621
Mengenal biota alam penghasil bakterisida... (Asmanelli)
MENGENAL BIOTA ALAM PENGHASIL BAKTERISIDA DAN PROBIOTIK UNTUK BUDIDAYA PERIKANAN Asmanelli dan Muliani Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litk
[email protected]
ABSTRAK Indonesia memiliki sumberdaya alam hayati berlimpah dan berpotensi menghasilkan senyawa biotoksin untuk zat antibakteri, antifungi, maupun antiseptik. Senyawa bioaktif yang dihasilkan dari biota perairan merupakan salah satu alternatif sumber obat baru untuk penanggulangan penyakit pada budidaya perikanan. Bakterisida dan probiotik merupakan produk biologi yang dihasilkan dari ekstrak biota alam yang ramah lingkungan. Biota alam laut merupakan aset nasional dengan nilai ekonomis tinggi. Biota alam laut akan menjadi sumber utama molekul baru bioaktif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri pangan dan obat-obatan, perikanan budidaya dan pasca panen. Beberapa jenis biota laut yang potensial sebagai bakterisida dan probiotik adalah sponge dan asosiasinya, hidrozoa, mangrove, dan asosiasinya, mikroorganisme laut, makroalga, dan mikroalga. Ekstrak produk alam ini tidak meninggalkan residu dan mudah terdegradasi. Tulisan ini menyajikan informasi dan kajian ilmiah tentang efektivitas senyawa bioaktif dari biota alam, khususnya biota laut sebagai bakterisida dan probiotik untuk penanggulangan dan pencegahan penyakit pada budidaya perikanan. KATA KUNCI:
biota alam, bakterisida, probiotik, vibrio, akuakultur
PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, baik berupa flora maupun fauna yang hidup di darat, perairan tawar, maupun perairan laut. Diungkapkan oleh Prof. Tri Hanggono, Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, bahwa keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia (15,3% dari 5.131.100 keanekaragaman hayati dunia) setelah Brazil, dan sebagian besar keanekaragaman hayati tersebut berpotensi untuk dijadikan obat (Hanggono, 2010). Namun saat ini baru dimanfaatkan kurang lebih 5% dari potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki. Dari keseluruhan potensi sumberdaya hayati yang ada sebagian besar bersumber dari laut. Diketahui bahwa lebih dari 50% terumbu karang sebagai tempat tumbuh berbagai biota laut non-konvensional serta 50% vegetasi mangrove penghasil bioaktif dunia terdapat di perairan dan pesisir Indonesia (Ahmad & Suryati, 2006). Sumber keragaman hayati di laut ini sebagian telah diteliti kandungan bioaktifnya agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri terutama pangan dan obat-obatan. Keanekaragaman hayati laut seperti hutan bakau, terumbu karang, makroalga, dan mikroalga merupakan kekayaan alam yang potensial memiliki senyawa bioaktif untuk antibakteri maupun antivirus. Bioaktif biota laut mempunyai efek nyata, karena mampu menghasilkan senyawa biotoksin yang mempunyai aktifitas biologis terhadap organisme lainnya (Parenrengi et al., 2002). Penggunaan obat-obatan sintetis dalam penanggulangan penyakit selama ini telah banyak menimbulkan masalah, pemakaian bahan kimia dan antibiotik secara terus-menerus dengan dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme terhadap bahan tersebut. Selain itu, biaya produksi juga tinggi, dan terjadi bioakumulasi residu bahan kimia pada organisme non target, serta pencemaran lingkungan yang pada gilirannya dapat terbawa sampai rantai makanan paling tinggi. Muliani et al. (2004b) telah melakukan uji resistensi sedikitnya 691 isolat bakteri vibrio terhadap beberapa jenis antibiotik, dan hasilnya menunjukkan pencapaian tingkat resistensi sebesar 94,6%.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
622
Mengingat cukup kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan, telah dilakukan upaya terobosan untuk mencari sumber alternatif bahan obat yang aman yang digali dari sumberdaya alam kita sendiri. Produksi obat-obatan alami seperti antibiotik atau bakterisida yang ramah lingkungan, dapat berasal dari ekstrak biota perairan penghasil senyawa kimia metabolit sekunder (bioaktif) ataupun bakterisida yang berasal dari mikroorganisme itu sendiri yang berfungsi sebagai zat antibakteri, antivirus, antifungus atau lainnya. Pada penggunaanya sebagai bakterisida, ekstrak produk alam tersebut tidak meninggalkan residu karena segera terdegradasi secara alami. Berbagai kegiatan penelitian dalam rangka memanfaatkan bioaktif dari biota laut guna mendapatkan obat-obatan alami yang efektif masih terus dilakukan. Sumber-sumber bakterisida dan bakteri probiotik yang telah diteliti di antaranya dari air laut, sedimen tambak, terumbu karang, dan daun mangrove (Tjahyadi et al., 1994; Suryati et al., 1995; Rosa et al., 1997; Hala, 1999; Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003; Muliani et al., 2004a). Sementara ini, kegiatan penelitian lebih banyak