MENGGUNAKAN INTUISI, LOGIKA, DAN NALAR DALAM MENYAMBUT TAHUN BARU 2013 Oleh : Ruslan H.R. (Wkl. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu) I. Pendahuluan Pada hari Jumat dalam bulan November tahun 2012 yang lalu, penulis menyempatkan diri salat Jumat di masjid Istiqlal Jakarta. Khatib dalam khutbahnya mengungkapkan bahwa pada diri manusia itu terkadang memiliki hati yang sakit dan hati yang sakit ini ada dua macam, yaitu ;
hati yang sakit karena syahwat dan hati yang sakit karena syubhat. Hati yang sakit
karena syahwat banyak dijumpai di kota-kota besar dan juga di kota-kota kecil, anehnya terkadang seseorang tidak sadar kalau dirinya telah terjangkit virus penyakit hati tersebut. Kedua penyakit hati ini bisa menyebabkan manusia dalam hidupnya menjadi arogan, sombong, riya dan takabur. Bahkan perilaku dalam hidupnya menyerupai perilaku setan yang merupakan salah satu makhluk yang diciptakan, namun dilaknat oleh Tuhan. Penulis melalui tulisan ini ingin mengemukakan salah satu fakta sebagai sebuah fenomena sosial yang sering terjadi dan mungkin akan terjadi secara terus menerus dalam kehidupan masyarakat, terutama menjelang pergantian tahun dari tahun sebelumnya ke tahun baru. Salah satu contoh dan dapat diduga bahwa di akhir tahun 2012, tepatnya pada tanggal 31 Desember 2012 yang akan datang dalam menyambut tahun baru 2013, kita akan dapat menyaksikan secara langsung ribuan orang akan datang dan berkumpul di Ancol Jakarta. Mereka berbondong-bondong datang dari seluruh penjuru kota Jakarta dan sekitarnya menuju salah satu tempat area rekreasi di Ancol. Ada yang menggunakan kendaraan roda empat dan ada pula yang menggunakan roda dua, bahkan ada yang rela berjalan kaki hingga 5 km, lalu mereka menyalakan kembang api dan meletuskan mercon di atas langit. Tepat pada jam 00 WIB, secara serempak mereka meniupkan terompet dan menyalakan kembang api serta meletuskan mercon yang menandai masuknya tahun baru 2013. Ancol akan kelihatan marak dengan nyala kembang api sampai menjulang ke atas langit. Apa yang dilakukan oleh masyarakat itu tidak ada masalah, sepanjang kita melihat dan memandangnya dari sisi aspek seremonialnya sebagai tanda kegembiraan dalam menyambut pergantian tahun itu. Dalam acara itu biasanya Gubernur DKI Jakarta ikut merayakan, entah dengan Gubernur Jokowi yang baru saja memimpin kota Jakarta, apakah beliau juga akan ikut merayakan acara pergantian tahun itu dan juga akan memberikan
kata sambutan dan menghimbau kepada warganya agar senantiasa memelihara ketertiban dan keamanan di wilayah DKI, khususnya satu tahun ke depan di tahun 2013. Apabila kita menggunakan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional sebagai potensi kecerdasan yang ada pada diri seseorang dengan mempertimbangkan pula dari sisi aspek moral agama (kecerdasan spritual), maka sesungguhnya perayaan tahun baru yang berlebihan itu adalah sesuatu perbuatan dan perilaku yang tidak etis, karena dengan cara seperti itu, sudah jelas hukumnya mubazir. Mengapa dikatakan mubazir dan tidak etis ? Karena sesungguhnya dan hakikatnya yang dibakar itu bukan kembang api atau mercon, tetapi yang dibakar itu adalah uang dalam jumlah besar sampai jutaan rupiah, bahkan konon sampai miliaran rupiah. Orang yang berlakon seperti ini, menurut sang khatib tadi bisa dikatakan hatinya telah sakit karena syahwat. Adapula orang melakukan cara lain dalam menyambut tahun baru yaitu dengan upacara ritual, misalnya mereka melakukan azan dan salat serta sujud syukur di lapangan terbuka. Cara seperti ini adalah sesuatu yang keliru, dan orang seperti itu hatinya telah sakit karena syubhat. Mengapa syubhat ? Karena orang yang bersangkutan tidak memahami konsepsi Islam tentang bagaimana sesungguhnya arti dan makna pengamalan salat dan sujud syukur itu. Orang yang terkena penyakit hati karena syahwat, bisa diatasi dengan cara memberi kesadaran kepada yang bersangkutan untuk tidak mubazir dan tidak membuang-buang uang untuk dibakar dan adalah lebih baik kalau uang sejumlah itu disedekahkan saja kepada orang-orang fakir miskin atau anakanak yatim piatu atau disumbangkan ke lembaga-lembaga sosial yang membutuhkan bantuan. Biasanya orang kalau hatinya masih mau menerima nasihat, tentu membakar-bakar uang itu tidak akan dilakukan lagi pada tahun 2013 yang akan datang, akan tetapi bila orangnya tidak mau lagi menerima nasihat terjadilah pemborosan uang, di mana orang hanya menyaksikan dan menikmati pembakaran kembang api atau mercon (pembakaran uang) itu paling lama dua atau tiga menit dengan melihat dan menyaksikan pantulan cahaya berkembang-kembang di atas langit. Sebaliknya orang yang terkena penyakit hati karena syubhat, sangat sulit untuk diatasi dan disembuhkan, karena kata kuncinya bahwa orang seperti itu harus memiliki
ilmu dan
pengetahuan dan butuh waktu yang cukup lama melalui lembaga pendidikan ataupun melalui pengajian dan ceramah dalam majelis taklim. Contoh lain penyakit hati karena syahwat ini, terkadang ada pula orang memiliki krakter sentimen yang cukup tinggi, sehingga apa yang selalu dilakukan itu sesungguhnya di luar efikasi dirinya sebagai manusia normal. Makanya bila ada orang yang selalu menaruh rasa benci dan
sentimen terhadap sesamanya dan lingkungannya, maka orang itu dapat dikatakan telah terjangkit penyakit hati karena syahwat. Orang seperti itu, biasanya dalam hidupnya pasti akan ditambah penyakitnya oleh Allah SWT (Al-Quran). Sehingga sakit hati dan sentimen itu tidak akan pernah hilang dari sisi kehidupannya, bahkan telah membudaya pada dirinya secara terus menerus. Menghadapi dan menyikapi orang yang hatinya sakit karena syahwat ini, setiap orang dianjurkan agar selalu berhati-hati berhadapan dengan orang seperti itu, karena orang seperti ini bisa saja akan nekad menghabisi orang lain dalam bentuk pembunuhan secara fisik ataukah melakukan pembunuhan kerakter terhadap orang lain. Orang seperti ini sesungguhnya dapat dipastikan tidak bakal sembuh dari krakter kebencian dan sentimennya itu hingga ia tidak berdaya lagi dalam hidupnya. Kemungkinan ia tidak akan berbuat benci dan sentimen lagi, bila dirinya sendiri telah mengalami berbagai kemungkinan penyakit fisik, misalnya ; stroke, ginjal, lever, jantung dan semacamnya. Ia tidak melakukan sentimen dan kebencian lagi, bukan karena ia telah sembuh dari penyakit syahwatnya, tetapi karena fisiknya sudah tidak memungkinkan dan tidak berdaya lagi untuk melakukan kebencian dan sentimen itu dan akhirnya ia sendiri tinggal menunggu datangnya ajal untuk menjemputnya. Membunuh secara fisik apalagi kalau dilakukan secara sengaja, mudah dibaca dan pelakunya akan mudah dijadikan terdakwa dan akan dihukum bila terbukti bersalah dan dimasukkan ke dalam hotel prodeo. Tetapi membunuh secara krakter, agak sulit dibaca atau sulit diketahui, karena terkadang muncul melalui aktualisasi diri seseorang dalam berbagai forum. Orang bisa meyaksikan melalui media, apakah itu media elektronik atau media cetak, baik itu di forum politik atau di forum hukum. Sehingga tidaklah keliru sorotan sebagian orang selama ini bahwa terkadang sebuah kasus adalah kasus dalam ranah hukum, tetapi nampaknya melalui aktualisasi diri malah orang membawanya ke ranah politik untuk kepentingan kekuasaan atau kepentingan tertentu. Apabila kita kaji lebih dalam lagi, tidak lain faktor penyebabnya adalah karena hati orang telah sakit karena syahwat. Aktualisasi diri dalam makna positif sangat dibutuhkan dalam pengembangan sumber daya manusia, tetapi aktualisasi diri dalam makna negatif sangat berbahaya dan bisa membunuh krakter atau mengakhiri masa depan yang baik bagi orang lain. Hal ini tidak dapat disangkal karena berbagai fakta bisa dilihat dan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di kalangan birokrasi, akademisi ataupun di kalangan praktisi.
II. Ilmu dan Pengetahuan Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni “ilm” yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan itu sebenarnya berbeda, pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana dalam bahasa Inggris berbedanya antara science dan knowledge. Walaupun orang sering menyebutkan dengan kata ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ada orang yang mengetahui sesuatu, tetapi belum tentu ia berilmu, tetapi ketika ia memiliki ilmu tentang sesuatu, maka ia dapat dipastikan telah mengetahui tentang sesuatu itu. Kata “ilm” dalam bahasa Arab menggunakan tiga huruf, yaitu huruf ’ain, lam, dan miem. Tiga huruf itu kalau dikaji lebih dalam dari sisi bentuknya, maka sesungguhnya mengandung makna tersendiri, yakni ; 1. Huruf ‘ain bentuknya di depan, ibarat mulut buaya yang posisinya selalu terbuka dan menganga, ini menandakan bahwa mencari ilmu itu, orang tidak pernah merasa kenyang. Seseorang yang berilmu akan terus mencari pembenaran ilmiah melalui penelitian. Setiap saat ilmu dapat mengangkat derajat seseorang dalam kehidupannya. Dalam Al-Quran Allah SWT menyebutkan ; “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan “. Sekedar ilustrasi, orang-orang Pengadilan Agama di awal tahun 1980-an yang lalu, ramai-ramai masuk dan mendaftar belajar di Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi. Tujuannya untuk menambah wawasan pengetahuan di bidang ilmu hukum. Masalahnya sederhana, karena banyak orang yang menilai bahwa orang-orang Pengadilan Agama itu, kurang memahami tentang ilmu hukum (umum). Bahkan penulis pada waktu mendaftar kuliah di Fakultas Hukum, pihak Perguruan Tinggi memberikan persyaratan bahwa semua materi kuliah ilmu hukum (umum), terkecuali ilmu syariah harus diamfuling (dipelajari dan diujikan kembali). Ketika itu ada teman penulis ( alm. Arsyad Ahmad mantan KPTA Samarinda ) memprotes dan merasa dilecehkan almamaternya, lalu berkata “mohon maaf Pak”, kami ini sebenarnya sudah pernah belajar pada waktu kulia di IAIN. Kata Pak Dosen itu, ya betul… Anda pernah belajar di IAIN, tetapi yang Anda pelajari itu hanya kulit-kulitnya saja dan belum mempelajari intisarinya dan Anda belum dianggap mempelajari isi atau materi dari ilmu hukum itu secara lengkap. Dalam Rapat Kerja Nasional tahun 1993 di Bandung, penulis pada saat itu menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Pinrang Kelas II (Sulawesi Selatan), dan kebetulan ditempatkan sebagai peserta di salah satu komisi yang membidangi masalah pidana. Ketika
Habib Syarbini (mantan hakim agung) memimpin rapat komisi dan mempersilahkan masukan dan pendapat dari peserta, penulis mengangkat tangan dan mengemukakan pendapat masalah vonis “potong masa tahanan”, ada diantara peserta Rakernas, nyeletuk ; kenapa
ya orang
Pengadilan Agama bisa bicara tentang hukum pidana ? Peserta rapat komisi setuju dengan pendapat penulis, sehingga Pak Habib Syarbini selaku pimpinan rapat komisi pada waktu itu menerima konsep dan masukan tersebut untuk diajukan ke dalam sidang pleno. 2. Huruf lam sesudah ‘ain, panjangnya tidak terbatas. Bisa menjulang ke langit atas tanpa batas, bahkan bisa menjangkau cakrawala yang nun jauh di sana. Itu pertanda bahwa mencari ilmu itu tidak mengenal batas usia. Jadi tidak ada istilah terlambat belajar di S2 atau di S3. Semua orang berhak melakukannya, bahkan sejak dari buaian hingga ke liang lahat (kubur). Di dalam Islam masalah ilmu bahkan wajib hukumnya. Sebagai warga Mahkamah Agung RI, patut bersyukur karena hampir semua pimpinan di Mahkamah Agung telah menyelesaikan program S3nya di berbagai Perguruan Tinggi di tanah air. Sebutlah misalnya ; Ketua Mahkamah Agung Bapak Dr. H. Hatta Ali, S.H.,M.H., Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Bapak Dr. H. Ahmad Kamil, S.H.,M.Hum., Tuada Uldilag Bapak Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H.,M.H. dan beberapa hakim agung, seperti Bapak Dr.
