Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
MENILAI OPTIMALISASI KINERJA FUNGSI AUDIT MELALUI ANALISIS BIAYA-MANFAAT PADA PERWAKILAN BPKP PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Hilman Harimingguna1, Atiek Sri Purwati2, Margani Pinasti3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
[email protected] [email protected] [email protected] ABSTRACT This research is a case study of the entire cost borne by the state budget in the Budget Implementation List (DIPA) Fiscal Year 2014 in the framework of the implementation of the tasks BPKP as an internal financial audit institution. By taking the title: "Assessing Performance Optimization Audit function through the CostBenefit Analysis on BPKP Representative of South Kalimantan Province" This research aims to outline an in-depth costing methods of audit activities as well as the expected benefits in the BPKP Representative of South Kalimantan Province. Purposive sampling method used in the determination of a resource / informant with a population in this study is the auditor who has conducted audits in 2014. Number of informants were taken in this study is 14 people. As this study used a qualitative descriptive method approach. Based on the research and data analysis showed that: (1) Representative BPKP South Kalimantan Province has not had a method of calculating the cost for the audit, (2) From 14 speakers who authors interviewed almost entirely stated that the use of output indicators on BPKP Representative of South Kalimantan Province as a measure of performance of audit activities have not been able to represent the depiction of the performance of audit activities as a whole, (3) full costing method is the most suitable method in calculating the cost of audit activities, where the latter throughout the financial resources to be realized will be charged as the total cost of services which in this case is the audit activities, (4) the final conclusion of the results of extracting information through interview techniques informant / resource that for the audit outcomes are precise and measurable to assess the benefit is in the form of 'Rescue State Finance' which can be calculated from the value of the findings in the form of deposits to the State Treasury as well as the efficiency of expenditures of the State Budget, (5) Based on the simulation as well as the matching cost and benefits audit activities can be taken the results that BPKP Representatives of South Kalimantan Province can be said to be performing "Very Optimal" where the value of the benefit from a larger state financial rescue up to 14.6 times the cost of audits that have been issued. Keywords : audit, cost, full costing, performance, benefit 1.
PENDAHULUAN
Tuntutan masyarakat akan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menghendaki adanya pelaksanaan fungsi pengawasan dan sistem pengendalian intern yang baik atas pelaksanaan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara untuk menjamin bahwa pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta untuk menjamin bahwa tujuan tercapai secara hemat, efisien, dan efektif. Fungsi pengawasan dan sistem pengendalian intern tersebut menjadi tugas Auditor Pemerintah. Auditor pemerintah yang dibagi dalam internal dan eksternal telah memiliki badan sendiri, bukan berasal dari kantor akuntan publik atau auditor internal yang bersertifikasi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai salah satu pelaksana tugas pengendalian internal pemerintah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keuangan dan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Tabel 1. disebutkan bahwa selama periode 2009 – 2013 jumlah saldo temuan tertinggi berada di tahun 2012 dengan jumlah temuan 74 senilai Rp17.329,83 Juta. Hal ini mengalami peningkatan pada tahun 2014 dimana jumlah temuan berupa Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan sebanyak 86 temuan senilai Rp25.804,16 Juta sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2.
| Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
641
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
PROCEEDINGS
Bandung, 20 Juli 2017
ISSN- 2252-3936
Tabel 1. Daftar Rekapitulasi Hasil Pemantauan TLRHP (Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan) Kementerian/Lembaga Tahun 2009-2013 (Semester I) (dalam Jutaan Rupiah) Periode
emuan
Rekomendasi
Tindak Lanjut
Jml 2009 T 49
Nilai 6.301,73
Jml 74
Nilai 6.361,73
Jml 68
Nilai 6.361,73
2010 57
9.766,13
117
9.220,11
81
8.440,94
2011 44
6.631,88
95
6.631,87
25
3.252,87
2012 74
17.329,83
160
11.789,37
8
498,37
2013 22 5.460,18 55 987,60 0 Sumber Data: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I BPK RI Tahun 2013 Tabel 2. Daftar Kelompok dan Jenis Temuan Menurut Entitas Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Semester I tahun 2014 Jenis Temuan
2014
Jml Ketidakpatuhan terhadap Kerugian Daerah Ketentuan PerundangPotensi Kerugian Daerah undangan Kekurangan penerimaan Total
53
Nilai 7.027,68
11
15.496,06
22
3.280,42
86
25.804,16
Sumber Data: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I BPK RI Tahun 2014 Berdasarkan kondisi di atas, internal auditor sebagai garda terdepan akan teridentifikasinya permasalahanpermasalahan laporan keuangan sebelum diaudit oleh BPK, menjadi pihak yang harus turut bertanggungjawab terhadap ditemukannya kelemahan terkait sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan pada peraturan perundang-undangan tersebut. Posisi BPKP sebagai internal auditor pemerintah yang dianggap independen dalam melakukan fungsi pengawasan terlihat belum optimal kinerjanya. Selain itu mulai muncul berbagai tudingan miring yang menganggap adanya BPKP merupakan suatu pemborosan anggaran karena dinilai merupakan suatu tumpang tindih peran dan fungsi audit dengan BPK RI. Riskiyono (2012) seorang pegiat Hukum Kenegaraan di Laboratorium Hukum dan Konstitusi FH USU Medan menyatakan bahwa selain tumpang tindih dan dualisme pemeriksaan, terdapat pemborosan anggaran sehingga melikuidasi BPKP cukup beralasan. Dan juga dengan adanya APIP lain yang secara hierarki memang masing- masing ditunjuk oleh stakeholder untuk melakukan fungsi audit dilingkungannya, seperti Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga yang ditunjuk Menteri ataupun Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota yang ditunjuk masing-masing Kepala Daerahnya, maka mempertajam tudingan miring terkait pemborosan anggaran tersebut. Suspi seorang Ketua LSM Gerak pada Portal Bone Satu, rabu 8 November 2014 mengungkapkan dengan adanya Inspektorat Kabupaten maka audit yang dilakukan BPKP dinilai tidak perlu dan biaya yang dikeluarkan untuk audit tersebut merupakan pemborosan. Untuk dapat menilai tingkat optimalisasi fungsi pengawasan diatas, diperlukan informasi keuangan tambahan, salah satunya yaitu informasi biaya pengawasan yang komprehensif. Masyarakat perlu untuk mengetahui, berapa biaya aktual yang digunakan oleh pemerintah untuk menghasilkan suatu pelayanan publik agar mereka dapat menilai apakah pelayanan publik yang mereka terima sepadan. Informasi besaran biaya tersebut dapat disediakan oleh suatu sistem akuntansi biaya. Selain itu informasi biaya pelayanan publik tersebut juga dapat berguna bagi intern pemerintah sendiri, sebagai salah satu unsur penilaian dalam pengukuran kinerja instansi. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, pemerintah memberikan dukungan berupa biaya pengawasan melalui Standar Biaya Khusus (SBK) BPKP melalui Permenkeu Nomor: 108/PMK.02/2009 tentang SBK Kementerian dan Lembaga Tahun 2010. Komponen biaya yang dijadikan dasar dalam penghitungan SBK BPKP meliputi belanja perjalanan biasa dan belanja barang operasional lain, dengan jenis kegiatan pengawasan meliputi: Audit, Evaluasi, Reviu, Pemantauan, Sosialisasi, Bimbingan dan Konsultasi, Pendampingan Pengawasan, dan Bantuan Pengawasan yang dilaksanakan di Perwakilan BPKP. Komponen biaya pemeriksaan diatas dinilai tidak cukup untuk menggambarkan biaya atas pelayanan publik yang dilakukan oleh BPKP. Selain itu manfaat dari pemeriksaan BPKP saat ini diukur melalui pencapaian
642
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
kinerja melalui indikator-indikator tertentu dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), seperti jumlah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan, peningkatan opini Laporan Keuangan entitas yang diperiksa, dan lainnya. Belum ada suatu penandingan secara langsung antara total biaya pelayanan publik yang dikeluarkan dengan manfaat pasti bagi pemerintah. Dari hasil penandingan tersebut diharapkan dapat diterapkan suatu simulasi atas analisis perbandingan antara biaya (cost) dan manfaat yang diharapkan (benefit) dari fungsi audit yang terjadi di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, untuk menjawab anggapan apakah audit yang dilakukan oleh BPKP merupakan suatu pemborosan atau tidak berdasarkan suatu penelitian. 2. TELAAH PUSTAKA A. Teori Kontijensi Berbagai upaya mengembangkan teori dan kerangka kerja telah dilakukan untuk memahami perubahan akuntansi di sektor publik berdasarkan penelitian Lapsley dan Pallot (2000). Salah satu modelnya adalah "Lüder’s Contingency Model", yang juga dikenal sebagai Model Reformasi Manajemen Keuangan atau Financial Management Reform Model (FMR Model). Ditemukan dan dikembangkan oleh Klaus G Luder pada tahun 1992 dimana model ini bertujuan untuk menyajikan penjelasan teoritis, kontekstual untuk reformasi akuntansi pemerintahan. "Contingency Theory" ini mencoba untuk menjelaskan transisi dari akuntansi pemerintahan tradisional ke sistem yang lebih informatif melalui interaksi dari berbagai faktor sosial, politik dan administratif termasuk hambatan pelaksanaannya. Model ini telah dijadikan konsep dasar untuk menjelaskan reformasi akuntansi pemerintahan di banyak negara. B. New Public Management Theory (Teori NPM) Painter (2006) menyatakan bahwa New Public Management (NPM) adalah filosofi manajemen yang berfokus pada perubahan dalam praktik pengelolaan sektor publik yang lebih mengarah kepada praktik swasta, dengan akuntabilitas berfokus pada hasil ketimbang proses. NPM memperkenalkan arahan baru untuk efisiensi dan transparansi dalam semua elemen sektor publik Mimba et al. (2007). C. Fungsi Pengawasan BPKP Sesuai dengan Pasal 2 dan 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional, dimana salah satu fungsinya adalah pelaksanaan berbagai macam audit sesuai kebutuhan. D. Konsep Pengukuran Kinerja Menurut Mulyadi dan Setiawan (2007), pengukuran kinerja adalah penentuan atau penilaian secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. E. Konsep Indikator Kinerja Pengertian indikator kinerja berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/20/MENPAN/11/2008 tentang Pedoman Penyusunan Indikator Kinerja Utama diartikan sebagai ukuran kuantitatif atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat diukur dan digunakan sebagai dasar untuk menilai kinerja, baik pada tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (ongoing), maupun setelah kegiatan selesai (ex-post). Indikator kinerja juga dapat digunakan untuk melihat kemajuan dalam hal pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintahan. Tanpa indikator kinerja akan menyulitkan pihak yang ingin memberikan penilaian terhadap kinerja dari kebijaksanaan/program/kegiatan instansi pemerintahan, yang pada akhirnya akan menyulitkan memberi penilaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Elemen-elemen indikator kinerja adalah sebagai berikut: Indikator Masukan (Input). Indikator Keluaran (Output). Indikator Hasil (Outcome). Indikator manfaat (Benefit). Indikator Dampak (Impact). F. Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analysis – CBA) Boardman et al. (2011) mengungkapkan bahwa tujuan dalam arti luas dari analisis biaya manfaat adalah untuk membantu pengambilan keputusan dalam hal- hal sosial. Secara lebih spesifik, tujuannya adalah untuk memfasilitasi pengalokasian sumber daya masyarakat secara lebih efisien. G. Akuntansi Biaya dan Konstruksi Biaya Anthony dan Young (2012) mengemukakan bahwa pada dasarnya, setiap organisasi memiliki kebutuhan akan pengendalian manajemen, baik itu organisasi profit maupun organisasi nonprofit seperti pemerintah. Keduanya membutuhkan informasi mengenai biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk barang atau jasa. Jika pada sektor privat peranan pengendalian manajemen terutama terletak pada penentuan | Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
643
PROCEEDINGS
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
ISSN- 2252-3936
Bandung, 20 Juli 2017
harga produk dan penilaian profitabilitas, maka pada pemerintah peranan utamanya adalah dalam hal menilai efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan publik dalam hubungannya dengan pengalokasian sumber daya yang terbatas. 2. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK ANALISIS DATA
A. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif jenis studi kasus dimana tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya. 2. Objek Objek penelitian ini adalah Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Dimana secara khusus, yang akan diteliti adalah salah satu fungsi pengawasannya yaitu kegiatan audit. 3. Sumber Data Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan 2 jenis data yaitu : a) Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian. Data tersebut diperoleh dengan cara melakukan wawancara atau pengajuan pertanyaan kepada Pejabat Fungsional Auditor (PFA) Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan yang berkompeten tentang kegiatan audit, serta data yang diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan langsung. b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari objek penelitian yang tersusun dan telah diolah. c) Data sekunder tersebut dapat berupa data keuangan yang terdapat pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) beserta revisinya, Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA/KL) beserta realisasinya, laporan keuangan baik periode tahunan maupun bulanan serta data non keuangan seperti Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). 4. Teknik Pengumpulan Data Agar diperoleh data yang dapat diuji kebenarannya, relevan dan lengkap maka dalam penelitian ini digunakan pengumpulan data sebagai berikut ini : a) Tinjauan pustaka (library research) Tinjauan pustaka merupakan penelitian yang dilakukan dengan mempelajari teori-teori dan konsepkonsep yang berhubungan dengan masalah yang diteliti penulis guna memperoleh landasan teoritis yang memadai untuk melakukan pembahasan secara komprehensif melalui : 1) Jurnal, literatur, halaman internet, artikel, working paper, white paper, standar, maupun berita yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. 2) Dokumen-dokumen internal yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti yang terdapat pada BPKP, khususnya Kantor Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan. 3) Laporan-laporan yang dipublikasikan, baik melalui internet ataupun institusi. b) Penelitian lapangan (field research) Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat penelitian dengan menggunakan teknik wawancara (interview) dengan pihak yang berkompeten terhadap data yang diperlukan oleh penulis. Melalui wawancara ini peneliti menggali informasi secara mendalam dari informan mengenai metode perhitungan biaya (cost) kegiatan audit serta manfaat yang diharapkan (benefit) di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2014 serta metode apa yang seharusnya diterapkan untuk perhitungan biaya (cost) kegiatan audit serta manfaat yang diharapkan (benefit). c) Triangulasi Data Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Triangulasi dibedakan kedalam empat tipe diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Denzin, 1970 dalam Moleong, 2012). Jenis triangulasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data dengan melakukan penggalian kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data, seperti wawancara dan dokumen resmi yang tertulis. Dari hasil wawancara nanti akan dicek kembali kebenaran informasinya dengan membandingkan dengan dokumen tertulis untuk meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti mengenai fenomena yang diteliti.
B.
Teknik Analisis Data
644
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif (descriptive qualitative analysis method), dengan mendeskripsikan secara menyeluruh data yang didapat selama proses penelitian. Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2012) mengungkapkan bahwa dalam mengolah data kualitatif dilakukan melalui tahap reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 1. Analisis dengan Interactive Analysis Model Analisis data kualitatif dapat dilakukan secara interaktif (interactive analysis model) atau metode analisis mengalir (flow analysis model) seperti yang diungkapkan Miles and Huberman dalam Sugiyono (2012). Umumnya metode analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data dalam suatu penelitian kualitatif. Oleh karena itu dalam penelitian ini komponen reduksi data dan sajian data dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data dengan menggunakan model analisis interaksi (interactive analysis model). Dimana nantinya setelah data terkumpul maka tiga komponen analisis (reduksi sata, sajian data, dan penarikan kesimpulan) akan saling berinteraksi. Adapun tahap-tahap yang ditempuh melalui model ini adalah sebagai berikut : a) Pengumpulan Data b) Reduksi c) Coding d) Penyajian Data e) Penarikan Kesimpulan 2. Simulasi dengan Analisis Biaya-Manfaat Setelah data yang relevan telah secara lengkap terkumpul maka dilakukan simulasi perhitungan dengan analisis biaya-manfaat antara biaya (cost) dan manfaat yang diharapkan (benefit) dari fungsi audit yang terjadi di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2014 untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga yaitu apakah kegiatan audit yang dilakukan oleh BPKP merupakan suatu pemborosan berdasarkan hasil simulasi penerapan atas analisis perbandingan antara biaya (cost) dan manfaat yang diharapkan (benefit) dari fungsi audit yang terjadi di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2014. Adapun tahapan dari simulasi yang dimaksud adalah sebagai berikut : a) Menentukan objek biaya (cost object); b) Menentukan pusat biaya (cost center); c) Membebankan biaya kepada masing-masing pusat biaya; d) Memilih basis alokasi; e) Memilih metode alokasi (cost allocation);
f) g)
Mengalokasikan biaya ke objek biaya; Menghitung biaya per unit. Ketika biaya per unit dimana dalam hal ini merupakan biaya audit diperoleh maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menginventarisasi manfaat (benefit) dari kegiatan audit di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan melalui proses wawancara untuk kemudian dapat dilakukan tahap akhir dari simulasi yaitu penandingan antara biaya (cost) dan manfaat (benefit) dari kegiatan audit tersebut. 1.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. 1.
Analisis Data Metode perhitungan biaya (cost) kegiatan audit serta manfaat (benefit) di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan a) Metode perhitungan biaya (cost) Berdasarkan Laporan Keuangan Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014 belum dapat diketahui secara langsung berapa biaya audit yang dikeluarkan oleh BPKP dalam setiap melaksanakan kegiatan pengawasannya. Seperti yang terlihat dari kebijakan akuntansinya yang menyebutkan bahwa belanja disajikan menurut klasifikasi ekonomi / jenis belanja. Klasifikasi ekonomi / jenis belanja yang dimaksudkan disini adalah berupa Belanja Pegawai, Belanja Barang serta Belanja Modal, dan tidak ada membahas tentang biaya audit yang menjadi salah satu core business-nya selain kegiatan consulting. BPKP pun tidak memiliki suatu Standar Biaya Khusus terkait kegiatan audit yang terdiri dari unsur-unsur biaya pemeriksaan layaknya BPK. Pada BPK RI biaya pemeriksaan ditetapkan dalam suatu Standar Biaya Khusus (SBK) Kegiatan Pemeriksaan dan Reviu melalui suatu ketetapan Badan. Standar biaya ini disusun agar pemeriksaan lebih akuntabel dan menciptakan keadilan antar pemeriksa. Standar biaya ditetapkan dengan memperhatikan berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai tingkat harga yang berlaku di masing-masing daerah tersebut. | Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
645
PROCEEDINGS
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
ISSN- 2252-3936
Bandung, 20 Juli 2017
Adapun yang dapat dipersamakan dengan biaya audit di BPKP adalah Biaya Pengawasan yang berasal dari kegiatan unsur teknis terkait dengan kegiatan audit. b) Metode perhitungan manfaat (benefit) Penyajian informasi dan penyusunan LAKIP Perwakilan BPKP Kalimantan Selatan Tahun 2014 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang SAKIP serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah yang pada intinya melaporkan hasil sebagai kinerja program dan keluaran sebagai kinerja kegiatan. LAKIP ini berfungsi sebagai alat akuntabilitas kinerja bagi Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan selama tahun 2014 dengan melandaskan pada pelaksanaan mandat yang diemban oleh organisasi. Selain fungsi akuntabilitas, LAKIP ini sekaligus memenuhi kebutuhan internal Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan guna melakukan analisis dan evaluasi kinerja dalam rangka penyempurnaan kinerja organisasi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Telah disebutkan diatas bahwa pada tahun 2014 BPKP Kalimantan Selatan menggunakan indikator hasil (outcome) sebagai ukuran kinerja program serta indikator keluaran (output) sebagai ukuran kinerja kegiatan. Belum ada penggambaran pengukuran kinerja kegiatan audit dalam tingkat manfaat (benefit) yang secara memadai dapat Peneliti gunakan sebagai pembanding dari biaya audit untuk bisa dilakukan simulasi Analisa Biaya-Manfaat karena tidak dapat dipadankan secara langsung dengan biaya audit. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Arief Hidayat seorang Auditor Ahli Muda di Bidang IPP dengan peran Ketua Tim dalam kegiatan Audit terkait pertanyaan apakah pengukuran capaian kinerja kegiatan audit, yang menggunakan indikator keluaran atau output pada LAKIP Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014 sudah cukup menggambarkan pengukuran kinerja kegiatan audit? yang menyatakan bahwa : “Belum… belum menggambarkan… ya, karna eh tadi itu.. eh… apa namanya?, Eh… banyak kegiatan kegiatan yang BPKP yang sifatnya assurance, belum tercover… disitu, mengenai prestasinya.. karna TP3nya nihil… gitu… TP3 nihil jadi seolah-olah gak ada… gak ada prestasi padahal disitu banyak kegiatan – kegiatan assurance seperti eh.. verifikasi tagihan… TPG, Tunjangan Profesi Guru… kontrak – kontrak… verifikasi pembayaran kontrak.. trus eh.. audit multiyears kontrak juga, sama koreksi terhadap nilai kontrak… tapi TP3 nihil… jadi belum menggambarkan…” Para narasumber / informan yang diwawancarai Peneliti pilih dengan menggunakan metode purposive sampling dimana diambil populasi dari para auditor yang telah melakukan kegiatan audit pada tahun 2014 pada Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan kemudian dipilih minimal 3 orang yang mewakili tiap masing-masing bidang teknis yang terdiri dari satu orang Pengendali Teknis (Supervisor), satu orang Ketua Tim Audit dan satu orang Anggota Tim Audit untuk dimintai keterangan. Dari 14 narasumber yang Peneliti wawancarai dan dari 14 jawaban yang diterima hampir seluruhnya menyatakan bahwa penggunaan indikator keluaran (output) di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan sebagai ukuran kinerja kegiatan audit belum dapat mewakili penggambaran kinerja dari kegiatan audit secara menyeluruh. Terdapat 10 jawaban yang menyatakan ‘Belum menggambarkan’ (B1), masingmasing 1 jawaban menyatakan ‘Merupakan pengukuran yang sempit’ (B2) dan ‘Bisa lebih jauh lagi’ (B4). Namun terdapat pula 2 jawaban yang bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang menyatakan ‘Cukup menggambarkan’ (B3) dan ‘Mungkin bisa menggambarkan’ (B5).
2.
Metode yang menggambarkan perhitungan biaya (cost) kegiatan audit secara komprehensif serta metode yang diharapkan dapat diterapkan untuk menghitung manfaat (benefit) dari fungsi audit a) Metode perhitungan biaya (cost) Terdapat kekeliruan pemahaman dilingkungan pemerintah dimana selama ini kinerja diukur berdasarkan besaran anggaran yang dapat diserap oleh Kementerian/Lembaga/Instansi baik pusat maupun daerah. Silogisme yang digunakan adalah semakin besar penyerapan biaya, semakin produktif instansi tersebut. Pada praktiknya, besar biaya tidak berbanding lurus dengan volume dan kualitas pelayanan. Manfaat dari penyerapan anggaran tersebut yang belum tersentuh sebagai ukuran menilai kinerja menjadi capaian yang paling dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dalam hal Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, maka yang perlu dibandingkan adalah apakah nilai anggaran yang terserap dalam rangka melakukan pengawasan (audit) dibandingkan dengan manfaat dari audit tersebut. Untuk dapat melakukan penghitungan biaya audit dalam rangka pengukuran capaian kinerja berdasarkan konsep biaya-manfaat tidak cukup dengan hanya memperhitungkan biaya yang diserap oleh unsur teknis. Masyarakat tidak hanya akan menuntut pertanggungjawaban keuangan negara yang digunakan untuk biaya
646
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
perjalanan dinas dengan tujuan audit saja misalnya. Masyarakat juga tentunya akan mempertanyakan apa manfaat dari uang pajak mereka yang dipergunakan untuk pengadaan furniture atau untuk membiayai kegiatan-kegiatan rapat di hotel misalnya. Biaya-biaya yang tidak berhubungan langsung dengan proses audit tersebut seharusnya diperhitungkan sebagai biaya audit secara utuh. Perhitungan-perhitungan tersebut di atas hanya dapat dilakukan jika tersedia informasi akuntansi biaya yang memadai untuk menentukan total biaya audit. Metode full costing menjadi metode biaya yang paling sesuai dalam melakukan perhitungan tersebut, dimana nantinya seluruh sumber daya keuangan yang direalisasikan akan dibebankan sebagai total biaya jasa yang mana dalam hal ini adalah kegiatan audit. Informasi biaya dari full costing ini nantinya tidak hanya akan bermanfaat dalam mengukur kinerja aparat pemerintah, namun juga dapat digunakan sebagai alat pengendalian manajemen atas struktur biaya-biaya yang muncul di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya informasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penganggaran di periode berikutnya.
b)
Metode perhitungan manfaat (benefit) Hingga diterbitkannya Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BPKP Tahun 2015 belum diterapkannya indikator manfaat (benefit) dalam mengukur kinerja kegiatan instansi khususnya kegiatan pengawasan (audit). Hal ini menjadi penting dimana masyarakat dapat menggunakan informasi tersebut untuk menilai apakah dana publik yang mereka serahkan ke pemerintah, baik dari pajak maupun retribusi, yang diantaranya digunakan oleh Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan pengawasan, dapat memberikan keuntungan bagi mereka baik secara langsung ataupun tidak langsung. Tingkat Manajerial Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan sendiri dapat menjadikan informasi tersebut sebagai alat evaluasi, apakah instansinya telah bekerja dengan efisien atau tidak. Lebih jauh, Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dapat menggunakan informasi tersebut sebagai bentuk lain dari “Rugi / Laba” sebagaimana yang digunakan oleh sektor privat, untuk menunjukkan profitabilitas instansinya bagi pemerintah. Apa yang coba Peneliti lakukan pada penelitian ini adalah melakukan suatu penggalian informasi dari beberapa narasumber / informan yang telah disebutkan sebelumnya untuk melihat dari sisi auditor sendiri seperti apa indikator manfaat (benefit) dari kegiatan audit yang telah dilakukan, atau secara pribadi dari auditor tersebut adalah ingin dinilai seperti apa kinerja dari kegiatan audit yang telah masing- masing dilaksanakan itu. Dari hasil wawancara Peneliti mencoba mengklasifikasikan pandangan masing-masing informan berdasarkan „Capaian untuk menilai manfaat dari Audit‟. Hasil tersebut Peneliti sajikan dengan mengelompokkan kedalam masing-masing bidang teknis dengan jenis auditnya masing-masing dengan harapan bahwa diperoleh gambaran yang spesifik dari tanggapan yang diberikan informan. Setelah itu Peneliti menghitung frekuensi jawaban yang sama yang disampaikan informan dimana kemudian akan diperoleh pandangan yang Peneliti anggap dapat mewakili pemikiran para auditor di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Total terdapat 32 pandangan dimana 2 diantaranya Peneliti kecualikan karena informasi yang didapatkan tidak relevan dengan tujuan penelitian terkait tema pertanyaan ketiga ini yang disampaikan oleh ke-14 informan yang Peneliti wawancarai. Kesimpulan akhir yang dapat disampaikan bahwa untuk kegiatan audit, capaian yang tepat dan terukur dalam menilai manfaatnya adalah berupa ‘Penyelamatan Keuangan Negara’ dimana dapat dihitung dari nilai temuan yang berupa penyetoran ke Kas Negara maupun keefisiensian, keefektifitasan dan keekonomisan dari pengeluaran Anggaran Negara.
B. 1.
Pembahasan Simulasi Biaya Audit Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dengan Analisis Biaya-Manfaat Langkah awal dalam melakukan analisis biaya-manfaat adalah diperlukannya informasi terkait besaran final cost dari kegiatan pengawasan (audit) yang diselenggarakan oleh Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan belum diterapkannya akuntansi biaya di instansi pemerintah termasuk BPKP, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan suatu simulasi atas biaya audit yang terjadi di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dengan tahap-tahap sebagai berikut : a. Menentukan objek biaya (cost object). Dalam simulasi ini objek biaya merupakan sesuatu yang ingin kita ukur atau ketahui biayanya. Telah dibahas bahwa core business dari Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan pada dasarnya merupakan pelayanan berupa assurance dan consulting atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan pengukuran kinerja yang ingin dilakukan adalah berupa perbandingan antara biaya audit dan indikator manfaatnya. Agar analisis biaya- manfaat nantinya dapat dilakukan secara multilevel dan lebih mendalam, maka objek biaya yang akan disimulasikan sebaiknya adalah objek terkecil, yaitu biaya per kegiatan audit. | Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
647
PROCEEDINGS
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
ISSN- 2252-3936
b.
Bandung, 20 Juli 2017
Menentukan pusat biaya (cost center). Pusat biaya merupakan tempat dimana biaya-biaya dalam instansi diklasifikasikan dan diakumulasikan. Pusat biaya dibagi kedalam dua kelompok yaitu mission center dan service center. Pada Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, cost center melekat pada struktur organisasinya, yaitu di unit-unit kerja (Sub Bagian dan Bidang Teknis), dimana dalam hal ini unsur teknis identik dengan mission center dan unsur penunjang/pendukung identik dengan service center. c. Membebankan biaya kepada masing-masing pusat biaya. Pada proses pembebanan biaya, sebelumnya harus dapat diketahui dokumen apa yang dapat digunakan sebagai sumber data biaya tersebut di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Data anggaran dapat diperoleh dengan melihat dokumen DIPA dan/atau Rencana Kerja Anggaran – Kementerian / Lembaga (RKA-KL). Data realisasi dapat diperoleh dengan melihat dokumen Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Bulanan (Lapbul) dan/atau Laporan Keuangan (Audited). Langkah selanjutnya setelah pusat biaya mana saja yang bertanggung jawab untuk tiap biaya per subkegiatan dapat teridentifikasi, maka biaya-biaya tersebut dikelompokkan berdasarkan pusat biaya. d. Memilih basis alokasi. Setelah pembebanan biaya-biaya kepada cost center yang sesuai dan memperoleh data biaya pada tiap service center dan mission center, maka langkah selanjutnya adalah mengalokasikan biaya-biaya pada seluruh service center kepada mission center. Untuk melakukan pengalokasian tersebut, dibutuhkan suatu basis sebagai dasar pengalokasian untuk tiap-tiap service center. Basis alokasi haruslah yang paling mendekati tingkat penggunaan pelayanan oleh mission center. Basis alokasi satu service center dimungkinkan bisa berbeda dengan basis alokasi pada service center yang lain. Dalam hal service center di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, semua memiliki kesamaan pola pelayanan kepada mission center. Semua service center melakukan pelayanan dengan orientasi pegawai. Sehingga basis alokasi yang paling tepat digunakan untuk mengalokasikan biaya pada seluruh service center adalah jumlah pegawai di masing- masing unit kerja. Namun dalam hal pelayanan service center ke mission center, bukan hanya jumlah pegawai yang mempengaruhi tingkat konsumsi pelayanan. Tiap mission center menghasilkan Laporan Hasil Pengawasan (LHP) sebagai indikator keluaran yang mana dalam proses penyusunannya banyak menggunakan sumber daya dari service center. Oleh karena itu, khusus atas alokasi biaya ke mission center, digunakan basis alokasi tambahan yaitu jumlah LHP yang dihasilkan oleh masing-masing mission center. e. Memilih metode alokasi (cost allocation). Terdapat tiga metode alokasi yang umumnya digunakan untuk mengalokasikan biaya dari service center ke mission center, yaitu single step method (metode alokasi 1 tahap) atau direct method (metode alokasi langsung), step down method (metode alokasi bertahap), dan reciprocal / simultaneous method (metode alokasi timbal balik / simultan). Metode yang paling efektif dan efisien untuk digunakan oleh Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan adalah metode step down method. Dimana salah satu service center akan dipilih untuk dialokasikan seluruh biayanya ke service center lain dan mission center. Secara teori pemilihan service center yang pertama kali dipilih untuk dialokasikan didasarkan pada service center yang memberikan jasa paling besar ke cost center lainnya. Walaupun tidak secara utuh memperhitungkan pelayanan sesama service center, metode ini paling tidak dapat mengakomodasi adanya pelayanan sesama service center meskipun hanya satu arah. f. Mengalokasikan biaya ke objek biaya. Setelah data biaya pada tiap service dan mission center diperoleh, basis alokasi telah ditentukan dan metode alokasi biaya yang akan diterapkan telah dipilih, maka langkah selanjutnya adalah mengalokasikan biaya ke objek biaya, dimana yang dimaksud dalam hal ini adalah biaya audit di setiap bidang teknis pengawasan. Dalam mengalokasikan biaya dari service center ke mission center dengan menggunakan step down method, yang perlu diperhatikan adalah urutan service center mana yang akan lebih dulu dialokasikan biayanya. Alokasi ini dilakukan dengan membagikan biaya tiap service center ke service center dan/atau mission center berikutnya secara proporsional terhadap perbandingan jumlah pegawai pada masing- masing cost center dan jumlah seluruh pegawai Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan sebagai basis alokasi. Dalam mengalokasikan biaya untuk yang kedua kali dan seterusnya, perlu diingat bahwa basis alokasi, dalam hal ini jumlah pegawai, harus dikurangi dengan jumlah pegawai pada tahap sebelumnya. Khusus untuk alokasi biaya ke mission center, digunakan basis alokasi tambahan yaitu jumlah LHP yang dihasilkan oleh masing-masing mission center. Berdasarkan skedul tersebut, didapatkan nilai cost object per mission center, yaitu nilai biaya audit yang terbagi menjadi masing- masing bidang teknis. Terlihat bahwa secara aggregat biaya pelayanan tertinggi dimiliki oleh Bidang IPP, diikuti dengan Bidang APD, Bidang Investigasi, dan Bidang AN.
648
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
PROCEEDINGS
Bandung, 20 Juli 2017
ISSN- 2252-3936
g.
Menghitung biaya per unit. Final cost object dari simulasi biaya atas Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2014 adalah biaya per audit, dimana telah dijelaskan sebelumnya dengan maksud agar analisis biaya-manfaat dapat dilakukan secara multilevel dan lebih mendalam. Perhitungan biaya per audit untuk tiap bidang teknis pengawasan pada Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perhitungan Biaya per Pemeriksaan Tiap Seksi Pemeriksaan Tahun 2014 Nama Mission Jumlah No. Total Biaya (Rp) Center Pengawasan (1) (2) (3) (4) 1. Bidang IPP 6.116.359.094,83 337
Biaya Per Audit (Rp) (5) = (3) / (4) 18.149.433,52
2.
Bidang APD
4.959.745.941,33
341
14.544.709,51
3.
Bidang AN
3.081.568.697,10
110
28.014.260,88
4.
Bidang Investigasi 3.183.362.886,58
144
22.106.686,71
Jumlah
17.341.036.619,85 932
Diolah dari: BPKP (2016) Biaya satuan per audit ini juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi manajemen Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan. Data biaya per audit per bidang teknis tersebut menunjukkan variatifnya biaya audit per bidang teknis. Perbedaan terbesar terjadi antara Bidang APD dengan Bidang AN dengan selisih biaya per audit sebesar Rp13.469.551,38 atau 48,08% dari nilai biaya per audit Bidang AN. Jika kita telusuri dari awal, hal ini terjadi dikarenakan capaian bidang teknis berupa output laporan tidak berimbang antar bidang teknis, yang kemudian diperuncing dengan belum adanya standarisasi biaya seperti Standar Biaya Khusus bagi produk kinerja BPKP baik yang berupa assurance maupun consulting.
2.
Inventarisasi Manfaat (Benefit) Audit Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan hasil wawancara narasumber / informan terkait manfaat (benefit) dari kegiatan audit telah dapat diambil kesimpulan bahwa indikator yang paling dapat diukur untuk dapat diterapkan dalam simulasi cost benefit analysis biaya audit di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan ini adalah berupa ‘Penyelamatan Keuangan Negara’ dimana dapat dihitung dari nilai temuan yang berupa penyetoran ke Kas Negara maupun efisiensi pengeluaran Anggaran Negara. Pada Tahun 2014, Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan telah menghasilkan 198 laporan sebagai output kegiatan auditnya, dari keseluruhan output kegiatan sebanyak 932 laporan. Agar dapat dibandingkan dengan final cost masing-masing mission center, maka nilai penyelamatan keuangan negara harus dikelompokkan berdasarkan masing-masing mission center yang bersangkutan. Rekapitulasi nilai penyelamatan keuangan negara tiap mission center dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rekapitulasi Nilai Temuan Tiap Mission Center Nilai Penyelamatan No. Nama Mission Jumlah Keuangan Center Audit Negara (Rp) (1) (2) (3) (4) 1. Bidang IPP 107 14.531.950.059,17 2. Bidang APD 46 114.821.932,16 3. Bidang AN 13 0,00 4. Bidang Investigasi 32 39.110.566.667,88 Jumlah Diolah dari: BPKP (2016)
198
53.757.338.659,21
3.
Penandingan Biaya (Cost) dan Manfaat (Benefit) Kegiatan Audit Berdasarkan hasil simulasi biaya (cost) dan manfaat (benefit) kegiatan audit, maka terdapat tiga klasifikasi analisis biaya dan manfaat yang dapat dilakukan untuk dapat dijadikan sebagai dasar pengukuran kinerja, yaitu: Secara keseluruhan terlihat bahwa Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan berkinerja “Sangat Optimal” dimana nilai manfaat berupa penyelamatan keuangan negara lebih besar | Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
649
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
PROCEEDINGS
Bandung, 20 Juli 2017
ISSN- 2252-3936
hingga 14,6 kali lipat dari biaya audit yang telah dikeluarkan atau sebesar 1.459,75% (Rp53.757.338.659,21 / Rp3.682.645.389,71 x 100%). Ini berarti, dengan hanya menggunakan sumber daya sebesar Rp3.682.645.389,71, Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan berhasil melaksanakan kegiatan audit yang dapat memberikan manfaat berupa penyelamatan keuangan negara sebesar Rp53.757.338.659,21. Analisis perbandingan biaya (cost) dan manfaat (benefit) aggregrat Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Tabel 5. berikut ini : Tabel 5. Analisis Perbandingan Biaya (Cost) dan Manfaat (Benefit) Aggregrat Nilai Penyelamatan Keuangan Negara (Rp) (4) (5) = (3) x (4) (4) 18.149.433,52 1.941.989.386,1 14.531.950.059,1 14.544.709,51 9 669.056.637,25 7 114.821.932,16 28.014.260,88 364.185.391,48 0,00 22.106.686,71 707.413.974,80 39.110.566.667,8 8 3.682.645.389,7 53.757.338.659,2 1 1
No.
Nama Mission Center
Jumlah Biaya Per Total Biaya Audit Pengawasan Audit (Rp) (Rp)
(1) 1. 2. 3. 4.
(2) Bidang IPP Bidang APD Bidang AN Bidang Investigasi
(3) 107 46 13 32
Jumlah Diolah dari: BPKP (2016)
198
Setelah proses penandingan selesai dilakukan, selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan untuk menilai optimalisasi kinerja. Untuk kepentingan penilaian, maka perlu ditetapkan suatu kriteria penilaian. Dalam Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan BPKP disebutkan bahwa skala pengukuran kinerja didasarkan pertimbangan masing-masing instansi, antara lain dengan skala pengukuran ordinal, misalnya :
atau
atau
86 - 100 = Baik Sangat Baik Sangat Berhasil 71 - 85 = Sedang Baik Berhasil 55 – 70 = Kurang Sedang Cukup Berhasil < 55 = Sangat Kurang Kurang Baik Tidak Berhasil Dengan dasar tersebut dan disebabkan oleh penilaian optimalisasi kinerja fungsi audit ini merupakan suatu riset awal maka Peneliti mencoba merumuskan suatu skala pengukuran kinerjanya. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menentukan skala penilaian terlebih dahulu, dalam hal ini peneliti menggunakan skala interval agar dapat membedakan kategori berdasarkan tingkatan/urutan dengan interval / jarak antar kategori yang tetap/sama. Skala interval adalah skala yang sama seperti nominal dan ordinal namun mempunyai karakteristik tetap dan dapat dinotasikan dalam fungsi matematika. Skala interval menurut Sekaran (2006) menentukan perbedaan, urutan dan kesamaan besaran perbedaan tiap variabel. Karena yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah menilai optimalisasi kinerja dari fungsi audit maka skala penilaian yang digunakan adalah optimalisasi dengan lima tingkatan penilaian mulai dari ‘Tidak Optimal’ untuk penilaian kinerja terendah sampai dengan ‘Sangat Optimal’ untuk penilaian kinerja tertinggi. Tahap selanjutnya adalah menentukan penilaian (scoring), skor yang digunakan adalah 0 – 100 dengan interval yang sama yang dibagi kedalam 5 tingkatan yaitu 0 - 20 untuk penilaian kinerja terendah dan 81 – 100 untuk penilaian kinerja tertinggi. Langkah terakhir menjadi tahapan yang paling sulit yaitu membuat skala interval untuk menentukan masing-masing tingkatan penilaian. Mengambil filosofi ekonomi dimana jika nilai pengembalian (payback) lebih rendah daripada biaya maka akan menyebabkan kerugian sehingga peringkat kinerja terendah akan didasarkan pada nilai temuan yang lebih rendah ketika dibandingkan dengan biaya auditnya. Dikarenakan peneliti belum menemukan dasar yang dapat dijadikan sebagai pondasi dalam menentukan skala tersebut dan untuk mempermudah penentuan tingkatan optimalisasi maka yang peneliti gunakan adalah justifikasi dengan merujuk kepada skor yang telah ditentukan sebelumnya, namun berbeda dengan skor yang menggunakan nilai 0 – 100 maka untuk skala interval ini yang digunakan adalah ‘nilai temuan kurang dari biaya audit sampai dengan dua kali biaya audit’ untuk penilaian kinerja terendah dan ‘nilai temuan lebih dari delapan kali biaya audit sampai dengan diatas sepuluh kali biaya audit’ untuk penilaian kinerja tertingginya. Akhirnya kriteria penilaian yang Peneliti gunakan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Penilaian Kinerja Mission Center Berdasarkan Hasil Analisis Biaya Manfaat
650
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
No.
Skor
Penilaian Keterangan
1.
0-20
2.
21-40
Tidak Optimal Kurang Optimal
Jika nilai temuan kurang dari biaya audit sampai dengan duatemuan kali biaya audit. Jika nilai lebih dari dua kali biaya audit sampai dengan empat kali biaya audit.
3.
41-60
Cukup Optimal
Jika nilai temuan lebih dari empat kali biaya audit sampai dengan enam kali biaya audit.
4.
61-80
Optimal
Jika nilai temuan lebih dari enam kali biaya audit sampai dengan delapan kali biaya audit.
5.
81-100 Sangat Optimal
Jika nilai temuan lebih dari delapan kali biaya audit sampai dengan diatas sepuluh kali biaya audit.
Berikut adalah hasil penilaian dan analisis lebih lanjut atas kinerja mission center berdasarkan hasil analisis biaya manfaat dimana skor Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan secara aggregat adalah 100. Perbandingan biaya dan manfaat secara aggregat, Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan mendapatkan rasio 14,6 kali lipat dari biaya pemeriksaan yang telah dikeluarkan atau sebesar 1.459,75% (Rp53.757.338.659,21 / Rp3.682.645.389,71 x 100%). 2. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI a. Kesimpulan Poin-poin utama yang dapat peneliti simpulkan berupa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan rumusan permasalahan yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Belum adanya metode perhitungan biaya (cost) kegiatan audit yang komprehensif di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan sehingga belum dapat diketahui secara langsung berapa biaya audit yang dikeluarkan oleh BPKP dalam setiap melaksanakan kegiatan pengawasannya. Hal ini terlihat dari Laporan Keuangan Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014 dimana belanja hanya disajikan menurut klasifikasi ekonomi / jenis belanja dan bukan berdasarkan produk yang dihasilkannya (audit). Pada Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan belum terdapat penggambaran pengukuran kinerja kegiatan audit dalam tingkat manfaat (benefit) yang secara memadai dapat Peneliti gunakan sebagai pembanding dari biaya audit untuk bisa dilakukan simulasi Analisa Biaya-Manfaat karena tidak dapat dipadankan secara langsung dengan biaya audit. Hal ini didukung hasil wawancara peneliti terhadap 14 narasumber dimana hampir seluruhnya menyatakan bahwa penggunaan indikator keluaran (output) sebagai ukuran kinerja kegiatan audit belum dapat mewakili penggambaran kinerja dari kegiatan audit secara menyeluruh. 2. Dari hasil studi literatur diketahui bahwa metode full costing merupakan metode perhitungan yang paling komprehensif dalam menilai biaya audit di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, dimana seluruh sumber daya keuangan yang direalisasikan akan dibebankan sebagai total biaya jasa yang mana dalam hal ini adalah kegiatan pengawasan (audit) BPKP. Terkait metode yang diharapkan dapat diterapkan untuk menghitung manfaat (benefit) dari fungsi audit berdasarkan hasil penggalian informasi melalui metode wawancara dari 14 narasumber secara langsung dapat disimpulkan bahwa untuk kegiatan audit capaian yang tepat dan terukur untuk menilai manfaatnya adalah berupa ‘Penyelamatan Keuangan Negara’ dimana nantinya dapat dihitung dari nilai temuan yang berupa penyetoran ke Kas Negara maupun nilai efisiensi, efektifitas dan ekonomis dari pengeluaran Anggaran Negara. 3. Berdasarkan simulasi serta penandingan biaya (cost) dan manfaat (benefit) kegiatan audit dapat diambil hasil bahwa Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan berkinerja “Sangat Optimal” dimana nilai manfaat berupa penyelamatan keuangan negara lebih besar hingga 14,6 kali lipat dari biaya audit yang telah dikeluarkannya atau sebesar 1.459,75% (Rp53.757.338.659,21 / Rp3.682.645.389,71 x 100%). b.
Implikasi
| Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
651
PROCEEDINGS
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
ISSN- 2252-3936
Bandung, 20 Juli 2017
Berdasarkan kesimpulan hasil simulasi biaya dan analisis biaya manfaat kegiatan audit di Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2014 dan tanpa mengurangi keberhasilan dari BPKP, Peneliti memandang perlu menyampaikan saran-saran perbaikan sebagai berikut : i. Sebagai lembaga pengawasan keuangan yang diharapkan dapat menjadi panutan instansi pemerintah lainnya terutama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), sebaiknya BPKP secara periodik menerbitkan laporan analisis biaya manfaat atas kegiatan audit / pengawasannya, selain sebagai pelengkap laporan keuangan pokok BPKP juga untuk peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara. ii. Berdasarkan hasil simulasi biaya diharapkan BPKP dapat menyusun suatu Standar Biaya Khusus untuk kegiatan audit / pengawasan yang menjadi salah satu core business BPKP selain consulting. Belum adanya standar biaya tersebut menyebabkan cukup tingginya selisih biaya per audit kinerja antara Bidang APD dengan Bidang AN sebesar Rp13.469.551,38 atau 48,08% dari nilai biaya per audit Bidang AN. iii. Mencari formulasi terkait indikator manfaat (benefit) dari kegiatan audit yang lebih akurat serta sempurna yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. iv. Mengembangkan analisis biaya manfaat ke sektor yang lebih luas tidak hanya untuk menghitung biaya pengawasan (audit) namun ke semua produk yang dihasilkan dari BPKP itu sendiri. c. Keterbatasan Penelitian dan Saran Waktu yang Peneliti miliki dalam melakukan penelitian sebetulnya memadai, namun terdapat variabelvariabel yang meskipun tercakup di dalam keluasan lingkup penelitian tapi karena kesulitan-kesulitan metodologis dan prosedural tertentu sehingga tidak dapat dicakup di dalam penelitian dan di luar kendali Peneliti, seperti sebagai berikut : i. Informasi capaian yang dapat digunakan untuk menilai manfaat (benefit) dari kegiatan audit masih sangat mungkin untuk dapat diperdebatkan, karena penelitian hanya menggunakan narasumber dari satu sudut pandang saja yaitu sudut pandang auditor, beragamnya auditee dari Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan menjadi pertimbangan Peneliti untuk membatasi lingkup sudut pandang informan, auditee yang dimaksud bisa berasal dari berbagai Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi/Kota/Kabupaten serta Pemerintah Pusat baik dari Kementerian/Lembaga/Instansi. Untuk penelitian yang akan datang diharapkan penggalian informasi dari narasumber dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang baik itu pihak auditor maupun auditee; ii. Variabilitas ketersediaan waktu narasumber untuk dimintai keterangan memaksa Peneliti hanya menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data, meskipun dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) akan dapat diperoleh hasil yang lebih komprehensif lagi. Diharapkan pada penelitian yang akan datang dapat lebih menyempurnakan kelemahan teknik pengumpulan data tersebut; iii. Belum adanya standarisasi biaya pengawasan (audit) di BPKP menjadikan tidak setimbangnya jarak nilai dari hasil penelitian berupa proporsi pembandingan antara biaya dengan manfaat audit per masing-masing bidang teknis yang diteliti; Hasil penilaian atas kinerja mission center berdasarkan hasil analisis biaya manfaat berupa pemberian nilai (scoring) merupakan hasil riset awal yang masih jauh dari kata sempurna, hal ini disebabkan belum pernah dilakukannya pemberian nilai atas kinerja mission center berupa kegiatan audit berdasarkan hasil analisis biaya manfaat.
3. DAFTAR PUSTAKA [1]. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2007. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SKPN). BPK RI. Jakarta. [2]. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2010-2014. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS). BPK RI. Jakarta. [3]. Badrul, M. 2003. Perencanaan Anggaran Kinerja, Memangkas Inefesiensi Anggaran Daerah. Samawa Center. Yogyakarta [4]. Bastian, I. 2010. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Salemba Empat. Jakarta. [5]. Boardman, A. E., David H. Greenberg, Aidan R. Vining & David L. Weimer. 1996. Cost-Benefit Analysis: Concepts and Practice, 4th Edition. Pearson. New Jersey. [6]. Bȍhm, A. 2004. Theoretical Coding: Text Analysis in Grounded Theory. Jurnal. A Companion to Qualitive Research. Hal. 270-275. London. [7]. Budiman. 2014. http://www.bonesatu.com/2014/11/audit-bpkp-dinilai- pemborosan.html,
652
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung, 20 Juli 2017
PROCEEDINGS ISSN- 2252-3936
diakses 6 Januari 2016. [8]. Christensen, M. 2002. Accrual accounting in the public sector: the case of the New South Wales Government. Jurnal. Accounting History, Vol. 7, No. 2,hal. 93-124. Australia. [9]. Corbin, J. M. dan Strauss, A. L. 2008. Basic of qualitative research: Technique and procedures for developing grounded theory. 3rd Edition. Sage Publication, Inc. Thousand Oaks of California. [10]. Federal Accounting Standards Advisory Board. 1995. Statement of Federal Financial Accounting Standards Number 4: Managerial Cost Accounting Concepts and Standards for the Federal Government. FASAB. Washington D.C. [11]. Gordon, C. dan Bell, M. E. 1998. Implementing Benefit/Cost Analysis In Federal Agencies: Concepts, Practices, And Issues. Papers. University of Canberra. Australia. [12]. Hampson, V. M-M. 2009. The Application of Management Accounting for Achieving Public Sector Outcomes-Based Performance Management in Queensland – A Case Study. Disertasi. University of Southern Queensland. Queensland. [13]. Herman, W. 2008. Revitalisasi Peran Internal Auditor Pemerintah untuk Penegakan Good Governance di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Internal Audit Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran. Bandung, 5 November 2008. [14]. Herz-Roiphe, D. 2014. The Young, the Old, and the Economists: Rethinking How Agencies Account for Age in Cost-Benefit Analysis. Jurnal. Yale Journal of Health Policy, Law, and Ethics: Vol. 14: Iss. 2, Article 3. USA. [15]. Hogan, C. E. 1997. Costs and Benefits of Audit Quality in the IPO Market: A Self-Selection Analysis. Jurnal. The Accounting Review, Vol. 72, No. 1, hal 67-86. [16]. Joko, R. 2012. http://lautanopini.com/2012/12/28/tumpang-tindih-audit-bpk- dan-bpkp/, diakses 6 Januari 2016. [17]. Indra A. 2015. .http://nasional.kompas.com/read/2015/06/05/16174201/ Ini.7.Kementerian.Lembaga.yang.Dapat.Opini.Disclaimer.oleh.BPK, diakses 17 Juli 2016. [18]. Keban, J. T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Gava Media. Yogyakarta. [19]. Lapsley, I. dan Pallot, J. 2000. Accounting, Management and Organizational Change: A Comparative Study of Local Government. Jurnal. Management Accounting Research, Vol. 11. No. 2, hal. 213-229. Edinburgh. [20]. Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Lembaga Administrasi Negara. Jakarta. [21]. Livermore, M. A. 2013. Cost-Benefit Analysis and Agency Independence. Jurnal. Virginia Law and Economics Research Paper No. 2013-09. USA. [22]. Luthfi. 2013. http://luthfi.wordpress.com/2013/10/28/apip-makhluk-apa-ini/, diakses 17 Januari 2016 [23]. Luttrell, M. J. 2013. Cost-Benefit Analysis at Independent Regulatory Agencies: Analysis of the Independent Agency Regulatory Analysis Act (S. 1173). Papers disampaikan dalam 50th Annual Conference and Seminar of the Federal Administrative Law Judges Conference (FALJC). [24]. Mahfoedz, M. 2000. Akuntansi Manajemen Buku Satu Edisi 3. BPFE - Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. [25]. Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. [26]. Mahsun, Mohamad. 2012. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE- Yogyakarta. Yogyakarta. [27]. Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta. [28]. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. 2008. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/20/MENPAN/11/2008 tentang Pedoman Penyusunan Indikator Kinerja Utama. MenPAN RI. Jakarta. [29]. Miller, A. D. G., Timothy F. S., Jeffrey S., Steve P. 2009. Managerial Cost Accounting in Federal Government. Laporan Penelitian. AGA CPAG. USA. [30]. Moehriono. 2012. Pengukuran Kinerja Berbasis Kinerja, Edisi Revisi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. [31]. Moleong, L.J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung [32]. Mulyadi. 2002. Auditing. Ed.6. Salemba Empat. Jakarta. [33]. Mulyadi dan Setiawan. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Salemba Empat. Jakarta. [34]. Presiden Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan | Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti
653
PROCEEDINGS
Profesionalisme Akuntan Menuju Sustainable Business Practice
ISSN- 2252-3936
Bandung, 20 Juli 2017
Barang/Jasa Pemerintah. Presiden RI. Jakarta. [35]. Presiden Republik Indonesia. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Presiden RI. Jakarta. [36]. Samryn, LM. 2001. Akuntansi Manajerial Suatu Pengantar, Cetakan Pertama. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. [37]. Sekaran, U. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Salemba Empat. Jakarta. Sugiyono. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabetha. Bandung. [38]. Sulistyo, B. 2010. Metode Penelitian. Penaku. Jakarta. [39]. Tangvitoonthama, N. dan Chaiwat, P. 2012. Economic Feasibility Evaluation of Government Investment Project by Using Cost Benefit Analysis: A Case Study of Domestic Port Port A), Laem-Chabang Port, Chonburi Province. Papers disampaikan dalam 2nd Annual International Conference on Qualitative and Quantitative Economics Research (QQE 2012). Thailand. [40]. Upping, P. dan Oliver, J. 2011. Accounting Change Model for the Public Sector: Adapting Luder's Model for Developing Countries. Jurnal. International Review of Business Research Papers, Vol. 7. No. 1, hal. 364 – 380. Australia. [41]. Widodo, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Bayumedia Publishing. Malang. [42]. Wikipedia. 2014. Fungsional Auditor. http://id.wikipedia.org/wiki/Fungsional_Auditor diakses 17 Januari 2016. Young, D. dan Robert A. 2012. Management Control in Nonprofit Organizations. 9 th Edition. The Crimson Press. USA.
654
Hilman Harimingguna, Atiek Sri Purwati, Margani Pinasti |