diarahkan dalam upaya mencari dan memanfaatkan bioaktif biota laut sebagai sumber obat-obatan alternatif untuk menanggulangi penyakit udang sekaligus sebagai biokontrol dalam budidaya perikanan. Pengembangan teknik penanggulangan penyakit melalui pemanfaatan bioteknologi, menjadi salah satu faktor penentu untuk peningkatan keberhasilan produksi budidaya udang. Tulisan ini berusaha menyajikan informasi dan kajian ilmiah mengenai jenis dan efektivitas biota alam, khususnya biota alam laut sebagai alternatif penghasil bakterisida dan probiotik sebagai biokontrol dalam menanggulangi serangan penyakit pada budidaya perikanan. Pengumpulan data diperoleh melalui penulusuran pustaka dengan merujuk hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau di Maros maupun dari hasil peneliti luar lainnya. PENDEKATAN MASAL AH Salah satu kendala yang dapat menghambat peningkatan produksi budidaya udang adalah adanya serangan penyakit virus dan bakteri. Penyakit yang sering menjadi kendala besar bagi para petambak udang windu saat ini adalah penyakit vibriosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri vibrio, yang pada tahap lanjut dapat menimbulkan serangan virus yang dikenal dengan penyakit WSSV (white spot syndrom virus). Perkembangan resistensi terhadap berbagai jenis obat adalah masalah utama dalam pengobatan penyakit infeksi ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, di antaranya adalah penggunaan ekstrak bahan-bahan alam. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa selain untuk mengatasi serangan penyakit vibriosis, ekstrak bahan-bahan alam dapat juga berfungsi sebagai biokontrol dalam lingkungan perairan dan menurunkan jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh udang. Keunggulan bahan-bahan alam cenderung tidak menimbulkan efek samping dan mudah terdegradasi sehingga aman dalam penggunaannya. Sedangkan penggunaan obat-obatan sintetis pada akhirnya dapat mengakibatkan kelainan bentuk (deformities) pada larva udang dan tahap lanjut dapat mengakibatkan kekebalan (resistensi) bakteri terhadap obat (Rukyani, 1999). Beberapa ekstrak bahan alam yang dapat digunakan dalam mengatasi serangan penyakit vibriosis di antaranya adalah sponge, daun mangrove, makroalga, mikroalga, dan bakteri-bakteri laut. KONSEP PENGGUNAAN BAKTERISIDA ALAMI DAN PROBIOTIK DALAM AKUAKUTUR Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah memunculkan bermacam permasalahan berupa penurunan daya dukung kolam/tambak, serta adanya serangan penyakit sebagai dampak lanjutnya. Penggunaan antibiotik dan obat-obatan sintesis secara terus-menerus sebagai langkah penanggulangan, ternyata telah menimbulkan resistensi mikroorgabisme terhadap obat tersebut, serta adanya residu antibiotik pada produk yang dihasilkan. Hal ini menjadi salah satu penyebab ditolaknya ekspor udang beku Indonesia oleh negara importir (Jepang, Amerika, dan Eropa) beberapa tahun lalu (Kompas, 2004 dalam Ardjosoediro & Goetz, 2007). Langkah antisipatif dengan mencari obat-obatan alternatif yang ramah lingkungan perlu terus dikembangkan. Pemanfaatan biota alam, khususnya biota alam laut sebagai sumber bakterisida dan
623
Mengenal biota alam penghasil bakterisida... (Asmanelli)
probiotik sangat potensial dan menjanjikan, mengingat potensi itu sendiri sebenarnya sudah kita miliki. Bakterisida merupakan zat antibakteri yang memiliki aktivitas kerja membunuh bakteri patogen. Pada konsentrasi rendah beberapa zat antibakteri ada yang bersifat bakteriostatik (hanya menghambat pertumbuhan populasi bakteri tapi tidak mematikan bakteri) dan pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisida. Senyawa bioaktif dapat dikategorikan sebagai bakterisida, apabila dia mempunyai sifat “toksit selektif ” yang tinggi, sehingga hanya sintesis asam nukleat dari bakteri saja yang dihambat. Zat bioaktif yang dihasilkan diharapkan dapat membunuh bakteri patogen penyebab penyakit tetapi tidak beracun bagi inang penderitanya. Senyawa antibakteri yang diekstrak dari biota alam mampu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein dari bakteri patogen. Sedangkan pemanfaatan probiotik berfungsi sebagai kompetitor bagi bakteri patogen dengan menghasilkan substansi seperti bakteriocin yang dapat menghambat pertumbuhan “opportunistic pathogenic bacteria” (Haryanti, 2010). Bakteriosin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berasosiasi dengan biota laut merupakan sumber yang relevan sebagai penghasil probiotik (Desriac et al., 2010). Probiotik juga dapat berfungsi sebagai bakteri pengurai dan penetralisir kualitas air, meningkatkan keseimbangan pencernaan serta memungkinkan sebagai suplemen pakan di dalam perairan (Fuller, 1989 dalam Verschuere et al., 2000). Namun fungsi yang paling penting adalah mempertahankan kestabilan parameter kualitas air tambak dengan menurunkan bahan organik dan gas-gas beracun lainnya (Wang et al., 1999). BAKTERISIDA DAN PROBIOTIK DARI SPONGE DAN HYDROZOA Sumberdaya laut yang menyimpan potensi sebagai sumber plasma nutfah untuk bakteri biokontrol yang sampai saat ini belum banyak dipelajari di antaranya adalah terumbu karang. Di dalam ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih dari 300 jenis karang, lebih dari 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, krustase, sponge, algae, lamun, dan biota lainnya (Suparno, 2005). Biota terumbu karang diketahui mengandung komponen-komponen yang secara alamiah membentuk substansi yang berfungsi sebagai antibakteri maupun anti jamur (Suryati & Hala, 1993). Sebagai gambaran beberapa produk bioaktif yang dihasilkan oleh biota karang tercantum dalam Lampiran 1. Terumbu karang dan organisme yang berasosiasi seperti sponge, tunikata, dan hydrozoa telah dilaporkan sebagai penghasil bahan aktif untuk bakterisida dan fungisida pada bidang perikanan (Ahmad et al., 1995; Muliani et al., 1996; 1998a; 1998b; Suryati et al., 1995; 1997a; 1997b; 1998; 2000). Spons sebagai salah satu komponen biota penyusun terumbu karang mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih & Rachmaniar, 1999). Bahan aktif tersebut diduga berkaitan erat dengan mikroorganisme asosiasinya, seperti bakteri dan jamur. Oclarit et al. (1994a) telah mengisolasi bakteri penghasil antibakteri, o-Aminiphenol dari sponge Adocia sp. senyawa peptida antibakteri telah diisolasi dari sponge Hyatella sp. dan bakteri simbion Vibrio sp. (Oclarit et al., 1994b). Selvakumar et al. (2010) juga telah mengisolasi 7 strain Streptomyces dari beberapa sponge laut Callyspongia diffusa, Mycale mytilorum, Tedania anhelans, dan Dysidea fragilis, dan kesemuanya potensial menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi dan Aeromonas hydrophila. Muliani et al (2003) telah mengisolasi sedikitnya 283 isolat bakteri karang dari beberapa lokasi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil penapisan terhadap ke-283 isolat tersebut, 8 isolat atau sekitar 2,8% dari total isolat potensial bakterisida karena dapat menghambat Vibrio harveyi (MR5339) yang diisolasi dari tambak udang yang terserang penyakit. Warna koloni bakteri karang yang menghambat pertumbuhan bakteri V. harveyi (MR5339) secara in vitro dalam cawan petri didominasi oleh warna putih susu dan kuning muda.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
624
Biota laut lainnya yang masih termasuk ekosistem terumbu karang adalah sponge dan hydrozoa. Bioaktif dari biota laut tersebut terbukti efektif menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio dan bakteri Aeromomas dalam skala laboratorium (Ahmad et al., 1995; Muliani et al., 1996; 1998a; Suryati et al., 2000; Selvin & Lipton, 2003). Bioaktif dari bahan alam tersebut mempunyai peluang yang sangat besar untuk menanggulangi penyakit udang windu di tambak, namun dalam penyediaan bioaktif tersebut terbentur pada pelestrian lingkungan hidup. Sehingga upaya untuk membudidayakan jenis sponge atau hidrozoan yang mengandung bahan aktif bakterisida, merupakan solusi bijak. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, telah melakukan penelitian dan mulai merintis budidaya dari beberapa jenis sponge yang potensial bakterisida dan dapat digunakan sebagai antivibriosis pada udang windu, walaupun masih ada beberapa kendala lambatnya pertumbuhan sponge atau hidrozoa (Rosmiati et al., 2008). Sedangkan pemanfaatan terumbu karang sebagai sumber bakteri biokontrol tidak bertentangan dengan program pelestarian lingkungan, karena bakteri dapat di reisolasi tanpa merusak karang itu sendiri. BAKTERISIDA DARI MANGROVE DAN TANAMAN ASOSIASINYA Mangrove dan tanaman asosiasinya merupakan vegetasi murni daerah pertambakan yang harus dijaga kelestariannya. Fungsi biologis dari hutan mangrove dalam hal ini tanaman mangrove dan asosiasinya akan berjalan dengan sempurna jika keberadaannya tetap terjaga dan lestari. Di dunia, terdapat puluhan jenis mangrove, khusus di Benua Asia, ada 75 jenis mangrove dan sebanyak 37 jenis ada di Indonesia. Beberapa jenis daun mangrove telah diidentifikasi menghasilkan bioaktif sebagai sumber bakterisida dan telah diuji efektivitasnya terhadap penyakit bakteri skala laboratorium. Salah satu tanaman asosiasi mangrove yang keberadaannya perlu dilestarikan adalah tanaman kopasanda, Euphatorium inolifolium. Tanaman ini tersebar luas di daerah daratan rendah sampai pada daerahdaerah estuarin dan tumbuh berasosiasi dengan tanaman mangrove. Ekstrak daun kopasanda dapat berfungsi sebagai bakterisida terhadap bakteri vibrio. Muliani et al. (2006b) telah membukktikan efektivitas bahan aktif dari daun kopasanda dalam pemeliharaan pasca larva udang windu, bahwa ekstrak kopasanda pada konsentrasi 1.000 mg/L adalah yang terbaik. Populasi V. harveyi pada wadah pemeliharaan larva udang windu menurun pada titik terendah yaitu 1,32x10 1 cfu/mL; dengan sintasan pascalarva udang windu tertinggi sebesar 74,37%. Asosiasi daun mangrove lainnya seperti daun baru-baru Osbornia octodanta juga diketahui mengandung bahan aktif 2 heptanamin-6methylamino-6 methylin yang aktif menghambat pertumbuhan V. harveyi (Suryati et al., 2002; Muliani et al., 2004). Sedangkan tanaman mangrove Rhizophora apiculata mengandung bahan aktif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus pada konsentrasi 100 mg/L sampai 300 mg/L. Diameter zona hambatan yang dihasilkan pada konsentrasi 100 mg/L rata-rata sebesar 6,73 mm, sedangkan pada konsentrasi 200 mg/L sebesar 7,17 mm, dan pada konsentrasi 300 mg/L sebesar 8,53 mm (Setyaningrum, 2011). Lebih jauh lagi Arivuselvan et al., 2011 berhasil memanfaatkan ekstrak metanol dari kulit kayu tanaman mangrove Pemphis acidula, yang ternyata efektif menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus dan V. harveyi, dengan nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) 50 ug/mL. BAKTERISIDA DARI TAMBAK Penggunaan bakteri yang diisolasi dari berbagai sumber sebagai biokontrol terhadap V. harveyi juga telah banyak dilaporkan. Tjahyadi et al. (1994) melaporkan bahwa populasi V. harveyi di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan dengan cara mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan udang. Rosa et al. (1997) telah mengisolasi bakteri penghambat V. harveyi dari air laut, air tambak, dan air pemeliharaan larva. Sedangkan Muliani et al. (2003) mendapatkani 253 isolat bakteri dari air tambak di wilayah Sulawesi Selatan yang potensial sebagai sumber probiotik dan bakterisida. Haryanti et al. (2000) telah mengisolasi tiga isolat bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan V. harveyi pada medium agar dalam cawan petri dan satu di antara tiga isolat tersebut mampu menekan pertumbuhan V. harveyi pada media pemeliharaan larva udang. Mikroorganisme yang berasosiasi dengan biota laut merupakan sumber
625
Mengenal biota alam penghasil bakterisida... (Asmanelli)
yang relevan penghasil probiotik. Desriac et al. (2010) telah mendapatkan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri yang diisolasi dari lingkungan laut. Dari berbagai usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah penyakit di bidang pertambakan, penggunaan biokontrol merupakan cara yang menjanjikan prospek yang cerah. Menurut Suwanto (1994), keuntungan dalam menggunakan biokontrol antara lain: (1) Organisme yang dipakai telah dipertimbangkan lebih aman daripada berbagai bahan kimia proteksi yang sekarang digunakan; (2) Tidak terakumulasi dalam rantai makanan; (3) Adanya proses reproduksi dapat mengurangi pemakaian yang berulang; (4) Organisme sasaran jarang yang menjadi resisten terhadap agen biokontrol dibandingkan dengan resistensinya terhadap bahan kimia; (5) Dapat dipakai untuk pengendalian secara bersama-sama dengan cara-cara proteksi yang telah ada sampai saat ini. Penggunaan probiotik sebagai biokontrol adalah berfungsi mempertahankan kestabilan parameter kualitas air tambak dengan menurunkan bahan organik seperti amoniak, gas hidrogen sufida, dan gas-gas beracun lainnya (Wang et al., 1999). Selain itu, probiotik juga mengontrol terjadinya blooming alga sehingga dapat menjaga kestabilan nilai pH dalam tambak, menurunkan kadar BOD, dan menjaga ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan udang. BAKTERISIDA DARI MAKROALGA DAN MIKROALGA Berbagai upaya terus dilakukan guna mencari cara yang efektif untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ikan maupun udang, khususnya dari serangan penyakit vibriosis. Pemanfaatan bahan-bahan alam merupakan alternatif yang aman yang diketahui dapat mengatasi serangan penyakit vibriosis. Rumput laut merupakan salah satu kelompok makroalga yang berpotensi sebagai sumber bahan bioaktif. Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa 23 jenis rumput laut berpotensi sebagai obat, baik sebagai antivirus, antibakteri maupun antijamur, yang meliputi 2 jenis (9%) dari divisi Chlorophyta, 8 jenis (35%) dari divisi Rhodophyta, dan 13 jenis (56%) dari divisi Phaeophyta (Anonimus, 2009). Manefield et al. (2000) telah membuktikan bahwa ekspresi luminescens dan virulensi dari V. harveyi yang patogen pada udang windu dapat dihambat oleh suatu senyawa yang dihasilkan oleh rumput laut Deliscea pulchra. Sementara dari hasil penelitian Huang et al. (2006) didapatkan bahwa ekstrak polysaccarida dari Sargassum fusiforme (dosis 0,5%-1%) yang diberikan sebagai supplemen pada pakan udang, efektif memperbaiki daya tahan udang terhadap vibriosis dan meningkatkan sistem imun pada udang selama 14 hari