MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK MELALUI REFORMASI KEBIJAKAN DI SEKTOR PUBLIK Oleh Gede Sandiasa1 Abstract: Issue related to the improvement of capacity of public institutions in carrying out services to the public interest as a citizen is determined by the quality of human resources in formulating and implementing public policies, which reflect the establishment of service system that is able to increase public trust in various services provided by public institutions. Reliability and capacity of public institutions can be built through a variety of approaches that are advocated in public administration, from the old model of administration, New Public Management (NPM), Governance and up to New Public Service. In the application of the paradigms in question in the discussion and formulation of public policy, none of them can be said to be better than the other paradigms as being better or not much depends on the place and focus of policies to be done, as well as objectives and targets to be achieved. Classical public administration is still needed when facing a situation where condition in the society is still weak in the areas of human resources, while the NPM and Governance are conducted to encourage a faster, more efficient and more responsible implementation of government tasks through public policies. Finally, New Public Service approach can be implemented optimally if the number of human resources in the community is adequate and if political will of public officials is more oriented toward interests of the larger community; If not so, then, the paradigms in question will not be able to meet goals of the public policies that have been determined. Kata kunci: Public policy, public trust, old public administration, new public management, governance, and new public service. I. Pendahuluan Pergeseran pelaksanaan kebijakan publik di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. UU ini adalah untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekara1
Gede Sandiasa adalah staf edukatif pada FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja. 59
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
gaman daerah melalui kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional (Muhamad, 2008: 8). Selanjutnya dipertegas lagi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Melalui kedua Undang-undang ini gaung doktrin new public management tanpaknya meluas, sampai ke daerah-daerah yang secara signifikan melakukan terobosan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas. Pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, di mana nuansa pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan sudah diupayakan lebih dekat pada subjek maupun objek, yakni masyarakat yang dilayani, dengan pendekatan bottom up, diharapkan masyarakat mengalami peningkatan partisipasi yang lebih tinggi, baik di bidang perencanaan pembangunan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh sistem pelayanan pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam proses pelayanan publik maupun dalam pembangunan menjadi penting dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas hasil pembangunan, dapat mencapai sasaran, dan mengacu pada kepentingan publik yang sebenarnya. Dengan demikian tugas pemerintah menjadi lebih ringan, dan kepercayaan publik pada pemerintah dapat selalu ditingkatkan. Negara harus mempertahankan beberapa tingkat keterlibatan dalam bekerja dengan orang-orang untuk mengatasi masalah secara kolektif bersama mereka, jika tidak, pemerintah tak lebih dari tanggung jawab sebagai lembaga transfer ke masyarakat, tanpa memastikan masyarakat yang memiliki sumber daya dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan yang efektif (Smith, 2010: 252). Di samping desentralisasi urusan pemerintahan pusat kepada daerah, juga paradigma pendekatan pembangunan mengalami perubahan, yang berawal dari sistem administrasi tradisional (old public administration), New Public Management (NPM) dengan pendekatan rasionalitas yang menekankan pada efisiensi dan efektivitas maupun ekonomis dan pergeseran paradigma terakhir adalah New Public Service (NPS), dan bahkan sudah kepada pilihan-pilihan paradigma yang lebih mungkin, mampu meningkatkan pencapaian kesejahteraan dan kepuasan publik lebih cepat serta dapat memenuhi kebutuhan publik lebih banyak. Persoalan upaya pencapaian public interest, telah diletakkan lebih tinggi setelah reformasi tahun 1988, akan tetapi ketimpangan dan penyimpanan masih banyak terjadi di Indonesia, bahkan Negara Sejahtera masih jauh dari harapan. Kesungguhan hati dari para penyelenggara negara sangat diperlukan guna terwujud penigkatan kepercayaan masyarakat sebagai citizen, menjadi lebih mengemuka. Berbagai persoalan muncul antara lain korupsi dari pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah, konflik-konflik sosial berlatar belakang kepercayaan dan agama, perebutan hak tanah, konflik ke tenagakerjaan, dan berbagai persoalan hukum lainnya yang menambah sederetan persoalan yang muncul diakibatkan 60
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
kurangnya kemampuan para penyelenggara negara dalam melakukan langkah antisipasi, ditambah lagi persoalan layanan publik yang buruk, sarana-prasana dan insfrastruktur yang rusak, menjadikan kredibilitas pemerintah di mata publik menjadi merosot. Dominasi peran aktor pemerintah dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan “challenge governing elites’ monopoly over public resource allocation decisions” (Gibson & Woolcock, 2008: 151), memberi dampak terhadap ketidakpekaan putusan-putusan publik terhadap berbagai persoalan di masyarakat. Kebutuhan untuk mendorong keterlibatan masyarakat secara aktif “Aristotelian idea of “active citizenship” (Smith, 2010: 238) dalam pengambilan kebijakan publik, utamanya yang terkait dengan upaya pemenuhan kepentingan masyarakat melalui layanan publik adalah menjadi pilihan tersendiri, guna mencapai rasionalitas yang tinggi dari hasil sebuah kebijakan. Menyusun visi, misi dan faktor-faktor kunci keberhasilan tujuan, sasaran dan strategi instansi pemerintah dan indikator kinerja kebijakan publik (Azizy, 2007: 119), melalui pendekatan rational choice. Menurut Hodgkinson (1978: 49), “Rational, that is logical decision making would follow a pattern which would include the step: (1) definition of issue, (2) analysis of existing situation, (3) calculation and delineation of alternatives, (4) deliberation, and (5) choice”. Dan di buku Frederickson dan Smith (2003: 165) menyebutkan bahwa teori keputusan rasional berkaitan dengan persoalan: 1) mengklarifikasi dan menempatkan prioritas nilai dan tujuan organisasi, 2) mempertimbangkan dan menyediakan alternatif atau alternatif yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan 3) menganalisis alternatif untuk menemukan alternatif atau kelompok alternatif yang lebih tampak dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan partisipasi semua kalangan dalam proses kebijakan akan memungkinkan mencapai keputusan secara rasional, di mana semua nilai dipertimbangkan, semua pengetahuan dan kepentingan di diskursuskan untuk menjadikannya sebuah keputusan bersama. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat memunculkan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: 1) Paradigma Administrasi lama (klasik) masih relevan dalam kebijakan publik. 2) Pendekatan NPM dalam mengukur kinerja kebijakan publik. 3) NPS mendorong partisipasi masyarakat dalam Kebijakan Publik. II. Partisipasi Masyarakat Membangun Kepercayaan Publik Minimnya partisipasi rakyat dalam proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik menyebabkan kegagalan membangun akuntabilitas pemerintah. Sistem, pro61
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
sedur dan aturan hukum pemerintah dibuat agar penguasa dapat menghasilkan kebijakan yang dapat dikontrol dan dievaluasi oleh rakyat (Hidayat, 2007). Menurut Little partisipasi rakyat dalam berbagai proses kebijakan antara lain, “the analysis of the existing situation, which feeds into the formulation of policy options, the evaluation of policy options, the adoption of the policy decision, the planning of policy implementation, the implementation of the plan, the assessment of policy impact, adjustment of the policy options or the implementation plans and the transition to a new policy cycle” (2008: 17-8). Power politik yang melibatkan masyarakat melalui pilihan publik mengandung pemahaman yang serupa dengan pendekatan pluralis, sejauhmana masyarakat politik diasumsikan terdiri dari individu yang tertarik bergabung dalam kepentingan terorganisir untuk memperoleh akses ke sumber daya publik. Mereka menggunakan uang, keahlian, koneksi politik, suara dan sumber daya lain untuk mengekstrak manfaat atau memperoleh akses finansial dari pemerintah melalui kegiatan lobi, melalui pemilihan langsung dan bentuk lain dari keterlibatan politik, atau melalui penerapan penghargaan dan sanksi terhadap pejabat publik (Grindle dan Thomas, 1991: 24). Reformasi pada dasarnya mengacu pada penciptaan tata kehidupan demokratis di semua aspek, memenuhi syarat keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pengambilan setiap kebijakan (participation) tanggap terhadap aspirasi dari bawah (responsiveness), bertumpu pada asas rule of law, terbuka terhadap keragaman anggota, dapat dipertanggungjawabkan, efisien, efektif, stabil, bersih (check and balance) serta adanya proses transfaransi (Saleh, 2008: 1-2), kondisi yang demikian ini dapat mendorong kepercayaan publik “public trust” (Wiloto, 2006: 125). Democratic Governance akan membantu memformat relasi antar aktor dalam proses kebijakan secara lebih baik, karena memperhatikan pentingnya keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang lebih lemah dan potensial menerima kerugian (Widada dkk, edt, 2008: 313) Mark Considine 2005 (dalam Bevir, 2011: 380) mengemukakan bahwa, terdapat enam acuan yang dapat dipergunakan untuk menilai legitimasi pemerintah di sektor publik yaitu: 1) Assignability of goals and standards; pemerintah mampu secara jelas mengidentifikasi tujuan dan sasaran berbagai kebijakan publik, program dan intervensi program termasuk kemanfaatan yang ingin dicapai. 2) Transfarancy of result; kebijakan maupun program intervensi mesti terbuka dan dapat diakses hasilnya oleh semua pihak. 3) Knowability of consequences; mudah dipahami hubungan antara program dan dampak 62
