Mengukuhkan Pusat Kesehatan Tropis Se-Asia Tenggara DIES Natalis merupakan salah satu momentum untuk mengingatkan kembali memori terlahirnya sebuah lembaga. Dalam hal ini pada Universitas Airlangga yang sedang merayakan peringatan dies natalisnya yang ke-62. Universitas terbesar di kawasan Indonesia Timur ini memiliki puluhan ribu mahasiswa dan alumni yang berasal dan tersebar di seluruh Indonesia bahkan di beberapa negara manca. Tidak lepas juga dari berbagai macam prestasi yang begitu banyak dicapai, mulai dari prestasi mahasiswa, dosen maupun para Guru Besar. Tak lupa juga berbagai macam fasilitas pendidikan dan penunjangnya yang begitu lengkap nan canggih, baik yang terletak di lingkungan kampus A, kampus B, maupun kampus C. Sebutlah mulai dari bus kampus (flash) sampai dengan fasilitas laboratorium terbesar dan tercanggih se-Asia Tenggara. Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan mega-biodiversitas, baik flora maupun faunanya. Selain itu, di negeri khatulistiwa ini juga banyak ditemukan berbagai macam penyakit yang tidak didapatkan di negara-negara nontropis. Penyakit tersebut Antara lain malaria, demam berdarah dengue (DBD), flu burung (avian influenza), filariasis, penyakit yang berhubungan dengan cacing, malnutrisi/gizi buruk, non infeksius seperti penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup (diabetes, stroke, dll). Penyakit-penyakit tersebut merupakan gangguan kesehatan yang selalu ada tiap tahun dan belum terselesaikan sampai dengan saat ini. Contoh nyata adalah ketika musim hujan yang telah mengguyur kota-kota di Indonesia, musim ini memicu timbulnya bangsal-bangsal atau lorong-lorong di rumah sakit dipenuhi oleh banyak pasien yang terinfeksi diantara penyakit diatas,
misalnya demam berdarah. Belum lagi, penyakit yang muncul akibat dari banjir (genangan air) di musim penghujan. Ancaman penyakit seperti leptospirosis, kolera, juga mengancam kehidupan masyarakat, yang terbaru adalah kemunculan virus zika yang ditularkan melalui nyamuk. Universitas Airlangga yang merupakan salah satu universitas terkemuka di Indonesia dan di Asia Tenggara memiliki peluang sebagai Pusat Kesehatan Tropis di Asia Tenggara. Hal ini didorong karena Universitas Airlangga memiliki Fakultas Kedokteran termasuk yang tertua di Indonesia, usia historisnya sudah 103 tahun dihitung sejak era NIAS (Nederlands Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia Belanda yang berdiri tahun 1913. Kemudian FK UNAIR juga memiliki program Magister Kedokteran Tropis. Selain itu Universitas Airlangga memiliki pusat penelitian yang mengkhususkan terhadap penyakit tropis, dan ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Tentu saja, juga memiliki para pakar yang kemampuan kompetensinya untuk mengembangkan vaksin maupun herbal medicine, terutama untuk penyakit-penyakit yang sedang berkembang di Indonesia. Asset yang besar ini merupakan sebuah kekuatan dan modal dalam menggapai Universitas Airlangga sebagai pusat kesehatan tropis di Asia Tenggara maupun sebagai World Class University yang terkemuka, baik di Indonesia maupun manca negara. Oleh sebab itu, seiring dengan peringatan dies natalis ke-62 tahun 2016 ini, diharapkan civitas akademika Universitas Airlangga membuka kembali dan merenungkan kembali sumber daya dan kekuatan yang dimiliki, sehingga mampu mengembalikan kejayaan universitas ini menjadi universitas terbaik di Indonesia maupun di kawasan internasional, sesuai dengan Hyme Airlangga yang selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan acara akademik, misalnya upacara wisuda, pengukuhan Guru
Besar/dokter/professi, seminar nasional, dsb. “Di timur Jawa Dwipa, Megah engkau bertakhta, Satria Airlangga, Kusuma Negara, Dari engkau kudapat, Budaya Pusaka, Airlangga dikau permata, Indonesia Raya”. Selamat Ulang Tahun Universitas Airlangga tercinta. Jayalah selalu. (*)
Budi Pekerti, Nusantara, dan Pramuka Secara etimologi, budi pekerti terdiri atas dua unsur kata: budi dan pekerti. Budi dalam bahasa Sanskerta berarti kesadaran, pikiran, dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan, atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berperilaku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Kemudian dalam bahasa Arab, budi pekerti disebut dengan akhlak. Lalu dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika, dan dalam bahasa Inggris disebut ethics. Budi pekerti adalah induk dari segala etika: tata krama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari. Budi pekerti dapat dibangun melalui beragam cara. Salah satunya lewat instrumen pendidikan. Mengingat budi pekerti adalah salah satu produk dari pendidikan karakter yang menjadi tema utama dalam dunia pendidikan, hingga dalam wacana berbangsa dan bernegara. Apabila dirunut lebih dalam, antara moral dan karakter,
keduanya tidak bisa dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Jack Corley dan Thomas Philip. 2000). Atau dengan kata lain karakter adalah kualitas moral sesorang. Pendidikan karakter menjadi penting dan strategis dalam membangun bangsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan, dan menjadi manusia seutuhnya yang memiliki karakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Ketiga substansi psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Upaya membangun karakter bangsa itu sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan. Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa telah menegaskan pentingnya itu, yang kemudian dikenal sebagai nation and character
building.
Sejarah yang Panjang Indonesia merupakan sebuah wilayah kepulauan yang terkenal dengan adat ketimuran sejak masih bernama nusantara. Kerendahan hati dan budi pekerti yang luhur seolah-olah menjadi branding nusantara sejak abad para raja-raja. Baik kerajaan Hindu, Budha, hingga Islam yang telah merangsak ke Pulau Jawa. Fakta di lapangan membuktikan kehalusan budi pekerti pendahulu kita itu. Ketika toleransi belum dikenal, namun ruhnya telah ditanam di dalam asimilasi dan akulturasi budaya, baik budaya baru dengan budaya lama. Tak berhenti sampai disitu. Di zaman pergolakan dan penjajahan Belanda sampai Jepang, warga nusantara senantiasa memiliki budi pekerti yang luhur. Walaupun mereka dijajah oleh orangorang yang berasal dari antah-berantah, diperbudak zaman, mereka tetap tunduk patuh kepada penguasa. Sungguh, kerendahan hati yang tulus memancar dari setiap pribumi nusantara. Eksplorasi kekayaan budi pekerti yang telah diwariskan secara
turun temurun berada pada puncaknya ketika bangsa ini menata diri untuk menjadi bangsa yang merdeka dari kungkungan bangsa penjajah. Menuju menjadi bangsa yang luhur memang diperlukan sebuah falsafah dan ideologi bangsa yang mampu merepresentasikan sikap dan keteguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi citacita, sekaligus menahan derasnya arus zaman. Lewat sebuah kelompok bernama PPKI, tiga orang berpikir keras sekaligus berpikir cerdas mewakili aspirasi seluruh pribumi bangsanya untuk merumuskan sebuah ideologi bangsa. Lewat buah pemikiran Soekarno, M Yamin, dan Soepomo terbentuklah Lima Sila yang kita kenal dengan Pancasila sebagai dasar acuan berbangsa dan bernegara kita, hingga detik ini! Pancasila adalah sebuah prasasti peradaban bangsa Indonesia sebagai saksi sekaligus bukti bahwa bangsa ini, yang dulu terkenal di seantero dunia dengan nama Nusantara memiliki kekayaan budaya, berbudi pekerti luhur, dan memiliki nilainilai kehidupan yang terlalu sempit apabila hanya diwakili oleh lima buah statemen yang melekat di Pancasila. Itulah mengapa, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber, kekayaannya terlalu dalam apabila tidak dieksplorasi, dipelajari, dan diamalkan. Itulah mengapa, Pancasila mampu tetap eksis di tengah dikotomi global saat ini. Pramuka dan Budi Pekerti Lantas, kepramukaan adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan beranekaragam. Dilakukan di alam terbuka dengan prinsip dasar dan metode kepramukaan yang sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. Budi pekerti juga dapat menjadi dasar atau pilar utama dalam membangun kebersamaan, kesetaraan, dan persamaan hak dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat.
Sempat terlintas di benak saya, mengapa budi pekerti tidak dimasukkan dalam Dasa Dharma dan Tri Satya Pramuka? Sebenarnya, Dasa Dharma dan Tri Satya yang menjadi sumpah setia seorang pramuka, merupakan esensi yang bermuara kepada budi pekerti. Inilah sebuah pertanda bahwa budi pekerti dalam pramuka apabila diibaratkan layaknya dua buah sisi mata uang yang tak akan pernah bisa dipisahkan. Seperti halnya Pancasila, budi pekerti dalam pramuka selain sebagai ujung tombak pembangun bangsa yang berbudi pekerti luhur, juga untuk digali dan dipelajari nilai-nilai luhur bangsa ini yang telah menjadi ruh gerakan pramuka Indonesia. (*) Editor: Bambang Bes.
Virus-Virus yang Menjangkiti Generasi Muda Indonesia Indonesia merupakan negara terpadat keempat didunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Berdasarkan data CIA World Facthbook tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia sekitar 27,3 % berusia 0-14 tahun, 66,5 % berumur 15-64 tahun, dan 6,1 % berumur 6,1 %. Hal ini menunjukkan begitu besar jumlah usia produktif di negeri ini. Sehingga, tidak salah bila pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 2045, Indonesia diprediksikan menjadi salah satu negara termaju di dunia. Namun, sungguh sangat mengejutkan terhadap apa yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini. Seolah budaya konsumtif dan materialistik sudah menjamur dan mengikis budaya khas Indonesia seperti berke-Tuhanan, gotong royong, sopan santun hingga berbagai hal yang telah tercantum dalam nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Hal inilah yang sedang menjangkit di generasi muda, dan itulah Sindrom. Ada tiga gejala yang menandakan hal ini. Yaitu, adanya virus Triavialism: suatu penyakit yang menjangkit generasi muda untuk selalu bersenang-senang dan melakukan hal-hal yang menghiburnya saja tanpa memikirkan nilai edukatif didalamnya. Lalu, virus Cinderella: suatu penyakit yang inginnya selalu instan dan praktis tanpa ingin berlelah-lelah terlebih dahulu. Muaranya, mengakibatkan virus yang ketiga. Yaitu, virus NEET (No Education, Employee, and Training). Hal ini pun didukung dengan berkembangnya media yang seolah hanya menayangkan hal-hal yang bersifat menghibur tanpa ada suatu edukasi didalamnya. Maka tak segan-segan Presiden Indonesia saat ini yaitu Ir. Jokowi menegur media saat ini terutama televisi. Ada ungkapan baru mengatakan, “Tontonan jadi tuntunan dan Tuntunan jadi Tontonan”. Sebagian generasi muda ketika ditanya apa cita-citanya, langsung menjawab ingin jadi artis, penyanyi, dan lainnya yang bisa masuk tv dan gajinya tinggi. Seolah menjadi artis adalah cita-cita tertinggi. Padahal yang dikatakan orang besar adalah bukan mereka yang besar gaji atau tinggi jabatannya. Melainkan, mereka yang mampu mendedikasikan dirinya, ilmunya, ketrampilan hingga jiwanya untuk mengabdi pada masyarakat. Teknologi Menjauhkan Yang Dekat Seolah-olah, semakin maju suatu zaman, teknologi dan ilmu pengetahuan, semakin manusia meninggalkan sifat fitrahnya sebagai makhluk sosial. Mereka lebih asyik ngobrol, update status ataupun hanya lihat status media sosial dibandingkan dengan berbicara atau berdiskusi dengan orang disekitarnya. Atau, melihat fenomena disekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Apakah ini yang dimaksud, “Menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”. Apalagi,
pasar-pasar
tradisional
pun
mulai
ditinggalkan
berganti pasar modern. Seolah tak ada lagi kesempatan untuk tawar menawar secara langsung, bertemu dengan beragam orang tuk saling mengenal, menyapa bahkan mendoakan satu sama lain. Yang semua itu sejatinya semakin membuat kedekatan hati dan kerekatan persahabatan serta persaudaraan antar sesama. Mari bebaskan diri dari belenggu-belenggu diri dan berbagai sindrom atau virus di atas. Karena, Indonesia adalah bangsa pejuang. Bukan bangsa yang bermalas-malasan dan pasrah dengan keadaan. Seperti satu slogan yang terus leluhur gemborkan dulu, “Merdeka atau Mati”. Imam Syafi’i pun telah mengajarkan, “Tidaklah mungkin orang yang punya mimpi dan bercita-cita besar hanya duduk berpangku tangan. Tinggalkanlah watan dan kenyamanan maka kau akan menemukan gantinya karena kenikmatan hidup didapatkan setelah kau melewati kelelahan”. Begitupun pepatah lama mengajarkan, “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakitsakitlah terlebih dahulu, dan bersenang-senanglah kemudian”. Jadikan hidup penuh dengan pengorbanan. Semakin menjadi hartawan, semakin pula bertambah dermawan. Semakin terkenal, maka ia pun semakin menjadi teladan. Semakin tinggi suatu jabatan, semakin kebermanfaatan dan kemaslahatan yang selalu dipikirkan. Satu ungkapan lama lagi yang mulai terlupakan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita berantakan”. Mari hidupkan gotong royong, bantu membantu satu sama lain. Karena, itulah pengabdian. Bukan banyaknya gaji ataupun upah yang didapatkan. Bukan pula seberapa banyak media yang meliput. Namun, satu yang selalu diniatkan. Yaitu, mendapat keberkahan. Juga, keikhlasan yang selalu diperjuangkan. (*)
Senjakala Suratkabar dan Kebangkitan Jurnalisme Digital Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini pasti mengikuti dengan penuh perhatian perdebatan di media sosial soal media cetak versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul “Inikah Senjakala Kami…” di Kompas edisi 28 Desember 2015. Artikel Bre langsung jadi viral di media digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Viva.co.id, yang berjudul“Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala kami.” Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di artikel ini. Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat. Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital. Dua yang paling besar adalah koran Sinar Harapan dan Jakarta Globe. Media tempat saya bekerja, Tempo, menutup Koran Tempo edisi minggu dan kini edisi PDF koran ini lebih tebal dibandingkan edisi cetaknya. Dengan semua perkembangan itu, bentuk digital media massa dan jurnalisme macam apa yang bakal dilahirkan di era digital ini kian urgen untuk dibahas dan diperdebatkan. Kalau mau jujur, kekhawatiran Bre Redana sebenarnya dirasakan banyak orang di dunia jurnalisme Indonesia. Media online yang kita kenal di Indonesia, yang disebut-sebut sebagai model media baru yang akan menggantikan era cetak (baik koran dan
majalah) memang menawarkan genre jurnalisme yang amat berbeda dibandingkan yang kerap kita baca di suratkabar dan majalah. Media online mendewakan kecepatan menyampaikan informasi, jualan utamanya adalahbreaking news, reporting the news as it happens. Bersaing dengan televisi, media online berusaha terdepan dalam menyajikan informasi terkini tentang apapun yang terjadi di sekeliling kita. Selain breaking news, yang juga ditonjolkan sebagai nilai lebih produk media online adalah berita-berita ringan tentang hal-hal renyah yang terjadi di sekeliling kita: crispy news. Kategori berita ini menjual tokoh, selebriti, peristiwa unik yang membelalakkan mata, menggelitik rasa ingin tahu kita. Jika Gubernur Jakarta Ahok berkeliling ke kampung-kampung kumuh dan menawarkan program relokasi ke rumah susun ke warga miskin di sana, maka tak hanya substansi peristiwa itu yang bisa diberitakan, tapi juga pernak-pernik lain yang terjadi dalam peristiwa itu. Sambutan warga yang pro dan kontra, suasana pertemuan ketika Ahok blusukan ke kampung kumuh, ucapan-ucapan Ahok yang kontroversial, semua bisa jadi berita. Ketika Maia, Mulan dan Ahmad Dhani, berseteru di youtube, difasilitasi program talkshow Deddy Corbuzier, ini makanan empuk untuk media online. Because names make news, more so in online media. Juga ketika konon ada ada pasangan gay menikah di Bali, semua media online memberitakan, meski semua media itu tak pernah mewawancarai langsung pasangan gay yang diberitakan. Media online hanya menulis berdasarkan sumber tangan kedua dan ketiga, bukan sumber pertama yang terlibat langsung dalam peristiwa yang diberitakan. Selama ada sumber yang bersedia dikutip, maka sebuah informasi bisa dipublikasikan sebagai berita. Dengan kondisi macam itu, tak heran kalau banyak wartawan –tak hanya Bre Redana– merasa galau. Kalau masa depan jurnalisme adalah apa yang disajikan di media-media online saat ini, maka di manakah kedalaman, konteks dan cerita di
balik berita, bisa ditemukan? Kalau semua media cetak tutup, gulung tikar, dan yang bertahan hanya media yang memberitakan peristiwa dengan secepat-cepatnya, mengandalkan sumber seadanya tanpa proses verifikasi yang memadai, maka di mana publik bisa memahami tren, kecenderungan, fenomena, pola, dan analisa? Di mana mereka bisa mencari semua informasi yang hanya bisa diliput jika wartawan mengendapkan semua peristiwa yang tengah berputar, berhenti sejenak, mengambil jarak, dan mencoba memahami konteks besar dari dinamika yang terjadi dari jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik? Sayangnya Bre berhenti pada kecemasan itu. Dia tidak menawarkan jalan keluar atau cara pandang lain. Di situlah kelemahan artikel Bre. Karena itu, saya mencoba menawarkan jawaban ini: mari tidak mendasarkan analisa kita pada kondisi media online saat ini. Cobalah melihat potensi yang ada di media digital dan bayangkan bagaimana jurnalisme bisa jauh lebih dahsyat jika dikembangkan dengan memanfaatkan semua potensi era digital. Media
digital
menawarkan
banyak
sekali
kelebihan
untuk
jurnalisme, dibandingkan media cetak. Pertama, dengan media digital, kita bisa melaporkan peristiwa dengan lebih komprehensif pada pembaca/audiens. Sebuah berita di era digital tak hanya terdiri dari teks dan foto, tapi juga tautan ke semua peristiwa sebelumnya yang mengawali momen termutakhir yang kita beritakan. Dengan satu klik, pembaca bisa dibawa ke harta karun informasi digital yang bisa menjelaskan sejarah, kronologi dan konteks dari peristiwa yang tengah diberitakan. Kedua, berita digital juga berpotensi lebih otentik, karena bisa menampilkan realitas secara lebih utuh. Bisa ada video di halaman yang sama dengan teks dan foto, sesuatu yang jelas menambah kredibilitas dan akurasi dari informasi yang dimuat di sana. Ketika seorang anggota DPR dituduh mencaci maki seseorang misalnya, media digital bisa menampilkan video atau audio ketika sang politikus beraksi. Politikus itu tak bisa berkilah kalau omongannya diplintir, atau wartawan memfitnah