pemeliharaan. Selanjutnya Izzati (2007) telah mengekstrak beberapa jenis rumput laut, hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa dan Padina sp. efektif menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas sp., sedangkan rumput laut Sargassum polycistum dan Gelidium sp. paling aktif menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Komponen aktif dari Sargassum mudah larut dalam air, sehingga cocok dibudidayakan secara polikultur dengan udang. Upaya lain yang telah dilakukan adalah dengan mengekstrak bahan aktif dari mikroalga sebagai antibakteri. Ekstrak antibakteri dari mikroalga Porphyridium cruentum (Rhodophyceae) dapat menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis dan S. aureus (Kusmiyati & Agustini, 2007). Komponen terbesar antibakterial dari P. Cruentum adalah metil hexadecanoate acid (palmitic acid). Ekstrak senyawa bioaktif dari mikroalga laut Chaetoceros gracilis dan Skeletonema costatum juga telah berhasil diujikan pada beberapa bakteri patogen S. aureus dan V. harveyi (Setyaningsih et al., 2006). Ekstrak kasar mikroalga dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan V. harveyi pada konsentrasi 20 mg/L atau lebih, serta beberapa bakteri terisolasi dengan daerah bening sangat kecil. Tipe komponen ekstrak berdasarkan karakteristik frekuensi absorbsi meliputi aldehydes, ketones, carboxylic acid, esters, phenols, ether, alcohol. Ekstrak mikroalga C. gracilis dan S. costatum mengandung Tetracecanoic acid (Myristic acid), Octacecanoic acid (Stearic acid), Hexadecanoic acid (Palmitic acid), Lenoleic acid, Eicosadienoic acid. BAKTERISIDA DARI MIKROORGANISME Mikroorganisme laut telah menjadi alternatif yang menjanjikan untuk penelitian sejumlah produk alami. Beberapa jenis mikroba laut diketahui merupakan sumber potensial metabolit biologi aktif.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
626
Selain itu, mikroba laut ini lebih mudah untuk dikembangbiakkan, sehingga memiliki keunggulan dibandingkan sumber biota tingkat tinggi lainnya. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mengekstrak senyawa bioaktif dari mikroorganisme sebagai penghasil bakterisida. Indonesia dikenal memiliki jenis-jenis sponge yang sangat potensial bersimbiosis dengan mikroorganisme penghasil senyawa aktif. Pemanfaatan senyawa bioaktif dari bakteri yang berasosiasi dengan sponge telah berhasil diekstrak sebagai sumber bakterisida. Murniasih & Rasyid (2010), telah melakukan skrining antibakteri terhadap beberapa ekstrak bakteri yang diisolasi dari spons asal Barrang Lompo Makassar, dan menunjukkan bahwa 60 isolat bakteri berpotensi mengandung substansi aktif anti bakteri patogen. Rante et al. (2010) juga telah mengekstrak senyawa antibakteri dari Actinomycetes yang berassosiasi dengan sponge yang dikoleksi dari Pulau Barrang-Lompo, Makassar Sulawesi Selatan. Dari beberapa isolat yang didapat, satu isolat dari strain Streptomyces sp. potensial sebagai bakterisida. Terbukti dari hasil uji patogenitas dan uji sensitivitas menunjukkan aktivitas yang kuat terhadap bakteri S. aureus, dengan resisten antibiotik cukup tinggi hingga konsentrasi 0,0195 g. Rosenfeld & Zobell (1947) telah membuktikan bahwa air laut bisa bersifat bakterisida terhadap mikrooganisme air tawar. Mereka melakukan serangkaian percobaan dengan mengisolasi bermacam bakteri dari air laut. Dari 58 spesies bakteri yang diuji sebagian besar menghasilkan zat antibakteri yang bersifat antibiotik, dan paling banyak ditemukan dari genus Bacillus dan Micrococcus. Hal ini menunjukkan bahwa air laut mengandung mikroorganisme yang potensial menghasilkan senyawa metabolit bioaktif sebagai sumber bakterisida. Muliani et al. (2003) mendapatkan 253 isolat bakteri dari air tambak yang potensial sebagai sumber probiotik. Hasil pengujian secara in vitro maupun secara in vivo menunjukkan bahwa isolat bakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri V. harveyi penyebab penyakit pada udang windu. Hasil skrining Muliani et al. (2006a) menunjukkan bahwa isolat BL542 potensial probiotik, termasuk bakteri gram negatif yang berbentuk batang pendek, tidak patogen terhadap udang windu, dan berpotensi juga sebagai penghasil bakterisida terutama untuk V. harveyi penyebab vibriosis pada udang windu. Hingga konsentrasi 109 cfu/mL, isolat BL542 tidak patogen pada larva udang windu stadia PL-7 dan dapat menghambat V. harveyi dalam air pemeliharaan larva udang windu. Hasil analisis sekuen gen penyandi 16S-rRNA, diketahui bahwa isolat BL542 memiliki kemiripan (88%) dengan Pseudoalteromonas sp. Edeep-1. Bahkan dari serangkaian penelitian dan uji coba di lapangan menunjukkan bahwa aplikasi probiotik kombinasi (BL542+BT951+MY1112) pada minggu ke-IV dapat menekan konsentrasi BOT dan NH 3-N, menurunkan total Vibrio sp., sehingga berdampak kepada peningkatan sintasan udang windu hingga 70% (Muliani et al., 2009). KESIMPULAN Sebenarnya masih banyak potensi bioaktif dari biota alam laut yang dapat kita gali dan temukan manfaatnya, khususnya potensi yang tersimpan di perairan Laut Sulawesi. Daerah terumbu karang sangat potensial sebagai penghasil bakteri biokontrol terhadap penyakit vibriosis pada udang windu. Perairan laut Sulawesi memiliki megabiodiversity yang potensial, baik untuk keperluan industri pangan, farmasi, perikanan budidaya, dan pasca panen. Sehingga untuk itu dituntut adanya peningkatan pengetahuan yang didukung dengan ketersediaan fasilitas penelitian, tanpa harus melupakan upaya pelestarian dan konservasi sumberdaya hayati tersebut. Seperti yang pernah diungkapkan oleh salah satu peneliti senior BRKP (almarhum Dr. Taufik Ahmad), bahwa aktualisasi potensi laut Indonesia perlu terus dikaji, tidak hanya sebagai sumber pangan konvensional tapi juga dengan meneliti, mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya non-konvensional (seperti terumbu karang dan asosiasinya). DAFTAR ACUAN Anonimus, 2009. Potensi rumput laut sebagai obat. Marine Community. (CITED 2011 DEC 24). AVAILABLE FROM: http://marinecomm.blogspot.com/ Ahmad, T., Suryati, E., & Muliani. 1995. Screening sponges for bactericide to be used in shrimp culture. Indonesian Fisheries Research J., I(1): 1-10. Ahmad, T. & Suryati, E. 2006. Pemanfaatan bioprospective agent untuk aktualisasi potensi laut. 60
627
Mengenal biota alam penghasil bakterisida... (Asmanelli)
Tahun Perikanan Indonesia. Masyarakat Perikanan Nusantara, hlm. 116-129. Ardjosoediro, I. & Goetz, F., 2007. A Value Chain Assessment of the Aquaculture Sector in Indonesia. USAID-AMARTA, Januari 2007, 33 pp. Arivuselvan, N., Jagadeesan, D., Govindan, T., Khatiresan, K., & Anantharaman, P. 2011. In vitro Antibacterial activity of leaf and bark extracts of selected mangroves against fish and shrimp pathogens. Global J. of Pharmacology. 5(2): 112-116. Bhakuni, D.S and Rawat, D.S. 2005. Bioactive Marine Natural Products. Co-published by Springer. ISBN 1-4020-3472-5 (HB), 365 pp. Desriac, F., Defer, D., Bourgougno, N., Brillet, B., Le Chevalier, P., & Fleur, F. 2010. Bacteriocin as weapons in the marine animal-associated bacteria warfare: Inventory and potential applications as an aquaculture probiotic. Mar Drugs, 8(4): 1,153–1,177. Hanggono, T. 2010. Diakses dari Forum Komunikasi PBT, tanggal 13 Mei 2011. Seminar International di Bandung. Hala, Y. 1999. Penggunaan gen penanda molekular untuk deteksi pelekatan dan kolonisasi Vibrio harveyi pada larva udang windu (Penaeus monodon). Disertasi. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Haryanti, Sugama, K., Tsamura S., & Nishijima, T. 2000. Vibriostatic bacterium isolated from seawater: Potentiality as probiotic agent in the rearing of Penaeus monodon larvae. Ind. Fish. Res. J., 6: 26-32. Haryanti. 2010. Penerapan Probiotik dan biologi molekuler untuk produksi benih Udang Unggul. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. Bidang Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan (Bidang Akuakultur). Balitbang KP. Kementerian KP. Jakarta, 23 Desember 2010, 71 hlm. Huang X., Zhou, H., & Zhang, H. 2006. The effect of Sargassum fusiforme polysaccharide extracts on vibriosis resistance and immune activity of the shrimp, Fenneropenaeus chinensis. Fish Shellfish Immunol., 20(5): 750-757. Izzati, M. 2007. Skreening potensi antibakteri pada beberapa spesies rumput laut terhadap bakteri patogen pada udang windu. BIOMA, 9(2): 62-67. Kusmiyati & Agusti, N.W.S. 2007. Uji aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga Porphyridium cruentum. Biodiversitas, 8(1): 48-53. Manefield, M., Harris, L., Rice, S.A., de Nys, R., & Kjelleberg, S. 2000. Inhibition of luminescence and virulence in the black tiger prawn (Penaeus monodon) pathogen Vibrio harveyi by intercellular signal antagonists. Appl. Environ. Microbiol., 66(5): 2,079-2,084. Muliani, Suryati, E., & Ahmad, T. 1996. Peluang pemanfaatan bioaktif sponge untuk bakterisida. Makalah disampaikan padaTemu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor, 9 hlm. Muliani, Suryati, E., & Ahmad, T. 1998a. Penggunaan ekstrak spons untuk penanggulangan bakteri Vibrio spp pada udang windu Penaeus monodon. J. Pen. Perik. Indonesia, 1: 108-115. Muliani, Suryati, E., & Ahmad, T. 1998b. Isolasi bioaktif sponge untuk fungisida pada benih udang windu Penaeus monodon. J. Pen. Perik. Indonesia, IV(2): 13-23. Muliani, Suwanto, A., & Hala, H. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal laut Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada udang windu (Penaeus Monodon Fab.). Hayati, J. Biosasins, 10(1): 6-11. Muliani, Nurbaya, Tompo, A., & Atmomarsono, M. 2004a. Eksplorasi bakteri filosfer dari tanaman mangrove sebagai bakteri probiotik pada budidaya udang windu Penaeus monodon, J. Pen. Perik. Indonesia, 2: 47-57. Muliani, Tampangallo, B.R., Nurbaya, Kadriah, I.A.K., & Nurhidayah. 2004b. Komposisi jenis dan tingkat resistensi Vibrio sp. yang diisolasi dari tambak udang windu terhadap beberapa jenis antibiotik. dalam Bengen, Sidik, Helminuddin, Muslim, Zain, Saleh, Noryadi, Suyatna, Zainuri, Abdunnur, dan Makinuddin (Eds.). Prosiding Konferensi Nasional IV. Pengelolaan Sumberdaya Perairan umum, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Luat Indonesia. Balikpapan, hlm. 197-209. Muliani, Nurhidayah, & Atmomarsono, M. 2006a. Karakterisasi, analisis gen 16S-rRNA Bakteri BL542 dan evaluasi efek bakterisidanya terhadap Vibrio harveyi penyebab penyakit pada udang windu (Penaeus monodon). J. Pen. Perik. Indonesia.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
628
Muliani, Nurbaya, Tenriulo, A., & Suryati, E. 2006b. Pengaruh ekstrak daun kopasanda Euphatorium inulifolium terhadap populasi Vibrio harveyi dan sintasan pascalarva udang windu Penaeus monodon. Prosiding konferensi Nasional Akuakultur. Muliani, Nurbaya, & Madeali, M.I. 2009. Pergiliran pemberian bakteri probiotik terhadap kualitas air dan sintasan udang windu (Penaeus mnodon) dalam bak terkontrol. dalam Didik Hardianto, Muh Taufiqurrohman (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Kelautan IV. Universitas Hang Tua. Surabaya, hlm. II-311 Murniasih, T. & Rasyid, A. 2010. Potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal barranglompo (Makasar) sebagai bahan sumber antibakteri. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 36(3): 281292. Muniarsih T. & Rachmaniar, R. 1999. Isolasi Substansi Bioaktif Antimikrobadari Spons Asal Pulau Pari Kepulauan Seribu. Prosidings SeminarBioteknologi Kelautan Indonesia I, Jakarta 14-15 Oktober 1998, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta, 1999, hlm. 151-158. Oclarit, J.M., Ohta, S., Kamimura, K., Yamaoka, Y., & Ikegami, S. 1994a. Production of an antibacterial agent, O-aminophenol, by a bacterium isolated from a marine sponge Adocia sp. 3rd International Marine Biotechnology Conference. IMBC, Programme, Abstracts and List of Participants. Tromsoe, Norway, 98 pp. Oclarit, J.M., Okada, H., Ohta, S., Kamimura, K., Yamaoka, Y., Lizuka, R., Miyashiro, S., & Ikegami, S. 1994b. Anti-Bacillus substances in the marine sponge Hyatella sp. produced by an associated Vibrio sp. Bacterium. Microbios., 78: 7-16. Parenrengi, A., Suryati, E., & Ahmad, T. 2002. Potensi sponge penghasil bakterisida dan fungisida alami belum banyak dimanfaatkan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 8(3). Rante, H., Wahyono, Murti, Y.B., & Alam, G. 2010. Purifikasi dan karakterisasi senyawa antibakteri dari Actinomycetes asosiasi spons terhadap bakteri patogen resisten. Majalah Farmasi Indonesia, 21(3): 158-165. Rosenfeld, W.D. & Zobell, C.E. 1947. Antibiotic production by marine microorganisms. Rosa, D., Zafran, Taufik, I., & Girsang, M.A. 1997. Pengendalian Vibrio harveyi secara biologis pada larva udang windu (Penaeus monodon): I. Isolasi Bakteri Penghambat. J. Pen. Perik. Indonesia, 3: 110. Rosmiati, Pong-Masak, P.R., Suryati, E., & Tjaronge, M. 2008. Sponge Callyngospongia sp., Callyngospongia basilana, and Haliclona sp. culture with different initial axplant sizes. nghambat. Indonesian Aqua. J., 3(2): 125-132. Rukyani, A. 1999. Beberapa jenis penyakit sebagai kendala utama budidaya udang dan cara pengendaliannya. Badan Litbang Pertanian. Selvakumar, D., Arun, K., Suguna, S., Kuma, D., & Dhevendaran, K. 2010. Bioactive potential of Streptomyces against fish and shellfish pathogens. Iran. J. Microbiol., 2(3): 157-164. Selvin, J. & Lipton, A.P. 2003. Dendrilla nigra, a marine sponge, as potential source of antibacterial substances for managing shrimp diseases. Aquaculture, 236: 277-283. Setyaningsih, I., Hardjito, Panggabean, L., & Lily, M. 2006. Penggunaan ekstrak mikroalga laut sebagai bakterisida untuk pengembangan budidaya dan pasca panen udang. Setyaningrum, W. 2011. Pengaruh ekstrak daun mangrove rhizophora apiculata sebagai antibakteri terhadap bakteri penyakit udang Vibrio parahaemolyticus. Suparno. 2005. Kajian bioaktif spons laut (forifera: Demospongiae) suatu peluang alternatif pemanfaatan ekosistem karang Indonesia dalam dibidang farmasi. Makalah Falsafah Sains. Pasca Sarjana, IPB. 20 hlm. Suryati, E. & Hala, Y. 1993. Bioaktifitas Isotoma longiflora terhadap bakteri Pseudomonas spp. pada ikan. Seminar Ilmiah Perikanan 30 Tahun FMIPA, Universitas Hasanuddin, Makasar. Suryati, E., Muliani, & Ahmad, T. 1995. Penapisan bioaktif spons untuk bakterisida dalam bidang perikanan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan trumbu Karang Jakarta, hlm. 164-168.
629
Mengenal biota alam penghasil bakterisida... (Asmanelli)
Suryati, E., Muliani, Rosmiati, & Ahmad, T. 1997a. Isolasi dan identifikasi bioaktif bunga karang Callispongia sp. yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung dan Universitas Lampung, hlm. 2933. Suryati, E., Ahmad, T., & Muliani. 1997b. Analisis bioaktif bunga karang Auletta sp. Yang aktif terhadap bakteri Vibrio sp. pada udang. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian dalam Bidang Farmasi. Peringatan 50 tahun Pendidikan Farmasi ITB. Bandung. 5-6 September 1997, 10 hlm. Suryati, E., Parenrengi, A., Rosmiati, & Laining, A. 1998. Penapisan dan analisis sponge efektif sebagai antibiofouling di tambak dan keramba jarring apung. Makalah disampaikan pada seminar KTI. II. Ujung Pandang. Suryati, E., Rosmiati, Moka, W., & Hala, Y. 2000. Hydrozoan Aglaophenia sp. Bioactive Substance Analysis for Bactericide. Indonesian Fisheries Research J., 6: 55-61. Suryati, E., Parenrengi, A., Gunarto, & Teriulo, A. 2002. Potensi bioaktif mangrove daun Baru-baru (Osbornia octodanta) untuk penanggulangan penyakit udang windu bakteri pada budidaya udang windu. BPTP Sulteng. Suwanto, A. 1994. Mikroorganisme untuk biokontrol: Strategi penelitian dan penerapannya dalam bioteknologi pertanian. Agrotek., 2: 40-46. Tjahjadi, M.R., Angka, S.L., & Suwanto, A. 1994. Isolation and evaluation of marine bacterial for biocontrol of luminous bacterial diseases in tiger shrimp larvae (Penaeus monodon Fab.). Aspac. J. Mol. Biol. Biotechnol., 2: 347-352. Verschuere, L., Rombaut, G., Sorgeloos, P., & Verstraete, W. 2000. Probiotic Bacteria as Biological Control Agents in Aquaculture. In. Microbiology And Molecular Biology Reviews., 64(4): 655-671. Wang, Y.G., Tan, O.L., Lee, K.L., Hassan, M.D., & Shariff, M. 1999. Health management of shrimp during grow-out. Infofish International, 4: 33-36.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
630
Lampiran 1. Bioactive marine natural products Biota laut
a. Marine flora b. Makroalga laut (Seaweed ) - Red alga, Laurncia glandulifera c. Mikroalga - Blue green alga, Schizothrix calcicola - Blue green alga, Oscillatori anigroviridis - Red mikroalga, Phorphyridium sp. d. Bakteri laut, Pseudomonas bromoutilis e. Fungi,Cephalosporium acremonium f. Invertebrata: - Sponge, Halichondria mooriei - Sponge, Toxadocia zumi - Sponge, Dysidea arenaria - Sponge, Halichondria panicea - Sponge, Spongia officinalis - Sponge, Agelas spp. - Sponge, Phyllospongia foliascens g. Sea anemon h. Coral, Clavularia viridis Coral,Muridia californica dan M. Fruticosa i. Mollusc, Archidoris montereyensis j. Echinodermata Sumber:
Bhakuni & Rawat (2005)
Bioaktif metabolit
Kegunaannya
Brominated phenol, oxygen heterocyclic, nitrogen heterocyclic, sulphur nitrogen heterocycic, sterol, terpenoid, polysacharida, peptides, and protein.
aplysiatoxins oscillatoxins sulfa tpolysaccharida Bromo pyrole antibiotik cephalosporin antibiotik halistanol Sterol Arenarol, arenarone Triprenyl phenol Terpenoid Diterpenoid Phyllofenone A Biotoxine polypeptida Cytotoxic steroid Aminogalactose saponin/muricin Hexadecylglycerol Asterosaponin
Antileukemia Antileukemia Antiviral HSV Antibakteri Antibakteri Antibakteri Antibakteri Antimikroba Antimikroba antifungi Antimikroba Antifungi Antitumor Antifungi Antifouling Antibakteri Antitumor, antibakteri, antivirus