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui apakah kebijakan tersebut memiliki kinerja yang baik, responsibilitasnya terhadap berbagai kepentingan aktor dapat diuji. 4) Reviewability by supervisor and courts; warga negara, individu atau organisasi yang terkena dampak program dimungkinkan mendapatkan konvensasi secara administratif maupun forum legal, untuk terlibat langsung sebagai formulator dan implementor independen dalam kebijakan. 5) Answerbility for failure; mampu menyelesaikan persoalan akibat kegagalan sebuah kebijakan, menyediakan sangsi yang jelas bagi para pelanggar atau bagi kebijakan yang tidak menghasilkan responsibilitas, dan dapat diamati secara terbuka. 6) Revisability of program; untuk menghasilkan akuntabilitas di sektor publik, sangat diperlukan keterbukaan untuk revisi, modifikasi dan perumusan kembali bagi kebijakan, program dan intervensi yang tidak dapat mecapai akuntabilitas publik. III. Paradigma Administrasi Klasik Penting Bagi Masyarakat Belum Mapan Tiga perempat pertama abad kedua puluh Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, dan Herbert Simon menyampaian deskripsi tertentu tentang peran administrator publik klasik, terutama dalam kaitannya dengan proses (atau kebijakan) politik, pilihan efisiensi (sebagai lawan responsibilitas, dll) sebagai kriteria utama untuk menilai kerja lembaga-lembaga administrasi, dan penekanan pada upaya merancang lembaga-lembaga publik sebagai sistem yang sangat tertutup, yang menampilkan sebuah kesatuan "mengendalikan" eksekutif memiliki kewenangan besar dan melaksanakan kegiatannya secara topdown, dan menurut Woodrow Wilson menyebutkan, “creating single centers of power and responsibility” (Denhardt & Denhardt, 2007: 141). Selanjutnya disampaikan unsur-unsur berikut umumnya mewakili pandangan utama Administrasi Publik Lama (OPA): 1) Fokus pemerintah adalah pada pengiriman langsung dari pelayanan melalui lembaga yang ada atau melalui pejabat pemerintah yang baru. 2) Kebijakan publik dan administrasi merancang serta menerapkan kebijakan politik berfokus pada tujuan tunggal yang telah didefinisikan. 3) Administrator publik memainkan peran yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan pemerintahan, tetapi mereka dibebankan dengan pelaksanaan kebijakan publik. 4) Penyediaan jasa harus dilakukan oleh administrator bertanggung jawab kepada pejabat terpilih dan diberikan fleksibilitas yang terbatas dalam pekerjaan mereka. 5) Administrator bertanggung jawab kepada para pemimpin politik dipilih secara de63
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
mokratis. 6) Program-program umum yang terbaik disediakan melalui hierarkis organisasi, dengan sebagian besar manajer yang menjalankan kontrol dari puncak organisasi. 7) Nilai-nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas. 8) Organisasi Publik bekerja dengan sistem tertutup, sehingga keterlibatan masyarakat terbatas. 9) Peran administrator publik terutama didefinisikan sebagai perencanaan, pengorganisasian staf, mengarahkan, koordinasi, pelaporan, dan penganggaran (Denhardt & Denhardt, 2007: 11-12). Dalam praktik administrasi model ini, sering memunculkan ketidakadilan, sering para pemangku jabatan lebih mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya, hal ini juga diakui oleh Buchanan yang berpendapat bahwa, perilaku politik, birokrat dan pegawai negeri sipil, mengeploitasi keuntungan mereka sendiri dan pemerintah melampui batasbatas yang sah (Buchanan, dalam Engelen, 2007). Namun demikian OPA pada saat ini, jika berpraktik pada kondisi negara yang belum mapan, yang disebut sebagai negara berkembang tidak selalu mendapatkan predikat yang buruk, semacam penerapannya di orde baru pemerintah Indonesia. Hasil kerja OPA pada saat itu menghasilkan sebuah ketertiban umum, pencapaian hasil pembangunan secara merata, dan negara mendapat kehormatan yang baik di mata dunia, serta masih banyak prestasi yang bisa disebut. Artinya dalam kondisi tertentu praktik kenegaraan yang mencirikan OPA masih diperlukan, terutama bagi negara yang memiliki perbedaan kualitas SDM yang sangat bervariasi, dengan kondisi wilayah geografis serta keragaman yang tinggi seperti di Indonesia, sehingga dalam kurun waktu dan situasi tertentu OPA masih dipandang perlu. IV. Model NPM dalam Mengukur Kinerja Kebijakan Publik Kepentingan untuk menerapkan New Public Management (NPM) di sektor publik, adalah menyikapi perlakuan sektor publik terhadap masyarakat sebagai klien dan konstituen, bersifat monopoli dan sebagai “single agent” yang menentukan dalam perencanaan, desain dan pelaksanaan kebijakan. Penerapan administrasi publik yang sentralisasi “top down”, membuat layanan pemerintah menjadi lamban, korupsi, tidak transfaran dan tidak dapat menunjukkan responsibiltas dan akuntabilitas publiknya. Hal ini didukung pendapat oleh Marshall Dimock, Robert Dahl, dan, yang sebagian besar dari semuanya termasuk, Dwight Waldo berpendapat untuk kebijaksanaan yang lebih besar, respon yang lebih besar, dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses administrasi (Denhardt & Denhardt, 2007: 64
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
