w
w
w
aiphss .
a
i
p
kabar
h
s
s
.
o
r
Edisi Keenam
menangani kesenjangan dalam sistem
kesehatan di semua tingkat
pemerintahan. penguatan peraturan perundang-undangan
bidang kesehatan
dalam konteks desentralisasi pemerintahan; dan pelaksanaan standar pelayanan minimal baru.
meningkatkan akses DAN KUALITAS pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan kurang beruntung.
Australian Government Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
Australian Aid
g
Telah terbit publikasi AIPHSS tahun 2015 yang bisa langsung anda download di website www.aiphss.org
Kontak kami:
Implementing Se Provider (ISP) rvice Office
Gedung dr. Adh yatama blok A. Lt. 9 Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950
Website:
www.aiphss.
org
KUMPULAN NO TA KEBIJAKAN
Implementing Se Provider (ISP)– rvice Kementerian Kesehatan Republik Ind onesia
KUMPULAN N OTA KEBIJAK AN
SEMESTA
Gedung Gra ha Irama 8th Floo r, Room H Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2 Jakarta Selatan, INDONESIA 1295 0 Telp +62 21 526 1289 Fax + 62 21 368 20064 Email: newslett
[email protected]
PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN CAKUPA N KESEHATA N
Kumpulan Nota Kebijakan: Pembiayaan Kesehatan dan Cakupan Kesehatan Semesta
PEMBIAYAAN K CAKUPAN KE ESEHATAN DAN SEHATAN SEM ESTA
DIDUKUNG OL EH
AUSTRALIA IN DONESIA PA FOR HEALTH RTNERSHIP SYSTEMS STR ENGTHENING (AI
PH
SS) Australia Indo nesia Partners hip for Health Syst Australian ems Strengthenin g (AIPHSS) Aid
Kementerian Kesehata Republik Indonesi n a
Australian Gove rnment
Department of Foreign Affairs and Trade
Australia Indo nesia Partners hip for Health Syst ems Strengthenin g (AIPHSS) Australia Indo nesia Partners hip for Health Syst ems Strengthenin g (AIPHSS) Australia Indo nesia Partners hip for Health Syst ems Strengthenin g (AIPHSS)
CING HEALTH FINAN
NCING AND HEALTH FINA H COVERAGE EALT UNIVERSAL H NOTES N OF POLICY O TI LA PI M O C
VERAGE AL HEALTH CO AND UNIVERS COMPILATION TES OF POLICY NO
SUPPORTED BY
RTNERSHIP DONESIA PA AUSTRALIA IN NG (AIPHSS) Australian ENGTHENI hip STR MS nesia Partners STE SY Aid Australia Indo g FOR HEALTH ems Strengthenin for Health Syst (AIPHSS)
rnment Australian Gove
n
Kementerian Kesehata a Republik Indonesi
and Trade Foreign Affairs Department of
hip nesia Partners Australia Indo g ems Strengthenin for Health Syst (AIPHSS) hip nesia Partners Australia Indo g ems Strengthenin for Health Syst (AIPHSS) hip nesia Partners Australia Indo g ems Strengthenin for Health Syst (AIPHSS)
Australian Aid Australian AID Australian Aid
Australian Aid Australian AID Australian Aid
Compilation of Policy Notes: Health Financing and Universal Health Coverage
Daftar Isi Dukungan regulasi Tidak dipungkiri masih banyak tantangan yang perlu ditangani secara serius berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan pelayanan menjelang Jaminan Kesehatan Semesta atau Universal Health Coverage tahun 2009. AIPHSS menyelenggarakan dialog kebijakan (Policy Dialogue) pertama di Jakarta guna menemukan pemecahan secara internal sektor kesehatan maupun konteks koordinasi lintas sektor.
5
1
Berita Utama Merespon tantangan di bidang kesehatan yang semakin kompleks
Australia Indonesia Partnership for Health System Strengthening (AIPHSS) telah merumuskan agenda reformasi bidang kesehatan yang juga telah disepakati oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Pemerintah Australia, dalam hal ini Depatemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT). Kesepakatan tersebut untuk membantu Kemenkes RI dalam upaya penguatan Sistem Kesehatan Nasional (SKN).
1 Agenda Reformasi AIPHSS: Memperkuat Sistem Kesehatan untuk Menghadapi Tantangan Pembangunan Kesehatan serta Pelaksanaan RPJMN dan Renstra Kesehatan 5 Aiphss Dialog Kebijakan: Kebijakan Farmasi dan Penguatan Sistem Kesehatan Nasional Era JKN 8 InaHEA 2: Pembiayaan Kesehatan dan Ekonomi Gizi 10 Sistem Rujukan Kesehatan di Ngada; Mengapa Belum Efektif? 13 UU No. 23 tahun 2014; Peran Daerah dan Pusat Dalam Pembangunan Kesehatan Daerah
15 Hibah dan Bantuan Sosial Bidang Kesehatan: Apa Landasannya? 17 Cetak Biru Pengayaan Model Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Ppsdmk) 19 Pemanfaatan Akun Kesehatan Kabupaten untuk Kebijakan Pembiayaan Kesehatan: Mendukung penguatan sistem kesehatan dengan informasi yang lebih baik tentang pengeluaran kesehatan 24 Kebijakan Distribusi Tenaga Kerja Kesehatan Untuk Meningkatkan Akses ke Pelayanan Kesehatan
Pelayanan Kesehatan Primer
Pembiayaan Kesehatan
Hasil Assesment membuktikan upaya membenahi sistem rujukan di kabupaten Ngada tidak sepenuhnya bergantung pada prosedur baku dan mekanisme teknis dalam regulasi, namun faktor yang tidak kalah penting adalah konteks sosial budaya masyarakat lokal.
Dengan dukungan AIPHSS, Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menyusun sebuah pedoman hibah dan bantuan sosial dalam bidang kesehatan di provinsi NTT. Sebagai basis penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur (Ranpergub) tentang Pedoman Pengelolaan Hibah dan Bantuan Sosial dalam Bidang Kesehatan Provinsi NTT.
10 27 Peningkatan Upaya Kesehatan dengan Tata Kelola SDM Kesehatan yang Lebih Baik 30 Permenkes 75 tahun 2014 tentang Revitalisasi Puskesmas melalui Integrasi Program 32 Perbaikan Tata Kelola Kesehatan Menuju Masyarakat Indonesia Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan 2015-2019 35 Rencana Pembangunan Bidang Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013-2018: Tantangan, Upaya Akselerasi Kesehatan, dan Dukungan Lewat Kemitraan
13 38 Standar Pelayanan Minimal Kesehatan (SPM) menurut UU No. 23 Tahun 2014 42 Sistem Rujukan yang Efektif di Jawa Timur: Memastikan Masyarakat Menerima Pelayanan Terbaik yang Terdekat 45 Dukungan AIPHSS terhadap Revisi UU No. 32/2004 menjadi UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Sektor Kesehatan)
EDISI KEENAM | iii
Agenda Reformasi AIPHSS:
Memperkuat Sistem Kesehatan untuk Menghadapi Tantangan Pembangunan Kesehatan serta Pelaksanaan RPJMN dan Renstra Kesehatan
M
erespon tantangan di bidang kesehatan yang semakin kompleks, pada awal tahun 2014, melalui skema program Australia Indonesia Partnership for Health System Strengthening (AIPHSS) telah dirumuskan agenda reformasi bidang kesehatan yang juga telah disepakati oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes-RI) dan Pemerintah Australia, dalam hal ini Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). Kesepakatan tersebut diikuti dengan langkah restrukturisasi manajemen dan pembentukan Unit Kebijakan (Policy Unit) untuk membantu Kemenkes-RI dalam upaya penguatan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Agenda reformasi ini secara khusus, dimaksudkan agar semua kegiatan AIPHSS lebih terkoordinasi dan terarah bagi penguatan sistem kesehatan, baik di tingkat nasional, di tingkat daerah, termasuk dan terutama di tingkat layanan primer (Puskesmas) dan di tingkat institusi pendidikan terkait. Penguatan sistem kesehatan ini bertujuan memberikan dampak yang sistemik (menyeluruh) bagi perbaikan layanan kesehatan, dari pada sekedar perbaikan masalah kesehatan tertentu sebagaimana yang terjadi dengan program-program yang dikembangkan sebelumnya. Terkait dengan agenda reformasi di bidang kesehatan ini, fokus penguatan
Agenda reformasi ini secara khusus, dimaksudkan agar semua kegiatan AIPHSS lebih terkoordinasi dan terarah bagi penguatan sistem kesehatan, baik di tingkat nasional, di tingkat daerah, termasuk dan terutama di tingkat layanan primer (Puskesmas) dan di tingkat institusi pendidikan terkait. Penguatan sistem kesehatan ini bertujuan memberikan dampak yang sistemik (menyeluruh) bagi perbaikan layanan kesehatan, dari pada sekedar perbaikan masalah kesehatan tertentu sebagaimana yang terjadi dengan program-program yang dikembangkan sebelumnya.
dari program AIPHSS sendiri meliputi empat fungsi sistem kesehatan yakni:Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM), Pembiayaan Kesehatan, Pelayanan Kesehatan Primer dan Tata Kelola, khususnya terkait desentralisasi. Penguatan ke empat fungsi tersebut pada dasarnya adalah memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dilihat dari dua perspektif yaitu: 1) Apakah fungsi/sub-fungsi tersebut sesuai dengan standar peraturan dan teori sistem kesehatan, dan; 2) Apakah fungsi/sub-fungsi tersebut cukup kuat menghadapi tantangan terkini. Fokus penguatan dari program AIPHSS tersebut diatas mengacu pada hasil telaah sektor kesehatan (Health Sector Review, 2014/HSR) yang dilakukan oleh Bappenas yang kemudian mewarnai RPJMN 2015-2019 serta Renstra Kesehatan 2015-2019 yang disusun oleh Kemenkes, yang merupakan salah satu basis disusunnya agenda reformasi. Lebih jauhnya lagi, arahan dan masukan dari Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Australia melalui DFAT menggaris bawahi beberapa hal penting: Penguatan sistem kesehatan; Kesiapan sistem kesehatan menghadapi perubahan pola penyakit, utamanya peningkatan Penyakit Tidak Menular (PTM); Pentingnya penguatan upaya kesehatan masyarakat (promotif-
EDISI KEENAM | 1
preventif); Pentingnya revitalisasi untuk melaksanakan empat fungsi pokok (Usaha Kesehatan Masyarakat/UKM, Usaha Kesehatan Perorangan/UKP, Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM dan pembangunan berwawasan kesehatan), termasuk fungsi baru sebagai provider pelayanan tingkat pertama bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN), dan; Peningkatan efektifitas JKN serta ‘un-finished agenda’ pencapaian target MDGs 2015. Singkatnya, konsep dan kerangka dasar penyusunan agenda reformasi didasarkan pada kondisi serta tantangan sistem kesehatan terkini,termasuk dalam hal ini, kelemahan pada keempat fungsi sistem kesehatan yakni fungsi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, Pembiayaan kesehatan, pelayanan kesehatan primer dan tata kelola sistem kesehatan diera desentralisasi, sebagaimana menjadi focus penguatan program AIPHSS
Kesehatan (Health Sector Review, 2014) antara lain: Belum adanya rencana induk
mengenai jumlah, kompetensi, dan produksi SDM Kesehatan Maldistribusi tenaga kesehatan Mutu dan produktifitas tenaga kesehatan belum sesuai dengan tututan kebutuhan Belum adanya strategi bagaimana memproduksi tenaga ‘dokter pelayanan primer’ yang sudah tercandum dalam UU Pendidikan Kedokteran; serta Ketersediaan dan kompetensi tenaga untuk kesehatan masyarakat yang masih lemah Senada dengan Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review, 2014), dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program AIPHSS juga telah teridentifikasi beberapa kelemahan terkait yakni:
Distribusi SDM yang belum merata
dan retensi tenaga yang rendah Mutu dan produktifitas tenaga kesehatan yang rendah Belum adanya pola pengembangan karier tenaga kesehatan SDM Dinas Kesehatan yang rendah sehingga merupakan ‘bottle neck’ administrasi dan manajemen kesehatan. Dari dua dokumen strategis dan hasil perencanaan dan pelaksanaan program AIPHSS diatas menunjukkan bahwa kelemahan fungsi SDM kesehatan mencakup hampir semua sub-fungsi SDM Kesehatan, sehingga program AIPHSS menjadi strategis dalam hal penguatan sumberdaya manusia kesehatan, khususnya untuk mengatasi temuan kelemahan dimaksud. Namun demikian, dukungan dari sumber pembiayaan lain termasuk APBN dan AIPBD adalah kebutuhan yang tidak kalah pentingnya untuk mengisi keterbatasan pembiayaan dari AIPHSS sehingga hasil dan dampak yang diharapkan benar-benar optimal.
Agenda Reformasi: Pembiayaan Kesehatan
Agenda Reformasi: Penguatan Sumber Daya Kesehatan (Health Workforce) Salah satu Arah kebijakan RPJMN 2015-2019 di bidang kesehatan dan Renstra Kesehatan 2015-2019 adalah meningkatkan ketersediaan, persebaran dan mutu sumber daya manusia kesehatan. Terkait hal ini, beberapa temuan issues Sumber Daya Manusia di sektor Kesehatan dalam Kajian Sektor 2 | KABAR AIPHSS
Lemahnya sistem informasi sumber daya manusia (SDM) kesehatan Lemahnya perencanaan SDM kesehatan; baik perencanaan pada institusi maupun perencanaan kewilayaan. Mutu lulusan pendidikan SDM belum sesuai kebutuhan-utamanya tenaga bidan In-efisiensi dan ‘mis-match’ pengangkatan dan penempatan SDM Kesehatan
Untuk pembiayaan kesehatan, fokus dukungan yang selama ini diberikan oleh AIPHSS adalah persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)-Bidang Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN), mencakup antara lain : Pengembangan sistem pembayaran provider (Ina-CBGs dan Kapitasi); Sosialisasi JKN; Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ( Jamkesda) kedalam JKN, serta; Pelatihan dan pelaksanaan District Health Account (DHA) disemua kabupaten yang menjadi sasaran program AIPHSS. Selain beberapa issues diatas yang telah mendapat dukungan dari program AIPHSS, sebagaimana hasil Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector
Review/HSR 2014), beberapa tantangan lain terkait pembiayaan yang juga harus mendapatkan perhatian dan penanganan, adalah: Pembiayaan Usaha Kesehatan
Masyarakat (UKM) yang sangat kecil, sehingga berdampak jangka panjang pada beban JKN Kepersertaan JKN mencakup non-PBI (Penerima Bantuan Iuran) teristimewa pekerja sektor informal Pedoman paket santunan/clinical pathway dan prosedur penggunaannya Masih adanya ‘cost sharing’ yang dibebankan pada peserta ditempat layanan Pengembangan sistem kendali biaya dan kendali mutu yang juga menjadi salah satu konsep dasar dalam SJSN bidang kesehatan ( JKN) Pembayaran penyedia layanan kesehatan (provider payment) Sementara arah kebijakan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 menyatakan bahwa fokus penguatan pembiayaan kesehatan meliputi dua isu utama yakni: Memantapkan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) bidang kesehatan ( JKN) Mengembangkan dan meningkatkan efektifitas pembiayaan kesehatan
Diluar isues diatas, masih terdapat enam hal lain yang juga tidak kalah penting untuk mendapat perhatian dalam agenda reformasi yang disokong AIPHSS yakni: Pertama, Penetapan paket pelayanan/upaya UKM dan UKP. Terkait ini AIPHSS telah mendukung perumusan kebijakan terkait pembagian urusan di bidang kesehatan antara pusat-provinsikabupaten (melalui ADINKES). Hasil dari dukungan ini adalah daftar kegiatan bidang kesehatan secara menyeluruh dan pembagiannya antara pusat-
FOTO “PUSKESMAS” ..... yang mana fotonya?
provinsi-daerah yang dimasukan kedalam batang tubuh revisi UU no 32 2004 yakni UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Serta revisi Peraturan Menteri Kesehatan, nomor: 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang mencakup kebutuhan dasar pelayanan kesehatan menurut ‘life cycle’ penduduk. Kedua, Penghitungan biaya paket pelayanan. Selama ini analisis biaya (costing) terabaikan padahal hasilnya sangat diperlukan dalam penyusunan anggaran kesehatan, termasuk anggaran kegiatan pendukung, anggaran UKM, penentuan tariff Ina CBGs dan besaran kapitasi, penentuan premi dan besaran subsidi bagi penerima bantuan iuran (PBI-peserta JKN). Ketiga,Kajian mekanisme pembiayaan UKM yang selama ini hampir sepenuhnya tergantung pada dana Biaya Operasional Kesehatan (BOK) baik terkait besarnya alokasi, distribusi ke daerah/puskesmas, efektifitas pemanfaatan serta regulasi pendukung. Keempat, Pencarian alternative pembiayaan kesehatan yang innovative. Selama ini cara pembiayaan lebih bersifat konvensional: tax based
(melalui APBN dan APBD) serta tarif pelayanan, baik yang dibiayai langsung oleh rumah tangga (out of pocket payment) maupun melalui asuransi/ jaminan kesehatan. Mobilisasi sumber pembiayaan lain belum tereksplorasi secara optimal. Contohnya melalui penggunaan dana bagi hasil cukai rokok ke daerah yang bisa dimanfaatkan sebagai komplemen pembiayaan UKM. Atau, contoh lain yakni pemanfaatan anggaran sektor lain untuk kesehatan seperti Alokasi Dana Desa (ADD), mobilisasi dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan, dll. Kelima, Peningkatan kemampuan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Pembiayaan kesehatan memerlukan sistem perencanaanpenganggaran yang realistis yakni terjangkau (affordable), berbasis bukti (evidence based), berbasis kinerja (performance based), cost efektif serta efisien. Kelemahan ditingkat kabupaten dalam penyusunan rencana dan anggaran kerap ditemukan belum berbasis kinerja. Sementara ditingkat nasional pembenahan sistem perencanaan dan penyusunan anggara masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Keenam, Peningkatan kemampuan dari Kemenkes untuk melakukan analisis kebijakan pembiayaan
EDISI KEENAM | 3
kesehatan. Sistem pembiayaan sedang mengalami perubahan besar diberbagai negara sebgai respon terhadap perubahan masalah kesehatan, determinan masalah kesehatan, permintaan dan tuntutan masyarakat, gejolak ekonomi global/regionalnasional, serta perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk melakukan analisis kebijakan pembiayaan secara terus menerus.
Tugas utama Puskesmas adalah ‘pembinaan kesehatan wilayah’ melalui empat kegiatan pokok yakni: 1). Melaksanakan program kesehatan masyarakat (UKM); 2). Melaksanakan upaya kesehatan perorangan (UKP); 3). Menggerakan peran serta dan
Arah Kebijakan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
memberdayakan masyarakat, serta; 4). Mendorong pembangunan berwawasan kesehatan. Pertanggal 1 Januari 2014, kegiatan UKP oleh Puskesmas dilaksanakan dalam fungsi barunya sebagai penyedia pelayanan primer bagi peserta JKN.Untuk hal ini, maka dalam RPJMN 2015-20161 telah diatur sejumlah hal mengenai arah kebijakan terkait fungsi baru Puskesmas sebagai penyedia layanan primer bagi peserta JKN, yakni sebagaimana tersaji dalam infografis di bawah ini:
Agenda Reformasi: Pelayanan Kesehatan Primer/ Puskesmas
Reform agenda PHC/ Puskesmas
Akselerasi akses dan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), remaja dan lanjut usia
Tenaga KIA, kesehatan reproduksi remaja dan usia lanjut (*)
Percepatan perbaikan gizi masyarakat
Tenaga gizi (*)
Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan
Kapasitas perencanaan dan pengelolaan Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan (P2PL) (*)
Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar
Kapasiatas untuk kegiatan ‘outreach’ (*)
Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan rujukan
Sistem rujukan primer sekunder (*)
Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan dan kualitas farmasi dan alkes
Manajemen obat
Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan
Manajemen POM
Meningkatkan Ketersediaan, Persebaran dan mutu SDM Kesehatan
Penempatan dan retensi (*)
Meningkatkan Promkes dan Pemberdayaan Masyarakat
Biaya, tenaga, pengelolaan program promkes dan UKBM (*)
Menguatkan Manajemen, Penelitian, Pengembangan dan sistem informasi
Revisi Sistem Pencatatan & Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) (*)
Memantapkan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Paket pelayanan dan pengelolaan kapitasi (*)
Mengembangkan dan meningkatkan efektifitas pembiayaan kesehatan
Perencanaan dan penganggaran tingkat pusat, daerah dan puskesmas. (*)
Note: (*) = kegiatan yang didukung oleh AIPHSS dalam revitalisasi PHC/Puskesmas. Foto: AIPHSS – BPPSDM 1
Bappenas Juli 2014
4 | KABAR AIPHSS
Aiphss Dialog Kebijakan
Kebijakan Farmasi dan Penguatan Sistem Kesehatan Nasional Era JKN
L
ebih dari satu tahun sejak diberlakukannya UndangUndang No.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Indonesia telah melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) untuk lebih dari 121,6 juta orang penerima manfaat. Jumlah ini melebihi target yang ditetapkan. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada banyak tantangan yang perlu atasi secara
serius, khususnya yang berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan pelayanan menjelang pencapaian Jaminan Kesehatan Semesta atau Universal Health Coverage tahun 2019. Dari banyaknya tantangan yang dihadapi, salah satunya adalah terkait dengan kebijakan. Karenanya, Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) bekerjasama dan mendukung
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk mengadakan serangkian dialog kebijakan (policy dialogue) terkait dengan berbagai issues/tantangan yang dihadapi guna menemukan pemecahan secara internal sektor kesehatan maupun konteks koordinasi lintas sektor. Dialog kebijakan pertama melalui program AIPHSS ini berlangsung pada tanggal 5 Mei 2015,bertempat di Balai Kartini-Jakarta. Dialog yang di buka oleh
EDISI KEENAM | 5
“
Sekretaris Jenderal Kementerian kesehatan tidak bisa dilaksanakan Kesehatan Pelayanan RI, Dr Untung Suseno secara optimal jika obat tidak terjaga Sutarjo, MKes serta dihadiri ketersediaan oleh dan jika mutudari produk dan penggunaannya tidak sejumlah undangan stakeholders sesuai. Dari sisi pembiayaan, terkait, antara lain: Badan Pengawasan obat di Indonesia memakan 30-40% kesehatan, jumlah Obat dan makanan (BPOM);anggaran badan
yang tidak sedikit tentunya. Dengan demikian diperlukan proses yang efisien dan efektif dalam seleksi, penentuan harga, pengadaan, distribusi dan penggunaan serta mutu produknya.