dirinya, kalau rekaman audio atau video ketika dia mencacimaki lawan politiknya bisa ditampilkan bersama berita. Lihat saja kasus #papamintasaham. Peristiwa itu akan jauh berkurang daya ledaknya, jika tak ada rekaman audio yang beredar luas di media sosial. Kelebihan ketiga media digital yang belum banyak digali adalah kemampuannya menampilkan big data atau data besar. Semua angka-angka hasil survei kesehatan, survei demografi, sensus, angka-angka hasil pemantauan bertahun-tahun, kini sudah banyak tersedia sebagai data digital terbuka (open data) dan dengan mudah dapat diakses di internet. Ada portal data.go.id yang menampilkan seabreg data pemerintah dari hampir semua kementerian. Di Jakarta, sudah ada portal serupa. Jika dulu suratkabar atau majalah hanya bisa memuat satu dua paragraf temuan berbagai survei itu dan melengkapinya dengan wawancara dengan pakar untuk menafsirkan data, kini data mentah itu bisa ditampilkan dengan utuh di laman media digital, dengan visualisasi yang menarik dan mengundang rasa ingin tahu pembaca. Jurnalisme data akan menjadi tulang punggung utama jurnalisme di era digital, karena teknik ini memungkinkan publik mengakses data mentah dengan utuh, tanpa perantara dari pakar, pemerintah atau pengamat. Untuk itu, jurnalis harus belajar dan berusaha keras mencari semua data-data yang relevan buat publik, membersihkannya dan menganalisanya, untuk kemudian ditampilkan dengan visualisasi yang mudah dipahami audiens. Itu penting agar data tak berhenti sebatas angka, namun bisa jadi pengetahuan yang berguna. Lebih banyak soal jurnalisme data, bisa dibaca di sini. Masih ada lagi kelebihan keempat media digital yang tak ada di media cetak:kemampuannya untuk terhubung langsung dengan pembaca. Relasi atau engagementantara media, jurnalis dan pembaca kini memasuki era baru. Pembaca kini adalah bagian dari redaksi, bagian dari newsroom di era digital. Mereka bisa memberikan tips, bocoran, saran, komentar, secara real time,
pada redaksi. Aturan baku di media sosial adalah: selalu ada yang lebih tahu dari Anda di luar sana. Pola diseminasi informasi di era digital kini multi arah, tak lagi hanya searah dari ruang redaksi yang “maha tahu” ke lautan pembaca yang perlu “diberi tahu”. Media massa kini adalah bagian dari percakapan publik, dimana produksi informasi tak lagi dimonopoli jurnalis. Apa artinya? Ini kesempatan besar untuk jurnalisme menjadi lebih relevan. Bukankah jurnalisme pada dasarnya adalah upaya untuk menyediakan informasi yang penting dan berguna buat publik sehingga publik bisa mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik? Jika khalayak ramai bisa langsung berkomunikasi dengan media dan menyampaikan apa saja yang mereka anggap penting, bukankah itu akan membuat redaksi dan jurnalis bisa bekerja lebih baik? Jika dulu sama sekali tidak ada percakapan antara wartawan dan pembaca, kini publik dan media bisa bersama-sama merumuskan agenda pemberitaan, memfokuskan perhatian pada lembaga-lembaga yang memang perlu disorot karena dampaknya yang besar untuk kehidupan orang banyak. *** APAKAH dengan demikian masa depan jurnalisme di era digital akan pasti lebih baik dibandingkan sekarang? Sayangnya belum tentu juga. Pertanyaan terbesar dari perkembangan media digital adalah soal model bisnisnya. Model bisnis media cetak amat jelas: redaksi membuat berita, bagian sirkulasi menjual koran sebanyak-banyaknya, dan tiras besar itu pada akhirnya membuat perusahaan lain tertarik memasang iklan di koran itu. Semakin besar oplah media cetak itu, semakin mahal harga iklannya. Media cetak tradisional hidup dari dua sumber pendapatan itu: penjualan produknya (entah itu eceran atau berlangganan) dan pendapatan dari iklan. Kini perkembangan era digital menghancurkan model bisnis itu. Perusahaan pemasang iklan kini sadar bahwa selama ini mereka membeli ruang promosi
di media cetak dengan harga yang luar biasa mahal, tanpa jaminan seratus persen bahwa iklan itu akan mencapai orangorang yang ingin mereka pengaruhi. Siapa yang bisa menjamin bahwa iklan mobil separuh halaman di sebuah koran akan dibaca oleh orang dengan penghasilan yang cukup untuk membeli mobil merk itu. Siapa pula yang bisa menjamin bahwa jika iklan itu dibaca orang yang memang punya uang untuk membelinya, orang itu akan mencoba mencari informasi tambahan soal produk itu, dan mencoba menjajaki apa produk itu benar-benar cocok untuk kebutuhan dan gaya hidupnya? Dulu tidak ada yang bisa menjamin. Tapi sekarang media digital bisa memberikan jaminan itu, dengan harga jauh lebih murah. Perusahaan pemasang iklan bahkan tak perlu media/publishers untuk mencapai konsumennya. Pengiklan bisa mencapai mereka lewat media sosial seperti Google dan Facebook. Di sinilah, awal mula perseteruan antarapublishers (media online) versus platform media sosial. Selain iklan, oplah media cetak juga menurun drastis karena berita bisa diperoleh dengan mudah dan gratis di internet. Untuk apa berlangganan koran, kalau semua peristiwa penting di negeri ini sudah bisa dibaca di internet hanya 10-15 menit setelah kejadian? Itu bukan melulu kesalahan media online. Berita cepat itu tak hanya diproduksi redaksi media online, tapi juga oleh publik sendiri yang memproduksi informasi di media sosial. Pembunuhan Bin Laden, peristiwa 9/11, bom Mariott di Jakarta, semua dipublikasikan pertama kali di media sosial. Bukan di media massa, baik online maupun konvensional. Inilah yang disebut sebagai digital disruption, gangguan atas model bisnis media yang mengancam eksistensi mereka. Menghadapi krisis ini, semua perusahaan media tentu putar otak dan akhirnya muncul beberapa solusi. Pertama, mencoba memindahkan model bisnis lama ke model bisnis media digital. Mereka mencoba memindahkan pembaca cetak mereka, dari berlangganan koran menjadi berlangganan produk digital. Ada yang berhasil, banyak yang tidak. Yang berhasil, seperti New
York Times, tidak melulu menawarkan produk cetak yang dikemas seolah digital dengan format elektronik seperti portable document format(PDF), tapi memaksimalkan semua fitur digital di produk mereka (multimedia, engagement, big data etc). Ini bukan soal sederhana sebab transisi dari media cetak ke media digital membutuhkan paradigm shift yang amat mendasar di ruang redaksi. Dalam sistem kerja digital, redaksi tidak bisa lagi bekerja berdasarkan deadline percetakan, tapi harus bekerja berdasarkan reasonable amount of time yang dibutuhkan untuk merampungkan sebuah artikel. Redaksi tak bisa lagi bekerja berdasarkan pembagian kerja yang baku: wartawan, fotografer, videografer, informasi dan dokumentasi, riset, dan lain-lain, melainkan menjadi sebuah tim digital yang bahu membahu dengan kompetensi masing-masing. Semua harus memahami semua, meski spesialisasi tetap dibutuhkan. Media cetak yang berhasil memindahkan pembacanya ke produk digital pasti menekankan pada keunggulan dan kekayaan konten digital mereka. Konten digital itu harus layak untuk dibeli,worth the money. Kalau tidak, buat apa orang mengeluarkan uang untuk berlangganan? Kalau sekadar berita dengan teks dan foto, banyak media online menawarkan konten serupa dengan gratis. Kedua, ada juga media yang mencoba memindahkan pengiklan lama mereka ke produk digital. Sayangnya, harga iklan untuk media online masih amat murah, jauh lebih murah dibandingkan beriklan di media cetak. Umumnya, nilai iklan di media online bergantung pada jumlah pembaca media itu, alias traffic. Skema yang paling sering dipakai oleh pengiklan adalah dengan memanfaatkan ads networks, seperti Google Adsense. Cara bekerjanya simpel: semakin banyak halaman yang dibuka oleh pembaca, semakin banyak uang yang diterima oleh publishers. Dengan rumus semacam itu, dimulailah perlombaan media online untuk membujuk orang membuka halaman demi halaman mereka. Walhasil, judul menggoda, menipu dan memanipulasi (click bait), makin marak. Topik seperti seks dan kriminalitas makin
dieksploitasi. Berita yang hanya menulis peristiwa semata tanpa banyak pendalaman, makin banyak. Semua untuk menjaring pembaca agar duit iklan makin deras mengucur. Tapi cara ini juga tak mudah. Yang sukses seperti Dailymail dan Buzzfeed memang punya tim khusus untuk memproduksi konten yang viral. Sebab membuat konten yang populer bukan soal gampang. Buzzfeed misalnya, punya dua tim berbeda: redaksi dan konten. Yang diminta untuk memproduksi konten yang menarik traffic adalah tim kedua. Sementara tim pertama tidak dibebani dengan tugas berat mendongkrak traffic, melainkan fokus memproduksi investigasi yang mendalam. Ketiga, ada media seperti Huffington Post, yang menekankan pada user generated content. Redaksinya tidak perlu banyak orang karena sebagian besar berita mereka diproduksi oleh warga dengan cuma-cuma. Huffington mendapatkan traffic dan pendapatan iklan, sementara kotributornya mendapat platform untuk mempublikasikan sudut pandang dan opininya. Model serupa adalah media-media yang mengandalkan algoritma untuk mengagregasi konten dan menjualnya pada pembaca. Intinya sama: mereka menekan biaya dengan tidak melakukan produksi jurnalisme yang biayanya besar, dan mencoba mengoptimalkan keuntungan dengan menjual penulis/kontributor/publishers lain.
konten
milik
Alternatif keempat adalah mencari sumber pemasukan lain yang tidak bergantung dari pasar, entah itu pasar pembaca atau pasar iklan. Semakin banyak jurnalis dan pengelola media yang merasa bahwa jurnalisme itu seharusnya memang bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Jurnalisme adalah kebutuhan publik dan alat penting untuk menjamin demokrasi tetap sehat. Untuk itu, dia butuh subsidi. Media seperti ProPublica dan The Guardian adalah media era digital yang jelas-jelas mendeklarasikan diri sebagai non profit: lembaga yang tidak mencari keuntungan. Mereka disupport oleh lembaga donor atau dana abadi (trust fund) yang cukup untuk menjamin keberlangsungan kerja-kerja jurnalisme mereka.
Di luar empat alternatif utama model bisnis itu, ada banyak model lain di luar sana. Ada media yang mencoba hidup dari kegiatan off line semacam seminar dan konferensi. Para pembacanya diajak menjadi peserta seminar bergengsi dengan membayar tiket, dan pengiklan diminta menjadi sponsor. Apa yang dipertontonkan? Jurnalisme! Para wartawan mewawancarai sumber mereka di atas panggung, ditonton oleh ratusan orang secara live. Model bisnis ini juga lumayan berhasil untuk media digital seperti Quartz . Ada juga media yang mengandalkan koperasi para pembaca sebagai basis pemasukannya. Jadi mereka meminta donasi tetap para pembaca untuk menjamin keberlangsungan mereka. Ini berhasil di Die Tageszeitung yang didukung koperasi beranggotakan 12 ribu pembacanya. Sebagian besar media digital mengkombinasikan semua model bisnis ini. Apapun pilihan model bisnis media, satu hal yang jelas: model bisnis media itu akan mendikte jurnalisme macam apa yang mereka hasilkan. Kalau media digital mencari uang hanya dengan mengandalkan iklan ads network yang rumusnya: “makin banyak pembaca maka makin banyak iklan yang masuk”, maka senjakala jurnalisme memang sudah tiba. Tapi jika banyak orang yang sadar bahwa masa depan jurnalisme harus kita selamatkan bersama, apapun risikonya dan berapa pun biayanya, maka belum saatnya untuk berkabung. Justru sekarang kita harus songsong dan siapkan bersama era kebangkitan jurnalisme digital! (*) Catatan: Artikel ini kali pertama diunggah di sini.
Potlach, Sebuah Konsep Pemberian Masyarakat Kuno Perkembangan era globalisasi terus menerus mengasah kemampuan
manusia untuk lebih terbuka dengan informasi baru. Era ini berdampak pada sendi-sendi perilaku manusia yang sering disebut manusia modern yang semakin sibuk dengan pekerjaannya cenderung individualis. Amerika sebagai negara penganut paham ideologi liberalis sering dijadikan contoh sebagai negara masa depan bagi negara-negara berkembang. Karena itulah, kemajuan teknologi selalu dikaitkan dengan kepribadian orang-orang di Amerika. Mereka dipandang manusia yang individualis, sehingga setiap orang mengira bahwa perilakunya itu akibat dari arus globalisasi yang semakin mengakar ini. Komunikasi yang terjadi pun atas dasar kepentingan semata, yaitu kekeluargaan. Seolah jiwa sosial mereka digambarkan oleh sebagian orang sudah mulai luntur. Akibatnya, interaksi mereka pun hanya sebatas pada pekerjaan semata. Hal ini berbeda dengan negara-negara berkembang, apalagi negara miskin yang masih terlihat interaksi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak didasarkan pada pekerjaan semata. Terkadang masyarakat berkumpul hanya sekadar bertukar cerita tentang kehidupannya masing-masing sehingga masih dimungkinkan terjadinya saling bertukar barang atau saling memberi satu sama lain ketika ada tetangga atau orang di sekitarnya yang sedang mengalami kesulitan. Kewajiban Membalas Pemberian Kegiatan saling memberi atau benda pemberian diartikan oleh beberapa masyarakat tidak hanya sekadar memberikan atau menerima suatu benda kepada dan dari orang lain, namun kegiatan itu memiliki makna mendalam. Di Samoa misalnya, setiap pemberian meninggalkan kewajiban bagi yang mendapatkan pemberian itu untuk membalas pemberian tersebut. Mereka berkewajiban untuk mengembalikan hadiah yang telah diterima, yang diatur oleh adanya hukuman akan kehilangan nama, otoritas, dan kekayaan apabila tidak melakukannya.
Contoh lain terjadi di Suku Taonga pada suku Maori. Ketika kita mendapatkan hadiah dari orang yang kita beri suatu benda atau hadiah yang lainnya, di sana suatu pemberian itu dimaknai sebagai sebuah kebaikan yang harus dibalas dengan kebaikan. Jadi ada semacam kewajiban untuk menerima dan memberi. Kewajiban memberi ini terjadi pada suku Dayak, ketika mereka akan melaksanakan makan, kemudian ada orang lain, maka orang lain itu akan diajak bersama-sama untuk turut makan. Orang yang mengetahui ada proses penyajian makanan, maka orang itu pun wajib diajak ikut makan bersama-sama. Hal lain yang unik pada beberapa masyarakat suku bangsa bahwa ketika menolak untuk memberi hadiah atau lalai mengundang, adalah –sama dengan menolak untuk menerima– sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Makna-makna pemberian ini dibahas lengkap dalam sebuah buku karya Marcell Mauss yang berjudul “Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno”. Pada festival Mia-mila, sebuah potlach untuk menghormati yang sudah mati, dua macam vaygu’a – benda-benda kuala dan yang Malinowski mendeskripsikannya untuk pertama kali sebagai vaygu’a yang permanen – diperlihatkan dan ditawarkan kepada para ruh, yang mengambil bayangan dari semuanya ini dan membawanya ke tempat mereka yang sudah meninggal; di mana para ruh itu bersaing satu sama lain dalam hal kekayaan sebagaimana yang dilakukan manusia dalam kepulangan kembali dari kuala yang bersifat keagamaan. Van Ossenbrugen, seorang ahli teori dan juga seorang pengamat unggul telah mencatat suatu permasalahan lain. Pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Pentingnya memberi kepada orang lain, terutama kepada si miskin ini memunculkan tindakan konsep sedekah, ini didasarkan bahwa manusia muncul sebagai perwakilan dari dewa-dewa dan mereka yang sudah mati. Orang Hausa sering menderita penyakit demam endemik pada waktu jagung-guinea sudah siap dipanen, dan
cara satu-satunya untuk mengatasinya ialah dengan memberikan hadiah gandum kepada orang miskin. Jadi konsep berpikir tentang pemberian tersebut kemungkinan diadopsi oleh beberapa lembaga kemanusiaan yang tidak selalu mempunyai orientasi profit dalam menjalankan kegiatannya. Hal itu pula mirip dengan konsep ajaran-ajaran agama, misalnya Islam yang menganjurkan membantu sesama manusia tanpa pamrih dan ketika membalas kebaikan orang lain harus lebih dari apa yang ia terima. Kedermawanan, Kehormatan dan Uang Kepulauan Andaman, Manusia Pygmi. Sasaran dari tukar-menukar itu untuk menghasilkan persahabatan diantara dua orang yang bersangkutan; dan jika ini tidak terlaksana maka maksud tujuan itu telah gagal. Sistem perdagangan di Kepulauan Trobriand, yaitu Kula, adalah bentuk luas dari Potlatch, karena disini terjadi tukar-menukar barang dalam jumlah besar yang terjadi antar-suku bangsa. Perdagangan Kula ini bersifat aristokratis, dan hanya diperuntukkan bagi para-kepala yang merupakan pemimpin armada Kula dan kano-kano, para pedagang untuk vasal-vasal mereka (anak-anak dan para ipar), dan tampaknya juga bagi kepala dari sejumlah desa-desa vasal. Pertukaran itu dilakukan dalam tata cara kebangsawanan, netral, dan sopan. Masih terkait dengan potlatch, di Fiji terdapat satu musim, yaitu kerekere yang pada waktu musim itu orang dilarang untuk menolak apapun yang diminta oleh siapa pun. Mata uang Fiji dari gigi binatang kachalot sama dengan uang di Trobriand. Ini dikenal sebagai tambua. Dalam sistem potlatch, seseorang dibatasi untuk mengeluarkan sesuatu yang dimiliki sampai habis-habisan. Orang kaya yang memperlihatkan kekayaannya dengan cara mengeluarkan biaya tanpa perhitungan, adalah seorang yang memenangkan prestise. Kedudukannya juga bisa hilang seperti dalam perang, perjudian
dll. Kadang tidak ada keraguan mengenai penerimaan imbalan ini; seseorang menghancurkan sesuatu semata karena hendak memberi kesan bahwa ia tidak ingin menerima imbalan apa pun. Pada sistem potlatch ini, orang Kwakiutl dan Tsimshian membuat perbedaan terhadap barang yang dimiliki yang berlaku pada zaman Romawi, orang-orang Trobriand dan Samoa. Mereka mempunyai barang-barang biasa untuk dikonsumsi dan didistribusikan, dan juga harta kekayaan keluarga yang berharga —jimat-jimat, tembaga-tembaga yang diberi dekorasi, selimut-selimut kulit dan kain-kain yang dibordir. (*)
Kartini, Spirit dan Simbol Hari bersejarah untuk bangsa kita, bahwa pada Tanggal 21 April 1879, di kota Jepara, Jawa Tengah, lahir perempuan keturunan bangsawan, yaitu Bupati Jepara. Nama perempuan ini adalah Kartini. Karena tidak bisa diam, dia di juluki Trinil. Di masa gadis kecil, dia sempat bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Namun, terpaksa harus dihentikan saat usia 12 tahun karena datang haid pertama yang artinya sudah saatnya untuk dipingit. Dikurung dalam rumah, menunggu ada pria meminangannya. Saat itu, di kepala para wanita Jawa, hanya pinangan pria yang akan membawanya keluar menuju derajat yang lebih tinggi. Kartini sesungguhnya berkecukupan akan materi, namun kekecewaannya yang amat mendalam akibat dilarang melanjutkan pendidikan, membuatnya menderita batin yang berat. Surat-suratnya kepada kawannya bernama Stella di Belanda menyiratkan itu. Kumpulan surat ini dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang sudah begitu tersohor. Buku itu diterbitkan ketika masa politik etik
di Eropa menyeruak atas banyaknya perilaku kolonial yang melanggar kemanusiaan. Terlepas dari motif tertentu pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan nama harum dengan menerbitkan buku Kartini, buku tersebut cukup mengguncang bumi nusantara untuk menoleh akan keberadaan perempuan Indonesia yang terpuruk. Bahkan, hingga saat ini! Atas informasi yang lengkap tentang Kartini dari Buku tersebut, serta jasa jasanya, diangkatlah Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Buku Kartini mungkin sudah dibaca jutaan perempuan Indonesia. Namun sejumlah pertanyaan menyeruak: Sudahkah kita mewarisi spirit perjuangan Kartini? Atau, benarkah kita mampu menangkap pemikiran transformatif Kartini yang sesungguhnya? Atau lebih jauh dari itu, dapatkah kita melanjutkan cita-cita luhurnya untuk masa sekarang dan yang akan datang? Jangan-jangan, kita masih menangkap simbol-simbol fisik Kartini belaka. Simbol fisik Jika kita mau merenungkan substansi buku Kartini, akan muncul banyak pertanyaan. Sampai sejauh ini, peringatan Hari Nasional Kartini sebatas simbol fisik. Yakni, kebaya, jarit, sanggul, masak-memasak dan seputar atribut domestik wanita Jawa di Zaman dulu. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, jika hanya berhenti di situ,
sangatlah disayangkan.
Kita sepakat, bahwa hari Kartini diperingati sebagai hari kebangkitan bagi perempuan Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ibu Kartini, janganlah dilupakan pahlawan perempuan yang lain yang tidak kecil pula jasanya untuk memperjuangkan kemajuan. Sebut saja, Cut Nyak Dhien, Martina Martha Tyahohu, Dewi Sartika, Malahayati, Rasuna Said dan Maria Maramis. Mereka banyak yang tidak bersanggul, mungkin berkerudung, atau bercelana panjang, itu semua hanya simbol budaya lokal.
Keperkasaan pemikiran-pemikiran mereka tak bisa dibilang pemikiran perempuan biasa, itu yang terpenting. Pemikiran mereka telah melampaui zamannya. Namun, masih sering kita mendengar kata: surga perempuan adalah bersama suaminya, sehingga harus bungkam meski teraniaya, tanpa kritis mempertanyakan nasibnya. Simbol dan slogan Jawa yang dapat disalahartikan masih banyak membelit pikiran para perempuan. Misalnya, suami adalah “pengeran katon ( tuhan yang kelihatan)”, tugas wanita adalah bakti pada suami, dan lainlain. Tanpa memiliki pretensi negatif terhadap siapapun, marilah kita berpikir lebih dalam dan lebih luas. Kartini adalah sosok yang inspiratif, seorang nasionalis sekaligus feminis. Kartini menolak primodialisme (penghambaan manusia atas manusia). Fokus perjuangan kartini jauh ke depan dan luas. Yaitu, kaumnya, bangsanya, pendidikan, kemiskinan, kebodohan, kesehatan, perekonomian, dan sebagainya. Pemikirannya transformatif ratusan tahun di depannya. Otokritik Cibiran terkadang masih terlontar, mengapa Kartini memilih untuk melepas beasiswanya untuk studi ke Belanda? Mengapa Kartini tetap menerima dipoligami oleh Bupati Rembang? Mengapa dia diam dengan kondisi ibu kandungnya yang jelas tersubordinasi dan terdiskriminasi secara telak oleh ayahnya sendiri? Masih banyak kritikan tertuju pada Kartini atas semua pilihannya yang dianggap bumerang untuk dirinya sendiri. Terlepas dari semua yang dipandang kelemahan oleh banyak pihak itu, yang jelas Kartini telah menabur benih percik kemajuan. Pendidikan adalah substansi kemajuan. Kartini telah merintisnya untuk perempuan miskin saat itu. Bagaikan lilin yang memecah gelapnya kebodohan. Kartini tidak sekadar mengutuk kegelapan, lebih dari itu, Kartini
telah membuka mata para petinggi di zaman itu dan zaman sekarang, bahwa perempuan belumlah mendapatkan haknya yang setara dalam berbagai kesempatan. Kalaulah ada, hanya bisa dihitung dengan jari. Perempuan sebagai korban budaya patriarki telah disadarinya sejak dia kecil. Begitu kuatnya kungkungan budaya saat itu, hingga dia pun terpaksa menerima posisi subordinasi dan diskriminasi (dipingit), serta tidak berdaya dipoligami walau hatinya menolak dan memberontak. Sekarang, kita hidup di zaman jauh setelah kartini wafat. Namun, masih banyak pikiran kita terbelenggu dan berkutat pada atribut fisik dan terbelit hegemoni materi. Jika kita tidak memiliki materi, kita seolah bukan siapa-siapa. Jika kita memiliki materi, kita seolah bisa menjadi siapapun dan apapun. Materi dapat meninggikan derajat seseorang, namun jika salah “menggaulinya” materi dapat menghinakan manusia. Penutup Kartini sudah memiliki pemikiran besar di usia masih belasan tahun. Di zaman kini, rintangan jauh berkurang untuk berpemikiran besar dan transformatif seperti Kartini. Namun, masih banyak fakta kondisi subordinasi (posisi tidak setara) terhadap perempuan. Semua itu masih bisa kita jumpai di semua level kehidupan. Kondisi menempatkan perempuan di level kelas 2, menjadikan perempuan sasaran target kekerasan fisik, verbal, ekonomi, sosial, politik, apalagi budaya. Lalu, dari mana kita dapat memulai perubahan? Dari diri sendiri. Perempuan sendiri harus membetulkan mindset tentang kesetaraan. Masih sering kita jumpai perempuan lebih berperilaku bias terhadap kaumnya sendiri. Untuk itu, mindset harus diluruskan terlebih dahulu. Menolak segala bentuk penindasan fisik maupun mental sebagai hasil dari sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan. Sudahkan kita membenahi
mindset?
Sekarang saatnya!
Pengantar “Ritual” di Bulan Ramadan Datangnya bulan Ramadhan menandakan bahwa perjuangan muslim harus semakin diperkuat dan ditegakkan. Setidaknya, begitulah pesan implisit dari kegiatan yang biasa dipersepsi sebagai “ritual” ini. Meski telah bertahun-tahun bulan ini kita lalui, jarang sekali saya menemukan orang-orang yang bersuara layaknya orang-orang yang berpuasa. Banyak dari suara-suara yang saya dengar adalah suara diskon busana, segarnya sirup, dan info-info betapa “ajaib”-nya puasa itu sendiri. Seolah-olah, hal yang spesial darinya adalah “kesejahteraan” ekonomi dan kebahagiaan material. Padahal, puasa, utamanya di Bulan Ramadhan, bak matahari yang terbit setelah lama terbenam. Dia menyinari setiap muslim sejati. Mencerahkan kembali dan memperkuat jiwa mereka, dalam rangka berjuang sesuai jalan yang ditunjukan-Nya pada masamasa yang telah lalu.
Puasa dan Ketaqwaan Saya terkejut ketika paman mengatakan bahwa puasanya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan. Tentu sempat terdengar kabar bahwa puasa sanggup mengeluarkan toksin-toksin dari dalam tubuh. Tetapi menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berpuasa, bukankah itu aneh? Barangkali, juga tidak sedikit orang yang mempersepsi puasa sebagai upaya mencapai kesehatan yang baik. Meskipun demikian,
sebenarnya itu bukanlah motif sejati dari berpuasa. Bukan pula untuk melatih ketahanan saat minim sumber energi, diet, atau bahkan sekedar untuk menahan nafsu. Tujuan puasa lebih besar daripada itu semua. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa (Al-Baqarah 2:183) Akan tetapi, ketaqwaan yang berusaha dibangun bukanlah untuk kepentingan individual, melainkan untuk kepentingan kolektif komunitas muslim. Dengan sikap taqwa, setidaknya kesadaran kolektif yang terbentuk akan lebih bersatu dan harmonis dalam kaitannnya terhadap perilaku penghambaan kepada Tuhan. Pada masa kini, biasanya, taqwa diidentikkan dengan perilaku yang rajin shalat, dzikir, serta minim perilaku konsumtif. Melihat tanda hitam didahi seseorang menjadi salah satu indikator ketaqwaan. Bahkan, ada pakaian yang diidentikkan oleh ketaqwaan, namanya baju taqwa.
juga
Jika seseorang sering ke masjid, hitam pada dahinya, dan menggunakan baju taqwa, barangkali lengkap sudah bahan-bahan “istilah taqwa” itu. Tetapi sebenarnya taqwa tidak selalu berkaitan dengan hal-hal yang ritualistik saja. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orangorang yang bertakwa. (Al-Baqarah 2:177)
Allah telah menggambarkan makna taqwa menurut konteks masyarakat pada jaman Rasulullah. Akan tetapi, ayat tersebut tidak menunjukkan makna sejati dari taqwa, melainkan sekedar teknis-teknis kontekstual terkait dengan latar belakang turunnya, serta kesadaran kolektif pada masyarakat tersebut. Akan lebih tepat jika taqwa dimaknai sebagai sikap tunduk (takut) kepada Allah. Sebagai konsekuensinya, sikap itu ibarat sebuah fakta sosial atau kesadaran kolektif antara manusia dengan Tuhannya. Hal itu karena, sikap tersebut akan koersif, dan berada di luar individu itu sendiri (Damsar, 2015). Eksistensi dari fakta sosial yang demikian itu adalah determinisme perilaku. Meskipun, manusia tidak sepenuh determinstik.
Puasa dan Budaya Teknis berpuasa sendiri cukup unik. Puasa mengharuskan pelakunya untuk menahan diri dari perilaku tertentu, dengan dalil perintah Allah. Apabila kegiatan semacam itu terus dilakukan, maka yang terjadi bukan hanya terbiasa. Menahan diri dari perilaku tertentu atas dasar teologis, di kemudian waktu bisa berevolusi menjadi budaya. Misalnya muncul komunitas yang berbudaya taqwa. Budaya dipelajari dan dibentuk oleh manusia (Horton dan Hunt, 1987), ini menandakan betapa lenturnya budaya itu sendiri. Kelenturannya menyebabkan mudahnya pergantian budaya. Maka puasa adalah koin pertama yang dapat membangkitkan budaya taqwa. Sebagai konsekuensi dari budaya taqwa, seorang muslim yang sukses dalam puasanya tidak hanya menghasilkan perilakuperilaku positif. Dia juga turut berpartisipasi dalam memperbaiki masyarakat; memecahkan masalah sosial di sekitarnya, mengingatkan temannya jika bertingkah melebihi batas kewajaran, dan juga berprestasi dalam bentuk nilai, gagasan, pemikiran, serta teknologi. Betapa produk budaya yang
indah. Produk-produk yang dihasilkan pun tidak hanya produk dalam waktu relatif singkat. Norma-norma, pertemanan, keluarga, serta struktur sosial lainnya akan turut membentuk komunitas muslim yang terbaik. Kembali lagi, secara tidak langsung, akan terbentuk suatu aspek yang koersif dan eksternal, yang mana akan turut menentukan perilaku masing-masing individu. Dengan adanya budaya dan kesadaran kolektif yang semacam itu, komunitas muslim tidak sekedar menjadi agregasi (penyatuan) sosial. Mereka akan diikat dalam satu rasa kesolidaritasan, dibawah esensi wahyu Allah. Dapat dibayangkan ketika secara otomatis perilaku negatif adalah sesuatu yang akan dianggap rendah, maka perilaku positif: perilaku yang membangun, akan dinaikkan. Ibarat itulah pencapaian yang harus diimpikan oleh orang-orang. Dengan kata lain, norma dan nilai yang tertanam akan mengarah kepada ketaqwaan. Muncullah pendidikan yang membangun kualitas peserta didiknya. Pendidikan yang tidak hanya mampu mengajarkan aspek-aspek teologis, tetapi juga humanis serta ramah terhadap alam. Kemudian ada banyak efek positif lainnya apabila puasa dijalankan sebagaimana mestinya oleh kaum muslim. Ekonomi, politik, militer, dan beragam sektor lain akan turut terbantu. Hanya jika muslimin serius menekuni puasanya pada bulan Ramadhan ini. Sebagai bagian akhir, dualitas manusia menyebabkan dirinya yang tak bisa ditentukan perilakunya secara utuh. Tak pernah ada manusia yang seumur hidupnya bersifat deterministik. Selalu ada aspek subyektif dari masing-masing manusia, yang mana menentukan masa depannya. Baik itu dalam jangka pendek, menengah, ataupun panjang. Begitu pula pada muslim yang berpuasa. Seideal-idealnya sistem berpuasa, akan masih ada kesempatan bagi setiap manusia untuk melenceng dari jalan yang lurus,
sehingga hanya sekedar lapar dan dahaga. Tak lebih dari itu. Padahal, menunggu datangnya Bulan Ramadhan pada fase berikutnya, atau datanglah malaikat pencabut nyawa, jadi sungguh rugi bagi orang-orang yang tak sukses dalam berpuasa. “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah nomor 1690 dan Syaikh Albani berkata, ”Hasan Shahih.”). Semoga puasa kita semua tidak sampai pada titik kesia-siaan. (*) Editor: Bambang Bes
Diaspora Pergerakan Mahasiswa dalam Globalisasi KETIKA roda jaman mulai berganti, era keterbukaan yang semakin masif telah dirasakan bahwa saat inilah kita berada dalam era globalisasi. Ya, globalisasi dewasa ini tidak hanya mempengaruhi bentuk perekonomian, politik, keamanan, atau kebudayaan suatu negara. Dewasa ini globalisasi ternyata juga telah mempengaruhi bentuk pergerakan mahasiswa. Selama ini mahasiswa menjadi salah satu aktor yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap dinamika perkembangan jaman. Di beberapa negara, pergerakan yang dilakukan mahasiswa mampu menghasilkan suatu bentuk perubahan besar terhadap kondisi internal negara tersebut. Inilah yang setidaknya pernah terlihat di beberapa negara seperti Mesir dan juga Indonesia, yang menyoal bagaimana pergerakan mahasiswa berperan. Di Mesir kita mengenal Ikhwanul Muslimim (IM) yang mampu
menjadi pejuang kemerdekaan di negara itu. Anggota IM memang tidak sepenuhnya dari kalangan mahasiswa (pelajar). Sekalipun demikian tidak mengurangi betapa pergerakan mahasiswa telah menjadi kekuatan tersendiri dari suatu masyarakat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, beberapa pergerakan mahasiswa mampu mereformasi struktur pemerintahan seperti halnya peralihan orde lama ke orde baru dan orde baru menuju era reformasi. Sejatinya begitu besar kekuatan (power) yang dimiliki mahasiswa sebagai aktor yang dapat dinilai jauh dari kepentingan-kepentingan politis (political interests) di dalam setiap pergerakannya. Berdasarkan pada fakta sejarah, pergerakan mahasiswa sangat identik dengan permasalahan high politic suatu negara. Mahasiswa menjadi pihak yang merasa sangat marah ketika pemerintah mengambil sikap/kebijakan yang tidak pro-rakyat. Terlihat jelas ketika tahun 1974 mahasiswa menjadi pihak yang lantang menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang hendak melakukan kerjasama dengan pemerintah RI saat itu. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari (Malapetaka limabelas januari) itu didasari atas idealisme mahasiswa yang menolak kehadiran kembali bangsa asing untuk meletakkan kembali kaki dan tangan kotornya di bumi Pertiwi ini. Idealisme seperti inilah yang dulu melatar belakangi setiap pergerakan mahasiswa. Hal serupa juga dilakukan mahasiswa beberapa waktu belakangan ini, ketika pemerintah mengambil kebijakan melepas sebagian pengelolaan Blok Mahakam dan memperpanjang kontrak Freeport, maka mahasiswa kembali turun bersuara. Namun terdapat perbedaaan yang sangat nyata dari dua peristiwa tersebut. Perbedaannya adalah kekuatan (jumlah) mahasiswa dalam berhimpun. Mengapa? Sebab dalam globalisasi, konsep kesatuan aksi pergerakan mahasiswa tidak lagi terlihat. Seakan konsep itu bukanlah suatu hal yang harus dipertahankan,
sehingga yang terjadi pergerakan mahasiswa mengalami “diaspora”, bukan dalam hal wilayah namun dalam ide dan bentuk pergerakannya. Diaspora pergerakan mahasiswa dalam globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan menjadi beragam (divers). Hal ini tidak seperti yang terjadi pada pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan, dimana sebelumnya adalah hal yang beragam (divers) menjadi hal yang seragam (uniform). Sebaliknya globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan yang sebelumnya seragam (uniform) menjadi sangat beragam. Inilah yang terjadi ketika pergerakan mahasiswa telah dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi. Kemudahan akses informasi dan transportasi menghasilkan sebuah fenomana unlimited interconection yang membuat pergerakan mahasiswa mampu “ber-diaspora”. Sehingga sangat terlihat jelas perbedaan pergerakan pada saat ini, mahasiswa memiliki banyak alternatif gerakan yang dapat dipilih sesuai dengan passion, tidak lagi hanya soal aksi protes dan demonstrasi terhadap rezim. Salah satunya melalui komunitas, sehingga beragam komunitas lahir dengan spesifikasi berbeda-beda. Ada yang didasari atas kesamaan hobi, tetapi juga yang berlatar belakang permasalahan sosial seperti komunitas anti-rokok, komunitas anti korupsi, dan komunitas lain yang bergerak di bidang social development. Beberapa telah mencerminkan adanya pergerakan yang inspiratif seperti pergerakan yang concern dalam social development. Tetapi banyak juga mahasiswa yang tergabung dalam pergerakan sangat tidak produktif yang mana hanya berlatar belakang hobi dan kesenangan pribadi semata. Globalisasi membawa hal baru bagi pergerakan mahasiswa yaitu internasionalisasi. Berbagai komunitas mahasiswa telah mampu mengenalkan pergerakannya di dunia melalui forum-forum internasional. Sehingga inilah yang membuat diaspora pergerakan tidak melulu hanya pada satu tempat/negara, namun dapat menyebar luas di barbagai penjuru dunia.
Sayangnya, disisi lain globalisasi telah melunturkan semangat kesatuan aksi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa tak lagi peka terhadap isu-isu high politic seperti pada masa reformasi. Sekalipun beragam pergerakan dirasa cukup mampu menyentuh isuisu low politic seperti permasalahan pendidikan, kemiskinan, dan lingkunga, namun hal itu belumlah cukup. Pergerakan mahasiswa harus tetap mampu mempertahankan eksistensinya melalui konsep kesatuan aksi, bukan malah berdiaspora sehingga semakin mengecilkan hardpower mereka sebagai mahasiswa. Hal ini terbukti dalam kasus Blok Mahakam, mahasiswa tidak mampu menjadi preasure group yang digdaya untuk pemerintah, tidak seperti era peristiwa Malari. Hal ini mencerminkan sebuah bentuk “gradasi” pergerakan yang membuat tidak ada satu warna yang dominan. Hingga menyebabkan melemahnya power gerakan mahasiswa secara umum. Ketika globalisasi membawa inovasi dalam pergerakan mahasiswa, maka alangkah bijak bila hal itu tidak menghilangkan identitas dan peranan mahasiswa sebagai agent of change, moral force dan iron stock bagi masa depan bangsa dan negara. Fenomena “diaspora” pergerakan mahasiswa harus mendapat suatu bentuk pengawalan, yaitu kesatuan visi. Hal ini untuk tetap konsisten menjaga dan mengawal setiap kebijakan pemerintah sekalipun mereka telah berdiaspora. (*) Editor : Bambang Bes
Internet Tidak Membunuh Koran, Pembunuhnya adalah
Pemilik dan Pekerjanya Senjakala media cetak akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Tulisan wartawan Kompas Bre Redana, Inikah Senjakala Kami…, berisi curhatan yang terkesan menyalahkan internet dan jurnalis online. Dari tulisan itu bisa digarisbawahi, jika dia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan industrinya. Dia hanya mengeluh dan tidak melakukan apapun. Sebenarnya, isu senjakala media cetak sudah ramai diperbincangkan terutama di Amerika Serikat dan Inggris sejak 2009. Pangkalnya, penurunan jumlah pendapatan iklan dan jumlah pelanggan. Di Kongres WAN-IFRA (Asosiasi Surat Kabar Dunia), tema-tema yang diangkat adalah seputar bagaimana industri media cetak menghadapi era digital. Mereka tidak lagi berdiskusi bagaimana membuat berita yang bagus atau bagaimana etika jurnalis dalam mencari berita. Fokus mereka cuma satu: bagaimana industri media cetak bisa selamat dari kepunahan. Pada beberapa Kongres WAN-IFRA yang saya ikuti, para pembicara dari koran-koran seperti New York Times, Washington Post, The Wall Street Journal memaparkan model-model bisnis media online masing-masing. Banyak juga yang memaparkan bagaimana membuat konten-konten yang disukai pembaca online. Misalnya, video dan podcast. Intinya, media online digarap serius dan disinergikan dengan media cetak. Koran Masih Bisa Hidup Di tengah kematian koran-koran Amerika, pemilik Amazon, Jeff Bezos, membeli Washington Post senilai 250 juta dollar. Nah, hal ini membuktikan, ada orang yang berani ambil resiko membeli koran. Padahal, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Di sisi lain, bagi sebagian orang, ternyata koran masih punya peluang bisnis.
The New York Times, Wall Street Journal, Financial Times melakukan bisnis freemium. Konten-konten di website mereka bisa dinikmati secara gratis. Meski hanya sebagian. Jika ingin menikmati semua konten, mereka harus membayar setiap bulannya. Satu hal yang saya tangkap adalah usaha mereka beradaptasi di era digital. Mereka menganggap era ini sebagai peluang dan bukannya ancaman. Hasilnya, The New York Times mempunyai pelanggan digital di atas satu juta. The Guardian menangkap peluang dengan membuat event-event atau workshop jurnalisme yang hanya bisa diakses jika pembaca menjadi member. Bagi yang ingin menjadi member, mereka harus membayar biaya bulanan. Masih banyak koran yang bertahan dengan membuat model bisnis yang benar-benar baru. Mereka tidak hanya melakukan cara konvensional dengan menjual oplah dan iklan cetak saja. Adaptasi atau Mati Seperti homo sapiens yang berevolusi dengan cara beradaptasi, koran harus melakukannya. Jika tidak, koran akan mati. Hanya yang kuat yang bertahan. Koran tidak boleh berpikir sebagi newspaper semata. Lebih dari itu, harus menjadi news brand. Koran bukan media nomor satu. Tapi, harus disinergikan dengan media-media di bawah brand itu. Sebuah media tidak hanya menjual berita apa adanya. Tapi, harus mengemasnya dengan konten-konten menarik dan mengkolaborasikannya. Konten-konten berita, video, audio, infografis, harus dibuat sedemikian rupa disesuaikan dengan karakter pembacanya. Konten media cetak tentu beda dengan konten media online. Karena, karakteristik pembacanya berbeda. Tapi, bukan berarti kualitas media online dibuat lebih buruk dibanding media cetaknya.
News brand akan mengemas konten-konten itu di bawah brand sebuah koran dengan kualitas sama. Tantangan Generasi Tanpa Koran Generasi sekarang tidak tumbuh dengan koran. Mereka besar bersama gadget. Ketika dewasa, mereka tidak akan mengingat koran. Sekarang koran masih ada, bagaimana dengan lima atau sepuluh tahun mendatang? Radio yang dulu diramal mati saat televisi muncul. Akhirnya, bisa beradaptasi. Mobil yang menolong mereka. Meski pendengar radio menurun, pengguna mobil masih membutuhkan radio untuk menemani perjalanannya. Bagaimana dengan koran? Adaptasi apa yang mesti dilakukan? Inilah tugas para pemilik media dan para pekerjanya. Sayang, banyak pemilik koran di sini yang tidak paham dunia online. Banyak yang membuat media online asal-asalan dengan kualitas lebih buruk dibanding media cetaknya. Akhirnya, media online tidak memberi value apa-apa kepada media cetaknya. Kesadaran Pemilik Koran Saat
saya
bekerja
di
media
online
sebuah
koran,
saya
dihadapkan kepada pemiliknya yang tidak paham dunia digital. Dia masih menganggap koran produk media nomer satu di atas media online. Koran baginya masih dalam masa keemasan. Memang, harus diakui jika pendapatan paling besar berasal dari koran. Namun, jumlah revenue iklan dan jumlah pelanggan yang terus menurun serta makin banyaknya orang menyukai berita online, menjadikan anggapan pemilik media itu sebagai utopia. Pada awal saya dan tim membangun media online koran tersebut. Saya mempunyai visi membangun media online berkualitas sama dengan media cetaknya. Saya ingin membuat media online dengan konten-konten menarik serta bervariatif dengan cara elegan.
Traffic memang penting tapi bukan itu tujuan utama. Tujuan paling penting adalah meningkatkan value brand koran tersebut di dunia digital. Karena selama ini, brand koran itu masih kalah populer dibanding koran-koran lain. Dengan meningkatnya value brand, diharapkan muncul kepercayaan. Traffic bisa mengikuti. Dari situ kita mulai memikirkan model bisnisnya. Ini jelas membutuhkan waktu lama. Rupanya, visi pemilik koran itu tidak sama dengan visi saya. Dia terbuai dengan traffic yang tinggi tanpa memperdulikan kualitas berita. Media online yang semula berkualitas sama dengan korannya, diturunkan derajatnya dengan menyajikan berita-berita bombastis dan murahan seperti berita seks dan kriminal dengan judul-judul kacangan. Berita-berita yang “dijual” tidak mengindahkan etika jurnalisme yang baik. Kualitasnya jauh dibanding korannya. Kemudian saya memutuskan keluar. Pemilik
koran
harus
sadar
jika
media
cetak
di
ambang
kepunahan. Koran adalah bisnis yang sudah dekat dengan garis finish. Jika masih dininabobokkan dengan kejayaan dan tidak melakukan tindakan apapun, garis finish sendiri yang akan mendekati koran. Andil Pekerja Membunuh Koran Isu senjakala media cetak ditanggapi beragam oleh para jurnalisnya. Ada yang menyalahkan internet, ada yang tidak percaya adanya isu itu. Sebenarnya, jurnalis koran punya andil mempercepat kepunahan koran. Banyak berita yang ditulis sama dengan berita online, mulai angle berita maupun pemilihan judul. Bahkan ada yang “mencopas” berita online. Ini menimbulkan pertanyaan: jika sama, kenapa orang harus membeli koran? Toh orang bisa membaca media online secara gratis. Koran sudah kalah cepat dengan online. Jika koran kualitasnya
sama dengan media online, maka habislah riwayat koran. Orang tak akan lagi mencarinya. Majalah Tempo selalu dicari karena menyajikan angle-angle yang tidak didapat di media online. Koran harus dibuat seperti itu. Tentu tugas jurnalis koran untuk membuat konten-konten yang membuat orang rela membelinya. Beberapa tahun ke depan, penetrasi internet di masyarakat kita akan jauh lebih kuat. Masyarakat akan terbiasa dengan gadget. Internet akan mudah diakses. Tujuan internet hadir adalah memberi kemudahan kepada masyarakat untuk mengakses informasi. Imbasnya, koran bukan sumber informasi paling penting. Kendali di tangan pembaca. Ini tantangan yang harus dihadapi koran. Beberapa waktu lalu, pemilik Koran Sinar Harapan menutup korannya. Sebelumnya, Harian Bola juga ditutup. Internet tidak lahir untuk membunuh koran. Tapi pemilik koranlah yang selama ini membunuhnya pekerjanya. (*)
pelan-pelan,
Potensi Tiga Paska Kampus
tentu
dengan
Sektor
“bantuan”
Dunia
“DIAKUI atau tidak, hampir sebagian besar pandangan mengatakan bahwa tujuan perkuliahan adalah untuk mencetak tenaga kerja yang terampil dan kompeten” (Yanfaune Ade) Sebagai pembuka pada tulisan ini penulis ingin memperkecil lingkupannya tentang bagaimana identitas mahasiswa, terutama jurusan kedokteran dan medical dalam memaksimalkan potensinya paska kampus.
Bagi penulis, niat seorang calon mahasiswa untuk berkuliah: apakah untuk menjadi calon tenaga kerja, calon peneliti, atau bahkan bukan keduanya. Namun ada pertanyaan yang hadir ketika membahas niat tersebut. Apakah kita sudah memilih dan memaksimalkan dengan tepat tentang tempat yang kita pilih? Sebelum menuju kesana, penulis akan menjelaskan basic dari dunia kerja terlebih dahulu. Di dalam dunia medical, terdapat dua komponen besar yang menjadi tolok ukur keberhasilan pelaku kesehatan. Yaitu, terdiagnosa oleh penyakit apa, dan bagaimana pengobatannya. Kedua poin ini menjadi syarat mutlak dalam menempuh dunia praktisi. Tahapan ini bisa ditempuh ketika sudah menempuh pendidikan profesi. Menurut Dr. M. Sohibul Iman, sarjana dan calon sarjana harus mampu bernalar global solutif dalam memberdayakan Indonesia kelak. Menurutnya, ranah mahasiswa paska dunia kampus terbagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor publik, sektor privat, dan sektor ketiga. Berangkat
dari
sektor
privat,
sektor
ini
mempunyai
fleksibilitas dan tingkat keleluasaan lebih besar. Privat lebih dikenal dengan sektor swasta, yang bergelut di bidang perekonomian, mulai dari bidang produksi hingga distribusi barang dan jasa. Contoh sektor privat ini adalah perusahaan, UKM, koperasi, dan wiraswasta mandiri. Sedangkan di dunia pemerintahan dan sektor publik, komponennya adalah pengambilan suatu kebijakan. Publik menyerupai kinerja pemerintah dalam keputusannya. Ambillah contoh zoonosis. Misalkan bagaimana menekan angka zoonosis di suatu wilayah, bagaimana proses terjadinya penyebaran zoonosis, berapa penaksiran kerugian terhadap kejadian itu, siapa pihak yang sebaiknya bertanggung jawab, dan poin besar membedakannya adalah peran serta potensi kebijakan yang dapat dimaksimalkan demi mendukung suatu wilayah bebas dari penyakit zoonosis.
Berbeda lainnya dengan sektor ketiga. Sektor ini sering dikaitkan dengan NGO (Non Goverment Organization) atau sebuah instansi atau lembaga yang bergerak dinamis karena berlandasan nonprofit. Sektor ini berfokus pada pengembangan masyarakat dengan tujuan tertentu. Arah geraknya pun cenderung lebih mulia, berisikan mereka yang ingin berkontribusi lebih melalui pelayanan masyarakat. Ketiga sektor tersebut bisa ditempuh dengan start dan pembekalan yang berbeda. Tentu, memilih untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi mampu menjadi batu loncatan terhadap sektor. Tetapi, apakah selama proses akademik berlangsung, pihak pertama diperkenalkan kemudian diarahkan kepada tiga sektor tersebut? Mari Kita Evaluasi. Penulis berasumsi pihak pertama sebagai mahasiswa adalah pihak innocent secara garis halus. Belum memahami secara mendalam terkait ketiga sektor itu, maka perubahannya dimulai dari sistem dan lingkungan. Sistem dan lingkungan diangkat dari proses selama 4 tahun kuliah plus co-assistent. Menyinggung dengan manusia dan sistem, maka secara teologis tidak akan lepas dari yang namanya pengkaderan. Pengkaderan mempunyai etiologi berbeda dengan mengajarkan. Mengkader harus memenuhi dua komponen, sumber daya manusia (SDM), dan proses mencapai tujuan. Di dalam perguruan tinggi, pengkaderan dilalui dengan berberapa tahap. Sebut saja salah satunya masa orientasi pengenalan kampus. Penggiringan mahasiswa yang dibawa menuju dunia paska kampus kerap sekali tidak diarahkan untuk menjadi salah satu dari ketiga sektor tersebut, melainkan berorientasi terhadap satu-dua sektor. Hingga yang terburuk, mayoritas mahasiswa hingga akhir perkuliahannya belum menentukan sektor mana yang akan menjadi tombak hasil akhir dengan gelar sarjana.
“Bergeraklah seperti BJ Habibie menemukan “Faktor Habibie”, menentukan dan menekuni suatu bidang di awal sebuah proses” Ternyata kesepahaman sektor di lingkungan kampus sendiri menjadi ibarat grassland yang cenderung sama. Selama perkuliahan, sebagian besar ruang lingkup sektor sering diperkecil menjadi kurang terbuka. Hal ini tergolong positif. Tetapi jika semuanya diarahkan pada satu-dua sektor maka potensi jumlah mahasiswa kesehatan dengan kebutuhan masyarakat akan mengalami penyimpangan skala. Padahal sektor ketiga, dan sektor pemerintahan publik membutuhkan jauh lebih banyak dokter yang expert pada ranah bidangnya. Jangan sampai pihak luar dengan jurusan ilmu sosial yang sengaja dirancang orientasinya terhadap pejabat publik kelak menempatkan tahta kokoh besar hubungannya dengan kesehatan. Momentum ini tentu menyebabkan suatu perkara tidak akan selesai jika dikerjakan oleh bukan pakarnya. Lingkungan juga mempunyai pengaruh besar terhadap pengkaderan mahasiswa. Dosen dan saudara seprofesi ternyata menentukan keberlanjutan sektor pilihan. Belum lagi membahas gender. Lalu persaingan asing dengan negara berkompetensi jauh melebihi Indonesia. Oleh karena itu, ketiga sektor ini harus kembali ditanamkan pada masa pengkaderan hingga proses perkuliahan selesai. Ketiga sektor ini mempunyai peran sama penting, dan memaksimalkan potensi mahasiswa di jalur-jalur itu menjadi tugas bersama untuk mewujudkan Indonesia lebih baik dan bermartabat. (*) Editor: Bambang Bes (* Wahyu Hidayat, adalah penggiat kegiatan kemahasiswaan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga.