Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
MEMBANGUN KOMPETENSI DAERAH DALAM PENGEMBANGAN EKOREGION Sumedi PENDAHULUAN Pembangunan ekoregion merupakan pendekatan pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam secara terintegrasi antara aspek sosial ekonomi dan manajemen pengelolaan sumber daya alam, dan konservasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelestarian sumber daya alam dan biodiversity agar mampu mendukung kehidupan secara berkelanjutan. Dalam UU nomor 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UU No 32 tahun 2009 ini, ekoregion didefinisikan sebagai suatu wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pembangunan pertanian berwawasan ekoregion adalah pembangunan pertanian yang dalam pengelolaan sumber daya pertaniannya memperhatikan satu kawasan ekoregion sebagai satu kesatuan utuh dalam berbagai aspeknya dengan orientasi menjaga kelestarian sumber daya pertanian yang ada. Dengan pendekatan ekoregion ini, pengelolaan sumber daya dilakukan dengan memperhatikan batasan daya dukung sumber daya pertanian dan memperhatikan hubungan fungsional antara elemen satu dengan lainnya. Dengan demikian tidak akan terjadi eksploitas secara berlebihan. Menurut Rivai dan Anugrah, 2011, Pelaksanaan pembangunan pada masa lalu yang hanya menekankan tujuan kemajuan ekonomi telah berdampak kepada kerusakan lingkungan dan timbulnya masalah sosial. Pendekatan pembangunan berkelanjutan pada hekekatnya adalah kegiatan pembangunan yang memadukan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun demikian dalam implementasinya konsep ini belum dilaksanakan oleh semua negara sesuai kesepakatan. Hal ini tercermin dari masih banyaknya ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam. Masih banyak dijumpai permasalahan dalam implementasi pembangunan pertanian berkelanjutan terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, salah satu penyebab yang menonjol adalah adanya ego sektoral yang menyebabkan pelaksanaan menjadi tersekat. Pendekatan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan, terbukti telah membawa dampak negatif berupa penurunan kualitas sumber daya pertanian, terutama lahan, air, dan hilangnya keragaman biodiversity. Revolusi hijau, untuk mengejar pertumbuhan produksi, berbasis penggunaan pupuk kimia, pestisida secara berlebihan untuk mendorong peningkatan produktivitas, telah menyebabkan pencemaran dan keracunan lahan dan air serta hilangnya berbagai spesies dan organisme tertentu yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Meskipun pendekatan ini telah menunjukkan berbagai capaian yang menggembirakan namun biaya yang ditanggung sangat besar, terutama terkait dengan kelestarian sumber daya pertanian. Sumarno, (2014) menyatakan bahwa penggunaan pupuk anorganik dosis tinggi secara berlebihan, penggunaan pestisida, dan intensifikasi penggunaan lahan telah menyebabkan degradasi sumber daya lahan. Bahkan Baharsjah (2014) menyebutkan secara langsung atau tidak langsung bahwa pendekatan pembangunan pertanian selama ini yang menyebabkan keterpurukan sektor pertanian, sehingga diperlukan upaya membalik arus salah satunya adalah dengan mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat dengan pengelolaan usahatani berbasis ekologi. Bicara tentang kelestarian sumber daya pertanian berarti bicara tentang kapasitas produksi dan daya dukung sumber daya pada masa yang akan datang. Orientasi pertumbuhan Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
247
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
semata telah menyebabkan terjadinya ekspoitasi kemampuan produksi pada masa yang akan datang ke masa sekarang. Bila ini berlanjut, maka daya dukung sumber daya pertanian tidak akan mampu menopang pertumbuhan secara berkelanjutan. Pendekatan ekoregion merupakan salah satu pendekatan pembangunan pertanian yang mulai banyak mendapat perhatian, setelah “kegagalan” berbagai pendekatan pembangunan pertanian yang dilakukan selama ini. Pendekatan berbasis komoditas, peningkatan produktivitas telah membawa dampak negatif terhadap kualitas sumber daya pertanian terutama pencemaran lahan dan air serta terputusnya keterkaitan fungional antara elemen dalam suatu bentang ekoregion. Pembangunan dengan pendekatan komoditas sering kali melupakan pemanfaatan produk samping dari komoditas yang dibudidayakan dan cenderung mengabaikan dan menganggap sebagai sampah (waste) yang kemudian dibuang, dan bahkan menyebabkan pencemaran lingkungan. Tidak jarang produk samping tersebut sebenarnya menjadi penghubung antar elemen produksi yang penting untuk menjagai sumber daya pertanian secara lestari. Contoh yang kasat mata misalnya tidak termanfaatkannya kotoran ternak dan sisa pakan sebagai pupuk kompos atau biogas, sisa produk pertanian untuk pakan ternak justru dibakar. Dalam konteks keterkaitan antar wilayah dalam suatu bentang ekoregion atau keterkaitan antar sub ekoregion memerlukan proses perencanaan yang lebih kompleks dan lebih banyak melibatkan stakeholder. Pengelolaan pembangunan dalam suatu daerah aliran sungai misalnya, harus terintegrasi mulai dari wilayah tangkapan air di hulu, dan pemanfaatan air untuk berbagai keperluan disepanjang wilayah yang dilalui. Bukan hanya sektor pertanian yang terlibat didalamnya, namun juga melibatkan sektor industri, rumah tangga, pengelolaan sumber daya hutan, pertambangan, dan sebagainya, dan koordinasi serta komitmen yang sama antar pemerintah daerah yang dilintasi aliran sungai. Hal ini tentunya memerlukan upaya bersama yang tidak mudah. Penyusunan rancangan pembangunan berkelanjutan dalam suatu bentang ekoregion perlu dilakukan sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan oleh semua pihak. Untuk itu sangat penting berbagai stakeholder untuk memahami dengan baik pendekatan pembangunan berwawasan ekoregion. Pendekatan ini bertujuan lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya serta skala ekonomi, dengan mempertimbangkan keterkaitan elemen dalam suatu wilayah ekoregion. Pemahaman merancang dan mengimplementasikan pendekatan pembangunan pertanian berbasis ekoregion harus dimiliki oleh perencana dan pelaksana pembangunan pertanian pada semua tingkatan, mulai dari pusat sampai daerah. Karena pada akhirnya implementasi pembangunan berada di daerah. Besarnya kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, menjadikan pemerintah daerah (terutama kabupaten/kota) memegang peran yang sangat strategis dan menentukan terhadap pengelolaan sumber daya yang dapat berdampak pada kelestarian sumber daya, bukan hanya pertanian, namun juga meliputi hutan, tambang, pesisir, dan sebagainya. Penumbuhan pemahaman dan kesadaran kepada pemangku kepentingan pembangunan pertanian didaerah terutama pemerintah daerah menjadi hal yang sangat penting dalam implementasi pembangunan pertanian berwawasan ekoregion. Untuk itu perlunya menumbuhkan center of excellence (CoE) di berbagai wilayah sebagai wadah pembelajaran dan percontohan konsep dan implementasi pembangunan berwawasan ekoregion. Makalah ini akan membahas bagaimana mengembangkan COE pembangunan ekoregion dalam kerangka meningkatkan kapasitas daaerah dan apa peran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PEMBANGUNAN PERTANIAN BERWAWASAN EKOREGION: Konsep dan Implementasi Pembangunan pertanian yang hanya berorientasi pada pertumbuhan dan produksi terbukti telah membawa dampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini terjadi karena terabaikannya hukum-hukum ekologi yang telah terjadi sekian lama. Untuk itu mendesak
248
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
untuk melakukan perubahan paradigma pembangunan pertanian, dari semata mengedepankan peningkatan produksi dan pertumbuhan menjadi pertumbuhan yang berwawasan lingkungan. Dari pendekatan pembangunan mono-kulutur yang cenderung berdampak pada keseimbangan ekosistem dan degradasi sumber daya pertanian menuju pendekatan polikultur dan diversifikasi usaha pertanian. Transisi pendekatan pembangunan ini perlu dilakukan secara mendasar berawal dari perubahan konsep pembangunan. Meskipun perubahan konsep ini memerlukan waktu yang cukup lama namun harus mulai dilakukan mulai sekarang juga. Konsep ekonomi hijau sudah sering di kampanyekan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya dan biodiversity. Pembanguan pada sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam mewujudkan atau bahkan menghambat konsep ekonomi hijau. Hal ini karena usaha pertanian syarat berinteraksi dengan sumber daya alam secara langsung, baik lahan, hutan, air, dan keanekaragaman hayati. Dengan tantangan kedepan bukan hanya memenuhi permintaan terhadap produk sektor pertanian yang semakin besar kedepan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, energi, dan serat untuk industri, namun juga bagaimana menjaga kelestarian sumber daya agar mampu menopang pertumbuhan berkelanjutan dan menghindari kerusakan lingkungan. Secara umum, konsep ekonomi hijau didefinisikan sebaga suatu sistem dari aktivitas ekonomi, yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, sedemikian rupa sehingga tidak merugikan generasi yang akan datang, terutama terkait dengan risiko kerusakan lingkungan dan ekologi (United Nation, 2012; Chapple, 2008). Aktivitas pembangunan pertanian yang tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan dan biodiversiti justru berpotensi menyumbang degradasi sumber daya secara signifikan. Namun sebaliknya konsep pembangunan pertanian yang tepat akan memiliki kontribusi terhadap terwujudnya pembangunan ekonomi hijau (green economy development). Menurut Baharsjah, 2014, upaya penerapan ekonomi hijau di sektor pertanian berupa pengurangan atau bahkan merevitalisasi sumber daya lahan dan air untuk mengatasi dampak negatif revolusi hijau. Konsep ekonomi biru muncul sebagai penyempurnaan dari konsep ekonomi hijau, yaitu dengan merevitalisasi kearifan lokal dan menekankan pada siklus alami, bahwa alam tidak mengenal limbah, atau limbah dari suatu proses merupakan masukan bagi proses alami selanjutnya. Penerapan hukum-hukum ekologi terkait ekonomi biru adalah: (1) memperkuat kestabilan ekosistem dengan cara memperkuat keterkaitan antar komponen dalam ekosistem tersebut, (2) menghindari terjadinya aliran materi yang terbuang dengan cara memanfaatkan aliran pada suatu subsistem menjadi masukan bagi subsistem lainnya, dan (3) mengatur konfigurasi ekosistem sehingga proses yang terjadi berlangsung secara alamiah. Pendekatan ekoregion dalam pengelolaan sumber daya pertanian dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan sumber daya pertanian menuju terwujudnya ekonomi hijau atau ekonomi biru. Pendekatan ekoregion dapat menjadi acuan dalam penetapan tata ruang pembangunan wilayah. Douthwaite, et al., (2005) menyatakan bahwa pendekatan ekoregion merupakan salah satu pendekatan yang potensial diterapkan dalam pembangunan pertanian negara berkembang pada berbagai kondisi agroekologi yang berbeda-beda. Menurut Leimona et al., 2015, risiko dampak pembangunan pertanian terhadap lingkungan dapat dikategorikan menjadi empat sebab, yaitu: (1) perluasan lahan pertanian dan konversi wilayah hutan menjadi lahan pertanian memicu kerusakan ekosistem dan hilangnya biodiversity, terutama akibat pengembangan sistem pertanian monokultur dan pertanian intensif. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal turut mendorong dampak negatif tersebut, dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah; (2) polusi terhadap lahan dan air dari penggunaan pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya; (3) penggunaan air yang tidak terkontrol pada sektor pertanian berpotensi menurunkan permukaan cadangan air tanah; dan (4) kekeliruan pengelolaan hara tanah, misalnya Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
249
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
usahatani pada lahan berlereng yang paralel dengan kontur lereng, pembersihan tanaman pentup lahan, dan pembersihan lahan dengan pembakaran dapat menyebabkan erosi dan kerusakan kesuburan lahan pertanian. Sumarno, 2014 mengungkapkan secara lebih rinci bahwa program pembanguan pertanian yang berorientasi peningkatan produksi dan produktivitas melalui intensifikasi telah membawa dampak negatif terhadap sumber daya alam. Beberapa tindakan intensifikasi dan ciri terjadinya berdampak negatif pada lingkungan antara lain: (1) pemberian pupuk anorganik dosis tinggi secara berlebihan, (2) pengendalian hama dan penyakit yang turut membasmi musuh alaminya, (3) terganggunya keseimbangan ekologi, (4) muncul gejala kekahatan unsur hara mikro, (5) menurunnya keuntungan usahatani, (6) insidensi hama penyakit tanaman lebih tinggi, dan (7) terjadinya degradasi lahan (soil fatigue), dan (8) penurunan produktivitas lahan. Secara koseptual, banyak gagasan atau ide yang dituangkan dalam konsep pendekatan atau pembangunan pertanian yang mengarah pada perwujudan pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sumarno (2014) misalnya menawarkan konsep pertanian ekologis berkelanjutan. Sebelumnya rakitan teknologi pertanian ekologiskonservatif, misalnya agroteknologi, usahatani ramah lingkungan, teknologi revolusi hijau lestari, sistem usahatani integrasi tanaman dan ternak, dan good agriculture practicies on rice seperti yang dikemukakan oleh IRRI. Kosep SRI (system rice intensification) merupakan varian dari usahatani ramah lingkungan. Dalam sejarah pembangunan pertanian Indonesia banyak program yang telah dilaksanakan terutama sejak tahun 1960-an untuk mengejar peningkatan produksi pangan khususnya padi, jagung, kedelai. Dengan berbagai temuan teknologi saat itu, terutama bibit unggul, pupuk kimia, dan pestisida produktivitas pertanian dapat meningkat dengan pesat. Berbagai teknologi tersebut dikemas dalam program pembangunan pertanian yang digerakan pemerintah secara massal. Kita mengenal program panca usahatani, yaitu: pengolahan tanah yang baik, pengairan/irigasi, pemilihan bibit unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Kemudian ditambah aspek pascapanen dan pemasaran menjadi sapta usahatani. Konsepsi pembangunan didasarkan pada pendekatan pengembangan komoditas tertentu. Program-program yang dilaksanakan melalui pendekatan komoditas misalnya Program Bimas mulai tahun 1970, yang mewadahi berbagai teknologi intensifikasi dalam suatu gerakan nasional. Program Bimas kemudian di sempurnakan menjadi program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Supra INSUS, serta Gema Palagung untuk peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai. Meskipun pendekatan komoditas dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan produksi melalui penggunaan input yang intensif dan irigasi yang berdampak pada peningkatan indeks pertanaman, yang telah membawa dampak negatif terhadap kualitas sumber daya pertanian khususnya tanah dan air, namun sebenarnya ada berbagai upaya penerapan usahatani yang ramah lingkungan. Kesadaran terhadap adanya degradasi sumber daya pertanian dan perlunya mencegah atau mengembalikan kualitas sumber daya pertanian telah mendorong upaya penerapan berbagai teknologi ramah lingkungan, hasil penelitian. Sebagai contoh introduksi dan diseminasi masif tentang teknik pengendalian hama secara terpadu (PHT) untuk mengurangi penggunaan pestisida, penggunaan pupuk kompos, teknik budidaya dengan pengolahan tanah minimum, budidaya organik, dan introduksi System Rice Intensification (SRI) yang meminimumkan penggunaan input kimia, baik pupuk maupun pestisida, dengan memanfaatkan pupuk dan pestisida organik. Disamping itu berbagai teknologi untuk hasil penelitian juga telah ditemukan untuk mengurangi dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan terhadap lingkungan. Inovasi rekomendasi pemupukan spesifik lokasi misalnya telah menyediakan informasi rekomendasi penggunaan pupuk sesuai kondisi kesuburan lahan pada lokasi tertentu. Demikian halnya dengan inovasi
250
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
sistem irigasi yang lebih efisien, penggunaan bio chard untuk mengurangi keracunan pupuk dan pestisida, dan sebagainya. Upaya pemanfaatan lahan sub optimal, baik lahan kering maupun lahan rawa/lebak untuk pertanian dikelola dengan berbagai inovasi untuk meminimalkan dampak negatif terhadap sumber daya pertanian. Gerakan usahatani berbasis komoditas yang lebih ramah lingkungan ini bukan hanya dilakukan pemerintah bahkan gerakan dari organisasi swadaya masyarakat terasa lebih kuat gaungnya. Program pemerintah dengan pendekatan komoditas masih lebih berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas, sehingga aspek pengendalian terhadap dampak lingkungan masih menjadi prioritas kedua. Sepanjang inovasi ramah lingkungan tidak berdampak pada penurunan produktivitas atau bahkan mendukung peningkatan produktivitas, maka inovasi tersebut akan digunakan. Pendekatan pembangunan lainnya yang telah diimplementasikan adalah pendekatan kawasan. Meskipun fokus utama dari pendekatan kawasan masih berorientasi pada komoditas, namun pendekatan ini telah mempertimbangkan pengelolaan sumber daya pertanian pada kasawan tertentu dengan basis pengembangan komoditas unggulan. Dengan demikian, faktor kesesuaian wilayah terhadap pengembangan komoditas merupakan komponen yang menjadi perhatian utama, tidak semata-mata pengembangan komoditas. Pendekatan pembangunan kawasan dilakukan terutama untuk mencapai skala ekonomi dalam pembangunan pertanian. Permentan Nomor 50 tahun 2012 menyatakan bahwa pengembangan kawasan bertujuan untuk meningkatkan produksi komoditas unggulan pertanian, mewujudkan pembangunan pertanian skala ekonomi, dan pembangunan pertanian berdasarkan pendekatan wilayah secara komprehensif dan terpadu. Berbagai program pembangunan yang mendasarkan pada pendekatan kawasan sebenarnya telah dilaksanakan. Meskipun basis utamanya tidak selalu pada pengembangan pertanian, namun pada umumnya bermuara pada sektor pertanian, industri skala rumah tangga, kecil dan menengah yang umumnya sebagian besar juga berbasis pada komoditas pertanian. Misalnya Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT), Program Pengembangan Sentra Produksi/Kawasan Andalan (KWS/KA), Program Pengembangan Kawasan Tertinggal, Program Pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (PPKAPET), Kawasan Andalan (KADAL), dan Sentra Pengembangan Agribisnis (SPAKU). Progam-program berbasis kawasan ini dilaksanakan oleh berbagai kementerian, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Transmigrasi, dan Kementerian Pertanian sendiri. Pengembangan komoditas pertanian berbasis kawasan ini menjadi salah satu program kerja Kementerian Pertanian pada tahun 2015-2019. Dalam strategi pembangunan pertanian 2015-2019, salah satunya adalah menjadikan basis produksi komoditas pangan, komoditas ekspor, penyedia bahan baku industri dan bio-energi dengan pendekatan kawasan. Kawasan didefinisikan sebagai gabungan dari sentra-sentra pertanian yang terkait secara fungsional baik dalam faktor sumber daya alam, sosial budaya, maupun infrastruktur, sedemikian rupa sehingga memenuhi batasan luasan minimal skala ekonomi dan efektivitas manajemen pembangunan wilayah. Dengan pendekatan kawasan ini pembangunan dirancang secara lebih holistik melihat keterkaitan dan integrasi antara pemukiman, wilayah produksi pertanian, maupun hubungan antara wilayah, misalnya dengan perkotaan, antara sentra produksi dengan wilayah pengembangan industri dan pemasaran/konsumennya. Meskipun basis komoditas masih relatif dominan karena pada akhirnya ditetapkan komoditas yang dikembangkan utamanya adalah komoditas strategis yang menjadi fokus dan Kementerian Pertanian. Dalam pendekatan kawasan yang dikembangkan memang sudah mempertimbangkan pengelolaan sumber daya pertanian dengan lebih baik dan memperhatikan hubungan fungsional antar wilayah, namun lebih menitik beratkan pada hubungan fungsional ekonomis. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
251
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
Aspek hubungan antar fungsi ekologi nampaknya belum masuk dalam konsepsi pendekatan wilayah, selain daripada isinya nanti yang diharapkan dapat menerapkan sistem pertanian bioindustri dalam kawasan tersebut. Namun konsepsi ini masih samar, bagaimana penerapkan sistem pertanian bio-industri diimplementasikan dalam suatu program pengembangan kawasan. Kosep pembangunan ekoregion menawarkan sisi lain dari pengelolaan sumber daya pertanian. Konsepsi ini menekankan pada kelestarian sumber daya alam, dengan menjaga hubungan ekologi antara komponen sumber daya yang ada dalam suatu kawasan. Terdapat perbedaan prinsip pengelolaan pembangunan dengan pendekatan ekoregion dengan pendekatan-pendekatan pembangunan yang diulas diatas, yaitu bahwa tujuan pendekatan ekoregion adalah melestarikan sumber daya dan biodiversity. Pemanfaatan secara ekonomi dapat dilakukan sepanjang tidak merusak sumber daya yang ada dan keragaman biodiversitynya. Artinya bahwa pemanfaatan secara ekonomi harus di bawah daya dukung lestari. Konsep ekoregion mengedapankan aspek konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan biodiversity. Sementara pendekatan komoditas dan bahkan wilayah, tujuan utamanya adalah peningkatan produksi, produktivitas, dan nilai tambah, meskipun dengan penerapan teknologi yang ramah lingkungan dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan konsepsi ini maka pertumbuhan secara keberlanjutan dapat dijamin. Pembangunan wilayah yang selama ini dilakukan sebenarnya sudah mengarah pada pendekatan ekoregion. Perbedaan barangkali terletak pada ruang lingkup dan cakupannya. Pendekatan ekoregion melihat dalam perspektif lebih luas dalam hal integrasi pengembangan, tidak dibatasi aspek geografis, administrasi pemerintahan, wilayah otorita, wilayah adat, maupun batas negara. Konsepsi pembangunan ekoregion menekankan pada ketersediaan dan hubungan ekologis sumber alam dan keanekaragaman hayati, yang secara geografis didasarkan pada bentangan alam, daerah aliran sungai dan iklim. Suatu wilayah ekoregion tidak saja meliputi sumber daya fisik, tetapi kehidupan masyarakat secara konprehensif. Beberapa wilayah ekoregion antara lain yang telah dikembangkan: pengelolaan kawasan daerah aliran sungai secara terpadu, pengelolaan kawasan pesisir, dan pengelolaan kawasan hutan. Pembangunan pertanian kedepan perlu keselarasan antara pengembangan komoditas, skala ekonomi dan juga aspek ekologi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan pertanian. Dari bahasan diatas sebenarnya kemauan politik, konsepsi pembangunan pertanian sampai dengan aturan operasionalnya pembangunan telah banyak yang mengarah pada pembangunan pertanian secara lestari. Hasil kajian Leimona, et al., 2015, menghasilkan bahwa sebenarnya kebijakan pembangunan pertanian Indonesia telah mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi pertanian hijau, dan berbagai strategi untuk mewujudkan pertumbuhan hijau untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan. Namun dalam tataran implementasinya seringkali belum sesuai dengan harapan, sehingga terdapat gap antara aspirasi dan konsep pembangunan pertanian hijau dengan implementasi di lapangan. Sumarno, 2014 mengemukakan beberapa kendala relatif lambanya implementasi pembangunan pertanian berwawasan ekologis-konservasi adalah: tujuan pembangunan pertanian yang lebih berorientasi jangka pendek, dengan fokus pada peningkatan produktivitas dan produksi, dan pemahaman dan kepedulian pemangku kepentingan terutama aparat dan pejabat pemerintah yang masih rendah dan atau mengabaikan konsep pertanian ekologis. Konsepsi terakhir yang telah diadopsi dan akan menjadi fokus pembangunan pertanian sampai tahun 2045 adalah sistem pertanian-bioindustri. Sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan berorientasi pada maksimisasi output yang bermanfaat bagi manusia (bernilai ekonomi) dan lingkungan, dengan dampak negatif yang minimal terhadap kelestarian sumber daya alam dan kualitas lingkungan (Simatupang, 2014). Lebih lanjut dikatakan bahwa produk-
252
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
produk tersebut mencakup pangan, pakan, energi, dan bioproduk, termasuk produk berupa jasa lingkungan. Dimensi berkelanjutan dalam hal ini mencakup keberlanjutan ekonomi (menguntungkan), berkelanjutan secara sosial, yang berarti dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat, dan mempertahankan sumber daya agroekosistem (ramah lingkungan). Dalam sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan, bioindustri dibangun didasarkan pada prinsip: (1) memanfaatkan seluruh dan setiap jenis biomassa hasil pertanian, (2) berorientasi pada perolehan nilai tambah sebesar-besarnya, (3) mandiri atau bahkan surplus energi, dan (4) memprioritaskan produksi bahan pangan, artinya jika terjadi trade off antara pangan-pakan-energi-bioproduk maka pilihan pertamanya adalah pada pangan. Sistem pertanian bioindstri berkelanjutan adalah integrasi antara sistem pertanian intensif ekologis dengan sistem bioindustri ekologis, yang membangun interkoneksi antara pertanianyang menghasilkan biomassa, industri pengolah biomassa, pengelolaan limbah, pemanfaatan air, pembangkitan energi, dan pelestarian hara tanah menjadi suatu biosistem terpadu berkelanjutan (Simatupang, 2014). Bila dicermati, arah pembangunan pertanian kedepan, yang menekankan pada pembangunan pertanian perkelanjutan berbasis bioindustri, yang tertuang dalam strategi induk pembangunan pertanian (SIPP 2015-2045) sebenarnya sudah sejalan dengan konsep pembangunan ekoregion, meskipun penekannya berbeda. Kedua konsep ini sama-sama bertujuan menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan artinya memperhatikan aspek kelestarian sumber daya pertanian dengan mengoptimalkan hubungan antar elemen dan sub sistem dalam suatu sistem produksi pertanian. Namun demikian landasan ideologinya agak berbeda. Pendekatan ekoregion menempatkan kelestarian sumber daya pertanian dan biodiversiti di depan sehingga dalam hal ini pengelolaan sumber daya pertanian harus di bawah daya dukung sumber daya tersebut. Konsep pertanian-bioindustri menempatkan aspek eknomi dan industri di depan, dengan memanfaatkan semua elemen, sub sistem dan keterkaitan antara elemen dan antara sub sistem produksi pertanian. Dengan demikian, manfaat ekonomi dapat maksimal dengan seminimal mungkin menimbulkan kerusakan sumber daya, karena proses yang dibangun dengan menjaga sistem biologis yang terjadi. Pendekatan bioindustri dikembangkan sehingga sistem produksi mampu memanfaatkan nilai ekonomis dari siklus pemanfaatan hara dan energi dalam suatu sistem produksi pertanian. Namun demikian keduanya dapat diselarakan dalam suatu konsep perencanaan pembangunan yang terpadu. Simatupang, 2014 secara gamblang menjelaskan bahwa sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan dapat dibawa pada spektrum wilayah pengembangan ataupaun dalam ekoregion tertentu. Dengan demikian kedua konsep ini sebenarnya dapat disinergikan didalam tataran operasionalnya. Konsepsi rancangan program pembangunan dibuat dalam suatu bentang ekoregion, namun isi didalamnya adalah konsep pembangunan pertanian-bioindustri berkelanjutan. Peran pemerintah sangat penting dalam menuangkan kedalam konsepsi operasional pembangunan dan dukungkan kebijakan. Leimona et al. (2015), menyatakan bahwa hal penting dalam implementasi konsep ini adalah: (1) peningkatan fungsi pemerintah dalam pengelolaan lingkungan, terutama dalam membangun data dan informasi serta mengintegrasikan berbagai pihak termasuk antar sektor ke dalam satu sistem manajemen dan kerangka kerja, (2) pemerintah harus membangun kapasitas SDM dan fiskal daerah untuk mengelola dan mengimplementasikan; hal ini relevan dengan kebijakan otonomi daerah dimana peran daerah sangat strategis dalam pembangunan pertanian, dan (3) pemerintah pusat dan daerah bersama-sama bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyusun rencana kerja pembangunan pertanian berwasawan lingkungan. Sementara itu Baharsjah et al., 2014 menekankan perlunya sinergi antara pemberdayaan kearifan lokal dengan konsep pertanian ekonomi biru, yang hakekatnya adalah pendekatan pertanian lestari. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan antara lain: (1) membangun kelembagaan birokrasi dan regulasi pertanian yang kuat, baik ditingkat pusat Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
253
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
maupun daerah, (2) perlunya membangun sumber daya manusia birokrasi yang memiliki dedikasi, bertanggung jawab, profesional, melayani, dan memahami kepentingan masyarakt dan perdesaan, (3) membangun kemampuan kelembagaan litbang untuk mengembangkan inovasi baru, (4) membangun percontohan pengembangan sistem pembangunan ekoregion skala ekonomi, di berbagai daerah ekologi atau bentang ekoregion yang dilaksanakan oleh BPTP bersama petani, pemerintah daerah dan perguruan tinggi, serta (5) membangun inovasi teknologi bioindustri dan agroindustri pedesaan. Disamping itu perlu juga dikembangkan beberapa hal pendukung seperti kelembagaan pembiayaan, realokasi anggaran pemerintah, investasi sarana dan prasarana termasuk irigasi, dan sarana ekonomi pedesaan lainnya.
CENTER OF EXCELLENCE PEMBANGUNAN PERTANIAN BERWAWASAN EKOREGION SEBAGAI SARANA PENINGKATAN KAPASITAS DAERAH Kementerian Pertanian dan Pembangunan Perdesaan Rwanda mengembangkan konsep Center of Excellence (CoE) pembangunan pertanian, dengan tujuan: (1) sebagai instrumen utama pameran dan show window teknik pertanian modern, (2) sebagai wahana demonstrasi sistem usahatani baru dan yang lebih efisien, serta sistem irigasi dan pengelolaan sumber daya pertanian lainnya, (3) sebagai wahana pembelajaran dan mengembangkan kemampuan lokal terkait teknologi baru dari berbagai stakeholder (peneliti, penyuluh, pemerintah daerah, swasta, dan petani). Kunci utama penerapan konsep ekoregion dalam pembangunan pertanian adalah: (1) adanya pertukaran ilmu pengetahuan melalui pendampingan dan pelatihan, (2) kebijakan pembangunan pertanian berbasis pada inovasi, dan (3) dukungan peningkatan produktivitas melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui CoE, akan tersedia media transfer teknologi yang lebih efisien ke petani. Konsep dasar dari CoE didasarkan pada hubungan triangularsi, antara penelitian terapan (applied research), penyuluhan pertanian, dan petani yang progresif. Melalui penelitian aplikatif akan tersedia alternatif teknologi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi petani. Sementara penyuluhan pertanian berperan sebagai penghubung antara penelitian terapan dengan petani. Peran penghubung ini diwujudkan dalam mendiseminasikan pengetahuan dan menyakinkan bahwa teknologi baru tersebut dapat diterima dan diterapkan oleh petani di lapangan. Peran petani progresif sangat penting dalam transfer ilmu dan teknologi kepada masyarakat. Petani progresif umumnya akan mecoba paling awal inovasi yang dikenalkan dan akan menjadi role model bagi petani lainnya. Dengan demikian keberadaan petani progresif dalam pengembangan model di lapangan sangat penting. Kasus di Madagaskar misalnya, inisiasi pengembangan ekoregion di kawasan hutan yang kaya akan biodivesity diarahkan pada: (1) diadopsinya pendekatan ekoregion, (2) pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat, (3) intensifikasi pertanian untuk menggantikan pedekatan usahatani yang merusak, yaitu tebang dan bakar, (4) pengembangan organisasi masyarakat pedesaan, dan (5) strategi komunikasi untuk mendorong perubahan perilaku (USAID, 2009). Konsep pengembangan center of excellence Ekoregion dilakukan dalam suatu bentang ekoregion, dapat berupa suatu agroekosistem, wilayah pengembangan komoditas, atau agroekologi tertentu, misalnya daerah aliran sungai (DAS), wilayah pantai dan sebagainya. Seperti dikemukakan Baharsjah, et al. (2014), bahwa dukungan ketersediaan teknologi yang inline dengan konsep pembangunan pertanian berbasis ekoregion dan pengembangan COE implementasi pembangunan pertanian ekologis dalam suatu bentang ekoregion sangat penting. Dalam prosesnya, pengembangan COE ini dapat merupakan rujukan dan building block bagi pengembangan pertanian-bioindustri berkelanjutan pada suatu kawasan ekoregion tertentu. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan peran pemerintah pusat dan daerah, lembaga penelitian pertanian, Perguruan Tinggi dan stakeholder pembangunan pertanian.
254
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
Dalam COE ini juga dapat ditunjukan fase-fase perubahan pendekatan pembangunan dari monokultur menjadi polikultur dan berwawasan lingkungan. Sebagai suatu center of excellence, maka model percontohan ini dapat menjalankan fungsi sebagai: (1) lokasi penelitian terapan atau pengkajian teknologi spesifik lokasi untuk menghasilkan inovasi sesuai dengan masalah yang dihadai pada wilayah ekoregion tersebut, (2) show window penerapan berbagai inovasi baru dalam skala ekonomi dalam suatu bentang ekoregion, (3) pusat pembelajaran, training, pendampingan bagi penyuluh pertanian, petani, swasta dan pemangku kepentingan dalam pengembangan sistem bertanian bioindustri dalam kerangka wilayah ekoregion tertentu, (4) pusat informasi terkait dengan inovasi pertanian, harga dan dinamika terkait pertanian lainnya, (5) media diseminasi, dan (6) wadah integrasi program pembangunan pertanian mulai dari penelitian, pengkajian, diseminasi, dan program pembangunan pusat, daerah serta masyarakat. Sebagai suatu model yang tumbuh dalam suatu konsep bangunan, model pengembangan COE pembangunan pertanian berwawasan ekoregion dapat disajikan pada Gambar berikut. Dalam sistem usahatani, pendekatan monokultur sudah tidak dapat diterima lagi untuk dapat memungkinkan sistem ekologi dapat terjalin dengan baik dan alamiah. Disamping itu, dengan semakin sempitnya penguasaan lahan petani, petani tidak mungkin lagi dapat mengandalkan satu komoditas dalam usahataninya. Pemanfaatan sumber daya lahan tidak akan optimal, bahkan cenderung ekstraktif bila hanya bertumpu pada satu komoditas. Untuk itu, dalam model COE yang paling dasar adalah bagaimana mengembangkan sistem pertanian terintegrasi (integrated farming system). Dalam spektrum yang lebih luas, pengembangan model agribisnis terintegrasi dalam skala ekonomis atau dalam suatu wilayah/kawasan tertentu berbasis inovasi ramah lingkungan. Dalam pengembangan model ini sudah dapat diintroduksikan konsep pertanianbioindustri berkelanjutan. Dalam model ini fungsi-fungsi COE sudah secara utuh dapat dikembangkan dan sudah diarahkan secara mandiri, dalam arti dapat membiayai aktivitasnya tanpa tergantung pada sumber pendanaan luar. Hubungan industri berbasis ekologi sudah dapat dikembangkan secara utuh. Pengembangan model ini memerlukan waktu dalam pengembangannya, dilakukan secara bertahap. Tahapan ini dituangkan dalam suatu roadmap pengembangan COE. Model pengembangan pertanian-bioindustri berkelanjutan dapat ditempatkan dalam suatu spektrum perencanaan pembangunan secara menyeluruh dalam suatu kasawan ekoregion. Dengan demikian, dalam konteks wilayah ekoregion, dapat dikembangkan beberapa model pertanian-bioindustri sesuai dengan hubungan agroekologi sebagai basis pengembangan. Alternatif lainnya adalah cakupan model pertanian-bioindustri diperluas ke dalam suatu kawasan ekoregion.
Model Kawasan Pembangunan Pertanian melalui Pendekatan Ekoregion
LLIP/ASP&ATP
Integrated farming
Gambar 1. Model Pembangunan Pertanian sebagai Center of Excellence Ekoregion Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
255
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
Dalam kerangka pengembangan model pembangunan pertanian berbasis inovasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah memiliki berbagai pengalaman, misalnya PRIMATANI, dimana program ini dikembangkan untuk mengatasi bottle neck penyampaian dan adopsi inovasi pertanian pada tingkat pengguna dengan mengembangkan model pertanian berbasis inovasi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi. Pengembangan diarahkan dalam suatu skala agribisnis dan pengembangan sistem usahatani intensifikasi dan diversifikasi usaha dalam kerangka agroindustri. Fungsi-fungsi COE sebenarnya telah dirintis dalam model ini, misalnya bahwa lokasi merupakan lokasi kajian teknologi spesifik lokasi yang sehingga terjadi umpan balik bagi penyempurnaan teknologi, sehingga terjadi inovasireinovasi secara berkelanjutan. Lokasi pengembangan model juga berfungsi sebagai media diseminasi dan pembelajaran serta pusat informasi teknologi dan agribisnis melalui pengembangan klinik agribisnis. Konsepsi PRIMATANI ini kemudian di pertajam aspek diseminasinya melalui progam MP3MI dan untuk fokus pada inovasi teknologi ramah lingkungan yang dikembangkan melalui MAP2RL. Dengan fokus yang sedikit berbeda, program P4MI menekankan pada petani miskin di lahan marginal, dengan mendukung investasi pertanian sesuai dengan kebutuhan untuk mengakselerasi pembangunan pertanian/pedesaan. Pengembangan Laboratorium Lapang Inovasi Pertanian (LLIP) sebagai wahana ujicoba dan diseminasi teknologi hasil balitbangtan memiliki konsep yang hampir sama dalam pengembangan modelnya, namun fokus prioritas sasarannya yang sedikit berbeda. Dari berbagai pengalaman pengembangan model tersebut, terdapat beberapa point lesson learned yang dapat dijadikan catatan dan perhatian dalam pengembangan modelmodel pembangunan pertanian yang lainnya, yaitu: 1. Bantuan yang mungkin diberikan kepada petani kooperator dalam pengembangan model, jangan sampai menimbulkan ketergantungan dan menghambat kreatifitas serta semangat berusaha. Bantuan yang diberikan dalam pengembangan model akan lebih baik dilakukan dalam bentuk insentif untuk mengadopsi inovasi. Faktor ini sangat besar pengaruhnya terhadap keberlanjutan program. 2. Kemampuan komunikasi inisiator/pelasana program sangat menentukan dalam membangun sinergi dan sinkronisasi program dengan stakehoder lain terutama pemerintah daerah, direktorat. Keberlanjutan pengembangan model menjadi suatu program pembangunan pertanian akan sangat tergantung pada peran pemerintah dalam mengadopsi model tersebut. Untuk itu, pemahaman dari para pelaku dan pendamping terhadap desain program secara utuh untuk semua tingkatan pelaksana kegiatan sangat menentukan keberhasilan program. 3. Jaminan ketersediaan inovasi teknologi yang didiseminasikan, untuk itu sangat penting juga membangun kelembagaan pengganda teknologi, terutama teknologi yang bersifat publik domain. Disamping itu, untuk memperlancar koordinasi dalam kaitannya dengan sumber teknologi, hubungan Balit/Balai Besar/Pusat Penelitian dengan BPTP harus terus ditingkatkan. 4. Keberadaan pendamping di lapangan merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan suatu model. Untuk itu perlu dibangun mekanisme dan sistem pendampingan tahap implementasi dan pasca berakhirnya program 5. Komitmen pemangku kepentingan dan sinergi serta sinkronisasi program hendaknya merupakan refleksi lembaga bukan individu pemimpin lembaga. Hal ini menjamin keberlangsungan suatu kebijakan dalam hal ini pengembangan model pembangunan pertanian berwawasan ekoregion.
256
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
Agro Science and Techno Park sebagai alternatif bentuk CoE Ekoregion Konsep agro science dan techno park merupakan bentuk pengembangan pusat inovasi dan implementasi teknologi pertanian. Konsep ini sebenarnya mulai dikembangkan di Amerika Serikat, mulai tahun 1950, dan telah berkembang sebagai pusat inkubator bisnis teknologi, dengan jumlah yang semakin meningkat. Inkubator ini menawarkan tempat produksi dan beberapa layanan yang menjanjikan bagi pengusaha serta membantu menjalin kontak dengan universitas lokal atau pusat penelitian, demikian juga dengan bantuan keuangan. Konsep ini terus berkembang di berbagai negara, seperti di kawasan Eropa, Rusia, dan India (Bappenas, 2015). Strategi pengembangan: (1) keterpaduan, yaitu mengintegrasikan beragam usahatani dan industri hulu-hilir dalam suatu usahatani terpadu bersiklus biolagi; (2) pendekatan bisnis, mengelola seluruh aktivitas dengan pendekatan bisnis sebagai model pusat penerapan IPTEK yang mandiri, (3) keberlanjutan, yaitu mendayagunakan sumber daya yang ada secara berkelanjutan, (4) pemberdayaan masyarakat; dimana masyarakat ikut diberdayakan melalui pendidikan, pelatihan, dan pelibatan pada seluruh kegiatan, dan (5) pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana seluruh kegiatan berbasis inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi produksi, keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi, integrasi, dan pengembangan. Dalam terminologi umum, STP didefinisikan sebagai sebuah kawasan yang dikelola secara profesional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui penciptaan dan peningkatan ekosistem yang mendukung inovasi untuk peningkatan daya saing dari industri-industri dan institusi-institusi yang berada dalam naungannya. STP bertujuan untuk merangsang dan mengelola arus pengetahuan dan teknologi di universitas lembaga litbang, dan industri yang berada di lingkungannya; memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan perusahaan berbasis inovasi melalui inkubasi bisnis dan proses spin-off, dan menyediakan layanan peningkatan nilai tambah lainnya, melalui penyediaan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi pendukung. Muchtadi, 2008 mendefinisikan secara khusus untuk agrotechnopark sebagai suatu kawasan untuk memfasilitasi percepatan alih teknologi yang dihasilkan oleh lembaga sebagai model percontohan pertanian terpadu bersiklus biologi (bio-cyclo farming). Menurut Balitbangtan, 2015, Agro Science Park dan Agro Techno Park merupakan sebuah kawasan percontohan sekaligus penyedia teknologi pertanian yang kedepan diharapkan dapat memicu dan memacu petani dalam hal peningkatan produktifitas hasil pertanian, maupun manajemen pengelolaan usaha pertaniannya. Pengembangan ASP dan ATP bertujuan untuk mempercepat aliran teknologi di bidang pertanian sampai ke lapangan dan diimplementasikan oleh pengguna khususnya petani. Dengan melihat konsepsi tersebut, program pengembangan ASP/ATP yang saat ini sedang dilaksanakan dapat diarahkan menjadi center of excellence model pembangunan pertanian ekoregion. Paling tidak fungsi-fungsi CoE dapat ditumbuhkan dan sudah sinergi dengan konsep ASP/ATP yang sedang dikembangkan. Sehingga upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengitegrasikan pengembangan ASPP dalam suatu kawasan ekoregion baik berbasis agroekosistem maupun agro ekologi tertentu. Mengarahkan pengembangan ASP/ATP menjadi CoE pembangunan berbasis ekoregion memiliki keunggulan, paling tidak dilihat dari beberapa aspek, misalnya: bahwa pengembangan ASP/ATP merupakan program pusat yang mendapat dukungan lintas kementerian paling tidak secara politik, sehingga akan lebih mudah untuk merealisasikan dukungan dan sinergi program lintas sektor. Pengembangan ASP/ATP telah didesain melibatkan pemerintah pusat dan daerah. ASP didisain sebagai percontohan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang masih menjadi core bisnis lembaga penelitian dalam pengembangannya. Sementara untuk ATP Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
257
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
sebagai suatu model aplikasi teknologi di lapangan, yang dapat dikembangkan media diseminasi dan pembelajaran implementasi teknologi pertanian dan wadah koordinasi antar pelaku. Secara umum, untuk dapat menjadi suatu model tahapan pegembangan COE dari model pembangunan ekoregion dapat disampaikan sebagai berikut: 1.
Tahap Inisiasi; merupakan tahap awal, berupa identifikasi kawasan pengembangan, koordinasi dan sosialisasi dengan stakeholder di daerah; identifikasi masalah, titik ungkit inovasi yang dapat diintroduksikan yang merupakan embrio model pembangunan pertanian bioindustri berkelanjutan, serta menyusun rancang bangun dan roadmap pengembangan model pembangunan kawasan ekoregion. Seluruh aktivitas ini dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholder, terutama petani dan pemerintah daerah, termasuk penyuluh.
2.
Tahap Penumbuhan; pada tahap ini kegiatan difokuskan pada implementasi rancang bangun/roadmap pengembangan COE. Mengacu pada konsep pengembangan model CoE, tahap penumbuhan ini dapat diawali dengan implementasi inovasi sistem usahatani terintegrasi, bukan hanya tanaman dengan ternak, tetapi meliputi organisme lainnya sesuai dengan hubungan ekologi yang ada. Setelah itu sebagai building block, model tumbuh dan berkembang dalam kerangka mewujudkan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan. Inovasi bukan hanya pada usatani, namun juga inovasi pengolahan produk pertanian dalam suatu siklus ekologi. Seiring dengan tahapan pengembangan fungsi-fungsi COE dilaksanakan, sebagai tempat penelitian dan pengkajian inovasi teknologi pertanian, tempat pembelajaran petani, penyuluh, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya sehingga kapasitas daerah dalam pengembangan pertanian berbasis ekoregion meningkat,
3.
Tahap Pengembangan; Pada tahap pengembangan ini telah relatif utuh pengembangan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan, dan nampak keterkaitan pengelolaan sumber daya pertanian dalam suatu ekoregion secara utuh. Pada tahapan ini, fungsi-fungsi COE sudah berjalan dengan baik. Model berkembang ke arah pengembangan model kawasan ekoregion. Peran stakeholder dalam hal ini utamanya pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan pemangku kepentingan lainnya mulai meningkat. Badan Litbang Pertanian lebih fokus pada aspek pengelolaan model dan mendampingi fungsi-fungsi COE.
4.
Tahap Pemantapan; pada tahap ini model pembangunan pertanian berwawasan ekoregion telah terbentuk, yang isi didalamnya adalah implementasi sistem pertanianbioindustri berkelanjutan dan mandiri. Pengembangan model sudah establis, sehingga fokus kegiatan pada pengembangan fungsi-fungsi model serta menjaga kesinambungan. Fungsi sebagai media pembelajaran dan diseminasi lebih dominan disamping fungsi sebagai tempat penelitian dan kajian inovasi pertanian tetap berjalan.
5.
Tahap Integrasi Kawasan Ekoregion; dalam spektrum lebih luas lagi, pengembangan model dapat diarahkan pada integrasi kawasan ekoregion, yang memungkinkan pengembangan model dalam spektrum lebih luas ataupun integrasi antara model dalam suatu kawasan ekoregion.
Namun demikian terdapat hal yang perlu diperhatikan untuk mensinergikan konsep ATP/ASP menjadi CoE pembangunan berwawasan ekoregion, yaitu menselaraskan pengembangan ATP/ASP dengan pendekatan ekoregion dan mensinkronkan dengan pengembangan CoE. Penyelarasan ini dimulai dari konsep pengembangan ATP/ASP dengan menentukan lokasi dan cakupan pengembangan dalam suatu wilayah ekoregion, pendekatan pengembangan yang perlu melibatkan masyarakat beserta kearifan lokalnya secara aktif,
258
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
serta investasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan ekoregion. Sementara sebagai CoE, kerangka pengembangan ATP/ASP perlu diselaraskan dengan kriteria kerja suatu CoE yang dikembangkan oleh Craig, et.al. (2009) yaitu: fokus pada konsumen atau stakeholder, kepemimpinan dan pengelolaan, bisnis internal, inovasi dan pembelajaran, dan pembiayaan. Peran Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Dalam Pengembangan Center of Excelence Pembangunan Ekoregion Badan Penelitian dan Pengembagan Pertanian dapat berkontribusi dalam penumbuhan CoE pembangunan pertanian berwawasan ekoregion. Kontribusi ini dapat dilakukan dengan mengembangkan CoE dalam bentuk model pembangunan pertanian. Konsepsi pengembangan pertanian-bioindustri berkelanjutan dapat dituangkan ke dalam program ASP/ATP dan diarahkan untuk berintegrasi dalam suatu perencanaan pembangunan berbasis ekoregion. Pengembangan model pembangunan pertanian masih dalam ruang lingkup Tupoksi Balitbangtan dalam kerangka penelitian, pengkajian, dan diseminasi teknologi pertanian, termasuk menguji dan mendiseminasikan model-model pembangunan pertanian, termasuk di dalamnya adalah model pembangunan pertanian berbasis ekoregion. Dengan demikian Balitbangtan dapat berperan besar dalam penumbuhan CoE model pembangunan pertanian berwawasan ekoregion dalam kerangka peningkatan kapasitas daerah terkait konsep dan implementasi pendekatan ekoregion. Paling tidak ada 5 peranan Balitbangtan terkait dengan hal ini, yaitu: 1. Kosepsi pengembangan model; dengan ketersediaan sumber daya manusia yang cukup mamadai, Balitbangtan berperan dalam mengembangkan konsepsi model pembangunan pertanian berwawasan ekoregion di berbagai agroekosistem atau agroekologi. Secara makro Balitbangtan dapat berperan dalam penyusunan peta ekoregion pembangunan pertanian nasional dan daerah. Sementara pada tataran implementasi dapat menyusun panduan umum dan operasional implementasi pengembangan model pembangunan pertanian. Konsepsi ASP/ATP yang sedang dikembangkan dapat diarahkan lebih luas lagi pada pengembangan model ekoregion dan berfungsi sebagai center of excellence. 2. Sumber inovasi; sebagai lembaga penelitian pertanian Balitbangtan merupakan salah satu sumber inovasi pertanian yang menjadi sumber utama teknologi yang diterapkan dalam model ekoregion, meskipun tidak tertutup kemungkinan teknologi berasal dari Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian lainnya. Sebagai sumber teknologi pada pengembangan model ekoregion memerlukan sinergi penelitian dan pengkajian yang lebih baik antara Balai Penelitian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan dan Puslitbang dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang lebih baik, agar teknologi yang siap diterapkan tersedia dengan baik. 3. Pendampingan dan pengawalan implementasi inovasi dan pengembangan model; Balitbangtan dapat terjun langsung dalam pengembangan model CoE tentunya dengan bersinergi dengan stakeholder pembangunan pertanian di daerah. Pada tahap awal peran Balitbangtan dapat lebih menonjol, terutama pada tahap inisiasi dan penumbuhan model. Dalam hal ini harapan peran ini lebih besar pada BPTP namun harus didukung oleh Balai Penelitian terutama terkait dengan teknologi dan tenaga ahli. Peneliti, Penyuluh dan Litkayasa di BPTP memiliki peran sentral dan strategis sebagai ujung tombak pengembangan CoE model pertanian ekoregion. 4. Pengelolaan Center of Excellence; sebagai pusat penelitian, kajian, dan implementasi inovasi baru dilapangan, tempat pembelajaran dan show window, CoE harus dikelola oleh sumber daya yang memadai. Dengan demikian keterlibatan peneliti dan penyuluh Balitbangtan sangat penting, di samping memberdayakan penyuluh pertanian daerah, aparatur pertanian daerah dan masyarakat secara langsung. Kegiatan penelitian, kajian, Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
259
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
pusat informasi dan pelatihan pasti memerlukan peran dari peneliti/penyuluh BPTP dan Balitbang secara umum. 5. Diseminasi; peran diseminasi, advokasi baik terkait dengan inovasi yang diterapkan maupun model secara keseluruhan menjadi porsi tugas insan Balitbangtan. Diseminasi dan advokasi dilakukan secara terus-menerus mulai dari konsepsi model dan konsep pembangunan berbasis ekologi itu sendiri sampai dengan pengembangan model dan teknologi yang menyusunnya. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa insan Balitbangtan yang berperan dalam hal ini?. Pada dasarnya peran ini dapat dan perlu melibatkan segenap peneliti, penyuluh dan insan Balitbangtan lainya. Namun dalam tataran implementasi di lapangan, peran terbesar dan terpenting adalah peneliti dan penyuluh di BPTP. Sebagaimana implementasi dan pengembangan model-model sebelumnya, BPTP merupakan penanggung jawab di lapangan dari model yang dibangun. Peran BPTP melaksanakan seluruh rangkaian dan tahapan pengembangan model mulai dari pengembangan konsep di daerah, inisiasi model sampai dengan tahap pengembangan, pemantapan, dan integrasi. Meskipun demikian BPTP harus mendapat kan dukungan penuh dari semua UK/UPT lingkup Balitbangtan, terutama dalam bentuk pasokan teknologi, tenaga akhli, pengawalan dan pendampingan, serta dukungan kebijakan dari pimpinan Balitbangtan. Mengingat peran sentral BPTP dalam pengembangan model tersebut, hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah BPTP mampu menjalankan peran dan fungsi tersebut dengan ketersediaan sumber daya manusia dan tugas-tugas yang diemban saat ini. Hal ini perlu kajian yang lebih dalam dan sifatnya spesifik, artinya akan berbeda antara BPTP satu dengan yang lainnya. Namun demikian, dari berbagai pengalaman implementasi model pembangunan pertanian yang telah dilakukan, paling tidak peneliti dan penyuluh BPTP memiliki pengalaman bagaimana melakukan pengembangan model, meskipun konsepsinya agak berbeda. Namun demikian peningkatan kapasitas SDM dalam memahami konsep pembangunan ekoregion dan juga pembangunan pertanian bioindustri perdesaan perlu ditingkatkan. Hal ini perlu dilakukan agar cakrawala tentang pengembangan model ini dapat terbuka lebih luas. Jadi langkah pertama yang paling penting adalah membuat insan Balitbangtan memahami dengan baik konsepsi COE dan model pembangunan pertanian berbasis ekoregion yang akan dikembangkan. Disamping itu, pemberian bekal terhadap konsepsi pembangunan pertanian, terutama antara pendekatan komoditas dan multi komoditas perlu dilakukan dengan lebih intensif. Selama ini, program-program yang didukung BPTP umumya adalah program pembangunan berbasis komoditas. Demikian halnya dengan kepakaran peneliti dan penyuluh Balitbangtan umumnya berdasarkan pada komoditas. Untuk itu perlu pemberian bekal dan pemahaman konsepsi pembangunan pertanian dengan pedekatan ekoregion berbasis multi komoditas. PENUTUP Dalam perspektif jangka panjang pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Melestarikan sumber daya pertanian adalah satusatunya jalan untuk menjamin pertumbuhan pertanian dan pemenuhan kebutuhan yang makin meningkat. Pengelolaan sumber daya pertanian dengan memperhatikan hubungan ekologi dalam suatu bentang ekoregion merupakan salah satu pendekatan yang dapat menjadi pilihan untuk mencapai pertumbuhan secara berkelanjutan. Peran pemeritah daerah menjadi sangat penting pada tataran implementasinya, terlebih sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang dikelola daerah dalam kerangka otonomi daerah. Untuk itu penguatan kapasitas daerah terhadap pendekatan ekoregion. Pengembangan center of excellence merupakan langkah strategis dalam membangun dan mengembangkan kapasitas daerah
260
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
terkait dengan pengelolaan sumber daya pertanian secara lestari dalam suatu kerangka pembangunan pertanian berbasis ekoregion. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2010. Kajian Pengembangan Kawasan Agrotechnopark di Sumatera Utara. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Medan. Baharsyah, Sjarifudin, Faisal Kasryno, dan Efendi Pasandaran. 2014. Reposisi Politik Pertanian: Meretas Arah Baru Pembangunan Pertanian. Yayasan Pertanian Mandiri. Bogor. Chapple, Karen. 2008. Defining the Green Economy: A Primer on Green Economic Development. The Center for Community Innovation, University of California, Berkeley. Craig,William, Matthew Fisher, Suzzane Gracia-Miller, Clay Kaylor, John Porter, and L. Scott Led. 2009. Generalized Criteria and Evaluation Method for Center of Excellence: A Preliminary Report. Carnegie Mellon University. Douthwaite, B., D. Baker, S. Weise, J. Gockowski, V. M. Manyong, and J. D. H. Keatinge.2005. Ecoregional Research in Africa: Learning Lessons From Iita’s Benchmark Area Approach. Expl Agric, volume 41, pp. 271–298. Cambridge University Press. United Kingdom. Farming First. 2008. Agriculture for a Green Economy: improved rural livelihood, reduced footprint, secure food supply. www.farmingfirst.org/green-economy. Akses 16 Oktober 2015. Kasryno, Faisal dan Haryono. 2014. Praktek Pertanian Yang Baik. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Editor: Haryono, dkk. IAARD Press. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2012. Strategi Induk Kementerian Pertanian 2013-2045. Kementerian Pertanian. Basis Data Online. Akses 2014. Leimona B, Amaruzaman S, Arifin B, Yasmin F, Hasan F, Agusta H, Sprang P, Jaffee, Frias J. 2015 Indonesia’s ’Green Agriculture’ Strategies and Policies: Closing the gap between aspirations and application. Occasional Paper 23. Nairobi: World Agroforestry Centre. Ocampo, J. A. The Transition to a Green Economy: Benefits, Challenges and Risks from a Sustainable Development Perspective. Second Preparatory Committee Meeting for United Nations Conference on Sustainable Development. United Nation. Oviedo, Gonzalo and Luisa Maffi. 2000. Indigenous and Traditional Peoples of the World and Ecoregion Conservation: An Integrated Approach to Conserving the WorldÕs Biological and Cultural Diversity. WWF International. Rudy S. Rivai dan Iwan S. Anugrah. 2011. Konsep dan Implementasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 29 Nomor 01. Simatupang, Pantjar. 2014. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Editor: Haryono, dkk. IAARD Press. Jakarta. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion
261
Membangun Kompetensi Daerah Dalam Pengembangan Ekoregion
Sumarno. 2014. Konsep Pertanian Modern, Ekologis, dan Berkelanjutan. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Editor: Haryono, dkk. IAARD Press. Jakarta. Sumedi dan Achmad Djauhari. 2014. Reformasi Kebijakan Desentralisasi Sektor Pertanian. Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Editor: Haryono, dkk. IAARD Press. Jakarta. United Stated Agency for International Development. 2009. Madagascar: Ecoregional Initiatives Program Final Report 2004 – 2009. United Stated Agency for International Development.
262
Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion