KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN (Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)
MAYA MAY SYARAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin (Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 1 Agustus 2013 Maya May Syarah NIM I352100151
RINGKASAN MAYA MAY SYARAH. Komunikasi Kesehatan dalam Penanganan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan RICHARD W.E. LUMINTANG. Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Data WHO (2012) menyebutkan, bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi Tubercolusis (TB). Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian akibat TB diperkirakan 65,000 kematian per tahun (WHO 2012). Untuk mengatasi masalah tersebut, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang dikenal dengan gerakan “STOP TB Partnership” (Kemenkes 2011). Metode DOTS tidak hanya diimplementasikan melalui pendekatan klinik (pengobatan sendiri atau di rumah sakit), tetapi juga pendekatan berbasis masyarakat khususnya di wilayah masyarakat miskin yang prevalensi TB-nya tinggi. Peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan bersifat multi level dimulai untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya gerakan “STOP TB Partnership” Penelitian ini, menggunakan teori Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (AKMS) McKee (1992), multitrack model (Tufte dan Mefalopulos 2009) untuk menganalisis masalah-masalah struktural dan sosial dan Health Belief Model (Rosenstock et al. 1988) untuk menjelaskan perilaku kesehatan di tingkat pasien. Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi komunikasi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait. Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural sedangkan program komunikasi di tingkat individu. Advokasi dimaksudkan untuk menggalang komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan. Penelitian lapangan yang dilakukan pada periode Mei hingga Desember 2012 ini, dilaksanakan di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan kasus program komunikasi kesehatan dalam penanggulangan TB di wilayah miskin pada Program Community TB Care „Aisyiyah Komunitas
Peduli TB (KPT) Jakarta Barat di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Sejumlah 18 informan sebagai sumber data didapat dengan teknik snowball. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui dan mengalami kegiatan-kegiatan dalam Program Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat. Informan terdiri atas wakil ragam masyarakat yakni, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader komunitas, petugas kesehatan, Pendamping Minum Obat (PMO) dan Pasien TB yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah. Enam di antara informan tersebut mewakili pasien menurut tingkat keparahan, status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendidikan dan umur. Peneliti mengumpulkan data terutama dengan wawancara mendalam dan pengamatan pada para informan yang terlibat dalam kasus-kasus yang diteliti. Triangulasi dalam penelitian ini dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis menghasilkan suatu kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumbersumber data tersebut. Member check dilakukan dengan diskusi informan dan triangulasi metode yakni wawancara mendalam dengan beragam sumber dan dengan pengamatan langsung. Hasil penelitian menunjukkan kelompok masyarakat (civil society) penanggung jawab program penanggulangan TB berhasil menggalangkan komitmen pengambil keputusan di tingkat kota dan kecamatan sehingga menjadi dasar mobilisasi sosial yang menghasilkan partisipasi di tingkat kota dengan memberikan sumbangan pengobatan dari warga atau kelompok mampu secara ekonomi kepada warga miskin. Status kepala pemerintah kecamatan sebagai kader organisasi masyarakat penanggungjawab program penanggulangan TB memperkuat dukungan dan memanfaatkan jaringannya untuk menghimpun sumber daya yang lebih luas, melalui pengaruh politiknya (kepada puskesmas dan kelurahan) maupun jaringan pribadi sehingga membuka akses pasien pada pelayanan pengobatan dan bantuan ekonomi. Di tingkat komunitas atau kelurahan penanggungjawab program mampu menggalang mobilisasi sosial dengan memanfaatkan sumber daya yang ada berupa modal sosial yakni kerjasama dan kepedulian warga terhadap pasien TB melalui kader, tokoh masyarakat dan PMO. Perubahan perilaku kesehatan di tingkat individu khususnya di masyarakat miskin tidak akan terlaksana tanpa adanya AKMS. Adanya AKMS menggerakkan dan memberdayakan masyarakat sehingga informasi pengobatan TB sampai di tingkat individu. Komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi partisipatori yang mengkombinasikan moda monologis dan dialogis. Moda monologis terjadi dalam pelatihan dan penyampaian informasi mengenai penyakit dan pengobatan TB kepada pasien, kader dan PMO serta tokoh masyarakat. Sementara forum pertemuan komunikasi dialogis terbentuk untuk memecahkan masalah. Forumforum monitoring dan pertemuan pasien menjadi arena tidak hanya pertukaran informasi tentang pengobatan TB tetapi juga pemecahan masalah dan ajang konsultasi dan „curhat‟ dalam mendampingi pasien. Kunjungan pasien dan pendampingan oleh PMO tidak hanya untuk memantau pengobatan tetapi sebagai bagian penting menghibur dan memberikan semangat kepada pasien yang cemas dan bosan minum obat. Moda komunikasi partisipatori dialogis dalam komunikasi kesehatan diperlukan tidak hanya sebagai transfer informasi dari pemilik program
tapi juga sebagai pendekatan untuk bertukar pendapat dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Kredibilitas kader dan PMO tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan TB yang diperolehnya melalui pelatihan tetapi juga kepercayaan akan ketulusan kader dan PMO (anggota keluarga) yang peduli. Kredibilitas yang demikian besarnya ini memungkinkan respon positif pasien walaupun pesan dari kader dan PMO menakutkan dan cara penyampaian yang keras dimaknai pasien sebagai bentuk kepedulian terhadap dirinya dan memotivasinya untuk menjalani pengobatan. Status pasien sebagai orangtua yang memiliki tanggungan pada anak-anak mendorong tekadnya untuk sembuh, sementara pasien lajang berhenti minum obat karena kurangnya motivasi untuk sembuh. Pendekatan interpersonal yakni adanya kepercayaan dan kedekatan komunikator dan komunikan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan persepsi ancaman suatu penyakit. Sementara itu kredibilitas komunikator dan adanya keluarga dapat mempengaruhi individu untuk melakukan keputusan perubahan perilaku sebagai upaya penyembuhan penyakit. Persepsi ancaman (perceived threat) sakit TB pasien dilihat dari Health Belief Model dibentuk kuat oleh persepsi keparahan (perceived severity) pasien dan dorongan dari luar (cues to action) yakni kredibilitas kader dan PMO. Meski persepsi kerentanan, jenis kelamin, status perkawinan, manfaat (perceived benefit) dan hambatan (perceived barier) mempengaruhi persepsi ancaman sakit, namun rasa sakit yang memiliki makna parah bagi pasien adalah faktor yang paling kuat membentuk persepsi ancaman sakit TB. Persepsi ancaman sakit TB yang dirasakan pasien berpengaruh pada perubahan perilaku sehat dalam penyembuhan TB. Kata kunci: Komunikasi kesehatan, komunikasi partisipatori, AKMS, intervensi berbasis komunitas, tubercolusis
SUMMARY MAYA MAY SYARAH. Health Communication in The Treatment of Disease Among the Poor. Guided by SARWITITI SARWOPRASODJO and RICHARD WE Lumintang. World Health Organization (WHO) data shows that the condition of Indonesian public health is still poor. Indonesia sits in the fourth among countries in the world with related TB cases after India, China, and South Africa (WHO 2012). Prevalence of all TB cases are estimated of 680,000 and 450,000 new cases per year. The number of death caused by TB is estimated 65,000 per year (WHO 2012). To overcome this problem, since 1995 Indonesia has implemented Directly Observed Treatment Short course (DOTS) as a method of TB treatment recommended by the WHO and various agencies involved in a movement known as "STOP TB Partnership" (Kemenkes 2011). DOTS method is not only implemented through clinical approach (self medication or in the hospital), but also community-based approaches, especially among the poor with high prevalence of TB. The role of communication intervention becomes very important in TB treatment, so the demands on the development of health communication theory are also higher. Previously, health communication approach emphasized the importance of delivering information to the notion that people's reluctance to seek treatment was caused by lacking of knowledge about TB disease problem is known as transfer information approach or biomedical approach. Later, multilevel approach is needed to cope with the complexity of such vigorous movement of "Stop TB Partnership". This study used the theory of ACMS (McKee 1992), a multitrack model (Tufte and Mefalopulos 2009) to analyze structural and social issues and Health Believe Model (Rosenstock et al. 1988) to explain the behavior of the patientlevel health . According to McKee (1999), the ACMS concept consists of three communication interventions namely advocacy, social mobilization, and program communication. Each of intervention works in different level but is related one another. Advocacy and social mobilization interventions are aimed to address the problems and obstacles in the development of social and structural level communication while at the level of individual programs Advocacy is intended to mobilize political commitment while social mobilization is intended to foster Partnerships in order to mobilize resources and services. Furthermore, social barriers can be overcome by executing structural and communication programs aimed at changing behavior. Research was conducted in May to December 2012. The research used qualitative approach with case by case study method of communication programs Communication and Social Mobilization Advocacy (AKMS) TB Control Program in the poor region by Community TB Care 'Aisyiyah KPT West Jakarta in Kelurahan Kalianyar, Tambora, West Jakarta. A total of 18 informants as a source of data, was obtained by the snowball technique. They knew and had experiences the activities of the Community TB Care Program 'Aisyiyah KPT West Jakarta. They represented people from
different backgrounds namely diverse communities, community leaders, religious leaders, community volunteers, health workers, Drug Drinking Companion (PMO) and TB patients who were subjected to the Community TB Care 'Aisyiyah. Six of the informants represented patients based on their severity level, marital status, occupation, education level and age. Researcher collected data, especially with in-depth interviews and observations on the informants who were involved in the cases studied. Triangulation was implemented by checking the data that obtained through several sources. The data was analyzed to produce a conclusion, subsequently sought agreement (member check) with the data sources. Member check group discussions were conducted with informants and triangulation methods namely indepth interviews with a variety of sources and by direct observation. The results showed groups of people (civil society) in charge of the TB control program successfully obtained commitment from decision makers in the city and district levels, therefore the basis of social mobilization could generate participation at the municipal level by donating the treatment of citizens or economically disadvantaged groups. Status of the head of the district government as a cadre of community organization is responsible for the support to strengthen TB control program and utilize network resources to gather a wider, through political influence (the health centers and sub-districts) and private networks that open patient access to medical services and economic assistance. At the community or village level, person in charge of the program was able to support social mobilization by utilizing existing resources in the form of social capital that cooperates and concerns on TB patients through volunteers, community leaders and PMO. Health behavior change at the individual level, especially in poor communities would not be possible without the advocacy, mobilization and communication (ACMS). ACMS successfully drives and empowers communities so that information of TB treatment up to individual level. Mode of communication used was a combination between participatory and dialogic monologues. Mode monologues occur in the training and delivering of information about the disease and treatment to TB patients, volunteers and community leaders as well as the PMO. While dialogic communication forums was formed to solve the problem. Monitoring forums and patient meetings became not only a way of information exchange about treatment of TB, but also problem solving and consulting arena and 'vent' in assisting patients. Patient's visits and mentoring by the PMO are not only aimed to monitor of treatment but as an important part of entertaining and provide encouragement to patients who are anxious and tired of taking medication. Dialogical participatory mode of communication in health communication is required not only a transfer of information from the owner of the program but also as an approach for the exchange of views in order to cure a disease. Credibility of cadres and PMO was not only shaped by knowledge about the disease and treatment of TB acquired through training but also by their sincerity. Their high ability encouraged patient to respond positively despite cadres' and PMOs' scary and violent manner but the patients interpreted them as forms of concern for him and motivated him to undergo treatment. Patients with status as
parents with dependent children had more determination to recover, while single status patients stopped taking the drug due to lack of motivation to recover. Interpersonal approach thus thrusted and closeness of the communicator and the communicant are the most influential factors in shaping perception of the threat of disease. While the credibility of the communicator and the family can predispose individuals to make decisions as a behavior change effort to cure the disease. Perceived threat of TB patients view of the Health Belief Model shaped strongly by perception (perceived severity) patients and encouragement from the outside (cues to action) namely credibility of cadres and PMO. Despite the perception of vulnerability, gender, marital status, perceived benefict and perceived barier affect pain perception of the threat, but the pain has meaning severe for patients were the factors most strongly affecting the perception of the threat of TB illness. TB threat perception of pain was patients perceived influence on health behavior change in the treatment of TB.
Key words: health communication, participatory communication, ACMS, community-based interventions, tubercolusis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN (Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)
MAYA MAY SYARAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir. Amiruddin Saleh, MS
Judul Tesis : Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin (Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat) Nama : Maya May Syarah NIM : I352100151
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ketua
Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 01 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirobbil „alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilakukan sejak Mei 2012 sampai Desember 2012 ini memilih judul Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku pembimbing yang senantiasa selalu memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan dukungan kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku ketua program studi komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan yang telah memberikan dukungan dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS selaku penguji luar komisi yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Authorized Principle Recipient Community TB Care „Aisyiyah Dra. Noor Rochmah Pratiknya, Principle Recipient Community TB Care „Aisyiyah, Drs. Samsari Baswedan dan Muarawati Nur Malinda yang memberikan informasi juga mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di Community TB Care „Aisyiyah serta Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat dan warga Kelurahan Kalianyar, Tambora Jakarta Barat yang bersedia menjadi subyek penelitian. Tak lupa kepada Martha Tiana Hermawan dan Indria Arti Numi Khodijah terima kasih telah membantu mencari data di lapangan Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku tercinta (Ramlan Sumitradilaga dan Tuty Kaswati), suamiku tersayang (Subroto), kakak dan adikku (Muhammad Imanudin, Benny Mandarinsyah Alrasyid dan Ahmad Rully Amrullah), anak-anakku (Salma Afifah Salsabila, Annida Thifal Qatrunnada, Athari Ahmad Arrijalu, Aisyah Fatma Sabrina dan Muhammad Iqbal Ar Razi) yang tidak pernah putus berdoa dan memberi cinta kasihnya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada sahabatku Damayanti, teman-teman KMP 2010 mba Ine dan om Wije (rekan satu bimbingan), om Tetuko, mba Poppy, Fikri, mba Uki, mba Ely, wa Lang Lang, pa Fauzi, jeng Ratih, ko Alim, Dewi serta teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, 1 Agustus 2013 Maya May Syarah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan Komunikasi Kesehatan Kredibilitas Komunikator Dalam Komunikasi Kesehatan Daya Tarik Pesan Health Belief Model Advokasi, Mobilisasi Sosial dan Program Komunikasi Komunikasi Partisipatori Komunikasi Partisipatori dan Pemberdayaan Masyarakat Komunikasi Kelompok Hasil Penelitian yang Relevan Kerangka Pemikiran
6 6 7 8 9 11 14 15 20 22 24 28
3 METODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penelitian Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Subjek Penelitian Data dan Metode Pengumpulan Data Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian Teknik Analisis Data
31 31 31 33 33 35 37 38
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil „Aisyiyah Gerakan „Aisyiyah Community TB Care „Aisyiyah Aktivitas Di Ronde 8 Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat Ikhtisar Letak Geografis, Administrasi dan Demografis Kelurahan Kalianyar Keberadaan „Aisyiyah dan Akses Kesehatan di Kalianyar Ikhtisar Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial serta Moda Komunikasi Partisipatori Monitoring dan evaluasi Training PMO Pertemuan pasien
40 40 40 40 42 43 45 47 48 50 51 54 56 58
Kunjungan Pasien Bakti Sosial Gentengisasi Ikhtisar Makna TB bagi Pasien dan Faktor yang mempengaruhinya dalam Komunikasi HBM Kredibillitas Komunikator dan Daya Tarik Pesan dalam mempengaruhi Persepsi Ancaman TB Kader Komunitas PMO Petugas Kesehatan Daya Tarik Pesan Ikhtisar Implikasi Teoritis: Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin
61 62 63 64 68 73 74 75 75 76 84 90
5 SIMPULAN DAN SARAN
92
DAFTAR PUSTAKA
94
LAMPIRAN
98
RIWAYAT HIDUP
103
DAFTAR TABEL 1 Daftar informan dalam penelitian
35
2 Matriks jenis data, sumber dan metode penelitian
37
3 Jumlah sektor usaha di Kalianyar
47
4 Gedung pendidikan yang ada di Kalianyar
48
5 Kegiatan komunikasi di KPT Jakarta Barat
67
6 Komunikasi kesehatan dalam HBM
80
7 Persepsi sakit TB dan perubahan perilaku berdasarkan status perkawinan
86
8 Penilaian informan terhadap kredibilitas dan daya tarik pesan
88
DAFTAR GAMBAR 1 The Health Belief Model
12
2 Model komunikasi pembangunan McKee
14
3 Kerangka pemikiran komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin
30
4 Kerangka penelitian perubahan perilaku pasien TB dillihat dari HBM
30
5 Proses analisis data
39
6 Setting monev di RS Ibnu Sina
55
7 Setting training PMO
57
8 Setting pertemuan pasien di PAUD 'Aisyiyah
58
9 Setting kunjungan pasien Bek
61
10 Setting kunjungan pasien Tin
62
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian
98
2 Foto Kegiatan KPT Jakarta Barat serta kondisi lingkungan masyarakat Kalianyar
99
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Status kesehatan dan gizi masyarakat sebagai sasaran pembangunan kesehatan yang pertama menggambarkan prioritas yang akan dicapai dalam pembangunan kesehatan.Sasaran tersebut dikembangkan menjadi sasaran-sasaran yang lebih spesifik, termasuk sasaran angka penyakit menular.Salah satunya adalah Tuberkulosis (TB). Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Indonesia menduduki peringkat keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi TB WHO (2012). Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian akibat TB diperkirakan 65,000 kematian per tahun (WHO 2012). Penyebab tingginya masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara yang sedang berkembang, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, dampak pandemi HIV, dan kegagalan program TB diakibatkan tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG serta infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat Kemenkes (2007). Pada penelitian lain disebutkan faktor lain penyebab TB adalah tingkat pendidikan, pendapatan, kepadatan hunian, kondisi lingkungan rumah, pencahayaan, perilaku serta riwayat kontak dengan penderita (Ratnasari 2005; Fitriani 2012). Tingginya TB juga dipicu kemiskinan dan menjamurnya kawasan kumuh akibat sistem kesehatan masyarakat yang hancur diungkapkan dalam penelitian Waisbord (2007) . Dijelaskan tingkat pertumbuh kemiskinan, percepatan internal dan migrasi internasional, menjamurnya kawasan kumuh di tengah kekacauan urbanisasi pada Dunia Ketiga, sistem kesehatan masyarakat yang hancur, dan krisis HIV / AIDS telah memberikan kontribusi untuk intensifikasi tingkat TB (Waisbord 2007). Untuk mengatasi masalah TB, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang dikenal dengan gerakan “STOP TB Partnership” (Kemenkes 2011). Metode DOTS tidak hanya diimplementasikan melalui pendekatan klinik (pengobatan sendiri atau di rumah sakit), tetapi juga pendekatan berbasis masyarakat khususnya di wilayah masyarakat miskin yang prevalensi TBnya tinggi. Walaupun di Indonesia belum dilakukan evaluasi hasil terhadap pengobatan TB berbasis klinik/pribadi dan pengobatan berbasis masyarakat, hasil penelitian di
2 Namimbia menunjukkan pendekatan DOTS berbasis masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan klinik (Zvavamwe dan Ehlres 2009). Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, populasi di rutan/lapas, dan penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur. Masyarakat miskin di perkotaan mempunyai kendala sosial ekonomi untuk dapat mengakses pelayanan DOTS. Untuk itu penanganan TB bagi masyarakat miskin atau rumah tangga miskin (RTM) mendapat perhatian khusus. Hal itu terbukti dari hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa banyak hambatan terhadap penyembuhan TB tidak hanya masalah pribadi penderita, tetapi masalah-masalah di luar kontrol mereka (Ho 2004). Selain masalah individu pasien (ketidaktaatan minum obat karena efek samping, bosan minum obat, merasa sembuh sebelum waktunya juga disebabkan kurangnya dukungan keluarga, kerabat dan stigma sosial menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) seperti dikutip Fitriani (2012). Ditambah lagi bagi penderita miskin keterbatasan pendapatan untuk biaya pengobatan juga adanya hambatan sosial seperti stigma dari masyarakat, keterbatasan pelayanan kesehatan (jangkauan pelayanan yang luas dan keterbatasan fasilitas Puskesmas) belum ada jaminan penyediaan obat, yang kesemuanya terkait dengan anggaran kesehatan yang berkurang sejak sistem desentralisasi pemerintahan (Putri 2008). Keterbatasan petugas kesehatan juga menyebabkan pengendalian pengobatan secara optimal seperti pemeriksaan ulang dahak dan pelacakan penderita yang mangkir dalam masa pengobatan tidak dapat dilakukan menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) seperti dikutip Fitriani (2012). Masalah-masalah keterbatasan akses pelayanan DOTS yang berkualitas terutama terjadi pada masyarakat marjinal khususnya masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, penghuni di rutan/lapas, dan penduduk di kawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur (Kemenkes 2011). Adanya kesadaran para praktisi dan akademisi akan kompleksitas masalah penyakit TB, peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan bersifat multi level untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya gerakan “STOP TB Partnership”. Adanya berbagai masalah TB yang bersumber dari masalah sosial, ketersediaan layanan dan ekonomi, dan bukan hanya masalah individu, sesuai dengan anjuran banyak pakar membuka kemungkinan penggunaan teori-teori tidak hanya berfokus pada level individual tetapi multi level (Brewer dan Rimer 2008; Waisbord 2007; Airhihenbuwa dan Obregon 2000; Dutta-Bergman 2009). Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial (AKMS) telah menjadi salah satu strategi dalam penanggulangan TB yang tertuang dalam Rencana Strategis Penanggulangan TB tahun 2006-2010 (Kemenkes 2011). Sebagai salah satu strategi untuk mendukung tujuan pengendalian TB, komunikasi baru-baru ini
3 mendapatkan relevansi seperti yang ditunjukkan dengan adanya AKMS dalam strategi global TB pada WHO, pembentukan AKMS merupakan kerja kelompok dalam Kemitraan STOP TB; tumbuh sejumlah program untuk mempromosikan mobilisasi masyarakat yang terkena TB, dan sejumlah besar program TB nasional yang menerima dana dari Global Fund untuk melakukan kegiatan AKMS (Waisbord 2007). Program Community TB Care „Aisyiyah adalah sebuah program yang bergerak untuk mewujudkan infrastuktur kesehatan non-pemerintah dan dinamika kelompok sosial yang mampu secara mandiri menanggulangi masalah tuberculosis di Indonesia. „Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim otonom khusus dari Muhammadiyah terpilih menjadi penanggungjawab utama penerima dana dari Global Fund mewakili kelompok masyarakat madani. Program yang bertujuan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan Human Development Index (HDI) dimulai tahun 2009 dan direncanakan lima tahun ini juga memiliki tujuan akhir agar angka kematian penderita TB rendah (pasien sembuh) dan penularan TB turun. Sebagai penerima dana utama, „Aisyiyah bertanggung jawab untuk mengkoordinir 23 penerima dana sekunder (SR) yang melibatkan 13 pimpinan wilayah (50% dari total provinsi), 34 Kabupaten (8%), dan kurang dari 250 Kecamatan (4%). Hingga tahun 2012 kegiatan yang bekerjasama dengan civil society lain diantaranya Yarsi, PKPU, LKC, PPTI, LKNU, Perdhaki dan KMP Sidobinangun ini sudah dikembangkan di 18 provinsi dan 45 kabupaten. Dalam menjalankan program penanggulangan TB tersebut, prioritas kegiatan yang dilakukan antara lain adalah melatih dan meningkatkan peran kader komunitas TB, meningkatkan kapasitas lembaga dan tenaga kesehatan, pelibatan tokoh agama, penunjukkan pengawas minum obat (PMO) bagi pasien TB positif, peningkatan kualitas komponen civil society dan pendirian kelompok masyarakat peduli TB (KMP TB). Termasuk forum pertemuan yang dijadikan sebagai ajang pertukaran informasi. Semua unsur dan masyarakat dilibatkan secara aktif dan dituntut untuk berpartisipasi. Diharapkan dengan berbagai kegiatan tersebut pesan yang berkaitan mengenai informasi penanggulangan TB dapat diterima oleh berbagai pihak yang terlibat. Perumusan Masalah Community TB Care „Aisyiyah merupakan forum komunikasi, pelatihan, silaturahmi, advokasi dan penerangan sekaligus wadah kegiatan untuk penanggulangan TB secara terpadu. Proses pelaksanaan program Community TB Care „Aisyiyah merupakan suatu proses komunikasi partisipatif. Melalui tahapan yang dilaksanakan, diharapkan masyarakat sebagai sasaran akhir terlibat secara langsung untuk memberikan saran, pendapat dan masukan kepada pendamping mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan penanggulangan TB, sehingga menjadikan pasien TB sembuh dan penurunan penderita TB sebagai tujuan akhir program dapat terlaksana. Dengan begitu dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi komunikasi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait.
4 Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural, sedangkan komunikasi program di tingkat individu. Advokasi dimaksudkan untuk menggalang komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan. Dengan orientasi pemberdayaan, dalam komunikasi pembangunan terjadi pergeseran dari pendekatan komunikasi linier (modernisasi) mengarah pada pendekatan komunikasi partisipatori (Mefalopulos dan Kamlongera 2004). Di dalam pendekatan komunikasi partisipatori pemahaman bersama terhadap pesan dibangun melalui proses komunikasi dua arah dan dialogis dengan prinsip penghargaan dan kesetaraan (Rahim 2004; Tufte dan Mefalopulos 2009; Nair dan White 2004). Tufte dan Mefalopulos (2009) dalam multi-track model menyatakan bahwa membagi pendekatan komunikasi pembangunan ke dalam dua kategori dasar atau jalur: komunikasi monologis dan komunikasi dialogis. Dalam komunikasi kesehatan Teori Health Belief Model (HBM) (Rosenstock et al. 1988) merupakan model psikologis yang menjelaskan dan meramalkan perilaku kesehatan dengan berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Dalam teori ini seseorang berubah perilakunya dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan, atas dasar persepsi terhadap kerentanan dan ancaman penyakit, dan persepsi terhadap manfaat dan hambatan pengobatan yang dirasakan serta dorongan dalam lingkungan individu dengan variabel kontrol dari karakteristik penderita atau individu. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan di antaranya: 1. Bagaimana pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat pengobatan TB dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada masyarakat miskin kota? 2. Bagaimana pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung penanggulangan TB di masyarakat miskin ? 3. Bagaimana penderita TB memaknai kredibiltas komunikator yang tergabung dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat, daya tarik pesan komunikasi kesehatan dan makna penyakit serta pengobatan TB dalam membentuk keputusannya dalam pengobatan penyakitnya?
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meneliti faktorfaktor yang mendorong perubahan perilaku serta keputusan berobat dalam
5 penanggulangan suatu penyakit pada sebuah program pembangunan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalahmasalah sosial ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat pengobatan TB dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada masyarakat miskin kota. 2. Mendeskripsikan pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung penanggulangan TB di masyarakat miskin. 3. Mendeskripsikan dan menganalisis penderita TB memaknai kredibiltas komunikator yang tergabung dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat, daya tarik pesan komunikasi kesehatan dan makna penyakit serta pengobatan TB dalam membentuk keputusannya dalam pengobatan penyakitnya.
Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian mengenai komunikasi partisipatori dalam penanggulangan TB ini di antaranya yaitu: 1. Memberi masukan kepada penyelenggara program penanggulangan TB terkait pendekatan komunikasi yang akan digunakan dalam perubahan perilaku pada penanggulangan TB. 2. Memberi sumbangan pada Community TB Care „Aisyiyah hasil dari komunikasi multitrack pada komunikasi partisipatori yang digunakan peserta yang terlibat dalam program penanggulangan TB. 3. Sebagai referensi dan pembanding untuk penelitian selanjutnya terkait dengan aspek komunikasi pembangunan dan komunikasi partisipatori dalam penyembuhan suatu penyakit yang bersifat pemberdayaan masyarakat.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan Menurut Effendy (2004), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis. Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi, baik sebagai bagian dari kegiatan masyarakat maupun sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Berbagai gejala sosial yang diakibatkan oleh proses tersebut, telah memberi inspirasi bagi penemuan konsep baru dalam bidang komunikasi. Akhir dari proses adaptasi akan mempermudah penemuan konsep komunikasi yang akan ikut memetakan berbagai problem pembangunan yang muncul, mengikuti arus perubahan dan pembaharuan yang hampir tidak pernah mengenal kata akhir. Banyak proses pembangunan tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla 2007). Pendekatan komunikasi pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar besar yakni kelompok Paradigma Dominan (Modernisasi) dan kelompok Paradigma Alternatif (Pemberdayaan), demikian diungkapkan Melkote dan Leslie (2001). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari Modernisasi. Teori-teori ini dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Komunikasi dan Teori Modernisasi yang dipelopori oleh Daniel Lerner dengan bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruh kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Adapun Schraam (1964) memandang pentingnya peran media massa untuk pembangunan nasional karena mempertimbangkan beragam fungsi media massa dalam pembangunan nasional untuk pengembangan sumber daya manusia yakni sebagai pendidik, pengawas dan pengambilan keputusan. Ketiga fungsi tersebut dijalankan media massa melalui transmisi informasi dari media massa kepada khalayak. Peran komunikasi interpersonal dan kelompok diakui penting oleh Schramm untuk memperkuat transmisi informasi yang bersifat persuasif, tetapi tidak berperan sentral dalam pembangunan nasional. Pentingnya umpan balik dalam perancangan komunikasi strategik ini, menempatkan prosedur penelitian formatif yakni survei khalayak, focused group discussion dan pretesting pesan dalam menjalankan komunikasi pembangunan. Teori ini melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai
7 proses yang bertahap yang memerlukan pesan-pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompokkelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984) seperti dikutip Melkote dan Leslie (2001). Adapun di tingkat individu, Rappaport (1987) dikutip Melkote dan Leslie (2001) mendefinisikan pemberdayaan sebagai perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis, hukum legal. Namun demikian, kebanyakan pemberdayaan baru dilakukan di tingkat individu belum ditingkatkan di tingkat komunitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi pembangunan adalah proses penyebaran pesan sebagai upaya sosialisasi program pembangunan dan hasilnya baik oleh pelaku pembangunan maupun masyarakat pada umumnya. Komunikasi pembangunan bertujuan mengubah sikap, pendapat dan perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kemajuan rakyat. Komunikasi pembangunan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pemberdayaan sebagai kontrol di segala level.
Komunikasi Kesehatan Menurut Schiavo (2007) Komunikasi Kesehatan adalah pendekatan yang beragam dan multidisiplin untuk mencapai audiens yang berbeda dan berbagi informasi kesehatan terkait dengan tujuan mempengaruhi, menarik dan mendukung individu, masyarakat, profesional kesehatan, kelompok khusus, pembuat kebijakan dan masyarakat untuk juara, memperkenalkan, mengadopsi, atau mendukung perilaku, praktek atau kebijakan yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil kesehatan. Satrianegara dan Saleha (2009) menyatakan komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktik-praktik kesehatan populasi-populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status kesehatan. Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung mepromosikan kesehatan, mencegah penyakit, atau melindungi individu-individu terhadap bahaya. Komunikasi kesehatan yang efektif merupakan suatu kombinasi antara seni dan ilmu. Setidaknya, salah satu dari kunci-kunci keberhasilan adalah penerapan
8 metodologi komunikasi kesehatan yang ilmiah, serta sistematis bagi masalahmasalah kesehatan masyarakat. Menurut Liliweri (2011) komunikasi kesehatan adalah studi yang mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi untuk menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi individu dan komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan pengelolaan kesehatan. Sementara menurut Smith dan Hornik seperti dikutip Liliweri (2011) menyatakan komunikasi kesehatan adalah komunikasi yang berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsensus, mengidentifikasi aksiaksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dilakukan secara efektif. Melalui proses dialog tersebut maka informasi kesehatan yang dipertukarkan di antara dua pihak itu bertujuan membangun pengertian bersama demi penciptaan pengetahuan baru yang dapat diwariskan bersama. Jadi, dasar dari persetujuan adalah aksi dan kerjasama. Ratzan (1994) yang dikutip Liliweri (2011) menjelaskan komunikasi merupakan proses kemitraan antara para partisipan berdasarkan dialog dua arah yang di dalamnya ada suasana interaktif, ada pertukaran gagasan, ada kesepakatan mengenai suatu gagasan, ada kesepakatan mengenai kesatuan gagasan mengenai kesehatan, juga merupakan teknik dari pengirim dan penerima untuk memperoleh informasi mengenai kesehatan yang seimbang demi membaharui pemahaman bersama. Dari berbagai pengertian komunikasi kesehatan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi kesehatan adalah proses pertukaran imformasi, pengetahuan dan indentifikasi aksi-aksi berkaitan dengan kesehatan guna mempengaruhi individu maupun komunitas sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat sebagai upaya pengobatan. Dalam komunikasi kesehatan segala informasi mengenai kesehatan disampaikan melalui proses dialog diantara pihak yang terlibat sehingga terjalin pengertian bersama.
Kredibilitas Komunikator dalam Komunikasi Kesehatan Peran utama komunikator adalah untuk mempengaruhi yang dalam bahasa psikologi komunikasi disebut persuasi (Liliweri 2011). Dikatakan bahwa masalah komunikasi adalah masalah bagaimana cara komunikator memengaruhi pilihan komunikan. Masalah itu hanya bisa dijawab dengan persuasi dari komunikator. Menurut Aristoteles peranan komunikator dalam persuasi sama dengan peranan komunikator berdasarkan retorika. Ini berkaitan dengan kredibilitas komunikator yang bisa diperoleh jika memiliki Ethos, Pathos dan Logos. Ethos yakni kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya, sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya yang dicirikan (1) Intelegence yaitu komunikator tampil sebagai orang yang pandai, percaya diri, mengetahui fakta, berbicara jelas, berdiri dan duduk dengan sikap tubuh yang menunjukkan orang caka; (2) Karakter yakni Komunikator tampil dengan karakter jujur, adil, memiliki reputasi ; (3) Goodwill yaitu audiens akan lebih percaya pada komunikator yang menunjukkan kemampuan baik, pernyataan yang pasti, kontak mata, gerakan yang meyakinkan dan ada kesan melindungi.
