Memperingati Hari Wafatnya Bung Karno 21 Juni
Kumpulan berbagai Tulisan-Tulisan
Dirangkum Oleh
Cyntha Wirantaprawira
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
BUNG Met pagi, Bung,-pemimpin kami-, hari ini adalah hari kelahiranmu. Hari kelahiran sang Putra Fajar. Meski kau telah tiada kau tetap hidup dalam hati sanubariku hati sanubari bangsaku dan bangsa-bangsa di dunia. Kau persembahkan 'Marhaenisme' -asas dan asas-perjuangan sebagai senjata pamungkaskepada bangsamu yang terjajah agar bangkit dan berjuang untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajahan. Kau persembahkan 'Pancasila' kepada bangsamu untuk mengisi kemerdekaan 'tuk tegakkan panji 'Trisakti'. Kau persembahkan gagasanmu 'To Build the World Anew' kepada dunia untuk membangun manusia dan kemanusiaan yang merdeka, berdaulat, bermartabat, berkeadaban. Kau 'korbankan' jiwa ragamu bagi Indonesia, Asia-Afrika-Amerika Latin dan bagi manusia serta kemanusiaan. Engkaulah yang membuatku kami semua bangga menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, berjati diri, bermartabat, dan terhormat Terlalu besar jasa dan pengorbananmu, Bung, bagi kami dan umat manusia tanpa pamrih apapun darimu. Hanya doa kami kepadaNya sajalah yang mampu kami persembahkan untukmu, Bung. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berkenan menerima dan mengabulkan doa kami. Amin. HES , ndeso Sentul Kidul. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 2
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Bung, berjalan sudah Empat Dasawarsa Bahtera NKRI mengarungi Samudra Raya tanpa Nakhoda Pirate-Pembajak para Jendral ORBA merajalela Merampok Kemudi Bahtera Negara Globalisasi Monopolkapital Imperialisme US-Amerika Mendapat booty Zamrut Khatulistiwa Upeti Pirate-Pembajak para Jendral ORBA Partner setia Central Inteligent of America Menguras NKRI, memperbudak Bangsa Indonesia Bung, Bahtera NKRI diombang-ambil Globalisasi Krisis Kapitalisme Dunia membahayakan kesatuan NKRI Tanpa Proteksionisme Negara, 13 667 Pulau akan berjalan sendiri-sendiri Para Jendral Pirate-Pembajak tidak mengenal Patriotisme Nasional NKRI Trisakti Bung Karno diganti dengan Business TNI Nasib Bangsa Indonesia dan NKRI??? Merdeka!, Merdeka!, Merdeka!, Bung canangkan Trisakti kesatuan Bangsa, Bung trapkan Demokrasi Politik, Demokrasi Ekonomi, Bung tuturkan Gemah ripah loh jinawi, tatatentram karto reharjo, ternakkembang padi menjadi, dalam NKRI, tujuan Bung tunjukkan UUD1945 Bung wariskan! Disaat gelombang-badai mengancam tak berkeputusan Bahtera NKRI terombang-ambil tanpa Nakhoda, tanpa Haluan Pirate Pembajak, perampk mabuk kekuasaan 50 Juta Suara-Warganegara dalam Pemilu 9 April 2009 dari Daftar Pemilih dilenyapkan Hanya satu buat Bung yang dapat kami sampaikan: "Dibawah Bendera Revolusi" kita bertemu selamanya Dalam satu draplangkah: Menuju Indonesia Merdeka! Merrdeka!, Merdeka!, sekali lagi Merdeka! Alexander Tjaniago
--- Pada Sab, 6/6/09, Pandji R. Hadinoto, PKPI
menulis: Dari: Pandji R. Hadinoto, PKPI Topik: [nasional-list] 6 Juni 2009 : Foto2 Kenangan Bung Karno Tanggal: Sabtu, 6 Juni, 2009, 3:00 PM
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 3
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Terlepas dari kisah Kontroversinya Bung Karno Memang Gagah dan juga Orator Ulung!
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 4
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 5
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 6
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 7
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Source : http://infoindonesi a.multiply. com
*BUNG KARNO:* *PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (I)* *Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 **di Istana Negara * Saudara-saudara sekalian, Di dalam kursus saya yang pertama sebagai pendahuluan, saya terangkan kepada Saudara-saudara, bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan imperialisme tidak boleh lain dari pada bersifat mempersatukan segenap tenaga-tenaga revolusioner yang ada di masyarakat kita. Saya jelaskan pada waktu itu sebabnya. Sebabnya ialah bahwa kita berhadapan dengan imperialisme Belanda, yang berlainan sifat daripada misalnya imperialisme Inggris. Manakala imperialisme Inggris adalah terutama sekali satu imperialisme perdagangan -- yang saya maksudkan ialah imperialisme Inggris yang datang di India -- maka imperialisme Belanda yang datang di Indonesia, terutama sekali adalah satu imperialisme *daripada finanz-kapitaal. Finanzkapitaal *yaitu kapital yang ditanamkan di sesuatu tempat berupa perusahaan-perusahaan, oleh karena *finanz-kapitaal *Belanda ini membutuhkan buruh murah, sewa tanah murah, maka akibat *dari finanz-kapitaal *di Indonesia ialah * pauverisering**(1)** *dari rakyat Indonesia. Dan oleh karena rakyat Indonesia sesudah berjalannya *finanz-kapitaal *ini berpuluh-puluh tahun menjadi satu rakyat yang di segala lapangan *verpauveriseerd.(2) * 1 Proses kemelaratan (bhs. Belanda). 2 Dimelaratkan (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 8
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Tadi saya terangkan kepada Saudara-saudara, untuk mencakup *begrip *"semua rakyat yang *verpauveriseerd" *ini saya telah mempergunakan istilah Marhaen. Saya ulangi: oleh karena akibat *daripada finanz-kapitaal *ini ialah bahwa rakyat Indonesia ini di segala lapangan *verpauveriseerd *menjadi rakyat Marhaen, di segala lapangan -- baik lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar -- maka untuk menumbangkan imperialisme Belanda itu kita harus memakai jalan lain daripada misalnya rakyat India memperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat India masih memiliki satu *nationale bourgeoisie,(3) *bahkan pada pertengahan atau bagian kedua dari abad ke-l9, borjuasi nasional India ini hendak naik benar- benar, sehingga *nationale bourgeoisie *India inilah sebenarnya yang menjadi tenaga motoris dari gerakan rakyat India menentang imperialisme Inggris itu, berwujud gerakan *swadesi *di lapangan ekonomi dan di lapangan politik gerakan *satyagraha. * Kita yang segenap *zamanpre – *atau pra-imperialis memiliki bibitbibit *nationale bourgeoisie, *tetapi yang oleh proses imperialis di segala lapangan *verpauveriseerd *sehingga menjadi rakyat Marhaen, kita tak dapat menjalankan cara perjuangan sebagai yang dijalankan oleh rakyat India itu. Maka *boodschap(4) *kepada kita, ialah mempersatukan segenap tenaga revolusioner yang ada di dalam rakyat Indonesia yang *verpauveriseerd *itu, baik yang proletar maupun yang bukan proletar. Sehingga *boodschap *perjuangan kita di Indonesia ialah *boodschap *persatuan. Hal itu sudah saya terangkan kepada Saudarasaudara pada kursus saya yang pertama. Dan memang dengan menyelenggarakan persatuan dari segenap tenaga revolusioner itulah akhirnya kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mengadakan proklamasi kita dan juga dengan persatuan itu kita dapat mempertahankan proklamasi itu. Hanya di waktu-waktu yang sekarang ini persatuan itu terganggu sehingga sewajibnya kita berikhtiar lagi untuk memperbaiki lagi keretakan-keretakan di dalam tubuhnya bangsa Indonesia itu. Mempersatukan segenap tenaga revolusioner -- dan arti perkataan revolusioner pun di dalam kursus yang pertama sudah saya jeiaskan kepada Saudara-saudara. Saya ulangi dengan singkat: untuk bersifat revo1usioner tak perlu dari golongan proletar, tak perlu dari golongan demokrasi formil, tak perlu dari golongan sosialis-sosialis dalam arti yang luas -- revolusioner adalah tiap-tiap orang yang progresif menghantam kepada impe-rialisme. Revolusioner adalah tiap-tiap orang yang hendak mengakhiri kolonialisme dan hendak mengadakan kemerdekaan nasional. Oleh karena itu adalah progresinya sejarah. Tidak perlu seorang proletar, sebab yang bukan proletar bisa juga revolusioner. Sebaliknya ada contoh proletar tidak revolusioner. Tidak perlu demokrasi formil, sebab orang yang tidak berdemokrasi formil bisa revolusioner. Tidak perlu berangan-angan atau dari golongan sosialis dalam arti yang luas, sebab ada yang sosialis tetapi tidak revolusioner. Ada yang bukan sosialis tetapi revolusioner, sosialis dalam arti yang luas. Di dalam kursus saya yang pertama, hal ini telah saya kemukakan kepada Saudara-saudara. Tapi sosialis -- seperti waktu saya membuat kuliah di Yogyakarta saya terangkan-bahwa perkataan sosialisme saya ambil dalam arti nama kumpulan, *verzamelnaam, *dari semua aliranaliran yang menghendaki masyarakat sama-rasa sama-rata. Dus ya sosialis demokrat, ya *anarchist, *ya komunis, ya *utopist socialist, *ya *religieus socialist. *Semuanya saya cakup dengan satu perkataan: sosialis. 3 Bojuasi nasional. 4 Pesan, amanat (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 9
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Saudara-saudara, konklusi dari kursus saya yang pertama tadi, sudah saya katakan: *boodschap *yang diberikan sejarah kepada kita ialah persatuan, mempersatukan segenap tenaga. Bukan saja untuk menumbangkan imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan negara yang kita dirikan dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh imperialisme itu. Maka berhubung dengan itulah, timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia, tatkala rakyat Indonesia hendak mengadakan kemerdekaan nasional, apakah negara yang hendak didirikan itu harus diberi satu dasar yang di atas dasar itu segenap rakyat Indonesia dipersatupadukan, apa tidak. Dan jawabnya ialah: ya, perlu dasar yang dernikian itu, dasar pemersatu dari segenap rakyat Indonesia. Sehingga --sebagai Saudara-saudara ketahui -- soal dasar ini menjadi pembicaraan di dalam sidang-sidang *Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai *yang bersidang sebelum kita mengadakan proklamasi, jadi pertengahan tahun 1945. Dan di dalam salah satu sidang *Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai *itulah dianjurkan oleh *onder- getekende(5) *untuk memakai Pancasila sebagai dasar negara yang akan kita adakan. Dan kemudian Pancasila ini diterima di *dalam Jakarta Charter. *Kemudian sesudah kita mengadakan proklamasi, diterima oleh sidang dari pemimpin pertama dari negara yang telah kita proklamirkan. Dasar negara yang kita butuhkan ialah pertama: harus satu dasar yang dapat mempersatukan. Kedua: satu dasar yang memberi arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar statis, di atas mana kita bisa hidup bersatu dan dasar dinamis ke arah mana kita harus berjalan, juga sebagai negara. Sebab apa yang dinamakan negara, Saudara-saudara? Negara adalah tak lebih dan tak kurang dari satu organisasi, satu organisasi kekuasaan, satu *macht-organisatie. *Tentang hal negara ini banyak sekali teori-teori apa negara itu. Ada teori yang mengatakan, negara adalah satu hal sudah semestinya terjadi. *Zonder *maksud ini atau maksud itu, dengan sendirinya sesuatu bangsa mencapai negara. Teori ini di dalam sejarah manusia nyata telah dibantah. Sebab di dalam sejarah manusia sering sekali tampak bangsa-bangsa atau gerombolan-gerombolan manusia yang berjumlah banyak hidup tanpa negara. Ambillah, misalnya, kafilah-kafilah di Sentral Afrika. Mereka itu hidup, mencari makan, membuat perumahan, hidup bersuami isteri, tetapi tiada ikatan yang dinamakan negara. Ada juga yang berkata bahwa negara adalah penjelmaan dari ide yang luhur sekali. Ya, ini masih harus ditanya, ide itu ide apa. Hegel, misalnya -- salah seorang ahli falsafah yang besar-berkata: *De staat of een staat is de tot werkelijkheid geworden idee.(6) *Ya boleh kita terima ini. Tetapi apa yang dinamakan ide -- de *tot werkelijkheid geworden idee -- ide *yang terjelma? lni masih diminta jawaban lagi apa yang dinamakan ide Hegel. Saya sendiri berpendirian bahwa negara itu tak lain tak bukan ialah sebenarnya satu organisasi. Dan tegasnya, satu organisasi kekuasaan. Satu *machts-organisatie. *Kita bisa mengadakan organisasi partai. Dan partai itu dipimpin oleh segolongan manusia yang dinamakan dewan pimpinan. Demikian pula kita bisa mengadakan organisasi dari seluruh manusia di dalam lingkungan bangsa yang bernama negara. Dan negara ini dipimpin oleh segolongan manusia yang dinamakan pemerintah. Pada hakekatnya tiada per-bedaan antara dua hal ini.
5 Yang bertanda tangan, maksudnya Bung Kamo. 6 Negara atau sebuah negara adalah ide yang terjelma. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 10
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Partai dengan ia punya dewan pimpinan, negara dengan ia punya pemerintah. Pada hakekatnya partai mempunyai *statuten(7), *negara memakai Undang-Undang Dasar. Partai mempunyai peraturan-peraturan rumah tangga, negara mempunyai *organieke wetten, *hukumhukum organik. Pada *hakekatnya --basically, *kata orang Inggris -- tidak ada perbedaan di antara dua ini. Keterangan Karl Marx lebih lanjut lagi dari ini. Negara adalah satu organisasi kekuasaan --kata Karl *Marx - -macht-organisatie. *Bahkan satu *macht-organisatie *dari sesuatu kelas untuk mempertahankan dirinya terhadap lain kelas. Karl Marx berkata, bahwa di dalam sejarah dunia ini selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Di dalam sejarah manusia, selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Ada kelas feodal yang bertentangan dengan kelas *horigen,(8) *yaitu rakyat jelata yang ditindas oleh feodalisme itu. Sekarang ada kelas kapitalis dan kelas proletar. Selalu ada dua kelas. Maka -- kata Marx -negara adalah satu *machts-organisatie *di dalam tangannya salah satu kelas ini untuk menindas kelas yang lain. Di dalam zaman feodal negara adalah satu *machts-organisatie *di dalam tangannya kaum bangsawan untuk menindas kaum *horigen. *Di dalam zaman kapitalisme negara adalah *machts-organisatie *di dalam tangannya kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar. Ditindas, artinya untuk menjalankan sesuatu yang cocok dengan kepentingan kelas kapitalis ini, tetapi tidak cocok dengan kepentingan kaum proletar. Teori ini ditarik terus oleh Marx. Jikalau nanti ada revolusi, kapitalis ini dengan alat kekuasaannya yang bernama negara, bertentangan dengan kaum proletar. Karena mereka itu mengorganisasikan dirinya-dengan semboyannya, *"Proletaries aller landen, verenigt *U"(9) -mengorganisasikan dirinya, akhirnya dapat merebut negara atau alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis ini. Jikalau revolusi demikian itu telah terjadi, maka alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis yaitu negara -- terebut oleh kelas proletar dan kelas proletarlah yang memegang alat kekuaan yang dinamakan negara ini. Sesudah sesuatu revolusi sosial ini terjadi, alat kekuasaan yang dinamakan negara jatuh di dalam negara kaum proletar. Maka berhubung dengan itulah apa yang dinamakan diktaturproletariat berjalan dan bukan berjalan secara insidentil, tetapi berjalan secara historis, sebab negara adalah pada hakekatnya alat kekuasaan di dalam tangan sesuatu kelas. Tadi di dalam tangan kaum kapitalis, sesudah revolusi proletar, di dalam tangan kaum proletar. Dan alat kekuasaan ini dipergunakan oleh kaum proletar untuk menindas kaum kapitalis. *Dus, *sifat dari praktik alat kekuasaan yang sekarang ini adalah diktatur proletar. Nah, saya teruskan uraian mengenai Marx ini. Sesudah demikian bagaimana? Sesudah dernikian, kelas kapitalis ini karena dialatkuasai oleh diktatur proletar ini, makin lama makin lemah, makin lama makin surut, akhirnya hilanglah kelas yang dinamakan kelas kapitalis. Tinggal kelas proletar itu. Dan oleh karena tinggal hanya satu kelas, sebenarnya sudah tidak ada kelas lagi. Orang bisa bicara tentang kelas jikalau masih ada perbedaan. Kelas I, kelas II, kelas III, kelas VIII, kelas
7 Anggaran dasar (bhs. Belanda). 8 Berasal dari *horige *(hhs. Belanda), yang berarti orang yang tidak bebas. 9 Kaum proletar dari seluruh dunia, bersatulah! Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 11
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
IX, karena ada perbedaan. Kalau tinggal cuma satu, itu bukan kelas lagi. Nah, kalau tinggal proletar saja -- rakyat jelata saja, tidak ada kelas kapitalisnya -itulah oleh Marx yang dinamakan satu masyarakat tanpa kelas, satu *klasseloze maatschappij. *Manusianya tetap ada, bahkan berkembang biak banyak. Tetapi masyarakat itu tidak mempunyai kelas, *klasseloos. *Dan oleh karena *klasseloos, *maka masyarakat itu menjadi *staat-loos, *l0 sebab --- saya ulangi lagi -- menurut teori Karl Marx, negara adalah *machts-organisatie *di dalam tangan sesuatu kelas. Jikalau kelas itu juga tidak ada, maka negara sebagai *machtsorganisatie *tidak ada lagi. Maka menjadi satu masyarakat yang *staatloos. *Ini saya beri tahu kepada Saudara-saudara, agar supaya Saudara-saudara mengerti istilah-istilah di dalam ilmu Marxisme: *klasseloze maatschappij *dan *staatloze maatschappij. Dus *tidak ada lagi sesuatu golongan yang harus *dionderdruk, *yang harus ditindas. Kalau ada dua kelas, ada satu golongan yang berkuasa dan satu golongan yang harus ditindas. Kalau sudah *staatloos *dan *klasseloos, *tidak ada lagi golongan yang harus ditindas. Fungsi negara hilang. Fungsi negara sebagai alat kekuasaan hilang. Yang tinggal ialah fungsi administratif dari manusiamanusia. Ada fungsi opseter, ada fungsi insinyur, ada fungsi guru dan lain-Iain sebagainya, tetapi fungsi negara sebagai *machts-oganisatie, *tidak ada lagi. Saya beri penjelasan kepada Saudara-saudara tentang hal ini untuk mengerti, bahwa tatkala kita *concipieren**(11)** *membentuk negara kita, kita harus mengerti bahwa negara itu adalah suatu hal yang dinamis. Kalau Marx berkata: ini adalah alat kekuasaan, maka tadi saya berkata: kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja yang statis -yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu -- tetapi juga harus mempunyai tuntutan dinamis, ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini. Saya beri uraian itu tadi agar Saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi *Leitstar *dinamis. *Leitstar; *bintang pimpinan. Nah, ini yang menjadi pertimbangan dari pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945 -- dan sebagai tadi saya katakan-sesudah bicara-bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk *dalam Jakarta Charter, *masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau Saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, *Leitstar *dinamis. Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemenelemen apa yang harus dimasukkan di dalam meja statis atau *Leitstar *dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila. Kenapa justru lima ini? Bukan *kok *lima jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru *kok *lima macam ini. 10 Tanpa negara (bhs. Belanda). 11 Merencanakan (bhs. Belanda). *(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, **Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal. 113-119)* ***DISIARKAN ULANG: MD Kartaprawira, Nederland 06 Juni 2009* Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 12
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
BUNG KARNO: PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (II) Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis -- yang dapat mengumpulkan semua -- dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis -- yang dapat menjadi arah perjalanan-kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri dari elemen-elemen yang ada pada jiwa lndonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa lndonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya. Misalnya, kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie(12) dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-betul -- bahasa Inggrisnya -- appeal(13) kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita. lni adalah satu soal yang susah, Saudara-saudara. Apalagi bagi Saudara-saudara pemimpin -yang salah satu tugas dari pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap-tiap Saudarasaudara yang ada di sini ingin bisa menggerakkan rakyat, bisa menarik pengikut-pengikut, tidak pandang Saudara dari partai apa. Yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, Saudara-saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerakkan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya. Jikalau Saudara baca mengenai hal ini -- saya ini sedang mengupas hal Leitstar -- baca mengenai hal ini: bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang-kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendeknya mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan untuk berjuang. Syarat-syaratnya ini apa? Kalau Saudara baca kitab-kitab yang ditulis pernimpin-pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, Saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang. Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gampang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap-tiap orang bisa. Asal bisa meng-iming-imingi (membayang-bayangkan). Tetapi untuk menggumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi kerelaan berkorban, that is another matter – lain hal. Kalau Saudara baca kitab-kitab yang menganalisa hal ini,maka Saudara akan menemui tiga syarat:
12 Sesuai (bhs. Belanda). 13 Memiliki daya tarik (bhs. Inggris). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 13
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Pertama, memang Saudara harus bisa menggambarkan, mengiming-iming: "Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan." Pemimpin yang tidak bisa meng-gambarkan, melukiskan cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. ia harus bisa melukiskan cita-cita. Di dalam sejarah dunia Saudara akan melihat bahwa pemimpinpemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang bisa melukiskan cita-cita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan. Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi itu pandai benar melukiskan cita-cita. Katakanlah meng-iming-iming. Misalnya Nabi Muhammad: "Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana." Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah -- Quran sendiri-di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak, ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran bidadari-bidadari di situ. Sehingga betul ter-iming-iming umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai-mana pun bagusnya, kalah indahnya dari itu. Ambil Nabi Isa: "Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagus-nya, kalah bagus dengan Kerajaan Langit". Het Koninkrijk der Hemelen -- Kerajaan Langit -- dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan dari kerajaan yang ada di bumi ini. Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitier, misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat pengikut juta-jutaan dan pengikut yang fanatik-fanatik? Oleh karena ia pandai memasangkan Leitstar-nya. Hitier berkata: "Jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebih hebat daripada sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus mengadakan kerajaan yang ketiga, das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. " Zaman baheula,(14) zaman ceriteranya Nibelungen, yang di dalam puisi Jerman digambarkan sebagai zaman keemasan dari Germanentum, dengan pahlawan-pahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Sieg-fried jago yang tidak tedas(15 ) senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal. Pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggungnya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain-lain kena air kebal. Zaman itu digambarkan oleh Hitier, belum, kurang besar, kurang bagus. "Kerajaan yang kedua -- di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote -- zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak! Kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-orang yang berambut-jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang murni Ariers.(16) Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak 14 Zaman dahulu, zaman kuno (bhs. Sunda). 15.Mempan, mampu dilukai. 16 Bangsa Aria, yang di zaman prasejarah tinggal di Iran dan India Vtara, dianggap sebagai bangsa yang membawa kemajuan umat manusia. Menurut Hitler, bangsaAria yang paling mumi adalah orang Nordis atau J ermania.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 14
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-cita." Dengan jalan demikian ia mengiming-iming kepada rakyat Jerman. Ambil Marx -- tadi saya ceriterakan kepada Saudara-saudaraia dapat betul menggambarkan satu -- bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij -- yang di situ tidak ada penindasan. Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan. Demikianlah, Saudara-saudara, maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus dapat meng-iming-iming, tetapi jangan meng-iming-iming barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja meng-imng-iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan Leitstar kepada rakyat. Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikianlah, menganalisa hidup, cara bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa mengiming-iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa membangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming-iming-kan, ya, maka di dalam kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu. Ibaratnya, engkau bisa meng-iming-imingi seseorang yang badan-nya lemah: "Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak." Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau iming-iming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner: "Bung lihat, bukan main cantiknya!" Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali, "Aku anak orang miskin, ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia." Tidak akan timbul kehendak – wil -- untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua. Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenar-benarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de werkelijke kracht,(17) dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena teriming-iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena Saudara bisa memberi kepada rakyat itu rasa mampu, krachtsgevoeI(18). Krachtsgevoel ini dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini Saudara-saudara sudah bisa dijadikan Trimurti -- artinya diper-satukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin -- Saudara akan bisa menggerakkan massa.
Dus, Leitstar yang dinamis, Saudara-saudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa "aku atau kita bisa mencapai", dua. Tiga, bukan saja rasa mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat meng-imingiming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi Saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, "He, buah itu enak betul, kepingin apa tidak?" Kepingin. "Mau apa ti dak?" Mau. Tetapi Saudara lupa melatih dia untuk memanjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan, tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 17 Kekuatan atau yang sebenamya (bhs. Belanda). 18 Perasaan mampu melakukan (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 15
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini harus dipenuhi.
Leitstar dari negara harus bisa realiseren(19) tiga syarat ini. Dus, dasar negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang di-leitstar-kan itu. Maka berhubung dengan itu, elemen-elemen dari dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa lndonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis . Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame; een natie is een ziel -- bangsa itu satujiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah dari manusia itu dengan manusia itu, seperti kursi-kursi dijajar. Benar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, malahan apalagi bangsa-bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, tetapi kecuali dari itu, bangsa itu mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal(20) dari si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita mernikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya, bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. ltulah kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen(21) dari luar. ltu harus latent(22) telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya mana ini elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari-cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi dari jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering(23) itu lima ini. Ada orang berkata: Pada waktu Bung Karno mem-propageren(24) Pancasila, pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila ? Kalau ia menggali dalam sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya 19 Merealisir atau mewujudkan (bhs. Belanda). 20 Merupakan keseluruhan pada umumya (bhs. Belanda). 21 Memaksakan, mengambil (bhs. Belanda). 22 Terpendam (bbs. Belanda). 23 Terkelompok dalamjenis (bhs. Belanda). 24 Berusaha mencari (bhs. Belanda).
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 16
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya meno lak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata, penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan safsafan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada zaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Profesor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak, pra-Hindu! Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh Profesor Dr. Brandes. Alfabet ha-na-ca-ra-ka-data-sa-wa-la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Profesor Brandes bukan pembawaan orang Hindu. Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakon, terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayana. Sebagian dari restan(25) wayang kulit kita dari zaman pra-Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-Hindu! Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanan--kepahlawanan kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakon-lakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan dari wayang kulit kita. Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu. Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita (Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal. 120-126) DISIARKAN ULANG: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009 BUNG KARNO: PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (III) Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintara, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancurleburnya negara kita, hancur-leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd. Jadi empat saf: saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo - gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting -- sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu. 25 Sisa (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 17
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Jadi, saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Saya lantas berkata, kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat lndonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu-padu. Ambil misalnya hal sila yang per-tama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek(26) bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa lndonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan dari sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya -- saya ulang-ulangi pada umumnya -- sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud (27) Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa berKetuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaan-nya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyalanyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai Maksudnya: Hasil garis besar, sebagai keseluruhan
Keseluruhan -- grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler itulah. Het kan niet anders(28) daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan. Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders -- tidak bisa lain -- bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannya, tempat kepercayaan. Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di guagua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase dari kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab -- dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut -- apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil dari evolusi. Saya cuma menceriterakan saja ada satu cabang ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu adalah hasil dari evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bemama Adam dan satu manusia bemama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusia-manusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan. Mungkin uga dulu berupa een cellige wezens -- sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren.(29) Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap, tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki. 26 Tabiat khas. (bhs. Belanda). 27 Istilah bhs. Belanda untuk Pembagi Persekutuan Terbesar dan Kelipatan Persekutuan Terkecil. 28 Tidak bisa la in (bhs. Belanda). 29 Hewan tidak bertulang punggung (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 18
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini. Mula-mula hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi, evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun: PANCASILA BUNG KARNO Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti dari teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi, di desa Trinil, terdapat tulang-tulang dari makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet, tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu. Sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam -entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -- katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhimya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih dari setengah juta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini berasal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu. Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. ltu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senjata Màuser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling(30) ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mempertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mempengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan. Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyong-konyong. Tidak. lni adalah satu pertumbuhan yang evolusioner: Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari perburuan dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburumemburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa berkembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali -- garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud --hidup dari peternakan, memelihara binatang. Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini -- setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak -- ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama-lama ia tahu bahwa inakanan yang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. 30 Pendirian (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 19
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui -- biasa baginya -- bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. Tetapi lambat-laun ia berpengalaman, bahwa tanaman pun bisa ditanam. Tumbuhtumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buahbuahan bisa ditanam. Dan terutama sekali, Saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi salut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. la melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek, menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa dari wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain -- barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar. Dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah -- zaman dahulu itu orang masih makan darah -- harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorekkorek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip(31) wadah. Bahkan -- karena barangkali tidak ada buah labu -- wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat primitif, akhirnya menjadi semacam periuk. Wanita yang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belum rumah seperti sekarang, meskipun rumah desa pun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daundaun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama dari atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapatkan apa yang di-namakan civilization, peradaban. Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar, wanita yang bercocok tanam mula-mula. Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi, bisa ditanam. Lama-lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, capek selalu mencari tempat penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindah-pindah, nomade. Tatkala ia beternak pun -- tingkat yang kedua -tidak menetap, berpindah-pindah mencari makanan untuk ternaknya, nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian -- manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch, menjadi orang-orang yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian, lama-lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat; aku membuat bajak; aku membuat cangkul; aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa menggelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Geiobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin 31 Pengertian, paham. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 20
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
periuk saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari mengumpulkan serat-serat untuk menenun -- kelas penenun. Demikianlah seterusnya timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. "Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu." Begrip ruilhandel,(32) tukar-menukar timbul. Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup dari apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian -- ruilhandel. Evolusi lagi. Akhimya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan dari nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain-lain -- industrialisme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalarni, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia Barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa mahusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Bertemak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. lndustrialisme, lima. Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum dari masyarakat manusia. (Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal.127-132) Disiarkan ulang: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009 BUNG KARNO:
PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (IV) Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara Tadi saya menandaskan kepada Saudara-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mempengaruhi alam persembahannya -- kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam gua-gua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. la melihat bulan dan bintang-bintang. la sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambamya. la menyembah pada petir. la menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanya. la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bemaung di bawahnya. la menyembah kepada awan yang berarak. la menyembah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. la menyembah kepada barang-barang yang demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia 32 Perdagangan secara tukar-menukar (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 21
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? "0, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara." Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu, "Thor sedang berjalan" --"Thor sedang naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan". Ia menyembah sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga misalnya -- Bengawan Silugangga, kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula. Ia menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu. Di dalam Bhagawad Gita diceriterakan, pada hakekatnya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bhagawad Gita, Kresna berkata kepada Arjuna: "Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku ada di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai." Itu juga disembah. Sang manusia zaman dulu -- fase pertama itu -- kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai, menekukkan lututnya, menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu kalau mendengarkan Lautan Kidul sedang menggelora, berkata: 'Lampor(33), lampor!" Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Lautan Selatan. Saya kembali kepada Bhagawad Gita. Bhagawad Gita berkata: "Aku ada di dalam geloranya air laut yang membanting di pantai. Aku ada di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku ada di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinamya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir." Bhagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubahubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai, sampai dimaterialisir: Thor, dewa dari donder. (34)
Notabene,(35) Saudara-saudara, kita punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, Saudara-saudara. Di daerah Skandi-navia dewa langit dinamakan Thor. Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, Raja Thor. Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one -- manusia itu satu sebetul-nya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under the skin -- kata orang Amerika -- di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer. Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenamya, yang tepat. Dia punya begrip itu, manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah Sungai Gangga. Di Jawa, lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: "Lampor, lampor, lainpor!" Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah. 33 Suara gaduh dari angin, menurut kepercayaan suara orang halus (bhs. Jawa). 34 Guntur (bhs. Belanda). 35 Perhatikan (bhs. Belanda).
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 22
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: "Masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. lni Tuhan yang betul, berupa binatang." Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika Saudara mengganggu seekor sapi, Saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot sakit, misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Ya, oleh karena dia anggap ini keramat, pagar penolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan. Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, Saudarasaudara, dia punya begrip dari Tuhan itu kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi-dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekerefactor,(36) tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam alam -kata-karilah keagamaan, ketuhanan, religius -- tiap-tiap bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian: Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw.(37) Malahan dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentukkan manusia: pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi, buaya ya buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu, coba lihat lukisan-Iukisan Mesir dulu! Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk "Tuhan" -- yang manusia sembah -- dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph -- anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk --berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis, anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia dari- Tuhan-nya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi. Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu dari alam pembuatan alam itu? Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen(38) yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding dari akal. 36 Faktor yang tak pasti (bhs. Belanda). 37 Oewi-dewi pertanian (bhs. Belanda) 38 Penemuan (bhs. Belanda). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 23
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bersarang -- di sini -- di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba: batu bisa diraba, sungai bisa, sapi bisa, dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim--ulama zaman itu -- ini dewi! Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite, buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite -- Dewi Asmara -yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, "Bukan main!" Tetapi ia membuat patung itu dari apa? Modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul--betulan. Pada satu hari di tempatnya itu ada pemilihan Dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi Dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver mens(39) dan ia namakan patung ini Aphrodite. Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu dari hidup manusia. Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih dari digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya -- atau sebagian dari manusia -- merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir? Aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit(40) sekian milyun volt, aku buka dia punya stroom -- petir! Aku bisa membuat petir. Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa membuatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer-space,(41) keluar dari alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan! Tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian dari manusia berkata: "Tuhan tidak ada!" Saudara-saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan, tetapi tidak bisa dilihat, gaib. Nomor lima, sebagian dari manusia de heersers van de industrie, de geleerden(42) -banyak yang berkata: "Tidak ada Tuhan!" Hilang sama sekali begrip itu. Nah, ini bagaimana? Saya menyelami rnasyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya -grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -- saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi -- sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud -- bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada dewasa ini sampai kepada penggalian-penggalian ke dalam, terutama sekali masih
39 Benar.benar orang (bhs. Belanda). 40 Listrik (bhs. Belanda). 41 Angkasa luar (bhs. Inggris). 42 Orang yang menguasai industri, kaum ilmuwan.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 24
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
hidup di dalam alam perpindahan keempat --- tiga keempat, dan empat kelima -- sebagian besar masih agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan. Tadi pun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak dari keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, ter-utama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme. Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, dari meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend(43), bahkan masuk betul-betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia. Kalau Saudara tanya kepada saya persoonlijk,(44) apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan? Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho lha kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib, apa Tuhan itu berubah--ubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tetapi yang berubah-ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah-ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Átau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri. Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: Nonsens(45) Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhan-nya tetap. Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada lima orang -- kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah: "He, kami lima orang kepingin tahu gajah." Boleh. Gajahnya besar dikeluarkan dari kandangnya. "Nah, ini gajah yang berdiri di muka Saudarasaudara. Coba Saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu!" Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: "Bung, bagaimana bentuk gajah?" Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. "Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. " C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. "Ya, gajah itu seperti daun keladi, Pak." Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. "Seperti pecut, cemeti." Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apaapa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. "0, gajah itu seperti hawa".
43 Terikat (bhs. Belanda). 44 Secara pribadi (bhs. Belanda). 45 Omong kosong (bhs. Belanda).
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 25
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda-beda. Nah, Saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets(46)• Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. lni cerita persoonlijk: Saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi -- dan mimpi itu saya rasa, ini mimpi-mimpi betul -- biasanya keesokan harinya teljadi. Bagi lain orang, lain barangkàli terjadinya itu, lain bulan dan sebagainya. Bagi saya -- praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi-impian -- kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada. Bagaimana seluruh rakyat lndonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya -- telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan -- pada garis besamya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering (47) Tuhan Yang Maha Esa, bisa diterima oleh semua golongan agama di lndonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa lndonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasukkan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas. (Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal.133-140) Disiarkan ulang: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
46 Sesuatu yang sungguh-sungguh (bhs. Belanda). 47 Rumusan (bhs. Belanda).
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 26
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
07062009. GAGASAN GOBLOK DAN AJAKAN KAKEK JOMPO TRI RAMIDJO Aku memang kakek jompo 83 tahun yang sekarang di tengah malam jam 02.15 wib dinihari memaksa diri bangun membuka komputer ini. Baru dua jam lalu, lewat tanggal 6 Juni, hari lahir bapak Rakyat Indonesia bung Karno tanpa ada siaran apa pun di televisi. Sejak kecil aku dibesarkan di tanah buangan Boven Digul. Dan sejak kecil aku mengenal lagu 12 November yang salah satu syairnya berbunyi : “Ya ya ya itulah yang akan. Mendatangkan dunia kemerdekaan.” Sejak kecil pula kami anak-anak Digul fmendapat pelajaran dari guru-guru kami orang buangan Digul, apa sebenarnya kemerdekaan itu dan apa itu masyarakat adil dan makmur. Dan ternyata benar HAMPIR 20 TAHUN KEMUDIAN pada 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia oleh bung Karno dan bung Hatta. Tentu saja aku yang sudah menjadi pemuda dewasa ikut bekerja keras tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan apa pun ikut bertempur melawan kolonialisme Belanda dan sekutu-sekutunya serta antek-anteknya. Di tahun 1965 terjadi kudeta merangkak Suharto dan dengan segala tipu muslihatnya, hancurlah cita-cita bung Karno untuk mencapai masyarakat adil dan makmur di negeri lintas khatulistiwa ini. Aku sering mendengar, bahwa tanpa partai yang benar-benar mampu melaksanakan ajaran-ajaran bung Karno, adalah sangat mustahil cita-cita masyarakat adil dan makmur itu bisa tercapai. Dan sampai hari ini walaupun pemilihan umum orang pertama dan kedua negeri ini sudah semakin dekat tidak ada gema sedikit pun yang menggambarkan, bahwa cita-cita masyarakat adil dan makmur itu bakal bisa terwujud. Jadi lima tahun lagi sesudah pemilihan umum orang pertama dan kedua negeri ini pun masih sangat diragukan adanya perubahan yang mendasar tentang kesejahteraan rakyat. Dan apakah aku masih bisa bertahan hidup untuk melihat perubahan mendasar menuju perbaikan di negeriku tercinta ini? Aku tidak mengharapkan untuk menyaksikannya, tapi aku ingin generasi-generasi penerus nanti tidak lagi megalami penghidupan seperti sekarang ini, di negeri yang terkenal kaya raya. Itulah sebabnya walaupun sakit aku paksakan diri bangun dan menulis mail ini untuk mengajak siapa saja yang masih mencintai perbaikan hari depan negeri ini : 1.
Mari kita gagas dan pikirkan bersama untuk mendirikan partai guna meneruskan dan
melaksanakan gagasan-gagasan serta ajaran-ajaran bung Karno, untuk menjelang pemilihan umum tahun 2015 mendatang. 2.
Tidak usah memilih nama yang muluk-muluk tapi kukira cukup dengan nama PARTAI
PENERUS CITA-CITA BUNG KARNO atau PARTAI PENERUS AJARAN-AJARAN BUNG KARNO. 3.
Azas dan tujuannya tentu saja cukup jelas Pancasila dan UUD 45.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 27
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
4.
Pimpinan-pimpinannya harus benar-benar terdiri dari orang-orang yang mencintai tanah air
dan rakyat dan benar-benar jujur tanpa pamrih. 5.
Tugas pokoknya memberikan pendidikan dan penerangan kepada rakyat untuk benar-benar
mengerti hak dan kewajibannya dan masyarakat adil makmur itu yang bagaimana. 6.
Maaf, saya gak mampu meneruskan gagasan ini tapi saya yakin teman-teman yang membaca
btsa meneruskan. 7.
Saya benar-benar sangat pusing tapi andaikan besok tidak bisa bangun lagi saya merasa
tenteram sudah menyampaikan gagasan GOBLOK ini. Sebab saya yakin tanpa partai yang benarbenar memimpin rakyat sama saja dengan gerbong kereta api tanpa lokomotif yang menariknya. Kutulis ini dengan perasaan tulus ikhlas tanpa pamrih apa pun. Dan sebagai anak-anak Digul lainnya kami memang selalu memikirkan kepentingan bersama. Kukira kalau benar-benar bisa terwujud kemungkinan besar mendapat dukungan rakyat, sebab sebenarnya rakyat sudah cukup sadar bahwa dirinya tertindas tapi tidak tahu jalan keluarnya dan selalu mengharap-harapkan lahirnya pimpinan yang jujur dan benar. Sekian, selamat ttidur. Ku harapkan do’a yang tulus dari Ateman-teman semoga besok aku masih bisa bangun. Salam anak Digul. Merdeka. Tri Ramidjo. --------------------- Original Message ----From: Umar Said To: [email protected] Sent: Friday, June 05, 2009 6:36 AM Subject: Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/
Sumbangan fikiran untuk renungan bersama
Memperingati HUT Bung Karno 6 Juni Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno Memperingati Hari Ulang Tahun Bung Karno pada tiap tanggal 6 Juni adalah suatu hal yang amat penting, mengingat tempatnya yang amat tinggi dan begitu terhormat dalam sejarah rakyat Indonesia berkat jasa-jasanya yang besar dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan mengingat pula betapa pentingnya ajaran-ajaran revolusionernya untuk mempersatukan seluruh bangsa. Di antara ajaran-ajarannya yang teramat penting itu adalah Pancasila, yang sudah menjadi dasar Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 28
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
negara Republik Indonesia dan hari lahirnya pada tanggal 1 Juni juga diperingati oleh berbagai kalangan Kalau kita renungkan dalam-dalam, dengan mengingat perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka setiap orang yang mempelajari - walaupun sedikit - sejarah dengan baik, akan melihat dengan jelas bahwa Bung Karno adalah benar-benar sosok yang paling besar dan tidak ada tandingannya di Indonesia selama ini. Memang, dalam sejarah bangsa terdapat juga orang-orang besar lainnya yang berjasa untuk bangsa, namun tidak satu pun (!) yang bisa menyamai (apalagi melampaui !) kehebatan Bung Karno dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil, atau “wong cilik”. Sudah banyak sekali berbagai tulisan tentang Bung Karno, yang dalam bentuk buku (besar atau kecil) maupun artikel dalam majalah, termasuk yang banyak sekali diterbitkan oleh berbagai kalangan di luar negeri. Tetapi, karena permusuhan rejim militer Orde Baru terhadap Bung Karno selama 32 tahun, maka dalam waktu yang begitu panjang itu hanya sedikit sekalilah yang diketahui oleh orang banyak tentang sejarah perjuangan Bung Karno bagi kepentingan rakyat. Kalaupun pada waktu itu ada tulisan tentang Bung Karno, maka sebagian besar adalah hanya yang bersifat serba negatif saja, atau bahkan berupa fitnahan.
Jiwa besar adalah jatidiri Bung Karno Padahal, barangkali, tidak ada pemimpin Indonesia lainnya yang telah bisa menunjukkan karya yang begitu besar, gagasan yang begitu luhur, wawasan yang begitu luas, dan ajaran yang begitu revolusioner bagi bangsa, seperti yang telah diperlihatkan oleh Bung Karno. Kebesaran karya atau keluasan gagasannya sudah kelihatan jelas dalam pleidooi-nya yang amat bersejarah dalam tahun 1930 di depan Pengadilan kolonial Belanda (di Bandung) yang berjudul “Indonesia menggugat”. Karya besarnya “Indonesia Menggugat” ini didahului oleh karyanya dalam tahun 1926 (ketika ia baru berumur sekitar 25 tahun!) yang berupa tulisan “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” (yang menjadi dasar gagasannya di kemudian hari dengan penamaan Nasakom). Karya raksasa yang dibuatnya dalam usia 25 dan 29 tahun ini kemudian disusulnya dengan hasil pemikirannya yang maha besar dan gemilang lainnya, yaitu dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni tahun 1945. Kemudian, selama menjadi presiden dan sekaligus juga sebagai pemimpin besar revolusi rakyat Indonesia ia telah melahirkan berturut-turut ajaran-ajarannya tentang ManipolUsdek (tahun 59), Trisakti (tahun 64) , dan Berdikari (tahun 1965). Kalau kita baca kembali, dan kita kaji dengan dalam-dalam pula, segala bahan tentang berbagai karya, pemikiran, dan ajaran-ajarannya, maka akan bisa kita lihat dengan gamblang sekali bahwa Bung Karno adalah pemimpin rakyat yang berhaluan revolusioner atau berjiwa kiri. Boleh dikatakan bahwa sebagian terbesar dari pidato dan tulisannya sejak muda sampai ia menduduki jabatan sebagai presiden RI selalu dijelujuri benang merah yang berisi jiwa atau jatidiri Bung Karno, yaitu (yang terutama) : kegandrungannya mempersatukan seluruh bangsa untuk perjuangan, kecintaannya kepada rakyat kecil, kegigihannya dalam menentang nekolim, keteguhannya dalam menjalankan visi politiknya yang revolusioner. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 29
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Tokoh besar di tingkat nasional dan internasional Bung Karno adalah orang besar. Ia adalah pemimpin bangsa yang paling terkemuka dibandingkan dengan yang lain-lain. Selama perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian diteruskan - setelah Republik Indonesia diproklamasikan dalam tahun 1945 – Bung Karno memimpin perlawanan terhadap nekolim (neokolonialisme dan imperialisme, terutama imperialisme AS). Bung Karno adalah besar di tingkat nasional dan juga di tingkat internasional berkat pemikiranpemikirannya atau jiwanya yang revolusioner, yang kiri, yang anti-imperialisme, yang mendambakan masyarakat adil dan makmur di Indonesia (yang oleh Bung Karno juga dinamakan sosialisme à la Indonesia). Oleh karena itu, ia selalu dengan tekun, gigih, dan tak jemu-jemu menganjurkan persatuan seluruh bangsa untuk meneruskan revolusi yang belum selesai. Tidak banyak pemimpin Indonesia lainnya (bahkan, mungkin tidak ada !) yang bicara tentang perlunya rakyat mengadakan revolusi, sesering yang dikatakan oleh Bung Karno dalam banyak pidatonya dalam berbagai kesempatan. (sangat seringnya penyebutan revolusi olehnya ini dapat dibaca dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai”). Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mendapat dukungan sukarela dan tulus dari rakyat banyak (jadi bukan karena dikerahkan atau digiring dengan paksa) melalui dan bersama-sama berbagai macam organisasi atau gerakan massa yang sangat luas dari bawah. Sosok Bung Karno juga besar dan terhormat di luar negeri, terutama di kalangan rakyat berbagai negeri di Asia, Afrika, Amerika Lartin, dan di kalangan progresif di Amerika, Eropa, dan Australia. Singkatnya, nama Bung Karno dikenal oleh kebanyakan kaum kiri, nasionalis, dan progresif di banyak negeri di dunia. Juga di bidang ini keunggulan Bung Karno tidak bisa disaingi, apalagi dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, baik Suharto maupun lainnya Berjasa besar karena Konferensi Bandung dll. Pemimpin-pemimîn terkemuka di dunia, terutama yang kiri, atau yang nasionalis, dan yang antiimperialisme (seperti Nehru, Nasser, Ho Chi Min, Kwame Nkrumah, Fidel Castro, Che Guevara, Mao Tsetung dan Chou En-lai ) pada umumnya menaruh hormat, atau simpati besar, kepada Bung Karno. Bukan hanya Bung Karno telah berjasa besar kepada rakyat-rakyat di dunia dengan terselenggaranya Konferensi Bandung, yang merupakan peristiwa internasional yang amat bersejarah di dunia, melainkan juga berbagai politik dan tindakannya di bidang internasional. Bung Karno dengan gigih berusaha menggalang solidaritas antara berbagai negara dan rakyat Asia dan Afrika (juga Amerika Latin), sehingga pernah dianggap sebagai mercu suar bagi perjuangan rakyat berbagai negeri. Tindakannya untuk menyelenggarakan GANEFO dan juga gagasannya untuk melangsungkan CONEFO (Conference of the Emerging Forces) di Jakarta menunjukkan bahwa Bung Karno mengajak bangsa Indonesia untuk memainkan peran yang penting dalam bidang internasional. Itulah sebabnya, mengapa para Duta dan Dutabesar Indonesia di luarnegeri pada umumnya waktu itu mempunyai kebanggaan mewakili negara dan rakyat yang mempunyai citra revolusioner Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 30
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
yang sangat tinggi.( Ini bertentangan sama sekali dengan masa Orde Baru yang dalam waktu begitu lama banyak orang merasa malu menjadi orang Indonesia karena banyaknya kutukan atau kecaman terhadap tindakan-tindakan Suharto bersama para pendukung setianya) Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat Indonesia, bukan hanya karena ia memiliki berbagai kelebihan atau keunggulan, dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, sampai sekarang. Ia bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik sekali, atau bahkan secara amat indah, dalam pidato-pidatonya yang banyak diucapkannya tanpa teks . Dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan selama lebih dari 20 tahun memimpin negara ini kelihatan jelas sekali bahwa ia menguasai banyak pengetahuan di berbagai bidang, melebihi pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Bung Karno adalah pemimpin Indonesia yang menguasai juga bahasa Belanda dengan baik sekali, disusul oleh bahasa Inggris dan Jerman, dan (barangkali agak kurang) bahasa Perancis. Penguasaaannya dalam bahasa Inggris boleh dikatakan sangat menakjubkan, sehingga ia bisa berpidato tanpa teks dengan lancar sekali dan dengan nada atau irama indah dan lafal yang bagus pula. Dalam banyak kesempatan ia sering menunjukkan pengetahuannya yang banyak tentang sejarah bangsa Indonesia, sejak jaman purba sampai jaman perjuangan rakyat melawan kolonialisme Belanda. Karena sejak muda ia sudah terjun langsung dan secara dekat dalam arus pergerakan nasional (ingat : masa tinggalnya di rumah HOS Tjokroaminoto dan perkenalannya di situ dengan tokohtokoh nasionalis, komunis dan Islam yang kiri maka berbagai masalah yang berkaitan dengan nasionalisme dan kerakyatan dikenalnya sejak dini sekali. Dari sini pulalah mulainya titik berangkat perjalanan hidup Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis terkemuka sampai ia diangkat bersama oleh berbagai kalangan menjadi presiden. Sebagai penganut agama Islam ia pernah menjadi tokoh Muhammadiyah, dan walaupun tidak setara dengan sejumlah kyai yuang ternama, pengetahuannya tentang agama Islam tidaklah sedikit, sehingga sebagai kepala negara ia bisa sering memberikan ceramah atau kuliah mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan Islam. Oleh berbagai pemimpin terkemuka Islam di dunia Bung Karno mendapat penghargaan atau kehormatan yang tinggi, termasuk gelar Honoris Causa oleh Universitas Al Azhar Karena sejak muda (sekitar tahun 1925) ia sudah belajar tentang Marxisme maka pengetahuannya tentang teori-teori Marx Engels, Lenin, Trotsky dan lain-lainnya, bisa dikatakan melebihi ratarata pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan sekali dalam pidato-pidatonya tanpa teks, yang sering menjelaskan apa artinya kapitalisme, imperialisme, tentang revolusi Prancis dengan seringsering menyebut Danton, Jean Jaures, atau gerakan sosialis di dunia (umpamanya tentang peran Rosa Luxemburg, atau berbagai aspek dari revolusi Bosyewik di Rusia). Kiranya, karena itu pulalah maka Bung Karno berhak dan juga pantas menyebut dirinya sebagai marxist, berbeda dari kebanyakan pemimpin Indonesia lainnya. Kebesaran jiwa Bung Karno : revolusi ! Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 31
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Dengan mengingat itu semua maka kita bisa melihat dengan jelas dan juga mengerti dengan gamblang pula bahwa Bung Karno adalah pemimpin revolusioner rakyat yang besar , yang tiada taranya dalam sejarah bangsa sampai sekarang (!!!). Bung Karno adalah pemimpin besar, bukan hanya karena ia pandai berpidato hingga sering mengagumkan banyak orang, dan bukan hanya karena banyak menguasai soal-soal sejarah Indonesia dan sejarah dunia, dan juga bukan pula hanya karena ia mengenal baik Islam dan marxisme, melainkan karena KEBESARAN JIWANYA. Kebesaran jiwa Bung Karno-lah yang telah melahirkan tulisan “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” (tahun 1926), menyuarakan “Indonesia menggugat” (tahun 1930), melahirkan Pancasila sebagai dasar negara (tahun 1945), dan membuat berbagai ajaran penting lainnya bagi rakyat, antara lain Nasakom, Manipol-Usdek, Trisakti, Berdikari, yang terkandung dalam Panca Azimat Revolusi. Kebesaran jiwa Bung Karno adalah pengabdiannya dan susah-payahnya untuk mengajak dan membimbing diteruskannya revolusi - yang belum selesa (!) i - untuk mengadakan terus-menerus perubahan-perubahan besar di segala bidang, menuju masyarakat adil dan makmur, atau masyarakat sosialis à la Indonesia. Pada kesempatan memperingati Hari Ulang Tahunnya tanggal 6 Juni, maka sedikit bahan dalam uraian singkat tentang sosok, peran dan jasa Bung Karno seperti tersebut di atas bisalah kiranya membantu kita semua sekedarnya untuk mengenang kembali, dan juga merenungkan dalam-dalam, betapa besar arti Bung Karno dan ajaran-ajarannya bagi bangsa Indonesia. Bung Karno adalah milik yang berharga sekali bagi bangsa. Ajaran-ajarannya, yang bisa disimak dalam buku-buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai” adalah senjata bagi perjuangan bersama untuk mengadakan perubahan-perubahan besar, menuju masyarakat adil dan makmur.
Bung Karno adalah sumber inspirasi revolusioner Jiwa besar Bung Karno adalah sumber insipirasi revolusioer yang besar bagi mereka yang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak. Ajaran-ajaran revolusionernya mempunyai nilai-nilai abadi yang penting bagi bangsa dewasa ini dan juga untuk generasi yang akan datang.. Jelaslah bahwa bangsa Indonesia patut bangga mempunyai putra yang begitu besar jiwa perjuangan revolusionernya, yang dipertahankannya dengan gigih selama hidupnya, sampai akhir hayatnya semasa dalam tahanan Orde Barunya Suharto. Bagi mereka yang sungguh-sungguh mencintai rakyat kecil, atau yang benar-benar mendambakan persatuan dan kesejahteraan bangsa, atau yang ikut mengadakan perubahan-perubahan besar untuk melapangkan jalan menuju masyarakat adil dan makmur, maka akan menghargai dan mencintai ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata dan pembimbing bagi mereka yang mau sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat, untuk melawan kapitalisme atau neo-liberalisme beserta kaki-tangan atau antek-anteknya di dalam negeri.Ajaran-ajaran revolusioner yang begitu besar dan begitu penting bagi banyak orang tidaklah bisa didapat dari orang lain, kecuali dari Bung Karno. Hanyalah mereka yang anti-rakyat, yang reaksioner, yang tidak menginginkan masyarakat adil dan makmur, maka tidak bisa menghargai atau tidak mau melihat kebesaran jiwa Bung Karno. Dan juga hanya mereka yang cupet nalarnya dan picik fikirannya-lah yang menentang ajaran-ajaran Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 32
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
revolusioner Bung Karno atau bersikap anti-Sukarno, seperti kebanyakan pendukung Suharto..Dan hanyalah mereka yang kerdil jiwanya yang tidak mau mengakui jasa-jasa besar Bung Karno bagi perjuangan revolusioner bangsa. Kalau sama-sama kita perhatikan, maka nyatalah bahwa sejak dikhianatinya Bung Karno oleh Suharto beserta para jenderal pendukungnya - bersama-sama imperiailisme AS - dengan menggulingkannya sebagai presiden RI dan akhirnya membunuhnya dan mencoba mengubur ajaran-ajarannya yang besar, maka tidak pernah seorang pun yang bisa muncul sebagai pemimpin besar rakyat yang memiliki citra seagung dan seluhur seperti Bung Karno, sampai sekarang. !!! Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno Memang, kalau direnungkan dalam-dalam, dengan mengingat berbagai segi sejarah dan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia , maka jelaslah bahwa sosok dan jiwa besar dan revolusioner Bung Karno tidaklah bisa digantikan atau ditiru oleh pemimpin Indonesia yang lain, apalagi oleh orang yang mempunyai jiwa kerdil seperti Suharto, atau mereka lainnya yang sejenisnya. Oleh karena itu, apapun hasil pemilihan Presiden di bulan Juli yad, atau siapa pun yang akan jadi presiden RI, kita tetap perlu mengibarkan tinggi-tinggi panji-panji “Dibawah Bendera Revolusi” karena jelas bahwa “Revolusi belum selesai”. Memegang teguh dan mentrapkan secara kreatif inti sari atau isari pati ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah jalan untuk mengadakan perobahan, atau perombakan, atau reformasi total, terhadap situasi negara dan bangsa yang sedang ambrul-adul dewasa ini. Adalah omong kosong besar sekali (!) , kalau ada kalangan yang berkoar-koar menginginkan perubahan besar demi kepentingan rakyat tetapi sekaligus bersikap anti ajaran-ajaran Bung Karno. Berdasarkan pengalaman selama lebih dari 40 tahun, sejak Bung Karno digulingkan sampai sekarang,
kita bisa menyaksikan bagaimana hasil-hasil
di bidang politik, sosial, ekonomi,
kebudayaan dan moral bagi bangsa, yang telah dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan Orde Baru dan berikutnya, dengan meninggalkan sama sekali ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, dan bahkan memusuhinya. Padahal, jiwa atau inti ajaran-ajaran Bung Karno adalah perjuangan untuk perubahan-perubahan besar dan fundamental yang terus-menerus demi kepentingan rakyat banyak, dan meneruskan dengan teguh tugas-tugas revolusi yang belum selesai, menuju masyarakat adil dan makmur. Demikianlah arah jalan yang ditunjukkan oleh pemimpin besar rakyat dan revolusi Indonesia, Bung Karno. Paris, 5 Juni 2009 *
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 33
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA? Amanat di Depan Kongres Rakyat Jawa Timur Tanggal 24 September 1955 Di Surabaya Saudara -saudaraku sekalian, Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia. Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada Saudara-saudara sekalian: Assalamu 'alaikum wr. wb! Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada Saudara-saudara sekalian -- baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain -kepada Saudarasaudara sekalian saya menyampaikan salam nasional: "Merdeka!" Tahukah Saudara-saudara arti perkataan "salam" sebagai bagian dari perkataan assalamu 'alaikum wr.. wb? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamu 'alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu saya minta kepada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan assalamu' alaikum. Salam -- damai -- sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia -- terutama sekalian yang beragama Islam -- hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu 'alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat. Salam -- damai! Damai -- sejahtera! Rukun -- bersatu! Terutama sekali di dalam revolusi nasional kita belum selesai ini. Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik “Merdeka!" bersama-sama dengan kamu. Kamu yang ber-agama Islam,kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Budha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik "Merdeka!" adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu -- walau-punjumlahnya 80 juta – menjadi : bersatu tekad, memenuhi sumpahnya, "Sekali merdeka, tetap merdeka!”. Pekik "Merdeka!", Saudara-saudara, adalah "pekik pengikat". Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan dari bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme, dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini -- fase revolusi nasional yang belum selesai -- jangan lupa kepada pekik Merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik "Merdeka!”. Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republik-nya lewat di Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan minta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali dipekikkan pekik "Merdeka!" Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke negara Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 34
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Saudi Arabia -- sesudah Bapak meninggalkan kota Singapura -- geger pers imperialisme Singapura, Saudara-saudara. Mereka berkata:"Presiden Sukarno kurang ajar". Presiden Sukarno menjalanka Ill behaviour, katanya. Ill-behaviour itu artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak menjalankan ill behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka -- toh tahu, bahwa di sini masih di dalam kekuasaan asing -kok memekikkan pekik "Merdeka"? Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, -- Bapak dikeroyok oleh wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak: "Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behaviour, oleh karena PYM memekikkan pekik Merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik Merdeka? Apa jawab PYM atas tuduhan itu?" Bapak menjawab: "Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara Republik Indonesia, berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia -- pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia -- selalu memekikkan pekik "Merdeka"! Jangankan di sorga, di dalam neraka -pun!" Nah, Saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik Merdeka itu. Gegapgempitakan tiap-tiap kali pekik Merdeka itu. Apalagi -- sebagai Bapak katakan tadi -- dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama Islam, aku menyampaikan kepadamu salam "assalamu 'alaikum!" Sebagai warga negara Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu "Merdeka!" Saudara-saudara, aku pulang dari Bali -- beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang mengenai hal, "Apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila?" Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma. Tadi, tatkala aku baru masuk gèdung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah, Saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya Saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab Saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini -- isi hati Presiden, isi hati Bung Karno -kalau jauh dari rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya. Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada Saudara-saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Sukarno. Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno.-- Aku berpidato di sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas Pancasila? Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dan permintaan itu, insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik lndonesia. Justru oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik lndonesia, maka dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik lndonesia disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 35
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang Dasar kita. Di dalam Undang-Undang Dasar kita, dicantumkan satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan lndonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah. Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian pada 17 Agustus 1945, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu -- tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan -- satu naskah lagi. Empat kali naskah, Saudara-saudara. Dan di dalam ke-empat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila. Pertama, tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemaskemas di dalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinamakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima asas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara yang akan datang: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan. Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17 Agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya. Saudara-saudara, kukatakan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini --yaitu Undang-Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang di bawah ancaman bayonet Jepang -- kita rencanakan satu Undang-Undang Dasar dari Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam UndangUndang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial!. Tatkala -- berhubung dengan jalannya politik -- Negara Republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibuatlah UndangUndang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah UndangUndang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila. Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat memprotes akan adanya susunan federal iui. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur-lebur RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah lagi menjadi UndangUndang Dasar Sementara dari Negara Re-publik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang mengandung Pancasila. Jadi dengan tegas, Saudara-saudara, -- jelas! Empat kali di dalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah s. w. t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain ialah setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, Saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila-memenuhi permintaan itu. Dan pada ini malam dengan mengucap suka-syukur ke hadirat Allah s.w.t. aku berdiri di hadapan Saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak Tentara, dengan pihak Mobrig, Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 36
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
pihak Polisi, pihak Perintis, dengan pemuda, dengan pemudi --berdiri di hadapan Saudara-saudara dan anak--anak sekalian yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujanaku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah, Saudarasaudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab Negara Republik didasarkan atas dasar Pancasila. Saudara-saudara, ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!.Ya, jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita -- bahwa Sang Merah Putih, bendera kita -- itu pun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara. Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara dari Negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Ya, oleh karena akhimya nanti yang akan menentukan segala sesuatu ialah Konstituante. Maka itu, Saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 September nanti, insya Allah S.W.T. untuk memilih DPR. Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituante. Konstituante adalah Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. UndangUndang Dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-galanya masih sementara. Tetapi, Saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku, "Apa yang berisi kalbu Bapak ini akan permohonan kepada Allah s. w. t. ?" Terus terang aku berkata, jikalau Saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini, Saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno memohon kepada Allah s. w. t. supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila. Ya benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara-bendera Republik Indonesia-pun sementara! Dan jikalau nanti Konstituante bersidang, insya Allah s.w.t., Saudara-saudara-ku, siang dan malam Bapak akan memohon kepada Allah s. w. t. agar supaya Konstituante tetap menetapkan Bendera Sang Merah Putih sebagai bendera Negara Republik Indonesia. Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini. Jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia. Tahukah Saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno, bukan buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan seribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan lima ribu tahun!-Enam ribu tahun kita telah mengenal wama Merah Putih! Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah meng-agungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah Matahari dan Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu Matahari. Siang Matahari - malam Bulan. Matahari merah- Bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih. Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di dalam alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 37
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
di dalam alam ini dan kita melihat, - 0, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. Manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih. Getih - Getah. Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih - Getah. Cuma i diganti dengan a. Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang di dalam alam Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih - Getah. Merah - Putih. Saudarasaudara, itu adalah fase kedua. Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah dari perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih. Dan itulah sebabnya maka kita turun-temurun mengagungkan Merah-Putih. Apa yang dinamakan "gula-kelapa", mengagungkan bubur"bang-putih". Itulah sebabnya maka kita kemudian-tatkala kita mempunyai negara-negara setelah mempunyaikerajaankerajaan- memakai warna Merah-Putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singasari, Merah-Putih te1ah berkibar, terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah-Putih .. Dan tatkala kita mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908 dengan lahirnya Budi Utomo-dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (Nationaal Indische Partij), oleh ISDP, oleh PKI, oleh Sarekat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain-maka rakyat lndonesia tetap mencintai Merah-Putih sebagai warna benderanya. Dantatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan Sang Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kIta. Itu smua jika dikatakan sementara, ya sementara! Sebab Konstituante belum bersidang. Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut haknya, boleh saja. Sebab Konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi kalau Konstituante, misalnya, hendak menentukan wama bendera negara Republik lndonesia bukan Merah-Putih, ya mau dikatakan apa? Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepadaAllah s. w. t. agar supaya warna merah-putih tetap menjadi wama bendera Negara Republik lndonesia. Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, ya sementara! Lagi-lagi Bapak ini berkata: Allah S.w.t. Dan Bapak pun bersyukur ke hadiratAllah s.w.t., bahwa cita-cita Bapak yang sudah bertahuntahun untuk naik Haji dikabulkan olehAllah s. w.t. Lagi-Iagi Allah s.w. t Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti-ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang-jikalau ditanya oleh Malaikat: "Hai, Sukamo, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau paling ucapkan syukur kepada Allah s. w. t.?" Moga-moga, Saudara-saudara, aku bisa menjawabnya bisa menjawab demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s. w. 1.: "Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara Republik lndonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat lndonesia". Sebagai sering kukatakan, Saudara-saudara, negara adalah wadah.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 38
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Jikalau diberi karunia oleh Allah s. w. t. mengerjakan pekerjaan satu ini saja-Allahu'akbar!-aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnyawadahnya saja-yang bemama Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wad ah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat. Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenamya-wadah yang bernama Negara itu. Tidakkah Saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Cekoslovakia sekadar dengan coretan pena dari suatu konferensi kecil. Membentuk negara, gampang! Dulu di sini juga pernah dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, Saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah! Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apa pun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus-menerus. Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat Kristen, maupun masyarakat sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit, Saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjal napas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu! Ya, aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula. Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada Tuhan, jikalau aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lainlain telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih dari satu juta manusia, Saudarasaudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja. Tidak! Wadah yang bernama negara, negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun--tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau Allah S.W.T. memberikan kemerdekaan kepada kita-dulu Bapak berpikiran yang demikianlah-jikalau Negara Republik Indonesia telah bisa berdiri, negara ini agar supaya selamat, agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan apa? Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif di dalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiritatkala fajar telah menyingsing-lebih-lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap rakyat lndonesia, dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat. Sekarang aku menjadi Presiden Republik lndonesia adalah karunia Tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan hal ini. Dan aku tidak menyesal. bahwa aku telah memformulir Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih dari siapa pun di lndonesia ini, aku mengetahui akan keanekaaan bangsa lndonesia ini. Sebagai Presiden Republik lndonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melawat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahanjikalau di dalam kapal udara aku sering-seringkatakanlah-main gil a dengan pilot. Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya: Saudara pilot, berapa tinggi? "12.000 kaki, Paduka Yang Mulia." - Kurang tinggi, naikkan Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 39
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
lagi!
"13.000 kaki." - Hahaa, kurang tinggi, Bung! "14.000 kaki." - Kurang tinggi! "15.000 kaki." - Kurang tinggi! "16.000 kaki." - Kurang tinggi! "17.000 kaki. " - Kurang tinggi! "Sudah tidak bisa lagi, Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon".
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu. Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahuakbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab Max Havelaar, bahwa lndonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan, "Insulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd-Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa!" lndahnya demikian. Ya memang, Saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki di angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul lndonesia ini adalah sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu--ribu pulau Saudara lihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna--warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, Saudara-saudara. Lebih dari 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau-pulau. Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden-rakyat beragama Islam. Terbang lag i kapal udaraku, turun di Siborong-borong, daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita keda-tangan Presiden Repu-blik Indonesia-agamanya Kristen. Terbang lagi, Saudara-saudara, ke dekat Sibolga-agama Kris-ten. Terbang lagi ke selatan, ke Sumatera Tengah dan Sumatera Selatanagama Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan ber-agama Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin-kebanyakan Islam. Tetapi di Banjar-masin itu aku berjumpa utusanutusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusan-utusan, bahkan rakyat . Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri. Aku ber - ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan akujikalau beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan aku-kecuali Bung Karno, Pak Karnomenyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa-Islam. Terbang kapal udaraku ke Sumbawa-Kristen Pro-testan. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau di mana aku dulu diinternirrakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung Karno kenal akan rakyat Flores-sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang lag i kapal udaraku ke Timor-sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon-Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristen. Terbang lagi ke utara, ke Ternate-Islam di Ternate. Dari Ternate Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 40
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
terbang ke Manado, Minahasa sekeliling-nya-Kristen. Ke selatan, Makasar-Islam. Di tengah Sulawesi, Toraja-sebagian besar Kristen, sebagian belum ber-agama. Benar apa tidak perkataanku, Saudara-saudara, bahwa bangsa lndonesia adalah beraneka agama? Dernikian pula aku berkata, bahwa bangsa lndonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agama, beraneka adat-istiadat: lni yang menjadi pikiran Bapak berpuluh-puluh tahun. Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan lndonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pe-juangpejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat! Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang masyarakat lndonesia mau duduk pula di dalamnyayang diterima oleh Saudara-saudara yang ber-agama Islam, yang beragama Kristen Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh Saudara-saudara yang beragama lainyang bisa diterima oleh Saudara-saudara yang adat-istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian Saudara. Aku ti dak mencipta Pancasila, Saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan tahan lama. lni adalah satu ajaran yang dari mula-mulanya kupegang teguh: "Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, das ar untuk sesuatu wadah, jangan bikin sendiri, jangan Gnggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan dari sejarah! Gali sedalamdalamnya bumi dari sejarah!" Aku melihat masyarakat lndonesia, sejarah rakyat lndonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang, tetapi oleh karena penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa lndonesia. Aku oleh Universitas Gajah Mada dianugerahi titel Doctor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro mengucapkan pidatonya pada upacara pemberian titel Doctor Honoris Causa, pada waktu itu beliau berkata: "Saudara Sukarno, kami meng-hadiahkan kepada Saudara titel kehormatan Doctor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena Saudara pencipta Pancasila". Di dalam jawaban itu aku berkata: "Dengan terharu aku menerima titel Doctor Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila". Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali. Tidakkah benar, Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia, sebenarnya telah mengenal akan Pancasila? Tidakkah benar kita-dari dahulu mula-telah mengenal Tuhan, - hidup di dalam alam Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pemah menguraikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru, bukan karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan. Ya, kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu bangsa yang Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 41
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? Hidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai, engkau pemuda-pemuda, pemah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candicandi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo? Tahukah Saudarasaudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu, Mataram berarti Ibu. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu, misalnya perkataan mufter di dalam bahasa Jerman: Ibu; mother dalam bahasa Inggris: Ibu; moeder dalam bahasa Belanda: Ibu; mater dalam bahasa Latin: Ibu. Mataram berarti Ibu. Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan-Mataram. Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita? Ya, kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali "tidak akan makan palapa, jikalau belum segenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar". Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta dari kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak! Permimpin besar sekadar adalah sambungan lidah dari rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar-walaupun besarnya bagaimana pun juga-bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke. Bahkan sampai ke daerah Filipina sekarang. Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecilpemimpin gurem1 atau pemimpin yang bagaimana pun. Tetapi jikalau ada orang yang berkata, "Bung Karno yang meng-adakan negara Republik Indonesia"-tidak benar! !! Jangan pun satu Sukarno-sepuluh Sukarno, seratus Sukarno, seribu Sukarno-tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian! Kemerdekaan adalah hasil dari perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat,-tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua bangsa Indonesia. Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi-di mana pun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian-bagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di Surabaya-pada tanggal l0 November tahun 1945-siapa yang berjuang di sini? Segenap pemudapemudi, kiai, kaum buruh, kaum tani-segenap rakyat Surabaya-berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat, golongan atau suku. Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Aku tentang orang-orang ahli sejarah , yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah bangsa lain. Apa sebab? Oleh karena bangsa Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 42
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agamaagama yang kemudian. 1 (Bhs. Jawa) Kutu ayam yang sangat kecil. Di sini dipakai dalam arti kiasan. Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan "Tat -twam asi'. Apa artinya Tat twam asi? Tat twam asi berarti "Aku adalah dia, dia adalah aku". Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat twam asiperikemanusiaan. Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada kita perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah-kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur-siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan dari dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili dari sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggungjawab. Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita diajarkan cinta kepada Tuhan, lebih dari segala sesuatu dan cinta kepada sesama manusia, sama dengan cinta kepada diri kita sendiri? "Hebs U naasten lief gelijk U zelve. God boven alles"2. Jadi rasa kemanusiaan, bukan barang baru bagi kita. Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat. Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang 2 Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Cintailah Tuhan di atas segala hal. (bhs. Belanda). baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan sosial-bukan citacita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak! Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan - Saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda -semboyannya selalu "Ratu Adil". Ratu adil paramarta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrung-nya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa mau-pun Kebangsaan, maupun Perikemanusiaan, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang mencip-takan. Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa lndonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah, Saudara-saudara, maka di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai di dalam zaman Jepang-pertengahan tahun 1945- telah'diadakan satu sidang dari pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu dibicarakan halhal ini.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 43
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Pertama, apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah ataukah tidak? Semua berkata, "Harus berdasarkan satu falsafah!" Harus memakai dasar. Sebab kita melihat di dalam sejarah dunia ini banyak sekali negara-negara yang tidak berdasar, lantas berbuat jahat, oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup bagi rakyatnya. Kita melihat negara-negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup, tidak mempunyai dasar hidup, dengan sedih kita melihat bahwa negara-negara itu berbuat sesuatu yang sebenarnya melanggar kepada kedaulatan dan perikemanusiaan. Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu diputuskan akan memberi dasar kepada negara. Akhirnya saya mempersembahkan Pancasila. Dan syukur alhamdulillah sidang menerimanya. Dan tatkala kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dasar ini yang dipakai. Dan aku berkata, oleh karena dasar ini segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke menyambut kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang bisa membawa kita kepada cita-cita kita sekalian! Di dalam Kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres Partai Nasional Indonesia di Bandung 10 bulan yang lalu kuanjurkan persatuan ini. Oleh karena aku melihat gejala-gejala perpecahan makin lama makin meningkat, makin lama makin menampak. Bersatulah kembali, Saudara-saudara, ber-satulah rakyat Indonesia, bersatu kembali di dalam persatuan nasional revolusioner yang sebulat-bulatnya. Sebab kita duduk di dalam alam revolusi nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan nasional revolusioner, tidak bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku hidup di dalam alam persatuan ini, aku gandrung kepada persatuan ini, maka oleh karena itulah, jikalau aku sekarang sebagai Presiden Republik lndonesia berbicara di hadapan Saudara-saudara, resmi sebagai Presiden Republik lndonesia yang membentangkan kepada Saudara-saudara dasar negara, yang aku sumpah di atasnya seba-gai Presiden. Di samping itu aku bergembira hati diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara biasa membicarakan hal dasar--dasar negara mI. Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti dari Panca Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar dari jiwa Pancasila. Tidakkah Panca Dharma lima? Pertama, persatuan. Kedua, yang merusak persatuan yaitu yang mengacau-ngacau keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga, pembangunan, pembangunan, pemba-ngunan! Keempat, lrian Barat. Kelima, pemilihan umum. Pemilihan umum pada intinya ialah persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini-yang sudah dewasa 43 juta-diminta mengeluarkan suaranya dengan cara bebas, dalam alam suasana persaudaraan. Mari kita sekarang dengan tenang dalam suasana persaudaraan bangsa mengemukakan suara kita. Jiwa dari pemilihan umum adalah persatuan! Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau membangun ekonomi Indonesia dengan tidak persatuan? Tahukah engkau bahwa Indonesia ini ekonomi yang sebenarnya satu unit, satu kesatuan yang besar-yang jikalau satu daerah dikeluarkan, kocar-kacir ekonomi kita itu. Dan kita menyusun satu ekonomi kolonial, ekonomi imperialis? Tidak! Di dalam UndangUndang Dasar kita sebutkan dengan tegas bukan ekonomi untuk membikin gendutnya perutnya satu dua orang. Tetapi ekonomi yang membikin sejahteranya segenap rakyat. Inilah dasar, inti jiwa daripada Undang-Undang Dasar kita, meskipun Undang-Undang Dasar yang dinamakan sementara. Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera, layak, makmur. Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu. Tetapi ekonomi sama-rata, sama-rasa. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 44
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang baik buat semua, di dalam suasana kesatuan dan persatuan. Pengacau keamanan -bahwa itu memecah kepada persatuan, merugikan kepada rakyatperlukan masih kuuraikan? Tidak! Irian Barat. Sebab apa Saudara-saudara menuntut Irian Barat? Mungkin Saudara beragama Islam, di sana rakyatnya bukan Islam, lho! Kenapa Saudara menuntut Irian Barat supaya masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia? Saudara akan menjawab: "Aku menuntut lrian Barat kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian dari tanah air Indonesia, oleh karena suku Irian Barat adalah sebagian dari bangsa Indonesia seluruhnya. "
Lho, kenapa saudara menuntut lrian Barat kembali kepada kekuasaan Republik? Saudara akan menjawab: "Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu dari Sabang sampai ke Merauke". Jadi dasarnya ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu -aku sekali lagi menganjurkan kepada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan pemilihan umum ini- ingat kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa Indonesia adalah selalu kukatakan bukan bangsa yang kecil, jumlahnya 80 juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain-lainnya. Aku telah-alhamduli11ah-me1awat ke Mesir, keArabia, ke India, ke Karachi, ke Pakistan, ke Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecuali ke Eropa dan Amerika. Aku melihat bangsa kita potensinya hebat-hebat. Tidak ada satu tanah air dari sesuatu bangsa yang lebih hebat daripada tanah air Indonesia. Tidak ada satu bangsa yang lebih seragam sebenamya jikalau mau-dari bangsa Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah dari bangsa Indonesia. Jumlahnya pun tidak sedikit 80 juta. Lebih dari bangsa yang lain! Ya, kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini. Kalah dengan USSR (Sovyet Uni) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan India jumlah bangsa kita. Tetapi di samping yang empat ini, Saudara-saudara, tidak ada lagi yang mengalahkan kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya, yaitu Jepang. Tetapi yang lain-lain, semuanya kurang dari kita. Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi dan yang Bapak melihat semangatnya meluap-luap, berapa jumlah mereka? Mesir yang Bapak lihat-mereka membangun, membuat dam--dam yang besar, membuat jalan-jalan yang besar-jumlah mereka berapa? Mesir-yang membangun pula tentara, tentara yang hebat, membangun angkatan udara yang aku melihat pesawat-pesawat udara yang terbang di angkasa, Saudara-saudara berapa jumlah mereka? Duapuluh tiga juta - kita 80 juta. Aku datang di Saudi Arabia, berapa jumlah rakyat Saudi Arabia? Enam juta - kita 80 juta! Aku datang di Bangkok, disambut oleh Perdana Menteri Phibul Songgram. Tahukah engkau rakyat Thailand jumlahnya? Duapuluh juta-kita 80 juta. Kita bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang kecil. Kalau kita bersatu-kataku berkali-kali-jikalau kita 80 juta bersatupadu di dalam kesatuan nasional revolusioner, tidak ada satu cita-cita yang tidak terlaksana oleh kita. Sekian sajalah, amanat Bapak. Sumber: PANCASILA BUNG KARNO, (Himpunan pidato, ceramah, kursus dan kuliah), Penerbit PAKSI BHINEKA TUNGGAL IKA, Jakarta, 2005. Dikutip: MD Kartaprawira, Nederland 01 Juni 2009. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 45
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Memperingati tanggal 6 Juni
Hari Ulang Tahun Bung Karno Untuk memperingati Hari Ulang Tahun Bung Karno pada tanggal 6 Juni akan disajikan tulisan khusus untuk mengenang keagungan sosok pemimpin terbesar dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam menentang kolonialisme Belanda, dan memimpin perjuangan untuk merebut kemerdekaan, serta perlawanan terhadap imperialisme yang dikepalai oleh AS. Tulisan tersebut akan merupakan dukungan terhadap segala macam kegiatan (besar maupun kecilkecilan) oleh berbagai kalangan dalam masyarakat, untuk memperingati Hari Ulang Tahun bapak bangsa dan guru besar revolusioner rakyat ini. Sebab, dalam situasi menjelang pemilihan presiden RI yang akan diadakan bulan Juli yad, ketika seluruh bangsa sedang bertanya-tanya dan mencaricari sosok kepemimpinan yang paling tepat untuk membimbing rakyat menuju perubahan besar, maka mengangkat kembali tinggi-tinggi ajaran revolusioner Bung Karno adalah salah satu jalan untuk menunjukkan arah yang diperlukan bangsa. Tulisan ini akan disiarkan (dalam website dan juga di berbagai milis) menjelang tanggal 6 Juni yang akan datang. A. Umar Said http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=8331
2009-06-01
Menafsir Ulang Pancasila Oleh: Trisno S Sutanto "Pencarian tempat dan peran baru yang lebih tepat bagi agama di dalam tatanan demokratis Indonesia yang baru masih merupakan proses yang panjang dan menyakitkan. Konflik-konlfik potensial dalam proses pencarian itu masih ada di sana. Dan tidak seorang pun dapat menduga sampai kapan cara manajemen konflik 'bukan-ini bukan- itu' tersebut mampu tetap efektif." Pdt Eka Darmaputera (1999) ada akhirnya Eka -begitu saya biasa memanggil alm Pdt Dr Eka Darmaputera- benar. Lebih kurang sepuluh tahun lalu, ketika arus reformasi sedang mencapai titik zenit dengan lengser-nya Soeharto, dan orang beramai-ramai menolak diskursus Pancasila, Eka masih kukuh dengan pandangannya: Pancasila tetap merupakan cara terbaik dalam mengelola kemajemukan. Dan Eka benar. Hanya butuh sekitar sepuluh tahun, orang kembali menengok Pancasila dan membicarakannya lagi. Apalagi, ketika yang sedang dipertaruhkan menyodok landasan paling dasar dari kemajemukan: bagaimana perbedaan mau disikapi dan dikelola. Kontroversi UU Pornografi, rencana revisi KUHPidana yang justru makin mengkriminalisasi perbedaan agama, atau gejolak seputar hak-hak berkeyakinan jamaah Ahmadiyah, memaksa "kita" -saya memakai kata ganti ini begitu saja- menengok kembali Pancasila sebagai landasan bagi tatanan kehidupan bersama di tengah kemajemukan. Pancasila memberikan kompromi itu. Di dalam Pancasila segala bentuk perbedaan dihargai dan diakui, sekaligus tetap dijaga dalam bingkai kesatuan. Keduanya -kebinekaan dan kesatuan- selalu dilihat dan dipertimbangkan bersama, tanpa menafikan salah satunya. Karena keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama dan senantiasa harus dipertimbangkan di dalam suatu ketegangan kreatif. Mengingkari yang satu, sesungguhnya hanya akan menghancurkan sisi lainnya. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 46
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Sudah tentu, cara pandang dialektis itu, yang selalu harus mempertimbangkan kedua posisi tanpa mengabsolutkan (atau menafikan) salah satunya, memang rumit. Sebab, seakan-akan, tidak ada posisi yang serba pasti. Setiap posisi yang diambil haruslah direlatifkan untuk memberikan ruang bagi yang lain -ngono yo ngono yen ojo ngono, kata orang Jawa. Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu. Sebuah cara penghampiran yang rumit, tetapi agaknya tak terhindarkan jika orang mau mempertahankan kebinekaan sekaligus kesatuan! Dalam debat tentang dasar negara itu, misalnya, Pancasila jalan kompromi yang dulu disebut Eka sebagai neither-nor, bukan-ini bukan-itu. Maksudnya, bukan negara agama, tetapi sekaligus bukan negara sekular. Namun, harus dicatat, pola pendekatan neither-nor terbukti rentan dan tidak memadai di dalam melihat relasi problematis antara agama dengan negara. "Pencarian tempat dan peran baru yang lebih tepat bagi agama di dalam tatanan demokratis Indonesia yang baru," ujar Eka dalam pidatonya ketika menerima Abraham Kuyper Award (1999), "masih merupakan proses yang panjang dan menyakitkan. Konflik-konlfik potensial dalam proses pencarian itu masih ada di sana. Dan tidak seorang pun dapat menduga sampai kapan cara manajemen konflik 'bukan-ini bukan-itu' tersebut mampu tetap efektif." Begitu juga posisi neither-nor rentan pada proses-proses politik yang mau memakai entah perangkat negara untuk menjinakkan agama (dan dengan itu mempertahankan kekuasaan), atau sebaliknya dengan memakai tangan negara mau memperluas kepentingan kelompok tertentu. "Civic Pluralism" Dua sisi kerentanan di atas yang menjadikan upaya untuk menengok kembali Pancasila akhir-akhir ini, menjadi problematis. Pada satu sisi, orang makin menyadari kearifan para pendiri negara ini ketika memilih Pancasila sebagai landasan hidup bersama. Tetapi, pada sisi lain, Pancasila sebagai kompromi rentan dipakai untuk kepentingan berbeda-beda. Apalagi, pada tataran politik hukum nasional sekarang, Pancasila hampir tidak lagi diperhitungkan sebagai sumber kearifan. Itulah alasannya mengapa, menurut saya, sudah saatnya untuk membayangkan kemungkinan melampaui Pancasila -tentu sembari tetap menghormati semangat dasarnya. Tetapi ini hanya mungkin dilakukan jika Pancasila menjadi diskursus publik yang luas, semacam proses deliberasi bersama, dan tidak diserahkan pada elite kekuasaan yang hanya akan menjadikannya (lagi) sebagai "senjata ideologis". Dan, saya yakin, Pancasila menyediakan ruang bagi proses critical engagements tersebut. Kita harus mendedahnya lebih teliti. Di atas, saya sudah mengingatkan agar Pancasila seyogianya selalu dibaca di dalam ketegangan kreatif yang tidak mengabsolutkan (atau menafikan) salah satu kutub. Dalam soal relasi antara agama dengan negara, Pancasila menawarkan jalan ketiga yang layak dielaborasi. Posisi separasi mutlak ditolak, begitu juga subordinasi entah agama pada negara maupun sebaliknya. Artinya, dalam Pancasila memang diakui pemisahan antara ranah negara dengan agama, namun bukan dalam bentuk separasi mutlak (karena, saya kira, separasi mutlak hanyalah fiksi dunia modern) melainkan ruang-ruang otonom, sehingga critical engagements dapat berlangsung. Ruang-ruang otonom inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut, karena akan menentukan bukan hanya relasi agama dengan negara, tetapi juga antaragama. Ringkasnya, Pancasila sesungguhnya menawarkan ranah pergulatan civic pluralism di mana perbedaan diakui, bahkan dirayakan, dan mekanisme serta tata aturan hidup bersama dicari dan dirawat. Maka, alih-alih menafikan pluralitas (demi stabilitas atau kerukunan), kemajemukan justru menjadi ajang persemaian civic culture bagi kemashalatan bersama. Tuntutan bagi keadilan Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 47
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
sosial (sila kelima) dan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua), dua sila yang paling sering dilupakan dalam pembicaraan Pancasila, sesungguhnya merupakan arena pergulatan itu. Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara, bekerja di Madia(Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta
Pancasila menurut visi Bung Karno Rupanya, Hari Ulang Tahun Bung Karno pada tanggal 6 Juni menarik perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Salah satu dari tandanya adalah inisiatif dari Sdr MD. Kartaprawira yang tinggal di Nederland untuk menyajikan bagian-bagian dari himpunan pidato, ceramah, kursus dan kuliah, mengenai Pancasila, yang diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Penyajian kembali berbagai penjelasan Bung Karno tentang Pancasila ini sangatlah penting pada dewasa ini ketika sebagian dari masyarakat Indonesia sudah lupa betapa pentingnya Pancasila ini sebagai dasar untuk mempersatukan bangsa Indonesia, atau sebagai pedoman kehidupan bangsa. Hal ini kelihatan sekali dari berbagai kegiatan dari macam-macam kalangan yang berupa pernyataan-pernyataan dalam rapat-rapat, tulisan, atau ucapan, yang (antara lain) mempertentangkan Islam dengan Pancasila, atau mengatakan bahwa Pancasila sudah kedaluwarsa dan tidak cocok dengan perkembangan situasi dewasa ini. Di samping itu, penyajian kembali pidato-pidato Bung Karno mengenai Pancasila adalah penting sekali ( !!!) untuk menunjukkan bahwa Pancasila yang asli dan yang benar adalah seperti yang dijelaskan sendiri oleh penciptanya atau penggalinya, yaitu Bung Karno, dan sama sekali bukanlah yang dipalsu (secara khianat) oleh Suharto dan pendukung-pendukungnya (baik dari kalangan Golkar, militer, atau kalangan-kalangan lainnya) Dari menyimak dan merenungkan secara dalam-dalam berbagai pidato-pidato Bung Karno (yang disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/ ) maka kiranya kita semua dapat melihat betapa agungnya atau betapa luhurnya, dan merasakan pula betapa sejuknya Pancasila sebagai pengayom kehidupan bangsa Indonesia, yang terdiri dari 240 juta orang, puluhan ribu pulau, ratusan suku, ratusan adat-istiadat, ratusan bahasa daerah, dan berbagai agama atau keyakinan. Dalam rangka ini, disajikan lebih dulu amanat Bung Karno « Apa sebab negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ? » di depan Kongres Rakyat Jawa Timur tanggal 24 September 1955 di Surabaya. A. Umar Said Catatan tambahan : pidato penting dan sangat menarik di Surabaya ini, yang terdiri dari 10 halaman folio, dimuat selengkapnya di website. ***************************** Maaf, menyambut singkat saja. Yang "salah" ialah Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam, yang dengan cara apapun pihak Barat, para korporasi tentu dengan backing politik, harus menguasainya. Dalam bahan bahan terutama dari penulis AS, misalnya dari Itaca Un, NY, tertulis bahwa sudah sejak awal 1950an dimulai upaya untuk melemahkan Bung Karno (BK) yang patriot, ingin pertahankan kekayaan alam dan kemandirian, kedaulatan dll. BK melakukan banyak upaya mempertahankan kedaulatan RI, termasuk Dekrit 1959. Tentu beliau juga menggalang semua kekuatan revolusioner untuk tekad itu. Masuknya kedalam pendukung BK Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 48
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
juga banyak kekuatan kiri, disamping yang nasionalis, segera di blow up, dicap sebagai BK mendekat ke PKI dan juga RRT (RRC). Masalahnya ada perang dingin atau perang panas, SDA kita harus mereka kuasai. Tulisan tulisan tsb juga menyinggung bagaimana digelar aski aksi yang melemahkan situasi ekonomi untuk mendiskreditkan BK. Terbukti dalam sejarah bahwa BK saat itu sedang mulai meletakan dasar dasar ekonomi, seperti industri berat serta infra structure (pabrik besi baja, pembangkit tenaga listrik, jalan dll). Perang dingin telah dipakai sebagai pretext "mendekatnya" BK kekiri. Padahal BK mau nya bebas dan aktif, non blok. Pada 1965-66 terjadilah apa yang telah terjadi. Kini Kwik Kian Gie mengimgatkan lagi bahwa 1967 digelar di Geneva konferensi internasional untuk membagi-bagi SDA Indonesia. Dampaknya sampai sekarang. John Perkins menulis panjang lebar dalam bestsellernya tentang seorang "economic hitman". Kini dapat bebas dibaca tentang ini semua. Siapapun mudah mudahan dapat dan boleh menulis tentang sejarah. Banyak hal yang akan selamanya kabur, disembunyikan. Cara berpikir saya diantaranya dalam menghadapi kegelapan ini ialah prinsip Qui Bono? Siapa yang diuntungkan? Jelas sekali siapa yang telah diuntungkan selama 40 tahun kebelakang ini. Sekali lagi saya sangat menyambut keinginan menerbitkan Kumpulan Pidato Bung Karno tersebut. Semoga terkabul dan sukses. Salam, Bismo DG, Praha ----- Original Message ----From: Fakih, Ridwan To: [email protected] ; [email protected] Cc: Garudamukha Jakarta ; [email protected] ; sastra-pembebasan@ yahoogroups.com ; [email protected] Sent: Wednesday, June 03, 2009 10:00 AM Subject: #sastra-pembebasan# RE: [HKSIS] Re: [mediacare] Pidato BungKarno 1945-1955 lengkap! Indonesia Jaman 1050 -1955 makmur, tetapi setelah Dekrit Presiden 1959 dalam Pemerintahan Bung Karno Jaman demokrasi Terpimpin........sedikit demi sedikit rakyat menjadi saja susah, makan nasi diganti makan jagung Nggak lalu di bulgur..........Sebagai proklamator Kita akui Jasa Bung Karno sebagai bapak Bangsa. Tetapi jaman Demokrasi terpimpin setelah Dekrit Presiden 1959......Indonesia keluar dari PBB mendirikan PBB tandingan CONEFO Kluar dari Olimpiade, mendirikan Negara..puncaknya G30S PKI
GANEFO...ditengan
kemiskinan
........maka
bakrutlah
Dan Bung Karno Jatuh.....Dan ini saya alami sendiri. Sebagai Proklamator dan sebagai Bapak Bangsa kita tetap mengakui. Tetapi keberhasilan Beliau memimpin Bangsa, beliau telah Gagal. Manusia tidak pernah sempurna. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 49
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Marilah kita menilai semua pemimpin Bangsa dengan proporsional. Salam ridwan
*Kolom IBRAHIM ISA* *Kemis, 04 Juni 2009* *-----------------------------*
*MARI BERUSAHA MEMAHAMI DAN MENTRAPKAN * *AJARAN-AJARAN BUNG KARNO* *<Memperingati HARI ULTAH BUNG KARNO>* Suatu gejala yang menggembirakan belakangan ini, ialah semakin banyaknya tulisan dan ucapan yang mengingatkan kita semua, pada AJARAN BUNG KARNO. Banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan apa itu ajaran-ajaran Bung Karno. Apa itu PANCASILA, ajaran Bung Karno yang programatis dan visionair. Apa itu ide Bung Karno mengenai persatuan bangsa dan kesatuan negeri dari Sabang sampai Merauké. Apa itu mempersatukan semua kekuatan nasional yang terdiri dari kaum nasionalis, Islam dan Marxis. Berbagai kegiatan sekitar Hari Ultah Bung Karno, diambil positifnya, bermaksud, bukan sekadar formalitas belaka, atau lamis-lamis di bibir saja. Bukan pula ikut-ikutan saja memperingati Hari Ultah Bung Karno. Tidak, maksudnya tidak ikut-ikutan saja. Tetapi, untuk benar-benar menggali kembali ajaran Bung Karno. Berusaha memahami kemudian mentrapkannya. Perhatian dan keinginan menyelami kembali ajaran-ajaran Bung Karno, memperoleh inspirasi dan pegangan serta penyuluh untuk bangsa dan negeri, -- itu semua erat kaitannya dengan situasi bangsa dewasa ini. Yang tidak menggembirakan. Bahkan terkadang memilukan. Terutama yang menyangkut nasib dan peri-kehidupan rakyat kecil, yaitu jumlah terbesar bangsa kita. Melihat perkembangan situasi dari hari ke hari, hati menjadi gundah khawatir. Menyakasikan berbagai cara yang digunakan para elite politik dan pelbagai parpol dalam berkampanye selama pemilu caleg yang lalu yang diteruskan dalam kampanye pilpres. Ketika membicarakan masalah ekonomi neo-liberisme yang sedang gencar disoroti belakangan ini, dikemukakan hasil studi dan analisis bahwa malapetaka yang diderita Indonesia dewasa ini adalah akibat kebijakan ekonomi Orba yang ternyata fatal. Ditunjukkan bahwa Orba membangun negeri dan bangsa, dengan sepenuhnya bersandar pada 'bantuan', pinjaman dan 'grants' dari luarnegeri. Garis umum pembangunan ekonomi Orba, sepenuhnya bersandar pada IMF, World Bank, dan bank-bank berduit lainnya di luar negeri. Kebijakan Orba yang fatal tsb, dulu diuaruarkan sebagai 'win-win solution'. Karena, demikian dikatakan, dengan bantuan luar negeri, serta membuka pasaran dalam negeri serta kesempatan penanaman modal asing, Indonesia, demikian dikampanyekan, akan memperoleh kesempatan 'terbaik' untuk membangun ekonomi negeri. Tambah lagi dengan memberikan konsesi besar-besaran serta membuka lebarlebar sumber kekayaan bumi dan laut negeri untuk dieksploitasi oleh perusahaan-perusaan asing. Kebijakan pembangunan Orba ini ternyata mengakibatkan dikuras habisnya kekyaan bumi dan laut Indnesia oleh perusahaan-perusahaan raksasa asing.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 50
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Kebijakan pembangunan ekonomi Orba, merupakan pelaksanaan dari konsep 'pembangunan' versi IMF dan World Bank, yang mereka sodorkan bagi negeri-negeri dunia ketiga. Konsep tsb nyatanya hanya mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah bagi kaum kapital monopoli, bagi perusahaan-perusahaan asing. Di dalam negeri memberikan 'kemakmuran' dan kemewahan bagi sementara petinggi militer, birokrasi dan lapisan atas masyarakat. Sedangkan rakyat kecil masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Kecuali membebankan kas negara dan rakyat dengan hutang luarnegeri sekitar 150 milyar USD, kebijakan ekonomi Orba tsb, melahirkan prakek KKN yang subur, menjadikan budaya korupsi merajalela dari atas sampai ke bawah. Menjadi suatu praktek yang sudah MEMBUDAYA. Siapa yang tidak menyaksikan, -- begitu gampangnya para elite politik, yang baru maupun yang lama berjubah baru, menyebar janji. Memikat rakyat, dan . . . . bergelimang dengan cara-cara 'money-politics'. Tujuannya satu: untuk merebut suara pemilih sebanyak mungkin. Sebenarnya, di bawah sistim demokrasi, pemilu dan kampanye pemilu adalah wajar dan merupakan salah satu elemen demokrasi. Dengan syarat, kampanye dan pemilu itu dilakukan secara wajar, jujur, menurut aturan hukum, serta sesuai etika politik demokrasi. Namun, yang kita lihat dan ikuti selama ini, adalah di luar kewajaran. Mereka-mereka itu tidak sega-segan untuk kesekian kalinya menghamburkan banyak uang dan janji-janji pemilu dan pilpres, tapi, yang tak pernah akan dilaksanakannya. Belakangan ini, negeri kita untuk kesekian kalinya kena terjang krisis moneter dan finansil dunia kapitalis. Suatu krisis yang dimulai di Amerika, melanda Eropah dan Asia kemudian menerjang Indonesia. Saat ini keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia masih dalam keadaan mencemaskan. Belum ada tanda-tanda yang nyata dan hakiki, bahwa, negeri ini sudah lepas dari dampak krisis kredit dan krisis moneter global. Mungkin juga karena keseleo omong, SBY baru-baru ini saja, sampai terucap bahwa Indonesia dewasa ini sudah 'broke'. Menuruti bahasa Jakarta, artinya -Indonesia sudah 'boké'. Situasi ekonomi negeri kia, sampai detik ini, samasekali belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Jangan lagi dikatakan dimulainya suatu proses pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi pada kemakmuran merata bagi rakyat. Janji-janji hendak melaksanakan 'ekonomi-rakyat', sejak berdirinya pemerintah pasca-Reformasi, sampai sekarang ternyata hanya tinggal janji saja. *** Lapisan luas cendekiawan, media dan politisi sedang sibuk mencari-cari, jalan mana yang mau ditempuh negeri ini selanjutnya. Bagaimana bunyinya konsep pembangunan dan konsolidasi Republik Indonesia, yang lebih sesuai dengan syarat-syarat di Indonesia, dan sesuai dengan amanah yang tertera dalam UUD RI. Tampak ada kesibukan memikirkan konsep mana yang paling baik dan sesuai untuk memulai pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan nasional, pada rakyat kecil. Telah diungkap dan dianalisis pula apa itu neo-liberalisme, yang dianggap merupakan sumber malapetaka ekonomi Indonesia sekarang ini. Neo-liberalisme yang diartikan, ketergantungan Indonesia pada luar, pada modal asing, pada IMF dan World Bank, pada pinjaman dari negaranegara 'maju' seperti AS, Jepang, Eropah Barat, dll negeri-negeri yang mempraktekkan sistim ekonomi kapitalis mondial. Ditegaskan pula keharusan pemerintah Indonesia dengan tegas menolak syarat-syarat 'bantuan' dan 'penanaman modal' yang disodorkan oleh fihak luar, sebagai syarat kesediaan mereka berbisnis dengan Indonesia. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 51
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
*** Bila ditelaah secara jujur, sejak Presiden Sukarno menjadi kepala pemerintahan, yang sesuai dengan UUD RI 1945, beliau samasekali belum diberi kesempatan yang cukup untuk memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi Indonesia. Negeri dan bangsa dihadapkan pada strategi 'Perang Dingin' fihak Barat, yang menggiring negeri-negeri dunia ketiga untuk menjadi pion-pion dalam pelaksanaan 'Perang Dingin'. Imperialisme dan kolonialisme sangat giat merongrong RI dengan cara memcetuskan gerakan separatis yang dilanjutkan dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Selanjutnya Indonesia dihadapkan pada tugas nasional untuk membebaskan Irian Barat dari sisasisa kolonialisme Belanda di Indonesia. Itu semua memerlukan banyak dana yang harus diambil dari kas negeri. Di lain fihak kaum imperialis dan kolonialis berusaha keras untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan cara-cara yang biasa digunakan oleh CIA. Namun, Presiden Sukarno tokh berhasil menyusun suatu konsep pembangunan ekonomi nasional yang berdikari dan berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat, yang dikenal dalam konsep DEKON -- Deklarasi Ekonomi. Konsep pembangunan yang disusun demi menciptakan suatu ekonomi nasional yang kuat dan makmur, sayang, tak sempat dilaksanakan. Penyebabnya ialah KUDETA MERANGKAK' Jendral Suharto, yang akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno, memenjarakan beliau sampai akhir hidupnya. *** Dengan demikian, dalam usaha mencari konsep pembangunan ekonomi nasional yang berdikari dan merakyat, seyogianya, bermanfaat mempelajari kembali apa yang tertera dalam konsep pembangunan ekonomi DEKON. Menggalakkan mempelajari kembali ajaran-ajaran Bung Karno, pada tempatnya, untuk menyimak kembali konsep pembangunan ekonomi DEKON, yang dirumuskan dan disahkan oleh pemerintahan Presiden Sukarno. Suatu rencana pembangunan ekonomi yang pertama-tama dan terutama berdasarkan kekuatan dan kemampuan sendiri, tanpa menolak faktor luar yang saling menguntungkan. Suatu pembangunan ekonomi yang terutama dan pertama-tama dilakukan dengan bersandar pada kekuatan sendiri. Kiranya ini adalah salah satu cara yang baik untuk memperingati HARI ULTAH BUNG KARNO, 06 Juni 2009, lusa. *** Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/ Sumbangan fikiran untuk renungan bersama Memperingati HUT Bung Karno 6 Juni Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno Memperingati Hari Ulang Tahun Bung Karno pada tiap tanggal 6 Juni adalah suatu hal yang amat penting, mengingat tempatnya yang amat tinggi dan begitu terhormat dalam sejarah rakyat Indonesia berkat jasa-jasanya yang besar dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan mengingat pula betapa pentingnya ajaran-ajaran revolusionernya untuk mempersatukan seluruh bangsa. Di antara ajaran-ajarannya yang teramat penting itu adalah Pancasila, yang sudah menjadi dasar
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 52
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
negara Republik Indonesia dan hari lahirnya pada tanggal 1 Juni juga diperingati oleh berbagai kalangan Kalau kita renungkan dalam-dalam, dengan mengingat perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka setiap orang yang mempelajari – walaupun sedikit - sejarah dengan baik, akan melihat dengan jelas bahwa Bung Karno adalah benar-benar sosok yang paling besar dan tidak ada tandingannya di Indonesia selama ini. Memang, dalam sejarah bangsa terdapat juga orang-orang besar lainnya yang berjasa untuk bangsa, namun tidak satu pun (!) yang bisa menyamai (apalagi melampaui !) kehebatan Bung Karno dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil, atau “wong cilik”. Sudah banyak sekali berbagai tulisan tentang Bung Karno, yang dalam bentuk buku (besar atau kecil) maupun artikel dalam majalah, termasuk yang banyak sekali diterbitkan oleh berbagai kalangan di luar negeri. Tetapi, karena permusuhan rejim militer Orde Baru terhadap Bung Karno selama 32 tahun, maka dalam waktu yang begitu panjang itu hanya sedikit sekalilah yang diketahui oleh orang banyak tentang sejarah perjuangan Bung Karno bagi kepentingan rakyat. Kalaupun pada waktu itu ada tulisan tentang Bung Karno, maka sebagian besar adalah hanya yang bersifat serba negatif saja, atau bahkan berupa fitnahan. Jiwa besar adalah jatidiri Bung Karno Padahal, barangkali, tidak ada pemimpin Indonesia lainnya yang telah bisa menunjukkan karya yang begitu besar, gagasan yang begitu luhur, wawasan yang begitu luas, dan ajaran yang begitu revolusioner bagi bangsa, seperti yang telah diperlihatkan oleh Bung Karno. Kebesaran karya atau keluasan gagasannya sudah kelihatan jelas dalam pleidooi-nya yang amat bersejarah dalam tahun 1930 di depan Pengadilan kolonial Belanda (di Bandung) yang berjudul “Indonesia menggugat”. Karya besarnya “Indonesia Menggugat” ini didahului oleh karyanya dalam tahun 1926 (ketika ia baru berumur sekitar 25 tahun!) yang berupa tulisan “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” (yang menjadi dasar gagasannya di kemudian hari dengan penamaan Nasakom). Karya raksasa yang dibuatnya dalam usia 25 dan 29 tahun ini kemudian disusulnya dengan hasil pemikirannya yang maha besar dan gemilang lainnya, yaitu dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni tahun 1945. Kemudian, selama menjadi presiden dan sekaligus juga sebagai pemimpin besar revolusi rakyat Indonesia ia telah melahirkan berturut-turut ajaran-ajarannya tentang Manipol-Usdek (tahun 59), Trisakti (tahun 64) , dan Berdikari (tahun 1965). Kalau kita baca kembali, dan kita kaji dengan dalam-dalam pula, segala bahan tentang berbagai karya, pemikiran, dan ajaran-ajarannya, maka akan bisa kita lihat dengan gamblang sekali bahwa Bung Karno adalah pemimpin rakyat yang berhaluan revolusioner atau berjiwa kiri. Boleh dikatakan bahwa sebagian terbesar dari pidato dan tulisannya sejak muda sampai ia menduduki jabatan sebagai presiden RI selalu dijelujuri benang merah yang berisi jiwa atau jatidiri Bung Karno, yaitu (yang terutama) : kegandrungannya mempersatukan seluruh bangsa untuk perjuangan, kecintaannya kepada rakyat kecil, kegigihannya dalam menentang nekolim, keteguhannya dalam menjalankan visi politiknya yang revolusioner. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 53
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Tokoh besar di tingkat nasional dan internasional Bung Karno adalah orang besar. Ia adalah pemimpin bangsa yang paling terkemuka dibandingkan dengan yang lain-lain. Selama perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian iteruskan - setelah Republik Indonesia diproklamasikan dalam tahun 1945 – Bung Karno memimpin perlawanan terhadap nekolim (neokolonialisme dan imperialisme, terutama imperialisme AS). Bung Karno adalah besar di tingkat nasional dan juga di tingkat internasional berkat pemikiranpemikirannya atau jiwanya yang revolusioner, yang kiri, yang anti-imperialisme, yang mendambakan masyarakat adil dan makmur di Indonesia (yang oleh Bung Karno juga dinamakan sosialisme à la Indonesia). Oleh karena itu, ia selalu dengan tekun, gigih, dan tak jemu-jemu menganjurkan persatuan seluruh bangsa untuk meneruskan revolusi yang belum selesai. Tidak banyak pemimpin Indonesia lainnya (bahkan, mungkin tidak ada !) yang bicara tentang perlunya rakyat mengadakan revolusi, sesering yang dikatakan oleh Bung Karno dalam banyak pidatonya dalam berbagai kesempatan. (sangat seringnya penyebutan revolusi olehnya ini dapat dibaca dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai”). Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mendapat dukungan sukarela dan tulus dari rakyat banyak (jadi bukan karena dikerahkan atau digiring dengan paksa) melalui dan bersama-sama berbagai macam organisasi atau gerakan massa yang sangat luas dari bawah. Sosok Bung Karno juga besar dan terhormat di luar negeri, terutama di kalangan rakyat berbagai negeri di Asia, Afrika, Amerika Lartin, dan di kalangan progresif di Amerika, Eropa, dan Australia. Singkatnya, nama Bung Karno dikenal oleh kebanyakan kaum kiri, nasionalis, dan progresif di banyak negeri di dunia. Juga di bidang ini keunggulan Bung Karno tidak bisa disaingi, apalagi dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, baik Suharto maupun lainnya Berjasa besar karena Konferensi Bandung dll. Pemimpin-pemimîn terkemuka di dunia, terutama yang kiri, atau yang nasionalis, dan yang antiimperialisme (seperti Nehru, Nasser, Ho Chi Min, Kwame Nkrumah, Fidel Castro, Che Guevara, Mao Tsetung dan Chou En-lai ) pada umumnya menaruh hormat, atau simpati besar, kepada Bung Karno. Bukan hanya Bung Karno telah berjasa besar kepada rakyat-rakyat di dunia dengan terselenggaranya Konferensi Bandung, yang merupakan peristiwa internasional yang amat bersejarah di dunia, melainkan juga berbagai politik dan tindakannya di bidang internasional. Bung Karno dengan gigih berusaha menggalang solidaritas antara berbagai negara dan rakyat Asia dan Afrika (juga Amerika Latin), sehingga pernah dianggap sebagai mercu suar bagi perjuangan rakyat berbagai negeri. Tindakannya untuk menyelenggarakan GANEFO dan juga gagasannya untuk melangsungkan CONEFO (Conference of the Emerging Forces) di Jakarta menunjukkan bahwa Bung Karno mengajak bangsa Indonesia untuk memainkan peran yang penting dalam bidang internasional.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 54
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Itulah sebabnya, mengapa para Duta dan Dutabesar Indonesia di luarnegeri pada umumnya waktu itu mempunyai kebanggaan mewakili negara dan rakyat yang mempunyai citra revolusioner yang sangat tinggi.( Ini bertentangan sama sekali dengan masa Orde Baru yang dalam waktu begitu lama banyak orang merasa malu menjadi orang Indonesia karena banyaknya kutukan atau kecaman terhadap tindakan-tindakan Suharto bersama para pendukung setianya) Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat Indonesia, bukan hanya karena ia memiliki berbagai kelebihan atau keunggulan, dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, sampai sekarang. Ia bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik sekali, atau bahkan secara amat indah, dalam pidato-pidatonya yang banyak diucapkannya tanpa teks . Dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan selama lebih dari 20 tahun memimpin negara ini kelihatan jelas sekali bahwa ia menguasai banyak pengetahuan di berbagai bidang, melebihi pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Bung Karno adalah pemimpin Indonesia yang menguasai juga bahasa Belanda dengan baik sekali, disusul oleh bahasa Inggris dan Jerman, dan (barangkali agak kurang) bahasa Perancis. Penguasaaannya dalam bahasa Inggris boleh dikatakan sangat menakjubkan, sehingga ia bisa berpidato tanpa teks dengan lancar sekali dan dengan nada atau irama indah dan lafal yang bagus pula.
Dalam
banyak
kesempatan
ia
sering
menunjukkan
pengetahuannya
yang
banyak
tentang sejarah bangsa Indonesia, sejak jaman purba sampai jaman perjuangan rakyat melawan kolonialisme Belanda. Karena sejak muda ia sudah terjun langsung dan secara dekat dalam arus pergerakan nasional (ingat : masa tinggalnya di rumah HOS Tjokroaminoto dan perkenalannya di situ dengan tokohtokoh nasionalis, komunis dan Islam yang kiri maka berbagai masalah yang berkaitan dengan nasionalisme dan kerakyatan dikenalnya sejak dini sekali. Dari sini pulalah mulainya titik berangkat perjalanan hidup Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis terkemuka sampai ia diangkat bersama oleh berbagai kalangan menjadi presiden. Sebagai penganut agama Islam ia pernah menjadi tokoh Muhammadiyah, dan walaupun tidak setara dengan sejumlah kyai yuang ternama, pengetahuannya tentang agama Islam tidaklah sedikit, sehingga sebagai kepala negara ia bisa sering memberikan ceramah atau kuliah mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan Islam. Oleh berbagai pemimpin terkemuka Islam di dunia Bung Karno mendapat penghargaan atau kehormatan yang tinggi, termasuk gelar Honoris Causa oleh Universitas Al Azhar Karena sejak muda (sekitar tahun 1925) ia sudah belajar tentang Marxisme maka pengetahuannya tentang teori-teori Marx Engels, Lenin, Trotsky dan lain-lainnya, bisa dikatakan melebihi ratarata pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan sekali dalam pidato-pidatonya tanpa teks, yang sering menjelaskan apa artinya kapitalisme, imperialisme, tentang revolusi Prancis dengan seringsering menyebut Danton, Jean Jaures, atau gerakan sosialis di dunia (umpamanya tentang peran Rosa Luxemburg, atau berbagai aspek dari revolusi Bosyewik di Rusia). Kiranya, karena itu pulalah maka Bung Karno berhak dan juga pantas menyebut dirinya sebagai marxist, berbeda dari kebanyakan pemimpin Indonesia lainnya. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 55
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Kebesaran jiwa Bung Karno : revolusi ! Dengan mengingat itu semua maka kita bisa melihat dengan jelas dan juga mengerti dengan gamblang pula bahwa Bung Karno adalah pemimpin revolusioner rakyat yang besar , yang tiada taranya dalam sejarah bangsa sampai sekarang (!!!). Bung Karno adalah pemimpin besar, bukan hanya karena ia pandai berpidato hingga sering mengagumkan banyak orang, dan bukan hanya karena banyak menguasai soal-soal sejarah Indonesia dan sejarah dunia, dan juga bukan pula hanya karena ia mengenal baik Islam dan marxisme, melainkan karena KEBESARAN JIWANYA. Kebesaran jiwa Bung Karno-lah yang telah melahirkan tulisan “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” (tahun 1926), menyuarakan “Indonesia menggugat” (tahun 1930), melahirkan Pancasila sebagai dasar negara (tahun 1945), dan membuat berbagai ajaran penting lainnya bagi rakyat, antara lain Nasakom, Manipol-Usdek, Trisakti, Berdikari, yang terkandung dalam Panca Azimat Revolusi. Kebesaran jiwa Bung Karno adalah pengabdiannya dan susah-payahnya untuk mengajak dan membimbing diteruskannya revolusi - yang belum selesa (!) i - untuk mengadakan terus-menerus perubahan-perubahan besar di segala bidang, menuju masyarakat adil dan makmur, atau masyarakat sosialis à la Indonesia. Pada kesempatan memperingati Hari Ulang Tahunnya tanggal 6 Juni, maka sedikit bahan dalam uraian singkat tentang sosok, peran dan jasa Bung Karno seperti tersebut di atas bisalah kiranya membantu kita semua sekedarnya untuk mengenang kembali, dan juga merenungkan dalam-dalam, betapa besar arti Bung Karno dan ajaran-ajarannya bagi bangsa Indonesia. Bung Karno adalah milik yang berharga sekali bagi bangsa. Ajaran-ajarannya, yang bisa disimak dalam buku-buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai” adalah senjata bagi perjuangan bersama untuk mengadakan perubahan-perubahan besar, menuju masyarakat adil dan makmur. Bung Karno adalah sumber inspirasi revolusioner Jiwa besar Bung Karno adalah sumber insipirasi revolusioer yang besar bagi mereka yang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak. Ajaran-ajaran revolusionernya mempunyai nilai-nilai abadi yang penting bagi bangsa dewasa ini dan juga untuk generasi yang akan datang.. Jelaslah bahwa bangsa Indonesia patut bangga mempunyai putra yang begitu besar jiwa perjuangan revolusionernya, yang dipertahankannya dengan gigih selama hidupnya, sampai akhir hayatnya semasa dalam tahanan Orde Barunya Suharto. Bagi mereka yang sungguh-sungguh mencintai rakyat kecil, atau yang benar-benar mendambakan persatuan dan kesejahteraan bangsa, atau yang ikut mengadakan perubahan-perubahan besar untuk melapangkan jalan menuju masyarakat adil dan makmur, maka akan menghargai dan mencintai ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata dan pembimbing bagi mereka yang mau sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat, untuk melawan kapitalisme atau neo-liberalisme beserta kaki-tangan atau antek-anteknya di dalam negeri.Ajaran-ajaran revolusioner yang begitu besar dan begitu penting bagi banyak orang tidaklah bisa didapat dari orang lain, kecuali dari Bung Karno.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 56
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Hanyalah mereka yang anti-rakyat, yang reaksioner, yang tidak menginginkan masyarakat adil dan makmur, maka tidak bisa menghargai atau tidak mau melihat kebesaran jiwa Bung Karno. Dan juga hanya mereka yang cupet nalarnya dan picik fikirannya-lah yang menentang ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno atau bersikap anti-Sukarno, seperti kebanyakan pendukung Suharto..Dan hanyalah mereka yang kerdil jiwanya yang tidak mau mengakui jasa-jasa besar Bung Karno bagi perjuangan revolusioner bangsa. Kalau sama-sama kita perhatikan, maka nyatalah bahwa sejak dikhianatinya Bung Karno oleh Suharto beserta para jenderal pendukungnya - bersama-sama imperiailisme AS - dengan menggulingkannya sebagai presiden RI dan akhirnya membunuhnya dan mencoba mengubur ajaranajarannya yang besar, maka tidak pernah seorang pun yang bisa muncul sebagai pemimpin besar rakyat yang memiliki citra seagung dan seluhur seperti Bung Karno, sampai sekarang. !!! Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno Memang, kalau direnungkan dalam-dalam, dengan mengingat berbagai segi sejarah dan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia , maka jelaslah bahwa sosok dan jiwa besar dan revolusioner Bung Karno tidaklah bisa digantikan atau ditiru oleh pemimpin Indonesia yang lain, apalagi oleh orang yang mempunyai jiwa kerdil seperti Suharto, atau mereka lainnya yang sejenisnya. Oleh karena itu, apapun hasil pemilihan Presiden di bulan Juli yad, atau siapa pun yang akan jadi presiden RI, kita tetap perlu mengibarkan tinggi-tinggi panji-panji “Dibawah Bendera Revolusi” karena jelas bahwa “Revolusi belum selesai”. Memegang teguh dan mentrapkan secara kreatif inti sari atau isari pati ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah jalan untuk mengadakan perobahan, atau perombakan, atau reformasi total, terhadap situasi negara dan bangsa yang sedang ambrul-adul dewasa ini. Adalah omong kosong besar sekali (!) , kalau ada kalangan yang berkoar-koar menginginkan perubahan besar demi kepentingan rakyat tetapi sekaligus bersikap anti ajaran-ajaran Bung Karno. Berdasarkan pengalaman selama lebih dari 40 tahun, sejak Bung Karno digulingkan sampai sekarang, kita bisa menyaksikan bagaimana hasil-hasil di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan moral bagi bangsa, yang telah dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan Orde Baru dan berikutnya, dengan meninggalkan sama sekali ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, dan bahkan memusuhinya. Padahal, jiwa atau inti ajaran-ajaran Bung Karno adalah perjuangan untuk perubahan-perubahan besar dan fundamental yang terus-menerus demi kepentingan rakyat banyak, dan meneruskan dengan teguh tugas-tugas revolusi yang belum selesai, menuju masyarakat adil dan makmur. Demikianlah arah jalan yang ditunjukkan oleh pemimpin besar rakyat dan revolusi Indonesia, Bung Karno. Paris, 5 Juni 2009 ***********************
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 57
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Andai saja pada 1967 Presiden Soekarno belum turun takhta, mungkin Israel akan kalah pada perang 1967. Saya memiliki hipotesis, penggulingan Presiden Soekarno sekitar 1967, karena adanya rencana besar Israel menguasai Arab. Bila Presiden Soekarno masih berkuasa, Irael tidak akan berani menginvasi Arab, karena saat itu TNI merupakan kekuatan militer terbesar di belahan Bumi bagian selatan. Dukungan Presiden Soekarno terhadap Dunia ketiga juga ditunjukkan ketika India akan menginvasi Pakistan. Saat itu Pakistan masih sangat lemah dan belum punya senjata nuklir. Pun India mundur setelah TNI masuk membela Pakistan. Jika Presiden Soekarno masih berkuasa, Beliau tidak akan tinggal diam bila Arab diserang Israel. Dan saya yakin Israel pasti kalah, bila RI membantu Arab. ________________________________________________________________________ http://www.republika.co.id/berita/54930/Qardhawi_Kritik_Pemimpin_Arab
Qardhawi Kritik Pemimpin Arab DOHA -- Ulama Islam terkenal, Syeikh Yusuf Qardhawi, yang juga sebagai Ketua Persatuan Ulama Dunia mengritik sejumlah pemimpin Arab yang menyampaikan ucapan selamat kepada entitas Zionis Israel atas apa yang disebut dengan hari nasional yang jatuh setiap tanggal 15 Mei setiap tahun. Dalam khutbah jum’at kemarin, 5/6 di masjid Umar bin Khatab di Doha, Qardhawi menilai bahwa yang menyampaikan ucapan selamat kepada “Israel” atas berdirinya negara itu, ia lupa penderitaan rakyat Palestina yang kehilangan negaranya. Syeikh Qardhawi mengisyaratkan bahwa nakbah (prahara) ini diperparah dengan kejadiannya yang hanya berlangsung enam jam saja, bukan enam hari sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang. “Setelah enam jam, semua kedok terungkap dan nampak apa yang sebenarnya terjadi. Israel berhasil menghancurkan dua kekuatan militer, Mesir dan Suriah. Dengan begitu, membuka jalan bagi mereka untuk menjajah Tepi Barat, Al-Quds, Sinai dan Daratan Tinggi Golan dalam sekejap,” ungkap Qardhawi. Ia juga menjelaskan bahwa sebab utama kekalahan di perang 67 adalah “Karena kita berperang dan Allah ta’ala tidak bersama kita. Kita meminta perlindungan kepada semua orang, kecuali Allah azza wa jalla. Kita tidak pernah mengatakan; ya Allah, tolonglah kami.” - pip/ahi
Islam Liberal Dalam Ajaran Sukarno Narasumber: Yudi Latif (Reform Institute) & M. Dawam Rahardjo (LSAF). Moderator: Novriantoni Kahar Sukarno adalah salah satu proklamator yang juga merumuskan dasar negara. Rumusan dasar negara yang tertuang dalam Pancasila bukan hanya renungan mengenai Indonesia , melainkan juga refleksi atas perkembangan politik masyarakat dunia. Pancasila memuat klaim terhadap ide-ide besar pemikiran politik terbaru saat itu. Dia tidak hanya merespon gerakan kemerdekaan negaranegara jajahan kolonial, melainkan juga mengamati secara lebih dekat keruntuhan rezim kekaisaran Turki Utsmani, yang selama bertahun-tahun diaku sebagai simbol kedaulatan politik Islam. Dengan demikian, pilihan politik Sukarno mendirikan Indonesia dengan dasar kebinekaan bukan sekedar buah dari pemikiran "Barat," melainkan juga respon mutakhir terhadap kegagalan politik Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 58
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
rezim Islamis di dunia Islam. Kesadaran semacam itu tertuang dalam pelbagai tulisan Sukarno semisal Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan seterusnya. Ketika banyak pihak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Sukarno memberi respon dengan mengajukan keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk membangun Turki modern. Ia bersetuju dengan buku karangan Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menyatakan bahwa risalah Nabi Muhammad tidak mengandung petunjuk eksplisit mengenai pilihan ideologi politik yang harus dianut oleh ummat Islam. Ia menyatakan bahwa pilihan Attaturk memisahkan agama dari negara bukan hanya tidak melanggar syariat Islam, melainkan juga adalah respon cerdas terhadap kemunduran dunia Islam saat itu. Di banyak tulisan lain, Sukarno mengurai sederet kemunduran itu. Pelbagai kemunduran itu, oleh Sukarno, dinilai sebagai fakta sosial, bukan kondisi yang diidealkan oleh ajaran Islam sendiri. Ketika membahas mengenai ketidaksetaraan gender dalam kehidupan ummat Islam, Sukarno menilai hal itu melenceng dari cita-cita ajaran Islam. Baik Islam maupun Kristen, menurut Sukarno dalam Sarinah, datang dengan semangat mengoreksi budaya patriarki. Hal ini bisa dibuktikan dalam fakta bahwa kaum perempuanlah yang mula-mula menyambut baik ajaran Islam dan Kristen. Kondisi ketertindasan perempuan dalam budaya patriarki membuat mereka berbondong-bondong memeluk Islam dan Kristen. Itulah sebabnya, dalam sejarah penyebaran Kristen, banyak sekali tokoh perempuan yang harus mati di tiang gantungan, dibakar, atau disalib karena menganut dan menyebarkan ajaran ini. Demikian pula dengan Islam. Islam berkembang pesat di Nusantara, misalnya, karena para perempuan penganut Hindu di masa itu lebih memilih Islam yang egaliter. Mereka menghindar dari kewajiban dibakar hidup-hidup mengikuti suami yang meninggal dunia dengan menganut ajaran Islam. Justru karena dianut oleh para perempuan, maka kedua agama ini berkembang dengan sangat pesat. Sayang, ungkap Sukarno, keberpihakan Kristen dan Islam kepada perempuan tidak lagi tampak dalam realitas kehidupan ummat Kristen dan Islam. Ada jarak antara yang ideal dan faktual dalam pelbagai kehidupan dan pemikiran ummat Islam. Dengan latar pemikran semacam itulah acapkali Sukarno menyebut Islam saat ini sebagai "Islam Sontolooooyo" atau "Masyarakat Onta." Diskusi Jaringan Islam Liberal bulan Mei 2009 akan mengulas bagaimana pandangan Sukarno mengenai Islam. Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/
Catatan A. Umar Said Mengenang tanggal 21 Juni
Bung Karno wafat karena memang sengaja dibunuh Tulisan ini berupa curahan hati yang mengandung berbagai perasaan, fikiran, dan kenangan yang berkaitan dengan hari wafatnya Bung Karno pada tanggal 21 Juni 1970, yang jasadnya sejak 39 tahun dimakamkan di kota Blitar. Walaupun wafatnya Bung Karno sudah terjadi 39 tahun yang lalu, tetapi setiap tanggal 21 Juni banyak orang yang tetap mengenang - baik secara sendiriCompiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 59
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
sendiri maupun secara bersama-sama - berbagai persoalan yang terjadi sekitar peristiwa besar bagi bangsa kita ini. Sampai selarang, banyak orang yang masih tetap merasa sedih kehilangan Bung Karno, seorang pemimpin besar yang menjadi pujaan rakyat, yang sebelum digulingkan oleh Suharto serta para jenderal pendukungnya, merupakan massa besar pencinta dan pengagumnya. Kecintaan banyak orang dari berbagai kalangan masyarakat ini kelihatan jelas dari besarnya jumlah pengunjung makamnya di kota Blitar setiap hari. Kiranya, tidaklah berlebih-lebihan kalau ada orang mengatakan bahwa tidak satu pun makam dari pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, yang mendapat kunjungan setiap hari sebanyak makam Bung Karno; Tentu saja, wajarlah, kalau di antara para pengunjung makam di Blitar itu sebagian terbesar terdiri dari orang-orang pendukung atau simpatisan Bung Karno, atau dari golongan kiri dari kalangan nasionalis, agama atau simpatisan komunis. Tetapi, tentunya, juga banyak orang-orang biasa yang bukan pendukung Bung Karno mengunjungi makam ini, apakah sebagai turis biasa atau pun sekadar berpariwisata bersama keluarga atau teman-temannya. Banyaknya kunjungan tiap hari ke makam ini, merupakan bukti yang jelas bahwa meskipun Bung Karno sudah wafat sekitar 40 tahun yang lalu, namun kebesaran jiwanya dan kegemilangan sosoknya masih tetap bersemayam di hati banyak orang..Juga untuk tanggal 21 Juni yang akan datang, tentunya banyak orang yang terkenang kepada wafatnya Bung Karno ini, terutama kalangan korban Orde Baru beserta sanak-saudaranya, baik yang pernah menjadi tapol mupun yang tidak. Bung Karno, tapol yang dianiaya Sangatlah perlu kita ingat bersama-sama – mungkin dengan sedih yang bercampur marah, dan barangkali ada yang dengan rasa dendam pula, bahwa Bung Karno adalah tapol besar Orde Barunya Suharto, yang telah diperlakukan secara kejam dan tidak beradab, sampai ia wafat dalam tahanan, terisolasi, kesepian, terlantar, menderita siksaan fisik dan batin yang berat dan terlalu lama. Perlakuan Suharto bersama para jenderal pendukungnya terhadap tapol Bung Karno adalah sedemikian biadabnya, sehingga mereka itu pantas dihujat bahkan harus (!!!) dikutuk oleh kita semua, termasuk generasi yang akan datang. Sebab perlakuan Suharto (dan para pendukungnya) terhadap Bung Karno sebagai tapol, berupa pengasingan fisik disertai penyiksaan mental secara berat dan kontinyu sejak ia dijatuhkan sebagai kepala negara dan pemimpin besar revolusi dalam tahun 1967, sampai wafatnya di tahun 1970 dalam status sebagai tahanan. Penyiksaan terhadap Bung Karno sebagai tapol ini didahului dengan tindakan terhadap jutaan tapol lainnya yang mulai akhir 1965 sampai beberapa tahun berikutnya telah ditahan secara sewenang-wenang dan dibunuhi secara besar-besaran. Penahanan dan pembunuhan terhadap begitu banyak orang oleh Suharto dan pendukung-pendukungnya adalah peristiwa yang belum
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 60
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan melebihi dari kejahatan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda selama 350 tahun atau pendudukan tentara fasis Jepang.
Wafatnya Bung Karno adalah pembunuhan Wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970, adalah sebenarnya pembunuhan, yang direncanakan dan juga disengaja. Wafatnya Bung Karno ada hubungannya yang erat dengan pembunuhan besarbesaran terhadap jutaan golongan kiri yang mendukungnya dan mencintainya, yang sebagian terbesar (tidak semuanya) adalah simpatisan atau anggota PKI. Jadi, wafatnya Bung Karno adalah karena ulah sekelompok manusia, dan bukanlah karena kehendak Tuhan, seperti meninggalnya orang biasa lainnya. Pada hakekatnya, wafatnya Bung Karno adalah senafas atau sejalan dengan pembunuhan besar-besaran para pendukungnya, terutama dari golongan kiri, oleh Suharto dan pembantu-pembantu setianya. Bung Karno wafat sesudah ia ditahan dan dengan sengaja dibiarkan menderita sakit ginjal yang berat dalam jangka lama, tanpa mendapat perawatan dokter-dokter yang semestinya atau selayaknya. Menurut Dr Kartono Muhammad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) : “Selama dalam tahanan tidak sekali pun Bung Karno diperiksa oleh dokter spesialis. Adapun obatobat yang diberikan adalah Duvadilan,vitamin B12, vitamin B kompleks, dan royal jelly. Duvadilan adalah obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Sekali-sekali kalau sedang sulit tidur, Bung Karno diberi satu tabletvalium. Makanan pun tidak diatur sebagai makanan pasien penderita gangguan ginjal, bahkan sekali-sekali makan makanan yang disiapkan oleh Bu Hartini » (dikutip dari Kompas, Kamis 11 mei 2006) Jadi maksud yang tidak luhur sama sekali dari Suharto dkk adalah jelas sekali, karena meskipun Bung Karno
sakit ginjal yang berat sekali, tetapi tidak pernah ada dokter spesialis
yang
memeriksanya. Bahkan, ada tulisan bahwa selama sakitnya itu Bung Karno hanya dirawat oleh seorang jururawat dan ....seorang dokter hewan !!! Sungguh keterlaluan. Sampai demikian kejikah “budi luhur” Suharto dan para pendukung setianya terhadap Bung Karno? (Baca soal ini, antara lain : http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/01/24/soeharto-sakit-bung-karno-ngetop-lagi-1/) Setelah membaca perlakuan Suharto (bersama jenderal-jenderalnya) terhadap Bung Karno seperti tersebut di atas, dan membandingkan dengan segala hiruk-pikuk dan
perlakuan yang
serba kelas mewah dan berlebih-lebihan ketika Suharto mau meninggal, maka wajarlah - dan juga sudah semestinyalah - bahwa banyak orang marah, atau muak sambil mencaci-maki (ingat antara lain : bahwa puluhan dokter-dokter ahli di berbagai bidang, yang jumlahnya sampai puluhan orang dikerahkan tiap hari, dan perlengkapan yang serba paling modern disediakan di Rumahsakit Pertamina). Tidak bisa dan tidak patut dima’afkan Mengingat itu semuanya, maka banyak orang yang mengenang wafatnya Bung Karno sekaligus juga ingat bahwa Suharto, tidak saja sudah melakukan kudeta merangkak secara lihay dan licik, tetapi juga sudah membunuh Bung Karno, dengan cara-cara yang tidak manusiawi, Apa yang dilakukan oleh Suharto terhadap Bung Karno adalah suatu kejahatan, yang tidak boleh dan tidak bisa Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 61
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
dima’afkan oleh rakyat Indonesia yang mencintainya. Pembunuhan Bung Karno oleh Suharto dan konco-konconya harus selalu dihujat atau dikutuk, demi kebaikan kehidupan bangsa, dan demi kepetingan anak-cucu kita semua. Jelaslah bahwa dalam hal ini, mengkutuk Suharto dan kliknya adalah sikap moral yang luhur.dan sikap politik yang tepat. Fikiran yang jernih akan
mengatakan bahwa mengkutuk Suharto (bersama jenderal-jenderal
pendukunganya) karena memperlakukan Bung Karno sedemikian nistanya adalah benar. Nalar yang sehat juga akan menyetujui bahwa menghujat berbagai kejahatan Suharto terhadap Bung Karno adalah sikap yang adil, dan sah. Sebab, fikiran atau hati nurani atau jiwa bangsa Indonesia harus dibersihkan dari anggapan bahwa perbuatan Suharto dkk terhadap Bung Karno adalah perlu demi menyelamatkan Republik Indonesia atau untuk kebaikan bangsa. Omongksong besar saja ! Oleh karena itu, setiap kali mengenang wafatnya Bung Karno (tanggal 21 Juni) perlulah kiranya selalu diingat juga segala kejahatan atau dosa-dosa besar Suharto (beserta para pendukung setianya, baik militer maupun sipil) yang berkaitan dengan peristiwa besar ini. Selalu ingat kepada kejahatan Suharto terhadap Bung Karno bukanlah karena mau mengunyah-ngunyah kembali persoalan-persoalan lama, atau mengutik-utik hal-hal yang sudah kedaluwarsa, atau membuka kembali luka-luka lama, yang sudah tidak gunanya lagi sekarang ini. Kejahatan Suharto terhadap Bung Karno adalah masalah yang maha besar dan juga maha penting bagi bangsa , baik generasi sekarang, maupun bagi semua generasi yang akan datang. Banyak akibat kejahatan yang dilakukannya masih dirasakan dan dilihat dewasa ini di banyak dan berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara. Membuka kembali kejahatan Suharto terhadap Bung Karno (dan seluruh pendukungnya) bukanlah sekedar membuka luka-luka lama, melainkan dengan maksud menghilangkan atau menyembuhkan luka itu, sehingga bangsa kita menjadi sehat dan segar-bugar. Selalu ingat dan saling mengingatkan kepada kejahatan-kejahatan Suharto, adalah amat besar gunanya bagi kita semuanya. Dibunuh karena berhaluan kiri Baik sekali kita ingat bahwa Bung Karno telah dikhianati oleh besar-pembesar militer (bersamasama
tokoh-tokoh
sipil
dari
berbagi
kalangan)
dan
akhirnya
dibunuh
degan
cara
menterlantarkannya ketika sudah sakit keras, adalah karena sikap politik Bung Karno yang kiri, atau yang revolusioner, dan anti imperialisme (terutama AS). Bung Karno adalah seorang nasionalis kiri sejak ia masih muda sekitar 25 tahun. Bolehlah dikatakan bahwa sepanjang kehidupannya yang lama dalam memimpin perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan (dan juga sesudah mencapai kemerdekaan) Bung Karno selalu dipersenjatai dengan pandangan kiri atau revolusioner. Haluan kiri atau orientasi revolusionernya ini tercermin dalam seluruh karya-karyanya, yang secara menonjol dimulainya tahun 1926 (Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme) sampai ketika menjabat sebagai Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi. Justru, yang membikin Bung Karno bisa menjadi pemimpin besar rakyat Indonesia selama perjuangan merebut kemerdekaan dan juga sesudah menjabat presiden itu adalah fikiran-fikirannya yang kiri dan revolusioner, baik Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 62
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
ditingkat nasional maupun internasional (Ingat sekali lagi, antara lain : konferensi Bandung, Indonesia keluar dari PBB, “Go to hell with your aid”, “Dibawah Bendera Revolusi”, ‘Revolusi belum selesai” dll dll) Jadi, dibunuhnya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah disebabkan karena ia berhaluan kiri atau revolusioner, dan karena ia mendapat simpati besar dari berbagai kalangan masyarakat yang mendukung
konsepsi-nya, yaitu
NASAKOM.. Dalam rangka ini jugalah Bung Karno mendapat
dukungan yang besar dan kuat dari PKI. Karena fikiran-fikiran kiri Bung Karno sejak muda sampai menjadi Presiden pada garis besarnya adalah searah atau sejiwa dengan politik yang dianut PKI. Dan karena itu pulalah Bung Karno juga menaruh simpati yang besar kepada PKI. Hal ini telah berkali-kali dinyatakannya secara terbuka dan secara terus terang. Inilah yang sama sekali tidak disenangi atau tidak bisa diterima oleh pimpinan militer (dan sebagian kecil dari berbagai tokoh sipil) yang mempunyai pandangan politik yang searah dengan imperialisme AS, dan berusaha sejak lama – dan berkali-kali -
menghilangkan Sukarno dari
pimpinan negara. Karena itu, peristiwa G30S telah memberi kesempatan bagi mereka untuk melaksanakan rencana mereka sejak lama, antara lain dengan menuduh Sukarno terlibat G30S, sehingga disebut-sebut sebagai “Gestapu Agung” dan sebagainya. Dengan berbagai dalih terlibatnya PKI maupun Bung Karno dalam peristiwa G30S, maka pimpinan militer telah menggunakan segala cara (termasuk yang paling kejam dan biadab) untuk menghancurkan PKI terlebih dulu, sebelum menghilangkan kedudukan Bung Karno sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa. Menolak membubarkan PKI Keteguhan atau konsistensi Bung Karno dalam memegang kesetiaan pada prinsip-prinsip kiri atau revolusionernya, tercermin dalam kegigihannya dalam mempertahankan prinsip NASAKOM sampai jabatannya diakhiri oleh rekayasa MPRS (gadungan) dalam tahun 1967 dan bahkan sampai akhir hayatnya, dalam status sebagai tapol.. Jadi, wafatnya Bung Karno, yang hakekatnya adalah akibat pembunuhan oleh klik militer , adalah juga berlatar-belakang karena kedekatannya atau searah politiknya dengan politik PKI. Karena itu, walaupun Bung Karno berkali-kali mendapat tekanan yang kuat atau desakan yang besar dari pimpinan militer untuk membubarkan PKI, ia menolaknya. Penolakan Bung Karno untuk membubarkan PKI itulah salah satu di antara sebab-sebab utama mengapa Suharto memutuskan untuk menjebloskan Bung Karno dalam tahanan rumah (artinya, sebagai tapol) dan kemudian membunuhnya dengan cara-cara seperti yang diceritakan di atas. Di situ pulalah kelihatan kebesaran Bung Karno, yang dengan gigih dan teguh tetap setia kepada dasar fikirannya sejak muda, untuk menggalang persatuan seluruh bangsa Indonesia melalui konsepsinya yang besar dan bersejarah sejak lama , yaitu NASAKOM. Sampai wafatnya, Bung Karno tetap setia kepada NASAKOM-nya. karena ia tidak mau mengkhianati salah satu di antara sokogurunya, yaitu golongan komunis. Itulah sebabnya, maka dalam memperingati atau mengenang kembali wafatnya Bung Karno seyogianya kita semua juga ingat dan merenungkan dalam-dalam segala persoalan yang berkaitan Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 63
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
dengan peristiwa besar ini. Kita perlu dan patut menjadikan wafatnya Bung Karno bukan hanya sebagai ritual untuk menghormati pemimpin rakyat yang telah berjasa besar, atau hanya dengan mendoa atau mengaji, melainkan juga sebagai kesempatan untuk mengenang kembali segala kejahatan dan dosa-dosa besar Suharto terhadap Bung Karno serta pendukung-pendukung setianya yang besar jumlahnya. Sukarnoisme masih punya pengikut Suara Bung Karno yang terdengar dari makamnya di Blitar, atau jiwa besar yang masih tetap memancar dari Museum Bung Karno yang berdekatan dengan makamnya, membuktikan dengan gamblang bahwa namanya masih dielu-elukan dalam hati banyak orang. Walaupun makam Bung Karno sekarang tidaklah sebesar, seindah atau semegah Astana Giribangun dimana jasad Suhato (dan istrinya ) diletakkan, tetapi gemuruh orang yang setiap hari mengunjungi makam di Blitar pasti makin lebih besar dari pada yang di Astana Giribangun. Sejarah bangsa Indonesia tidak lama lagi akan menyaksikan (dan juga membuktikan) bahwa jiwa besar Bung Karno dengan berbagai ajaran revolusionernya akan tetap terus hidup dalam dada atau hati banyak orang dari berbagai kalangan, sedangkan sebaliknya, nama dan sosok Suharto (yang penuh dengan berbagai kejahatan) makin dilupakan. Sukarnoisme masih mempunyai pengikut dan pengagum yang tidak sedikit, tetapi, sebaliknya, orang makin tidak mengenal Suharto. Inti jiwa Sukarnoisme,
dengan ajaran-ajaran revolusionernya untuk membikin perubahan-
perubahan besar dan fundamental demi kepentingan rakyat banyak, masih akan terus bisa menjadi senjata bagi orang-orang yang berjuang untuk masyarakat adil dan makmur. Inilah peninggalan besar Bung Karno yang amat berharga bagi bangsa. Sedangkan Suharto (beserta Orde Barunya) hanya meninggalkan dosa berat dan aib besar yang telah dibikinnya terhadap Bung Karno dan rakyat pendukungnya.. Dan, harta haramnya !!! Paris, 12 Juni 2009 PS. Harap baca juga persoalan tentang wafatnya Bung Karno dalam bahan-bahan berikut : http://jackoagun.multiply.com/reviews/item/6 http://kapasmerah.wordpress.com/2008/01/22/kartono-muhammad-bung-karno-ditelantarkan/).
******************** YO SANAK YO KADANG YEN MATI AKU SING KELANGAN" Hari ini, 21 Juni, hari wafatnya Bung Karno. Bung Karno telah tiada, Bapak Bangsa dan Rakyat Indonesia, Pejuang dan Pemimpin Kemerdekaan Indonesia telah pergi. Dia meninggal dunia dalam penderitaan di tangan orang yang diberinya pangkat dan kekuasaan, yang berbalik menjadi lawan politiknya. Bung Karno mati dalam mempertahankan rakyatnya, bangsa dan negaranya agar tidak terpecah belah. Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto berupa pangkat Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya, kemudian Soeharto Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 64
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
mengkhianatinya, merebut secara licik kekuasaan Bung Karno, meletakkannya sebagai tahanan politik dan akhirnya mati tanpa perawatan yang wajar karena sakitnya. Bung Karno mati mengikuti jalan dan jejak-tapak yang telah dirintis oleh jutaan pengikutnya yaitu dibantai oleh Soeharto jenderal fasis dan zalim yang berkuasa. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak, seorang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi dan bangsa Indonesia, Bung Karno. Bung Karno, hidup dan mati dalam perjuangan untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! Ucapannya yang terkenal, akan senantiasa diingat: "Yo sanak yo kadang yen mati aku sing kelangan!" (Ya sanak ya saudara, jika mati aku yang kehilangan-pen). Bung Karno kehilangan jutaan sanak dan kadangnya yang dengan licik difitnah dan dibantai oleh Jenderal Soeharto. Indonesia kehilangan Bung Karno, yang adalah juga merupakan sanak dan kadang Rakyat . Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan senantiasa mengenangnya! "Belum ada yang menandingi Sukarno sampai sekarang...Dialah yang mengerti 'nation' Indonesia. Karena itu juga, Sukarno-lah yang tidak jemu-jemunya menganjurkan tentang 'nation and character building'". (Ucapan Pramudya Ananta Toer dalam film dokumen Shadow Play) Untuk mengenang kembali hari-hari akhir Bung Karno, di bawah ini kita kutip tulisan Farouk Arnaz-el dalam Harian Jawa Pos 20/1/08, sbb: Saat terakhir Bung Karno Bung Karno yang penyakitnya tambah parah dalam tahanan rumahnya, tiada mendapat pengobatan yang wajar, bahkan resep pengobatan hanya disimpan di laci oleh seorang pejabat tinggi militer. Untuk ini, mari kita telusuri kisah putri Bung Karno, Rachmawati, "Mengenang Saat Terakhir Mendampingi Bung Karno" seperti yang diceritakan oleh Harian Jawa Pos. "Air mata Rachmawati membasahi pipi. Meski sudah 38 tahun berlalu, anak ketiga Bung Karno dengan Fatmawati itu belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintahan Soeharto terhadap sang ayahanda di penghujung hayatnya. "Bung Karno saat itu seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," katanya kepada Jawa Pos sambil mengusap air matanya dengan tisu saat ditemui di kediaman di kawasan Jakarta Selatan kemarin (19/1/08). Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950, presiden pertama RI itu dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam kondisi kritis pada 11 Juni 1970. Berbeda dengan Soeharto yang mendapat perawatan supermaksimal dari tim dokter kepresidenan beranggota 25 dokter, Bung Karno mendapat perawatan minimal pada hari-hari terakhir menjalani opname di rumah sakit milik TNI-AD itu. Kondisi ginjal salah satu proklamator RI waktu itu sudah sangat parah. "Tapi, tak ada perawatan maksimal. Alat hemodialisis (cuci darah) untuk pengidap gagal ginjal pun tak diberi," kenang wanita bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 65
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Saat Bung Karno sakit kritis, lanjut dia, Soeharto melakukan konsolidasi politik pasca G30S/1965. Tak heran bila saat itu dia sedang membersihkan tubuh birokrasi dan militer. Tidak hanya dari unsur-unsur PKI, tapi juga dari orang-orang Soekarnois. Asupan makan untuk Soekarno yang juga disebut pemimpin besar revolusi itu pun seadanya. Kendati juga didiagnosis mengidap darah tinggi, menu makanan untuk Bung Karno terasa asin saat dicicipi Rachmawati. Adik kandung Megawati pun langsung protes dan baru setelah itu menu makanan diganti. "Bung Karno seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," imbuhnya. Gadis yang saat itu berusia hampir 20 tahun dan kuliah di Fakultas Hukum UI memang paling rajin membesuk di hari-hari terakhir sang Putra Fajar tersebut. Namun, soal membesuk juga bukan urusan mudah dan jangan dibayangkan seperti keluarga Cendana yang kini bisa hilir mudik ke Rumah Sakit Pusat Pertamina setiap saat. Tak gampang mengakses tempat perawatan Bung Karno yang saat itu statusnya diambangkan laiknya tahanan rumah. Bahkan, tak ada kolega Soekarno yang datang mengalir seperti yang terlihat pada Soeharto hari-hari ini. Menjenguk Soekarno memang sulit. Sebab, ruang perawatan intensif RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Bahkan, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir. Yang repot, kata Rachmawati, obat-obatan pun tak datang dari langit. Mereka harus membeli sendiri. "Pokoknya beda, beda banget. Ini perjalanan sejarah yang pahit," sambung Rachmawati yang harus tidur di mobil jika hendak menunggu ayahnya yang dirawat di RSPAD. Bahkan, Rachmawati yang pada 6 Juni 1970 sempat memotret Bung Karno yang saat itu diasingkan di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Red), Jakarta Selatan, harus berurusan dengan polisi militer di Jalan Guntur, Jakarta Pusat. Pasalnya, foto yang menunjukkan kondisi terakhir Bung Karno itu dikirimkan Rachmawati ke Associated Press (kantor berita yang berpusat di Amerika) yang kemudian memublikasikannya ke seluruh dunia. Salah seorang yang bisa menjenguk Bung Karno saat itu adalah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bung Karno sempat memegang tangan Bung Hatta, sahabat seperjuangan yang juga proklamator RI itu, kemudian menangis. Sehari kemudian, tepatnya Minggu pagi, 21 Juni 1970, beberapa saat setelah diperiksa dr. Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, Bung Karno akhirnya mengembuskan napas terakhir pada usia 69 tahun. Setelah Bung Karno meninggal itulah, baru Soeharto datang ke RSPAD untuk melihat kondisi jenazah Soekarno. Pertemuan itu, menurut Rachmawati, adalah yang pertama antara ayahnya-yang telah tiada-dan Soeharto semenjak ayahnya jatuh dari kursi presiden dalam Sidang Istimewa 7
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 66
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Maret 1967. Orang kuat Orde Baru itu kembali datang ke Wisma Yaso saat jenazah Soekarno hendak diterbangkan ke Blitar melalui Malang, Jawa Timur. Di Blitar, upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat dipimpin Jenderal M. Panggabean. "Rasa-rasanya, hari itu begitu mencekam. Kami hanya menurut saja saat pemerintah memakamkan Bung Karno di Blitar. Bukan sesuai permintaannya di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat," kenang mantan ketua umum Partai Pelopor itu. Bendera setengah tiang pun berkibar di seluruh tanah air kendati setelah itu tak semua orang bebas datang ke kubur Bung Karno. Rachmawati mengaku sama sekali tak menaruh dendam atas tindakan Soeharto kepada ayahnya. Secara pribadi dan sebagai manusia, dia malah memaafkan Soeharto. Tapi, dia tetap menuntut penyelesaian hukum kepada jenderal bintang lima yang berkuasa selama 32 tahun itu. Kalaupun pemerintah memutuskan untuk mencabut Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menyangkut Soeharto, Rachmawati juga meminta pencabutan Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Apakah karma Bung Karno yang kini menimpa Pak Harto? "Wallahu 'alam. Tapi, alhamdulillah, kalau Pak Harto kembali sehat sekarang," jawabnya. Kendati belum sempat membesuk, Rachmawati telah menghubungi dua putri Soeharto, Mamik dan Titik, serat mendoakan kesembuhan ayah mereka. "Kami bangga diwarisi Bung Karno dengan bekal ilmu kehidupan. Bukan harta berlimpah," katanya lalu menyeka air mata.' Demikian wawancara dengan Rachmawati sebelum Jenderal Soeharto meninggal.
********************** Mas Pri yang baik (2) Mas saya masih di Singapore, sedang membangun kerjasama dengan seorang pengarang Singapore yang pasti Mas sudah pernah dengan namanya, May Swan. Salah satu cerpennya dimuat dalam buku LOBAKAN, yang akan terbit awal Juli 2009. Poster buku LOBAKAN sudah disebar di dalam konferensi, mudah-mudahan ada yang berminat membelinya. Film-film yang kami produksi banyak pembelinya, bahkan ada yang tidak kebagian. May Swan sedang menterjemahkan novel Merajut Harkat ke dalam bahasa Inggris, yang kalau tidak ada halangan akan terbit tahun depan. Saya sedang mengoreksi terjemahannya. Saya belum membuat sendiri tulisan tentang jalannya Konferensi, tetapi sekarang saya sertakan (forwad) sebuah tulisan yang dibuat oleh salah seorang peserta yang bernama Anwari Doel Arnowo. Mas kenal atau pernah dengar namanya? Dia arek Suroboyo yang sekarang bermukin di Canada, anak Gubernur pertama Jawa Timur. Sekian dulu
Mas informasi dari saya yang sedang mengagumi negeri beribu pohon.
salam hangat\pos
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 67
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
----Original Message---From: [email protected] Date: Jun 21, 2009 13:09 To: Cc: Subj: Fw: [RumahKita] Indonesian Killings 1965-1966 Revisited ----Original Message---From: "Audy" To: Sent: Sunday, June 21, 2009 8:33 AM Subject: [RumahKita] Indonesian Killings 1965-1966 Revisited Dibawah ini tulisan dari Pak Anwari, Indonesian Killinds 1965-1966 Revisited. Saya kira tulisan ini sehubungan dengan konferensi dengan judul yang sama dengan topik diatas yang diadakan di National University of Singapore. Terima kasih banyak Pak Anwari. Semoga suatu hari pelurusan sejarah akan terjadi jika memang telah dibengkokkan dinegri ini. Salam, Audy
Anwari Doel Arnowo - Sabtu, 20 Juni 2009 44 Tahun Yang Lalu Umur saya waktu tahun 1965 sudah 27 tahun, tinggal di Jakarta, sudah bisa mengabsorb gosip apapun, gosip kelas tukang becak dan gosip produk intel, bertebaran. Kaum intelekpun juga bergosip dan lebih seru karena mereka menyebut nama-nama terkenal baik politikus maupun perwira tinggi militer yang begitu banyak. Bukan gampang bagi saya menghafalkan pangkat militer dan istilah-istilahnya yang sering disingkat-singkat. Ada Kodim, ada Lettu ada PHB dab RPKAD serta ada DenPom dan Koramil. Dengan terpaksa karena ingin juga ikut mendengarkan gosip yang sedang in, maka saya ikut menghafalkan kata-kata tersebut yang juga amat berguna untuk digunakan bila saat kita mendengarkan warta berita baik televisi maupun radio. Banyak hari harus kita lalui dengan mendekam di rumah dalam keadaan gelap serta tidak bisa, karena tidak berani, pergi ke luar rumah, karena ada jam malam. Siapa bikin jam malam? Membingungkan sekali, Tentara apa Polisi, yang jelas rakyat harus tetap di rumah masingmasing tidak dibolehkan sama sekali berada di luar halaman. Musuh kita tidak jelas. Ada perebutan kekuasaan di tingkat atas dan ada beberapa perwira tinggi militer yang mati. Tersebar luas bahwa PKI adalah dalang segala-galanya, yakni dalang pembunuhan para jenderal, dalang kerusakan eknomi, kerusakan moral dan melakukan perbuatan amoral. Sukar bagi saya untuk mendapat berita atau gosip yang patut diandalkan kebenarannya. Banyak yang isinya bombastik, berlebih-lebihan seakan-akan orang-orang PKI mau menyerbu dan Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 68
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
merampok daerah Kebayoran Baru di mana saya bertempat tinggal di jalan Airlangga. Meskipun hal itu tidak pernah terjadi, kita telah terpaksa wajib berjaga-jaga sepanjang malam sampai pagi, di tingkat RT dan RW. Tidak berani saya menolak dan membolos dari giliran jaga meski keesokan harinya saya bekerja di Departemen Perindustrian Maritim. Semua orang bisa menuduh orang lain dan dituduh PKI oleh siapapun, hanya karena ada masalah suka dan tidak suka. Sampai sekarang, keadaan 44 tahun yang lalu, 1965, banyak yang tidak jelas, karena sengaja disamarkan dan kita banyak pula kita yang tidak perduli lagi. Tidak hirau, tidak mau tau dan beranggapan bahwa itu semua kan masalah yang sudah lama berlalu. Sing wis yo uwis, yang sudah ya sudah. Seperti ini begitulah masyarakat kita melalui masa empat puluh empat tahun lamanya. Meskipun banyak, tetapi amat sedikitlah mereka yang perduli, mereka yang berani bersuara, memberitakan, merekam dan menulis dalam kerahasiaan. Mereka sadar banyak hal telah tercipta sehingga mereka harus begitu, karena penghalang yang mereka jumpai adalah Pemerintah totaliter dan repressive, orde baru dan para pengiklutnya yang saat ini masih menduduki jabatanjabatan tinggi. Pada tanggal 17, 18 dan 19 Juni 2009, saya sempat hadir di sebuah Konferensi di Singapore atas undangan Asia Research Institute and Faculty of Arts & Social Siciences National University of Singapore dan Australian Reasearch Council’s Asia Pacific Futures Research Network (APFRN). Dengan judul: THE 1965-1966 INDONESIAN KILLINGS REVISITED, dibawah kelola empat governors: Anthony Reid dan Douglas Kammen dari National University Singapore dan Katharine McGregor serta Vanessa Hearman dua-duanya dari The University of Melbourne, konferensi telah dapat terselenggara dengan lancar dan menyenangkan. Hadirin yang terdaftar ada 125 nama dan didatangkan dari banyak negara termasuk Indonesia, juga dari Canada, Australia, belanda dan Amerika Serikat, Nepal, Pilipina. Saya sudah membaca daftar nama-nama yang jelas terdaftar, tetapi saya juga bertemu dengan mereka yang tidak ada di dalam daftar seperti Pak Iwan yang Sekretaris Dua dari KBRI Singapura dan beberapa orang lain. Panitia, meskipun meliputi anakanak muda mahasiswa maupun lulusan National University of Singapura yang bersemangat dan berkerja professional, dapat memenuhi kebutuhan konferensi dengan sempurna. Di dalam suasana konferensi yang diisi oleh para sejarawan yang amat mendalami ilmunya terungkaplah banyak hal yang tidak pernah saya dengar karena memang saya tidak pernah bisa mengaksesnya dari segi sejarah seperti mereka. Maka pencerahan banyak saya dapat dari konferensi ini karena detil dari semua kejadian ini dapat diungkapkan dengan fakta sejarah. Menggunakan
catatan
wawancara
dengan
peralatan
mutahir,
pemutaran
film
yang
dibuat dan diprakarsai oleh Bapak Putu Oka Sukanta, yang punya gelar ET, bukannya Extra Terestrial, tetapi Ex Tapol, yang telah mendekam di dalam penjara Salemba dan Tangerang selama sepuluh tahun lamanya. Ditangkap tahun 1966 dan dibebaskan serta ditangkap lagi. Pak Putu ini seumur dengan saya yang akan menjadi 70 tahun pada bulan depan. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Ex Tapol (Bekas Tahanan Politik) yang beruntung. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 69
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Sejak dilepaskan statusnya dari tahanan beliau telah berhasil menerbitkan beberapa buku (salah satunya tidak mencantumkan namanya) dan membuat beberapa film, dan berkarya untuk kehidupannya dengan praktik sebagai akupunkturis di sebuah klinik miliknya yang disebutnya dengan Care, Support & Complementary Treatment for HIV/AIDS, Taman Sringanis Foundation– IHPC/AUSAID. Sambil bergiat seperti ini Pak Putu telah berhasil berkelana ke 18 negara. Saya berkenalan di konferensi dan berhasil berbicara banyak dengannya, terutama saya terkesan dengan sebuah filmnya yang pendek yang menggambarkan keberhasilan dalam mewawancarai banyak orang bekas korban G-30-S yang mau mengungkapkan sedikit atau malah ada yang banyak dari pengalamannya. Filmnya bagus dan hasilnya sekelas film komersial, saya sendiri bermaksud membeli compact-disknya bila saya ke Jakarta dalam bulan depan. Apa yang terungkap dari film pak Putu maupun dari hasil wawancara yang dilakukan oleh mereka yang berkebangsaan asing tetapi amat perduli dengan gerak sejarah Indonesia, sungguh menggugah pikiran semua hadirin untuk ikut perduli. Saya sendiri ingin sekali melengkapkan apa yang terungkap di dalam konferensi ini, untuk keperluan agar bisa dipakai oleh generasi anak-anak dan cucu saya yang telah belajar dari guru-guru yang mengajarkan sejarah sesuai dengan arahan pemerintahan yang dikuasai oleh para petinggi militer dari presiden, menteri sampai gubernur-gubernur sampai lurahlurah dan aparatnya sekalipun. Para guru ini telah mengajarkan sejarah dengan arahan yang salah, harus berbohong sepanjang masa. Sejarah yang diarahkan adalah hasil karya dari Brigadir Jenderal Drs. Nugroho Notosusanto yang telah banyak menggunakan penafsirannya sendiri, yang menguntungkan mereka yang menjadi atasan langsungnya. Sampai hari inipun sejarah seperti itu belum berhasil di kembalikan ke yang sebenarnya terjadi. Angkatan Darat amat berkepentingan agar versi yang mereka kehendaki bisa berhasil ditanamkan kedalam otak para keturunan bangsa di masa yang akan datang. “Kejahatan” G-30-S yang selama ini diakui sebagai hal yang benar, menjadi hal-hal yang amat patut diberi tanda tanya besar. Selama para muda usia ini masih teracuni oleh sejarah yang versinya adalah his story, bukan yang seharusnya adalah history, maka harapannya pada saat ini, masih kecil, dalam upaya kita bisa mengalami kesatuan bangsa yang utuh. Terlalu banyak yang ditutupi dan tidak dikatakan karena sejarahnya memang akan bisa mampu mengungkapkan banyak peran tentara kita di masa itu yang amat keterlaluan. Ada satu bagian dari konferensi yang membicarakan: Colonel Sarwo Eddie’s Travel in Java and Bali September December 1965, yang dikemukakan oleh David Jenkins, seorang yang saya ingat sebagai pelaku media yang pernah dijadikan seorang persona non grata oleh pemerintah orde baru. Di sesi ini David mengungkapkan bahwa pertama-tama Sarwo Eddie datang dengan pasukannya
dan
bertemu
dengan
kaum
ulama
di
Semarang
dan
segera
setelahnya
terjadilah pembunuhan massal yang tingkatnya mencapai sekitar 1500 orang per hari. Hal seperti ini bak seperti photocopy saja terjadi disemua tempat yang dia kunjungi selama sekian lama di Jawa Tengah, di Boyolali dan ke Yogyakarta.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 70
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Selanjutnya cara begini merembet ke Jawa Timur dan Bali. Pembunuhan dilakukan oleh kaum militan agama karena mereka menganggap bahwa komunis adalah musuh Tuhan dan juga musuh agama. Pembunuhan ini kalau tidak dilakukan oleh pasukan Sarwo Eddie, maka dilakukan oleh kaum yang diindoktrinasi dan tercuci otaknya. Kaum Nahdatul Ulama di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur telah melakukan pembantaian dengan kejam dan tanpa perikemanusiaan, tanpa memandang kawan atau saudara. Khusus di dalam sesi ini juga diingat bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pada masa awal dari masa pemerintahannya telah menyatakan penyesalannya dan meminta maaf atas nama Nahdatul Ulama terhadap pebuatan-perbuatan biadab seperti itu. Yang disesalkan adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang sama dilakukan oleh RPKAD Pasukan Sarwo Eddie dan Angkatan Darat pada umumnya di seluruh Indonesia terkesan kental sekali dilakukan penyamaran (hazy dan foggy) agar dilupakan dan dianggap tidak ada. Mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini: Diungkapkannya fakta-fakta yang bersifat fitnah, bahwa sesungguhnya PKI itu sebenar-benarnya tidak tau menau apapun soal dan masalah intern Angkatan Darat yang membunuhi jenderaljenderalnya sendiri. Diungkapkannya bahwa tidak ada satupun jenderal yang disiksa di Lubang Buaya, tidak ada kemaluannya yang dipotong dan disakiti badannya. Mereka hanya hanya ditembak saja. Diungkapkannya bahwa para Tapol itu ditangkap dan ditahan di dalam penjara selama puluhan tahun, dan di asingkan di pulau Buru, tanpa diadili dengan layak. Demikian juga yang serta merta dibantai langsung dan dikubur secara massal. Diungkapkannya bahwa banyak kuburan massal yang yang selama ini telah ditemukan dan didaftar, akan tetap pada suatu saat nanti di kemudian hari akan diungkapkan, setelah payung hukumnya sudah ada dan mendukung pengungkapan seperti ini. Juga sudah ditemukan satu kuburan massal yang dikirakan berisi sebanyak lima ribu orang, di Selatan Yogya. Sungguh disayangkan bahwa saksi-saksi sejarah kelam ini tidak banyak lagi yang masih dalam kondisi hidup sehat karena telah tiada atau telah amat lanjut usia. Pencarian seperti ini, saya diberi-tau, masih menggebu dilakukan oleh mereka yang bersemangat. Mereka ini masih muda usia dan bersedia melakukan hal-hal ini karena demi kebenaran latar belakang sejarah yang benar demi masa depan Indonesia. Mereka ini bukan hanya yang berkebangsaan Indonesia tetapi banyak yang berkebangsaan bukan Indonesia. Diungkapkannya bahwa penyiksaan para Gerwani dan para tahanan wanita yang tidak mengerti apa urusannya di ditahan, tidak lain hanyalah pelecehan seksual yang memalukan untuk saya ungkapkan, tetapi dalam salah satu sesi seorang pembicara Annie Pohlman dengan topik berjudul Sexualised Violence agaist Women during the year 1965 – 66 Massacres, telah mengungkapkannya dengan detail sekali. Di setiap daerah diungkapkan kekejaman militer kita di dalam bertindak kepada penduduk setempat sehubungan dengan tuduhan terlibat PKI: Di Sumatra Utara (Medan) oleh Tan Yen Ling (National University Singapore) Di Sumatra Barat oleh Narny Yenny (Univ. Andalas) Di Lampung oleh Pak Nasir Tamara yang terkenal dan sekarang Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 71
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
bertempat tinggal di Singapura Di Cirebon dan Jawa Barat oleh Laurie Margot Ross dari LA USA. Di Solo oleh Theodora Erlijna (Institut Studi Sejarah Indonesia) Di Sulawesi oleh Taufik Ahmad (Univ. Hasanuddin) yang mengatakan bahwa sampai saat ini sukar dicari datanya karena masyarakatnya yang bangsawan dan kuat beragama memang membenci PKI, jadi seakan-akan tidak ada PKI di sana. Di Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur oleh Steven Farram (Charles Darwin Univ.) Khusus mengenai para Bansernya Nahdatul Ulama, ulasan diberikan lumayan detil oleh Greg Fealy (Australian National University dan Katharine McGregor ( The Universiy of Melbourne) Juga ada dibahas masalah di Blitar Selatan dan Kalimantan Hampir seluruh wilayah di Indonesia dibicarakan kelainan tata cara pendekatan keamanan dari TNI Angkatan Darat dalam mengamankan dan tetap menjaga serta memelihara kekuasaan yang ada didalam tangan mereka. Hari ketiga atau terakhir di dominasi oleh para pembicara Indonesia dimulai oleh Asvi Warman Adam, yang amat mengkhawatirkan masalah pengajaran sejarah. Diah Ariani Arimbi (Univ. Airlangga) mengambil judul: “History is Not on Her Side” Discourses of G-30-S and the Killing Aftermath in Contemporary Indonesian Literary Writings Pembicara-pembicara berikutnya pak Nur Kholis (KOMNAS HAM – Indonesian National Commission of Human Rights) menerangkan peran Komnas Ham terhadap penyelidikan mengenai Pembunuhan Massal 1965-1966. Winarso dari Sekretariat Bersama korban 1965-66 yang berusaha menyatukan oraganisasiorganisasi para korban yang banyak itu untuk menjadi suatu kekuatan yang kuat. Giliran Pak Putu Oka Sukanta menerangkan mengenai jalan hidupnya selam ditahan dan setelah bebas dengan terantuk-antuk berusaha tetap suvive, karena KTPnya dicap ET. Dia ditangkap karena dianggap sebagai anggota LEKRA yang dikatakan juga adalah afiliasi PKI. Banyak para mereka yang mengetahui mengatakan bahwa bukan LEKRA yang mengakui menjadi bagian dari PKI, tetapi mungkin sekali PKI lah sebagai sebuah Partai Politik yang berkekuatan besar, “mengangkat anak” Lekra menjadi yang ada di dalam lindungannya. Berbelit-belitnya cara pikir militer, yang sering terlihat amat tidak masuk di akal sehat mengaitngaitkan sesuatu yang kecil-kecil menjadi sesuatu yang cukup besar untuk dijadikan musuh keamanan dan pada giliranya: ditingkatkan lagi menjadi musuh nasional. Korban sebagian besar adalah rakyat kecil yang tidak tau apa-apa. Ayah pengemudi mobil saya adalah seorang petani biasa, buta huruf, ditangkap karena dianggap sebagai anggota BTI (Barisan Tani Idonesia). Petani biasa,bukan orang berada, buta huruf, menjadi musuh yang berbahaya bagi Negara?? Saya ingin agar semua ini bisa jelas dalam suatu kejujuran sehingga anak cucu saya akan mendapatkan masukan yang benar dalam mendidik keturunan-keturunan saya dan anda yang terlahir di masa generasi berikutnya. Tidak ada satu orangpun yang bisa berbohong secara terus menerus. Saya ingat Ex Menteri Penerangan bernama Mashuri SH, Ketua RT didaerah rumah kediaman Suharto di Jalan Irian, Menteng. Dialah yang digosipkan menyelamatkan Suharto karena memberitaukan adanya pembunuhan para Jenderal pada tanggal 30 September 1965, telah minta berhenti dari jabatannya sebagai Menteri. Dalam sebuah media pernah saya baca bahwa: kepada salah seorang temannya dia mengatakan sebabnya dia minta berhenti: “Saya tidak tahan kok Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 72
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
setiap hari diminta untuk berbohong terus-menerus.” Ditingkat Menteri ada cerita seperti itu, maka kebohongan telah demikian kronisnya sehingga sejarah ingin dirubah. Saya simpulkan amat menonjol perlunya diadakan pertemuan-pertemuan yang sifatnya bisa mengungkapkan sejarah-sejarah kelam akibat perbuatan manusia tidak jujur yang selama ini telah dengan sengaja dibiarkan terjadi. Saya kira meskipun sudah empat puluh empat tahun berlalu, kita tidak terlambat. Terus, pastikan kita akan mampu menghasilkan sesuatu yang layak dan pantas. Anwari Doel Arnowo Singapura - Sabtu, 20 Juni 2009 - 21:24 Mas Pri yang baik (3) Ini hari terakhir saya di negeri Singa, sore nanti akan pulang ke Rawamngun dan masuk ke dalam putaran rutinitas, melayani pasien di klinik, ke penjara utk. program HIV/AIDS, mendampingi masyarakat miskin di Pondok Kopi dan Bantar Gebang dalam meningkatkan kemampuan mereka di bidang mengatasi kesehatannya dengan cara-cara tradisional. Tentu juga mengurus peluncuran buku kita LOBAKAN di Denpasar tgl.23 Agustus., di bawah ini Mas, saya sampaikan teks singkat apa yang saya utarakan di dalam konperensi Revisited 1965/66 di Singapore. Banyak paper dan presentasi yang menarik, dan ada rencana untuk menyelengarakan hal yang serupa di Jakarta, mungkin tahun depan. Mudah-mudahan bisa terlaksana. salam hangat saudara muda, pos ----Original Message---From: [email protected] Date: Jun 22, 2009 6:46 To: "PUTU OKA" Subj: WORK PAPER ON 65 KILLING CONFERENCE in SINGAPORE FIGHTING AGAINST DEHUMANISATION CREATED BY THE NEW ORDER REGIME Paper By: PUTU OKA SUKANTA, Acupuncturist & Novelist First of all I have a piece of good news to share with everybody. Presently I am working in cooperation with my friend May Swan to translate my novel MERAJUT HARKAT into English which is a chronological journey against dehumanization created by the New Order regime. Meanwhile the book LOBAKAN, a short story anthology by ten writers will launch in August 2009 in Bali and in Jakarta in November 2009. The theme of the book described the wretched situation
of
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
the
people
in Page 73
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Bali, the muted silence of the defenseless against the roaring assault of the military during the 65
killings.
Today's paper traces four different phases of personal account in fighting dehumanization efforts asserted by Suharto military regime as follows: 1. The period leading to G30S 1965 and my arrest in 1966 2. The detention period from 1966 to 1976 3. The period covering life outside detention from 1976 to 1989 under Suharto 4. The period after Reformation 1. I first came to hear about G30S 1965 a day after it happened, when a student of mine told me there was a Coup by General Nasution the night before. At the time, I didn't have the slightest idea what actually happened. Following the 30S 1965 incident political climate became heated by the day. The military launched a series of psychological offensive and organized nationwide killing and arrest. Suddenly I found myself a defeated soul without ever going into battle, the most ridiculous situation to be in, a little like getting a divorce without ever getting married. After losing my job as a teacher, I started going into retail, turned the front part of the house into a shop selling soap, cooking oil, mosquito repellent and other daily necessities. My friends who were on the run often came over to stay for short periods, turning the place as a temporary shelter. Some of them brought opposition fliers by certain groups containing materials accusing the PKI leadership. Meanwhile news were abound about so and so had become a military informant
that
caused
friends to be arrested and killed. News of betrayal had brought great anxiety and distrust among friends. My fate was sealed on 21 October 1966 when they raided my house in the middle of the night and arrested me. The military confiscated my house and my property. I was hopeless, not in the position to raise question. But with apparent wide scale killing across the country resulting from unspeakable military atrocities, I often wondered why there was no reporting from Western media regarding violence of such magnitude which amounted to genocide. In fact, there was no significant protest from the socialist countries as well as from the non bloc countries against Suharto and the military. It seemed the incident was premeditated, carried out in phases in a well-thought-of operations closely connected with the interests of the capitalist countries to take control of Indonesia by overthrowing Sukarno and exterminating leftist movements. 2. I was detained at Central Jakarta Military Command HQ and interrogated the following night. Interrogation is a license that allows the military officials to employ brutal torture method at will on prisoners in order to obtain information, as well as to confirm assumed information. Torture is also employed as a psychological means to intimidate and to strip the self respect of Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 74
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
those in captive, an abuse against human dignity. Atrocious methods engaged include beating, thrashing, stripping, electrocution, raping, forced to perform sexual acts in front of other detainees and officials. Detainees are also subjected to sadistic verbal abuse with lasting damaging effect long after physical pain has subsided. Subjected to severe dehumanization process, a detainee had to exercise great resilience not to give in to his captors, not to betray his friends, not to turn into despicable traitors by strengthening sense of solidarity and commitment to common cause. However, despite the officials indoctrination efforts that include defamation of characters, intimidation, bribery and instigation, the majority of tapol political detainees emerged at the end of the line with their human dignity intact. 3. I was released in 1976. But this doesn't mean freedom for me. Unlike in other countries that respect Human Rights, released political detainees in Indonesia have to issue a signed statement saying they gave up the rights to protest against the treatment received under detention, thus giving impunity to the officials. They have to record and report to the authorities all visitors coming to their house. They have to report to all the existing authorities of their whereabouts. When I reported moving from Tanggerang to Jakarta in 1977, the relevant official forgot to indicate I was ex political detainee ex tapol or commonly termed as ET on my ID card. I managed to take advantage of the error by doing lots of things not available to me had I been identified as ex tapol ET; I managed to pursue my literature career, writing to Kompas and Sinar Harapan news papers, won an in international short story writing contest organized by the Chilean Embassy, wrote a number of books on medical cases including HIV cases that can be treated by acupuncture, and set up Acupuncture Clinics in several places giving training on traditional health method to the grass root community. In the same period I had also been invited overseas in connection with cultural activities. But in 1990, after returning from a visit to Germany and other European countries, the military officials raided my house, closed down the clinic, and I was again detained and tortured for 10 days for violating Internal Affairs Instruction 1981 No. 30. Since that time, the officials put ET code back in my IC, and the military intelligence resumed monitoring my daily activities. But I didn't stop writing. And they couldn't stop me anymore than they could stop me from breathing! 4. The period after Reformation, military intelligence was visibly reduced. The first thing I did was to publish a novel MERAJUT HARKAT in 1999 which I started in 1979, as well as a compilation of poems PERJALANAN PENYAIR. The mass media took a sudden notice of my work; they were eager to discuss the books, and to know more about the writer. Many patients were surprised that I was an ET since 1979, and sympathy poured in from every sector, political environment had changed for the better. I've since been invited abroad to attend literary meetings, seminars and health related activities including talks on HIV / AIDS. I've written a few more books and produced 4 documentary films under the title DAMPAK SOSIAL TRAGEDI KEMANUSIAAN 65/66. Presently I am in the Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 75
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
process of working on Episode 5 together with other ET and their families, assisted by Institute for Arts Jakarta, Institute for Social History Indonesia and other like minded organizations. The 1965 incident is an endless source of inspiration to uphold Basic Human Rights in Indonesia and the rest of the world. Last but not least, I like to ask my learned friends, shouldn't there be tangible actions following this elaborate academic discussion, actions that will push the government of the day to acknowledge the 65/66 killings as dehumanizing national tragedy not to be repeated ever again. I want to close this speech with a poem I wrote when I was in New York not long after my release from prison. The Statue of Liberty I gaze at the statue of Liberty And I think of poetry written in jail PUTU OKA SUKANTA The author of MERAJUT HARKAT Work Paper Presented at International Conference on "The 1965/1966 Indonesian Killings Revisited" held in Singapore from 17th --- 19th June 2009. The event jointly organised by Asia Research Institute of Arts & Social Sciences ( ARI ) and Australian Research Council's Asia Pacific Futures Research Network (APFRN ). ***************** Rekan-rekan yang budiman, berikut ini saya forward makalah yang dibawakan oleh B. Herry-Priyono dalam Kongres Pancasila Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei – 1 Juni 2009. Dalam paparan ini diutarakan arti penting Pancasila, sebagai nilai dasar untuk dijadikan pedoman dalam mencapai cita-cita mewujudkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia demi kebahagiaan seluruh warganya. Cukup menarik interprestasi Pancasila dalam makalah ini, y.i. 5 Sila yang dirumuskan sbb. : (1) keterbukaan pada Yang Transenden; (2) kewargaan yang beradab; (3) bersatu dalam keragaman; (4) proses demokratis; dan (5) keadilan sosial Dalam makalah ini juga dinyatakan, kalau nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sampai saat
ini
belum
terwujud
(-bahkan
banyak
kemunduran
dalam
praktek
kehidupan
-red.AH), tidak berarti bahwa nilai tersebut salah. Dibutuhkan ketekunan dan kerja keras penuh Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 76
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
kesadaran untuk mengatasi segala rintangan yang menghalangi proses mencapai cita-cita yang termaktub dalam Pancasila, warisan para founding father nasion Indonesia untuk generasi penerusnya. Kutipan : ** Namun apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945, dapat menjadi contoh apa yang dimaksud dengan intensionalitas dan kesengajaan: “Indonesia Merdeka tidak dapat datang djika... [kita] tidak menekad-mati-matian oentoek mencapai merdeka" Dalam paparan ini, disamping diperingatkan agar menghindari kesalahan rezim Soeharto ( - yg. menyalah gunakan Pancasila sebagai alat untuk menindas lawan politiknya dg. cap "anti Pancasila", sehingga oleh sementara korban rezim militer Orba /Soeharto
Pancasila itu diartikan
sebagai ideologi fasis Indonesia -red.AH), penulis makalah ini menekankan arti penting Pancasila sebagai pedoman dalam menanggulangi kerusakan yang diakibatkan oleh sistem Neoliberalisme dan juga pedoman untuk menghadapi bahaya Fundamentalisme agama. Kutipan : ** Di satu pihak, kebijakan publik sebagai insentif pengejaran kepentingan-diri cenderung terpelanting ke dalam anarkisme pasar, hingga ada atau tidak-adanya Pancasila menjadi tidak relevan. Di lain pihak, kebijakan publik sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mewujudkan etos Pancasila cenderung terpelanting menjadi larangan terhadap kebebasan setiap warga, hingga adanya Pancasila terasa sebagai kekangan koersif. Kecenderungan koersif inilah yang telah terjadi di bawah rezim Soeharto. Menanggapi kebangkitan semangat Nasionalisme di Indonesia sekarang ini, dalam makalah ini tertulis a.l. saya kutipkan sbb : ** Pada akhirnya hanya dapat dikatakan bahwa persoalannya bukanlah apakah agenda nasionalis baik atau buruk, perlu atau tidak. Sejauh kita masih mencita-citakan Indonesia sebagai bangsa, agenda nasionalis pada akhirnya berisi intensionalitas dan kesengajaan dalam menyusun serta mengarahkan kebijakan publik bagi proyek Indonesia itu. Dalam agenda itu, titik tolak, kriteria pengukur, serta sasarannya adalah keutamaan-keutamaan politik yang terumus dalam Pancasila. Menurut hemat saya, Kebangkitan kembali Nasionalisme di Indonesia sekarang ini, apabila berhasil memenuhi maknanya sebagai tumbuhnya semangat Patriotisme cinta Tanah Air yang anti penindasan, demi tegaknya kedaulatan politik, berdikari dibidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang berlandaskan Perikemanusiaan yang adil dan beradab, mestinya akan mampu mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh Neoliberalisme dan juga akan mampu menghadapi ancaman bahaya Neo-Fasisme, baik yang berupa bahaya restorasi fasis-militeris maupun fasis klerikal, demi terbentuknya negara bangsa Indonesia yang diidamkan.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 77
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Ditengah krisis ekonomi dunia yang terparah semenjak PD II, yang sekaligus juga merupakan bukti kebangkrutan Neoliberalisme, diperlukan pemikiran altenatif sebagai pembimbing langkah untuk mengatasi tantangan yang mesti ditanggulangi dalam menempuh jalan kehari depan. Dalam hubungan inilah aktualisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila, terutama tentang konsep dasar perekonomian yang mengabdi Keadilan bagi seluruh Rakyat, yang sekarang dikenal
publik dengan istilah Ekonomi konstitusi (yg sesuai deng apa yang termuat
dalam konstitusi) bisa diharapkan menjadi bagian sumbangan penting kearah proses penemuan jalan alternativ yang sedang dibutuhkan. Sudah tentu perlu juga menarik pelajaran yang berharga dari pengalaman sejarah gerakan sosial diarena internasional, terutama dari hasil-hasil perjuangan gerakan Rakyat di Amerika Latin yang sedang terus berkembang. Salam, Arif Harsana ---------------------------------------------------------Berikut ini bisa disimak artikel selengkapnya. Sumber
:
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/search/label/lawan-neoliberalisme
Agenda Indonesia Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja* oleh B. Herry-Priyono** Dari mana Indonesia muncul? Ia tidak datang dari imperium Majapahit, tetapi ia juga tidak muncul begitu saja dari realpolitik internasional pada awal abad XX. Ia muncul dari agenda nasionalis yang memburu celah-celah terobosan dalam peta politik inter-nasion-al di sekitar Perang Dunia II. Ia bukan kelanjutan dari primordialisme, namun ia juga bukan penjelmaan dari universalisme. Almarhum Ernest Gellner, satu di antara ahli yang secara mendalam menyusun teori nasionalisme, melihat bahwa nasionalisme adalah gejala ajaib, “salah satu fakta paling penting dalam dua abad terakhir”. Tulisnya: “Tidak sepenuhnya jelas mengapa gejala itu terjadi: mengapa manusia lama yang terikat pada sarang sempit primordialnya diganti bukan oleh ajaran Filsafat Pencerahan tentang Manusia Universal yang diharuskan setia pada persaudaraan universal, melainkan oleh manusia khusus yang lolos dari ikatan lamanya, dan kemudian menghidupi mobilitas dalam batas-batas yang kini ditetapkan secara formal, yaitu sebuah kultur dalam lingkup negara-bangsa”.i Barangkali itulah yang dimaksud dengan argumen bahwa nasionalisme bukan kelanjutan dari ikatan primordialisme, tetapi ia juga bukan penjelmaan dari abstraksi universalisme. Itulah mengapa para globalis melihat nasionalisme sebagai terlalu sempit, sedangkan para lokalis menganggap nasionalisme terlalu besar. Sketsa kecil ini tidak bermaksud menjawab teka-teki “yang tidak sepenuhnya jelas mengapa [nasionalisme] terjadi”. Namun dari survei atas berbagai teori Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 78
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
nasionalisme,ii terdapat dua faktor konstan yang rupanya selalu hadir. Dua faktor itu adalah daya dorong (push) dan kekuatan penarik (pull). Sebuah negara-bangsa tidak muncul ataupun dibarui hanya dengan kehendak dan kemauan (push), sebagaimana sebuah negara-bangsa juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum, dan sebagainya (pull). Timor Leste ataupun Palestina, misalnya, tidak menjadi negara-bangsa hanya dari kehendak para pemimpinnya, sebagaimana mereka juga tidak begitu saja muncul hanya dari permainan situasional cuaca politik, ekonomi, hukum, maupun kultural yang sedang terjadi. Dari kesaksian para pendiri Indonesia, pola itu juga terlihat dari bagaimana para pemimpin nasionalis seperti Sukarno, Hatta ataupun Sjahrir sama-sama menghendaki kemerdekaan (push). Akan tetapi, mereka juga bersitegang bukan hanya tentang caranya (kooperasi atau non-kooperasi, kolaborasi atau non-kolaborasi),iii namun juga mengenai pencarian momentum surutnya petualangan imperial Jepang di Asia Pasifik serta potensi Belanda masuk kembali untuk menguasai wilayah-wilayah Indonesia (pull).iv Lantaran cuaca realpolitik yang menjadi faktor penarik (pull) tidaklah sepenuhnya berada di tangan para nasionalis, saya kira agenda nasionalis pada akhirnya menunjuk pada kehendak yang secara intensional dan sengaja (push) dilancarkan untuk memakai dan mengarahkan kondisi eksternal apapun bagi pembentukan kerumunan (crowd) agar menjadi sebuah bangsa (nation); dan instansi negara (state) adalah penggerak proyek itu.v Itulah argumen sederhana lapis pertama yang coba diajukan dalam tulisan kecil ini. Akan tetapi, bukankah kehendak intensional dan sengaja itu dapat dibawa ke arah mana saja (entah arah agama ataupun kesukuan)? Pertanyaan itu membawa ke argumen sederhana lapis kedua berikut: perangkat ideologis yang dipakai secara intensional dan sengaja untuk mengarahkan cuaca realpolitik dan kondisi eksternal apapun bagi pembentukan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam rumusan singkat, sebuah bangsa hanya dibentuk dengan sengaja. Tetapi, apa yang membuat urusan ‘kesengajaan’ ini begitu penting bagi pembentukan Indonesia? Lain Zaman ada Kemiripan. Jarak temporal yang panjang menganga antara awal abad XX dan awal abad XXI membuat pasti cuaca politik, ekonomi, kultural maupun ideologis antara kedua zaman itu berbeda. Pada awal abad XX, gelombang pembentukan negara-bangsa tengah pasang di wilayah-wilayah jajahan, sedangkan pada awal abad XXI gelombang itu telah surut atau menciut. Di awal abad XX, ideologi liberalisme, komunisme dan sosialisme dengan sengit bertarung memperebutkan hati dunia, sedangkan di awal abad XXI cuaca ideologis berdandan dengan ajaran “akhir sejarah”, yaitu paham tentang kapitalisme-liberal sebagai puncak sejarah.vi Namun sejarah selalu gelisah, dan cuacanya selalu berubah. Justru karena itu, perbedaan-perbedaan seperti di atas juga mengecoh. Suatu bangsa tidak lahir dari kehendak Tuhan, dan ia juga tidak muncul dari alam.vii Apa yang menarik adalah gejala ini: jarak waktu yang membentang antara awal abad XX dan awal abad XXI tidak juga menyurutkan cita-cita untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Di awal abad XX, tentulah cita-cita itu dilancarkan oleh sederet pemimpin seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan banyak lagi yang telah diabadikan sejarah. Sedangkan kini cita-cita itu coba dirawat oleh tidak sedikit orang, dan cita-cita itu belum/tidak juga padam meskipun banyak orang telah berhenti mencita-citakannya. Dengan kata lain, juga meskipun tahu bahwa negara-bangsa bukan sesuatu yang kekal, cita-cita untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa tetap terpasang sebagai kemilau di ketinggian sana. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 79
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Apa yang terdengar romantik itu sesungguhnya berisi realisme kelugasan. Kalau orang seperti Sukarno, Hatta ataupun Sjahrir terdengar romantik karena berkehendak mendirikan Indonesia sebagai bangsa, itu hanya lantaran keruwetan peristiwa dan jerih-payah mereka di masa itu telah menggelinding menjadi silam. Dan apa yang telah silam terasa berkaca-kaca seperti embun – ringkih tapi indah, indah tapi ringkih. Namun simaklah surat-surat pribadi seorang Sutan Sjahrir yang ditulis sejak tahun 1934, atau berbagai gagasannya selama dasawarsa 1950-an, maka kita akan menemukan berbagai kalkulasi yang dingin, lugas, dan penuh realisme.viii Fakta bahwa di awal abad XX orang-orang seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir hendak mendirikan Indonesia secara resmi-legal, sedangkan di awal abad XXI Indonesia telah terbentuk secara resmi-legal sebagai negara-bangsa, tidak juga melenyapkan cita-cita itu. Yang pertama mungkin dapat disebut sebagai tahap penciptaan bangsa (creation), yang kedua pengembangan atau pembaruan bangsa (renewal). Mungkin terasa ganjil bahwa perbedaan kedua zaman tidak juga melenyapkan cita-cita itu. Namun sesungguhnya tidak ada yang aneh pada gejala itu. Dalam ungkapan Benedict Anderson, karena “ketercapaian [proyek Indonesia] tidak pernah penuh”, maka “kelangsungannya juga secara mendasar merupakan proyek terbuka”.ix Gejala ini bukan khas Indonesia. Apa yang membuat Barak Obama mempesona bagi para pemilihnya persis terletak dalam kehendaknya untuk membarui Amerika Serikat sebagai bangsa. Dan ketika dipilih menjadi Perdana Menteri Inggris tahun 1997, pesona Tony Blair persis terletak dalam agendanya untuk membarui Inggris sebagai bangsa yang waktu itu dilihat telah letih menua. Mirip seperti kondisi eksternal para pendiri Amerika Serikat di sekitar tahun 1776 berbeda dengan cuaca eksternal ketika Obama memimpin pembaruan Amerika Serikat sebagai bangsa di hari-hari ini, begitu pula kondisi eksternal para pendiri Indonesia di awal abad XX berbeda dengan cuaca eksternal ketika kita ingin membarui Indonesia sebagai bangsa sekarang ini. Namun perbedaan itu tidak mencegah kemiripan daya pendorong untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Nama daya pendorong (push) yang tetap itu adalah intensionalitas (intentionality) dan kesengajaan (deliberateness). Dan mungkin daya intensionalitas serta kesengajaan itulah yang kini terselip hilang entah di mana. Ciri retorik bergelora seorang Bung Karno memang suka menyesatkan ketimbang kehati-hatian seorang Bung Hatta atau realisme seorang Bung Sjahrir. Namun apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945, dapat menjadi contoh apa yang dimaksud dengan intensionalitas dan kesengajaan: “Indonesia Merdeka tidak dapat datang djika... [kita] tidak menekad-mati-matian oentoek mencapai merdeka”.x Sentralnya intensionalitas dan kesengajaan ini bukan hal baru, tetapi hanya implikasi langsung dari argumen bahwa sebuah bangsa (the nation) tidak lahir ataupun dibarui dari gejala alam, seperti munculnya pulau baru dari ledakan geologis. Bangsa adalah bentukan manusia. Maka, apa yang dimaksud dengan ‘intensionalitas’ dan ‘kesengajaan’ menunjuk pada kinerja kehendak dan keterarahan sebagai ciri khas tindakan dan proyek manusia, individual maupun kolektif.xi Pembentukan bangsa pastilah cita-cita dan agenda manusia seperti itu. Karena setiap agenda manusia senantiasa mengandaikan bekerjanya daya intensionalitas dan kesengajaan,xii tersingkir dan surutnya intensionalitas dan kesengajaan dalam cita-cita pembentukan Indonesia sebagai bangsa niscaya menyurutkan ‘Indonesia’ sebagai proyek cita-cita. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 80
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Tentu, sentralnya daya intensionalitas dan kesengajaan dalam agenda Indonesia tidak berarti bahwa terwujudnya cita-cita itu hanya tergantung pada daya intensionalitas dan kesengajaan. Sangat biasa kita menghendaki sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak juga terjadi (intended but unrealised). Bukan karena kurangnya kehendak, melainkan karena kinerja faktor lain yang disebut di atas sebagai ‘cuaca eksternal’. Begitu pula, proyek membentuk Indonesia sebagai bangsa sangat bisa tidak terjadi hanya dengan daya intensionalitas dan kesengajaan. Akan tetapi, juga sangat biasa sesuatu terjadi meskipun tidak kita kehendaki (unintended but realised). Maka dalam proyek cita-cita sebesar ‘Indonesia’ tersembunyi rahasia ini: hanya dalam gerakan yang intensional dan sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa, kita menciptakan kemungkinan terjadinya Indonesia sebagai bangsa. Dari arah sebaliknya, semakin kita tidak secara intensional dan sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa, semakin kita sedang membuktikan ketidakmungkinan terbentuknya Indonesia sebagai bangsa. Tidak lebih, tidak kurang. Argumen ini punya komplikasi yang tidak mudah, tetapi komplikasi itu akan ditanggapi di bawah nanti. Apa yang membuat pentingnya daya intensionalitas dan kesengajaan itu dengan mudah dilupakan? Jika kata “dilupakan” terdengar klise, bolehlah itu dirumuskan begini: apa yang membuat pentingnya daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk atau membarui Indonesia sebagai bangsa itu menyurut atau tersisih? Pertanyaan ini bisa membawa kita pada persoalan lemahnya kehendak atau kedangkalan pemahaman yang mungkin sedang meluas dewasa ini. Meskipun demikian, saya memilih untuk menjawab dengan menunjuk dua faktor besar yang membuat penyingkiran intensionalitas dan kesengajaan itu terjadi secara luas. Dengan kata lain, kita perlu coba memahami dua faktor besar yang menandai cuaca sejarah dewasa ini. Dua Gelombang Dogma Raksasa. Dua faktor besar itu adalah fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Apa kaitan keduanya dengan agenda membentuk Indonesia sebagai bangsa? Dan apa pula kaitannya dengan teka-teki kehendak dan kesengajaan? Pertama, fundamentalisme agama (religious fundamentalism). Apa yang dimaksud menunjuk pada upaya menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan yang disebut ‘Indonesia’. Istilah “seluruh bidang” mencakup aneka urusan yang mencakup tatanan politik, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, relasi sosial, sampai urusan cara berpakaian dan tata cara perkawinan. Andaipun agenda programatik seperti itu dianggap baik, cukup pasti sejak awal fundamentalisme agama akan menabrak tembok tebal yang berupa fakta keragaman tradisi religius maupun kultural yang menandai komposisi demografis Indonesia. Atau, dalam bahasa Buya Syafii Maarif, “pengetahuan golongan fundamentalis [agama] ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana”, dan “dengan mengatasnamakan Tuhan, menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda”.xiii Kesulitan itu barangkali sudah jelas dan terang-benderang. Tetapi apa yang lebih tersembunyi adalah persoalan berikut. Jika Indonesia tidak terbentuk dari gejala alam tetapi sebagai proyek cita-cita manusia, dan jika pembentukan Indonesia sebagai bangsa membutuhkan tindakan intensional dan sengaja, bukankah membentuk bangsa Indonesia berdasarkan doktrin agama itu juga merupakan bentuk intensionalitas dan kesengajaan? Apa yang sesat dari agenda itu? Tentu kita bisa merujuk kembali konsensus para pendiri Republik: Indonesia dibentuk bukan berdasarkan intensionalitas dan kesengajaan prinsip sektarian agama, Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 81
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
ras atau kesukuan, tetapi atas dasar prinsip yang bersifat civic. Istilah civic berasal dari kata Latin civis (warga negara). Dasar civic berarti keanggotaan dalam negara-bangsa Indonesia bukan didasarkan pada identitas suku, ras, agama ataupun gaya-hidup, dan pemilikan uang atau harta, melainkan didasarkan pada identitas orang sebagai warga-negara (citizen).xiv Namun jawaban dengan merujuk pada kehendak para pendiri Republik seperti itu juga mudah terdengar seperti jawaban “karena nenek kita tidak menghendaki Indonesia dibentuk berdasarkan agama, maka kita tidak boleh melakukannya”. Soalnya, bukankah “nenek” kita sudah meninggal dan mewariskan Republik ini kepada kita? Mengapa kita tidak boleh membuat bangsa Indonesia sekarang dibentuk atas dasar agama? Atau, bisa juga kesengajaan itu pada akhirnya bukan diarahkan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa, melainkan hanya sebagai tahapan bagi komunalisme religius transnasional.xv Ini merupakan masalah lain yang tidak akan disinggung di sini. Pokok terakhir inilah yang telah menyita perdebatan panjang, dan titik berangkat perdebatan bisa dimulai dari mana saja: dari klaim pemeluk agama tertentu sebagai warga mayoritas, dari penilaian atas dekadensi moral, sampai rujukan pada Piagam Jakarta. Seluruh tinta dapat dihabiskan, dan seluruh waktu bisa dihamburkan untuk menjawab masalah itu, tapi pada akhirnya (dalam bahasa Syafii Maarif) “masalah Indonesia... tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan”.xvi Pada akhirnya, jawaban yang memuaskan berkisar pada kesulitan ini: bahwa membentuk Indonesia atas dasar agama merupakan tindakan meniadakan diri (self-defeating): “semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi”, dan jauh lebih berbahaya karena “mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya”.xvii Tak ada satupun alasan menerima pendasaran Indonesia di atas doktrin agama, kecuali bagi beberapa orang berjubah pemimpin agama yang menginginkan itu, agama apapun itu. Lagi, “cara-cara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negeri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu di tengah jalan”.xviii Kedua, fundamentalisme pasar (market fundamentalism). Bersama fundamentalisme agama, cuaca ideologis fundamentalisme pasar makin sering kita dengar dalam beberapa dasawarsa terakhir. Namun tak pernah sepenuhnya jelas mengapa fundamentalisme pasar punya implikasi begitu besar pada proyek cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pada hemat saya, penjelasannya jauh lebih tersembunyi daripada perdebatan kubu pro-pasar dan kubu anti-pasar yang sering kita dengar. Mirip seperti fundamentalisme agama berambisi menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang hidup pribadi dan bermasyarakat, begitu pula fundamentalisme pasar berambisi menjadikan mekanisme pasar bukan hanya sebagai prinsip pengatur kinerja bidang ekonomi, tetapi sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan bermasyarakat. Namun kedua fundamentalisme itu beroperasi dengan modus kinerja berbeda. Jika fundamentalisme agama beroperasi dengan melakukan totalisasi cara kerja seluruh bidang kehidupan masyarakat atas dasar doktrin agama, fundamentalisme pasar ingin menciptakan tatanan masyarakat (social order) melalui anarki pengejaran kepentingan-diri tiap orang atas dasar prinsip harga (price). Dengan kata lain, fundamentalisme agama adalah bentuk totalitarianisme, sedangkan fundamentalisme pasar merupakan bentuk anarkisme.xix Bagaimana mungkin cita-cita membentuk tatanan dilakukan melalui anarki?
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 82
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Mungkin tak ada pemikir paling serius yang mendasari anarkisme pasar ini daripada Friedrich von Hayek. Setiap tindakan membentuk dan mengatur tatanan (order) melalui otoritas mempunyai risiko membatasi kebebasan tiap warga, atau bahkan mengakibatkan perbudakan.xx Alternatifnya adalah tatanan yang tidak dibentuk melalui otoritas atau rencana apapun, tetapi tatanan itu dibiarkan terbentuk secara alamiah sebagai hasil ekuilibrium (perimbangan) tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan-diri. Terbentuknya tatanan tidak perlu dikejar dengan intensionalitas dan kesengajaan, sebab dengan sendirinya ‘tatanan’ (order) akan muncul sebagai hasil dari ekulibrium berlaksa-laksa tindakan kebebasan setiap orang. Sekali lagi, terbentuknya tatanan tidak perlu direncanakan (planned) ataupun dikejar dengan sengaja (intentionally pursued), sebab tatanan itu akan terbentuk sebagai hasil-sampingan dari begitu banyak tindakan bebas. Dalam bahasa Hayek: “Tatanan dapat terbentuk dengan sendirinya dari tindakan-tindakan yang oleh para pelakunya tidak dimaksudkan secara sadar untuk membentuk tatanan”.xxi Juga seandainya tidak dilancarkan di atas bangunan teoretik se-sadar itu, cara para fundamentalis pasar melihat proyek membentuk Indonesia sebagai bangsa berisi turunan dari argumen seperti di atas. Silahkan mengganti kata ‘tatanan’ dengan kata ‘bangsa Indonesia’, sebab akhirnya ‘bangsa Indonesia’ adalah tatanan politik (political order). Di waktu lain, silahkan juga mengganti kata ‘tatanan’ dengan istilah ‘kesejahteraan bersama’ (common welfare), sebab kesejahteraan bersama pada akhirnya merupakan tatanan moral (moral order). Maka, cara berpikir fundamentalis pasar dapat diringkas sebagai berikut: bangsa Indonesia bisa terbentuk dengan sendirinya dari interaksi berlaksa-laksa tindakan para warga-negaranya yang tak dimaksudkan sebagai tindakan sengaja untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Tanpa diselidiki dengan cermat, gagasan itu seperti mengandung tanda faktual, sebab memang sangat jarang tindakan sehari-hari kita secara sengaja kita maksudkan sebagai cara membentuk bangsa Indonesia. Tidak ada seorang anak yang pergi belajar di sekolah, atau seorang akuntan yang mengerjakan pembukuan perusahaan, atau juga seorang buruh yang pergi bekerja di pabrik melakukan semua itu untuk secara sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa. Tetapi, satu selidik kecil saja telah cukup untuk menunjukkan bahwa antara “berlaksa-laksa tindakan setiap orang” dan “terbentuknya Indonesia sebagai bangsa” terbentang jurang sedemikian dalam yang membutuhkan jembatan. Lugasnya, keseluruhan tindakan bebas setiap orang tidak dengan sendirinya membentuk Indonesia sebagai bangsa. Maka pertanyaannya: apakah jembatan itu? Dalam dogma fundamentalisme pasar, jurang yang begitu dalam itu hanya dapat dijembatani oleh dalil harga (price) yang akan menciptakan perimbangan (ekuilibrium) dan pada akhirnya akan melahirkan tatanan (Indonesia). Namun tentu saja soal teoretik abstrak ini segera menjelma menjadi gejala yang ganas, sebab konsep ‘harga’ pasar pada akhirnya menyangkut urusan kemampuan daya-beli warga (purchasing power). Itu sama dengan agenda untuk menciptakan ‘kewarganegaan’ (citizenship) melalui rute penciptaan ‘konsumen’ (consumership). Prinsip kewarganegaaan adalah hak dan kewajiban politik, sedangkan prinsip konsumen adalah daya-beli. Dari sini penyingkiran warga-negara yang berdaya-beli rendah (kaum miskin) segera terjadi. Dengan kata lain, cita-cita membentuk tatanan (Indonesia) melalui rute ketidaksengajaan anarkisme pasar punya konsekuensi yang tidak kurang ganas dibandingkan penyingkiran melalui fundamentalisme agama. Justru karena itu, peran ‘kesengajaan’ dalam membentuk Indonesia sebagai bangsa pada akhirnya perlu ditegaskan dalam rupa kebijakan publik (public policy). Penggerak kebijakan publik tersebut tidak lain adalah pemerintah. Dari pokok ini, bolehlah diajukan argumen sederhana bahwa agenda nasionalis (yaitu agenda membentuk Indonesia sebagai Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 83
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
bangsa) itu.
pada
akhirnya
berisi
gerakan
kesengajaan melalui
berbagai kebijakan
publik
Dalam cuaca ideologis dua dogma besar itulah agenda nasionalis Indonesia dewasa ini terdampar. Sudut-pandang fundamentalisme agama kira-kira punya posisinya begini: Indonesia hanya dapat dibentuk dengan sengaja berdasarkan doktrin agama. Sedangkan dari sudut-pandang fundamentalisme pasar, Indonesia tak perlu dibentuk dengan sengaja atau terencana, sebab Indonesia justru tidak akan terbentuk sebagai bangsa; biarlah setiap warga mengejar kepentingan-dirinya, maka Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya sebagai bangsa. Jika proyek Indonesia berdasarkan doktrin agama tidak punya dasar apapun, doktrin fundamentalisme pasar menyisakan pertanyaan besar: apakah memang bangsa Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya dari anarkisme pasar? Tiga Teka-teki Strategi Dalam ilmu-ilmu manusia, pertanyaan seperti itu telah lama menjadi hantu. Dan itu berakar dari tidak terjelaskannya banyak teka-teki yang tersembunyi dalam tindakan dan perilaku manusia, individual maupun kolektif, serta kaitan antara tindakan individual dan kolektif. Dalam bahasa sketsa ini, pertanyaannya sebagai berikut: apa yang membuat tindakan bebas tiap-tiap warga yang tidak dimaksudkan untuk membentuk bangsa pada akhirnya menciptakan Indonesia sebagai bangsa? Meskipun dengan gagap, perkenankan saya mengajukan tipologi masalah yang mungkin dapat membantu kita untuk menggagas apa yang perlu dilakukan ke depan.xxii Tipologi pertama, pada akhirnya argumen fundamentalisme pasar tentang proyek Indonesia mendasarkan diri pada pengandaian bahwa “Indonesia dapat terbentuk dengan sendirinya meskipun tidak dimaksudkan” (unintended but realised). Ilustrasi berikut ini mungkin berguna. Para petani setiap hari pergi ke sawah untuk menghasilkan panen yang dapat menghidupi keluarga, dan dalam proses bercocok-tanam itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia. Atau juga, perusahaan-perusahaan sibuk melakukan transaksi untuk menaikkan tingkat laba, dan dalam proses itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia sebagai bangsa. Dengan demikian, terbentuknya Indonesia sebagai bangsa sebenarnya tidak pernah dimaksudkan, tetapi terjadi sebagai hasil-sampingan. Segera terlihat keganjilan dalam pola di atas. Bukankah lalu tidak ada gunanya kita menghendaki (mencita-citakan) pembentukan Indonesia sebagai bangsa? Sebab, ia akan terjadi entah karena apa. Itu sebenarnya mirip dengan meyakini bahwa Tuhan atau alam akan menciptakan Indonesia sebagai bangsa – sebuah absurditas! Tentu tetap terbuka probabilitas Indonesia dapat terbentuk sebagai bangsa, tetapi begitu pula probabilitas bahwa Indonesia tidak akan terbentuk sebagai bangsa. Saya kira tidak ada alasan apapun untuk menerima keyakinan tipe ini. Tipologi kedua, berbagai keluh-kesah dan kerinduan agenda nasionalis yang semakin kuat dewasa ini pada akhirnya mengandaikan bahwa “Kita mencita-citakan dan menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, akan tetapi tidak/belum juga terjadi” (intended but unrealised). Setidaknya ada dua kemungkinan. Meminjam ungkapan Ben Anderson di atas, itu lantaran “ketercapaian [proyek Indonesia] tidak pernah penuh”, dan karena itu pembentukan bangsa Indonesia juga akan selalu belum selesai. Atau, ada yang tolol pada strategi menghendaki sehingga apa yang dikehendaki tidak/belum terwujud. Karena “strategi menghendaki” itu tercermin dalam berbagai kebijakan publik (ekonomi, politik, hukum, budaya, atau pendidikan), maka “ketololan strategi” itu mungkin terletak dalam kebijakan publik yang tidak cukup sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 84
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Dari khasanah sejarah pemikiran, mekanisme pasar dipandang dapat membantu pembentukan tatanan sosial (baca: Indonesia) jika, dan hanya jika, terdapat instansi yang mengelola anarkisme pasar itu serta mengarahkannya bagi pembentukan tatanan sosial. Ambillah contoh gagasan Bernard Mandeville (1670-1733), seorang dokter-pemikir Belanda yang berkarya di London. Setelah panjang-lebar merayakan manfaat pengejaran kepentingan-diri setiap orang, pada akhirnya ia menulis juga bahwa tatanan sosial bisa terbentuk dari anarkisme pasar hanya jika semua itu dikelola melalui “manajemen cerdik politisi yang tangkas” (the dexterous management of a skillful politician).xxiii Dalam bahasa tema kita, apa yang dimaksud dengan istilah “politisi tangkas” tersebut adalah kebijakan publik instansi pemerintah yang dengan sengaja mengelola dan mengarahkan berlaksa-laksa tindakan bebas para warga negara ke arah pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Dalam garis pemikiran seperti itu pula rupanya maksud Adam Smith ketika ia menulis tiga tugas pemerintah, dan tugas ketiga adalah menciptakan “prasarana publik dan tata kelembagaan publik”.xxiv Dalam banyak hal, apa yang disebut sebagai “ketololan strategi” mungkin berakar dari cuaca ideologis yang meyakini bahwa kebijakan publik harus dibuat dan diarahkan terutama untuk menjaga kinerja anarkisme pasar, dan tidak perlu dikelola/diarahkan secara sengaja untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pokok ini sentral, dan antara keduanya terdapat perbedaan tajam. Pada yang pertama, kebijakan publik disusun dan dilaksanakan terutama untuk membantu setiap orang agar mencapai kepentingan-dirinya. Namun sesungguhnya kebijakan seperti itu tidak layak disebut “publik”. Sedangkan pada yang kedua, kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan terutama dengan mata-sasaran untuk mengelola arus berbagai pengejaran kepentingan-diri individual para warga agar mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Pada jenis kebijakan publik yang kedua inilah terletak agenda nasionalis. Agenda nasionalis tidak pernah menolak pentingnya pengejaran kepentingan-diri warga, tetapi mengelola berlaksa-laksa pengejaran kepentingan-diri itu bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Tidak lebih, tidak kurang. Maka, agenda nasionalis tidak pernah menolak genius kinerja ekonomi pasar. Apa yang dituntut agenda nasionalis adalah agar kinerja ekonomi pasar secara sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Bila regulasi menjadi perangkatnya, mengapa tidak? Tetapi lain kali mungkin perangkat itu berupa de-regulasi. Dengan demikian cukup pasti pilihan regulasi ataupun de-regulasi bukanlah terutama dipahami dari kacamata pelaku anarkisme pasar, melainkan dari kacamata pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Lugasnya, ekonomi pasar dipakai untuk membentuk Indonesia, dan bukan Indonesia dipakai untuk pengejaran kepentingandiri para pelaku anarkisme pasar. Tipologi ketiga, agenda nasionalis pada akhirnya bisa diringkas sebagai agenda begini: “Kita menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, dan kita menghendaki cita-cita itu terwujud” (intended and realised). Tentu saja, dari dua tipologi sebelumnya kita segera melihat bahwa tekad, kehendak, intensionalitas maupun kesengajaan bukanlah penjamin bahwa Indonesia akan terbentuk sebagai bangsa. Di awal tulisan ini sudah disebut bahwa terbentuknya bangsa bukan sekadar hasil kehendak para nasionalis (push factor), melainkan juga hasil momentum realpolitik dan cuaca eksternal (pull factor). Masalahnya, apa yang disebut sebagai “kekeliruan strategi” lebih sering merupakan akibat ketertundukan kita pada permainan cuaca eksternal – dalam hal ini cuaca ideologis. Maka dapat dibayangkan terjadinya gejala berikut. Kekeliruan strategi terbentuk dari ketertundukan kita pada cuaca angin ideologis (entah itu fundamentalisme pasar ataupun fundamentalisme agama), dan itu masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak, intensionalitas atau kesengajaan untuk membentuk Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 85
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Indonesia sebagai bangsa. Gejala itu dapat disebut malapetaka ganda: sudah keliru dalam hal strategi, dan masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak. Justru karena itulah adanya daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa dapat dilihat sebagai faktor kunci. Kemudian agenda itu dapat digunakan sebagai pisau-bedah untuk mengoreksi “kekeliruan strategi”. Dalam kalkulus taktis, lebih baiklah kita punya intensionalitas dan kesengajaan, sebab dengan itu lalu setidaknya kita punya tolok-ukur pegangan (yardstick) untuk menimbang sejauh mana berbagai kebijakan publik sudah atau belum mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Hanya dengan itu, apa yang dicita-citakan (intended) punya probabilitas untuk terwujud (realised). Dari tiga tipologi di atas, cukup pasti bahwa agenda nasionalis tidak punya urusan dengan sikap anti-asing atau sweeping. Agenda nasionalis menunjuk pada keterarahan dalam rupa berbagai kebijakan publik yang secara intensional dan sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Para pengritik yang memotret agenda nasionalis sebagai agenda sempit dan menjijikkan biasanya menyamakan agenda nasionalis dengan keganasan tribalisme komunal. Selain merupakan kesesatan berpikir, kritik tersebut juga disebabkan karena tribalisme komunal dalam wajah kawanan ganas para fundamentalis agama selalu suka berteriak lantang bahwa tuntutan mereka adalah agenda nasionalis. Sebagaimana ditunjukkan Gellner, negara-bangsa bukan tribalisme-komunal maupun universalisme-atomik. Negara-bangsa adalah modus koordinasi tatanan politik tersendiri yang sedang mencari kemungkinan realisasinya bagi hidup bersama. Koordinasi tatanan hidup-bersama memang tidak harus berbentuk ‘negara-bangsa’, tetapi koordinasi agenda nasionalis dalam tata ‘negara-bangsa’ juga sudah dan akan punya kemungkinan menjadi modus penataan itu.xxv Cuma, apa kaitan semua itu dengan Pancasila? Pancasila dalam Agenda Nasionalis Dari berbagai pokok ringkas di atas, soalnya bukan apakah agenda nasionalis baik atau buruk, melainkan tolok-ukur dan panduan ideologis apa (ideological yardstick) yang dipakai oleh agenda nasionalis untuk membentuk ataupun membarui Indonesia sebagai bangsa. Pada titik inilah saya kira terletak sentralitas Pancasila. Meminjam bahasa Ben Anderson, Pancasila adalah medium dalam dan melalui mana kita “mereka-bayangkan” (imagining) serta menghendaki bangsa Indonesia seperti apa yang kita inginkan.xxvi Kata “ingin” berarti bahwa Pancasila adalah normatif (cita-cita). Karena cita-cita ditetapkan di awal dan bukan di akhir, ia juga dasar pemandu ideologis bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Jika Pancasila terasa tidak praktis, jawabannya sederhana: tak ada cita-cita yang praktis. Ia dimaksud sebagai pandu ideologis bagi pembuatan dan pelaksanaan semua kebijakan publik dalam membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pada akhirnya, apa yang praktis bukan ‘Indonesia’ dan ‘Pancasila’, tetapi kebijakan-kebijakan publik yang disusun dan dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Hanya dengan itu cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa punya kemungkinan perwujudannya. Apabila ia belum juga terwujud, itu juga lantaran ekspektasi kita selalu mengembang. Sebuah cita-cita tidak batal hanya karena belum terjadi. Mengapa lima sila? Itulah yang dirumuskan oleh para leluhur pendiri Republik ini. Namun tentu saja jawaban seperti itu tidak terlalu berbeda dengan jawaban “karena kakek kita merumuskannya dalam lima sila”. Dan jawaban seperti itu tentu mudah patah. Pada akhirnya, lima sila itu rupanya merupakan lima keutamaan hidup-bersama (politik) yang dicita-citakan sebagai pandu ideologis bagi proses pemberadaban proses politik bangsa Indonesia. Rumusan lima sila yang ada sekarang mungkin sudah terdengar klise, sebab apa yang telah menjadi rutin dan biasa Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 86
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
memang sering menumpulkan rasa. Namun apabila dirumuskan dengan lebih bebas dan ringkas, mungkin dapat kita peroleh rumusan berikut: (1) keterbukaan pada Yang Transenden; (2) kewargaan yang beradab; (3) bersatu dalam keragaman; (4) proses demokratis; dan (5) keadilan sosial.xxvii Dipadatkan dalam rumusan itu, Pancasila tampil dalam kemilaunya. Ia bersifat civic dan bukan sektarian agama, rasial, ataupun kesukuan. Bahkan sila pertama samasekali tidak menunjukkan bunyi dan arti sektarian atau agamis apapun. Seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, itu hanya agar “tiap-tiap orangnja dapat menjembah Toehannja dengan tjara jang leloeasa”.xxviii Satu catatan kehati-hatian perlu diajukan. Juga dengan semua pokok di atas, kaitan antara Pancasila dan agenda nasionalis masih belum sepenuhnya jelas. Kalau Indonesia adalah cita-cita, tentulah terbentuknya Indonesia selalu lolos dari keterwujudan empirik yang final. Bukankah lalu setiap agenda nasionalis selalu ibarat mengejar fatamorgana politik? Bagaimana kesulitan ini dapat dipahami? Dan bagaimana kemudian dijelmakan dalam pelaksanaan? Sebab, tanpa penjelmaan tentulah cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa akan tetap tinggal seperti puncak gunung yang tak pernah didaki. Dalam kesulitan itu tersembunyi sebuah teka-teki paradoksal. Paradoks itu kira-kira dapat dijelaskan begini. Sebuah tujuan atau cita-cita biasanya justru tidak tercapai apabila setiap detik kita disibukkan oleh kecemasan bagaimana mencapai cita-cita itu. Andaikan kebahagiaan (happiness) adalah cita-cita hidup. Silahkan bertanya setiap hari apakah Anda bahagia, maka Anda justru tidak akan bahagia. Meskipun lingkup individual tidak dapat diterapkan begitu saja pada persoalan di lingkup sosial, dalam arti tertentu argumen anarkisme pasar bagi pembentukan tatanan punya unsur kebenaran. Artinya, silahkan bertanya tiap hari apakah Indonesia sebagai bangsa telah terbentuk, maka seluruh energi kita justru akan habis untuk mereka-reka kesesuaian tindakan dan kegiatan kita dengan terbentuk-tidaknya Indonesia. Dengan itu tidak terjadi optimalisasi tindakan dan kegiatan yang mengarah pada pembentukan Indonesia. Maka, yang lebih mungkin terjadi justru kita seperti burung pungguk yang setiap jam merindukan bulan (lunatic). Sebagaimana cita-cita kebahagiaan tidak akan tercapai dengan setiap hari melakukan kebahagiaan (karena ‘kebahagiaan’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan), begitu pula proyek cita-cita Indonesia tidak akan dicapai dengan setiap hari melakukan ‘Indonesia’ (sebab konsep ‘Indonesia’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan). Pokok ini punya implikasi jauh. Sebagaimana cita-cita ‘kebahagiaan’ hanya dapat dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret membawa kita ke indikator ‘kebahagiaan’, begitu pula pembentukan Indonesia juga hanya dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret menjadi indikator terbentuknya Indonesia sebagai bangsa. Lima pokok yang terumus dalam Pancasila persis merupakan satuan indikator seperti itu. Apabila mencermati rumusan padat di atas, segera terlihat bahwa lima pokok itu melibatkan tindakan. Baik keadilan sosial maupun keterbukaan pada Yang Transenden, atau juga kewargaan yang Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 87
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
beradab maupun proses demokratis, semua itu menunjuk pada proses tindakan dan gugus tindakan yang dilakukan para warga negara. Lugasnya, tidak perlulah para warga negara setiap hari bertanya apakah arus tindakannya mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa, tapi cukuplah setiap warga negara mengarahkan tindakannya agar makin sesuai dengan lima pokok dalam Pancasila. Tidak lebih, tidak kurang. Akan tetapi, tentu saja pola itu tidak dapat diharapkan begitu saja, sebab hampir tiap orang lalu ingin memperoleh keuntungan tanpa melakukan apa-apa, termasuk melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan semangat Pancasila. Maka, yang kemudian lebih mungkin terjadi adalah meluasnya gejala “penumpang gelap” (free rider) dalam arus anarkisme pasar. Misalnya, kalau suasana aman di kampung dapat saya nikmati dengan ikut bergiliran ronda atau tidak ikut meronda, saya akan cenderung untuk menghindari giliran tugas meronda. Dengan begitu saya menikmati suasana aman di kampung secara gratis. Pola itu dapat direntang untuk diterapkan pada etos yang terkandung dalam Pancasila. Kalau setiap orang berpikir bahwa dia akan mendapat keuntungan dari orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila, maka ia cenderung akan bertindak tidak sesuai dengan Pancasila namun tetap akan memperoleh keuntungan dari berlaksalaksa tindakan orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila.xxix Persis pada titik inilah terletak sentralitas kebijakan publik (public policy). Dalam kalkulus ini, kebijakan publik merupakan penggerak utama agenda nasionalis. Kebijakan publik bertugas, dalam istilah Mandeville, sebagai “manajemen cerdik pemerintah yang tangkas”. Cerdik dan tangkas bagi tujuan apa? Jawabnya lugas: cerdik dan tangkas dalam mengelola arus jutaan tindakan warga bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Dari pokok itu kita peroleh sekurangnya dua kemungkinan corak dan arah kebijakan publik bagi agenda nasionalis. Pertama, corak kebijakan publik (politik, pendidikan, ekonomi, kultural, agama, lingkungan hidup, dan sebagainya) secara intensional dan sengaja disusun serta diarahkan bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila dalam Pancasila. Kedua, tetapi karena intensionalitas dan kesengajaan agenda nasionalis itu bukannya tidak mengandung risiko kesewenang-wenangan, maka kebijakan publik secara sengaja disusun dan diarahkan sebagai insentif bagi pelaksanaan berbagai kebiasaan warga negara agar mendekati etos lima sila tersebut. “Insentif” berarti pelaksanaannya membawa keuntungan, dan pelanggarannya membawa kerugian. Dengan demikian kebijakan publik lebih bertugas sebagai insentif dan bukan sebagai paksaan. Namun strategi “kebijakan publik sebagai insentif” ini dengan mudah dapat terpelanting menjadi mekanisme anarkis pasar. Dari sudut-pandang agenda nasionalis, kecenderungan terpelanting itu berakar pada gagasan yang keliru tentang kebijakan publik, yaitu karena kebijakan publik disusun dan diarahkan terutama sebagai insentif bagi kepentingan-diri setiap warga secara individual, dan bukan sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila. Perbedaan itulah yang selama ini telah menyulut banyak kontroversi. Di satu pihak, kebijakan publik sebagai insentif pengejaran kepentingan-diri cenderung terpelanting ke dalam anarkisme pasar, hingga ada atau tidak-adanya Pancasila menjadi tidak relevan. Di lain pihak, kebijakan publik sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mewujudkan etos Pancasila cenderung terpelanting menjadi larangan terhadap kebebasan setiap warga, hingga adanya Pancasila terasa sebagai kekangan koersif. Kecenderungan koersif inilah yang telah terjadi di bawah rezim Soeharto.
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 88
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Menghadapi dilema dan kesulitan itu, pada hemat saya tidak ada solusi lain kecuali proses pendidikan yang panjang dan, dalam bahasa Mandeville, penciptaan “manajemen cerdik dari [pemerintah] yang tangkas”. Semua ini hanya menunjukkan bahwa keindahan dan kemilau Pancasila tidak pernah akan menjelma menjadi pedoman ideologis tanpa berjerih-payah masuk ke dalam realpolitik. Dan dalam realpolitik itu, agenda nasionalis berhadapan dengan berlaksa-laksa peristiwa dan ideologi yang menyeret hilang cita-cita pembentukan Indonesia sebagai bangsa menuju ketidakmungkinannya – dari pemujaan terhadap globalisme sampai keganasan komunalisme-tribal, dari anarki fundamentalisme pasar sampai keganasan fundamentalisme agama. Di tahap seperti itu, agenda nasionalis bukan lagi urusan bunyi syahdu Nanyian Pulau Seribu, bukan pula perayaan Kebangkitan Nasional dengan mobilisasi massa untuk berteriak “Merdeka!”. Agenda nasionalis berisi jerih-payah kehendak yang cerdik dalam mengelola dan mengarahkan celah-celah realpolitik pada cuaca zaman bagi pembentukan bangsa Indonesia. Epilog Pada akhirnya hanya dapat dikatakan bahwa persoalannya bukanlah apakah agenda nasionalis baik atau buruk, perlu atau tidak. Sejauh kita masih mencita-citakan Indonesia sebagai bangsa, agenda nasionalis pada akhirnya berisi intensionalitas dan kesengajaan dalam menyusun serta mengarahkan kebijakan publik bagi proyek Indonesia itu. Dalam agenda itu, titik tolak, kriteria pengukur, serta sasarannya adalah keutamaan-keutamaan politik yang terumus dalam Pancasila. Kaitan-kaitan rumit antara agenda nasionalis dan Pancasila, yang salah satunya coba disajikan dalam sketsa kecil ini, mungkin merupakan persoalan yang sudah diabaikan. Pengabaian itu bisa saja merupakan efek-sampingan dari keletihan ideologis, tetapi bisa pula pengabaian itu berakar dari miskinnya imajinasi kita dalam realpolitik yang kian berlarian tunggang-langgang dewasa ini. Lalu, apa yang mesti dilakukan dengan berbagai cacat penafsiran dan pelaksanaan dari kaitan antara agenda nasionalis dan Pancasila yang terjadi selama ini? Terhadap soal itu, mungkin hanya satu jawaban sederhana: cacat tidak pernah meniadakan keluhuran suatu cita-cita. Keyakinan itulah yang telah diwariskan para pendiri Indonesia kepada generasi ini. Atau, barangkali di hadapan kehendak kuat dan kecerdikan para leluhur itu, kita tinggal seperti api yang mulai padam. Mungkin kita memang terlalu kerdil untuk proyek Indonesia, atau proyek Indonesia terlalu besar untuk kita.*** Rujukan dan Catatan: * Disampaikan dalam Kongres Pancasila 2009, diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei – 1 Juni 2009. ** Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, untuk matakuliah Filsafat Ekonomi, Ekonomi-Politik, Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, Teori Sosial, dan masalah Globalisasi; PhD London School of Economics (LSE). i Gellner, Language and...., 1998, hlm. 23. ii Khasanah literatur mengenai teori nasionalisme telah berkembang amat pesat. Beberapa di antaranya yang sangat dikenal, misalnya, Kedourie, Nationalism...., 1960, 1993; Gellner, Thought and...., 1964 (Bab 7); Gellner, Nations and...., 1983; Anderson, Imagined Communities..., 1983, 1991; Smith, Ethnic Origins...., 1986; Smith, National Identity...., 1991; Breuilly, Nationalism and...., 1995. iii Hiruk-pikuk arus peristiwa dalam realpolitik kolaborasi dan non-kolaborasi ini dikisahkan secara panjang lebar dengan menarik dalam Simbolon, Menjadi Indonesia...., 1995, hlm. 332-363. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 89
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
iv Untuk contoh kalkulasi atas pull factors yang berasal dari cuaca politik internasional, lihat kesaksian rinci Sutan Sjahrir dalam Renungan dan...., 1990, hlm. 249-276. v Tentang kaitan tak terpisahkan antara ‘gerakan nasionalis’ dan ‘negara’ (the state) serta mengapa ‘negara’ selalu menjadi target utama gerakan nasionalis, lihat misalnya Breuilly, Nationalism and...., 1995, hlm. 69, 375. vi Seperti luas dikenal, pandangan ini terutama dipicu oleh argumen Francis Fukuyama yang secara panjang lebar dirumuskan dalam Fukuyama, The End of History and...., 1992. vii Bandingkan, misalnya, dengan Renan, Qu’est-ce qu’une nation... [1882] 1994, hlm. 17-18. viii Sutan Sjahrir, Renungan dan...., 1990; Sjahrir, Sosialisme Indonesia..., 1982. ix Ceramah Benedict Anderson di Hotel Borobudur, Jakarta, 4 Maret 1999. Dimuat dalam Anderson, ‘Indonesian Nationalism and….’, 1999, hlm. 3. x Lahirnja Pantja Sila...., 1947, hlm. 41 (ejaan lama sesuai aslinya) xi Bandingkan, misalnya, dengan Mohanty, The Concept of...., 1972, hlm. 153-177; Dupré, Human Nature and the Limits..., 2001, Bab 7. xii Intensionalitas dan kesengajaan makin sentral justru karena obyeknya (Indonesia sebagai bangsa) bukan sesuatu seperti benda di atas meja. Dalam hal ini, insight berikut barangkali berguna: “A satisfactory concept of intentionality – whatever else it may imply – has to take care of the fact that consciousness’s intentional reference to an object does not logically entail the existence of the intended object. For, if it did so entail, then the entire point about intentionality would be lost: it would be but another ontic relation, no matter external or internal. In fact, adopting a relational theory of intentionality – a theory which construes it as a relation between two reals (consciousness and object) – would be tantamount to rendering that notion superfluous, and would also give rise to the well known difficulties with which philosophers like Russell have vainly struggled. Fortunately, the relational theory fails on its own account. It fails to account, amongst other things, for intentional acts directed towards fictitious and non-existent objects, and also for what has recently been called by Quine ‘referential opacity’.” (Mohanty, The Concept of...., 1972, hlm.158-159). xiii Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam....’, 2009, hlm.8, 9. xiv Untuk kajian lengkap tentang evolusi tata-negara berdasarkan prinsip ‘kewarganegaraan civic’ ini, lihat misalnya Heater, Citizenship...., 1990. xv Gerakan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) yang berakar dari gerakan fundamentalis di Mesir mungkin dapat digolongkan dalam kemungkinan ini (Lihat Dhume, ‘Indonesian Democracy’s Enemy....’, 2005). Bagaimana gelombang fundamentalis agama ini punya dampak yang merusak bagi Indnesia, lihat buku yang baru saja terbit dan sangat kaya dengan berbagai data empirik, Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam...,2009. xvi Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam....’, 2009, hlm. 10. xvii Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam....’, 2009, hlm. 9. xviii Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam....’, 2009, hlm. 10. xix Bandingan, misalnya, dengan pandangan mengenai koordinasi masyarakat melalui mekanisme pasar sebagai ‘anarkisme pasar’ (market anarchism) dalam Miller, Political Philosophy...., 2003, hlm. 25-29. xx Hayek, The Road to…, 1944. xxi Hayek, Studies in Philosophy…., 1967, hlm. 97. xxii Proposal tiga tipologi dalam bagian ini diilhami dan dikembangkan dari refleksi Albert O. Hirschman atas sejarah intelektual peran ‘kepentingan-diri’ (self-interest) dan ‘nafsu’ (passion) manusia dalam tata negara dan ekonomi-politik (Hirschman, The Passions and...., [1977] 1997, hlm. 130-135). Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 90
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
xxiii Mandeville, The Fable of…, [1723] 1997, hlm. 148. xxiv Smith, The Wealth of Nations..., [1776] 2000, p. 745. xxv Bandingkan, misalnya, dengan Gellner, Nationalism..., 1997, hlm. 102-108. xxvi Ungkapan ‘mereka-bayangkan’ (imagining) dalam literature nasionalisme tentu berasal dari Anderson, Imagined Communities....,1983, 1991. xxvii Rumusan ringkas untuk memperjelas dan melugaskan arti Pancasila ini juga dilakukan seorang Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945. Rumusan Bung Karno adalah: (1) Kebangsaan Indonesia (untuk sila ketiga dalam rumusan Pancasila sekarang); (2) Internasionalisme atau peri-kemanoesiaan (untuk sila kedua); (3) Moefakat atau demokrasi (untuk sila keempat); (4) Kesedjahteraan sosial (untuk sila kelima); dan (5) Prinsip Ketoehanan (untuk sila pertama) – Lahirnja Pantja Sila...., 1947, hlm. 33 (ejaan lama sesuai aslinya). xxviii Lahirnja Pantja Sila...., 1947, hlm. 34 (ejaan lama sesuai aslinya). xxix Dalam arti ini, Pancasila dapat disebut etos politik dan semangat publik. Berbeda dengan barang/jasa ekonomi yang akan berkurang apabila dikonsumsi, ketersediaan semangat publik justru akan hilang jika tidak dipakai: “Once... public spirit is equated with a scare resource, the need to economize it seems self-evident. Yet a moment’s reflection is enough to realize that the analogy is not only questionable but a bit absurd – and therefore funny.... We know that the supply of such resources as love and public spirit is not fixed or limited as may be the case for other factors of production. The analogy is faulty for two reasons: first of all, these are resources whose supply may well increase rather than decrease through use; second, these resources do not remain intact if they stay unused – like the ability to speak a foreign language or to play the piano, these moral resources are likely to become depleted and to atrophy if not used” (Hirschman, Rival Views of Market..., 1986, hlm. 155). Bahan Kepustakaan : Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam di Indonesia (Prolog)’ dalam A. Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, hlm. 7-10. Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1983, 1991. Anderson, Benedict, ‘Indonesian Nationalism Today and in the Future’, INDONESIA, 67, April 1999. Breuilly, John, Nationalism and the State, Manchester: Manchester University Press, 1995 (Second Edition). Dhume, S. ‘Indonesian Democracy’s Enemy Within: Radical Islamic Party Threatens Indonesia with Ballots more than Bullets’, Yale Global Online, 1 December 2005, dari Dupré, John, Human Nature and the Limits of Science, Oxford: Clarendon Press, 2001. Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, New York: The Free Press, 1992. Gellner, Ernest, Thought and Change, London: Weidenfeld & Nicolson, 1964. Gellner, Ernest, Nations and Nationalism, Oxford: Blackwell, 1983. Gellner, Ernest, Nationalism, London: Weidenfeld & Nicolson, 1997. Gellner, Ernest, Language and Solitude, Cambridge: Cambridge University Press, 1998. Hayek, F. A., The Road to Serfdom, Chicago: The University of Chicago Press, 1944. Hayek, F. A., Studies in Philosophy, Politics and Economics, London: Routledge & Kegal Paul, 1967. Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 91
Memperingati Hari Wafat Bung Karno 21 Juni
Heather, Derek, Citizenship: The Civic Ideal in World History, Politics and Education, London: Longman, 1990. Hirschman, Albert O., The Passions and the Interests, New Jersey: Princeton University Press, [1977] 1997. Hirschman, Albert O., Rival Views of Market Society and Other Essays, London: Penguin, 1986. Hutchinson, John & Smith, Anthony D. (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994. Kedourie, Elie, Nationalism, Oxford: Blackwell, 1960, 1993 (Fourth Expanded Edition). Lahirnja Pantja Sila (eds. M. Nasution & Sjarif Bachroem), Jogjakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer, 1947. Mandeville, Bernard, The Fable of the Bees and Other Writings (ed. E. J. Hundert), Indianapolis: Hackett Publishing, [1723] 1997. Mohanty, Jitendra N., The Concept of Intentionality, Missouri: Warren H. Green, 1972. Miller, David, Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 2003. Renan, Ernest, ‘Qu’est-ce qu’une nation?’ dalam J. Hutchinson & A. D. Smith (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994, hlm. 17-18. Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 1995. Smith, Adam, The Wealth of Nations (ed. E. Cannan), New York: Modern Library, [1776] 2000. Smith, Anthony D., The Ethnic Origins of Nations, Oxford: Blackwell, 1986. Smith, Anthony D., National Identity, London: Penguin, 1991. Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Jakarta: Penerbit Djambatan & Dian Rakyat, 1990. Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Tulisan, Jakarta: LEPPENAS, 1982 Jakarta, 24 Mei 2009 © B. Herry-Priyono
Jangan melupakan sejarah (JasMeRah)! Jangan melupakan jasa-jasa dan pengabdian Pemimpin Besar Revolusi Indonesia
Bung Karno!
Compiled by Cyntha Wirantaprawira
Page 92