Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
i
MENJANGKAU MASYARAKAT MISKIN DAN RENTAN SERTA MENGURANGI KESENJANGAN: Memperbaiki Ketepatan Sasaran, Desain dan Mekanisme Program Cetakan Kedua, Oktober 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang © 2014 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Foto cover: Sekretariat TNP2K Anda dipersilakan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan karya ini untuk tujuan non-komersial. Untuk meminta salinan laporan ini atau keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silakan hubungi TNP2K-Knowledge Management Unit (
[email protected]). Laporan ini juga tersedia di website TNP2K (www.tnp2k.go.id) TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 10110 Telepon: (021) 3912812 | Faksimili: (021) 3912511 E-mail:
[email protected] Website: www.tnp2k.go.id
ii
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Kata Pengantar Penanggulangan kemiskinan adalah salah satu prioritas Pemerintahan SBY-Boediono. Untuk itu dengan Perpres 15 tahun 2010 dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang mendorong koordinasi lintas Kementerian/Lembaga untuk mendorong perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, perbaikan tingkat kehidupan masyarakat miskin dan rentan, serta penurunan ketimpangan antar kelompok pendapatan. Secara lebih spesifik, ada dua hal yang menjadi mandat utama yaitu: (i) membangun sistem penetapan sasaran nasional dengan penggunaan daftar nama dan alamat rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) yang selanjutnya disebut dengan Basis Data Terpadu (BDT), dan (ii) memperbaiki mekanisme pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan sehingga dapat berjalan lebih efisien, lebih efektif, dan menjangkau seluruh penerima manfaat program. Kedua mandat di atas dijalankan dengan melakukan koordinasi kebijakan antar Kementerian/Lembaga. Koordinasi akan menjadi lebih efisien jika ada landasan berpijak yang sama yaitu bukti (evidence) yang berbasiskan hasil penelitian maupun data aktual dari lapangan. Laporan ini menguraikan capaian dan proses dalam koordinasi kebijakan yang berbasiskan bukti (evidence) tersebut. Dengan demikian laporan ini diharapkan tidak saja menjadi dokumentasi dari apa yang telah dilakukan TNP2K selama lima tahun terakhir, namun juga sekaligus menjadi acuan dan bahan pembelajaran bagi proses koordinasi kebijakan di masa yang akan datang. Laporan ini sendiri tidak mungkin menguraikan seluruh detil proses, bukti (evidence) ataupun capaian yang dihasilkan oleh TNP2K selama lima tahun terakhir. Untuk itu kami mengundang Bapak/Ibu semua untuk juga mengakses laporan-laporan kami yang lain jika memerlukan informasi yang lebih detil. Dalam melaksanakan tugas selama lima tahun terakhir ini, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Wakil Presiden, Prof. Dr. Boediono, atas kepemimpinan, arahan dan dukungan kepada jajaran TNP2K. Ucapan terimakasih juga sampaikan kepada kementrian/lembaga para anggota TNP2K yang telah bersamasama menjalankan upaya-upaya perbaikan. Apresiasi yang tinggi juga kami sampaikan atas dukungan yang diberikan kepada TNP2K, khususnya kepada pihak DFAT/PRSF, Bank Dunia Jakarta, USAID, dan GIZ. Terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada seluruh staf sekretariat dan tim kelompok kerja kebijakan atas kerja keras yang dilakukan selama ini. Apa yang kita saksikan dalam laporan ini adalah buah kerja keras dan kerja bersama kita semua.
Dr. Bambang Widianto
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
iii
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Istilah dan Singkatan Daftar Foto Pendahuluan
1-6
Penetapan Sasaran Pengantar Pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) Pengelolaan dan penggunaan Basis Data Terpadu (BDT) Tindak lanjut ke depan
7-18
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Pengantar Tantangan pelaksanaan BLSM Kebijakan perbaikan pelaksanaan Program BLSM 2013 Tindak lanjut pelaksanaan Program BLSM ke depan
19-30
Bantuan Siswa Miskin (BSM) Pengantar Tantangan pelaksanaan Program BSM 2008–2012 Kebijakan perbaikan pelaksanaan Program BSM
31-48
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Pengantar Permasalahan yang dihadapi Upaya perbaikan yang dilakukan Tindak lanjut ke depan
49-66
Raskin Pengantar Kebijakan perbaikan pelaksanaan Program Raskin Tindak lanjut ke depan
67-87
Program Keluarga Harapan (PKH) Pengantar Tantangan pelaksanaan PKH Efektivitas dan capaian PKH Pelaksanaan verifikasi PKH Kecukupan nilai bantuan PKH Durasi kepesertaan PKH Komplementaritas PKH
iv
iii iv-v vi vii-ix x-xi xii
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
89-106
Kebijakan perbaikan program Peningkatan nilai bantuan PKH Durasi kepesertaan PKH: Strategi transformasi PKH Memastikan komplementaritas PKH Penguatan dan penyempurnaan SIM-PKH sebagai Sistem Monitoring Program Keuangan inklusif pada PKH Tindak lanjut ke depan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pengantar Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Tantangan pelaksanaan program pemberdayaan Perbaikan kebijakan yang dilakukan Tindak lanjut ke depan
107-119
Keuangan Inklusif: Meningkatkan Akses Pada Layanan Keuangan Keuangan Inklusif: Tantangan Peluang Kegiatan dan capaian Tindak lanjut ke depan
121-129
Inisiatif Program Ketenagakerjaan Program ketenagakerjaan: Tantangan Peluang Kegiatan dan capaian Tindak lanjut ke depan
131-140
Advokasi Pengantar Rapat koordinasi TKPK Pelaporan LP2KD dan penyusunan dokumen SPKD Tindak lanjut ke depan
141-154
Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru Pengantar Tiga permasalahan utama Uji coba KIAT Guru Pelaksanaan tahap pertama uji coba Kontribusi bagi kebijakan
155-164
Penutup
165-168
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
v
Daftar Tabel Tabel 1.
Anggaran untuk Pelaksanaan BLSM 2013
Tabel 2.
Pengurangan yang Dialami oleh Penerima BLT 2005/2006 dan 2008/2009 23
Tabel 3.
Posko Pengaduan di Kelurahan/Desa dan Kecamatan
27
Tabel 4.
Evaluasi Ketepatan Jumlah Manfaat Program BSM
35
Tabel 5.
Potensi Anak Penerima Program BSM Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) dan Besaran Cakupan BSM Tahun 2011
36
Tabel 6.
Pagu Penerima Program BSM 2013 dan 2014
43
Tabel 7.
Hasil Evaluasi Dampak Program BSM
44
Tabel 8.
Proyeksi Perhitungan Iuran Jamkesmas untuk Tahun 2014
56
Tabel 9.
vi
21
Jumlah Pagu RTS-PM Program Raskin 2005–2014
70
Tabel 10.
Kinerja Program Raskin
71
Tabel 11.
Peserta dan Jumlah Lokasi PKH Menurut Tahun Kepesertaan 2007–2014
90
Tabel 12.
Besaran Bantuan PKH 2007–2013
94
Tabel 13.
Bantuan PKH Mulai Tahun 2013
97
Tabel 14.
Anggaran Pendidikan 2012-2014 untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
156
Tabel 15.
Angka Partisipasi Sekolah di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
156
Tabel 16.
Capaian Pendidikan Tertinggi di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
157
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Daftar Gambar Gambar 1. Evolusi dan Proyeksi Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976–2009 2 Gambar 2. Distribusi Pengeluaran Rumah Tangga Indonesia 2010 3 Gambar 3. Rasio Gini di Indonesia 1999-2009 4 Gambar 4. Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat 2008-2012 4 Gambar 5. Ketepatan Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan 2008 5 Gambar 6. Kinerja Penetapan Sasaran Beberapa Program Utama 9 Gambar 7. Estimasi Kesalahan Penetapan Sasaran Menurut Metode Penetapan Sasaran 11 Gambar 8. Proses PPLS 2011 11 Gambar 9. Kartu Perlindungan Sosial 15 Gambar 10. Mekanisme Pemutakhiran Penerima KPS 16 Gambar 11. Usulan Tahapan Pelaksanaan Pemutakhiran BDT 18 Gambar 12. Under/Over Coverage dari Penetapan Sasaran BLT 2008 22 Gambar 13. Pengurangan BLT 2005/2006 23 Gambar 14. Mekanisme Pemutakhiran Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) 25 Gambar 15. Bentuk Sosialisasi Mengenai LAPOR! 27 Gambar 16. Buku Pegangan Sosialisasi dan Implementasi & Solusi Masalah Kepesertaan KPS 28 Gambar 17. Buku Pegangan TKSK 29 Gambar 18. Evaluasi Terhadap Ketepatan Sasaran Program BSM 34 Gambar 19. Mekanisme Penetapan Sasaran BSM 2008-2012 35 Gambar 20. Evaluasi Keberlanjutan Pendidikan berdasarkan Kuantil Pengeluaran 36 Gambar 21. Rekomendasi Perubahan Mekanisme Penetapan Sasaran Penerima Program BSM 40 Gambar 22. KPS dan Kartu Calon Penerima BSM 41 Gambar 23. Evaluasi Penggunaan KPS untuk Memperbaiki Kinerja Penetapan Sasaran BSM 42 Gambar 24. Rekening Bank Penerima BSM dari KPS 43 Gambar 25. Materi Sosialisasi Program BSM Menggunakan KPS 45 Gambar 26. Sosialisasi Program BSM Menggunakan KPS 46 Gambar 27. Sosialisasi Program BSM 2013-2014 46 Gambar 28. Peran Kemenkes, TNP2K, dan PT Askes dalam Penetapan Sasaran Kepesertaan Program Jamkesmas 2013 54
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
vii
Gambar 29. Tampilan Penghitungan Iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN 57 Gambar 30. Tampilan Visualisasi Data Klaim Individu Jamkesmas 58 Gambar 31. Peta Ilustrasi Kebutuhan Dokter dengan Skenario 2 Dokter Melayani 5.000 Peserta 58 Gambar 32. Proporsi Penyakit Hipertensi Terdiagnosa dan unmet needs menurut provinsi 59 Gambar 33. Situasi Antrian di beberapa Rumah Sakit se-Jabodetabek 64 Gambar 34. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Miskin 68 Gambar 35. Inflasi Tahunan Kelompok Makanan dan Non Makanan 68 Gambar 36. Efektivitas Penargetan Program Raskin 71 Gambar 37. Waktu Siklus Pesanan Raskin dari SPA hingga BAST (2013) 73 Gambar 38. Variasi Lokasi Titik Bagi (TB) Raskin 75 Gambar 39. Proporsi Desa/Kelurahan yang Memungut Biaya di luar HTR dari Penerima Raskin dan Rata-rata Besarannya 76 Gambar 40. Kartu Raskin Ujicoba 2012 80 Gambar 41. Poster Daftar Penerima Manfaat (DPM) 2012 80 Gambar 42. Jumlah Kg Beras yang Diterima RTS di Wilayah Kartu dan Non-Kartu 81 Gambar 43. Rupiah yang Dibayarkan RTS per Kg di Wilayah Kartu dan Non-Kartu 81 Gambar 44. Jumlah Kg Beras yang Diterima RTS-PM (Eksperimen RCT oleh J-PAL) 82 Gambar 45. Formulir Rekapitulasi Pengganti Juni-Desember 2012 82 Gambar 46. Materi Sosialisasi Kartu Perlindungan Sosial dan Penggunaannya untuk Raskin 84 Gambar 47. Jumlah ART Penerima Manfaat PKH 2013 92 Gambar 48. Persentase Jumlah ART yang Berhasil Diverifikasi 3 Bulan Berturut-turut 93 Gambar 49. Komplementaritas PKH dengan Program Bansos Lain (%) 95 Gambar 50. Buku Kerja Pelaksanaan Program Keluarga Harapan 96 Gambar 51. Resertifikasi dan Implikasinya Terhadap Status Kepesertaan PKH 98 Gambar 52. Berkas Kuesioner Resertifikasi Untuk Kohor 2007 dan 2008 99 Gambar 53. Mekanisme Pengaduan Resertifikasi PKH 99 Gambar 54. Pertemuan Pembagian Hasil Resertifikasi dan Pengaduan Atas Hasil Resertifikasi 100 Gambar 55. Pedoman Umum Transformasi PKH 101 Gambar 56. Tampilan Aplikasi Dashboard SMART-PKH 102 Gambar 57. Contoh Hasil Analisis Rata-Rata Penyaluran Dana RTSM/KSM 103 Gambar 58. Ragam Program Pemberdayaan Masyarakat 108
viii
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Gambar 59. Capaian Pelaksanaan PNPM Mandiri 2007–2013 110 Gambar 60. Dampak Positif PNPM Mandiri 112 Gambar 61. Kerangka Konsep Program Pemberdayaan Masyarakat 114 Gambar 62. Desa Sebagai Subyek Pembangunanan 116 Gambar 63. Jumlah Transaksi Perbankan Non-Tunai di Indonesia, 2007–2011 123 Gambar 64. Proporsi Rumah Tangga yang Menerima Kredit Usaha Menurut Sumber dan Kelompok Pengeluaran (%) 124 Gambar 65. Proporsi Rumah Tangga yang Menerima KUR Menurut Desil Pengeluaran (%) 125 Gambar 66. Agenda Keuangan Inklusif dan Kelompok Target 128 Gambar 67. Kerangka Umum dari Lima Pilar dalam Kerangka Aksi Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Angkatan Kerja 135 Gambar 68. Program Terpadu untuk Penciptaan Lapangan Kerja Bagi Angkatan Kerja Muda 136 Gambar 69. Perkembangan Jumlah TKPK Kabupaten/Kota Menurut Provinsi 142 Gambar 70. TKPK yang terbentuk s/d Maret 2014 143 Gambar 71. Penyelenggaraan Rakor TKPK di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota 144 Gambar 72. Rakor TKPK menurut Frekuensi, Pimpinan & Pesertanya (2013) 146 Gambar 73. Buku Panduan Bagi TKPK yang Diterbitkan Oleh TNP2K 149 Gambar 74. Contoh Peraturan Kepala Daerah tentang SPKD 151 Gambar 75. Daerah menurut Status Dokumen SPKD 151 Gambar 76. TKPK yang ikut magang & pelatihan di TNP2K s/d Maret 2014 152 Gambar 77. Contoh Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) 152 Gambar 78. Contoh Analisis Kabupaten 153 Gambar 79. Keterkaitan Antara Frekuensi Kedatangan Pengawas dan Persentase Ketidakhadiran Guru 158 Gambar 80. Angka Kemangkiran Guru 159 Gambar 81. Pelajaran Bahasa Kelas 4 (Kiri) dan Pelajaran Matematika Kelas 5 (Kanan) di Sekolah Dasar di Papua 159 Gambar 82. Lokasi Uji Coba 162 Gambar 83. Suasana Lokakarya Penandatanganan Nota Kesepakatan Antara TNP2K dan Kabupaten Keerom, Kaimana, dan Ketapang 162
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ix
Daftar Istilah dan Singkatan APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BBM Bahan Bakar Minyak BLSM Bantuan Langsung Sementara Masyarakat BSM Bantuan Siswa Miskin BDT Basis Data Terpadu BLT Bantuan Langsung Tunai BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPKP Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan BPK Badan Pemeriksa Keuangan BPS Badan Pusat Statistik BULOG Badan urusan Logistik DJSN Dewan Jaminan Sosial Nasional DIRJEN BUK KEMENKES Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Dinkes Dinas Kesehatan JAMKESMAS Jaminan Kesehatan Masyarakat JKN Jaminan Kesehatan Nasional JPS Jaring Pengaman Sosial KADES Kepala Desa KEMENKES Kementerian Kesehatan KEMENKEU Kementerian Keuangan KEMENDAGRI Kementerian Dalam Negeri KEMENSOS Kementerian Sosial KEMENDIKBUD Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan KEMENAG Kementerian Agama KEMENTAN Kementerian Pertanian KEMENKO KESRA Kementerian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat KPS Kartu Perlindungan Sosial KUR Kredit Usaha Rakyat OPK Operasi Pasar Khusus PBI Penerima Bantuan Iuran PKH Program Keluarga Harapan PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial P4S Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial PUSKESMAS Pusat Kesehatan Masyarakat POSYANDU Pos Pelayanan Terpadu PSE Pendataan Sosial Ekonomi POKJA Kelompok Kerja RTS-PM Rumah Tangga Sasaran-Penerima Manfaat RASKIN Beras untuk Rumah Tangga Miskin RTS Rumah Tangga Sasaran
x
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional SD Sekolah Dasar SMP Sekolah Menengah Pertama SMA Sekolah Menengah Atas TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan UPSPK Unit Penetapan Sasaran untuk Penanggulangan Kemiskinan UKP4 Unit Kerja Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Pemerintah
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
xi
Daftar Foto Cover Pendahuluan Penetapan Sasaran Penetapan Sasaran Penetapan Sasaran Penetapan Sasaran BLSM BLSM BLSM BLSM BSM BSM BSM BSM JKN JKN JKN JKN JKN Raskin Raskin Raskin Raskin PKH PKH PKH PKH PNPM PNPM PNPM PNPM Keuangan Inklusif Keuangan Inklusif Keuangan Inklusif Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan Advokasi Advokasi KIAT Guru Penutup
xii
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Leo Brandto Timur Angin Leo Brandto Rachma Safitri Rachma Safitri Rachma Safitri Leo Brandto Timur Angin Joshua Esty Rachma Safitri Leo Brandto Leo Brandto Joshua Esty Joshua Esty Rachma Safitri Joshua Esty Leo Brandto Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Timur Angin Timur Angin Timur Angin Joshua Esty Joshua Esty Achmad Ibrahim Sutikno Leo Brandto Pitchayarat Chootai Achmad Ibrahim Achmad Ibrahim Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Joshua Esty Leo Brandto Joshua Esty Leo Brandto Leo Brandto
1 7 8 10 13 19 21 24 30 31 32 37 39 49 50 60 62 66 67 74 85 86 89 93 101 105 107 109 117 119 121 125 129 131 132 137 139 141 145 155 165
PENDAHULUAN
Pengantar Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dalam periode 1976–1996 merupakan salah satu episode pembangunan yang paling mengesankan dan menjadi salah satu kisah sukses penanggulangan kemiskinan bagi Indonesia dan juga bagi banyak negara-negara lain. Pada periode ini tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari kisaran 40 persen menjadi 11,7 persen. Tren penurunan ini terputus saat Indonesia dihantam krisis keuangan Asia 1997–1998. Mulai awal tahun 2000, tren penurunan tingkat kemiskinan mulai kembali lagi namun dengan penurunan yang melambat dibandingkan dengan periode pra-krisis 1997–1998. Perlambatan penurunan tingkat kemiskinan ini terus berlanjut hingga awal dimulainya periode pemerintahan SBY-Boediono pada tahun 2009 seperti ditunjukan pada Gambar 1 dibawah. Gambar 1. Evolusi dan Proyeksi Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976–2009
50
40,01%
60
15,42%
14,15% 32,53
15,97% 35,1
34,96
16,66% 36,15
16,58%
17,42% 37,34
37,17
18,19% 38,39
17,75%
18,41% 37,9
39,05
19,14%
23,4% 48
38,7
24,2% 49,5
11,7%
17,7% 34,5
25,9
27,2
30
35
43,2
0
54,2
10
22,5
13,7%
15,1%
20
17,4%
30
21,6%
28,6%
40
1976 1980 1984 1987 1990 1993 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tingkat persentase kemiskinan menurun namun pada tahun-tahun terakhir terjadi perlambatan penurunan kemiskinan
Sumber: BPS berbagai publikasi
Perlambatan penurunan tingkat kemiskinan dijelaskan oleh paling tidak dua hal. Pertama, pada tingkat kemiskinan yang relatif lebih rendah, kemiskinan secara natural akan turun lebih lambat dibandingkan dengan pada saat tingkat kemiskinan tinggi—misalnya pada kisaran 30–40 persen. Kedua, kemiskinan pada tingkat yang relatif rendah juga ditengarai telah mulai menyentuh kemiskinan kronis yang penanganannya lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada tahun 2009 dengan tingkat kemiskinan sebesar 14,15 persen, jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 32,53 juta individu. Angka ini cukup besar khususnya jika dibandingkan dengan jumlah orang miskin di negaranegara tetangga. Ini menjadi tantangan yang mendapat perhatian di awal periode
2
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENDAHULUAN
pemerintahan SBY-Boediono. Selain perlambatan penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin, kerentanan kemiskinan juga merupakan masalah tersendiri. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2, distribusi pengeluaran per kapita per bulan terkonsentrasi di sisi kiri. Ini berarti bahwa selain penduduk yang tergolong miskin –di sebelah kiri garis kemiskinan—kelompok penduduk yang tidak miskin namun hanya sedikit di sebelah kanan garis kemiskinan masih cukup besar. Kelompok penduduk inilah yang dinamakan kelompok rentan miskin. Untuk kelompok rentan miskin, guncangan ekonomi yang relatif kecil sekalipun dapat menjadikan mereka kembali menjadi miskin. Dari data Susenas, dapat ditunjukkan bahwa pada tahun 2009, jumlah orang miskin dan rentan miskin mencakup paling tidak 40 persen dari total populasi Indonesia saat itu. Ini berarti 4 dari 10 orang Indonesia tergolong miskin atau rentan miskin. Gambar 2. Distribusi Pengeluaran Rumah Tangga Indonesia 2010
Sumber: Susenas (2010)
Selain isu di atas, isu lain yang terkait dan juga mendapat sorotan pada awal pemerintahan SBY-Boediono adalah masalah memburuknya kesenjangan pendapatan. Seperti ditunjukan pada Gambar 3, angka rasio Gini —yang merupakan indikator kesenjangan pengeluaran rumah tangga—di Indonesia cenderung meningkat sejak awal 2000. Di awal periode pemerintahan SBY-Boediono tahun 2009, rasio Gini mencapai 0,37. Angka ini walaupun nampaknya tidak terlalu jauh dari angka tahun sebelumnya, namun telah menembus ‘batas psikologis’ rasio Gini Indonesia yang selama bertahun-tahun cenderung pada kisaran 0,35–0,36. Situasi ini jika terus berlanjut dalam jangka panjang dapat memunculkan permasalahan ekonomi dan sosial. Memburuknya kesenjangan pendapatan menunjukan bahwa kelompok pendapatan atas tumbuh lebih tinggi dibandingkan kelompok pendapatan bawah. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
3
PENDAHULUAN
Persentase Penerima Bantuan
Gambar 3. Rasio Gini di Indonesia 1999 - 2009
Rasio Gini
Sumber: BPS
Apa yang menjelaskan kesenjangan/ketidakmerataan antar kelompok pendapatan? Analisis data Susenas 2008 dan 2012 menunjukkan bahwa pertumbuhan pengeluaran kelompok masyarakat 40 persen termiskin walaupun positif namun berada jauh dibawah 20 persen masyarakat terkaya. Seperti ditunjukkan pada gambar 4 di bawah, pengeluaran kelompok masyarakat 40 persen termiskin tumbuh sekitar 1,8-2,1 persen, sementara pengeluaran kelompok masyarakat 20 persen terkaya tumbuh sekitar 5,1-8,5 persen. Gambar 4. Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat 2008 – 2012
Sumber: TNP2K
Selain isu terkait dengan kemiskinan dan kesenjangan, isu lain yang juga mendapat sorotan adalah mengenai ketepatan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5, hanya sebagian dari rumah tangga sasaran—daerah
4
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENDAHULUAN
diarsir warna biru—yang memperoleh program Raskin, BLT dan Jamkesmas. Di sisi lain pada Gambar 5 juga ditunjukkan ada rumah tangga bukan sasaran—tidak miskin dan bukan rentan miskin—yang ternyata memperoleh program. Kesalahan dimana kelompok sasaran/penerima manfaat tidak menerima program disebut sebagai exclusion error, sementara kesalahan dimana kelompok bukan sasaran ternyata menerima program disebut dengan inclusion error. Tingginya angka exclusion dan inclusion error berpengaruh pada efektivitas program sekaligus menunjukkan adanya yang perlu diperbaiki pada basis data untuk pensasaran program, desain dan mekanisme program. Pada tahun 2008, kinerja pensasaran program masih jauh dari baik. Analisis data Susenas menunjukkan bahwa pada tahun 2008 hanya 30 persen penduduk miskin yang menerima tiga program —Raskin, BLT dan Jamkesmas—sekaligus. Gambar 5. Ketepatan Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan 2008
Desil Konsumsi Rumah Tangga
Sumber: Susenas 2008, diolah.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dibentuk pada awal tahun 2010 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 antara lain untuk merespons situasi melambatnya penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatnya kesenjangan. Perpres tersebut diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) no. 42 tahun 2010 tentang Struktur Kelembagaan dan Mekanisme Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Daerah. Mandat utama yang diberikan kepada TNP2K adalah untuk peningkatan efektitas program penanggulangan kemiskinan, mencakup (i) perbaikan penetapan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan, (ii) perbaikan desain dan mekanisme distribusi program, (iii) peningkatan koordinasi antar lembaga untuk peningkatan efektivitas program, dan (iv) pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Dalam kurun waktu 2010– 2014, perbaikan-perbaikan kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan telah dilakukan TNP2K. Perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan mencakup pengembangan Basis Data Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
5
PENDAHULUAN
Terpadu sebagai upaya perbaikan menyasar program-program berbasis rumah tangga dan individu. Perbaikan juga dilakukan pada desain program dan mekanisme distribusi (delivery mechanism) dari masing-masing program dari Klaster 1, 2 maupun 3. Keseluruhan perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan dengan mengacu pada kebutuhan dan didasarkan pada bukti-bukti yang diperoleh dari lapangan. Laporan TNP2K ini mendokumentasikan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh TNP2K sesuai dengan mandat yang diberikan untuk menanggulangi kemiskinan. Laporan ini mencakup topik-topik berikut: Penetapan Sasaran, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM), Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM), inklusi keuangan, ketenagakerjaan kaum muda, advokasi TKPK Daerah dan Pilot Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) guru.
6
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
Pengantar Sejak 2009 Indonesia telah memiliki serangkaian program perlindungan sosial sebagai salah satu upaya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, khususnya untuk mereka yang tergolong miskin dan rentan miskin. Berdasarkan sasaran penerima manfaatnya, program-program perlindungan sosial dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Salah satunya adalah program perlindungan sosial dengan sasaran penerima manfaat individu dan/atau rumah tangga, seperti Program Subsidi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)1, Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Program Keluarga Harapan (PKH). Salah satu tantangan utama dalam program dengan sasaran individu dan/atau rumah tangga adalah mengidentifikasi secara tepat dan akurat individu dan/atau rumah tangga sasaran penerima manfaat. Pada 2009 masing-masing program itu menggunakan mekanisme dan metode yang berbeda dengan dua tantangan yang masih perlu diperbaiki terutama: a. Masih rendahnya tingkat ketepatan sasaran program. Ini terlihat dengan masih tingginya exclusion error dan inclusion error di beberapa program utama seperti tersaji dalam gambar 6. b. Masih rendahnya komplementaritas antar program dalam menyasar kelompok yang berhak. Dalam hal ini masalahnya adalah kelompok sasaran yang seharusnya menerima beberapa program perlindungan sosial sekaligus, ternyata hanya menerima kurang dari yang seharusnya. Misalnya dijumpai rumah tangga penerima PKH yang tidak termasuk dalam penerima program Raskin dan Jamkesmas, sementara rumah tangga penerima PKH merupakan rumah tangga termiskin dan seharusnya juga menjadi penerima manfaat program perlindungan sosial lain.
1 Sejak Januari 2014 menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
8
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
Gambar 6. Kinerja Penetapan Sasaran Beberapa Program Utama Non-Target
Target
Desil Konsumsi Rumah Tangga BLT
Raskin
Cakupan Jamkesmas
Pemanfaatan Jamkesmas
Sumber: Susenas, diolah.
Kedua tantangan tersebut memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan pencapaian tujuan penurunan tingkat kemiskinan. Untuk menjawab kedua tantangan di atas, penyempurnaan sistem penetapan sasaran menjadi salah satu kunci utama yang harus dilakukan. Oleh karena itu, di awal masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia memberikan amanat kepada Wakil Presiden selaku penanggung jawab untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pembentukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan diketuai oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Lembaga ini menjadi kunci penting dalam memberikan dukungan dan dorongan yang diperlukan untuk memperbaiki sekaligus mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. Salah satu agendanya adalah dengan melakukan unifikasi sistem penetapan sasaran.
PEMBANGUNAN BASIS DATA TERPADU (BDT) Prasyarat utama terwujudnya unifikasi sistem penetapan sasaran adalah tersedianya suatu basis data nasional yang berisikan informasi karakteristik individu dan/ atau rumah tangga yang potensial menjadi sasaran penerima manfaat yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi program perlindungan sosial dalam memilih peserta Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
9
PENETAPAN SASARAN
program. Untuk tujuan itu, TNP2K merumuskan satu inisiatif untuk membangun basis data perlindungan sosial yang disebut dengan Basis Data Terpadu (BDT). Langkah penting pertama dalam rangka membangun basis data ini adalah kegiatan pendataan tingkat rumah tangga untuk mengumpulkan informasi tentang keberadaan individu dan/atau rumah tangga dan kondisi sosial ekonominya. Ini bukan hal baru bagi Indonesia. Sebelumnya Indonesia telah memiliki pengalaman dalam kegiatan pendataan rumah tangga untuk kebutuhan penetapan sasaran. Pada 2005 telah dilaksanakan kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005 yang hasilnya digunakan untuk penetapan sasaran rumah tangga penerima program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2005 dan program BLT 2008. Pendataan serupa kembali dilakukan pada 2008 dengan nama Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 yang digunakan sebagai basis sasaran PKH dan programprogram nasional lain. Walaupun demikian, pada saat itu belum terdapat dukungan dan dorongan yang kuat untuk menjadikan hasil PSE 2005 atau PPLS 2008 sebagai basis penetapan program perlindungan sosial.
TNP2K berperan penting dalam mengkoordinasikan seluruh elemen dan upaya yang diperlukan dalam pembangunan BDT. Diawali dengan kegiatan PPLS 2011 yang didesain sebagai sumber data BDT. Dalam rangka memastikan pendataan dilakukan dengan metode yang paling tepat dan sesuai dengan konteks Indonesia, TNP2K bekerjasama dengan Bank Dunia dan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL). Bersama dengan kedua lembaga tersebut, TNP2K melakukan serangkaian eksperimen dan penelitian di beberapa daerah untuk menguji beberapa metode penetapan sasaran. Hasil studi menunjukkan bahwa metode Proxy Means Test (PMT) memberikan hasil yang relatif lebih akurat dibandingkan dengan metode lain dan masyarakat memiliki kemampuan lebih dalam mengidentifikasi mereka yang paling miskin di masing- masing lingkungannya (Gambar 7).
10
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
Persen
Persentase Desil Terpilih
Gambar 7. Estimasi Kesalahan Penetapan Sasaran menurut Metode Penetapan Sasaran
Metode
Sumber: TNP2K
Desil PMT
Komunitas
Rekomendasi dari rangkaian studi tersebut turut menjadi masukan penting dalam inovasi perbaikan mekanisme pendataan PPLS 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara umum proses PPLS dapat dilihat dalam Gambar 8. Gambar 8. Proses PPLS 2011 Pre-List Rumah Tangga
Verifikasi Keberadaan Rumah Tangga oleh Pemimpin Lokal
Daftar awal Rumah Tangga
Konsultasi dengan Rumah Tangga Miskin (Berdasarkan peta kemiskinan yang berasal dari data Sensus Penduduk 2010)
Penyisiran
Disurvei pada PPLS 2011
Sumber: TNP2K
Beberapa inovasi —sebagian diinspirasi oleh studi tersebut—dimasukkan TNP2K dalam PPLS 2011 yang meliputi: a. Penambahan cakupan rumah tangga yang didata (sekitar 45 persen penduduk Indonesia), dibandingkan dengan 29 persen penduduk yang didata dalam PPLS 2008. b. Pemanfaatan data Sensus Penduduk 2010 yang diolah lebih lanjut dengan metode Poverty Map sebagai referensi dalam menyusun daftar awal rumah tangga yang akan didata dalam PPLS 2011. c. Mekanisme konsultasi dengan masyarakat miskin untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin yang belum terdata. d. Penambahan variabel karakteristik individu dan rumah tangga sehingga dapat lebih baik dalam memprediksi kondisi sosial ekonomi rumah tangga dan lebih dapat mengakomodasi kebutuhan program. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
11
PENETAPAN SASARAN
Setelah data rumah tangga dikumpulkan, selanjutnya dilakukan analisis untuk memperoleh estimasi kondisi sosial ekonomi dari masing-masing rumah tangga. Inovasi penting yang terjadi pada tahap ini adalah perbaikan pada model estimasi Proxy Means Tests (PMT) yang digunakan. Perbaikan tersebut meliputi penambahan dan pemilihan variabel prediksi kondisi sosial ekonomi. Selain itu, model PMT yang digunakan disesuaikan dengan kondisi masing-masing kabupaten/kota atau dengan kata lain terdapat model yang spesifik untuk setiap kabupaten/kota. Hasil estimasi dengan menggunakan PMT tersebut memungkinkan untuk selanjutnya dilakukan perangkingan rumah tangga berdasarkan kondisi sosial ekonominya. Dari hasil perangkingan tersebut, dipilihlah 40 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah, atau sekitar 25 juta rumah tangga dengan 96 juta individu, untuk diturutsertakan dalam Basis Data Terpadu yang akan dikelola oleh Sekretariat TNP2K.
PENGELOLAAN DAN PENGGUNAAN BASIS DATA TERPADU (BDT) Sekretariat TNP2K membentuk satu unit khusus untuk mengelola Basis Data Terpadu yang dinamakan Unit Penetapan Sasaran untuk Penanggulangan Kemiskinan (UPSPK). Terdapat tiga fungsi utama dalam pengelolaan BDT yang dijalankan oleh UPSPK yaitu: a. Pelayanan kepada pelaksana program: bekerja sama dengan penyelenggaraan program dalam memastikan basis data terpadu dapat dimanfaatkan untuk keperluan program perlindungan sosial, serta memberikan dukungan teknis kepada pengguna basis data terpadu. b. Kajian dan penelitian: melakukan studi atau analisis terhadap berbagai studi untuk memperbaiki kualitas penetapan sasaran program, dan melakukan pemantauan dan evaluasi pemanfaatan basis data terpadu. c. Penyajian informasi: membangun sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk menyajikan beragam informasi terkait basis data terpadu dan perlindungan sosial, termasuk membangun situs Basis Data Terpadu yang menampilkan 16 indikator terpilih tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Indikator tersebut dapat diunduh dalam bentuk data maupun peta (bagian dari Open Government Initiative yang dikoordinasikan oleh Unit Kerja Pemerintah bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)). Sejak diluncurkan pada Januari 2012, Basis Data Terpadu telah menjadi referensi utama bagi penetapan sasaran program-program perlindungan sosial nasional, seperti:
12
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
a. Program Raskin Program Raskin mempergunakan data untuk penetapan sasaran program terhitung Juli 2012 sebanyak 17,5 juta rumah tangga. Penggunaan BDT sebagai basis dilanjutkan juga untuk penetapan sasaran Raskin pada 2013 dan 2014 sebanyak 15,5 juta rumah tangga. b. Program Jamkesmas Program ini menggunakan BDT untuk menentukan peserta Jamkesmas sejak 2013 sebanyak 86,4 juta individu. Berdasarkan cakupan kepesertaan, program ini adalah program perlindungan sosial yang terbesar. Ketika Jamkesmas berevolusi menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Januari 2014, basis penentuan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga berasal dari 86,4 juta individu yang sama dari BDT. c. Program BSM Salah satu inovasi yang didukung oleh TNP2K dalam pelaksanaan program BSM adalah penyesuaian mekanisme penetapan sasaran dari sebelumnya dilakukan oleh pihak sekolah dan komite sekolah menjadi menggunakan Basis Data Terpadu. Tahap pertama dari upaya ini adalah penerbitan dan pengiriman kartu BSM kepada 350 ribu siswa SMP kelas 7 pada 2012, dan dilanjutkan untuk 670 siswa SD kelas 1 dan SMP kelas 7 pada 2013. Selanjutnya, sejak Juli 2013 setiap anggota rumah tangga usia sekolah yang bersekolah dalam kepesertaan Program Raskin secara otomatis menjadi penerima manfaat program BSM. d. Program PKH Pada pertengahan 2012, PKH juga memanfaatkan BDT untuk penetapan sasaran program sebanyak 484 ribu rumah tangga baru PKH. Selanjutnya pada 2013 PKH Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
13
PENETAPAN SASARAN
kembali mengakses BDT untuk memperoleh tambahan rumah tangga sebanyak 800 ribu rumah tangga. e. Program Perlindungan Pekerja Anak-Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) Program yang dikelola oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini juga telah memanfaatkan BDT untuk memperoleh calon peserta program sebanyak 10 ribu pekerja anak pada 2012 dan 11 ribu pekerja anak pada 2013. f. Program Perlindungan Sosial Daerah Selain penyelenggara program perlindungan sosial nasional, pemerintah daerah juga turut memanfaatkan BDT untuk keperluan penetapan sasaran program pelindungan sosial yang merupakan inisiatif daerah. Hingga April 2014 tercatat telah 31 pemerintah provinsi dan 303 pemerintah kabupaten/kota yang telah mengakses dan memanfaatkan BDT. Data-data agregat dari BDT juga telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya. Hal ini menunjukkan tingginya minat dan kebutuhan akan keberadaan basis data yang dapat diandalkan untuk kebutuhan penetapan sasaran dan semakin menegaskan peran strategis yang dimiliki oleh BDT. Dalam rangka perbaikan berkelanjutan untuk semakin meningkatkan pelayanan kepada penyelenggara program perlindungan sosial dan pengguna BDT, Sekretariat TNP2K juga melakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi atas BDT dan pemanfaatannya.
Pertama, secara internal TNP2K melakukan uji petik pada awal 2012 dan hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 90–95 persen nama dan alamat dalam BDT dapat ditemukan.
Kedua,
selain melakukan pengecekan lapangan, evaluasi juga dilakukan dengan melakukan pencocokan (matching) BDT dengan data kependudukan. Hasil pencocokan dengan data administrasi kependudukan (Adminduk) Kementerian Dalam Negeri menunjukkan 74,8 persen nama dan alamat dalam BDT mendapatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Ketiga, melalui umpan balik dari pemerintah daerah sebagai pengguna dan pelaksana program di daerah menyimpulkan pentingnya pelibatan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam kegiatan pendataan dan pemutakhiran BDT. Berdasarkan beberapa uraian di atas sebagai ukuran kualitas BDT yang merupakan tujuan dari pemantauan dan evaluasi menunjukkan relatif rendahnya masalah yang ditemukan terkait dengan BDT, baik sebelum, sesudah maupun dalam proses pelaksanaan program. Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan lebih lanjut dari pengelolaan basis data yang ada saat ini. Informasi lebih jauh tentang BDT dapat diperoleh pada alamat web berikut: https://bdt.tnp2k.go.id/
14
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
PEMANFAATAN BDT UNTUK KARTU PERLINDUNGAN SOSIAL DAN PEMUTAKHIRAN DATA Pada pertengahan 2013, pemerintah secara resmi melakukan penyesuaian harga BBM dengan salah satu langkah realokasi anggaran untuk subsidi diberikan langsung kepada rumah tangga sasaran. Dalam rangka realokasi tersebut, pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dengan mengirimkan KPS sebagai penanda rumah tangga sasaran dengan basis penerima manfaat program perlindungan sosial dengan masa berlaku hingga akhir 2014. Sebanyak 15,5 juta rumah tangga yang bersumber dari BDT yang merupakan rumah tangga sasaran yang merupakan kelompok masyarakat 25 persen termiskin yang ada di BDT. Rumah tangga pemegang KPS berhak untuk menerima program BLSM, BSM (jika memiliki anak sekolah), dan PKH (bagi rumah tangga/keluarga yang masuk kategori rumah tangga sangat miskin). Keberadaan KPS ini semakin memperkuat upaya perbaikan kinerja penetapan program dan komplementaritas antar program perlindungan sosial sehingga mereka yang berhak dapat secara penuh menerima haknya karena mekanisme penentuan sasaran penerima manfaat program setelah menggunakan mekanisme yang sama. Gambar KPS dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Sumber: TNP2K
“ KPS merupakan kartu di Indonesia pertama yang diluncurkan oleh Pemerintah yang dapat digunakan untuk mendapatkan manfaat berbagai program perlindungan sosial” Bersama upaya untuk meningkatkan kinerja pensasaran lewat pengiriman KPS, TNP2K juga mengusulkan dan merancang mekanisme pemutakhiran data penerima KPS. Mengingat pemutakhiran lewat pendataan tidak mungkin dilakukan setiap tahun karena alasan biaya, waktu dan kompleksitas pelaksanaannya, TNP2K mengusulkan metode pemutakhiran dari bawah lewat mekanisme Musyawarah Desa/Kelurahan. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
15
PENETAPAN SASARAN
Mekanisme dan alur pengusulan pemutakhiran data dapat dilihat pada gambar 10 di bawah. Pengalaman dari pelaksanaan mekanisme musyawarah desa/kelurahan tahun 2013 menunjukkan bahwa mekanisme ini memiliki prospek cukup bagus sebagai salah satu pilihan mekanisme pemutakhiran Basis Data Terpadu di masa mendatang. Pada tahun 2013, dari total 15,5 juta rumah tangga, telah disepakati untuk dilakukan pemutakhiran kepesertaan sejumlah 350 ribu rumah tangga, atau sekitar 2,3 persen. Gambar 10. Mekanisme Pemutakhiran Penerima KPS
Sumber: TNP2K
TINDAK LANJUT KE DEPAN Berdasarkan kajian internal, input dan masukan dari penyelenggara program serta pengguna BDT lain menunjukkan bahwa keberadaan BDT merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting 2 . Oleh karena itu, BDT yang mencakup sejumlah informasi dasar rumah tangga maupun individu yang diperlukan untuk implementasi program perlindungan sosial, sangat perlu untuk ditingkatkan dari sisi kualitas dan pemanfaatannya. Hal tersebut perlu dilakukan agar lebih fleksibel dalam mengakomodasi tujuan dan kebutuhan masingmasing program perlindungan sosial. Selanjutnya, pergeseran kondisi demografis, migrasi dan perubahan kondisi sosial ekonomi individu/rumah tangga penerima manfaat program mensyaratkan pentingnya mekanisme pemutakhiran BDT secara berkala. Terdapat beberapa cara pemutakhiran BDT yang dapat saling melengkapi satu sama lain.
2 Bah et al., 2013. An Evaluation of the Use of the Unified Database for Social Protection Progams by Local Governments in Indonesia, TNP2K.
16
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENETAPAN SASARAN
Pertama
Kedua
Ketiga
Pemutakhiran melalui mekanisme umpan balik dari program dan pengguna BDT perihal individu/rumah tangga yang masuk atau keluar sebagai peserta program. Informasi perihal penetapan dan perubahan penerima manfaat program secara rutin disampaikan kepada pengelola BDT sehingga kontennya juga termutakhirkan.
Pemutakhiran berkala yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah adalah pihak yang dekat dan berhubungan langsung dengan lapangan dan pelaksanaan program. Mereka pulalah yang memiliki informasi lebih perihal kondisi di daerahnya.
Pemutakhiran berkala dalam skala nasional setiap tiga atau empat tahun sekali dengan mekanisme yang komprehensif melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.
Dalam pemutakhiran nasional ini penting untuk memperhatikan beberapa hal berikut (ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 10): a. Pembaharuan alokasi kuota/pagu rumah tangga sasaran dengan kondisi terkini yang tersinkronisasikan dengan alokasi kuota sasaran pada pelaksanaan program bantuan sosial sebelumnya. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya pergeseran yang terlalu jauh antara alokasi kuota rumah tangga miskin program perlindungan sosial yang sudah berjalan dengan cakupan sasaran program perlindungan sosial untuk setiap daerah ke depannya. Manfaat dari sinkronisasi kuota antar waktu dan pendataan ini adalah membantu kelancaran pelaksanaan program di jenjang administratif di bawah tingkat nasional dengan meminimalisasi perubahan tiba-tiba pada alokasi kuota rumah tangga sasaran program. b. Mengikutsertakan kementerian/lembaga penyelenggara program perlindungan sosial dari tahap awal pelaksanaan kegiatan penargetan rumah tangga miskin. Pengalaman kementerian dan lembaga pada saat implementasi program merupakan masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan penetapan sasaran. Identititas kepesertaan rumah tangga penerima program bantuan sosial merupakan kunci bagi keberlangsungan dan perbaikan penetapan sasaran berikutnya dan sangat diperlukan pada saat penyusunan daftar total Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
17
PENETAPAN SASARAN
(pre-list) rumah tangga miskin. Dengan demikian, kekhawatiran kepesertaan program bantuan sosial tidak tercakup dalam BDT dapat dicegah, kecuali karena perubahan kondisi sosial ekonomi yang terjadi setelah proses pendataan. c. Memberikan porsi yang lebih besar kepada partisipasi dan pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Mekanisme konsultasi dengan masyarakat miskin perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan lebih lanjut dengan melibatkan kelompok masyarakat yang lebih besar. Partisipasi masyarakat umum tersebut dapat terakomodasi dengan adanya kegiatan tambahan selama proses pemutakhiran. Kegiatan tambahan yang dimaksud adalah kegiatan konsultasi publik dimana daftar rumah tangga disampaikan kepada masyarakat untuk memperoleh umpan balik kesesuaiannya. Salah satu alternatif mekanisme pemutakhiran BDT secara nasional yang komprehensif tersebut dapat dilihat pada gambar 11 di bawah. Gambar 11. Usulan Tahapan Pelaksanaan Pemutakhiran BDT
1 Identifikasi Sumber Data RT Dalam Pre-list
2 Penyusunan Daftar Awal (Pre-list)
Sumber: TNP2K
Penetapan sasaran merupakan kunci awal keberhasilan program perlindungan sosial. Oleh karena itu, keberadaan dan fungsi dari BDT sangatlah penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Dengan semakin baiknya BDT, akan berdampak langsung kepada perbaikan kinerja penetapan sasaran program perlindungan sosial dan komplementaritas antar program. KPS yang akan berakhir masa berlakunya pada akhir 2014 perlu terus dipertahankan untuk semakin memperkuat kinerja penetapan sasaran program perlindungan sosial.
18
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
Pengantar
kat ra
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) adalah salah satu bentuk kompensasi yang diberikan kepada rumah tangga miskin dan rentan atas kenaikan harga BBM pada tahun 2013. BLSM bukan didesain untuk solusi jangka panjang untuk mengurangi kemiskinan, namun merupakan solusi jangka pendek untuk menghindarkan penurunan daya beli masyarakat yang bisa berimplikasi kepada penjualan aset, berhenti sekolah, mengurangi konsumsi makanan yang bergizi, pekerja anak atau aktivitas merugikan lainnya. Pelaksanaan BLSM 2013 tidak lepas dari evaluasi atas keberhasilan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2005 dan 2008 dalam menyangga tingkat konsumsi rumah tangga miskin dan rentan akibat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008. Beberapa studi evaluasi menunjukkan bahwa BLT yang disalurkan tepat waktu, efektif dalam jangka pendek menyangga konsumsi rumah tangga atas kenaikan harga BBM. Rumah Tangga penerima BLT 2005 berhasil melakukan perencanaan pengeluaran (seperti dengan realokasi konsumsi atau pengurangan konsumsi) untuk mengatasi dampak negatif dari kenaikan harga BBM. Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi dari rumah tangga penerima BLT tidak mengalami perubahan yang signifikan. Lebih lanjut, dari studi Bazzi et al (2014) ditemukan bahwa efektivitas BLT akan tinggi jika bantuan tunai diberikan dalam waktu yang tepat. Keterlambatan dalam distribusi bantuan tunai menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 7,5 persen. Sasaran Penerima BLSM pada tahun 2013 mencapai 25 persen rumah tangga termiskin di Indonesia. Dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari Basis Data Terpadu 2011, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) BLSM adalah 15.530.897. Setiap RTS akan menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang dikirimkan langsung ke rumah tangga3. Penerima BLSM diwajibkan membawa KPS dan dokumen pendukung ke kantor pos terdekat untuk mengambil bantuan tunai. Besaran dan durasi BLSM dipengaruhi oleh besaran inflasi garis kemiskinan (2008–2013), durasi dampak inflasi awal dari kenaikan harga BBM dan kapasitas fiskal Pemerintah Indonesia. Dengan menggunakan hasil evaluasi atas kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008, BLSM ditetapkan sebesar Rp150.000 per bulan dan akan dibagikan secara rata untuk periode empat bulan. Dengan total bantuan per rumah tangga adalah Rp600.000, BLSM mencapai sekitar 15 persen dari pendapatan rumah tangga miskin. Dengan besaran BLSM sebesar ini, program BLSM diharapkan cukup efektif dalam memproteksi tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin dan rentan serta secara 3 Lihat penjelasan mengenai KPS pada bagian Penetapan Sasaran.
20
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
bersamaan tidak menyebabkan penurunan produktivitas dari rumah tangga penerima Bantuan. Total anggaran untuk pelaksanaan BLSM 2013, sebagaimana terlihat di Tabel 1, mencapai Rp9.318,5 miliar. Tabel 1. Anggaran untuk Pelaksanaan BLSM 2013 Keterangan Rumah Tangga Sasaran Nilai Bantuan/Bulan (Rp.) Durasi (Bulan) TOTAL (Rp. Miliar)
APBN-P 2013 15.530.897 150.000 4 9.318,5
Sumber: Kemenkeu, diolah.
Pelaksana Program BLSM adalah Kementerian Sosial. Namun, karena BLSM merupakan bagian dari program kompensasi kenaikan BBM, pelaksanaan BLSM masih di bawah koordinasi dari Wakil Presiden Republik Indonesia. Wakil Presiden memimpin Tim Pengendali Pusat yang terdiri dari konsorsium Kementerian dan Lembaga Pelaksana Program. Tim Pengendali Pusat memberikan arahan kepada Satuan Kerja Pelaksana Daerah (SKPD) terkait pelaksana program di provinsi dan kabupaten/kota.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
21
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
TANTANGAN PELAKSANAAN BLSM Berdasarkan hasil kajian atas pelaksanaan BLT tahun 2005 dan 2008 mengidentifikasi beberapa tantangan terkait dengan pelaksanaan BLSM.
TNP2K
a. Penetapan rumah tangga penerima BLSM Pemanfaatan bantuan tunai tanpa syarat sebagai kompensasi atas kenaikan BBM pernah dilakukan pada tahun 2005 dan 2008. Studi dari Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa 40 persen rumah tangga termiskin di Indonesia pada tahun 2008 menikmati 2/3 dari total bantuan BLT. Pada Gambar 12 terlihat bahwa ketidaktepatan sasaran tertinggi terjadi di provinsi NAD, semua provinsi di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Ketepatan sasaran paling tinggi terjadi di Jawa Timur. Gambar 12. Under/Over Coverage dari Penetapan Sasaran BLT 2008
Sumber: Bank Dunia (2011)
Salah satu faktor penyebab ketidaktepatan sasaran BLT/BLSM adalah sumber data dan proses verifikasi peserta yang berjalan dengan tidak sempurna. SMERU (2011) menunjukkan bahwa proses verifikasi atas rumah tangga penerima BLT 2008 yang berasal dari Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005 tidak berjalan dengan baik. Verfikasi yang seharusnya melibatkan semua lapisan masyarakat ternyata hanya melibatkan unsur pimpinan di kelurahan. b. Ketepatan jumlah bantuan BLT yang diterima rumah tangga Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan BLT/BLSM adalah ketepatan jumlah bantuan yang diterima oleh rumah tangga penerima manfaat. Mekanisme pembayaran melalui PT. Pos Indonesia dan penggunaan identifikasi khusus (barcode) hanya mampu memastikan ketepatan jumlah manfaat yang diterima oleh rumah
22
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
tangga di PT. Pos Indonesia. Mekanisme ini tidak mampu menghambat pengurangan bantuan ketika rumah tangga keluar dari PT. Pos Indonesia. Studi dari SMERU (2006) menunjukkan bahwa pada pembayaran pertama, hanya 5 persen dari dari penerima BLT 2005 yang mengalami pemotongan manfaat. Persentase ini kemudian meningkat menjadi sekitar 10 persen pada pembayaran kedua BLT 2005. Gambar 13. Pengurangan BLT 2005/2006
Persentase (%)
5,83
10,38
94,17
Pembayaran Pertama
Pembayaran Kedua
Sumber: Smeru (2006)
Analisis yang sama juga disampaikan oleh Bank Dunia. Menurut Bank Dunia (2011), hanya 10 persen dari rumah tangga yang mengalami pengurangan manfaat BLT. Sayangnya, persentase ini meningkat pada pelaksanaan BLT 2008/2009. Mereka menemukan bahwa pada pelaksanaan BLT 2008/2009, lebih dari 40 persen penerima BLT mengalami pengurangan manfaat. Pengurangan ini bertujuan untuk membagi manfaat BLT dengan Rumah Tangga yang tidak menerima BLT (bagi rata) dan menutupi biaya penerbitan kartu identitas baru.
Tabel 2. Pengurangan yang dialami oleh Penerima BLT 2005/2006 dan 2008/2009
Sumber: Bank Dunia 2011 Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
23
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
c. Sosialisasi Sosialisasi mengenai BLT dan mekanisme pengambilan manfaat BLT merupakan kunci dari keberhasilan program BLT. Meskipun begitu, Bank Dunia (2011) dan SMERU (2011) menunjukkan bahwa sosialisasi masih menjadi masalah utama di pelaksanaan BLT 2005 dan 2008. Sosialisasi terstruktur hanya dilakukan hingga kabupaten/kota. Rumah tangga mendapat informasi mengenai BLT dan mekanisme BLT dari berbagai saluran, seperti camat, kepala desa, TV, radio. Keberadaan sosialisasi yang terbatas ini menyebabkan interpretasi masyarakat menjadi berbeda sehingga mempersulit implementasi dari BLT. d. Pengaduan Masyarakat Salah satu komponen utama dari pelaksanaan program bantuan sosial adalah keberadaan sebuah sistem pengaduan dimana rumah tangga dapat menyampaikan pengaduan terkait dengan pelaksanaan bantuan sosial. Pelaksanaan BLT tidak pernah luput dari penyelewengan dari ketentuan dari pemerintah pusat. Bank Dunia (2011) memperkirakan bahwa sepertiga dari rumah tangga penerima BLT 2005 memiliki permasalahan terkait dengan pelaksanaan BLT 2005.
KEBIJAKAN PERBAIKAN PELAKSANAAN PROGRAM BLSM 2013 Berdasarkan hasil evaluasi atas tantangan yang dihadapi oleh pelaksanaan BLT tahun 2005 dan 2008, TNP2K berupaya untuk melakukan perbaikan pada pelaksanaan BLSM 2013. a. Menepatkan Rumah Tangga Sasaran Penerima BLSM Rumah Tangga Penerima BLSM diperoleh dari BDT 2011 yang dikelola oleh TNP2K (TNP2K, 2013). Mengingat bahwa BDT merepresentasikan kondisi sosial ekonomi
24
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
pada tahun 2011 dan fakta keberadaan dinamika kemiskinan yang terjadi dalam periode 2011 hingga 2013, TNP2K menyadari bahwa terdapat kemungkinan terjadinya perubahan demografis, sosial dan ekonomi dari beberapa rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengakomodasi perubahan ini, TNP2K menyediakan mekanisme pemutakhiran untuk memastikan bahwa rumah tangga penerima BLSM sesuai dengan kondisi demografis, sosial dan ekonomi terakhir. Mekanisme pemutakhiran ini memanfaatkan komunitas melalui musyawarah desa (musdes) dan musyawarah kelurahan (muskel)4 dalam melakukan proses verifikasi atas daftar yang dikirimkan oleh TNP2K. Gambar 14. Mekanisme Pemutakhiran Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Sumber: TNP2K
Pelaksanaan mekanisme pemutakhiran ini membutuhkan administrator di tingkat kecamatan. Oleh sebab itu, TNP2K dan Kementerian Sosial bekerjasama dalam memanfaatkan Tenaga Kerja Keserasian Sosial (TKSK) di tingkat kecamatan yang akan berperan sebagai administrator dalam pelaksanaan pemutakhiran. Untuk memastikan kesamaan persepsi mengenai tugas dan fungsi dari TKSK dalam pelaksanaan pemutakhiran data, TNP2K dan Kementerian Sosial (Kemensos) membagikan buku Pegangan TKSK langsung kepada semua TKSK. Untuk memastikan bahwa kecepatan pengembalian data hasil pemutakhiran ke Kementerian Sosial, Tim Sistem Informasi Manajemen (MIS) Sekretariat TNP2K, Kemensos dan PT. Pos Indonesia mengembangkan sistem perubahan daftar rumah 4 Keterangan lebih detil mengenai mekanisme pemutakhiran daftar Rumah Tangga Sasaran Penerima BLT dapat dilihat di Buku Sosialisasi Buku Pegangan Sosialisasi dan Implementasi Program-Program Kompensasi Kebijakan Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
25
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
tangga sasaran secara online (Sistem FRP) untuk proses input data RTS yang diganti dan pengganti hasil dari musdes/muskel. Proses input data dilakukan di tingkat kabupaten/kota oleh Kantor Pemeriksa (Kprk) PT. Pos Indonesia. Pada akhir penutupan aplikasi elektronik pemutakhiran KPS sampai bulan November 2013 terdapat 402.861 KPS retur/tarik dengan penggantian sebanyak 333.331 rumah tangga. Berdasarkan data rumah tangga pengganti yang diperoleh dari hasil input data, kemudian dilakukan pengesahan oleh Kementerian Sosial untuk kemudian dilakukan pencetakan KPS-Pengganti (KPS-P) yang dapat digunakan oleh rumah tangga pengganti untuk memperoleh manfaat BLSM maupun program lainnya. b. Koordinasi Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pelaksanaan mekanisme pemutakhiran data KPS dan pengaduan masyarakat melibatkan aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dan kelurahan. Untuk memastikan kesamaan persepsi mengenai tugas dan fungsi masing-masing aparatur pemerintah, TNP2K bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyusun dan mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri Nomor 541/3150/SJ Tahun 2013) mengenai “Penanganan Permasalahan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dan Program Khusus Lainnya”. Instruksi yang dikirimkan melalui telegram kepada seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia berisi tugas dan tanggung jawab dari aparatur pemerintah dalam pelaksanaan program percepatan dan perluasan perlindungan sosial (P4S) dan program khusus lainnya. c. Penyediaan Informasi dan Pengaduan Masyarakat Salah satu kelemahan dari pelaksanaan BLT 2005 dan 2008 adalah ketidaktersediaan saluran pengaduan bagi pihak yang terkait dengan pelaksanaan BLT. Oleh sebab itu, pada pelaksanaan BLSM 2013, TNP2K bekerjasama dengan Kemendagri dan UKP4 menyediakan beberapa saluran pengaduan masyarakat. Saluran pengaduan itu antara lain: • LAPOR! UKP4 Seiring dengan pelaksanaan program kompensasi kebijakan penyesuaian subsidi BBM disediakan instrumen pengaduan menggunakan portal web LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat!) Unit Kerja Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Pemerintah (UKP4). Saluran ini merupakan sarana pengaduan berbasis portal web terintegrasi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui alamat www.lapor.ukp.go.id. Di samping pengaduan melalui alamat internet di atas, masyarakat juga dapat melakukan pengaduan secara langsung melalui SMS ke 1708. Mekanisme pengaduan berbasis SMS ini akan secara langsung meneruskan keluhan dan pengaduan ke pelaksana program dengan format pesan: KPS [spasi]
26
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
Nomor KPS [spasi] Isi Aduan (penerima KPS) atau KPS [spasi] Isi Aduan (bukan penerima KPS). Gambar 15. Bentuk Sosialisasi Mengenai LAPOR!
Sumber: UKP4 dan TNP2K
Sekretariat TNP2K telah ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk KPS. Tugas utama dari TNP2K adalah mendistribusikan keluhan atau pertanyaan ke penanggung jawab program-program lainnya dan menyampaikan informasi kepada pengadu dan masyarakat. Khusus pengaduan terkait dengan kepesertaan program, penanganan pengaduan dilakukan oleh TNP2K sebagai pengelola BDT.
Sejak pelaksanaan BLSM Juli 2013 sampai Juni 2014 telah diterima 25.115 pertanyaan dan aduan tentang BLSM, dimana sebanyak 1.694 telah dikelola yaitu dijawab atau diteruskan ke Kementerian Sosial dan masih sekitar 23.421 pertanyaan dan aduan belum dikelola. Dari 1.694 pertanyaan dan aduan yang telah dikelola hanya 362 yang telah selesai (selama dua minggu sejak ada jawaban terakhir tidak ada balasan lagi dari pengirim pertanyaan/aduan) dan masih sebanyak 1.327 belum diproses. Selain mengelola LAPOR!, Sekretariat TNP2K juga membentuk Posko KPS yang bertugas menyediakan layanan informasi dan aduan baik melalui surat, telepon, sms, maupun kunjungan masyarakat, baik kelompok atau individu berkaitan dengan KPS, BLSM, dan P4S. • Posko Pengaduan Tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan Pengaduan juga dapat dilakukan pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Salah satu keuntungan pengaduan langsung di desa/kelurahan dan kecamatan adalah keputusan dan solusi akan lebih cepat diambil oleh pelaksana program di tingkat komunitas, terutama untuk pengaduan yang berkaitan dengan kepesertaan. Tabel 3. Posko Pengaduan di Kelurahan/Desa dan Kecamatan
Sumber: TNP2K Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
27
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
d. Sosialisasi Sosialisasi merupakan salah satu kunci sukses keberhasilan pelaksanaan program pemerintah. Dalam pelaksanaan BLSM 2013, TNP2K bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika melaksanakan strategi sosialisasi ke berbagai pemangku kepentingan BLSM. Media sosialisasi ditentukan oleh sasaran dan tujuan dari sosialisasi. •
Merancang dan Mendistribusikan Buku Pegangan Sosialisasi dan Implementasi serta Buku Solusi Masalah Kepesertaan Kartu Perlindungan Sosial Buku pegangan sosialisasi disusun dan didistribusikan untuk dapat digunakan oleh pemerintah pusat maupun daerah sebagai buku pegangan dapat digunakan sebagai bahan sosialisasi dan implementasi program-program kompensasi kebijakan penyesuaian subsidi bahan bakar minyak. Sementara buku Solusi Masalah Kepesertaan KPS dimaksudkan sebagai pegangan dan panduan Pemerintah Daerah dalam menjalankan mekanisme pemutakhiran melalui Musyawarah Desa dan Kelurahan. Buku ini juga berisi instruksi Menteri Dalam Negeri No. 541/3150/SJ Tentang Pelaksanaan Pembagian Kartu Perlindungan Sosial dan Penanganan Pengaduan Masyarakat.
Gambar 16. Buku Pegangan Sosialisasi dan Implementasi & Solusi Masalah Kepesertaan KPS
Sumber: TNP2K, 2013
•
28
Sosialisasi ke Rumah Tangga Penerima KPS Sosialisasi ke rumah tangga penerima KPS bertujuan untuk memberikan informasi mengenai KPS, tujuan dari KPS dan mekanisme penggunaan KPS untuk memperoleh manfaat dari BLSM. Sosialisasi ini dikirimkan langsung ke rumah tangga setelah BLSM secara resmi dimasukkan ke dalam APBN-P 2013.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
Gambar 17. Buku Pegangan TKSK
Sumber: TNP2K, 2013
• Sosialisasi ke Aparat Kecamatan dan Aparat Desa/Kelurahan Sosialisasi ke aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan memiliki dua tujuan utama. Tujuan pertama adalah untuk memberikan informasi mengenai KPS dan penggunaan KPS untuk mengambil manfaat P4S dan BLSM. Tujuan kedua adalah untuk meminta peran serta aktif dari aparat desa dalam distribusi KPS, pemutakhiran rumah tangga penerima KPS dan pembentukan posko pengaduan tingkat kecamatan serta posko pengaduan tingkat desa/kelurahan. Sosialisasi ini diberikan dalam bentuk poster KPS, Surat Edaran (Instruksi) dari Menteri Dalam Negeri, serta surat pengantar dari Kemenko Kesra. • Sosialisasi ke TKSK Sosialisasi ke TKSK memiliki dua tujuan utama. Sebagaimana dengan sosialisasi ke aparat desa/kelurahan, tujuan pertama adalah untuk memberikan informasi mengenai KPS dan penggunaan KPS untuk mengambil manfaat P4S dan BLSM. Tujuan kedua adalah untuk memberikan informasi mengenai tugas dan tanggung jawab TKSK dalam mekanisme pemutakhiran rumah tangga penerima KPS serta pelaksanaan P4S dan BLSM secara umum. Dalam melakukan tugas ini, TKSK akan berkoordinasi dengan petugas PT. Pos Indonesia, aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan. Sosialisasi ini diberikan dalam bentuk buku panduan TKSK yang akan dikirimkan ke semua TKSK di tingkat kecamatan. • Sosialisasi ke Masyarakat Umum Sosialisasi ke masyarakat bertujuan untuk informasi umum mengenai KPS dan mekanisme penggunaan KPS untuk memperoleh manfaat dari P4S (Raskin dan BSM) serta BLSM. Sosialisasi ini dilakukan melalui temu media dengan lebih 100 media lokal dan nasional, iklan layanan masyarakat di media cetak dan media elektronik serta pengadaan poster/spanduk pada titik-titik strategis yang menjangkau masyarakat umum. Sosialisasi ini dilakukan bekerjasama dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
29
BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT
TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PROGRAM BLSM KE DEPAN Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM) merupakan program jangka pendek yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Karena waktu antara sosialisasi dan pelaksanaan program cenderung dekat, ketersediaan jalur komunikasi yang cepat antara pemerintah pusat dan daerah menjadi prasyarat utama keberhasilan pelaksanaan program ini. Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan daerah harus melakukan evaluasi atas sistem penyaluran informasi (beserta birokrasi yang terlibat di dalamnya) dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem penyaluran informasi ini. Evaluasi atas pelaksanaan BLT dan BLSM menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan dalam proses pemutakhiran Rumah Tangga Penerima BLSM. Oleh sebab itu dibutuhkan perbaikan dalam desain mekanisme pemutakhiran maupun pelaksanaan mekanisme pemutakhiran. Tindak lanjut berikutnya terkait dengan perbaikan mekanisme pencairan bantuan BLSM. Pencairan BLSM saat ini dilakukan terpusat melalui PT. Pos Indonesia dan dicurigai menjadi salah satu penyebab ketidaklancaran proses pengambilan manfaat oleh rumah tangga (seperti antri). Untuk mengurangi ketidaklancaran dalam proses pengambilan manfaat ini dibutuhkan sebuah mekanisme pencairan yang baru. Mekanisme pencairan yang baru ini bisa memanfaatkan beberapa saluran (seperti bank melalui agen-agen perbankan maupun melalui uang elektronik) sesuai dengan karakteristik geografis dan demografis dari rumah tangga penerima BLSM.
30
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
Pengantar Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) adalah bantuan tunai yang diberikan secara langsung kepada anak-anak usia sekolah/siswa dari jenjang pendidikan dasar ke menengah atas. Sekolah yang dicakup dalam program ini adalah sekolah yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) seperti Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah (MA).
Program BSM yang mulai dilaksanakan pada tahun 20085 secara umum bertujuan untuk: a. Menghilangkan halangan siswa miskin berpartisipasi untuk terus bersekolah dengan membantu siswa miskin memperoleh akses ke pelayanan pendidikan yang lebih baik; b. Mengurangi angka putus sekolah dan menarik anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan untuk kembali bersekolah dan; c. Mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun bahkan hingga tingkat Perguruan Tinggi. 5 Cikal bakal program ini dimulai pada saat krisis ekonomi pada 1998 yaitu melalui Program Jaringan Pengaman Sosial Bidang Pendidikan (JPS-BP) yang terus dilanjutkan dengan bentuk dan nama yang disempurnakan
32
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
Program BSM juga mendukung komitmen pemerintah untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan terutama di kabupaten/kota miskin dan terpencil. Program bantuan tunai ini disebut sebagai Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan tidak disebut sebagai beasiswa di mana hal ini sejalan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa beasiswa diberikan berdasarkan prestasi dan bukan berdasarkan status sosial ekonomi siswa. Program ini saling melengkapi dengan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dimana Program BOS dirancang untuk meringankan beban siswa/peserta didik dari kewajiban untuk membayar biaya operasional sekolah seperti biaya SPP.
TANTANGAN PELAKSANAAN PROGRAM BSM 2008–2012 Berdasarkan kajian-kajian yang ada, TNP2K mengidentifikasi beberapa tantangan dalam pelaksanaan program BSM dalam kurun waktu 2008–2012 antara lain: a. Sasaran Penerima Program BSM Pada awal Program BSM dilaksanakan, sasaran penerima BSM adalah siswa dari rumah tangga miskin. Seleksi penerima manfaat BSM dilakukan oleh pihak sekolah terhadap siswa-siswi yang dianggap miskin yang ada di sekolah tersebut. Gambar 18 menunjukkan lemahnya akurasi dari penetapan sasaran penerima Program BSM di mana ditemukan banyak penerima BSM yang bukan berasal dari keluarga/rumah tangga miskin (inclusion error) dan banyak siswa dari keluarga/rumah tangga miskin tidak menerima manfaat BSM (exclusion error). Ketidaktepatan sasaran siswa penerima Program BSM salah satunya disebabkan oleh metode penetapan sasaran yang berbasis sekolah. Secara garis besar, mekanisme penetapan siswa calon penerima BSM dapat dilihat pada Gambar 19. Mekanisme ini dimulai dari penetapan pagu jumlah siswa penerima BSM kabupaten/kota oleh penyelenggara BSM di tingkat pusat (Kementerian). Berdasarkan informasi pagu kabupaten/kota ini, Dinas Pendidikan atau Kantor Kementerian Agama kabupaten/ kota kemudian mendistribusikan dan menetapkan pagu jumlah siswa penerima BSM tingkat sekolah/madrasah. Setelah menerima informasi mengenai pagu jumlah siswa penerima sekolah/madrasah, sekolah/madrasah menetapkan siswa calon penerima Program BSM dan kemudian mengirimkannya ke Dinas Pendidikan atau Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Setelah menerima usulan dari sekolah/ madrasah, Dinas Pendidikan atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota membuat rekapitulasi jumlah siswa penerima BSM tingkat kabupaten/kota dan menyampaikannya ke Kemendikbud dan Kemenag selaku penyelenggara Program BSM yang kemudian membuat rekapitulasi nasional dan menetapkan siswa penerima BSM dalam sebuah Surat Keputusan (SK) Penetapan Penerima Program BSM tingkat nasional.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
33
3
BANTUAN SISWA MISKIN
Gambar 18. Evaluasi Terhadap Ketepatan Sasaran Program BSM
0
20
8
15
6
10
4
5
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
8
6
4
2
4
5
6
7
8
9
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumber: Susenas (2009) dan World Bank (2012)
Terdapat dua kelemahan dalam mekanisme ini. Pertama, terkait dengan penetapan pagu jumlah siswa penerima BSM tingkat sekolah/madrasah. Sekolah yang over quota (pagu melebihi jumlah aktual siswa miskin di sekolah tersebut) cenderung untuk mengirimkan nama siswa yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai siswa dari rumah tangga miskin. Sebaliknya, sekolah yang under quota (kuota kurang dari jumlah aktual siswa miskin di sekolah tersebut) terpaksa hanya mengirimkan siswa miskin sesuai dengan pagu. Kedua hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya inclusion dan exclusion error dalam penetapan siswa sebagai penerima BSM. Kelemahan kedua adalah terkait dengan posisi sentral dari kepala sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah dan guru dalam melakukan identifikasi siswa yang berhak memperoleh manfaat Program BSM. Mekanisme penetapan sasaran berbasis sekolah ini bisa menjadi subjektif dan indikator yang dipergunakan oleh sekolah untuk memilih siswa yang berhak mendapatkan BSM juga tidak jelas dan sulit untuk dimonitor.
34
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
1
2
3
4
BANTUAN SISWA MISKIN
Gambar 19. Mekanisme Penetapan Sasaran BSM 2008–2012
Sumber: TNP2K
b. Besaran Bantuan Program BSM yang Diterima Oleh Siswa Ketepatan besaran bantuan Program BSM dalam menutupi biaya lain terkait pendidikan sangat penting dalam memberikan insentif kepada rumah tangga miskin dan rentan untuk tetap menyekolahkan anaknya di jalur formal. Hingga tahun 2012, besaran BSM belum dapat menutupi pengeluaran lain terkait pendidikan. Hasil evaluasi Sekretariat TNP2K berdasarkan data Susenas 2009 menunjukkan bahwa manfaat tersebut hanya dapat menutupi sekitar +30/40 persen dari total biaya personal pendidikan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga miskin. Tabel 4. Evaluasi Ketepatan Jumlah Manfaat Program BSM Jenjang Pendidikan SD SMP SMA
Biaya Operasional Pendidikan (Rp)* 210.000 390.000 940.000
Biaya Personal Pendidikan (Rp)* 910.000 1.390.000 1.660.000
Nilai Manfaat BSM di 2012 (Rp. per siswa per Tahun Pelajaran)
910.000 1.390.000 1.660.000
Catatan: * Biaya Operasional Pendidikan telah diberikan di dalam Program BOS Sumber: Susenas 2009
c. Ketepatan waktu penyaluran manfaat BSM Ketepatan waktu penyaluran Program BSM dapat membantu keberlanjutan sekolah siswa/peserta didik dari keluarga miskin (antar jenjang kelas maupun antar jenjang pendidikan). Selama pelaksanaan Program BSM hingga awal tahun 2012, manfaat Program BSM baru diterima oleh siswa pada bulan Maret dan September, sedangkan penyaluran manfaat BSM di bulan Juni sangat rendah. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Sekretariat TNP2K menemukan bahwa waktu/masa kritis siswa dimana siswa/ keluarga/rumah tangga berada pada saat akhir tahun pelajaran di bulan Mei hingga Juni dan pada awal tahun pelajaran di bulan Juli terutama saat siswa transisi dari satu Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
35
BANTUAN SISWA MISKIN
jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya (seperti dari SD/MI ke SMP/MTs; dari SMP ke SMA/SMK/MA).
Persentase (%)
Gambar 20. Evaluasi Keberlanjutan Pendidikan berdasarkan Kuantil Pengeluaran
Sumber: Susenas (2009)
d. Cakupan penerima Program BSM Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, sasaran dari BSM adalah siswa dari rumah tangga miskin dan rentan. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa cakupan sasaran Program BSM mampu menampung semua anak dari rumah tangga miskin dan rentan. Pada Tabel 5 terlihat bahwa cakupan BSM sangat kecil. Khusus untuk SD dan sederajat, cakupan BSM hanya mampu menampung setengah dari siswa dari rumah tangga miskin. BSM SMP sederajat dan SMA sederajat hanya mampu menampung siswa dari rumah tangga miskin. Tidak satupun cakupan BSM masing-masing jenjang yang mampu menampung siswa dari rumah tangga rentan. Tabel 5. Potensi Anak Penerima Program BSM Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) dan Besaran Cakupan BSM Tahun 2011 20% terbawah 9.193.965 2.936.195 1.239.834 Sumber: BDT 2011 dan Pedoman Pelaksanaan Program BSM Kemendikbud dan Kemenag 2011
e. Minimnya Pengetahuan Untuk Mengakses Program BSM Hasil awal pelaksanaan Program BSM di 2013 sebagai bagian dari program kompensasi penyesuaian subsidi BBM melalui P4S dan KPS menunjukkan tingkat pengembalian kartu/take-up rate (KPS dan Kartu BSM) untuk Program BSM hanya di bawah 10 persen.
36
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
Penyebab dari rendahnya take-up rate ini antar lain adalah minimnya pemahaman RTS-PM bahwa KPS dapat digunakan untuk mengakses Program BSM. Hasil pemantauan distribusi kartu BSM dan KPS yang dilakukan oleh Sekretariat TNP2K pada bulan Oktober 2013, dengan responden sebanyak 2.088 rumah tangga di delapan provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 95,3 persen rumah tangga menyatakan menerima KPS/Kartu BSM dan sekitar 4,7 persen rumah tangga tidak menerima. Dari rumah tangga yang menerima KPS/Kartu BSM tercatat 32,8 persen rumah tangga yang mengembalikan KPS/Kartu BSM ke sekolah. Hal ini menunjukkan masih kurangnya sosialisasi atau penyampaian informasi mengenai manfaat KPS untuk Program BSM kepada rumah tangga penerima KPS yang memiliki anak usia sekolah.
f. Komplementaritas dengan PKH Salah satu tujuan pemerintah yang tercantum dalam RPJMN 2009 – 2014 adalah pengurangan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen dan terbentuknya cikal bakal Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemerintah itu, diperlukan sebuah mekanisme untuk menjamin ketersediaan berbagai bantuan sosial bagi rumah tangga sangat miskin dan miskin. Khusus untuk komplementaritas bantuan sosial bidang pendidikan, saat ini terdapat dua jenis bantuan sosial di bidang pendidikan. Bantuan pertama adalah BSM yang dikhususkan untuk rumah tangga miskin dan rentan. Bantuan kedua adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program bantuan tunai bersyarat di bidang kesehatan dan pendidikan bagi rumah tangga/ keluarga sangat miskin di Indonesia. Dengan membandingkan cakupan dari kedua program ini, semua peserta PKH seharusnya menerima BSM. Pada saat ini, komplementaritas bantuan sosial di bidang pendidikan bagi siswa sangat miskin masih rendah. Data dari resertifikasi PKH menunjukkan bahwa dari Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
37
BANTUAN SISWA MISKIN
rumah tangga PKH yang graduasi, yaitu peserta PKH tahun kepesertaan 2007 yang dinilai tidak miskin dan/atau tidak memenuhi syarat kepesertaan PKH, hanya sekitar 27,4 persen yang menerima BSM. Sebaliknya, untuk rumah tangga transisi, yaitu peserta PKH tahun kepesertaan 2007 yang dinilai masih miskin dan/atau memenuhi syarat kepesertaan PKH, hanya 31,12 persen yang menerima BSM. Hal ini berarti, lebih dari 65 persen rumah tangga PKH tidak menerima BSM pada tahun 2013 6.
KEBIJAKAN PERBAIKAN PELAKSANAAN PROGRAM BSM Berdasarkan hasil evaluasi terkait pelaksanaan Program BSM pada periode sebelum 2012, Sekretariat TNP2K kemudian mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki pelaksanaan Program BSM kepada Kemendikbud dan Kemenag sebagai pelaksana Program BSM. Rekomendasi perbaikan program dilakukan dalam beberapa tahap dengan tujuan untuk: a. Memastikan keberlanjutan pendidikan siswa penerima Program BSM dari keluarga/ rumah tangga miskin antarkelas dan jenjang pendidikan terutama bagi siswa/peserta didik yang berada pada periode transisi. b. Memastikan adanya peningkatan cakupan penerima BSM dan peningkatan nilai/ manfaat BSM secara bertahap di mana diharapkan Program BSM dapat menjangkau lebih banyak siswa miskin dan rentan maupun anak yang belum dan tidak lagi bersekolah. Nilai/manfaat Program BSM juga terus dipastikan ada peningkatan agar kebutuhan personal pendidikan siswa/peserta didik dari keluarga miskin dan rentan, dapat terpenuhi dengan lebih baik. Tahapan pelaksanaan rekomendasi kebijakan ini dilakukan sesuai dengan karakteristik pelaksanaan Program BSM. Pelaksanaan Program BSM memiliki karakteristik program yang cukup kompleks dan unik dari segi pelaksanaan secara kebijakan, teknis maupun administratif. Salah satu contoh adalah program ini dilaksanakan oleh beberapa direktorat pelaksana teknis di dua kementerian yang berbeda (Kemendikbud dan Kemenag), yaitu Direktorat Pembinaan SD, Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Pembinaan SMA, Direktorat Pendidikan SMK, dan Direktorat Pendidikan Madrasah (MIMTs dan MA). Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang diusulkan oleh Sekretariat TNP2K untuk perbaikan dan peningkatan pelaksanaan Program BSM, direncanakan secara bertahap melalui proses advokasi, lokakarya teknis serta kegiatan koordinasi (baik formal maupun informal) yang intensif sejak awal tahun 2012 dengan Kemendikbud dan Kemenag. Advokasi dan koordinasi yang terus dilakukan oleh Sekretariat TNP2K penting untuk memastikan agar kedua kementerian tersebut memiliki komitmen dan pemahaman yang sama terutama mengenai pentingnya perbaikan ketepatan sasaran program, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu penyaluran, agar di dalam rekomendasi kebijakan 6 Definisi tentag transformasi PKH termasuk resertifikasi, graduasi dan transisi keluarga/rumah tangga peserta PKH dapat ditemukan di bagian Laporan PKH
38
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
perbaikan program, kedua kementerian dapat berkontribusi dan turut serta secara aktif dalam memantau dan mengevaluasi efektivitas perbaikan program dengan baik. Perbaikan Program BSM yang dilakukan secara bersama-sama antara Kemendikbud, Kemenag dan Sekretariat TNP2K adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan Ketepatan Sasaran dari Penerima Program BSM Reformasi yang pertama kali dilakukan oleh TNP2K adalah melakukan perbaikan penetapan sasaran penerima BSM. Perbaikan ini dilakukan dengan dua mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah pemanfaatan informasi individu yang tercantum dalam Basis Data Terpadu (BDT) sebagai sumber data calon siswa penerima BSM. Mekanisme yang kedua terkait dengan proses alur usulan siswa calon penerima BSM dari tingkat sekolah/madrasah hingga ke tingkat pusat. Sasaran dari penerima Program BSM dan meningkatkan cakupan penerima BSM yang berasal dari keluarga/rumah tangga miskin, dengan memanfaatkan informasi dari BDT dan melalui pengiriman Kartu Calon Penerima BSM (selanjutnya disebut sebagai Kartu BSM) di tahun 2012, dan di tahun 2013— melalui pengiriman Kartu Perlindungan Sosial/KPS. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
39
BANTUAN SISWA MISKIN
Gambar 21. Rekomendasi Perubahan Mekanisme Penetapan Sasaran Penerima Program BSM
Sumber: TNP2K
Perbaikan pelaksanaan Program BSM ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama pelaksanaan perbaikan Program BSM pada tahun 2012 difokuskan dan dirancang sebagai upaya untuk membantu meningkatkan keberlanjutan pendidikan siswa dari keluarga/rumah tangga miskin yang berada di periode transisi (kelas 6 SD yang akan melanjutkan ke kelas 7 SMP di Tahun Pelajaran/TA 2012/2013 di bawah Kemendikbud) sebanyak sekitar 281.909 siswa. Metode penetapan sasaran program BSM dimodifikasi dari pemilihan sasaran berdasarkan sekolah menjadi penetapan sasaran program secara langsung kepada siswa/peserta didik yang teridentifikasi dari rumah tangga miskin berdasarkan informasi individu dalam rumah tangga di Basis Data Terpadu (BDT) dan melalui pengiriman Kartu BSM. Selain menggunakan informasi individu dari BDT, metode penetapan sasaran BSM juga mempertimbangkan unsur-unsur lain seperti menggunakan metode perhitungan kemiskinan per kepala (poverty head-count), memperhitungkan tingkat putus sekolah/drop out rate dan tingkat keberlanjutan pendidikan/discontinuation rate di setiap kabupaten/kota—sebagai dasar untuk menentukan jumlah distribusi kuota penerima Program BSM per kabupaten/kota7. Hasil pemantauan yang dilakukan untuk pelaksanaan tahap pertama perbaikan Program BSM menunjukkan beberapa isu dalam pelaksanaannya, mulai dari isu keterlambatan logistik pengantaran kartu BSM hingga keterlambatan dalam proses rekapitulasi penerima BSM dari sekolah ke dinas pendidikan kabupaten/kota dan dari dinas provinsi ke kementerian, maupun 7 Analisis TNP2K di 2012 menggunakan data Susenas 2009.
40
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
hambatan akses/geografis, dan juga kurang lengkapnya informasi anak-anak usia sekolah yang ada di dalam BDT. Bersama dengan Direktorat Pembinaan SD dan SMP Kemendikbud dan juga Direktorat Pendidikan Madrasah (MI dan MTs) di Kemenag, tahap kedua dari perbaikan program BSM direncanakan kembali pada awal tahun 2013, yang awalnya menyasar kurang lebih 670.000 siswa/peserta didik yang berpotensi menjadi penerima BSM di seluruh Indonesia, dengan rincian rencana sasaran 220.000 siswa baru yang akan masuk ke kelas 1 SD/MI dan 450.000 siswa baru kelas 7 SMP/MTs di Tahun Pelajaran (TA) 2013/2014. Namun, sebelum tahap kedua perbaikan Program BSM dapat terlaksana, Pemerintah Indonesia di pertengahan tahun 2013 mengeluarkan kebijakan penyesuaian subsidi BBM dan merealokasi penghematan anggaran menjadi paket kompensasi untuk 15,5 juta rumah tangga miskin dan rentan melalui beberapa program-program bantuan sosial yang selama ini telah ada (termasuk Program BSM), atau yang disebut Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). Manfaat dari Program BSM juga ditingkatkan dan cakupan sasaran penerima program juga meningkat untuk siswa/peserta didik di semua jenjang pendidikan (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah-SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MTs). Gambar 22. KPS dan Kartu Calon Penerima BSM
Sumber: TNP2K
Merujuk pada hasil pemanfaatan KPS untuk Program BSM oleh siswa miskin dari keluarga miskin dan rentan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mekanisme penetapan sasaran Program BSM secara langsung ke rumah tangga yang berhak (melalui KPS), telah berkontribusi dalam meningkatkan proporsi siswa dari rumah tangga miskin dan rentan yang memenuhi syarat—untuk menerima manfaat BSM dari sekitar 3–4 persen siswa yang berada pada desil kesejahteraan 1, 2, dan 3 di tahun 2009 menjadi 44–60 persen siswa-siswi miskin dan rentan dari rumah tangga yang berada di 25 persen tingkat kesejahteraan sosial ekonomi terendah penerima KPS pada tahun 2013 dan 2014. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
41
BANTUAN SISWA MISKIN
Gambar 23. Evaluasi Penggunaan KPS untuk Memperbaiki Kinerja Penetapan Sasaran BSM
Sumber: Susenas, BPS
Walaupun belum maksimal, modifikasi penetapan sasaran Program BSM yang berbasiskan rumah tangga menggunakan kartu (KPS/Kartu BSM) memiliki potensi untuk meningkatkan proporsi siswa penerima BSM yang berasal dari rumah tangga miskin dan rentan. Metode penetapan sasaran langsung berbasis rumah tangga juga berpotensi untuk membantu siswa miskin dan rentan agar dapat terus melanjutkan pendidikan mereka khususnya bagi siswa yang berada di periode transisi. b. Meningkatkan Cakupan Penerima Program BSM Pada bulan Juni 2013, pemerintah mengeluarkan kebijakan penyesuaian subsidi BBM dan menyediakan program kompensasi untuk rumah tangga miskin dan rentan sebagai bagian dari upaya untuk memitigasi dampak dari kenaikan harga BBM tersebut. Program Perluasan dan Percepatan Perlindungan Sosial (P4S) dan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) kemudian diluncurkan di mana khusus untuk Program BSM, anggaran Program BSM bagi Kemendikbud dan Kemenag meningkat melalui proses APBN-P 2013. Cakupan penerima Program BSM bertambah menjadi 15,4 juta anak-anak usia sekolah (dari 8,7 juta siswa di awal tahun 2013), yang berasal dari 15,5 juta rumah tangga di seluruh Indonesia teridentifikasi sebagai miskin dan rentan berdasarkan informasi dari BDT dan berhak menerima KPS ditambah dengan cadangan cakupan sehingga total menjadi 16,6 juta siswa. Rumah tangga dengan anak usia sekolah yang terdaftar di sekolah dan memiliki KPS/Kartu BSM berhak untuk menerima manfaat Program BSM sebagai bagian dari program kompensasi BBM-P4S.
42
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
Tabel 6. Pagu Penerima Program BSM 2013 dan 2014 Jenjang Pendidikan
SD SMP SMA SMK Kemendikbud M1 MTs MA Kemenag Total Sumber: Bappenas 2013 dan 2014
c. Meningkatkan Besaran Manfaat Program BSM Selain penambahan cakupan penerima BSM, kompensasi penyesuaian subsidi BBM juga diikuti dengan peningkatan besaran manfaat BSM. Nilai dari manfaat Program BSM meningkat dari Rp380.000 per siswa per tahun pelajaran menjadi Rp450.000 per siswa per tahun untuk jenjang pendidikan SD/MI, dan dari Rp550.000 per siswa per tahun menjadi Rp750.000 per siswa per tahun untuk jenjang pendidikan SMP/MTs. Untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA, nilai/ manfaat Program BSM telah mengalami kenaikan di awal tahun anggaran 2013 yaitu dari Rp750.000 per siswa per tahun, menjadi Rp1 juta per siswa per tahun. Gambar 24. Rekening Bank Penerima BSM dari KPS
Sumber: TNP2K
d. Waktu Penyaluran Manfaat Program BSM Reformasi ketiga yang dilakukan seiring dengan berjalannya program kompensasi penyesuaian subsidi BBM adalah upaya untuk memastikan bahwa informasi tentang Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
43
BANTUAN SISWA MISKIN
eligibilitas untuk menerima Program BSM diterima sebelum masa pendaftaran ditutup. Informasi bahwa anak usia sekolah/siswa dari RTS-PM berhak akan Program BSM sangat penting diketahui sebelum masa pendaftaran dimulai karena keputusan untuk tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya seringkali diambil karena rumah tangga miskin tidak memiliki sumber daya untuk pembiayaan pendidikan lanjutan. Evaluasi dampak yang dilakukan terhadap efek timing informasi dari Program BSM sebagai upaya meningkatkan partisipasi pendidikan pada siswa di periode transisi (kelas 6 SD ke kelas 7 SMP) melalui kegiatan survei rumah tangga miskin penerima kartu BSM dan KPS yang dilaksanakan pada bulan April 2013 (baseline) dan bulan Februari 2014 (endline). Cakupan sasaran evaluasi tersebut adalah 5.000 rumah tangga miskin (yang berada di bawah 10 persen tingkat kesejahteraan sosial ekonomi menurut BDT) dan memiliki anak usia sekolah kelas 6 SD. Survei tersebut juga mengumpulkan informasi seputar karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, partisipasi sekolah anak, kehadiran anak di sekolah dan pekerja anak. Tabel 7. Hasil Evaluasi Dampak Program BSM
Mendaftar ke Kelas 7 Tingkat Kehadiran
Seluruh Sampel 0.0575*** (0.00749) 0.00937*** (0.0032)
Laki-laki 0.0506*** (0.011) 0.0124*** (0.00469)
Perempuan 0.0644*** (0.00996) 0.00616 (0.00434)
Catatan: Angka dalam kurung di bawah koefisien adalah standard error. (***) signifkan pada level 1% Sumber: TNP2K
Beberapa hasil evaluasi dampak tersebut adalah sebagai berikut: a. Ketepatan waktu kartu BSM/KPS diterima sebelum dimulainya tahun pelajaran sangat menentukan rumah tangga dalam mendaftarkan anaknya ke kelas 7; b. Rumah tangga penerima kartu BSM/KPS yang menerima kartu sebelum berakhirnya masa pendaftaran sekolah, memiliki 5,75 persen probabilitas lebih tinggi dalam mendaftarkan anak ke kelas 7 (jenjang SMP) 5,75 persen dibanding dengan mereka yang menerima kartu setelah tenggang masa pendaftaran sekolah. c. Efek mendaftarkan anak ke sekolah juga lebih tinggi ada pada anak perempuan dan efek PKH pada pendaftaran ke kelas 7 adalah sebesar 5 persen. d. Anak-anak penerima BSM yang bersekolah di kelas 7 juga memiliki tingkat kehadirannya yang meningkat sebesar 0,9 persen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dapat dikatakan bahwa Program BSM berpotensi mengurangi tingkat pekerja anak.
44
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
Selain itu, perbaikan juga dilakukan menyangkut waktu penyaluran BSM. Penyaluran manfaat BSM dimodifikasi dari sekali menjadi dua kali penyaluran per tahun pelajaran. Pembayaran pertama dilakukan pada awal tahun pelajaran di Semester 1 (sekitar bulan Agustus/September) dan pembayaran kedua dilakukan di Semester 2 tahun pelajaran (sekitar bulan Maret/April). Perubahan waktu pembayaran manfaat BSM ini diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan tingkat drop out dari siswa/peserta didik yang berasal dari keluarga/rumah tangga miskin dan rentan, serta juga membantu memastikan tingkat keberlanjutan pendidikan di setiap jenjang pendidikan. e. Sosialisasi Untuk memastikan penyebaran informasi BSM yang lebih banyak lagi ke rumah tangga penerima KPS serta masyarakat secara umum, bersama-sama dengan Kemendikbud dan Kemenag, Sekretariat TNP2K kemudian melakukan beberapa kegiatan sosialisasi tambahan di 2013 serta awal tahun 2014. Gambar 25. Materi Sosialisasi Program BSM Menggunakan KPS
Sumber: TNP2K
Kegiatan sosialisasi tambahan yang dilakukan adalah (i) temu media/media roadshow ke delapan kota besar di seluruh Indonesia (DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, Tanjung Pinang dan Kupang) dengan media lokal di masingmasing daerah, (ii) penyebaran 40.000 poster dan leaflet mengenai BSM ke lebih dari 4.000 sekolah dan lokasi-lokasi umum, (iii) siaran iklan layanan masyarakat (Public Service Announcement) di 127 radio lokal di 114 kabupaten/kota, dan (iv) pengiriman lebih dari 450 ribu SMS broadcast terkait pemanfaatan KPS untuk BSM—ke pemangku kepentingan terkait seperti kepala sekolah/madrasah, pendamping PKH, fasilitator PNPM, TKSK dan lain-lain.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
45
BANTUAN SISWA MISKIN
Gambar 26. Sosialisasi Program BSM Menggunakan KPS
Sumber: TNP2K
Upaya-upaya sosialisasi tersebut cukup efektif. Pada akhir 2013 take-up rate program BSM mencapai 44 persen siswa dari rumah tangga miskin serta rentan, dan di 2014 menunjukkan tingkat penambahan dari penggunaan KPS untuk BSM menjadi sebanyak 60 persen siswa dari rumah tangga miskin dan rentan. Gambar 27. Sosialisasi Program BSM 2013-2014
Sumber: TNP2K
f. Komplementaritas BSM dengan PKH Untuk menunjang komplementaritas antara Program BSM dan PKH, reformasi dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama, TNP2K memfasilitasi pemberian data siswa rumah tangga PKH kepada Kemendikbud. Setelah verifikasi oleh pihak Kemendikbud, data itu kemudian diharapkan langsung dimasukkan ke dalam SK Penetapan Penerima BSM. Pada tahap berikutnya di awal tahun 2014, upaya
46
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
BANTUAN SISWA MISKIN
memastikan komplementaritas BSM-PKH dilakukan dengan melakukan pencocokan elektronik (electronic matching) dan pencocokan lapangan (field matching) data siswa penerima BSM oleh pendamping PKH di lapangan. Dari proses pencocokan elektronik dan lapangan oleh pendamping PKH ini, diperoleh informasi mengenai siswa dari peserta PKH yang sudah mendapatkan BSM. Pendamping PKH kemudian memasukkan siswa dari peserta PKH yang belum tercantum di dalam SK Penetapan Penerima Program BSM-Kemendikbud ke dalam daftar usulan siswa dari peserta PKH. Daftar usulan yang sudah direkapitulasi secara nasional itu, kemudian diserahkan ke Kemendikbud untuk langsung dimasukkan ke dalam SK Penetapan Penerima BSM dari Kemendikbud.
TINDAK LANJUT KE DEPAN Upaya memastikan peningkatan ketepatan sasaran calon penerima BSM membutuhkan fleksibilitas untuk realokasi anggaran antara unit-unit penyelenggara BSM8. Meskipun ketersediaan realokasi anggaran ini penting, sistem pelaksanaan Program BSM saat ini masih cenderung kaku. Sistem saat ini tidak memungkinkan tersedianya mekanisme realokasi anggaran, baik itu dalam satu kementerian maupun antara Kemendikbud dan Kemenag. Kekakuan ini menghambat efektivitas reformasi program BSM yang direncanakan oleh Sekretariat TNP2K. Perubahan nyata kebijakan penetapan sasaran dari berbasis sekolah menjadi berbasis rumah tangga membutuhkan pemahaman yang baik dari semua pihak, baik rumah tangga, sekolah, dinas pendidikan/Kantor Kementerian Agama/Kankemenag maupun pemangku kepentingan lain di tingkat lokal. Oleh karena itu sosialisasi menjadi kunci utama agar semua pihak yang terlibat dalam penentuan penerima manfaat Program BSM memiliki pemahaman yang sama. Mekanisme baru ini sebenarnya juga mempermudah pelaksana Program BSM di tingkat sekolah/madrasah dan dinas pendidikan/Kankemenag dalam menentukan selain memperbaiki sasaran program. Namun pada tahap awal pelaksanaan, mekanisme baru ini dirasakan sebagai beban oleh sekolah dan dinas pendidikan. Pihak rumah tangga juga tidak banyak mengetahui perubahan ini dan cenderung bersikap pasif. Di samping itu, program BSM yang terintegrasi dengan baik antar direktorat di Kemendikbud maupun di Kemenag akan lebih efektif dan efisien dalam memastikan agar penerima manfaat program lebih tepat sasaran dan berlanjut, nilai yang diberikan juga mencukupi kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan penyaluran menjadi lebih tepat waktu. Langkah awal dari integrasi adalah penyederhanaan struktur institusi pelaksana Program BSM. Penyederhanaan ini bertujuan untuk memudahkan koordinasi dan 8 Fleksibilitas ini berguna untuk menjamin ketersediaan program BSM bagi siswa dari rumah tangga miskin tanpa dibatasi oleh jenis pendidikan dan kuota dari setiap jenjang pendidikan.
Menjangkau Masyarakat Miskin Dan Rentan, Serta Mengurangi Kemiskinan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN, DAN MEKANISME PROGRAM
47
BANTUAN SISWA MISKIN
realokasi anggaran BSM antara tipe pendidikan dan antara jenjang pendidikan. Hal ini bisa dilakukan dengan unifikasi pelaksanaan program BSM di bawah satu unit pelaksana. Unit ini menjalankan fungsi-fungsi program BSM yang selama ini dijalankan secara terpisah oleh Kemendikbud dan Kemenag. Program BSM dapat terlaksana secara efektif dan efisien jika kementerian pelaksana program secara berkelanjutan terus berupaya meningkatkan efektivitas mulai dari penetapan sasaran hingga penyaluran manfaat, memastikan peningkatan kapasitas dari pelaksana Program BSM di tataran teknis secara rutin, melakukan sosialisasi yang lebih intensif (agar semua pemangku kebijakan pelaksana program di tingkat lokal dan penerima manfaat mendapatkan informasi yang sama), dan memastikan agar pembagian tugas dan tanggung jawab dari pelaksana program mulai dari tingkat nasional hingga di tingkat lokal (sekolah, komunitas dan keluarga/rumah tangga) lebih jelas lagi. Pelaksana program BSM juga harus dapat berupaya untuk memastikan sistem pemantauan, evaluasi dan pelaporan yang lebih teratur dan lebih baik; dan memastikan pengaduan Program BSM dapat tersalurkan dan diselesaikan, melalui media-media pengaduan yang tersedia. Amatlah krusial bagi Kemendikbud dan Kemenag untuk mengalokasikan anggaran maupun sumber daya yang mencukupi, agar Program BSM terlaksana dengan lancar di lapangan. Sistem Manajemen Informasi (SIM/MIS-Management Informasi System) BSM yang komprehensif dan terintegrasi juga dibutuhkan oleh Kemendikbud dan Kemenag untuk memastikan agar siswa penerima BSM mengetahui hak mereka dan dapat terus memperoleh manfaat program di jenjang pendidikan berikutnya selama mereka bersekolah. SIM yang baik akan membantu direktorat pelaksana BSM di kedua Kementerian untuk saling berkoordinasi dan memantau pelaksanaan Program BSM di lapangan; serta agar dapat membantu pelaksana program mengumpulkan bukti-bukti efektivitas dari pelaksanaan kebijakan perbaikan Program BSM di lapangan, maupun dampak dari Program BSM untuk penerima manfaat serta memastikan akuntabilitas dan transparansi Program BSM yang lebih besar lagi. Keberadaan sistem dan unit pengelolaan pengaduan juga menjadi bagian integral dari sebuah program, termasuk Program BSM dalam rangka meningkatkan kinerja program. Oleh karena pengembangan sistem dan unit pengelolaan menjadi suatu keharusan, khususnya dikembangkan hingga tingkat kabupaten/kota.
48
Menjangkau Masyarakat Miskin Dan Rentan, Serta Mengurangi Kemiskinan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN, DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Pengantar POKJA KESEHATAN Awal pembentukan pokja kesehatan, TNP2K bertujuan untuk memperkuat pelaksanaan program bantuan sosial bidang kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program Jamkesmas yang telah diinisiasi oleh Pemerintah sejak tahun 2005 mempunyai misi untuk meningkatkan akses dan mutu layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan rentan. Tujuan dan bentuk manfaat dari bantuan sosial bidang kesehatan adalah penyediaan jaminan atas pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dengan pembiayaannya sepenuhnya bersumber dari APBN, yang sasaran populasinya terbatas pada masyarakat miskin dan rentan. Harapannya program Jamkesmas ini dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat miskin dan rentan sehingga produktivitas ekonomi keluarga meningkat dan dapat memutuskan mata rantai kemiskinan.
Peserta program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu yang terdaftar dan memiliki kartu. Pada awal tahun 2008, penetapan jumlah sasaran nasional peserta program Jamkesmas adalah 76,4 juta individu (Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas, 2008). Di awal, Menteri Kesehatan menetapkan jumlah sasaran peserta Jamkesmas (kuota) per masing-masing kabupaten/kota, kemudian Bupati/Walikota mengisi dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk surat ketetapan Bupati/Walikota sampai memenuhi kuota. Apabila jumlah peserta yang ditetapkan Bupati/Walikota melebihi jumlah kuota yang ditentukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), maka selisih akan menjadi tanggung jawab Pemerintah
50
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Daerah (Pemda) setempat untuk dicarikan alternatif sumber pembiayaannya. Dalam implementasi, masing-masing Kabupaten/kota menggunakan metodologi dan kriteria yang berbeda dalam menetapkan peserta Jamkesmas, sehingga tidak ada keseragaman cara penetapan sasaran peserta program Jamkesmas. Permasalahan lain adalah daftar peserta program Jamkesmas tidak diperbaharui sampai dengan tahun 2012, padahal ada banyak mutasi seperti kematian, kelahiran, pindah status, atau pindah tempat tinggal. Sementara paket manfaat program Jamkesmas dinilai cukup komprehensif sehingga sering terkesan lebih baik dari program asuransi sosial yang ada seperti program bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikelola PT Askes maupun Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek. Walaupun program Jamkesmas hanya menggunakan Puskesmas untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas ruang rawat inap kelas III di kebanyakan RS Pemerintah, tetapi paket manfaat yang komprehensif dan tidak dikenakan iuran membuat peserta lain merasa iri. Pengelolaan program Jamkesmas sampai akhir tahun 2013 dikelola oleh Kemenkes dengan besaran iuran sebesar Rp6.500/kapita/bulan (Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, DJSN 2012). Program Jamkesmas adalah cikal bakal untuk pengembangan jaminan sosial nasional di bidang kesehatan. UU nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah disahkan pada tahun 2004 mendasari reformasi menyeluruh sistem jaminan sosial di Indonesia. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU 40/2004, diskusi Rancangan Undangundang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah dimulai sejak tahun 2007. Sayangnya diskusi berakhir buntu (dead-lock). Diskusi dimulai lagi sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) pada bulan September tahun 2010 yang menunjuk 8 Menteri untuk membahas RUU BPJS, yaitu UU yang akan memayungi teknis penyelenggaraan BPJS. Sejak itu dimulai pembahasan intensif antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan wakil dari Pemerintah. Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang ketat, akhirnya pada bulan November tahun 2011 Undang Undang BPJS disahkan oleh DPR dalam UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. Berbagai peraturan turunannya yang mengawal pelaksanaan teknis di penyelenggaraan BPJS disusun, dan sejak awal tahun 2014 BPJS Kesehatan mulai beroperasi menjadi “single payer” dengan mengintegrasikan kepesertaan dari eks PT Askes, eks JPK Jamsostek, eks TNI, eks Polri dan eks Jamkesmas dalam satu badan penyelenggara untuk mencapai Cakupan Semesta. Cakupan Semesta adalah kondisi dimana setiap individu dalam satu negara mendapat layanan kesehatan sesuai kebutuhan medis tanpa harus menghadapi kerugian keuangan yang besar sehingga mereka terhindar dari jatuh miskin. Transformasi PT Askes menjadi Badan Publik BPJS Kesehatan dilakukan tanpa likuidasi di awal tahun 2014. Total peserta yang dikelola BPJS Kesehatan pada awal tahun adalah sejumlah 116 juta individu.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
51
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Reformasi menyeluruh program jaminan sosial nasional bidang kesehatan menjadi agenda prioritas bagi pemerintah, karena jaminan kesehatan yang ada dinilai belum efektif termasuk sifat jaminan bersifat parsial, tumpang tindih, manfaat program belum optimal, jangkauan program terbatas, serta hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat. Ada sekitar 36,8 persen penduduk Indonesia belum terlindungi jaminan kesehatan apapun, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal (Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, DJSN 2012). Reformasi yang dilakukan tidak hanya terbatas pada aspek pembiayaan kesehatan, tetapi juga dilakukan reformasi dalam aspek layanan kesehatan, aspek pembayaran ke fasilitas kesehatan dan rasionalisasi penggunaan obat dan Alat Medis Bahan Habis Pakai (AM-BHP). Seperti terungkap sebelumnya, cara penetapan sasaran peserta Jamkesmas yang belum menggunakan metodologi baku berdampak pada keluhan salah sasaran yang cukup besar, dimana terdapat masyarakat miskin yang seharusnya layak tetapi tidak menjadi peserta (exclusion error). Sebaliknya ada keluarga/kerabat/kolega yang tidak miskin/rentan tetapi menjadi peserta Jamkesmas (inclusion error). Data Susenas 2009 menunjukkan tingkat ketepatan sasaran relatif rendah. Tingkat kesadaran akan manfaat program Jamkesmas juga masih rendah sehingga peserta belum secara optimal menggunakan layanan di fasilitas kesehatan yang disepakati. Ketimpangan akses ke layanan kesehatan berkualitas terutama di daerah perdesaan dan terpencil juga memicu rendahnya utilisasi di antara peserta Jamkesmas. Saat itu perhitungan besaran iuran Jamkesmas sebesar Rp6,500/kapita/bulan belum ditetapkan dengan dukungan perhitungan aktuaria yang memadai dan besaran iuran juga belum direvisi sejak tahun 2008. Dalam peta jalan yang disusun oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Rencana Aksi oleh Kemenkes, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai sejak tanggal 1 Januari 2014 dengan target bahwa Cakupan Semesta (Universal Health Coverage) akan tercapai dalam jangka waktu lima tahun. Artinya, setiap individu wajib menjadi peserta dan terlindungi dalam program asuransi kesehatan sosial nasional di awal tahun 2019. Sementara pemetaan atas ketersediaan sisi suplai yang komprehensif belum dilakukan. Dalam persiapan implementasi di awal tahun 2014, ada banyak peraturan turunan yang perlu disusun untuk penyempurnaan operasional BPJS Kesehatan.
REFORMASI YANG DILAKUKAN a. Penyusunan UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Salah satu isu krusial dalam diskusi RUU BPJS adalah perbedaan konsep struktur pembentukan badan hukum BPJS yang diusulkan oleh DPR dan oleh Pemerintah. Saat itu DPR mengusulkan struktur badan hukum BPJS tunggal dimana di bawahnya
52
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
terdapat wakil ketua yang membawahi kelima program jaminan sosial. Pemerintah berkeberatan atas usulan DPR karena mengacu pada UU SJSN nomor 40/2004 tentang SJSN (pasal 1 ayat 2): “SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial”. Melalui beberapa rapat pleno yang dipimpin oleh Wakil Presiden dan dihadiri oleh beberapa Menteri terkait, diusulkan dibentuk dua kategori BPJS sesuai dengan “nature of business”, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Usulan tersebut dituangkan dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang diserahkan kepada DPR, yang kemudian setelah melalui perdebatan panjang usulan tersebut dapat diterima dan tertuang dalam UU 24 tahun 2011 tentang BPJS. b. Perbaikan Penetapan Sasaran Keluarga Miskin dan Rentan dengan Memanfaatkan Basis Data Terpadu Dalam upaya perbaikan mekanisme penetapan kepesertaan Jamkesmas, TNP2K juga berperan aktif dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (RPP) Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang mengakomodasi bantuan iuran jaminan kesehatan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Penetapan PBI seyogyanya terhubungkan dengan BDT, sehingga terjadi komplimentaritas dengan program bantuan sosial lainnya. Sebagai contoh penerima PKH, seyogyanya juga penerima KPS, Raskin dan juga menjadi peserta Jamkesmas. Dalam PP 101 tahun 2012 tentang PBI telah tertuang kalimat “….penetapan jumlah PBI tahun 2014 dilakukan dengan menggunakan PPLS 2011 sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri” (pasal 15 ayat 1). Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2012 telah berkomitmen menggunakan BDT dari TNP2K untuk mengganti kepesertaan Jamkesmas di tahun 2013. Dalam proses pergantian penetapan kepesertaan program Jamkesmas di tahun 2013, ada tiga institusi yang berperan aktif yaitu Kemenkes, TNP2K, dan PT Askes (Persero). Sebagai pengelola program Jamkesmas, Kemenkes dalam surat permohonannya kepada TNP2K meminta daftar nama dan alamat untuk program Jamkesmas sesuai kuota dan kriteria program. Setelah melalui proses, TNP2K memberikan data yang diambil dari BDT dalam bentuk electronic file kepada Kemenkes dengan total sebanyak 86,4 juta individu. Pengiriman data dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama sejumlah 76.409.731 individu (April 2012) dan disusul tahap kedua sebanyak 9.990.269 individu (November 2012).
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
53
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Gambar 28. Peran Kemenkes, TNP2K, dan PT Askes dalam Penetapan Sasaran Kepesertaan Program Jamkesmas 2013
Sumber: TNP2K, 2013
Data tersebut kemudian diserahkan pada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Dirjen BUK) Kemenkes sebagai data dasar kepesertaan Jamkesmas tahun 2013. Setelah diperiksa kelengkapan variabel dan diberi nomor identitas oleh PT Askes, Dirjen BUK Kemenkes melanjutkan proses pencetakan dan distribusi kartu ke kabupaten/kota. Umpan balik yang diterima dari lapangan menyatakan data PPLS 11 dianggap tidak semuanya valid, karena sudah ada banyak perubahan status (seperti meninggal, menikah, lahir, pindah alamat) dan salah sasaran (seperti tidak miskin, pegawai negeri). Menkes melalui SE nomor 149 tahun 2013 memberikan peluang bagi kepala daerah untuk usulan pergantian peserta Jamkesmas, dengan asumsi tetap menjaga kuota masingmasing kabupaten/kota. Dari hasil pemutakhiran data tersebut ada sekitar 679.433 dari 257 kabupaten/kota yang mengusulkan pergantian peserta Jamkesmas (Studi Deskriptif Mengenai Kepesertaan Jamkesmas 2013 hingga menjadi PBI, TNP2K 2014). Hambatan ke depan adalah pelaksanaan perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana tertulis dalam pasal 11 PP 101 tahun 2012 bahwa verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI dapat dilakukan setiap enam bulan dalam tahun anggaran berjalan. Hal ini sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya dan kapasitas di Kementerian Sosial (Kemensos).
54
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
c. Penghitungan Estimasi Iuran Bagi Peserta PBI JKN Pada awal pemerintahan SBY-Boediono, Program Jamkesmas sudah berjalan dengan iuran sebesar Rp5.000 per orang per bulan (POPB), sehingga setahun iuran yang dibayar Pemerintah bersumber APBN adalah Rp60.000 POPB untuk jaminan kesehatan yang sangat komprehensif. Tanpa menjadi ahli dalam bidang aktuaria asuransi kesehatan, mudah diduga bahwa besaran iuran tidak akan mencukupi sehingga keberlangsungan (sustainablility) program Jamkesmas dipertanyakan. Besaran iuran yang kurang rasional berakibat pada kekurangan dana operasional tahun berjalan dan harus dibebankan pada anggaran tahun berikutnya. Bila dibandingkan dengan membeli asuransi kesehatan swasta, besaran iurannya bisa mencapai Rp1,5 juta POPB dengan paket manfaat yang lebih terbatas. Selain itu, dari Rp5.000 iuran tadi, Rp1.000 digunakan untuk pelayanan di Puskesmas yang dibayar dalam bentuk kapitasi ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Dana kapitasi yang relatif kecil memang sulit untuk meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat Puskesmas. Padahal, salah satu tantangan ke depan adalah memperkuat fungsi Puskesmas sebagai gate keeper. Dengan paket manfaat komprehensif sesuai kebutuhan medis, besaran iuran menjadi salah satu isu krusial yang harus mendapat perhatian untuk keberlanjutan program. Upaya yang dilakukan oleh TNP2K di tahun 2012 adalah melakukan rasionalisasi besaran iuran untuk peserta PBI (sebelumnya adalah peserta Jamkesmas). Sebagai upaya pertama, TNP2K membuat analisis besaran kapitasi yang rasional di Puskesmas dengan menggunakan hasil analisis studi “costing” di Puskesmas dari GIZ (2011) dan data empiris program Jamkesmas di tahun 2011 (utilisasi dan biaya klaim rawat jalan di Puskesmas). Estimasi biaya satuan riil per pasien Jamkesmas per bulan adalah Rp700, sehingga biaya kapitasi senilai Rp1.000 terkesan cukup. Sebagai catatan, biaya satuan riil Rp700 belum memperhitungkan berbagai macam subsidi di Puskesmas seperti gaji pegawai, obat, alat, investasi gedung dan sebagainya. Studi costing GIZ (2011) mengungkap biaya satuan riil tanpa subsidi di Puskesmas berkisar dari Rp2.600 (Median) sampai Rp4.600 (Mean), sehingga ketika disesuaikan dengan inflasi biaya satuan riil rawat jalan di Puskesmas diestimasi menjadi Rp6.000 POPB. Upaya selanjutnya adalah mengembangkan model perhitungan iuran PBI yang menggunakan dua variabel inti yaitu utilisasi dan biaya satuan. Hasil kajian paket manfaat dan estimasi biaya program JKN oleh TNP2K tahun 2011 dengan menggunakan data empiris klaim biaya dari program Jamkesmas dan PT Askes, mengusulkan beberapa skenario dengan ringkasan sebagai berikut.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
55
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Tabel 8. Proyeksi Perhitungan Iuran Jamkesmas untuk Tahun 2014
Sumber: TNP2K, 2014.
Setelah melalui proses penghitungan estimasi iuran PBI dan diskusi yang cukup panjang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan, pada bulan Juli 2013 melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden telah disepakati besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan sebesar Rp19.225/kapita/bulan. Perlu menjadi catatan bahwa besaran iuran PBI yang tertera dalam Perpres 112 tahun 2013 meningkat hampir tiga kali lipat dari sebelumnya yang hanya Rp6.000/kapita/bulan. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah SBYBoediono yang sangat besar untuk menunjang penyelenggaraan jaminan sosial nasional bidang kesehatan dengan mengalokasikan sekitar Rp19,8 triliun di tahun 2014 untuk mendukung peserta PBI yang berjumlah 86,4 juta individu. Perhitungan iuran dibangun dalam model yang menggunakan asumsi-asumsi terutama asumsi utilisasi dan biaya satuan menurut tipe layanan. Setelah operasional, perlu dilakukan monitoring yang ketat atas keabsahan asumsi-asumsi yang digunakan sehingga dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan untuk kecukupan besaran iuran PBI demi keberlangsungan program JKN ini.
56
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
d. Pengembangan Software Estimasi Iuran untuk PBI JKN Perhitungan iuran PBI yang dilakukan oleh TNP2K menggunakan data tahun 2011 dengan asumsi-asumsi tertentu. Setelah implementasi, tentunya perlu dilakukan pengecekan ulang atas keabsahan asumsi-asumsi. Apabila ada perubahan yang signifikan dalam asumsi yang ada, maka implikasinya akan berdampak langsung pada kecukupan nilai iuran PBI. Untuk itu TNP2K mengembangkan program penghitungan estimasi iuran PBI dengan menggunakan software Microsoft Excel yang cukup dikenal bagi pengguna komputer. Program ini juga telah didiseminasi kepada seluruh pemangku kepentingan melalui lokakarya. Selain program tersebut, TNP2K juga menyusun Pedoman Teknis Penghitungan Estimasi Iuran PBI JKN, dan juga Pedoman Penggunaan Instrumen Penghitungan Estimasi Iuran PBI JKN. Gambar 29 . Tampilan Penghitungan Iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN
Sumber: Buku Pedoman Pengunaan Instrumen Penghitungan Estimasi Iuran PBI JKN
e. Analisis dan Visualisasi Data Klaim Individu Jamkesmas di RS TNP2K mengembangkan satu tampilan dashboard dengan menggunakan data klaim individu RS program Jamkesmas dari Kemenkes yang saat itu pembayarannya sudah menggunakan sistem pembayaran prospektif berupa paket INA-CBGs. Data ini sangat kaya akan informasi pemanfaatan layanan kesehatan oleh peserta di RS lengkap dengan data penyakit dan sosio-demografi (Propinsi, Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin dan Umur). TNP2K membuat analisis dan visualisasi data klaim individu Jamkesmas di RS. Analisis dan visualisasi ini menggunakan software Tableau 8.1 yang sangat bermanfaat sebagai salah satu alat dalam pemantauan pemanfaatan layanan kesehatan seperti kelompok penyakit terbanyak berdasarkan ICD X, kelompok umur, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Analisis ini tidak hanya dapat digunakan oleh Pusat (Kemenkes dan BPJS Kesehatan), namun juga dapat digunakan oleh daerah (Dinas Kesehatan dan RS) untuk melihat sebaran penyakit di daerah masing-masing yang nantinya bermanfaat untuk perencanaan kegiatan UKP dan UKM (Laporan Analisis dan Visualisasi Data Klaim RS Jamkesmas 2010–2011, TNP2K).
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
57
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Gambar 30. Tampilan Visualisasi Data Klaim Individu Jamkesmas
Sumber: Dashboard Jamkesmas 2011
f. Kesiapan Sisi Suplai Fasilitas Kesehatan Reformasi pembiayaan kesehatan idealnya bersamaan dengan reformasi pelayanan kesehatan. JKN yang kepesertaannya bersifat wajib akan membuka peluang bagi individu terutama yang belum terproteksi dalam jaminan kesehatan, untuk menjadi peserta BPJS. Estimasi kenaikan jumlah permintaan layanan kesehatan harus diimbangi dengan ketersediaan layanan kesehatan yang mencukupi. Gambar 31. Peta Ilustrasi Kebutuhan Dokter dengan Skenario 2 Dokter Melayani 5.000 Peserta
Sumber: Paparan Menkes kepada Wapres tentang Progress Persiapan Penyelenggaraan JKN, 27 Desember 2013
Pada tahun 2013 TNP2K melakukan analisis kesenjangan antara permintaan layanan kesehatan dan kapasitas berobat yang menggunakan berbagai data sekunder termasuk data utilisasi Askes 2010. Hasil analisis mengungkap adanya kekurangan jumlah tenaga kesehatan terutama dokter umum. Analisis kebutuhan dokter (asumsi
58
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
dua dokter melayani 5.000 peserta) di tingkat kabupaten/kota menunjukkan adanya ketimpangan sebaran ketersediaan dokter umum. Tenaga dokter umum masih terkonsentrasi di pulau-pulau padat penduduk seperti pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Kajian lain tentang kesiapan sisi suplai di tingkat nasional adalah “Estimating the Gap between Demand for Medical Care and Treatment Capacity” (TNP2K, 2013). Kajian dengan “Dynamic Modelling” mengungkap hal yang sama, yaitu adanya kekurangan jumlah tenaga kesehatan secara nasional. Kajian menggabungkan beberapa data sekunder seperti data Utilisasi Askes 2010, Podes 2011 tentang survei aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, Susenas 2009-2011 tentang pola pencarian Pengobatan, serta Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Simulasi mengintegrasi lima program Jaminan kesehatan (eks peserta Askes PNS, eks peserta Jamkesmas, eks peserta Jamsostek, eks peserta TNI dan eks peserta Polri), di tahun 2014 kekurangan dokter secara nasional diestimasi mencapai 21.930 dokter, kekurangan perawat sebanyak 54.560 perawat, serta kekurangan tempat tidur sebanyak 32.820 tempat tidur. Sebagai catatan, kajian ini masih memiliki keterbatasan karena dilakukan pada tingkat nasional dan belum mengakomodir disparitas penduduk per kabupaten/ kota. Harapannya kedepan, upaya ini harus dilengkapi dengan analisis proyeksi lima tahun kedepan di tingkat kabupaten/kota agar dapat menjabarkan kondisi lokal.
Gambar 32. Proporsi Penyakit Hipertensi terdiagnosa dan unmet needs menurut provinsi
Sumber: TNP2K
Penguatan dari sisi suplai memang harus menjadi prioritas utama, apalagi jumlah masyarakat yang menderita sakit dan mencari pengobatan sesungguhnya jauh dari jumlah penderita yang sebenarnya. Sebagai contoh jumlah penderita hipertensi yang mendapatkan pengobatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang terdiagnosa Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
59
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
(gambar 32). Jika semua penderita hipertensi yang terdiagnosa mencari pengobatan dan mendatangi layanan kesehatan, maka sebagian besar mungkin tidak terlayani dengan baik. g. Analisis Klaim Individu Layanan Kesehatan pada Program Jamkesda di D.I. Aceh, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bali Di Indonesia terdapat sekitar 360 kabupaten/kota yang telah menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), dimana beberapa kabupaten/kota sedang menuju Cakupan Semesta. D.I. Aceh (Jaminan Kesehatan Aceh [JKA]) dan Provinsi Bali (Jaminan Kesehatan Bali Mandara [JKBM]) telah menyelenggarakan program Jamkesda sejak tahun 2010, sedangkan Provinsi Sumatera Barat (Jaminan Kesehatan Sumbar Sakato [JKSS]) mulai pada tahun 2011. TNP2K telah melakukan analisis terhadap data klaim individu layanan kesehatan untuk rawat jalan maupun rawat inap di RS di tiga provinsi yang menyelenggarakan Jamkesda. Data klaim individu layanan kesehatan di RS belum pernah dianalisis, sehingga para pengambil kebijakan tidak mendapat informasi umpan balik atas investasi jaminan kesehatan bagi masyarakat setempat. Analisis menggunakan program Tableau menghasilkan informasi tingkat utilisasi menurut kabupaten/kota, siapa yang memanfaatkan (umur, jenis kelamin, daerah), jenis diagnosa, besaran biaya dan 25 penyakit terbanyak untuk masingmasing rawat jalan dan rawat inap di RS. Hasil analisis ini paling sedikit memberikan dua manfaat bagi Pemerintah Daerah termasuk pemangku kepentingan kesehatan di daerah, yaitu (1) pemahaman peta pemanfaatan layanan kesehatan dan pola penyakit termasuk besaran biaya yang ada di daerahnya; (2) identifikasi faktor risiko sebagai dasar penajaman perencanaan pembangunan kesehatan ke depan.
60
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat utilisasi Jamkesda di Aceh, Sumbar, dan Bali, ternyata menunjukkan tingkat utilisasi rawat jalan di RS setingkat dengan pemanfaatan Jamkesmas, yaitu 5-7 kunjungan/1.000 peserta/bulan. Penyakit Tidak Menular (PTM) berbiaya mahal dan kronis seperti hypertensi, diabetes mellitus, dan stroke merupakan kategori 10 penyakit terbanyak di D.I. Aceh dan Provinsi Sumbar, disamping penyakit yang berhubungan dengan pencernaan seperti dyspepsia, gastritis dan lain-lain. Sedangkan di Provinsi Bali, penyakit terbanyak adalah penyakit terkait pernapasan seperti ISPA dan penyakit pencernaan. Informasi tentang sebaran penyakit serta analisis penyakit terhadap faktor demografi dan wilayah jelas memberikan gambaran dasar untuk penajaman perencanaan program promosi dan preventif yang harus dilakukan oleh daerah dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setempat (Laporan Analisis Klaim Individu Layanan Kesehatan pada Program JKA, JKSS, dan JKBM, TNP2K 2014). Dari dua provinsi, D.I. Aceh dan Provinsi Sumbar telah berintegrasi ke JKN pada awal tahun 2014. h. Analisis Implementasi Program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Program BOK—pendanaan dari APBN—mulai dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2010 sebagai salah satu suplemen yang mendorong peningkatan kegiatan promotif dan preventif di tingkat Puskesmas. Program BOK ini bertujuan untuk menambah dana operasional Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) terutama program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan gizi yang disinyalir minim pendanaan setelah desentralisasi. Pokja Kesehatan TNP2K, sejak tahun 2011, melakukan pemantauan terhadap implementasi program BOK dua kali setiap tahun. Pengambilan data ke beberapa sampel kabupaten/kota dilakukan di kuartal pertama dan kuartal ketiga/ keempat sehingga dapat melihat titik-titik permasalahan saat perencanaan awal tahun dan tantangan realisasi anggaran menjelang akhir tahun anggaran. Hasil analisis disampaikan ke Kemenkes dan telah digunakan untuk penyempurnaan Petunjuk Teknis (Juknis) BOK dalam periode tahun berikutnya. Kegiatan monitoring ini juga memicu tingkat realisasi BOK oleh Dinkes dan Puskesmas di kabupaten/kota sampel. Hasil monitoring menunjukkan bahwa program BOK sangat membantu dalam menghidupkan kembali komunikasi dan koordinasi antar Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Dalam forum Lokakarya Mini (Lokmin), penajaman perencanaan dan penganggaran serta penetapan prioritas kegiatan di Puskesmas dilakukan di forum ini. Arahan Dinkes atas prioritas kegiatan promotif dan preventif berbasis local spesifik untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dilakukan optimal dalam forum Lokmin. i. Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi untuk Peningkatan Mutu Layanan Tingkat Pertama (Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 [Prepres 32/2014]) Tantangan berikut adalah pada tatanan implementasi. Setelah Presiden menyatakan berlakunya Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014, Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
61
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
ada permasalahan dalam aturan tata kelola anggaran dimana BPJS Kesehatan tidak dapat menyalurkan dana kapitasi langsung ke Puskesmas Non- Badan Layanan Upaya Daerah (BLUD). Dana Kapitasi adalah besaran pembayaran dimuka per bulan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Di era JKN, dana kapitasi ke Puskesmas berkisar dari Rp3.000 sampai Rp6.000/kapita/ bulan (meningkat dari Rp1.000/kapita/bulan saat progam Jamkesmas). Dana kapitasi saat program Jamkesmas yang dibayarkan Kemenkes ke Dinas Kesehatan kabupaten/ kota tidak seutuhnya tersalurkan ke Puskesmas karena mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan seterusnya). Dana kapitasi tersebut harus disetor ke kas daerah dan merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga tidak seutuhnya dapat digunakan untuk peningkatan kualitas layanan UKP. Untuk menunjang pelaksanaan sistem jaminan sosial bidang kesehatan, reformasi dilakukan dalam pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas NonBLUD, seperti diatur dalam Perpres 32/2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
62
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah (Non-BLUD). Proses pengusulan dan pengesahan Perpres ini melibatkan Kemenkes, Kemenkeu, Kemendagri, BPJS Kesehatan, BPKP, BPK dan kementerian/lembaga lain di bawah koordinasi Wakil Presiden. Perpres 32/2014, yang dilengkapi dengan peraturan teknis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tahun 2014 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 990/2280/SJ mengatur pengelolaan dana kapitasi yang dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada bendahara melalui rekening dana kapitasi di Puskesmas sesuai dengan jumlah peserta yang terdaftar. Sebagai catatan, rekening dana kapitasi tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari kas daerah. Hasil uji petik yang dilakukan TNP2K ke beberapa daerah menunjukkan masih adanya kekurangpahaman dan keraguan dari Pemda terkait operasionalisasi Perpres 32/2014 tersebut (Laporan Progres Pengelolaan Dana Kapitasi di Daerah, Mei 2014). Dalam upaya terus memperbaiki pelaksanaan program JKN—atas himbauan Wakil Presiden—digelar pertemuan yang mengundang seluruh gubernur, bupati, wali kota seluruh Indonesia untuk hadir pada Rapat Kerja Nasional dalam rangka Sosialisasi dan Pemantapan Komitmen Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program JKN di Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 18 Juni 2014. Dalam rapat tersebut, Wakil Presiden menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara Kemendagri dan BPJS Kesehatan mengenai Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Program JKN. Dilaporkan juga dalam pertemuan tersebut 125 bupati/wali kota telah menyelesaikan Surat Keputusan Penunjukkan Bendahara dan Nomor Rekening Dana Kapitasi JKN untuk Puskesmas dan siap mengimplementasikan kebijakan ini. Wakil Presiden juga mengimbau bahwa dukungan dari Pemda sangat penting khsususnya dalam rangka meningkatkan ketersediaan jaringan layanan kesehatan dan memperkuat kualitas mutu layanan.
REKOMENDASI Implementasi JKN di awal tahun 2014 telah membawa banyak perubahan antara lain dalam aspek pembiayaan, penetapan sasaran peserta PBI, pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas, pembayaran ke RS dengan sistem prospektif, penajaman perhitungan iuran PBI dan penajaman perencanaan dana BOK untuk memperkuat kegiatan UKM. Sekretariat Wakil Presiden telah berperan aktif dalam perubahan dengan menggunakan hasil analisis dari TNP2K. Ke depan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan JKN, masih banyak hal yang harus dikembangkan dan dibenahi dalam semangat mencapai Cakupan Semesta di tahun 2019.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
63
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Tantangan dan permasalahan yang masih harus dilakukan antara lain: 1. Pola Rujukan yang Belum Berjalan Optimal Perilaku peserta dan kesiapan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) perlu dimonitor ketat terkait dengan kebijakan penguatan pelayanan di Puskesmas dan Klinik Swasta sebagai gatekeeper. Kenaikan pembayaran kapitasi yang signifikan mengharuskan FKTP agar mengelola peserta secara efektif dan efisien berwawasan pola hidup sehat. Upaya preventif dan promotif di tingkat individu harus ditekankan dimana dokter di FKTP harus rajin memberikan edukasi atas kesadaran hidup sehat. BPJS Kesehatan harus menciptakan satu mekanisme insentif yang memicu FKTP untuk menjaga tingkat kesehatan pesertanya. 2. Keterbatasan Sisi Suplai di RS Menyebabkan Antrian dan Waktu Berobat yang Panjang Sehingga Berpotensi Berdampak Pada Mutu Layanan Kajian TNP2K menunjukkan bahwa antrian pasien rawat jalan di RS sangat panjang dan melelahkan (Laporan Hasil Spot Check Antrian Peserta JKN-BPJS Di RS Jabodetabek, Juni 2014). Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan dan harus dicarikan jalan keluar oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah agar hak peserta dapat terpenuhi. Ketersediaan dan distribusi jumlah dokter (umum dan spesialis) serta tenaga kesehatan lain merupakan isu penting yang harus segera diselesaikan. Kondisi antrian pasien rawat inap juga sudah terlihat untuk jenis layanan tertentu, seperti penyakit jantung, kanker, ICU dan PICU/NICU untuk bayi baru lahir. Selain itu, BPJS Kesehatan juga harus menjaga hubungan yang harmonis dengan fasilitas kesehatan yang sudah bekerjasama, mengingat kesuksesan JKN ini sangat bertumpu pada pelayanan yang dirasakan peserta di fasilitas kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan pemantauan ketat atas kecukupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Gambar 33. Situasi Antrian di beberapa Rumah Sakit di Jabodetabek
Sumber: TNP2K
64
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
3. Ketersediaan Obat di Faskes yang Menggunakan Formularium Nasional (Fornas) dan Electronic Katalog (E-Katalog) Reformasi penggunaan obat dalam era JKN yang memakai Fornas dan E-Katalog bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas pembiayaan obat, yang saat ini dinilai cukup tinggi. Mutu obat juga menjadi salah satu pilar penting yang menjadi perhatian Kemenkes. Tetapi sampai saat ini, pelaksanaan penggunaan Fornas dan E-Katalog masih menemukan banyak hambatan terutama di daerah terpencil. Keluhan bahwa RS tidak mencapai titik temu kesepakatan atas jumlah dan harga di Faskes berlokasi di area perdesaan, menyebabkan kelangkaan obat terjadi. Untuk itu monitoring ketat atas implementasi Fornas dan E-Katalog perlu dilakukan dan hasilnya menjadi masukan bagi pemangku kebijakan untuk penyempurnaan peraturan ke depan. 4. Ketimpangan Akses Peserta JKN Salah satu tujuan JKN adalah meningkatkan akses dan memperbaiki ketimpangan (inequity) ke layanan kesehatan. Kajian yang dilakukan TNP2K (2011) mengungkap ada perbedaan tingkat utilisasi rawat jalan di RS yang sangat jauh antar segmen populasi, dimana tingkat utilisasi eks peserta Askes 6-10 kali lebih tinggi daripada tingkat utilisasi peserta Jamkesmas. Kemenkes harus memonitor ketat atas perkembangan utilisasi baik rawat inap maupun rawat jalan di semua tingkat fasilitas kesehatan, dalam rangka memperbaiki isu ketimpangan ini. Masalah akses dan mutu layanan kesehatan sangat menjadi sorotan dalam rangka memberikan pelayanan yang berkeadilan, terutama bagi masyarakat miskin. 5. Penguatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Implementasi JKN fokusnya hanya pada UKP yang lebih pada kuratif dan rehabilitatif (preventif dan promotif kesehatan perorangan walau tetap ada porsi kecil). Apabila tidak diperkuat, maka keberlangsungan program JKN akan menjadi berat. Tingginya kejadian penyakit tidak menular (PTM) seperti diabet, jantung, hipertensi dan stroke telah menduduki ranking teratas baik di rawat jalan dan rawat inap RS. Upaya pola hidup sehat dengan pola makan dan olah raga perlu dilakukan. 6. Integrasi Jamkesda ke Dalam JKN Hampir 360 kabupaten/kota (sekitar 70 persen) di Indonesia mengembangkan Jamkesda. Kajian TNP2K (2011) menunjukkan adanya keterbatasan dari banyak aspek termasuk kompetensi pengelola, akuntabilitas, transparansi, keterbatasan paket manfaat dan iuran yang relatif kecil. Jamkesda bersama dengan isu pendidikan sering dijadikan kendaraan untuk kampanye Kepala Daerah, tanpa memperhitungkan risiko biaya yang akan timbul atas kebijakan tersebut. Sudah banyak studi yang dilakukan mengusulkan untuk integrasi Jamkesda ke dalam program JKN. Untuk itu perlu advokasi dan pemantauan ketat atas upaya integrasi Jamkesda ke depannya. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
65
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
7. Perluasan Cakupan Pekerja di Sektor Informal ke Dalam JKN Sekitar 70 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam sektor informal dimana sebagian belum memiliki jaminan kesehatan. Sebagian pekerja informal yang miskin harusnya sudah dicakup sebagai peserta PBI. Pekerja di sektor informal adalah mereka yang penghasilan tidak menentu, tidak pasti jumlahnya dan bergerak di bidang usaha menengah kecil. Beberapa literatur negara berkembang lainnya mengungkap kesulitan dalam kepatuhan koleksi iuran. Untuk itu kiranya ke depan perlu dipikirkan satu terobosan yang dapat mengembangkan cakupan di sektor informal demi capaian Cakupan Semesta di tahun 2019.
66
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
67
RASKIN
Pengantar Beras adalah komponen penting bagi masyarakat miskin dan rentan. Kajian TNP2K atas data Susenas 2010 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga miskin dan rentan sebagian besar (65 persen) digunakan untuk membeli bahan makanan dan beras mengambil porsi 29 persen komponen konsumsi masyarakat miskin. Artinya peningkatan harga beras akan melemahkan daya beli masyarakat terutama masyarakat miskin, yang pada gilirannya meningkatkan jumlah penduduk miskin. Untuk itu, kebijakan dalam rangka memastikan agar rumah tangga miskin dan rentan tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan terutama beras sangatlah penting. Gambar 34. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Miskin
Sumber: TNP2K
Berdasarkan kondisi di atas, beban kelompok miskin akan lebih berat jika terjadi gejolak harga makanan. Untuk itu, menjaga tingkat inflasi khususnya inflasi kelompok makanan sangat penting, karena inflasi kelompok makanan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-makanan (Gambar 35). Keterlibatan berbagai pihak termasuk Pemerintah Daerah sangat penting dalam upaya menjaga stabilitas harga makanan. Infrastruktur yang tidak memadai, banyaknya hambatan dalam melakukan usaha serta kebijakan yang tidak mendukung, berkontribusi terhadap meningkatnya harga makanan. Gambar 35. Inflasi Tahunan Kelompok Makanan dan Non Makanan
68
Sumber: BPS
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
Program Raskin bertujuan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sasaran dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras bersubsidi. Awalnya program ini adalah Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pemerintah sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkan saat krisis ekonomi 1998. Di bawah tanggung jawab bersama Menteri Negara Urusan Pangan (Menpangan) dan BULOG9, beras 10 kg/RTS/bulan disalurkan kepada 7,5 juta RTS (hasil pendataan BKKBN) dengan harga tebus Rp1.000/kg. Setelah kementerian negara tersebut ditiadakan pada Oktober 1999, OPK sepenuhnya menjadi tanggung jawab BULOG. Sejak 2002, OPK berubah nama menjadi Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin) untuk menekankan sasaran dari program ini. Selain sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sasaran (RTS) dan mekanisme perlindungan sosial, tujuan Program Raskin adalah: (i) stabilisasi harga di pasar; (ii) pengendalian inflasi melalui intervensi pemerintah dengan menetapkan harga beras bersubsidi sebesar Rp1.600/kg dan menjaga stok pangan nasional; (iii) peningkatan akses pangan baik secara fisik (beras tersedia di titik distribusi) maupun ekonomi (harga jual yang terjangkau) kepada RTS; (iv) menyediakan pasar bagi hasil usaha tani padi; dan (v) membantu pertumbuhan ekonomi daerah. Saat ini Program Raskin memberikan subsidi beras sebanyak 15 kg per Rumah Tangga Sasaran-Penerima Manfaat (RTS-PM) per bulan dengan Harga Tebus Raskin (HTR) Rp1.600 per kg di Titik Distribusi (TD)10. Raskin disalurkan oleh Perum BULOG ke TD, yaitu lokasi yang ditentukan dan disepakati oleh Perum BULOG dan pemerintah kabupaten/kota. Pada umumnya TD berada di tingkat desa/kelurahan dan sebagian di kecamatan. Menurut Perum BULOG, saat ini di seluruh Indonesia terdapat sekitar 50.000 TD dimana jumlah desa/ kelurahan pada 2011 tercatat 78.024. Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab mendistribusikan Raskin dari TD ke Titik Bagi (TB), yaitu lokasi tempat penyerahan Raskin kepada para RTS-PM, untuk selanjutnya dibagikan kepada RTS-PM Raskin. Sementara itu, TB umumnya berada di kantor desa/kelurahan atau di rumah kepala dusun/RW/RT. Oleh karena itu, sebagian TD sama dengan TB. Jumlah RTS-PM Program Raskin Nasional 2013 dan 2014 sebanyak 15.530.897 rumah tangga yang diperoleh dari Basis Data Terpadu (BDT) untuk program perlindungan sosial. Jumlah RTS-PM Program Raskin 2014 tersebut meliputi sekitar 25 persen penduduk dengan peringkat kesejahteraan terendah secara nasional, yang telah mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan pada 2012 adalah 11,66 persen sehingga cakupan Program Raskin tidak hanya untuk rumah tangga yang miskin tetapi juga rumah tangga hampir miskin atau rentan. Namun jumlah RTS-PM sebenarnya mengalami perubahan dari tahun ke tahun sebagaimana tersaji pada Tabel 9. 9 BULOG berubah badan hukumnya pada 2003 dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum). 10 Nilai subsidi per kilogram bervariasi tergantung harga beras. Tahun 2014 Harga Pembelian Beras yang ditentukan di APBN-P adalah Rp8.047,69/kg. Dengan demikian rata-rata nilai subsidi per kilogram di TD adalah sebesar Rp6.477,69/kg.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
69
RASKIN
Anggaran Program Raskin pada 2014 mencapai Rp18,8 triliun meningkat dari Rp5,2 triliun pada 2005. Pada 2013 seiring dengan kebijakan penyesuaian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), disalurkan tambahan tiga bulan beras Raskin sehingga anggaran mencapai Rp20,5 triliun. Biaya Program Raskin tertinggi di antara program-program bantuan sosial lainnya, bahkan mencapai separuh total anggaran bantuan sosial. Tabel 9. Jumlah Pagu RTS-PM Program Raskin 2005–2014
Sumber: Tikor Raskin Pusat dan TNP2K
Subsidi Raskin 2014 disediakan dalam APBN Tahun 2014 melalui DIPA Kementerian Keuangan. Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Penganggaran Program Raskin hanya untuk pengadaan beras dan penyalurannya sampai TD. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Pasal 18 dan 58) dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/2634/SJ tanggal 27 Mei 2013, maka pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharapkan untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penyaluran Raskin dari TD sampai dengan RTS-PM. Penyediaan anggaran tersebut mencakup antara lain untuk biaya operasional Raskin, biaya angkut Raskin dari TD ke TB hingga ke RTS-PM, subsidi harga tebus Raskin, dana talangan Raskin, dan/atau tambahan alokasi Raskin kepada RTS-PM di luar pagu yang ditetapkan maupun tambahan alokasi Raskin untuk RTS-PM di dalam pagu yang ditetapkan. Selain pembiayaan dari APBN dan APBD, masyarakat dapat berpartisipasi secara sukarela untuk membantu pembiayaan distribusi Raskin dari TD ke RTS-PM, tanpa menambah HTR dari RTS-PM yang diatur di dalam Juklak/Juknis di masing-masing daerah.
TANTANGAN PELAKSANAAN PROGRAM RASKIN 1998–2012 Dalam kurun waktu pelaksanaannya yang telah berlangsung sejak tahun 1998, Program Raskin menghadapi banyak tantangan yang beberapa di antaranya berpotensi mempengaruhi efektivitasnya. a. Ketepatan Sasaran Penerima Raskin, Jumlah Beras yang Diterima, dan Harga yang Dibayar Meskipun biaya Program Raskin terbesar di antara program bantuan sosial lainnya,
70
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
tantangan utama yang dihadapi Raskin dapat dirangkum dalam empat hal, yaitu ketepatan sasaran, ketepatan jumlah yang diterima RTS-PM, ketepatan harga yang dibayar RTS-PM dan ketepatan waktu penyaluran sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kinerja Program Raskin
Sumber: TNP2K, dikompilasi dari beberapa studi.
Data Susenas 2009 menunjukkan bahwa beras Raskin dibagi secara merata ke kelompok yang lebih sejahtera, bahkan sekitar 12,5 persen penduduk terkaya juga menerima Raskin dan hal ini tentu mengurangi hak yang seharusnya diterima oleh kelompok miskin dan hampir miskin/rentan (Gambar 36). Dari sisi transfer pendapatan dan mengatasi ketidakcukupan pangan, pelaksanaan Program Raskin ini yang hanya menyediakan ratarata empat kg/rumah tangga/bulan tidak cukup mengurangi ketidakcukupan pangan dari rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga besar (lebih dari 5), yang memerlukan lebih dari 45 kg per bulan. Gambar 36. Efektivitas Penargetan Program Raskin
Persentase Penerima Bantuan
100
75
Raskin 50
25
Jamkesmas 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Desil Konsumsi Rumah Tangga
Sumber: Susenas 2009 Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
71
RASKIN
Berkaitan dengan ketepatan/ketidaktepatan sasaran, ada dua isu yang perlu perhatian. Pertama, RTS-PM ditetapkan pemerintah pusat dan semestinya divalidasi dengan mengandalkan musyawarah desa/kelurahan (musdes/muskel) sebagai ujung tombak penetapan final sasaran program (DPM Final). Kedua, penyaluran Raskin yang sering tidak sama dengan DPM (Daftar Penerima Manfaat) RTS-PM dan disalurkan di luar DPM Final. b. Kelembagaan, Penanggung Jawab Program, dan Peran Pemerintah Daerah Penyebab kinerja penetapan sasaran yang kurang memuaskan tersebut antara lain tidak adanya kejelasan lembaga yang bertanggung jawab menegakkan aturan yang ada termasuk yang berkenaan dengan ketepatan sasaran. Sebagaimana termaktub dalam Pedoman Umum (Pedum) Raskin, penanggung jawab Program Raskin adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) yang ditetapkan dengan Keputusan Menko Kesra (Kepmenko Kesra) Nomor 57 Tahun 2012 tentang Tim Koordinasi Raskin Pusat. Adapun penanggung jawab pelaksanaan Program Raskin di provinsi adalah gubernur, di kabupaten/ kota adalah bupati/walikota, di kecamatan adalah camat, dan di desa/kelurahan adalah kepala desa/lurah. Penanggung jawab Tim Koordinasi (Tikor) Raskin Pusat adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Sementara itu, Ketua Pelaksana Tikor Raskin Pusat adalah Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat. Saat ini, Tikor Raskin Pusat terdiri dari Kemenko Kesra, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Sosial (Kemensos), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Perum BULOG. Pedoman umum (Pedum) Raskin maupun Kepmenko Kesra Nomor 57 Tahun 2012 tersebut tidak menyebutkan pembagian kerja dan tanggung jawab yang jelas setiap K/L tersebut. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Raskin yang ditetapkan Menteri Keuangan mengalami peralihan beberapa kali. Pada 2005–2007 sebagai KPA adalah Direktur Utama Perum BULOG, pada 2008–2009 dialihkan kepada Deputi Menko Kesra bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Kemenko Kesra, kemudian pada 2010–2012 dikembalikan ke Perum BULOG. Karena adanya temuan yang merekomendasikan bahwa Perum BULOG sebagai pelaksana penyaluran beras Raskin tidak dapat menjadi KPA, maka pada 2013 KPA dialihkan kepada Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Sosial. Adapun penanggung jawab pelaksanaan program di tingkat provinsi adalah gubernur, di kabupaten/kota adalah bupati/walikota, di kecamatan adalah camat, dan
72
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
di desa/kelurahan adalah kepala desa/lurah. Di masing-masing tingkat pemerintahan dibentuk Tikor Raskin Daerah yang sekretariatnya berada di SKPD yang berlainan, walau sebagian besar ada di Biro Perekonomian Setda Provinsi dan bagian ekonomi Setda Kabupaten/Kota. Pengecualian untuk tingkat desa/kelurahan di mana organisasi pelaksana yang dibentuk adalah pelaksana distribusi. Tanggung jawab terhadap ketepatan sasaran diharapkan dari pemerintah daerah (Pemda), namun sebagian besar Pemda masih menilai bahwa Program Raskin adalah program dari pemerintah pusat sehingga tanggung jawabnya bukan pada Pemda. c. Penyaluran Raskin Guna menjamin kelancaran proses penyaluran Raskin, Perum BULOG bersama Tim Koordinasi Raskin (Tikor Raskin) menyusun rencana penyaluran bulanan yang dituangkan dalam Surat Permintaan Alokasi (SPA) berdasarkan pagu yang kemudian diterbitkan oleh bupati/walikota kepada Perum BULOG. Berdasarkan SPA, Perum BULOG menerbitkan Surat Perintah Pengeluaran Barang/Delivery Order (SPPB/DO) beras untuk masing-masing kecamatan atau desa/kelurahan. Di TD dilakukan serah terima beras antara Perum BULOG dengan Tikor Raskin/Pelaksana Distribusi dan dibuat Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun menurut penelitian Bank Dunia (2014) melalui Raskin Business Process Review and Reengineering, pemesanan/order penyaluran beras membutuhkan waktu ratarata 33 hari sampai dengan beras diterima di TD. Pemesanan dengan penerbitan SPA setelah awal bulan. Keterlambatan penerbitan SPA oleh kabupaten/kota sangat mempengaruhi kinerja penyaluran beras Raskin, demikian juga proses penerbitan DO oleh Perum BULOG setelah menerima SPA dari kabupaten/kota (Gambar 37). Gambar 37. Waktu Siklus Pesanan Raskin dari SPA hingga BAST (2013) Penerbitan SPA
Penerbitan DO
Penerbitan GDIK
Awal Bulan
Akhir Bulan
12%
Rata-rata seluruh proses
86%
-3,5
-15
26% 7,6
25,0
Jumlah penuh tidak tepat waktu/ In-full not on-time
15,3
Jumlah penuh tepat waktu/ In-full on-time (OTIF)Jumlah penuh
-14,3
-10
0
5
32,6 hari
0,0
8,6
39,0
13,5
-5
BAST Ditandatangani
7,2
10
15
0,0
20
2,1
49,7 hari
20,7 hari 25
30
35
40
45
50
55
60
65
Hari Kalender On-Time In-Full (OTIF) - persentase (%) alokasi Raskin yang dapat disalurkan secara penuh dan dilakukan sebelum akhir bulan alokasi
Sumber: Raskin Business Process Review and Reengineering, Bank Dunia, 2014
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
73
RASKIN
Apabila terdapat kendala yang bersifat spesifik lokasi (seperti kondisi geografis, iklim/ cuaca dan jenis moda transportasi untuk pengangkutan Raskin) sehingga penyaluran Raskin tidak mungkin dilakukan secara rutin setiap bulan di suatu wilayah, maka jadwal penyaluran Raskin disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut dan diatur di dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)/Petunjuk Teknis (Juknis) oleh pemerintah daerah setempat. Perum BULOG membuat Pedoman Khusus Penyaluran Raskin sampai TD. Semestinya penyaluran Raskin dari TD ke TB sampai RTS-PM menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tim Koordinasi Raskin/Pelaksana Distribusi Raskin melakukan pemeriksaan kualitas dan kuantitas beras yang diserahkan oleh Perum BULOG di TD. Apabila ditemukan Raskin yang tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang ditetapkan, maka Tikor Raskin/Pelaksana Distribusi harus menolak dan langsung mengembalikan kepada Perum BULOG untuk diganti dengan kualitas yang sesuai dan menambah kekurangan kuantitas. Namun demikian hasil pemantauan selama ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah kurang berperan dalam memastikan hal ini. Pelaksanaan penyaluran Raskin dari TB kepada RTS-PM dilakukan oleh Pelaksana Distribusi Raskin dengan menyerahkan Raskin kepada RTS-PM, dicatat dalam DPM2, semestinya ditulis dan dilaporkan sesuai nama dan jumlah yang diterima RTS, selanjutnya dilaporkan kepada Tikor Raskin kabupaten/kota melalui Tim Koordinasi Raskin Kecamatan. Dalam Pedum diatur penyaluran Raskin dari TD ke TB dan RTSPM dapat dilakukan secara reguler oleh Kelompok Kerja (Pokja), atau melalui Warung Desa, Kelompok Masyarakat dan Padat Karya Raskin. Untuk meminimalkan biaya transportasi penyaluran Raskin dari TB ke RTS-PM maka TB ditetapkan di lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh RTS-PM. Penyaluran bulan berikutnya juga dipengaruhi ketepatan waktu pembayaran bulan sebelumnya. Pembayaran HTR dari RTS-PM kepada Pelaksana Distribusi Raskin
74
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
dilakukan secara tunai. Pelaksana Distribusi Raskin langsung menyetorkan uang HTR tersebut ke rekening Perum BULOG melalui bank setempat atau disetorkan langsung kepada Perum BULOG setempat. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Juklak/ Juknis sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Uang yang terkumpul kemudian disetorkan dalam waktu paling lama dua minggu sejak beras diterima di Titik Distribusi. Pembayaran ini akan mempengaruhi pengiriman beras pada bulan berikutnya. Guna menghindari keterlambatan atau tunggakan pembayaran, kadang pihak pengelola Raskin di tingkat desa/kelurahan mengupayakan pembiayaan terlebih dahulu dengan mencari pinjaman dari pihak ketiga dengan biaya administrasi/bunga tertentu. Pada kebanyakan kasus apabila RTS-PM tidak memiliki dana pada saat beras datang (karena waktu penyaluran tidak selalu sama setiap bulannya), maka beras biasanya ditawarkan kepada rumah tangga lain, yang umumnya belum tentu miskin. Hal ini memicu ketidaktepatan sasaran. Penyaluran beras di tingkat bawah desa/kelurahan dapat menjadi salah satu sebab dilakukannya pembagian merata. Di beberapa wilayah TB beras adalah di tingkat dusun/RW/RT yang menyebabkan variasi dalam pelaksanaan Program Raskin, misalnya adanya keputusan ‘bagi rata’, pemotongan jumlah beras, tambahan biaya dan lain-lain (Gambar 38). Faktor lain yang mungkin berpengaruh dalam “bagi rata” adalah adanya ikatan emosional antara kepala desa dengan masyarakat karena kepala desa dipilih oleh warganya, sehingga kepala desa merasa harus membagi beras Raskin di luar RTS-PM yang telah ditetapkan. Gambar 38. Variasi Lokasi Titik Bagi (TB) Raskin
Sumber: Pokja Monev, Set. TNP2K Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
75
RASKIN
Ironisnya, pada pelaksanaan di lapangan, indikator yang digunakan dalam menilai keberhasilan program bukan lagi pada “ketepatan sasaran”, yaitu rumah tangga miskin dan rentan tetapi pada “kelancaran pembayaran”. Beberapa kasus, kecamatan dan desa tidak menerima beras Raskin selama jangka waktu tertentu karena adanya tunggakan, penyelewengan pelaksanaan, atau permintaan pihak kecamatan. Pihak pengelola terutama kelurahan/desa ke atas tidak memedulikan ketepatan sasaran (apakah yang menerima benar-benar mereka yang miskin atau tidak) tetapi mepedulikan “beras dibayar lunas”. Selain itu kerapian administrasi yang berdasar pada data penerima Raskin sesuai pagu jumlah RTS-PM lebih diprioritaskan guna menghindari pemeriksaan dibandingkan dengan melaporkan kenyataan lapangan. Menurut analisis BULOG, ketepatan harga terkendala dengan hambatan geografis. Jauhnya lokasi RTS dari TD mengakibatkan RTS harus membayar lebih untuk mendekatkan beras ke rumahnya. Rumah tangga sasaran juga harus membayar biaya-biaya lain untuk operasional dan angkutan dari TB ke rumah mereka. Hasil pemantauan Raskin oleh TNP2K di tahun 2012–2013 menunjukkan rata-rata biaya tambahan di luar HTR kepada rumah tangga penerima Raskin di luar Jawa adalah sebesar Rp445/kg sedangkan di Jawa rata-rata biaya tambahan di luar HTR adalah sebesar Rp483/kg (Gambar 39). Peran pemerintah kabupaten/kota untuk membantu RTS mencapai tepat harga perlu terus didorong dengan menyediakan dana APBD-nya untuk membiayai ongkos angkut Raskin dari TD ke TB dan biaya lainnya. Gambar 39. Proporsi Desa/Kelurahan yang Memungut Biaya di luar HTR dari Penerima Raskin dan Rata-rata Besarannya
Sumber: Pokja Monev, Set. TNP2K
76
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
Penyempurnaan Raskin ke depan menemui sejumlah tantangan terutama mengingat bahwa program ini telah dilaksanakan sejak 1998 dan fakta bahwa beras adalah komoditi yang sangat diperlukan RT telah menyebabkan persepsi bahwa semua RT membutuhkan beras, dan semua RT membutuhkan Raskin dan oleh karena itu praktik pelaksanaan ‘bagi rata’ tidak mudah diperbaiki. d. Pengendalian Program Meskipun telah dilakukan berbagai kajian, evaluasi dan analisis yang menghasilkan berbagai temuan selama 15 tahun pelaksanaan program, hasil temuan tersebut kurang digunakan sebagai alat pengendalian program oleh pengelola program. Program juga tidak memiliki instrumen dan infrastuktur baku sebagai alat pemantauan dan pengendalian program. Sebagai contoh Tikor Raskin, baik Pusat maupun kabupaten/ kota tidak memiliki MIS yang berisi antara lain informasi pagu, data RTS-PM dan perubahannya, data operasional termasuk lokasi TD dan TB, realisasi penyaluran beras Raskin per bulan, status pembayaran, jumlah dan harga beras di tingkat RTS-PM serta alat pemantauan dan pengaduan. Hal ini ditambah dengan kurang optimalnya peran Pemda dalam pengendalian program, khususnya ketepatan sasaran dan jumlah beras yang diterima, sementara lokasi program sangat luas berada di hampir seluruh 78.024 desa/kelurahan yang tidak dapat dilakukan langsung oleh Tikor Raskin Pusat. e. Sosialisasi Program Karena Raskin telah dilaksanakan lebih dari 10 tahun dengan mekanisme yang hampir tidak mengalami perubahan, maka sosialisasi program cenderung lemah karena hal itu bukan menjadi prioritas program. Sosialisasi program hanya terbatas pada pertemuan koordinasi di tingkat regional yang dihadiri oleh Tikor Raskin provinsi. Diharapkan Tikor Raskin provinsi menyelenggarakan sosialisasi di tingkat di bawahnya. Sosialisasi juga tidak menekankan pada tujuan hakiki dari program dan juga pentingnya ketepatan sasaran, dan jumlah dan harga yang diterima/dibayarkan RTS-PM.
KEBIJAKAN PERBAIKAN PELAKSANAAN PROGRAM RASKIN Berdasarkan evaluasi terkait pelaksanaan Program Raskin pada periode sebelum 2012, Sekretariat TNP2K kemudian mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki pelaksanaan Raskin dan mendukung pelaksanaannya. Perbaikan pelaksanaan Program Raskin tersebut meliputi: (i) penyempurnaan pagu tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang mencerminkan situasi terkini dengan menggunakan Basis Data Terpadu (BDT) hasil PPLS 2011; (ii) penyempurnaan nama dan alamat RTS yang mencerminkan kondisi terkini dengan menggunakan BDT hasil PPLS 11; (iii) penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai penanda penerima manfaat yang semula diawali dengan uji coba Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
77
RASKIN
Kartu Raskin; (iv) perubahan DPM Raskin melalui mekanisme penggantian RTS-PM yang pindah, meninggal, duplikasi dan dinilai kaya oleh musyawarah desa/kelurahan; (v) penguatan sosialisasi; (vi) pemantauan dan pengembangan sistem pemantauan; (vii) pengembangan sistem pengaduan dan (viii) pengembangan MIS Raskin. Pelaksanaan kebijakan perbaikan Program Raskin tersebut dilakukan melalui persiapan yang intensif yaitu melalui beberapa kali diskusi, pertemuan dan lokakarya internal, dengan Tikor Raskin Pusat dan K/L serta pemangku kepentingan lainnya. Persiapan tersebut melibatkan staf teknis hingga pejabat yang berwenang yang menghasilkan antara lain mekanisme, panduan dan materi sosialisasi. a. Penyempurnaan pagu menggunakan Basis Data Terpadu Tujuan pemutakhiran pagu jumlah RTS-PM Raskin tingkat provinsi dan kabupaten/ kota ini adalah menyebarkan pagu jumlah RTS-PM nasional ke 497 kabupaten/kota yang mencerminkan situasi terkini dari kabupaten/kota tersebut. Sebelum 2012, Tikor Raskin Pusat hanya menentukan pagu tingkat provinsi dan Tikor Raskin Provinsi menentukan pagu kabupaten/kota. Sejak Raskin 2012, pagu masing-masing provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Tikor) Raskin Pusat berdasarkan masukan dari Sekretariat TNP2K dengan mempertimbangkan perubahan tingkat kemiskinan masing-masing wilayah, serta ketertinggalan dan kesulitan daerah dan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Program Raskin tahun sebelumnya. Sekretariat TNP2K memfasilitasi Tikor Raskin Pusat menganalisis dan menghitung pagu masing-masing kabupaten/kota pada 2012 (pagu nasional 17,5 juta RTS) dan 2013–2014 (pagu nasional 15,5 juta RTS). Dalam prosesnya, dilakukan beberapa kali pertemuan antara Tim Sekretariat TNP2K dengan Tikor Raskin Pusat untuk menentukan pagu sebelum pagu tersebut ditetapkan pada akhir tahun berjalan untuk pagu tahun berikutnya. Pada 2012, berdasarkan hasil perhitungan pagu dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, sekitar separuh kabupaten/kota mengalami perubahan pagu lebih kecil dari tahun sebelumnya. Perubahan pagu menjadi lebih kecil dari tahun sebelumnya tersebut menyebabkan berbagai pertanyaan dan protes dari kabupaten/ kota dimaksud. Namun juga tidak sedikit kabupaten/kota yang mengalami perubahan lebih kecil menilai bahwa kondisi tersebut terjadi sebagai hasil dari pelaksanaan program-program Pemda selama ini yang menghasilkan perbaikan kondisi wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Perubahan pagu jumlah RTS-PM Raskin yang mengalami penurunan dari 17,5 juta pada 2012 (yang telah berlaku mulai 2008) menjadi 15,5 juta pada 2013 menyebabkan perhitungan ulang pagu dimaksud untuk setiap kabupaten/kota dengan tambahan pertimbangan pelaksanaan Program Raskin 2012 dan mengoreksi pagu di beberapa wilayah. Daftar wilayah administrasi —provinsi/kabupaten/kota/kecamatan/desa/
78
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
kelurahan— Program Raskin mengacu pada hasil PPLS 2011. Bila terjadi pemekaran wilayah administrasi maka Menko Kesra, atau gubernur, atau bupati/wali kota segera mengalokasikan Pagu Raskin sesuai dengan alamat RTS-PM di wilayah administrasi pemerintahan yang baru, dan melaporkan ke Tim Koordinasi Raskin secara berjenjang. Surat Permintaan Alokasi (SPA) Raskin dari bupati/wali kota kepada Perum BULOG dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah terkini hasil pemekaran dan tidak perlu menunggu persetujuan dari Tikor Raskin Pusat untuk keputusan gubernur atau bupati/wali kota. b. Penyempurnaan Nama dan Alamat RTS-PM Raskin Menggunakan BDT Penetapan nama dan alamat RTS-PM Raskin bertujuan untuk mencerminkan kondisi terkini yang dicerminkan dari kondisi kesejahteraan individu berdasarkan pendataan terbaru yaitu Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dikelola oleh Sekretariat TNP2K dalam BDT. Sesuai dengan pagu nasional Raskin, pada 2012 Sekretariat TNP2K mengidentifikasi sekitar 17,5 juta rumah tangga terendah tingkat kesejahteraannya dari BDT sesuai pagu jumlah RTS-PM kabupaten/kota. Dengan demikian mereka yang didata pada PPLS 2011 tidak serta merta menjadi RTS-PM. Praktik ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana jumlah RTS-PM di desa/kelurahan disesuaikan dengan jumlah yang didata di desa/kelurahan tersebut. Jadi sejak Mei 2012 jumlah RTS- PM Raskin per desa/kelurahan didasarkan pada hasil pemeringkatan RTS-PM di tingkat kabupaten/ kota sebatas pagu yang ditetapkan. Untuk tahun 2013 dan 2014, pagu nasional adalah sebanyak 15,5 juta RTS-PM. Untuk memperoleh nama dan alamat RTS-PM sebanyak pagu yang ditetapkan, Sekretariat TNP2K mengidentifikasi sebanyak rumah tangga tersebut dari BDT. Untuk pelaksanaan 2014, data nama dan alamat RTS-PM Raskin mengacu pada BDT untuk Program Perlindungan Sosial, yaitu nama dan alamat RTS-PM 2013 yang perubahannya telah dilakukan berdasarkan perumahan RTS Kartu Perlindungan Sosial (KPS)11 yang tercatat pada aplikasi elektronik Formulir Rekapitulasi Rumah Tangga Pengganti sampai bulan November 2013 sebanyak 333.331 rumah tangga. c. Penggunaan Kartu Perlindungan Sosial Sebagai Penanda RTS-PM Salah satu penentu ketepatan sasaran adalah transparansi daftar RTS-PM Raskin kepada masyarakat. Untuk meningkatkan transparansi mengenai RTS-PM, sejak Juni 2013 pemerintah mengirimkan Kartu Perlidungan Sosial (KPS) kepada RTS-PM pada Juni 2013 seiring diberlakukannya program kompensasi pengurangan subsidi BBM. KPS dikirimkan kepada seluruh 15.530.897 RTS-PM Raskin sebagai penanda 11 Lihat penjelasan Kartu Perlindungan Sosial pada bagian Penetapan Sasaran 12 Lihat Bab BLSM dan BSM, KPS digunakan juga untuk mengakses BLSM dan BSM
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
79
RASKIN
kepesertaannya pada 2013 dan 201412. Jumlah KPS per kabupaten/kota sesuai dengan jumlah RTS-PM Raskin. Keputusan untuk menggunakan KPS sebagai penanda kepersertaan untuk Raskin dan program lain diambil dengan dasar bukti yang kuat. Ada paling tidak dua studi yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut. Pertama, pada 2012 diujicobakan Kartu Raskin bagi sekitar 1,3 juta RTS-PM terpilih di 53 kabupaten/kota (Gambar 40). Bersamaan dengan uji coba Kartu Raskin ini, secara nasional juga dikirim Daftar Penerima Manfaat ke seluruh desa/kelurahan di Indonesia (Gambar 41). Selain itu juga dilakukan evaluasi acak penggunaan Kartu Raskin oleh J-PAL, sebuah lembaga penelitian yang memfokuskan pada RCT (Randomized Control Treatment) di enam kabupaten/kota, tiga di Sumatera dan tiga di Jawa sebanyak 572 desa/kelurahan. Analisis dalam kajian eksperimen ini membandingkan antara wilayah treatment yaitu wilayah yang diberikan kartu dan wilayah kontrol yaitu wilayah tanpa kartu. Gambar 40. Kartu Raskin Ujicoba 2012
Sumber: Kemensos
Gambar 41. Poster Daftar Penerima Manfaat (DPM) 2012
Sumber: TNP2K
80
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
Hasil pemantauan Sekretariat TNP2K atas pelaksanaan Kartu Raskin dan evaluasi eksperimen Kartu Raskin di wilayah uji coba tambahan di enam kabupaten/kota yang dilakukan oleh J-PAL menunjukkan bahwa kartu telah meningkatkan jumlah kg beras yang diperoleh RTS-PM. Rata-rata jumlah beras yang diterima di daerah Kartu lebih tinggi (9–11 kg) dibanding di daerah Non-Kartu (7–9 kg) (Gambar 42). Hasil pengamatan setelah beberapa waktu menunjukkan bahwa di daerah Kartu, rumah tangga tetap membeli Raskin dengan alokasi lebih banyak dibandingkan rumah tangga di daerah Non-Kartu. Rata-rata harga beras di daerah Kartu yang dibayar RTS-PM juga mengalami penurunan. Harga beras Raskin yang dibayar oleh rumah tangga di daerah Kartu lebih rendah (Rp1.700– Rp1.900/kg) dibandingkan dengan harga di daerah Non-Kartu (Rp2.000–Rp 2.100) (Gambar 43). Temuan ini konsisten dengan temuan dari studi RCT yang menunjukkan bahwa Kartu sebagai mekanisme perbaikan penyaluran Raskin ternyata makin efektif jika diikuti dengan sosialisasi yang lebih baik (Gambar 44). Hasil pemantauan Sekretariat TNP2K pada 2012 juga menunjukkan bahwa tidak semua desa/kelurahan menempelkan Poster DPM dimaksud dan tidak dilihat oleh RTS-PM dengan alasan kepala desa khawatir menimbulkan keresahan di pihak masyarakat dan ada anggapan DPM bersifat final. Gambar 42. Jumlah Kg Beras yang Diterima RTS di Wilayah Kartu dan Non-Kartu
Sumber: Pokja Monev, Set. TNP2K
Gambar 43. Rupiah yang Dibayarkan RTS per Kg di Wilayah Kartu dan Non-Kartu
7,2
7,2
Sumber: Pokja Monev, Set. TNP2K
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
81
RASKIN
Gambar 44. Jumlah Kg Beras yang Diterima RTS-PM (Eksperimen RCT oleh J-PAL)
Sumber: Pokja Monev, Set. TNP2K
d. Perubahan Daftar Penerima Manfaat Raskin Melalui Mekanisme Penggantian dan Penambahan RTS-PM oleh Musdes/Muskel Mulai 2012, disediakan dan dilakukan mekanisme penggantian RTS-PM dengan disebarkan Formulir Rekapitulasi Pengganti (FRP) di seluruh desa/kelurahan, yaitu mengganti RT yang meninggal, pindah, duplikasi dan dinilai kaya (Gambar 45). Mekanisme ini diteruskan saat penggunaan KPS. Bila pada 2012 FRP dientri secara manual, maka pada 2013 dikembangkan aplikasi elektronik untuk entri data RTS yang diganti dan penggantinya yang dilakukan di tingkat kabupaten/kota oleh kantor pengawas (Kprk) PT. Pos Indonesia. FRP yang telah disahkan oleh kepala desa/lurah dan camat diserahkan kepada TKSK yang kemudian menyerahkan kepada sekitar 206 Kprk PT. Pos Indonesia untuk dientri. Gambar 45. Formulir Rekapitulasi Pengganti Juni-Desember 2012
RTS yang Diganti
RTS Pengganti
Sumber: TNP2K
Penentuan dan penetapan RTS-PM pengganti tersebut dilakukan melalui Musdes/ Muskel. Perubahan/penggantian yang diputuskan musdes/muskel tersebut tidak diperkenankan menambah pagu Raskin di desa/kelurahan tersebut. Rumah Tangga Pengganti RTS-PM diprioritaskan bagi rumah tangga yang sebelumnya mendapatkan
82
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
Raskin yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih besar yang terdiri dari balita dan anak usia sekolah dan/atau kepala rumah tangganya orang lanjut usia, kepala rumah tangganya perempuan, kondisi fisik rumahnya kurang layak huni, dan/ atau penghasilan lebih rendah dan tidak tetap. Aplikasi elektronik Formulir Rekapitulasi Rumah Tangga Pengganti dibangun bersama antara MIS Sekretariat TNP2K, Kemensos dan PT. Pos Indonesia sejak diterbitkannya KPS pada pertengahan 2013, di mana aplikasi dimaksud disediakan di Kantor Pos Pemeriksa (Kprk) di tingkat kabupaten/kota. Formulir Rekapitulasi Rumah Tangga Pengganti hasil mudes/muskel yang berisi data Rumah Tangga yang Diganti dan Rumah Tangga Pengganti disampaikan kepada Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK —di bawah Kementerian Sosial) dan diteruskan kepada Pos Kprk untuk dimasukkan datanya (data entry) dalam aplikasi dimaksud. Data yang telah dimasukkan menjadi dasar pengesahan KPS Pengganti oleh Kemensos. Pada akhir penutupan aplikasi elektronik pemutakhiran KPS sampai bulan November 2013 terdapat 402.861 KPS retur/tarik dengan penggantian sebanyak 333.331 rumah tangga. Jumlah perubahan ini lebih kecil dari yang diperkirakan. Berdasarkan analisis terhadap FRP pelaksanaan Program Raskin 2012 dari 500 desa/kelurahan menunjukkan kecenderungan bahwa mudes/muskel mengganti 9,6 persen dari total RTS-PM di 500 desa tersebut karena alasan RT pindah, meninggal, duplikasi, atau dianggap kaya. Dari keseluruhan RTS-PM, 6,2 persen diganti karena dianggap kaya, dan 3,7 persen berada di Desil 1. e. Penguatan Sosialisasi Dalam pelaksanaan KPS, Sekretariat TNP2K bersama Tikor Raskin Pusat dan Kementerian Sosial menyusun dan memproduksi lembar sosialisasi KPS untuk Program Raskin di tingkat rumah tangga yang dalam pengirimannya disisipkan dalam amplop pengiriman KPS. Di tingkat daerah dikirimkan surat-surat resmi dari Tikor Raskin Pusat dan poster KPS untuk Program Raskin berukuran A3 (Gambar 46). Tahap akhir materi sosialisasi dilakukan oleh Sekretariat TNP2K yang melakukan koordinasi masukan tentang konten sosialisasi dari K/L terkait. Sekretariat TNP2K juga berkoordinasi dengan PT. Pos Indonesia dalam proses distribusi bahan sosialisasi tersebut. Sekretariat TNP2K juga mendukung penyusunan surat-surat resmi terkait langsung dengan penggunaan KPS untuk Program Raskin. Surat pertama yang dikeluarkan oleh Mendagri menghimbau Pemda untuk mengalokasikan biaya penyaluran Raskin dari TD ke TB.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
83
RASKIN
Gambar 46. Materi Sosialisasi Kartu Perlindungan Sosial dan Penggunaannya untuk Raskin
Sumber: TNP2K
Dalam rangka mendorong perbaikan penggunaan KPS untuk mengakses Program Raskin 2014, Sekretariat TNP2K dengan dukungan dari PRSF/DFAT melakukan penguatan sosialisasi pada Juni 2014 dengan pesan (i) Program Raskin 2014 tetap dilanjutkan dengan skema KPS, (ii) Raskin bukan program bagi rata, (iii) harga tebus Rp1.600 di TD, (iv) hak penerima adalah 15 kg/RT/bulan. Kegiatan ini dilakukan dengan (i) direct outreach ke 1.100 kantor desa/kelurahan di 106 kabupaten/kota dan 34 provinsi dengan melakukan pertemuan langsung dengan kepala desa/lurah atau Satker Raskin, mencatat nomor HP kepala desa/lurah atau Satker Raskin, memasang poster pada lokasi yang memadai dan mudah dijangkau masyarakat, menyampaikan surat pegantar sosialisasi dan kontak program Raskin, (ii) distribusi dan pemasangan 20.000 poster di kantor desa, posyandu, puskesmas, mesjid/gereja, dan lokasi strategis lainnya, (iii) kampanye Public Service Announcement (PSA) di 127 jaringan radio lokal yang menjangkau 114 kabupaten/ kota, media roadshow di enam kota utama, talkshow di tiga stasiun radio berjaringan nasional (RRI Pro 3 FM, RDI, dan KBR68H) masing-masing dua kali. f. Pemantauan dan Pengembangan Sistem Pemantauan Sekretariat TNP2K melakukan berbagai analisis data Susenas dan beberapa data sekunder lain serta melakukan dua kajian pelaksanaan Program Raskin, yaitu pada 2011 oleh SurveyMETER dan 2013 memantau pelaksanaan Program Raskin dengan KPS. Sekretariat TNP2K bersama Tikor Raskin Pusat juga menginisiasi pengembangan sistem pemantauan dengan membangun instrumen pemantauan dengan kuesioner standar dan menggunakan web-based system. Instrumen ini diujicobakan pada pemantauan di beberapa wilayah antara lain pemantauan di Ternate, Kota Pontianak, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Bengkulu Tengah dan lainnya.
84
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
g. Pengelolaan pengaduan Seiring dengan pelaksanaan program kompensasi kebijakan penyesuaian subsidi BBM disediakan instrumen pengaduan menggunakan portal web LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat!) Unit Kerja Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Pemerintah (UKP4). LAPOR! ini merupakan sarana pengaduan berbasis portal web terintegrasi yang dapat diakses oleh masyarakat dengan alamat www.lapor.ukp.go.id. Pengaduan melalui portal web LAPOR! UKP4 dilakukan dengan mendaftarkan diri. Masyarakat juga dapat melakukan pengiriman pesan secara langsung melalui SMS ke nomor 1708. Mekanisme pengaduan berbasis SMS ini akan secara langsung meneruskan keluhan dan pengaduan ke pelaksana. Sekretariat TNP2K telah ditunjuk sebagai coordinating agency untuk segala hal terkait KPS. Sebagai koordinator Sekretariat TNP2K mempunyai tugas mendistribusikan keluhan atau pertanyaan ke masing-masing K/L pengelola program termasuk Raskin yang kemudian menangani masalah atau keluhan dan memberikan laporan kepada koordinator KPS. Tugas lain koordinator adalah menyampaikan informasi kepada pengadu dan masyarakat. Khusus pengaduan terkait dengan kepesertaan program, penanganan pengaduan dilakukan dengan cara person in charge (PIC) program menyampaikan kepada posko kepesertaan (TNP2K) yang kemudian berkoordinasi dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) pada 2013 untuk melakukan pemeriksaan apakah mudes/ muskel telah dilaksanakan dan menyampaikan informasi mengenai perubahan kepesertaan kepada pelapor. Selama satu tahun pengelolaan LAPOR! Juni 2013– Juni 2014 telah diterima laporan masuk khusus Raskin di Sekretariat TNP2K sebagai administrasi LAPOR! sebanyak 3.429 laporan dimana sebanyak 2.193 laporan telah didisposisikan kepada Tikor Raskin Pusat. Dari laporan yang telah didisposisikan tersebut sebanyak 1.253 belum ada tindak lanjut, 32 dalam proses dan 908 dinilai selesai setelah tidak ada lagi sanggahan atau pertanyaan dari pengadu selama dua minggu.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
85
RASKIN
Selain mengelola LAPOR!, Sekretariat TNP2K juga membentuk Posko KPS yang bertugas menyediakan layanan informasi dan aduan baik melalui surat, telepon, SMS, maupun kunjungan masyarakat, baik kelompok atau individu berkaitan dengan KPS, BLSM, dan P4S termasuk Raskin. Saat ini Sekretariat TNP2K dengan dukungan DFAT akan membantu Tikor Raskin Pusat mengembangkan sistem pengelolaan pengaduan yang dikelola oleh Tikor Raskin Pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) dan uji coba sistem di tingkat kabupaten/kota. h. Pengembangan MIS Raskin Sekretariat TNP2K dengan dukungan dari DFAT membantu Tikor Raskin mengembangkan MIS yang akan memuat data RTS-PM dan pemutakhirannya, data operasional, pemantauan, dan pengaduan yang dilengkapi dashboard sebagai alat pemantauan untuk perbaikan kinerja program. Sistem ini selain akan dibangun di tingkat pusat juga akan diujicobakan ke tiga provinsi dan masing-masing provinsi dua kabupaten/kota. Dengan begitu diharapkan sistem di pusat dan daerah bisa terhubung.
86
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
RASKIN
TINDAK LANJUT KE DEPAN Kebijakan untuk memastikan agar rumah tangga miskin dan rentan tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan terutama beras sangatlah penting. Program Raskin ke depan semestinya tetap sebagai mekanisme perlindungan sosial yang bertujuan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sasaran dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras bersubsidi sehingga memberikan peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sasaran (RTS). Bila dilaksanakan dengan baik yaitu diberikan kepada sasaran yang tepat dan masingmasing rumah tangga sasaran menerima beras utuh sebanyak 15 kg per bulan dengan harga tebus Rp1.600 per kg maka Program Raskin menjadi andalan dalam mengurangi kemiskinan. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki ketepatan sasaran Raskin sebagai program perlindungan sosial, adalah penggunaan Basis Data Terpadu hasil pendataan PPLS 2011 untuk menentukan RTS-PM Raskin, yang ditandai dengan KPS. Penyaluran beras Raskin secara tepat, yaitu dengan menyalurkan beras Raskin kepada RTS pemegang KPS, atau Surat Keterangan Rumah Tangga Miskin (SKRTM) bagi rumah tangga pengganti, diyakini akan memperbaiki kinerja ketepatan sasaran. Oleh karena itu, penggunaan kartu menjadi kunci perbaikan program, baik sebagai penanda bahwa RTS tersebut menjadi sasaran program, juga untuk meningkatkan transparansi dan memudahkan kerja pelaksana distribusi beras Raskin di lapangan. Untuk keberlanjutan upaya perlindungan masyarakat miskin, dalam jangka pendek, Program Raskin sebaiknya diteruskan dengan perbaikan-perbaikan seperti disarankan di atas. Namun demikian karena kompleksitas permasalahan pada program Raskin, upaya perbaikan-perbaikan tersebut belum tentu meningkatkan kinerja dan efektifitas program Raskin. Karena itu, dalam jangka menengah-panjang, TNP2K menyarankan bantuan beras/pangan untuk diubah modus penyalurannya dari secara fisik (in-kind) menjadi menggunakan voucher atau electronic-cash untuk pangan beras dan pangan lainnya. Namun demikian perubahan ini bukan hal yang dapat dilakukan segera. Program pengganti perlu didisain dan direncanakan dengan cermat dan matang. Untuk itu, perlu dikembangkan road map yang menggambarkan tahapan phasing-out program Raskin sekaligus uji coba dan scaling-up program bantuan pangan pengganti Raskin.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
87
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Pengantar Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program bantuan tunai bersyarat bagi rumah tangga/keluarga sangat miskin di Indonesia. Sebagai sebuah bantuan tunai bersyarat, peserta PKH mendapatkan bantuan tunai apabila memenuhi kewajibannya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaan PKH bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Usaha pengurangan kemiskinan jangka pendek dilakukan melalui pemberian bantuan tunai yang dibayarkan empat kali dalam setahun. Pengurangan kemiskinan jangka panjang diharapkan terjadi melalui investasi di bidang kesehatan dan pendidikan anak yang pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di jangka panjang. PKH diluncurkan sebagai sebuah program bantuan sosial yang bersifat uji coba pada tahun 2007. Pelaksanaan uji coba ini dilakukan oleh UPPKH Pusat di bawah Direktorat Jenderal Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Pada awalnya, PKH dilaksanakan di tujuh provinsi, 48 kabupaten/kota dan melayani 387.928 peserta PKH. Dalam perkembangannya, pada tahun 2011, PKH menjadi sebuah program nasional. Implikasi dari perubahan status program ini adalah bertambahnya wilayah dan cakupan peserta PKH. Pada tabel 11 terlihat bahwa, pada tahun 2013, PKH dilaksanakan di 33 provinsi dan 333 kabupaten/ kota di Indonesia yang mencakup 2,4 juta peserta.
Tabel 11. Peserta dan Jumlah Lokasi PKH Menurut Tahun Kepesertaan 2007–2014
Sumber: UPPKH-Kemensos, 2014
Seiring dengan perubahan status menjadi program nasional, PKH menjadi salah satu program utama di Kementerian Sosial. Realisasi besaran bantuan yang disampaikan kepada penerima manfaat meningkat dari Rp508 miliar pada tahun 2007 mencapai Rp2,94 triliun. Pada tahun 2014, anggaran yang disiapkan untuk PKH mencapai Rp5,1 triliun. Peningkatan ini dibutuhkan untuk mengakomodasi peningkatan jumlah bantuan kepada peserta dan penambahan sasaran menjadi 3,2 juta keluarga melalui kebijakan perluasan wilayah baik ekspansi maupun saturasi.
90
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
TANTANGAN PELAKSANAAN PKH Saat TNP2K terbentuk di tahun 2010 dengan salah satu mandat utama adalah untuk memperbaiki desain dan mekanisme program berbasis rumah tangga, PKH merupakan salah satu program yang jadi fokus utama untuk ditingkatkan kinerja dan efektivitasnya. Bersama-sama dengan UPPKH dan Bappenas, TNP2K melakukan kajian-kajian untuk mengidentifikasi aspek-aspek desain dan pelaksanaan program yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
EFEKTIVITAS DAN CAPAIAN PKH Evaluasi terhadap pelaksanaan PKH dilakukan dengan menggunakan penelitian kuantitatif pada kelompok yang menerima PKH maupun yang tidak menerima PKH. Dengan menggunakan hasil evaluasi jangka pendek ini, Bappenas (2009) dan World Bank (2011) menunjukkan bahwa PKH berhasil meningkatkan konsumsi dalam jangka pendek dan meningkatkan pemanfaatan fasilitas kesehatan. Dampak positif pada bidang kesehatan ditunjukkan dengan perbaikan tumbuh kembang anak di antara peserta PKH dan peningkatan pemanfaatan pelayanan antenatal dan postnatal ibu-ibu dari peserta PKH (kunjungan ke posyandu naik tiga persen, pemantauan pertumbuhan anak naik lima persen, dan kegiatan imunisasi naik 0,3 persen)13. Pengaruh positif PKH di kesehatan dasar ini sayangnya belum diikuti dengan pengaruh positif dan kuat di bidang pendidikan. World Bank (2011) menemukan bahwa pengaruh PKH di bidang pendidikan cenderung terbatas. PKH hanya mampu memperpanjang waktu anak yang sudah masuk ke dalam sistem pendidikan secara marginal. Sayangnya, studi belum menemukan bukti bahwa PKH memiliki dampak yang signifikan pada indikator-indikator utama pendidikan seperti partisipasi (murni dan kasar) pendidikan menengah, tingkat drop out, tingkat kehadiran dan prevalensi anak bekerja. Hasil awal evaluasi dampak jangka panjang yang dilakukan oleh TNP2K pada tahun 2013/2014—sebagai kelanjutan evaluasi dampak sebelumnya yang dilakukan oleh Bank Dunia—menunjukkan keberadaan dampak signifikan kepesertaan PKH pada beberapa indikator jangka panjang pendidikan dan kesehatan. Hasil ini ditandai dengan peningkatan tingkat partisipasi murni sekolah menengah pertama sebesar 2,6 persen setelah enam tahun kepesertaan PKH. Durasi kepesertaan enam tahun ini juga berhasil menurunkan angka putus sekolah sebesar 0,7 persen dan prevalensi tingkat tenaga kerja anak sebesar 1,3 persen. Kepesertaan PKH selama enam tahun juga berdampak positif di bidang kesehatan. 13 Data untuk melakukan evaluaisi jangka panjang sudah tersedia. Hasil dari evaluasi jangka panjang ini belum dilakukan sehingga tidak bisa dilaporkan dalam dokumen ini.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
91
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Hasil evaluasi dampak 2013 menunjukkan bahwa kepesertaan PKH selama enam tahun berhasil meningkatkan tingkat kelahiran dibantu bidan bersertifikat sebesar 6,4 persen dan kelahiran di fasilitas kesehatan sebesar 6,8 persen. Seiring dengan dampak positif ini, keberadaan PKH juga berdampak positif terhadap tingkat imunisasi lengkap sesuai jadwal umur (terjadi peningkatan sebesar 3,5 persen). Meskipun terjadi dampak positif di ketiga indikator di atas, kepesertaan PKH malah menurunkan preferensi untuk melakukankunjungan postnatal ke fasilitas kesehatan masih rendah. Hasil ini ditunjukkan dengan penurunan kunjungan postnatal ke fasilitas kesehatan sebesar 0,23 kali.
PELAKSANAAN VERIFIKASI PKH Keberhasilan pelaksanaan PKH sebagai bantuan tunai bersyarat tergantung kepada kegiatan verifikasi untuk memantau kepatuhan rumah tangga dalam memenuhi kewajiban. Bentuk kewajiban setiap rumah tangga ditentukan oleh karakteristik dari setiap peserta PKH. Untuk peserta yang memiliki bayi yang baru lahir dan balita harus melakukan minimal dua kali kunjungan postnatal, mendapatkan satu set lengkap imunisasi, vitamin A dua kali dalam setahun dan rutin melakukan pemeriksaan berat badan; ibu hamil harus melakukan empat kali kunjungan perawatan prenatal, meminum tablet zat besi selama kehamilan dan melahirkan bayi mereka dengan bantuan dari bidan atau tenaga kesehatan terlatih. Sementara anak usia sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah harus mendaftarkan diri di sekolah dan memiliki setidaknya tingkat kehadiran minimal 85 persen. Penyaluran bantuan PKH dilakukan dalam empat tahap setiap tahunnya. Verifikasi dilakukan untuk memastikan jumlah bantuan yang akan disalurkan sesuai dengan terpenuhinya kewajiban. Dari hasil analisis terhadap data penyaluran, mayoritas penyaluran PKH diberikan kepada Anggota Rumah Tangga (ART) usia sekolah dasar. Gambar 47. Jumlah ART Penerima Manfaat PKH 2013 3.500
Jumlah ART (ribuan)
3.000 2.500 2.000
25.038
1.500 1.000
922.632
942.069
500 0 Tahap 1 (2012) BUMIL/NIFAS
Tahap 2 (2012) BALITA
Sumber: UPPKH-Kemensos, diolah oleh TNP2K, 2013
92
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Tahap 3 (2012) ANAK SETARA SD
Tahap 4 (2012) ANAK SETARA SMP
Tahap 1 (2013)
Tahap 2 (2013)
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Meskipun peran verifikasi sangat penting dalam kegiatan PKH, analisis TNP2K menunjukkan bahwa verifikasi lengkap masih dilakukan secara parsial. Pada pembayaran tahap dua tahun 2013, TNP2K menemukan bahwa verifikasi hanya dilakukan kepada ratarata 60 persen dari peserta PKH. Meskipun persentase verifikasi ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan verifikasi pada tahap pertama tahun 2013, analisis ini menunjukkan bahwa masih terdapat 40 persen peserta yang tidak mengalami verifikasi yang lengkap. Lebih lanjut, di antara empat jenis syarat kepesertaan PKH, verifikasi yang paling rendah terjadi untuk peserta ibu hamil dan nifas. Pada tahap dua, tahun 2013, verifikasi untuk kelompok ini hanya terjadi untuk 55,2 persen dari peserta ibu hamil dan ibu nifas.
Gambar 48. Persentase Jumlah ART yang Berhasil Diverifikasi 3 Bulan Berturut-Turut
Sumber: UPPKH-Kemensos, diolah oleh TNP2K, 2013 Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
93
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
KECUKUPAN NILAI BANTUAN PKH Bantuan tunai PKH berfungsi sebagai insentif bagi peserta PKH untuk menjalankan kewajibannya dalam program PKH. Sejak dimulainya program ini, manfaat yang diterima oleh peserta PKH dibagi menjadi dua komponen manfaat, yaitu bantuan tetap dan bantuan berdasarkan kriteria yang besarannya dihitung berdasarkan kriteria manfaat yang ada di masing-masing peserta PKH. Pada Tabel 12 terlihat bahwa bantuan maksimum yang bisa diterima oleh satu peserta PKH adalah Rp2.200.00014 sedangkan bantuan minimum yang dapat diperoleh oleh peserta PKH adalah Rp600.000. Tabel 12: Besaran Bantuan PKH 2007–2013 Komponen Bantuan Bantuan Tetap Bantuan bagi RTSM dgn: Anak Usia Balita/ Ibu Hamil/Menyusui Anak Usia SD/MI Anak Usia SMP/MTs Rata-rata bantuan/RTSM Bantuan maksimum/RTSM
Besar Bantuan 200.000 600.000 400.000 800.000 1.390.000 2.200.000
Sumber: Bappenas, TNP2K, 2013
Dari awal penerapan PKH tahun 2007 hingga 2013, bantuan PKH tidak mengalami perubahan secara nominal. Besaran bantuan ini tidak pernah disesuaikan dengan perubahan tingkat harga maupun perubahan harga yang menyusun garis kemiskinan. Tidak meningkatnya nilai bantuan PKH selama lima tahun menyebabkan besaran bantuan PKH menurun secara riil. Penurunan kemampuan riil ini berpotensi mengurangi insentif rumah tangga dalam menjalankan persyaratan PKH.
DURASI KEPESERTAAN PKH Meski Program Keluarga Harapan termasuk program jangka panjang, namun kepesertaan PKH tidak akan bersifat permanen. Bila rumah tangga penerima sudah tidak memenuhi persyaratan program, maka rumah tangga tersebut keluar dari program secara alamiah atau disebut juga graduasi secara alamiah (natural exit). Natural exit terjadi ketika rumah tangga/keluarga tersebut tidak lagi sesuai dengan kriteria PKH, yaitu terdapat: wanita hamil, anak balita atau anak berumur di bawah 18 tahun yang masih bersekolah di bangku pendidikan dasar (SD dan SMP). Desain awal PKH menetapkan durasi kepesertaan penerima maksimal enam tahun. Pada 14 Keberadaan bantuan maksimum ini tidak berarti bahwa kewajiban untuk menjalankan persyaratan PKH hanya dilakukan oleh anggota rumah tangga yang menerima PKH. Kewajiban untuk menjalankan persyaratan PKH akan ditanggung secara renteng oleh semua anggota rumah tangga yang memenuhi persyaratan PKH. Pelanggaran terhadap kewajiban PKH oleh satu anak (meskipun tidak dibayar oleh PKH karena batas maksimum bantuan PKH) tetap akan diberikan penalti sesuai dengan peraturan PKH. Rumah Tangga yang memiliki 1 satu anak balita, tiga anak SD dan satu anak SMP seharusnya menerima Rp2.800.000 per tahun. Tetapi karena besar bantuan maksimum, rumah tangga ini hanya akan menerima Rp2.2000.000. Pelanggaran terhadap persyaratan PKH yang dilakukan oleh salah satu anggota rumah akan ditannggung renteng oleh semua anak di rumah tangga itu.
94
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
tahun ketiga kepesertaan, akan dilakukan kegiatan resertifikasi untuk melihat kelayakan peserta PKH untuk tetap menerima PKH pada tahun keempat. Meskipun sudah direncanakan sejak tahap perencanaan tahun 2007, pelaksanaan resertifikasi untuk kohor tahun 2007 yang seharusnya dilakukan pada tahun 2010 tidak pernah dilakukan.
KOMPLEMENTARITAS PKH Integrasi program-program bantuan sosial akan memberikan dampak multiplier yang besar terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Meskipun integrasi ini sangat penting, studi TNP2K menunjukkan bahwa komplementaritas antara PKH dan bantuan sosial lainnya masih terbatas. Pada Gambar 49. Komplementaritas PKH dengan Program Bantuan Sosial Lain (%), terlihat bahwa komplementaritas yang tinggi terjadi di Raskin dan Jamkesmas. Sedangkan komplementaritas antara PKH dan BSM masih rendah. Hasil resertifikasi PKH Kohor 2007 dan 2008 menunjukkan, lebih dari 90 persen peserta PKH yang graduasi masih memperoleh program Raskin, namun perlu dipastikan jumlah yang diterima, harga yang dibayarkan dan waktu penerimaan. Diperlukan kepastian rumah tangga yang graduasi tersebut masih dapat memperoleh program Raskin. Gambar 49. Komplementaritas PKH dengan Program Bansos Lain (%)
Sumber: Hasil Resertifikasi PKH Kohor 2007 dan 2008, TNP2K, 2014
KEBIJAKAN PERBAIKAN PROGRAM a. Pengembangan PKH Sebagai Program Nasional Pada tanggal 20 Juli 2011, melalui rapat pleno TNP2K yang dipimpin Wakil Presiden RI, PKH disetujui untuk menjadi program nasional yang dilaksanakan oleh enam kementerian. Sebagai suatu program nasional, PKH mulai mencakup 33 provinsi pada 2013, dan secara bertahap cakupannya terus meningkat. Diharapkan pada tahun 2014, PKH mencakup 333 kabupaten/kota di Indonesia. Seiring dengan peningkatan status ini, sasaran jumlah peserta PKH meningkat menjadi 3,2 juta peserta pada tahun 201415. 15 Karena keterbatasan anggaran, target peserta ini direvisi pada tahun 2014. Target pada tahun 2014 adalah 2,9 juta peserta PKH
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
95
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
PENYUSUNAN BUKU KERJA PKH Perubahan status ini membutuhkan kesamaan pemahaman dan koordinasi yang lebih intensif dari ke semua pemangku kepentingan PKH seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Kesamaan pemahaman dan koordinasi ini dibutuhkan demi kelancaran pelaksanaan dan sinergitas PKH dengan bantuan sosial berbasis rumah tangga lainnya. Pada tahun 2011, TNP2K melakukan inisiasi penyusunan Buku Kerja Pedoman Pelaksanaan Program Keluarga Harapan. Buku kerja ini merangkum semua informasi terkait pelaksanaan PKH dan sinergi pelaksanaan PKH dengan program perlindungan sosial terkait lainnya. Untuk menjamin kemudahan pemahaman, penulisan buku kerja diselaraskan dengan kerangka berpikir mulai dari hal yang bersifat umum dan kebijakan hingga hal-hal bersifat teknis dan spesifik seperti formulir-formulir yang digunakan. Buku ini diharapkan menjadi manual atas pelaksanaan PKH yang berguna bagi semua pemangku kepentingan dari semua level pemerintahan. Gambar 50. Buku Kerja Pelaksanaan Program Keluarga Harapan
Sumber: TNP2K
PERBAIKAN DAN ANALISIS PERLUASAN PKH Pada rapat pleno TNP2K juga diputuskan pergeseran target peserta PKH dari rumah tangga menjadi keluarga. Satu rumah tangga bisa memperoleh lebih dari satu nomor PKH jika dalam rumah tangga tersebut terdapat lebih dari satu keluarga yang memenuhi persyaratan PKH. Perubahan ini untuk mengakomodasi prinsip bahwa keluarga (yaitu orang tua–ayah, ibu–dan anak) adalah satu orang tua memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan masa depan anak. Karena itu keluarga adalah unit yang sangat relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
96
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
upaya memutus rantai kemiskinan antar generasi. Beberapa keluarga dapat berkumpul dalam satu rumah tangga yang mencerminkan satu kesatuan pengeluaran konsumsi (yang dioperasionalkan dalam bentuk satu dapur). Rapat ini juga menghasilkan kebijakan terkait metodologi perluasan wilayah PKH. Perbaikan terkait dengan wilayah sasaran perluasan PKH dilakukan dengan memanfaatkan informasi mengenai mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan, jumlah rumah tangga yang memenuhi syarat kepesertaan PKH. Bekerjasama dengan Bappenas, TNP2K memberikan saran mengenai strategi perluasan PKH. Dalam memberikan arahan kebijakan ini, TNP2K dan Bappenas menggunakan informasi yang terdapat di Podes (Survei Potensi Desa), PPLS dan SIM PKH.
PENINGKATAN NILAI BANTUAN PKH Pada tahun 2013, Pemerintah RI menetapkan kenaikan bantuan PKH. Peningkatan bantuan PKH ini merupakan bagian dari paket kompensasi kenaikan BBM pada tahun 2013. Dengan membandingkan Tabel 12 dan Tabel 13, terlihat bahwa peningkatan ini terjadi di bantuan tetap dan bantuan per komponen PKH. Untuk mengkompensasi kenaikan ini, jumlah maksimum bantuan per peserta PKH juga meningkat menjadi Rp2.800.000. Implikasi logis dari peningkatan ini adalah rerata bantuan yang diterima oleh satu peserta meningkat dari Rp1.400.000 per tahun menjadi Rp1.800.000. Tabel 13. Bantuan PKH Mulai Tahun 2013 Komponen Bantuan Bantuan Tetap Bantuan bagi RTSM dgn: Anak Usia Balita/ Ibu Hamil/Menyusui Anak Usia SD/MI Anak Usia SMP/MTs Rata-rata bantuan/RTSM Bantuan minimum/RTSM Bantuan maksimum/RTSM
Kenaikan Tahun 2013 300.000 1.000.000 500.000 1.000.000 1.800.000 1.300.000 2.800.000
Sumber: UPPKH & TNP2K
DURASI KEPESERTAAN PKH: STRATEGI TRANSFORMASI PKH Adanya ketentuan bahwa peserta tidak selamanya menerima bantuan tunai menjadi alasan perlunya mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Pertama, adalah mempertahankan perilaku positif terkait dengan kondisi PKH, yakni dalam mengakses dan memanfaatkan layanan pendidikan dan kesehatan tetap berlanjut meskipun mereka sudah tidak menjadi peserta. Kedua, menghindari retrieval syndrome, yaitu efekefek negatif yang dapat timbul akibat putusnya bantuan saat mereka tidak lagi menjadi peserta PKH. Ketiga, memfasilitasi dan memastikan bahwa peserta khususnya yang Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
97
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
masih miskin menerima atau menjadi peserta program-program lain yang diperlukannya sehingga upaya peningkatan kesejahteraan dapat terus berlanjut. Strategi untuk dapat memastikan kesinambungan perilaku, menghindari shock, dan memfasilitasi programprogram lanjutan bagi mantan peserta ini membutuhkan kebijakan atau pengaturan terkait transisi dan graduasi peserta PKH. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan aturan transisi dan graduasi membutuhkan informasi terbaru mengenai kondisi sosial dan ekonomi dari peserta PKH. Informasi tersebut akan digali secara khusus dari kegiatan resertifikasi. Meskipun Pedoman Umum Program Keluarga Harapan tahun 2007 menyebutkan bahwa resertifikasi peserta PKH dilakukan pada tahun ketiga kepesertaan, dalam perjalanannya resertifikasi ini tidak dapat dipenuhi. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan kemampuan pelaksanaan dan efisiensi, resertifikasi selanjutnya ditetapkan dilakukan pada tahun kelima kepesertaan PKH. Resertifikasi atau pendataan ulang merujuk pada konsep penilaian kriteria kepesertaan dan status sosial ekonomi peserta PKH. Konsep ini tertulis dalam Pedoman Umum PKH 2007 saat program diluncurkan. Pada konteks pemanfaatan resertifikasi sebagai input penyusunan ketentuan graduasi, maka pengertian resertifikasi dapat diperluas menjadi “sebuah upaya yang dilakukan tidak hanya untuk mendeteksi kondisi sosial ekonomi peserta PKH, tetapi juga untuk menggali informasi tentang keikutsertaan peserta PKH dalam program-program kemiskinan dan/atau bantuan sosial lainnya, serta menjajaki keinginan dan keberlanjutan peserta PKH ke dalam program-program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial lainnya.” Gambar 51. Resertifikasi dan Implikasinya Terhadap Status Kepesertaan PKH
RESERTIFIKASI
Sumber: Bappenas, Kemensos, TNP2K, 2013
Pada tahun 2013, dilaksanakan resertifikasi PKH untuk pertama kalinya, kegiatan pencacahan dilakukan pada peserta PKH Kohor 2007 dan 2008. Pencacahan dilakukan
98
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
pada 626.386 RT PKH di 13 provinsi, 72 kabupaten dan 631 kecamatan. Pendamping menjadi motor utama dalam pelaksanaannya, sekitar 2.730 pendamping menjadi enumerator pengumpul data di lapangan. Gambar 52. Berkas Kuesioner Resertifikasi Untuk Kohor 2007 dan 2008
Sumber: TNP2K
Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan resertifikasi PKH tersebut juga dikembangkan Sistem Pengaduan Berbasis Masyarakat atas Hasil Resertifikasi. Rumah tangga dapat melakukan pengaduan hasil resertifikasi PKH sesuai dengan mekanisme yang sudah diatur, dan pengaduan tersebut dibahas dan disetujui dalam forum tokoh lingkungan setempat yang sesuai dengan mekanisme pengaduan hasil resertifikasi PKH. Kegiatan pengaduan pasca resertifikasi ini, memperlihatkan adanya keterlibatan aktif dari para tokoh di lingkungan setempat peserta PKH dalam program. Gambar 53. Mekanisme Pengaduan Resertifikasi PKH
Sumber: Bappenas, Kemensos, TNP2K, 2014 Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
99
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Paska resertifikasi, peserta PKH akan memasuki periode transformasi. Dalam periode ini, rumah tangga yang masih dianggap sangat miskin dan memenuhi syarat kepesertaan PKH akan memasuki fase transisi selama tiga tahun. Dalam masa transisi ini, peserta PKH akan tetap menerima bantuan PKH dan dipastikan menjadi sasaran untuk program perlindungan sosial lainnya, juga diwajibkan untuk memperoleh penguatan kapasitas dalam kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2), yang di dalam kegiatan tersebut, peserta PKH akan memperoleh pengetahuan dari empat modul yang disepakati, yaitu: modul ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Sebaliknya, peserta PKH yang sudah tidak dianggap miskin atau tidak memenuhi syarat kepesertaan PKH akan memasuki fase graduasi. Dalam fase ini, peserta tidak lagi menerima bantuan PKH. Rumah tangga ini masih berhak menerima program bantuan sosial lainnya, sebagai bagian program graduasi untuk mencegah rumah tangga/ keluarga tersebut tidak menjadi miskin lagi. Program graduasi yang diberikan disesuaikan dengan karakteristik rumah tangga hasil resertifikasi. Hal ini berarti, maksimum durasi kepesertaan PKH menjadi sembilan tahun. Gambar 54. Pertemuan Pembagian Hasil Resertifikasi dan Pengaduan Atas Hasil Resertifikasi
Sumber: TNP2K
Untuk memastikan kesamaan pengertian dan pemahaman mengenai kebijakan transformasi PKH dan mekanisme pelaksanaan pembagian hasil dan pengaduan atas hasil resertifikasi, TNP2K terlibat dalam penyusunan buku pedoman umum transformasi dan beberapa buku petunjuk teknis terkait pengaduan resertifikasi bersama Bappenas dan UPPKH. Buku-buku ini dibagikan kepada semua pemangku kepentingan PKH baik di pusat maupun di kecamatan.
100
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Gambar 55. Pedoman Umum Transformasi PKH
Sumber: TNP2K
MENDORONG SERTA MEMASTIKAN KOMPLEMENTARITAS PKH DAN BSM Siswa dari rumah tangga peserta PKH seharusnya mendapatkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Hal ini juga telah dicantumkan di dalam Pedoman Umum BSM Kemendikbud dan Kemenag. Selain itu sudah ada Surat Edaran dari Dirjen Pendidikan Islam No: Dj.1/PP.04/51.2014, Kementerian Agama mengenai prioritas anak peserta PKH untuk memperoleh BSM dari Kemenag.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
101
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
MENGEMBANGKAN SISTEM MONITORING MELALUI PENGUATAN DAN PENYEMPURNAAN SIM-PKH SEBAGAI SISTEM MONITORING PROGRAM SIM-PKH merupakan instrumen utama dalam pengendalian pelaksanaan program perlu ditingkatkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Untuk menunjang pemanfaatan SIM sebagai alat pemantauan pelaksanaan PKH, TNP2K dan UPPKH telah bekerjasama dalam mengembangkan sebuah dashboard Sistem Monitoring dan Analisis Reguler Triwulanan –Program Keluarga Harapan (SMART-PKH). Sistem ini menyajikan visualisasi data dari pelaksanaan PKH yang diolah dengan metodologi statistik. Gambar 56. Tampilan Aplikasi Dashboard SMART-PKH
Sumber: Kemensos, TNP2K, 2013
Dashboard SMART-PKH menyajikan statistik dan analisis yang dapat dikelompokkan berdasarkan: a. Level wilayah (nasional, provinsi, atau kabupaten kota) b. Satuan waktu (per tahun, per tahap pembayaran atau urutan waktu antar-tahap pembayaran) c. Urutan proses (verifikasi, pemenuhan kewajiban, dan pembayaran serta pengurangan dana)
102
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Selain itu, untuk setiap kategori layanan RTSM/KSM atau kategori individu statistik digambarkan dalam beberapa jenis tampilan deskriptif. Gambar 57. Contoh Hasil Analisis Rata-Rata Penyaluran Dana RTSM/KSM (Penyaluran Tahap 2 - 2013) - Tingkat Provinsi
Sumber: Kemensos, TNP2K, 2014
Saat ini, sistem monitoring ini telah memuat analisis sampai dengan penyaluran tahap ke-2 tahun 2013 dan masih terus dalam tahapan pengembangan, diperlukan kepastian mengenai sistem pengelolaan di UPPKH serta proses knowledge transfer melalui peningkatan kapasitas SDM di UPPKH dalam melakukan pengolahan dan penguasaan terhadap teknis dan metodologi analisis yang digunakan. Selain itu, TNP2K juga membantu memperbaiki proses pemutakhiran dan pengelolaan data SIM-PKH sehingga dapat mengintegrasikan sistem data yang diperlukan oleh program lainnya. Hal ini dilakukan guna memastikan kemudahan program perlindungan Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
103
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
sosial lainnya untuk memperoleh basis data awal yang dapat membantu terjadinya komplementaritas program terhadap peserta PKH. Beberapa indikator kunci program lainnya (seperti: kode NPSN untuk program BSM, anak usia sekolah yang bekerja untuk program PPA-PKH) harus dapat diintegrasikan ke dalam sistem. MENGEMBANGKAN UJI COBA PENERAPAN KEUANGAN INKLUSIF PADA PKH Usaha pertama yang pernah dilakukan untuk meningkatkan akses perbankan kepada peserta PKH adalah dengan melalui pilot kerjasama penyaluran bantuan PKH melalui rekening BRI TabunganKu pada tahun 2012. Pelaksanaan kegiatan melalui bank ini dilakukan di 15 kabupaten/kota untuk 100.827 penerima PKH. Pelaksanaan kerjasama ini terbentur dengan regulasi perbankan dari Bank Indonesia seperti ketentuan penggunaan KTP, waktu operasional dari bank, prosedur penarikan uang melalui teller dan kewajiban untuk menyisakan saldo sebesar Rp20.000. Belajar dari kegagalan uji coba dengan menggunakan BRI, TNP2K, Bappenas dan UPPKH berencana melakukan uji coba pembayaran bantuan PKH dengan menggunakan uang elektronik. Uji coba juga akan membantu peningkatan pemahaman di bidang keuangan dan budaya menabung serta menyediakan saluran penyaluran yang cocok yang diutamakan adalah saluran yang telah tersedia namun belum dimanfaatkan, seperti UPLK (Unit Perantara Layanan Keuangan) atau agen penyaluran. Uji coba akan dilakukan pada 3.000 rumah tangga PKH Kohor 2007 yang transisi dan akan dilakukan bersama tiga bank swasta dan pemerintah. Namun jumlah ini akan sangat ditentukan dengan pertimbangan kemampuan teknologi yang dimiliki serta ketersediaan sinyal di wilayah yang ditentukan. MERANCANG STRUKTUR ORGANISASI DALAM RANGKA MENINGKATKAN CAKUPAN MENJADI 3,2 JUTA PESERTA Peningkatan sasaran PKH menjadi 3,2 peserta pada tahun 2014 membutuhkan struktur organisasi baru yang diisi dengan petugas profesional. Pada rapat pleno pada tahun 2011, atas masukan Prof. Tarsicio Castenada, tenaga ahli internasional yang berpengalaman memberi masukan pada bantuan tunai bersyarat di beberapa negara menyarankan sebuah struktur organisasi yang mencerminkan fungsi-fungsi yang melekat pada PKH sebagai sebuah program bantuan tunai bersyarat. Struktur organisasi tersebut terus dibahas dan disempurnakan, termasuk terakhir adalah usulan dari GIZ. Meskipun demikian, karena keterbatasan sumber daya di Kemensos, struktur organisasi tersebut belum diterapkan.
104
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
MENDORONG PENINGKATAN KOORDINASI DALAM PELAKSANAAN PKH Pelaksanaan PKH sebagai sebuah program bantuan tunai bersyarat membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan kementerian terkait. Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama dibutuhkan untuk memastikan bahwa pihak sekolah melakukan verifikasi atas kehadiran siswa dari peserta PKH. TINDAK LANJUT KE DEPAN Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu program nasional bantuan sosial berbasis rumah tangga. Meskipun hasil evaluasi menunjukkan bahwa PKH cukup berhasil mencapai beberapa tujuan dalam tiga tahun, PKH masih membutuhkan sebuah desain baru PKH untuk meningkatkan efektivitas dalam mencapai tujuan jangka panjang memotong kemiskinan antar waktu. Perubahan ini bisa dilakukan dengan merubah atau menambah kondisionalitas maupun penambahan cakupan bantuan PKH. Desain baru ini juga mekanisme untuk meningkatkan komplementaritas PKH dengan bantuan sosial lain maupun dengan program lain (seperti bantuan peningkatan kapasitas anggota rumah tangga PKH dan penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)) baik yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah. Langkah awal dari perbaikan desain ini adalah peningkatan koordinasi antara UPPKH dengan kementerian lain dan pemerintah daerah. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam perbaikan desain PKH adalah ketersediaan akses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan. Desain PKH saat ini membutuhkan
Menjangkau MenjangkauMasyarakat MasyarakatMiskin Miskindan DanRentan Rentan,Serta SertaMengurangi MengurangiKesenjangan: Kemiskinan: MEMPERBAIKI MEMPERBAIKIKETEPATAN KETEPATANSASARAN, SASARAN,DESAIN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
105
PROGRAM KELUARGA HARAPAN
ketersediaan akses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, informasi dari Data Potensi Desa (Podes) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa sebagian wilayah kantong-kantong kemiskinan di Indonesia memiliki keterbatasan akses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan. Keterbatasan akses ini menyebabkan wilayah ini tidak bisa dijadikan sasaran pengembangan wilayah baru PKH. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah desain khusus untuk daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses fasilitas kesehatan dan pendidikan. Tindak lanjut lain adalah perbaikan metodologi verifikasi. Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, verifikasi bidang kesehatan masih lemah sehingga membutuhkan peningkatan metodologi. Saat ini TNP2K dan PRSF akan melakukan uji coba mengenai alternatif metodologi verifikasi di bidang kesehatan. Uji coba ini melibatkan kerjasama petugas kesehatan di kecamatan dan teknologi pesan singkat. Hasil dari studi ini baru akan diperoleh pada tahun 2015–2016. Di samping hal di atas, PKH juga membutuhkan pengembangan sumber daya yang kuat untuk menunjang pengembangan PKH ke depan. Salah satu perbaikan yang dibutuhkan adalah terkait dengan struktur organisasi PKH. Struktur organisasi PKH harus lebih efisien, disusun berdasarkan fungsi dalam pelaksanaan PKH dan dikelola oleh manajer yang profesional. Perbaikan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia baik di pusat maupun di daerah. Peningkatan ini bisa dilakukan dengan evaluasi atas kinerja selama ini dan, jika dibutuhkan, pelatihan ulang untuk meningkatkan kompetensi dari setiap sumber daya manusia PKH.
106
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pengantar Sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, prioritas jangka pendekmenengah yang dilaksanakan oleh TNP2K antara lain adalah mendorong upaya penyempurnaan/pemantapan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dan mengintegrasikan program pemberdayaan masyarakat ke dalam PNPM Mandiri. Dalam rangka kesinambungan dan penajaman prioritas pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, Presiden memberikan instruksi kepada kementerian dan lembaga (K/L) termasuk gubernur dan bupati/walikota, untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dengan tiga fokus utama pada program penanggulangan kemiskinan, yaitu yang berbasiskan keluarga, berbasis pemberdayaan masyarakat, dan berbasis kepada pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Khusus untuk kelompok kerja kebijakan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bersama K/L dan pemangku kepentingan lainnya, fokus prioritas penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan upaya: Gambar 58. Ragam Program Pemberdayaan Masyarakat PUSAT PNPM INTI 1. PERDESAAN 2.PERKOTAAN 3. PISEW 4. RIS-PNPM 5. P2DTK PNPM PENGUATAN 1. PUAP 2. KELAUTAN DAN PERIKANAN 3. PARIWISATA 4. GENERASI SEHAT DAN CERDAS 5. LINGKUNGAN/GREEN 6. PEDULI 7. PLPBK
DAERAH Replikasi PNPM (contoh) 1. ANGGUR MERAH, Provinsi NTT 2.P2KB (Perecepatan Pembangunan Kelurahan bermartabat), Kota Bandung 3. PDPM (Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat), Kabupaten Serang 4. GERBANG DAYAKU, Provinsi KALTIM 5. RESPEK, Provinsi Papua dan Papua Barat 6. BKPG (Bantuan Keuangan Pemakmuran Gampong, Provinsi NAD 7. PELANGI DESA (Ngada)
Sumber: TNP2K
a. Menyusun rencana integrasi program pemberdayaan masyarakat lainnya ke dalam PNPM Mandiri, dengan hasil/produk berupa Konsep Rencana Integrasi PNPM Inti dan PNPM Penguatan. Seperti dapat dilihat pada Gambar 58, ada banyak program pemberdayaan masyarakat yang dikelola oleh berbagai pihak.
108
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
b. Pemantapan pelaksanaan PNPM Inti dan peningkatan integrasi PNPM Penguatan, yang langsung dilaksanakan oleh K/L pengelola PNPM Mandiri. c. Peningkatan kualitas dan data rumah tangga sasaran. Sementara itu, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Inpres Nomor 3 Tahun 2010, sejumlah rencana tindakan/aksi, juga dilakukan oleh TNP2K bersama K/L dan pemangku kepentingan lainnya, yang terdiri atas: a. Peningkatan kontribusi pemerintah daerah terhadap PNPM-Mandiri, yaitu dengan menyempurnakan mekanisme penetapan DDUB berdasarkan PMK No.168/ PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan. b. Penyusunan mekanisme penyatuan perencanaan berbasis masyarakat ke dalam forum yang bersifat partisipatif di tingkat desa/kelurahan. c. Penyusunan mekanisme pendampingan agar masyarakat desa/kelurahan mampu menyiapkan program jangka menengah desa/kelurahan yang lebih komprehensif. d. Penyusunan mekanisme agar Rencana/Program Jangka Menengah Desa/Kelurahan yang disusun melalui proses partisipatif dapat disatukan (diintegrasikan) dengan program jangka menengah desa/kelurahan yang reguler sehingga menghasilkan program pembangunan berbasis masyarakat. e. Penyusunan mekanisme agar aparat desa/kelurahan dapat mengakomodasi dan memproses PJM desa/kelurahan sebagai bahan musrenbang di tingkat yang lebih tinggi. f. Penyusunan mekanisme pengendalian pelaksanaan program pembangunan berbasis masyarakat melalui instrumen PNPM-Mandiri.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
109
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Gambar 59. Capaian Pelaksanaan PNPM Mandiri 2007–2013
Bangkit bersama untuk Mandiri
Sumber data : Data MIS setiap program PNPM (Perdesaan, Perkotaan, RIS dan PISEW) status Oktober 2013
Seperti telah diketahui bersama bahwa program yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat telah berjalan hampir selama dua dasawarsa di Indonesia, dimulai sejak adanya Inpres Desa Tertinggal (IDT, 1994) hingga bentuknya saat ini yang diberi nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM- Mandiri). PNPM-Mandiri yang dicanangkan oleh Presiden RI di Kota Palu pada 30 April 2007, telah berhasil membawa seluruh pelaksanaan kegiatan program K/L yang melibatkan masyarakat berada di bawah payung PNPM-Mandiri. Paling tidak, terdapat sekitar 17 program berbasis pemberdayaan masyarakat yang tersebar di K/L yang dikonsolidasikan ke dalam PNPM-Mandiri, yang dikelompokkan menjadi PNPM Inti dan PNPM Penguatan/Pendukung (Gambar 58).
Permasalahan yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan PNPM-Mandiri Pelaksanaan percepatan penanggulangan kemiskinan, prioritas jangka pendekmenengah yang dilaksanakan PNPM-Mandiri, kemudian semakin berkembang cepat menjadi program yang ditawarkan oleh berbagai K/Lembaga. Banyak program pemberdayaan masyarakat yang berjalan secara langsung di bawah kementerian dan lembaga. Program-program ini telah menyalurkan uang dan berbagai sumber daya lain langsung kepada masyarakat. Banyak pihak yang merasakan manfaat dari berbagai program tersebut. Namun demikian, adanya variasi perkembangan dari berbagai macam program pemberdayaan ini, menimbulkan permasalahan baru dan dampak sampingan lainnya yang berupa: a. Proliferasi program memunculkan fragmentasi dalam pemberdayaan masyarakat.
110
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
b. Koordinasi yang lemah di antara PNPM-Inti dan PNPM-Penguatan memunculkan variasi dalam kualitas implementasi. c. Timbul missed opportunities (skala ekonomi kegiatan dan dampak kemiskinan). d. Kebingungan antar masyarakat dan pendamping dalam pendekatan pemberdayaan dan tujuan program. e. PNPM memiliki dampak terbatas kepada tata kelola pemerintahan daerah dan institusi lokal di desa, kecamatan, atau kabupaten.
Tantangan Pelaksanaan Program Pemberdayaan Di tengah maraknya kegiatan berciri PNPM-Mandiri, ternyata PNPM-Mandiri diakui sebagai pendekatan program berbasis pemberdayaan masyarakat yang memberikan dampak positif terhadap terbangunnya hubungan kemitraan yang efektif antara pemerintah dengan masyarakat. Selama ini, PNPM telah membantu upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur fisik dan ekonomi di komunitas lokal, penciptaan kegiatan usaha ekonomi untuk menyerap tenaga kerja lokal, penyediaan akses pasar bagi masyarakat miskin/marginal, mitigasi efek bencana/krisis, dan peningkatan partisipasi komunitas dalam tata kelola pemerintahan, serta akuntabilitas. Gambar 60 menyajikan ringkasan temuan studi dampak PNPM Perdesaan yang dilakukan oleh Bank Dunia dan TNP2K. Walaupun begitu, pelaksanaan PNPM-Mandiri memberikan tantangan yang terkait dengan pertanyaan terhadap efektivitas penerapan program pemberdayaan di Indonesia. Apakah PNPM-Mandiri memang dapat merepresentasikan suatu bentuk program pemberdayaan di Indonesia? Semua ini tidak terlepas dari berbagai situasi yang timbul dan menuntut perhatian agar dampak positif yang ditimbulkan dapat terus berlanjut dan berkembang, sekaligus juga meminimalkan persoalan atau pengaruh negatif yang timbul, yang antara lain: a. Dampak PNPM-Mandiri pada rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga kurang dari SD dan/atau perempuan lebih kecil dari pada kelompok lainnya, b. Dampak PNPM-Mandiri pada peningkatan akses pendidikan—khususnya transisi dari SD ke SMP belum terlihat, c. Partisipasi, termasuk dari kalangan miskin dan perempuan, terlihat meningkat namun belum berdampak pada peningkatan governance pemerintah desa. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
111
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jelas bahwa PNPM-Mandiri terbukti telah mampu meletakkan dasar pokok terkait dengan peningkatan kapasitas modal sosial di masyarakat, hanya ternyata belum cukup mampu secara efektif untuk memberikan dampaknya terhadap sistem regular yang selama ini berjalan. Gambar 60. Dampak Positif PNPM Mandiri Rangkaian dampak yang dapat diperoleh apabila seluruh program PNPM lainnya dijalankan sesuai prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
PERBAIKAN KEBIJAKAN YANG DILAKUKAN Seperti telah dijelaskan sebelumnya, PNPM-Mandiri banyak diadaptasi sebagai bagian dari kegiatan K/L, namun ternyata berbagai bentuk PNPM yang muncul tersebut memiliki variasi dalam implementasi prinsip pembangunan berbasis komunitas. Selain dampak yang belum secara efektif dapat menjamin kesinambungannya, maka adanya variasi ini berpengaruh terhadap efektivitas pencapaian upaya penurunan angka kemiskinan, yang ditargetkan sekitar 8 persen –10 persen pada akhir 2014 (RPJMN, 2010–2014). Sebagai respons atas situasi tersebut dan dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan pemberdayaan masyarakat, maka TNP2K yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 15 Tahun 2010, ditugaskan untuk melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi, dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan di kementerian dan atau lembaga, dengan penyusunan naskah Peta Jalan PNPM-Mandiri, yang didasarkan atas arahan Wakil Presiden pada rapat pleno PNPM pada Maret 2012. Peta Jalan PNPMMandiri ini ditujukan sebagai pedoman dengan cara merumuskan secara jelas masa depan dan berbagai strategi yang akan digunakan oleh pemerintah dan masyarakat bagi keberlanjutan program-program pemberdayaan masyarakat di Indonesia, yang memberikan: a. Dasar untuk menyiapkan kerangka kebijakan bagi keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.
112
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
b. Arahan tentang prioritas dan strategi, serta memberi arahan tentang kemungkinan perubahan peraturan. c. Penguatan interaksi dan koordinasi antara kementerian dan atau lembaga serta daerah. Peta Jalan PNPM-Mandiri yang terdiri atas lima pilar keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat, adalah, Pilar Pertama menyangkut integrasi program pemberdayaan di Indonesia; Pilar Kedua mengenai penguatan kelembagaan masyarakat; Pilar Ketiga terkait dengan peningkatan dan keberlanjutan pendampingan masyarakat; Pilar Keempat mengenai penguatan peran pemerintah daerah, serta terakhir, Pilar Kelima mengenai perwujudan tata kelola pemerintahan (good governance) dalam penyelenggaraan program pemberdayaan masyarakat.
ARAHAN PERTAMA: Konsolidasi Program Pemberdayaan Masyarakat; yang ditandai oleh tiga kebijakan pokok yaitu (i) masyarakat sebagai pelaku utama; (ii) prinsip penyelenggaraan yang partisipatif, transparan, akuntabel dan keseimbangan gender dan; (iii) penyediaan sumber daya, sumber dana dan pendampingan oleh pemerintah.
ARAHAN KEDUA: Integrasi Perencanaan Pembangunan; yang dilakukan di tiga area pokok perencanaan pembangunan yaitu (i) integrasi proses perencanaan partisipatif ke dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah; (ii) pengalokasian dana bagi program pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah dan; (iii) Penguatan peran Pemda dan desa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
113
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Gambar 61. Kerangka Konsep Program Pemberdayaan Masyarakat
Sumber: TNP2K
Beranjak dari naskah Peta Jalan PNPM-Mandiri, TNP2K saat ini sedang melakukan tiga upaya untuk memastikan keberlanjutan upaya program pemberdayaan masyarakat menggunakan kerangka konsep seperti dapat dilihat pada Gambar 61, yaitu penguatan mekanisme pembangunan yang partisipatif, pelaksanaan alokasi dana langsung, serta penciptaan sistem yang transparan dan akuntabel. Untuk itu, Peta Jalan PNPM-Mandiri dengan kelima pilarnya, kemudian diterjemahkan ke dalam 12 Agenda Kerja sebagai bentuk operasionalisasi, yang dilaksanakan bersama oleh TNP2K, Pokja Pengendali Kemenko Kesra, Kemendagri, Kemenkeu, KemenPU, dan Bappenas. Beberapa upaya peningkatan efektivitas kebijakan dalam rangka keberlanjutan pemberdayaan masyarakat yang signifikan telah dilakukan antara lain adalah: Merumuskan Prinsip-Prinsip PNPM-Mandiri Sebagai Dasar Pencirian Program Pemberdayaan Masyarakat Dalam rangka mengatasi adanya variasi pelaksanaan program yang berbasis pemberdayaan masyarakat, maka diperlukan satu rumusan umum definisi program pemberdayaan masyarakat. Rumusan umum ini harus didasarkan atas identifikasi prinsip-prinsip PNPM-Mandiri yang diyakini telah dipahami oleh masyarakat dan terbukti memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, yaitu sebagai berikut:
114
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Alokasi anggaran langsung kepada desa b. Pendampingan dan pengawasan secara berkelanjutan c. Pemihakan kepada kepentingan kaum perempuan dan kaum terpinggirkan d. Pengambilan keputusan dalam rangka pemanfaatan dana dilakukan melalui musyawarah masyarakat e. Penguatan peran dan fungsi organisasi masyarakat f. Pemilihan pengelola kegiatan oleh masyarakat g. Swakelola oleh organisasi/kelompok masyarakat h. Transparasi dan akuntabilitas TNP2K telah berhasil mengajukan delapan prinsip-prinsip PNPM-Mandiri tersebut sebagai rumusan umum definisi program pemberdayaan masyarakat, yang kemudian disepakati oleh semua pemangku kepentingan, baik di tataran K/L, maupun pemerintah daerah. Internalisasi Prinsip-Prinsip PNPM-Mandiri Ke Dalam UU Desa Dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang telah disahkan pada 18 Desember 2013 yang lalu, memberikan peluang untuk melakukan internalisasi prinsip-prinsip PNPM-Mandiri ke dalam UU Desa, yang esensinya adalah pengaturan Tata Kelola Pembangunan Desa berdasarkan skema ‘one village, one plan, one budget’, yang dirincikan dalam: a. b. c. d.
Perencanaan partisipatif, Sistem informasi desa, Sumber dan pengelolaan keuangan desa, dan Pengelolaan aset dan BUM desa.
Ketika prinsip-prinsip PNPM-Mandiri mewarnai beragam dimensi pembangunan desa, maka pemberdayaan masyarakat menjadi bagian dari gerak pembangunan desa menuju desa yang mandiri, maju dan sejahtera. Selanjutnya, kemandirian desa dalam pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan, tercermin dengan pemahaman kondisi sebagai berikut (Gambar 62):
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
115
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Program pusat harus masuk dalam RPJM Desa, dan dijalankan dengan berpedoman kepada RKP Desa dan dibiayai oleh APB Desa, b. Kementerian/Lembaga di pusat tidak membentuk kelompok di desa dan mendanai kegiatan kelompok secara langsung, dan c. Kementerian/Lembaga menyediakan pendampingan kegiatan. Gambar 62. Desa Sebagai Subyek Pembangunanan
Sumber: TNP2K
TNP2K telah berhasil memastikan prinsip-prinsip PNPM-Mandiri diadopsi oleh UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang dijabarkan dalam rangkaian pasalpasalnya, dan juga di dalam dua pengaturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Desa dan Peraturan Pemerintah tentang Alokasi Dana Desa. Terdapat paling tidak lima bidang yang menjadi perhatian TNP2K dalam rangka meregulerkan dan melembagakan program pemberdayaan masyarakat, yaitu Penyelenggaraan Musyawarah Desa, Pengelolaan Keuangan Desa, Pengelolaan Asset/Kekayaan Desa, Mekanisme Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa (RPJM dan RKP Desa), dan mekanisme pengalokasian Dana Desa. Penajaman Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Disadari bahwa penurunan angka kemiskinan semakin lama menjadi semakin sulit dicapai, sehingga diperlukan penajaman sasaran program kemiskinan yang mampu mengatasi variasi situasi kondisi kemiskinan yang terjadi. Dengan dirumuskannya ciri suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka tujuan dan cakupannya menjadi lebih jelas, terutama dalam upaya menyusun program-program penanggulangan kemiskinan. Untuk itu diperlukan suatu rumusan yang lebih efektif dalam rangka upaya penanggulangan kemiskinan, yang selain menjamin adanya keberlanjutan pemberdayaan masyarakat, juga harus memastikan bentuk sasaran substansinya, yang paling tidak
116
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
mencakup tiga bidang yang saling terkait satu dan lainnya, yaitu: a. Adanya mekanisme penjaminan kerja bagi penduduk miskin. Mekanisme ini harus dapat memberikan kesempatan kepada penduduk miskin untuk bekerja selama waktu tertentu, dan memperoleh peningkatan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya. b. Upaya untuk memastikan dampak positif dana bergulir terhadap proses usaha (business process) kelompok masyarakat. Efektivitas perguliran dana dilihat dari peningkatan kapasitas transaksi kegiatan usaha kelompok masyarakat. program pemberdayaan masyarakat sesuai penyebab c. Penyusunan fokus kemiskinannya. Fokus program meliputi pengembangan kawasan perkotaan/ perdesaan, penanganan daerah sulit atau terpencil, penanganan khusus untuk kelompok marginal, perempuan, suku terpencil, dan pengelolaan dampak akibat faktor eksternal (bencana alam, kondisi krisis, dan lainnya).
TINDAK LANJUT KE DEPAN PNPM-Mandiri yang diterapkan pada hampir seluruh desa dan kelurahan di Indonesia telah memberikan dasar yang kuat bagi terselenggaranya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang partisipatoris. Dengan keberadaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka dibutuhkan adanya perubahan atas kebijakan pembangunan perdesaan yang berjalan saat ini. Ke depan, PNPM-Mandiri perlu diselaraskan dan bahkan diintegrasikan dalam implementasi UU Nomor 6 Tentang Desa. Walaupun demikian, Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
117
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
perubahan kebijakan yang dilakukan tidak serta merta dapat diterapkan secara cepat, tetapi memerlukan penyesuaian dari pola pembangunan desa berjalan saat ini, sampai kepada yang diharapkan di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Oleh karena itu, diperlukan suatu periode perubahan yang disebut sebagai “masa transisi”, yang paling tidak memakan waktu sekitar dua sampai tiga tahun. Adanya “masa transisi” adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang disarankan dimulai pada Tahun Anggaran 2015 mendatang. Pada “masa transisi” perlu dilakukan persiapan atas setidaknya empat hal pokok, yaitu: a. Penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan Desa, termasuk peningkatan kapasitas SDM-nya. b. Peningkatan kapasitas SDM aparatur desa dalam kemampuan pengelolaan keuangan dan aset desa. c. Penganggaran dana desa dalam APBN. d. Penataan ulang perencanaan program berbasis desa di Kementerian/Lembaga. Secara khusus, proses transisi bagi PNPM-Mandiri disarankan dijalankan dengan langkahlangkah sebagai berikut: a. Proses penganggaran untuk tahun 2015 masih menggunakan mekanisme penganggaran sebelumnya, termasuk pengalokasian anggaran untuk PNPM (dikelola oleh Kementerian/Lembaga). Dalam masa transisi tahun 2015 ini, penyaluran BLM PNPM dapat disebut sebagai alokasi dana desa, diusulkan penyalurannya langsung kepada desa yang dilaksanakan melalui Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) yang saat ini berjalan sebagai bagian dari pengelola PNPM. b. Aset yang telah dibangun oleh PNPM Mandiri serta dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat, perlu untuk diinventaris dan ditetapkan kepemilikannya, baik sebagai aset desa, milik masyarakat, maupun dikembalikan kepada pemerintah daerah. c. Kementerian dan atau lembaga yang melaksanakan PNPM tetap melaksanakan kegiatan pendampingan. Selanjutnya, pada tahun anggaran 2016, di mana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah diterapkan secara penuh PNPM, maka pelaksanaannya diusulkan sebagai berikut: a. BLM PNPM disalurkan langsung ke desa sesuai dengan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. b. Pengalokasian dana desa dilakukan dengan menerapkan Indeks Kewilayahan. c. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dijalankan dengan APBD Desa melalui pendampingan secara berjenjang.
118
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
d. Pelaksanaan musyawarah desa dilakukan untuk menyepakati hal-hal strategis dengan melibatkan masyarakat dan kelembagaan masyarakat, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Khusus berkaitan dengan alokasi dana desa, maka beberapa hal perlu dipersiapkan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan, yaitu: a. Indikator ‘tingkat kesulitan geografis’ yang menjadi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa perlu dimaknai secara komprehensif, sehingga mencerminkan bukan saja kemahalan konstruksi, namun juga tingkat kesejahteraan, ketersediaan infrastruktur (utamanya transportasi/komunikasi), serta kondisi infrastruktur pendidikan, kesehatan, serta perumahan. Aspek kesenjangan infrastruktur perlu dimasukkan karena nantinya dana transfer ke desa dimaksudkan untuk membiayai pembangunan desa. Karena itu diusulkan bahwa kebijakan pengalokasian dana desa kepada kabupaten/kota didasarkan atas Indeks Kemiskinan Multidimensi atau sebutan lain, yang telah mempertimbangkan faktor-faktor komprehensif di atas. b. Untuk mengefektifkan alokasi anggaran yang bersumber dari APBN, dipandang perlu Indeks Multidimensi tersebut seyogianya dihitung di tingkat pusat, dan disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menjadi dasar alokasi dana transfer ke desa berdasarkan peraturan bupati/wali kota yang bersangkutan. Petunjuk teknis alokasi dana transfer ke desa seyogianya juga menghimbau bupati/wali kota untuk menggunakan indeks yang sama dalam mengalokasikan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota dan alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
119
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
120
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Keuangan Inklusif:
Meningkatkan Akses Pada Layanan Keuangan
KEUANGAN INKLUSIF
Pengantar KEUANGAN INKLUSIF: TANTANGAN Untuk sebuah negara berpendapatan menengah, akses ke layanan keuangan di Indonesia masih relatif kecil. Hanya sekitar separuh penduduk Indonesia yang memiliki akses ke layanan keuangan formal, sekitar sepertiga hanya memiliki akses pada layanan informal, sementara hampir seperlima bahkan tidak terlayani oleh jasa keuangan apapun. Kelompok pendapatan terbawah jauh lebih tidak mampu mengakses layanan keuangan. Sekitar 80 persen orang miskin di Indonesia tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal dan hampir seperlima sama sekali tidak memiliki akses ke jasa keuangan.16 Dua jenis layanan keuangan yang paling banyak diakses adalah tabungan dan pinjaman. Sekitar dua pertiga penduduk Indonesia sudah memiliki rekening tabungan dan mayoritasnya adalah melalui bank maupun lembaga keuangan formal lainnya. Sedangkan dalam hal pinjaman, layanan pinjaman bank hanya mencakup kurang dari seperlima penduduk. Mayoritas penduduk meminjam secara informal misalnya dari keluarga atau kerabat. Sementara itu sekitar sepertiga penduduk yang sebenarnya memiliki kebutuhan untuk meminjam tidak bisa meminjam karena berbagai alasan. Meningkatkan akses pada layanan keuangan sangat terkait dengan penanggulangan kemiskinan. Banyak studi empiris menunjukkan hubungan sebab-akibat yang kuat antara pengembangan sistem keuangan (termasuk sistem perbankan dan pasar modal) dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu. Sistem keuangan yang efisien dan inklusif akan memberdayakan individu, memfasilitasi pertukaran barang dan jasa, mengintegrasikan masyarakat dalam perekonomian dan memberikan perlindungan dari gejolak ekonomi. Keuangan inklusif—melalui akses ke layanan keuangan, seperti tabungan, kredit, asuransi, pembayaran, dan dana pensiun—membantu kelompok yang rentan dan berpenghasilan rendah untuk meningkatkan pendapatan mereka, memperoleh modal, mengelola risiko, serta menemukan jalan keluar dari jerat kemiskinan.
PELUANG Indonesia memiliki cukup banyak ruang dan peluang untuk meningkatkan akses pada layanan keuangan. Ada dua peluang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, jaringan Lembaga Keuangan Mikro yang luas dan tersebar di hampir seluruh pelosok Nusantara. Ada sekitar 36 ribu Koperasi Simpan Pinjam, lebih dari 1.600 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan lebih dari empat ribu cabang, hampir lima ribu BRI Unit Desa, serta sekitar 26 ribu 16 World Bank (2010). Improving Access to Financial Services
122
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KEUANGAN INKLUSIF
Lembaga Keuangan Mikro dalam berbagai bentuk lainnya yang belum terdaftar (Bank Dunia 2010, JICA 2011). Kedua, penggunaan sistem pembayaran elektronik yang terus berkembang, perlahan menjadi metode transaksi keuangan utama selain tunai. Saat ini transaksi melalui ATM serta kartu debit masih mendominasi pembayaran secara elektronik, melayani keperluan mulai dari pengiriman uang hingga pembayaran tagihan. Belakangan, penggunaan uang elektronik— teknologi yang sedang berkembang—juga mulai menunjukkan kenaikan meski mulai dari volume yang kecil (Gambar 63). Peluang lain adalah adanya program yang sudah ada terkait perluasan akses pada layanan keuangan, yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah program penjaminan kredit parsial oleh pemerintah yang diluncurkan tahun 2007. KUR bertujuan memberikan akses kepada UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi) yang memiliki usaha yang layak (feasible) namun tidak memiliki agunan untuk meminjam dana dari bank komersial (unbankable). Sumber dana pinjaman untuk program KUR sepenuhnya adalah dana pihak ketiga atau dana yang dihimpun oleh bank. Pemerintah hanya menanggung biaya penjaminan sehingga masyarakat yang tidak memiliki agunan dapat mengakses pinjaman melalui program ini. Gambar 63. Jumlah Transaksi Perbankan Non-Tunai di Indonesia, 2007–2011
Pembayaran dengan ATM + Kartu Debit Transfer dalam Bank ATM + Kartu Debit Transfer Antar Bank ATM + Kartu Debit Pembayaran dengan Kartu Kredit Transaksi Uang Elektronik RTGS Kredit EFT + Cek
Sumber: Bank Indonesia
Sampai dengan Desember 2013, nilai kredit yang disalurkan bank mencapai Rp138,5 triliun. Total penerima mencapai lebih dari 10 juta debitur. Total penjaminan pemerintah
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
123
KEUANGAN INKLUSIF
-yang sudah dikeluarkan sejak 2007 mencapai sekitar Rp14 triliun.17 Meskipun demikian, KUR belum sepenuhnya menjadi program yang efektif dalam memberikan akses pada keuangan bagi UMKM. Sebuah studi yang dilakukan oleh TNP2K tahun 2012 menggunakan data Susenas 2011menemukan bahwa hanya 12 persen rumah tangga yang pernah mendapatkan kredit usaha. Dari mereka yang pernah mendapatkan kredit usaha, hanya 7,5 persen yang mendapatkan kredit usaha dari program KUR (Gambar 64).18 Hasil studi lain dari TNP2K juga menunjukkan bahwa UMKM nasabah KUR bukan semuanya nasabah yang baru pertama kali mengakses perbankan. Sebagian dari mereka ternyata adalah nasabah yang sebelumnya meminjam kredit melalui skema komersial (sudah bankable). Hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap kurang optimalnya inklusi keuangan yang diharapkan meningkat dengan cukup signifikan dengan adanya KUR. Meskipun belum optimal serta masih banyak ruang perbaikan, penargetan KUR dalam menyasar kelompok miskin sudah cukup terlihat. Berdasarkan data Susenas 2011, sekitar sepertiga rumah tangga penerima KUR ada di kelompok 40 persen terbawah; tetapi pada dasarnya KUR diakses oleh rumah tangga dari seluruh kelompok pendapatan termasuk mereka yang berpendapatan tinggi (Gambar 65). Gambar 64. Proporsi Rumah Tangga yang Menerima Kredit Usaha Menurut Sumber dan Kelompok Pengeluaran (%) Lain-lain Pinjaman Pribadi Koperasi Bank
KUR Program Pemerintah Lainnya PNPM 0
5 Total
10 60% Teratas
15
20
40% Terbawah
Sumber: TNP2K (2012) dari Susenas 2011.
17 Data dari Komite Kebijakan KUR. 18 TNP2K (2012). “Profile of Micro, Small and Medium Enterprises Based on BPS-Statistics Indonesia Data”.
124
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
25
30
35
40
KEUANGAN INKLUSIF
Persen
Gambar 65. Proporsi Rumah Tangga yang Menerima KUR Menurut Desil Pengeluaran (%)
Desil Pengeluaran Sumber: TNP2K (2012) dari Susenas 2011.
KEGIATAN DAN CAPAIAN a. Menerbitkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif Sejak Januari 2011, TNP2K bersama-sama Bank Indonesia menyusun draft Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). SNKI merupakan tindak lanjut dari pidato Presiden RI di forum G-20 tentang komitmen Indonesia dalam mempromosikan sistem keuangan yang lebih inklusif. Tujuan dari SNKI adalah menjadikan keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Adanya sebuah strategi nasional diharapkan bisa mendorong koordinasi antar lembaga yang lebih baik dalam mendorong inisiatif-inisiatif terkait perluasan akses pada layanan keuangan.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
125
KEUANGAN INKLUSIF
Draft SNKI terdiri dari empat bab: 1) Visi dan Misi, 2) Situasi Akses Pada Layanan Keuangan, 3) Strategi Nasional Keuangan Inklusif–Target dan Tujuan, 4) Peta Jalan. Draft ini kemudian didiskusikan dengan berbagai pihak, termasuk kementerian dan lembaga pemerintah, untuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Dalam perkembangan, draft ini juga sudah dipresentasikan dalam berbagai forum internasional, baik oleh TNP2K maupun Bank Indonesia, termasuk kepada Ratu Maxima dari Belanda yang menjadi duta internasional untuk keuangan inklusif pada akhir tahun 2013. b. Mendorong Berkembangnya Layanan Keuangan Digital TNP2K telah menyusun peta jalan untuk pengembangan layanan keuangan digital yang bisa digunakan untuk pembayaran transfer atau bantuan pemerintah (seperti PKH, BSM atau BLSM). Pembayaran secara digital memiliki banyak keuntungan: biaya penyaluran yang lebih murah, akuntabilitas yang lebih tinggi, berkurangnya kebocoran, kenyamanan bagi penerima, serta manfaat yang lebih luas bagi sistem keuangan secara luas. Mempromosikan layanan keuangan digital melalui program-program transfer pemerintah bisa menjadi langkah awal untuk mendorong berkembangnya sistem pembayaran digital secara luas, termasuk untuk kebutuhan pembayaran antar individu (person-to-person). Tapi untuk mendorong berkembangnya layanan keuangan digital, perlu juga dikembangkan infrastruktur serta ‘lingkungan’ yang mendukung, seperti tersedianya agen, aturan perbankan yang disesuaikan, serta kualitas layanan telekomunikasi yang memadai. Tujuan dari adanya peta jalan ini adalah memberikan panduan tentang arah yang dituju serta pilihan-pilihan yang tersedia.
126
Di saat yang sama, TNP2K bersama-sama dengan Kementerian Sosial, Bappenas dan Bank Indonesia, sedang melakukan uji coba penyaluran PKH melalui layanan keuangan digital—dalam hal ini produk uang elektronik (e-money) berbasiskan rekening bank. Dalam uji coba ini, peserta PKH akan menerima bantuan melalui rekening uang elektronik yang terhubung di telepon selular. Penerima PKH bisa mengambil uangnya secara tunai di agen-agen yang ditunjuk, atau menggunakannya untuk transaksi lain. Uji coba dilakukan di 1.667 desa tersebar lima kabupaten/kota (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo) dan melibatkan tiga bank komersial (Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, CIMB Niaga). Diharapkan pada pembayaran bulan September 2014, peserta PKH di wilayah uji coba sudah mulai menerima pembayaran melalui uang elektronik.
Untuk mendukung perkembangan layanan keuangan digital serta kegiatan uji coba, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait di bulan April 2014. Adanya PBI ini bisa menjadi dasar hukum bagi bank komersial untuk mendorong berkembangnya produk-produk layanan keuangan digital.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KEUANGAN INKLUSIF
c. Melakukan Sejumlah Studi Tentang Perbaikan Program KUR Sebagai Masukan Untuk Komite KUR Untuk mendorong perbaikan terhadap program KUR, TNP2K telah membantu Komite KUR yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Perekonomian dalam bentuk beberapa kajian resmi maupun masukan-masukan langsung lewat berbagai forum dan rapat koordinasi. Sejumlah kajian terkait KUR yang pernah dilakukan adalah: • Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (2010) • Hambatan Akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap Kredit Usaha Rakyat (2011) • Keberlanjutan Akses Usaha Mikro dan Kecil melalui Program Kredit Usaha Rakyat (2012) • Profil UMKM dan Wirausaha Menggunakan Data Survei BPS (2012) • Peningkatan KUR ke Sektor Primer Prioritas (2013) • Apakah Peningkatan Pinjaman UMKM Meningkatkan Produktivitas? Hasil dari data Survei Industri Mikro dan Kecil (2013) Selain itu di tahun 2014 ini ada tiga buah studi yang merupakan permintaan langsung dari Kemenko Perekonomian juga sedang dijalankan: • Kajian tentang penambahan jumlah bank penyalur KUR Mikro, bekerjasama dengan Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia • Kajian tentang penambahan jumlah perusahaan penjamin kredit, bekerjasama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia • Kajian tentang profil penerima KUR menggunakan data Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia
TINDAK LANJUT KE DEPAN a. Sekretariat atau Forum Kebijakan Keuangan Inklusif Sejak awal draft ini disusun, TNP2K dan Bank Indonesia sudah merencanakan untuk membuat semacam sekretariat atau forum kebijakan antar lembaga yang akan mengawal implementasi SNKI. Karena TNP2K bukanlah lembaga yang permanen, pemerintah kemudian sepakat untuk menunjuk Kementerian Keuangan, dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF), sebagai koordinator pelaksanaan SNKI. Pada bulan April 2013, Bank Indonesia, TNP2K dan BKF bertemu untuk menyusun beberapa rencana ke depan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru dibentuk juga dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya dan menjadi bagian dari tim inti SNKI.
Sejak koordinasi SNKI dipegang oleh Kementerian Keuangan, TNP2K terus terlibat aktif dalam mendukung koordinasi serta pembahasan-pembahasan setelah itu. Saat ini forum terdiri dari TNP2K, Bank Indonesia, OJK dan dalam waktu dekat akan diperluas dengan melibatkan beberapa kementerian dan lembaga lain. Langkah selanjutnya Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
127
KEUANGAN INKLUSIF
adalah bersama-sama mendorong adanya dasar hukum bagi SNKI sehingga koordinasi antar lembaga bisa berjalan lebih mudah, dan tugas serta tanggung jawab masingmasing instansi menjadi jelas untuk mencapai sasaran yang disepakati bersama. Setelah sekretariat atau forum ini terbentuk, diharapkan agenda-agenda kebijakan keuangan inklusif seperti tercantum di dalam strategi nasional di bawah ini bisa segera didorong. Gambar 66. Agenda Keuangan Inklusif dan Kelompok Target
Sumber: Strategi Nasional Keuangan Inklusif
b. Perbaikan KUR KUR adalah produk bank yang dijalankan tetap dengan menggunakan logika perbankan. Artinya, bank akan memberikan KUR pada mereka yang dianggap prospektif dari kacamata bank. Implikasinya, KUR memang bukanlah sebuah program yang dtargetkan pada kelompok termiskin. Tapi pemerintah perlu mendorong adanya program-program yang bisa lebih aktif menargetkan pengusaha mikro dan kecil melalui skema pemberdayaan, penyediaan kredit untuk wirausaha pemula, maupun berbagai inisiatif untuk mendorong sistem keuangan inklusif secara umum.
128
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KEUANGAN INKLUSIF
Pemerintah juga bisa mendorong intensifikasi KUR—meraih lebih banyak konsumen di kelompok 40 persen terbawah, khususnya di desil tiga dan empat dengan cara: • Mendorong lebih banyak account officer yang aktif mencari konsumen potensial hingga ke desa • Menggunakan sistem rujukan, misalnya bekerja sama dengan nasabah yang sudah ada atau lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan lebih banyak pelaku UMKM • Menargetkan daerah-daerah baru di mana terdapat banyak potensi konsumen KUR tapi belum banyak tergarap karena belum banyak cabang bank yang beroperasi (lihat studi TNP2K 2012).
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
129
KEUANGAN INKLUSIF
130
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Inisiatif Program Ketenagakerjaan
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Pengantar PROGRAM KETENAGAKERJAAN: TANTANGAN Pengangguran kaum muda masih merupakan masalah besar di Indonesia, meskipun tingkat pengangguran secara umum telah mengalami perbaikan. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran kaum muda yang berumur 15–24 tahun adalah 22 persen, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata negara tetangga. Tingkat pengangguran tersebut empat kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, dan hampir dua kali lipat dari Malaysia dan India (Manning dan Purnagunawan, 2011). Penganggur yang berasal dari kaum muda merupakan kelompok terbesar dari populasi penganggur yang ada di Indonesia. Kaum muda bahkan dikatakan lebih berisiko untuk menjadi penganggur enam kali lebih besar dari rata-rata orang dewasa (ILO, 2013). Kondisi ini terutama dirasakan oleh kaum muda yang berpendidikan rendah (SMP dan ke bawahnya).
132
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Permasalahan pengangguran kaum muda ini perlu dicermati secara serius karena implikasinya dalam jangka pendek maupun jangka panjang seperti hilangnya kesempatan untuk lebih produktif dan untuk aktualisasi diri, ketersisihan sosial serta risiko ter-ganggunya kesehatan mental dan ketergantungan pada narkoba. Selain itu penelitian juga menunjukkan bahwa pengangguran kaum muda cenderung untuk meningkatkan tingkat kriminalitas, kekerasan dan juga konflik sosial (ILO 2013). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan mungkin sudah mulai memperlihatkan hasil dengan semakin menurunnya tingkat pengangguran kaum muda be-berapa tahun terakhir ini. Namun, kebijakan-kebijakan yang ada dirasakan masih belum cukup efisien dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan kaum muda yang ada. Hal ini bisa terlihat dengan potensi saling tumpang tindihnya program-program ketenagakerjaan yang ada di hampir semua kementerian/lembaga. Dari sisi penargetan, dirasakan bahwa program-program yang ada masih belum secara khusus menyasar kaum muda sebagai subyeknya. Selain itu, penurunan yang tajam dari tingkat pengangguran kaum muda ternyata masih menyisakan masalah yang sifatnya lebih struktural. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar dari pengangguran kaum muda tersebut adalah kelompok yang ‘putus asa untuk mendapatkan pekerjaan’ (discouraged) yang kebanyakan merupakan kaum muda dengan pendidikan yang rendah. Hal ini harus menjadi catatan tersendiri mengingat mayoritas dari kelompok tersebut adalah bagian dari masyarakat miskin yang kemungkinan untuk putus sekolahnya lebih tinggi dari kelompok dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pendekatan yang spesifik yang berorientasi pada peningkatan pendidikan, keterampilan serta soft skill terutama kepercayaan diri menjadi sangat penting untuk kelompok ini agar kesempatan untuk bekerja menjadi lebih besar.
PELUANG Revitalisasi dari Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda (JEJAKMU) atau Indonesia Youth Employment Network (IYEN) yang diinisiasi oleh Bappenas dan didukung penuh oleh TNP2K dapat menjadi salah satu jalan untuk memperkuat koordinasi programprogram ketenagakerjaan yang ada. JEJAKMU/IYEN yang beranggotakan 17 kementerian dan lembaga bisa lebih dimanfaatkan sebagai wadah komunikasi dan kerjasama agar perencanaan dan pelaksanaan program ketenagakerjaan yang tersebar bisa menjadi lebih efektif. Selain itu keterlibatan Kadin, Apindo, serikat buruh dan NGO yang terkait ketenaga kerjaan dalam JEJAKMU/IYEN diharapkan dapat lebih mempercepat program perluasan kesempatan kerja yang sudah ada. Praktik-praktik terbaik yang dilakukan masing-masing lembaga serta Informasi program ketenagakerjaan diharapkan dapat dimanfaatkan lebih baik untuk semua stakeholder yang terlibat.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
133
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
KEGIATAN DAN CAPAIAN Menerbitkan Kerangka Aksi Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Angkatan Kerja Masalah ketenagakerjaan sudah menjadi perhatian di hampir semua kementerian dan lembaga pemerintah. Hal ini bisa terlihat dari keberadaan program yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti pelatihan dan bimbingan teknis serta program-program kewirausahaan dan pendukungan terhadap UMKM di hampir seluruh K/L yang ada. Namun, komponen dan tujuan dari program tersebut bisa jadi sangat berbeda. Terlebih lagi keterkaitan antarprogram yang ada, baik dalam K/L masing-masing maupun antar K/L juga terlihat sangat lemah. Untuk lebih menyelaraskan dan meningkatkan efisiensi program ketenagakerjaan yang ada, Setwapres dan TNP2K mengeluarkan “Kerangka Aksi Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Angkatan Kerja” dan mendistribusikannya kepada semua kementerian dan lembaga yang ada. Kerangka aksi tersebut dijabarkan dalam lima pilar yaitu: • Perbaikan layanan dan sistem informasi ketenagakerjaan • Peningkatan keterampilan dan kapasitas angkatan kerja • Pengembangan UMKM dan Kewirausahaan • Penciptaan kesempatan kerja melalui program padat karya dan infrastruktur berbasis komunitas • Penciptaan kesempatan kerja melalui program darurat penciptaan lapangan kerja Agenda jangka pendek kerangka aksi ini adalah melakukan inventarisasi programprogram di kementerian dan lembaga yang terkait dengan ketenagakerjaan atau bisa dikelompokkan sebagai program penciptaan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan angkatan kerja. Kantor Setwapres dan TNP2K kemudian membuat pemetaan program-program ketenagakerjaan yang ada di semua kementerian dan lembaga terkait. Hasil dari pemetaan tersebut menunjukkan keberagaman program ketenagakerjaan yang ada dan relatif lemahnya keterkaitan antar program, bahkan untuk program-program di dalam satu kementerian sekalipun. Setelah melakukan inventarisasi dan pemetaan, TNP2K kemudian memberikan sejumlah input untuk perbaikan kerangka acuan masing-masing program kepada tiap kementerian dan lembaga terkait. Untuk jangka menengah dan panjang, inisiatif awal yang sudah dilakukan diharapkan bisa menjadi dasar untuk penguatan dan konsolidasi program-program yang dibiayai oleh APBN. Secara umum, visi dari kelima pilar Kerangka Aksi bisa diringkas dalam Gambar 67.
134
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Integrasi program-program ketenagakerjaan, terutama bagi angkatan kerja muda, juga menjadi fokus perhatian dari Kerangka Aksi Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Angkatan Kerja (Gambar 67). Program ketenagakerjaan yang terpadu, yang berlandaskan pada pilar-pilar kerangka aksi, diharapkan akan mempercepat dan mengefektifkan program perluasan kesempatan kerja yang ada. Pemanfaatan sistem informasi tenaga kerja serta seleksi pelatihan yang dibutuhkan (Pilar 1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program pelatihan (Pilar 2) maupun kewirausahaan (Pilar 3) yang akan dijalankan. Sistem pelatihan yang berdasarkan kompetensi serta kebutuhan pasar tenaga kerja yang dilanjutkan dengan pemagangan dan penempatan tenaga kerja diharapkan akan lebih memastikan penyerapan tenaga kerja. Pelatihan kewirausahaan yang dilanjutkan dengan dukungan pengembangan usaha serta akses pembiayaan mikro juga diharapkan akan memperbesar tingkat keberhasilan wirausaha muda. Keseluruhan kegiatan tersebut tentunya harus ditindaklanjuti dengan evaluasi serta layanan ketenagakerjaan lanjutan agar efisiensi program selalu dapat ditingkatkan dan juga mengurangi kegagalan yang mungkin terjadi. Gambar 67. Kerangka Umum dari Lima Pilar dalam Kerangka Aksi Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Angkatan Kerja
Peningkatan Ketrampilan
Jangka Panjang
Perbaikan Institusi Layanan Pasar Kerja Investasi dan lingkungan usaha
Perbaikan Standar dan Sertiikasi Profesi
Pasar Kerja Internasional Pasar Kerja Nasional Pasar Kerja Lokal
Penguatan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan
3
Hasil Jangka Pendek
1 Pembangunan Infrastruktur Komunitas
Program Darurat Lapangan Kerja
Program Jangka Pendek
2 4
5
Strategi Penciptaan Lapangan Kerja
Jangka Panjang
Sumber: TNP2K (2012), Kerangka Aksi Nasional Perluasan Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Pekerja, unpublished
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
135
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Gambar 68. Program Terpadu Untuk Penciptaan Lapangan Kerja Bagi Angkatan Kerja Muda Tahap Sebelum Bekerja
Seleksi
Melatih orang muda untuk bekerja
Pilar 1: Standar Minimal: Pusat Layanan Pekerjaan (Pilar 1: Memantau dampak) 1. Pro l dan asesmen pencari kerja 2. Pelatihan transisi dari sekolah ke dunia kerja (sebelum bekerja) 3. Program penjangkauan 4. Bimbingan karir
Penempatan
Pelatihan BLK/TVET (Pilar 2: Standar Kompetensi)
Setelah Penempatan
Penempatan kerja (Pilar 1: Meningkatkan kualitas layanan tenaga kerja)
Pusat Layanan Tenaga Kerja (Pilar 1: Memantau dampak)
Akses ke beasiswa jika diperlukan
Melatih orang muda untuk
Pelatihan Kewirausahaan Muda (Pilar 2&3: Meningkatkan outsourcing & standar kompetensi bagi pelatih)
Dukungan Pengembangan Usaha (Business Development Support) bagi pekerja muda (Pilar 2&3: libatkan pemerintah daerah & TVET dalam perencanaan dan implementasi
berwirausaha Hubungkan dengan dukungan pembiayaan mikro (Pilar 3: pembiayaan mikro)
Sumber: TNP2K (2012), Kerangka Aksi Nasional Perluasan Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Keterampilan Pekerja, unpublished
Melakukan Kerjasama dan Koordinasi Dengan Bappenas dan K/L Terkait Dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan Kaum Muda, TNP2K juga secara terusmenerus bekerjasama dengan Bappenas dalam perencanaan maupun perbaikan program ketenagakerjaan yang telah ada. Bappenas sendiri telah menerbitkan Indonesia Youth Employment Initiatives Inventory di tahun 2011yang merupakan pemetaan program ketenagakerjaan kaum muda. Berdasarkan inventori tersebut serta diskusi dengan para pemangku kepentingan, Bappenas kemudian mengidentifikasikan lima strategi percepatan penciptaan kesempatan kerja kaum muda sebagai berikut: a. Reformasi kebijakan ketenagakerjaan kaum muda yang bertujuan agar siswa bersekolah lebih lama dan mengurangi putus sekolah, sehingga mengurangi jumlah pekerja dengan pendidikan rendah masuk ke dalam pasar tenaga kerja; b. Peningkatan keterampilan agar dapat bekerja atau dipekerjakan; c. Peningkatan kualitas pemagangan; d. Peningkatan kesempatan untuk kewirausahaan kaum muda; dan e. Perbaikan akses dan layanan sistem informasi pasar tenaga kerja (LMIS).
136
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Selain itu, TNP2K melalui tim dari klaster tiga juga secara terus menerus melakukan engagement dengan kementerian dan lembaga lain yang berkaitan langsung dengan program-program ketenagakerjaan. Adanya kerjasama antar lembaga ini diharapkan dapat lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari program ketenagakerjaan yang ada, khususnya untuk kaum muda.
Melakukan Studi Untuk Memperkuat Masukan Kebijakan yang Berdasarkan Bukti (Evidence Based Policy) Untuk lebih mensinergikan lima strategi percepatan penciptaan kesempatan kerja kaum muda dari Bappenas serta lima pilar ketenagakerjaan Setwapres, TNP2K melakukan studistudi serta diskusi lebih lanjut untuk perbaikan program ke depan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya perbaikan kebijakan berbasiskan bukti (evidence-based policy), yang diantaranya adalah: a. Kajian program-program penciptaan kesempatan kerja pemerintah terbesar. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis efektivitas, efisiensi dan juga dampak dari program bagi orang miskin dan pengentasan kemiskinan dan Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
137
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
memberikan rekomendasi program mana yang perlu ditingkatkan. b. Kajian praktik-praktik terbaik ketenagakerjaan kaum muda, yang bertujuan untuk mengambil pelajaran dari program-program ketenagakerjaan nasional dan internasional yang baik untuk saran perbaikan program-program yang ada maupun mengisi kesenjangan program yang mungkin terjadi dan, c. Studi kelayakan penyediaan dana pelatihan, yang bertujuan untuk memperbaiki koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam penyediaan dana pelatihan (training fund) serta memperbaiki sistem pelatihan keterampilan yang terpadu dan berbasis kompetensi di tingkat nasional dan, d. Studi tentang UMKM yang meliputi studi perbaikan lingkungan usaha yang mendukung perkembangan UMKM di tingkat nasional yang diharapkan akan menjadi dasar perbaikan kebijakan yang mendukungnya; serta pemetaan peranan dan tanggung jawab dari stakeholder pemerintah dan non-pemerintah dalam pengembangan UMKM.
TINDAK LANJUT KE DEPAN Program dan kebijakan ketenagakerjaan kaum muda yang sudah berjalan sudah mulai menunjukkan hasil yang positif, tetapi tentu saja selalu ada celah potensi untuk meningkatkan keberhasilan program-program tersebut atau bahkan menambah program baru untuk mengisi kesenjangan yang terjadi. Berdasarkan hasil studi serta diskusi dengan para pemangku kepentingan, beberapa area yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut adalah program-program padat karya, skill training serta pengembangan UMKM. Program padat karya merupakan program penciptaan kesempatan kerja jangka pendek dan menengah yang akan sangat efektif pada saat permintaan dari pasar tenaga kerja melemah. Program ini terutama bertumpu pada penyerapan tenaga kerja yang banyak untuk program pembangunan infrastruktur maupun program-programbsosial lainnya yang dibiayai oleh pemerintah. Selain untuk memberikan efek pendapatan secara langsung bagi pekerjanya, program ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah secara langsung dengan adanya peningkatan kualitas serta ketersediaan fasilitas dan jasa publik. Program padat karya juga dapat dipakai untuk memasukkan kelompok masyarakat/ kaum muda yang baru putus sekolah atau menyelesaikan pendidikannya ke dalam kegiatan yang produktif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kaum muda tidak boleh dibiarkan terlalu lama di luar sistem pendidikan maupun dunia kerja karena hal tersebut akan berpotensi untuk membuat mereka menjadi putus asa maupun terlibat
138
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
dalam kegiatan yang secara sosial meresahkan. Dampak dari program padat karya dapat ditingkatkan dengan mengaitkannya dengan program-program peningkatan keahlian dan keterampilan. Berkaitan dengan perkembangan kebijakan saat ini, terutama UndangUndang Desa, program padat karya dapat menjadi salah satu opsi tercepat dalam penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan di daerah. Pemerintah juga dapat memberikan insentif lebih lanjut untuk pengembangan program padat karya kepada lembaga publik yang melakukan program tersebut.
Peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja juga merupakan keharusan, terutama untuk menghadapi persaingan dalam pasar tenaga kerja yang akan semakin berat dan terbuka. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang sangat keras untuk mengejar ketertinggalan yang ada, terutama dalam hal peningkatan kualitas pelatihan dan pendidikan yang ada serta meningkatkan aksesibilitas terhadap pendidikan dan pelatihan, khususnya untuk kaum muda dan kelompok masyarakat miskin. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan pelatihan dan pendidikan yang terintegrasi dan lintas sektoral. Peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja juga merupakan keharusan, terutama untuk menghadapi persaingan dalam pasar tenaga kerja yang akan semakin berat dan terbuka. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang sangat keras untuk mengejar ketertinggalan yang ada, terutama dalam hal peningkatan kualitas pelatihan dan pendidikan yang ada serta meningkatkan aksesibilitas terhadap pendidikan dan pelatihan, khususnya untuk kaum muda dan kelompok masyarakat miskin. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan pelatihan dan pendidikan yang terintegrasi dan lintas sektoral. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
139
INISIATIF PROGRAM KETENAGAKERJAAN
Aksesibilitas terhadap pelatihan, terutama, perlu diberikan perhatian khusus. Selama ini dana pendidikan yang ada banyak terfokus pada pendidikan dasar, sementara dana untuk pelatihan dirasakan masih sangat terbatas. Terlebih lagi informasi dan kesempatan yang ada tidak tersebar dengan merata sehingga kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik untuk kaum muda dan masyarakat miskin. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pendanaan pelatihan (training fund) serta keterlibatan dari pihak swasta yang bisa dioptimalkan. Oleh karenanya, diperlukan perencanaan, sistem serta penargetan yang baik agar bisa dicapai hasil yang optimal. Pengembangan kewirausahaan dan UMKM juga diperlukan mengingat lambatnya pasar tenaga kerja formal dalam menciptakan kesempatan kerja. Untuk itu, diperlukan optimalisasi program yang ada serta perbaikan iklim usaha yang mendorong penciptaan UMKM dan graduasi ke usaha formal. Aksesibilitas dari UMKM dan wirausaha pemula terhadap bantuan finansial dan teknis menjadi kunci keberhasilan UMKM. Multistakeholder partnership perlu dikembangkan agar relevansi serta efektivitas biaya bisa lebih dioptimalkan.
140
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
Pengantar Selama tiga tahun terakhir, jumlah TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) yang terbentuk terus bertambah dan hingga saat ini telah mencakup hampir seluruh daerah. Di tingkat provinsi, TKPK sudah ada di semua provinsi sejak tahun 2011. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, hingga akhir tahun 2013 tinggal tersisa 35 dari total 508 jumlah kabupaten/kota, yang belum menerbitkan SK Kepala Daerah untuk pembentukan lembaga yang dimaksud. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dua tahun sebelumnya ketika masih ada sekitar 33,4 persen, atau124 dari total 497 kabupaten/ kota, yang belum memiliki TKPK. Sisa daerah yang belum membentuk TKPK berada di wilayah timur Indonesia, khususnya di Provinsi Maluku Utara, Papua Barat dan Papua, serta di daerah-daerah baru hasil pemekaran (Gambar 69). Gambar 69. Perkembangan Jumlah TKPK Kabupaten/Kota Menurut Provinsi
2011
2012
142
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
Gambar 69. Perkembangan Jumlah TKPK Kabupaten/Kota Menurut Provinsi (Lanjutan)
2013
Sumber: Data Tim Advokasi-TNP2K
Gambar 70. TKPK yang terbentuk s/d Maret 2014
Sumber: Data Tim Advokasi-TNP2K
Sebagian pihak memandang struktur kelembagaan TKPK sebagai peluang untuk memperluas koordinasi kebijakan, tetapi sebagian lain melihatnya sebagai ancaman dalam kecenderungan umum rivalitas politik kepala daerah dan wakilnya. Seluruh TKPK yang ada saat ini, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pembentukannya telah mengacu pada Perpres Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Permendagri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (sebelumnya, dasar hukum pembentukan TKPK Daerah adalah Perpres Nomor 13 Tahun 2009). Dengan demikian seluruh TKPK telah diketuai oleh wakil kepala daerah. Struktur ini di satu pihak dianggap menguntungkan karena mendukung perluasan jangkauan koordinasi dan integrasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Khususnya jika dikaitkan dengan karakter multidimensi dari kemiskinan yang mengharuskan pendekatan intervensi lintas-sektoral yang lebih masif. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
143
ADVOKASI
Tetapi di lain pihak, struktur ini dinilai juga bisa merugikan jika relasi antara kepala daerah dan wakilnya kurang harmonis. Dalam beberapa kasus di daerah, rivalitas antara keduanya dalam batas tertentu telah melemahkan kepemimpinan TKPK: faktor yang justru disadari sebagai kunci untuk mengatasi masalah klasik ego sektoral dalam perencanaan kebijakan.
RAPAT KOORDINASI TKPK Tidak semua TKPK dapat segera menjalankan fungsi kelembagaannya setelah terbentuk. Ada variasi yang cukup lebar antar daerah dalam hal kemampuan TKPK menjalankan tugas kelembagaannya, yaitu melakukan koordinasi dan mengendalikan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerahnya. Tolok-ukur yang bisa digunakan di antaranya adalah frekuensi penyelenggaraan Rakor TKPK (Gambar 71), kepemimpinan ketua TKPK dan partisipasi pemangku kepentingan di dalamnya, pelaporan pencapaian penanggulangan kemiskinan di daerah, koordinasi penyusunan dan legalisasi SPKD, pengendalian pemantauan pelaksanaan program dan penanganan pengaduan masyarakat atas masalah kepesertaan maupun pelaksanaan program. Gambar 71. Penyelenggaraan Rakor TKPK di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota TKPK Provinsi 4 20
33 29 20
2011
2012
2013 Menyelenggarakan Rakor
Tidak Menyelenggarakan Rakor
TKPK Kabupaten/Kota 20 233
115
4 171
33 115
29 20
140
140
2011 2011
2012 2012
2013
Menyelenggarakan Rakor Menyelenggarakan Rakor
2013 Tidak Menyelenggarakan Rakor Tidak Menyelenggarakan Rakor
Sumber: Data Tim Advokasi-TNP2K
144
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
233
115 171
ADVOKASI
Sebagian besar dari TKPK telah menyelenggarakan rapat koordinasi (rakor) TKPK. Rakor TKPK merupakan salah satu instrumen bagi TKPK untuk melaksanakan tugas koordinasi penanggulangan kemiskinan di daerah yang bersangkutan. Dari tahun ke tahun jumlah TKPK yang menyelenggarakan kegiatan ini terus meningkat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada tahun 2013, rakor telah terselenggara di seluruh TKPK provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota kegiatan ini telah diselenggarakan oleh sekitar 75 persen (350 TKPK) dari jumlah TKPK yang ada. Kegiatan ini seluruhnya menggunakan sumber pembiayaan dari APBD masing-masing daerah, yang umumnya dialokasikan melalui anggaran belanja Bappeda atau BPMD.
Frekuensi penyelenggaraan rakor oleh mayoritas TKPK telah mencapai minimal tiga kali dalam setahun. Permendagri Nomor 42 Tahun 2010 merekomendasikan bahwa penyelenggaraan rakor oleh TKPK adalah minimal tiga kali dalam setahun. Selain untuk memperbarui informasi perkembangan pelaksanaan dan capaian penanggulangan kemiskinan di daerah, rakor ini dimaksudkan sebagai forum bagi semua unit dalam TKPK, baik kelompok kerja maupun kelompok program, untuk memikirkan aksi kebijakan yang dibutuhkan dari masing-masing sektor dalam rangka mengatasi kendala-kendala yang ditemukan dari pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di lapangan. Menurut data, sebagian besar dari TKPK yang telah menyelenggarakan rakor TKPK pada tahun 2013 mampu memenuhi frekuensi minimal yang direkomendasikan oleh Permendagri tersebut. Mayoritas rakor TKPK dipimpin langsung oleh wakil kepala daerah selaku Ketua TKPK. Sedangkan dalam hal kepesertaan, separuh dari rakor yang terselenggara juga dihadiri oleh para pemangku kepentingan di luar struktur TKPK. Kehadiran wakil kepala daerah Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
145
ADVOKASI
selaku ketua TKPK untuk memimpin langsung pelaksanaan rakor TKPK umumnya dipandang penting oleh pemangku kepentingan di daerah karena dapat memperkecil kemungkinan para pimpinan SKPD mendelegasikan kehadirannya kepada staf atau bawahannya. Sehingga, rakor dapat berfungsi lebih dari sekadar sebuah forum lintas sektor untuk melaporkan kegiatan dan hasil penanggulangan kemiskinan, tetapi sekaligus untuk memutuskan tindak lanjut atas temuan-temuan dari pelaksanaan program di lapangan. Data menunjukkan bahwa sekitar 70 persen rakor TKPK sepanjang tahun 2013 telah dipimpin langsung oleh Wakil Kepala Daerah selaku Ketua TKPK. Tidak kurang dari 50 persen rakor TKPK juga telah melibatkan unsur-unsur masyarakat di luar lembaga TKPK sebagai peserta aktif, seperti anggota DPRD, tokoh masyarakat dan agama, aparat penegak hukum, aktivis LSM, perwakilan perguruan tinggi, pelaku usaha dan sebagainya (Gambar 72). Gambar 72. Rakor TKPK Menurut Frekuensi, Pimpinan dan Pesertanya (2013)
Sumber: Data Tim Advokasi-TNP2K
Masalah data perencanaan dan kepesertaan program penanggulangan kemiskinan dan kinerja implementasinya telah menjadi dua isu yang paling dominan dibicarakan dalam forum-forum rakor TKPK di daerah. Sejalan dengan transformasi pendekatan penanggulangan kemiskinan nasional yang ditandai oleh penajaman prioritas intervensi dan sasaran program (rumah tangga, keluarga atau individu), perhatian masyarakat dan pemerintah daerah kepada isu-isu yang berkaitan dengan fokus, lokus dan kepesertaan program makin meningkat. Isu-isu tersebut mendominasi agenda pembahasan di dalam rakor TKPK di daerah selama periode 2012–2013. Secara lebih spesifik, isu-isu utama yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Data Perencanaan dan Penargetan Program Isu ini sangat mendominasi perhatian TKPK karena berpengaruh langsung terhadap kualitas rencana kerja dan pengalokasian anggaran daerah untuk penanggulangan kemiskinan. SKPD umumnya mengeluhkan kesulitan dalam memperoleh data-data terbaru terkait kemiskinan, baik data makro maupun mikro. Perbedaan antara data yang dipublikasikan oleh BPS di daerah dengan data sektoral yang dikumpulkan oleh SKPD juga dipandang sebagai kendala tersendiri bagi evaluasi dan perencanaan program. Secara lebih spesifik, rakor TKPK juga kerap mempertanyakan mekanisme pengumpulan data mikro (PPLS) oleh BPS dan pengelolaan oleh TNP2K untuk keperluan penetapan sasaran program.
146
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
b. Kinerja Implementasi Program Nasional. Peserta Rakor TKPK umumnya membahas kinerja implementasi program dalam konteks kesesuaian implementasi itu terhadap prosedur dan ketentuan program, dan dampak program bagi penyelesaian masalah kemiskinan. Pembahasan menyangkut hal ini biasanya langsung dikaitkan dengan kinerja pendampingan dan pengawasan pelaksanaan program di lapangan. c. Perencanaan Kebijakan Daerah Rakor TKPK juga tidak jarang dimanfaatkan untuk keperluan menyamakan persepsi, mengumpulkan informasi (stock-tacking) atau melakukan uji publik dalam rangka pemantapan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), dengan melibatkan unsur-unsur pemangku kepentingan penanggulangan kemiskinan di daerah. d. Kelembagaan dan Peran TKPK Optimalisasi peran TKPK sebagai sebuah lembaga dengan struktur dan fungsi yang luas juga menjadi perhatian khusus di daerah. Rakor TKPK dengan isu ini sebagai agenda utama umumnya membahas masalah mekanisme dan kapasitas sumber daya yang tersedia untuk operasionalisasi fungsi unit-unit di dalam lembaga ini, khususnya Kelompok Kerja (Pokja)—Data dan Informasi, Kemitraan, dan Penanganan Pengaduan; dan Kelompok Program—berbasis rumah-tangga/keluarga/individu, pemberdayaan masyarakat, dan pemberdayaan pelaku usaha mikro dan kecil. e. Koordinasi Pusat dan Daerah Kualitas keterlibatan unsur pemerintah dan masyarakat di daerah dalam pengelolaan program-program nasional yang ada sekarang umumnya dinilai belum mencukupi. Meski porsinya relatif kecil dalam agenda rakor TKPK, tetapi pembahasan menyangkut isu ini biasanya menggarisbawahi satu poin penting tentang revisi terhadap prosedur perencanaan, penargetan, pemantauan dan penanganan pengaduan programprogram nasional dengan memberikan porsi yang lebih besar pada peran daerah. Keterbatasan anggaran bukan kendala utama dalam formalisasi dan aktivasi TKPK. Masalah terbesar umumnya berkaitan dengan pemahaman akan arti penting dan teknis operasional dari fungsi lembaga, keberadaan tenaga pendamping, dan kepemimpinan atas lembaga TKPK itu sendiri. Beberapa faktor yang secara tipikal memengaruhi aktivasi fungsi kelembagaan TKPK adalah sebagai berikut: a. Pemahaman Penentu Kebijakan Akan Arti Penting TKPK Pada sejumlah daerah, kandungan Perpres Nomor 15 Tahun 2011 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Permendagri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan tidak cukup tersosialisasikan. Sehingga pemahaman tentang hubungan langsung antara kinerja kelembagaan koordinasi dengan efektivitas program penanggulangan kemiskinan tidak dipahami secara utuh. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
147
ADVOKASI
b. Keberadaan Pedoman Operasionalisasi Fungsi Kelembagaan Sesuai Permendagri Nomor 42 Tahun 2010, organisasi TKPK dibangun oleh dua unit besar yaitu sekretariat (berisi pokja data dan informasi; pokja penanganan pengaduan; pokja kemitraan; dan sekretaris) dan kelompok program (terdiri atas kelompok program berbasis rumah-tangga/individu; kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat; dan kelompok berbasis pemberdayaan pelaku UMK). Masalahnya, hingga saat ini belum tersedia petunjuk teknis menyangkut peran koordinasi masing-masing unit tersebut dalam setiap program penanggulangan kemiskinan. Di lapangan, kondisi ini membatasi keterlibatan TKPK dalam agendaagenda pemantauan program, penanganan pengaduan dan pemutakhiran data kemiskinan. c. Keberadaan Focal Point dan Pelaksana Teknis Faktor ini dikaitkan dengan frekuensi mutasi PNS yang umumnya relatif tinggi, sehingga tidak ada jaminan bahwa staf yang telah mengikuti program peningkatan kapasitas TKPK dapat menerapkan kemampuannya sebagai fasilitator dalam operasional dari fungsi lembaga. Pada saat yang sama mayoritas TKPK belum melihat urgensi dan/ atau belum mampu melakukan perekrutan konsultan atau tenaga ahli sebagai pendamping TKPK, khususnya di sekretariat. Lebih dari itu, tidak jarang keaktifan TKPK terbantu oleh faktor kedekatan personal antara pelaksana TKPK dengan kepala daerah dan/atau wakilnya. d. Keterlibatan Langsung Pimpinan Daerah TKPK yang aktif hampir seluruhnya merupakan TKPK yang mendapat dukungan langsung dari pimpinan daerahnya, baik wakil kepala daerah selaku ketua, maupun kepala daerah sebagai penanggung jawab. Indikator keterlibatan itu antara lain berupa kesediaan untuk secara reguler memimpin langsung rakor TKPK dan menagih laporan tindak lanjutnya, mempertanyakan dan menegur unsur TKPK yang dalam rakor tidak diwakili oleh pejabat dari level pengambil keputusan, memfasilitasi penyusunan dan penandatanganan dokumen SPKD, memfasilitasi pelaporan kinerja TKPK (LP2KD), memfasilitasi permohonan data untuk keperluan perencanaan dan penargetan program kepada pemerintah pusat, khususnya kepada TNP2K, dan aktif memimpin pertemuan konsultasi dan menghadiri rapat koordinasi dengan TNP2K. e. Ketersediaan Anggaran Operasional Hampir seluruh kegiatan reguler TKPK seperti rakor dan pelatihan tim teknis dibiayai dari pos belanja SKPD Bappeda dan/atau BPMD. Sedangkan untuk kegiatan monitoring program nasional yang dilakukan oleh kelompok program, anggaran bersumber dari SKPD yang terlibat dalam pengelolaan program yang bersangkutan, selain dari dana monitoring yang sudah dianggarkan oleh program itu sendiri.
148
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
PELAPORAN LP2KD DAN PENYUSUNAN DOKUMEN SPKD Jumlah TKPK yang melaporkan kinerja penanggulangan kemiskinan di daerahnya dari tahun ke tahun terus bertambah. Permendagri Nomor 42 Tahun 2010 mewajibkan TKPK untuk setiap tahun menyampaikan Laporan Pencapaian Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) kepada pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Meskipun secara persentase belum memenuhi harapan, jumlah TKPK yang mampu memenuhi kewajiban ini dalam tiga tahun terakhir terus meningkat, khususnya di tingkat kabupaten/ kota. Hingga kuartal pertama tahun 2014, TKPK yang menyampaikan LP2KD 2013 tercatat sejumlah 164, jauh lebih banyak daripada LP2KD 2012. Dengan catatan, sebagian besar LP2KD untuk tahun tertentu baru disampaikan oleh daerah menjelang pertengahan tahun berikutnya. Keterbatasan data perencanaan dan kapasitas analisis kebijakan menjadi kendala terbesar dalam penyelesaian LP2KD. Keaktifan TKPK dalam mengikuti kegiatankegiatan peningkatan kapasitas analisis dan perencanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan—terutama yang diselenggarakan oleh TNP2K bekerjasama dengan TKPK di seluruh provinsi selama tiga tahun terakhir—terbukti belum mencukupi untuk mengatasi kendala teknis penyelesaian LP2KD. Masalah klasik keterbatasan data perencanaan masih menjadi hambatan utama, selain ketidakberlanjutan tugas tim teknis TKPK, karena tidak diterapkannya pertimbangan khusus dalam kebijakan mutasi PNS di daerah, sementara di lain pihak transfer pengetahuan dalam lingkungan birokrasi belum menjadi tradisi. Substansi dan kerangka analisis dari hampir seluruh LP2KD telah mengacu kepada panduan yang diterbitkan oleh TNP2K. Melalui forum-forum pelatihan, magang dan konsultasi teknis perencanaan kebijakan bagi TKPK selama tiga tahun terakhir ini, Tim Advokasi TNP2K berupaya mendorong TKPK agar menerapkan suatu standar substansi dan kerangka analisis tertentu dalam melakukan evaluasi kondisi kemiskinan di daerah dan merekomendasikan prioritas intervensi kebijakan untuk penanggulangannya. Rekomendasi ini telah dituangkan ke dalam buku panduan peningkatan kapasitas TKPK yang diterbitkan oleh TNP2K. Gambar 73. Buku Panduan Bagi TKPK yang Diterbitkan Oleh TNP2K
Sumber: TNP2K Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
149
ADVOKASI
Substansi yang dimaksud di atas meliputi: (i) kondisi kemiskinan daerah, yaitu profil kemiskinan atau karakteristik masalah kemiskinan di daerah dalam berbagai dimensinya; (ii) determinan kemiskinan daerah, yaitu gambaran tentang faktor-faktor penyebab di balik setiap karakteristik masalah kemiskinan yang ditemukan, berikut wilayah-wilayah di mana faktor-faktor itu menonjol sebagai masalah. Faktor-faktor dan wilayah-wilayah ini merupakan dasar penentuan prioritas intervensi kebijakan multidimensi; (iii) relevansi dan efektivitas anggaran daerah, yaitu gambaran tentang tingkat keberpihakan anggaran daerah, terutama dari sisi belanja, terhadap prioritas intervensi penanggulangan kemiskinan yang telah teridentifikasi; serta tentang sejauh mana belanja anggaran tersebut membawa perubahan terhadap indikator-indikator kemiskinan; (iv) perkembangan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah, yang merupakan hasil dari kegiatan pemantauan oleh masing-masing kelompok program di daerah. Kerangka analisis yang digunakan dalam laporan LP2KD pada prinsipnya melibatkan (i) analisis posisi relatif untuk melihat kondisi terakhir capaian indikator kemiskinan suatu daerah dibandingkan capaian tersebut oleh daerah-daerah lain, wilayah di atasnya dan nasional; (ii) analisis perkembangan antar waktu untuk mengetahui sejarah (fluktuasi atau konsistensi perubahan antar waktu) dari capaian indikator sebelum mencapai kondisi terakhirnya); (iii) analisis efektivitas untuk menilai sejauh mana intervensi menghasilkan perubahan dalam capaian indikator; dan bagaimana perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu; (iv) analisis relevansi untuk menjawab pertanyaan apakah masalah menyangkut suatu indikator di suatu daerah juga terjadi di tingkat wilayah yang lebih luas, atau apakah masalah itu merupakan masalah khas daerah yang bersangkutan atau merupakan tantangan bersama antar daerah; (v) analisis keterkaitan untuk melihat hubungan antara tingkat capaian dan pola perubahan suatu indikator sasaran (indikator utama) dengan indikator-indikator pendukungnya—yaitu indikator-indikator yang dapat diintervensi untuk menghasilkan perubahan dalam indikator sasaran; dan (vi) kerangka monitoring (spot-check) program-program penanggulangan kemiskinan. Banyak daerah berinisiatif untuk mengembangkan LP2KD menjadi SPKD. Pada praktiknya, tidak sedikit kemudian diantaranya yang telah menetapkan dokumen ini sebagai Peraturan Kepala Daerah. Mengoordinasikan penyusunan SPKD oleh sektor-sektor terkait di daerah merupakan bagian dari fungsi TKPK. Dokumen ini menetapkan isu strategis dan rencana aksi lima tahunan, yang dari segi substansi dapat dikembangkan dari LP2KD— khususnya dari hasil analisis-analisis kondisi kemiskinan multidimensi, determinannya, keberpihakan dan kinerja anggaran daerah, serta kinerja kelembagaan koordinasi lintassektor di daerah. Sehingga, semua sektor dapat menjadikan SPKD sebagai kebijakan acuan dalam menyusun rencana kerja tahunan (Renja SKPD) yang lebih mendukung penanggulangan kemiskinan. Untuk memperbesar peluang terjadinya hal ini, tidak sedikit daerah berinisiatif menetapkan SPKD menjadi suatu regulasi, yang umumnya berupa peraturan gubernur, bupati atau wali kota.
150
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
Gambar 74. Contoh Peraturan Kepala Daerah tentang SPKD
Sumber: TNP2K
Dari 498 daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang memiliki TKPK saat ini, 198 daerah diantaranya telah menyelesaikan penyusunan SPKD. Sebanyak 31 daerah diantaranya telah menetapkan dokumen tersebut sebagai peraturan kepala daerah. Sebanyak 233 daerah masih dalam proses penyusunan. Sedangkan 67 daerah lainnya tidak berinisiatif menyusun SPKD atau tidak diketahui status perkembangannya (Gambar 75). Gambar 75. Daerah menurut Status Dokumen SPKD
Tidak disusun/tidak diketahui perkembangannya, 67 (13,45%)
Sudah selesai disusun, 198 (39,76%)
Sedang disusun, 233 (46,79%)
SPKD disusun sudah ditetapkan dengan Perkada, 31 (15,66%)
SPKD disusun belum ditetapkan dengan Perkada, 167 (84,34%)
Sumber: Data Tim Advokasi – TNP2K
Kapasitas teknis TKPK dalam menyusun LP2KD dan SPKD didukung oleh pelatihan, magang dan konsultasi teknis analisis dan perencanaan kebijakan yang diselenggarakan Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
151
ADVOKASI
oleh TNP2K bekerjasama dengan TKPK. Secara keseluruhan tingkat partisipasi TKPK dalam kegiatan-kegiatan tersebut sangat tinggi. Dukungan bagi peningkatan kapasitas Tim Teknis TKPK telah menjadi kesepakatan bersama TNP2K dan seluruh TKPK Provinsi sejak tahun 2010. Bentuk kegiatannya adalah (i) pelatihan analisis dan perencanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan, yang diselenggarakan di tingkat provinsi dengan peserta dari seluruh TKPK kabupaten/kota di wilayah yang bersangkutan; (ii) magang di sekretariat TNP2K untuk pemantapan pemahaman tim teknis TKPK tentang materi pelatihan; dan (iii) konsultasi teknis untuk me-review draft LP2KD atau SPKD yang disusun oleh TKPK. Tingkat partisipasi tim teknis TKPK dalam kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Gambar 76. TKPK yang ikut magang dan pelatihan di TNP2K s/d Maret 2014
Sumber: Data Tim Advokasi – TNP2K
Hampir seluruh peserta pelatihan menyepakati arti penting pelatihan analisis dan perencanaan kebijakan bagi optimalisasi peran koordinasi TKPK. Mereka juga mengharapkan agar dukungan TNP2K dalam hal ini bisa terus dipertahankan. Oleh sebagian besar tim teknis TKPK peserta pelatihan di seluruh provinsi, materi pelatihan analisis dan perencanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dinilai menarik, memberi wawasan dan pengetahuan baru, serta bermanfaat bagi pelaksanaan tugas mereka. Penyampaian materi ini oleh narasumber dari TNP2K juga dinilai baik oleh mayoritas peserta. Gambar 77. Contoh Laporan Pelaksanaan Penanggulangaan Kemiskinan Daerah (LP2KD)
Sumber: TNP2K
152
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
ADVOKASI
Gambar 78. Contoh Analisis Kabupaten
Sumber: TNP2K
Melalui pelatihan dan pemagangan tersebut, TKPK mampu membuat laporan dan analisis berdasarkan panduan yang diberikan oleh TNP2K (Gambar 77 dan 78). Dengan analisis tersebut, pemerintah daerah dapat menyusun skala prioritas dalam menyiapkan program yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan di wilayahnya. Melihat capaian dan output yang dihasilkan oleh TKPK-TKPK saat ini, sulit membayangkan itu terjadi 4-5 tahun yang lalu. Tahun 2009-2010 kondisi TKPK dari sisi formal kelembagaan, dukungan dana APBD, kondisi sumber daya manusia sangat beragam. Ini menjadi tantangan besar bagi TNP2K dalam menjalankan program peningkatan kapasitas TKPK saat awal terbentuk di tahun 2010. Namun upaya yang persisten dan konsisten TNP2K – lewat pelatihan, magang, konsultasi teknis, penyusunan pedoman dan lainnya-- dengan dukungan dari bapak Wapres berujung pada hasil yang menggembirakan. TKPK-TKPK saat ini, seperti telah dipaparkan di atas, telah berhasil menjalankan fungsi-fungsi utama dalam rangka mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dengan cukup baik. Memang upaya tersebut masih belum tuntas. Namun fondasi telah terbentuk dan peta jalan telah terbentang sehingga upaya dan arah peningkatan kapasitas TKPK ke depan menjadi lebih jelas dan lebih menjanjikan.
TINDAK LANJUT KE DEPAN Berdasarkan hasil kegiatan advokasi kebijakan daerah dalam penanggulangan kemiskinan selama ini, dan dari hasil kaji cepat terhadap faktor penghambat dan pendorong operasionalisasi mengoperasionalkan peran TKPK di daerah, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk tindak lanjut ke depan, yaitu: a. Lembaga semacam TKPK yang mempunyai peran dan fungsi melakukan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerah dipandang oleh Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
153
ADVOKASI
para pihak di daerah masih dibutuhkan, mengingat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas daerah, prioritas nasional, maupun global, namun sifatnya lintas sektoral dan lintas pemangku kepentingan, sehingga perlu sinkronisasi, harmonisasi, dan integrasi penanggulangan kemiskinan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan tersebut. b. Agar tugas dan fungsi TKPK dalam hal koordinasi dan pengendalian pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang sudah mulai nampak hasilnya dapat terus berjalan dan semakin kuat, maka upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan kapasitas tim teknis sebagai focal point pelaksana kegiatan TKPK perlu terus dilakukan baik melalui pelatihan, magang, maupun kegiatan-kegiatan konsultasi teknis. c. Perlu upaya advokasi yang lebih intensif untuk meningkatkan peran dan perhatian pimpinan daerah dan pemangku kepentingan lain seperti DPRD, akademisi, dan media, terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di daerah melalui koordinasi TKPK, sehingga operasionalisasi TKPK dapat didukung dengan baik dari sisi regulasi, struktur, maupun teknis-teknis tugas dan fungsinya. Regulasi dimaksud dapat berupa peraturan daerah, peraturan kepala daerah, maupun surat keputusan yang menguatkan perhatian dan prioritas daerah terhadap penanggulangan kemiskinan dan sinerginya melalui TKPK. Struktur diartikan sebagai berjalannya struktur TKPK yang berisi SKPD terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam sekretariat maupun kelompok program, sedangkan secara teknis dibutuhkan dukungan-dukungan seperti keberadaan sekretariat, anggaran operasional, regularitas rapat koordinasi, keberadaan tim teknis yang tidak terganggu dengan cepatnya mutasi, intensitas koordinasi dan sosialisasi, dan sebagainya. Upaya advokasi itu dapat dilakukan melalui penguatan berjenjang dari penguatan TKPK Provinsi untuk memberikan asistensi dan dukungan kepada TKPK Kabupaten/Kota, sehingga advokasi yang dilakukan dapat berupa pendampingan kelembagaan (misalnya dengan membentuk unit-unit outreach advokasi di provinsi terpilih), advokasi para pemangku kepentingan, dan sosialisasi serta komunikasi intensif kepada SKPD terkait dalam struktur TKPK terutama pelaksana program (kelompok program). d. Guna memperkuat upaya-upaya tersebut dalam rangka menjalankan/operasionalisasi advokasi kebijakan di daerah, dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis operasionalisasi koordinasi dan pengendalian bagi TKPK, seperti petunjuk teknis pelaksanaan Rapat Koordinasi, petunjuk teknis penyusunan LP2KD dan SPKD, petunjuk teknis kerjasama multi pihak, petunjuk teknis pengelolaan data kemiskinan, petunjuk teknis monitoring dan evaluasi program, dan sebagainya, sehingga memudahkan TKPK dalam mendapatkan rujukan upaya advokasinya di daerah.
154
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
Pengantar Sejak tahun 2009, anggaran pendidikan telah mencapai 20 persen dari APBN. Setengah dari anggaran tersebut dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru, dengan pagu yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, mencapai Rp193,4 triliun rupiah untuk tahun 2014 (Tabel 14). Kesejahteraan guru telah membaik. Bagi guru yang telah disertifikasi, besaran tunjangan profesional bisa mencapai satu kali gaji pokok. Apabila guru yang telah disertifikasi ditempatkan di daerah khusus dan mendapatkan tunjangan khusus, maka pendapatan mereka bisa mencapai tiga kali gaji pokok. Tabel 14. Anggaran Pendidikan 2012-2014 untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Anggaran Pendidikan Gaji Pendidik (DAU) Tunjangan Profesi Guru Tambahan Penghasilan PNS Daerah Tunjangna khusus, fungsional dan lainnya Total gaji dan tunjangan guru Total anggaran pendidikan Persentase gaji dan tunjangan guru terhadap total anggaran pendidikan
2012 103,0 T 30,6 T 2,9 T 7,8 T 144,3 T 289,9 T 49.8%
2013 115,9 T 43,1 T 2,4 T 7,6 T 168,9 T 345,3 T 49.9%
2014 122,8 T 60,5 T 1,8 T 8,2 T 193,4 T 371,1 T 52.1%
Sumber: APBN 2012-2014 yang diolah oleh TNP2K.
Walaupun kesejahteraan guru telah membaik, hasil pencapaian belajar siswa-siswi Indonesia masih tetap terpuruk. Pencapaian matematika, bahasa, dan ilmu alam dalam tes TIMMS dan PIRLS untuk kelas delapan pada tahun 2011 menurun dibanding tahun 2007. Sementara pencapaian dalam PISA 2012 untuk anak usia 15 tahun menempatkan Indonesia pada ranking 64 dari 65 negara peserta19. Kesenjangan pelayanan dan pencapaian pendidikan di daerah perkotaan dan perdesaan juga masih cukup tinggi. Angka partisipasi sekolah untuk anak usia 7 sampai 12 tahun di daerah perdesaan berada di 93,77 persen, dibandingkan dengan 96,19 persen di daerah perkotaan (Tabel 15). Lebih dari 50 persen penduduk di daerah perdesaan berusia 15 tahun ke atas masih belum atau baru tamat pendidikan Sekolah Dasar (SD), dibandingkan 30 persen di daerah perkotaan (Tabel 16). Tabel 15. Angka Partisipasi Sekolah di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Perkotaan Pedesaaan
Usia 7 -12 96,19% 93,77%
Usia 13 -15 87,98% 80,84%
Usia 16 -18 58,27% 46,91%
Usia 19 -24 20,27% 8,84%
Sumber: BPS, 2011 19 TIMMS ( Trends in International Mathematics and Science Study) dilakukan untuk murid di kelas 4 dan kelas 8 di bidang matematika dan sains; PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) dilakukan untuk murid kelas 4 di bidang bahasa; dan PISA (Programme for International Student Assesment dilakukan untuk murid berusia 15 tahun di bidang bahasa, matematika, dan sains.
156
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
Tabel 16. Capaian Pendidikan Tertinggi di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
Sumber: BPS, 2011.
TNP2K melihat perlunya peningkatan efektivitas dan akuntabilitas anggaran sektor pendidikan yang dialokasikan untuk guru, sehingga peningkatan pelayanan dan pencapaian pendidikan dapat tercapai, terutama untuk kelompok masyarakat yang masih belum terjangkau dengan baik. Sebagai ujung tombak pendidikan, Wakil Presiden berharap agar peningkatan pendapatan guru melalui pemberian tunjangan guru dapat melecut motivasi, inovasi, dan kinerja guru. Karenanya, bekerja sama dengan BAPPENAS, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Keuangan, dan beberapa pemerintah daerah, TNP2K memetakan beberapa pokok permasalahan dan menggagas KIAT Guru.
“ Inti dari pelaksanaan inisiatif KIAT Guru yang dilakukan oleh TNP2K adalah untuk membangun tata kelola yang dapat mengaitkan antara pemberian tunjangan dan kinerja. Guru yang memiliki kinerja yang baik, seharusnya berhak mendapatkan tunjangan yang layak. Sementara Guru yang tidak mampu memberikan pelayanan pendidikan yang baik, misalnya karena sering mangkir, tidak berhak atas tunjungan kinerja. “ TIGA PERMASALAHAN UTAMA Terdapat banyak faktor yang memengaruhi lemahnya pelayanan pendidikan di daerah terpencil. Namun TNP2K melihat ada tiga permasalahan utama yang saling terkait dan perlu diatasi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah terpencil, yaitu: a. Kurangnya informasi dan transparansi tentang kriteria, mekanisme, dan pembayaran tunjangan untuk guru yang bekerja di daerah terpencil. b. Lemahnya dukungan dan pengawasan dari dinas pendidikan dikarenakan tantangan geografis. c. Tidak adanya mekanisme penghargaan dan sanksi yang terkait langsung dengan keberadaan atau kualitas layanan guru. Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
157
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
Peningkatan pelayanan pendidikan di daerah terpencil memiliki tantangan geografis yang menyulitkan pemberian dukungan dan pengawasan untuk guru oleh dinas pendidikan setempat. Survei yang dilakukan oleh SMERU pada tahun 2010 menunjukkan bahwa tingkat kemangkiran guru di daerah terpencil (24,4 persen) lebih tinggi dibandingkan rerata nasional (15 persen). Yang paling memprihatinkan adalah, tingkat kemangkiran guru penerima tunjangan khusus (31,5 persen) lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak menerima tunjangan khusus (25,4 persen). Karenanya, efektivitas dan akuntabilitas pembayaran tunjangan khusus dipertanyakan. Studi literatur, telaah data, dan temuan lapangan yang dilakukan TNP2K menunjukkan beberapa permasalahan terkait tunjangan khusus, dari penetapan target penerima, transparansi kriteria penerima, dan ketepatan waktu, jumlah, dan regularitas pembayarannya. Wakil Presiden dalam sebuah inspeksi mendadak ke sebuah sekolah di daerah terpencil menemui bahwa dari 11 guru yang terdaftar, hanya dua guru yang ada. “Yang lainnya tidak tahu ke mana perginya. Datang lagi ketika mengambil gaji.” Karenanya, perlu dilakukan pengawasan terhadap guru. Survei yang dilakukan oleh UNCEN dkk pada tahun 2012 di Papua dan Papua Barat mengaitkan tingkat kemangkiran guru dengan frekuensi kedatangan pengawas ke sekolah (Gambar 79). Tingkat kemangkiran guru di sekolah-sekolah yang tidak pernah didatangi oleh pengawas mencapai 52 persen. Padahal kehadiran guru mempengaruhi kehadiran dan pencapaian belajar murid. Gambar 79. Keterkaitan Antara Frekuensi Kedatangan Pengawas dan Persentase Ketidakhadiran Guru
18
30
29
34
42
52
Pada bulan survai dilakukan
Pada bulan sebelum survai dilakukan
Dalam 6 bulan terakhir
Dalam 1 tahun terakhir
Lebih dari 1 tahun
Tidak pernah datang
Sumber: UNCEN dkk, 2012, yang diolah kembali oleh TNP2K
Dalam sebuah kunjungan mendadak yang dilakukan oleh tim TNP2K ke sebuah sekolah dasar di Papua, ditemukan bahwa murid kelas lima mempelajari soal matematika yang semestinya sudah diajarkan di kelas dua, sementara murid kelas empat mempelajari soal bahasa yang semestinya sudah diajarkan di kelas satu. Kondisi ini semakin memprihatinkan, setelah ditemui bahwa kedua kelas tersebut diajar oleh seorang guru, yang mangkir selama jam mengajar untuk pulang dan memasak bagi keluarganya. Seorang murid kelas empat menggantikan peran si guru untuk mengajar teman-temannya mengeja kata, sementara di kelas lima, tidak ada guru.
158
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
Dari 12 guru PNS yang mengajar di sekolah tersebut, hanya tiga orang guru yang ada pada saat kunjungan. Menurut informasi dari kepala sekolah, sejak tahun 2006/2007, sebagian guru-guru melanjutkan pendidikan mereka. Namun setelah lulus, tidak satu pun dari mereka kembali untuk mengajar. Walaupun demikian, nama mereka masih terdaftar di sekolah tersebut, dan setiap bulan mereka masih menerima gaji dan tunjangan dari dinas pendidikan. Kondisi ini tentunya tidak adil bagi para guru yang sehari-hari menjalankan tugasnya mengajar. Padahal, mereka adalah para guru yang memiliki panggilan untuk mengajar. Menurut mereka, walaupun guru di SD tersebut banyak, tapi mereka malas mengajar dan pindah ke kota. Lanjut mereka, “Kesejahteraan guru kurang lancar. Tunjangan daerah terpencil ada, tapi dirahasiakan. Kami harapkan dana kesejahteraan dapat dikirim langsung dari (pemerintah) pusat ke rekening guru.” Gambar 80. Angka Kemangkiran Guru
Sumber : Smeru Kondisi yang sama juga tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan SMERU yang menyebutkan bahwa Guru yang menerima tunjangan ternyata angka kemangkirannya lebih tinggi dibandingkan dengan bukan penerima tunjangan (Gambar 80). Gambar 81. Pelajaran Bahasa Kelas 4 (Kiri) dan Pelajaran Matematika Kelas 5 (Kanan) di Sekolah Dasar di Papua
Sumber: TNP2K
Mekanisme penghargaan dan sanksi untuk guru sebenarnya telah diatur dalam Undangundang Nomor 14/2005 tentang guru dan dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 74/ 2008 tentang Guru. Dinas Pendidikan bisa memberikan surat peringatan dan bahkan menghentikan guru yang sering mangkir. Namun pada kenyataannya sanksi hampir tidak pernah diterapkan karena berbagai alasan. Diskusi dengan Dinas Pendidikan dari Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
159
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
beberapa kabupaten di Papua Barat mensinyalir koneksi politis yang dimiliki oleh guruguru yang mangkir, permasalahan kemangkiran yang sistemik di berbagai sektor ke pemerintahan, dan kekhawatiran akan semakin sulitnya mencari guru yang bersedia untuk ditempatkan di daerah terpencil. Berdasarkan kondisi diatas, inisiatif KIAT Guru dalam melakukan uji coba kebijakan sesungguhnya bertujuan untuk mengaitkan tunjangan guru dengan tingkat kehadiran dan kinerja guru, serta mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawasan.
UJI COBA KIAT GURU Dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh guru-guru di daerah terpencil, perlu dipikirkan terobosan-terobosan yang dapat meningkatkan motivasi, kinerja, dukungan, dan pengawasan bagi guru. Berdasarkan temuan lapangan dan diskusi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, muncul beberapa pendekatan yang diharapkan dapat meningkatkan keberadaan dan kualitas pelayanan pendidikan di daerah terpencil. Pendekatan tersebut terdiri dari: a. Peningkatan dukungan dan pengawasan dari bagi guru yang bekerja di daerah terpencil dengan mengikutsertakan peran masyarakat. b. Perbaikan transparansi dan mekanisme pembayaran tunjangan untuk guru yang bekerja di daerah terpencil agar sesuai dengan kriteria, tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. c. Pengujicobaan pembayaran tunjangan guru yang besarannya dikaitkan dengan keberadaan atau kualitas layanan guru. d. Apabila pendekatan pada poin ketiga di atas tidak berhasil meningkatkan keberadaan atau kualitas layanan guru, maka sisa pagu tunjangan guru yang tidak terbayarkan akan dialokasikan kembali untuk perbaikan pelayanan pendidikan di sekolah yang kinerja gurunya masih kurang. Kegiatan uji coba membagi sekolah dasar ke dalam beberapa kelompok yang diamati, yaitu: a. Kelompok kontrol, yang tidak mendapatkan perlakuan apapun. b. Kelompok A, dimana tunjangan dibayarkan secara reguler. c. Kelompok B, dimana tunjangan dibayarkan secara reguler dan dibuat kesepakatan pelayanan antara guru dan masyarakat.
160
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
d. Kelompok C, dimana tunjangan dibayarkan secara reguler, dibuat kesepakatan pelayanan antara guru dan masyarakat, pembayaran tunjangan guru dikaitkan dengan keberadaan layanan pendidikan, dan mekanisme perbaikan pelayanan pendidikan apabila diperlukan. e. Kelompok D, dimana tunjangan dibayarkan secara reguler, dibuat kesepakatan pelayanan antara guru dan masyarakat, pembayaran tunjangan guru dikaitkan dengan keberadaan dan kualitas layanan pendidikan, dan mekanisme perbaikan pelayanan pendidikan apabila diperlukan. Kegiatan uji coba dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama dilakukan sepanjang tahun akademik 2014/15 dengan peserta 31 sekolah dasar di tiga kabupaten. Tahap ini terfokus pada pengembangan mekanisme dan perangkat intervensi dan penelitian, dengan menggunakan tambahan penghasilan yang telah dialokasikan oleh pemerintah daerah. Pada tahap kedua, intervensi dan penelitian akan dilakukan di 400 sekolah di enam sampai sembilan kabupaten dengan menggunakan alokasi tunjangan guru/ tambahan penghasilan yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat. Perbandingan antara tingkat kemangkiran guru dan pencapaian hasil belajar murid di 400 sekolah pada tahap awal, tengah, dan akhir kegiatan uji coba diharapkan dapat mengidentifikasi intervensi mana yang paling efektif dalam meningkatkan motivasi dan kinerja guru dalam memberikan layanan pendidikan di daerah terpencil. Tahap kedua akan dilakukan selama dua tahun akademik setelah tahap pertama selesai, dan diakhiri dengan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan yang berbasis data.
PELAKSANAAN TAHAP PERTAMA UJI COBA Dalam upaya perbaikan kondisi pendidikan di daerah terpencil, Wakil Presiden berharap adanya upaya dan kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah Kabupaten Keerom (Papua), Kaimana (Papua Barat), dan Ketapang (Kalimantan Barat) menyambut dengan baik ajakan kerja sama dari TNP2K untuk terlibat dalam tahap pertama. Ketiga kabupaten ini memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan dan kinerja guru. Kabupaten Ketapang mengalokasikan tambahan penghasilan dari APBD untuk semua guru. Sementara Kabupaten Keerom dan Kaimana mengalokasikan Dana Otonomi Khusus untuk pemberian tambahan penghasilan bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil. Inisiatif Kabupaten Keerom dan Kaimana sangat sejalan dengan harapan dari Wakil Presiden agar pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat secara khusus memberikan perhatian untuk peningkatan pendidikan. Dengan demikian, semua anak di daerah mana pun memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
161
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
Gambar 82. Lokasi Uji Coba
Sumber : TNP2K Nota kesepakatan kerjasama antara TNP2K dengan bupati dari masing-masing kabupaten telah ditandatangani pada tanggal 2 April 2014. Dalam kesempatan ini, Bupati Kaimana menyatakan, “Kami bersama-sama dengan aparat pemerintah daerah setempat akan bekerja keras demi dimungkinkannya Kabupaten Kaimana dapat dijadikan model dalam melakukan evaluasi secara kritis terhadap pemberian insentif kepada guru, karena sejauh ini belum banyak daerah yang bisa melakukan hal tersebut. Dan semoga ini menjadi contoh yang baik untuk ditiru di daerah terpencil lainnya,” tegasnya. Sekretaris Daerah Ketapang menyatakan komitmen untuk mendukung pelaksanaan uji coba dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan, memastikan anggaran tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan uji coba, membentuk tim pengawas pelaksanaan uji coba kebijakan akuntabilitas dan pelayanan pendidikan di daerah terpencil yang terdiri dari unsur masyarakat, dan berperan aktif bersama dengan tim TNP2K terlibat di dalam keseluruhan tahapan kegiatan. Sementara Bupati Keerom berharap, “Dengan kerjasama ini ada peningkatan kualitas layanan pendidikan dasar di daerah khusus.”
Gambar 83. Suasana Lokakarya Penandatanganan Nota Kesepakatan Antara TNP2K dan Kabupaten Keerom, Kaimana, dan Ketapang
Sumber: TNP2K.
162
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
KONTRIBUSI BAGI KEBIJAKAN Kabupaten Keerom, Kaimana, dan Ketapang telah menerbitkan Peraturan Bupati dan Surat Keputusan Bupati yang menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan uji coba di masing-masing kabupaten. TNP2K ikut berbangga atas dukungan dan kerjasama yang sangat baik dari ketiga pemerintah daerah tersebut. Diterbitkannya Peraturan Bupati menunjukkan komitmen yang luar biasa dari ketiga kabupaten dalam upaya peningkatan pelayanan pendidikan di desa-desa terpencil di daerah mereka. Walaupun tahap pertama pelaksanaan uji coba ini baru dilakukan dalam skala kecil, TNP2K berharap kegiatan ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Pembayaran tunjangan guru yang dikaitkan dengan kinerja guru (dalam hal ini keberadaan dan kualitas layanan guru), diharapkan dalam skala makro dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penggunaan anggaran pendidikan. Secara mikro, langkah ini diharapkan dapat mengingatkan para guru, bahwa perbaikan hak guru perlu diikuti dengan peningkatan kewajiban guru. Walaupun uji coba ini dilakukan di sektor pendidikan, namun prinsip-prinsip peningkatan kinerja dan akuntabilitas dapat diterapkan bagi aparatur sipil negara di berbagai sektor pelayanan publik lainnya. b. Uji coba seperti yang dilakukan TNP2K melalui KIAT Guru merupakan proses pembelajaran yang sangat baik bagi pemerintah pusat dan daerah dalam hal pe-ngembangan praktik pembuatan kebijakan berbasis data. Desentralisasi sangat memungkinkan pemerintah daerah untuk mengambil peran kunci dalam mengujicobakan beberapa terobosan kebijakan yang nantinya dapat diterapkan secara nasional. c. Aspek utama dari upaya peningkatan pelayanan pendidikan yang diangkat oleh KIAT Guru adalah pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan, pengawasan, dan peningkatan pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat memungkinkan penguatan akuntabilitas pelayanan publik kepada masyarakat dan peningkatan kinerja ke pemerintahan. Mekanisme keterlibatan masyarakat pada tingkat desa dikembangkan dengan mengadopsi dan mengadaptasi prinsip-prinsip dan pendekatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd). Namun bagaimana mekanisme tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan publik masih memerlukan pendekatan yang tepat dan efektif: dari teknik sosialisasi, pendekatan fasilitasi, peningkatan kapasitas masyarakat, sampai penyampaian aspirasi dan keluhan kepada pemerintah. Pembelajaran dari uji coba ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis bagi Peta Jalan PNPM dan pelaksanaan Undang-undang Nomor 6/ 2014 tentang Desa.
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
163
KINERJA DAN AKUNTABILITAS (KIAT GURU)
d. Terobosan kebijakan terkait manajemen keuangan publik yang dilakukan oleh Kabupaten Keerom, Kaimana, dan Ketapang adalah dimungkinkannya penggunaan tunjangan guru yang bersumber dari APBD untuk diujicobakan pembayarannya dengan menggunakan mekanisme dan persyaratan yang berbeda-beda. Ketiga kabupaten juga bersedia mengalokasikan kembali pagu tunjangan guru yang tidak terbayarkan untuk peningkatan pelayanan pendidikan di sekolah peserta uji coba. Terobosan kebijakan dan mekanisme pembayaran tunjangan guru ini adalah yang pertama di Indonesia, dan oleh karena itu, dukungan dari pemerintah pusat terutama untuk memberikan ruang, dukungan, dan pengecualian bagi inovasi yang taat asas sangat diperlukan. e. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki pemahaman akan keunikan dan kedekatan terhadap permasalahan yang dihadapi daerahnya. Cukup banyak yang sudah memiliki ide-ide dan inovasi-inovasi untuk mengatasi permasalahannya, namun terkadang masih terkendala oleh kapasitas sumber daya manusia dalam melaksanakannya. Karenanya, pemerintah pusat dapat memberikan pendampingan dan penguatan kapasitas bagi pemerintah daerah, terutama terkait kisi-kisi kebijakan/peraturan dan asas-asas mekanisme pelaksanaannya.
164
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENUTUP
Penanggulangan Kemiskinan merupakan salah satu isu utama dalam agenda pembangunan pemerintahan SBY-Boediono periode 2009–2014. Pembentukan TNP2K pada tahun 2010 adalah merupakan salah satu bukti kesungguhan pemerintah untuk dapat menangani permasalahan kemiskinan dengan data yang lebih terpadu, program yang lebih sinergis dan upaya yang lebih terkoordinasi. Dengan segala daya dan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan, dalam kurun waktu lima tahun (2009– 2014) jumlah orang miskin secara absolut berkurang dari 32,52 juta orang (14,15 persen) menjadi 28,28 juta orang (11,25 persen). Ini tentu merupakan hasil yang patut diapresiasi walaupun pekerjaan menanggulangi kemiskinan masih jauh dari tuntas. Salah satu isu utama ke depan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah kecenderungan meningkatnya kesenjangan pendapatan. Peningkatan kesenjangan seperti disampaikan sebelumnya ditunjukan dengan naiknya angka rasio Gini dari 0,37 pada tahun 2009 menjadi 0,41 pada tahun 2012. Angka rasio Gini ini boleh jadi lebih rendah dari yang seharusnya karena karena perhitungan rasio Gini menggunakan indikator pengeluaran dan bukan pendapatan. Permasalahan kesenjangan terkait langsung dengan upaya menanggulangi kemiskinan karena dengan ketimpangan yang tinggi —termasuk ketimpangan pada akses layanan dasar—potensi masyarakat miskin tidak akan dapat terealisasi sepenuhnya sehingga proses ‘mengejar ketertinggalan’ (catching up) tidak akan optimal. Selain itu kesenjangan/ketimpangan juga berpotensi menimbulkan masalah sosial-ekonomi-politik yang dampak negatifnya lebih akan dirasakan oleh masyarakat miskin. Mengapa kesenjangan pendapatan meningkat? Yang terjadi bukanlah yang miskin bertambah miskin dan yang kaya bertambah kaya. Analisis data Susenas menunjukan orang miskin dan rentan miskin (40 persen termiskin) tumbuh positif dalam kurun waktu 2010-2014 Namun demikian pertumbuhan yang mereka alami lebih rendah dari pertumbuhan garis kemiskinan dan 60 persen non-miskin dan non-rentan —khususnya 10 persen terkaya. Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesenjangan? Meningkatkan efektifitas program-program perlindunan sosial dan menjaga lingkungan makro adalah dua yang utama untuk upaya tersebut. Analisis data Susenas menunjukan bahwa pertumbuhan pengeluaran 20 persen termiskin (desil 1 dan 2) pada kurun waktu 2013–2014 –periode dimana program perlindungan sosial diintegrasikan dalam Kartu Perlindungan Sosial— tumbuh lebih tinggi dari 10 persen kelompok terkaya (Desil 10 pengeluaran) dan juga dari pertumbuhan garus kemiskinan. Pertumbuhan kelompok 20 persen termiskin ini dapat lebih tinggi jika pertumbuhan inflasi —khususnya bahan pangan—dapat ditekan lebih rendah pada periode tersebut. Situasi tersebut menunjukan bahwa kedua upaya tersebut —meningkatkan efektifitas program perlindungan sosial dan menjaga stabilitas harga—akan mengangkat kesejahteraan kelompok miskin dan berujung pada menurunnya kesenjangan.
166
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENUTUP
Dari apa yang telah dipaparkan terkait dengan upaya dan capaian penanggulangan kemiskinan pada periode 2009–2014, paling tidak ada dua pembelajaran utama yang dapat dipetik untuk pencapaian hasil penanggulangan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan yang lebih baik di masa mendatang. Pertama, melakukan lebih baik apa yang telah dilakukan dalam lima tahun terakhir terkait lewat perbaikan kebijakan penanggulangan kemiskinan, khususnya terkait dengan perbaikan penetapan sasaran, penyempurnaan disain dan mekanisme distribusi program. Kedua, memastikan keterkaitan kebijakan penanggulangan kemiskinan lewat program-program bersasasaran (targeted programs) dengan kebijakan makro ekonomi yang mendukung kelompok miskin seperti infrastuktur dasar (seperti jalan, pendidikan dan kesehatan), pengendalian inflasi, akses ke modal usaha, ketenagakerjaan dan lainnya. Dari apa yang telah dipaparkan ada empat catatan utama dari yang telah dilakukan TNP2K dalam upaya menjalankan tugas sesuai yang dimandatkan Perpres 15/2010.
Pertama,
perbaikan desain kebijakan dan mekanisme program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh TNP2K selalu didasarkan atas buktibukti lapangan yang kuat. Contoh yang telah didiskusikan sebelumnya adalah perbaikan kinerja pensasaran (targeting performance) yang diupayakan mulai dari studi eskperimen pendataan yang melahirkan pendataan rumah tangga penerima manfaat dengan menggunakan metode survei yang dikombinasikan dengan konsultasi dengan warga miskin. Contoh lain adalah perbaikan mekanisme Raskin, yang dimulai pada tahun 2012 dengan mulai menggunakan BDT sebagai sumber data penerima manfaat, pemanfaatan DPM dan akhirnya penggunaan KPS sebagai penanda RTS-PM. Keseluruhan perbaikanperbaikan ini kemudian dipantau dan dievaluasi untuk kemudian menjadi bahan pembelajaran dan dasar perbaikan di masa mendatang.
Kedua, dalam memastikan bahwa perbaikan kebijakan dan program yang dicanangkan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga (K/L) pengelola program, TNP2K memastikan keterlibatan K/L pengelola dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses perbaikan tersebut. Pelibatan dimulai dari staf teknis yang bertanggung jawab pada kebijakan/program, hingga pengambil keputusan pada level eselon dua dan satu. Dengan langkah ini diharapkan perbaikan yang ada dapat memperoleh buy-in dari K/L pengelola program, sehingga dapat terlaksana seperti yang direncanakan dan memenuhi aspek keberlanjutan.
Ketiga, karena permasalahan kemiskinan seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat namun juga pemerintah pusat dan pemangku Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
167
PENUTUP
kepentingan lainnya, TNP2K memastikan bahwa pemangku kepentingan di daerah turut memberikan dukungan. Seperti dijelaskan sebelumnya, salah satu upaya penting yang dilakukan TNP2K terkait dengan mandatnya adalah peningkatan kapasitas TKPKD dalam menjalankan fungsi mereka dalam penanggulangan kemiskinan di daerah. Apa yang dicapai oleh TNP2K dalam peningkatan kapasitas TKPKD sungguh signifikan dilihat dari bukti-bukti yang telah dilakukan oleh banyak TKPKD dalam empat tahun terakhir ini
Keempat, permasalahan kemiskinan sering kali juga memerlukan inisiatif baru atau inovasi dalam upaya mengatasinya. TNP2K telah melakukan beberapa inisiatif baru untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. Salah satu yang disampaikan dalam laporan ini adalah inisiatif KIAT Guru yang melakukan uji coba peran masyarakat dalam pemantauan penyediaan layanan di tingkat lokal dan dalam menentukan pemberian hak insentif tambahan kepada penyedia layanan atas kerjanya yang sesuai dengan harapan. Jika hasil uji coba ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal dapat secara efektif memantau penyediaan layanan, maka ini merupakan terobosan bagi upaya untuk meningkatkan kualitas layanan publik khususnya di daerah-daerah terpencil. Upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukan hal yang baru dilakukan 5–10 tahun terakhir. Namun apa yang dilakukan dalam lima tahun terakhir cukup unik dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya karena adanya kelembagaan TNP2K. Pada periode ini upaya menanggulangi kemiskinan dilakukan utama lewat penyatuan data penerima manfaat yang lebih baik dan perbaikan-perbaikan desain dan mekanisme program-program perlindungan sosial. Dari pengalaman selama empat tahun terakhir ini, policy reform yang dilakukan lebih efektif karena paling tidak ada empat faktor/ syarat pendukung yang dipenuhi. (i) adanya lembaga di dalam birokrasi yang dapat mengemban mandate perubahan/perbaikan kebijakan (champion). (ii) adanya otoritas tingkat tinggi yang mendukung dan memfasilitasi secara efektif pelaksanaan mandat, (iii) ketersediaan sumber dana yang memadai dan fleksible dalam pemanfaatannya, dan (iv) dukungan dari staf profesional yang kompeten di bidang-bidang yang diperlukan.
168
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
PENUTUP
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM
169
PENUTUP
170
Menjangkau Masyarakat Miskin dan Rentan Serta Mengurangi Kesenjangan: MEMPERBAIKI KETEPATAN SASARAN, DESAIN DAN MEKANISME PROGRAM