LAPORAN BUSINESS DIALOG
MENGUNGKIT KELEMBAMAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR SKEMA KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA
18 JULI 2012
CENTER FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT PRASETIYA MULYA BUSINESS SCHOOL (CID-PMBS) JULI 2012
©Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School Juli 2012
CID-PMBS mengucapkan terima kasih kepada: Dr. Ir. Bastary Pandji Indra, MSP (Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah Swasta Bappenas), Ir. Achmad Gani Ghazali, M.Eng.Sc. (Kepala Badan Pengatur Jalan Tol), Ir. Herry Trisaputra Zuna, SE., MT. (Badan Pengatur Jalan Tol), Ir. Brahmantio Isdijoso, MS. (Pusat Pengelola Risiko Fiskal), Riko Amir (Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal), Ir. Assistia Semiawan, MSc. (PT PLN), Ir. Hilman Muchsin (Dirut Translingkar Kita Jaya), Ir. Pandam Pandyono, MM. (Direktur Bakrie Power), Ir. Sigit Pramono, MM. (Komisaris Independen Bank Central Asia), Ir. Hadjar Seti Adji (PT Pembangunan Perumahan), Andri Wibisono (The World Bank), Eka Zarmen Putra (The World Bank), dan seluruh responden dan peserta business dialog.
Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School (CID – PMBS) Advisor: Prof. Dr. Djisman Simandjuntak Prof. Djoko Wintoro, PhD. Pengarah: Ade Febransyah, PhD. Management: Bely Utarja MBA. Project Financing & Project Management: Bely Utarja MBA. Djoni Wibisono MM. Arnold Kaudin MM. Human Resource Development: Theresa C. Y. Liong, PhD. Lenny Sunaryo, PhD. Lies Dahlia, MM. Decision Making: Ade Febransyah, PhD. Dr. Y. Arief Rijanto Public Policy & Private Policy: Dr. Achmad Setyo Hadi Arnold Kaudin MM. Sekretariat : Dra. Lina B. Chandra Augustinus Widyaputranto MA. Data: Nico Swasthantra. SE. Panitia Business Dialog: Pengarah: Ade Febransyah, Ketua: Bely Utarja, Undangan dan Acara: Lina B. Chandra, Research Support: Augustinus Widyaputranto, Dokumentasi: Supardi, Perlengkapan: Misbah dan staf PMBS. Alamat CID-PMBS : Kampus Prasetiya Mulya, Jl. R.A. Kartini (T.B. Simatupang), Cilandak Barat, Jakarta 12430, Indonesia. E-mail:
[email protected],
[email protected]. Telepon: +62-21-7500463. Fax: +62-21-7500460.
RINGKASAN EKSEKUTIF
Karakteristik dan keunikan lingkungan investasi infrastruktur dan sektor-sektor infrastruktur di Indonesia haruslah menjadi titik tolak untuk mengembangkan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha1 dalam penyediaan infrastruktur. Pengembangan ini antara lain meliputi kerangka regulasi, institusi dan struktur insentif untuk mendorong partisipasi swasta dalam skema tersebut. Dialog antar para pemangku kepentingan bisa membantu dalam melakukan identifikasi dan perumusan solusi untuk memanfaatkan atau mengatasi karakteristik dan keunikan itu. Dengan demikian lingkungan investasi melalui skema ini akan dapat menarik dana swasta dan mengembangkan industri penyedia infrastruktur. Business Dialog ini mengindentifikasi tantangan, hambatan dan peluang yang ada dalam upaya pengembangan skema kerjasama ini. Empat tema yang muncul dari dialog ini adalah: penyiapan proyek skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan Badan Usaha dan industri penyedia infrastruktur, serta partisipasi publik dalam penyediaan infrastruktur. Penyiapan proyek untuk keperluan skema ini perlu diperkuat sehingga bisa dihasilkan struktur project financing dengan alokasi risiko yang dapat diterima oleh calon pemberi pinjaman. Untuk keperluan itu kualitas sumber daya manusia (SDM) dan tata kelola penyiapan proyek harus segera dibenahi. Selain itu, dialog dengan Badan Usaha untuk meningkatkan kualitas alokasi risiko juga perlu didorong untuk terus dilakukan. Keberhasilan pelaksanaan penyediaan infrastruktur melalui skema ini pun bergantung kepada kualitas dan kuantitas Badan Usaha, termasuk SDM-nya. Apabila hal ini tidak terpenuhi, penemuan Badan Usaha yang tepat dan pencapaian Value for Money melalui skema ini tidak akan dapat terwujud. Konsultasi publik pada saat penyiapan proyek juga diperlukan oleh Badan Usaha untuk meyakinkan bahwa infrastruktur yang dibangun memang menjawab permasalahan atau kebutuhan publik dan potensi risiko yang muncul dari publik dapat lebih terukur. Bentuk dan model konsultasi publik akan semakin berkembang seiring dengan kesadaran publik mengenai penyediaan infrastruktur.
1
Badan Usaha meliputi perseroan terbatas, BUMN, BUMD dan koperasi. Dalam hal ini Badan Usaha meliputi swasta dan non swasta. Hal ini berbeda dengan istilah Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Tetapi dalam laporan ini ketiganya digunakan secara bergantian.
1
MENGUNGKIT KELEMBAMAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR PROYEK KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA1
Peserta Business Dialog: (baris depan dari kiri ke kanan) Dadang Jusron, Lies Dahlia, Theresa C.Y. Liong, Lenny Sunaryo, Andri Wibisono; (baris belakang dari kiri ke kanan) Bely Utarja, Hilman Muchsin, Oscar Aries, Novijan Janis, Pandam Pandyono, Bastary Pandji Indra, Ade Febransyah, Suparno, Herry Trisaputra Zuna, Y. Arief Rijanto, dan Arnold Kaudin; (yang tidak tampak) Djoko Wintoro, Assistia Semiawan, Mario Puji Hersanto, Khairunnisa dan Achmad Setyo Hadi.
18 Juli 2012 Kampus Prasetiya Mulya Business School Jl. R.A. Kartini, Cilandak Jakarta Selatan
Skema
kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan Peraturan Presiden nomor 67 Tahun 2005 beserta perubahan dan peraturan pelaksanaannya baru berhasil menggolkan sebuah proyek menuju financial close. Dalam business dialog ini dibahas mengenai faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab kelembaman tersebut dan pelajaran apa saja yang bisa diambil dari upaya pengembangan skema tersebut selama ini. Business Dialog dilaksanakan di kampus Prasetiya Mulya Business School (PMBS). Beberapa peserta dialog terpaksa melakukan perjalanan berjam-jam karena kemacetan lalu lintas dan adanya demonstrasi di sebuah pasar swalayan di Cilandak. Namun akhirnya berhasil berkumpul peserta yang mewakili pengambil keputusan dan penyusun kebijakan dari: Kementerian Keuangan (Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal), Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (Badan Pengatur Jalan Tol dan PT PLN), Badan Usaha swasta (PT Translingkar Kita Jaya dan PT Bakrie Power), serta konsultan, peneliti dan akademisi PMBS. Beberapa undangan yang telah berencana hadir tidak bisa ikut dalam dialog karena berhalangan. 1
Terima kasih kepada ibu Assistia, kami merubah judul Business Dialog pada laporan ini untuk menghindari kerancuan.
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Topik yang dipilih sebagai pemancing dalam dialog ini ada empat. Yang pertama adalah masalah penyiapan proyek untuk skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Kedua adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) Badan Usaha dalam skema tersebut. Selanjutnya adalah masalah identifikasi proyek dan pemenang tender, dan terakhir mengenai partisipasi publik dalam penyediaan infrastruktur. Business Dialog ini dibagi menjadi dua sesi. Moderator pada sesi pertama adalah Arief Rijanto dan sesi kedua adalah Bely Utarja. Business dialog dibuka oleh Bely Utarja, mewakili Center for Infrastructure Development PMBS (CID-PMBS). Sambutan Business Dialog diberikan oleh Djoko Wintoro selaku ketua PMBS sekaligus pembina CIDPMBS. Dalam sambutannya, Djoko mengajak para peserta dialog untuk memperhatikan dua masalah kebijakan yang besar. Yang pertama adalah kebijakan terkait dengan output infrastruktur. Apabila Indonesia mengikuti China untuk menjadi besar dengan ‘otot’, maka Indonesia harus juga membangun infrastruktur. China memiliki komitmen yang kuat dalam mengembangkan infrastruktur terutama terhadap output yang diharapkan dari infrastruktur tersebut. Sebagai contoh, infrastruktur jalan tol harus memberikan output terhadap pertumbuhan perekonomian, Djoko Wintoro: penurunan biaya ekonomi dan peningkatan tenaga kerja. “Dua masalah kebijakan dalam Output ini menjadi komitmen dan harus terukur. Yang kedua infrastruktur : kebijakan terkait dengan adalah kebijakan terkait dengan operasional, yaitu pilihanoutput dan kebijakan operasional” pilihan yang dihadapi dan pemecahan masalah dalam pengembangan infrastruktur. Pilihan penting saat ini yang dihadapi di Indonesia misalkan adalah masalah pengadaan tanah. Menutup sambutannya Djoko mengajak peserta dialog untuk saling bertukar pikiran agar bisa didapatkan hasil yang bisa disumbangkan bagi pengembangan infrastruktur di Indonesia.
Topik dialog pertama disajikan oleh tim yang terdiri dari Bely Utarja, Djoni Wibisono dan Arnold Kaudin. Tim ini memaparkan permasalahan dalam penyiapan proyek infrastruktur dalam skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Setidaknya ada dua tantangan yang perlu dihadapi dalam penyiapan proyek kerjasama ini. Yang pertama adalah bagaimana Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dapat menyiapkan proyek sesuai dengan standar yang diperlukan oleh pemegang keputusan dalam pemberian Jaminan Pemerintah, Dukungan Pemerintah, maupun pendanaan swasta. Yang kedua adalah bagaimana membuat sinergi atau tata kelola antar institusi Pemerintah dan/atau antar institusi pendukung skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur.
3
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Dalam menghadapi tantangan tersebut ada hambatan yang harus dapat diatasi. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam penyiapan proyek adalah sebagai berikut. Pertama, secara umum PJPK sulit mengubah penekanan pekerjaannya kepada sisi perencanaan dibandingkan eksekusi. Hal ini akibat peran PJPK yang selama ini sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas penyediaan infrastruktur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Akibatnya, pola pikir sebagai eksekutor lebih terbiasa digunakan dibandingkan dengan sebagai perencana. Hal ini menyulitkan PJPK untuk memberikan bobot pekerjaan lebih pada sisi perencanaan, apalagi hal ini berarti melakukan sesuatu yang baru disamping rutinitas tetap harus berjalan. Hambatan berikutnya terkait dengan motivasi yang dipilih dalam memutuskan pelaksanaan proyek melalui skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Motivasi yang digunakan adalah untuk mengatasi funding gap antara ketersediaan dana Pemerintah dengan kebutuhan infrastruktur, bukan untuk mendapatkan manfaat lebih dari pelibatan dari Badan Usaha/swasta dalam penyediaan infrastruktur. Hal ini menyebabkan prinsip alokasi risiko menjadi kurang berkembang. Sayangnya, motivasi untuk mengatasi gap funding tersebut pun tidak diiringi dengan upaya Pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya risiko proyek infrastruktur sehingga Badan Usaha, terutama swasta dan pemberi pinjaman, lebih tertarik untuk ikut dalam skema tersebut.
Bely Utarja: “Perlu dapat menyiapkan struktur proyek yang sesuai dengan standar yang diperlukan oleh Badan Usaha untuk penentuan keterlibatan melalui corporate financing maupun project financing”
Selanjutnya adalah hambatan akibat sulitnya mendefinisikan Value for Money dan kemudian menggunakannya dalam perhitungan untuk penentuan apakah suatu proyek infrastruktur sebaiknya diadakan berdasarkan pengadaan konvensional ataukah melalui skema kerjasama dengan Badan Usaha. Hambatan berikutnya adalah terbatasnya SDM untuk menyiapkan struktur proyek yang sesuai dengan standar untuk penentuan besar jaminan dan dukungan Pemerintah serta untuk penentuan keterlibatan Badan Usaha baik melalui corporate financing maupun project financing. Selanjutnya tim mengusulkan beberapa hal yang bisa didiskusikan terkait dengan penyiapan proyek. Yang pertama adalah perlunya melakukan pemisahan antara keputusan investasi dengan keputusan pendanaan pada waktu PJPK melakukan identifikasi dan pemilihan awal proyek infrastruktur. Kedua, penyiapan proyek harus lebih berfokus pada output yang diharapkan dibandingkan dengan input yang diperlukan. Ketiga, Value for Money dan alokasi risiko harus menjadi titik tolak untuk melakukan seleksi terhadap proyek infrastruktur yang akan diadakan melalui pengadaan konvesional atau melalui skema kerjasama dengan Badan Usaha. Selanjutnya adalah diperlukannya suatu prosedur atau standar perhitungan biaya modal (cost of capital) untuk setiap jenis infrastruktur, baik pendanaan konvesional maupun pendanaan melalui skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Terakhir, kelangkaan SDM dalam penyiapan proyek dapat diatasi dengan: pendampingan PJPK oleh konsultan yang 4
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
berkualifikasi atau pengadaan suatu unit khusus yang dapat menyiapkan proyek sesuai dengan standar yang dibutuhkan untuk pemberi jaminan dan/atau dukungan Pemerintah, Badan Usaha, dan calon pemberi pinjaman.
Paparan untuk dialog selanjutnya dilakukan oleh tim yang terdiri dari Theresa C.Y. Liong, Lenny Sunaryo dan Lies Dahlia. Topik yang diangkat adalah analisis kesiapan SDM Badan Usaha dalam skema kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Berdasarkan hasil wawancara dengan Badan Usaha BUMN infrastruktur, Badan Usaha swasta infrastruktur, pemberi kredit pembangunan infrastruktur (perbankan swasta nasional, internasional dan multilateral agency); dapat diidentifikasi beberapa hambatan, tantangan dan peluang dalam penyiapan SDM Badan Usaha untuk penyediaan infrastruktur. Yang menarik dalam wawancara tersebut adalah tidak ditemukannya secara signifikan masalah mengenai penyediaan SDM. Masalah utama yang dihadapi Badan Usaha lebih kepada soal pembebasan tanah. Namun demikian tim tetap melakukan analisis terhadap kesiapan SDM Badan Usaha.
Lenny Sunaryo: “Ketidakpastian pelaksanaan proyek menyebabkan sulitnya membuat Human Resource Planning”
Ada lima hambatan terkait dengan hal penyiapan SDM untuk penyediaan infrastruktur. Yang pertama adalah kesenjangan human capital (knowledge, skills dan attitude) SDM antara pusat (Jakarta) dan daerah. Kedua, ketidakpastian jadwal pelaksanaan proyek yang menyebabkan sulitnya mengatur rencana tenaga kerja (Human Resource Planning) seperti jumlah dan kualitas yang dibutuhkan. Yang berikutnya adalah hambatan dari kurangnya kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi dalam koordinasi kerja dengan instansi Pemerintah terkait dengan penduduk yang terkena dampak pembangunan infrastruktur (terutama soal pembebasan tanah).
Yang keempat adalah hambatan akibat kurangnya ahli sektor-sektor infrastruktur di kalangan perbankan. Hal ini menyebabkan perbankan hanya akan terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur yang dipahaminya, sesuai dengan ketersediaan SDM ahli sektor yang dimilikinya untuk melakukan analisa kelayakan. Hal ini juga disebabkan karena setiap sektor infrastruktur adalah unik, sehingga perbankan membatasi keterlibatannya sesuai dengan keahlian sektor yang dimilikinya. Hambatan terakhir adalah kemampuan daya tawar (bargaining power) Badan Usaha infrastruktur Indonesia dalam pembangunan infrastruktur yang berkerjasama dengan pihak asing terutama di bidang keahlian yang belum dimiliki oleh Badan Usaha tersebut. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran atau transfer of knowledge tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, ketergantungan terhadap pihak asing untuk proyek-proyek infrastruktur dengan spesifikasi tertentu akan selalu ada. Tantangan yang perlu dihadapi terkait dengan penyiapan SDM adalah sulitnya mengukur kinerja SDM Badan Usaha akibat ketidakpastian yang tinggi. Penurunan ketidakpastian akan membantu pengukuran 5
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
kinerja sehingga dapat dengan lebih mudah diidentifikasi dan diukur besar kesenjangan antara kebutuhan SDM dan ketersediaannya. Berdasarkan identifikasi tersebut dibuatlah perencanaan penyiapan SDM. Di sisi lain, terdapat peluang dalam memperbaiki kesiapan SDM. Pembangunan infrastruktur di Indonesia masih jauh dari target sehingga masih banyak peluang bagi SDM Badan Usaha untuk membangun kompetensi. Selain itu, ketersediaan dana untuk pembangunan infrastruktur sebenarnya ada namun capacity building masih harus dikejar, terutama untuk penyiapan proyek. Setelah paparan mengenai hambatan, tantangan dan peluang; tim mengangkat isu untuk didiskusikan yaitu mengenai bagaimana Badan Usaha dapat menanggulangi hambatan, mengatasi tantangan dan menggunakan peluang tersebut.
Menanggapi paparan dan isu yang ditawarkan, Assistia Semiawan dari PT PLN mengungkapkan bahwa PT PLN telah melakukan skema Public Private Partnership (PPP) jauh sebelum adanya Perpres 67 tahun 2005, yaitu melalui penandatanganan 27 Power Purchase Agreement (PPA) pada tahun 1998. Di dalam PPA tersebut telah ada alokasi risiko. Misalkan risiko pengadaan lahan, lingkungan, dan konstruksi dialokasikan pada investor. Sedangkan risiko inflasi dan nilai tukar dialokasikan kepada PLN. Selain itu ada pula risiko-risiko yang di-share. Investor lokal tidak mendapat jaminan pemerintah namun investor asing umumnya menginginkan jaminan tersebut. Bentuk jaminan Pemerintah saat itu hanya berupa support letter atau umbrella note. Dalam perjalanan, banyak IPP, terutama yang berkapasitas besar , tidak berjalan akibat tidak bankable. Nilai investasi yang besar tersebut tidak bisa ditanggung oleh bank-bank lokal sehingga dibutuhkan offshore loan. Bank-bank asing ini mensyaratkan jaminan Pemerintah akibat kredibilitas PLN yang kurang baik. Assistia Semiawan: “PT PLN mempertimbangkan struktur proyek yang tetap memungkinkan terjadinya persaingan yang fair antar pemasok teknologi”
Pada periode 2004-2005 banyak investor lokal yang melakukan investasi di pembangkit listrik. Meskipun mereka tidak mendapatkan jaminan pemerintah, namun saat ini sudah ada yang mencapai tahap operasi. Selain itu saat ini telah terdapat ratusan IPP kecil yang sudah beroperasi.
Terkait dengan perencanaan proyek Assistia menjelaskan bahwa PT PLN mempertimbangkan struktur proyek yang tetap memungkinkan terjadinya persaingan fair antar pemasok teknologi. Permasalahannya adalah keterbatasan player dan teknologi, misalkan teknologi baru, bisa mengarah ke suatu player tertentu. Beberapa pertimbangan lain dalam membuat struktur proyek juga meliputi: kondisi pembangkit yang khusus seperti pembangkit listrik di mulut tambang, insentif dari para partisipan dalam proyek dan opportunity cost-nya, struktur transaksi antar partisipan, alokasi risiko yang sesuai, serta 6
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
lingkungan strategis proyek. Peran Pemerintah dalam melakukan pendekatan kepada publik juga penting. Kunci keberhasilan PT PLN dalam menyiapkan proyek Central Java Power Plant adalah: jaminan Pemerintah yang menarik bagi investor, tetap menjaga agar kompetisi yang fair dan terbuka pada semua pihak tetap berjalan dari awal hingga akhir, komitmen petinggi birokrasi dalam mendukung pelaksanaan, serta pendampingan konsultan internasional yang independen. Sehubungan dengan SDM, Assistia mengungkapkan adanya gap komunikasi antara Pemerintah dengan swasta. Bahasa yang digunakan seringkali berbeda meskipun mengacu kepada hal yang sama. Selain gap tersebut, di beberapa daerah, terdapat gap knowledge, skill dan budaya. Lebih lanjut, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu ditingkatkan.
Menanggapi
tentang jaminan dan dukungan Pemerintah, Novijan Janis: Novijan Janis menjelaskan bahwa dalam hal ini posisi “Dalam perencanaan proyek KPS, Pemerintah cenderung risk averse. Peraturan perundangsedapat mungkin proyek infrastruktur undangan yang ada menjadi koridor Pemerintah dalam tidak memerlukan dukungan memberikan jaminan dan dukungan tersebut. Dalam Pemerintah” perencanaan proyek, sedapat mungkin proyek infrastruktur tidak memerlukan dukungan Pemerintah meskipun tetap disiapkan sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pemberi pinjaman. Apabila proyek tersebut memiliki kelayakan ekonomi namun tidak layak secara finansial, dukungan baru diberikan.
Lebih
Dadang Jusron: “Ownership proyek PPP tetap di PJPK.”
lanjut Dadang Jusron menjelaskan bahwa ada perbedaan antara dukungan Pemerintah dengan jaminan Pemerintah. Dukungan Pemerintah dapat dibutuhkan bila proyek infrastruktur tersebut layak secara ekonomi dan agar proyek yang tadinya tidak layak secara finansial menjadi layak sehingga menarik minat investor. Persoalan dukungan Pemerintah ini terkait dengan perhitungan Value for Money yang merupakan domain Bappenas. Namun hingga saat ini belum ada standar dan batasan yang dapat digunakan untuk menghitung besar Value for Money.
7
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Terkait dengan SDM, Dadang menyadari kurangnya kapasitas SDM Pemerintah. Selain itu jumlah personil yang dapat menyiapkan proyek sangat terbatas. Hal ini disebabkan opportunity cost yang tinggi untuk bekerja sebagai pegawai negeri. Di sisi lain, untuk keperluan konsultan, ada permasalahan standar biaya yang kurang memadai. Oleh karena itu, untuk membantu penyiapan proyek saat ini dicoba skemaskema pengadaan yang baru. Sebagai contoh untuk proyek Umbulan dan kereta api bandar udara digunakan skema Project Development Facility (PDF) berupa alokasi khusus yang dilakukan oleh PT SMI sehingga pengadaan konsultan lebih fleksibel. Terkait dengan pertanyaan mengenai ownership PPP, Dadang menjelaskan bahwa saat ini telah ada MOU antara Bappenas, BKPM dan Kemenkeu terkait pengembangan proyek infrastruktur PPP. Ownership dari proyek tersebut tetap di PJPK. Kementerian Keuangan melalui PPRF terlibat karena adanya jaminan dan dukungan Pemerintah. PPP/KPS memang sejak tahun 1997 telah ada dengan Perpres pada saat itu, namun karena menjadi prioritas maka dibuatlah Perpres 67/2005 beserta perubahan dan turunannya. Saat ini sudah dikembangkan jenis risiko yang diperluas serta dukungan Pemerintah dalam bentuk tunai. Kerangka regulasi ini masih berkembang dan proses pembelajaran diperlukan sehingga proyek KPS memerlukan waktu untuk benar-benar berkembang.
Hilman Muchsin memberikan pandangannya mengenai
dampak regulasi Pemerintah kepada Badan Usaha yang terlibat dalam penyediaan infrastruktur. Pada tahun 1985 Hilman terlibat dalam pengajuan proposal pembangunan jalan tol elevated dari Cawang hingga Tanjung Priuk. Pada saat itu belum ada regulasi terkait dengan kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk penyediaan infrastruktur. Proposal diajukan oleh konsorsium yang terdiri dari perusahaan swasta, BUMN (Hutama Karya) dan BUMD (Pembangunan Jaya) kepada Jasa Marga yang pada saat itu bertindak sebagai regulator sekaligus operator. Namun saat itu proposal ditolak dengan alasan belum dapat dipercaya dan otoritas tersebut lebih mau mempercayakan proyek tersebut kepada sebuah perusahaan dari Jerman. Setelah ditemukan jalan lain, Presiden Suharto pada saat itu memutuskan bahwa pembangunan jalan tol tersebut harus Hilman Muksin: dilakukan oleh perusahaan dalam negeri. “Setelah pengadaan tanah diatur, masalah kemudian muncul.”
Setelah itu dibuatlah tim untuk pengadaan tanah, yaitu tim 9, yang terdiri dari antara lain Bakorstanas dan Departemen Pekerjaan Umum. Dalam waktu dua tahun, tanah dengan jarak yang dibutuhkan, 14 KM, telah dapat dibebaskan. Pembebasan lahan relatif mudah pada saat itu, termasuk di daerah yang semula dianggap berisiko. Pembebasan lahan yang relatif mudah ini berubah setelah tanah mulai diatur dalam perundang-undangan pada tahun 2004. Pada tahun 2000, Hilman terlibat dalam rencana kerjasama antara Badan Usaha dengan Pemerintah Daerah Depok untuk membangun jalan tol. Ketika proyek tersebut akan dijalankan, terpaksa harus 8
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dihentikan karena munculnya Undang-undang mengenai jalan tol yang memuat pengaturan mengenai keharusan pelaksanaan tender. Proyek tersebut akhirnya ditenderkan dan pada tahun 2005 berhasil dimenangkan oleh perusahaan Hilman. Saat itu tanah ditentukan sebagai bagian dari investasi dan Badan Usaha tidak berkeberatan. Namun setelah pengadaan tanah diatur, masalah kemudian muncul. Hal ini disebabkan karena pihak yang membutuhkan lahan hanya sebagai anggota tim pengadaan tanah, tidak langsung membebaskan sendiri. Yang membebaskan adalah orang daerah melalui P2T, sehingga sangat bergantung pada kinerja P2T. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pemerintah berusaha menyelesaikan permasalahan tanah ini, antara lain melalui Undang-undang Nomor 2 tahun 2012. Namun penyelesaian ini terburu-buru dan parsial. Seharusnya Pemerintah dapat berkonsentrasi pada 24 ruas jalan tol yang telah ada perjanjiannya namun terkendala, nilainya sebesar 120 triliun. Akan sangat bagus bila bisa menyelesaikan hal ini. Hilman mengusulkan agar tata kelola skema KPS di sisi Pemerintah ditingkatkan antara lain dengan memperbesar peran dan wewenang BPJT. Sebaiknya BPJT yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 15 Tahun 2005 tersebut ditingkatkan eselonnya menjadi eselon satu. Selain itu lingkupnya diperluas menjadi badan pengatur infrastruktur, setidaknya meliputi jalan tol dan air minum. Pegawainya pun merupakan pegawai karir yang tetap dan tidak dirotasi ke luar badan tersebut. Dan ke depan badan ini harus didorong menjadi sebuah superbody yang independen. Sehubungan dengan dukungan Pemerintah dalam bentuk finansial sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2011, Hilman mengungkapkan bahwa dukungan tersebut juga perlu memperhatikan variabel kecepatan pembangunan. Badan usaha pemrakarsa proyek tidak bisa mendapatkan dukungan tersebut, padahal mungkin pembangunannya bisa lebih cepat karena tanah yang diperlukan telah dikuasai oleh Badan Usaha itu. Namun karena tidak ada dukungan sama sekali, pembangunannya menjadi terhambat. Dalam hal ini dukungan Pemerintah tidak mempercepat pembangunan infrastruktur. Terkait dengan dana talangan tanah dari BLU, Hilman berpendapat bahwa terdapat perlakuan Pemerintah yang berbeda-beda terhadap Badan Usaha. Pada saat sumber dana BLU dari PIP, Badan Usaha dikenakan bunga, sedangkan pada saat sumber dana BLU murni dari APBN, Badan Usaha tidak dikenakan bunga. Dengan demikian, Badan Usaha yang lebih dahulu berminat untuk ikut dalam penyediaan infrastruktur jalan tol justru dikenakan bunga, sedangkan yang ikut kemudian malah tidak dikenakan. Mungkin hal ini bisa dihindari apabila BPJT ditingkatkan eselon dan wewenangnya.
Suparno menanggapi permasalahan kelembaman penyediaan infrastruktur secara makro
dan mikro. Secara makro, Pemerintah saat ini mengalami kesulitan dalam politik anggarannya untuk memprioritaskan infrastruktur. Alokasi anggaran untuk infrastruktur hanya 2% sedangkan idealnya adalah 5% dari APBN. Sebagai contoh, China mengalokasikan 14% dari APBN. Oleh karena itu ke depan Pemerintah harus didorong untuk dapat meningkatkan alokasinya agar ideal untuk keperluan penyediaan infrastruktur. 9
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Secara mikro, hal yang teramati adalah permasalahan dalam kesiapan dan komitmen dari PJPK terhadap PPP. Hal ini tampak ketika PT SMI mendampingi penyiapan proyek Umbulan dan kereta api bandara. Ada keterbatasan SDM, dalam hal ini ahli PPP di Indonesia masih langkah. Hal ini wajar karena best practice masih sedikit sehingga model PPP yang sesuai pun masih dalam proses pencarian. Meskipun demikian, konsistensi dalam capacity building bisa membuat hal ini semakin berkembang. Terkait dengan SDM ini proses procurement pun masih bermasalah sehingga masih memerlukan waktu. Terkait dengan jaminan Pemerintah, PT PII telah didirikan Suparno: namun perlu dipikirkan isu mengenai bila nilai jaminan lebih “Perlu dibuat kerangka kelembagaan besar dibandingkan dengan kapasitas yang dimiliki yang lebih tertata dengan jelas terutama dalam rangka penyiapan proyek.” perusahaan tersebut. Selain itu, institusi di bawah Kementerian Keuangan (PT SMI, PT PII dan PIP) yang menjadi katalis pembangunan infrastruktur, khususnya PPP, harus memiliki koordinasi dan keteraturan sehingga dapat lebih bersinergi. Saat ini masih ada overlapping dari tugas di antara institusi tersebut sehingga ke depan perlu dibuat kerangka kelembagaan yang lebih tertata dengan jelas terutama dalam rangka penyiapan proyek. Isu lain adalah mengenai pengalaman negara lain terkait dengan adanya suatu unit yang didedikasikan untuk PPP. Perlu kajian apakah dedicated PPP unit tersebut perlu diadakan dan bagaimana tugas serta wewenangnya.
Bastary
Bastary Pandji Indra: “Ada lima pelajaran dari pengalaman mengembangkan proyek KPS di Indonesia dan tujuh isu terkait KPS saat ini.”
Pandji Indra selaku Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta memulai ulasannya mengenai kelembaman penyediaan infrastruktur melalui skema KPS dengan mengungkapkan masalah inefisien yang terjadi akibat kurang memadainya ketersediaan infrastruktur. Pemerintah menyadari hal tersebut, namun tidak memiliki kecukupan dana untuk mendorong percepatan pertumbuhan penyediaan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan perekonomian. Untuk itu diperkenalkanlah skema penyediaan infrastruktur melalui skema KPS. KPS sendiri telah mulai dikembangkan sejak awal 1990an. Penelitian mengenai KPS sudah mulai dilakukan di Bappenas pada tahun 1991 dan setelah itu konsep tersebut dikembangkan untuk implementasi. Namun perkembangan implementasinya cukup lambat, meskipun beberapa proyek
10
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
seperti jalan tol dan pembangkit listrik telah dilakukan dengan skema ini. Akhir-akhir ini pun melambat terutama karena masalah pengadaan tanah. Sebenarnya saat ini regulasi dan kelembagaan untuk mendukung implementasi KPS telah tersedia. Reformasi regulasi di berbagai sektor; seperti Kereta Api (2007), pelabuhan (2008), bandara (2009) dan lain-lain; telah membuka peluang penyediaan infrastruktur melalui skema KPS. Dukungan pendanaan Pemerintah dalam rangka KPS pun telah dibuat dan/atau sedang dipersiapkan, seperti: land fund, infrastructure fund, guarantee fund, viability gap fund, project development facility, serta dukungan lainnya. Namun masih ada masalah dalam implementasi. Yang unik dalam implementasi KPS di Indonesia adalah banyaknya proyek-proyek KPS berskala kecil akibat sistem Pemerintahan yang mendesentralisasikan kewenangan penyediaan infrastruktur kepada pemerintah-pemerintah di daerah. Hampir semua pelayanan infrastruktur dilimpahkan ke pemerintah daerah (pemda), kecuali jalan tol. Sektor listrik pun secara perundang-undangan telah memungkinkan pengelolaan oleh pemda. Banyaknya proyek berskala kecil dan kewenangan yang tersebar ini menjadi tantangan dalam melakukan koordinasi. Banyak lembaga yang harus terlibat dalam proyek-proyek tersebut. Jaminan yang dapat diterima oleh swasta saat ini pun hanyalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bukan pemerintah daerah. Lebih lanjut Bastary memaparkan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman mengembangkan proyek KPS untuk penyediaan infrastruktur di Indonesia. Untuk mengatasi banyaknya proyek-proyek kecil akibat desentralisasi di atas, pemda dapat melakukan pendekatan regionalisasi, bundling dan integrating proyek-proyek tersebut. Dengan demikian bisa didapatkan satuan nilai investasi yang menarik bagi sektor swasta. Sebagai contoh untuk proyek yang melintasi beberapa kabupaten dapat dikemas sebagai proyek provinsi (regionalisasi). Dua proyek yang berbeda tetapi saling berhubungan dapat di-bundling, misalkan proyek air dan air limbah. Kemudian integrasi beberapa proyek juga dapat dilakukan seperti mengintegrasikan proyek water intake & water treatment, transmission hingga distribution. Dengan demikian keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemda yang berwenang dapat diatasi dengan keterlibatan swasta. Pelajaran yang kedua adalah kurangnya insentif dan kapasitas PJPK dalam melaksanakan proyek KPS. Kurangnya insentif menyebabkan perencanaan proyek skema KPS tidak dilakukan secara memadai dan alokasi anggaran untuk pengembangan proyek KPS sangat terbatas. Kekurangan kapasitas menyebabkan kualitas perencanaan proyek KPS tidak memadai dan hubungan saling percaya dengan sektor swasta tidak dapat terbangun. Meskipun PJPK di tingkat pusat sudah memiliki kesadaran dan kapasitas, hal ini belum terjadi di daerah, tempat banyak proyek KPS tersebar. Ketiga, sebagian besar proyek KPS memerlukan jaminan Pemerintah pusat untuk membantu mendapatkan pembiayaan dari bank. Bastary mengatakan bahwa Kemenkeu saat ini masih berhati-hati karena belum memiliki dan mendapatkan model yang baku untuk keperluan ini. Masing-masing sektor dan masing-masing proyek bisa memberikan dampak kepada risiko fiskal dengan cara yang berbedabeda. Pemodelan dan pengalaman masih dibutuhkan untuk mencapai model baku untuk masing-masing sektor. 11
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Pelajaran berikutnya adalah diperlukannya dukungan Pemerintah. Infrastruktur ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi sehingga lokasinya tidak selalu ada di kawasan yang permintaannya telah terbentuk. Oleh karena itu banyak proyek-proyek di kawasan yang memerlukan pertumbuhan, yang secara ekonomi feasible namun secara finansial tidak feasible. Proyek-proyek semacam ini butuh dukungan Pemerintah. Meskipun demikian, kesadaran Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dukungan ini kurang memadai sehingga masih perlu didorong. Pada beberapa PJPK telah ada semacam pusat kemitraan, namun dananya terbatas. Contoh yang bisa ditiru adalah Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian tersebut mengupayakan pinjaman Pemerintah untuk jalan tol akses Tanjung Priuk dan jalan tol Medan – Kualanamu sehingga kedua proyek tersebut dapat dikemas sedemikian rupa sehingga menarik bagi investor. Pada saat ini Kementerian Keuangan sedang mempersiapkan viability gap fund sebagai Dukungan Pemerintah untuk membuat proyek-proyek KPS yang ditawarkan menjadi feasible secara finansial. Yang kelima adalah koordinasi yang baik antar banyak pihak sangat diperlukan untuk keberhasilan proyek KPS. Hal ini disebabkan karena struktur proyek KPS memiliki banyak keterkaitan dengan banyak pihak. Misalkan proyek provinsi berupa rel kereta api akan memiliki keterkaitan dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan (Dukungan Pemerintah), PT PII (Jaminan Pemerintah), Bappenas (penyiapan proyek), PT SMI (pendanaan proyek), dan lain-lain. Bastary mengungkapkan ada beberapa isu terkait KPS yang ada saat ini. Pertama adalah tidak adanya championship untuk PPP di level atas. Hal ini berbeda dengan pengalaman di negara lain yang memiliki unit yang menjalankan kebijakan PPP secara sentralistis untuk semua sektor. Kedua adalah tidak adanya insentif yang jelas bagi PJPK untuk menyiapkan proyek PPP. Untuk hal ini Bappenas sudah memikirkan pertimbangan untuk memberikan bonus kepada pemda berupa alokasi tambahan untuk pelaksanaan dan dukungan. Ketiga adalah diperlukannya gatekeeper untuk menentukan apakah penyediaan proyek infrastruktur tertentu melalui skema PPP atau tidak. Isu berikutnya adalah pendanaan dan penjaminan untuk proyek PPP yang dikaitkan dengan ketersediaan anggaran Pemerintah dan blue book. Isu kelima adalah kurangnya konsultan dalam negeri yang memiliki keahlian dalam penyiapan proyek PPP dan transaksi PPP. Keenam adalah akumulasi pengetahuan yang didapat dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan proyek PPP secara institusional serta mengembangkan kapasitas institusi. Terakhir adalah isu mengenai diperlukannya lembaga yang bisa menjadi penengah apabila terjadi konflik antara Pemerintah dengan swasta terkait dengan proyek PPP. Lembaga tersebut bisa suatu regulatory body yang netral.
Ade Febransyah: “Filosofinya adalah doing the right project right.”
Business Dialog kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai metode pencarian proyek PPP dan pemenang tender yang tepat oleh tim yang terdiri dari Ade Febransyah dan Arief Rijanto. Pemaparan tersebut dimulai dengan 12
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
melihat potret terkini mengenai upaya pencarian pemenang tender yang tepat untuk proyek PPP. Kemudian dilanjutkan dengan potret kelembaman implementasi PPP di Indonesia menurut skema Perpres 67 Tahun 2005 dan turunannya. Secara filosofis tujuan pembangunan infrastruktur dapat dicapai bila Pemerintah doing the right project right. Dengan kata lain perlu dilakukan identifikasi proyek yang benar dan kemudian mengevaluasi dan memilih mitra Pemerintah yang tepat. Yang jadi pertanyaan adalah apakah ketidaktepatan Badan Usaha pemenang tender bisa menimbulkan kelembaman pula akibat lamanya proses financial close. Identifikasi proyek infrastruktur yang dapat disediakan melalui skema PPP dapat dilakukan oleh kementerian, lembaga atau pemerintah daerah yang secara perundang-undangan diberi wewenang dan tugas untuk melakukan penyediaan jenis infrastruktur tertentu. Selain itu Badan Usaha juga dapat melakukan identifikasi dan mengusulkannya kepada pihak yang berwenang tersebut. Identifikasi yang dilakukan oleh PJPK maupun Badan Usaha tersebut dapat ditentukan berdasarkan kebutuhan klaster ekonomi yang akan dibangun. Kemudian prioritisasi proyek infrastruktur yang telah teridentifikasi dilakukan misalkan berdasarkan pertimbangan tiga kriteria: meminimalkan biaya dan risiko, memaksimalkan benefit dan peluang, serta sustainability. Dengan kata lain, prioritisasi proyek infrastruktur merupakan problem pengambilan keputusan multikriteria. Selanjutnya mengenai mitra Badan Usaha yang tepat bagi PJPK. Tata cara pengadaan telah diatur dalam Perpres 67 Tahun 2005 beserta turunannya. Namun pemilihan Badan Usaha ini juga harus ada keterkaitan dengan kriteria prioritisasi proyek infrastruktur agar dapat dilakukan doing the right project right. Kriteria untuk pemilihan Badan Usaha yang tepat dalam hal ini dapat berdasarkan tiga kriteria di atas dan kemudian direlasikan dengan penilaian mengenai ketepatan (degree of rightness). Kemudian tim mengangkat beberapa isu terkait dengan hal ini yang bisa dijadikan sebagai bahan diskusi. Yang pertama adalah bagaimana proses pengambilan keputusan untuk identifikasi proyek infrastruktur PPP yang tepat. Kedua adalah penentuan kriteria untuk evaluasi dan seleksi pemenang tender. Apa saja kriteria yang tangible dan kriteria yang intangible yang dapat membantu. Kemudian apakah ada cara yang efektif untuk mendeteksi, melihat dan mendapatkan pemenang tender yang tepat. Dan terakhir adalah bagaimana evaluasi dan tenggat waktu pelaksanaan proyek infrastruktur skema PPP.
Materi
dialog berikutnya membahas isu mengenai partisipasi publik dalam penyediaan infrastruktur melalui skema PPP. Pembahasan dilakukan oleh tim yang terdiri dari: Achmad Setyo Hadi dan Arnold Kaudin. Paparan dimulai dengan pendekatan sistem perencanaan pembangunan nasional. Pendekatan tersebut terdiri dari: politik, teknokratik, partisipatif serta atas-bawah (top-down) 13
Arnold Kaudin: “Apakah suatu proyek infrastruktur dapat menyelesaikan masalah atau memenuhi kebutuhan masyarakat?”
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan politik dilakukan apabila rencana pembangunan infrastruktur merupakan hasil proses politik, khususnya penjabaran visi dan misi kepala daerah terpilih. Sedangkan perencanaan melalui pendekatan teknokratik dilakukan oleh perencana profesional, lembaga, atau unit organisasi yang secara tugas memiliki fungsi perencanaan. Perencanaan partisipatif merupakan perencanaan yang melibatkan masyarakat. Sedangkan pendekatan terakhir, atas-bawah dan bawahatas, merupakan perencanaan dalam hirarki organisasi pemerintahan. Pentingnya perancanaan partisipatif diungkapkan United Nations Economic Commission for Europe dalam Guidebook on Promoting Good Governance in PPP (2008): “One method of legal empowerement is to better inform people of their rights to access good services and to enable them to participate in decision making, preferably while the project is still in the planning stage. Governments should create mechanism for early public participation and build up the constituencies who will use them. Otherwise, this will become a right that is not used or implemented.” Lebih lanjut tim memaparkan pelajaran yang bisa didapat dari contoh persoalan yang terjadi pada proyek-proyek PPP akibat kurang memperhitungkan suara masyarakat. Contoh pertama adalah Pemerintah Meksiko yang mentenderkan proyek PPP berdasarkan periode konsensi terpendek pada tahun 1989. Akibat dari keputusan ini, tarif tol menjadi tinggi sehingga jalan tol menjadi sepi sementara jalan non tol tetap padat. Investor mengalami kerugian dan periode konsesi dinegosiasi ulang dan akhirnya diperpanjang. Sedangkan tarif tol diturunkan untuk menanggapi protes masyarakat. Contoh yang hampir serupa terjadi di pertengahan tahun 1990-an pada pemerintah negara bagian Virginia yang berhasil menyediakan infrastruktur jalan tol melalui skema PPP namun jumlah trafik kendaraan jauh di bawah perkiraan awal. Setelah tarif tol diturunkan, volume trafik meningkat namun tetap masih di bawah perkiraan awal sehingga menyebabkan investor mengalami kesulitan keuangan. Setelah dicari, ternyata faktor penyebabnya adalah masyarakat lebih menyukai rute alternatif dibandingkan dengan jalan tol tersebut. Di India, di tengah meningkatnya daya tarik terhadap PPP dan meningkatnya penyediaan infrastruktur melalui skema tersebut, terjadi peningkatan kritik terhadap skema tersebut dari lembaga swadaya masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, media dan para pemangku kepentingan lainnya. Kekuatiran terhadap peran swasta dalam penyediaan jasa untuk keperluan publik meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor: ketidakpercayaan kepada pihak swasta yang memberikan jasa kepada publik, kenaikan tarif, pemutusan hubungan kerja, dan kurangnya perhatian kepada para pemangkupemangku kepentingan. Selain itu anggapan bahwa mahalnya penyediaan layanan publik menggunakan skema PPP akan mengurangi akses perusahaan-perusahaan swasta kecil ikut terlibat dan mengurangi kompetisi dalam pemilihan badan usaha swasta. Contoh di Indonesia adalah amblesnya jalan tol Semarang – Solo. Bagian jalan tol yang ambles tersebut, di kelurahan Pudakpayung Semarang, berada di daerah yang secara tradisionil oleh penduduk setempat telah dianggap sebagai tanah yang labil. Hal ini mungkin tidak akan terjadi apabila informasi tersebut telah didapatkan dari penduduk setempat melalui konsultasi publik pada saat perencanaan proyek.
14
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Dalam proses pengembangan proyek KPS di Indonesia, terdapat konsultasi publik di hampir setiap tahapan perencanaan. Namun hal ini belum tentu menjamin kecukupan partisipasi publik dalam perencanaan infrastruktur. Rendahnya partisipasi publik ini dapat disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. Yang pertama adalah relatif rendahnya tingkat pendidikan sehingga kualitas dan kuantitas keterlibatan publik rendah. Kedua, lembaga swadaya umumnya baru muncul bila telah ada masalah. Ketiga, wakil rakyat tidak selalu menyuarakan kepentingan atau kebutuhan masyarakat. Dalam rangka mengelola potensi ketegangan antara domain publik dan domain swasta dalam proyek KPS, maka kecukupan partisipasi publik dalam proyek KPS ini menarik untuk didiskusikan. Selain itu yang perlu didiskusikan adalah apakah suatu proyek infrastruktur dapat menyelesaikan masalah atau memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pihak swasta yang ikut terlibat dalam skema PPP karena sifat pengembalian modal yang jangka panjang dari proyek infrastruktur.
Herry T.Z. memulai tanggapannya dengan dasar pemikiran penggunaan skema PPP untuk penyediaan infrastruktur jalan tol. Skema tersebut tidak terlepas dari tujuan pemerintah dalam rangka penyediaan jalan nasional. Jalan tol adalah bagian dari jalan nasional yang terdiri dari non tol dan tol. Pelibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur jalan tol melalui skema PPP hanyalah satu cara untuk pencapaian tujuan Pemerintah. Swasta dilibatkan untuk mempercepat penyediaan infrastruktur jalan tol. Jalan tol sendiri telah dikenal sejak 1978, yaitu dengan pembentukan badan usaha Jasa Marga. Tahun 1990-an konsep PPP sudah dikenal dan digunakan. Kemudian terdapat Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan yang juga mengatur mengenai jalan tol. Namun membuat sebuah struktur project financing masih sulit karena kompleksitas akibat banyaknya pihak yang harus bekerjasama secara sinergis. Insentif yang diberikan kepada Herry: badan usaha pun minimum karena yang masuk di “Perlu dikembangkan berbagai kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum saat ini hanya kemungkinan skema KPS agar tujuan penyediaan infrastruktur dapat tercapai tarif atau waktu konsensi. Sedangkan yang diinginkan adalah dan Badan Usaha bisa mendapatkan dukungan dalam bentuk finansial yang saat ini sedang pengembalian investasi.” dipersiapkan oleh Kementerian Keuangan. Dalam keadaan ini pendanaan masih dengan corporate finance, pinjaman dari corporate banking yang masih mengandalkan kekuatan neraca badan usaha, bukan proyek kerjasama. Ke depan model project financing perlu dapat dikembangkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Terkait dengan identifikasi dan pemilihan proyek infrastruktur, Herry memberi contoh proyek jalan tol trans-Sumatra, Aceh-Bakauheni. Dalam indentifikasi proyek Pemerintah tentu melakukan analisis 15
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
kelayakan ekonomi. Pilihan untuk melaksanakan penyiapan dan pelaksanaan proyek berkaitan dengan kebijakan Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan. Yang pertama adalah membangun dahulu infrastruktur tersebut dengan maksud memberikan dorongan pertumbuhan perekonomian selama beberapa tahun ke depan. Yang kedua adalah menunggu dahulu ekonomi tumbuh hingga permintaan atas jalan tol tersebut memadai, tetapi tentunya harga tanah sudah meningkat. Apabila pilihan pertama diambil dan skema yang digunakan adalah PPP maka badan usaha tetap harus memiliki harapan untuk pengembalian investasinya. Dalam hal ini risiko permintaan dapat dialokasikan kepada Pemerintah. Hal ini juga dengan pertimbangan bahwa dalam situasi pertumbuhan, tarif tidak bisa terlalu tinggi dan jalan ini berkompetisi dengan alternatif jalan lainnya. Saat ini ada tiga skema terkait dengan partisipasi badan usaha dalam penyediaan infrastruktur jalan tol, yaitu: BuildOperate-Transfer, Operation & Maintenance, dan bentuk lain dengan persetujuan Menteri. Skemaskema ini perlu dikembangkan sehingga tujuan penyediaan infrastruktur dapat tercapai dan badan usaha yang terlibat dapat memiliki peluang pengembalian investasi. Menanggapi masalah perlakuan tidak sama terhadap badan usaha yang diungkapkan oleh Hilman, Herry mengatakan bahwa logika yang digunakan oleh pemerintah saat ini adalah badan usaha mendapatkan fasilitas atau dukungan sesuai dengan yang ada pada waktu badan usaha tersebut memenangkan tender. Apabila ada perubahan peraturan, maka badan usaha tersebut tidak mendapat fasilitas dan dukungan berdasarkan peraturan baru tersebut. Sebagai contoh pada tahun 2004 pengadaan tanah termasuk dalam investasi badan usaha, namun dalam Perpres 56 tahun 2011 tanah akan disiapkan dahulu baru proyek dilelang. Contoh lain fasilitas BLU dan land capping hanya bisa didapatkan oleh badan usaha – badan usaha yang baru ikut, sedangkan pemenang tender yang lama tidak bisa mendapatkannya. Kemudian, proyek jalan tol yang telah ada pemenang tendernya sebelum Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2010, tidak bisa mengajukan proposal penjaminan sesuai dengan perpres tersebut. Di lihat dari sisi ini, badan usaha yang terlebih dahulu terlibat justru tidak bisa mendapatkan dukungan dan jaminan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha yang kemudian. Tetapi ke depan alokasi risiko memang harus diperbaiki dan kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha haruslah berdasarkan asas saling menguntungkan. Persepsi dari pemberi pinjaman, dalam hal ini bank, juga perlu menjadi perhatian, misalkan masalah terminasi. Terkait dengan metoda penentuan pemenang tender, Herry menandaskan bahwa kriteria yang digunakan haruslah sederhana sehingga tidak menyulitkan panitia tender. Saat ini ada dua tahap yang harus dilalui oleh peserta tender. Yang pertama adalah prakualifikasi untuk mencari para peserta yang memiliki kualifikasi yang memadai, misalkan dari sisi teknis dan keuangan. Badan usaha yang lolos prakualifikasi dipersilakan untuk memasukkan dokumen. Pemilihan pemenang kemudian umumnya ditentukan berdasarkan kriteria tunggal, misalkan: tarif minimum, dukungan pemerintah minimum atau present value revenue terendah. Kriteria tunggal ini diterapkan untuk menyederhanakan proses. Sementara mengenai konsultasi publik, Herry mengatakan bahwa saat ini hal tersebut mutlak diperlukan. Apalagi di dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2012, konsultasi publik dilakukan pada saat persiapan pengadaan tanah. Tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan undang-undang ini telah mengikut praktik-praktik terbaik di tempat lain. Secara umum konsultasi publik memang penting untuk merangkum pendapat dan masukan dari para pemangku kepentingan. Namun harus diakui pula ada 16
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
trade off. Perlu ada keseimbangan antara kewajiban konsultasi publik dengan kewajiban pembangunan prasarana itu sendiri. Mengakhiri tanggapannya Herry mengemukakan isu lain selain masalah pengadaan tanah yang perlu diperhatikan dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur melalui skema KPS. Yang pertama adalah perlunya dukungan terhadap tumbuhnya industri infrastruktur di dalam negeri. Sebagai contoh saat ini badan usaha yang paling dominan dan kompetitif dalam industri jalan tol adalah Jasa Marga dan segelintir yang lain. Sehingga pelakunya tidak banyak. Sedangkan kapasitas dari badan usaha tersebut terbatas dibandingkan dengan permintaan penyediaan infrastruktur. Pemerintah bisa melihat contoh pemerintah Korea yang memberikan jaminan minimum revenue guarantee - pesertanya pada saat itu adalah badan usaha-badan usaha domestik - pada proyek-proyek KPS awal untuk kemudian secara perlahan dihilangkan. Isu kedua adalah alokasi risiko yang lebih berimbang sehingga proyek dapat lebih bankable dan memudahkan penerapan skema project financing.
Menanggapi
masalah pendanaan untuk proyek infrastruktur, Pandam memulai dengan ilustrasi mengenai kebutuhan pendanaan untuk pembangkit listrik selama 10 tahun ke depan. Pemerintah merencanakan menyediakan kapasitas sebesar total 55 GW, yang terbagi atas 31 GW oleh PLN dan 24 GW oleh swasta. Bila 1 GW membutuhkan biaya investasi sebesar $1,8 milyar/GW, dana yang dibutuhkan akan sangat besar. Pertanyaannya, darimana kita bisa mendapatkan dana sebesar itu? Bank dalam negeri saat ini lebih meminati sektor consumer goods, property dan real estate dibandingkan dengan sektor infrastruktur. Selain itu, walaupun perbankan dalam negeri berminat untuk ikut serta dalam pembiayaan infrastruktur, apakah dana yang tersedia mencukupi? Karena dua hal ini, mau tidak mau target penyediaan infrastruktur bergantung pada dana dari luar negeri. Saat ini Eropa dan Amerika sedang kesulitan, sehingga dana yang masih memungkinkan adalah dari China, Korea dan Jepang. Untuk mendapatkan pendanaan dari mereka, kita harus mengikuti ketentuanketentuan yang mereka tetapkan. Konsekuensi dari hal ini adalah kita harus pula memperhatikan bagaimana mereka memandang risiko investasi infrastruktur di Indonesia. Pemerintah harus mengambil peran dalam hal ini.
Pandam Pandyono: “Apabila kecepatan menangani peraturan-peraturan dan fasilitasfasilitas untuk investor lambat, apakah target rencana pemerintah atau PLN dapat tercapai?”
Target penyediaan infrastruktur untuk penyediaan daya listrik seperti di atas akan menuntut kerja keras. Untuk sebuah power plant dari tahap feasibility study hingga COD dapat memerlukan waktu 6 hingga 8 tahun. Apabila kecepatan menangani peraturan-peraturan dan fasilitas-fasilitas untuk investor lambat, apakah rencana pemerintah atau PLN dapat tercapai? Bila tidak tercapai, apakah dampaknya pada perekonomian kita? Pemerintah diharapkan untuk adaptif terhadap pasar finansial terutama 17
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
international financial market. Dengan kata lain, permintaan dan ketentuan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman internasional harus segera dapat ditanggapi oleh pemerintah. Pada dasarnya yang diharapkan dari Pemerintah terkait dengan sektor listrik adalah: jaminan terhadap risiko-risiko yang dapat timbul dari Pemerintah (perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan tarif, dan lainnya) dan membantu transaksi dengan contracting agency (PT PLN). Transaksi antara Badan Usaha dengan PT PLN memerlukan keiikutsertaan pemerintah karena kesehatan keuangan PLN sangat bergantung pada subsidi Pemerintah. Terkait dengan perubahan peraturan, Pandam memberikan contoh yang dialami perusahaannya dari suatu proyek Geothermal di Ende. Tender yang dilakukan pada tahun 2009-2010 tersebut berhasil dimenangkan dengan menawarkan tarif sebesar Rp. 1,250 per kWh. Tarif ini lebih kecil dibandingkan dengan biaya pembangkitan listrik dengan BBM pada waktu itu, Rp. 3,000 per kWh, dan lebih rendah dibandingkan harga maksimum yang ditetapkan, yaitu 0,8 kali HPP. Namun ketika mau bernegosiasi dengan PT PLN, keluar peraturan menteri yang menyatakan bahwa tarif listrik dari Geothermal adalah 9,7 sen dollar. Ini menyebabkan proyek tersebut tidak bisa berjalan karena secara kelayakan finansial tidak masuk, terutama dengan pertimbangan permintaan yang tidak besar di daerah tersebut. Pandam juga mengingatkan tentang pentingnya alokasi risiko yang lebih baik antara badan usaha dengan contracting agency. Hal ini terkait risiko-risiko dari setiap fase proyek, termasuk fase konstruksi (seperti pengadaan tanah) dan fase operasi (seperti risiko politik dan risiko kegagalan bayar PLN). Beberapa risiko yang dapat dikelola oleh badan usaha tetap dialokasikan kepada Badan Usaha misalkan seperti kenaikan harga barang modal. Namun risiko-risiko yang dapat lebih dikelola oleh Pemerintah, dialokasikan pada Pemerintah, misalkan risiko pengadaan tanah, retensi masyarakat, dan risiko politik. Terkait dengan pengadaan tanah, saat ini telah ada Undang-undang nomor 2 tahun 2012. Namun undang-undang tersebut saat ini belum dapat diaplikasikan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Hal ini berbeda dengan IPP generasi pertama yang ada jaminan pemerintah berupa government support letter dan kepastian lahan oleh Pemerintah. Saat ini peraturan-peraturan pemerintah belum memadai untuk mengurangi risiko-risiko investasi. Jaminan Pemerintah dapat menurunkan biaya proyek secara keseluruhan. Namun pinjaman dalam negeri sulit bersaing dengan pinjaman dari luar negeri. Sebagai contoh, salah satu alasan konsorsium JPower bisa memenangkan tender CJPP adalah kedekatannya dengan JBIC. Harga EPC antar konsorsium yang mengikuti tender hanya beda tipis. Namun konsorsium J-Power bisa mendapatkan pinjaman dengan tenor 20 tahun ditambah waktu konstruksi dengan bunga yang kira-kira tidak lebih dari 2 persen. Tentunya jaminan pemerintah juga mempengaruhi rendahnya biaya pinjaman tersebut. Sehingga meskipun pinjaman dalam negeri tidak bisa lebih murah dari pinjaman luar negeri, jaminan pemerintah tetap bisa mengurangi biaya pinjaman tersebut. Jaminan lebih diperlukan dibandingkan dengan keikutsertaan modal atau dukungan finansial. Terkait dengan isu dalam pembahasan sebelumnya, yaitu SDM, posisi tawar investor dalam negeri terhadap pemberi pinjaman dari luar negeri sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya keahlian dalam sisi legal dan finansial untuk dapat berhadapan dengan mereka. Keahlian 18
Mengungkit Kelembaman Penyediaan Infrastruktur Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
teknis yang cukup memadai di dalam negeri pun seringkali tidak diakui sehingga masih memerlukan keterlibatan konsultan-konsultan asing. Pengembangan SDM dalam negeri ini diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar tersebut.
Menanggapi
bahan diskusi terkait konsultasi publik, Bastary mengatakan bahwa dalam penyiapan proyek KPS hal tersebut dilakukan beberapa kali, dalam tahap-tahap perencanaan. Namun konsultasi publik ini belum dibakukan bentuk dan prosesnya. Selain itu, bagaimana konsultasi publik ini dapat memberikan input kepada struktur proyek juga belum begitu diperhitungkan. Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai konsultasi publik adalah segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan sharing information, termasuk misalnya: environmental assessment dalam rangka AMDAL, market sounding, one on one meeting dengan bidders, pengumuman di koran, konsultasi dengan DPR, pengumuman kepada masyarakat yang terdampak oleh infrastruktur dan lainnya. Berdasarkan Undang-undang nomor 2 tahun 2012 konsultasi publik dilakukan pada saat penyiapan lahan. Dalam hal ini, konsultasi publik sebagai bagian dari environmental assessment telah dilakukan di awal penyiapan proyek. Terkait dengan identifikasi proyek PPP, ada beberapa kriteria di Bappenas untuk menentukan apakah suatu proyek dapat dilakukan melalui skema PPP atau konvensional. Pada dasarnya setiap proyek dapat dilaksanakan menggunakan skema PPP meskipun keterlibatan pendanaan dari swasta hanya kecil, misalkan 10 persen. Namun yang terpenting dari kriteria itu adalah komitmen dari PJPK. Selain itu saat ini Bappenas dengan Kementerian Keuangan sedang mempertimbangkan penerapan Value for Money dan Public Service Comparator. Saat ini perhitungan ini sangat sulit oleh karena itu penerapannya bisa membebani PJPK, sehingga itu masih belum dilakukan.
Menanggapi soal Dukungan pemerintah, Dadang mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada batasan, sehingga masih terbuka. Dapat dipikirkan pula skema availability payment seperti di India. Kriteria pemberian dukungan saat ini sedang dibuat, antara lain adalah kesesuaian dengan Perpres 67/2005 dan turunannya serta transfer aset pada saat akhir masa konsesi. Sedangkan untuk kriteria pemberian jaminan adalah kesesuaian dengan Perpres 67/2005 dan turunannya, Perpres 78/2010 dan turunannya, serta kelayakan ekonomi dan finansial. Risiko-risiko politik seperti yang diutarakan oleh Pandam dapat dialokasikan kepada Pemerintah dan diberi penjaminan melalui PII atau Kementerian Keuangan.
Business Dialog ditutup dengan ucapan terima kasih kepada semua partisipan dan rencana pembuatan laporan ini sebagai bahan untuk melakukan identifikasi isu yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk agenda riset bersama.(JBU)
---00000--19
Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School (CID – PMBS) Jl. R.A. Kartini (T.B. Simatupang) Cilandak Barat, Jakarta 12430 Indonesia