”
Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS); Donor terkait: USAID, World Bank, WHO; dan lembaga profesi terkait. Dialog kebijakan ini secara spesifik bertujuan menelaah berbagai tantangan yang menghambat akses, ketersediaan, keterjangkauan obat serta keamanan, kemanfaatan dan mutu obat serta penggunaannya secara rasional sejak obat diproduksi, didistribusi dan digunakan dalam pelayanan. Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal juga menyampaikan bahwa infrastruktur untuk jaminan mutu dan regulasi obat di Indonesia telah berperan efektif dalam menjamin keamanan, khasiat, mutu dan keabsahan obat. Namun demikian penegakan peraturan dan perundangundangan menyangkut distribusi obat dipasar perlu diperkuat melalui kerjasama dengan aparat berwenang ditingkat kabupaten. Pengelolaan jalur pasukan obat yang efisien dan efektif sangat diperlukan dalam menjamin akses ketersediaan, keterjangkauan dan mutu obat, sehingga obat selalu tersedia setiap saat diperlukan. Ditegaskan pula, bahwa dengan masih ditemukannya hambatan antara tingkat kabupaten dan puskesmas dalam hal jalur pasukan obat, maka diperlukan suatu pembagian tugas dan koordinasi yang jelas antara pusat dan daerah dalam menjaga jalur pasokan
6 | KABAR AIPHSS
obat dan penerapan standard pelayanan minimal farmasi. Sementara, terkait dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN), pihak Sekretaris Jenderal melihat pentingnya E-catalogue dalam pengadaan obat disektor public dan penggunaannya juga perlu dievaluasi secara sistematik. Menurut Sekretaris Jenderal, pengendalian harga
obat seperti tercakup dalam E-Catalogue yang sebagian besar adalah obat generic mempunyai implikasi terhadap akses dan ketersediaan obat, mutu obat dan keberlangsungan industri dalam negeri. Sementara kesetaraan akses obat bisa ditingkatkan dengan promosi penggunaan obat generik yang terjamin mutunya. Dialog kebijakan ini menyajikan paparan terkait pengalaman dan tantangan pelaksanaan manajemen obat di era JKN dari Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, Rumah Sakit Regional, Rumah Sakit vertical serta penyajian tentang kebijakan farmasi , regulasi, jaminan mutu obat era JKN dari Gabugan Perusahaan Farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Ditjen Binfar dan Alkes Kemenkes. Sebagai upaya pemecahan terhadap masalah, dalam dialog ini dirumuskan sejumlah kesepakatan dan rekomendasi sebagai acuan untuk tindak lanjuti dalam koridor koordinasi yang sinergis bagi peningkatan manajemen obat dalam rangka pelaksanaan JKN. Beberapa rekomendasi kunci yang dihasil dari dialog ini, adalah:
Untuk mengakses materi presentasi dalam kegiatan dialog ini, silahkan mengunjungi website kami : www.aiphss.org
Sejumlah issues/tantangan perlu ditindak lanjuti dengan
pertemuan-pertemuan yang lebih fokus untuk merumuskan kebijakan dalam mengatasi masalah yang ada. Beberapa topik yang perlu ditindak lanjuti antara lain: • Penentuan harga obat generik yang berimbang/rasional • Kebijakan tambahan untuk pemanfaatan dana kapitasi Puskesmas, khususnya untuk UKM (sesuai dengan tujuan kapitasi) • Kebijakan pengambilan sampel obat/vaksin di Puskesmas • Kemungkinan pendelegasian sebagian kewenangan pengawasan BPOM ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota Perbaikan penerapan e-catalogue dan sosialisasinya Perlunya revisi terhadap NSPK/regulasi yang sudah ada agar sesuai dengan kondisi saat ini termasuk pembagian peran lintas sektor pusat dan daerah. Perlu dibentuk kelompok kerja kemandirian industri farmasi dengan memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri untuk kemudian disusun ‘roadmap’ Perlunya komitmen yang kuat dari Pemerintah dan secara konsisten diterapkan program kemandirian industri farmasi. Foto: Koleksi AIPHSS
Matrix Penguatan Sistem Farmasi
Kesepakatan
Kementerian Kesehatan
Badan BPOM
Dinas Kesehatan
Industri Farmasi
Rumah Sakit/ Puskesmas
Keamanan Mutu Manfaat
Keterjangkauan Ketersediaan Penggunaan Rasional Kemandirian
EDISI KEENAM | 7
InaHEA 2:
Pembiayaan Kesehatan dan Ekonomi Gizi Kongres kedua Indonesian Health Economics Association Congress (InaHEA) digelar di Jakarta pada tanggal 7-10 April 2015 dengan tema ‘Health Financing and Economics of Nutrition”. Event ini diselenggarakan sebagai sarana pertukaran informasi serta bukti ilmiah untuk memperbaiki kebijakan strategis dalam sistem kesehatan baik makro maupun mikro ditingkat nasional dan daerahdalam reformasi sistem kesehatan di Indonesia. Selain itu, acara ini juga mempromosikan pentingnya hari Kesehatan Dunia yang tahun ini mengangkat tema: Ketahanan Pangan. Karena itu, tema yang diangkat dalam kongres InaHEA tahun ini dihubungkan dengan ketahanan pangan.
8 | KABAR AIPHSS
Pembiayaan Kesehatan dan Ekonomi Gizi Indonesia masih memiliki tingkat prevalensi yang cukup tinggi terkait kasus kurang gizi pada anak dibawah usia lima tahun. Selain itu Pemerintah juga masih berada diluar jalur dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) serta pemenuhan target pembangunan nasional 2009-2014. Masalah yang berkelanjutan dari kurangnya gizi berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia khususnya di beberapa daerah termiskin di
Untuk mendownload keseluruhan materi presentasi InaHEA 2015 Conference,silahkan klik di sini: http://www.inahea.org/download.html
Indonesia. Situasi ini secara langsung mempengaruhi hasil (outcomes) dari sektor pendidikan dan pertumbuhan ekonomi negara yang pada gilirannya berdampak terhadap pencapaian tujuan pembangunan sosial nasional dan ketidakadilan pembangunan lainnya. (Sumber: Health Sector Review 2014oleh Bappenas dan didukung secara finansial oleh Program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening /AIPHSS-DFAT). Kegiatan kongres yang ini dibuka secara resmi oleh Menteri Kesehatan, Prof. ,Dr., dr. Nila Djuwita Moeloek F, SpM (K). Dan, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) sebagai sponsor utama acara ini menyajikan sesi berbagi informasi, khususnya mengenai Gizi, Sumber Daya Manusia Kesehatan, serta Pengalaman global public private partnership dan Program DFAT Indonesia tentang Kesehatan.
“
Guna mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit (RS) regional provinsi, pemerintah telah meningkatkan status 110 RS tingkat kabupaten untuk menjadi RS Rujukan Regional.
”
Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, SpM (K), Menteri Kesehatan RI
Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, SpM (K) dalam opening speech-nya menyoroti ketimpangan dan dampak pengambilan keputusan terhadap kondisi ekonomi dan kesehatan keluarga. Sementara James Gilling, Pimpinan Program Kerjasama Pembangunan Australia di Indonesia, dalam kesempatan ini menyampaikan ketertarikannya terhadap issue ekonomi kesehatan di Indonesia.
“
Berbicara tentang ekonomi kesehatan, tidak terpikirkan oleh saya tempat dan waktu yang lebih menantang selain disini, di Indonesia, dan Sekarang!
Foto: Koleksi AIPHSS & www.inahea.org
”
James Gilling, Pimpinan Program Kerjasama Pembangunan Australia di Indonesia
EDISI KEENAM | 9
Sistem Rujukan Kesehatan di Ngada; Mengapa Belum Efektif? Mencermati kebijakan rujukan kesehatan dari perspektif sosial budaya di kabupaten Ngada
J
anji pemerintah untuk memberikan jaminan layanan kesehatan yang dapat diakses oleh seluruh warga negara kini telah direalisasi dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) sejak 1 Januari 2014. Kebijakan ini ibarat hembusan angin segar yang memberikan semangat dan harapan baru bagi pemenuhan hak warna negara atas kesehatan, terutama mereka yang tinggal di pelosok kabupaten tertinggal, termasuk masyarakat di
10 | KABAR AIPHSS
Jaminan Kesehatan Nasional mereformasi sistim pelayanan kesehatan secara menyeluruh khususnya yang terkait dengan empat fungsi sistem kesehatan yakni: Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM), Pembiayaan, Pelayanan Kesehatan Primer dan Tata Kelola, teristimewa terkait desentralisasi. Karenanya, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional turut menjadi angin segar bagi Dinas Kesehatan (Dinkes) kabupaten Ngada untuk meningkatkan pelayanan rujukan sesuai kebijakan yang berlaku.
kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang selama ini masih berkendala dengan rujukan pelayanan kesehatan. Hal ini di karenakan, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional mereformasi sistim pelayanan kesehatan secara menyeluruh khususnya yang terkait dengan empat fungsi sistem kesehatan yakni:Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM), Pembiayaan, Pelayanan Kesehatan Primer dan Tata Kelola, teristimewa terkait desentralisasi. Karenanya, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional turut menjadi angin segarbagi Dinas Kesehatan (Dinkes) kabupaten Ngada untuk meningkatkan pelayanan rujukan sesuai kebijakan yang berlaku. Pertanyaan kemudian timbul: apakah sistem dan kebijakan yang ada sudah mampu menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat serta Dinkes akan sistem rujukan yang efektif dalam konteks sosial budaya setempat? Untuk menjawab pertanyaan diatas, Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada dengan dukungan program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) telah melakukan assessment tentang sejauh mana perspektif sosial budaya mempengaruhi efektifitas sistem rujukan kesehatan dikabupaten ini. Ditemukan bahwa ternyata upaya membenahi sistem rujukan di kabupaten Ngada tidak sepenuhnya hanya bergantung pada kebijakan yang sudah ada, yang berupa prosedur baku dan mekanisme teknis. Namun, implementasi kebijakan sistem rujukan juga dipengaruhi oleh konteks sosial budaya masyarakat lokal sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya. Lantas, seperti apakah sistem dan kebijakan yang berlaku dan pengaruh perspektif sosial budaya terhadap efektifitas penyampaian layanan rujukan di Kabupaten Ngada?
Sistem rujukan menurut Permenkes no. 01 tahun 2012 Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan wewenang atau tanggung jawab timbal balik terhadap penanganan suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan. Pelimpahan dilakukan dari unit terkecil atau berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu. Sistem rujukan medik dapat berupa pengiriman pasien, specimen, pemeriksaan penunjang diagnotis dan rujukan pengetahuan tentang penyakit. Rujukan medik diselenggarakan dalam upaya menjamin pasien dapat menerima pelayanan kesehatan perorangan secara berkualitas dan memuaskan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat dari lokasi tempat tinggalnya dengan tingkat biaya terjangkau (low cost), sehingga pelayanan menjadi efektif dan efisien.
EDISI KEENAM | 11
Lima dimensi sosial budaya yang mempengaruhi sistem rujukan di kabupaten Ngada Assessment yang dilakukan Dinas Kesehatan dengan dukungan Program AIPHSS menelaah lima dimensi sosial budaya yang dipandang mempengarushi sistem rujukan kesehatan, yaitu : Nilai dan pola laku kesehatan masyarakat, kondisi geografis, kriteria rujukan, model dan biaya transport serta kapasitas rujukan. Proses diskusi melibatkan tokoh masyarakat, kader kesehatan, dewan penyantun puskesmas dan staf sosial budaya kecamatan disetiap puskesmas untuk menggali kondisi faktual dan permasalahan yang dihadapi.
Dari sejumlah focus group discussion (FGD) yang dilangsungkan, disimpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan dalam sosialisasi suatu sistem tidak hanya ditentukan oleh prosedur dan tata kelola sebuah sistem yang berlaku, melainkan sangat tergantung kepada konteks pengguna (user), dalam hal ini nilai dan pola laku kesehatan dari pengguna sebagai anggota entitas sosial budaya, dan objektif dari sistem itu sendiri. Sementara asas sasaran dan manfaat menjadi pertimbangan utama dalam penerapan sistem rujukan. Nilai dan pola laku kesehatan masyarakat Ngada sebagai sebuah entitas sosial budaya akan sangat
menentukan efektifitas dari sistem rujukan kesehatan perorangan upaya mencari penyembuhan pada pusat pelayanan kesehatan modern.Jika rujukan ke pusat pelayanan kesehatan (Puskesmas) terus menerus dipraktekan oleh masyarakat sebagai pilihan untuk memperoleh penyembuhan, lambat laun tentunya akan menjadi sebuah nilai dan pola laku budaya. Karena itu, untuk dapat membangun budaya rujukan maka sarana, prasarana dan tingkah laku para petugas kesehatan merupakan agen utama dalam proses perubahan nilai dan pola laku sosial budaya. (Sumber foto: www.indonesiatravelingguide.com)
Langkah ke depan Peran pemerintah daerah kabupaten Ngada menjadi sangat penting untuk membuat terobosan kebijakan berupa peraturan bupati (perbup) dengan mempertimbangkan beberapa rekomendasi dari assessment tersebut, sebagai berikut:
Melakukan upaya meningkatkan keberlangsungan pelayanan kesehatan dasar termasuk koordinasi dan integrasi lintas sektor
Menjamin kecukupan tenaga kesehatan di pusat pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) dan meningkatkan kualitas dan kinerja tenaga kesehatan.
Memenuhi jumlah tenaga kesehatan terlatih pada pusat-pusat rujukan vertical Melakukan pembenahan organisasi dan pelayanan sistem rujukan memperhatikan kriteria pembagian wilayah geografi rujukan kesehatan dan adat istiadat masyarakat setempat
Melakukan koordinasi rujukan antar sarana kesehatan alur rujukan berdasarkan klasifikasi fasiltias
kesehatan. Lokasi/wilayah kabupaten dan kooordinasi unsur pelaksana teknis baik secara vertical maupun horizontal
Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang kriteria-kriteria pada setiap tingkat pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RSUD) yang dapat memberikan pelayanan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan
Bekerja sama dengan instansi lintas sektor utuk membenahi sarana transportasi umum, sarana jalan mennuju ke dan dari pusat-pusat pelayanan kesehatan
Mengimbangi perencanaan pembangunan infrastruktur kesehatan dengan strategi sosial budaya,
menyempurnakan model analisis pembangunan kesehatan untuk melengkapi model analisis pembangunan kesehatan yang ada.
12 | KABAR AIPHSS
UU No. 23 tahun 2014;
Peran Daerah dan Pusat Dalam Pembangunan Kesehatan Daerah Peningkatan kinerja Pembangunan Kesehatan Daerah adalah mutlak dilakukan dalam koridor peran kemitraan yang terstruktur dan erat antara Pemerintah Daerah dan Pusat. Peran dimaksud telah ditetapkan dengan jelas dalam UU no 23 tahun 2014.
T
erkait hal ini, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) menyelenggarakan lokakarya dengan thema: “ Penguatan Sistem Kesehatan Daerah Dalam Konteks UU No. 23 dan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional”. Lokakarya yang dilangsungkan di Kupang pada tanggal 30 Juni-1 Juli 2015 secara khusus bertujuan mensosialisasikan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
khususnya mengenai pembagian urusan pada sektor kesehatan termasuk didalamnya Standar Pelayanan Minimum (SPM) kesehatan serta implikasinya terhadap perangkat daerah. Lokakarya ini juga sekaligus menemu kenali isu-isu strategis berkaitan dengan implikasi pemberlakuan UU No. 23 tahun 2014 dan SPM terhadap perumusan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas Kesehatan. Dalam pidato sambutan, Gubernur NTT menggaris bawahi tiga (3) issue strategis yang telah di identifikasi
Pemerintah Daerah yang perlu segera ditindaklanjuti, yakni:
Sinkronisasi dan konsistensi antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah (RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan serta RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan di daerah); Perlunya peningkatan kapasistas tenaga kesehatan daerah untuk melaksanakan urusan SPM Kesehatan dalam konteks desentralisasi, dan; Perlunya kesepahaman dan kesepakatan pelaku-pelaku di
EDISI KEENAM | 13
tingkat Pusat dan Daerah tentang operationalisasi sistem kesehatan didaerah yang holistic dan terintegrasi. Tidak bisa dipungkiri, memasuki tahun kedua, dinamika pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) masih menjadi isu publik yang hangat dan menjadi pembahasan menarik oleh berbagai kalangan. Untuk itu Pemerintah Pusat dan Daerah diharapkan dapat mengidentifikasi isu-isu strategis terkait pelaksanaan JKN di masing-masing daerah, khususnya dalam hal percepatan kepersertaan, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, pembiayaan JKN yang terjangkau (affordable), berkelanjutan (sustaibable) dan terintegrasi. Selain itu, pelembagaan sistem kendali mutu dan biaya ditingkat daerah dan sistem pembinaan dan pengawasan pelaksanaan JKN didaerah merupakan isu yang tidak kalah pentingnya untuk ditangani. Efektifitas pelaksanaan JKN, jelas akan sangat ditentukan oleh peran serta kinerja kerja dari pelaku-pelaku JKN baik ditingkat pusat dan daerah dalam menghadapi isu-isu tersebut diatas. Pelaku-pelaku dimaksud, di Pusat, antara lain:Kementerian Kesehatan (PPJK, BUKD BUKR, PPSDM, dll), Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, BPJS Kesehatan, Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB), dan Clinical Advisory Board. Sementara di tingkat daerah, pelaku-pelaku dimaksud antara lain : Bupati, Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Badan Kepegawaian Daerah, Rumah Sakit, Puskesmas, BPJS Kesehatan dan TKMKB. Lokakarya ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat dikembangkan untuk menghasilkan sebuah model penguatan sistem kesehatan daerah secara holistic dan terintegrasi serta
14 | KABAR AIPHSS
akselerasi pelaksanaan JKN didaerah lain. Khusus untuk empat (4) kabupaten sasaran AIPHSS yakni : Ngada, Flores Timur, Timur Tengah Utara (TTU) dan Sumba Barat Daya, hasil pertemuan ini secara kongkrit menjadi strategi penguatan sistem kesehatan dan pelaksanaan JKN dan efektifitasnya akan dievaluasi pada tahun 2016. Lokakarya yang dihadiri oleh Sekertaris Jendral (Sekjen) Kemenkes RI dan Pembina Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur/Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, beberapa pejabat eselon II hingga IV Kemenkes dan Direktur Kesehatan Kedutaan Australia (DFAT) ini diikuti oleh 103 peserta dari unsur pemerintah pusat dan unsur pemerintah daerah dari 3 provinsi. Unsur pemerintah daerah antara lain : Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah Kabupaten Ngada, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten TTU, dan Kabupaten Flores Timur. Sementara 2 unsur pemeritah provinsi yang lain adalah dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Untuk menjamin pencapaian tujuan dan hasilnya, Lokakarya ini menghadirkan narasumber yang sangat berkompeten dalam bidang masing-masing,yakni :Ketua Tim Revisi UU No. 32 tahun 2004 yang kini menjadi UU No 23 tahun 2014, yang adalah juga Komisioner Aparatur Sipil Negara, Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran Kemenkes RI, Kepala Pusat Penjaminan dan Pembiayaan Kesehatan Kemenkes RI, Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Ketua Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya sekaligus Program Technical Specialist AIPHSS, Kepala Pusat Perencanan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Kemenkes RI, Kasubdit Bina Pelayanan Kesehatan Rujukan di RSU Kemenkes RI, Kasi Standarisasi Bina Pelayanan Kesehatan Dasar Kemenkes RI. Foto: Koleksi AIPHSS
Hibah dan Bantuan Sosial Bidang Kesehatan: Apa Landasannya?
P
emerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menetapkan regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial bagi masyarakat NTT melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No 27 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Hibah, Bagi Hasil, Bantuan Sosial dan Belanja Tak Terduga Provinsi Nusa Tenggara Timur. Regulasi ini ditetapkan sebagai pelaksanaan atas ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2018 Provinsi NTT dimana setiap tahunnya hingga 2018, Pemerintah Provinsi menganggarkan dana hibah dan bantuan sosial (bansos). Isi yang menjadi muatan Pergub tersebut mengatur soal pemberian hibah dan bantuan sosial bagi SKPD dalam lingkup Pemerintah NTT. Sayangnya, regulasi tersebut belum mengakomodir tata aturan pengelolaan dana hibah dan bansos bidang
kesehatan sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan hukum bagi pihak pengelola hibah & bansos bidang kesehatan. Terkait permasalahan diatas, dengan dukungan Pemerintah Australia melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS), Dinas Kesehatan Provinsi NTT telah menyusun sebuah Pedoman Hibah dan Bantuan Sosial Dalam Bidang Kesehatan di Provinsi NTT. Pedoman ini nantinya akan dijadikan basis penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur (Ranpergub) tentang Pedoman Pengelolaan Hibah Dan Bantuan Sosial Dalam Bidang Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk merevisi Pergub No 27 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Hibah, Bagi Hasil, Bantuan Sosial dan Belanja Tak Terduga Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berikut adalah beberapa kutipan terhadap isi dari pedoman dimaksud:
Tujuan, Sasaran, Bentuk dan Mekanisme Pengelolaan Hibah Tujuan pemberian hibah bidang kesehatan ditetapkan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pembangunan kesehatan provinsi Nusa Tenggara Timur dengan lima sasaran yakni: 1). Pemerintah; 2). Pemerintah Daerah; 3). Perusahaan Daerah; 4). Masyarakat Umum, dan/ atau; 5). Organisasi Kemasyarakatan. Bentuk kegiatan hibah bidang kesehatan dapat berupa uang, barang dan jasa. Hibah dalam bentuk uang dilaksanakan oleh Biro Keuangan Provinsi dan disalurkan dengan mekanisme pembayaran langsung oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) Provinsi kepada penerima hibah. Sementara hibah dalam bentuk barang dan jasa akan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi. Pencatatan dan pelaporan pengelolaan hibah dilakukan oleh PPKD dan Dinas Kesehatan Provinsi sesuai bentuk hibah yang dikelola.
EDISI KEENAM | 15
Mekanisme pengelolaan hibah ditetapkan meliputi:
a Sosialisasi; b Seleksi, penetapan calon dan c d e f
umpan balik calon penerima hibah; Tata cara penyaluran hibah; Pencatatan hibah; Pelaporan hibah, dan; Pertanggung jawaban hibah.
Sosialisasi kepada sasaran penerima hibah penting agar pengelolaan hibah dalam bidang kesehatan tepat sasaran, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. Gubernur berwewenang menetapkan daftar penerima hibah beserta besaran jumlah uang atau jenis barang atau jasa yang dihibahkan dengan keputusan Gubernur. Penerima hibah wajib membuat laporan kepada Pemerintah Provinsi melalui PPKD Provinsi tentang pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan semua bukti pertanggungjawaban kegiatan paling lambat satu (1) bulan setelah pelaksanaan kegiatan. Selanjutkan PPKD Provinsi wajib membuat laporan realisasi hibah yang terintegrasi dengan laporan realisasi jenis belanja hibah. Dinas Kesehatan Provinsi diwajibkan pula membuat laporan realisasi hibah berupa barang/jasa sebagai realisasi obyek belanja hibah paling lambat sebulan setelah pelaksanaan kegiatan.
Tujuan, Sasaran, Bentuk dan Mekanisme Pengelolaan Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Provinsi dapat memberikan bantuan sosial (bansos) dalam bidang kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan provinsi dengan memprioritaskan pengalokasian untuk pemenuhan belanja urusan wajib. Bantuan Sosial dapat meliputi bansos terencana dan tidak terencana. Bansos terencana dalam bidang kesehatan adalah bantuan berupa uang/ barang oleh Pemerintah Provinsi kepada 16 | KABAR AIPHSS
individu, keluarga/masyarakat yang sudah jelas nama dan alamat penerimanya dan besarannya pada saat penyusunan APBD. Sementara Bansos tidak terencana adalah bantuan berupa uang oleh Pemerintah Provinsi kepada individu, keluarga, kelompok/ masyarakat yang tidak dapat diperkirakan pada saat penyusunan APBD. Tujuan pemberian bantuan sosial dalam bidang kesehatan adalah meningkatkan kesehatan individu, keluarga, kelompok/masyarakat yang mengalami masalah kesehatan akibat dampak dari krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan bantuan sosial maka kesehatan individu, keluarga, atau kelompok/masyarakat akan semakin terpuruk. Penerima bantuan sosial bidang kesehatan meliputi dua bagian, yakni: 1). Individu, keluarga, kelompok/ masyarakat di Provinsi NTT yang mengalami masalah kesehatan akibat krisis sosial, ekonomi, politik, bencana dan fenomena alam; 2). Lembaga Non Pemerintahan yang berperan untuk melindungi invidu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat dan resiko sosial. Jenis bantuan sosial dalam bidang kesehatan dapat berupa uang atau barang. Jenis bansos berupa uang dilaksanakan, dicatat dan dilaporkan oleh PPKD Provinsi sementara jenis bansos berupa barang dilaksanakan, dicatat dan dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi. Mekanisme pengelolaan bansos terencana dalam bidang kesehatan meliputi:
a Sosialisasi; b Seleksi, penetapan calon dan c d e f
umpan balik calon penerima bantuan sosial terencana; Tatacara penyaluran bantuan sosial terencana; Pencatatan bantuan sosial terencana; Pelaporan bantuan sosial terencana, dan; Pertanggungjawaban bantuan sosial terencana.
Rangkaian mekanisme diatas juga diterapkan pada pengelolaan bansos tidak terencana. PPKD Provinsi menetapkan penerima bantuan sosial tidak terencana berupa uang tanpa melalui Keputusan Gubernur tetapi dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran bantuan sosial tidak terencana yang tercantum dalam DPA PPKD paling lambat dua (2) minggu setelah mendapat rekomendasi/usulan Dinas Kesehatan Provinsi.
Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Bansos Pelaksanaan kegiatan yang didanai melalui hibah dan bantuan sosial dalam bidang kesehatan harus memenuhi kaidah pengelolaan yang sesuai dengan prinsip pelaksanaan pemerintah yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (good government). Dengan mematuhi prinsip-prinsip:
Mentaati ketentuan peraturan dan
perundangan yang berlaku; Membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan; Menjunjung tinggi transparansi dan asas akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Proses Monitoring dan Evaluasi (M&E) pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial berupa uang dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) Provinsi. Sementara kegiatan M&E hibah dan bantuan sosial berupa barang dan jasa dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi. Upaya pengawasan terhadap pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial dilakukan oleh Inspektorat Provinsi dan oleh masyarakat. Untuk itu perlu adanya penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Foto: Koleksi AIPHSS
Cetak Biru Pengayaan Model Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Ppsdmk)
M
anusia adalah unsur terpenting dalam setiap program dan kegiatan. Termasuk para pelaksana di bidang kesehatan. Karena itulah, Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) dan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, meluncurkan cetak biru Pengayaan Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI-SDMK) 2014. Sistem Informasi SDMK ini merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS), yaitu: 1. Sistem Informasi Upaya Kesehatan (SI-UK) 2. Sistem Informasi Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (SILitbangkes) 3. Sistem Informasi Pembiayaan Kesehatan (SI-PK) 4. Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI-SDMK) 5. Sistem Informasi Sediaan Alat Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan (SI-FAM) 6. Sistem Informasi Manajemen dan Regulasi Kesehatan (SI-MRK) 7. Sistem Informasi Pengembangan Masyarakat (SI-PM) Informasi minimal yang dibutuhkan dalam SI-SDMK adalah: 1. Informasi ketenagaan SDMK: jenis, jumlah, kompetensi dan pemerataan
2. Informasi upaya pengembangan dan pemberdayaan SDMK: perencanaan, pengembangan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan mutu.
Permasalahan Saat ini, pengelolaan data SDMK masih menggunakan fasilitas komputasi secara terbatas dan belum terorganisir dengan baik. Hal ini menimbulkan beberapa masalah, antara lain: 1. Kesulitan mendapatkan data SDMK secara individual: a. Data SDMK tersebar di berbagai program dan sektor di pusat maupun daerah b. Perubahan data SDMK tak terkoordinasi dengan baik c. Yang diketahui hanya data agregat yang belum teruji validitasnya 2. Kesulitan menentukan jumlah SDMK per jenis berdasarkan data aktual:
a. Bisa terjadi hitung ganda dalam penghitungan jumlah SDMK, karena belum ada data SDMK individual berdasarkan NIK b. Belum ada kesepakatan soal mekanisme perhitungan jumlah SDMK yang standar 3. Kesulitan melacak data unik untuk SDMK individual: Tidak tersedianya kode unik individu yang berlaku umum, seperti NIK
Kesulitan mengetahui seorang SDMK menjalankan fungsi sebagai tenaga kesehatan di Fasyankes mana saja: a. Data SDMK yang mempunyai STR, SIP dan bekerja di Fasyankes tidak terkelola dengan baik a. Koordinasi antar lintas sektor yang menerbitkan STR dan SIP kurang baik atau bahkan tidak ada b. Tidak ada regulasi yang mendukung untuk kewajiban melapor bagi RS swasta/ Fasyankes swasta dan RSUD ke Dinas Kesehatan terkait.
4. Kesulitan mendapatkan data partisipasi SDMK sebagai peserta diklat: Belum tersedianya basis data peserta diklat yang terkelola dengan baik 5. Kesulitan mengakses data SDMK karena tidak ada sistem aplikasi maupun keterbatasan infrastruktur komunikasi data: Belum ada integrasi dan kesepakatan pertukaran data lintas program dan sektor 6. Kesulitan mengetahui kondisi faktual SDMK suatu wilayah administratif Data SDMK belum terkait dengan data Fasyankes secara spasial 7. Kesulitan menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan untuk perencanaan SDMK:
EDISI KEENAM | 17
a. Data calon SDMK peserta didik dan lulusan dari institusi penghasil SDMK belum terintegrasi b. Data SDMK ASN peserta Tubel/ PPDS/PPDGS belum dimanfaatkan secara maksimal c. Data peserta diklat belum terkelola dan belum dimanfaatkan dengan baik
Target Target yang ingin dicapai dari pengembangan Sistem Informasi SDMK ini adalah: 1. Pengelolaan SDMK di lingkungan Kemenkes menjadi satu kesatuan (terintegrasi), sehingga lebih mudah dalam pemeliharaan sistem dan data serta pemberlakuan standarisasi.
2. Terciptanya satu sumber data, yakni terintegrasinya data SDMK di lingkup Kemenkes menjadi satu, baik SDMK struktural, administrasi, dosen, maupun tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan. 3. Tersedianya informasi SDMK yang lebih komprehensif dengan adanya integrasi data.
4. Proses perencanaan, pengadaan serta pendayagunaan SDMK lebih rasional dan terukur
5. Meningkatnya akuntabilitas proses pengelolaan, integritas dan kualitas data SDMK dan terjaga kemutakhirannya.
6. Kemudahan dalam melaksanakan proses-proses SDMK melalui akses sistem secara langsung melalui web.
7. Keamanan dan kemudahan pengaturan akses ke sistem yang berorientasi fungsi, yang tidak tergantung pada struktur lembaga.
Hasil yang Diharapkan Hasil (output) yang diharapkan dari cetak biru ini adalah: 1. Tersedianya dokumen kumpulan data (data set) SDM Kesehatan.
18 | KABAR AIPHSS
2. Tersedianya dokumen cetak biru model sistem informasi SDM Kesehatan yang memuat: a. Konseptual sistem informasi
SI-SDMK dari aspek konseptual mencakup komponen lintas program dan sektor. Komponen lintas program terdiri dari data dan informasi SDMK terkait fungsi organisasi BPPSDMK yang didapat dan digunakan secara internal. Sedangkan komponen lintas sektor untuk eksternal. Informasi yang dikelola dalam SI SDMK berisi data sumber daya manusia sebagai tenaga kesehatan, baik data individu maupun agregat, dan data tenaga penunjang kesehatan. Data SDMK ini terdiri dari biodata dan data riwayat yang terkait dengan pengembangan SDM (profesi, jabatan, pendidikan, dan pelatihan). Untuk mendukung pengembangan pemetaan sebaran SDM dalam SI SDMK, setiap SDMK harus dikaitkan dengan tempat dimana ia terdaftar sebagai pekerja. Lokasi ini didefinisikan sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes). Dengan integrasi data spasial berbasis Geographical Information System (GIS), akan didapatkan peta sebaran SDMK dan profilnya di tiap lokasi Fasyankes di seluruh Indonesia. b. Arsitektur sistem informasi Istilah arsitektur sistem mengacu pada desain sebuah sistem dan bagaimana mereka berkomunikasi. c. Desain basis data Fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) menjadi sumber fakta dan data utama dalam kajian SDMK. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2014, data dan informasi
kesehatan dalam penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan bersumber dari tiga kelompok: Fasyankes baik milik pemerintah pusat, daerah, dan swasta; masyarakat baik perorangan maupun kelompok; serta instansi pemerintah pusat dan daerah terkait. d. Prosedur pertukaran data lintas program dan sektor baik di kabupaten/ kota, provinsi dan pusat berbasis pada sistem informasi geografis.
Sistem pertukaran data adalah bentuk layanan jaringan (web service) yang melayani kebutuhan data pengguna. Pengguna dapat mengirimkan permintaan sesuai pilihan yang tersedia, lalu sistem akan memproses dan langsung memberikan jawaban. Pada SI-SDMK diperlukan mekanisme pertukaran data (data sharing) untuk berinteraksi atau berintegrasi dengan sistem atau modul lain. Sistem Pengelolaan SI-SDMK setidaknya bersinggungan dengan sistemsistem eksternal dan lembaga lain, sebagai berikut: • Menggunakan konsep layanan jaringan dengan protokol HTTP Request/ Response untuk saling berkomunikasi. • Menggunakan perantaraan basis data contoh (dummy data base) yang dibuat sama dengan atau mendekati basis data asli.
• Konsep antarmuka (interface) untuk pemakaian bersama
Referensi AIPHSS. 2014. Cetak Biru Pengayaan Model Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan
Pemanfaatan Akun Kesehatan Kabupaten untuk Kebijakan Pembiayaan Kesehatan Mendukung penguatan sistem kesehatan dengan informasi yang lebih baik tentang pengeluaran kesehatan Apa itu Akun Kesehatan Kabupaten? Akun Kesehatan (Health Account/HA) merupakan cara yang sistematis, komprehensif dan konsisten untuk mengukur jumlah pengeluaran kesehatan (di dalamnya termasuk sektor pemerintah/publik, swasta dan lembaga donor/mitra pembangunan) di setiap tingkat pemerintahan. Di Indonesia, pengembangan Akun Kesehatan Nasional (National Health Account/NHA) berawal secara sederhana berupa pengumpulan data pengeluaran kesehatan yang sistematis untuk periode 1984-1995. Kegiatan ini mengalami masa vakum yang cukup lama sebelum dimulai kembali pada tahun 2007. Semenjak Indonesia berubah dari negara dengan sistem yang sangat terpusat menjadi negara dengan sistem yang sangat terdesentralisasi di awal tahun 2000, kompleksitas aliran dana menjadi semakin rumit, sehingga pengembangan akun kesehatan menjadi suatu keharusan yang lebih penting lagi. Sejalan dengan NHA, beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia mengembangkan Akun Kesehatan Provinsi (Provincial Health Account/PHA) dan Akun Kesehatan Kabupaten (District Health Account/DHA), yang merupakan proyek yang disponsori oleh lembaga donor sehingga sering tidak berkelanjutan. Sementara itu, konsep
bahwa pembiayaan kesehatan yang memiliki sasaran dan alokasi yang efektif merupakan komponen yang signifikan dari sistem kesehatan yang berfungsi dengan baik telah menjadi konsep yang diterima secara umum. Berkaitan dengan itu, manfaat dari memiliki akun kesehatan adalah kemampuan untuk mengembangkan strategi pembiayaan kesehatan yang efektif dan mengidentifikasi perlunya dana tambahan untuk kesehatan, apabila dibutuhkan dan di bidang mana yang diperlukan. Akun Kesehatan Kabupaten (selanjutnya: DHA) memberikan informasi terperinci tentang sumber dana kesehatan dan seberapa banyak dana tersebut diserap oleh kegiatan pelayanan kesehatan, oleh pihak penyedia yang berbeda, untuk setiap kelompok populasi di kabupaten tertentu. Dalam rangka mengembangkan DHA, kabupaten perlu secara konsisten dan sistematis mengumpulkan dan memilah data berdasarkan sumber pembiayaan, pihak yang membiayai, pihak penyedia, fungsi pembiayaan, penerima manfaat (berdasarkan faktor demografi, ekonomi sosial, status kesehatan) serta biaya sumber daya. DHA bertujuan untuk memberikan informasi tentang siapa yang membiayai pelayanan kesehatan di kabupaten, berapa banyak dana itu diserap, oleh jenis layanan yang mana, dan siapa yang diuntungkan dari
Sekilas tentang DHA Kegiatan DHA dilaksanakan pada tahun 2013 – 2014 di empat kabupaten di Jawa Timur dan empat kabupaten di NTT. Kabupaten yang dipilih untuk melaksanakan DHA adalah Bangkalan, Bondowoso, Sampang, dan Situbondo ( Jawa Timur), serta Flores Timur, Ngada, Sumba Barat Daya, dan Timor Tengah Utara (NTT). Di setiap kabupaten, data DHA dikumpulkan dan dianalisis oleh tim lokal yang terdiri dari perwakilan lintas sektor (Dinas Kesehatan, kantor Statistik, Rumahsakit, Bappeda, dll). AIPHSS bekerjasama dengan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasikan DHA ke pemangku kepentingan, memfasilitasi pelatihan pengumpulan data dan analisis, menyediakan pendampingan teknis dan mendiseminasi temuan DHA. AIPHSS didanai oleh DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade) sebagai kerjasama antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar. DFAT menyediakan pengaturan struktural dan kontraktual untuk memastikan adanya keselarasan antara AIPHSS dengan program DFAT lain di Indonesia.
EDISI KEENAM | 19
pengeluaran kesehatan tersebut. Tujuannya adalah guna memberikan dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti.
Mengapa DHA penting untuk memperkuat sistem kesehatan? Arti penting memiliki akun kesehatan menjadi semakin besar karena Indonesia menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak tahun 2014 dan tengah bergerak maju untuk memenuhi target kesehatan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/ MDGs). Selain itu, dalam sistem kesehatan yang terdesentralisasi, DHA merupakan dasar perencanaan dan pembiayaan kesehatan berbasis bukti dan, pada gilirannya, dapat meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas pemerintahan lokal. Struktur desentralisasi di Indonesia dan kompleksitas pola pembiayaan kesehatan sektor publik semakin meningkatkan pentingnya kompilasi data yang handal dan komprehensif tentang pengeluaran kesehatan. Dari perspektif hukum, menurut UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, 10 persen dari anggaran kabupaten harus dialokasikan untuk kesehatan. DHA dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah kewajiban tersebut telah terpenuhi. Jika kewajiban tersebut telah terpenuhi, DHA dapat digunakan untuk menunjukkan apakah dana tersebut dialokasikan sesuai kebutuhan kesehatan dan prioritas daerah. Di sisi lain, jika persentase wajib tersebut belum terpenuhi, DHA dapat digunakan untuk menunjukkan dimana kesenjangannya dan seberapa besar kesenjangan tersebut. Dari perspektif ekuitas, DHA dapat digunakan untuk
menunjukkan siapa yang diuntungkan dari pengeluaran kesehatan, dan apakah pembiayaan kesehatan telah memenuhi tujuannya, yaitu tersedianya pendanaan yang cukup untuk melindungi orang miskin. Selain itu, DHA juga dapat menunjukkan siapa yang menanggung pengeluaran kesehatan lebih banyak, apakah sektor publik atau swasta. Semua informasi yang dihasilkan dari DHA ini dapat digunakan untuk advokasi apabila dibutuhkan dana kesehatan tambahan dan di bidang mana dana tambahan tersebut diperlukan, serta untuk advokasi mengenai pengalokasian pembiayaan kesehatan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menyumbang pada penguatan sistem kesehatan di kabupaten sesuai kebutuhan spesifik kabupaten.
Apakah manfaat DHA cukup nyata? Ada banyak bukti dari lapangan yang menunjukkan bahwa DHA bermanfaat untuk mengkaji ulang ruang fiskal (fiscal space) kabupaten. DHA digunakan untuk mengidentifikasi masalah, dan berfungsi sebagai katalis untuk perubahan dengan menyajikan data sedemikian rupa sehingga menyoroti besarnya permasalahan, dan bertindak sebagai alat advokasi untuk menstimuli tindakan. Di kabupaten Ngada, DHA menghasilkan dorongan untuk memperkuat kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah daerah melalui pajak tembakau2 khususnya untuk mendanai penyediaan layanan kesehatan yang utama dan berkelanjutan bagi kelompok masyarakat yang paling rentan. Di kabupaten lain, DHA digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan untuk memperkuat komitmen memenuhi kewajiban “10% anggaran
untuk kesehatan” sebagaimana diamanatkan oleh UU. Selama ini sudah banyak anekdot tentang kurangnya pendanaan kesehatan, dan/atau ketidaksesuaian alokasi dana untuk program prioritas. Namun DHA menyediakan bukti kuat berdasarkan data yang nyata. Di Sumba Barat Daya, misalnya, hasil DHA menunjukkan bahwa tidak hanya target persentase 10% belum terpenuhi tetapi juga bahwa beberapa program prioritas mengalami kekurangan dana, dan serapan dana selama ini lebih banyak untuk biaya tidak langsung. Informasi dari DHA mengidentifikasi kebutuhan investasi yang lebih besar untuk program prioritas seperti Kesehatan Ibu dan Anak, gizi, pencegahan malaria, dan TBC. Informasi dari DHA mendorong fokus ulang investasi ke bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan promosi kesehatan. Informasi dari DHA juga mengedepankan potensi dana sektor swasta untuk kesehatan yang belum sepenuhnya tergali. Temuan serupa juga ditunjukkan di Bangkalan, Sampang, Situbondo, Bondowoso, Flores Timur, dan Timor Tengah Utara. Bahkan ketika kabupaten kekurangan sumber tambahan pendanaan, mereka dapat berpikir ulang tentang penggunaan sumber dana yang ada. Setelah hasil DHA didiseminasikan, pemerintah daerah memperbaharui komitmen mereka untuk menggunakan Bantuan Operasional Khusus (BOK) secara lebih baik. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa DHA adalah alat yang relevan dan efektif untuk advokasi di kabupaten. “Pemerintah kabupaten berharap agar DHA dilaksanakan setiap tahun supaya kita bisa mempunyai pencatatan arus dana kesehatan secara komprehensif dan sistematis.” (Wakil Bupati TTU)
Menurut UU Retribusi dan Pajak Daerah no. 28 tahun 2009, setengah dari pendapatan dari cukai tembakau akan dialokasikan untuk sektor kesehatan. Pajak tembakau dianggap sebagai salah satu metode paling efektif untuk mengurangi kecenderungan merokok, yang pada gilirannya akan mengurangi kematian dini dan meningkatkan kualitas hidup. Menurut UU ini, pemerintah daerah dapat mengatur cukai tembakau di kabupaten masing-masing.
2
20 | KABAR AIPHSS
Apa yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan DHA? Agar dapat bermanfaat sepenuhnya, data untuk DHA harus dikumpulkan setiap tahun. DHA seharusnya menjadi bagian dari perencanaan dan pembiayaan berdasarkan bukti kesehatan serta proses evaluasi, karena pemerintah “tidak bisa mengelola apa yang mereka tidak ukur”. Informasi dari DHA dapat digunakan untuk membuat proyeksi keuangan sistem kesehatan dan membandingkan dengan masa lalu, atau dengan kabupaten lain, dan yang lebih penting, membuat penyesuaian yang diperlukan. Kunci untuk menjaga keberlangsungan DHA adalah komitmen jangka panjang dari para pengambil kebijakan di berbagai sektor. Komitmen ini harus diwujudkan secara politis, misalnya dalam bentuk advokasi untuk penerapan DHA di kabupaten. Lebih penting lagi, komitmen ini harus secara nyata diwujudkan dalam bentuk alokasi sumber daya keuangan dan sumber daya manusia untuk DHA, dan dalam bentuk payung hukum untuk DHA. Dengan kata lain, tim DHA di kabupaten harus dilembagakan oleh regulasi. Sebuah keputusan atau peraturan daerah harus dibuat untuk mengamanatkan tugas pengumpulan data dan analisis yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari perwakilan lintas sektor, dan memberi mereka wewenang untuk mengakses data dari berbagai instansi (pemerintah dan swasta) di tingkat kabupaten secara tahunan, dan dengan menyediakan pendanaan yang memadai dari APBD untuk menunjang kegiatan ini. Selain itu, keberlanjutan DHA akan lebih dipertegas jika DHA dimasukkan ke dalam sistem kesehatan. Jika akun kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan kabupaten, sistem kesehatan provinsi dan sistem kesehatan nasional, maka mau tidak mau akan ada payung hukum dan
pengaturan kelembagaan yang memastikan kegiatan penyusunan akun kesehatan di semua tingkat pemerintahan. Setiap pemerintah kabupaten dan provinsi akan menugaskan tim akun kesehatan sebagai bagian dari sistem kesehatan dan kegiatan inti sektor kesehatan. Sementara di tingkat pusat, Kementerian Kesehatan dapat membagi tanggung jawab antara Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Balitbangkes dapat berperan dalam pengumpulan data dan analisis, sedangkan PPJK mengambil peran sebagai koordinator dan agen advokasi. Keberlanjutan DHA membutuhkan interaksi antara pembuat kebijakan dan tim teknis DHA. Interaksi ini memungkinkan tim untuk merespon kebutuhan kebijakan tertentu, misalnya, melalui analisis sub-sektor yang lebih mendalam tergantung pada kebutuhan. Berkaitan dengan ini, anggota tim DHA harus terlatih dan dapat diandalkan untuk menunjukkan keterampilan dalam mengumpulkan data, mendefinisikan batasan pengeluaran, menganalisis data, dan menafsirkan temuan dengan cara yang mudah dimengerti oleh pembuat kebijakan dan menyajikan temuan yang relevan untuk perumusan kebijakan. Selain itu, keterampilan tersebut harus dapat di’waris’kan jika ada pertukaran anggota tim.
Apa tantangan pelaksanaan DHA? Kegiatan DHA bukannya tanpa tantangan. Tantangan utama dan terpenting adalah ketersediaan data. Sebagai contoh, beberapa data dari sumber pendanaan provinsi tidak tersedia, atau tidak sepenuhnya tercatat. Data keuangan lainnya tercatat sebagai anggaran global sehingga dibutuhkan penggunaan asumsi untuk menginterpretasikannya. Aksesibilitas
data di sektor swasta sangat terbatas sehingga DHA sangat condong pada pengeluaran publik saja. Tantangan lain adalah kapasitas tim. Anggota tim tidak selalu dapat diandalkan untuk melakukan analisis dan interpretasi data, apalagi mengembangkan rekomendasi yang berdasarkan temuan DHA. Atau, anggota tim yang sudah dilatih DHA tiba-tiba dipindahkan ke bagian/kantor/ daerah lain dan harus meninggalkan tim. Selain itu ada tantangan manajemen logistik dan manajemen waktu. Tim ini tidak dilengkapi dengan komputer tersendiri untuk memasukkan (entry) data, membersihkan (cleaning) data, dan menganalisis data. Selain itu, karena kegiatan DHA merupakan tugas tambahan, anggota tim cenderung memprioritaskan tugas-tugas dan tanggung jawab harian mereka terlebih dahulu. AIPHSS melalui PPJK menyediakan dukungan teknis dan pelatihan ulang setiap kali dibutuhkan. Namun, masalah logistik, tanggung jawab manajerial, transparansi dan kemauan untuk berbagi data membutuhkan kemauan politik (political will) dan kebijakan tegas dari pemerintah. Kolaborasi dan transparansi antara berbagai instansi pemerintah sangat penting. Selain itu, perlu dijalin kerjasama yang lebih baik dengan sektor swasta.
Apa potensi di masa depan? Ada harapan yang lebih besar untuk pengambilan keputusan dan perencanaan yang lebih terinformasi di masa depan. Beberapa kabupaten telah berhasil mengeluarkan surat keputusan Bupati mengenai DHA dan tim DHA, sehingga kelihatannya ada prospek untuk keberlanjutan DHA. Implementasi DHA yang terus menerus dapat membantu pemerintah daerah melakukan evaluasi investasi mereka dalam program kesehatan prioritas lokal, misalnya Kesehatan Ibu dan Anak, pencegahan penyakit, gizi, atau malaria,
EDISI KEENAM | 21
dan menyesuaikannya berdasarkan kebutuhan. Pada akhirnya, pemahaman yang lebih baik tentang pengeluaran kesehatan berpotensi membantu pemerintah daerah untuk pemperkuat sistem kesehatan lokal dan mempercepat upaya mereka untuk mencapai mencapai standar pelayanan minimal (SPM) pada tahun 2015 dan sasaran MDGs terkait kesehatan. Seiring waktu, setelah data yang dipilah berdasarkan gender tersedia secara rutin dan menunjukkan tren yang dapat diamati, pemerintah dapat membuat penyesuaian untuk penganggaran berbasis gender. Pemerintah daerah bisa meningkatkan status kesehatan perempuan dan laki-laki dengan cara lebih memahami perspektif mereka yang berbeda akan kebutuhan kesehatan, seraya secara komprehensif dan adil mengatasi perbedaan yang ada. Kegiatan DHA telah memperkuat kerjasama antara AIPHSS, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya tim teknis DHA lokal, dengan cara melakukan alih keterampilan dan pengetahuan. Kemitraan ini perlu berkembang menjadi hubungan yang lebih memberdayakan kabupaten untuk mengambil pimpinan dalam proses ini, sehingga tidak lagi menjadi kegiatan yang didorong oleh pihak donor.
Rekomendasi Hal pertama yang harus dilakukan pengambil kebijakan lokal adalah mengambil langkah-langkah untuk menjamin keberlangsungan DHA berupa pengumpulan data dan analisis secara teratur. Mengingat beberapa tantangan yang disebutkan sebelumnya, pemerintah daerah perlu membangun sebuah sistem informasi kesehatan berbasis komputer yang terintegrasi untuk menjamin mulusnya pengumpulan data dari berbagai sektor untuk kepentingan DHA. Hal ini memerlukan penguatan kerjasama antar berbagai instansi pemerintah. Setelah
22 | KABAR AIPHSS
PELAJARAN DARI PENGALAMAN DHA Sosialisasi awal sangat penting untuk membantu pemangku kepentingan menyadari pentingnya pelacakan sumber dana dan pengeluaran kesehatan, dan memimpin proses DHA. Pendekatan terbaik untuk DHA adalah bila ada tim yang terdiri dari perwakilan lintas sektor. Sektor swasta harus dilibatkan. Pemerintah pusat dan lembaga donor harus berlaku seimbang antara menyediakan pendampingan teknis dan mendorong pemberdayaan. Staf lokal harus bisa merasa ”memiliki” DHA. Pelembagaan proses DHA berarti lebih dari sekedar menetapkan landasan hukum, tetapi juga harus memasukkan penugasan DHA ke dalam tugas rutin dan menyediakan fasilitas, perlengkapan dan pendanaan yang berkelanjutan.
DHA dilakukan itu secara teratur, hal berikutnya yang harus dilakukan adalah menggunakan informasi dari DHA untuk melakukan perbaikan sistem kesehatan secara bermakna dan efektif. Informasi DHA sedapat mungkin harus dibuat user-friendly agar para pembuat kebijakan mudah menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, penganggaran dan evaluasi. Untuk meningkatkan kapasitas tim DHA, harus ada sebuah tim DHA yang permanen, resmi dan terlatih, yang merupakan bagian dari jajaran pemerintah di tingkat lokal, misalnya di Bappeda. Hal ini akan mengurangi resiko pergantian anggota sehingga dibutuhkan rekrut ulang dan pelatihan lagi. Seiring berjalannya waktu, data DHA akan memungkinkan adanya analisis tren dan pemantauan dampak
intervensi dari setiap reformasi keuangan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, salah satu strategi untuk melakukan hal ini adalah dengan memasukkan kegiatan DHA ke dalam sistem kesehatan di setiap tingkat pemerintahan. Dengan cara ini, semua DHA dan PHA di Indonesia akan terhubung ke NHA dan sistem kesehatan nasional. Ini mungkin memerlukan evaluasi ulang dan penguatan peran dan fungsi dari PPJK. Perlu pula adanya regulasi (Permenkes) yang memperkuat penerapan NHA, PHA dan DHA di seluruh Indonesia. Selain itu, karena NHA, PHA dan DHA membutuhkan pendekatan lintas sektor dan kerjasama antar instansi pemerintah serta sektor swasta, sebuah Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri mungkin dapat menjadi kerangka kerja yang lebih ampuh untuk menghasilkan dampak yang lebih besar dan meningkatkan kemungkinan akan keberlanjutan DHA. Para pembuat kebijakan di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan pemerintah pusat juga harus berpikir tentang kebutuhan untuk mengembangkan infrastruktur informasi yang transparan dan terintegrasi antara nasional, provinsi, kabupaten, dan antara sektor publik dan swasta. Mereka harus mempertimbangkan tentang ketersediaan, aksesibilitas dan kualitas data yang dimasukkan ke dalam sistem itu, dan seberapa akurat dan tepat waktu data tersebut tersedia. Mengingat pentingnya DHA untuk perencanaan pembangunan daerah dan alokasi sumber daya, pemerintah daerah harus memperhatikan bagaimana mereka bisa mempererat kerjasama lintas sektor dalam menjaga keberlangsungan DHA. Pembuat kebijakan di semua tingkat pemerintah harus melibatkan sektor swasta dalam kegiatan DHA dengan cara membuat informasi DHA lebih menarik dan menunjukkan bahwa
DHA juga melayani kepentingan sektor swasta. Terakhir, kemauan untuk berbagi informasi harus didorong dan dipelihara, tidak hanya antar instansi pemerintah tetapi juga dengan sektor swasta dan lembaga non pemerintah. Temuan DHA harus bisa diakses oleh universitas dan pusat penelitian untuk kepentingan penelitian dan pemantauan independen. Dengan adanya mekanisme pengawasan eksternal ini, DHA berkontribusi terhadap penguatan tata kelola dan akuntabilitas pemerintah.
Referensi AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Bangkalan.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Bondowoso.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Flores Timur.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Ngada.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Timor Tengah Utara District.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Sampang.”
AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Kabupaten Situbondo.” AIPHSS. 2014. “Laporan Analisis DHA di Sumba Barat Daya Kabupaten.” Kementerian Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Organisasi Kesehatan Dunia. 2008. “The Indonesian National Health Account 20022004”. Pusat Pembiayaan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Jakarta. OECD, Eurostat, WHO. 2011. “Health Account System 2011.” OECD Publishing: Paris.
EDISI KEENAM | 23
Kebijakan Distribusi Tenaga Kerja Kesehatan Untuk Meningkatkan Akses ke Pelayanan Kesehatan Latar Belakang Akses ke pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak azasi manusia dan tenaga kesehatan merupakan salah satu elemen kunci untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Tenaga kerja kesehatan merupakan salah satu dari enam unit dasar sistem kesehatan menurut World Health Organization (WHO), yang memiliki kaitan erat dengan unit dasar lainnya. Secara nasional, rasio tenaga kerja di Indonesia telah melebihi rasio yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu 1 dokter per 1.000 populasi. Namun distribusi dari tenaga kerja di seluruh daerah di Indonesia masih merupakan tantangan besar yang harus dihadapi. Akibatnya, rasio tenaga kerja kesehatan di 30 dari 30 provinsi di Indonesia tidak memenuhi standard minimum yang direkomendasikan WHO. Banyak faktor yang berperan dalam mal-distribusi tenaga kerja kesehatan, dan perencanaan yang efektif distribusi tenaga kerja merupakan satu hal yang harus ditingkatkan.
Analisis Situasi – Pelajaran dari Jawa Timur Walaupun Indonesia telah mencapai peningkatan yang baik dalam rasio tenaga kerja kesehatan terhadap jumlah populasi secara keseluruhan, distribusi, kualitas dan kinerja tenaga kerja kesehatan masih merupakan tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, Indonesia perlu untuk memperkuat kapasitas dalam perencanaan strategis tenaga kesehatan di setiap tingkat –
24 | KABAR AIPHSS
satu di antaranya adalah terkait distribusi tenaga kerja kesehatan. Saat ini, perencanaan tenaga kerja kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, dilakukan berdasarkan PMK No.81/Menkes/SK/I/2004. Guna menganalisa implementasi dari kebijakan ini, dilakukanlah suatu analisis situasi di Jawa Timur. Kegiatan ini dilakukan untuk mengidentifikasi proses perencanaan, serta masalah dan tantangan yang dihadapi, sehingga bisa diambil suatu tindakan untuk memperbaiki situasi saat ini. Di Jawa Timur, dalam implementasi kebijakan yang ada saat ini, ditemukan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten kota memiliki otoritas yang terbatas dalam merencanakan dan mengelola tenaga kerja kesehatan. Hal ini mengakibatkan distribusi tenaga kerja kesehatan yang tidak merata. Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki kesulitan dalam menemukan solusi untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja kesehatan. Masalah yang diidentifikasi dalam perencanaan dan pengelolaan tenaga kerja kesehatan di daerah, meliputi: (1) tidak terintegrasinya sistem perencanaan dan prosedur distribusi tenaga kerja kesehatan; (2) kurangnya kapasitas unit perencanaan (SDMK) di semua tingkat dalam hal distribusi/ alokasi tenaga kerja kesehatan; (3) komunikasi yang kurang baik, serta adanya perbedaan pemahaman, informasi dan pengetahuan tentang distribusi tenaga kerja kesehatan antara unit perencanaan dan penyedia layanan kesehatan; (4) kurangnya dukungan dari pemerintah daerah; (5) perencanaan yang tidak terintegrasi di berbagai tingkat administrasi pemerintahan
Hasil analisis situasi ini mengindikasikan perlunya dilakukan revisi terhadap kebijakan yang ada saat ini. Kebijakan tersebut juga perlu dilengkapi dengan pedoman dan tools untuk membantu unit perencanaan dan pemangku kepentingan terkait di setiap tingkat administrasi pemerintahan. Selain itu, guna memastikan distribusi tenaga kerja kesehatan yang optimal, perencanaan bersifat ‘bottom-up planning’ perlu digalakan dan diimplementasikan. Dalam rangka bergerak ke arah itu, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/ kota harus memiliki kapasitas yang baik dalam perencanaan tenaga kerja kesehatan, termasuk dalam mengestimasikan jumlah dan tipe tenaga kerja kesehatan yang dibutuhkan, dan alokasinya di tempat pelayanan kesehatan di daerahnya.
Meningkatkan Efektivitas Proses Perencanaan Tenaga Kerja Kesehatan melalui Kebijakan Berdasarkan tinjauan kebijakan dan pelajaran yang diambil dari Jawa Timur, AIPHSS bekerja sama dengan Dinkes Provinsi Jawa Timur, PPSDM, Biro Hukor, Kemenkes, merumuskan draft kebijakan perencanaan distribusi tenaga kerja kesehatan. Draft kebijakan yang telah dirumuskan meliputi draft PMK serta pedoman, manual, dan tools yang melengkapi PMK tersebut. Aktivitas ini dilakukan pada tahun 2013 – 2014 dan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi/ alokasi tenaga kerja kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Materi yang tercakup di dalam pedoman dan modul ini akan membantu dinkes provinsi dan kabupaten/ kota dalam mengestimasikan jumlah, kategori dan tingkatan tenaga kerja kesehatan yang dibutuhkan. Penilaian kebutuhan akan dilakukan berdasarkan beban kerja, ketersediaan waktu untuk bekerja dalam satu tahun, dengan mengacu pada peraturan tenaga kerja Indonesia. Baik institusi kesehatan maupun tenaga kerja kesehatan, akan diuntungkan
dengan mekanisme perencanaan ini. Pada akhirnya, diharapkan distribusi tenaga kerja kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota dapat berjalan efektif dan efisien melalui perencanaan yang bersifat ‘bottom-up planning’.
Langkah selanjutnya Uji Coba Pedoman, Manual dan Tools yang telah disusun di Provinsi lain Mengingat keragaman Indonesia – baik kondisi geografis, sumber daya yang dimiliki, dan lain-lain – pedoman, manual, dan tools yang telah disusun harus diujicobakan di provinsi lain, yang memiliki karakteristik yang berbeda dari Jawa Timur. Hal ini penting dilakukan guna memastikan kebijakan yang disusun dapat mengakomodasi kebutuhan semua daerah di Indonesia. Finalisasi draft legislasi, pedoman, manual dan tools Setelah uji coba selesai dilaksanakan, pedoman, manual dan tools yang telah disusun harus dievaluasi dan bila diperlukan, direvisi. Setelah itu, maka draft kebijakan yang disusun dapat difinalisasi. Strategi Sosialisasi dan Diseminasi Setelah kebijakan telah difinalisasi dan diterapkan, harus dirumuskan suatu strategi untuk sosialisasi dan diseminasi kebijakan ini ke direktorat terkait dalam Kemenkes, dan pemangku kepentingan terkait, termasuk dinkes provinsi dan kabupaten/ kota, institusi kesehatan, dan pemerintah daerah. Memperkuat kolaborasi dengan pemerintah lokal Dalam era desentralisasi, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam menentukan hasil keluaran program kesehatan. Oleh karena itu, Kemenkes, dinkes provinsi dan kabupaten/ kota harus berkolaborasi erat dengan
pemerintah daerah dalam proses perencanaan tenaga kerja kesehatan. Menjaga sustainabilitas dari implementasi kebijakan Efektivitas dan sustainabilitas dari implementasi kebijakan ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dari Kemenkes, serta komitmen yang kuat dari pemerintah di setiap tingkat administrasi kesehatan, dan pemangku kepentingan terkait, baik dari sektor kesehatan maupun pemerintah daerah. Selain itu, pelatihan rutin (atau on the job training) harus dipertimbangkan untuk dilakukan untuk mempertahankan kapasitas dalam perencanaan dan pengelolaan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Tantangan yang Masih Harus Dihadapi Walaupun distribusi tenaga kerja ksehatan merupakan bagian penting dalam meningkatkan akses ke pelayanan kesehatn, terutama bagi kelompok miskin dan hampir miskin, harus disadari bahwa masih ada masalah lain yang perlu diselesaikan untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan. Pertama, produksi tenaga kerja kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Meskipun sulit untuk mengestimasi secara pasti jumlah tenaga kerja kesehatan yang dibutuhkan di Indonesia, produksi tenaga kerja kesehatan di pelayanan kesehatan primer harus ditingkatkan. Selain itu, perlu juga untuk memastikan tipe dan tingkatan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam menghadapi beban kesehatan utama dan tantangan kesehatan di Indonesia. Kedua, distribusi tenaga kerja kesehatan yang efektif tidak hanya dapat dinilai oleh rasio tenaga kerja kesehatan dan populasi yang dilayani semata. Khususnya di daerah dengan area geografi yang luas dengan kepadatan populasi yang rendah, rasio tersebut bisa saja tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari akses ke pelayanan kesehatan. Menyadari masalah ini, tujuan dari distribusi
EDISI KEENAM | 25
tenaga kerja kesehatan tidak hanya untuk memenuhi rekomendasi rasio minimal tetapi yang lebih penting adalah untuk mencapai distribusi tenaga kerja yang efektif untuk memastikan masyarakat dapat memiliki akses yang baik ke pelayanan kesehatan yang berkualitas. Ketiga, di setiap tingkat administrasi pemerintahan, proses perencanaan yang bersifat ‘bottom-up planning’ harus digalakan dan diperkuat. Hal ini sangat terkait dengan keragaman Indonesia sehingga indikator dari efektivitas distribusi tenaga kerja kesehatan dapat berbeda-beda di tiap provinsi atau kabupaten/ kota. Untuk provinsi dan/ atau kabupaten/ kota yang memiliki daerah terpencil, telemedicine merupakan suatu metode yang dapat dipertimbangkan. Namun, kapasitas daerah tersebut dan infrastruktur yang diperlukan harus dipersiapkan sebelum mengimplementasikan telemedicine.
Kesimpulan dan Rekomendasi Tenaga kerja kesehatan merupakan bagian penting yang harus dikelola dalam memperkuat sistem kesehatan. Dalam meningkatkan distribusi tenaga
26 | KABAR AIPHSS
kerja kesehatan di daerah – dimana hal ini merupakan salah satu masalah terkait tenaga kerja kesehatan di Indonesia – kebijakan yang ada saat ini perlu direvisi untuk memberikan panduan perencanaan yang efektif untuk distribusi tenaga kerja. Melalu perencanaan yang efektif, diharapkan tidak lagi terjadi mal-distribusi tenaga kerja sehingga akses ke pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Namun demikian, mengingat dinamika di dalam masyarakat – termasuk kebutuhan kesehatan – proses perencanaan harus disertai dengan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan. Pada akhirnya, Kemenkes tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi masalah ini. Kolaborasi dengan pemerintah daerah, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pendidikan Tinggi dan insitusi pendidikan harus diperkuat untuk memastikan alokasi tenaga kerja yang efektif dan juga ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan di masyarakat.
Kontribusi AIPHSS Pemerintah Australia (DFAT) melalui Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS)
memberikan dukungan teknis serta pengelolaan kegiatan melalui berbagai aktivitas yang melahirkan perumusan draft kebijakan ini. AIPHSS juga memfasilitasi dan berkolaborasi erat dengan Dinkes Provinsi Jawa Timur, Kementerian Kesehatan (BPSDM dan Hukor), dan para ahli dalam merumuskan draft kebijakan ini.
Referensi http://www.who.int/healthinfo/ systems/WHO_MBHSS_2010_full_ web.pdf http://dfat.gov.au/about-us/ publications/Documents/hss-designdoc-pd.pdf http://aiphss.org/wp-content/ uploads/2015/02/Human-Resourcesfor-Health.pdf http://aiphss.org/indonesia-regulasisumber-daya-manusia-kesehatanturutmeningkatkan-akses-efisiensidan-efektifitas-layanan-kesehatandi-provinsi/
Peningkatan Upaya Kesehatan dengan Tata Kelola SDM Kesehatan yang Lebih Baik
P
emenuhan hak atas pelayanan kesehatan merupakan tugas negara seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 4. Berdasarkan ketentuan ini maka pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ini sesuai dengan UU No 23 tahun 2104 tentang Pemerintah Daerah yang mencantumkan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Tenaga kesehatan merupakan tulang punggung penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pasal 16 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Tenaga kesehatan tersebut perlu dikelola dengan baik sehingga sesuai dengan kebutuhan, kompetensi dan kewenangan serta terdistribusi secara merata sehingga dapat optimal dalam mendukung pembangunan kesehatan. Untuk mendapatkan gambaran permasalahan tenaga kesehatan yang berkaitan dengan jumlah, mutu dan distribusi serta penyusutan tenaga kesehatan, Program AIPHSS telah
mendukung pelaksanaan Analisis Situasi Tenaga Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Analisis dilaksanakana di 10 dari keseluruhan 38 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur. Dilakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus (FGD) kepada berbagai informan yang di antaranya adalah kepala dinas kesehatan, direktur rumah sakit, kepala puskesmas, kepala badan kepegawaian daerah serta kelompok staf puskesmas dengan berbagai latar belakang pendidikan. Disamping itu dilakukan pengumpulan data sekunder dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu dari Profil Kesehatan 2013 dan data ketenagaan dari Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan.
Situasi Tenaga Kesehatan di Provinsi Jawa Timur dan Tantangannya Jumlah, Distribusi dan Kecukupan Tenaga Kesehatan • Kecukupan tenaga kesehatan di Jawa Timur masih sangat kurang. Jumlah keseluruhan tenaga kesehatan di tahun 2013 sebesar 72.443. Sebagian besar tenaga kesehatan bekerja di puskesmas, dikuti oleh sarana pelayanan kesehatan swasta dan rumah sakit pemerintah. Selebihnya bekerja di dinas kesehatan, unit pendidikan atau berbagai unit pelayanan teknis lainnya. ©Jumlah tersebut akan mengalami penyusutan dengan
Persentase Kecukupan Berbagai Jenis Tenaga Kesehatan di Jawa Timur
Penghitungan pemenuhan tenaga kesehatan berdasarkan ratio indikator Indonesia Sehat 2010 (Kepmenkes no: 1202/Menkes/Kep/VIII/2003).
EDISI KEENAM | 27
adanya petugas kesehatan yang pensiun atau meninggal dunia. Gambar di bawah ini menunjukkan persentase kecukupan berbagai jenis tenaga kesehatan per 100 ribu penduduk. Secara keseluruhan kebutuhan atas berbagai jenis tenaga kesehatan di Provinsi Jawa Timur terpenuhi kurang dari 50 persen, kecuali untuk tenaga perawat.
• Distribusi tenaga kesehatan sangat tidak merata. Masih terjadi penumpukan tenaga di wilayah tertentu. Hal ini terjadi hampir pada semua jenis tenaga. Jumlah dokter rata-rata per puskesmas diharapkan minimal dua, sementara data kajian menunjukkan rata-rata dokter per puskesmas sebesar 1,8 dan dokter gigi 1,5. Tenaga perawat dan bidan memliki rata-rata lebih tinggi, khususnya untuk puskesmas non perawatan. Namun rata-rata di puskesmas perawatan masih kurang. Di samping itu masih ada 19 puskesmas di wilayah yang dikaji tidak memiliki dokter dan 201 puskesmas tidak memiliki dokter gigi. • Kebutuhan akan dokter spesialis dasar dan penunjang juga masih sangat kurang. Ditemukan ketimpangan dalam distribusi dokter spesialis, dimana jumlah dokter spesialis berlebih di rumah sakit kelas A dan kurang di rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D. Produksi dan Mutu Tenaga Kesehatan • Produksi tenaga kesehatan di Jawa Timur cukup besar namun daya serap rendah. Terdapat 222 instititusi pendidikan kesehatan di seluruh wilayah. Institusi pendidikan yang terbanyak adalah keperawatan dan kebidanan yang menghasilkan lulusan rata-rata 6.000 per tahun. Terdapat 10 fakultas kedokteran dimana dua di antaranya mendidik
28 | KABAR AIPHSS
dokter spesialis. Dengan jumlah lulusan yang besar setiap tahunnya per jenis pendidikan, sebenarnya kebutuhan tenaga di Jawa Timur dapat terpenuhi. Yang menjadi kendala adalah daya serap tenaga yang sangat rendah, sehingga tenaga yang bisa didayagunakan masih sangat terbatas. • Mutu tenaga kesehatan masih kurang memadai. Hasil uji kompetensi yang menggambarkan mutu tenaga kesehatan belum optimal. Beberapa hal yang berkontribusi atas masalah ini di antaranya adalah besarnya jumlah institusi pendidikan (khususnya kebidanan dan keperawatan) yang menyebabkan terbatasnya jumlah lahan praktik untuk mencapai kompetensi, rasio jumlah tenaga pendidik dengan jumlah mahasiswa yang tidak seimbang serta kualitas lembaga pendidikan yang rendah. Akibatnya terlihat pada dari mutu tenaga kesehatan dan kinerjanya. Dilaporkan adanya bidan baru lulus yang belum berani menolong persalinan secara mandiri. Selain itu ditemukan pula penurunan cakupan pelayanan Antenatal K1 dan K4 serta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Kualitas bidan sebagai tulang punggung program kesehatan akan sangat mempengaruhi keberhasilan program penurunan kematian ibu dan anak yang masih merupakan masalah kesehatan utama di provinsi Jawa Timur. • Tingkat kelulusan hasil uji kompetensi tingkat Pusat/ Nasional belum optimal. Pada tahun 2013, tingkat kelulusan untuk perawat sebesar 72,8%, sedangkan bidan 66,5%. Ini menunjukkan perlunya penanganan masalah yang menyeluruh untuk mengatasi masalah mutu tenaga kesehatan ini. Pengelolaan Tenaga Kesehatan • Perencanaan dan pengelolaan tenaga kesehatan belum optimal
baik dari metoda yang digunakan maupun akurasi data. Perencanaan tahunan yang rutin disusun tidak pernah terealisasi penuh sehingga kualititas perencanaannya dan antusias penyusunnya semakin menurun. Masalah lainnya adalah data yang sering tidak akurat dan kurang mutakhir. • Perekrutan dan pengangkatan tenaga kesehatan belum melalui seleksi yang ketat sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Banyak calon pegawai yang didayagunakan kurang sesuai dengan kompetensinya dan terkadang tidak melalui proses seleksi yang baik. • Pola karir petugas kesehatan yang tidak jelas serta tidak terbuka dan transparan. Masih banyak pejabat yang menduduki jabatan tidak mengikuti ketentuan Permenkes nomor 971/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan. • Kegiatan pendidikan dan pelatihan yang tersedia terbatas sehingga pemutakhiran ilmu pengetahuan dan terknologi tidak terlaksana dengan baik. • Pembinaan pada tenaga kesehatan masih belum berjalan baik dan lebih difokuskan
pada pembinaan disiplin. • Penilaian kinerja belum dilakukan di semua jajaran. Untuk mengatasi berbagai masalah dan tantangan yang telah dibahas di atas, dirasakan penting adanya peraturan yang secara khusus mengatur sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan di provinsi Jawa Timur. Hasil Analisis Situasi Tenaga Kesehatan Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu bahan penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur no 7 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pada tanggal 25 Juli 2014, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur no 7 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur. Perda ini ditetapkan dengan tujuan mewujudkan tenaga kesehatan yang merata dan proporsional baik dari segi jumlah maupun mutu guna mencapai pembangunan kesehatan berkelanjutan yang optimal di Jawa Timur. Perda ini mengatur ketentuan mengenai SDM Kesehatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, pengembangan dan pelatihan, pendayagunaan tenaga kesehatan, serta pembinaan dan pengawasan. Perda ini menjawab kebutuhan akan aturan yang memayungi berbagai aspek pengelolaan tenaga kesehatan sehingga dapat menjawab berbagai tantangan yang ada, di antaranya: • Dalam hal perencanaan tenaga kesehatan dan untuk mengetahui ketersediaan dan kebutuhan tenaga kesehatan, Perda menetapkan diperlukannya pemetaan dengan cara pendataan, pengkajian atau dengan sistem informasi manajemen tenaga kesehatan. • Dalam hal penempatan tenaga kesehatan, pemerintah berwenang untuk mendistribusi dan redistribusi tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Selain itu disebutkan pula penempatan tenaga kesehatan melalui penugasan khusus. Penempatan khusus tenaga kesehatan ini meliputi penempatan dokter pasca internship, pasca pendidikan spesialis dan residen senior. • Untuk menjawab kebutuhan tenaga kesehatan di tingkat masyarakat, pemerintah berwenang menempatkan tenaga kesehatan di
Poskesdes. Penempatan tenaga kesehatan di poskesdes terdiri dari minimal satu bidan dan satu perawat dan dapat ditambah dengan tenaga kesehatan lainnya sesuai kebutuhan terutama tenaga gizi dan sanitarian. • Untuk menjamin kualitas tenaga kesehatan, Perda ini mengatur pengembangan dan pelatihan, serta pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Pembinaan dapat berupa pendidikan dan pelatihan fungsional maupun teknis, sistem karir serta penghargaan atau insentif. Sedangkan pengawasan dilakukan melalui sertifikasi, registrasi dan perizinan. • Pengaturan sanksi administrasi bagi pertugas kesehatan yang melanggar ketentuan ditetapkan di dalam Perda dalam bentuk teguran tertulis, paksaan pemerintahan, denda administratif dan/atau pencabutan izin. Dengan adanya Perda ini diharapkan pelaksanaan upaya kesehatan di Provinsi Jawa Timur di masa yang akan datang dapat ditingkatkan dengan adanya sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis, dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Rekomendasi Tindak Lanjut • Bagi Pemerintah Provinsi. Perda no 7 tahun 2014 ini secara lengkap dan jelas mengatur berbagai aspek pengelolaan tenaga kesehatan di Jawa Timur sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ada. Pengawasan atas pelaksanaan Perda secara ketat dan konsisten akan mendukung perbaikan tata kelola tenaga kesehatan. Ini akan mendukung tercapainya pembangunan kesehatan yang
Dukungan Program AIPHSS Program AIPHSS bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur memberikan dukungan teknis dalam penyusunan Analisis Situasi Tenaga Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Analisis ini digunakan untuk mempersiapkan naskah akademis Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Tenaga Kesehatan. Pada tanggal 25 Juli 2014, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur no 7 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur.
berkelanjutan serta pemenuhan hak dan kebutuhan layanan kesehatan masyarakat di Jawa Timur. • Bagi Pemerintah Pusat. Pelaksanaan upaya peningkatan sistem kesehatan melalui perbaikan tata kelola ketenagaan kesehatan di daerah ujicoba di Jawa Timur menunjukkan hasil yang positif. Pembelajaran dari model ujicoba ini dapat dipertimbangkan untuk perluasan di wilayah lainnya di Indonesia.
Referensi Tim Penyusunan Perda Tenaga Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2014. “Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Tentang Tenaga Kesehatan”. Tim TA AIPHSS Raperda Tenaga Kesehatan. 2014. “Analisis Situasi Tenaga Kesehatan Provinsi Jawa Timur”. Perda Provinsi Jawa Timur Tentang Tenaga Kesehatan. 2014
EDISI KEENAM | 29
Permenkes 75 tahun 2014 tentang Revitalisasi Puskesmas melalui Integrasi Program Latar belakang Puskesmas memegang peran penting dalam sistem kesehatan di Indonesia. Puskesmas diharapkan dapat merespons kebutuhan masyarakat akan kesehatan secara pre-emptive dan adaptif serta memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau secara tepat waktu. Peraturan Menteri Kesehatan no. 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas mendeskripsikan peran puskesmas sebagai: 1. Pusat penggerak pembangunan di bidang kesehatan 2. Pusat pemberdayaan masyarakat 3. Pusat pelayanan kesehatan dasar Tetapi dalam kenyataannya, Puskesmas belum efektif menjalankan fungsi sebagaimana tertuang dalam peraturan tersebut. Masih terdapat persoalan-persoalan seperti: • Puskesmas belum mampu mengakomodir keluhan masyarakat dalam hal buruknya pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). • Masyarakat masih mencari perawatan (kuratif) dan rehabilitasi dibandingkan langkah-langkah pencegahaan dan promotif. • Masih diperlukan adanya peningkatan kualitas penyedia
• •
•
•
•
•
layanan kesehatan dan manajemen sumber daya manusia di Puskesmas. Perlu adanya sistem rujukan dalam mendukung pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang ditawarkan di Puskesmas belum memenuhi standar pelayanan nasional. Tidak jelasnya tata kelola dan prosedur operasional di Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan dasar. Tidak tertibnya manajemen pengumpulan, klasifikasi dan distribusi data di Puskesmas. Masih ada persoalan manajemen pendanaan dan keuangan dalam kaitannya dengan alokasi pendanaan kesehatan yang terbatas. Pelunya peningkatan manajemen dan pengawasan di Puskesmas, terutama di era desentralisasi kesehatan dimana Puskesmas memiliki lebih banyak kewenangan dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar di daerah.
Puskesmas juga berfungsi sebagai Gatekeeper bagi cakupan kesehatan semesta (universal health coverage). Selain menyediakan layanan kesehatan dasar sebagai bagian dari UKP, Puskesmas diharapkan dapat secara efektif mengkoordinasikan keluhan dari peserta BPJS Kesehatan serta peserta
dari perusahaan asuransi kesehatan swasta Pada bulan Oktober 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas diterbitkan dan menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan no. 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas. Peraturan baru ini diharapkan dapat memberikan klarifikasi dan pedoman tugas untuk mendukung terwujudnya kecamatan sehat.
Dukungan AIPHSS AIPHSS memberikan dukungan kepada Asosiasi Dinas Kesehatan Indonesia (ADINKES)3 dalam menyusun delapan rancangan kegiatan prioritas sebagaimana direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan, termasuk menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 75 tahun 2014. Kegiatan yang dilakukan oleh ADINKES dengan dukungan AIPHSS fokusnya adalah pada revitalisasi fungsi Puskesmas. Tujuan dari revitalisasi Puskesmas melalui integrasi program adalah untuk mengembangkan pedoman pelaksanaan program guna memastikan implementasi yang efektif dan efisien serta memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan arahan bagi pemerintah daerah dalam
ADINKES adalah organisasi nirlaba yang keanggotaannya terdiri dari dinas kesehatan di 33 provinsi dan 497 kota /kabupaten, mantan kepala dinas kesehatan provinsi, kota/ kabupaten, serta para pemerhati pembangunan kesehatan. ADINKES dibentuk untuk mempromosikan pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten.
3
30 | KABAR AIPHSS
melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah, dan pada gilirannya akan memfasilitasi pengurangan angka kematian ibu dan anak di wilayah yang dicakup oleh program AIPHSS. Kegiatan ini diharapkan dapat mengidentifikasi prioritas-prioritas utama integrasi program dengan tujuan keseluruhan untuk mencapai target yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah. Hal ini dilakukan dengan melakukan penilaian mengenai kesenjangan dan kebutuhan Puskesmas dalam hal UKP dan UKM. Disamping itu, kegiatan ini juga meliputi perumusan pedoman dan sesi pelatihan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang teridentifikasi. Upaya ini diharapkan dapat memperkuat fungsi yang melemah, tidak lagi berfungsi, atau bahkan yang telah menyimpang dari konsep dasar. Kegiatan ini juga untuk memenuhi kebutuhan pengintegrasian program dengan memberikan penilaian atas ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, dan memberikan
masukan tentang cara mengintegrasikan sumber daya strategis, dengan pertimbangan sumber daya ini sering kali terbatas.
pengelolaan Puskesmas untuk menangani dan menekankan lebih lanjut pentingnya langkah-langkah pencegahan dan promotif.
Rekomendasi
Referensi
Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 tahun 2014 yang baru ini menuai kritikan dari para praktisi kesehatan karena dianggap fokus pada aspek kuratif dan kurang memberi penekanan pada langkah-langkah pencegahan dan promotif. Pilar-pilar utama dalam sistem kesehatan seperti pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berwawasan kesehatan tampaknya hilang dalam peraturan baru tersebut. Program-program wajib di Puskesmas tidak berubah, tidak termasuk Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) dan Upaya Kesehatan Kerja (UKK), programprogram yang diwajibkan menurut Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan. Dengan dukungan AIPHSS, revisi lebih lanjut terhadap Permenkes No. 75 tahun 2014 disarankan untuk menyertakan penyusunan panduan teknis
http://www.kpmak-ugm.org/201205-12-04-54-35/2012-05-12-0503-45/article/281-penguatanpuskesmas,-kunci-suksesjaminan-kesehatan-semesta. html TOR program AIPHSS untuk Revitalisasi Puskesmas melalui Integrasi Program Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan 75 tahun 2014 Naskah Akademik Peraturan Menteri Kesehatan 75 tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan 75 tahun 2014 http://www.depkes.go.id/resources/ download/info-publik/Renstra2015.pdf http://pp-adinkes.org/aiphss
EDISI KEENAM | 31
Perbaikan Tata Kelola Kesehatan Menuju Masyarakat Indonesia Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan 2015-2019 Peta Tantangan Kesehatan Indonesia Triple burden of diseases. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Indonesia menghadapi masalah triple burden of diseases. Pada saat penyakit menular masih menjadi masalah (ditandai dengan masih sering terjadi KLB), beberapa penyakit menular lama muncul kembali (re-emerging diseases) seperti frambusia, kusta, filariasis dan schistosomiasis. Disamping itu, penyakit-penyakit menular baru (new-emerging diseases) seperti HIV/ AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah juga bermunculan. Di sisi lain, penyakit tidak menular (PTM) menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Riskesdas tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001 menunjukkan pergeseran epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun. Stroke, misalnya, merupakan pembunuh nomor satu di Indonesia dan menggantikan ISPA yang menurun tajam. Stroke sendiri menyebabkan
15,4% dari total kematian (Riskesdas 2007). Tertinggal dari tujuan MDGs. Indonesia juga belum mencapai tujuan MDGs untuk kesehatan tujuan 4 (mengurangi angka kematian bayi) dan 5 (memperbaiki kesehatan perempuan) terutama.4 SDKI 2012 menunjukkan meningkatnya rata-rata angka kematian ibu (AKI) yang mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup dibandingkan hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Padahal sebelumnya jumlah angka kematian ibu pada periode 1990 hingga 2007 telah mengalami penurunan hingga 41 persen (BPS, 2013). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami pelambatan penurunan yakni dari 34 per 1000 kelahiran (SDKI, 2007) menjadi 32 per 1000 kelahiran (SDKI, 2012) dan Angka Kematian Balita (AKABA) dari 44 (SDKI, 2007) menjadi 40 (SDKI, 2012). Tantangan ganda bonus demografi dan lansia. Dalam kurun waktu dua puluh tahun mendatang, pemerintah Indonesia harus mengagendakan bonus demografi dan meningkatnya penduduk usia lanjut (lansia) dalam perencanaan strategi kebijakan nasionalnya. Meningkatnya jumlah lansia
berimplikasi pada meningkatnya biaya kesehatan untuk mencukupi layanan kesehatan khusus dan terpadu pada tingkat primer, sekunder dan tersier dan layanan home care. Sedangkan jumlah wanita usia subur yang diperkirakan akan berlipat ganda di tahun 2019 dari 67,1 juta (2015) menjadi 117,5 juta di tahun 20195 juga menambah beban biaya kesehatan. Tantangan perbaikan akses dan mutu kelembagaan. Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) berimplikasi pada peningkatan akses dan mutu fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, termasuk sistem rujukan antar-fasilitas kesehatan. Saat ini, Indonesia selain mengalami kekurangan jumlah, juga dihadapkan pada rendahnya kualitas dan sebaran tenaga kesehatan yang tidak merata termasuk tenaga sanitasi, gizi, dan penyuluh kesehatan. Dari data yang ada, secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari
World Health Organization. “Country Cooperation Strategy at a glance. Indonesia.” http://www.who.int/countryfocus/cooperation_strategy/ ccsbrief_idn_en.pdf
4
5
Kementerian Kesehatan RI. 2014. “Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019”, Jakarta.
6
AIPHSS. “Building Block: Sumber Daya Manusia Kesehatan.” http://aiphss.org/sumber-daya-manusia-kesehatan-apa-yang-masih-kurang/?lang=id
32 | KABAR AIPHSS
target 9; Dokter umum tercatat baru mencapai 26,3 dari target 30. Sementara perawat baru mencapai 157,75 dari target 158 dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk.6 Kemandirian bahan baku obat dan alat kesehatan. Masalah kemandirian terkait dengan akses dan mutu, ketersediaan farmasi dan alat kesehatan juga masih menjadi tantangan utama kebijakan kesehatan Indonesia. Pada saat ini sekitar 90% bahan baku obat dan alat kesehatan masih diimpor dari luar negeri sehingga harga obat dan alat kesehatan menjadi mahal. Padahal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di bidang ini, produksi vaksin dari Biofarma misalnya, telah mampu bersaing di tingkat global.
Perbaikan “Health Governance” di Indonesia Gambaran tantangan strategis diatas yang semakin kompleks dan berat untuk ditangani dapat melemahkan kemampuan organisasi Kemenkes secara perlahan dan pasti dalam menjaga relevansi kinerjanya dengan tuntutan stakeholders kuncinya. Pada renstra Kemenkes periode tahun 2009 – 2014, meski pun telah mempertimbangkan dinamika tuntutan stakeholders kuncinya, namun dinilai belum menunjukkan sisi “how to do” untuk mencapai berbagai sasaran strategisnya.7 Dalam konteks renstra Kemenkes, sisi How to do menggambarkan upaya untuk mentranformasikan dan memperbaiki mutu kelembagaannya (capability building) kementerian kesehatan. Mutu kelembagaan akan berfokus pada rangkaian upaya transformasi organisasi dalam peningkatan kompetensi karyawan, perbaikan sistem manajemen sumber daya manusia, peningkatan budaya kinerja organisasi, penataan
proses bisnis, perbaikan tata kelola organisasi, dan sebagainya.
Eselon I (dan seterusnya) merupakan tahapan untuk menjabarkan (cascading) dan menentukan berbagai sasaran strategis dan target indikator kinerja kunci renstra Kemenkes. Kontrak kinerja menunjukkan akuntabilitas dari setiap pejabat eselon kepada Menteri Kemenkes sebagai penanggung jawab utama atas keberhasilan pencapaian targettarget kinerja renstra Kemenkes di periode tahun 2015 - 2019.
Peta Rancangan Strategis Kesehatan 2015-2019 Untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk mencapai visi kementerian kesehatan 2015-2019, yakni mewujudkan “Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”, Kementerian Kesehatan telah menetapkan peta strategi sebagai jalinan sebab-akibat berbagai pilihan arah dan fokus prioritas. Untuk mencapai tujuan tersebut, rencana strategis kesehatan nasional akan difokuskan pada perbaikan kelembagaan, keuangan dan regulasi. 8
• Tahapan Monitoring
Penguatan kerangka kelembagaan Tantangan dalam penguatan mutu kelembagaan di periode tahun 2015 – 2019 adalah kemampuan untuk mengintegrasikan renstra organisasi, pengendalian kinerja, anggaran dan manajemen kinerja di berbagai lapisan dan fungsi organisasi Kemenkes. Saat ini, rencana kerja pada berbagai satuan (unit) kerja Kemenkes umumnya hanya dikaitkan dengan rencana anggaran serta belum sepenuhnya terkait dengan manajemen kinerja. Untuk mengatasi tantangan strategis dalam kerangka kelembagaan tersebut, tahapan-tahapan pengendalian kinerja perlu dilakukan demi tercapainya berbagai sasaran strategis renstra di periode tahun 2015 – 2019. Masing-masing tahapan pengendalian kinerja tersebut adalah: • Tahapan Kontrak Kinerja
Tahapan kontrak kinerja antara Menteri Kesehatan dan Pejabat
7
Yassierli. 2014. Laporan Pendahuluan (Analisis Situasi).
8
Draf Renstra Kementerian Kesehatan. AIPHSS. September 2014
Untuk memantau status kemajuan penerapan kontrak kinerja, monitoring (pemantauan) dibutuhkan untuk memastikan bahwa kontrak kinerja berada dalam jalur atau di luar jalur. Selama ini, pemantauan kemajuan renstra Kemenkes belum sepenuhnya dan evaluasi status pencapaian dengan basis monitoring belum dilakukan. Salah satu penyebab utama adalah belum dilembagakannya kontrak kinerja pada semua lapisan organisasi, dan belum dilakukan upaya evaluasi sistematis dan terpadu atas pencapaian renstra Kemenkes dengan mendasarkan pada hasil monitoring pencapaian target kinerja renstra.
• Tahapan Dialog Kinerja
Tahapan dialog kinerja ini bertujuan untuk mengevaluasi status kemajuan target kinerja renstra Kemenkes. Dialog kinerja ini merupakan evaluasi berkala pencapaian kinerja dengan durasi tertentu (sesuai kebutuhan) antara pimpinan dan para jajaran pimpinan di lapisan organisasi Kemenkes yang lebih rendah. Upaya evaluasi tersebut harus ditunjang oleh data dan informasi terintegrasi tentang status kemajuan pencapaian renstra.
EDISI KEENAM | 33
• Tahapan Manajemen Kinerja
Tahapan ini bertujuan menilai keberhasilan pencapaian target kinerja setiap pegawai pada berbagai tingkatan jabatan di lingkungan Kemenkes, yang terintegrasi dengan kontrak kinerja satuan (unit) kerja tempat pegawai berkiprah. Kemenkes telah memiliki mekanisme SKP (sistem kinerja pegawai) untuk menilai kinerja pegawai. Namun, SKP perlu diintegrasikan dengan renstra sehingga setiap pegawai di Kemenkes akan mempunyai indikator keberhasilan yang bukan hanya mengukur keberhasilan pegawai dari sudut pemenuhan job description dan perilaku saja (orientasi proses), namun juga kontribusi setiap pegawai untuk menunjang renstra Kemenkes (orientasi hasil).
Kerangka Pendanaan Renstra 2015-2019 menekankan dua aspek utama dalam kerangka pendanaan, yakni: peningkatan pendanaan preventif & promotif dan peningkatan efektivitas pembiayaan kesehatan. • Peningkatan pendanaan preventif & promotif diharapkan lebih cost effectiveness dibandingkan kuratif. Peningkatan pendanaan preventif dan promotif juga untuk menghindari jebolnya anggaran pemerintah untuk kuratif, dengan diimplementasikannya program Jaminan Kesehatan Nasional menuju universal coverage tahun 2019. • Peningkatan efektivitas pembiayaan kesehatan. Setiap pembiayaan hendaknya memenuhi kriteria cost effectiveness (investasi
34 | KABAR AIPHSS
yang diberikan memberikan manfaat dan daya ungkit yang besar), tepat guna dan hasil guna dengan mempertegas keterkaitan yang erat antara prioritas yang terukur, program dan kegiatan pokok dengan penganggarannya. Kerangka Peraturan Fokus dari kerangka peraturan ini adalah penyempurnaan sistem JKN. Dalam kerangka sistem desentralisasi, dimana kabupaten/kota memiliki peranan penting dalam melaksanakan upaya kesehatan, kapasitas kabupaten/ kota menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan. Pada tahun 2015, ada sekitar 540 kabupaten/Kota diseluruh Indonesia. Dengan disyahkannya revisi UU-23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pembagian urusan antara pusat, propinsi dan daerah, serta Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang lebih komprehensif telah diatur.
Dukungan Program AIPHSS Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) bekerjasama dengan Biro Perencanaan dan Anggaran (Roren) Kementerian Kesehatan, memberikan dukungan teknis guna mempersiapkan rencana strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019. Dukungan ini mencakup penyelarasan berbagai kebijakan yang terkait dan analisa situasi mulai dari pengembangan program kesehatan hingga persiapan dokumen rencana strategis. Tahap awal dari proses penyusunan rencana strategis (renstra), yakni penyusunan rancangan teknokratik renstra dimulai pada bulan Juni 2014 dan tahapan kedua yakni penyusunan renstra politis hingga kini masih berlangsung.
Dalam kegiatan ini, empat tenaga ahli dari AIPHSS telah melakukan analisa situasi (situasional analysis) berdasarkan studi, survei, dan review dokumentasi yang telah dan sedang diimplementasikan untuk menghasilkan rangkuman analisa situasi terhadap masing-masing program dan indikator. Rangkuman tersebut akan dimasukkan dalam formulasi rencana strategis. Dokumen yang dirujuk untuk kegiatan ini terdiri dari review sektor kesehatan (Health Sector Review), rekomendasi rakerkesnas, hasil survey seperti riset kesehatan dasar (riskesdas), riset fasilitas kesehatan (rifaskes), mid-term review rencana strategis tahun 20102014, hasil revisi peraturan terkait (antara lain pembagian wewenang dan tanggung jawab, standard pelayanan minimum, kompetensi, organisasi, BLUD), konsep-konsep revisi UU pembagian urusan dan standard pelayanan minimal, desain struktur organisasi dan prosedur kerja, bahanbahan masukan dari BAPPENAS untuk perencanaan teknokratik RPJMN 2015-2019, dan dokumen pendukung lainnya. Dalam tahap persiapan pembuatan visi, misi dan strategi untuk merevisi kebijakan sektor kesehatan, sejumlah konsultasi dengan pemangku kepentingan dari berbagai pihak dilakukan Pemangku kepentingan ini terdiri dari lembaga lintas kementerian Bappenas, BKKBN, Badan POM, dan kementerian kesehatan dan dari kalangan organisasi profesi antara lain Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA). Pada tahapan penyusunan Renstra, konsultan ahli bekerja sama dengan tim ROREN Renstra dan segenap eselon 1/ eselon 2.
Rencana Pembangunan Bidang Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013-2018:
Tantangan, Upaya Akselerasi Kesehatan, dan Dukungan Lewat Kemitraan Peta Tantangan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Pada tahun 2013, provinsi Nusa Tenggara Timur meraih penghargaan Millenium Development Goals (MDGs) award atas keberhasilannya menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 306 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 176 kasus di tahun 2013. Hingga 2014, prestasi ini terus dipertahankan dan AKI menurunkan lagi menjadi 159 kasus.9 Prestasi juga ditunjukkan pada penurunan angka kematian bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) meski cenderung fluktuatif. Di tahun 2007, AKB sebanyak 57 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007), dan 2012 mencapai 45 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). AKABA pada tahun 2007 mencapai 80 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007), di tahun 2012, AKABA menurun menjadi 58 (SDKI, 2012). (Detail fluktuasi lihat grafik 1) Prevalensi gizi kurang menurun dari 20,4% (SDKI 2007) menjadi 13,0% (Riskesdas 2010) dan kondisi tersebut diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk 9,0% (SDKI 2007) menjadi 4,9% (Riskesdas 2010). Bahaya Penyakit Kesehatan Lingkungan. Dari 90% desa di Provinsi NTT hampir seluruhnya merupakan wilayah endemis malaria. Wilayah ini adalah desa-desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi 9 10
Grafik 1: prevalensi penyakit menular di NTT
Selain malaria, pada tahun 2012 , terjadi KLB demam berdarah (DBD) sebanyak 1.542
kasus, dengan kasus tertinggi di Kota Kupang jumlah kasus sebanyak 890 kasus. Angka kematian tertinggi di Kota Kupang yaitu sebanyak 8 orang (CFR 0,9%), menyusul Kab. Belu 3 orang meninggal, Kab. Ngada dan Sumba Timur masing-masing 1 orang meninggal. Selain malaria dan demam berdarah, Fliariasis (kaki gajah) juga masih tergolong tinggi terutama di Sumba Barat Daya (313 kasus) dan Kabupaten Rote Dao (94 kasus). Pada tahun 2011 penderita penyakit filariasis sebanyak 4.684 kasus, menurun menjadi 501 kasus (tahun 2012). 10
Upaya Akselerasi dan Penanganan Tantangan Kesehatan Renstra 2013-2018 merupakan kelanjutan dari rencana strategis bidang kesehatan yang telah dirampungkan periode sebelumnya. Periode sebelumnya terfokus pada penguatan fondasi “infrastruktur” kesehatan baik dari cakupan tenaga kesehatan, kualitas dan distribusinya, peningkatan sarana dan fasilitas kesehatan, ketercukupan obat, pencegahan dan surveilance penyakit menular, peningkatan gizi, KIA, perencanaan berbasis bukti (evidence based policy), adopsi sistem informasi kesehatan daerah (SIKDA), pembiayaan kesehatan. Renstra 2013-2018 pada dasarnya hampir serupa dengan penekanan pada: yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta buruknya perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat. Tahun 2012 kasus malaria positif tertinggi di Kabupaten Lembata sebanyak 22.083 kasus, sedangkan kasus terendah di Kota Kupang sebanyak 284 kasus.
• Implementasi SIKDA dengan mengintegrasikan fungsi pencatatan, pelaporan, pelacakan serta monitoring evaluasi terpadu untuk mendukung evidence based policy making. Pada periode 2008-2013, SIKDA belum bisa sepenuhnya dipergunakan karena masih dalam proses adopsi. Jika fungsi SIKDA ini sudah
BKKBN. 2015. “Upaya Menurunkan AKI dan AKB di Nusa Tenggara Timur”.http://ntt.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=607 Renstra Dinas Kesehatan Provinsi NTT 2013 - 2018
EDISI KEENAM | 35
Gambar 2: Peta persebaran endemic penyakit menular di NTT
Sumber: analisis dokumen renstra NTT 2013-2018
terimplementasi dengan sempurna disemua daerah, maka fungsi pemantauan, pelaporan, tindak lanjut, dan perencanaan kesehatan bisa berlangsung lebih baik. • Pada rencana strategis menyangkut pembiayaan, pemerintah daerah juga berkomitment untuk melakukan realokasi anggaran kesehatan secara proporsional. • Pada sisi supply sumberdaya manusia, rencana strategis periode ini lebih terfokus pada peningkatan kapasitas lewat training dan pelembagaan kemitraan dengan sister hospital untuk penyelenggaraan training leadership dan manajemen.
Rekomendasi Kebijakan Pembelajaran dari reformasi puskesmas dan revolusi KIA, didukung dengan implementasi Desa Siaga Aktif. Sejak tahun 2009, Pemda NTT didukung oleh Department of Foreign Affairs and Trade lewat kedua
programnya Australian Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) dan Australia Indonesia Partnership for Health System Strengthening (AIPHSS) melakukan revolusi KIA dan reformasi puskesmas untuk menekan laju kematian ibu, bayi dan balita. Program yang inovatif ini dilakukan melalui beberapa pendekatan yakni 2H211, sister hospital12 dan Pelatihan jarak jauh (PJJ) di 14 kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Di 2014, Kementerian kesehatan, lewat BPPSDMK, telah merancang 456 modul pelajaran dan memberikan training untuk 120 tutor yang akan melaksanakan inisiatif PJJ untuk penyetaraan perawat dan bidan ke diploma III. 13 Ekspansi ruang lingkup program revolusi KIA dan Desa Siaga Aktif. Keterlibatan masyarakat dan anggota keluarga dalam pengawasan pengobatan dan pencegahan penularan penyakit menular serta perbaikan gizi sangat penting. Dengan mereplikasi model revolusi KIA dan Desa Siaga Aktif
maka masyarakat dapat mendukung penyedia layanan kesehatan dasar di desa, meningkatkan fungsi surveillance malnutrisi, penyakit menular, pemantauan gaya hidup (perilaku hidup bersih), kesiap siagaan bencana selain penanganan kegawatdaruratan kebidanan. Pemberantasan Malaria, sebagai contoh, anggota keluarga dan masyarakat bisa menjadi mitra untuk memastikan kepatuhan pasien selama 28 hari dan penggunaan obat rasional sampai infeksi sembuh total dan resistensi terhadap pengobatan malaria tidak terjadi.14 Sama halnya dengan perbaikan gizi, penyadaran tentang asupan gizi dan kesalahan persepsi pantangan makanan untuk ibu hamil dan bayi bisa dilakukan dalam kerangka desa siaga aktif dan revolusi KIA. Analisis litbang menunjukan bahwa ibu yang memiliki tinggi badan kurang akan melahirkan bayi yang pendek juga sehingga terjadi stunting lintas generasi. Hal ini yang harus dipatahkan dengan berinvestasi jangka panjang lewat pencukupan asupan gizi dan kesehatan remaja melalui sekolah. Kesuksesan ekspansi ini harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: Perbaikan perencanaan anggaran. Komitmen anggaran untuk Revolusi KIA kerap terkendala pada keterbatasan biaya kesehatan dan kurang maksimalnya perencanaan dan pemanfaatan alokasi biaya kesehatan. Kajian yang dilakukan oleh Dominirsep Dodo, dkk (2010) terkait dengan analisa pembiayaan program KIA di Kabupaten Sabu Raijua- kabupaten pemekaranmenemukan bahwa perencanaan pembiayaan untuk program KIA masih
2H2 adalah sistem pelaporan, pemantauan dan rujukan ibu hamil yang dilakukan pada khususnya menjelang masa dua hari sebelum waktu perkiraan lahir dan dua hari setelah perkiraan melahirkan. Sistem pemantauan, pelaporan dan validasi dilakukan oleh bidan desa melalui SMS ke 2H2 Center yang di kelola oleh puskesmas. Data tersebut dikompilasi dan dilaporkan ke RSUD untuk persiapan rujukan. Dalam sistem ini, PONED dan puskesmas dikembangkan fungsinya dengan infrastruktur yang menunjang untuk melakukan merespon kegawatdaruratan persalinan. 12 Sister hospital dan pelatihan jarak jauh merupakan upaya perbaikan kualitas tenaga kerja dalam penanganan persalinan dan kegawatdaruratannya. Dalam mekanisme ini, sebuah rumah sakit ternama di kontrak untuk memberikan pelatihan kala kerja pada nakes di RSUD dan puskesmas mitra sehingga mereka memiliki kemampuan untuk memberikan layanan darurat kebidanan selama 24 jam. 13 Kabar AIPHSS. December 2014. “Empowering midwives and nurses in rural health centers.” 14 Rita Kusriastuti, Asik Surya. “New Treatment Policy of Malaria as part of Malaria Control Program in Indonesia.” Acta Media Indonesia 11
36 | KABAR AIPHSS
didominasi penganggaran kegiatan fisik dan operasional namun dukungan untuk sumber daya manusia masih minimum. Selain itu, keterlambatan pencairan dana juga ditemukan dan berakibat pada terganggunya implementasi kegiatan KIA.15 Persiapkan exit strategy. Jelang berakhirnya pendanaan dari DFAT untuk pelaksanaan program sister hospital dan PJJ, exit strategi untuk memastikan keberlanjutan program perlu dipersiapkan. Utamanya terkait dengan transisi pendanaan dari donor ke pemerintah (baik lewat pendanaan APBN dan/atau APBD), keterlibatan sektor swasta (CSR) dan masyarakat madani untuk menjaga keterlanjutan program. Selain pendanaan, exit strategy tersebut perlu menyediakan instrumen monitoring dan evaluasi disertai audit program pihak ketiga dan pembangunan kapasitas untuk pemimpin RSUD terkait dengan strategi pembiayaan sister hospital dan PJJ di masa depan. Jembatan budaya dan komunikasi pendukung Sister Hospital dan PJJ. Benturan budaya kerja, disiplin dan etos kerja serta sistem hirarki antara staf mentor dari rumah sakit mitra dengan dokter dan tenaga kerja medis di NTT dalam pelatihan kala kerja bisa menghambat keberhasilan sister hospital dan PJJ. Kajian yang dilakukan oleh Belton, dkk (2014) menemukan bahwa dokter lokal kerap mengalami gegar budaya karena adanya perbedaan cara kerja dengan mentor, mengakibatkan rasa rendah diri dan menurunkan insentif untuk menginternalisasi dan mengadopsi pengetahuan baru yang diajarkan lewat sister hospital dan PJJ. 16 Membangun fondasi sistem informasi kesehatan. Kajian partisipatif mengenai SIKDA di dua
kabupaten di NTT menemukan bahwa nakes memiliki penafsiran berbeda mengenai acuan pengukuran dan pencatatan (misal perbedaan definisi kelompok umur), selain itu kesalahan pelaporan juga di sebabkan kesalahan diagnosa karena bidan desa sering berperan melebihi kapasitasnya yang tidak terhindari diwilayah yang masih terisolir.17 Bidan yang menjadi ujung tombak pelaporan juga merasa terbebani oleh fungsi ganda perawatan ibu dan anak serta penanganan layanan kesehatan dasar, dan kini ditambah dengan fungsi pelaporan. Karenanya, adopsi sistem SIKDA memerlukan beberapa perbaikan diantaranya: (1) training dan pembinaan pelatihan terpadu sehingga tenaga kesehatan memiliki persepsi komprehensif berdasarkan panduan resmi mengenai mekanisme pengisian laporan, (2) pelatihan manajemen waktu untuk bidan desa- misalnya melakukan administrasi pada waktu hari pasar ketika mayoritas masyarakat tidak mengunjungi puskesmas atau klinik desa (3) konsultasi aktif dan penyesuaian sistem sesuai dengan konteks lokal, untuk menjembatani keluhan dan kepentingan pengguna juga diperlukan. Kemitraan. Masalah kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur memerlukan kerjasama antar hirarki pemerintahan (pusat-provinsi-daerahmasyarakat) dan kerjasama dengan mitra pembangunan (masyarakat madani dan swasta). Adanya bantuan – bantuan Luar Negeri seperti : Australia Indonesia Partnership Maternal Neonatal Health (AIPMNH), Australia Indonesia Partnership Health Support System (AIPHSS), World Health Organization (WHO), United Nation International Child Education Foundation (UNICEF), Nutrition Improvement
through Community Emprovement (NICE) merupakan sebuah kesempatan untuk mengakselerasi upaya pembangunan kesehatan di NTT. Pemerintah provinsi NTT meningkatkan kerjasama untuk penanganan penyakit menular dan menjamin ketersediaan obat dan vaksinasi dengan Organisasi internasional seperti WHO, Novartis Foundation, Netherlands Leprosy Relief dan Sasakawa Foundation, Eijkman Institute of Molecular Biology; perusahaan seperti Biofarma. Kemitraan juga perlu diperkuat dengan donor yang memiliki dana untuk program pemberantasan penyakit menular, perbaikan sanitasi dan akses air bersih serta pengentasan kemisikinan seperti USAID, UNICEF dan DFAT.
Dukungan AIPHSS Dalam penyusunan renstra pembangunan kesehatan provinsi Nusa Tenggara Timur 2013-2018, Australia Indonesia Partnership Health Strengthening System (AIPHSS) memberikan dukungan teknis terutama dalam tahapan proses perencanaan dan mendatangkan tim ahli pendampingan. AIPHSS juga memberikan dukungan penuh pada tahap pelaksanaan Seminar Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Selain memberikan dukungan untuk perbaikan kelembagaan, AIPHSS juga menjadi bagian dari pelaksanaan model PJJ yang telah menjadi inovasi nasional. PJJ memberikan kesempatan bagi perawat dan bidan (kebanyakan wanita) untuk meningkatkan kompetensi mereka tanpa harus meninggalkan tempat kerja mereka, yang akan menghasilkan memburuknya layanan saat mereka pergi. Program ini diluncurkan pada bulan Juli 2014 dan akan berlangsung selama empat tahun.
15 Dominirsep Dodo, Laksono Trisnantoro, Sigit Riyato. 2012. “Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak bersumber Pemerintah dengan Pendekatan Health Account.” Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia V. 01, hal 13-33. 16 Suzanne Belton, Browyn Myers, Frederika Rambu Ngana. 2014.” Maternal Deaths in Eastern Indonesia: 20 years and still walking.” BMC Pregnancy and Chilbirth, 14: 39. 17 Frederika Rambu Ngana, Browyn Myers, Suzanne Belton. 2011.” Health reporting system in two sub districts in eastern Indonesia: Highlights the role of village midwives.” Midwifery journal.
EDISI KEENAM | 37
Standar Pelayanan Minimal Kesehatan (SPM) menurut UU No. 23 Tahun 2014 Ada Apa dengan SPM? RAKYAT dilayani, Pemerintah melayani. Itulah rumus dasar berjalannya roda pemerintahan di Indonesia. Sebagai negara yang mengemban amanah mensejahterakan rakyatnya sebagaimana diatur di dalam konstitusi, Pemerintah (eksekutif) menjadi ujung tombak pelaksana amanah itu. Indonesia adalah Negara Kesatuan yang mempunyai tata pemerintahan berjenjang yaitu Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka telah diatur sistem pemerintahan antara pusat dan daerah serta keserasian hubungan antara keduanya. Kesehatan adalah Urusan Pemerintahan Konkuren Wajib yang terkait dengan Pelayanan Dasar (pasal 12, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014). Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib terkait pelayanan dasar, yang berpedoman pada Standar Pelayan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pemaknaan yang lebih jelas terlihat dalam PP No 65 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal. Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal” terkait dengan: 1. Perlindungan hak konstitusi (Pasal 28H & 34 UUD 1945)
38 | KABAR AIPHSS
2. Perlindungan untuk kepentingan nasional, yaitu terkait dengan kesejahteraan masyarakat, ketenteraman, dan ketertiban dalam rangka keutuhan nasional. 3. Pemenuhan terhadap komitmen nasional yang terkait dengan perjanjian dan konvensi internasional. 4. SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, Menteri Kesehatan mengeluarkan kebijakan SPM bidang Kesehatan Kabupaten dan Kota, sebagai berikut:
substantif dalam penerapan SPM, yaitu adanya ketidaksesuaian antara SPM yang telah diterbitkan dengan ketentuan SPM yang diamanahkan melalui Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Ketidaksesuaian pada sisi substantif, antara lain: a. Sebanyak 12 Indikator sudah tidak relevan dari sisi target waktu pencapaian tahun 2010. b. Definisi operasional tidak jelas c. Definisi operasional tidak konsisten dengan rumus perhitungan. d. Aspek kualitatif dari SPM terlalu berat bila dikaitkan dengan target pencapaian e. Numerator dan denominator : not trackable f. Enam indikator SPM menggunakan CBR (Crude Birth Rate/Angka Kelahiran Kasar) sebagai dasar perhitungan sasaran : Ibu hamil K4 (Kunjungan keempat), komplikasi kebidanan, ibu bersalin, ibu nifas, komplikasi neonates, dan kunjungan bayi. Namun, tidak semua kabupaten/kota mengetahui angka CBR masing-masing. (Tahun 2009).
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan pengganti Keputusan Menkeri Kesehatan nomor 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal; 2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan; dan 3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 317 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembiayaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan.
Sedangkan permasalahan pada sisi manajemen, antara lain:
Namun, berdasarkan evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan 2011 terhadap Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/ Kota Bidang Kesehatan, ditemukan masih ada masalah manajemen maupun
a. Belum tersosialisasinya SPM Kesehatan kepada pemangku kepentingan di Kabupaten dan Kota sehingga hampir semua pelaksana urusan bidang kesehatan di kabupaten/Kota tidak memahami
SPM yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan tersebut. b. Belum semua SPM terintegrasi ke dalam mekanisme perencanaan pada sisi RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan mekanisme pengganggaran pada sisi RPKD (Rencana Program Kerja Daerah) Terhadap permasalahan terkait Standar Pelayanan Minimal di atas, maka pada sisi substantif diperlukan : 1) Revisi Peraturan Menteri Kesehatan No. 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan, 2) Revisi Keputusan Menteri Kesehatan No. 828 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan 3) Keputusan Menteri Kesehatan No. 317 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembiayaan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota 4) Pelatihan SPM (Revisi) bagi Petugas. 5) Sosialiasi Revisi Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota. Sedangkan pada sisi manajemen diperlukan secepatnya sosialisasi SPM Kesehatan secara masif kepada seluruh pemangku kepentingan di Kabupaten/ Kota. Ini dilakukan bersama-sama Kementerian Dalam Negeri karena Menteri Dalam Negeri adalah Ketua Dewan Pembina Otonomi Daerah dan Pembina Umum Pelaksanaan Otonomi Daerah. Saat ini, draft akhir Peraturan Menteri Kesehatan tentang Petunjuk teknis SPM termasuk indikator dan pembiayaannya, yang merupakan hasil revisi peraturan sebelumnya, masih dalam proses pengesahan DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan dalam pembahasan bersama jajaran pejabat eselon 1 di Kementerian Kesehatan.
Tujuan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan memberikan pelayanan minimal bagi masyarakat sesuai daur kehidupan manusia: mulai dari merencanakan keluarga sampai lanjut usia, sebagai berikut: • Pasangan Usia Subur: Pemeriksaan (screening) Kesehatan Dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi • Ibu Hamil: Paket Pelayanan Kehamilan • Ibu Bersalin: Paket Pelayanan Persalinan • Bayi Baru Lahir: Paket Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir
Siapa dan Bagaimana SPM Baru Akan Dilaksanakan SPM Kesehatan yang baru dilaksanakan ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 2014-2019. Berikut ini adalah para pelaksana dan peran mereka dalam penyelenggaraan SPM Kesehatan: 1. Promosi Kesehatan di Sekolah Pendidikan Dasar Pelaksana a) Koordinator atau pengelola promosi kesehatan di Puskesmas b) Tenaga kesehatan di Puskesmas c) Tim Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) d) Pengelola promosi kesehatan di kabupaten/kota 2. Promosi Kesehatan Di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana a) Koordinator atau pengelola promosi kesehatan di Puskesmas b) Tenaga kesehatan di Puskesmas c) Pengelola promosi kesehatan di kabupaten/kota
• Balita: Paket Pelayanan Kesehatan Balita • Anak Sekolah: Promosi Kesehatan dan Pemeriksaan Kesehatan • Remaja: Pemeriksaan Kesehatan dan Deteksi Dini Beberapa Masalah Kesehatan Prioritas • Dewasa: Pemeriksaan Kesehatan, Deteksi Dini Masalah Kesehatan dan Kanker Prioritas • Lansia: Pemeriksaan dan Deteksi Dini Beberapa Masalah Kesehatan Prioritas
3. Promosi untuk Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan Pelaksana: a) Koordinator /pengelola promosi kesehatan di Puskesmas. b) Tenaga kesehatan di Puskesmas. c) Pengelola promosi kesehatan di kabupaten/kota. d) Tenaga pengelola data dan sistem informasi kesehatan kabupaten/kota 4. Paket Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil Di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana: a) Dokter b) Bidan c) Perawat bidan d) Perawat terlatih pemeriksaan kehamilan e) Tenaga kesehatan terlatih gizi f) Ahli gizi (nutrisionist) 5. Paket Pertolongan Persalinan di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana: a) Dokter b) Bidan
EDISI KEENAM | 39
6. Paket Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana a) Dokter b) Bidan c) Perawat 7. Paket Pelayanan Kesehatan Usia Bawah Lima Tahun (BALITA) di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana: a) Dokter b) Bidan c) Perawat d) Ahli gizi 8. Pemeriksaan Kesehatan Siswa Sekolah Pendidikan Dasar Pelaksana: a) Dokter/dokter gigi b) Perawat c) Perawat gigi atau tenaga terlatih d) Bidan e) Ahli gizi 9. Pemeriksaan Kesehatan pada Penduduk Remaja (Usia 15-18 th) di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana: a) Dokter b) Bidan c) Perawat d) Ahli gizi 10. Pemeriksaan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi pada Penduduk Dewasa (19 – 59 tahun) di Puskesmas dan Jaringannya Pelaksana: a) Dokter b) Bidan c) Perawat
40 | KABAR AIPHSS
11. Pemeriksaan Kesehatan Penduduk Lanjut Usia (60 tahun ke atas) di Puskesmas Pelaksana: a) Dokter b) Bidan c) Perawat d) Ahli gizi 12. Pemeriksaan terduga Tuberkulosis (TB) di Puskesmas dan RSUD Pelaksana: a) Dokter di Puskesmas yang terlatih program TB b) Dokter di RSUD kabupaten/kota yang terlatih program TB c) Perawat di Puskesmas yang terlatih program TB d) Perawat di RSUD yang terlatih program TB e) Perawat RSUD kabupaten/kota yang terlatih program TB f) Pranata laboratorium kesehatan di Puskesmas yang terlatih mikroskopis TB g) Pranata laboratorium kesehatan RSUD kabupaten/kota yang terlatih mikroskopis TB h) Bidan di poli KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) Puskesmas yang terlatih untuk memeriksa gejala TB anak i) Bidan di poli anak RSUD yang terlatih untuk memeriksa gejala TB anak j) Petugas program TB di Dinas Kesehatan kabupaten/kota 13. Pemeriksaan Terduga HIV danAIDS di Puskesmas dan RSUD Pelaksana: a) Dokter / Dokter gigi b) Perawat dan bidan terlatih c) Tenaga kesehatan Puskesmas yang terlatih konseling HIV/AID d) Pranata laboratorium kesehatan
14. Inspeksi Sanitasi di Sekolah Pendidikan Dasar dan Pasar Tradisional Pelaksana: a) Ahli sanitasi (sanitarian) b) Perawat terlatih 15. Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) dalam Waktu Kurang dari 24 Jam Pelaksana: a) Ahli epidemiologi (epidemiolog) b) Tenaga kesehatan terlatih bidang epidemiologi (petugas pengawas/surveillans dinas kesehatan dan Puskesmas) c) Tenaga terlatih yang tergabung dalam Tim Gerak Cepat kabupaten/kota. 16. Promosi kesehatan untuk Siswa Pendidikan Menengah dan SLB (Sekolah Luar Biasa) Pelaksana: a) Koordinator atau pengelola promosi kesehatan di provinsi b) Pengelola promosi kesehatan di SMA atau sederajat 17. Promosi kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat di bidang Kesehatan di media massa Pelaksana: a) Koordinator atau pengelola promosi kesehatan di provinsi 18. Inspeksi Sanitasi di Sekolah Pendidikan Menengah dan SLB Pelaksana: b) Ahli sanitasi c) Perawat terlatih
Biaya
Dukungan Program AIPHSS
Sumber pendanaan untuk Penyelenggaraan SPM adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sesuai pasal 9 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal serta pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pembiayaan SPM wajib diprioritaskan dalam penganggaran APBD sebelum menganggarkan kegiatan lainnya. Sumber pendanaan dalam APBD yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemenuhan SPM dapat berasal dari dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil atau pendapatan asli daerah. Dana alokasi khusus (DAK) dapat digunakan untuk memenuhi pencapaian SPM sepanjang sudah disediakan untuk itu. Bagi daerah yang sumber penerimaannya dari dana DAU, bagi hasil dan PAD terbatas, maka sumber pendanaan seharusnya dialokasikan melalui dana alokasi khusus (DAK).
Program Australia Indonesia Partnership for Health System Strengthening (AIPHSS) diluncurkan secara resmi oleh Perdana Menteri Australia Julia Gillard dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, pada Oktober 2013 Butir B Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota adalah kontribusi Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES) dengan didanai oleh DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade) melalui Program Australia Indonesia Partnership for Health System Strenghtening (AIPHSS).
References
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan, 2014 Standar Pelayanan Minimal 2014-2019, Tim ADINKES, 2014 Undang-undang Nomor 23/2014 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/MENKES/ SK/X/2003 tentang Standar
EDISI KEENAM | 41
Sistem Rujukan yang Efektif di Jawa Timur:
Memastikan Masyarakat Menerima Pelayanan Terbaik yang Terdekat Peningkatan dan Pengembangan Sistem Rujukan Kesehatan di Provinsi Jawa Timur, 2014 Pengembangan sistem rujukan kesehatan penting bagi penguatan sistem kesehatan guna memenuhi hak kesehatan dan mencapai pelayanan dan sistem keuangan kesehatan yang efektif bagi masyarakat. 18, 19 Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia telah melaksanakan Jaringan Kesehatan Nasional ( JKN) di semua provinsi, termasuk Jawa Timur. Oleh karena itu, sistem rujukan kesehatan yang baik dan berkesinambungan dari pelayanan kesehatan primer (di puskesmas) sampai ke level tersier (di rumah sakit) sangatlah penting untuk memastikan tiap individu menerima pelayanan kesehatan yang optimal di tingkat pelayanan kesehatan yang sesuai dan dapat mengakses fasilitas kesehatan pada waktu yang tepat. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menerbitkan SK Gubernur No.188/786/KPTS/013/2013 tentang Pelaksanaan Regional Sistem Rujukan Jawa Timur yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem rujukan dan akses kesehatan bagi masyarakat Jawa Timur.
18 19
Kondisi Sistem Rujukan Jawa Timur Isu utama dari pelaksanaan JKN di Jawa Timur adalah strukturisasi sistem rujukan kesehatan individual untuk mencapai pelayanan kesehatan yang dapat diakses, efisien dan efektif, dari tingkat primer ke tingkat tersier. Sistem rujukan yang ada sekarang ini belum bekerja efektif dan efisien untuk mengurangi jumlah pasien yang terlantar, sebagai bagian dari proses rujukan dari puskesmas. Di tingkat puskesmas, hanya 45% puskesmas yang memiliki kemampuan untuk menangani 144 kasus yang seharusnya dapat ditangani oleh mereka. Dalam hal tenaga kesehatan, beberapa tenaga kesehatan yang telah menerima pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) ditempatkan di puskesmas non-PONED. Selain itu, banyak puskemas yang masih memiliki pelayanan spesialis seperti kamar bedah, dibandingkan RSUD. Di tingkat rumah sakit, RS kelas A dan B di Jawa Timur masih menerima banyak pasien (sekitar 85 persen) yang dirujuk langsung dari puskesmas. Selain itu, RSUD dimana program Australia Indonesia Partnership for Health Systems and Strengthening (AIPHSS) beroperasi (atas dana Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT)) merupakan satu-satunya
pelayanan kesehatan tingkat sekunder yang melayani beberapa kabupaten/ kota. Hasilnya, RSUD ini mengalami kelebihan kasus rujukan yang seharusnya dapat ditangani di tingkat primer. Disamping itu, banyak kasus rujukan yang terlantar tidak tertangani karena kurangnya tenaga dokter spesialis ataupun keterbatasan peralatan laboratorium dan radiologi di RSUD
Pilot Project AIPHSS di Jawa Timur AIPHSS berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan Indonesia dan Dinas Kesehatan Jawa Timur telah melaksanakan sebuah kegiatan (proyek) sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan regionalisasi sistem rujukan di tingkat kabupaten/kota. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan pedoman sistem rujukan kesehatan di Jawa Timur berdasarkan hasil studi kasus di beberapa kabupaten/ kota terpilih. Studi pilot dilakukan pada bulan Mei sampai November 2014 di Kabupaten Sampang, Bangkalan, Situbondo, dan Bondowoso. Tujuh tahap proses peningkatan dan pengembangan sistem rujukan Jawa Timur: 1. Mengembangkan instrumen penilaian untuk puskesmas dan rumah sakit, termasuk ToT (training of trainer)
AIPHSS & Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Regionalization of Referral System: East Java Province. AIPHSS and Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Backman, G and et al. 2008. Health systems and the right to health: an assessment of 194 countries. Lancet 372:2047-85.
42 | KABAR AIPHSS
untuk Diskusi Kelompok Terarah (DKT); 2. Melaksanakan penilaian fasilitas kesehatan dan DKT, termasuk pemetaan fasilitas kesehatan, DKT untuk puskesmas, rumah sakit, komunitas, dan dinkes provinsi dan kabupaten, dan analisis hasil assessment; 3. Mendiseminasikan hasil penilaian dan DKT melalui lokakarya di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 4. Mengembangkan model sistem rujukan, termasuk proses diseminasi dan finalisasi model sistem rujukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 5. Mendiseminasikan model sistem rujukan melalui lokakarya di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 6. Melakukan uji sistem rujukan, termasuk monitoring and evaluation, draft dan pengkajian pedoman sistem rujukan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/ kota; 7. Finalisasi pedoman sistem rujukan, termasuk lokakarya untuk hasil pelaksanaan model sistem rujukan. Hasil Pilot Project. Hasil dari penilaian puskesmas menunjukkan bahwa banyak puskesmas di Jawa Timur yang tidak memenuhi persyaratan standard untuk memberikan pelayanan yang berkualitas baik seperti Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jika pemerintah daerah dapat memprioritaskan isu puskesmas ini, maka kasus bypass (atau ‘potong kompas’) dapat dikurangi, dimana puskesmas dapat menangani kasus rujukan dan mengurangi keterlambatan penanganan kasus di RSUD. Di lain pihak, penilaian rumah sakit menunjukkan bahwa beberapa rumah sakit rujukan regional di Jawa Timur memiliki kinerja spesialistis dasar yang buruk termasuk Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) disbanding RSUD di tingkat kabupaten/ kota. Rumah sakit spesialistis memliki kapabilitas dalam
memberikan pelayanan sesuai dengan spesifitasnya dan juga di luar spesialisasi mereka, dan beberapa dari rumah sakit ini memiliki pelayanan yang menonjol di luar pelayanan spesialisasinya. Hasil DKT menunjukan kurangnyanya komunikasi dan koordinasi antara pelayanan kesehatan dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten dan BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial), kurangnya diseminasi mekanisme JKN di masyarakat, dan buruknya kinerja pelayanan kesehatan primer yang dikarenakan kurangnya fasilitas yang ada, termasuk stok obat dan ketiadaan tenaga kesehatan. Hasil dari monitoring dan evaluasi pelaksanaan model rujukan dan pedoman sistem rujukan di rumah sakit regional dan provinsi menunjukan bahwa prosedur administrasi rujukan masih belum dilakukan dengan benar, dan formulir rujukan dari puskesmas dan rumah sakit untuk pasien umum masih berbeda dengan pasien tanggungan BPJS, dan tidak ada formulir laporan untuk sistem rujukan di rumah sakit. Oleh karena itu, hasil utama dari kegiatan ini adalah pedoman teknis untuk regionalisasi sistem rujukan Jawa Timur. Pedoman ini akan digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan sistem rujukan kesehatan individual di pelayanan kesehatan primer yang dapat memastikan kolaborasi antara fasilitas kesehatan, masyarakat sebagai pengguna jasa, dan pemangku kepentingan (stakeholders) yang juga dapat diterapkan di provinsi lain di Indonesia. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/ kota bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem rujukan yang telah ditingkatkan dengan berkoordinasi dengan BPJS Dari aktivitas ini, Dinkes Provinsi Jawa Timur dan AIPHSS telah merekomendasikan perubahan kategori rumah sakit rujukan dari dua rumah sakit rujukan provinsi dan sembilan
rumah sakit rujukan regional menjadi satu rumah sakit rujukan provinsi dan tujuh rumah sakit rujukan regional. Empat rumah sakit rujukan untuk kasus jiwa tetap sama. Standarisasi tenaga kerja dan infrastruktur rumah sakit sangat diperlukan untuk dapat ditunjuk menjadi rumah sakit rujukan regional Jawa Timur. Tantangan. Tantangan utama dari pelaksanaan sistem rujukan kesehatan di Jawa Timur dan provinsi lain adalah tidak tersedianya tenaga dokter spesialis, obat-obatan, alat-alat laboratorium dan radiologi di RSUD kabupaten/ kota dan tenaga kesehatan terlatih di puskesmas. Selain itu, identifikasi pelayanan khusus RSUD kabupaten/ kota harus jelas dan bedasarkan kapasitas mereka. Isu lain yang perlu diselesaikan adalah perlunya peningkatan administrasi rujukan dengan dukungan dari pemerintah kabupaten/ kota.
Rekomendasi Untuk meningkatkan efisiensi regionalisasi sistem rujukan di Jawa Timur dan provinsi lain, pembuat kebijakan perlu untuk mempertimbangkan beberapa isu penting berikut: Di Tingkat Pusat (Nasional) a. Merumuskan tolak ukur, melaksanakan evaluasi dan penelitian untuk menetapkan standard dalam pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia. Mengingat keragaman daerah-daerah di Indonesia, aktivitas tersebut perlu memasukan identifikasi tantangan khusus lokal/ regional dalam implementasi model rujukan. b. Meningkatkan kualitas dan jumlah tenaga kerja kesehatan di pelayanan kesehatan tingkat sekunder, terutama untuk tenaga dokter spesialis dan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan keahlian mereka. EDISI KEENAM | 43
c. Melanjutkan dukungan AIPHSS untuk memfasilitisasi Sistem Rujukan Provinsi Jawa Timur sebagai sebuah model yang dapat diadopsi di tingkat nasional termasuk formulir rujukan yang telah distandarisasi dan aplikasi perangkat lunak untuk rujukan. d. Meningkatkan model rujukan yang ada sekarang ini yang belum memasukan bencana atau kondisi tak terduga/ terkendali (untuk penyakit tertentu seperti HIV-AIDS, Tuberculosis, lepra, penyakit jiwa, penyakit mata dan penyakit khusus lainnya) dengan merumuskan sistem rujukan khusus untuk kondisi bencana dan penyakit-penyakit khusus di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota. Di Tingkat Provinsi a. Meningkatkan komunasi dan kolaborasi pada tingkat kepemimpinan antara dinkes provinsi, dinkes kabupaten/ kota, BPJS dan pemangku kepentingan terkait untuk mencapai sistem rujukan yang efisien dan optimal b. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan kesehatn primer (puskesmas) termasuk poskesdes, polindes, dan pustus terkait dengan ketersediaan dan keragaman tenaga kesehatan, alat-alat kesehatan yang memadai, infrastruktur kesehatan, dan layanan rawat inap guna melayani lebih banyak kasus di tingkat primer. c. Meningkatkan penempatan tenaga kesehatan ahli dan terlatih sesuai dengan keahlian dan pengalaman pelatihan mereka berdasarkan kebutuhan dari pelayanan kesehatan primer
d. Dalam hal kesinambungan, peran pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota tidak boleh hanya pada alokasi keuangan untuk sistem rujukan namun yang lebih penting lagi, pada peningkatan program pencegahan penyakit daripada peningkatan kuratif. e. Terkait dengan isu lintas batas (cross-border issues) antar kabupaten/ kota, diperlukan sebuah memorandum of understanding (MoU) antara tingkat kabupaten/ kota dan provinsi untuk memfasilitasi akses rujukan untuk masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Kesinambungan sistem rujukan. Dukungan keuangan dapat menjadi faktor kunci dalam menetapkan sistem rujukan dan kelanjutannya di dalam sistem kesehatan. Di samping itu, kepemimpinan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota penting dalam kesinambungan dari sistem rujukan. Pemerintah daerah harus dapat mengidentifikasi masalah lokal dari sistem rujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan dapat diandalkan di semua daerah. Kesinambungan dari sistem rujukan ini untuk jangka panjang dapat dicapai dengan kepastian struktur keuangan dan menata ulang model pelayanan untuk memenuhi perubahan demografi dan epidemiologi di Jawa Timur oleh pemerintah daerah dan pusat.20,21 Isu cross-cutting gender and inovasi. Sistem rujukan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang dapat berkontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan dengan isi crosscutting lainnya seperti pemerintahan, sistem pembiayaan kesehatan, dan sistem informasi kesehatan, khususnya
untuk isu gender dan inovasi. Sistem rujukan harus dapat memprioritaskan bayi, balita, populasi lanjut usua dan keluarga miskin untuk meminimalisir kesenjangan gender yang masih terjadi di masyarakat, terutama untuk perempuan.22 Pelaksana sistem rujukan di berbagai tingkat administrasi harus didorong untuk menciptakan inovasi lebih lanjut dengan meningkatkan komunikasi dengan pemangku kepentingan lain dan penyedia layanan kesehatan, menjalin kolaborasi dan kerja sama multi sectoral dan tanggap dengan kebutuhan akan standard dan pedoman baru. Selain itu, kebijakan dan program harus konsisten dengan tujuan umum dari sistem kesehatan melalui monitoring dan evaluasi sistem rujukan yang berkelanjutan di seluruh tingkat pelayanan kesehatan. Sistem rujukan harus dinamis sesuai dengan harapan dan kebutuhan daerah untuk melahirkan inovasi dalam sistem kesehatan. Kemitraan strategis. Aktivitas ini telah memperkuat kemitraan strategis antara Provinsi Jawa Timur, Kementerian Kesehatan Indonesia dan AIPHSS dalam hal membantu pemerintah daerah untuk meningkatkan sistem rujukan kesehatannya, memastikan kebijakan strategis terkait sistem rujukan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan mengenai sistem rujukan, dan memberikan dukungan teknis untuk pemerintah kabupaten/ kota. Kegiatan ini juga memberikan dukungan dana tambahan untuk meningkatkan sistem rujukan yang ada sekarang ini di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Aktivitas ini mendorong kemitraan dan kolaborasi dengan melibatkan pemerintah dan sektor swasta.
WHO. 2007. Everybody’s Business: Strengthening Health Systems to Improve Health Outcomes: WHO’s Framework for Action. World Health Organization, Geneva, Switzerland. WHO. 2010. Monitoring the Building Blocks of Health Systems. World Health Organization, Geneva, Switzerland. 22 Sen, G & Ostlin, P. 2007. Unequal, unfair, ineffective and inefficient gender inequity in health: Why it exists and how we can change it. WHO Commission on Social Determinants of Health. Karolinska Institutet. 20 21
44 | KABAR AIPHSS
Dukungan AIPHSS terhadap Revisi UU No. 32/2004 menjadi UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Sektor Kesehatan) Apa alasan utama revisi UU 32 menjadi UU 23? Permasalahannya adalah tidak adanya aturan yang jelas dalam hal tata kelola daerah dan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sehingga menyebabkan penafsiran berbeda mengenai Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK). Kondisi ini menimbulkan salah persepsi dalam hal tugas fungsional di antara struktur pemerintahan dan tertundanya upayaupaya pencapaian target-target nasional penting dalam sektor kesehatan. Situasi ini diperparah dengan disintegrasi perencanaan dan penganggaran di sektor kesehatan UU 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah memberikan pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria berikut: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Dalam rangka memastikan kualitas dan keseragaman penafsiran pengaturan tersebut bagi semua daerah, maka pemerintah pusat menetapkan NSPK terutama agar pemerintah pusat dapat memberikan pengelolaan dan pengawasan yang tepat terhadap pembagian urusan. Pengaturan tersebut tercantum dalam PP 38/2007. Pedoman mengenai organisasi perangkat daerah dijelaskan lebih lanjut dalam PP 41/2007. Namun dalam kenyataannya,
masih ada isu-isu dasar dalam penyusunan dan penetapan NSPK sebagaimana tertuang dalam PP38 / 2007, termasuk persepsi yang berbeda tentang bagaimana konsep NSPK harus diwujudkan dalam peraturan. Dalam 10 tahun terakhir sejak peraturan tersebut dikeluarkan, pelaksanaan UU 32/ 2004 serta PP 38/2007 dan PP 41/2007 belum efektif dan belum dianggap memadai dalam memberikan pedoman yang jelas mengenai pengaturan kewenangan dan tugas fungsional antara struktur pemerintahan. Hal ini menyebabkan masalah-masalah seperti: - Tidak jelasnya fungsi antara Kabupaten / Kota, Provinsi dan Nasional terkait desentralisasi kesehatan. Meskipun Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Kepmenkes no. 922/2008 sebagai pelaksanaan PP 38/2007, tetapi masih ada fungsi yang tidak jelas seperti Kesehatan Ibu dan Anak yang tidak pernah disebutkan dalam Kepmenkes 922/2008 tetapi muncul dalam standar pelayanan minimum (SPM) yang harus menjadi bagian dari fungsi kabupaten / kota. - Tidak jelasnya peran Dinas Kesehatan termasuk hubungan fungsional yang tidak jelas antara Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Dinas Kesehatan. - Meningkatnya jumlah institusi dan perangkat daerah yang tidak
mengikuti kriteria yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan peningkatan beban anggaran daerah. - Tidak merata dan tidak seragamnya institusi perangkat daerah yang menangani urusan kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. - Puskesmas sebagai pemberi layanan kesehatan dasar tidak disebutkan dalam PP 41/2007 sebagai bagian dari Dinas Kesehatan, sehingga di beberapa kabupaten/kota, puskesmas berada di bawah pengawasan kecamatan bukan di bawah dinas kesehatan. Karena persoalan-persoalan di atas, maka muncul isu-isu implementasi di tingkat daerah yang meliputi: - Dana yang dimaksudkan untuk didistribusikan sebagai alokasi APBD untuk sektor kesehatan tidak memadai. - Ketersediaan penyedia layanan kesehatan masih belum merata di seluruh daerah (penyedia layanan lebih banyak tersedia di kota-kota besar). - Rencana cakupan jaminan kesehatan di daerah tidak terorganisasikan meskipun PP 38/2007 mengatur peran pemerintah daerah yang semakin besar dalam mengelola urusan kesehatan Pada tahun 2014, Presiden Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 untuk merevisi UndangUndang No. 32 Tahun 2004, dalam rangka memberikan klarifikasi lebih lanjut tentang pemerintahan daerah Menurut UU 23/2014 Bab IV, urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Lebih lanjut pada bab ini dijelaskan, bahwa kesehatan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang sifatnya wajib dalam pemberian pelayanan dasar, dan harus
EDISI KEENAM | 45
dikelola secara proporsional oleh pemerintah pusat dan daerah provinsi serta kabupaten/kota.
Apa yang telah direvisi dari UU 32 menjadi UU 23? Dengan mempertimbangkan masalah tersebut di atas, PP 38/ 2007 dan PP 41/ 2007 direvisi guna memberikan klarifikasi lebih lanjut terhadap UU 23 Tahun 2014, dalam hal pembagian urusan di tingkat pusat dan provinsi dan kabupaten/ kota serta organisasi perangkat daerah. Revisi ini meliputi: Revisi PP 38/2007 akan memasukkan pengaturan yang lebih jelas mengenai kewenangan dan pedoman untuk mengatur urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. • Rumusan baru yang akan memungkinkan pengaturan pembagian urusan kesehatan per struktur pemerintahan (tingkat pusat dan daerah) dimasukkan ke dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Revisi ini mencakup definisi lebih lanjut tentang pelayanan kesehatan dasar, sekunder, tersier, serta pembagian kewenangan dan tugas dalam hal Kebijakan, Pembangunan, Pengawasan,
Fasilitas, Monitoring, Evaluasi, Pelayanan Kesehatan, Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Persediaan Farmasi, Peralatan Kesehatan dan Pengelolaan makanan-minuman, Informasi dan Peraturan Kesehatan untuk masingmasing sub bidang dan sub-sub bidang antara pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 ditetapkan untuk memberikan panduan teknis mengenai organisasi perangkat daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Institusi perangkat daerah yang melaksanakan urusan kesehatan berperan dalam memberikan deskripisi pembagian tugas, pekerjaan Dinas Kesehatan (Dinkes), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di semua tingkat daerah, dan Pusat Kesehatan (Puskesmas). Termasuk dalam peraturan ini adalah ‘cetak biru (blue print)’ untuk menentukan ‘ukuran yang tepat (rightsizing)’ organisasi fungsional yang layak dengan tujuan keseluruhan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Akan tetapi, PP 41/ 2007 dianggap belum komprehensif dalam memberikan arah dan pedoman yang jelas bagi para pemangku kepentingan daerah dalam
mengelola organisasi perangkat daerah. Pada kenyataannya, telah terjadi peningkatan jumlah institusi yang sebetulnya tidak perlu menurut kriteria yang ditetapkan (kebutuhan daerah dan kemampuan masing-masing kabupaten). Kondisi ini menimbulkan beban dan inefisiensi anggaran daerah. Oleh karena itu, revisi PP 41/ 2007 diusulkan untuk memasukkan hal-hal sebagai berikut: • Klarifikasi hubungan fungsional antara Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Dinas Kesehatan. • Klarifikasi peran Dinas Kesehatan (sebagai regulator dan operator layanan kesehatan). • Klarifikasi pengaturan kewenangan untuk memastikan pemahaman dan persepsi yang sama perihal perangkat daerah di semua tingkatan. • Mengkaji ulang kriteria pembobotan dalam menentukan ukuran organisasi dengan memasukkan persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) kedalam APBD, mengubah bobot, mengkaji ulang kelas interval untuk mendapatkan situasi nyata di lapangan. Tujuan pembobotan adalah untuk mendapatkan organisasi yang proporsional sesuai dengan variabel geografis, luas daerah, jumlah penduduk, tingkat
Strategi implementasi yang diusulkan Strategi implementasi
Kendala implementasi
Strategi mitigasi
Mengkaji ulang peraturan perundang-undangan mengenai peran dan kewajiban para pelaku utama (key player) di sektor kesehatan serta mengkalirifikasi siapa yang bertanggung jawab memenuhi target RJPMN 2014-2019di tingkat nasional dan daerah.
• Tingkat politik : Memastikan legitimasi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan SKN (Sistem Kesehatan Nasional), dan mengklarifikasi peran Kemenkes, Dinkes provinsi dan kabupaten/kota dalam SKN. • Tingkat kebijakan : Bagaimana prioritas nasional seperti keadilan, pengembangan peran pelayanan kesehatan dasar dapat diterapkan secara lokal, dan bagaimana perencanaan pelayanan dapat diintegrasikan di semua tingkatan sistem dan di semua sektor. • Tingkat tata kelola : Bagaimana Kemenkes dapat menangani tata kelola dan akuntabilitas kinerja lembaga yang tidak secara langsung dikelola oleh Kemenkes tetapi memiliki dampak terhadap kesehatan. Bagaimana melakukan penguatan sistem kesehatan untuk menyelaraskan pembiayaan kesehatan, SDMK, informasi dan pengawasan/ pelaporan. • Tingkat struktural : Bagaimana mengklarifikasi hubungan vertikal (Kemenkes, Dinkes provinsi, Dinkes kabupaten/ kota) dan horisontal (Kemenkes– BPJS – Kemendagri, Kemenkeu, dsb.). Terutama, adanya ketidakjelasan peran Dinkes provinsi dan kabupaten/kota, dan hubungan antara lembagalembaga penyedia layanan seperti rumah sakit dalam penatalaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan dalam SKN, hubungannya satu sama lain, di mana peran seringkali dirasakan berbeda atau belum dikembangkan dalam hal lembaga baru. • Tingkat kapasitas : bagaimana memastikan kapasitas yang tepat dibangun, sehingga institusi-institusi kesehatan memberikan kepemimpinan dan tata kelola yang efektif di semua tingkatan untuk mengelola kebutuhan dan ekspektasi masyarakat terhadap kesehatan yang berubah. • Tingkat kepemimpinan : Bagaimana Kemenkes dapat menjalankan tanggung jawab pengawasan, terutama untuk kualitas pelayanan, penetapan dan penegakkan kepatuhan terhadap standar
• Sosialisasi NSPK dan fasilitasi di tingkat daerah. • Mengatur hubungan antara Dinkes kabupaten/kota dengan rumah sakit dan puskesmas • Memperkuat hubungan antara Kemenkes dengan Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/Kota
Mengembangkan sistem manajemen kinerja yang akan memungkinkan Kemenkes bekerja sama dengan Kemendagri untuk memantau kinerja dalam sistem desentralisasi.
46 | KABAR AIPHSS
pendidikan, tingkat kemiskinan, ketersediaan sumber daya alam, SDM, sarana dan prasarana, serta kapasitas keuangan daerah. • Memastikan pembentukan institusi perangkat daerah berdasarkan beban kerja mengingat beban beban kerja berbeda-beda. • Antisipasi peningkatan jumlah institusi perangkat daerah karena intervensi pemerintah pusat. • Memastikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan konsultasi dengan mitra di daerah dalam hal pengelolaan dan pengawasan pemerintahan daerah.
Strategi mitigasi • Sosialisasi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dan fasilitasi di daerah Dalam rangka mendukung pengembangan NSPK yang berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah untuk unit Kesehatan, AIPHSS mengusulkan kegiatankegiatan sebagai berikut: - Pertemuan serial untuk 30 konsultan dalam kurun waktu 20 bulan - Menyusun draf Keputusan Menteri tentang pembagian urusan pemerintahan antara tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk: (1) perencanaan tenaga kesehatan; (2) pendayagunaan tenaga kesehatan; (3) pelayanan kesehatan ibu; (4) pelayanan ibu dan anak; (5) pelayanan kesehatan HIV-AIDS health
services; (6) Tuberculosis health services ; (7) malaria health services; (8) hypertension; (9) pembiayaan SPM; (10) pemberdayaan masyarakat; (11) perangcangan peraturan (legal drafting); (12) Diseminasi; (13) Pelaporan • Mengatur hubungan antara Dinas Kesehatan Kabupaten dengan Rumah Sakit Daerah dan puskesmas. Di era desentralisasi, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Namun dalam kenyataannya, Rumah Sakit Daerah (RSD) lah yang sering kali melakukan tanggung jawab pengawasan pelayanan kesehatan di daerah, sehingga menyebabkan inefisiensi dalam fungsi sistem kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, para pembuat kebijakan termasuk Asosiasi Rumah Sakit Daerah Se Indonesia (ARSADA) merekomendasikan Dinasi Kesehatan mengelola dan memberikan pengawasan penuh atas semua fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit Daerah (RSD). Disamping itu, Rumah Sakit Daerah (RSD) dianjurkan untuk meningkatkan perannya sebagai operator, sementara itu Dinas Kesehatan kabupaten bertindak sebagai regulator pelayanan kesehatan.
References Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Dokumen-dokumen AIPHSS mengenai revisi PP 38/ 2007 dan PP 41/2007 http://www.health-policy-systems.com/ content/7/S1/S13 http://birokrasi.kompasiana. com/2014/12/24/enam-perda-urusanwajib-pemerintah-daerah-698638.html http://www.kebijakankesehatanindonesia. net/v13/images/gambar/vol/policy%20 brief%20no%2015.pdf http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU322004PemdaPenjelasan.pdf http://birokrasi.kompasiana. com/2014/12/24/enam-perda-urusanwajib-pemerintah-daerah-698638.html http://hukum.kompasiana. com/2014/06/20/menata-ulang-upayakesehatan-di-indonesia-663230.html http://www.scribd.com/doc/243778954/ Perbandingan-UU-32-2004-Dan-UU-232014#scribd http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU322004PemdaPenjelasan.pdf http://birokrasi.kompasiana. com/2014/11/18/tindaklanjut-undangundang-nomor-23-tahun-2014-tentangpemerintahan-daerah--704102.html http://www.slideshare.net/PP-ADINKES/ executive-summary-adinkesaiphss http://www.slideshare.net/PP-ADINKES/ selayang-pandang-adinkes-nov-2014 https://docs.google.com/ presentation/d/1H0bmOBi_6vgI6FhYTm eLY1BG3kqmCvpUZ0bOM6fyK2Y/ edit#slide=id.p28 http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?mo d=browse&op=read&id=jkpkbppk-roberiasit-3293 http://www-wds.worldbank.org/external/ default/WDSContentServer/WDSP/IB/20 12/05/18/000020953_20120518095242/ Rendered/INDEX/689950ESW0P1200do man0PenyusunanNSPK.txt http://pemerintah.net/rancanganorganisasi-perangkat-daerahkabupatenkota/ http://www.arsada.org/index.php/berita/ berita-arsada/404-usulan-untuk-revisipp-41-2007
EDISI KEENAM | 47
Kontak kami:
Implementing Service Provider (ISP) Office Gedung Graha Irama 8th Floor, Room H Jl. HR Rasuna Said Blok X-I Kav. 1-2 Jakarta Selatan, INDONESIA 12950 Telp +62 21 526 1289 Fax + 62 21 368 20064 Email:
[email protected]
Implementing Service Provider (ISP)– Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Gedung dr. Adhyatama blok A. Lt. 9 Jl. HR Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan, INDONESIA. 12950
Website: www.aiphss.org
Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) Program AIPHSS adalah sebuah program kemitraan antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia terkait penguatan sistem pembiayaan kesehatan dan tenaga kerja kesehatan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan dasar. Program ini didanai oleh Pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan dikelola langsung oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di masing-masing provinsi dan kabupaten sasaran.