H.
Mukhtar
Zamzami,
S.H.,
Bapak
Dr.
H.
Habiburrahman,
S.H.,M.H.,
Bapak Dr. H. Hamdan, S.H.,M.H., dan juga Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.H. Beliau yang satu ini cukup dikenal di samping sebagai praktisi hukum juga sebagai ilmuan dan sangat pantas diberi gelar maha terpelajar, karena hampir setiap ada mahasiswa program selaku promovendus yang akan maju ujian terbuka dalam, beliau tampil sebagai promotor atau copromotor. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.H., telah banyak menulis buku-buku ilmiah dan aktual yang tidak jarang memukau kalangan akademisi maupun praktisi. Penulis sendiri kagum dengan beliau dan telah memiliki sekitar 15 buku yang ditulisnya dan saat ini ikut menghiasi perpustakaan pribadi. Selain itu beberapa orang hakim tinggi dan hakim tingkat pertama sedang dalam penyelesaian program studi saat ini, baik di S2 maupun di S3. Atas prestasi akademik yang dimiliki warga Mahkamah Agung itu, kita berharap
akan dapat
bertambah jumlah kalangan intelektual di lingkungan Mahkamah Agung, khususnya warga Peradilan Agama. Kita percaya Insya Allah pada saatnya Peradilan Agama di masa yang akan datang akan lebih baik lagi, karena dikelola oleh orang-orang terbaik dan terpelajar
Sekedar ilustrasi, pada tahun 1997 ketika penulis bertugas sebagai Ketua Pengadilan Agama Sengkang Kelas I B dalam sebuah acara syukuran. Salah seorang kepala dinas di Pemda, bernama Drs. Mujahid, M.M. ikut hadir dalam acara syukuran tersebut. Begitu masuk di dalam ruangan upacara, langsung beliau disambut dan dipersilahkan duduk pada kursi bagian terdepan. Akan tetapi pada saat yang bersamaan muncul pula tamu lain yang juga akan hadir dalam acara tersebut bernama
Haji Mujahid ( salah seorang pedagang ) di Pasar Senteral Sengkang.
Nampaknya tamu ini tidak disambut dengan baik dan tidak dipersilahkan duduk pada kursi bagian terdepan, tetapi ia dipersilahkan duduk pada kursi bagian belakang. Nama kedua orang ini sama dan mungkin Haji Mujahid yang notabenenya sebagai pengusaha/pedagang ini memiliki uang yang lebih banyak jumlahnya dari pada Pak Mujahid yang menjabat di Pemda ini, akan tetapi dari segi kedudukan dan jabatan serta sisi keilmuan, tentu orang bisa berkata, secara formal Pak Mujahid lebih tinggi kedudukannya dari pada Haji Mujahid, namun di hadapan Allah SWT belum tentu karena ukuran ketakwaan yang menjadi patokan utama. 3. Huruf terakhir adalah huruf miem, yang meletakkan diri di dasar bawah, menunduk pertanda kefakiran ilmunya. Artinya, meskipun ilmu pengetahuan telah menjulang tinggi, seorang yang ’alim harus rendah hati bagaikan ilmu padi. Makin berisi, makin tertunduk dan tawadu. Sebuah ilustrasi, penulis pernah diajar oleh Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab dalam ilmu ”Tafsir Ahkam” di IAIN ”Alauddin” Makassar. Beliau ini pakar ilmu tafsir dan lulus dengan predikat ”Summa Cumlaude” di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Beliau dalam menuangkan ilmunya sangat sederhana dan hati-hati, beliau tidak pernah merasa diri dialah yang lebih tahu atas segalanya tentang ilmu tafsir. Ketika penulis bertanya kepada beliau selaku dosen pada waktu itu, bahwa kenapa ada orang yang menafsirkan ayat Al-Quran, nampaknya tidak dalam tataran makna yang sebenarnya. Beliau dengan tenangnya menjawab, bahwa di situlah kelebihan Al-Quran, dan oleh karenanya Al-Quran memiliki kemukjizatan (tantangan) untuk setiap saat kapan dan mana pun manusia itu berada. Menurut Prof. Quraish Shihab bahwa salah satu kelebihan dan keutamaan Al-Quran, diantara sekian banyak kelebihan dan keutamaan yang dimilikinya, bahwa setiap orang dapat melakukan penafsiran sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhannya. Namun tentu saja diperlukan argumentasi yang rasional, sehingga tidak terjadi penalaran yang sifatnya paralogis ataupun penalaran yang sofisme. Dengan demikian suatu penafsiran haruslah dipertimbangkan
faktor-faktor subjektivitas, kedalaman pengetahuan tentang uraian materi ayat, kemampuan dalam menerapkan metode atau kaidah, serta harus tetap memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat.1 Dengan kriteria seperti itu, maka diharapkan penafsiran tentang sebuah ayat Al-Quran akan sesuai makna dan tujuannya. Argumentasi yang rasional, minimal memiliki tiga aspek pendekatan, yaitu ; aspek logika, aspek dialektik dan aspek prosedural 2. Aspek logika sebagai argumentasi merupakan ars (keterampilan ilmiah) yang sangat dibutuhkan pada saat mengajukan jawaban dan tanggapan disetiap level kegiatan ilmiah. Tentu saja logika sangat diperlukan bagi seorang akademisi ataupun seorang praktisi. Menurut Juhaya S.Pradja, pada dasarnya pengetahuan itu memiliki tiga kriteria yaitu ; 1. Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran 2. Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenarnya 3. Adanya keyakinan tentang persesuaian itu 3. Gagasan dalam pikiran manusia adalah ide yang terdapat dalam alat pikir yang disebut akal atau otak. Semua orang tidak ada yang dapat menggambarkan bentuk konkret dari akal. Yang ada hanyalah bentuk fisikal otak yang terdapat di dalam kepala manusia. Oleh karena itu ketika seseorang kepalanya terbentur tembok dan mengalami muntah-muntah, disebutlah geger otak, bukan geger akal, apalagi geger pikir. Akan tetapi jika seseorang mengalami geger otak secara otomatis akan berakibat pada cara kerja otak itu sendiri, misalnya mengalami kesulitan berpikir, telat mikir dan sebagainya. Bahkan jika ada urat saraf yang tersambung ke otak tersumbat, yang menerima dampaknya bukan hanya kinerja alat pikir, sehingga ”nyaris” tidak mampu untuk berpikir secara normal, tetapi bisa jadi semua organ tubuhnya akan terganggu. Misalnya orang yang terkena stroke atau terkena virus GPS akan mengalami kelumpuhan, tidak mampu berbicara dan hubungan gerak anggota badan, seperti tangan, kaki dan organ lainnya ke saraf otak terhambat. Dengan pemahaman tersebut, tentu yang dimaksud dengan sistem gagasan dalam pikiran manusia adalah lancarnya kerja otak dalam menangkap segala sesuatu, baik melalui intuisi, logika, dan nalar. Artinya bagaimana upaya seseorang mengembangkan daya
1
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Jakarta, 2001, hlm. 79 Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 18. 3 Juhaya S.Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Kencana, Jakarta,2008, hlm. 6 2
nalar dalam sebuah ide tentang sesuatu yang dimaksudkan dan membentuk konsep demi sesuatu yang digagas. III. Ide atau Gagasan Objek kajian epistimologi adalah pengetahuan yang salah satunya berasal dari adanya gagasan dalam pikiran manusia. Ini sama halnya kita menyatakan bahwa objek kajian filsafat ilmu adalah gagasan manusia, karena asal muasal pengetahuan salah satunya dari gagasan itu sendiri. Dalam bahasa lain, gagasan itu adalah ide dan ide merupakan potensi manusia dalam mengarungi kehidupan, mengembangkan wawasan dan merubah paradigma dari paradigma lama ke paradigma baru. Dapat dibayangkan jika seseorang tidak memiliki ide, tentu pada saat ia akan mendirikan salat akan kehujanan, kepanasan, dikencingi anjing dan sebagainya yang semuanya serba tidak enak dan tidak indah. Akan tetapi ide itu memang luar biasa, pengetahuan menjadi berkembang pesat karena ide manusia. Oleh karena itu tidak heran, jika Plato mengatakan bahwa asal muasal segala sesuatu adalah ide. Semua yang bersifat materiil pada dasarnya tidak nyata, yang riil adalah ide. Konsep dan nama-nama materiil menjadi nyata disebabkan oleh adanya ide. Idelah yang memberikan nama dan konsep-konsep segala sesuatu, termasuk dalam hal reformasi birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung dan lebih khusus lagi di peradilan agama. Sebagai ilustrasi, gagasan itu amat penting dalam konteks pengetahuan manusia. Penulis ingin memberikan contoh bahwa yang dimaksud dengan masjid dalam batasan pertama, yaitu semua bumi atau tanah adalah masjid, kecuali kuburan dan tempat buang hajat. Sehingga orang salat bisa dan di mana saja , yang penting di atas tanah, dan bukan di atas kuburan atau di tempat buang hajat. Akan tetapi ada binatang lewat di depan orang yang sedang salat, malah buang hajat di tempat sujudnya. Orang pun berpikir bahwa salat di sembarang tempat yang tidak berdinding akan terganggu kekhusyukannya oleh binatang atau apa saja yang melintas di depannya. Oleh karena itu tempat salat itu pun harus dikelilingi dinding, sehingga bagi yang sedang salat tidak terganggu oleh apapun dan siapapun dan tidak ada sesuatu yang melintas di depan orang yang sedang salat. Akan tetapi tiba-tiba turun hujan lebat, udara pun bertiup kencang dan sangat dingin, semua itu bisa mengganggu kekhusyukan salat. Orang pun berpikir lagi kalau begitu tempat salat itu harus yang berdinding dan juga harus beratap, tetapi tidak memiliki pintu, sehingga seekor anjing atau kucing masih bisa masuk dan membuang air kecil di pojok bangunan masjid tersebut. Orang pun berpikir kembali bahwa tempat salat itu harus berdinding, beratap,
memiliki pintu dan jendela, bahkan bila perlu dapat dikunci agar terhindar dari tangan-tangan jahil sebagai tamu yang tak diundang (pencuri). Ilustrasi di atas adalah gagasan yang muncul dalam pikiran manusia yang kemudian memberi batasan tentang ”masjid” yang sebenarnya, sehingga meskipun ada hadis yang menyatakan bahwa semua bumi adalah masjid, semua orang akan sepakat bahwa yang layak disebut masjid adalah bangunan yang berdinding, beratap, memiliki pintu dilengkapi dengan berbagai asesoris lainnya. Memang tidak ada larangan orang salat di atas tanah yang tidak terdapat bangunannya. Hanya saja hal itu dilakukan dalam kondisi darurat atau salat berjamaah Idul Fitri atau salat Idul Adha ataukah salat minta hujan. Bisa dibayangkan ketika defenisi masjid sebagaimana yang pertama, bahwa semua bumi adalah masjid. Ketika ada orang yang tersesat di jalan, lalu bertanya kepada seseorang yang dia temui. ” Apakah Bapak tahu rumah Panitera/Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu ? Lalu dijawab, ”Oh.....rumahnya Pak Panitera/Sekretaris dekat masjid sana !. Orang itu akan kebingungan mencari rumah Pak Panitera/Sekretaris, jika semua tanah adalah masjid. Tentu yang dimaksudkan dengan masjid di situ adalah bangunan tempat salat. Bahkan sekarang seluruh masjid memiliki nama, sehingga jawabannya akan lebih lengkap dan memudahkan jalan atau petunjuk bagi yang tersesat tadi, misalnya ; oh .... rumah ketua Pak Panitera/Sekretaris itu pas didekatnya masjid Al-Mahkamah. Inilah manfaatnya orang selalu memiliki gagasan. Jika ada orang yang sama sekali tidak memiliki ide atau gagasan dalam pikirannya, maka orang seperti ini akan statis dalam hidupnya, padahal yang dibutuhkan dalam era globalisasi ini adalah manusia yang kaya ide atau kaya gagasan dan hidupnya selalu dinamis. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, rasanya modul pencitraan yang sering dilakonkan oleh sebagian pejabat sudah bukan zamannya lagi. Orang saat ini membutuhkan pemikir-pemikir yang brilian dalam mengelola kehidupan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat di berbagai bidang institusi. Tantangan yang biasa ditemui di lapangan, terkadang antara satu orang dengan orang lain berbeda idea atau ada pula orang terlalu sulit untuk menerima sesuatu idea, bila idea itu datang dari orang lain. Hal ini terjadi mungkin karena orang itu sangat egois dalam krakter hidupnya, atau karena merasa bahwa yang bisa melahirkan idea hanya dirinya sendiri karena latar belakang faktor birokrasi atau bisa juga karena ada pihak lain yang ikut campur dalam menentukan sebuah idea untuk membangun sebuah paradigma baru. Yang pasti idea atau gagasan baru dalam merubah paradigma lama ke paradigma baru sangat diperlukan dalam rangka mengaplikasikan Reformasi Birokrasi.
Salah satu contoh ide atau gagasan yang patut mendapat acuan jempol di lingkungan peradilan agama, yakni apa yang diputuskan dan disepakati oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia dalam sebuah ”Loka Karya” pada tanggal 29 Februari 2012 di Jakarta. Hasil Rumusan lokakarya yang bermaksud sebagai upaya Peningkatan Peran Pengadilan Tinggi Agama Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung RI, diperkuat dengan
surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor
1207/DJA/HK.00.7/SK/VII/2012 tentang Pedoman Pemberdayaan Hakim Tinggi sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung. Inti dari materi lokakarya itu, mereka sepakat membuat dan menyusun ”Pedoman Pembinaan dan Pengawasan” di lingkungan peradilan agama. Dalam tataran aplikasi ternyata, beberapa Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia telah melaksanakan amanah dari lokakarya itu dengan menyesuaikan kondisi daerah masing-masing, namun ada pula PTA masih jalan di tempat dalam arti belum bersedia menerima konsep dari hasil lokakarya itu, sehingga pada akhirnya PTA yang bersangkutan belum memiliki pedoman dan acuan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan surat keputusan Dirjen Badilag. Apa yang terjadi di lapangan, ketika hakim tinggi pengawasnya turun ke daerah, mereka bingung dan bengong, apa yang harus dilakukan. Kalau pun mereka bekerja atau melakukan sesuatu, paling tidak hanya mengandalkan modal dan pengalaman mereka yang dimiliki selama menjadi hakim. Dan hal itu sangat meragukan efektivitas pembinaan yang dilakukan, sebab dan ada hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dan bisa jadi bertentangan dengan konsep reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Unit organisasi yang enggan atau belum menerapkan amanah lokakarya yang ditindaklanjuti dengan surat Dirjen Badilag, walaupun gagasan dan idea itu baik, tidak perlu dipertentangkan, apalagi kalau kita membawa masalah itu ke dalam teori dan kajian ilmiah. Sikap yang ditampilkan oleh seseorang dalam memahami sebuah idea atau gagasan belum tentu salah, boleh jadi kebijakan seseorang itu mengandung nilai kebenaran, minimal di dalamnya mengandung kebenaran estetis. Sebagaimana diketahui bahwa kebenaran estetis adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan tentang keindahan dan keburukan. Sedangkan kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan 4.
4
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu,Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 7.
Dan kalau dihubungkan dengan nilai etika dan estetika, gagasan atau ide, biasanya penentu kebijakan dapat kembali menggali sebuah rumusan untuk melihat tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Dengan belajar etika diharapkan dapat dibedakan antara etika, norma dan moral. Di samping itu akan dapat diketahui tingkah laku apa yang baik menurut teori-teori tertentu dan sikap yang baik sesuai dengan kaidah-kaidah etika. Jadi objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan itu secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan dari tingkah laku tersebut. Etika antara lain mempelajari tentang apa yang dimaksud baik atau buruk ?. Apa syarat-syarat sesuatu perbuatan dikatakan baik secara moral ?. Bagaimana hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan manusia ?. Apa yang dimaksud dengan kesadaran moral ?. Bagaimana peranan hati nurani dalam setiap perbuatan manusia ?. Adapun keterkaitannya dengan estetika atas sebuah idea atau gagasan, termasuk penyusunan dan pembuatan buku ”Pedoman Pembinaan dan Penagawasan”. Sebagaimana dipahami bahwa estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan. Objek dari estetika pengalaman akan keindahan. Dengan belajar estetika diharapkan dapat dibedakan antara estetika filsafati dan estetika ilmiah, teori-teori keindahan, pengertian seni, penggolongan seni, nilai seni, aliran dalam seni dan teori penciptaan dalam seni. Estetika antara lain mempelajari tentang apakah keindahan itu ?. Apakah keindahan bersifat objektif atau subjektif?. Apa ukuran keindahan itu ?.Apa peranan keindahan dalam kehidupan manusia ?. Bagaima hubungan keindahan dengan kebenaran. Gagasan dalam pikiran manusia yang membentuk penalaran, merupakan alat mencari solusi bagi masalah yang dihadapi untuk setiap saat atau mungkin setiap detak jantung manusia. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu ; 1. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dengan demikian setiap penalaran memiliki logika masing-masing, artinya merupakan proses berpikir logis. 2. Adanya sifat analitik dari proses berpikir. Dalam menganalisis persoalan yang sedang dinalar, digunakan hukum-hukum logika yang berlaku. Jika berpikir ilmiah, hukum logika yang dipergunakan adalah logika ilmiah, karena hukum logika yang lain akan mengaburkan proses analisis dan penarikan kesimpulan. Hal inilah yang menjadi penyebab bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan analitis,
sebagaimana menganalisis sesuatu dengan perasaan, padahal perasaan tidak termasuk pada penalaran. Hanya saja, gagasan bisa lahir dari perasaan yang peka yang disebut dengan intuisi. 3.Adanya Intuisi dari proses berpikir. Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Berpikir intuitif memegang peranan penting dalam masyarakat yang berpikir non analitik, yang kemudian sering bergulau dengan perasaan. Jadi, secara luas dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir non analitik yang berupa intuisi dan perasaan 5. Ketiga ciri penalaran ini, perlu dimiliki oleh seseorang terutama di dalam mengambil sebuah kebijakan. Demikian pula seorang hakim di dalam dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan di pengadilan. Penulis ingin mengemukakan ilustrasi, sebagai berikut ; 1. Berpikir logis dengan menggunakan logika. Hakim tinggi mengeluarkan putusan sela dengan amar pertama, memerintahkan hakim tingkat pertama untuk melakukan decente (pemeriksaan setempat) atas beberapa objek sengketa yang terletak di berbagai daerah di Indonesia ( Jawa dan di luar Jawa ), sementara dalam amar kedua, memerintahkan pula untuk memanggil para pihak agar hadir dalam persidangan di sidang pengadilan tingkat banding dalam waktu tujuh hari kemudian. Putusan sela seperti ini tidak logis, karena ; a. Mengapa hakim banding memerintahkan hakim tingkat pertama melakukan decente (pemeriksaan setempat) tanpa ada batasan waktu, padahal objek sengketa tersebar di beberapa daerah di Indonesia b. Mengapa hakim banding menentukan hari sidang di peradilan tingkat banding dalam waktu tujuh hari kemudian c. Apakah mungkin ada pemeriksaan di tingkat banding dalam waktu tujuh hari kemudian, sementara pelaksanaan sidang decente (pemeriksaan setempat) di pengadilan tingkat pertama belum dilaksanakan, mengingat butuh waktu yang cukup lama, karena objek sengketa terletak di berbagai daerah kota dan kabupaten
5
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta, hlm. 4.
d. Pertanyaan kemudian, apa yang mau diperiksa oleh hakim tingkat banding pada saat ia membuka sidangnya di Pengadilan tingkat banding?. 2. Berpikir analitik. Pihak Tergugat membantah dalil Penggugat bahwa tidak benar kalau dikatakan terjadi percekcokan dan perselisihan. Selama ini kehidupan rumah tangga kami tidak pernah ada cekcok dan perselisihan, walaupun saat ini Tergugat telah kembali ke rumah orang tuanya. Hakim membebankan pembuktian kepada Penggugat tentang adanya cekcok dan perselisihan. Sementara membebankan pula pembuktian kepada Tergugat tentang tidak adanya cekcok dan perselisihan. Pembebanan pembuktian kepada Tergugat seperti ini, kelihatannya hakim tidak melakukan analisis yang tajam. Penulis ingin mengemukakan ilustrasi sebagai berikut ; a. Bagaimana mungkin hakim membebankan pembuktian kepada Tergugat untuk menyatakan sesuatu bahwa cekcok dan perselisihan itu ”TIDAK” b. Apakah tidak cukup beban pembuktian itu kepada Penggugat, karena dalilnya dibantah oleh Tergugat, bahwa benar telah terjadi cekcok dan perselisihan ”PEMBUKTIAN POSITIF’ c. Apakah tidak cukup bukti bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat ada cekcok dan perselisihan, karena keduanya telah berpisah tempat tinggal selama beberapa tahun ? d. Dalam praktik ditemukan fakta, bila pembuktian dibebankan kepada Tergugat, maka saksi-saksi Tergugat malah mendukung kebenaran dalil-dalil Penggugat. Dalam tatanan seperti ini sesungguhnya kita tidak berada lagi dalam area beban pembuktian, tetapi kita telah berada dalam ranah penilaian pembuktian. 3. Berintuisi. Setiap Pengadilan telah memiliki SOP ( Standar Operasional Prosedure ). Jadi setiap langkah kegiatan di Pengadilan itu telah diatur sedemikian rupa polarisasi waktu dari sejak penerimaan perkara sampai pada proses di persidangan dan penjatuhan putusan. Hakim seharusnya memiliki intuisi bahwa perkara ini tidak boleh secara sengaja dilarut-larutkan
atau
dilambatkan
prosesnya,
sehingga
terkesan
lamban
penanganannya yang pada akhirnya akan menyalahi SOP yang telah dibuatnya sendiri. Kendala yang biasa dialami oleh Pengadilan Agama, karena keterikatan hakim dalam memahami bahwa hukum acara itu sifatnya imperatif, sehingga tidak boleh ada penemuan hukum di dalamnya. Menurut penulis dalam kasus tertentu bisa saja hakim menemukan hukum, baik berdasarkan ketentuan hukum yang ada peraturan perundang-undangan ataupun berdasarkan asas hukum acara perdata, karena fungsi hakim itu di samping sebagai pelaksana hukum, juga ia penemu hukum bahkan dapat menciptakan hukum. Contoh kasus yang sering ditemukan di berbagai Pengadilan Agama, bila ada dua orang suami istri yang saling menggugat dalam objek dan subjek yang sama. Ketika ditanya kepada petugas meja satu, mengapa Anda mau menerima pendaftaran dua jenis perkara (gugatan talak dan gugatan cerai), padahal perkaranya cuma satu, objek dan subjek hukumnya hanya satu. Dijawab oleh petugas meja satu bahwa tidak ada kewenangan dan alasan untuk menolak perkara yang diajukan oleh para pihak, karena hal itu merupakan kewenangan hakim. Di sinilah diperlukan intuisi hakim dalam menemukan hukum dan berdasar pada asas hukum acara, cepat sederhana dan biaya ringan, sehingga tidak perlu terlalu jauh memproses perkara itu. Apa salahnya berdasarkan bukti pendaftaran pada meja satu, salah satu perkara itu harus dinyatakan tidak dapat diterima. Karena hakim di sini tidak menggunakan intuisinya dan pendekatannya hanya dalam tataran pendekatan normatif, maka kedua perkara pun diproses sampai pada pembuktian dan seterusnya sampai pada penjatuhan putusan oleh dua majelis hakim yang berbeda, padahal objek dan subjek hukumnya sama. Pertanyaan pun akan lahir, apakah dengan cara pemeriksaan seperti itu tidak bertentangan dengan asas dalam hukum acara perdata, cepat, sederhana dan biaya ringan. Sekedar ilustrasi ; a. Hakim itu seharusnya memiliki intuisi bahwa berkas perkara ini memang benda mati, tetapi pihak-pihak yang bersangkutan telah menunggu sekian lama dan butuh kepastian hukum dari pengadilan b. Hakim harus melihat fakta yang ada (fakta sekarang dan fakta yang akan datang) dengan menggunakan intuisi apa logis atau tidak logis ?