9 Pathos adalah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya sehingga membuat komunikannya merasa: (1) Sejuk atau marah; (2) Mencintai atau membenci; (3) Merasa takut atau membangkitkan harga diri; (4) Merasa malu atau membangkitkan keberania; (5) Rasa berkuasa atau kehilangan kekuasaan; (6) Membangkitkan semangat kerja atau tidak bekerja. Sedangkan Logos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator melalui argumentasinya meliputi (1) Invention yakni kemampuan menampilkan hukum logika (masuk akal); (2) Arrangement yakni kemampuan menyampaikan informasi secara sederhana dan sesuai kemampuan pendengar; (3) Style yakni gaya berbicara yang menyenangkan; (4) Memory yaitu menyampaikan dengan gambaran informasi yang diingat atau berkaitan; (5) Delivery yakni kemampuan berbicara efektif. Menurut Hovlan dan Weiss seperti dikutip Rakmat (2008) Ethos ini adalah kredibilitas yang terdiri dari dua unsur yaitu keahlian (expertise) dan dapat dipercaya (trustworthiness.) Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni kredibilitas adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator dan kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (komponen-komponen kredibilitas) Rakhmat (2008). Dalam kredibilitas ada yang disebut sebagai komponen-komponen kredibilitas yang paling utama, yaitu keahlian, adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Misalnya, komunikator yang dinilai tinggi pada keahlian dianggap sebagai cerdas, ahli, berpengalaman ataupun terlatih dan sebaliknya. Selain itu, komponen kepercayaan, adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Misalnya, seorang komunikator dinilai jujur, bermoral, sopan, etis atau tidak etis. Sedangkan kredibilitas komunikator dalam komunikasi partisipatori menurut Muchlis (2009) adalah maka dapat disimpulkan bahwa kredibilitas seorangfasilitator dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : Kompetensi (meliputikeahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi); Karakter (meliputi objektifitas, minat dan trust); Status sosial dan ekonomi (meliputikekuasaan, pendidikan dan ekonomi); dan Karismatik (meliputi keaktivan, tegas dan semangat). Kredibilitas komunikator dalam penelitian ini adalah kepercayaan komunikan terhadap komunikator dilihat dari beberapa aspek yaitu dapat menguasai emosi dan memahami komunikan (pasien), gaya berbicara yang menyenangkan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti serta memiliki kedekatan antara komunikan dan komunikator.
Daya Tarik Pesan Simons seperti dikutip Soemirat dan Ardianto (2007) pesan secara sederhana dapat dikatakan bahwa pesan (message) adalah apa yang diucapkan oleh komunikator melalui kata-kata, gerak tubuh, dan nada suara. Di dalamnya terdiri dari disposisi ketika berbicara, argumentasi dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan, serta materi yang disajikan. Dalam konteks yang lebih sempit,
10 pemilihan terhadap kata-kata dan tanda-tanda nonverbal, secara bersama-sama penampilan pesan. Pesan harus mempunyai tema sebagai usaha untuk memberikan pengaruh di dalam mengubah sikap dan tingkah laku. Pesan itu terdiri dari berbagai teknik seperti: pesan yang bersifat informatif, persuasif dan pesan yang bersifat kreatif. Komunikator akan berhasil mempengaruhi komunikan apabila pesan yang disampaikannya tepat, ibarat membidik dan menembaki, maka pesan yang disampaikan harus tepat dan mengena. Pada konsep yang luas, pesan adalah segala sesuatu yang memberikan pengertian kepada penerima. Jadi dalam hal ini termasuk kata-kata, gerak tubuh, nada suara, reaksi penerima terhadap isi pesan, media, sumber sebagai pribadi, terhadap tindakan dan atau non tindakan yang terjadi di dalam lingkungan sosial. Pesan sangat erat kaitannya dengan mekanisme respon-stimulus, stimulusrespon. Pesan bisa dinamis karena adanya tindakan aktif dari persuader (komunikator) dan persuadee (komunikan). Seorang persuader dapat merasakan respon persuadee, melalui isyarat yang ditunjukkan (bisanya nonverbal), serta rangsangan kontekstual. Pesan yang dirancang secara kreatif akan menjadikan komunikasi persuasif lebih aktif. Adapun unsur pesan meliputi: struktur pesan, imbauan pesan dan gaya pesan. Struktur pesan, yang merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan dalam komunikasi persuasif, yakni sisi pesan, susunan penyajian, dan pernyataan kesimpulan, Imbauan pesan adalah aspek yang digunakan untuk menyentuh (stimulasi) audiens oleh komunikator dalam menyampaikan pesan, agar audiens berubah. Imbauan pesan terdiri dari imbauan rasional, emosional, takut, ganjaran dan imbauan motivasional. Imbauan rasional meyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau dengan bukti. Menggunakan imbauan emosional artinya dengan pertanyaan atau dengan bahasa yang menyentuh emosi komunikate, agar dapat membangkitkan emosi komunikan, Bettinghaus seperti dikutip Rakhmat (2008) mengemukakan, sebagai berikut: 1. Menggunakan bahasa yang penuh muatan emosional untuk melukiskan situasi tertentu 2. Hubungkan gagasan yang diajukan dengan gagasan yang tengah populer atau tidak populer. 3. Hubungan unsur-unsur visual dan nonverbal yang membangkitkan emosi. 4. Tampakkan pada diri komunikator petunjuk nonverbal yang emosional. Imbauan takut menggunakan pesan yang mencemaskan, mengancam, atau meresahkan, imbauan ganjaran menggunakan rujukan yang menjanjikan komunikate sesuatu yang mereka perlukan atau yang mereka inginkan, dan imbauan motivasional menggunakan imbauan motif (motive appeals) yang menyentuh kondisi interen dalam diri manusi (Rakhmat 2008). Dalam komunikasi kesehatan yang dimaksud dengan daya tarik pesan (message appeals) mengacu pada motif-motif psikologi yang dikandung pesan yakni : (1) Rasional–emosional; (2) Fear appeals (daya tarik ketakutan); (3) Reward appeals (daya tarik ganjaran) Liliweri (2011). Rasional adalah rancangan pesan yangg menjelaskan suatu informasi secara rasional sesuai dengan syarat-syarat yang seharusnya sesuai syarat ilmu kesehatan.
11 Misal penyakit yang disebabkan virus, tidak akan sembuh sendiri tanpa diobati, dalam istilah medis disebut self limited disease yang bisa dilakukan terhadap penyakit ini adalah melakukan pengobatan sesuai dengan gejala penyakit atau simthomatis. Contohnya, ketika penderita mengalami batuk diberi obat batuk. Emosional adalah rancangan pesan yang menjelaskan suatu informasi secara emosional sehingga menggugah emosi audiens. Liliweri (2011) mengatakan ”Contoh merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Jika bapak tetap merokok berarti bapak membunuh diri. Itukan kasihan anak-anak dan istri apalagi kalau bapak jadi impoten, maka rumah tangga bapak bakal tidak bahagia.” Fear appeals (daya tarik ketakutan) misalnya bagaimana hubungan pembantu dengan anak-anak ketika orang tua tidak berada dirumah. Hal ini akan mendorong para orang tua sibuk untuk meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anaknya. Sedangkan reward appeals (daya tarik ganjaran). Misalnya pasta gigi membertikan iming-iming bagi pembeli dengan hadiah jutaan rupiah setelah mengumpulkan sejumlah bungkus tertentu. jadi orang dipersuasi untuk membeli produk bukan karena dia butuh produk tersebut tetapi karena dia ingin mendapatkan hadiah karena membeli produk itu. Pada penelitian ini daya tarik pesan adalah pesan yang disampaikan komunikator sebagai upaya merubah sikap dan perilaku komunikan. Pesan tersebut dinilai komunikan (pasien) antara lain dapat masuk akal, mengandung unsur emosi (menggugah emosi), membuat ketakutan ataupun ganjaran.
Health Belief Model Dalam komunikasi kesehatan (Liliweri 2011) perubahan perilaku komunikan didasarkan oleh beberapa teori salah satunya adalah The Health Belief Model (HBM). Model perilaku ini dikembangkan pada tahun 50 an dan didasarkan atas partisipasi masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis. Analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut kemudian dikembangkan sebagai model perilaku. Health Belief Model didasarkan atas 3 faktor esensial ; a. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan. b. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku. c. Perilaku itu sendiri. Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana dan petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang
12 merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa. Fokus asli dari HBM adalah perilaku pencegahan yang berkaitan dengan dunia medis dan mencakup berbagai macam perilaku seperti check up untuk pencegahan/pemeriksaan awal (screening) misalnya tes tuberculosis dan vaksinasi/imunisasi seserti vaksinasi influenza, hepatitis B. Hocbaum pada tahun 1958 dan Rosenstock seperti yang dikutip Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu teori sikap yang paling berpengaruh dalam menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat adalah Health Belief Model. Individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada dua faktor yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi ancaman yang dirasakan. HBM merupakan model kognitif yang berarti dalam proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan. Menurut HBM kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (Perceived Threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost)
Age,Sex, Ethnicity, Personality, Sosioeconomic, Knowledge
Perceived Benefits minus Perceived Barier
Perceived Susceptibility/ Perceived Severity Perceived Threat
Likelihood Behavior
Of
Cues to Action
Sumber: Rosenstock et al. (1988) Gambar 1 The Health belief Model Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauhmana seorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga meningkat. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini didasarkan pada :
13 1. Kerentanan yang dirasakan (perceived vulnerability) yakni penilaian seseorang terhadap resiko kondisi kesehatan yang akan dialami. 2. Keparahan yang dirasakan (perceived severity) yaitu orang mengevaluasi keparahan/keseriusan penyakit tersebut bila mereka mengembangkan masalah kesehatannya atau membiarkan penyakitnya tidak tertangani. Penilaian kedua adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak. Tambahan untuk penilaian yang terdahulu, petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk memulai proses perilaku atau disebut sebagai keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position) berasal dari informasi dari luar atau nasehat mengenai permasalahan kesehatan misalnya nasehat orang lain, media massa, kampanye, pengamalan dari orang lain yang pernah mengalami hal yang sama dan sebagainya. Ancaman, keseriusan, ketidakkekebalan dan pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh : 1. Variabel demografi yaitu usia, jenis kelamin, latar belakang budaya 2. Variabel sosiopsikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial 3. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman tentang masalah. Kebutuhan akan kesehatan seseorang terbagi dua yaitu kebutuhan obyektif yaitu diidentifikasi oleh petugas kesehatan berdasarkan penilaiannya yang profesional dan kebutuhan subyektif yang didasarkan individu menentukan sendiri apakah dirinya mengendung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilainnya sendiri. Ada beberapa bentuk teori HBM yaitu : 1. Menurut Rosentock et al. (1988) kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) merupakan persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut. Kerentanan dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu 2. Keparahan yang dirasakan (perceived severity) pandangan individu tentang beratnya penyakit yang diderita. Pandangan ini mendorong seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misal ; kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. 3. Persepsi manfaat (perceived benefit) individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. 4. Persepsi hambatan (perceived barriers) merupakan persepsi terhadap aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit. 5. Isyarat untuk bertindak (cues to action) ada faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat : a. Internal ; berasal dari dalam diri individu, misal gejala yang dirasakan b. Eksternal ; berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan, nasehat, anjuran atau konsultasi dengan petugas kesehatan
14 Berdasarkan pengertian tentang Health Belief Model di atas dapat disimpulkan bahwa Health Belief Model dalam penelitian ini adalah persepsi atau rasa ancaman (Perceived Threat) sakit TB yang dipengaruhi berbagai faktor diantaranya persepsi atau rasa kerentanan pasien terhadap penyakit TB, persepsi atau rasa keparahan ketika menderita penyakit tersebut, pengaruh informasi dari luar komunikan (pasien) yakni komunikator serta jenis kelamin maupun status pasien. Ancaman sakit (Perceived Threat) berserta persepsi manfaat ataupun kerugian mengikuti program yang ditawarkan atau tindakan berkaitan upaya pengobatan yang akan merubah perilaku hidup sehat pasien.
Advokasi, Mobilisasi Sosial dan Program Komunikasi
Gambar 2 Model komunikasi pembangunan McKee (1992) Advokasi merupakan kegiatan pengorganisasian informasi untuk berargumentasi melalui beragam saluran interpersonal dan media agar suatu gagasan tersebut diterima oleh pemimpin sosial atau politik dan untuk menyiapkan masyarakat untuk mengikuti program pembangunan.
15 Kegiatan tersebut meliputi kegiatan melobi pengambil keputusan melalui kontak pribadi, surat, menyelenggarkan seminar, membuat berita; Mengupayakan liputan dari Koran, majalah, televisi dan radio dan memperoleh dukungan dari tokoh terkenal. Tujuan dari advokasi agar program yang ada memperoleh prioritas nasional dan politis sehingga walaupun ada perubahan kelembagaan, kebijaksanaan (yang diinginkan) tidak berubah. Atau tujuan advokasi adalah perubahan kebijakan. Advokasi mengarah pada mobilisasi sosial yakni suatu proses menggalang mitra untuk advokasi dan komunikasi program, mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Pada saat mobilisasi sosial mencapai momentum advokasi dijalankan oleh seluruh pihak diberbagai tingkatan (nasional hingga komunitas). Konsep mobilisasi sosial menekankan pentingnya gerakan sosial di seluruh golongan masyarakat yang terkait. Menurut McKee (1992) social mobilization suatu konsep yang mengacu pada penciptaan gerakan sosial untuk program tertentu. Mobilisasi sosial didefinisikan sebagai proses menggalang pihak-pihak yang terkait secara inter sektoral untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya program pembangunan tertentu, untuk membantu menyalurkan sumber daya dan layanan dan memperkuat partisipasi komunitas untuk keberlangsungan dan kemandirian. Tujuan mobilisasi sosial yaitu: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mengorganisir dalam rangka kemandirian; (2) untuk memotivasi orang agar memenuhi hak dan kewajibannya, bahkan mobilisasi social diharpkan dapat menciptakan “kebutuhan” untuk memenuhi kebutuhan mereka; (3) untuk memahami dan merubah cita-cita dan keyakinan masyarakat: dan (4) untuk memobilisasi segala sumber daya. Program komunikasi adalah proses identifikasi, segmentasi dan penargetan kelompok-kelompok tertentu / audiens khusus dengan strategi tertentu, pesan atau program pelatihan melalui berbagai media massa dan saluran interpersonal, /tradisional dan non-tradisional. Mobilisasi sosial juga memperkuat advokasi dan program komunikasi. Kegiatan advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program terjadi bersamaan, walaupun tidak berurutan. Advokasi diperlukan pada setiap siklus perencanaan program komunikasi dan advokasi serta mobilisasi sosial diarahkan sebagai kegiatan yang terencana.
Komunikasi Partisipatori Menurut Freire seperti dikutip dalam Nair dan White (2004), semua individu memiliki kapasitas untuk melakukan refleksi, kapasitas untuk berfikir abstrak, untuk membuat konseptualisasi, mengambil keputusan, memilih alternatif dan merencanakan perubahan sosial. Aksi dan refleksi bukan merupakan aktifitas yang terpisah akan tetapi sebagai keseluruhan organ dan dialektikal ini saling mempengaruhi aksi dan refleksi yang merupakan sebuah proses conscientizacao (Conscientization). Berdasarkan Freire, partisipasi asli (autentik) adalah sebuah pengalaman emansipatori yanga menghasilkan kebebasan aktual. Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Fraire menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan
16 bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan sebagaimana terungkap dalam kata-kata Freire: “To exist, humanily, is to name the world, to change it.” Sementara itu dialog merupakan pemikiran sentral Buber, (Nair dan White 2004). Berdasarkan bukunya yang berjudul I dan Thou (1958), Buber menjelaskan dua tipe hubungan yaitu the I-Thou dan I-It. The I-Thou menjelaskan dialog, respek mutual, keterbukaan dan saling memberi dan menerima. Merupakan dasar bagi pembentukan komunitas. The I merepresentasikan siapa yang memenuhi dan the Thou merepresentasikan siapa yang terpenuhi. Sedangkan the I-It merepsentasikan monolog, ketidaksamaan, obyektifitas, dan merupakan akar alienasi manusia dengan yang lainnya dari alam dan Tuhan. Dasar dari The I-It adalah pemikiran Descartes “I Think, therefore I am”. Selanjutnya Buber menyimpulkan bahwa partisipasi sebenarnya datang dari sebuah dialog (true participation arises from dialogue). Menurut Bakhtin (1981) yang dikutip Rahim (2004), wacana (diskursus) atau komunikasi merupakan dasar sosial di alam, „sosial melalui keseluruhan wilayah dan masing-masing faktor ini dari gambaran menuju pemahaman yang abstrak‟. Bentuk dan isi komunikasi tidak terpisahkan satu sama lain dan keduanya secara simultan membentuk konteks sosial komunikasi. Aksi komunikasi terjadi dalam ruang sosial waktu tertentu dan kejadian sejarah. Tidak ada komunikasi tanpa komunitas dan tidak ada komunitas tanpa komunikasi. Seorang komunikator individual selalu siap mengikatkan diri dalam dialog dengan diri mereka atau dengan orang lain. Tatkala kita berbicara dan menulis, masingmasing kita berkomunikasi melalui cara berbeda baik bahasa, dan gaya karena sebagai subyek yang berkomunikasi, tiap orang adalah unik dengan matrik keturunan, nasionalitas, ras, agama, kelas, kasta, profesi, gender dan peran sosial lain dan posisi dimana subyek pada situasi aktifitas tertentu. Konteks komunikasi, kesadaran budaya kelompok sosial, pandangan hidup komunikator dan intensionalitas – semuanya dan kata serta pesan membatasi atau meluaskan, menambah atau mengurangi, tertutup atau terbuka, membuat atau tidak membuat makna dan nilai. Tufte dan Mefalopulos (2009) mengungkapkan bahwa fokus dari komunikasi partisipasi adalah dialog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan suatu prinsip komunikasi partisipasi, dalam dialog dimana peserta akan mengungkapkan usulan dengan prinsip aksi-refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang terjadi diawali dengan definisi program dimana terjadi kesenjangan informasi. Tipe masalah yang terjadi dapat berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau isu kemiskinan dan ketidakadilan. Strategi komunikasi yang dikembangkan adalah merangkum isu yang general sehingga memperoleh gambaran yang terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada. Suara atau pendapat yang sifatnya sentral bagi komunikasi dialogis adalah kesadaran yang terdapat dalam setiap hubungan manusia. Perhatian Freire adalah pergeseran dalam kekuasaan, menyuarakan kelompok marjinal, waktu dan ruang untuk mengartikulasikan keprihatinan mereka, mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan bertindak.
17 Menurut Cangara (2005), ada tiga bentuk dalam komunikasi diadik, yaitu Percakapan, Dialog dan Wawancara. Baik percakapan, dialog maupun wawancara memiliki karakteristik masing-masing. Percakapan berlangsung dalam suasana yang bersahabat dan informal, dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal, sedangkan wawancara sifatnya lebih serius, yakni ada pihak yang dominan pada posisi bertanya dan yang lainnya pada posisi menjawab. Komunikasi partisipatori adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Rahim (2004), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Pertama, Heteroglasia: Konsep ini menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik ditingkat nasional-lokal, makro-mikro, public-privat, teknisideologis, dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dengan pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia musti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan. Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Ini secara diam berbicara dengan mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimuli proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkostruksikan suatu pesan yang dapat menstimuli suatu dialog internal. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subyek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai obyek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan atau disatukan dengan suara orang lain. Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suarasuara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka,
18 memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan. Keempat, Karnaval: Konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual seperti legenda, komik, festival, permainan, parodi, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa. Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi.Ini merupakan lawan dari sesuatu yang serius dan otoratif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi. Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi, menggunakan kosakata yang umum, fantastik, dan berbau pengalaman dari mereka. Model partisipatori membutuhkan komunikator pembangunan menambahkan dimensi baru pada aturan tradisional, contohnya inisiator, fasilitator, negosiator, dan mediator. Komunikator pembangunan akan mencari keduanya, sumber dan penerima pesan, menambahkan kontak langsung, dan interaksi penerima sebagaimana juga sumber. Proses parsipatori pada dasarnya akan transaksional. (Nair dan White 2004) Komunikasi transaksional bukanlah merupakan proses persuasi satu arah. Itu merupakan dialog dimana pengirim dan penerima pesan berinteraksi dalam periode waktu tertentu, datang dan berbagi pemahaman. Sebagai contoh, ide baru atau praktek lebih disukai diadopsi jika penerima terlibat dalam dialog dan diskusi tentang kebutuhan mereka, alternatif tindakan, dan penerimaan dalam sumbersumber untuk menyelesaikan tujuan pembangunan. Pesan pembangunan partisipatori secara langsung melibatkan audiens sasaran dan berbagai proses yang diperlukan untuk membangun dan menyampaikan pesan memanfaatkan baik sumber pengetahuan asli maupun dari luar. Beberapa prosesnya: (1) Mengidentifikasi dan menyeleksi audiens, (2) Melakukan penilaian yang dibutuhkan, (3) Membangun profil penerima, (4) Membuat garis besar pesan dan pilihan media, dan (5) Memilih saluran dan konteks untuk penyampaian pesan, (Nair dan White, 2004) Dialog antara komunikator pembangunan dan sasaran penerima, membuat keputusan dasar tentang disain pesan akan menyelesaikan sejumlah pertanyaan: (1) Darimana isi pesan berasal? (2) Siapa yang membutuhkan informasi, kepada siapa pesan harus diarahkan? (3) bagaimana pesan dibangun dan disampaikan? (4) Apa dampak pesan yang mungkin terhadap penerima? (5) Siapa yang terlibat dalam proses pembangunan pesan partisipatori? Tingkat tertinggi partisipasi akan menemukan perwakilan sasaran penerima akan terlibat dari kebutuhan penilaian melalui produksi media ke efektifitas evaluasi akhir. Tingkat menengah memperpanjang partisipasi akan konsentrasi pada partisipasi yang berarti dan sasaran penerima dalam mendisain dan
19 memproduksi pesan. Level partisisipasi rendah tidak akan melibatkan sasaran penerima tetapi mengantisipasi komunikator pembangunan, dalam kenyataannya, mengadakan penilaian kebutuhan dalam kontak dengan penerima. Tantangannya adalah menyederhanakan dan mendisain model kontruksi pesan level mikro yang menggabungkan partisipasi kuat dari sasaran penerima. Ouchi (1983) seperti dikutip dalam Nair dan White (2004) menyebutkan pendekatan terbaru komunikasi pembangunan pesan pembangunan dikirim dari komunikator (pejabat pemerintahan atau non pemerintahan) dalam mengenalkan warga dengan masalah pembangunan. Dengan kata lain perhatiannya sangat sederhana untuk memastikan bahwa pesan sudah terkirim. Pendekatan transaksional, yang merupakan karakteristik proses partisipatori memberi perhatian dirinya tidak hanya kepada penerima pesan tetapi juga dampak dan kegunaan dari pesan seperti juga membagi pengetahuan dan pengertian. Ourchi mendifinisikan partisipasi sebagai mengambil bagian dari aktifitas kelompok. Ada beberapa variasi, seperti : 1. Identifikasi masalah 2. Mengumpulkan data di desa –level isu 3. Mendiskusikan manfaat dan keturangan bergabung dengan proyek tertentu 4. Mengambil bagian dari perumusan rencana/proyek 5. Mobilisasi sumber daya 6. Membantu penerapan proyek 7. Berbagi manfaat 8. Terlibat aktif dalam monitoring dan evaluasi proyek Masukan dalam konstruksi pesan akan memanfaatkan pengetahuan alami, bakat dan kemampuan. Namun, kompleknya problem lokal tipe inovasi, dan ketersediaan sumber daya, semua akan melahirkan partisipasi alami dan dari luar. (Nair dan White 2004) Ketika mempertimbangkan media mana untuk digunakan dalam strategi komunikasi menurut Mefalopulos dan Kamlongera (2004) kembali ke masalah yang akan diatasi dan untuk tujuan komunikasi yang disebutkan. Jika ingin meningkatkan partisipasi masyarakat pada aktivitas tertentu, mungkin ingin menggunakan alat diskusi sebagai media terkemuka. Di sisi lain, jika tujuannya adalah untuk mengirim pesan mengingatkan orang tentang topik yang mudah, dapat memutuskan untuk menggunakan radio. Sebelum mengambil keputusan meninjau kembali tujuan, konteks situasional, karakteristik media dan interaksi kelompok profil. Pendekatan interpersonal (orang ke orang atau diskusi kelompok) sangat efektif dalam mengatasi kebutuhan individu dan memungkinkan orang untuk mengekspresikan ide mereka secara langsung. Di sisi lain pendekatan komunikasi interpersonal dapat mencapai hanya sejumlah terbatas orang dan diskusi bisa dimonopoli oleh individu berpengaruh atau pergi ke arah yang tidak diinginkan. Media tradisional adat (folk drama, teater, cerita menceritakan, lagu, tari, dll) termasuk dalam kelompok pendekatan dan memiliki keuntungan besar memberikan kendali kepada masyarakat. Produksi semacam ini biasanya lebih murah dan memungkinkan suatu topik tertentu yang harus dikembangkan dalam konteks lokal sesuai. Kerugiannya adalah bahwa mungkin hanya menjangkau sejumlah orang dan bahwa hal itu mungkin tidak tersedia saat dibutuhkan.
20 Dari beberapa pengertian komunikasi partisipatori di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan komunikasi partisipatori adalah komunikasi yang berlangsung dimana terjadi pertukaran informasi melalui dialog sehingga terjadi pemahaman yang sama. Dialog yang terbuka membawa kepada setiap partisipan akan memberikan kemampuannya untuk mengungkapkan suara atau pendapat yang berbeda dan akan menentukan sikap terhadap keputusan pastisipan terhadap informasi yang disampaikan.
Komunikasi Partisipatori dan Pemberdayaan Masyarakat Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan adalah usaha untuk menjamin bahwa rakyat dapat mampu menolong diri mereka sendiri (Servaes 2002). Servaes menyatakan bahwa inisiatif pembangunan yang pertama, dimulai dari komunitas dan organisasi akar rumput. Bagi Servaes aktor utama dalam proses pembangunan adalah pergerakan sosial yang menyempal dari kondisi yang stabil dan membentuk struktur hierarki untuk menampilkan sistem bebas dari komunikasi dan organisasi. Untuk memperoleh energi pembangunan organisasi lokal harus diijinkan untuk memutuskan program-progam, isu-isu, bagaimana mengatasinya dan bagaimana hal tersebut dievaluasi. Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya. Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit pembangunan harus bersifat mandiri.Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumber daya yang ada. Intinya adalah tidak tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumber daya yang berasal dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada. Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar. Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara ekonomi atau politik, menurut Servaes kebudayaan merupakan arena perjuangan dari upaya pemberdayaan. Melkote dan Leslie (2001) menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah konsep inti dari pengorganisasian. Ia menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari masalah pembangunan. Menurutnya pemberdayaan adalah suatu proses dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya dan melalui kisah mereka sendiri. Sementara itu Ife (1995) menyatakan pemberdayaan merupakan sebuah proses dalam membantu komunitas/kelompok dengan sumber daya, kesempatan,
21 pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas/kelompok sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan kehidupan masa depan mereka. Proses pemberdayaan melibatkan peran aktif keterlibatan masyarakat dalam menyusun langkah-langkah program yang harus diselesaikan. Langkah-langkah tersebut adalah mengurutkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat, membuat strategi komunikasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, mengimplementasikan aktivitas komunikasi pertahapan dan melakukan monitoring dan evaluasi dalam program. Pemberdayaan masyarakat ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat, menimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan atau sikap untuk meningkatkan kesehatan mereka, dan menimbulkan kemampuan masyarakat untuk mendukung terwujudnya tindakan atau perilaku sehat. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah. Walaupun demikian bantuan teknis (Technical Assistance) adalah program pelatihan dengan materi yang merupakan perpaduan teori dan praktek yang diberikan secara khusus melalui pendampingan dari para pakar dalam bidangnya) tetap diberikan. Namun bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dengan kata lain, melalui pemberdayaan masyarakat ini masyarakat diharapkan tahu, mau, dan mampu hidup sehat secara mandiri. Kegiatan pemberdayaan dalam sebuah program memiliki berbagai macam cara untuk melakukan aksi program, Tufte dan Mefalopulos (2009) memberikan tiga cara untuk melakukan komunikasi partisipasi dalam sebuah program: (1) Komunikasi secara monologik dimana komunikasi yang dilakukan dengan penyampaian secara langsung kepada masyarakat dengan menggunakan pendekatan instruksi dan atau pengumuman, metode ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat massa dan persuasif; (2) Komunikasi secara dialogik dimana komunikasi yang dilakukan dengan pelibatan masyarakat sebagai sumber dan penerima dalam menggerakkan program yang digeluti, kegiatan ini melibatkan stakeholder dari pihak-pihak yang terkait dari problematika yang dihadapi sehingga rumusan kegiatan dilakukan dengan tahapan-tahapan yang telah disepakati bersama oleh sejumlah pihak yang terkait di masyarakat; (3) Komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract, kegiatan ini dilakukan dengan menggabungkan sejumlah komunikasi secara massa dan perkelompok dalam penyampaian pesan. Aktivitas komunikasi mengkombinasikan penekanan kepada media sekunder dan primer yang menitikberatkan pada interpersonal dan dialog ke sejumlah masyarakat.
22 Pendekatan komunikasi interpersonal, di mana komunikasi ditekankan pada konsep saling berbagi pengalaman (the sharing of experience) maka tindakan atau respons seseorang terjadi dalam kapasitasnya sebagai pelaku komunikasi (Tubbs dan Moss 2001). Salah satu cara untuk memahami perilaku manusia adalah dengan mengamati atau memahami hubungan-hubungan sosialnya yang tercipta karena adanya proses komunikasi interpersonal Setiawan 1983 seperti dikuti Far Far (2009). Komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian pesan secara langsung dari komunikator ke komunikan, yang biasa juga disebut komunikasi tatap muka (face to face communication). Komunikasi yang demikian dinilai efektif untuk suatu sifat pesan tertentu, tetapi tidak bagi pesan yang lain (Rogers 2003). Komunikasi interpersonal dikatakan efektif untuk pesan-pesan tertentu karena komunikator dapat melihat secara langsung tanggapan dari komunikan, berupa kata-kata, gerak-gerik, ekspresi wajah, sehingga komunikator dapat segera mengambil langkah-langkah lebih lanjut. Secara umum, komunikasi interpersonal mempunyai karakteristik, yaitu: (1) komunikasi terjadi dengan berhadapan langsung antara satu orang dengan orang lainnya; (2) penggunaan indera mutlak terjadi, sehingga satu sama lainnya saling melihat dan mendengar; (3) komunikasi bersifat spontan, intensif dan dapat dilakukan setiap saat (Wiryanto 2004). Menurut DeVito (2001) terdapat enam ciri komunikasi interpersonal, yaitu: (1) komunikasi interpersonal adalah verbal dan nonverbal, artinya komunikasi terjadi pengemasan pesan dalam bentuk verbal. Isi pesan dan bagaimana isi tersebut dapat dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, merupakan dua unsur utama dalam komunikasi interpersonal; (2) komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu. Perilaku yang terjadi karena adanya desakan emosi merupakan perilaku spontan. Perilaku menurut kebiasaan merupakan perilaku yang didasarkan pada situasi tertentu, dapat dimengerti oleh orang lain dan dipelajari dari kebiasaan kita. Perilaku sadar, merupakan perilaku yang sesuai dengan situasi yang ada dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi; (3) komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi dan koherensi. Dalam hal ini umpan balik (feed back) besar sekali, mengingat; (4) komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang semakin berkembang, umpan balik dan interaksi antar pihak-pihak yang terlibat juga akan semakin intensif; (5) komunikasi interpersonal saling mengubah. Pada tahapan ini komunikasi interpersonal akan berjalan baik, jika peraturan yang ditetapkan mampu untuk mengikutinya. Peraturan tersebut seringkali dikembangkan dan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan situasi tertentu. Adanya proses interaksi dalam komunikasi, maka pihak-pihak yang terlibat komunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat, dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sikap; (6) komunikasi interpersonal merupakan kegiatan aktif, artinya sudah terjadi hubungan timbal balik antar pengirim dan penerima pesan.
Komunikasi Kelompok Michael Burgoon seperti dikutip Wiryanto (2004) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri,
23 pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Komunikasi kelompok menurut Goldberg dan Larson (2011) adalah suatu bidang studi, penelitian dan terapan yang tidak menitik beratkan perhatiannya pada proses kelompok secara umum, tetapi pada tingkah laku individu dalam diskusi kelompok tatap muka yang kecil. Sementara menurut Mulyana (2007), kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan.Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi.Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Curtis et al. (2005) menyatakan komunikasi kelompok terjadi ketika tiga orang atau lebih bertatap muka, biasanya di bawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain. Lebih mendalam ketiga ilmuwan tersebut menjabarkan sifat-sifat komunikasi kelompok sebagai berikut: (1) Kelompok berkomunikasi melalui tatap muka; (2) Kelompok memiliki sedikit partisipan; (3) Kelompok bekerja di bawah arahan seseorang pemimpin; (4) Kelompok membagi tujuan atau sasaran bersama; (5) Anggota kelompok memiliki pengaruh atas satu sama lain. Sedangkan Goldberg dan Larson (2011) memberikan rangkuman mengenai komunikasi kelompok sebagai berikut : 1. Titik berat perhatian komunikasi kelompok yaitu pada gejala komunikasi dalam kelompok kecil tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti proses komunikasi kelompok, mempekirakan hasil serta meningkatkan proses komunikasi kelompok. 2. Komunikasi kelompok memusatkan pada proses komunikasi kelompok kecil. 3. Komunikasi kelompok menitik beratkan pada diskripsi dan analisis, keduaduanya mempunyai kepentingan terhadap efektifitas dan perkembangan keterampilan kelompok dalam jangka panjang. 4. Komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang diatur, dimana pesertanya mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok dan lebih menyadari sasaransasaran bersama. 5. Komunikasi kelompok lebih cenderung terjadi secara langsung dalam pertemuan tatap muka. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi kelompok adalah proses penyampaian pesan dari pemberi dan penerima pesan melalui tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain. Komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang diatur di bawah pengarahan seorang pemimpin.
24 Hasil Penelitan yang Relevan Terkait dengan penelitian ini terdapat penelitian sebelum yang relevan yang dapat menjadi acuan dalam melihat keterbaharuan dari penelitian terkait komunikasi kesehatan, pendekatan komunikasi partisipatori dan perubahan perilaku dengan konsep HBM. Adapun penelitian tersebut diantaranya : 1. Penelitian oleh Ponti Gesang Cahyanto (2007) dengan judul “Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam Pelaksanaan Primatani di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komunikasi Partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap model usaha tani terpadu dalam pelaksanaan Prima Tani. Karakteristik individu petani mempunyai hubungan nyata dengan komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani. Keefektivan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan sikap petani dalam model usaha tani ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. 2. Penelitian Gita Mulyasari (2009), dengan judul “Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional Development Project.” Menemukan bahwa pada kegiatan Bengkulu Regional Development Project (BRDP) warga sangat aktif pada tahap evaluasi. Namun, pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, warga tidak banyak aktif terlibat dalam kegiatan BRDP. Aktifnya komunikasi partisipatif warga pada tahap evaluasi dikarenakan mereka ingin menjadi anggota UPKD yang berhak memperoleh bantuan modal bergulir. Selain itu, komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP tidak dipengaruhi oleh faktor kredibilitas agen pendamping (fasilitator) dan faktor keragaan individu. 3. Penellitian Fuad Muchlis (2009) dengan judul “Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat”. Hasil penelitian menunjukkan komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi dengan baik dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM MPd). Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia, dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. 4. Penelitian Yudi Saputra (2011), yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator (Kasus PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung).” Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis,
25 dan pendidikan nonformal memiliki hubungan dengan perilaku komunikasi partisipatif, sedangkan pengetahuan teknis memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Semakin tinggi tingkat karakteristik fasilitator menunjukkan kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat karakteristik fasilitator menunjukkan kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif memiliki hubungan dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat peran fasilitator menunjukkan kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat peran fasilitator menunjukkan kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partisipatif fasilitator 5. Penellitian Imani Satriani (2011), yang berjudul “Komunikasi Partisipatif Pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Studi Kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor).” Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran yang dominan dalam kegiatan Posdaya Kenanga adalah peran dari pendamping yakni pihak P2SDM LPPM IPB yang selalu melakukan koordinasi dengan pengurus Posdaya Kenanga. Peran dari pihak P2SDM LPPM IPB adalah sebagai pendamping dan konsultan. Ketika terjadi permasalahan, hambatan di dalam Posdaya Kenanga koordinator maupun kader melakukan konsultasi untuk penyelesaiannya. Pendampingan yang dilakukan bersifat tidak terikat dan tidak lepas, tetapi kontrol selalu dilakukan terhadap Posdaya Kenanga. Perangkat Kelurahan Situgede sebagai institusi pemerintahan, memiliki peran dalam kegiatan Posdaya Kenanga RW 05 antara lain pembinaan kader, pelatihan para kader serta memotivasi kader. Dan peran keterlibatan tokoh masyarakat dalam Posdaya Kenanga adalah sebagai penasehat seperti memberikan pandangan-pandangan, saran, kritikan, dan ideide yang membangun untuk keberlangsungan kegiatan Posdaya Kenanga. Komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya Kenanga meliputi meliputi akses, heteroglasia, poliponi, dialog dan karnaval. Kader di Posdaya Kenanga memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pengambilan keputusan. 6. Penelitian Ali Alamsyah Kusumadinata (2012).Berjudul “Analisis Komunikasi Partisipasi Pada Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Perbaikan Gizi (Studi Kasus Kelompok Gizi Masyarakat Pulokerto Kota Palembang).” Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor personal kelompok dalam Proses komunikasi perlu diperhatikan dalam memulai sebuah komunikasi program pembangunan yakni program pemberdayaan perbaikan gizi masyarakat. Proses komunikasi tercipta oleh adanya pemaknaan yang sama dengan memberikan pendekatan dan arahan yang jelas terhadap suatu program. Sehingga komunikasi yang dibangun dapat menciptakan komunikasi yang kongruen dan konvergen dalam sebuah program. Pada kelima informan menunjukkan bahwa informan telah memiliki persepsi dan motivasi yang sama terhadap program. Persepsi dan motivasi ini dibangun oleh interaksi yang berulang dan instens dalam pelaksanaan program baik pada tahap perencanaan berupa pembentukan kelompok, pelaksanaan berupa rapat kerja kelompok dan pelaksanaan rencana kelompok, monitoring dan evaluasi pada saat sosialisasi hasil kerja kelompok. Faktor personal yang dibangun masing-
26 masing informan berbeda-beda pengertian namun memiliki satuan pemaknaan yang sama dalam menjalankan program. 7. Penelitian Susi Hanifah Kurnia (2011) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Pasien Patah Tulang Berobat Ke Pengobatan Tradisional Ahli Tulang Di Sumedang.” Hasil penelitian ini menunjukkan tiga faktor yang paling mempengaruhi seseorang memilih berobat ke pengobatan tradisional yaitu faktor motivasi untuk menyembuhkan sakitnya, kepercayaan akan mendapatkan manfaat dan rintangan, dan pelayanan kesehatan dan kepercayaan terhadap penyedia layanan. Ketiga faktor ini menggambarkan bahwa sebagian besar responden memiliki keinginan yang tinggi untuk sembuh, yakni dengan berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Institusi kesehatan diharapkan dapat bekerjasama dengan pihak pengobatan tradisional, baik itu untuk pelatihan bagi penyedia layanan maupun sebagai tempat rujukan. 8. Penelitian oleh Fitriana Yuliawati Lokollo (2009), dengan judul “Studi Kasus Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di Pub dan Karaoke, Cafe dan Diskotek di Kota Semarang.” Penelitian menunjukkan sebagian besar WPS Tidak Langsung mengakui bahwa mereka termasuk dalam kelompok resiko tinggi akan tetapi pengetahuan, dan praktik mereka terhadap upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS masih kurang. Walaupun mereka setuju dengan pemakaian kondom sebagai upaya pencegahan yang baik, akan tetapi dalam prakteknya ketika beraktivitas seksual tidak selalu kondom mereka gunakan. Posisi tawar mereka masih rendah dalam negosiasi pemakaian kondom dengan klien. Mitos-mitos seputar IMS dan HIV/AIDS pun masih dipegang. Sedangkan dukungan dari keluarga dan teman sebaya lemah dalam upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Untuk itu perlu kerjasama lintas sektoral Dinas Kesehatan, masyarakat khususnya lembaga swadaya, dan perguruan tinggi untuk mengintervensi komunitas Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung ini sehingga kasus IMS dan HIV /AIDS di Kota Semarang dapat ditekan. 9. Penelitian Sri Yenita (2011) yang berjudul “Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2010.” Hasil penelitian menunjukkan sebahagian besar pertolongan persalinan di wilayah kerja Puskesmas Desa Baru sudah ditolong oleh tenaga kesehatan, akan tetapi belum mencapai target nasional, lebih dari seperempat ibu bersalin merupakan umur beresiko terhadap kehamilan dan persalinan, sebahagian besar ibu bersalin memiliki tingkat pendidikan rendah, sepertiga ibu bersalin mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah, hampir separuh ibu bersalin merupakan paritas beresiko terhadap kehamilan dan persalinan, hampir separuh ibu bersalin mempunyai persepsi yang negatif tentang faktor risiko, hampir separuh ibu bersalin mempunyai persepsi yang negatif tentang ancaman/bahaya persalinan dengan dukun, sebahagian besar ibu bersalin sudah terakses dengan media massa, dan sebahagian besar ibu bersalin sudah mendapat anjuran dari petugas kesehatan untuk melahirkan dengan petugas kesehatan. Masih tingginya angka pertolongan persalinan yang ditolong oleh dukun di wilayah kerja Puskesmas Desa Baru ini disebabkan oleh pengaruh suami, pelayanan dukun lebih baik dimana dukun lebih bersikap empati dan religius terhadap ibu dan keluarga
27 dan karena dukun punya keahlian memijat. Variabel persepsi manfaat yang paling mempengaruhi pemilihan tenaga penolong persalinan karena persepsi tentang manfaat adalah keyakinan seseorang bahwa manfaat dari perilaku yang direkomendasikan lebih besar dari segala hambatan. Manfaat yang dirasakan berhubungan dengan persepsi seseorang tentang kemanjuran dari suatu tindakan yang disarankan untuk mengurangi risiko, juga bisa berhubungan dengan persepsi keseriusan situasi, misalnya bahaya yang mungkin berasal dari penolong persalinan yaitu dukun. 10. Penelitian Yeni Rahma Dwijayanti dan Ike Herdiana (2011) dengan judul “Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM).” Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa Anak jalanan rentan melakukan perilaku seksual karena rasa ingin tahu yang besar dan ingin mencoba pengalaman baru di masa remaja sehingga ada rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal baru dan dorongan untuk mencoba-coba pengalaman baru yang belum pernah dirasakan terutama aktivitas seksual, disamping itu juga dipengaruhi oleh pergaulan dengan teman–temannya. Perilaku seksual mereka dipengaruhi oleh faktor usia yang masih muda yang belum berani untuk bertanggung jawab terhadap kehamilan pasangan dan mencari nafkah, lingkungan tempat tinggal, agama, tingkat pendidikan, malu, mencemari nama baik diri sendiri dan orang tua, pengawasan orang tua, tidak ingin melibatkan keluarga sehingga mereka tidak berani melakukan hubungan intercourse karena belum berani bertanggung jawab. Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan mereka mengenai dampak-dampak dari perilaku seksual, pengetahuan dari mereka masih sangat minim tentang hal-hal terkait seksualitas. Mereka tidak menyadari dan menganggap bahwa perilaku seksual yang dilakukan saat ini tidak mempunyai dampak apapun terhadap diri mereka (perceived susceptibility). Mereka juga menganggap perilaku seksual yang dilakukan tidak berlebihan dan tidak mempunyai resiko apapun (perceived severity). Anak jalanan dalam penelitian ini masih belum punya keyakinan diri untuk menghindari perilaku seksualnya karena menurut mereka tidak ada dampaknya. Mereka hanya mengetahui cara melakukan perilaku seksual dan dampak dari hubungan seks bebas. Sepuluh penelitian tersebut berhubungan dengan penelitian yang menggunakan pendekatan komunikasi partisipatori dalam komunikasi kesehatan. Hal baru dari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat penanggulangan penyakit TB dengan pendekatan komunikasi partisipatori yang ada di masyarakat baik di level komunitas sampai ke perubahan perilaku di individu. Penelitian yang dilakukan ini berkaitan dengan komunikasi kesehatan sehingga peneliti tertarik untuk melihat kredebilitas komunikator dan daya tarik pesan terutama terhadap perubahan perilaku masyarakatdengan menggunakan konsep Health Belief Model (HBM). Serta melihat pendekatan moda komunikasi partisipatori.
28 Kerangka Pemikiran Penelitian dilakukan pada program penanggulangan TB yang diselenggarakan oleh Community TB Care „Aisyiyah. Menggunakan teori model Advocacy Communication Mobilization Social (ACMS) dari McKee (1992), multitrack model (Tufte dan mefalopulos, 2009) untuk menganalisis masalahmasalah struktural dan sosial dan Health Belief Model (Rosenstock et al. 1988) untuk menjelaskan perilaku kesehatan di tingkat pasien. Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait. Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural sedangkan komunikasi program di tingkat individu. Menurut McKee (1992) advokasi merupakan kegiatan pengorganisasian informasi untuk berargumentasi melalui beragam saluran interpersonal dan media agar suatu gagasan tersebut diterima oleh pemimpin sosial atau politik dan untuk menyiapkan masyarakat untuk mengikuti program pembangunan. Advokasi didefinisikan sebagai kegiatan pengorganisasian dengan menggunakan beberapa saluran dan media untuk mendapat kesepakatan politik dan sosial dalam mendukung program penanggulangan TB. Dukungan dan komitmen politik tersebut dilakukan di tingkat pemerintahan kota, kecamatan, kelurahan dan puskesmas. McKee (1992) menyatakan social mobilization suatu konsep yang mengacu pada penciptaan gerakan sosial untuk program tertentu. Mobilisasi sosial didefinisikan sebagai proses menggalang pihak-pihak yang terkait secara inter sektoral untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya program pembangunan tertentu, untuk membantu menyalurkan sumber daya dan layanan dan memperkuat partisipasi komunitas untuk keberlangsungan dan kemandirian. Mobilisasi sosial dalam penelitian ini didefinisikan sebagai proses menggalang sumber daya dan partisipasi dari pihak-pihak yang terkait dari berbagai kalangan untuk membantu penanggulangan penyakit TB. Mobilisasi dimulai dengan adanya kerjasama dan partisipasi pemilik program penanggulangan TB dengan komunitas (KPT Jakarta Barat), kecamatan, kelurahan, tokoh agama serta tokoh masyarakat. Program komunikasi (McKee 1992) adalah proses identifikasi, segmentasi dan penargetan kelompok-kelompok tertentu/audiens khusus dengan strategi tertentu, pesan atau program pelatihan melalui berbagai media massa dan saluran interpersonal, /tradisional dan non-tradisional. Program komunikasi pada penanggulangan penyakit TB ini peneliti definisikan sebagai proses identifikasi, segmentasi dan penargetan kegiatan KPT Jakarta Barat, kunjungan puskesmas, kader komunitas, PMO, pertemuan pasien dan kunjungan pasien. Hal itu untuk mewujudkan penyampaian pesan berkaitan dengan pengobatan TB dengan target akhir adalah perubahan perilaku pasien TB. Tufte dan Mefalopulos (2009) dalam multi-track model membagi pendekatan komunikasi pembangunan ke dalam dua kategori dasar atau jalur: komunikasi monologis dan komunikasi dialogis. Komunikasi secara monologis dimana komunikasi dilakukan dengan penyampaian secara langsung kepada masyarakat menggunakan pendekatan instruksi dan atau pengumuman, metode ini
29 dilakukan dengan pendekatan yang bersifat massa dan persuasif, sedangkan komunikasi dialogis yakni komunikasi yang dilakukan dengan pelibatan masyarakat sebagai sumber dan penerima dalam menggerakkan program yang digeluti, kegiatan ini melibatkan stakeholder dari pihak-pihak yang terkait dari problematika yang dihadapi sehingga rumusan kegiatan dilakukan dengan tahapan-tahapan yang telah disepakati bersama oleh sejumlah pihak yang terkait di masyarakat. Komunikasi secara gabungan atau multi tract yakni kegiatan dengan menggabungkan sejumlah komunikasi secara massa dan per kelompok dalam penyampaian pesan. Aktivitas komunikasi mengkombinasikan penekanan kepada media sekunder dan primer yang menitikberatkan pada interpersonal dan dialog ke sejumlah masyarakat. Pada ACMS program penanggulangan TB yang menjadi sorotan penting adalah program komunikasi karena program komunikasi berkaitan dengan sasaran utama yakni pasien TB. Program komunikasi peneliti definisikan menggunakan pendekatan partisipatori sehingga moda yang digunakan adalah monolog, dialog maupun gabungan monolog dan dialog (multitrack) hal ini bertujuan agar membangun keterbukaan dalam pembahasan isu-isu serta menghasilkan pengetahuan dan solusi baru, bukan sekedar mengirimkan informasi tentang pengobatan TB. Penelitian ini mengangkat isu bidang kesehatan. Pada komunikasi kesehatan salah satu model yang digunakan untuk melihat perubahan perilaku adalah menggunakan model kepercayaan kesehatan atau Health Belief Model (HBM). Menurut Rosenstock et al. 1988 health belief model merupakan model psikologis yang menjelaskan dan meramalkan perilaku kesehatan dengan berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Ada empat variabel kunci dalam HMB yakni kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan (perceived severity), manfaat yang diterima (perceived barier) dan rintangan yang dialami (perceived barier) dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Perubahan perilaku kesehatan pasien TB dalam penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa variabel yakni ancaman penyakit yang dirasakan (perceived threat) dan manfaat/hambatan yang dirasakan. Perubahan memutuskan pengobatan penyakit juga dipengaruhi variabel manfaat atau hambatan yang dirasakan (perceived benefits/barier) ketika individu tersebut mengikuti program untuk kesembuhan penyakitnya. Ancaman penyakit yang dirasakan ini berkaitan erat dengan beberapa variabel antara lain jenis kelamin dan individu, kredibilitas komunikator, daya tarik pesan, kerentanan serta keparahan sakit TB yang dirasakan. Kerentanan/keparahan sakit TB yang dirasakan dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, dan status pernikahan. Adapun manfaat/hambatan yang dirasakan dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, dan status pernikahan. Adapun kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
30
Gambar 3 Kerangka pemikiran komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin Untuk mengetahui perubahan perilaku pasien TB dilihat dari Health Belief Model peneliti menggunakan kerangka penelitian sebagai berikut:
Gambar 4 Kerangka pemikiran perubahan perilaku pasien TB dilihat dari Health Belief Model
31
3 METODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penellitian Paradigma penelitian merupakan pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok kajian yang semestinya harus dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan (Salim 2001). Dengan demikian paradigma merupakan suatu pokok persoalan dalam suatu cabang ilmu menurut versi ilmuwan tertentu. Paradigma juga secara umum dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak di kehidupan sehari-hari (Salim 2001). Lebih lanjut Lincoln dan Guba seperti dikutip Salim (2001), mengemukakan empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme. Tujuan penelitian ini adalah ingin menganalisis advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam penanganan TB pada Community TB Care „Aisyiyah termasuk bentuk pendekatan komunikasi partisipatori serta perubahan perilaku pasien TB berdasarkan Health Belief Model (HBM). Karena itu dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivisme yaitu paradigma yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action (tindakan sosial yang penuh arti) melalui pengamatan langsung terhadap perilaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka (Hidayat 1999). Paradigma konstruktivisme digunakan dalam penelitian dikaitkan dengan beberapa pertimbangan, misalkan secara ontologis (sifat realita), aliran ini menyatakan bahwa realitas sosial adalah wujud bentukan (construction) individuindividu subyek yang terlibat dalam penelitian yaitu terutama tineliti dan peneliti, bersifat subyektif dan majemuk .“Subyektif” di sini berarti “melihat dari sudut pandang tineliti sebagai subyek penelitian.” Realitas sosial bersifat subyektif, maka secara epistemologi (hubungan antara peneliti dan tineliti) terjadi interaksi sosial yang dinamis, informal, dan akrab. Hubungan antara peneliti dan tineliti dirumuskan sebagai hubungan “subyek-subyek”, bukan hubungan “subyek-obyek” seperti pada penelitian kuantitatif. Antara peneliti dan tineliti di sini memiliki kedudukan sebagai orang yang sama-sama belajar memaknai realitas sosial yang diteliti bahkan kadang peneliti bisa menjadi orang yang diteliti. Secara metodologis, proses penelitiannya bersifat induktif yang berorientasi pada pengembangan pola dan teori untuk mendapatkan pemahaman yang bersifat kontekstual atas suatu kejadian atau gejala sosial (Creswell, 2002)
Desain Penelitian Paradigma konstruktivisme merupakan bagian dari pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bersifat “emic” artinya memperoleh data bukan
32 “sebagaimana seharusnya,” bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan “sebagaimana adanya” yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data (Sugiyono 2008). Penelitian kualitatif adalah meneliti subyek penelitian atau informan dalam lingkungan hidup kesehariannya. Peneliti kualitatif sedapat mungkin berinteraksi secara langsung dan mengenal secara dekat dunia kehidupan informan, mengamati alur kehidupan informan secara apa danya. Istilah kualitatif menunjuk pada proses dan makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensi, penekanan diberikan pada sifat konstruksi social dari realitas dan mencari jawaban bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna (Denzin dan Lincoln 1994 dalam Salim 2001). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu menyoroti beberapa kasus dengan melakukan wawancara, pengamatan yang berperan serta terbatas dan menganalisis dokumen yang berkaitan dengan aktivitas komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin pada penanganan TB di Kalianyar yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat. Studi kasus merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subyek penelitian tersebut dapat berupa individu yang terkait pada kegiatan komunitas baik berasal dari tokoh agama, kader komunitas, PMO, pasien, petugas kesehatan serta aparatur pemerintah. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, sifat serta karakter yang khas dari suatu kasus, dan sifat khas tersebut dapat dijadikan sebagai sesuatu hal yang bersifat umum (Kriyantono 2010). Metode studi kasus memiliki keunikan atau keunggulan tersendiri dalam kancah penelitian sosial. Studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat memasuki unit sosial terkecil seperti kelompok, himpunan, maupun bentuk unit sosial lainnya.Studi kasus bersifat komprehensif, mendalam, dan diupayakan untuk menelaah masalah atau fenomena yang kontemporer dalam khasanah metodologi penelitian. Yin (2002) menyebutkan studi kasus adalah inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, dengan menggunakan multi sumber bukti yang digunakan untuk mempertegas sebuah kasus atau konteks. Keunggulan dari metodologi ini adalah sebagai berikut: (1) Studi kasus memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas; (2) Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai sebuah konsep dasar perilaku manusia dengan melakukan penyelidikan yang intensif sehingga ditemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang tidak diduga sebelumnya; (3) Studi kasus menyajikan data dan temuan yang berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar untuk pengembangan ilmu sosial. Studi kasus dalam penelitian ini adalah proses komunikasi kesehatan dalam penyembuhan penyakit di masyarakat miskin. Studi kasus merupakan desain yang tidak kaku namun menawarkan keluwesan dan fleksibel dengan perkembangan kondisi di lapangan yang unik dan penting sesuai dengan fakta empiris yang dicermati. Sebuah fenomena sosial
33 merupakan buruan dari penelitian kualitatif karena bersifat dinamis dan unik dimana tidak diciptakan menurut kehendak (Bungin 2003).
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Alasan memilih lokasi tersebut adalah (1) Kalianyar merupakan penerima program Community TB Care „Aisyiyah melalui Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat, dimana KPT Jakarta Barat adalah salah satu contoh produk Community TB Care „Aisyiyah yang dianggap berhasil dalam menjalankan program penanganan TB; (2) wilayah Kalianyar merupakan wilayah kumuh dengan kondisi banyaknya rumah tidak layak huni; (3) Jumlah penderita TB cukup tinggi; (4) Mayoritas penduduk adalah masyarakat miskin dan terbelakang; (4) Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah buruh konveksi dan pedagang; (5) Penghasilan penduduk berada di bawah upah minimum DKI Jakarta. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei sampai Desember 2012.
Penentuan Subyek Penelitian Subyek penelitian dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman, dan guru dalam penelitian. Subyek penelitian dalam penelitian dinamakan informan. Informan dalam penelitian kualitatif bukan disebut sampel statistik yang harus mewakili kondisi populasi untuk kepentingan generalisasi populasi, melainkan subyek penelitian yang dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan penelitian yaitu mengembangkan konsep/teori (Sugiyono 2008). Secara khusus, Yin (2002) menyatakan bahwa substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dipandang dan diposisikan sebagai unit analisis. Sebagai unit analisis, substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dilihat dan dikaji secara keseluruhan untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian. Di dalam banyak penelitian studi kasus, unit analisis penelitiannya adalah kasus itu sendiri. Tetapi banyak pula penelitian studi kasus, dengan unit analisis yang berbeda dengan kasusnya. Yin (2002) menyebut unit analisis yang demikian sebagai unit yang tertanam (embedded unit). Pada penelitian kualitatif, situasi sosial tertentu dijajaki terlebih dahulu, observasi dan wawancara dilakukan kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi/realitas sosial yang diteliti. Penentuan informan dilakukan secara sengaja yaitu dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan tertentu, penentuan informan dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling), yaitu suatu metode sampling nonprobability yang sering digunakan dalam penelitian di lapangan dimana masing-masing orang yang diwawancara memberikan informasi tentang siapa saja yang memungkinkan untuk diwawancara selanjutnya, dengan pertimbangan dan tujuan tertentu sesuai kebutuhan penelitian, sampai didapatkan informasi yang memadai. Terdapat lima kriteria untuk pemilihan key informan atau informan yang dijadikan sumber pengambilan data di antaranya:
34 1. Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi, yang menghayati secara sungguhsungguh sebagai akibat dari keterlibatan yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan. Biasanya ditandai oleh kemampuan dalam memberikan informasi tentang sesuatu yang ditanyakan. 2. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian penelitian. 3. Subyek yang mempunyai cukup waktu atau kesempatan untuk diwawancara. 4. Subyek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. 5. Subyek yang sebelumnya tergolong cukup asing dengan penelitian sehingga lebih mudah menggali informasi (Bungin, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas subyek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah (1) Masyarakat yang terlibat program pemberdayaan masyarakat dalam penanganan TB pada Community TB Care „Aisyiyah; (2) Anggota KPT Jakarta Barat; (3) Tokoh Masyarakat dan tokoh agama yang memberikan dukungan terhadap program pemberdayaan masyarakat dalam penangggulangan TB; (4) Kader Komunitas; (5) Petugas kesehatan; (6) PMO pasien TB; (7) Pasien TB yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah. Enam informan di tingkat individu mewakili pasien menurut tingkat keparahan, status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendidikan dan umur. Dari hasil penelurusan di lapangan maka daftar informan berjumlah 18 orang dalam penelitian ini dapat terlihat pada Tabel 1.
35
Nama
Tabel 1 Daftar informan dalam penelitian Jenis Kelamin, Umur Pekerjaan
Vin
Perempuan (48 thn)
Fif
Perempuan (60 thn)
Rmd
Laki-laki (40 thn)
Fat
Perempuan (35 thn)
Znb
Perempuan (56 thn)
Muh
Perempuan (58 thn)
Mar Dew Ber Ben Bek Iwn Tin End Sar Rod Mah Pit
Perempuan (36 thn) Perempuan (40 thn) Perempuan (46 thn) Perempuan (48 thn) Laki-laki (32 thn) Laki-laki (31 thn) Perempuan (40 thn) Laki-laki (36 thn) Perempuan (53 thn) Perempuan (50 thn) Perempuan (68 thn) Perempuan (31 thn)
Ketua KPT Jakarta Barat Wakil Ketua KPT Jakarta Barat, Kader komunitas Koordinator Program SSR Jakarta Barat Petugas Kesehatan RS Ibnu Sina Kader Komunitas, tokoh agama Kader komunitas, tokoh agama Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Petugas Puskesmas Aparat Kelurahan Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien PMO PMO
Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari subyek kasus dan informan. Data pertama mengenai Program Community TB Care „Aisyiyah peneliti dapatkan dari Advocacy Communication and Social Mobilisation (ACSM) Specialist PR TB „Aisyiyah yakni ibu Muarawati Nur Malinda. Kemudian peneliti juga menemui Authorized PR Ibu Dra Noor Rochmah Pratiknya dan Program Manager RR TB „Aisyiyah Bapak Dr. A. Samhari Baswedan, MPH. Dari data yang didapat tersebut peneliti disarankan untuk melakukan penelitian di KPT Jakarta Barat yang merupakan KPT percontohan dalam penanggulangan TB pada Program Community TB Care „Aisyiyah. Pada pertengahan Mei peneliti menemui kordinator program SSR Jakarta Barat Bapak Ir. Rachmadi Suwartojo. Dari wawancara awal inilah peneliti mulai mendapatkan data yang akhirnya menemukan key informan atau informan . Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara: (1) Bertemu dan mewawancarai dengan informan yang terlibat dalam penanggulangan TB pada Program Community TB Care‟Aisyiyah; (2) Mengikuti kegiatan yang dilakukan
36 oleh aktor dalam beberapa kegiatan antara lain monitoring evaluasi (monev), training PMO, pertemuan pasien dan kunjungan pasien; (3) Melakukan cross check kembali jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden, kemudian peneliti menarik kesimpulan sementara dan mengujinya kembali dengan verifikasi data yang telah diamati; (4) Selama melakukan penggalian data peneliti juga melakukan reduksi data terhadap informasi yang didapat dari informan dan menampilkannya dalam bentuk laporan serta melakukan verifikasi dalam setiap tujuan yang dirumuskan pada penelitian ini. Teknik pengumpulan data tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Pengamatan Berperan Serta Terbatas (Observasi) Observasi, yaitu suatu teknik pemilihan (selection), pengubahan (provocation) dan pencatatan (recording) serta pengodean (encoding) serangkaian perilaku atau suasana yang berkaitan dengan organisme terkait sesuai dengan tujuan empiris (tests of behaviors and setting) untuk tujuan empiris (Bungin, 2003). Peneliti sudah mulai melakukan pengamatan sejak bulan Mei 2012 di wilayah Tambora. Namun secara intensif pendekatan dan pengamatan penelitian dilakukan pada bulan Juni 2012 sambil mencatat data-data yang bisa dijadikan catatan lapangan. Peneliti tidak langsung melakukan wawancara mendalam karena berusaha untuk dapat diterima dahulu di lokasi penelitian. Peneliti tidak tinggal di lokasi penelitian karena kondisi pribadi peneliti yang tidak memungkinkan, namun peneliti usahakan hadir setiap hari untuk dapat mengamati subyek penelitian. Untuk melihat perilaku pasien di malam hari, peneliti dibantu asisten penelitian. Pada bulan Juli 2012 penelitian sempat terhenti karena bertepatan dengan Ramadhan dan mulai intensif kembali pada akhir Agustus sampai Desember 2012. Jenis observasi partisipasif tepat digunakan dalam penelitian ini, dimana peneliti mengamati empat kejadian komunikasi, apa yang dikerjakan kader komunitas, PMO dan pasien TB. Kemudian peneliti mendengarkan dan mencatat apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi langsung dalam aktivitas kejadian komunikasi tersebut. 2. Wawancara Mendalam Teknik wawancara digunakan peneliti untuk menggali data menjawab tujuan dari penelitian. Teknik wawancara langsung adalah merupakan bagian dari data primer.Wawancara yang dilakukan bersifat luwes, terbuka dan tidak berstruktur serta tidak kaku. Teknik ini dilakukan dengan berulang kali secara langsung antara peneliti dan tineliti. Wawancara mendalam mulai dilakukan pada Agustus setelah peneliti merasa sudah bisa diterima dan dekat dengan informan. Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang terlibat dalam satuan peristiwa dan menanyakan sesuai dengan panduan pertanyaan yang telah dirancang peneliti. Setelah itu peneliti menyalinnya dalam bentuk catatan lapangan dan melakukan pengkodesasian yang sesuai dengan unit analisis atau dikenal dengan proses reduksisasi. Peneliti menggunakan alat bantu hand phone sebagai alat perekam, buku tulis sebagai alat pencatat dan kamera sebagai dokumentasi. 3. Penelusuran Analisis Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan kajian pustaka terhadap berbagai literatur yakni skripsi, tesis, disertasi, jurnal serta data dari media massa yang terkait dengan topik penelitian. Kajian literatur membantu peneliti dalam menyimpulkan data di lapangan. Beberapa data sekunder yang
37 dapat diperoleh di lapangan adalah dokumen di KPT Jakarta Barat, dokumentasi foto, dokumen yang terdapat di Kelurahan Kalianyar, dokumen di Puskesmas serta menelusuri portal website yang berkenaan informasi tentang program penanganan TB, dan Community TB Care „Aisyiyah. Adapun jenis data dan metode-motode yang digunakan dalam penelitian ini dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Matriks jenis data, sumber dan metode pengumpulan data Jenis Data Sumber Metode Situasi dan kondisi keluarga pasien
Pasien
Observasi
Kegiatan komunikasi program penanggulangan TB pada KPT Jakarta Barat
Pengurus KPT Observasi dan Jakbar, tokoh wawancara masyarakat, kader mendalam komunitas, PMO dan pasien
Kredibilitas komunikator
PMO dan pasien
Observasi dan wawancara mendalam
Perubahan perilaku pasien berdasarkan analisis HBM
Kader komunitas, petugas kesehatan, PMO dan pasien
Observasi dan wawancara mendalam
Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian Keabsahan data penelitian atau dalam penelitian kuantitatif disebut validitas dilakukan untuk menguji apakah data umum penelitian yang telah dikumpulkan adalah benar (valid). Pada penelitian kualitatif pengujian kredibilitas menggunakan triangulasi. Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis menghasilkan suatu kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumber-sumber data tersebut. Member check dilakukan dengan diskusi informan . Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengecek kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik yang digunakan dapat berupa wawancara atau pengamatan. Realibilitas pada penelitian kualitatif, disebut dependabilitas. Suatu penelitian dikatakan dependable bila dapat mengulang/mereplikasi proses penelitian tersebut (Sugiyono 2008). Uji dependabilitas dilakukan dengan mengaudit terhadap keseluruhan proses penelitian. Sebagai contoh, dalam penelitian ini untuk menguji kredibilitas data mengenai perubahan perilaku pasien maka pengumpulan data dan pengujian data yang diperoleh dilakukan kepada kader komunitas, PMO dan pasien. Data dari ke
38 tiga informan tersebut, tidak dirata-ratakan seperti pada penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan tiga sumber data tersebut.
Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sejak pengumpulan data dimulai dari sebelum data benar-benar terkumpul sampai penulisan laporan penelitian. Data yang diperoleh melalui kajian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Model analisis interaktif meliputi tiga jalur, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman 1992). 1. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan lapang. Proses mereduksi data dilakukan sejak pengambilan data di lapangan sampai pada proses penulisan. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk uraian singkat maupun menggolongkannya dalam bentuk yang lebih luas. 2. Penyajian Data Penyajian data merupakan sekelompok informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan juga mencakup verifikasi atas kesimpulan. Kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penulisan, (2) tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, (3) peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat untuk mengembangkan “kesepakatan intersubyektif”, dan (4) upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Data selanjutnya disunting, untuk menentukan kelengkapan data dan keabsahan data. Keabsahan data dicek ulang dengan membandingkan antar data.Seluruh data primer dan sekunder ditelaah. Pada analisis untuk suatu topik masalah menghimpun fakta-fakta menurut unit analisis. Baru kemudian data-data dalam unit analisis yang sama dipisah lagi menurut konsep-konsep penting yang dijadikan dasar untuk menyederhanakan gambaran/himpunan. Penelitian ditujukan untuk menganalisis advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam penanggulangan TB pada Community TB Care „Aisyiyah termasuk moda komunikasi partisipatori serta perubahan perilaku pasien TB berdasarkan Health Belief Model (HBM). Ketiga kegiatan analisis tersebut merupakan proses siklus dan interaktif. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan, dapat dilihat pada Gambar 4.
39 Pengumpulan Data
Reduksi Data
Gambar 4 Proses analisis data
Penyajian Data
Verifikasi
40
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil ‘Aisyiyah
Gerakan ‘Aisyiyah „Aisyiyah adalah organisasi perempuan Muslim yang peduli terhadap isu-isu sosial dan keagamaan yang didirikan pada tanggal 19 Mei 1917. Aisyiyah merupakan organisasi otonom dari Muhammadiyah, sebagai sarana bagi perempuan Muhammadiyah untuk berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang sesuai dengan ajaran Islam. Visi dari „Aisyiyah adalah tercapainya usaha-usaha Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan salah satu misi Aisyiyah adalah “Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang social, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup” Misi ini ditangani oleh Majelis Kesehatan yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan di Aisyiyah. Hingga saat ini Aisyiyah memiliki anggota kurang lebih sebanyak 27 juta orang di seluruh dunia, dengan organisasi yang terdiri dari 33 Pimpinan Wilayah (setingkat Provinsi), 370 Pimpinan Daerah (setingkat kabupaten kota), 2332 Pimpinan Cabang di 6108 kecamatan dan 6924 Pimpinan Ranting yang tersebar di 72.000 desa di seluruh Indonesia. Selain itu, Aisyiyah juga memiliki Pimpinan Daerah Khusus di luar negeri, yaitu di Kairo, Belanda dan Singapura. Sesuai dengan visi dan misinya, Aisyiyah bergerak di berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan „Aisyiyah memiliki Taman Kanak-kanak dan Akademi Kebidanan. Dalam bidang Kesehatan „Aisyiyah memiliki 24 Rumah Sakit, 164 Rumah Sakit Ibu dan anak, dan 57 Balai Pengobatan.„Aisyiyah juga bergerak dalam program Pemberdayaan masyarakat untuk Kesehatan seperti Kesehatan Ibu dan Anak, Imunisasi, Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Lingkungan, HIV dan AIDS. Ada juga kegiatan dari Majelis lainnya, seperti Kesejahteraan sosial (anak asuh, rumah singgah untuk anak jalanan, dan panti asuhan) dan di bidang Ekonomi mikro (simpan-pinjam, dan Usaha Kecil). Dari banyaknya kegiatan yang dilakukan Aisyiyah, kegiatan inti Aisyiyah yang rutin dilakukan adalah pengajian dua-minggguan untuk perempuan yang dilaksanakan oleh 8.000 kader di 2.332 cabang di seluruh Indonesia dan kemudian menjadi spirit utama dalam pergerakan Aisyiyah. Community TB Care ‘Aisyiyah ‘Aisyiyah mulai berkiprah di bidang pengendalian Tuberkulosis (TB) dengan bantuan The Global Fund (GFATM) dengan menjadi Sub Recipient (SR) atau penerima dana sekunder dari Principle Recipient Kementerian Kesehatan sebagai penerima dana utama di ronde 1 dan ronde 5 selama kurun waktu 2001-2008. Program ini dilaksanakan di 4 provinsi wilayah „Aisyiyah dan melibatkan 20 rumah sakit milik „Aisyiyah dan Muhammadiyah dalam program Pengendalian TB.
41 Kegiatan ronde 1 antara lain advokasi kepada kebijakan di pimpinan Muhammadiyah-„Aisyiyah; Advokasi terhadap pihak-pihak terkait dalam program untuk mengendalikan TB. Workshop pengembangan jaringan kerja dan strategi dalam mengimplementasikan untuk unit pelayanan TB-DOTS, Pelatihan dengan strategi DOTS untuk Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Dan pelatihan penanggulangan TB untuk masyarakat serta kegiatan mobilisasi sosial di komunitas. Pada Ronde 5, kegiatan-kegiatan di ‘Aisyiyah menjadi lebih spesifik dengan adanya inisiatif untuk memperluas jejaring advokasi melalui pelatihan kader untuk memperkuat kader-kader ‘Aisyiyah-Muhammadiyah sebagai organisasi berbasis agama, melalui pelatihan kader komunitas dan tokoh agama tentang pengendalian penyakit TB. Disamping hal tersebut, kegiatan pada ronde 5 diperluas dengan memperkenalkan TB DOTS lebih awal kepada beberapa perguruan tinggi di lingkungan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, khususnya Fakultas Kedokteran dan Akademi Kebidanan. Kerja keras dalam dua Ronde (1 dan 5) ini akhirnya membawa ‘Aisyiyah dipilih oleh The Global Fund pada tahun 2009 untuk menjadi Principle Recipient (PR) yakni Penanggung Jawab Utama penerima dana mewakili kelompok masyarakat madani (civil society) Indonesia yang menjalankan program pengendalian TB Ronde 8, dengan berfokus pada kegiatan di tingkat komunitas, melalui program “Community TB Care‘Aisyiyah “ Menurut Advocacy Communication and Social Mobilisation (ACSM) Specialist PR TB „Aisyiyah, Ara, dengan menjadi pengelola langsung atau Principle Recipientdalam program tersebut, menandakan pengakuan terhadap kapasitas dari „Aisyiyah dalam mengelola program berskala nasional dalam pengendalian TB. „Aisyiyah berhasil menggerakkan komunitas dengan banyaknya kader komunitas, rumah sakit dan klinik serta tenaga kesehatan yang telah terlibat dalam penanggulangan TB. Sebagai penerima dana utama, ‘Aisyiyah bertanggung jawab untuk mengkordinir 23 penerima dana sekunder (SR) yang melibatkan 13 pimpinan wilayah (50% dari total provinsi), 34 kabupaten (85) dan kurang dari 250 kecamatan (4%). Hingga tahun 2012 kegiatan ini sudah dikembangkan di 18 provinsi dan 45 kabupaten. Kunci dari perubahan strategi program ronde 8 adalah mengubah fokus dan strategi program dari masyarakat sebagai “Obyek” menjadi Subyek, dengan ‘Aisyiyah sebagai katalis dan program TB nasional/pelayanan kesahatan menjadi dukungan teknis untuk mencapai program penanggulangan TB yang berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Memiliki visi menjadi penggerak terwujudnya infrastruktur kesehatan nonpemerintah dan dinamika kelompok sosial yang mampu secara mandiri menanggulangi masalah Tuberculosis di Indonesia, Community TB Care „Aisyiyah memiliki misi antara lain: 1. Melaksanakan dakwah bil hilal dengan mewujudkan masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat serta memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bermutu 2. Menggerakkan terwujudnya infrastruktur kesehatan non-pemerintah dan dinamika sosial yang berkesinambungan
42 3. Menggerakkan masyarakat untuk peduli menanggulangi penyakit TB di keluarga dan komunitasnya 4. Menggalang seluruh komponen masyarakat untuk berupaya menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB 5. Mengurangi dampak sosial psikologis dan ekonomi akibat penyakit TB Dalam melaksanakan konsep program penanggulangan TB tersebut, Community TB Care ini menekankan peran serta masyarakat dalam menyuluh, menemukan suspek dan mendampingi pengobatan Pasien TB dengan strategi DOTS.Selain itu juga meningkatkan peran serta UPK Non-Pemerintah dalam pelayanan, penyuluhan dan pengobatan pasien TB dengan strategi DOTS. Prioritas dalam menjalankan program penanggulangan TB tersebut, antara lain adalah 1. Melatih dan meningkatkan peran kader komunitas TB. 2. Meningkatkan kapasitas lembaga dan tenaga kesehatan 3. Pelibatan tokoh agama 4. Penunjukkan pengawas minum obat (PMO) bagi pasien TB positif 5. Peningkatan kualitas komponen civil society 6. Pendirian kelompok masyarakat peduli TB (KMP TB) Sampai April 2012 jangkauan wilayah kerja Community TB Care „Aisyiyah mencakup Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Sementara mitra civil society dalam pelaksanaan program tersebut antara lain Yarsi, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), Perdhaki, Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) dan Kelompok Masyarakat Peduli (KMP) Sidobinangun. Strategi Khusus Dalam Ronde 8 adalah: (1) Reaching the Unreached, yaitu memperluas jangkauan untuk mencakup kelompok resiko dan lebih banyak lagi pasien. (2) Meningkatkan akses dan jaringan kepada Rumah Sakit NonPemerintah melalui keterlibatan mereka secara formal dalam pelayanan pasien TB dengan pola DOTS. (3) Pemantauan langsung kepada pasien sampai dengan tahap kesembuhan. (4) Memperkuat hubungan antara Community Volunteer (kader komunitas) dan tokoh agama serta tokoh masyarakat lainnya (5) Meningkatkan mutu dan fokus pada upaya-upaya komunikasi (6) Merintis, membina dan mengembangkan kelompok-kelompok masyarakat peduli TB Aktivitas Di Ronde 8 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada Ronde 8 ini antara lain pertama pemfokuskan advokasi pada para pembuat kebijakan yakni program advokasi anggaran kepada pemerintah daerah; pertemuan rutin dengan pembuat kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; Advokasi kepada direktur rumah sakit; mendukung terciptanya jaringan kerja antara Aisyiyah, Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dan Pemerintah. Kedua workshop untuk strategi program yaitu tinjauan tahunan untuk staf program; tinjauan pada manajemen DOTS di tingkat UPK; pertemuan evaluasi nasional. Selanjutnya adalah peningkatan mutu pelatihan yaitu penyempurnaan pedoman pelatihan melalui Step by step Guides (panduan langkah-langkah
43 pelatihan) dan “Program praktis Penggunaan Materi Komunikasi”; Pelatihan khusus dan supervisi untuk tenaga kesehatan dan analisis laboratorium; Pelatihan untuk tokoh agama; Pelatihan dan supervisi untuk kader komunitas dan PMO (Pengawas Minum Obat); Pelatihan dan supervisi untuk staf program. Keempat adalah perluasan kegiatan di komunitas meliputi bimbingan dan motivasi oleh kader melalui pengajian rutin atau forum lainnya; Penemuan dan pelaporan kasus TB oleh kader komunitas; pemantauan pasien oleh PMO; Pertemuan bulanan dengan kader komunitas; Pertemuan triwulanan dengan tokoh agama; Reward untuk kader (buku panduan kader/agenda, kalender, hadiah untuk kader terbaik, leaflet, poster, dll); dukungan untuk pembentukan kelompok-kelompok peduli TB. Kelima, adalah fokus pada media dan public events (kegiatan mobilisasi masyarakat) yakni Talkshow di Radio dan TV setiap dua bulan; Leaflet dan poster yang difokuskan pada 6 kelompok sasaran dicetak setiap tahun; Peringatan hari TB dan hari-hari penting lain yang terkait; Materi Komunikasi untuk khutbah jumat; Penyuluhan untuk kelompok sasaran; Partisipasi dalam pameran atau expo tiga kali per tahun; Menyelenggarakan event bersama dengan organisasi atau sektor swasta terkait. Keenam yaitu pengembangan material komunikasi sesuai kelompok sasaran yaitu Materi program untuk kader komunitas, tokoh agama/masyarakat, tenaga kesehatan dan staf program; materi untuk komunitas yang lebih besar (poster, baliho, jingle, acara, tv/radio, striker, leaflet, gimmicks); Material untuk kelompok khusus (pembuat kebijakan, jurnalis, siswa, guru, kelompok-kelompok bisnis/pribadi. Aktifitas ronde 8 terakhir adalah penyempurnaan manajemen program (Monitoring dan Evaluasi) Pencatatan dan pelaporan bulanan mengenai Analisa laporan kegiatan khususnya pelatihan dan komunikasi; Pemantauan hasil program (keaktifan kader, jumlah suspek, jumlah pasien TB atau BTA positif); Pemantauan manajemen keuangan (perencanaan dan pemanfaatan); laporan program (ketepatan waktu, kelengkapan, kesesuaian dengan pedoman dan keabsahan/validitas); Supervisi lapangan yang terfokus pada persoalan yang ditemui; Refreshing untuk staf program dalam hal pelaporan dan supervisi. Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat Komunitas Peduli TB Jakarta Barat atau yang biasa disebut dengan KPT Jakarta Barat adalah salah satu hasil dari rintisan dan binaan Community TB Care „Aisyiyah. Terletak di wilayah Grogol, komunitas ini terbentuk diawali dengan modal sebesar Rp 1.500.000,00 berasal dari infaq sejumlah orang yang berada di kantor pusat Community TB Care „Aisyiyah pada Ramadhan 2010. Dana tersebut diserahkan pada Ibu Nafisah selaku wakil yang ditunjuk oleh Sub Recipient (SR) DKI Jakarta. Kemudian dibuatlah persiapan pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli (KMP) TB dengan narasumber dari SR tanggal 29 September 2010 dan dihasilkan susunan kepengurusan KPT Jakarta Barat antara lain: Ketua, Wk. Ketua, Sekretaris, Wk. Sekretaris, Bendahara dan Anggota. Dalam kegiatan persiapan (preparing) tersebut dirumuskan tujuan pendirian KPT Jakarta Barat adalah membantu angka kesakitan TB di wilayah Jakarta Barat. Sementara tujuan khusus pendirian KPT Jakarta Barat ini antara lain: 1. Sebagai wadah komunikasi antara mantan penderita maupun penderita TB untuk tetap berobat sampai sembuh
44 2. Mengupayakan peningkatan taraf hidup penderita atau mantan penderita TB sehingga mereka dapat mandiri dengan berkerjasama dengan berbagai pihak. Adanya KPT Jakarta Barat ini diharapkan dapat membantu para penderita atau mantan penderita TB yang sebagian besar berstatus masyarakat miskin dapat hidup mandiri salah satunya adalah pemberian modal usaha. Sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan dari bantuan yang diberikan KPT. Seperti yang dituturkan Ketua KPT, Vin bahwa penderita yang tidak bekerja akan diberikan bantuan modal usaha. Selain mereka memperoleh kesembuhan juga dapat ditopang faktor ekonominya. Hal ini diungkapkan Ketua KPT Jakarta dalam kutipan berikut. “KPT itu memiliki cita-cita ingin mencerahkan ekonomi pasien. Pasien yang miskin setelah sembuh diberi modal untuk dagang, jadi paling ga mereka bisa punya pendapatan baru dari usahanya. Kalau sudah punya pendapatan kan hidup bisa lebih baik, misal untuk beli nutrisi jadi ada. Ini menurut saya pemberdayaan. Ya karena dana terbatas baru 1 atau 2 orang yang sudah pernah diberikan modal...”
Peresmian KPT Jakarta Barat dilakukan pada tanggal 20 Desember 2010 di halaman parkir RS Ibnu Sina, Grogol Jakarta Barat bersamaan dengan kegiatan Gentengisasi di Kota Administrasi Jakarta Barat. Acara launching dihadiri oleh perwakilan Principle Recipient (PR), Pimpinan Wilayah „Aisyiyah DKI Jakarta, dan Pimpinan Daerah „Aisyiyah Jakarta Barat. Berdasarkan hasil rapat pengurus, dan dirumuskan dalam draft Program Kerja, KPT didirikan bertujuan untuk membantu mengurangi dan mencegah penyakit TB di masyarakat Jakarta Barat dengan aplikasinya melalui programprogram sebagai berikut: baksos pemberian pangan bergizi kepada penderita TB, baksos layanan kesehatan gratis penyakit umum, penyuluhan dan kampanye TB di tingkat grassroot (kelurahan, RW dan RT) KPT Jakarta Barat merupakan salah satu Kelompok Masyarakat Peduli TB bentukan Community TB Care „Aisyiyah yang dijadikan contoh karena KPT Jakarta Barat merupakan komunitas yang dapat mengelola sumber dana sendiri dalam mendukung setiap program dan kegiatannnya. Sumber dana KPT Jakarta Barat antara lain berasal dari: instansi pemerintah (walikota, camat, lurah, puskesmas, dsb); instansi swasta (industri konveksi, toko sembako, IBI, dll); pengurus (pengurus KPT, ketua, wkl ketua, sekretaris, dll); donatur (tokoh masyarakat, agama, anggota dewan dan dermawan). Orang-orang atau peserta yang tergabung dalam KPT Jakarta Barat ini antara lain adalah: 1. Kader Kader komunitas yakni orang yang terpilih dan terlatih oleh SSR Community TB Care „Aisyiyah memiliki tugas antara lain (1) Memberikan penyuluhan TB kepada individu, keluarga dan masyarakat. (2) Menemukan orang yang diduga TB/suspek sejak dini. (3)Membawa suspek TB ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) pemerintah atau swasta yang sudah DOTS. (4) Memantau pengobatan pasien TB agar mendapatkan pengobatan sesuai dengan saran petugas kesehatan. (5) Melakukan pendampingan dan pembinaan Pengawas Menelan Obat (PMO). (6) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan pasien TB.
45 2. Tokoh Agama Tokoh agama adalah orang yang terkemuka dan kenamaan di bidang keagamaan serta memiliki masa atau jamaah. Tokoh agama ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat. 3. Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat adalah seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya akibat dari pengaruh, posisi, kemampuannya atau karena kedudukan dan jabatannya di lembaga pemerintah, misal ketua RT/RW, kepala desa/ lurah dsb. 4. Pengawas Menelan Obat (PMO) Pengawas menelan obat (PMO) adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi pasien ketika menelan obat.Biasanya adalah orang yang terdekat dan lebih baik tinggal satu rumah dengan pasien. Di Community TB Care „Aisyiyah, istilah PMO ditekankan pada makna pengawas menelan obat bukan minum obat. Sebab bila minum obat belum tentu ditelan atau obat masuk ke tubuh pasien. 5. Pasien Pasien yang bergabung di KPT adalah orang yang terkena TB dan sedang melakukan pengobatan TB.Sedangkan mantan pasien adalah orang yang pernah terkena TB atau sudah sembuh dan ketika pengobatan berada dalam pengawasan kader komunitas. Tidak sedikit warga Kelurahan Kalianyar yang bergabung dengan KPT Jakarta Barat baik sebagai kader, tokoh agama, PMO, pasien TB ataupun mantan pasien TB. Untuk kader berdasarkan data yang ada di KPT Jakarta Barat pada Juni 2012 tercatat sebanyak 10 orang kader berasal dari kelurahan ini. Menurut Ketua KPT, adanya kader komunitas di KPT sangat membantu penyembuhan pasien TB. Terbukti meski baru terbentuk pasien yang berada dalam pengawasan KPT Jakarta Barat banyak yang melakukan pengobatan sampai selesai dan dinyatakan sembuh. Menurut Vin, kader biasanya terus mendampingi dan mengawasi pasien dimulai ketika pasien dinyatakan positif TB dan harus melakukan pengobatan minimal 6 bulan. Keberhasilan kader dalam memotivasi pengobatan pasien terllihat dari kutipan berikut ini. “Kader sangat membantu kesembuhan pasien. Sejak ada KPT Jakbar ini banyak pasien yang ditangani KPT sembuh. Ini hasil kerja kader yang rajin dan terus mendampingi pasien. Pasien jadi kepantau dan terus diingatkan untuk berobat. Jadi yang tadinya ga mau berobat karena terus menerus didampingi kader ya mereka mau berobat sampe sembuh. Ada sih yang gagal tapi biasanya yang gagal ini pasiennya pindah dan gak lapor...”
Ikhtisar „Aisyiyah merupakan organisasi masyarakat otonom dari Muhammadiyah, sebagai sarana bagi perempuan Muhammadiyah untuk berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang sesuai dengan ajaran Islam. Hampir di setiap cabang Muhammadiyah terdapat pula „Aisyiyah. Keberadaan „Aisyiyah dirasakan masyarakat sekitar dengan adanya majelis-majelis ta‟lim untuk
46 perempuan, pendidikan untuk anak usia dini seperti PAUD atau Radhatul Anfal (Taman Kanak-Kanak). „Aisyiyah memiliki visi yakni tercapainya usaha-usaha Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Salah satu misi „Aisyiyah adalah meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup.Misi ini ditangani oleh Majelis Kesehatan yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan di Aisyiyah. Dengan misi meningkatkan bidang kesehatan, „Aisyiyah concern terhadap upayaupaya peningkatan kesehatan masyarakat dengan memiliki Unit pelayanan kesehatan dan aktif ikut dalam penanganan kesehatan masyarakat seperti kesehatan ibu dan anak, kampanye ASI, penanggulangan TB dan AIDS-HIV. Khusus untuk TB sejak tahun 2001 sampai 2008 „Aisyiyah menjadi Sub Recipient (SR) atau penerima dana sekunder dari Principle Recipient Kementrian Kesehatan sebagai penerima dana utama dari Global Fund untuk pengendalian TB di Indonesia. Kegiatan „Aisyiyah dalam pengendalian TB ini dikenal dengan ronde 1 dan 5. Kegiatan yang dilakukan antara lain advokasi kepada kebijakan di pimpinan Muhammadiyah-„Aisyiyah dan terhadap pihak-pihak terkait dalam program untuk mengendalikan TB. „Aisyiyah juga aktif melakukan workshop pengembangan jaringan kerja dan strategi dalam mengimplementasikan untuk unit pelayanan TB-DOTS, Pelatihan dengan strategi DOTS untuk Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Serta mengadakan pelatihan penanggulangan TB untuk masyarakat dan kegiatan mobilisasi sosial di komunitas. Kerja keras dalam dua ronde ini akhirnya membawa ‘Aisyiyah mendapat pengakuan terhadap kapasitas „Aisyiyah sebagai pengelola program berskala nasional dalam pengendalian TB. „Aisyiyah berhasil menggerakkan komunitas dengan banyaknya kader komunitas, rumah sakit dan klinik serta tenaga kesehatan yang telah terlibat dalam penanggulangan TB. Akhirnya „Aisyiyah terpilih oleh The Global Fund pada tahun 2009 untuk menjadi Principle Recipient (PR) yakni Penanggung Jawab Utama penerima dana mewakili kelompok masyarakat madani (civil society) Indonesia yang menjalankan program pengendalian TB Ronde 8, dengan berfokus pada kegiatan di tingkat komunitas, melalui program “Community TB Care ‘Aisyiyah “ . Salah satu kegiatan dalam ronde 8 ini adalah perluasan kegiatan di komunitas antara lain pembentukan kelompok-kelompok peduli TB. Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat yang terletak di Grogol Jakarta Barat adalah salah satu kelompok peduli TB hasil rintisan dan binaan Community TB Care „Aisyiyah. KPT Jakarta Barat didirikan bertujuan membantu mengurangi dan mencegah penyakit TB di masyarakat Jakarta Barat. Kegiatan KPT Jakarta Jakarta Barat antara lain melakukan penyuluhan dan kampanye TB di tingkat grassroot dan melakukan pendampingan pasien TB. Salah satu kegiatan KPT Jakarta Barat yakni melakukan pendampingan pasien TB. Hasil penelitian menunjukkan adanya pendekatan yang dilakukan KPT Jakarta Barat melalui kader komunitas mendorong perubahan perilaku terutama dalam meningkatkan kepatuhan pasien untuk menyelesaikan pengobatan TB. Hal ini sama dengan hasil penelitian Demissie et al. (2003) yang menyatakan pendekatan klub TB memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan
47 kepatuhan pasien terhadap pengobatan anti-TB dan dalam membangun sikap positif dan praktek di masyarakat mengenai TB. Penelitian ini, dengan demikian, memberikan meyakinkan bukti bahwa Pendekatan klub TB berguna dalam memberikan pengobatan TB dengan sukses di masyarakat pedesaan.
Letak Geografis, Administrasi dan Demografis Kelurahan Kalianyar Secara administratif Kelurahan Kalianyar merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Luas kelurahan sebesar 31,8 hektar ini terletak pada 6°9′20.30″ Lintang Selatan dan 106°48′0.78″ Bujur Timur. Wilayah Kalianyar terbagi atas 9 RW dan 101 RT dengan total jumlah penduduk mencapai 30.932 jiwa dengan tingkat kepadatan sebesar 77.456 jiwa/km2. Berdasarkan Data Statistik 2010, jumlah tempat tinggal permanen 2.026, semi permanen 2.887 dan sementara 153 buah, hingga September 2012, jumlah RTM (Rumah Tangga Miskin) yang menerima beras raskin di Kelurahan Kalianyar sebanyak479 RTM dengan jumlah beras 7.185 Kg. Batas-batas wilayah kelurahan Kalianyar terdiri: - Sebelah utara, berbatasan dengan Kelurahan Jembatan Besi - Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Grogol - Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pulo - Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Duri Utara Pendapatan per kapita penduduk termasuk rendah. Tercatat ada 1.010 rumah tangga dengan total 3.030 orang yang bergantung pada sektor perdagangan. Jumlah rumah tangga buruh sebanyak 867 keluarga dengan 1.734 anggota. Jumlah pendapatan perkapita dari sektor tersebut untuk setiap rumah tangga adalah Rp 760.000. Jumlah sektor usaha warga Kalianyar dapat terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah sektor usaha di Kalianyar Jasa dan Perdagangan Jumlah Jumlah rumah tangga 1010 keluarga Jumlah total anggota rumah tangga Jumlah rumah tangga buruh Jumlah anggota rumah tangga Jumlah pendapatan perkapita dari sektor tersebut untuk setiap rumah tangga Sumber: Data kelurahan Kalianyar tahun 2012
3030 orang 867 keluarga 1734 orang Rp 760.000,00
Untuk tingkat pendidikan sebagian besar penduduk mengikuti pendidikan pada tingkat SMP dengan jumlah sebanyak 9.590 orang. Gedung pendidikan ada mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga SLTA. Banyaknya gedung pendidikan ini bisa lihat lebih rinci pada Tabel 4.
48 Tabel 4 Gedung Pendidikan yang ada di wilayah Kalianyar Tingkat Pendidikan Jumlah Paud 3 TK 3 SDN 2 SD Swasta 3 MI 2 SMP 3 3 SMK 1 Sumber: Data keluarahan Kalianyar tahun 2012
buah buah buah buah buah buah buah
Berdasarkan agama yang dianut di wilayah ini adalah sebagai berikut: Islam : 22.711 orang Katolik : 881 orang Protestan : 122 orang Hindu : 12 orang Buddha : 1.058 orang Terkait dengan sarana ibadah, saat ini di Kelurahan Kalianyar terdapat 10 masjid, 18 madrasah dan 1 gereja. -
Keberadaan ‘Aisyiyah dan Akses Kesehatan di Kalianyar Keberadaan „Aisyiyah di Kalianyar seiring dengan adanya beberapa Ranting Muhammadiyah. Biasanya „Aisyiyah mengadakan ta‟lim atau pengajian ibu-ibu. Di wilayah ini ada masjid yang dikelola warga Muhammadiyah yakni Masjid Al Huda dan At Toyibah. Kader „Aisyiyah selain dikenal sebagai tokoh agama, tidak sedikit dari mereka yang ikut mengajar keagamaan untuk warga sekitar, seperti guru mengaji atau penceramah untuk pengajian-pengajian yang diadakan di wilayah Kalianyar. Sebelum ada Community TB Care, kader „Aisyiyah memang sudah dikenal sebagai orang yang aktif dan peduli terhadap kesehatan lingkungan sekitar. Mereka juga aktif di PKK kelurahan. Bila ada sosialisasi mengenai kesehatan untuk warga sekitar mereka ikut aktif mendukung dan menyampaikannya. Kelurahan Kalianyar merupakan salah satu wilayah yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah karena di kelurahan ini merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk dimana kondisi bangunan tempat tinggal jauh dari layak. Hampir setiap rumah ditempati oleh lima orang kepala keluarga. Sarana dan prasarana kesehatan minim serta kurangnya sanitasi kesehatan warga seperti rumah yang tidak terkena cahaya matahari atau tidak adanya WC atau jamban. Dari 4.000 unit rumah yang diperkirakan terdapat di kelurahan itu, 2.000 diantaranya hingga saat ini belum dilengkapi sarana MCK. Selama ini, warga kerap memanfaatkan keberadaan MCK tersebut hingga membuat kawasan itu menjadi terlihat kotor, kumuh dan terkesan semrawut. Untuk layanan kesehatan masyarakat di wilayah Kalianyar ini terdapat satu puskesmas yang letaknya di sebelah kantor kelurahan. Pusat layanan kesehatan ini setiap harinya dipadati pengunjung yang ingin berobat. Padatnya pengunjung juga
49 diperparah dengan pelayanan petugas kesehatan. Jam pelayanan yang harusnya tutup jam 15.00 namun ketika peneliti berkunjung pun pukul 14.00 sudah tidak terlihat warga yang mengantre. Menurut warga biasanya pendaftaran sudah ditutup jam 12.00. Bagi yang datang lebih dari jam 12.00 diminta untuk datang esok harinya. Layanan kesehatan lain yang ada di wilayah Kalianyar adalah praktek dokter atau klinik 24 jam. Namun warga jarang memanfaatkan layanan ini karena dianggap mahal. Kecuali kondisi pasien yang memang perlu penanganan cepat. Seperti diungkapkan Znb bahwa selain puskesmas ada klinik kesehatan swasta lainnya di wilayah Kalianyar. Tapi warga miskin jarang berobat kesana karena dianggap mahal. Ada pula klinik sinshe namun biasanya klinik ini dikunjungi oleh warga Kalianyar keturunan Cina. Mahalnya klinik swasta tersebut diungkapkan Znb pada kutipan di bawah ini. “Orang-orang disini kalau berobat ya banyaknya ke puskesmas. Klinik pengobatan swasta sih ada tapi warga jarang kesana karena mahal. Obat sama dokter minimal 50 ribu. Kalau di puskesmas kan gratis. Kecuali kalau memang tiba-tiba sakit parah atau sakitnya malam-malam baru dibawa ke klinik 24 jam. Klinik sinshe sih banyak juga tapi yang kesana kan yang orang-orang Cina..”
Keadaan semakin ditambah parah dengan minimnya pendapatan yang diperoleh penduduknya yakni rata-rata Rp 700.000 per kepala keluarga. Karena itu Kelurahan Kalianyar mendapat sebutan Kumis Tebal yakni Kumuh Miskin dan terbelakang. Dengan kondisi seperti itu menjadikan wilayah ini rentan terhadap berbagai penyakit salah satunya adalah TB. Dari catatan di Puskemas Kalianyar, sampai bulan Oktober 2012 tercatat sebanyak 60 pasien TB. Itu yang tercatat resmi dan melakukan pengobatan di puskesmas. Belum lagi warga yang tidak melaporkan atau tidak berobat di puskesmas atau berobat di UPK lainnya. Khusus untuk pengobatan TB Puskesmas memberi jadwal pelayanan setiap hari Senin dan Kamis. Untuk penanggulangan TB Puskesmas Kalianyar mendukung program pemerintah dengan membebaskan biaya pengobatan. Seperti yang dituturkan petugas puskesmas Ber bahwa pemerintah memberikan anggaran khusus untuk pengobatan TB dengan memberikan obat TB gratis bagi pasiennya. Bagi pasien yang baru divonis TB puskesmas memberikan pengetahuan tentang TB baik mengenai penulaan TB dan penyembuhan TB. Namun edukasi mengenai TB dari puskesmas dinilai tidak bisa sampai ke seluruh warga Kalianyar. Hal ini dikarenakan terbatasnya SDM Puskesmas Kalianyar. Seperti dituturkan Ber, edukasi dan informasi baru diberikan kepada warga yang memang sudah dinyatakan positif TB. Namun untuk pemantauan pasien biasanya Ber pun menghubungi kader „Aisyiyah. Berikut kutipan petugas kesehatan puskesmas mengenai pemantauan pasien. “Kalau untuk datangi pasien kita ga bisa ya. Tapi kita biasanya kerjasama dengan kader PKK atau yang lebih sering ya kader „Aisyiyah. Nanti kader „Aisyiyah yang memantau pasien terutama jadwal ambil obat atau kontrol...”
Kawasan Kalianyar berdasarkan survey UNDP tahun 2008 adalah salah satu kawasan terpadat di Asia Tenggara. Hampir 70% bangunan dipergunakan untuk home industry, konveksi dan percetakan. Keberadaan ratusan home industry tersebut yang mempengaruhi kepadatan di kawasan ini karena pendatang dari
50 berbagai daerah berdatangan. Di kelurahan ini, banyak terdapat rumah di gang sempit yang hanya bisa dilewati satu orang saja. Umumnya rumah warga beratapkan seng dengan dinding triplek dan saling berhadap-hadapan. Jarak antara satu rumah dengan rumah di depannya hanya satu langkah saja. Saking rapatnya pemukiman di kawasan ini, sinar matahari pun tidak dapat menembus rumahrumah warga. Dengan kondisi demikian, warga rentan terkena penyakit karena tempat tinggal mereka yang lembab dan tidak memiliki sirkulasi udara yang baik. Ada beberapa alasan warga masih bertahan di wilayah kumuh tersebut. Pertama memang sudah turun menurun tinggal di wilayah Kalianyar sehingga untuk pindah ke tempat yang baru mereka takut menemui beberapa kesulitan seperti mencari sekolah atau jsauh dengan tempat bekerja. Alasan kedua adalah bagi pendatang mereka terpaksa berada di wilayah ini karena lokasi perkerjaan mereka yang berada di kawasan Kalianyaryang rata-rata bekerja di home industri dan garmen.
Ikhtisar Kelurahan Kalianyar adalah kawasan padat penduduk yang termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Berdasarkan survey UNDP tahun 2008 kelurahan ini merupakan salah satu kawasan terpadat di Asia Tenggara. Hampir 70 persen bangunan dipergunakan untuk home industry, konveksi dan percetakan. Keadaan semakin ditambah parah dengan minimnya pendapatan yang diperoleh penduduknya yakni rata-rata Rp 700.000 per kepala keluarga. Hal ini menjadikan wilayah Kalianyar dikenal dengan istilah „Si Kumis Tebal‟ yakni kumuh, miskin dan terbelakang Kepadatan penduduk di wilayah ini mempengaruhi kondisi sanitasi kesehatan seperti rumah yang tidak terkena cahaya matahari atau tidak adanya WC. Kondisi seperti itu mengakibatkan wilayah Kalianyar rentan dengan berbagai penyakit salah satunya TB. Seperti yang tercatat di puskesmas Kalianyar sampai bulan Oktober 2012 tercatat sebanyak 60 pasien TB. Itu yang tercatat resmi dan melakukan pengobatan di puskesmas. Belum lagi warga yang tidak melaporkan atau tidak berobat di puskesmas atau berobat di unit pelayanan kesehatan (UPK) lainnya. Tidak melapornya atau keengganan warga sakit untuk berobat disebabkan minimnya UPK yang tersedia di wilayah ini. UPK pemerintah yakni puskesmas yang ada dikatakan informan kurang memuaskan pelayanannya. Cepat ditutupnya pelayanan di loket pendaftaran yang tidak sesuai dengan jadwal yang tertera mengakibatkan penumpukkan warga yang ingin berobat. Sehingga banyak warga yang enggan berobat di puskesmas. Informan menjelaskan minat berobat di puskesmas dilakukan karena faktor keterpaksaan mengingat biaya pengobatan di puskesmas murah. Sementara untuk ke UPK non pemerintah selain jarak yang cukup jauh dengan lokasi juga dianggap mahal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan, jarak UPK dengan tempat tinggal warga serta tarif pengobatan mempengaruhi minat berobat warga. Beberapa informan menyebutkan jarak puskesmas yang dianggap dekat dengan tempat tinggal serta murahnya biaya menjadi pilihan untuk berobat di
51 puskesmas. Bagi informan lainnya pelayanan yang buruk di puskesmas mendorong informan untuk berobat di UPK non pemerintah. Hasil penelitian sama seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Hermawan et al. (2011) yakni ada hubungan antara faktor pelayanan kesehatan, faktor tarif, faktor pengalaman penyembuhan, faktor motivasi dan faktor jarak dengan pasien yang ingin berobat ke Puskesmas Buayan. Keberadaan „Aisyiyah di Kalianyar ditandai dengan adanya masjid-masjid milik Muhammadiyah dan pengajian „Aisyiyah. Keaktifan kader „Aisyiyah yang concern terhadap upaya peningkatan kesehatan menjadikan kader peduli dan tanggap terhadap kondisi kesehatan warga sekitar. Adanya Community Care TB „Aisyiyah mendorong kader segera memberi informasi mengenai kondisi kesehatan di Kalianyar. Hal ini menjadikan wilayah kumuh ini sebagai sasaran program penanggulangan TB dari Community TB Care „Aisyiyah.
Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial serta Moda Komunikasi Partisipatori Kegiatan advokasi dalam penanggulangan TB oleh KPT Jakarta Barat antara lain adalah meminta komitmen kebijakan dan dukungan kerjasama dengan pemerintah kota Jakarta Barat dan Kecamatan Tambora. Advokasi yang dilakukan oleh Walikota Jakarta Barat antara lain menghadiri acara baksos yang digelar KPT Jakarta Barat seperti bakti sosial dan pengobatan gratis di lima kelurahan yakni Tambora, Cengkareng, Kalianyar, Kalideres dan Taman Sari. Pada acara tersebut Walikota Jakarta Barat memberikan sambutan kepada warga dan pengurus KPT Jakarta Barat sekaligus mensosialisasikan KPT Jakbar dalam rangka penanggulangan TB. Terjadilah monolog yang disampaikan walikota Jakarta Barat yakni berupa informasi mengenai bahaya TB dan meminta dukungan dari seluruh masyarakat yang hadir pada acara baksos tersebut untuk bersama-sama aktif menanggulangi TB di wilayah Jakarta Barat. Menurut Ketua KPT Jakarta Barat, Walikota menerima dengan baik proposal program KPT Jakarta Barat dan memberi dukungan moral dan materil berupa pemberian dana terhadap program TB DOTS sebagai bentuk langkah penurunan TB di Jakarta Barat. Walikota juga turut hadir dan mendukung di kegiatan TB Day 2012 sebagai bentuk apresiasi dan penyemangat kepada pengurus KPT Jakarta Barat, Kader, PMO dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam penurunan TB khususnya di wilayah Jakarta Barat. Pada saat itu terdapat dialog antara KPT Jakarta Barat dengan Walikota. Dalam dialog tersebut terjadi pertukaran pesan dari KPT Jakarta Barat yang meminta dukungan berupa kebijakan dari Walikota Jakarta Barat terkait program penanggulangan TB dan tanggapan Walikota Jakarta Barat yang bersedia akan memberikan dukungan bagi penanggulangan TB. Dari terbentuknya KPT Jakarta Barat, Camat Tambora didaulat menjadi dewan pembina dan pembimbing KPT Jakbar. Camat Tambora membantu merekomendasikan KPT Jakbar untuk mensosialisasikan Program TB DOTS kepada puskesmas kelurahan dan puskesmas kecamatan. Keterlibatan Camat Tambora sebagai dewan pembina KPT Jakarta Barat karena Camat Tambora merupakan kader Muhammadiyah. Camat Tambora juga turut serta dalam acara-
52 acara yang dibentuk oleh KPT Jakbar seperti monev, TB Day dan bakti sosial sebagai bentuk pendukung acara. Camat Tambora juga mengikutsertakan KPT Jakbar dalam Gerakan Sayap Ibu. Advokasi juga dilakukan dengan meminta dukungan dari public figure. Adanya dukungan orang terkenal ini sebagai upaya untuk mempengaruhi pendapat atau penilaian publik bahwa program penanggulangan TB didukung tokoh terkenal. Public figure tersebut adalah anggota DPR Nurul Qomar yang mantan pelawak terkenal. Anggota DPR dari Partai Demokrat ini memberikan bantuan dana sebagai upaya dukungan terhadap penanggulangan TB di wilayah Jakarta Barat. Menurut McKee (1992) kegiatan advokasi meliputi kegiatan melobi pengambil keputusan melalui kontak pribadi, surat, menyelenggarkan seminar, membuat berita; mengupayakan liputan dari koran, majalah, televisi dan radio dan memperoleh dukungan dari tokoh terkenal. Salah satu bentuk advokasi adalah adanya liputan media. Demikian pula Community TB Care „Aisyiyah mengundang media massa dalam beberapa kegiatannya. Adanya liputan media massa ini diharapkan semua informasi mengenai penanggulangan TB dapat sampai kepada khalayak luas. Demikian pula ketika kegiatan bakti sosial di lingkungan KPT Jakarta Barat ikut diliput beberapa media cetak dan televisi. Pihak Community TB Care „Aisyiyah pun ikut acara talkshow di stasiun TV Metro TV dengan menghadirkan kader komunitas dari Kalianyar dan mantan pasien TB. Menurut kader komunitas, kegiatan advokasi yang dilakukan antara lain adanya komitmen dengan puskesmas dan Kelurahan Kalianyar. Kegiatan ini dimulai dengan melakukan dialog dengan pihak puskesmas menjelaskan program Community TB Care „Aisyiyah dalam penanggulangan TB. Puskesmas Kalianyar berkomitmen untuk menanggulangi TB bersama Community TB Care „Aisyiyah (KPT Jakarta Barat), yakni setiap ada pasien TB yang berasal dari wilayah kader komunitas segera menghubungi kader komunitas. Untuk mewujudkan program penanggulangan TB yang dilakukan oleh Community TB Care „Aisyiyah diperlukan dukungan dari pihak-pihak yang tekait. Di wilayah Jakarta Barat ini baik Sub Sub Recipient (SSR) Community TB Care „Aisyiyah maupun KPT Jakarta Barat melakukan kerjasama dengan kecamatan, kelurahan, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mendukung penanggulangan TB. Menurut Ketua KPT Jakarta Barat, mobilisasi sosial menyatukan anggota masyarakat dan pemegang keputusan. Ini bertujuan untuk memperkuat dukungan masyarakat sehingga tercipta partisipasi masyarakat dan kemandirian. Dukungan dimintakan dari semua tingkatan dan semua lapisan seperti yang dijelaskan Vin: “Semua kita kerahkan untuk mendukung kegiatan penanggulangan TB. Kita ke kecamatan, kelurahan minta dukungan pemberantasan TB. Tidak lupa menerjunkan tokoh agama dan masyarakat di wilayah Jakarta Barat ini. Semua diminta aktif agar peduli pada TB…”
Selain membangun kemitraan dengan pemkot Jakarta Barat, DPRD dan masyarakat, KPT Jakarta Barat melakukan kegiatan bakti sosial untuk menggerakan masyarakat. Kegiatan mobilisasi sosial antara lain melakukan dialog dan negosiasi. KPT Jakarta Barat melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat,
53 pasien, keluarga pasien dan mantan pasien dalam penanggulangan TB. Memberdayakan pasien TB dan keluarganya diharapkan untuk membantu penyembuhan bagi pasien TB. Kader komunitas biasanya aktif keliling ke sekitar wilayah dimana dia tinggal untuk mencari suspek TB atau orang yang dicurigai terkena TB. Bila menemukan suspek, kader akan meminta suspek untuk memeriksakan dahaknya ke UPK terdekat. Tak jarang bila suspek tidak mau memeriksakan dahak ke UPK, kader lah yang membawa dahak pasien ke UPK. Bila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA + maka suspek segera dirujuk ke UPK untuk mendapat pengo batan. Selama pengobatan ini lah kader terus memantau dan mendampingi pasien TB. KPT Jakarta Barat melalui kader meminta pasien yang sudah sembuh dapat dilibatkan aktif dalam mensosialisasikan program-program penanggulangan TB. Bagi mantan pasien yang berpotensi bisa diikutsertakan pelatihan-pelatihan yang nantinya menjadikan dia sebagai kader. Masyarakat sekitar juga diberikan penyuluhan untuk tanggap TB. Sehingga bila menemukan orang dengan indikasi gejala TB dapat segera dibawa ke UPK terdekat. Seperti yang dilakukan oleh kader komunitas di Kelurahan Tambora dan Kalianyar bersama tokoh agama dan masyarakat melakukan sosialisasi mengenai TB. Pengurus KPT Jakarta Barat, Fif menjelaskan di Kelurahan Tambora, biasanya mendekati ibu-ibu pengurus RW atau RT, kemudian meminta mereka untuk menyelipkan materi tentang TB dalam kegiatan mereka. Misal sebelum acara arisan dimulai pengurus RT menyampaikan informasi tentang TB. Fif juga pernah melakukan pendekatan dengan para tokoh agama yang biasa memberikan khutbah Jumat. Para tokoh agama diminta untuk menyampaikan pesan TB diselasela khutbahnya. Sementara itu kader komunitas Znb mendatangi kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu memberikan sosialisasi mengenai TB.Serta mengajak masyarakat sekitar agar tanggap dan peduli pada gejala TB.Znb pun bekerjasama dengan PKK Kelurahan Kalianyar. Setiap kegiatan PKK kelurahan yang dihadirinya, Znb tidak lupa untuk mensosialisasi tentang TB. Znb juga ikut memantau pasien yang sudah sembuh yang bisa diikutkan dalam sosialisasi penanggulangan TB. Biasanya Znb meminta mantan pasien untuk memberikan testimoni pada forum-forum penyuluhan TB atau pertemuan pasien. Program komunikasi pada program penanggulangan TB Commnunity TB Care „Aisyiyah di Jakarta Barat bertujuan untuk menyembuhkan penderita TB sehingga menurunkan angka pasien penderita TB. Target program komunikasi penanggulangan TB ini adalah perubahan perilaku hidup sehat pasien TB.sehingga menurunkan angka kematian dan penyembuhan bagi pasien TB. Sumber komunikasi (komunikator) dapat berbentuk individu dan kelompok. Komunikator atau penyampai pesan dalam kegiatan ini adalah KPT Jakarta Barat, kader komunitas, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Komunikator yang terpilih tersebut dilatih agar memiliki keterampilan berpikir dan berbicara mengenai pesan-pesan yang berkaitan dengan TB. Sehingga kader, tokoh agama, dan tokoh masyarakat mempunyai pengetahuan yang mendalam terhadap pesan yang disampaikan maupun terhadap penerima pesan (komunikan). Pesan yang disampaikan dalam program ini antara lain deteksi gejala TB, penanggulangan TB menggunakan sistem DOTS, cara pencegahan penularan TB
54 serta pola hidup sehat pendukung penyembuhan dan menghindari penularan TB. Menurut Ketua KPT Jakarta Barat, forum menyampaikan pesan TB yang dilakukan Community TB Care „Aisyiyah antara lain rapat, pelatihan/workshop, atau seminar. Selain media interpersonal tersebut media yang digunakan adalah brosur, film, chart. Komunikan atau khalayak sasaran adalah pasien TB dan keluarga pasien TB serta masyarakat di sekitar pasien TB tinggal. Dengan orientasi pemberdayaan, pendekatan komunikasi yang dilakukan mengarah pada pendekatan komunikasi partisipatori. Kegiatan komunikasi dengan pendekatan partisipatori pada program penanggulangan TB di KPT Jakarta Barat antara lain forum monitoring dan evaluasi, pelatihan PMO, pertemuan pasien, kunjungan pasien, bakti sosial dan gentengisasi. Dari beberapa kegiatan komunikasi tersebut terlihat kontak antara kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, PMO dan pasien. Kontak komunikasi berlangsung melalui dua arah yakni berupa dialog maupun berupa multitrack atau gabungan monolog dan dialog. Pertama komunikasi terjadi satu arah namun kemudian dilengkapi dengan dialog atau dua arah. Pada kegiatan komunikasi yang dilakukan dapat terlihat siapa saja yang terlibat, peran fungsional yang dimiliki dan moda komunikasi yang digunakan. Lokasi kegiatan komunikasi antara lain di sekretariat KPT Jakarta Barat yakni RS Ibnu Sina, di rumah kader, di rumah pasien ataupun di tempat pertemuan di sekitar rumah pasien. Monitoring dan evaluasi Setting komunikasi untuk forum monev dilakukan di RS Ibnu Sina. Menurut Rmd selaku SSR Jakarta Barat, tempat diadakan monev di RS Ibnu Sina bertepatan dengan kantor sekretariat KPT Jakarta Barat. Adapun mengenai setting tersebut terlihat dalam ungkapan yang disampaikan Rmd pada kutipan berikut ini. “Lokasi diadakan monev memang sengaja dipilih di RS Ibnu Sina, jadi semua kader komunitas dari kecamatan se Jakarta Barat datang kesini. KPT Jakarta Barat kan punya sekretariat disini jadi segala kegiatan dipusatkan disini. Kecuali yang berkaitan dengan pasien bisa disesuaikan dengan wilayah dimana pasien itu berada.Untuk penempatan tempat duduk pada monev tidak dipisahkan peserta laki-laki maupun perempuan.Tapi biasanya bapak-bapak malah milih duduk di belakang. Kalau dari kita sih paling membagi dua bagian tempat duduk agar semua peserta bisa melihat ke pembicara yang didepan dengan jelas…”
Setting tempat dilakukan oleh pihak KPT Jakarta Barat dengan bentuk diskusi panel seperti yang terlihat pada Gambar 6. Posisi duduk monev adalah posisi diskusi panel dengan sumber adalah perwakilan dari SSR dan perwakilan dari KPT Jakarta Barat duduk satu meja menghadap kepada khalayak yakni para kader dan tokoh agama. Suasana monev berjalan formal dengan tujuan untuk menerima pertanyaan dan masukan dari kader serta memastikan kesiapan kader untuk berpartisipasi dalam program penanganan TB.
55
Gambar 6 Setting monev di RS Ibnu Sina Forum Monitoring dan Evaluasi dilakukan satu kali pada tiap bulannya. Namun selama peneliti melakukan penelitian di KPT Jakarta Barat, Monev diselenggarakan pada 26 Juni 2012 di ruang pertemuan RS Ibnu Sina, Grogol Jakarta Barat. Mulai pukul 9.30 WIB ruang petemuan berukuran 4 x 4 meter2 tersebut dimasuki beberapa orang yang ternyata kader dari 8 kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Barat. Setiap peserta mengisi daftar hadir yang telah disediakan oleh pihak Sub Sub Recipient (SSR) dan KPT Jakarta Barat. Kegiatan komunikasi yang diikuti oleh SSR, tokoh agama dan kader tersebut dimulai tepat pukul 10.00 WIB, mundur 1 jam dari jadwal yang direncanakan. Acara dibuka dan dipandu oleh Rmd selaku wakil dari SSR Community TB Care. Dalam pembukaannya Rmd menyampaikan permohonan maaf karena kegiatan monev yang dilakukan tidak bisa tepat sesuai jadwal karena menunggu kordinasi dari PR. Permohonan maaf tersebut disampaikan Rmd seperti dalam kutipan berikut. “Pada kesempatan ini saya menyampaikan permohonan maaf karena monev yang biasanya dilakukan sebulan sekali baru bisa dilakukan sekarang karena padatnya kegiatan yang ada di pusat. Seperti bapak / ibu ketahui kan, segala kegiatan yang menyangkut SSR menunggu kordinasi dari PR. Tapi saya yakin bapak ibu kader tetap semangat kan meski monev nya telat. Silahkan bila nanti ada yang mau disampaikan karena ini untuk kemajuan kita bersama…”
Pada kesempatan tersebut Rmd menyampaikan informasi terbaru dari PR Community TB Care „Aisyiyah salah satunya adalah rencana diadakannya training PMO pada bulan Juni tersebut. Dijelaskan Rmd training PMO yang akan diselenggarakan akan dilakukan selama dua hari agar seluruh PMO baru yang ada di Jakarta Barat bisa segera menjalankan tugasnya sebagai orang yang mengawasi minum obat pasien TB. Setelah Rmd menyampaikan informasi acara dilanjutkan dengan sambutan dari KDP „Aisyiyah Bu Fif yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua KPT Jakarta Barat. Fif memberikan motivasi pada para kader agar tetap semangat dalam menjalankan tugasnya. Untuk menambah semangat Fif mengajak seluruh peserta yang hadir di ruangan tersebut untuk berdiri dan bernyanyi menyanyikan Mars KPT Jakarta Barat. Seluruh peserta yang sebagian besar ibu-ibu bergembira dan
56 semangat menyanyikan lagu tersebut. Apalagi bu Fif dengan gayanya mengepalkan tangan ke atas memberi semangat pada seluruh hadirin. Setelah bernyanyi bersama, Fif mempersilahkan peserta duduk kembali dan beliau melanjutkan pembicaraannya antara lain kader diminta tetap jeli dalam mencari suspek, mengingat banyak suspek yang tidak mau terbuka karena penyakitnya itu. Fif juga mengingatkan agar kader tidak ragu-ragu untuk menanyakan pada pihak KPT atau SSR ataupun korrdinator kecamatan bila ada masalah di lapangan. Usai Fif menyampaikan pesannya acara dilanjutkan dengan mempersilahkan pada peserta yang hadir untuk dapat menyampaikan apa yang akan disampaikan baik kemajuan yang dimiliki kader atau pun permasalahan yang dihadapi di lapangan. Disini dapat terlihat bahwa moda komunikasi partisipatori yang terjadi adalah gabungan monolog dan dialog. Pertama informasi atau pesan disampaikan dengan monolog kemudian dilengkapi hybrid dengan dialog. And salah satu kader baru, menyampaikan perasaannya ketika menghadapi suspek. And menceritakan bahwa dia sudah melihat gejala TB pada suspek meski sudah dilakukan pendekatan dengan baik, tapi And masih kesulitan untuk mengajak suspek memeriksakan dahaknya. Disarankan bu Fif agar And harus lebih sabar dan jangan bosan untuk mengajak suspek memeriksakan dahaknya. Fif menyarankan akan membiarkan saja dulu kalau memang belum mau, tapi jangan dijauhi. Dia juga mengingatkan agar jangan lupa mengingatkankepada suspek bahwa mereka memiliki gejala atau ciri-ciri TB yang harus segera diperiksakan demi kesehatan suspek dan lingkungannya. Sehabis And peserta lain yang menyampaikan pendapatnya adalah Pak Say kader dari kecamatan Kembangan. Say menyampaikan pada pihak KPT Jakarta Barat agar segera melakukan kegiatan gentengisasi mengingat di wilayah nya ada pasien yang kondisi rumahnya sangat memprihatinkan dengan tidak adanya sinar matahari yang bisa masuk sehingga perlu dibantu untuk diganti gentengnya. Sehabis Say tidak ada peserta yang bertanya lagi hanya terlihat beberapa kader yang memberitahu ada keluarga pasien baru yang ikut dalam kegiatan tersebut. Setelah pertanyaan tidak ada lagi, Rmd meminta para kader untuk melaporkan data bila ada yang memiliki pasien baru atau ada pasien yang sudah sembuh. Para kader diberi waktu setengah jam untuk bergantian memberikan laporan berkaitan dengan data pasien baru. Maupun perkembangan pasien yang mendapat pendampingan dari kader. Setelah selesai, acara dilanjutkan dengan tausiyah oleh Ibu Nah yakni Ketua „Aisyiyah Jakarta Barat. Dalam tausiyahnya Nah berpesan kepada seluruh peserta yang hadir agar selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dan mau berbagi sesama umat, termasuk dengan menjadi kader ikut membantu menangani TB.Selesai penyampaian tausiyah acara diambil alih kembali oleh RMD yang kemudian menutup kegiatan monev tersebut, tak lupa sebelum pulang para peserta diberi nasi box untuk makan siang. Training PMO Setting pelatihan PMO dilakukan pula di ruang rapat Lantai 2 KPT Jakarta Barat di RS Ibnu Sina. Dengan menggunakan format forum (ceramah) semua peserta dapat melihat jelas si pemateri. Suasana pelatihan pun bersifat formal meski bu Fif selaku pemateri dari KPT Jakarta Barat membawakan materinya
57 diselingi canda dan tawa. Setting forum (ceramah) dapat menambah pandangan dengan reaksi peserta training serta dapat dipakai untuk menyajikan keterampilan yang banyak dalam waktu singkat. Bentuk ini juga sebagai pendorong reaksi peserta dalam mendengarkan lebih banyak perhatian. Setting training PMO dapat terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Setting Training PMO di RS Ibnu Sina Kegiatan training PMO diselenggarakan pada 27 Juni 2012. Kegiatan komunikasi tersebut diikuti oleh keluarga pasien yang ditunjuk oleh kader menjadi PMO. Pelatihan yang dimulai pukul 09.00 WIB tersebut dimulai dengan perkenalan oleh Pihak SSR yakni bapak Rmd dan pemateri dari KPT Jakarta Barat yang diisi langsung oleh Fif. Peserta diberikan pre test berupa lembar pertanyaan yang harus diisi oleh para PMO tersebut. Pre test tersebut antara lain berisi pertanyaan berupa tugas PMO dan pengetahuan tentang TB. Pengisian soal pre test tersebut diberi waktu setengah jam. Kemudian embar soal pre test dikumpulkan kepada panitia. Setelah pengisian pre test, Fif mulai membahas tugas dan peran PMO dalam penanganan TB. Awalnya adalah PMO diminta untuk mengetahui mengenai gejala-gejala TB yang ada dalam penderita. PMO juga dibekali pengetahuan bagaimana seorang pasien harus hidup sehat sebagai pendukung kesembuhan pasien.Tidak lupa PMO juga harus melakukan pengawasan terhadap pasien. Kala pasien minum obat yakni PMO harus yakin bahwa OAT benar-benar sudah ditelan oleh pasien. PMO juga diminta untuk menuliskan catatan minum obat pasien dan tidak lupa mengingatkan jadwal pengambilan obat. Di sela-sela pemaparan materi tersebut tidak sedikit PMO yang bertanya seputar penyakit TB termasuk penularannya.Yun peserta berasal dari Kalideres bertanya bagaimana jika obat tidak diminum satu hari karena lupa. Pertanyaan Yun tertuang dalam kutipan berkut ini. “Pasien lupa belum minum obat, terus saya juga hari itu lagi ga ada di rumah jadi ga ketemu anak saya itu. Dia baru inget besok paginya. Gimana apa obatnya stop ke dokter dulu atau bagaimana?”
Menurut Fif bila pasien lupa minum obat dan jaraknya masih 1 hari, pasien bisa melanjutkan dengan menambahkan konsumsi obatnya di malam hari. Namun
58 bila ada efek dari dosis obat yang ditambahkan tersebut pasien harus segera dibawa konsultasi ke dokter. Adapun penjelasan Fif tertuang dalam kutipan berikut ini. “Kalau lupa minum obat, begitu ingat langsung minum paginya dan kalau mau tidur minum lagi. Tapi kalau pasiennya pusing harus segera dibawa aja ke dokternanti konsulkan lagi ke dokter..”
Dalam pelatihan PMO ini terjadi moda komunikasi partisipatori multitrack yakni gabungan monolog dan dialog. Pertama pesan disampaikan oleh pihak KPT Jakarta Barat mengenai pengetahuan tentang gejala TB, penularan TB, cara minum OAT dan pola hidup sehat untuk mendukung penyembuhan TB. Dalam pesan monolog juga disampaikan apa saja yang menjadi tugas dari PMO yang antara lain adalah melihat atau mengawasi pasien minum obat, sampai obat tersebut benar-benar ditelan pasien. Kemudian PMO juga harus bisa mencatat mengenai jadwal pengambilan OAT di UPK. Pertemuan pasien Pertemuan pasien yang berlangsungnya di PAUD „Aisyiyah Kalianyar, memiliki setting dengan bentuk seperti huruf U. Khalayak yakni pasien dan PMO memenuhi setengah lingkaran sementara kader dan tokoh agama berada di depan. Suasana pertemuan pasien ini bersifat informal dan santai. Seluruh peserta duduk di lantai yang beralaskan karpet dengan posisi duduk pasien bersebelahan dengan PMO. Adapun setting diskusi di PAUD „Aisyiyah dapat terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Setting pertemuan pasien di PAUD „Aisyiyah Kegiatan komunikasi ini dilakukan bisa di rumah kader atau tempat-tempat pertemuan. Pesertanya yakni kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, pasien dan PMO. Dalam pertemuan seperti yang dilakukan di Kelurahan Tambora, biasanya dilakukan saat sebelum pengajian ibu-ibu RW. Dalam pengajian yang dihadiri tokoh agama tersebut sebelum membicarakan hal-hal yang menyangkut keagaaman disinggung dahulu mengenai masalah TB. Disini setiap yang hadir diajak untuk memberikan pendapatnya. Dew atau biasa dipanggil bu RW menjelaskan pengajian yang dihadiri kader, pasien dan PMO dan dilakukan seminggu 2 kali ini dalam setiap bulannya biasa
59 diselingi dengan diskusi tentang TB. Penjelasan tokoh masayarakat tersebut diungkapan pada kutipan berikut ini: “Sebelum pengajian dimulai dijelaskan lagi soal TB kadang-kadang yang nyampein kader atau bisa juga ustadzah nya. Tapi sebelumnya dikasih tau dulu ke ustadz nya sebelum ceramah agama membahas soal TB dulu.Biasanya ibu-ibu semangat nanya soal TB, disini banyak sih yang kena TB tapi banyak juga yang malu atau takut ketauan TB. Nah pas diskusi itu biasanya kader juga minta masukan sama warga bagaimana caranya biar warga yang diduga kena TB mau dibawa ke puskesmas untuk diperiksa dahaknya. Nanti warga ada yang usul dikasih tahu aja warga yg diduga kena TB bahayanya TB kan TB bisa nularin ke warga sekitarnya. Atau ada yang bilang lagi, bilang ke warga itu kalau ibu malu ya diam-diam aja yang penting periksa dulu biar ketahuan ibu kena TB atau ga. Jadi didiskusi ini semua boleh ngomong…”
Peneliti juga sempat mengikuti pertemuan pasien yang diadakan di PAUD „Aisyiyah di Kalianyar pada 10 Juni 2012. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 2 orang kader komunitas yang salah satunya juga tokoh agama, 20 orang PMO dan 20 orang pasien dan tokoh masyarakat yang juga mantan penderita TB. Kegiatan yang dimulai pukul 10.00 WIB berlangsung sangat akrab dan sesekali diselingi canda dan tawa para pesertanya. Acara dibuka oleh Znb, kader yang juga dikenal sebagai tokoh agama di lingkungannya. Lalu Znb memberikan penjelasan mengenai pentingnya hidup sehat agar pasien yang sedang dalam pengobatan dapat segera sembuh. Znb juga menyampaikan pada para PMO untuk tidak takut melaporkan bila ada pasien yang tidak taat dalam minum obat. Imbauan kader komunitas tersebut disampaikan seperti kutipan di bawah ini: “Apalagi yang bapak-bapak tuh, kalau pengen sembuh ya jangan ngerokok sama begadangnya dikurangi. Minum susu juga jangan sampe ga, kalau ga bisa beli sekarang kan banyak susu yang dijual sachet-an, jadi lebih gampang. Nah untuk PMO kalau pasiennya susah dibilangin untuk minum obat, jangan takut laporin ke saya nanti saya datangin. Jangan lupa kalau ngawasin minum obat lihat itu obat ditelan atau ga. Ingat TB bisa sembuh tapi kalau bapak/ibu penderita malas minum obat ya bisa ga sembuh-sembuh...”
Setelah Znb yang menyampaikan pesan, kader Muh juga memberikan pendapatnya mengenai penanganan TB. Dijelaskan Muh untuk bisa terbebas dari TB memang diperlukan motivasi sembuh dari diri sendiri. Meski keluarga sudah mendukung tapi kalau diri sendiri tidak semangat sembuh maka sulit untuk terlepas dari TB. Muh juga mengingatkan agar pasien selalu ingat akan jadwal kontrol ke dokter sehingga bisa segera mendapat obat bila obatnya sudah habis. Kemudian pengecekan dahak secara rutin pun jangan sampai terlewatkan. Kepada PMO Muh juga menganjurkan agar tidak bosan untuk mengingatkan pasiennya agar mengkonsumsi OAT secara teratur. Adapun pesan Muh diungkapkan pada kutipan berikut ini. “TB bisa disembuhkan tapi perlu keseriusan dari pasien itu sendiri. Meski keluarga bapak-ibu ngedukung untuk sembuh, kasih semangat, kalau bapak/ibunya malas-malasan minum obat, atau ga mau periksa dahak ya..susah sembuhnya. Jadi niat sembuh harus ada dalam diri sendiri bagaimana caranya yang penting bapak/ibu bisa sembuh.Nah PMO kan ratarata satu rumah nih sama pasien, jadi jangan bosen ya ngingetin pasien
60 minum obat TB nya. Bapak/ibu juga jangan takut-takut sama kita (kader) kalau memang ada yang mau ditanyakan langsung aja nanya. Nanti kalau takut nanya terus salah berobat gimana…”
Dalam pertemuan pasien tersebut menggunakan pendekatan multitrack yakni gabungan monolog dan dialog. Terlihat seluruh peserta mendengarkan dengan serius pesan yang disampaikan oleh para kader. Ini menunjukkan komunikasi yang terjadi adalah monolog. Namun komunikasi dilanjutkan dengan dialog. Dari 20 pasien dan mantan pasien serta 20 PMO yang hadir hanya 2 orang yang berani mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapatnya. Salah satunya adalah pasien yang bernama Iwn yang mengajukan pertanyaan dengan malu-malu. Iwn bertanya mengenai kondisinya yang masih dalam tahap pengobatan tersebut kadang-kadang terlintas untuk mengganti obat. Disampaikan pada forum tersebut apakah jenis obat bisa diganti. Dikatakan Iwn dia berani menyampaikan pertanyaan di forum tersebut karena jika ingin bertanya pada perawat atau dokter puskesmas ada rasa takut. Keberanian Iwn menyampaikan pendapatnya tertuang dalam kutipan di bawah ini. “Mumpung ada kader saya mau tanya, abisnya kalau mau nanya ini ke suster ga berani, dia galak sih. Saya mau nanya kalau mau ganti obat boleh ga. Atau bisa ga yang ga tiap hari. Selama ini sih belum pernah kelewat tapi takut aja…”
Pertanyaan Iwn pun dijawab kader Znb bahwa obat bisa saja diganti oleh dokter tapi sebenarnya kandungan obatnya sama hanya merek dagangnya saja yang berbeda. Namun untuk saat ini obat TB jenis oral masih harus dikonsumsi setiap hari. Peserta lain yang berani menyampaikan pendapat adalah End yakni mantan pasien baru sembuh yang kebetulan juga menjabat menjadi RT di lingkungannya. End menyampaikan pendapat bahwa adanya dukungan keluarga serta kedekatan dengan kader membuat dirinya semakin semangat untuk sembuh. Menurut End semangat kuat untuk sembuh ada dalam dirinya. Makanya ketika dia dalam masa pengobatan selalu berusaha meminum obat tepat waktu. Bahkan seingat End dia belum pernah terlewat minum obat. End, pria berkacamata ini juga menyarankan pada teman-teman pasien yang hadir dalam diskusi tersebut agar bila ada hal yang tidak dimengerti mengenai pengobatan TB segera menanyakan ke kader mengingat bila bertanya dengan petugas kesehatan di puskesmas tidak bisa setiap saat. Testimoni End diungkapkan dalam kutipan berikut ini. “Saya mau banget sembuh soalnya waktu itu mpok saya bilang, kalau kamu mati anak-anak nanti gimana. Selain mpok saya, bu Zaenab selalu memantau saya, dia ga bosen nanya keadaan saya. Yang seperti gini buat saya semangat sembuh. Memang waktu awal tahu kena TB sempat kepikiran lama banget berobatnya. Kata dokter minimal 6 bulan, waduh rasanya gimana gitu. Tapi ya tadi karena keluarga kasih semangat, kader saya rajin mantau jadi saya bilang dalam diri, saya ga boleh bosen minum obat. Nah makanya ibu/bapak PMO jangan bosen ya mantau atau nyemangatin pasiennya. Terus kalau kita ada yang ga ngerti misal kalau dah berapa bulan kan biasanya obatnya ganti, nah kalau nanya ke puskesmas kan harus pas jam berobat jadi bisa kelamaan, jadi langsung aja temui kader kita tanya deh langsung. Alhamdulillah kader – kader disini kan baik-baik…”
61 Kunjungan Pasien Setting kunjungan pasien yang dilakukan kader ke rumah pasien, untuk posisi tergantung mengikuti kondisi rumah pasien yang dikunjungi. Saat peneliti ikut kunjungan pasien setting dengan suasana informal penuh keakraban dan santai ini menggunakan posisi saling berhadapan antara kader dan pasien. Semua yang hadir dapat saling berinteraksi. Kedua rumah pasien yang dikunjungi samasama berada di kawasan padat penduduk dan tidak memiliki kursi tamu, sehingga semua yang hadir dalam kunjungan pasien tersebut duduk di lantai tanpa beralas tikar atau karpet. Setting kunjungan pasien dapat terlihat pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 9 Setting kunjungan pasien Bek Kunjungan pasien dilakukan oleh kader kepada pasiennya. Dalam kunjungan tersebut kader melihat pola hidup sehat yang dilakukan pasien dan keteraturan minum obat. Biasanya untuk kunjungan pertama kader akan menjelaskan pada pasien atau pun keluarganya mengenai bahayanya TB. Seperti Znb pada pasien baru beliau akan mengatakan bahwa dari satu orang yang positif kena TB bisa menularkan kepada 15 orang. Sebab itu menyembuhkan pasien TB sangat penting untuk memutus rantai penyakit tersebut. Belum lagi bahaya TB pada pasien sendiri yang bisa mengakibatkan kematian bila dibiarkan tidak diobati. Kunjungan selanjutnya juga dilakukan Znb untuk mengetahui perkembangan kesehatan pasiennya. Tidak jarang dalam kunjungan kepada pasiennya Znb membawakan susu untuk pasien. Peneliti sempat ikut Znb mengunjungi pasien Bek dan Tin. Dalam kunjungan terlihat bagaimana akrabnya Znb dengan pasien. Dengan gaya khas dialek betawi kental Znb menyapa pasien. Sapaan kader komunitas tersebut diungkapkan pada kutipan berikut. “Bhek, gimana sekarang masih batuk-batuk ga? Awas ye jangan ngerokok lagi, sama jangan begadang. Ntar kalau lu sakit lu yang rugi sendiri ga bisa bangun-bangun lagi…”
Pasien Bek pun hanya tersenyum dan menjawab sepatah dua patah kata bahwa dia sehat dan sudah tidak batuk-batuk lagi. Bek juga menyatakan kalau berat badannya sudah mulai naik. Hanya saja Bek mengakui masih suka begadang meski hanya sebentar. Penuturan Bek terlohat dalam kutipan berikut.
62 “Sekarang saya udah merasa enakan. Batuk juga udah ga. Nih saya ikuti omongan bu haji makan makanan yang bergizi. Alhamdulillah berat udah naik. Kalau ngerokok sih kagak tapi begadang mah iya. Jarang sih itu juga bentar...”
Dalam kunjungan pasien ini komunikasi yang terjadi adalah dialog. Dari awal pertemuan antara kader dan pasien sudah dilakukan dialog yakni sama-sama bertukar pesan dan sama-sama mendengarkan suara atau pendapat orang lain. Kunjungan pasien yang peneliti ikuti dialog dimulai dari kader yang kemudian diikuti oleh pasien dan PMO atau keluarga pasien yang ada di lokasi pertemuan.
Gambar 10 Setting kunjungan pasien Tin Di hari yang berbeda peneliti juga ikut Znb mengunjungi pasien Tin yang masih dalam tahap pengobatan. Di rumah yang hanya berukuran 3 x 2 meter2 ini Znb menyapa Tin dengan berbisik-bisik. Ternyata Tin tidak ingin kalau penyakit TB nya diketahui orang lain. Selaku kader Znb berusaha untuk tidak menyinggung perasaan pasiennya sehingga Znb pun mengecilkan suaranya ketika berbicara dengan Tin. Dalam percakapannya Znb menanyakan kondisi Tin yang sekarang sudah terlihat ada perubahan di tubuhnya. Tidak lupa Znb juga mengingatkan agar suami Tin dalam waktu dekat bersiap-siap untuk mengikuti pelatihan PMO. Berikut kutipan Znb saat berkunjung ke rumah Tin. “Ceu Titin sekarang sudah ada perubahan, badannya udah keliatan aga gemukan. Obatnya jangan putus ya.Jangan sampe lupa jadwal ambil obat. Oya nanti suaminya siap-siap untuk ikut training PMO. Nanti saya kasih tahu lagi kapan jadwal pelatihannya. Gimana sekarang kalau ngeludah ga sembarangan lagi kan…”
Sebelum pulang tidak lupa Znb menyelipkan uang kepada Tin, disebutkan bahwa uang tersebut untuk anak-anak Tin. Menurut Znb uang tersebut murni dari pribadinya sebagai rasa peduli terhadap pasiennya yang sebagian besar adalah pasien miskin. Znb juga kembali mengingatkan Tin agar anak-anaknya dibawa ke WC umum bila akan buang air besar mengingat rumah Tin tidak memiliki kamar mandi. Bakti Sosial Kegiatan bakti sosial (baksos) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pakaian layak pakai dan pemberian pangan bergizi untuk penderita
63 TB serta masyarakat sekitar.Selain baksos berupa pemberian pangan bergizi KPT juga menyelenggarakan baksos berupa pengobatan gratis. Untuk baksos pemberian Pangan Bergizi, KPT telah melaksanakan di lima wilayah Jakarta Barat yakni Tambora, Kalianyar, Cengkareng, Kalideres, dan Tamansari. Pengobatan Gratis KPT melaksanakan lima kali di Kelurahan Pekojan, Kelurahan Angke (2 kali), Penjaringan, dan Jembatan Besi. Serta mengadakan Layanan Kesehatan Lansia Bekerja sama dengan PWA DKI Jakarta di Aula Masjid Raya Al Isro Tg Duren Grogol Petamburan. Komunikasi yang terjadi saat bakti sosial adalah gabungan monolog dan dialog. Dimulai dengan penyampaian pesan atau informasi dari pihak KPT Jakarta Barat baik panitia atau pengurus KPT, kemudian dilanjutkan dengan dialog dengan masyarakat yang hadir dalam acara bakti sosial tersebut. Seperti dijelaskan Fif, sebelum acara pengobatan gratis, pihak KPT Jakarta Barat atau perwakilan dari PR menyampaikan pesan atau informasi mengenai TB. Tidak jarang dalam kegiatan tersebut pihak KPT Jakarta Barat juga meminta dukungan dari warga yang hadir untuk tanggap terhadap TB atau aktif ikut menangggulangi TB dengan memperhatikan pasien TB yang ada di sekitar lingkungannya. Setelah pihak KPT Jakarta Barat atau pun pemerintah setempat menyampaikan pesannya komunikasi dilanjutkan dengan dialog yakni memberikan kesempatan pada warga yang hadir untuk menyampaikan aspirasi atau pendapatnya. Selama penelitian tidak ada kegiatan bakti sosial baik berupa pemeriksaan kesehatan gratis maupun pembagian sembako. Sehingga peneliti tidak bisa melihat proses kegiatan bakti sosial. Gentengisasi Gentengisasi adalah kegiatan mengganti genteng rumah warga yang terkena TB dari genteng biasa menjadi genteng yang terbuat dari kaca sehingga cahaya matahari bisa masuk ke rumah tersebut. Gentengisasi ini baru dilakukan dilakukan pada Januari 2011 di Kecamatan Tambora. Menurut ketua KPT, gentengisasi ini masih sulit dilaksanakan di rumah warga yang terkena TB karena bentuk rumah pasien yang sebagian besar berada di kawasan padat penduduk dan banyak sekali rumah yang tidak memiliki genteng atau atap. Vin mengungkapkan kesulitan program gentengisasi sebagai berikut: “Gentengisasi adalah salah satu program KPT Jakbar, tapi baru kita laksanakan satu kali. Karena ternyata prakteknya sulit. Dalam gentengisasi kan harus merubah bentuk atap rumah warga yang terkena TB, masalahnya banyak pasien ternyata rumahnya memang tidak beratap atau ga ada gentengnya. Rumah mereka dua lantai.Banyak rumah pasien satu rumah ditempati lebih dari satu KK. Jadi di bawah keluarga siapa yang atas sudah keluarga lain. Jadi mungkin kita akan mencari rumah warga yang memang berada tidak di wilayah padat dulu…”
Komunikasi yang terjadi saat kegiatan gentengisasi adalah dialog. Yakni adanya pertukaran pesan dari pihak KPT Jakarta Barat dengan pasien dan keluarga pasien. Dalam kegiatan tersebut pihak KPT Jakarta Barat menanyakan kondisi kesehatan pasien saat itu, kemudian meminta pasien atau keluarganya menyampaikan pendapatnya mengenai pengobatan pasien dan pola hidup sehat
64 pasien. Pada kesempatan tersebut juga pasien diminta untuk menyampaikan harapannya pada KPT Jakarta Barat terkait dengan upaya penanggulangan TB. Selama peneliti melakukan penelitian tidak ada gentengisasi jadi tidak bisa melihat proses kegiatan tersebut.
Ikhtisar Menurut McKee (1992) advokasi mengarah pada mobilisasi sosial yakni suatu proses menggalang mitra untuk advokasi dan program komunikasi, mobilisasi sumberdaya dan pelayanan. Pada saat mobilisasi sosial mencapai momentum advokasi dijalankan oleh seluruh pihak diberbagai tingkatan (nasional hingga komunitas). Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat berhasil menggalangkan komitmen (advokasi) pengambil keputusan di tingkat kota dan kecamatan sehingga menjadi dasar mobilisasi sosial yang menghasilkan partisipasi di tingkat kota dengan memberikan sumbangan pengobatan dari warga atau kelompok mampu secara ekonomi kepada warga miskin. Status camat sebagai kader Muhammadiyah memperkuat dukungan pada kegiatan Community TB Care „Aisyiyah dan memanfaatkan jaringannya untuk menghimpun sumberdaya yang lebih luas, melalui pengaruh politiknya (kepada puskesmas dan kelurahan) maupun jaringan pribadi sehingga membuka akses pasien pada pelayanan pengobatan dan bantuan ekonomi. Di tingkat komunitas atau kelurahan Community TB Care „Aisyiyah mampu menggalang mobilisasi sosial dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada berupa modal sosial yakni kerjasama dan kepedulian warga terhadap suspek dan pasien TB melalui kader, tokoh agama, tokoh masyarakat dan PMO. Adanya mobilisasi sosial memperkuat program komunikasi. Mobiliasi sosial diarahkan sebagai kegiatan yang terencana dalam program komunikasi. Melalui jaringan yang dimiliki Community TB Care „Aisyiyah baik di tingkat kota dan komunitas yakni kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, PMO atau pasien program komunikasi dijalankan. Program komunikasi dalam penanggulangan TB ini berupa penargetan kelompok atau komunitas termasuk pasien TB yang berada di wilayah KPT Jakarta Barat untuk menyampaikan pesan mengenai TB menggunakan saluran media masaa dan interpersonal. Khusus di tingkat individu atau pasien saluran yang digunakan lebih banyak menggunakan saluran interpersonal. Program komunikasi yang terjadi antara lain forum monev, training PMO, pertemuan pasien, kunjungan pasien, bakti sosial dan gentengisasi. Dalam penelitian Waisbord (2007), dinyatakan bahwa mobilisasi sosial sangat penting untuk advokasi untuk peningkatan pelayanan dengan meningkatkan visibilitas TB di ruang publik melalui berbagai tindakan komunikasi, dan membujuk para pembuat kebijakan untuk memprioritaskan pengendalian TB. Sering kali, lemah kemauan politik adalah halangan terberat untuk mengontrol program TB. Bila pengendalian TB tidak tinggi di agenda kebijakan kesehatan, seluruh program akan menderita. Rendahnya tingkat pendanaan, terbatasnya jumlah staf terlatih, ketergantungan yang berlebihan pada eksternal pendanaan, dan sistem manajemen yang buruk sering menunjukkan
65 bahwa komitmen politik pada tingkat yang berbeda adalah keinginan. Mengingat masalah ini, advokasi dengan berbagai pemangku kepentingan (misalnya pembuat kebijakan, pejabat dan penyedia kesehatan, serta penyandang dana) diperlukan untuk memperkuat layanan TB. Advokasi terakhir untuk pengendalian TB di Peru dan Vietnam, membuktikan pentingnya jaminan komitmen politik dan keterlibatan (Thuy, Huong, Tawfik, dan Church-Balin 2004 seperti dikutip Waisbord 2007). Dari tenaga medis untuk organisasi aktivis, koalisi pemangku kepentingan dimobilisasi untuk menuntut perbaikan keseluruhan layanan di kedua negara tersebut. Melalui pertemuan dengan para pejabat tingkat tinggi, penampilan media, dan mobilisasi akar rumput, mereka mampu memperkuat dan mendukung lingkungan untuk deteksi kasus dan pengobatan. Komunikasi partisipatori adalah salah satu bentuk komunikasi pembangunan yang dilakukan dalam penanggulangan TB pada Community TB Care „Aisyiyah dengan model Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial (AKMS). Seperti yang dijelaskan Tufte dan Mefalopulos (2009) bahwa ada tiga cara untuk melakukan komunikasi partisipatori dalam sebuah program: (1) Komunikasi secara monologik; (2) Komunikasi secara dialogik; (3) Komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract. Komunikasi yang terjadi pada Communtiy TB Care „Aisyiyah merupakan komunikasi partisipatori yang mengkombinasikan moda monologis dan dialogis. Moda monologis terjadi dalam pelatihan dan penyampaian informasi mengenai penyakit dan pengobatan TB kepada pasien, kader dan PMO serta tokoh masyarakat. Sementara forum pertemuan komunikasi dialogis terbentuk untuk memecahkan masalah. Forum-forum monitoring dan pertemuan pasien menjadi arena tidak hanya pertukaran informasi tentang pengobatan TB tetapi juga pemecahan masalah dan ajang konsultasi dan „curhat‟ dalam mendampingi pasien. Kunjungan pasien dan pendampingan oleh PMO tidak hanya untuk memantau pengobatan tetapi sebagai bagian penting menghibur dan memberikan semangat kepada pasien yang cemas dan bosan minum obat. Kegiatan komunikasi yang yang berlangsung di KPT Jakarta Barat tersebut terdiri dari enam kasus kegiatan komunikasi yakni forum monev, training PMO, pertemuan pasien, kunjungan pasien, bakti sosial dan gentengisasi. Komunikasi partisipatori yang menjadi instrumen penting dalam penelitian adalah dialog yang terjadi. Proses komunikasi dialog lebih diidentikkan dengan komunikasi yang transaksional (Rahim 2004). Terlihat dalam pertemuan pasien atau kunjungan pasien terjadi pertukaran pendapat antara kader, pasien dan PMO tentang kondisi kesehatan atau pengobatan TB. Tufte dan Mefalopulos (2009) menyatakan bahwa ada tiga cara dalam melakukan komunikasi partisipasi yakni (1) komunikasi secara monologik dimana komunikasi yang dilakukan dengan penyampaian secara langsung kepada masyarakat dengan menggunakan pendekatan instruksi dan atau pengumuman, metode ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat massa dan persuasif; (2) Komunikasi secara dialogik dimana komunikasi yang dilakukan dengan pelibatan masyarakat sebagai sumber dan penerima dalam menggerakkan program yang digeluti, kegiatan ini melibatkan stakeholder dari pihak-pihak yang terkait dari problematika yang dihadapi sehingga rumusan kegiatan dilakukan dengan tahapan-tahapan yang telah disepakati bersama oleh sejumlah pihak yang terkait di masyarakat; (3) Komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau
66 multi tract, kegiatan ini dilakukan dengan menggabungkan sejumlah komunikasi secara massa dan perkelompok dalam penyampaian pesan. Aktivitas komunikasi mengkombinasikan penekanan kepada media sekunder dan primer yang menitikberatkan pada interpersonal dan dialog kesejumlah masyarakat. Moda gabungan monologis dan dialogis atau multitrack dapat terlihat pada forum monev, training PMO dan pertemuan pasien. Pada forum monev yang dibuka dari pihak Sub Sub Recipient (SSR) informasi awal memang dilakukan dengan pendekatan monologis yakni memberikan instruksi dan pengumuman dari pihak PR Community TB Care „Aisyiyah. Namun kemudian dilengkapi (hybrid) dengan dialog yakni terjadinya pertukaran pesan antara para peserta yang hadir dalam forum monev. Bentuk ini juga ditemukan pada kegiatan training PMO dan pertemuan pasien. Sementara pada kegiatan kunjungan pasien, bakti sosial dan gentengisasi bentuk yang didapatkan adalah dialog. Setting komunikasi pada program komunikasi KPT Jakarta Barat menentukan suasana kedekatan dan keakraban. Pada setting forum monev, training PMO dan pertemuan pasien yang lebih terlihat formal peserta kurang aktif untuk berdialog sementara pada setting kunjungan pasien keakraban lebih terasa serta perserta lebih aktif untuk berdialog. Moda Komunikasi partisipatori dapat terlihat pada Tabel 5.
67 Tabel 5 Kegiatan Komunikasi di KPT Jakarta Barat Kegiatan dan Lokasi Komunikator Komunikan Moda Partisipatori Monev SSR TA, Kader Gabungan (peserta yang monolog dan Di RS Ibnu hadir di Monev) dialog Sina/Sekretariat KPT Tokoh Kader (Peserta Monolog Jakbar Agama (TA) yang hadir di monev) Kader SSR, Pengurus Dialog KPT Training PMO
Kader
Di RS Ibnu Sina/Sekretariat KPT PMO Jakbar
PMO
Kader
Gabungan monolog dan dialog Dialog
Pertemuan Pasien
TA
Peserta Pertemuan
Di Rumah kader / tempat pertemuan RT
TM
Peserta Pertemuan
Kader
Peserta Pertemuan
PMO Pasien
Kader Kader
Gabungan monolog dan dialog Gabungan monolog dan dialog Gabungan monolog dan dialog Dialog Dialog
Kader PMO
Pasien, PMO Kader
Dialog Dialog
Pasien
Kader
Dialog
Kader
Pasien, warga sekitar
Dialog
Pengurus KPT Kader
Pasien
Dialog
Pasien
Dialog
Kunjungan Pasien Di Rumah Pasien Bakti Sosial Di RS Ibnu Sina / Sekretariat KPT Jakbar Gentengisasi Di Rumah Pasien
68 Makna TB bagi Pasien dan Faktor yang Mempengaruhinya dalam Komunikasi HBM Salah satu tujuan program Community TB Care „Aisyiyah adalah kesembuhan pasien sehingga dapat menurunkan angka penderita TB. Untuk mendukung kesembuhan pasien diperlukan perubahan perilaku dan keyakinan akan diri pasien itu sendiri untuk bisa sembuh. Dalam penelitian ini perubahan perilaku pasien dilihat berdasarkan teori Health Belief Model (HBM) yakni kemungkinan individu atau pasien akan melakukan tindakan pencegahan atau perubahan perilaku tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit TB (perceived threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost) mengikuti program penanggulangan TB yang diberikan oleh Community TB Care „Aisyiah. Berdasarkan tingkat keparahan pasien penelitian dengan HBM ini dibagi menjadi empat level yakni sangat parah, parah, tidak parah dan gagal. Pada level sangat parah pasien yang masuk kategori ini adalah pasien TB dengan kondisi tubuh dinyatakan oleh pihak medis untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pasien pada level ini adalah Sar dan End. Tingkat parah adalah pasien yang mengalami sakit dan gejala TB hampir sama dengan tingkat sangat parah, tapi tidak perlu dilakukan perawatan di RS. Pasien pada level sedang ini adalah Bek dan Iwn. Kemudian level pasien tidak parah adalah pasien dengan gejala TB pada umumnya tapi kondisi tubuh masih bisa untuk melakukan aktifitas. Informan yang masuk dalam kategori ini adalah Tin. Terakhir adalah level pasien gagal yakni pasien yang putus di tengah jalan atau tidak menyelesaikan tahap pengobatannya. Untuk level pasien gagal informannya adalah Rod. Sar, 53 tahun, janda, ibu rumah tangga, tidak sekolah Berawal dari sakit panas yang berkepanjangan pada bulan Juni 2009, Sar sempat memeriksakan sakitnya ke klinik 24 jam di daerah Kalianyar. Saat itu dokter hanya mengatakan bu Sar kurang istirahat dan kurang makan. Setelah obat dari dokter di klinik 24 jam tersebut habis panas tinggi kembali menyerang bu Sar. Kembali bu Sar dibawa anaknya ke dokter kali ini ke Puskesmas Kalianyar. Dr Nurdin, dokter puskemas memberinya rujukan untuk pemeriksaan lanjut di Rumah Sakit Wira. Disana Sar dironsen dan hasilnya menunjukkan Sar positif TB. Kemudian hasil ronsen dibawa ke dokter Nurdin, bu Sar kembali diberi rujukan untuk diperiksa darah ke RS Cibubur Jakarta Barat. Setelah mendapat diketahui hasilnya, Sar diberi obat TB dan dianjurkan untuk mengikuti pengobatan secara rutin, Sar pun kembali ke rumah. Namun sekitar pukul 23.00 malam, tiba-tiba suhu badan Sar kembali tinggi sampai kejang-kejang. Hal ini mengkhawatirkan anak-anak Sar yang tinggal serumah. Akhirnya kembali Sar, ibu dari dua orang putra dan satu orang putri ini dibawa ke IGD RS Tarakan Jakarta Barat. Setelah mendapat penanganan di ruang IGD, Sar dibawa ke ruang isolasi di RS tersebut, dan akhirnya harus dirawat untuk penanganan yang lebih intensif. Setelah 10 hari dirawat di RS Tarakan Sar diperbolehkan pulang. Selang tiga minggu kembali suhu badan Sar tinggi dan mengalami kejang-kejang. Sar merasakan dadanya panas dan sesak. Anak-anak Sar segera membawa ke
69 puskesmas dan dari hasil pemeriksaan Sar diminta untuk menjalani rawat jalan untuk penyembuhan TB selama 9 bulan. Berat badan Sar pun mengalami penurunan drastis dari 45 Kg menjadi 20 Kg. Selama pengobatan, Sar yang hidup sehari-harinya dibiayai kedua anaknya, menjadi pasien TB yang terus didampingi Znb. Tak terhitung berapa kali Znb mengunjugi Sar termasuk untuk memantau kondisi kesehatan dan pola hidup Sar. End ( 36 tahun) menikah, ketua RT, kerja serabutan / dagang, tidak sekolah Akhir tahun 2011 End merasa tidak enak badan. Bila malam hari tiba suhu tubuhnya mulai naik.Saat bersamaan End merasa kedinginan bahkan menggigil. Dia juga mengalami batuk kering.Hal ini dirasakan hampir satu bulan. Saat batuk ia merasa mual-mual tetapi tidak sampai muntah. Berat badannya terus menurun, dari 60 kg menjadi 30 kg. Semula End sempat mengira demam itu disebabkan oleh typus. Kakaknya yang khawatir melihat kondisinya, lalu menganjurkan untuk berobat. Dia akhirnya berobat ke RS Wira. Dokter menganjurkan End yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah karena mengurus adik-adiknya itu untuk ronsen. Ronsen pertama dilakukan di RS Tarakan.Tapi karena tidak memuaskan lalu mengulang di RS Wira. Disana dikatakan ia positif kena flek (TB Paru) dan harus dirawat. Karena End orang tidak punya, ia tidak bisa dirawat. Sehari-hari End kerja serabutan. Saat ini dia berjualan VCD dengan penghasikan rata-rata Rp 30.000 perhari. Jika malam Minggu dia bisa mendapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Dia juga menjadi ketua RT di lingkungannya. End akhirnya berobat ke Puskesmas Kalianyar. Hasil pemeriksaan disana juga menunjukkan dia kena TB dan harus dirawat. End pun sempat ribut dengan suster Ber karena tidak mau dirawat. Akhirnya End pergi ke dokter swasta dr Leni. Dokter menyatakan bisa mengobati tanpa harus menjalani perawatan rumah sakit. Hanya disini End harus menebus obat yang rata-rata Rp 150 ribu per kunjungan. Baru berobat dua bulan End tidak sanggup lagi dan kembali ke puskesmas. End meneruskan pengobatan di puskesmas. Selama pengobatan di Puskemas End didampingi oleh Bu Znb. Ia menjalani pengobatan mulai dari awal lagi. Tapi baru berobat empat bulan, suster Ber mengatakan hasil dahaknya bagus, sehingga End tidak perlu melanjutkan pengobatan lagi. End mengaku orang yang paling memotivasi kesembuhannya adalah kakaknya Siti. Ia tinggal di rumah berlantai dua peninggalan neneknya. Rumah itu kini diurus oleh kakaknya itu. Di rumah itu End tinggal bersama istrinya. Sedangkan dua anaknya tinggal di kampung istri di Rangkasbitung. Rumah itu punya satu kamar mandi di bawah yang digunakan bersama-sama. End tinggal tinggal di lantai 2. Disitu ada empat kamar yang ditinggali empat keluarga. Mereka semua masih punya hubungan keluarga. Kalau tidak ada Siti, End yang tidak merokok ini mengatakan malas untuk berobat. Hampir tiap hari dia diomeli kakaknya itu. Itulah yang memotivasi End untuk sembuh. Siti juga sekaligus bertindak sebagai pengawas minum obat (PMO). Siti selalu mengingatkan End seperti kutipan berikut: “Kamu tidak boleh sakit, kalau sakit bagaimana anak-anak kamu. Ayo kamu harus mau berobat. Jangan malas-malasan begitu. Diniatin sembuhnya...”
70 Ketika pengobatan End mengikuti pola minum obat teratur, kontrol ke dokter, menjaga kebersihan, buang dahak tidak sembarangan tapi di toilet , disiram atau dikubur. Namun soal alat makan dia tidak memisahkan. Alasannya, istrinya tidak mau menyinggung perasaannya. Lagipula ia makan langsung dengan tangan. Selama masa pengobatan ia sering dikunjungi Znb. Pengetahuan tentang TB pertama dia dapat dari puskesmas, selanjutnya dari Znb. End juga sering diberi pengarahan oleh Znb tentang orang yang terkena penyakit TB dan ciri-cirinya. Karena itu bila ada orang yang kena TB dia segera menginformasikan kepada Znb untuk segera dibantu pengobatannya. End dinyatakan sembuh total Juni 2012. Keuntungan ikut TB Care yang dirasakan End, dia jadi banyak tahu tentang TB. Menurut End yang paling bahaya dari TB karena bisa menular, juga bisa sampai meninggal. TB juga bisa merugikan lingkungan karena menyebarkan kuman. Saat ini End sering dipanggil untuk memberi motivasi kepada orang yang sakit TB. Bahkan bulan Mei 2012 dalam rangka hari TB Sedunia ia sempat tampil di TV swasta untuk berbagi pengalaman ketika mengikuti pengobatan TB. Bek (32 tahun) pekerja konveksi, perokok, tamat SD Pada 2011 Bek pernah menjadi pasien TB dan menjalani pengobatan di Puskemas Kalianyar. Namun karena alasan pelayanan yang tidak menyenangkan di puskesmas Bek menghentikan pengobatannya. Awal Januari 2012 Bek sering terkena demam tinggi dan batuk berdahak yang tidak berhenti. Hampir sebulan kondisi ini dialami, yang lebih parah lagi Bek tidak bisa banyak beraktifitas. Sebenarnya Bek tahu dia sakit meski tidak tahu sakitnya apa, namun dia enggan untuk memeriksakan diri. Teman, saudara, bibi dan tetangganya pun datang untuk menjenguknya dan menyarankan agar Bek berobat ke dokter. Akhirnya setelah didatangi RT setempat Bek direkomendasikan untuk bertemu dengan Znb yang memang dikenal sebagai orang yang aktif dan peduli terhadap kesehatan warga sekitar. Melihat kondisi Bek, Znb memberitahukan bahwa dari gejalanya ia terkena TB, untuk memastikan Bek diminta untuk memeriksakan dahaknya. Bek dibawa ke RS Ibnu Sina, Grogol, Jakarta Barat dan dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Bek memang terkena TB. Bek pun menjadi pasien TB di RS Ibnu Sina dan di bawah pengawasan Znb. Bek yang sehari-harinya bekerja di konveksi dengan gaji sebesar Rp 600.000 per bulan mulai menjalankan pengobatan TB. Di puskesmas Kelurahan Kalianyar yang dekat dengan tempat tinggalnya dia menjalani pengobatan. Bek diberikan obat yang haru dia minum setiap hari secara teratur. Proses berobatnya tidak boleh putus,karena kalau putus maka. Setelah menjalani pengobatan di puskesmas keadaan Bek semakin membaik. Dia tidak lagi mengalami meriang dan batuk berdahak yang mengeluarkan darah. Kader dari puskesmas selalu menasehatinya agar dia berhenti merokok dan menjaga pola makanan yang bergizi. Bek sering diomeli oleh pihak puskesmas. Karena saya merasa pihak puskesmas tidak terlalau ramah dalam melayani akhirnya dia memutuskan untuk berhenti berobat. Akibatnya Bek kembali meriang dan batuk-batuk yang tak sembuh selama tiga bulan. Selama sakit dia tidak dapat bekerja. Bek hanya
71 tertidur dirumah dengan kondisi yaang melemah. Orang-orang di sekitar seperti keluarga, tetangga dan teman-temannya khawatir dengan keadaannya. Pada bulan April 2012 Bek disarankan oleh temannya untuk bertemu Ibu Znb dan meminta tolong untuk berobat. Setelah Znb mengetahui dia terkena TB, Bek dianjurkan untuk berobat ke Ibnu Sina. Disana dia berobat TB selama 6 bulan secara rutin dan teratur. Znb juga sering meminta Bek untuk berhenti merokok dan mengkonsumsi makanan yang bergizi, serta terus berobat secara rutin. Para tetangga dan ketua RT juga sering mengunjungi Bek. Mereka juga menasehati untuk terus berobat dan menjaga kebersihan. Bek tinggal di rumah yang sempit yang saling berdempetan satu sama lainnya. Rumah itu tidak mempunyai ventilasi. Kamar tidur yang tidak sehat, karena hanya beralaskan triplek. Rokok yang ia hisap tiap hari menambah udara menjadi kotor. Bek tinggal bersama bibinya. Orang tua Bek berasal dari Serang tapi dia lahir dan besar di Kalianyar. Dia sekolah hanya sampai kelas 3 SMP. Orangtuanya dulu tinggal disini juga tapi sekarang sudah meninggal. Sekarang dia tinggal bersama bibinya. Znb juga mengarahkan adiknya Pipit untuk menjadi PMO yang bertugas mengawasi Bek minum obat dan memiliki pola hidup sehat. Setelah 6 bulan berobat, Bek dinyatakan sembuh. Bek kini juga tahu mengenai bahaya penyakit TB. Dia mendapatkan pengetahuan itu dari puskesmas dan Znb. Iwn (37 tahun), pekerja konveksi, perokok, tamat SD Pada Januari 2012 Iwn mengalami batuk-batuk yang tak sembuh-sembuh selama dua minggu. Ia merasakan merasakan badannya lemas. Untuk mengangkat barang yang berat tidak mampu. Pada malam hari dia merasakan demam, panas dingin dan menggigil. Iwn jug tidak nafsu makan. Iwn kerja serabutan di konveksi. Waktu kerja pukul 08.00 sampai 22.00 malam istirahat dua kali, pukul 12 dan maghrib selama setengah jam. Penghasilan Rp 200 ribu per minggu habis untuk makan dan memberikan untuk anak asuhnya. Karena takut sakitnya bertambah parah Iwn akhirnya berobat ke puskesmas. Di sana dia dinyatakan kena penyakit TB paru. Iwn diminta berobat oleh dokter puskesmas salama 6 bulan. Dokter puskesmas juga meminta Iwn meminum obat secara teratur, sebab jika tidak dia harus berobat dari awal lagi. Disana dia juga diberi susu bubuk untuk membantu penyembuhan penyakit TB nya. Setelah berobat rutin ke puskesmas dia masih merasakan badannya kadang lemas. Untuk berjalan ke puskesmas saja Iwn mesti istirahat dulu sejenak. Ini karena kondisinya sudah tidak untuk berjalan berobat ke puskesmas. Iwn akhirnya didampingi Znb. Znb rajin membesuknya sambil membawakan susu. Dia diminta juga untuk berhenti merokok dan memakai masker. Kader TB Aiysiah ini memberi penjelasan dan informasi tentang TB. Misalnya tentang obat yang tidak boleh telat di minum dan pola hidup sehat. Zaenab meminta Iwn memperhatikan lingkungan rumah seperti tempat tidur yang bersih. Dia juga diminta kena sinar matahari, minimal menjemur diri pas matahari pagi.
72 Iwn didorong untuk sembuh oleh keluarga terutama bibinya. Ia sudah tinggal menumpang dengan bibinya selama 20 tahun. Bibinya juga yang menjadi PMO dan mengontrol kesehatannya. Iwn rajin minum obat sesuai jadwal. Minum obat setiap jam 06.00 pagi. Dia juga minum susu hampir setiap hari serta berhenti merokok. Iwn sangat ingin sembuh karena tidak mau merepotkan bibi dan keluarganya. Setiap pagi Iwn larilari dan jalan santai pagi buat melatih fisiknya. Setelah lima bulan berobat beratnya naik tiga kilogram. Kata dokter kondisi ini bagus. Sebelumnya dokter sempat mengatakan jika dia tidak rajin minum obat makan pengobatannya bisa sampai setahun. Akhirnya keadaan Iwn mulai membaik. Ia bisa kembali bekerja lagi. Berat badannya juga sudah naik. Iwn tahu mengenai bahaya dan cara penanggulangan TB dari buku yang diberikan oleh suster Ber di puskesmas, serta informasi langsung dari suster Ber. Iwn juga pernah mengikuti pertemuan pasien yakni penyuluhan mengenai TB di PAUD Aisyiyah. Tin (41 tahun), pekerja lepas konveksi, ibu lima anak, tamat SD Tin mulanya menjadi pengawas minum obat (PMO) bagi adiknya yang sakit TB. Tadinya dia merasakan hanya batuk biasa. Badannya kurus. Orang-orang menanyakan apakah dia sakit, Tin menjawab tidak, hanya mengalami pendarahan dari spiral yang sudah dipasangnya selama 2.5 tahun. Setelah dirontgen dan periksa dahak baru ketahuan Tin terkena TB. Dia akhirnya menjalani pengobatan. Baru empat kali ambil obat sudah ada perubahan. Tadinya berat badan Tin sempat turun sampai 48 kg padahal biasanya 60 kg. Saat terakhir mengambil obat berat badannya naik. Tin mengaku dengan minum obat nafsu makannya bertambah. Tin minum obat 1 kali sehari. Dia biasakan minum obat waktu bangun tidur agar tidak lupa atau terlewat. Karena kalau terlewat harus mengulang lagi dari awal. Suaminya sendiri dijadikan pengawas menelan obat (PMO). Dia mendapatkan 1 macam obat sebesar kancing. Tapi karena Tin mau sembuh ia terpaksa meminumnya, Tin juga dapat dapat vitamin dari puskemas. Selama Tin minum obat dia tidak mengalami efek yang berlebihan. Pada saat pertama memang sempat mengalami gatal-gatal. Tapi Znb yang mendampingi Tin mengatakan itu hanya efek dari obat saja. Tin ingin sembuh karena banyak anak. Dia khawatir anak-anaknya yang kecil tertular. Dia punya lima orang anak. Anak pertama laki-laki umur 18 tahun sudah bekerja sebagai kuli. Lainnya kelas 2 SMP, kelas 5 SD, kelas 2 SD, umur 5 tahun, dan 3 tahun. Dia tinggal di kontrakan kecil tanpa kamar mandi. Tin mengaku Znb banyak membantu. Kadang memberi uang untuk anakanaknya. Kadang-kadang juga makanan. Tin mengaku tahu penyakit TB dari puskesmas dan Znb. Dia juga diberitahu untuk memakai masker jika keluar rumah, dan tidak meludah sembarangan. Sehari-hari Tin bekerja di konveksi. Ia bekerja 8 jam sehari. Karena masih punya anak kecil bosnya memperbolehkan dia pulang sesekali untuk menengok anaknya. Kerja paling banyak dapat 10 lusin jahitan. Satu lusin dibayar Rp 2.000. Suami bekerja dikonveksi juga, sebagai karyawan tetap. Per hari dia dibayar Rp 30.000.
73 Tin sangat ingin sembuh, karena itu semua anjuran kader dia ikuti. Setelah enam bulan dia akan periksa dahak lagi untuk melihat apakah sakitnya sudah sembuh atau belum. Rod (50 th), ibu rumah tangga, penderita maag Rod dinyatakan terkena TB Januari 2012. Waktu ia mengalami batuk-batuk tidak berhenti. Roh mengalami pusing, demam, badan menggigil. Berat badannya turun dari 45 kg menjadi 31 kg. Saat itu dia berobat jalan saja di RS Tarakan. Tapi Rod mengatakan respon dokternya kurang. Dia hanya dua kali minum obat TB nya. Akhirnya dia pindah ke RS Ibnu Sina dan berobat TB dari awal lagi. Rod mengatakan dokter di Ibnu Sina dokter baik. Tapi dia tidak bisa meneruskan berobat TB karena harus disembuhkan dulu penyakit lainnya. Dia punya sakit maag dan alergi obat. Setiap minum dia merasakan tenggorokannya kering. Rod belum pernah mendapat penyuluhan tentang TB. Dokter di Ibnu Sina mengatakan kondisinya harus pulih dulu. Sampai sekarang Rod belum berobat lagi. Dia mengaku malas untuk berobat lagi. Batuknya memang sudah jarang, tapi berat badannya tidak naik-naik. Rod mengatakan sakit maagnya membuah sulit meminum obat TB. Habis setiap minum obat kebanyakan malah jadi pusing. Akibatnya sekarang kalau batuk ia memilih minum obat cina. Obat itu bisa membuat batuknya berhenti sementara, tapi satu bulan kemudian batuknya kambuh lagi. Rod tahu penyakit TB menular. Tapi dia merasa tidak kuat mengonsumsi obatnya. Dia juga sering mengalami panas dalam. Kalau tidur bibirnya kering. Znb yang mendampinginya mengatakan maagnya harus disembuhkan terlebih dulu. Dia mendengar bahwa maag bisa disembuhkan dengan kulit manggis. Tapi setelah dicoba dia justeru merasakan panas dan sesak. Kredibillitas Komunikator dan Daya Tarik Pesan dalam Mempengaruhi Persepsi Ancaman TB Peranan komunikator dalam persuasi sama dengan peranan komunikator berdasarkan retorika. Ini berkaitan dengan kredibilitas komunikator yang menjadi penting terkait dengan sukses atau tidaknya fasilitator yakni menjalankan peran pendampingan dalam pemberdayaan masyarakat. Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni kredibilitas adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator dan kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (komponen-komponen kredibilitas) (Rakhmat 2008). Komponen kredibilitas tersebut yakni keahlian dan kepercayaan. Kredibilitas ini penting karena pada kenyataannya komunikan akan memperhatikan siapa komunikator pembawa pesan sebelum ia mau menerima pesan tersebut. Dalam implementasi penanggulangan TB pada Community TB Care „Aisyiyah kredibilitas komunikator akan menentukan keberhasilan program di lapangan termasuk bagaimana seorang komunikator yakni kader, PMO dan petugas kesehatan mampu mempengaruhi pasien TB untuk merubah pola hidup sehat sebagai pendukung kesembuhan pasien.
74 Dalam penelitian yang dilakukan untuk melihat perubahan perilaku pasien TB pada program Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar beberapa komunikator terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain adalah Kader, PMO, dan petugas kesehatan. Berikut uraian mengenai kredibilitas komunikator yang peneliti peroleh dari tempat penelitian. Kader Komunitas Kader komunitas adalah salah satu komunikator yang terlibat dalam penanggulangan pada program Community TB Care „Aisyiyah di Kalianyar. Diantara tugas Kader komunitas adalah memberikan penyuluhan TB kepada individu, keluarga dan masyarakat, memantau pengobatan pasien TB agar mendapatkan pengobatan sesuai dengan saran petugas kesehatan, serta melakukan pendampingan dan pembinaan Pengawas Menelan Obat (PMO). Keahlian Znb adalah kader komunitas dari KPT Jakarta Barat yang berasal dari Kalianyar. Dalam menjalankan tugasnya sebagai kader, ibu tiga orang anak tersebut selalu aktif keliling tempat tinggalnya untuk mencari informasi mengenai kemungkinan ada warga yang diperkirakan menjadi suspek. Znb yang oleh warga sekitar dikenal juga sebagai tokoh agama karena dia aktif mengadakan pengajian, terlihat akrab dengan warga sekitar, ini terlihat saat bertemu dengan warga, banyak warga yang menyapanya ataupun sebaliknya. Znb juga aktif memberikan penyuluhan tentang TB pada pertemuan-pertemuan yang diadakan warga sekitar. Seperti yang dituturkan Mar, ibu RT setempat bahwa bu Znb adalah seorang yang aktif memberikan penyuluhan tentang TB. Pesan yang disampaikan oleh Znb sebagian besar bisa diterima dan dimengerti oleh partisipan. Ketika menyampaikan pesan tentang TB dan pola hidup sehat yang berkaitan dengan TB dengan suara keras yang dimilikinya dinilai informan sangat percaya diri sehingga dapat menyakinkan informan. Katakata yang disampaikan Znb pun terdengar jelas bagi informan. Setiap pertanyaan yang diajukan pasien atau PMO dapat dijawabnya secara rinci. Znb bergabung bersama Community TB Care „Aisyiyah sejak 2008, namun sebelum ikut dalam program tersebut Znb sudah aktif menjadi kader PKK terutama untuk bidang kesehatan. Znb juga aktif dalam organisasi „Aisyiyah. Kepercayaan Meski sebagian besar informan mengatakan gaya bicara Znb yang ceplas ceplos tapi mereka menilai justru Znb bisa menguasai emosi pasien ketika sedang memberikan informasi kepada pasien atau ketika melakukan kunjungan. Hampir semua informan mengatakan bila Znb adalah orang yang berbicara sesuai dengan fakta. Tin mengungkapkan kepercayaannya terhadap Znb sebagai berikut. “Yang dibilang bu haji itu memang benar, seperti soal buang dahak kan.Bu haji kalau ngomong tegas, tapi berperasaan. Seperti waktu saya baru sakit, saya kan ga mau orang lain tau. Bu haji bilang ga akan bilang ke siapa-siapa tapi saya tetap harus pakai masker biar ga nularin ke orang-orang. Bu haji juga ngomongnya kadang bisik-bisik. Ya saya ikuti…”
75 Menurut informan, setiap yang mengenal Znb akan merasa akrab dan dekat. Rasa kedekatan dengan kader juga menambah kepercayaan bagi para informan. PMO Pendamping Menelan Obat (PMO) juga menjadi salah satu komunikator pada program Community TB Care „Aisyiyah. PMO, selain mendampingi atau mengawasai minum OAT juga menyampaikan pesan atau informasi mengenai cara minum OAT. Keahlian Mah adalah salah satu PMO yang ditunjuk kader Znb untuk mendampingi pasien Iwn. Mah yang merupakan bibi dari Iwn tinggal satu rumah dengan Iwn. Saat menjalani pengobatan Mah lah yang selalu mengingatkan Iwn untuk minum atau menelan obat. Iwn menilai selama mendampinginya, Mah memiliki pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan TB seperti gejala TB, penularan TB dan bagaimana minum obat atau pola DOTS serta pola hidup sehat. Sama seperti Mah, Pit yang juga PMO dari Bek memiliki tugas mendampingi dan mengawasi Bek dalam masa pengobatan. Meski tidak tinggal satu rumah, namun jarak rumah Pit dan Bek berdekatan sehingga setiap hari Pit mengingatkan soal minum obat. Pit juga mengikuti pelatihan mengenai penanggulangan TB sehingga bagi Bek, Pit mengetahui cara pencegahan dan pengobatan TB. Mereka juga dilatih untuk bisa mengawasi pasien menelan obat meski pada kenyataannya jarang PMO melihat langsung pasien minum obat. Iwn menilai keahlian tersebut diperoleh Mah ketika mendapat pelatihan PMO. Meski begitu hampir semua pasien merasa bisa untuk minum obat tanpa harus diawasi oleh PMO . Kepercayaan Hampir semua informan menyatakan bahwa PMO memiliki sifat jujur dan dapat menguasai emosi pasien. Misalnya, bila pasien sedang bosan minum obat, PMO kadang datang menghibur. Hal ini mungkin disebabkan rata-rata PMO berasal dari keluarga pasien. Petugas Kesehatan Petugas kesehatan baik dari UPK pemerintah maupun UPK non pemerintah termasuk komunikator dalam program Community TB Care „Aisyiyah. Pada penelitian ini petugas dari UPK pemerintah yakni dari Puskesmas Kalianyar dan UPK Non Pemerintah dari RS Ibnu Sina. Keahlian Ber adalah salah satu petugas kesehatan dari Puskesmas Kalianyar.Empat dari lima orang informan yang ditangani Ber dalam pengobatan TB tersebut mengatakan dia tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan pesan kepada pasiennya. Mereka mengatakan Ber terlalu kaku, galak dan ketus.Salah satu
76 informan sempat putus pengobatan dan melakukan pengobatan ulang di RS Ibnu Sina. Satu orang yakni Iwn mengatakan Ber orangnya tegas. Rod adalah pasien yang sejak awal ditangani di RS Ibnu Sina.Menurut dia petugas kesehatan disana yakni dr. Sit dalam menyampaikan pesan mengenai TB dapat dimengerti dengan jelas. Tutur katanya pun lembut. Meski begitu Rod akhirnya menjadi pasien yang gagal dalam pengobatan. Kepercayaan Informan yang ditangani oleh Ber mengatakan mereka tidak memiliki rasa kedekatan dan keakraban dengan Ber meski tiap bulan bertemu untuk mengambil obat. Sebagian besar informan takut untuk bertemu dengan Ber tapi tetap terpaksa harus berhadapan karena dia adalah petugas kesehatan di Puskesmas Kalianyar yang menangani Pasien TB sedangkan dokternya tidak tetap. Salah seorang informan Tin bahkan pernah merasa tidak dihargai oleh Ber karena dibentak ketika melakukan kesalahan yakni meludah sembarangan. Hal ini mengakibatkan informan tidak mempercayai petugas kesehatan.
Daya Tarik Pesan Daya tarik pesan adalah sikap yang membuat orang senang akan pesan yang disampaikan. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek yang disenanginya itu. Daya tarik pesan digunakan untuk menyentuh (stimulasi) komunikan olehkomunikator dalam menyampaikan pesan, agar komunikan berubah. Dalam penelitian ini daya tarik pesan dibagi menjadi empat yaitu daya tarik rasional (rasional appeals), daya tarik emosional (emosional appeals), daya tarik ketakutan (fear appeals), dan daya tarik ganjaran (reward appeals). Penilaian informan tehadap daya tarik pesan yang disampaikan kader berbeda-beda meski kader adalah orang yang sama. Penilaian daya tarik pesan yang disampaikan PMO dinilai berbeda karena melihat hubungan kekerabatan seperti PMO yang memiliki hubungan sebagai bibi, suami, kakak atau pun adik. Sedangkan penilaian informan terhadap daya tarik pesan yang disampaikan petugas kesehatan hampir sama yakni memiliki daya tarik ketakutan. Berikut penilaian informan yang berbeda-beda terhadap daya tarik pesan yang disampaikan kader: Sar Sar menilai pesan yang disampaikan kader mengenai gejala TB memiliki daya tarik ketakutan. Hal itu karena isi pesan mengenai gejala TB yang bisa berakibat kematian. Znb menyampaikan pesan seperti berikut ini kepada Sar. “Panas ga turun-turun sampe lama ini TB, apalagi badan tambah kurus. Ada yang mati loh gara-gara TB...”
Pesan mengenai penularan TB juga dinilai Sar memiliki daya tarik ketakutan. Ini karena isi pesan yang disampaikan bisa mengakibatkan penularan pada keluarga Sar.
77 Berikut pesan Znb kepada Sar terkait dengan penyakit TN yang dideritanya. “Kalau ga diobatin bener TB bisa nular cepat. Anak-anak bu Sarah nanti bisa kena TB juga..”
Pesan mengenai Pola DOTS dan hidup sehat dinilai Sar mempunyai daya tarik ganjaran. Hal itu karena pesan yang disampaikan memberi keuntungan bila diikuti. Znb menyampaikan pesan berikut ini kepada Sar. “Kalau ibu mau minum obat teratur, makan makanan yang bergizi, Insya Allah ibu bisa sembuh…”
End Pesan yang disampaikan kader pada End mengenai gejala TB dinilai End memiliki daya tarik ketakutan. Karena mendengar pesan yang disampaikan kader membuat End terbayang akan kematian. Berikut pesan Znb kepada End. “Panas tinggi lama, batuk-batuk ga usah satu bulan ini TB nih..Mendingan kalau gejala seperti itu segera ke dokter.Banyak pasien TB yang ga ketolong dan akhirnya mati. Kamu mau begitu Ndong?”
Pesan yang diberikan kader mengenai penularan TB dinilai End memiliki daya tarik rasional. Hal itu menurutnya karena pesan itu sesuai dengan syaratsyarat ilmu kesehatan. Znb menyampaikan pesan kepada End sebagai berikut. “Kalo bersin harus ditutup, makanya sebaiknya pake masker. Air dan udara yang keluar dari pasien TB itu ngeluarin kuman TB. Nah kalau sudah keluar bisa nyebar di udara, nanti kalau ada orang yang menghirup udara itu bisa tertular TB…”
Pesan mengenai Pola DOTS dan hidup sehat dinilai End memiliki daya tarik ganjaran. Hal itu karena pesan itu menurut End dapat memberikan kesembuhan pada dirinya. Znb menyampaikan pesan berikut ini kepada End. “Ndong berobat yang rutin ya supaya sembuh. Jangan lupa minum susu. Minum susu bisa ngebantu penyembuhan…”
Bek Pesan mengenai gejala TB yang diberikan kader pada bek memiliki daya tarik emosional. Menurutnya pesan tersebut dapat menggunggah emosi atau perasaan Bek. Berikut pesan dari Znb kepada Bek. “Ini panas sudah lebih dari sebulan, ada batuknya juga, terus kamu juga tambah kurus. Ini gejala TB, cepat kamu periksa ke dokter biar bisa diobati. Ga kasian kamu sama keluarga, sama ade kamu, dulu juga ibu kamu kena TB kan…”
Sama seperti End, pesan yang disampaikan kader mengenai penularan TB pada Bek dinilai Bek memiliki daya tarik rasional. Alasannya, pesan disampaikan berdasarkan ilmu kesehatan. Kepada Bek, Znb menyampaikan pesan sebagai berikut:
78 “Beki kalau batuk ditutup ya. Bagusnya lagi kalau kamu mau pake masker. Kuman dari pasien TB gampang nular. Nah pas pasien TB batuk kan suka ada air yang keluar. Itu ngandung kuman TB kalau ga ditutup kuman akan mudah nyebar di udara. Dan kalau ada yang menghirup udara ini bisa ketularan karena udaranya udah kecampur kuman…”
Pesan mengenai pola DOTS dan hidup sehat yang disampaikan kader dinilai Bek memiliki daya tarik emosional. Bek menilai pesan itu bisa menyentuh emosinya. Berikut pesan Znb kepada Bek. “Jangan lupa ya jadwal ambil obatnya biar ga kelewat.Jangan banyak begadang lagi sekarang apalagi pake ngerokok segala. Nanti lama ga sembuh-sembuh, kalau ga sembuh gimana kamu bisa kerja…”
Iwn Iwn menilai pesan yang disampaikan kader mengenai gejala TB memiliki daya tarik emosional. Pesan oleh kader itu dinilai Iwn bisa menggugah perasaannya. Berikut pesan yang dikatakan Znb kepada Iwn. “Panas lama dan batuk Gejala TB, kalau ga diobatin bisa ga sembuh-sembuh. Kasihan kan Encing kamu kalau kamu sakit terus...”
Pesan yang disampaikan kader mengenai penularan TB dinilai Iwn memiliki daya tarik ketakutan. Dia menilai hal itu karena menyangkut dampak yang ditimbulkannya. Berikut disampaikan Znb kepada Iwn. “TB harus diobati dan disembuhkan. Kelik kamu harus sembuh, karena TB itu penularanya lebih mudah. Satu orang kena TB bisa menular ke 14 sampe 15 orang di sekitarnya. Yang tinggal di rumah encing kamu ini kan banyak, mereka bisa ketularan…”
Pesan mengenai pola DOTS dan hidup sehat yang disampaikan kader dinilai Iwn mempunyai daya tarik emosional. Alasannya pesan itu dapat menggugah emosi Iwn. Znb menyampaikan pesan berikut kepada Iwn. “Kalau mau sembuh, pokoknya segala-galanya harus pantang, biar bisa kerja lagi. Salah satunya rokok. Kalau kamu ga mau berhenti rokok bisa lama sembuh TB nya. Kamu ga bisa kemana-mana kalau ga sembuh-sembuh. Kasihan kan sama encing kamu…”
Tin Pesan mengenai gejala TB yang disampaikan kader kepada Tin dinilai Tin memiliki daya tarik ketakutan. Itu karena Tin mengagangap pesan yang disampaikan berkaitan dengan kematian. Berikut pesan yang didapat Tin dari Znb. “Ceu Titin, kalau batuk-batuk dan demam lebih dari 2 minggu itu gejala TB. Harus diobatin sampe tuntas ya.TB itu bisa mengakibatkan kematian. Jadi harus diobatin…”
79 Pesan mengenai penularan TB dari kader kepada Tin dinilai Tin memiliki daya tarik ketakutan. Menurutnya hal itu karena dampaknya yang bisa menular pada anak-anak Tin. Znb menyampaikan pesan kepada Tin sebagai berikut: “Kuman TB gampang nularnya. Makanya ceu titin harus benar-benar bisa sembuh. Ceu Titin kan sekarang kena TB nah anak-anak bisa ketularan karena lewat udara kuman bisa cepat nyebar…”
Tin menilai pesan mengenai pola DOTS dan pola hidup sehat yang disampaikan kader mempunyai daya tarik ganjaran. Ini berkaitan dengan manfaat yang akan diterima Tin. Tin mendapat pesan berikut dari Znb. “Minum obatnya yang teratur biar ga ngulang dari awal. Kalau teratur nanti bisa cepat sembuh. Jangan lupa makan makanan yang begizi dan minum susu biar bisa ngebantu penyembuhan TB...”
Rod Meski Rod adalah pasien gagal namun semua pesan yang disampaikan kader komunitas dinilai Rod memiliki daya tarik emosional. Semua pesan yang disampaikan dinilai dapat menggugah emosi Rod. Pesan yang disampaikan ZNB mengenai gejala TB kepada Rod adalah sebagai berikut. “Ibu demam sampai berhari-hari disertai batuk apalagi berat badan bu Rodiah sampe kurus, ini gejala TB. Makanya bu Rodiah harus berobat di Ibnu Sina.Kalau punya TB ibu nanti ga bisa ngapa-ngapain. Nanti yang rugi ibu sendiri gampang kena demam karena kuman TB masih ada di badan bu Rodiah…”
Pesan mengenai pola DOTS atau pola hidup sehat, juga dinilai Rod mempunyai daya tarik emosional. Ini karena Rod tidak bisa mengikuti pola DOTS yakni minum obat dengan teratur sehingga dia belum bisa sembuh dari TB. Pesan yang diterima Rod dari Znb adalah sebagai berikut. “Ibu harus sembuhin dulu sakit maag nya, nanti baru berobat untuk TB nya. TB itu minum obatnya harus teratur ga bisa putus atau kelewat. Kalau kelewat harus ngulang dari awal…”
Daya tarik pesan yang disampaikan kepada pasien dinilai berbeda oleh masing-masing pasien. Meski temanya sama namun ketika menyampaikan pesan pada pasien isinya berbeda sehingga stimulan pasien terhadap pesan tersebut berbeda pula. Dalam penelitian ini kredibilitas dan daya tarik pesan komunikator yakni kader komunitas menjadi faktor yang mempengaruhi pasien dalam memaknai ancaman penyakit TB. Dimana makna atau persepsi ini berpengaruh pada perubahan perilaku sehat sebagai upaya penyembuhan TB. Sementara persepsi ancaman sakit TB yang dirasakan pasien dengan analisis komunikasi kesehatan dalam Health Belief Model dapat terlihat pada Tabel 6.
80 Tabel 6 Komunikasi Kesehatan dalam HBM Pasien
Kerentanan yang dirasakan
Keparahan yang dirasakan
Manfaat yang Hambatan dirasakan yang dirasakan
Persepsi Ancaman TB
Sar
Lingkungan kumuh
Kejangkejang, panas tinggi, dada sesak, harus dirawat
Sembuh, Beli obat Kejangtidak batuk harus di luar kejang, sesak lagi, berubah rumah sakit nafas dan hidup sehat jadi mahal berat badan yang terus turun.
End
Lingkungan kumuh, makanan tidak sehat
Lemas, panas tinggi, tidak kuat bangun, harus dirawat
Jadi tahu Minum obat tentang TB, tiga macam, bisa suster galak memberi informasi TB kepada orang lain
panas tinggi sampai satu bulan, tidak kuat untuk bangun
Bek
Lingkungan kumuh, Keluarga pernah ada penderita TB, makanan tidak sehat
Panas tinggi, Berhe Di batuk nti merokok, puskesmas berdahak dan dibaw ngantri buat berdarah, akan susu, bosen berat badan jadi sembuh turun
Panas tinggi 2 bulan, dan batuk disetai dahak, tidak bisa bekerja.
Iwn
Lingkungan kumuh, lingkungan kerja tidak sehat
Demam satu Berhe Tidak ada bulan, batuk nti merokok, hambatan tidak makan yang berhenti, bergizi tidak kuat berjalan, dada sesak
Dada sesak, demam tinggi, tidak kuat untuk berjalan kaki.
Tin
Lingkungan kumuh, Keluarga pernah ada penderita TB
Panas dingin Berat satu bulan, badan naik, batuk, dada diberi sesak makanan bergizi, diberi uang
Repot minum obat, ngantri ambil obat di puskesmas
Batuk terus menerus, dada sesak, takut menular pada anakanaknya.
Rod
Lingkungan kumuh
Batuk tidak Belum berhenti, merasakan dada sesak, manfaat berat badan turun
Tidak kuat Batuk tidak minum obat berhenti TB sampai satu bulan, demam dan berat badan yang terus menurun.
81 Berdasarkan tabel tersebut ditunjukkan ancaman sakit TB dirasakan oleh para informan yang merupakan pasien TB, sangat menakutkan. Sar menyatakan bahwa dia tidak mau terkena TB lagi mengingat akibat TB dirinya sampai kejangkejang, sesak nafas dan berat badan yang terus turun. Lain lagi dengan End ancaman yang dirasakan mengenai TB membuat End panas tinggi sampai satu bulan dan mengakibatkan dia tidak kuat untuk bangun. Ini sangat menganggu aktifitasnya, terlebih ketika End dinyatakan harus dirawat, yang terbayang olehnya adalah kematian. Pasien Bek menyatakan ancaman sakit TB yang dirasakan adalah panas tinggi sampai hampir dua bulan dan batuk disetai dahak sehingga Bek pun tidak bisa bekerja. Iwn mengungkapkan ancaman sakit TB yang dirasakan adalah dada sesak dengan demam yang tinggi ditambah tidak kuat dirinya untuk berjalan kaki. Pasien Tin menjelaskan ancaman yang dirasakan mengenai TB adalah batuk terus-menerus, dada sesak hingga bayangan penularan terhadap anak-anaknya. Tin kemudian menyatakan bahwa dia harus segera sembuh. Lain lagi ancaman sakit TB yang dirasakan Rod yakni batuk yang tidak berhenti sampai satu bulan, demam dan berat badan yang terus menurun. Sayangnya meski Rod merasakan ancaman TB ini membahayakan tapi dia tidak bisa melakukan perubahan perilaku menuju kesembuhan TB karena dia memiliki penyakit selain TB sehingga kesulitan untuk mengkonsumsi OAT. Rasa kerentanan (perceived susceptibility) terhadap penyakit TB hampir sama dirasakan pasien yakni lingkungan kumuh, riwayat TB pada keluarga, atau kurangnya makan makanan bergizi. Kerentanan ini mengakibatkan tubuh pasien menjadi mudah terkena gejala bahkan sakit TB . Namun untuk keparahan yang dirasakan (perceived severity) akibat penyakit tersebut berbeda-beda yakni batuk berdarah, kejang-kejang, tidak dapat bangun dari tempat tidur atau dada sesak. Tingkat keparahan pasien dibagi menjadi tiga kelompok yakni sangat parah yakni Sar dan End, parah yakni Bek dan Iwn, dan tidak parah adalah Tin. Sedang pasien gagal adalah Rod. Meski tingkat keparahan berbeda, tidak semua informan dalam penelitian ini mau memeriksakan diri ke dokter atas kehendak diri sendiri. Sebagian besar memeriksakan diri karena diminta oleh keluarga, tetangga atau kader. Hanya ada satu informan yaitu Tin yang pergi memeriksakan diri ke dokter atas kemauannya sendiri. Ancaman penyakit (perceived threat) yang dirasakan para pasien TB tersebut membuat mereka mau melakukan perubahan perilaku seperti tidak merokok, menutup mulut saat batuk dan bersin, memakai masker dan minum susu untuk mencapai kesembuhan. Berikut disampaikan oleh Sar. “Saya minum obat teratur, kontrol ke dokter setiap bulan. Setelah itu saya di anjurin Bu Zaenab untuk rajin makan-makanan bergizi, minum susu sama hidup sehat, gak boleh jorok dan harus bersih lingkunganya. Makan sayuran saya usahakan harus ada, sayur bening bayam lah yang murah dan gampang. Saya juga cek dahak berapa bulan sekali untuk dilihat kumannya.Kalau buang ludah juga gak sembarangan…”
82 Perubahan perilaku sehat sebagian besar dilakukan subyek agar bisa sembuh dan tidak terkena penyakit TB lagi. Iwn menyampaikan hal sebagai berikut: “Saya harus sembuh, jadi saya mau ikutin apa kata dokter dan bu Zaenab. Saya rajin minum obat, setiap jam 6 pagi pasti obat sudah saya minum. Saya bisa berhenti ngerokok, makan teratur dan minum obat teratur, saya juga ga ngeludah sembarangan…”
Hampir semua pasien mengatakan manfaat mengikuti program ini sangat terasa (perceived benefits) seperti bertambahnya pengetahuan tentang TB dan berubahnya pola hidup sehat sehingga pasien merasa lebih baik dan lebih sehat. Hanya satu pasien yakni Rod yang tidak merasakan manfaat dari program karena dia belum sempat mengikuti program. Dia sudah putus obat ditengah jalan sebab tidak cocok dengan OAT karena memiliki penyakit lain. Sementara mengenai hambatan yang dirasa (perceived barriers) dianggap bukan suatu masalah apalagi pasien memiliki kader dan PMO yang selalu memberi motivasi dan semangat untuk sembuh. Faktor usia tidak mempengaruhi ancaman penyakit yang dirasakan sehingga terjadi perubahan perilaku karena semua pasien baik laki-laki dan perempuan merasakan ancaman yang sama sehingga mereka mau melakukan perubahan perilaku sehat. Namun jenis kelamin berpengaruh. Pasien perempuan yakni Sar dan Tin lebih taat dan mengikuti semua anjuran yang berkaitan dengan pola hidup sehat untuk penyembuhan TB seperti menggunakan masker dan mau makan makanan yang bergizi. Tin menyampaikan soal masker sebagai berikut: “Waktu pertama kena, kalau keluar saya pake masker. Kan sudah dibilang bu haji biar ga nularin ke orang-orang ya pake masker.Kalau di rumah sih kadang-kadang aja. Tapi kalau awal kena kan saya batuknya sering. Sekarang sih sesekali aja pake maskernya...”
Sementara pasien laki-laki yakni End, Bek dan Iwn jarang menggunakan masker. Rata-rata mereka memakai masker hanya 1 atau 2 kali. Untuk makanan bergizi sulit mereka temui karena mereka makan makanan jadi atau membeli di warung. Bek mengungkapkan sebagai berikut: “Pakai masker tuh engap. Udah dada sesak ditambah pake masker jadi tambah susah kayanya untuk nafas. Baru sekali saya pake masker ga enak deh. Tapi saya kan biar ga pake masker kalau batuk atau bersin ditutup, seperti yang diajarin bu Zaenab…”
Faktor status pernikahan juga berpengaruh terhadap perubahan perilaku. Pasien yang sudah menikah yakni Sar, End dan Tin lebih berusaha keras untuk segera sembuh dan mau mengikuti pola hidup sehat seperti tidak merokok, menutup hidung bila bersin, atau tepat waktu ketika minum obat. Baik Sar, End dan Tin tidak ingin penyakitnya menular pada anggota keluarganya. Sementara pasien Bek dan Iwn lebih santai. Iwn bahkan sempat ingin mengganti obat mengingat OAT harus dikonsumsi setiap hari. Iwn juga pernah terlewat satu hari untuk terlewat tidak minum obat. Tapi ketika dikonsultasikan ke kader, menurut kader tidak apa-apa karena hitungannya baru satu hari sehingga hari berikutnya
83 dapat langsung minum obat dua kali dengan jarak waktu pagi dan malam. Lain lagi dengan Bek, meski dalam pengobatan TB dia masih suka ikut begadang berkumpul dengan teman-temannya. Dorongan dari luar terhadap perubahan perilaku terbesar dipengaruhi dengan hadirnya kader komunitas TB Care yang selalu mendampingi dan memantau kondisi pasien selama masa pengobatan. Dengan menggunakan pendekatan interpersonal kader komunitas bisa memberikan informasi secara jelas mengenai hal yang berkaitan dengan penanggulangan TB seperti cara minum OAT, pola hidup sehat, kontrol ke petugas kesehatan dan evaluasi kondisi pasien. Sebagian besar pasien dapat menerima dengan baik pesan yang disampaikan kader serta mengikuti apa yang dianjurkan oleh kader. Bek menyampaikan pesan sebagai berikut. “Saya jadi berubah begini ya karena bu Zaenab. Termasuk waktu disuruh berhenti ngerokok. Bu Zaenab cerewet tapi yang dibilangnya benar juga. Kalau saya ga berhenti ngerokok gimana mau sembuh. Bisa lama pengobatan saya. Bu Zaenab juga kalau datang kesini bawain susu sama selalu nanyain Ki gimane obat masih ada kan? Jangan lupa jadwal ambil obatnya ye..”
Kredibilitas kader juga dirasakan oleh pasien End. Gaya Znb yang menurutnya ceplas ceplos dan apa adanya justru membuat kepercayaan terhadapnya semakin tinggi. Karena apa yang disampaikan oleh kader menurut End benar sehingga dia mau melakukan perubahan perilaku sehat. End menyampaikan soal Znb sebagai berikut. “Bu Zaenab minta saya minum obat teratur, kontrol ke dokter setiap bulan. Itu saya kerjain. Saya juga cek dahak berapabulan sekali untuk dilihat kumannya. Bu Zaenab juga selalu ngingetin soal buang ludah jangan sembarangan. Jadi saya kalau buang ludah juga gak sembarangan. Soalnya kalau sembarang nanti kumannya bisa cepat menyebar ke orang-orang…”
Meski petugas kesehatan dari puskesmas membantu untuk kesembuhan pasien, sebagian besar pasien takut untuk berhadapan langsung dengan petugas. Hal itu tersebut karena cara petugas menyampaikan informasi atau pesan tentang TB dianggap menyinggung perasaan. Informasi yang disampaikan bernada ketus atau galak. Tin menyampaikan soal Ber sebagai berikut: “Saya paling takut kalau pas jadwal ambil obat di puskesmas. Takut ketemu suster Ber. Yang diomonginnya sih bener tapi ya ampun judes banget. Kalau ngomong juga suaranya keras banget. Saya pernah dimarahin sambil ditunjuk-tunjuk waktu ketahuan ngeludah sembarangan di puskesmas. Makanya kalau pas ambil obat saya menjauh aja dari tempat antrian biar ga keliatan. Nanti kalau dah dipanggil baru maju ambil obat…”
Sedangkan PMO yang seharusnya benar-benar mendampingi pasien sampai harus menelan obat pada kenyataannya hanya bertugas mengingatkan pasien untuk minum obat dan jadwal mengambil obat. Namun karena PMO orang yang terdekat dengan pasien bahkan banyak yang satu rumah, PMO bisa melihat aktivitas sehari-hari pasien. Karena hubungan kekerabatan tersebut kepercayaan terhadap PMO pun timbul.
84 Iwn menyampaikan soal PMO sebagai berikut: “Encing saya kan PMO, dia yang ngawasin saya minum obat dan juga ngingetin saya harus banyak istirahat biar cepat sembuh katanya. Ya saya percaya sama encing saya apa yang dibilang encing kan pasti untuk kebaikan saya. Apalagi saya juga lebih dekat sama encing dibandingin sama ibu saya…”
Daya tarik isi pesan juga memiliki pengaruh terhadap ancaman yang dirasakan (perceived threat) pasien mengenai penyakit TB dan merupakan salah satu faktor pertimbangan perubahan perilaku sehat informan. Misal adanya daya tarik pesan ganjaran (reward appeals) membuat pasien Tin mau melakukan minum obat dengan teratur. Tin menyampaikan pesan sebagai berikut. “Bu haji bilang ceu Titin minum obatnya yang teratur biar ga ngulang dari awal. Nanti kalau teratur bisa cepat sembuh. Saya kan pengen banget sembuh, jadi saya selalu minum obat teratur. Sampe sekarang saya belum pernah kelewat minum obat…”
Hasil penemuan lapangan menunjukkan bahwa unsur komunikasi kesehatan yang mempengaruhi persepsi ancaman penyakit TB sehingga terjadi perubahan perilaku sehat dalam pengobatan penyakit TB adalah kredibilitas kader dan PMO. Namun kredibiltas kader dinilai informan lebih berpengaruh dibanding PMO. Unsur daya tarik isi pesan juga membuat motif psikologis pasien mempengaruhi persepsi terhadap ancaman sakit TB sehingga mendorong untuk melakukan perubahan perilaku sehat.
Ikhtisar Perubahan perilaku dalam teori Health Belief Model didasari oleh kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil resiko kesehatan. Perubahan perilaku juga terjadi karena adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku. Dalam penelitian ini perubahan perilaku subyek yakni pasien TB terjadi karena subyek merasa terancam dengan penyakit TB. Pasien sudah merasakan bagaimana serius atau parahnya penyakit TB menyerang mereka. Meski ada subyek yang gagal melakukan perubahan perilaku karena ada berkaitan dengan penyakit lain yang dideritanya. Hocbaum dan Rosenstock seperti dikutip Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu teori sikap yang paling berpengaruh dalam menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat adalah Health Belief Model. Individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada dua faktor yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi ancaman yang dirasakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ancaman sakit TB dirasakan oleh para informan yang merupakan pasien TB, sangat menakutkan. Rasa kerentanan (perceived susceptibility) terhadap penyakit tersebut hampir sama seperti lingkungan kumuh, riwayat sakit TB atau makanan yang tidak bergizi. Namun
85 untuk keparahan yang dirasakan (perceived severity) akibat penyakit tersebut berbeda-beda yakni batuk berdarah, kejang-kejang, tidak dapat bangun dari tempat tidur atau dada sesak. Tingkat keparahan pasien dibagi menjadi empat kelompok yakni sangat parah yakni Sar dan End, parah yakni Bek dan Iwn, dan tidak parah adalah Tin. Sedang pasien gagal adalah Rod. Meski tingkat keparahan berbeda, tidak semua informan dalam penelitian ini mau memeriksakan diri ke dokter atas kehendak diri sendiri, sebagian besar memeriksakan diri karena diminta oleh keluarga, tetangga atau kader. Hanya ada satu informan yaitu Tin yang pergi memeriksakan diri ke dokter atas kemauannya sendiri. Ancaman penyakit (perceived threat) yang dirasakan para pasien TB tersebut membuat mereka mau melakukan apa saja untuk mencapai kesembuhan salah satunya adalah merubah perilaku yakni berhenti merokok, menggunakan masker, tidak meludah sembarangan dan mau makan makanan dan minum minuman yang bergizi. Perubahan perilaku sehat sebagian besar dilakukan subyek di semua level agar bisa sembuh dan tidak terkena penyakit TB lagi. Hal ini sama dengan hasil penelitian Kumboyono mengenai perilaku berhenti merokok. Hasil menunjukkan bahwa persepsi terhadap manfaat merupakan prediktor kuat dalam Health Belief Model yang melatar belakangi berbagai pilihan tindakan untuk berhenti merokok (Kumboyono 2011). Sedangkan dalam penelitian tentang perilaku penderita diabetes, persepsi terhadap ancaman dan emosi negatif, berhubungan positif linier dengan kepatuhan (Wdowik et al. 2001) bertentangan dengan pernyataan HBM dan EHBM yang menyatakan bahwa ancaman yang dirasakan akan mengarah pada kepatuhan. Sejalan dengan penelitian pada kelompok remaja menemukan justru kepatuhan didapat apabila ancamannya kecil. Namun hasil penelitian menunjukkan faktor jenis kelamin dan status perkawinan mempengaruhi perubahan perilaku seperti terlihat dalam Tabel 7.
Tingkat Keparahan Pasien
Tabel 7 Persepsi sakit TB dan perubahan perilaku berdasarkan status perkawinan Informan Jenis Status Pekawinan Ancaman Sakit TB Perubahan Perilaku Hidup Sehat Kelamin
Sangat Parah
Sar
Perempuan
Menikah
End
Laki-laki
Menikah
Bek
Laki-laki
Lajang
Iwn
Laki-laki
Lajang
Tidak Parah
Tin
Perempuan
Menikah
Batuk terus menerus, dada Memakai masker, tidak meludah sesak, takut menular pada sembarangan, menutup hidung dan mulut anak-anaknya. ketika batuk, makan makanan bergizi, minum susu, teratur minum OAT
Gagal
Rod
Perempuan
Menikah
Batuk tidak berhenti sampai Tidak ada perubahan perilaku sehat satu bulan, demam dan berat badan terus menurun.
Parah
Kejang-kejang, sesak nafas Memakai masker, tidak meludah dan berat badan yang terus sembarangan,menutup hidung dan mulut turun. ketika batuk, makan makanan bergizi, minum susu, teratur minum OAT Panas tinggi sampai satu Jarang memakai masker, tidak meludah bulan, tidak kuat untuk sembarang, tidak merokok, tidak bangun, takut mati memisahkan alat makan ,minum OAT teratur, tidak makan makanan bergizi, minum susu Panas tinggi 2 bulan, dan Tidak memakai masker, tidak meludah batuk disetai dahak, tidak bisa sembarangan, minum susu, tidak makan bekerja. makanan bergizi, masih begadang, kadangkadang merokok Dada sesak, demam tinggi, Tidak memakai masker, tidak meludah tidak kuat untuk berjalan kaki. sembarangan, minum susu, tidak makan yang bergizi, tidak teratur minum OAT
87 Pasien perempuan lebih taat dan mengikuti perilaku sehat yang dianjurkan sebagai upaya penyembuhan TB dibandingkan pasien laki-laki. Pasien dengan status menikah terlihat berusaha keras untuk segera sembuh atau tidak merasakan sakit TB karena pertimbangan adanya keluarga baik takut tertular pada anak-anak, suami atau istrinya maupun ancaman kematian sehingga dapat meninggalkan keluarganya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan dorongan dari luar yang memiliki pengaruh terhadap ancaman penyakit yang dirasakan adalah kredibilitas komunikator dan daya tarik isi pesan. Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator (Rakhmat, 2008). Kredibilitas komunikator menjadi penting terkait dengan sukses atau tidaknya fasilitator yakni menjalankan peran pendampingan dalam pemberdayaan masyarakat. Komponen kredibilitas tersebut yakni keahlian dan kepercayaan. Kader komunitas adalah salah satu komunikator yang terlibat dalam penanggulangan pada program Community TB Care „Aisyiyah di Kalianyar. Diantara tugas kader komunitas adalah memberikan penyuluhan TB kepada individu, keluarga dan masyarakat, memantau pengobatan pasien TB agar mendapatkan pengobatan sesuai dengan saran petugas kesehatan, serta melakukan pendampingan dan pembinaan Pengawas Menelan Obat (PMO). Pesan yang disampaikan oleh kader komunitas sebagian besar bisa diterima dan dimengerti oleh partisipan. Pasien menilai kader komunitas bisa menguasai emosi pasien ketika sedang memberikan informasi kepada pasien atau ketika melakukan kunjungan. Hampir semua informan mengatakan kader komunitas orang yang berbicara sesuai dengan fakta. PMO juga menjadi salah satu komunikator pada program Community TB Care „Aisyiyah, selain mendampingi atau mengawasai minum OAT PMO juga menyampaikan pesan atau informasi mengenai cara minum OAT. PMO juga dilatih untuk bisa mengawasi pasien menelan obat. Meski pada kenyataannya jarang PMO melihat langsung pasien minum obat. Karena hampir semua pasien merasa bisa untuk minum obat tanpa harus diawasi oleh PMO. Hampir semua informan menyatakan bahwa PMO memiliki sifat jujur dan dapat menguasai emosi pasien. Secara garis besar penderita TB memberikan penilaian terhadap kredibilitas kader, PMO dan petugas kesehatan secara berbeda-beda. Di mata penderita TB baik kader maupun PMO mempunyai kompetensi berupa pengetahuan yang memadai dalam hal pengobatan TB dan dapat dipercaya karena ketulusannya. Kader dengan reputasinya sebagai orang yang peduli kepada masyarakat sekitar dan PMO dari anggota keluarga. Sedangkan petugas kesehatan kredibilitasnya bersumber dari pengetahuan yang dimilikinya. Daya tarik isi pesan adalah sikap yang membuat orang senang akan pesan yang disampaikan. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek yang disenanginya itu. Daya tarik isi pesan digunakan untuk menyentuh (stimulasi) komunikan oleh komunikator dalam menyampaikan pesan, agar komunikan berubah. Bagi pesan yang disampaikan kader mengenai gejala TB memiliki daya tarik ketakutan, karena isi pesan mengenai gejala TB yang bisa berakibat kematian atau karena dampaknya yang luar biasa bisa menular pada anak-anak. Pesan yang disampaikan juga dinilai memiliki daya tarik rasional, karena sesuai dengan syarat-syarat ilmu kesehatan. Pesan mengenai Pola DOTS
88 dan hidup sehat memiliki daya tarik ganjaran karena dapat memberikan kesembuhan. Pada pasien gagal semua pesan yang disampaikan kader komunitas memiliki daya tarik emosional, karena dapat menggugah emosi. Penilaian pasien TB terhadap kader, PMO dan petugas kesehatan dari pesan yang disampaikan secara garis besar berbeda-beda. Pesan yang disampaikan kader menurut penilaian penderita TB yaitu daya tarik ketakutan dan emosional. Penderita TB merasa takut dengan isi pesan yang menyatakan bahwa penyakit TB dapat menyebabkan kematian dan dapat menular kepada anak-anaknya. Sedangkan daya tarik emosional bagi penderita TB saat kader menyampaikan kondisi kesehatan penderita TB yang semakin kurus dan mengingatkan minum obat. Adapun penilaian daya tarik pesan dari PMO menurut pasien TB secara garis besar lebih beragam yaitu daya tarik ganjaran, ketakutan dan emosional. Daya tarik ganjaran bagi penderita TB saat PMO menjelaskan manfaat yang dirasakan setelah berobat. Sedangkan daya tarik ketakutan dan emosional secara garis besar sama dengan pesan yang disampaikan oleh kader. Semua penderita TB, memberikan penilaian daya tarik pesan kepada petugas kesehatan berupa daya tarik ketakutan. Hal tersebut karena petugas kesehatan memberikan pesan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan kader dan PMO memberikan pesan dengan pendekatan persuatif. Terlebih kader adalah masyarakat lokal yang memiliki kepedulian terhadap penderita TB dan PMO adalah anggota keluarga penderita TB. Penilaian informan terhadap kredibilitas dan daya tarik pesan komunikator dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Penilaian Informan terhadap kredibilitas dan daya tarik pesan komunikator Pasien Kader PMO Petugas Kesehatan Kredibilitas
Daya Tarik Kredibilitas Pesan
Daya Tarik Kredibilitas Pesan
Daya Tarik
Menguasai Emosi Menguasai emosi
Ketakutan
Jujur
Ganjaran
Ketakutan
Ketakutan
Menguasai emosi
Ketakutan
Bek
Menguasai emosi
Emosional
Jujur
Emosional
Iwn
Gaya bicara Emosional menyenang kan
Menguasai emosi
Ganjaran
Membuat kesal Tidak menguasai emosi Tidak bisa menguasai emosi Jujur
Tin
Menguasai emosi
Ketakutan
Jujur
Ganjaran
Membuat Kesal
Ketakutan
Rod
Memahami perasaan pasien
Emosional
-
-
Bisa dipercaya
Ketakutan
Sar End
Ketakutan
Ketakutan
Ketakutan
89 Kedua unsur yakni kredibilitas komunikator dan daya tarik isi pesan yang menjadi pertimbangan pasien untuk melakukan perubahan perilaku sehat. Perubahan perilaku penderita TB untuk mau menjalani pengobatan tidak lepas dari kredibilitas dan pesan yang disampaikan oleh kader dan PMO. Bagi Sar, kader adalah orang yang banyak memberikan dorongan untuk menjalani pengobatan dengan memantau kondisi dan pola hidup Sar. Sedangkan menurut End, orang yang banyak memberikan motivasi selama pengobatan adalah PMO yang tidak lain kakaknya sendiri. Dalam penelitian ini dorongan dari luar terhadap perubahan perilaku terbesar dipengaruhi dengan hadirnya kader komunitas TB Care yang selalu mendampingi dan memantau kondisi pasien selama masa pengobatan. Dengan menggunakan pendekatan interpersonal kader komunitas bisa memberikan informasi secara jelas mengenai hal yang berkaitan dengan penanggulangan TB seperti cara minum OAT, pola hidup sehat, kontrol ke petugas kesehatan dan evaluasi kondisi pasien. Sebagian besar pasien dapat menerima dengan baik pesan yang disampaikan kader serta mengikuti apa yang dianjurkan oleh kader. Sementara itu meski petugas kesehatan dari puskesmas membantu untuk kesembuhan pasien, sebagian besar pasien takut untuk berhadapan langsung dengan petugas tersebut karena dianggap cara petugas menyampaikan informasi atau pesan tentang TB menyinggung perasaan. Seperti bernada ketus atau galak. Selain Sar, Bek juga merasakan bahwa orang yang banyak memberikan dorongan untuk menjalani pengobatan adalah kader. Dalam hal ini kader selalu mengingatkan Bek untuk berobat dan banyak memberikan pengetahuan tentang TB. Lain halnya dengan Iwn yang merasakan bahwa orang yang banyak memberikan dorongan selama pengobatan yaitu kader dan PMO. Kader selalu mengingatkan Iwn untuk minum obat, menjalani pola hidup sehat dan membawakan susu. PMO yang tidak lain adalah bibi Iwn juga memberikan dorongan dengan selalu mengontrol kondisi kesehatannya. Tin seorang penderita TB yang tadinya adalah seorang PMO, juga merasakan bahwa kader sangat membantu dalam proses pengobatan. Tin juga terdorong untuk sembuh dari penyakit TB karena anak-anaknya masih banyak dan tidak ingin menularkannya. Sedangkan Rod adalah salah satu penderita TB yang drop out karena memiliki penyakit lain dan alergi obat, sehingga tidak dapat meneruskan pengobatan TB. Seperti hasil penelitian Purwaningsih et al. (2011) pemanfaatan Voluntary Conseling and Testing (VCT) bagi penderita HIV/AIDS juga didorong oleh teman-teman dan keluarga terdekat. Dorongan yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga membuat penderita HIV/AIDS mau memeriksakannya ke Puskesmas Dupak dan memanfaatkan VCT. Selain teman dan keluarga beberapa penderita HIV/AIDS juga mendapatkan dorongan dari petugas kesehatan untuk memanfaatkan VCT, meskipun dorongan tersebut tidak kuat dibanding teman dan keluarga. Sayangnya pula perubahan perilaku pasien tidak didukung oleh kondisi lingkungan tempat tinggal mereka. Karena meski perubahan perilaku sehat sudah dilakukan tapi perbaikan lingkungan belum bisa seperti kondisi rumah yang sangat tidak layak huni dan tidak tersedianya WC di setiap rumah pasien.
90 Implikasi Teoritis: Komunikasi Kesehatan Penanggulangan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin Advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial (AKMS) adalah satu satu bentuk model komunikasi pembangunan, dimana dalam model ini seluruh lapisan masyarakat diminta untuk aktif berpartisipasi sehingga masyarakat menjadi berdaya (Mckee 1992). Penelitian ini memperlihatkan adanya advokasi berupa kebijakan dan komitmen dari pemerintah kota, kecamatan dan kelurahan dalam penanggulangan penyakit menjadikan program dapat berjalan baik. Mobilisasi sosial yang menggerakkan komunitas TB, kader, tokoh agama, tokoh masyarakat dan PMO dikerahkan dalam penggalangan dukungan untuk mewujudkan angka penurunan TB. Program komunikasi yang diselenggarakan dengan melibatkan sasaran tertentu dari berbagai tingkatan mewujudkan penyampaian pesan berkaitan dengan pengobatan TB dengan target akhir adalah perubahan perilaku pasien. Komunikasi kesehatan menurut Satrianegara dan Saleha (2009) merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktik-praktik kesehatan populasi-populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status kesehatan. Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung mepromosikan kesehatan, mencegah penyakit, atau melindungi individu-individu terhadap bahaya. Hocbaum pada tahun 1958 dan Rosenstock seperti yang dikutip Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu teori sikap yang paling berpengaruh dalam menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat adalah Health Belief Model (HBM). Individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada dua faktor yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah individu meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi ancaman yang dirasakan. Hasil penelitian Kumboyono (2011) menyatakan terdapat hubungan bermakna antara persepsi terhadap ancaman penyakit akibat rokok dengan motivasi berhenti merokok. Persepsi manfaat (perceived benefit) berhenti merokok berhubungan dengan motivasi berhenti merokok. Persepsi terhadap manfaat merupakan prediktor kuat dalam health belief model yang melatarbelakangi berbagai pilihan tindakan untuk berhenti merokok. Persepsi penghambat (perceived barrier) berhenti merokok berhubung dengan motivasi berhenti merokok. Hasil penelitian menunjukkan persepsi ancaman penyakit TB lebih mempengaruhi individu dibandingkan manfaat atau hambatan yang dirasakan individu untuk melakukan perubahan perilaku baik bagi kesembuhannya maupun sebagai upaya pencegahan penularan terhadap lingkungan sekitar. Faktor lain yang tidak ditemui pada penelitian HBM lainnya yakni adanya kepercayaan dan kedekatan komunikator yang berada dalam lingkungan sosial yang sama yakni kemiskinan mempengaruhi individu untuk melakukan keputusan perubahan perilaku sebagai upaya pengobatan penyakitnya. Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini perubahan perilaku kesehatan di tingkat individu khususnya di masyarakat miskin tidak akan terlaksana tanpa adanya advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi (AKMS).
91 Adanya AKMS menggerakkan dan memberdayakan segala lapisan masyarakat sehingga informasi pengobatan sampai di tingkat individu. Kedekatan dan kepercayaan pada komunikator yang berasal dari lingkungan sosial yang sama mempengaruhi persepsi terhadap individu untuk melakukan perilaku sehat dalam upaya pengobatan penyakitnya.
92
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian mengenai hasil penelitian, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan tiga hal untuk menjawab perumusan masalah berkaitan dengan advokasi komunikasi mobilisasi sosial (AKMS), moda komunikasi partisipatori dan perubahan perilaku masyarakat dalam penanggulangan TB pada program Community TB Care „Aisyiyah, sebagai berikut: 1. Kelompok masyarakat (civil society) penanggung jawab program penanggulangan TB berhasil menggalangkan komitmen pengambil keputusan di tingkat kota dan kecamatan sehingga menjadi dasar mobilisasi sosial yang menghasilkan partisipasi di tingkat kota dengan memberikan sumbangan pengobatan dari warga atau kelompok mampu secara ekonomi kepada warga miskin. Status kepala pemerintah kecamatan sebagai kader organisasi masyarakat penanggungjawab program penanggulangan TB memperkuat dukungan dan memanfaatkan jaringannya untuk menghimpun sumberdaya yang lebih luas, melalui pengaruh politiknya (kepada puskesmas dan kelurahan) maupun jaringan pribadi sehingga membuka akses pasien pada pelayanan pengobatan dan bantuan ekonomi. Di tingkat komunitas atau kelurahan penanggungjawab program mampu menggalang mobilisasi sosial dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada berupa modal sosial yakni kerjasama dan kepedulian warga terhadap pasien TB melalui kader, tokoh masyarakat dan PMO. Perubahan perilaku kesehatan di tingkat individu khususnya di masyarakat miskin tidak akan terlaksana tanpa adanya advokasi, mobilisasi dan komunikasi(AKMS). Adanya AKMS menggerakkan dan memberdayakan masyarakat sehingga informasi pengobatan TB sampai di tingkat individu. 2. Komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi partisipatori yang mengkombinasikan moda monologis dan dialogis. Moda monologis terjadi dalam pelatihan dan penyampaian informasi mengenai penyakit dan pengobatan TB kepada pasien, kader dan PMO serta tokoh masyarakat. Sementara forum pertemuan komunikasi dialogis terbentuk untuk memecahkan masalah. Forum-forum monitoring dan pertemuan pasien menjadi arena tidak hanya pertukaran informasi tentang pengobatan TB tetapi juga pemecahan masalah dan ajang konsultasi dan „curhat‟ dalam mendampingi pasien. Kunjungan pasien dan pendampingan oleh PMO tidak hanya untuk memantau pengobatan tetapi sebagai bagian penting menghibur dan memberikan semangat kepada pasien yang cemas dan bosan minum obat. Moda komunikasi partisipatori dialogis dalam komunikasi kesehatan diperlukan tidak hanya sebagai transfer informasi dari pemilik program tapi juga sebagai pendekatan untuk bertukar pendapat dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. 3. Kredibilitas kader dan PMO tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan TB yang diperolehnya melalui pelatihan tetapi juga kepercayaan akan ketulusan kader dan PMO (anggota keluarga) yang peduli. Kredibilitas yang demikian besarnya ini memungkinkan
93 respon positif pasien walaupun pesan dari kader dan PMO menakutkan dan cara penyampaian yang keras dimaknai pasien sebagai bentuk kepedulian terhadap dirinya dan memotivasinya untuk menjalani pengobatan. Status pasien sebagai orangtua yang memiliki tanggungan anak-anak mendorong tekadnya untuk sembuh, sementara pasien lajang berhenti minum obat karena kurangnya motivasi untuk sembuh. Pendekatan interpersonal yakni adanya kepercayaan dan kedekatan komunikator dan komunikan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan persepsi ancaman suatu penyakit. Sementara itu kredibilitas komunikator dan adanya keluarga dapat mempengaruhi individu untuk melakukan keputusan perubahan perilaku sebagai upaya penyembuhan penyakit. Persepsi ancaman (perceived threat) sakit TB pasien dilihat dari Health Belief Model dibentuk kuat oleh persepsi keparahan (perceived severity) pasien dan dorongan dari luar (cues to action) yakni kredibilitas kader dan PMO. Meski persepsi kerentanan, jenis kelamin dan status perkawinan mempengaruhi persepsi ancaman sakit, namun rasa sakit yang memiliki makna parah bagi pasien adalah faktor yang paling kuat membentuk persepsi ancaman sakit TB. Persepsi ancaman sakit TB serta persepsi manfaat (perceived benefit) yang dirasakan pasien berpengaruh pada perubahan perilaku sehat dalam penyembuhan TB. Kedekatan dan kepercayaan pada komunikator yang berasal dari lingkungan sosial yang sama mempengaruhi persepsi terhadap individu untuk melakukan perilaku sehat dalam upaya pengobatan penyakitnya.
Saran Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Dalam komunikasi kesehatan pada sasaran program Community TB Care „Aisyiyah sebaiknya moda komunikasi partisipatori yang digunakan adalah komunikasi gabungan dialogis dan monologis (multitrack) sehingga tercapai tujuan komunikasi yakni perubahan perilaku untuk kesembuhan pasien. 2. Media komunikasi yang tepat pada program Community TB Care „Aisyiyah untuk moda komunikasi monologis adalah media massa mengingat dalam monologis berupa aliran satu arah informasi untuk tujuan penyebaran informasi dan pesan untuk mendorong perubahan. Sedangkan untuk komunikasi dialogis adalah media komunikasi interpersonal berupa tatap muka. Penggunaan media komunikasi interpersonal yang memiliki sifat arus pesannya cenderung dua arah sehingga kesamaan makna dan saling menghargai pendapat sebagai syarat dialogis dapat terwujud, terutama sebagai pembentukan dan perubahan sikap. 3. Perlunya dilakukan penelitian lanjut untuk dapat mengukur efektivitas komunikasi partisipatori dalam program Community TB Care „Aisyiyah.
94
DAFTAR PUSTAKA Airhihenbuwa, CO, Obregon, R. 2000. A Critical Assesment of Theories/Models Used in Health Communication for HIV/AIDS. Journal of Health Communication: International Perspectives Volume 05 (supplement) 5-15: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080. [diunduh 2013-05-30] Brewer, NT, Rimer, BK. 2008. Perspectives on Health Behaviour Theories That Focus On Individuals. Dalam Health Behavior and Health Education Theory, Research, And Practice, 4th Edition. Editors: Karen Glanz, Barbara K. Rimer, K. Viswanath. Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Cangara H. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID): Raja Grafindo. Cahyanto, Ponti Gesang. 2007. Efektivitas Komunikasi Partisipatif Dalam Pelaksanaan Prima Tani Di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Creswell JW. 2002. Research Design Qualitative dan Quantitatif Approaches. Terjemahan oleh Angkatan III dan IV KIK UI. Jakarta (ID): KIK UI Press. Curtis DB, Floyd JJ, Winsor JL. 2005. Komunikasi Bisnis dan Profesional, Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya Demissiea, Getahun dan Lindtjorn. 2003. Community tuberculosis care through „„TB clubs‟‟ in rural North Ethiopia. Social Science dan Medicine. Volume 56 (2003) 2009–2018: http//www.elsevier.com /locate / soscimed. [diunduh 2013-05-25] DeVito JA. 2001. The interpersonal Communication Book. 9th edition New York: Hunter College of the City University of New York. [terjemahan] Jakarta (ID):Profesional Books. Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu (ID): Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Dutta-Bergman. 2009. Theory and Practice in Health Communication Campaigns A Critical Interrogation. Health Communication.Volume 18(02), 103-122: http://www.scirp.org/Journal/PaperInformation. [diunduh 2013-05-30] Dwijayanti, Yeni Rahma Dwijayanti dan Herdiana, Ike. 2011. Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM). Jurnal INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011. Effendy OU. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung (ID):PT Remaja Rosdakarya. Far Far, Risyat Alberth. 2009. Hubungan Efektivitas Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Bercocok Tanam Padi Sawah (Kasus Desa Waimital Kecamatan Seram Bagian Barat). [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Fitriani E. 2012. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health. Volume 1 (2) :http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph. [diunduh 2013-05-12] Goldberg AA, Larson CE. 2011 Komunikasi Kelompok: Proses-Proses Diskusi Dan Penerapannya. Jakarta (ID): UI – Press.
95 Hermawan A, Aminoto C, Septiwi C. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Masyarakat Berobat Di Puskesmas Kecamatan Buayan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Volume 7, No. 2. [diunduh 2013-05-30] Hidayat DN. 1999. Paradigma Klasik dan Hypoyheco Deductive Method. Bahan Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Sosial Program Studi Ilmu-ilmu sosial. Jakarta (ID): Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Ho, MJ. 2004. Sociocultural aspects of tuberculosis: a literature review and a case study of immigrant tuberculosis. Social Science dan Medicine. [Volume 59, 759-762: http//www.elsevier.com/locate/soscimed. [diunduh 2013-05-25] Ife J. 1995. Community Development: Creating community lternatives-vision, analysis and practice. Australia (AU): Longman Pty Ltd. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta (ID): Kemenkes ___________________________________________. 2011. Strategi Nasional Penganggulangan Tuberculosis 2011-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kriyantono R. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Edisi ke-5. Jakarta (ID): Prenada Media Group. Kumboyono. 2011. Analisis Faktor Penghambat Motivasi Berhenti Merokok Berdasarkan Health Belief Model Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Jurnal Keperawatan Soedirman. 06(01), 1-8. Kurnia SH. 2011. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pasien Patah Tulang Berobat Ke Pengobatan Tradisional Ahli Tulang Di Sumedang. Student ejournal. Volume I (1): http://www.journals.unpad.ac.id/ejournal/article/view/731/777. [diunduh 2013-01-05] Kusumadinata, Ali A. 2012. Analisis Komunikasi Partisipasi Pada Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Perbaikan Gizi (Studi Kasus Kelompok Gizi Masyarakat Pulokerto Kota Palembang). [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lerner D. 1958. The passing of traditional society: Modernizing the Middle East.New York (US): Free Press. Liliweri A. 2011. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan, Cetakan IV. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Lokollo, Fitriana Yuliawati. 2009. Studi Kasus Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS Di Pub, Karaoke, Café, dan Diskotek Di Kota Semarang. [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Dipenogoro Semarang Miles MB, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia Press McKee, Neill. 1993. Social Mobilization dan Social Marketing in Developing Communities: Lessons for Communicators. Penang Malaysia: Southbound Sdn. Bhd. Melkote SR, Leslie HS. 2001. Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment (2nd ed.), New Delhi, Thousand Oaks, CA and London : Sage
96 Mefalopulos P, Kamlongera C. 2004. Participatory Communication Strategy Design. FAO of the United Nations, Roma Muchlis F. 2009. Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program PemberdayaanMasyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mulyana D. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Mulyasari G. 2009. Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional Development Project. [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nair KS, White SA. 2004. Participatory Message Development: Conceptual Framework dalam White, SA dan Nair, KS, Ascroft, Joseph. 2004. Participatory Communication Working for Change and development. New Delhi (IN): Sage Publication India Pvt Ltd. Notoatmojo S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta Putri, ASE. 2008. Gambaran P2TB di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Volume 02(02), 194-199: http://issuu.com/psikmunand/docs/jurnal_4. [diunduh 2013-5-29] Purwaningsih, Misutarno, Imamah. 2011. Analisis faktor pemanfaatan VCT pada orang resiko tinggi HIV/AIDS. JurnalNers. 06(01):58-67. Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process dalam White, SA. 2004. Participatory Communication Working for Change and Development. New Delhi (IN): Sage Publication India Pvt Ltd. Rakhmat J. 2008. Psikologi Komunikasi (Cetakan kedua puluh enam). Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya. Ratnasari, Nunik. 2005.Faktor-Faktor Risiko Tb Paru di Beberapa Unit Pelayanan Kesehatan Kota Semarang. [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Dipenogoro. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fith Edition. New York (US): The Free Press. Rosenstock IM, Strecher VJ, Becker MH. 1988. Social Learning Theory and the Health Belief Model. Health Education & Behaviour . Volume 15(02), 175183: http://heb.sagepub.com/content. [diunduh 2012-8-5] Salim A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta (ID): PT Tiara Wacana. Saputra, Yudi. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator (Kasus PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung). [Tesis]. Bogor (ID). Intitus Pertanian Bogor. Satrianegara MF dan Saleha S. 2009. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan serta kebidanan. Jakarta (ID): Salemba Medika. Satriani, Imani. 2011. Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Studi Kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor). [Tesis]. Bogor (ID). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
97 Schiavo R. 2007. Health Communication from Theory to Practice. San Fransisco, CA: Jossey Bass Schramm W. 1964. Mass Media and National Development: Role of Information in The Developing Countries. Stanford (US): Stanford University Press. Servaes J. 2002. Communication for development:one world, multiple cultures Second printing. New Jersey (US): The Hampton Press, INC. Soemirat S, Ardianto E. 2007. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung (ID) : PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Taylor SE, Peplau LA, Sears DO. 2009. Psikologi Sosial (Edisi 12). Jakarta (ID): Prenada Media Grup. Tubbs SL,Moss S. 2001. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Penerjemah: Deddy Mulyana. Edisi Kedua, Bandung (ID): Remaja Rosda Karya. Tufte T, Mefalopulos P. 2009. A practical Guide participatory Communication. Washington (US) : The World Bank. [WHO] World Health Organization. 2012. Global Tuberculosis Report. WHO Regional Office South of Asia, New Delhi (ID). WHO. Waisbord S. 2007. Beyond the Medical_Informational Model Recasting The Role Of Communication In Tuberculosis Control. Social Science and Medicine. Volume 65(06), 2130-2134: http//www.elsevier.com/locate/soscimed. [diunduh 2013-05-25] Wdowik, M, Kendall, P, Harris, M, Auld, G. 2001. Expanded Health Belief Model Predicts Diabetesself Management In College Students. Journal of Nutrition Education. 03(01), 1-7. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID): Gramedia. Yenita S. 2011. Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2011. [Tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas. Yin K Robert. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Edisi Revisi. Cetakan ke 3. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada Zvavamwe Z, Ehlres, VJ. 2009. Experiences of a community-based tuberculosis treatment programme in Namibia: A comparative cohort study. International Journal of Nursing Studies. Volume 46 (2009) 302–309: http// www.sciencedirect.com. [diunduh 2013-05-30]
98 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
99 Lampiran 2 Foto kegiatan KPT Jakarta Barat serta kondisi lingkungan masyarakat miskin 1. Forum Monitoring dan evaluasi
Tampak pihak SSR sedang menyampaikan informasi terbaru dari Community TB Care „Aisyiyah
Tokoh agama dan kader yang mengikuti forum monev
Peserta monev mencatat informasi baru
100 2.
Kondisi rumah dan tempat kerja informan
Kondisi rumah pasien dan warga di Kalianyar
Suasa rumah warga yang dijadikan usaha garmen tempat pasien bekerja
101 3. Pertemuan dengan pasien
Suasa pertemuan pasien di PAUD „Aisyiyah
Pertemuan pasien di Kelurahan Tambora
102 4.
Training PMO
Pihak KPT Jakarta Barat menjelaskan tugas seorang PMO
Peserta training PMO sedang mengisi pre test
103
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 Juli 1972 dari pasangan Drs. Ramlan Sumitradilaga dan Tuti Kaswati. Penulis adalah puteri kedua dari empat bersaudara. Tahun 1998 penulis menikah dengan Subroto dan telah dikaruniai lima orang putra dan putri yakni Salma Afifah Salsabila, Annida Thifal Qatrunnada, Athari Ahmad Arrijalu, Aisyah Fatma Sabrina dan Muhammad Iqbal Ar Razi. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1994. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai wartawan dari tahun 1994 sampai dengan 2001 di antaranya di Majalah SDM Sukma, Harian Umum Berita Yudha dan Teletext TVRI. Pada tahun 2004 penulis menjadi staf pengajar di Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika Jakarta dan sejak 2011 menjadi staf pengajar di Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor.