian, perhatian individual perusahaan kepada pelanggan. Kemampuan untuk mendapatkan momentum dan peningkatan dari setiap proyek.
Untuk memfusikan konsep kepuasan kualitas konstruksi dengan penerapan manajemen proyek, maka konsep idrus dan sondagi (2010) perlu digabung dengan konsep project management body of knowledge (PMBOK). Gambar 1 menjelaskan penggabungan tiga konsep, yaitu kepuasan, konstruksi dan manajemen proyek. 2.2. penelitian terdahulu dan posisi penelitian Penelitian terdahulu yang membahas ketiga bidang kelimuan tersebut atau yang membahas kepuasan pelanggan terhadap penerapan manajemen proyek konstruksi diantaranya yaitu Ezekiel, Paul and Pauline (1998) yang meneliti mengenai kepuasan pelanggan di negara UK yang didapat dari survey pada 42 bangunan untuk mendapatkan kriteria-kriteria atau aspek-aspek yang menjadi keinginan dari klien terhadap bangunan-bangunan yang ada di UK. Kemudian setelah survey dilakukan didapatkan 3 urutan teratas hal-hal yang diinginkan oleh klien yaitu kebutuhan akan fungsi bangunan, waktu penyelesaian proyek, dan keefektifan penggunaan dana atau nilai uang. Kemudian Karna (2004) mencoba meneliti mengenai kepuasan pelanggan dan kualitas bagi pihak owner dari pemerintah dan juga swasta, analisis empiris dilakukan untuk meninjau kepuasan pelanggan di konstruksi dari sudut pandang pelanggan publik dan swasta. Hasil penelitian menemukan bahwa pelanggan publik ISBN 978-979-99327-8-5
I - 226
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
lebih tidak terpuaskan dengan performa kontraktor dibandingkan pelanggan swasta. Penelitian selanjutnya oleh Mehmedali dan Abulrezak (2006) mengenai kebutuhan, keinginan, dan harapan klien dari kontraktor dengan klien dari pihak swasta berdasarkan masukan dari pasar konstruksi yang ada di Northern Cyprus. Penelitian menghasilkan beberapa temuan diantaranya klien swasta di tempat tersebut lebih mementingkan harga yang ditawarkan oleh pihak kontraktor, lama kontraktor ada di konstruksi, dan image kontraktor di pasar konstruksi. Menurut Idrus & Sodangi, (2011) Kepuasan konstruksi pada level proyek terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu: dimensi produk dan dimensi pelayanan (service). Kemudian kuisioner disebarkan kepada klien yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pemerintah, semi-pemerintah, dan swasta. Didapatkan hasil bahwa ketiga kelompok klien memiliki persepsi yang sama mengenai kinerja para kontraktor. Penelitian ini mengambil daerah penelitian di Indonesia. Dengan adanya perbedaan budaya dan demografis tertentu, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan di Indonesia kemungkinan akan berbeda dengan di negara/ tempat lain. Sedangkan persamaan dari kelima penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini yaitu semua dilatar belakangi oleh kurangnya perusahaan konstruksi memperhatikan kepuasan pelanggannya yang berakibat tidak baik bagi kelangsungan perusahaan dan persaingan dengan perusahaan lain yang lebih mengerti pada keinginan pelanggan.
Gambar 1. Variabel kepuasan konstruksi terhadap penerapan manajemen proyek
10.
METODE PENELITIAN
3.1. Variabel penelitian Secara umum penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian eksploratif yang dilakukan dengan metode survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data primer atau data pokok. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepuasan pemilik proyek (baik pemerintah maupun swasta) yang pernah menggunakan jasa badan usaha konstruksi (kontraktor) asing.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 227
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Konsep variabel kepuasan konstruksi atas penerapan manajemen proyek diturunkan dari penggabungan konsep kepuasan, konstruksi dan manajemen proyek. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk matriks (seperti pada tabel 2) dan kemudian diturunkan menjadi 27 variabel penelitian (pertanyaan di kuisioner). Tabel 2. Matriks kombinasi 3 konsep.
3.2. Populasi dan sampel penelitian Populasi penelitian ini adalah badan usaha jasa konstruksi asing yang pernah mengerjakan proyek milik pemerintah di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti: Riau dan Surabaya (mewakili Indonesia bagian barat), Balikpapan (mewakili Indonesia bagian tengah) dan makassar, NTB dan Papua (mewakili Indonesia bagian timur). Sampel/ responden penelitian ini adalah para pemilik proyek (pemerintah maupun swasta) yang pernah menggunakan jasa kontraktor asing maupun multinasional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non probabilistic sampling ( purposive Sampling). Alasan pemilihan metoda purposive adalah: 1) Frame populasi tidak dapat diprediksi 2) Terbatasnya responden yang pernah menggunakan BUJK asing maupun multinasional di Indonesia. 3.3. Analisis data Data yang terkumpul dari kuisioner, akan dianalisis untuk menyimpulkan hasil pengukuran kepuasan pelanggan terhadap kinerja manajemen proyek konstruksi di Indonesia. Dari hasil kuisioner, selain akan dicari indikator yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, juga akan dicari kesenjangan (gap) antara harapan dan kenyataan dilapangan. Untuk menganalisis indikator yang paling dominan mempengaruhi
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 228
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
kepuasan pelanggan akan digunakan “mean rank analysis”, sedangkan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan dan kenyataan digunakan analisa kuadran atau “Importance-Performance Analysis”.
11.
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Dari 50 kuisioner yang disebarkan, terkumpul 31 kuisioner (62%). Gambar berikut ini menunjukkan deskripsi profil responden dan informasi proyek yang disurvey. Terlihat bahwa 43% responden telah berpengalaman lebih dari 10 tahun dengan 87% proyek bernilai antara US$ 1 juta sampai dengan US$ 500 juta. Negara asal kontraktor asingpun bervariasi diantaranya berasal dari Asia, Eropa Australia dan Amerika.
Gambar 2. Deskripsi profil responden dan informasi proyek Hasil analisa Important Performance Analysis (IPA) menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang perlu mendapatkan prioritas perhatian yaitu: ketepatan waktu pelaksanaan (terkait dengan schedule yang realistis), penanganan masalah/ gangguan (lingkungan), ketepatan pemilihan partner lokal yang berdampak pada kelancaran komunikasi dan penyediaan SDM berkualitas (lihat Gambar 3).
Kuadran: Prioritas
Gambar 3. IPA diagram
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 229
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Ketidaktepatan waktu penyelesaian lebih disebabkan oleh rentang waktu proyek pemerintah yang tidak realistis akibat dana yang ‘biasanya’ turun mendekati akhir tahun. Sedangkan masalah penanganan masalah (lingkungan), kontraktor asing cenderung tergantung pada partner lokal untuk menyelesaikan. Masalah SDM dan komunikasi yang kurang terintegrasi kebanyakan disebabkan karena problem perbedaan kultur (misal, partner lokal yang perlu beradaptasi pada Standard Operating Procedure (SOP) dan system management yang dibuat oleh kontraktor asing, serta kebiasaan bekerja aman (K3) dan prosedural) dan kekurangmampuan partner lokal berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Hal ini terjadi terutama pada pekerja level teknis (med-low level). Uji t-test yang dilakukan menunjukkan bahwa masih ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kepentingan dan kepuasan owner terhadap penerapan manajemen proyek oleh kontraktor asing di Indonesia, seperti terlihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil uji t test.
Ho: Tidak ada perbedaan antara tingkat kepentingan dan kepuasan H1: Ada perbedaan antara tingkat kepentingan dan kepuasan
Terlihat bahwa P value (sig.) 0,001< 5%, sehingga H1 diterima pada tingkat signifikansi 5%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa “Ada perbedaan antara tingkat Kepentingan dan tingkat Kepuasan”. Dalam penelitian ini juga ditemukan beberapa kendala pelaksanaan partnering kontraktor lokal dan asing di Indonesia, seperti: 1. Perbedaan budaya dan etos kerja: seperti Cultural shock, perbedaan standar hidup, nilai budaya dan sistem sosial; seperti masih terlihat adanya perbedaan fasilitas maupun gaji yang menyolok antara engineer asing dan lokal sehingga timbul kecemburuan sosial. 2. Pemilihan parter lokal: kekurangseimbangan kapasitas dan kapabilitas baik teknis maupun manajemen, termasuk keseimbangan modal kerja. Kecenderungan ‘sekedar’ mencari partner lokal untuk mendapatkan pekerjaan masih terlihat, serta kekurangmampuan berbahasa asing bagi partner lokal, khususnya pada level teknis (mid-low level managment) menjadi kendala dalam bekerja. 3. Mekanisme alih teknologi: Sesuai dengan salah satu tujuan pemerintah bahwa partnering BUJK asing dan lokal dimaksudkan untuk transfer pengetahuan dan teknologi. Namun pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme ini masih belum terlihat dengan jelas. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait mekanisme alih pengetahuan dan teknologi. 4. Transfer budaya: Pengalaman tukar budaya juga menjadi salah satu point penting bagi BUJK lokal, mengingat, kedepan, BUJK nasionalpun akan mencari/ melaksanakan proyek di luar negeri. AFTA dan kesepakatan baru terkait perdagangan bebas di asia, memungkinkan BUJK lokal masuk dan mendapatkan
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 230
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
proyek di negara negara di kawasan Asia. Proses adaptasi budaya, model komunikasi dan penanganan masalah dilapangan akan menjadi modal bagi BUJK lokal untuk bisa beradaptasi di luar negeri.
12.
KESIMPULAN
1. Terdapat 27 variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan klien dalam penerapan manajemen proyek oleh badan usaha jasa konstruksi di Indonesia. Variabel tersebut diderivasi dari 3 konsep, yaitu : konsep kepuasan pelanggan, konsep deliverable proyek konstruksi dan konsep manajemen proyek yang diadopt dari PMBOK. 2. Hasil pengukuran tingkat kepentingan dan kepuasan klien (owner) terhadap kinerja BUJK asing dalam menerapkan manajemen proyek (yang direpresentasikan dalam diagram Kepentingan dan kepuasan) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kepentingan = 4.53, dan rata-rata tingkat kepuasan= 3.59. sehingga tingkat kesesuaian antara kepentingan (ekspektasi) dan kepuasan adalah 85%. Namun dari hasil uji statistik (t test) menunjukkan masih ada perbedaan yang cukup signifikan antara tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan. Ada hal hal yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan penerapannya, seperti penjadwalan yang realistis, penanganan masalah terkait lingkungan dan sosial, serta komunikasi yang terintegrasi antar stakeholders. 3. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan kerjasama antara BUJK asing dan partner lokal, masih menyisakan permasalahan keseimbangan kapasitas/ kapabilitas partner, serta masih belum terimplementasikannya transfer pengetahuan dan teknologi dari BUJK asing kepada BUJK lokal.
13.
APRESIASI (ACKNOWLEDGEMENT)
Peneliti mengucapkan apresiasi yang setinggi tingginya kepada BP konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) karena penelitian ini merupakan salah satu topik penelitian peningkatan kapasitas industri konstruksi Indonesia yang didanai oleh BP Konstruksi kementerian PU tahun anggaran 2012.
DAFTAR PUSTAKA Daniwiyah, Dede. 2011. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Bauran Pemasaran Terhadap Kepuasan Pelanggan (Studi Kasus Bus MGI AC Jurusan SukabumiDepok). Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Gunadarma. Depok. Ezekiel, Paul, and Pauline. 1998. An evaluation of the project needs of UK building clients. International Journal of Project Management Vol. 16 No. 6 pp. 385-391. Elsevier Science Ltd and IPMA. Great Britain. Karna, S., 2004. Analysing Customer Satisfaction and Quality in Construction - the Case of public and Private customers. Nordic Journal of Surveying and Real Estate Research, Special Series, Vol 2. Finland. Hapsari, Yan. 2008. Analisis yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan pada PT. Graha Sarana Duta Semarang, Telkom Group. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Husen, Abrar. 2009. Manajemen Proyek. Andi offset. Yogyakarta. ISBN 978-979-99327-8-5
I - 231
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Idrus and Sodangi. 2011. Framework for Evaluating Quality Performance of Contractors in Nigeria. International Journal of Civil and Environmental Engineering IJCEE-IJENS Vol 10, No 01 pp. 34-39. Malaysia. Karna, Sami. 2009. Concept and Attributes of Customer Satisfaction in Construction. TKK structural Engineering and Building Technology Dissertations. Helsinki University of Technology. Finland. Kotler, P and Donald H., Irving R. 1998. Marketing Places : Attracting Investment, Industry and Tourism to Cities, State and nations. The Free Press Admission Of macmillan inc. New York. Kuncoro, M. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis? Jakarta: Erlangga. Mehmedali and Abdulrezak. 2006. Clients needs, wants and expectations from contractors and approach to the concept of repetitive works in the Northern Cyprus construction market. Building and Evirontment Vol. 41 pp. 602-614. Elsevier Science. Turkey. Munns and Bjeirmi. 1996. The Role of Project Management in Achieving Project Success. International Journal of Project Management Vol. 14 No. 2 pp. 81-87. Elsevier Science Ltd and IPMA. Great Britain. Parasuraman, Zeithaml, and Berry. 1988. A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Servqual, Journal of Retailing Vol 64 No. 1 pp. 23-40. Texas. Project Management Body of Knowledge (PMBOK guid) Fourth Edition. 2008. Project Management Institute, Inc. Soeharto, Iman. 1999. Manajemen Proyek, Jilid 1. Erlangga. Jakarta. Sekaran, U. 2009. Research Method for Business: Metodologi Penelitian Bisnis. Salemba Empat. Jakarta. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta, Bandung. Tjiptono F.,dan Gregorius Chandra. 2005. Service, Quality & Satisfaction. Andi offset. Jogjakarta.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 232
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENGARUH IKLIM ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP NIAT BERHENTI STAF PROYEK PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI DI SURABAYA Krisna Adi Utama1, Putu Artama W.2 1
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: [email protected], [email protected] 2 Dosen Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: [email protected]
ABSTRAK Staf proyek adalah salah satu aset perusahaan yang sangat penting mengingat peranannya sebagai pelaku utama produksi, khususnya pada perusahaan konstruksi. Oleh karenanya dibutuhkan unsur pemeliharaan dari manajemen sumber daya manusia untuk mengelola kebijakan dan langkah strategis untuk mempertahankan karyawannya. Perubahan pada personil proyek yang sifatnya pengunduran diri (voluntary turnover) akan berdampak langsung pada tim proyek, performa proyek, bahkan pada akhirnya berimbas pada organisasi. Efektifitas strategi retensi akan ditinjau pada elemen penting motivasi, yakni kepuasan kerja. Disisi lain, secara makro, manajemen perusahaan juga akan memberikan dampak pada persepsi bersama karyawan terhadap perusahaannya, dan mempengaruhi prilaku karyawan itu sendiri. Tolok ukur keberhasilan usaha pemeliharaan yang dilakukan perusahaan mesti dianalisa dalam dimensi yang kompleks, yakni melibatkan loyalitas serta tingkat stress (burnout) karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepuasan kerja dan iklim organisasi terhadap niat berhenti seseorang, melalui loyalitas dan burnout sebagai variabel interviening (perantara). Penelitian ini menggunakan metode survey terhadap staf perusahaan konstruksi di Surabaya yang terlibat langsung dalam penanganan proyek, kemudian dianalisis dengan Structural Equation Modelling (SEM). Dari hasil analisa didapatkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap loyalitas dan berpengaruh negatif pada niat berhenti. Iklim organisasi juga ditemukan dapat berpengaruh positif terhadap loyalitas dan berpengaruh negatif terhadap tingkat depresi/burnout karyawan. Ditambahkan juga bahwa iklim organisasi memberikan pengaruh tidak langsung terhadap niat berhenti melalui tingkat depresi/burnout karyawan. Kata kunci: Niat berhenti, kepuasan kerja, iklim organisasi, loyalitas, burnout.
1. PENDAHULUAN Manusia sebagai modal perusahaan adalah komponen yang paling utama dari banyak organisasi, bagaimanapun perusahaan perlu untuk menggunakan modal manusia sebagai jalan untuk menampilkan efisiensi kerja dengan menggunakan keahlian dasar mereka (Atif Anis dkk. 2011)[1]. Mempertahankan karyawan yang memiliki kualitas performa yang tinggi, sebagai aset yang sangat bernilai dari banyak perusahaan, adalah salah satu isu dari nilai kompetitif organisasi saat ini (Liew C.H. dan Sharan Kaur, 2008)[2]. Retensi pekerja adalah kemampuan untuk menahan pekerja yang di kehendaki bertahan lebih lama, dari perginya ke pesaing (Jhonson, 2000 dalam Shoaib M., dkk (2009)[3]. Retensi sangat erat hubungannya dengan pengunduran diri karyawan (employee turnover. Retensi karyawan berkembang menjadi dimensi yang lebih luas mengenai usaha pemeliharaan organisasi terhadap sumber daya manusianya. Tidak hanya sekedar menjaga karyawan agar tetap bertahan, namun juga mengendalikan tingkat stress yang diakibatkan pekerjaan serta mempertahankan loyalitas mereka. Pengunduran diri menjadi masalah yang krusial mengingat dampak yang ditimbulkan pada organisasi. Ahlrichs (2000) dan Roodt dan Bothma (1997) dalam ISBN 978-979-99327-8-5
I - 233
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
penelitian Kotze, K dan Roodt, G (2005)[4] menampilkan besarnya pengeluaran atau biaya yang dihasilkan selain hilangnya tenaga kerja, hilangnya pengetahuan dan pengalaman dari organisasi yang akan menghambat performa dari organisasi (Ramlall, 2004) [5].. Niat untuk berhenti diartikan sebagai kecenderungan karyawan untuk keluar (mengundurkan diri) dari perusahaan tempat bekerja Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001)[6]. Adanya turnover intent di dalam perusahaan merupakan bom waktu, yang suatu saat nanti akan meledak, dan sejumlah karyawan akan keluar (eksodus) dari perusahaan di saat perusahaan sedang membutuhkan. Ketika pekerja dengan niat berhenti yang rendah adalah dampak dari persepsi kepuasan kerja dan keamanan kerja (job security), pekerja yang telah memiliki niat berhenti yang tinggi akan menjadi frustasi dan tidak berkosentrasi pada pekerjaannya. Kondisi perusahaan konstruksi di Surabaya pun mengalami perubahan personil tim proyek, berupa karyawan yang mengundurkan diri cukuplah besar. Hal ini biasanya kerap terjadi pada perusahaan di skala kecil dan menengah. Meski belum dapat dipastikan niat seseorang untuk berhenti selalu berakhir dengan pengunduran diri, namun keinginan dan macam motif obsesi seseorang untuk berhenti, menunjukkan rendahnya motivasi kerja, kondisi perusahaan yang gagal menarik karyawan untuk tetap loyal di dalam organisasi. Penelitian ini mencoba mengembangkan model dengan menambahkan variabel loyalitas dan burnout sebagai variabel intervening (perantara) terhadap niat berhenti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan faktor faktor dan bagaimana pengaruh yang bisa diberikan iklim organisasi dan kepuasan kerja terhadap niat berhenti.
2. DASAR TEORI Kepuasan Kerja Kepuasan kerja dalam model tradisional memiliki fokus utama pada apa yang dirasakan individu mengenai pekerjaan atau perasaan senang terhadap pekerjaannya (Al-Hussami, 2008; Crossman and Abou- Zaki, 2003 dalam Atif Anis 2011)[1]. Kepuasan kerja tidak hanya bergantung pada sisi alami pekerjaan, namun juga bergantung pada harapan/espektasi pada apa yang bisa diberikan pekerjaan pada pekerja (Al-Hussami, 2008) [7]. Secara umum, jika pekerja puas dengan supervisi, rekan kerja, kebijakan pembayaran dan promosi ke depan, mereka akan menunjukkan komitmen terhadap organisasi dan puas dengan pekerjaannya (Reed, Kratchman and Strawser, (1994) dalam atif Anis dkk. (2011)[1]. Kepuasan kerja berhubungan untuk menjaga performa kerja, nilai kerja yang positif, tingginya tingkat motivasi, dan mengurangi keabsenan, pengunduran diri dan “burnout” (Chiu, 2000; Tharenou, 1993 dalam Edi Suhanto 2009) [8]. Seorang karyawan yang merasa puas dalam pekerjaannya, akan menunjukkan sikap yang baik secara keseluruhan di tempat kerja dan menyebabkan meningkatnya komitmen terhadap organisasi yang akhirnya akan menyebabkan rendahnya niat untuk keluar dari perusahaan (intention to quit) (Raabe dan Beehr,2003; Ramaswami dan Singh, 2003 dalam Edi Suhanto 2009) [8]. Iklim organisasi Al Shammari dalam Edi Suhanto, (2009) [8] mendefinisikan iklim organisasi sebagai suatu set dari sifat-sifat terukur (measurable properties) dari lingkungan kerja
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 234
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
yang dirasakan atau dilihat secara langsung atau tidak langsung oleh orang hidup yang bekerja di lingkungan tersebut dan diasumsikan mempengaruhi motivasi dan prilaku mereka. Persepsi bersama yang muncul dari kebijakan, praktek, dan prosedur organisasi secara informal dan formal (Reichers dan Scheneider dalam Edi Suhanto, 2009) [8]. Ketidakpastian dalam lingkungan kerja mempengaruhi tingkat stres di kalangan para karyawan dalam suatu organisasi. Lebih lanjut Robbins (2003) dalam Edi Suhanto (2009)[7] berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan potensi sumber stress. Lok dan Crawford (1999) dalam Kotze dan Roodt (2005)[4] menemukan hubungan signifikan yang positif antara komitmen dan tingkat kontrol lingkungan kerja, kontrol dalam konteks ini adalah kebebasan pekerja atau kemampuan untuk mempengaruhi atau merekayasa lingkungan kerja. Penelitian oleh Liew C.H. dan Sharan Kaur (2008)[2] menyatakan bahwa dukungan mengacu pada perhatian/bantuan yang diberikan manajer dan rekan kerja lainnya dalam kelompok dalam bentuk saling mendukung satu sama lain dalam satu organisasi. Iklim dengan dukungan yang baik diyakini dapat mengurangi konflik antar personal. Selanjutnya hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa organisasi dapat menurunkan tingkat pengunduran diri karyawan melalui peingkatan iklim organisasi dengan jalan menghilangkan prosedur atau aturan yang tidak efektif atau memberatkan. Retensi Zhang, Y dan Wallace, M (2008) [9] menuliskan pendapat Frey dan Stechstor (2007) yang menyatakan bahwa staff retention berhubungan dengan keberlanjutan kontrak kerja antara pekerja dengan organisasi dan meliputi aktivitas yang akan diambil oleh organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja. Berdasarkan hasil penelitian Muhammad (1990), Mak dan Sockel (2001)[6] menyatakan bahwa retention dapat termanifestasi ke dalam tiga cara. Pekerja mungkin dapat mengembangkan perasaan loyal dan komitmen organisasi, menjadi sangat tertekan (depresi) dimana menjadi ‘burn-out’ mode, mungkin akan memutuskan apakah dia membutuhkan keberadaan dalam organisasi, merencanakan, dan berniat untuk meninggalkan perusahaan atau merubah jalur karirnya. Loyalitas Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001)[6] menyatakan bahwa loyalitas diartikan sebagai segala sesuatu yang mendukung perasaan setia karyawan pada perusahaan tempatnya bekerja. Loyalitas karyawan mempunyai peranan penting dalam kemajuan perusahaan. Itulah sebabnya perusahaan harus dapat membuat karyawan loyal. Komitmen organisasi adalah kestabilan psikologi atau dukungan yang diberikan individu terhadap organisasi (Carrie re dan Bourque, 2009 dalam Atif Anis et al. 2011)[1]. Pekerja yang memiliki tingkat komitmen organisasi yang tinggi mempunyai merasa memiliki dan menjadi bagian di dalamnya, serta akan berhasrat untuk mencapai target organisasi (Meyer and Allen, 1991 dalam Atif Anis et al. 2011)[1]. Lebih jauh, komitmen individu terhadap organisasi akan menjaga dari absensi dan turnover (Golden and Veiga, 2008 dalam Atif Anis et al. 2011)[1]. Burnout Faktor ke dua yang memungkinkan karyawan yang masih bertahan bekerja di perusahaan yaitu terpaksa bekerja dengan beban emosi karena tidak ada pilihan lain (job ISBN 978-979-99327-8-5
I - 235
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
burnout) Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001) [6]. Pendapat Moore (2000) dalam Kusumawardhani (2005)[11], “Burnout adalah tekanan emosi secara konstan atau berulang-ulang yang diakibatkan karena keterlibatan orang banyak dalam jangka waktu yang lama”. Ditambahan oleh Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001)[6], bahwa burnout berhubungan dengan niat untuk berhenti dan akan menyebabkan komitmen karyawan pada lingkungan perusahaan terhenti atau berlangsung lama. Ketika mengalami burnout dalam profesinya, dan merasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan dengan baik, mereka akan merasa lebih memilih untuk berhenti (Jackson, Schwab, & Schuler 1986 dalam Jiménez B.M, dkk 2012)[10]. Niat untuk berhenti (Turnover Intent) Niat untuk berhenti diartikan sebagai kecenderungan karyawan untuk keluar (mengundurkan diri) dari perusahaan tempat bekerja (Mak, B. L. dan Sockel, H. 2001)[6] . Adanya turnover intent di dalam perusahaan merupakan bom waktu, yang suatu saat nanti akan meledak, dan sejumlah karyawan akan keluar (eksodus) dari perusahaan di saat perusahaan sedang membutuhkan. Ketika pekerja dengan niat berhenti yang rendah adalah dampak dari persepsi kepuasan kerja dan keamanan kerja (job security), pekerja yang telah memiliki niat berhenti yang tinggi akan menjadi frustasi dan tidak berkosentrasi pada pekerjaannya. Niat berhenti dari pekerja yang rendah mengindikasikan bagusnya retensi pekerja.
3. METODOLOGI Berdasarkan kajian pustaka maka hipotesa penelitian dikembangkan sebagai berikut dan model penelitian yang ditunjukkan pada gambar 1: H1 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap Loyalitas H2 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap Burnout H3 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti H4 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap Loyalitas H5 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Burnout H6 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti H7 : Loyalitas mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti H8 : Burnout mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti
Gambar 1: Model kerangka penelitian
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 236
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Populasi, Sampel dan Instrumen Penelitian Populasi target yang ditetapkan adalah staf proyek konstruksi yang bekerja pada perusahaan konstruksi dengan grade menengah (grade 5 dan 6) yang berdomisili di wilayah Kota Surabaya Propinsi Jawa Timur dan terdaftar dalam asosiasi-asosiasi kontraktor seperti, Gapensi, Gapesindo, dll. Sedangkan kriteria dari staf proyek adalah karyawan tetap perusahaan yang terlibat langsung dalam pengendalian dan pelaksanaan proyek.Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan model probability sampling. Rancangan sampling menggunakan sampling sistematik. Jumlah sampel minimal yang diambil dalam penelitian ini adalah 5 dikalikan 30 (parameter penelitian) yaitu 150 sampel. Instrumen penelitian dikumpulkan dari kajian teori dan penelitian terdahulu, yakni 5 item kuisioner kepuasan kerja Veldsman, T.H, 8 item kuisioner iklim organisasi Veldsman, T.H, 4 item kuisioner komitmen organisasi Porter’s, 10 item kuisioner burnout Pines dan Aronson, serta 4 item kuisioner niat berhenti dari Igbaria dan Larson. Masing masing indikator akan diukur dengan menggunakan skala likert yang akan diberi nilai 1 sampai 5.
4. HASIL DAN DISKUSI Analisa desriptif responden ditunjukkan pada tabel 1 dimana sebagian besar responden adalah laki-laki, telah berumah tangga, dan pendidikan mayoritas responden adalah Strata. 57% responden telah bekerja selama 3-10 tahun. Posisi bekerja dari responden pun relatif berimbang dari beberapa posisi penanganan proyek. Tabel 1: Deskriptif Responden Jenis Kelamin Pria Wanita Status Pernikahan Menikah Belum menikah Tanpa keterangan Pendidikan Terakhir SLTA D3 S1-S2 Pengalaman Kerja 1-2 tahun 3-10 tahun 10 tahun+ Jabatan /posisi kerja Manajer Proyek Site Manager Pelaksana Engineer Logistik Keuangan
ISBN 978-979-99327-8-5
N
%
123 27
84 16
110 29 11
74 19 7
31 18 101
22 11 67
28 86 36
19 57 24
17 23 31 17 10 46
11 15 21 11 7 31
I - 237
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Analisis faktor konfirmatori ini merupakan tahap pengukuran terhadap indikator-indikator yang membentuk variabel laten dalam model penelitian. Analisis Konfirmatori dilakukan antar variabel eksogen dan antar variabel endogen. Pada model konfirmatori eksogen terdapat dua variabel eksogen yaitu kepuasan kerja dan iklim organisasi. Sedangkan model model konfirmatori terdapat tiga variabel endogen yaitu loyalitas, burnout, dan niat berhenti. Setelah melalui analisis konfirmatori 2 model yang telah memenuhi kriteria goodness fit akan digabungkan dalam satu model persamaan struktural untuk dianalisa. Model ditampilkan dalam gambar 2, dan hasil penilaian goodness of fit nya ditampilkan pada tabel 4.
Gambar 2: Model persamaan struktural Tabel 2 : Penilaian Goodness Fit Model Persamaan Struktural GOODNESS of FIT INDEX Significance Probability CMIN/DF GFI AGFI CFI TLI RMSEA
CUTOFF VALUE ≥ 0,05 ≤ 2,00 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,95 ≤ 0,08
NILAI 0.022 1.343 0.887 0.833 0.972 0.964 0.056
PENILAIAN Fit Fit Marginal Marginal Fit Fit Fit
Hasil uji Chi-square menunjukkan model telah fit yaitu dengan nilai Chi-squares 108.752 dengan probabilitas p= 0.022. Begitu juga dengan kriteria fit lainnya yakni CFI, TLI, CMIN/DF , dan RMSEA semua juga telah memenuhi syarat yang direkomendasikan. Hanya nilai GFI dan AGFI yang masih berada pada batas yang masih bisa diterima (marginal). Uji Normalitas Data, Reliabilitas dan Varians Entrance Evaluasi normalitas dilakukan dengan menggunakan criteria critical ratio skewness value sebesar ±2.58 pada tingkat signifikansi 0.01. Pada hasil output pada software AMOS 19.0 dari nilai critical ratio skewness value, semua indikator menunjukkan distribusi normal karena nilainya dibawah 2.58. Sedangkan uji normalitas multivariate memberikan nilai cr 2.276, jadi data telah berdistribusi normal. Reliabilitas adalah ukuran konsistensi internal dari indikator-indikator sebuah variabel bentukan yang menunjukkan derajat sampai dimana masing masing indikator itu mengindikasikan sebuah variabel bentukan yang umum. Pada tabel 3, nilai reliabilitas untuk masing-masing konstruk memiliki nilainya diatas cut-off value 0.70. Variance Extracted memperlihatkan jumlah varians dari indikator yang ISBN 978-979-99327-8-5
I - 238
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
diekstraksi oleh variabel bentukan yang dikembangkan. Nilai variance extracted yang tinggi menunjukkan bahwa indikator-indikator itu telah mewakili secara baik variabel bentukan yang dikembangkan. Pada tabel 3, nilai variance extracted untuk masingmasing konstruk memiliki nilai diatas cut-off value 0.50 Tabel 3: Reliabilitas dan Variance entrance Reliability Kepuasan kerja Iklim organisasi Loyalitas Burnout Niat berhenti
0.880 0.840 0.757 0.847 0.943
Variance extrance 0.595 0.637 0.609 0.649 0.892
Pengujian Hipotesis Pengujian 8 hipotesis penelitian ini dilakukan berdasarkan nilai ratio Critio Ratio (CR) dari suatu hubungan kausalitas dari hasil pengolahan SEM sebagaimana pada tabel 4. Nilai CR yang lebih besar dari ±1.96 dan probabilitas yang lebih kecil dari 0,05; menunjukkan bahwa hipotesa yang diajukan dapat diterima. Tabel 4: Nilai Regresi Loyalitas Burnout Niat berhenti Loyalitas Burnout Niat berhenti Niat berhenti Niat berhenti
-----------------
Kepuasan kerja Kepuasan kerja Kepuasan kerja Iklim organisasi Iklim organisasi Iklim organisasi Loyalitas Burnout
C.R 3.945 -0.715 -3.013 2.598 -2.459 1.512 -0.182 4.915
P
*** 0.475 0.003 0.009 0.014 0.131 0.855
***
Dengan melihat tabel 4, maka lima dari delapan hipotesa dapat diterima, antara lain kepuasan memberi pengaruh positif terhadap loyalitas (C.R. 3.945; p= p=dibawah 0.001), dan berpengaruh negatif terhadap niat berhenti dengan (C.R. -3.013; p= 0.003). Iklim memberi pengaruh positif terhadap loyalitas (C.R. 2.598; p= 0.009), dan berpengaruh negatif terhadap burnout (C.R. -2.459; p= 0.014). Burnout juga menunjukkan pengaruh negatif terhadap niat berhenti dengan critical ratio 4.915 dan signifikasi pada 0.1.
Gambar 3: Model variabel yang berpengaruh dan nilai loading faktor
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 239
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Gambar 3 menunjukkan model akhir yang terbentuk , menampilkan variabel penelitian yang memiliki pengaruh signifikan serta nilai loading faktor dari indikator yang mendukung model pada masing masing variabel. Tabel 5 : Nilai efek tidak langsung Iklim Organisasi Standardized Indirect Effects Burnout 0 Loyalitas 0 Niat Berhenti -0.219
Kepuasan Kerja
Burnout
Loyalitas
0 0 -0.08
0 0 0
0 0 0
Hasil tabel 5, menunjukkan bahwa variabel burnout memberikan nilai efek tidak langsung paling besar sebagai variabel interviening, yakni ketika menghubungkan Iklim Organisasi ke Niat berhenti, yakni sebesar -0.205. Hubungan pengaruh model secara keseluruhan sangat terkait dengan sejumlah faktor yang berhasil direduksi dan terlibat secara menyeluruh terhadap model penelitian yang dikembangkan. Model yang dipilih sebagai hasil penelitian adalah model terbaik yang diyakini bisa mendekati keadaan sesungguhnya, dari beberapa model yang bisa dihasilkan. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas. Penelitian ini memperkuat pendapat Reed, Kratchman and Strawser (1994) dalam Atif Anis dkk. (2011)[1]. Lebih jauh penelitian ini menunjukkan bahwa evaluasi performa, kepemimpinan dan kompensasi merupakan faktor kepuasan kerja terkait dengan pengaruhnya terhadap loyalitas. Kepuasan kerja tidak mempunyai pengaruh terhadap depresi/burnout. Mengingat pemicu burnout bisa muncul dari tiga hal, yakni penyebab stres (stressor), yakni organizational stressor, life events yang didominasi dari peristiwa kehidupan individu serta individual stressor (Singer,1990; Robbins, 1996,p.224, Cook, 1988,p.18 dalam Edi Suhanto 2009) [8]. Dalam hal ini stress bisa muncul sebagai implikasi dari pemaparan diatas, yakni lebih dipengaruhi dari peristiwa kehidupan individu dan karakteristiknya dalam memandang lingkungannya. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap niat berhenti, dengan demikian semakin tinggi kepuasan kerja maka akan semakin menurun niat untuk berhenti (turnover intent). Hasil penelitian ini mempertegas dan memperkuat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Raabe dan Beehr,2003; Ramaswami dan Singh, (2003) dalam Edi Suhanto (2009) [8]. Penelitian ini juga memperkuat pendapat Lok dan Crawford (1999) dalam Kotze dan Roodt (2005) [4] yang menunjukkan semakin baik kondisi iklim organisasi maka semakin meningkat loyalitas pegawainya. Dukungan Organisasi memiliki loading faktor tertinggi yakni 0.838, diikuti indikator Komunikasi (0.763); Kejelasan Organisasional (0.761); Perencanaan (0,750), serta Kordinasi dan Kontrol (0.742). Tentunya dengan iklim organisasi yang dibentuk melalui sistem manajerial yang baik akan memberikan kenyamanan dalam bekerja, menciptakan inspirasi untuk berkembang. Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap depresi/burnout. Penelitian ini memperkuat pendapat Robbins (2003) dalam Edi Suhanto (2009) [8] berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan potensi sumber stres. ISBN 978-979-99327-8-5
I - 240
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa iklim organisasi tidak mempunyai pengaruh terhadap niat untuk berhenti/turnover. Dalam pengujian analisis jalur pada tabel 5, dinyatakan bahwa iklim organisasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung terhadap niatan berhenti dari staff proyek, ataupun secara tidak langsung melalui variabel loyalitas. Namun demikian nilai total efek tidak langsung dari Iklim Organisasi ke Niat Berhenti adalah -0.219, yang jauh lebih besar daripada nilai total efek tidak langsung dari Kepuasan Kerja ke Niat Berhenti, yakni 0,08. Nilai efek tidak langsung ini didapatkan dari jalur tidak langsung melalui variabel burnout (-0.205). Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi sistem manajerial tidak akan menghalangi niat berhenti seseorang, namun iklim yang baik akan menjaga kadar stres karyawan yang merupakan alasan seseorang untuk meninggalkan organisasinya. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa depresi/burnout mempunyai pengaruh positif terhadap niat untuk berhenti/turnover. Penelitian ini memperkuat pendapat Jackson, Schwab, & Schuler (1986) dalam Jiménez B.M, dkk (2012) [10] yang menyatakan bahwa ketika mengalami burnout dalam profesinya, dan merasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan dengan baik, mereka akan merasa lebih memilih untuk berhenti.
5. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas maka usaha pemeliharaan karyawan yang dilakukan oleh perusahaan konstruksi mesti menitik beratkan dalam hal pemenuhan kepuasan kerja karyawannya serta menciptakan iklim organisasi yang kondusif. Kepuasan kerja meliputi kepuasan terhadap evaluasi performa, kepemimpinan dan kompensasi akan meningkatkan partisipasi aktif karyawan dalam bentuk loyalitas (komitmen organisasi) dan menjaga karyawan agar tetap bertahan dalam organisasinya. Begitu juga dukungan organisasi, komunikasi, kejelasan organisasional perencanaan, serta koordinasi dan kontrol yang baik akan menciptakan kenyamanan bekerja, menjaga motivasi karyawan tetap pada level yang tinggi, serta melemahkan tingkat depresi (burnout) karyawan. Niat berhenti staf proyek pada perusahaan konstruksi grade menengah di kota Surabaya sebagai objek penelitian lebih mengarah pada obsesi mereka untuk mendapatkan penerimaan dan jabatan yang lebih tinggi. Mengingat pengunduran diri karyawan yang performanya baik merupakan kerugian besar, maka hal ini perlu diantisipasi dengan menciptakan peluang karir, penghargaan berdasarkan kinerja, serta daya saing dan perkembangan perusahaan konstruksi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA 1. Atif Anis et al., Kashif-ur-Rehman, Ijaz-Ur-Rehman,Muhammad Asif Khan and Asad Afzal Humayoun (2011), Impact of organizational commitment on job satisfaction and employee retention in pharmaceutical industry, African Journal of Business Management vol.5 (17), pp. 7316-7324. 2. Liew Chai Hong dan Sharan Kaur., (2008), A Relationship between Organizational Climate, Employee Personality and Intention to leave, International Review of Business Research Paper. Vol.4 No. 3. June 2008 p.1-10
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 241
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. Shoaib M., Noor A., Tirmizi S. R., Bashir S (2009). Determinants of Employee nd Retention in Telecom Sector of Pakistan. 1 Proceedings 2 CBRC, Lahore, Pakistan November 14, 2009. 4. Kotse K. & Roodt G. (2005), Factor that Affect the Retention of Managerial and Specialist Staff, SA Journal of Human Resource Management, 3(2),48-55. 5. Ramlall, S. (2004), A Review of employee motivation, employee retention within organization, J. Am. Acad. Bus. Cambridge, 5(1/2): 52. 6. Mak, Brenda. L. dan Sockel, Hy, (2001), A Confirmatory Factor Analysis of IS employee motivation and retention, Information & Management 38; 265-276 7. AL-Hussami M. (2008), A Study of nurses' job satisfaction: The relationship to organizational commitment, perceived organizational support, transactional leadership, transformational leadership, and level of education, Eur. J. Sci. Res., 22(2): 286-295. 8. Edi Suhanto. (2009), Pengaruh Stres Kerja dan Iklim Organisasi terhadap Turnover Intention dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening (Studi di Bank Indonesia). Tesis Magister Manajemen UNDIP Semarang. 9. Zhang,Y and Wallace,M (2008), Retaining Key Staff in SOEs in The Construction Industry in China, Graduete College of Management Papers, ePublication@SCU. 10. Jiménez B.M, Herrer M.G, Carvajal R.R and Vergel A.I.S (2012) A study of physicians’ intention to quit: The role of burnout, commitment and diffi cult doctor-patient interactions. Psicothema 2012. Vol. 24, nº 2, pp. 263-270 ISSN 0214 - 9915 CODEN PSOTEG www.psicothema.com Copyright © 2012 Psicothema. 11. Kusumawardhani, R. (2005), On road to turnover: an examination of work exhaustion in technology professionals, MIS Quarterly, Vol. 24. 24:1-3.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 242
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
MODEL ‘DEMAND’ PENGGUNA ‘SHELTER' EVAKUASI PADA ZONA RAWAN TSUNAMI DI KOTA PADANG Purnawan1, Widya Retno A2 1 2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas, Padang, [email protected] Asisten Lab Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas, Padang, [email protected]
ABSTRAK Kota Padang merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang selalu mengalami bencana akibat gempa tektonik dan vulkanik. Para ahli memprediksi bahwa kota Padang berkemungkinan besar akan terkena bencana tsunami jika gempa tektonik besar terjadi. Setelah kejadian tsunami melanda wilayah Aceh dan Mentawai, setiap terjadi gempa besar warga di kota Padang yang tinggal di zona rawan tsunami mengungsi ke wilayah yang aman terhadap bencana tsunami. Berdasarkan kondisi demikian, maka pemerintah kota Padang membuat jalur evakuasi dan menetapkan 21 bangunan yang dapat digunakan sebagai shelter. Jumlah shelter yang dibutuhkan saat ini tidak dapat diestimasi dengan pasti karena tidak ada metode untuk menetapkan jumlah kebutuhan shelter pada saat terjadi evakuasi sesuai dengan kondisi kota Padang. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model untuk mengestimasi kebutuhan shelter untuk menampung pengungsi pada saat proses evakuasi. Model ini terdiri dari model bangkitan pengungsi pada saat terjadi bencana dan model pemilihan jenis fasilitas untuk evakuasi. Model bangkitan evakuasi dibuat berdasarkan metode regresi linier, sedang model pemilihan jenis fasilitas evakuasi dibuat dengan metode logit biner selisih. Dengan menggunakan 2 model ini, jumlah kebutuhan shelter untuk evakuasi dapat diprediksi dan simulasikan. Kata kunci : model ‘demand’, pengungsi, evakuasi, shelter
1. PENDAHULUAN Kota Padang merupakan salah satu kota di Sumatra Barat yang selalu mengalami gempa setiap saat, kejadian ini disebabkan karena wilayah Sumatra Barat berada diantara pertemuan dua lempeng benua besar, yaitu lempeng India-Australia dan lempeng Eurasia. Selain itu Sumatra Barat juga berada pada wilayah patahan besar Sumatera yang sering disebut dengan sesar Semangko. Pergerakan lempeng-lempeng ini berpotensi menimbulkan gempa, ditambah adanya aktifitas gunung berapi Merapi, Tandikat dan Talang maka potensi intensitas gempa yang tinggi semakin besar. Sejak terjadinya gempa besar pada bulan Desember 2004 di Aceh dan menyebabkan terjadinya tsunami yang menyebabkan kematian ribuan penduduk, serta adanya prediksi oleh para ahli luar negeri dan Tim 9 Indonesia kemungkinan terjadinya gempa ‘Megathrust’ yang berpotensi tsunami di wilayah pantai Sumatra Barat, maka setiap terjadi gempa yang cukup besar, penduduk yang bertempat tinggal di tepi pantai dan sekitarnya umumnya mengungsi ke wilayah yang relatif lebih tinggi. Penduduk melakukan demikian karena merasa takut akan terjadinya tsunami paska gempa terjadi. Kodisi ini diperkuat lagi dengan adanya tsunami yang terjadi di pulau Mentawai paska gempa 7.2 SR bulan Oktober 2010 yang menewaskan ratusan penduduk (Latief, 2005).
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 243
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Untuk mempersiapkan dan mengatasi kemungkinan masalah yang mungkin terjadi pada saat penduduk mengungsi, maka pemerintah daerah kota Padang telah membuat jalur evakuasi dan menetapkan 21 bangunan fasilitas umum sebagai shelter jika terjadi tsunami (Ridwan, 2012). Jumlah shelter yang disediakan oleh pemerintah saat ini masih jauh untuk mencukupi kebutuhan evakuasi. Pada saat ini metode penetapan jumlah shelter yang diperlukan untuk evakuasi belum ada, kondisi demikian menyebabkan kesulitan Pemda kota Padang untuk menetapkan kebutuhan shelter yang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Penelitian ini dilakukan untuk membuat model demand pengguna shelter yang dapat digunakan untuk mengestimasi kebutuhan jumlah dan kapasitas shelter yang harus disediakan oleh Pemerintah kota Padang.
2. TSUNAMI DAN FASILITAS EVAKUASI Gempa Bumi dan Tsunami Delfebriadi (2010) menyatakan bahwa Indonesia merupakan kepulauan yang terletak di antara pertemuan Lempeng Eurasia dan Australia yang selalu bergerak. Oleh karena itu Kepulauan Indonesia sangat rawan terhadap bencana gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api. Daerah yang berada di pesisir barat Sumatera merupakan sebagian dari daerah pesisir Indonesia yang berada relatif dekat dengan subduction zone. Pada subduction zone terjadi pertemuan lempeng benua dan lempeng samudra (lempeng Indo-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di utara dan lempeng Pasifik di timur) yang bersifat menghujam dan potensial menimbulkan tsunami besar setiap periode tertentu. Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada periode tertentu saling bertabrakan. Proses alami ini menghasilkan gempa tektonik. Menurut BMKG (2010), tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh gempa bumi, akibat tanah longsor di dasar laut, letusan gunung api yang terjadi di dasar laut. Gelombang besar tersebut akan naik ke daratan dan menyapu berbagai benda yang dilaluinya. Tsunami dapat terjadi bila sumber gempa terletak di laut pada kedalaman sangat dangkal. Kota Padang memiliki potensi episentrum gempa yang berkekuatan tinggi (> 8 MMI). Bila episentrum gempa ini berada di bawah dasar laut kemungkinan besar akan berpotensi menimbulkan gelombang tsunami yang dapat melanda kota Padang. Walaupun waktu terjadinya gempa bumi belum bisa diprediksikan secara akurat, keadaan ini membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dan persiapan yang baik seperti membuat pemodelan untuk memprediksi demand pengguna shelter di lokasi bencana. Bangunan Penyelamatan Darurat (Shelter) Berdasarkan Pedoman Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi dalam Rangka Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Padang yang disusun Departemen Pekerjaan Umum (2010), untuk mengurangi korban jiwa dan dampak kerusakan dari gejala alam ini diperlukan sebuah kajian tata ruang sebagai bagian tambahan dari rencana tata ruang wilayah yang sudah ada. Instrumen rencana ini berupa mitigasi bencana yang diwujudkan ke dalam pemetaan rawan bencana, rencana penetapan bangunan penyelamatan (escape building), rencana jalur penyelamatan/evakuasi (escape road), dan rencana lokasi penyelamatan darurat (shelter). Dengan demikian diharapkan dampak dari bencana tersebut paling tidak dapat diminimalisir sedini mungkin, baik
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 244
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
pada saat kejadian maupun pada saat pasca kejadian. Bangunan penyelamatan untuk evakuasi mempunyai beberapa kriteria. Kriteria tersebut adalah bangunan umum yang tidak memiliki tingkat kerahasiaan tinggi, terletak tidak lebih dari 1 km dari konsentrasi penduduk yang harus diselamatkan, terletak pada daerah yang diperkirakan hanya akan rusak ringan, bila berada di daerah yang diperkirakan akan rusak berat, maka bangunan tersebut harus diperkuat konstruksinya, terletak pada jaringan jalan yang aksesibel/mudah dicapai dari semua arah dengan berlari/berjalan kaki, bangunan harus mempunyai minimal 2 atau 3 lantai dan diperkirakan setiap orang akan membutuhkan ruang minimum 2 m2. Model Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) Bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh suatu zona per satuan waktu, dari pengertian tersebut maka bangkitan perjalanan dimaksudkan untuk memperkirakan dan meramalkan jumlah perjalanan yang keluar dari suatu zona dan jumlah perjalanan yang tertarik menuju suatu zona pada masa yang akan datang (tahun rencana) per satuan waktu. Banyaknya perjalanan pada tahun rencana, akan ditentukan oleh karakteristik tata guna lahan serta karakteristik sosial ekonomi tiap-tiap kawasan. Tamin (2000) menyatakan bahwa ada beberapa metode analisis yang dipakai dalam tahap bangkitan perjalanan, tetapi pada penelitian ini metode yang digunakan untuk meramalkan bangkitan pengungsi adalah metode analisa regresi. Metode ini merupakan alat analisis statistik yang menganalisis faktorfaktor penentu yang menimbulkan suatu kejadian atau kondisi tertentu yang diamati, sekaligus menguji sejauh manakah kekuatan faktor-faktor penentu yang dimaksud berhubungan dengan kondisi yang ditimbulkan. Model Pemilihan Moda/Pemilihan Jenis Evakuasi Tamin (2000) menyatakan bahwa pemilihan moda merupakan metode memprediksi pelaku perjalanan dalam memilih moda untuk pergerakannya. Model pemilihan moda dapat digunakan untuk mengetahui probabilitas pergerakan orang atau kendaraan. Pada saat terjadinya gempa yang berpotensi tsunami, sejumlah orang akan keluar untuk melakukan tindakan evakuasi baik evakuasi vertikal (naik ke bangunan shelter) atau evakuasi horizontal (menggunakan jalur evakuasi). Untuk menentukan peluang/probabilitas pengungsi menggunakan shelter dan jalur evakuasi digunakan salah satu metode pemilihan moda yaitu metode logit biner selisih dengan teknik analisa regresi. Metode ini merupakan metode untuk menentukan probabilitas antara beberapa pilihan dengan meregresi utilitas acak dan terikat.
3. PENGUMPULAN DATA DAN PEMBUATAN MODEL Pengumpulan data Pada pemodelan bangkitan perjalanan dan pemilihan jenis fasilitas pengungsian, berbagai variabel yang akan digunakan ditetapkan lebih dahulu. Variabel tersebut dipilih berdasarkan perilaku masyarakat dan dapat diperoleh datanya di lapangan. Untuk memperoleh data perilaku pengungsi pada saat melakukan pengungsian maka digunakan teknik stated preference (Pearmain dan Swanson, 1991). Sebelum dilakukan pengumpulan data pada wilayah target maka dilakukan survai pendahuluan, pada survai ini kuesioner terlebih dahulu diujicobakan kepada 10 responden untuk melihat sejauh mana pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik oleh responden dan sudah
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 245
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
mengakomodasi semua kondisi yang diperlukan untuk penelitian. Setelah penyempurnaan terhadap formulir survai dilakukan, maka dilakukan survai wawancara pada wilayah zona rawan tsunami di kota Padang. Untuk menentukan jumlah sampel yang akan dijadikan objek penelitian dihitung dengan teknik random sampling metode estimasi proporsi. Jumlah total sampel yang telah diambil dari zona rawan tsunami adalah 500 responden, tiap zona diambil sampel sebanyak 100 responden. Pembuatan Model Pemodelan dilakukan dalam dua tahap, yang pertama adalah memodelkan bangkitan perjalanan evakuasi dari wilayah zona rawan tsunami dengan metode analisa regresi. Variabel independen yang digunakan dalam model ini adalah jumlah pengungsi, sedang dependen adalah jumlah penduduk. Pada tahap kedua dilakukan pemodelan pemilihan fasilitas evakuasi dengan metode logit biner selisih, variabel dari model ini adalah waktu perjalanan menuju fasilitas evakuasi. Data untuk pemodelan diperoleh dari survai dengan metode state preference. Hasil kedua pemodelan ini dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah pengungsi yang menggunakan jenis fasilitas evakuasi yang dipilih. Prediksi Demand dan Luas Kebutuhan Shelter Dengan menggunakan input data tahun 2012 dilakukan prediksi jumlah pengguna shelter pada zona rawan bencana tsunami di kota Padang. Hasil dari prediksi tersebut digunakan untuk menentukan jumlah luas kebutuhan shelter.
4. HASIL ANALISA DAN PEMODELAN Hasil analisa dari data survai dari 500 responden di 5 zona rawan tsunami ditunjukkan pada Gambar 1 s/d 7. Jenis Kelamin Dari hasil survei, diperoleh data responden laki-laki berjumlah 220 orang atau 44% dan responden perempuan berjumlah 56 orang atau 56%, distribusi data dapat dilihat pada Gambar 1.
56%
44%
Laki-laki
Perempuan
Gambar 1 : Jenis kelamin responden Usia Usia responden didominasi oleh usia dewasa yang berada di antara 31-45 tahun, usia ini merupakan usia produktif. Distribusi data usia responden dapat dilihat pada Gambar 2.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 246
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
7%
Kurang dari 16 tahun 16-30 tahun
6%
24%
28%
31-45 tahun 35%
46-60 tahun Lebih dari 60 tahun
Gambar 2 : Usia responden Jumlah Anggota Keluarga Distribusi jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 3, terlihat bahwa yang dominan adalah jumlah anggota keluarga responden berjumlah antara 5-9 orang.
7% 10%
bujang/single 39%
44%
2-4 orang 5-9 orang
Gambar 3 : Jumlah anggota keluarga responden Jenis Kepemilikan Kenderaan Distribusi kepemilikan kendaraan dari responden dapat dilihat pada Gambar 4, kepemilikan kendaraan terbesar adalah sepeda motor, yaitu sebanyak 74 %. 6%
Sepeda motor
20%
Mobil 74% Tidak ada
Gambar 4 : Jenis kendaraan yang dimiliki responden Jenis Evakuasi Dari hasil survai ditunjukkan bahwa mayoritas responden memilih jenis evakuasi horisontal (jalur evakuasi), jumlah ini sebesar 62 %. Distribusi data survai dapat dilihat pada Gambar 5.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 247
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Vertikal 38%
Horizontal
62%
Gambar 5 : Jenis evakuasi yang dipilih responden Alasan Pemilihan Jalur Evakuasi Dari survai ditunjukkan bahwa sebagian besar (44%) responden memilih jalur evakuasi disebabkan jalur evakuasi lebih aman daripada naik ke atas gedung. Distribusi data survai dapat dilihat pada Gambar 6.
18% 44%
21% 16%
Lebih aman daripada naik ke atas gedung Kapasitas jalan cukup besar Tidak adanya shelter Mengetahui jalur evakuasi
Gambar 6 : Alasan pemilihan jalur evakuasi Alasan Pemilihan Shelter Pemilihan bangunan shelter oleh mayoritas responden (36%) sebagai bangunan penyelamat adalah didasarkan alasan pemilihan bahwa bangunan shelter mudah dijangkau. Distribusi alasan pemilihan shelter ditunjukkan pada Gambar 7. Bangunan aman
14% 36%
19% 31%
Lebih cepat dari jalur evakuasi Bangunan shelter mudah dijangkau Bangunan cukup tinggi perlindungan
Gambar 7 : Alasan pemilihan shelter untuk evakuasi
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 248
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Model Demand Pengguna Shelter Pemodelan demand pengguna shelter dilakukan dengan metode analisa regresi. Beberapa parameter model dipilih untuk mendapatkan model yang terbaik. Dari hasil uji statistik t-test, F-test dan koefisien determinasi, maka diperoleh persamaan model yang terbaik dengan persamaan model Y = 0,715.X+ 2334,517 dengan Y merupakan jumlah pengungsi saat terjadinya bencana gempa yang berpotensi tsunami per zona dan X merupakan jumlah penduduk tiap zona. Model Pemilihan Jenis Fasilitas Mengungsi Untuk menentukan probabilitas pengguna bangunan shelter dan jalur evakuasi, maka dilakukan analisa terhadap data stated preference dengan membuat model utilitas dengan analisa regresi. Pilihan di-rating berdasarkan skala probabilitas dan ditransformasi menjadi skala numeris, kemudian data stated preference dengan perubahan waktu tempuh diregresi untuk setiap zona. Hasil model probabilitas pemilihan fasilitas evakuasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1: Model probabilitas pemilihan fasilitas evakuasi ditiap zona Zona
Persamaan Model
Probabilitas
Pemilihan Fasilitas Evakuasi
Pemilihan Shelter
1
Ps
2
Ps
3
Ps
4
Ps
5
Ps
1 1 exp
( 0, 080x 0, 201)
1 exp
( 0 ,122x 0 , 025)
1 exp
( 0, 095x 0, 042)
1 exp
( 0 ,122x 0,111)
1 1
1 1 ( 0 ,105x 0, 217)
Probabilitas Pemilihan Jalur Evakuasi
55%
45%
51%
49%
49%
51%
47%
53%
45%
55%
1 exp Hasil Prediksi Kebutuhan Luas Bangunan Shelter Hasil penelitian ini merupakan pedoman luas kebutuhan bangunan shelter di zona rawan tsunami. Tabel 2 menunjukkan data hasil prediksi model yang diperlukan untuk memprediksi luas dan jumlah kebutuhan bangunan shelter.
Tabel 2 : Hasil prediksi kebutuhan bangunan Shelter kota Padang dengan data tahun 2012 ZONA 1
2
3
4
5
Jumlah penduduk (jiwa)
24.382
26.294
44.826
36.797
55.969
Prediksi jumlah pengungsi bangunan shelter (orang)
10.874
13.195
16.832
16.832
18.888
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 249
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Luas kebutuhan bangunan shelter saat terjadi tsunami (m2) Luas kebutuhan bangunan shelter setelah terjadinya tsunami (m2) Kebutuhan jumlah bangunan shelter dengan asumsi dua (2) lantai dan luas bangunan 2000 m2 per lantai (gedung) Kebutuhan jumlah bangunan shelter dengan asumsi tiga (3) lantai dan luas bangunan 2000 m2 per lantai (gedung)
10.874
13.195
16.832
13.528
18.888
21.748
26.390
33.663
27.056
37.775
6
7
9
7
10
4
5
6
5
7
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pemodelan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Jenis kelamin responden yang berada di zona merah paling banyak adalah perempuan, sedang jumlah anggota keluarga responden paling banyak mempunyai jumlah anggota keluarga dalam rentang 5-9 orang. Berdasarkan klasifikasi usia, responden paling banyak berusia dewasa (11-65 tahun), sebagian besar responden memiliki sepeda motor. Berdasarkan jenis evakuasi yang pernah menjadi pilihan responden saat terjadi gempa yang berpotensi tsunami, responden cenderung memilih evakuasi horizontal atau jalur evakuasi, alasan pemilihan ini bahwa jalur evakuasi lebih aman dibandingkan naik ke atas gedung. Sedang alasan responden yang memilih bangunan gedung (shelter) sebagai fasilitas evakuasi, hal ini disebabkan shelter lebih mudah dijangkau. Dari hasil prediksi demand pengguna shelter, diperoleh hasil bahwa luas total yang dibutuhan untuk membuat shelter sebesar 153.242 m2. Jika digunakan gedung 2 lantai dengan luas tiap lantai sebesar 2000 m2, maka dibutuhkan 39 buah gedung shelter. Sedang jika digunakan gedung 3 lantai dengan luas tiap lantai 2000 m2, maka dibutuhkan 27 buah gedung shelter.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. (2010). Gempa Bumi. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/ Geofisika/gempabumi.bmkg (diakses 23 September 2011) Delfebriadi. (2010). Rekayasa Gempa. Universitas Andalas. Departemen Pekerjaan Umum. (2010). Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi dalam Rangka Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Padang. Latief, H. (2005). Potensi Tsunami di Sumatera. Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia-Sumbar. Hotel Bumi Minang. Padang, 1 Februari 2005.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 250
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
5. 6.
7.
Pearmain and J. Swanson. (1991). Stated Preference Techniques: A Guide to Practice. London: Steer Davies Gleave and Haque Consulting Group. Ridwan, F. (2012). Studi Evaluasi Efektifitas Penggunaan Jalur Evakuasi Pada Zona Berpotensial Terkena Bencana Tsunami di Kota Padang. Tesis S-2, Padang: Universitas Andalas. Tamin, O,Z. (2010). Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Edisi Kedua. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 251
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 252
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
PENGGUNAAN SKALA KONDISI UNTUK INSPEKSI KEANDALAN STRUKTUR GEDUNG BETON BERTULANG Wahyu Wuryanti1 1
Peneliti Madya Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum, email: [email protected]
ABSTRAK Akhir-akhir ini inspeksi keandalan struktur bangunan gedung yang telah berdiri semakin banyak diperlukan. Pelaksanaan inspeksi keandalan dapat terjadi karena berbagai alasan, antara lain faktor usia, rencana perubahan fungsi gedung, penambahan beban, atau pasca bencana. Hasil inspeksi digunakan untuk mengevaluasi kekuatan sisa pada struktur bangunan yang telah mengalami deteriorisasi kekuatan. Tulisan ini menyajikan penggunaan skala kondisi untuk inspeksi dan evaluai pengukuran tingkat keandalan struktur beton bertulang. Data yang digunakan merupakan bagian dari laporan inspeksi gedung Puslitbang Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum. Metoda kajian menggunakan skala kondisi yang membandingkan kondisi deteriorisasi eksiting terhadap nilai acuan. Dari studi kasus gedung yang dikaji menunjukan skala kondisi (CR) sebesar 15% atau zona III menunjukan kondisi deteriorasi medium yang berarti perlu dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dekat. Kata kunci: skala kondisi, keandalan struktur, gedung, beton bertulang
5. PENDAHULUAN Penurunan kinerja struktur bangunan dapat terjadi karena berbagai faktor. Terjadinya proses alami karena umur bangunan menyebabkan korosi dan fatig pada komponen bangunan, atau penambahan beban karena perubahan fungsi gedung, atau kerusakan karena pasca bencana gempa atau kebakaran. Semuanya dapat menjadikan alasan dilakukannya inspeksi keandalan struktur bangunan. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat keandalan kondisi struktur eksisting dalam memikul beban saat ini dan beban rencana seusai dengan fungsi gedung dan sisa umur rencana bangunan. Tingkat keandalan struktur umumnya diukur dari kinerja struktur bangunan dalam memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kemampulayanan (serviceability). Menurut American Society of Civil Engineers (ASCE) 11-99 inspeksi struktur bangunan adalah kegiatan memeriksa, mengukur, menguji dengan menggunakan prosedur tertentu untuk mengetahui kualitas, mendeteksi kesalahan atau kerusakan atau penurunan meterial dan komponen struktur. Secara menyeluruh pelaksanaan inspeksi menjadi bagian dari tahap asesmen yaitu mengumpulkan informasi, menganalisis, mengevaluasi dan memberikan rekomendasi keandalan struktur bangunan gedung eksisting. Secara garis besar tahap inspeksi dikelompokkan menjadi dua tahap yaitu inspeksi visual sebagai tahap awal dan inspeksi detail yang memerlukan pengujian. Pada bangunan yang mengalami deteriorasi struktur bangunan, hasil inspeksi dilanjutkan dengan langkah evaluasi untuk mengetahui kekuatan sisa struktur gedung. Proses ini dikenal dengan asesmen keandalan struktur. Di dalam tahap evaluasi diperlukan nilai
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 253
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
acuan sebagai skala perbandingan kondisi. Oleh sebab itu perlu nilai penerimaan (acceptable value) keandalan struktur bangunan (Presiser dan Vischer, 2005). Nilai penerimaan ini dapat ditentukan dari target tingkat keandalan (target reliability level) yang direncanakan (Rucker, Ille, and Rohman, 2006). Kemudian dilakukan perbandingan antara tahanan (resistance) dari komponen bangunan eksiting dengan tegangan (stress) yang terjadi akibat beban muatan eksiting atau rencana. Saat ini di Indonesia belum ada petunjuk teknis dan standar inspeksi atau asesmen gedung yang telah berdiri. Standar yang ada lebih banyak digunakan untuk perencanaan bangunan baru. Tim Inspeksi Puslitbang Permukiman, kerapkali sulit mencari rujukan i dalam melakukan asesmen. Upaya inspeksi melalui beberapa pengujian terus dikembangkan untuk mengurangi metoda inspeksi yang deskriptif dan subjektif. Hal ini tentu memerlukan waktu dan biaya, sehingga setiap melakukan inspeksi satu bangunan gedung membutuhkan waktu lama. Dalam tulisan ini menyapaikan kajian praktik pelaksanaan inspeksi keandalan struktur dan menilai tingkat kondisi struktur berdasarkan derajat deteriorisasi bangunan sesuai dengan skala kondisi. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi tindak lanjut terhadap jenis penanganan kerusakan struktur secara kuantitatif dan objektif. Keputusan ini lebih dapat terukur dengan jelas sehingga mampu meminimalisasi keputusan berdasarkan opini.
6. METODA PENELITIAN Metoda dalam studi ini menggunakan 2 (dua) tahap, yaitu (1) Inspeksi awal dilakukan secara visual di lapangan terhadap kondisi struktur bangunan. Tujuannya adalah untuk memahami jalur beban setiap komponen struktural dan mengidentifikasi kerusakan atau bagian-bagian kritis. Pengukuran geometri struktur gedung dan dimensi komponen struktur dilakukan untuk memverifikasi keakuratan kondisi eksisting dengan gambar teknis terbangun (as built drawing). Tahap ini mengacu pada hasil laporan advis teknis terdahulu kegiatan Puslitbang Permukiman tahun 2011. (2) Berdasarkan data hasil inspeksi visual dianalisis dengan menggunakan skala kondisi (Condition Rating). Tujuannya adalah menentukan tingkat dan tipe deteriorisasi bangunan. Penilaian awal dilakukan pada analisis untuk setiap komponen struktur. Penjumlahan kondisi komponen merupakan tingkat kondisi satu bangunan. Untuk menganalisis dengan skala kondisi perlu ditentukan bobot fungsi komponen terhadap sistem struktur bangunan. Dalam studi ini lingkup studi dibatasi untuk bangunan gedung struktur beton bertulang. Keputusan ini beralasan struktur beton bertulangan adalah tipe konstruksi yang paling banyak ditangani oleh Puslitbang Permukiman dalam memberikan pelayanan advis teknis pemeriksaan gedung.
7. INSPEKSI KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG Keandalan bangunan gedung telah ditetapkan dalam Undang-undang Bangunan Gedung No. 28 tahun 2002 meliputi 4 (empat) aspek penilaian yaitu keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Aspek keselamatan merupakan persyaratan wajib dipenuhi pada setiap bangunan gedung. Hal yang tercakup di dalam aspek keselamatan terdiri dari keselamatan bangunan (1) dalam mendukung beban muatan, (2) terhadap
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 254
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Alasan dilakukan inspeksi (dalam %)
bahaya kebakaran, dan (3) terhadap bahaya kelistrikan dan petir. Persyaratan keselamatan butir (1) merupakan kegiatan ranah struktur bangunan sehingga seringkali disebut keandalan struktur. Pada praktik inspeksi oleh Puslitbang Permukiman sejak tahun 2008 telah menangani lebih dari 40 kasus bangunan gedung (Wuryanti, 2011). Dari data tersebut tercatat 6 (enam) alasan dilakukan inspeksi keandalan struktur. Hal ini disajikan dalam Gambar 1. Dari keenam alasan tersebut terbesar karena pasca gempa sebanyak 43%, disusul sebanyak 16% karena terjadi kerusakan struktur. Kondisi ini menunjukkan bahwa permohonan inspeksi karena secara visual kondisi struktur bangunan atau bagian struktur bangunan telah terjadi defisiensi. 50
43
40
30
20
14 11
16
11 5
10
0
Gambar 1. Alasan inspeksi keandalan struktur
8. SKALA KONDISI PADA STRUKTUR GEDUNG Metoda skala kondisi (condition rating) awalnya digunakan untuk mengeidentifikasi deteriorisasi konstruksi jembatan pada kegiatan pemeliharaan konstruksi. Metoda ini kemudian yang dikembangkan CEB (1998) di dalam menilai bangunan di Italia untuk konstruksi rangka beton bertulang (Coronelli, 2007). Metoda skala kondisi adalah membandingkan indeks kerusakan eksisting terhadap nilai referensi. Oleh sebab itu perlu dihitung tingkat kerusakan dari setiap elemen struktur menggunakan persamaan (1) F VDi Bi K1i K 2i K 3i K 4i ................................................................ (1)
Dengan demikian skala kondisi kerusakan sitem struktur satu bangunan merupakan penjumlahan N tipe kerusakan komponen-komponen struktur. Penjelasan setiap varibel di dalam Persamaan (1) sebagai berikut VDi adalah nilai total untuk tipe kerusakan ke-i. Nilai ini tergantung pada jenis kerusakan, intensitas, efek kerusakan, dan bobot fungsi komponen terhadap sistem struktur bangunan. Bi adalah nilai dasar tipe kerusakan ke-i. Faktor ini merupakan ekspresi potensi efek kerusakan terhadap keselamatan dan durabilitas komponen struktur, dicantumkan dalam Tabel 1. K1i adalah faktor elemen struktural yang ditentukan dari bobot elemen terhadap keselamatan sistem struktur. Nilai ini menggunakan Tabel 2.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 255
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
K2i adalah faktor intensitas kerusakan ke-i. Faktor ini merupakan nilai kualitatif dari inspeksi visual dan pengukuran. Ketentuannya menggunakan Tabel 1 dan 3. K3i adalah faktor penyebaran kerusakan ke-i pada elemen yang terkait. Gunakan Tabel 4 untuk analisisnya K4i adalah faktor urgensi intervensi kerusakan ke-i. Faktor ini ditentukan berdasarkan tipe deteriorasi pada keselamatan struktur dan pengguna, dan waktu penanganannya. Ketentuannya menggunakan Tabel 5. Tabel 1. Tipe kerusakan, nilai dasar Bi dan kriteria untuk evaluasi Item
Tipe kerusakan
Bi
1. Penurunan dan deformasi struktur 1.1 Struktur bawah 1.11 Differential settlement 1.2 Struktur atas 1.21 Defleksi vertikal 2. Beton 2.1 Kualitas kerja buruk: terkelupas, stratifikasi, sarang tawon, rongga 2.2 Susut palstik dan retak settlement palstik 2.3 Kekuatan lebih rendah dari yang disyaratkan 2.4 Tebal selimut lebih rendah dari yang disyaratkan 2.5 Karbonasi permukaan (pH<10) dengan acuan level tulangan 2.6 Penetrasi klorida (pH<10) dengan acuan level tulangan 2.7 Retak karena pembebanan, ditunjukan dengan deformasi dan regangan 2.8 Rusak mekanis; erosi, benturan 2.9 Membengkak, popout 2.10 Rembesan melalui beton 2.11 Rembesan pada retakan, sambungan, bagian dalam 2.12 Permukaan basah 2.13 Selimut beton rusak karena korosi 2.14 Spalling karena tulangan korosi 2.15 Renggang pada sambungan antar segmen 3. tulangan 3.1 Korosi pada sengkang 3.2 Korosi pada tulangan utama, pengurangan luasan tulangan
3 2 1 1 2 2 2 3 3 1 1 2 2 1 2 3 2 1 3
Sumber: Coronelli, 2007 (yang dicantumkan sebagian)
Tabel 2. Faktor K1i bobot fungsi tiap komponen struktur Komponen kolom Balok Lantai
Tipe komponen eksternal internal bentang pendek bentang panjang lantai
K1i 0,35 - 0,45(*) 0,2 - 0,3(*) 0,25 (**) – 0,3 0,35 (**) – 0,4 0,3
* dari level atas ke level bawah nilainya meningkat ** balok di lantai atap
Tabel 3. Faktor K2i –kriteria umum untuk derajat intensitas setiap tipe kerusakan Derajat Rendah-awal Medium - menyebar Tinggi - aktif Sangat tinggi - kritis
ISBN 978-979-99327-8-5
kriteria Ukuran kerusakan kecil, biasanya muncul pada lokasi tunggal Ukuran kerusakan medium, kecil mengelompok atau kerusakan kecil di beberapa bagian (25%) Kurusakan berukuran besar, muncul di beberapa tempat atau pada area lebih luas ( 25 sd 75%) Kerusakan berukuran sangat besar muncul di sebagian besar
K2i 0,5 1,0 1,5 2,0
I - 256
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) komponen (>50%)
Tabel 4. Faktor K3i – kriteria umum luasan tiap tipe kerusakan Kriteria Kerusakan mengelompok pada satu unit pada elemen dengan tipe sama Kerusakan muncul pada beberapa unit (lebih kecil dari ¼) pada elemen dengan tipe sama Kerusakan mucul pada sebagian besar unit (1/4 sampai ¾) pada elemen dengan tipe sama Kerusakan muncul pada mayoritas bagian (lebih dari ¾) pada elemen dengan tipe sama
K3i 0,5 1,0 1,5 2,0
Tabel 5. Faktor K4i – urgensi intervensi penanganan kerusakan Kriteria Intervensi tidak penting, karena kerusakan tidak mengganggu keselamatan dan durabilitas struktur Kerusakan harus diperbaiki dalam perioda waktu tidak lama dari 5 tahun untuk menjaga perlemahan yang mengubah keselamatan dan durabilitas dari serangan agresif Perlu perbaikan segera karena kerusakan telah terjadi dan membahayakan keselamatan dan durabilitas struktur Ditopang sementara dan perlu pembatasan beban
K3i 1 2-3 3-5 5
Skala kondisi (CR) dihitung dengan persamaan (2) dan diklasifikasikan menjadi 6 (enam) kelompok menggunakan Tabel 6. Urgensi setiap jenis kerusakan tergantung pada nilai numerik CR. CR
F F m
m
m
100
ref ,m
atau
CR
K M K M m
m
1m
1m
m
100 .............................................. (2)
ref ,m
Dengan M m i Bi K 2i K 3i K 4i , M ref ,m i Bi K 2i K 3i K 4i ............................... (3) Tabel 6. Kelas deteriorisasi struktur bangunan Kelas I
Deskripsi kondisi, tingkat kebutuhan intervensi, contoh Tidak rusak, hanya terjadi defisiensi konstruksi Tindakan: tidak perlu perbaikan hanya perlu pemeliharaan Contoh: geometrik tidak beraturan, estetika tidak sempurna, warna suram
skala 0-5
R 0,3
II
Deteriorasi rendah, jika tidak diperbaiki, dalam waktu lama dapat menurunkan kemampulayanan atau durabilitas komponen struktur Tindakan: lokasi yang mengalami deteriorasi diperbaiki dan pemeliharaan rutin Contoh: retak lokal, defisiensi kecil sebagai akaibat buruknya pelaksanaan, selimut beton terlalu tipis
3 -10
0,4
III
Deteriorasi medium, dapat mengurangi kemampulayanan atau durabilitas komponen struktur tetapi tidak perlu pembatasan penggunaan struktur Tindakan:perlu perbaikan dalam waktu dekat Contoh: keretakan, defisiensi lebih besar akibat pelaksanaan beton buruk, selimut beton terlalu tipis dan kebanyakan permukaan basah, rusak lapisan kedap air
7 - 15
0,5
IV
Deteriorisasi tinggi, penurunan kemampulayanan dan durabilitas struktur tetapi masih tidak perlu pembatasan penggunaan Tindakan: perbaikan segara untuk melindungi kemampulayanan dan durabilitas struktur Contoh: korosi pada tulangan utama
5 -25
0,6
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 257
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) V
Deteriorasi sangat tinggi, perlu pembatasan penggunaan, penyanggaan komponen kritis atau perlindungan lain Tindakan: perlu perbaikan dan perkuatan segera pada komponen struktur atau kapasitas daya dukung struktur harus dikurangi Contoh: korosi berat pada tulangan utama, retak lebar akibat pembebanan
VI
Deteriorisasi kritis, perlu penyangga segera dan pembatasan penggunaan secara ketat atau ditutup Tindakan: pekerjaan rehabilitasi segera dilakukan, namun kemampulayanan rencana dan penggunaan struktur, serta penerimaan kekuatan sisa tidak dapat lagi dicapai tidak ekonomis Contoh: seperti kelas V dan keamanan rendah
22 - 35
0,7
30
0,8
Prosedur perhitungan adalah sebagai berikut: a) kelompokkan setiap komponen struktur sesuai lokasi dan fungsinya. Misalnya sistem struktur dikelompokkan menjadi kolom, balok, dan pelat. Kolom dibedakan interior dan eksterior, untuk kolom interior memikul beban lebih berat maka digunakan bobot fungsi kolom interior lebih besar. b) Lakukan inspeksi visual dan pengunkuran eksiting pada setiap komponen struktural c) Identifikasikan jenis kerusakan, potensi dampak kerusakan dari setiap kondisi deteriorisasi pada kompoen struktur yang diamati. d) Lakukan perhitungan dengan Pers. (1), Pers. (2) dan Pers. (3) untuk setiap komponen untuk mendapatkan skala kondisi lokal. e) Jumlahkan skala kondisi lokal untuk seluruh komponen tiap level untuk mendapatkan skala kondisi global dari satu sistem struktur gedung.
9. PEMBAHASAN: STUDI KASUS Gedung yang digunakan sebagai studi kasus merupakan bangunan berlantai dua yang dibangun tahun 2007 dan terbelakang selama lebih dari 3 tahun karena pelaksanaannya dihentikan. Pada tahun 2011 dilakukan inspeksi oleh Puslitbang Permukiman, yang mana penulis menjadi koordinator Tim Inspeksi. Tujuan inspeksi adalah untuk menilai kondisi keandalan struktur karena konstruksi bangunan akan dilanjutkan pelaksanaannya dan digunakan sesuai yang rencana rancangan semula. Inspeksi visual dan Pengukuran material eksisting Struktur bangunan merupakan konstruksi beton bertulang dengan perletakan struktur pada permukaan tanah tidak rata sehingga elevasi lantai dasar bervariasi seperti digambarkan dalam Gambar 3. Sebagian bangunan berdiri di atas tanah langsung dan sebagian lagi merupakan konstruksi panggung. Bangunan akan difungsikan sebagai gedung serba guna untuk gedung pertunjukan kesenian. Luas bangunan pada level basemen 1 seluas 1080 m2, ruang hall 1080 m2, panggung 180 m2 dan tribun 414 m2.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 258
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Dak atap
Tribun atas (±11,40)
Atap panggung (±12,40)
Tribun bawah (±10,40)
Lobby (±7,40)
Panggung (±7,40) Hall (±6,40)
1
2
3 Basemen 1 (±3,60)
4
5
6
7
8
9
Level Basemen 1 Hall Panggung Tribun bawah
Basemen 2 (±0,00)
10
11
12
Luas lantai (m2) 1080 1080 180 414
Gambar 2. Elevasi dan nama level struktur gedung Dari hasil inspeksi visual ditemui beberapa kerusakan antara lain terjadi korosi tulangan, retak lentur pada balok dan pelat, permukaan basah. Kondisi ini dapat dilihat pada gambar 3. Hasil pengukuran kualitas beton disajikan dalam Tabel 4.
(a) Retak lentur
(b) Korosi tulangan
(c) Kualitas kerja rendah
Sumber: Puslitbang Permukiman, 2011
Gambar 3. Hasil inspeksi visual Selain dilakukan inspeksi visual dilakukan pengukuran kualitas material meliputi: Pengujian palu beton untuk mengukur kuat tekan Beton inti dengan core drilled dan uji kuat tekan Pengujian gelombang ultrosonik untuk mengetahui homogenitas beton Identifikasi letak dan ukuran tulangan dengan rebar-locator dan pembobokan Pengukuran kedalaman karbonasi Tabel 7. Uji kualitas beton Komponen Kolom Balok Pelat
Kuat tekan, f’c beton rata-rata palu beton beton inti 18,17 MPa 4,46 MPa 14,91 MPa 3,52 MPa 14,36 MPa 4,97 MPa
Homogenitas beton kondisi kurang 71 % 92 % 83 %
Sumber: Puslitbang Permukiman, 2011
Analisis skala kondisi Struktur bangunan terdiri dari balok 152 batang, kolom 268 batang dan pelat 81 segmen. Inspeksi dan pengukuran hanya dilakukan pada sebagian komponen karena
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 259
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
alasan teknis maupun non-teknis. Dengan demikian analisis dengan metoda skala kondisi hanya untuk komponen representatif. Jumlah komponen yang dianalisis terdiri dari kolom sebanyak 21 batang, balok 15 batang, dan pelat 15 segmen. Nilai Mm dan Mm,ref dihitung untuk setiap komponen, sebagai contoh untuk analisis balok, kolom, dan pelat di elevasi lantai Hall. Hasilnya disajikan alam Tabel 8. Dengan cara yang sama dilakukan penilaian pada komponen lainnya. Tabel 8. Evaluasi kerusakan dan perhitungan Mm satu unit komponen komponen Balok lokasi As 7,8 - E 0,4 2.3 Kekuatan 2.4 Tebal selimut 2.5 Karbonasi 2.7 Retak 2.10 Rembesan 2.12 Permukaan basah 2.13 Rusak selimut karena korosi 3.1 Korosi pada sengkang 3.2 Korosi pada tulangan utama Pelat, lokasi As 7,8 - E,F 0,3 2.3 Kekuatan 2.4 Tebal selimut 2.5 Karbonasi 2.7 Retak 2.10 Rembesan 2.12 Permukaan basah 2.13 Rusak selimut karena korosi 3.1 Korosi pada sengkang 3.2 Korosi pada tulangan utama Kolom internal, lokasi As 7-B 0,4 2.3 Kekuatan 2.4 Tebal selimut 2.5 Karbonasi 2.7 Retak 2.10 Rembesan 2.12 Permukaan basah 2.13 Rusak selimut karena korosi 3.1 Korosi pada sengkang 3.2 Korosi pada tulangan utama
B
K2i
K3i
K4i
VD/K1i
Mm= VD/K1i
2 2 2 3 2 1 2 1 3
2 1 1 1 0,5 1,5 0,5 2 2
2 0,5 0,5 0,5 0,5 1 0,5 1,5 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1,5 0,5 1,5 0,5 3 6
23
2 2 2 3 2 1 2 1 3
2 0,5 1,5 1 2 2 0 2 2
2 0,5 1,5 1 1 2 0 1,5 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 0,5 4,5 3 4 4 0 3 6
33
2 2 2 3 2 1 2 1 3
2 0,5 1 0,5 0,5 1 0,5 2 2
2 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 1,5 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 0,5 1 0,75 0,5 0,5 0,5 3 6
20,75
Sumber: Hasil analisis
Setelah tiap unit komponen dianalisis akan diperoleh kondisi lokal. Penjumlahan tiap unit komponen yang sama untuk tiap lantai, akan menggambarkan kondisi kerusakan tiap lantai. Dengan demikian kondisi kerusakan pada bangunan diperoleh dari penjumlahan kondisi kerusakan tiap lantai. Contoh perhitungan dalam Tabel 9 adalah untuk evaluasi level Hall elv. +3,4. Dengan cara yang sama dilakukan untuk analisis level-level lainnya. Penilaian kondisi tiap lantai dicantumkan dalam Tabel 10. Tabel 9. Hasil analisis kondisi global pada level Hall Komponen Kolom
Lokasi 10 - C 10 - F 11 - E 9-H
ISBN 978-979-99327-8-5
K1i 0,3 0,3 0,3 0,4
Mm 13,25 13,25 13,75 20,25
K1mxMm 3,975 3,975 4,125 8,1
Mmref 128 128 128 128
K1mxMm,ref 39,6 39,6 39,6 52,8
I - 260
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Balok
Pelat
5-H 7-B 9-B 4-D 3-C 3-F 7 - EF 7,8 - E 5,6 - D 6 - D,E 5,6 - D,E 7,8 - E,F 7,8 - C,D 5,6 - F,G 3,4 - B,C
0,4 0,4 0,4 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
13,25 20,75 20,75 13,5 7,5 20,25 17 23 22 14,5 26 33 33 26 27
5,3 8,3 8,3 4,05 3 8,1 6,8 9,2 8,8 5,8 7,8 9,9 9,9 7,8 8,1
128 128 128 128 128 128 128 128 128 128 116 116 116 116 116
52,8 52,8 52,8 39,6 52,8 52,8 51,2 51,2 51,2 51,2 34,8 34,8 34,8 34,8 34,8
Sumber: Hasil analisis
Tabel 10. Skala kondisi global Nama Level Basemen 1 Hall Panggung Tribun bawah
K1mxMm 35,6625 131,325 104,9 14,55
K1mxMm,ref 415,8 854 897,6 142,8
CR (%) 9 15 12 10
CR rata-rata (%) 11
Sumber: Hasil analisis
Berdasarkan penjumlahan kondisi lokal setiap komponen pada tiap level lantai menunjukkan bahwa deteriorisasi struktur terbesar pada level Hall dengan CR= 15%. Sementara bila dirata-ratakan untuk satu bangunan diperoleh CR= 11%. Namun karena luas tiap lantai berbeda dan luas terbesar terjadi pada lantai level Hall dan Basemen 1. Lantai level Basemen 1 sebagian berdiri langsung pada permukaan tanah, sehingga luas lantai yang signifikan adalah pada level Hall. Dengan demikian penilaian kondisi struktur bangunan menggunakan perhitungan kondisi deteriorasi pada level Hall, yakni CR=15%. Pada kondisi ini, sesuai dengan ketentuan pada Tabel 6, maka derajat deteriorisasi gedung adalah medium. Apabila kondisi ini dibiarkan akan menurunkan kemampulayanan dan durabilitas komponen strukutr. Tindakan penangan untuk kondisi ini adalah perbaikan struktural dalam waktu dekat.
10. KESIMPULAN Inspeksi struktur bangunan gedung yang telah berdiri bertjuan unutuk mengetahui tingkat keandalan keandalan struktur dalam memikul beban pada sisa umur bangunan. Analisis hasil inspeksi dapat dilakukan dengan metoda skala kondisi. Dengan metoda ini dilakukan perbandingan kondisi dereriorisasi dengan kondisi acuan. Faktor-faktor pengaruh dalam analisis terdiri dari nilai dasar (Bi), bobot fungsi komponen struktur (K1i), derajat intensitas kerusakan (K2i), luasan kerusakan (K3i) dan urgensi intervensi (K4i). Skala kondisi satu bangunan gedung dihitung berdasarkan penjumlahan kondisi lokal dari tiap komponen struktur. Oleh sebab itu perlu proses inspeksi lapangan perlu mendetailkan kondisi seluruh komponen struktur. Hal ini sulit dilakukan karena jumlah komponen dalam satu sistem struktur gedung jumlahnya banyak. Meski demikian, dalam tulisan ini metoda skala kondisi digunakan untuk menilai kondisi global satu bangunan berdasarkan kondisi lokal komponen representatif.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 261
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Meski penilaian subjektif tidak dapat dihindari namun hal itu harus tetap berdasarkan analisis logis. Melalui penggunaan skala kondisi memberikan prosedur praktis di dalam penilaian keandalan struktur. Pemberian rekomendasi tindak lanjut menjadi lebih terukur dan objektif sehingga meminimalisasi penilaian deskriptif berdasarkan opini yang dapat dipengaruhi berbagai kepentingan.
11. DAFTAR PUSTAKA 9.
10. 11. 12.
ASCE 11. (1999) Structural Engineering Institute American Society Of Civil Engineers, Guideline For Structural Condition Assessment Of Existing Buildings. Structural Engineering Institute American Society of Civil Engineers Coronelli, D (2007) Condition Rating of RC structure: A case study in Journal of Building Appraisal, Vol. 3 No 1, 29-51. Puslitbang Permukiman (2011) Laporan Pemeriksaaan Gedung Serba Guna, Pusat Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, Bandung. Wuryanti, W (2009) Laporan Pemeriksaan Gedung Serba Guna, Puslitbang Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 262
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Analisa Perbandingan Biaya dan Waktu Bekisting Metode Konvensional dengan Sistem PERI (Studi Kasus Proyek Puncak Kertajaya Apartemen) Farida Rahmawati1, Yusroniya Eka Putri1, Aditya Febrian2 1
2
Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Alumni Program S1 Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, Lab Manajemen Konstruksi Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Email: [email protected]
ABSTRAK Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi konstruksi, penggunaan metode bekisting sistem PERI menjadi alternatif menguntungkan dari segi biaya dan waktu jika penggunaan bekisting dalam kuantitas besar dan penggunaan yang berulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunaan metode bekisting yang berbeda yaitu metode sistem PERI dengan metode konvensional ditinjau dari dua aspek biaya dan waktu. Analisa perbandingan meliputi perhitungan pada perkuatan bekisting, metode pelaksanaan, perhitungan kebutuhan material, analisa produktivitas dan durasi dan analisa perhitungan biaya. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui untuk pengerjaan bekisting balok dan kolom pada Apartemen Puncak Kertajaya, bekisting PERI memerlukan biaya Rp5.156.103.120,97 dan waktu 127 hari. Sedangkan bekisting konvensional memerlukan biaya Rp4.514.736.868,00 dan waktu 223 hari. Kata Kunci : bekisting sistem PERI, proyek Apartemen
1. LATAR BELAKANG Pembangunan konstruksi gedung bertingkat tinggi (high rise building) tentu tidak lepas dengan keberadaan material bekisting, dalam hal ini material kayu dengan jumlah yang besar. Hal tersebut berpengaruh cukup dominan dalam hal pembiayaan, terutama pada biaya langsung. Pemilihan metode pelaksanaan yang tepat akan berdampak terhadap kecepatan pelaksanaan dan biaya yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak beredar bekisting sistem dengan bahan material yang berbeda dan mempunyai keunggulan masing - masing seperti Paschal, KHK, MESA dan PERI. Salah satu inovasi untuk material bekisting adalah penggunaan bekisting sistem PERI. Penelitian ini akan membandingkan penggunaan bekisting sistem PERI dengan metode konvensional dari aspek biaya, dan waktu. Perbandingan metode ini diterapkan pada Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Tower A dan Tower B Lt. 2 – Lt. 23 (masing-masing 18 lantai tipikal) yang berlokasi di kawasan elite perumahan Kertajaya Indah Regency, Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya. Oleh karena itu selanjutnya akan dibahas mengenai penggunaan metode system peri dengan untuk pekerjaan bekisting pelat dan balok ditinjau dari aspek biaya dan waktu dengan perbandingan metode konvensional pada Proyek Puncak Kertajaya Apartemen, Surabaya. Analisa biaya hanya pada penggunaan material dan pembeyaran upah pekerjaan bekisting, tidak termasuk biaya tower crane untuk pemasangan bekisting.
2. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Bekisting Bekisting adalah cetakan beton atau sarana pembantu struktur beton untuk mencetak beton sesuai dengan ukuran, bentuk, rupa maupun posisi serta alinemen yang ISBN 978-979-99327-8-5
I - 263
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
dikehendaki. Untuk itu bekisting harus berfungsi sebagai struktur sementara yang kuat memikul beban sendiri, berat beton basah, beban hidup dan beban peralatan kerja selama proses pengecoran (Wigbout F, 1992). Untuk penelitian ini, yang dibandingkan hanya metode tradisional/konvensional dengan sistem PERI (full sistem), sehingga penjelasan lebih lanjut pada dua metode tersebut. Bekisting Sistem PERI Pengertian dari bekisting sistem PERI disini adalah bekisting kontak terdiri dari girder utama dan girder sekunder. Bekisting sistem PERI adalah bekisting yang dirancang untuk suatu proyek yang ukurannya disesuaikan dengan bentuk beton yang diinginkan. . Penggunaan dari bekisting ini disebabkan karena adanya kemungkinan untuk digunakan secara berulang-ulang. Setelah proses pengecoran selesai, komponenkomponen ini dapat disusun kembali menjadi sebuah bekisting sistem untuk obyek yang lain.
Gambar 1. Sketsa Potongan Melintang Bekisting Sistem PERI (sumber : pengamatan lapangan) C. Bekisting Konvensional Pengertian dari bekisting konvensional adalah bekisting kontak terdiri dari kayu papan dengan perkuatan kayu kaso. Bekisting konvensional adalah bekisting yang terdiri dari papan dan kayu balok yang dikerjakan di tempat. Bekisting jenis ini adalah bekisting yang setiap kali setelah dilepas dan dibongkar menjadi bagian-bagian dasar, dapat disusun kembali menjadi sebuah bentuk lain. Penggunaan material pada sistem ini hanya beberapa kali pengulangan dan untuk konstruksi yang rumit harus banyak diadakan penggergajian sehingga pelaksanaan jenis bekisting ini akan memakan waktu, bahan, dan ongkos kerja.
Gambar 2. Sketsa Potongan Melintang Bekisting Konvensional (sumber : pengamatan lapangan)
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 264
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
3. METODE PENELITIAN 1. Pengumpulan Data Proyek Data-data sekunder untuk penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 1. Data Proyek Data Gambar struktur proyek Spesifikasi bekisting Metode kerja bekisting Harga material komponen bekisting Upah pekerjaan bekisting Urutan kerja dan siklus bekisting Produktivitas kegiatan Spesifikasi mutu
Sumber Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Proyek Puncak Kertajaya Apartemen PT Wijaya Karya Gedung Proyek Puncak Kertajaya Apartemen PT Wijaya Karya Gedung
Jenis Data Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Observasi dan wawancara (Primer) Observasi dan wawancara (Primer) Observasi dan sekunder
2. Identifikasi Komponen Bekisting
Dari data-data yang ada, dilakukan identifikasi komponen bekisting seperti komponen penguat, pengaku dan support yang kemudian digunakan sebagai acuan perhitungan selanjutnya. 3. Perhitungan Perkuatan Bekisting Perhitungaan perkuatan bekisting meliputi perhitungan perkuatan pada masing-masing metode bekisting yaitu perhitungan perkuatan gelagar pada metode bekisting sistem PERI (besi plywood dan scaffolding) dan perhitungan perkuatan kayu kaso (kayu kaso 5/7, multiplek 15mm, balok suri 6/12 dam balok gelagar 6/12) pada metode bekisting konvensional. 4. Metode Pelaksanaan Pekerjaan Bekisting Dalam satu tower akan dibagi enam sektor per lantai. Tiap lantai konstruksi akan dilengkapi setiap minggunya meliputi pemasangan dan pembongkaran bekisting. Para pekerja harus melengkapi kebutuhan bekisting untuk sektor 1 lantai 1 sampai selesai. Setelah itu akan memulai pemasangan bekisting pada sektor 2 lantai 1 sampai sektor 6 lantai 1. Kemudian dilanjutkan pada sektor 1 lantai 2 dan seterusnya. Untuk pemindahan material bekisting dilakukan dengan cara pembuatan terminal sebagai tempat meletakkan material pada lantai yang telah dicor dan akan dicor serta diangkat dengan menggunakan tower crane.
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 265
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Gambar 3. Siklus Bekisting [4] (sumber : PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung, 2011)
5. Perhitungan Kebutuhan Material Perhitungan kebutuhan material pada masing-masing komponen bekisting. Metode Bekisting Sistem PERI: Perhitungan volume meliputi perhitungan seluruh komponen bekisting sistem PERI dengan cara mencari kebutuhan material per modul lalu dikalikan dengan jumlah modul kemudian dikalikan dengan jumlah lantai. Metode Bekisting Konvensional: Perhitungan volume meliputi perhitungan seluruh komponen bekisting konvensional dengan cara mencari kebutuhan material per modul lalu dikalikan dengan jumlah modul kemudian dikalikan dengan jumlah lantai. 6. Analisa Produktivitas dan Durasi Analisa produktivitas dan durasi berdasarkan wawancara serta pengamatan lapangan pekerjaan bekisting pada kedua metode. Metode Bekisting Sistem PERI: waktu pekerjaan bekisting sistem PERI ditentukan berdasarkan pengamatan lapangan mengenai produktivitas pekerjaan bekisting. Metode Bekisting Konvensional: waktu pekerjaan bekisting konvensional ditentukan berdasarkan data historis proyek mengenai produktivitas pekerjaan bekisting. 7. Analisa Biaya Perhitungan estimasi biaya pekerjaan bekisting pada kedua metode. Metode Bekisting Sistem PERI: Biaya pekerjaan bekisting dihitung berdasarkan kebutuhan material pekerjaan bekisting sistem PERI dan upah pelaksanaan pekerjaan bekisting sistem PERI per m2. Selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan estimasi biaya pekerjaan. Metode Bekisting Konvensional: Biaya pekerjaan bekisting dihitung berdasarkan kebutuhan material pekerjaan bekisting konvensional dan upah pelaksanaan pekerjaan bekisting konvensional per m2. Selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan estimasi biaya pekerjaan.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN Sebelum dilaksanakan pekerjaan bekisting
ISBN 978-979-99327-8-5
terlebih dahulu dilakukan beberapa
I - 266
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
analisa yang dapat menunjang kelancaran pekerjaan tersebut. Analisa yang dilakukan adalah analisa perkuatan bekisting, metode pelaksanaan, analisa kebutuhan material, analisa produktivitas dan durasi, serta analisa biaya bekisting. Analisa perkuatan bekisting meliputi perhitungan sebagai berikut: a. Perhitungan perkuatan bekisting balok sistem PERI Tabel 2. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Balok Sistem PERI Material Plywood 21mm
Tegangan Lentur OK
Lendutan OK
b. Perhitungan perkuatan bekisting balok konvensional Tabel 3. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Balok Konvensional Material Multiplek 15mm Kaso 5/7 Balok suri 6/12 Balok gelagar 6/12
Tegangan Lentur OK OK OK OK
Lendutan OK OK OK OK
c. Perhitungan perkuatan bekisting pelat sistem PERI Tabel 4. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Pelat Sistem PERI Material Plywood 21mm
Tegangan Lentur OK
Lendutan OK
d. Perhitungan perkuatan bekisting pelat konvensional Tabel 5. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Pelat Konvensional Material Multiplek 15mm Balok suri 6/12 Balok gelagar 6/12
Tegangan Lentur OK OK OK
Lendutan OK OK OK
e. Analisa Kebutuhan Material
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 267
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 6. Hasil Perhitungan Kebutuhan Material Bekisting Balok dan pelat Sistem PERI dan Konvensional untuk Satu Lantai Jenis Material
Jumlah Konvensional 342 1470 2088 1726 735 1106 2212 1019 2212 29 19,79 486 1487 334 19,79 1144 2508 3264 5016 5016 155,9014419 876
PERI
Girder GT 24 (210 cm) Girder GT 24 (180 cm) Girder GT 24 (150 cm) Girder VT 24 (180 cm) Beam Bracket Mainframe Croos head Scaffolding cross brace base jack Balok 6x12 Plywood Tss Torx Screw multiplek 15mm kaso 5/7 besi siku perancah cross brace u-head base jack paku support
Jenis Material Girder GT 24 (210 cm) Girder GT 24 (180 cm) Girder GT 24 (150 cm) Mainframe Croos head Scaffolding cross brace base jack plywood 21mm Tss Torx Screw
Satuan buah buah buah buah buah buah buah buah buah m³ lembar buah lembar m3 m4 buah buah buah buah kg buah
Jumlah 159,00 312,00 1.290,00 1.350,00 2.700,00 1.350,00 900,00 475,30 2.358,13
Satuan buah buah buah buah buah buah buah m³ buah
f. Analisa Produktivitas dan Durasi Produktivitas pekerjaan bekisting balok dan pelat per hari adalah luas total 1 lantai dibagi dengan total hari 1 lantai. Produktivitas = luas : hari = 1770 m2 : 6 hari = 295 m2 (± 1 sektor) g. Analisa Biaya Analisa biaya pekerjaan bekisting dilakukan dengan mengikuti metode perhitungan kontraktor. Dalam analisa ini lebih ditekankan pada perhitungan material per unit dan upah pekerjaan secara borongan dari data proyek. Terdapat beberapa material yang tidak bisa dipakai terus-menerus dalam pekerjaan bekisting karena memiliki masa pakai tertentu seperti dibawah ini. Tabel 7. Masa Pakai Material Bekisting Balok Sistem PERI Material Plywood 21mm Balok GT 24 Kayu 6/12 Balok VT 24 Tss screw
Masa Pakai 5 kali pakai selamanya tereduksi 7,5% tiap lantai Selamanya 5 kali pakai
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 268
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Sebelum menghitung biaya, telah diketahui bahwa investasi bekisting proyek adalah 1,5 lantai yang merupakan acuan untuk pembelian dan pergantian material. Pada intinya investasi 1,5 lantai adalah untuk membuat siklus pekerjaan struktur tetap berjalan sehingga tidak terjadi posisi idle (tidak ada kegiatan) dimana untuk pekerjaan struktur di lantai berikutnya tidak harus menunggu pembongkaran bekisting yang disebabkan oleh pengaruh umur beton. Jumlah lantai Tower A dan B adalah sama yaitu terdiri dari masing-masing 18 lantai typikal, sehingga total lantai 2 tower adalah 36 lantai. Mengacu pada investasi 1,5 lantai maka 36 lantai dibagi dengan 1,5 lantai yaitu 24 lantai hitungan, maka pembelian dan pergantian material menurut lantai hitungan tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah contoh perhitungan material multiplek. Multiplek 15mm Luas multiplek (1 lembar) = 1,22m × 2,44m = 2,97 m2 Volume multiplek 1 lantai = 928,28 m2
Kebutuhan material 1,5 lantai = 311,83 lembar × 1,5 = 467,75 lembar = 468 lembar Biaya = kebutuhan material × harga material = 468 lembar × Rp. 115.000,00 = Rp. 53.820.000,00 Upah Volume 1,5 lantai = volume 1 lantai × 1,5 = 928,28 m2 × 1,5 = 1392,42 m2 Upah 1,5 lantai = volume 1,5 lantai × upah per m2 = 1392,42 m2 × Rp. 22.266,00 = Rp. 29.240.865,00 Total biaya lantai 1 hitungan Total = biaya material + total upah = Rp. 1.957.321.386,6 + Rp. 29.240.865,00 = Rp. 1.988.326.386,66
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 269
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Tabel 8. Perbandingan Total Biaya Bekisting Balok Pelat lantai Sistem PERI 0 – 1,5 Rp2.955.655.087,39 1,5 – 3 Rp67.582.080,00 3 – 4,5 Rp67.582.080,00 4,5 – 6 Rp67.582.080,00 6 – 7,5 Rp67.582.080,00 7,5 – 9 Rp181.977.167,39 Tower A 9 – 10,5 Rp67.582.080,00 10,5 – 12 Rp67.582.080,00 12 – 13,5 Rp67.582.080,00 13,5 – 15 Rp67.582.080,00 15 – 16,5 Rp181.977.167,39 16,5 – 18 Rp67.582.080,00 0 – 1,5 Rp67.582.080,00 1,5 – 3 Rp67.582.080,00 3 – 4,5 Rp67.582.080,00 4,5 – 6 Rp181.977.167,39 6 – 7,5 Rp67.582.080,00 7,5 – 9 Rp67.582.080,00 Tower B 9 – 10,5 Rp67.582.080,00 10,5 – 12 Rp67.582.080,00 12 – 13,5 Rp181.977.167,39 13,5 – 15 Rp67.582.080,00 15 – 16,5 Rp67.582.080,00 16,5 – 18 Rp67.582.080,00
Konvensional 1.226.011.307,00 1.313.582.114,00 1.401.152.921,00 1.549.136.728,00 1.636.707.535,00 1.724.278.342,00 1.872.262.149,00 1.959.832.956,00 2.473.256.763,00 2.621.240.570,00 2.708.811.377,00 2.796.382.184,00 2.944.365.991,00 3.031.936.798,00 3.119.507.605,00 3.267.491.412,00 3.780.915.219,00 3.868.486.026,00 4.016.469.833,00 4.104.040.640,00 4.191.611.447,00 4.339.595.254,00 4.427.166.061,00 4.514.736.868,00
ISBN 978-979-99327-8-5
Konvensional 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 9 hari 223 hari
TOWER A
Sistem PERI 12 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 127 hari
A TOWER B
Lantai 0 – 1,5 1,5 – 3 3 – 4,5 4,5 – 6 6 – 7,5 7,5 – 9 9 – 10,5 10,5 – 12 12 – 13,5 13,5 – 15 15 – 16,5 16,5 – 18 0 – 1,5 1,5 – 3 3 – 4,5 4,5 – 6 6 – 7,5 7,5 – 9 9 – 10,5 10,5 – 12 12 – 13,5 13,5 – 15 15 – 16,5 16,5 – 18 Total
TOWER B
TOWER B
TOWER A
h. Analisa Waktu Untuk waktu, telah disebutkan di subbab sebelumnya bahwa terdapat perbedaan Lantai Sistem PERI Konvensional 0 – 1,5konvensional 12 hari 9 hari pakai masa pakai material dari bekisting sistem PERI dan yaitu masa 1,5 – 3 5 hari 9 hari kayu kaso yang hanya 3 kali pakai saja dengan masa Girder GT2410yang bisa 3 – 4,5 pakai 5 hari hari 4,5 – 6 Sehingga 5 hari terdapat 9 hari dipakai terus-menerus (sampai proyek berikutnya). perbedaan 6 – 7,5 5 hari 9 hari setiap tiga lantai hitungan yaitu fabrikasi ulang konvensional 7,5 – 9untuk bekisting 5 hari 10 hari 9 – 10,5 5 hari 9 hari sedangkan untuk bekisting sistem PERI bisa langsung mengerjakan lantai berikutnya 10,5 – 12 5 hari 9 hari 12 – 13,5 5 hari 10 hari tanpa fabrikasi ulang. 13,5 – 15 5 hari 9 hari Tabel 9. Perbandingan waktu kedua metode 15 – 16,5 5 hari 9 hari Lantai 16,5 – 18 0 – 1,5 1,5 – 3 3 – 4,5 4,5 – 6 6 – 7,5 7,5 – 9 9 – 10,5 10,5 – 12 12 – 13,5 13,5 – 15 15 – 16,5 16,5 – 18 Total0 – 1,5 1,5 – 3 3 – 4,5 4,5 – 6 6 – 7,5 7,5 – 9 9 – 10,5 10,5 – 12 12 – 13,5 13,5 – 15 15 – 16,5 16,5 – 18 Total
Sistem PERI 5 hari 12 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 127 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 5 hari 127 hari
Konvensional 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 9 hari 9 hari 223 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 10 hari 9 hari 9 hari 9 hari 223 hari
I - 270
Seminar Nasional IX – 2013 Teknik Sipil ITS Surabaya Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui untuk pengerjaan bekisting balok dan kolom pada apartemen puncak kertajaya, untuk bekisting PERI memerlukan biaya Rp5.156.103.120,97 dan waktu 127 hari. Sedangkan bekisting konvensional memerlukan biaya Rp4.514.736.868,00 dan waktu 223 hari. 5. KESIMPULAN Perbandingan antara 2 metode tersebut adalah dari segi biaya, bekisting konvensional lebih murah Rp. 641.366.252,97 (12,43%) dibandingkan dengan bekisting PERI. Namun untuk pemakaian yang lebih banyak (gedung berlantai banyak atau bertower banyak), bekisting PERI akan lebih efektif dan murah. Sedangkan dari segi waktu pengerjaan bekisting PERI lebih cepat 96 hari.
DAFTAR PUSTAKA 12. Wigbout, F. Ing. 1992. Bekisting (Kotak Cetak). Jakarta : Penerbit Erlangga. 13. PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung. 2011. Siklus Bekisting Puncak Kertajaya Apartemens. PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung 14. Handbook PERI formwork 2002 15. PERI formwork component catalogue 2002
ISBN 978-979-99327-8-5
I - 271