c. Hakim harus memutus berdasarkan kepatutan dan biasanya kepatutan itu didasari dari intuisi yang dimiliki oleh hakim. Pemikiran tentang adanya gagasan dalam pikiran, adanya penalaran analitik, non analitik atau intuitif adalah objek kajian yang mendasar dalam epistemologi. Sumber pengetahuan manusia, termasuk hakim berasal dari gagasan, ide, nalar dan intuisi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada diri seseorang itu terdapat gagasan analitik dan ada gagasan intuitif. Sumber adanya gagasan itu bermacam-macam, sebagaimana sumber intuisi pun tidak dalam satu bentuk. Sumber gagasan adalah akal pikiran manusia, sedangkan sumber intuisi adalah kepekaan perasaan manusia dalam menangkap berbagai isyarat metafisikal atau supranatural, bisa saja berasal dari wahyu bagi seorang Nabi dan Rasul, atau dari ilham bagi orang-orang yang dipilih oleh Tuhan atau bahkan ada yang datang dan muncul dari mimpi. Selain itu , akumulasi pengalaman manusia dapat dijadikan sumber pengetahuan analitik dan intuitif, sehingga kebenaran yang diperoleh atas nalar analitik dan intuitif yang bersandarkan dari pengalaman dapat ditemukan dua kategori kebenaran, yakni kebenaran ilmiah yang rasional empirik dan kebenaran normatif-intuitif. Kedua kebenaran tersebut disebabkan oleh adanya relevansi antara gagasan dengan kenyataan materiilnya, dan relevansi antara kejadian dengan keyakinan terhadap perasaannya. Oleh karena itu nalar, intuisi dan proses kerjanya masing-masing biasanya berakhir pada keyakinan tentang persesuaian yang dimaksudkan. Hanya bedanya, jika nalar didominasi oleh gagasan dalam pikiran, sedangkan intuisi didominasi oleh kekuatan perasaan atau yang lebih dikenal dengan pengetahuan rasa (makrifah adz-zauqiyah). IV. Intuisi dan Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan Sumber pengetahuan adalah rasio dan pengalaman, yang masing-masing saling mengklaim sebagai yang paling utama. Dengan gagasan atau ide dalam pikiran, pengetahuan tanpa pengalaman akan mampu dikeluarkan. Rasio disebut juga dengan akal. Demikian pula empirisme yang ngotot bahwa pengalamanlah yang merupakan sumber utama pengetahuan. Akan tetapi menurut rasionalisme, apapun alasannya dalam kehidupan beragama, bahwa meskipun Al-Quran itu mukjizat dan As-Sunnah sebagai keteladanan Muhammad sebagai Rasulullah yang terjaga dari kesalahan, keduanya merupakan wahyu yang matlu dan ghairu matlu, dalam realitasnya tidak pernah lepas dari peran akal manusia, baik dalam menerjemahkan maknanya maupun berbagai penafsiran dan metodologinya. Akal berfungsi melakukan penalaran terhadap berbagai kejadian dari pengalaman dan pengetahuan indrawi. Penalaran yang valid
adalah wahyu yang ditransmisi oleh akal, sehingga akal yang sesuai dengan wahyu. Kesahihan transmisi data otoritatif melahirkan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi landasan ilmuilmu lainnya. Menurut Harun Nasution akal adalah karunia terbesar Tuhan yang diberikan kepada manusia dan akal lah yang membuat manusia berbeda dengan malaikat dan hewan 6. Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal pula yang membuat manusia menjadi tinggi derajatnya dan makhluk yang mulia. Apabila akal manusia dicabut, kemungkinan manusia akan berubah menjadi hewan. Di dalam risalah At-Tauhid, karya Muhammad Abduh, dikatakan akal manusia dibagi dua. Pertama, akal kaum awwam dan Kedua, akal kaum khawas 7. Kedua akal tersebut berbeda, karena akal awwam hanya memiliki kemampuan memahami masalah-masalah yang sederhana. Sedangkan akal orang-orang khawas mampu memahami masalah-masalah yang sulit dan rumit. Perbedaan daya akal ini, sesungguhnya bukan hanya karena latar belakang pendidikan yang berbeda, akan tetapi juga karena perbedaan pembawaan alami dalam bentuk intuisi seseorang yang terletak di luar kehendak dan kekuasaan manusia. Itulah sebabnya sangat diperlukan hakim-hakim yang memiliki intuisi yang tinggi, apalagi kalau ia didukung dengan logika dan penalaran yang memadai. V. Ilmu Menurut Terminologi 1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistimatis, dapat diukur dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi. Contoh ilmu ; Ilmu tentang salat a. Koheren
> mencakup semua rukun dan syarat dalam salat
b. Empiris
> ada gerakan tubuh dalam penyembahan
c. Sistimatis
> ada keteraturan mulai takbir, ruku, sujud dan salam
d. Terukur
> ada batas waktu pelaksanaan salat, lima waktu
e. Terbukti
> salat ada, karena perintah dalam Al-Quran
Contoh iman ; Iman tentang salat a. Keyakinan > salat atas perintah Allah SWT (gaib) b. Penghayatan > renungan salat itu atas perintah Allah dari Al-Quran
6 7
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, UI Press, Jakarta, hlm. 35. Muhammad Abduh, 1366 H., Risalah At-Tauhid, Dar Al-Manar, Kairo, hlm. 110.
c. Pengamalan > ada pelaksanaan salat. VI. Ilmu dan Pengetahuan. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistimatikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik. Pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi, baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan8. VII. Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan Ilmu itu sistimatis, metodologis, terukur dan terbukti. Pengetahuan tidak ada metodologi di dalamnya, tidak sistimatis dan juga tidak terukur. Artinya pengetahuan sesuai dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap sesuatu. Contoh ; 1. Ilmu tentang sapu lidi a. Sistimatis
; Kumpulan yang terdiri dari beberapa lidi
b. Metodologis ; Mengumpulkan lidi melalui cara atau metode tertentu, yaitu dikumpulkan, dipotong dan diikat c. Terukur
; Ukuran sapu lidi sebesar genggaman tangan manusia
d. Terbukti ; Yang dipakai menyapu adalah sapu lidi dan membersihkan. Pengetahuan tentang sapu lidi. > Lidi-lidi itu diambil atau diperoleh dari akar daun-daun kelapa. 2. Ilmu tentang seekor gajah. a. Sistimatis
; Gajah itu adalah sejenis binatang, buas dan berkaki empat
b. Metodologis ; Bisa difungsikan untuk hiburan rakyat (sirkus ) c. Terukur
; Ukurannya tergolong binatang yang paling besar
d. Terbukti
; Ditemukan di Pulau Sumatera.
Pengetahuan tentang seekor gajah. 8
Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 3.
a. Amir mengatakan ; gajah itu lebar telinganya b. Budi mengatakan ; gajah itu keras kulitnya c. Coi mengatakan
; gajah itu tinggi dan besar.
Ilmu tidak memerlukan kepastian berkenaan dengan penalaran seseorang, sebab ilmu sendiri dapat memuat dan menemukan hipotesis-hipotesis dan teori-teori secara tersendiri dan berkembang sesuai kondisi, ruang dan waktu. Contoh ilmu ; 3. Ilmu tentang penetapan 1 Ramadan 1433 H. Ilmu astonomi ; Penalaran ahli astronomi, bahwa bila hilal berada pada posisi 1 derajat di bawah ufuk, maka pasti hilal tidak dapat dirukyat (dilihat) Sumber ilmu ; Perhitungan tentang posisi bumi dan matahari 4. Ilmu rukyat ; Penalaran ahli rukyat, bahwa bila hilal belum dapat dirukyat, berapapun derajat di bawah ufuk, puasa digenapkan 30 hari. Sumber ilmu ; Hadis Nabi SAW. Contoh Pengetahuan ; 5. Tentang 1 Syawal 1433 H ; Pengetahuan orang
; Penanggung jawab di bidang keagamaan, termasuk penetapan 1
Syawal 1432 H., adalah Pemerintah ( Kementerian Agama RI ). Sumber pengetahuan ; Keputusan Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, yang di dalamnya terdapat beberapa unsur Ormas Islam. VIII. Kesimpulan Alhasil, objek filsafat ilmu adalah pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan tiga cara, yaitu ; Pertama, dari gagasan dalam pikiran atau ide . Kedua, dari pengalaman dan Ketiga, dari intuisi seseorang. Perhatian yang mendalam terhadap pengetahuan ujung-ujungnya berpangkal dari rasio dan rasa atau akal dan hati. Karena manusia tidak memiliki apapa pun untuk melahirkan sebuah gagasan atau ide, kecuali disebabkan oleh adanya pemikiran atau penalaran terhadap segala sesuatu yang diproduk oleh akal dan hati. Gagasan dan idea serta logika dan intuisi sangat diperlukan dalam membangun dan mengembangkan sebuah institusi, termasuk dunia peradilan. Dengan menggunakan gagasan dan idea yang didasari pada intuisi dan logika itu akan melahirkan produk-produk yang berdasar
pada kebenaran ilmiah. Untuk mencapai kebenaran ilmiah itu harus diubah cara berpikir dari paradigma lama ke paradigma baru disertai dengan perilaku yang baik dilandasi dengan semangat kebersamaan dan keikhlasan. Mempertahankan konsep-konsep lama yang tidak sesuai dengan era reformasi birokrasi masa kini, pasti semua orang akan berkata, termasuk pimpinan Mahkamah Agung RI bahwa kini sudah saatnya cara berpikir yang lama dan kuno itu sudah harus ditanggalkan. Semoga peradilan agama di masa yang akan datang akan lebih modern dalam mengantisipasi perubahan sosial dan perkembangan teknologi yang makin cepat di era globalisasi ini. Reformasi birokrasi harus diwujudkan dalam kehidupan organisasi yang lebih modern. Setiap kebijakan dalam bentuk apapun namanya, kini sudah saatnya harus dibangun dengan kerangka dan metodologi cara berpikir yang lebih baik dengan berdasar pada intuisi, logika dan nalar yang bisa diuji kualitas kebenarannya kapan pun dan di mana pun kita berada (mengabdi) sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Semoga........
DAFTAR PUSTAKA
1. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu,Pustaka Setia, Bandung, 2009. 2. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, UI Press, Jakarta, 2001 2. Juhaya S.Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Kencana, Jakarta,2008. 3. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta, 2009. 4. M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Jakarta, 2001. 5. Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 3. 6. Muhammad Abduh, Risalah At-Tauhid, Dar Al-Manar, Kairo, 1366 H. 7. Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.