25). Keadaan ini memunculkan paradigma baru yang disebut dengan New Public Management. Memasukkan ukuran kinerja pada organisasi publik menjadi penting, untuk memberikan batas-batas yang rinci tentang pencapaian keberhasilan sebuah organisasi publik dalam melayani kepentingan masyarakatnya. Instrumen NPM adalah manajemen kontrak, penyerahan tanggung jawab di bidang sumber daya, orientasi pada hasil kerja (output), pengawasan melalui kalkulasi biaya dan produk kerja, laporan dan penganggaran, orientasi pada warga/pelanggan, personalia, teknik informasi dan manajemen kualitas. New Public Management telah menampilkan dirinya sebagai alternatif birokrasi tradisional untuk melakukan "bisnis publik” mekanisme pasar harus digunakan sedapat mungkin sehingga masyarakat akan disajikan dengan pilihan di antara pilihan layanan; meningkatkan efisiensi dan produktivitas; penerapan teori pilihan publik dan teori keagenan, secara umum penggunaan model ekonomi dalam desain dan pelaksanaan kebijakan publik (Denhardt & Denhardt, 2007: 26). Privatisasi dan kontraktualisasi pelayanan melalui perubahan kebijakan publik dengan pendekatan NPM, yang berorientasi pada pelayanan klien dan standar pelayanan, peningkatan penerapan teknologi, pengurangan, kontrol terpusat dan keseragaman standar, menciptakan badan-badan khusus untuk memberikan pelayanan, penyampaian pelayanan alternatif untuk menciptakan lebih banyak pilihan “public choice” (Hall, 2009, Ekelund & Hebert, Reksulak, Shughart II & McChesney dan Moss, 2010), kemitraan dengan pemerintah lain atau sektor swasta lainnya. Dalam pilihan publik yang memilih alternatif dan mendesain kebijakan publik adalah individu, dengan persyaratan: a) tidak boleh oligopoli atau monopoli, b) pasar harus sempurna, c) harus ada kompetisi, d) pemerintah harus menyediakan pilihan-pilihan atau alternatif pilihan-tawaran, e) rational choice berlaku umum, rasional yang bisa dipilih oleh semua orang, memungkinkan semua orang memperoleh manfaat, dan tidak ada rent seeking (memperoleh keuntungan dari menjual atau memanfaatkan kewenangan atau jabatan) maupun lower incentive to free ride (Brousseau, 2008: 239). Selanjutnya menurut Denhardt, teori pilihan publik didasarkan pada beberapa asumsi-asumsi kunci. Pertama, dan yang paling penting, teori pilihan publik berfokus pada individu, dengan asumsi bahwa para pengambil keputusan individual, seperti "manusia ekonomi", rasional tradisional, tertarik, dan mencoba untuk memaksimalkan "utilitas" diri sendiri. Kedua, teori pilihan publik berfokus pada gagasan "barang publik" sebagai output dari lembaga-lembaga publik. Ketiga pilihan publik adalah bahwa membuat aturan atau berbagai situasi keputusan akan menghasilkan pendekatan yang berbeda untuk membuat pilihan (Denhardt & Denhardt, 2007). 65
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Alternatif yang dapat ditawarkan dalam reformasi kebijakan oleh NPM adalah pemisahan kebijakan dan penyampaian program, perubahan sistem pengelolaan finansial berlaku hukum swasta, pengubahan rejim tenaga kerja untuk memperbesar fleksibilitas, peningkatan penggunaan tenaga kerja paruh waktu, kontrak pelayanan, kontrak berbasis tenaga kerja eksekutif, kompetisi antara pemerintah dan non-pemerintah, pembentukan organisasi yang baru sebagai agen pemerintah. Sepadan dengan reformasi administrasi melalui NPM, Wescott (2009) menyebutkan bahwa, reformasi diharapkan dapat mengubah budaya masyarakat, perbaikan kebijakan, pelaksanaan dan kegagalan penegakan hukum dan dalam hal ini pemerintah pusat memiliki empat tugas utama: manajemen keuangan dan pengadaan reformasi, administrasi dan reformasi layanan sipil (ACS), reformasi administrasi pajak dan memerangi korupsi. Penerapan teori agen di dalam sistem pemerintahan akan memenuhi kriteria antara lain, informasi asimetris (Kaufman, 2010: 14), terdapat cost transaction (rational choice), pasar harus sempurna, institusi pemerintah yang mendelegasikan pekerjaan pada individu dalam bentuk kontrak (kontrak kerja), agen dapat terjadi jika sesorang memiliki sesuatu atau beberapa group untuk mengerjakan pekerjaan yang diserahkan oleh principal. Berikut prinsip teori agen: a) melibatkan persetujuan, b) membagi asumsi tentang orang, organisasi dan informasi; c) agen bekerja sesuai dengan kontrak yang disepakati; d) target agen sesuai dengan permintaan. Persyaratan teori agen adalah harus ada kompetitor agen, aplikasi dan human interaksi, sedangkan bagi agen: memiliki spesifik talen, knowledge, kapabilitas untuk meningkatkan nilai dari asset, memiliki good service, principal menginginkan expected utility, sedangkan agen harus talent and knowledge. Akhirnya dapat disebutkan bahwa pendekatan reformis terhadap struktur yang baru melalui NPM memiliki tujuan sebagai berikut. Simplisitas organisasi, efisiensi administrasi, fleksibilitas penggunaan sumberdaya manusia, otoritas finansial: peningkatan otoritas dan delegasi yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan terhadap akuntabilitas dan pengukuran kinerja pemerintah. V. Pendekatan Governance dalam Kebijakan Publik Dalam format good governance, prasyarat untuk mencapai pelayanan publik yang berkualitas, juga menuntut pentingnya keterbukaan, transfaransi dan akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan, hingga kemampuan pemerintah untuk mendayagunakan energi publik dalam proses kebijakan (Widada, 2008: 312). Munculnya sejumlah gerakan konsumen yang menuntut transparansi lebih besar dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan penyampaian layanan dari awal tahun 66
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
1970, (Kirkpatrick, 2005: 58), mendorong perubahan paradigma pelayanan dari monopoli pemerintah pada kepentingan mengadopsi kekuatan berbagai aktor swasta bahkan organisasi relawan, untuk menghadirkan percepatan peningkatan kualitas layanan guna mendorong kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan meningkatkan martabat manusia yang terlibat dalam proses pelayanan. Menurut Schwab dan Kubler 2001 (dalam Kurniawan, 2007: 14-15) melihat 5 dimensi governance dalam pengaturan sebuah kebijakan, yatu: dimensi aktor, dimensi fungsi, dimensi struktur, dimensi konvensi dari interaksi dan dimensi distribusi kekuasaan. Dilihat dari sisi aktor, governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta, baik yang berasal dari sektor publik maupun swasta yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Dalam dimensi fungsi, governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Selanjutya bila dilihat dari struktur, dicirikan dengan adanya batasbatas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka, selain itu keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Dari dimensi konvensi interaksi, dicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Dan terakhir, berdasarkan dimensi distribusi kekuasaan, governance dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Petter dan Pierre (1998) menyatakan empat element dasar karakteristik dari diskusi governance: 1) dominasi jaringan, sebagai ganti institusi pembuat kebijakan formal, governance didominasi melalui sebuah kesatuan koleksi kepemilikan pengaruh berbagai aktor terhadap apa dan bagaimana public good dan service diselenggarakan, 2) pengurangan kekuatan kontrol Negara, walaupun pemerintah tidak lagi memperluas penyelenggaraan pengawasan terpusat pada kebijakan publik, pemerintah masih memiliki kekuasaan yang berpengaruh terhadap kebijakan. Kekuasaan negara sekarang terlihat pada kemampuan negosiasi dan bargaining dengan aktor-aktor dalam jaringan kebijakan. Para anggota jaringan mengakui kesamaan posisi dalam proses kebijakan, 3) perpaduan antar sumber daya publik dan privat, para aktor publik dan privat memanfaatkan satu dengan yang lainnya untuk memperoleh sumber daya yang mereka tidak dapat peroleh secara mandiri. Sebagai contoh menggunakan organisasi privat sebagai pelaksana kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengatasi persoalan kemahalan dan prosedur waktu penyelesaian serta isu akuntabilitas. Organisasi privat meyakinkan negara pada sejumlah projek yang menguntungkan kepentingan publik tetapi tidak seperti penyelenggara keuangan di sektor swasta, 4) menggunakan multi instrument, maksudnya dalam meningkatkan keikhlasan untuk me67
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
ngembangkan dan mempergunakan metode tradisional dalam membuat dan melaksanakan kebijakan publik. Dalam hal ini sering terdapat intrumen secara tidak langsung, seperti menggunakan insentif pajak untuk mempengaruhi perilaku daripada komando dan pengawasan regulasi yang merubah perilaku (Fredericson & Smith, 2003: 216). VI. New Public Service (NPS) Mendorong Partisipasi Masyarakat Menurut Mark Considine dan Kamran Ali Afsal (dalam Bevir, 2011: 375) bahwa kelemahan NPM dalam sektor publik adalah persoalan para pelayan publik lemah terutama terkait dengan masalah etika dan peran normatif di masyarakat, meskipun NPM memberi pengaruh efisiensi dan responsibilitas dari kinerja layanan publik. Sebagai kritik lain terhadap berbagai produk NPM sebagai berikut: “outsourcing policy advice, contracting out service provision, decentralizing government outhority, disaggregating public organization, and devolving government functions to private sector, the outcome has not only been a more horizontal and complex framework of control, responsibility, and accountability but also, very often, vague one” (Christensen and Laegreid, 2001 dalam Bevir, 2011: 375). Kritik selanjutnya terhadap NPM disampaikan oleh Berry, Chackkerian & Weschler 1995 dan Dilulio, Garvey dan Kettl, 1993 (dalam Frederickson and Smith, 2003: 114), menyampaikan bahwa prinsip NPM dalam jangka pendek menghasilkan efisiensi, namun menimbulkan dampak negatif terkait dengan persoalan keterbukaan, pemerataan atau keadilan, jarang dengan mengurangi biaya dan di sisi lain menghasilkan sejumlah inovasi dalam mencapai tujuan kolektif atau publik. Berdasarkan pengalaman yang kurang sempurna dari pendekatan NPM, memunculkan praktik baru dalam administrasi publik, yaitu apa yang dikenal sebaga “New Public Service”. “The New Public service, a set of ideas about the role of public administration in the governance system that places public service, democratic governance, and civic engagement at the center” (Denhardt & Denhardt, 2007: 24). Melalui NPS yang menekankan pentingnya memahami publik sebagai konsumen yang aktif (konsepsi citizen), teori ini meyakinkan pentingnya pemberdayaan potensi warga, untuk ikut menentukan perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik. Melaui civic virtue dan democratic citizenship: mempertanyakan a) bagaimana teori kewarganegaraan diformulasikan; b) bagaimana masyarakat dibentuk dan dibatasi tentang hak dan kewajibannya dan c) adakah kemungkinan membangun keterlibatan secara aktif bagi warga negara. Dalam sebuah kebijakan ter68
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
jadi kontrak warga negara, negara share value, keputusan di citizen, mengakui manusia seutuhnya (totalitas) (Aristoteles, dalam Denhardt, 2007: 46), warga negara tidak sebagai alat, legal being; penempatan manusia di mata hukum, good of community, mengupayakan kemanfaatan luas bagi masyarakat dan members. “Power politic” membangun partisipasi politik bukan politik elit, keterlibatan yang tinggi bagi citizen, dengan besar penekanan pada morality democratic yaitu: a) memakai ukuran-ukuran kemanusiaan, b) demokrasi memberi akses pada masyarakat, c) keterlibatan semua orang dalam pengambilan keputusan sebagai indikatornya: akses informasi, akses langsung/tidak langsung forum diskusi, dan terbuka pada diskusi publik. Selanjutnya menurut Denhardt terdapat empat prinsip utama dalam NPS yaitu: (1) teori kewarganegaraan demokratis (democratic citizenship), (2) model komunitas dan masyarakat sipil (community and civil society), (3) humanisme organisasi dan administrasi publik baru (organizational humanism and the new public administration), dan (4) postmodern publik administrasi (postmodern public administration), yang akan dijelaskan di bawah ini. a. Theories Of Democratic Citizenship Membangun keterlibatan masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik sangat penting dalam mewujudkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Beberapa dimensi penting dalam upaya keterlibatan masyarakat sebagai berikut. Pertama, kepercayaan bahwa melalui partisipasi aktif memungkinkan memperoleh hasil-hasil politik terbaik, hasil yang mencerminkan pendapat dari kelompok tertentu dan konsisten dengan nilai-nilai demokrasi. Kedua, melalui partisipasi, dapat memenuhi apa yang dinyatakan Thompson sebagai tujuan demokratis, “merealisasikan aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang memuaskan kepentingan-kepentingan dari sebagian masyarakat. Melalui partisipasi publik secara meluas dan dalam urusan-urusan kewarganegaraan, masyarakat bisa membantu meyakinkan bahwa kepentingan-kepentingan perorangan dan kepentingan-kepentingan kelompok didengar dan ditanggapi pejabat-pejabat pemerintahan. Terlebih, partisipasi demokratis mendorong legitimasi pemerintah. Mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan boleh jadi mendukung keputusan-keputusan tersebut dan institusi-institusi yang terlibat dalam perumusan dan pengaplikasikan keputusan-keputusan itu (Denhardt & Denhardt, 2007: 50). Penerapan teori ini berdasarkan atas kebijakan merupakan pilihan, hasil musyawarah publik yang diperoleh dari proses politik masyarakat dalam sistem politik bersamasama “politik institusional”. Kebijakan yang dilandaskan pada moral yang terikat dengan 69
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
masyarakat, memiliki pengetahuan tentang urusan publik, membentuk solidaritas, komitmen dan kemaslahatan sipil yang sepenuhnya dikelola secara partisipatif. b. Models Of Community and Civil Society Menempatkan posisi masyarakat sipil, dalam pendekatan komunitas, di mana citizen dalam komunitas memiliki nilai-nilai yang dikejar dan ingin dimaksimalkan melalui proses “deliberation” musyawarah untuk menetapkan sebuah kebijakan, sebagai gerakan akar rumput, memenuhi tanggungjawab sosial, ramah lingkungan, terjadi diskusi yang intim, sehat tidak ada unsur pemaksaan kehendak, ekploitasi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Interaksi antar-mereka berlangsung secara alamiah, untuk menghasilkan kebaikan bersama “common good”, penuh pemaknaan secara personal untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan komplik, persoalan sosial maupun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan. Gerakan akar rumput warga negara ini, berupaya dibangun melalui jejaring interaksi warga sebagai modal sosial dalam membangun komunitas dan masyarakat sipil. Menurut Gutmann dan Thompson (2004) bahwa pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan strategis dari sudut pandang kebijakan publik, disebut sebagai “demokrasi deliberatif” merupakan upaya untuk meningkatkan legitimasi keputusan, dengan hati-hati mempertimbangkan tuntutan kelompok yang saling bertentangan, untuk memperluas pemahaman peserta mengenai isu-isu kepentingan bersama, untuk meningkatkan rasa hormat terhadap perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada nilai-nilai, dan untuk mengembangkan posisi kebijakan yang dapat bertahan dari pemeriksaan kritis berkelanjutan (Smith, 2009: 11; Ozzane, et al, 2009: 29). c. Organizational Humanism and The New Public Administration Pendekatan NPS mengakui keterlibatan individu secara bebas dalam organisasi “manusia organisasi”, dengan moralitas yang tinggi, individu-individu berupaya dapat menyelesaikan berbagai persoalan organisasi secara terbuka, penuh tanggungjawab. Otoritas pengetahuan dan kompetensi diakui, dan setiap individu dapat melakukan aktualisasi, dengan memaksimalkan kolaborasi satu sama lainnya, berupaya meningkatkan pengendalian diri dan pengarahan diri-sendiri untuk warga, meningkatkan kesadaran proses kelompok dan konsekuensinya untuk kinerja melalui dialektis organisasi dan model consociated. Menurut Bingham kolaborasi adalah untuk mengizinkan warga dan pemangku kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaan pemerintah (2005: 547), hal ini diakarenakan bahwa individu dan kelompok memiliki hak-hak dasar partisipasi penting untuk pemerintahan yang demokratis (Brettschneider, 2007: 13). 70
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Menurut Dryzek (1990) bahwa forum warga diberi kesempatan untuk belajar tentang gagasan, melibatkan orang lain dalam perdebatan tentang sebuah gagasan, dan kemudian menjadikan keputusan bersama sebagai kebijakan yang diambil. Pedoman yang mendasari musyawarah adalah terfokus pada keterlibatan dan menghormati antara peserta, dan simpulan mewakili kelompok yang berunding untuk menemukan kesamaan. Tujuan mendasar dari demokrat deliberatif adalah menyediakan suatu proses untuk partisipasi warga yang memungkinkan diskursus sambil menghindari manipulasi (O'doherty & Davidson, 2010: 226). Dalam hal melibatkan masyarakat dalam musyawarah penentuan kebijakan mengikuti prinsip pemerintahan kolaboratif, yaitu: (1) warga negara biasa harus terlibat dalam produksi bersama barang publik; 2) masyarakat harus didorong untuk memobilisasi aset mereka sendiri sebagai bagian pemecahan masalah publik; 3) administrator publik dan profesional harus berbagi keahlian mereka dengan masyarakat dan memberdayakan masyarakat; 4) kebijakan harus mempromosikan dan mengaktifkan musyawarah publik yang akan melampaui kepentingan pribadi; 5) berkelanjutan ketimbang memecah belah, kemitraan harus dipupuk; 6) pemerintah harus mencari bidang strategis yang luas; 7) budaya pemerintah harus diubah untuk merangkul praktik-praktik kolaboratif; dan 8) akuntabilitas harus timbal-balik antara aktor (Sirianni, 2010:. 513) d. Postmodern Public Administration Gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern, namun tidak dengan menolak modernisasi itu secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern. Gerakan modern adalah pemikiran dan gambaran tentang dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan pencerahan (aufklarung) dan mengabdikan dirinya hingga abad kedua puluh ini melalui dominasi sains dan kapitalis. Beberapa kritik terhadap modernisasi, pertama: pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual material, manusia dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan penggurasan alam semena-mena. Kedua, pandangan modernisasi bersifat objektivistis dan positivistis yang akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah-olah objek juga, dan masyarakatpun direkayasa bagai mesin. Ketiga, dalam modernism ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi, akibatnya nilai-nilai moral religius kehilangan wibawanya. Keempat, materialism, bahwa hidup ini menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Kelima, militerisme, pendekatan kekuasaan dan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Dan keenam, adalah 71
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
bangkitnya kembali tribalisme atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri (Sugiharto, 1996: 29-30). Gerakan postmodern dalam proses politik penyusunan kebijakan mengamati perilaku manusia "dari dalam", memahami makna tindakan manusia atau kehidupan manusia, nilai-nilai lebih penting daripada fakta-fakta dalam memahami tindakan manusia atau sensitif terhadap nilai, mengenali komponen rasional pengalaman manusia secara intuisi, emosi, dan perasaan, pemahaman secara komplit tentang makna dan nilai-nilai yang begitu banyak dari kehidupan manusia, penilaian nilai kritis melalui face-to-face interaksi berdasarkan pengakuan manusia yang satu terhadap yang lain, komitmen berpusat gagasangagasan "diskursus”, cita-cita wacana otentik melihat administrator dan warga negara terlibat sepenuhnya satu dengan yang lain dalam kesamaan, proses yang dihasilkan dari negosiasi dan membangun konsensus adalah satu, di mana individu terlibat satu sama lain saat mereka terlibat dengan diri mereka sendiri, sepenuhnya merangkul semua aspek kepribadian manusia (Denhardt dan Denhardt, 2007). Dengan kearifan serta kecerdasan para pemangku kebijakan dalam menggunakan berbagai pendekatan yang ada, diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang ramah, dan dapat memuaskan berbagai pihak. Seperti apa yang disampaikan Compston, (2009: 214) bahwa kebijakan publik yang dihasilkan ke depan adalah kebijakan bisnis yang lebih ramah; kebijakan ketenagakerjaan lebih ramah; kebijakan penegakan hukum dan internasionalisasi keamanan, kebijakan lebih ramah pada perempuan, kebijakan sosial yang lebih liberal, iklim kebijakan yang lebih kuat, lebih giat kebijakan untuk melawan efek negatif dari teknologi inovasi dan internasionalisasi ekonomi. Mengembangkan kebijakan yang tepat dan institusi yang tepat yang akan memungkinkan untuk mengelola keberhasilan integrasi negara ke dalam ekonomi global, pengentasan kemiskinan dan pembangunan fitur sosial yang sesuai dari setiap aspek kebijakan ekonomi dan sosial (Kennett, 2008). Berikut disampaikan pola hubungan paradigma administrasi publik, dan pergeserannya dalam mewujudkan legitimasi dan kepercayaan publik pemerintah. Setiap paradigma, baik OPA, NPM, Governance, dan NPS mengandung empat unsur yang menjadi landasan berpikirnya, yang dapat dikaji dan berpengaruh pada setiap paradigma, yaitu institusional, norm (norma), culture, dan nilai (value) dalam bagan digambarkan dengan garis putus-putus (---). OPA dalam kondisi masyarakat dan organisasi tertentu masih dapat efektif dalam menumbuhkan legitimasi dan kepercayaan publik, semisal pada masyarakat yang SDMnya masih rendah maupun praktik OPA di organisasi militer, yang penting tergantung pada komitmen pelayan publik, yang berusaha mewujudkan pelayanan yang memenuhi kepuasan publik. 72
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Selanjutnya demikian juga terjadi pada pendekatan lain, NPM dengan penekanan kinerja administrasi publik, yang bisa berubah ke NPS lalu menghasilkan legitimasi dan kepercayaan publik, atau langsung hanya dengan NPM mampu menimbulkan kepercayaan publik, dan seterusnya digambarkan dengan garis panah ( ) seperti bagan di bawah ini.
73
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Bagan Pergeseran Administrasi Publik dalam Public Policy reform Public Policy: 1. Institusional 2. Norm 3. Culture 4. Value
Old Administration: 1. Top Down 2. designing and implementing policies focusing on a single 3. Control by regulation 4. Client or constituents oriented 5. Bureaucratic management
New Public Manajemen 1. Economic rationality 2. Entrepreneurial spirit & Market 3. Effciency 4. Effectiveness
New Public Service: 1. Democratic citizenship 2. Community and civil society 3. Organizational humanism and new public administration 4. Postmodern Public Administration
Legitimacy and Public Trust of government
Governance 1. Dominance of network 2. The state declining capacity for direct control 3. The blending of public & private resources 4. Use of multiple instruments 74
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Simpulan Reformasi kebijakan publik adalah upaya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan dan penuh keterlibatan masyarakat, guna mendorong terciptanya layanan publik yang dapat memenuhi kepentingan pemenuhan “public good” yang berkualitas, mengakomodir pengakuan manusia seutuhnya dalam pelayanan negara, menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas publik bagi lembaga penyelenggara layanan publik. Paradigma administrasi publik, tidak sepenuhnya sempurna di antara paradigma yang ada, jika bermaksud untuk mengunggulkan salah satu pendekatan tersebut, baik OPA, NPM, Governance, maupun NPS. Pendekatan-pendekatan ini akan dapat memenuhi kepentingan pencapaian tujuan publik, bila penerapannya tepat menurut situasi dan tempat (lokus) di mana praktik administrasi publik dilaksanakan. Partisipasi dari semua aktor akan memberi kontribusi dalam upaya mencapai kearifan dan kecerdasan memilih paradima, melalui pemikiran, ide dan gagasan bersama, membuat administrasi publik memiliki kepercayaan diri, untuk merumuskan dan memformulasikan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama. Daftar Pustaka Azizy, Aqudri, 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bevir, Mark, eds., 2011. Governance. London: Sage Publications. Bingham, LB., et al., 2005. The New Governance: Practices and Processes for Stakeholder and Citizen Participation in the Work of Government. Public Administration Review • September/October 2005, Vol. 65, No. 5 Brettschneider, Corey, 2007. Democratic Rights: The Substance of Self-Government. New Jersey: Princeton University Press. Brousseau, Eric & Jean Michel Glachant, eds., 2008. New Institutional Economics. New York: Cambridge University Press. Compston, Hugh, 2009. Policy Networks and Policy Change Putting Policy Network Theory to the Test. New York: Palgrave Macmillan. Denhardt, Janet V & Robert B Denhardt, 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering. Armonk New York : ME. Sharpe. Ekelund Jr ,Robert B,& Robert F. Hébert, 2010. Interest-group analysis in economic history and the history of economic thought, dalam Jurnal Public Choice Public 75
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
Choice (2010) 142: 471–480 Department of Economics, Auburn University, 404 Blake St., Auburn. Engelen, Bart. 2007. Thinking Things Through: The Value and Limitations of James Buchanan’s Public Choice Theory. Review of Political Economy, Volume 19, Number 2, 165–179, April 2007. Rouledge Taylor and Francis Group. Frederickson, H.George & Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory Primer. Oxford : WestView Press. Gibson, C., & Michael Woolcock, 2008. Empowerment, Deliberative Development, and Local-Level Politics in Indonesia: Participatory Projects as a Source of Countervailing Power. Springer Science + Business Media, LLC 2008, St Comp Int Dev (2008) 43:151–180 Hall, Darwin C, 2009. Prescriptive Public Choice: Application To Residential Water Rate Reform. Contemporary Economic Policy (ISSN 1465-7287), Vol. 27, No. 4, October 2009, 555–565 Western Economic Association International. Hidayat, Misbah L, 2007. Reformasi Administrasi Kajian Koperatif Pemerintah Tiga Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hodgkinson, Christoher, 1978. Towards a Philosphopy 0f Administration. Oxford: Basil Blackwell. Kaufman, Bruce E., 2010. Comparative Employment Relations: Institutional and NeoInstitutional Theories. Working Paper 2010-1-2 January 2010. Georgia State University. Kennett, Patricia, 2008. Governance, Globalization and Public Policy. Northampton USA: Edward Elgar Publishing Limited. Kirkpatrick, IAN, et al., 2005. The New Managerialism and Public Service Professions. New York: Palgrave Macmillan. Kurniawan, Teguh, 2007. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik : Dari Prilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jiana Jurnal Ilmu Adm Negara, Volume 7, 1 Januari 2007, hal 52-70. Little, Angela W., 2008. EFA Politics, Policies and Progress. Brighton UK: Create 2008. Moss, Laurence S, 2010. Thomas Hobbes’s Influence on David Hume:The Emergence of a Public Choice Tradition. American Journal of Economics and Sociology, Vol. 69, No. 1 (January, 2010). American Journal of Economics and Sociology, Inc.es_685 398..430. Muhamad, Fadel, 2008. Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah. Jakarta: 76
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
PT Elex Media Komputindo. O’doherty, KC., & HJ. Davidson, 2010. ubject Positioning and Deliberative Democracy: Understanding Social ProcessesUnderlying Deliberation. Blackwell Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford, Journal for the Theory of Social Behaviour 40:2 0021-8308 Ozzane, JL.,et al., 2009. The Philosophy and Methods of Deliberative Democracy: Implications for Public Policy and Marketing. Journal of Public Policy & Marketing. American Marketing Association, Vol. 28 (1) Spring 2009, 29–40 Reksulak, Michael, 2010. Antitrust public choice(s). dalam Jurnal Public Choice (2010) 142: 385–406 School of Economic Development, Georgia Southern University, Statesboro. Saleh, A Chunaini, 2008. Penyelenggaraan Haji Era Refromasi Analisis Internal Kebijakan Publik Departemen Agama. Tanggerang: Pustaka Alfabet. Shughart II , William F., & Fred S. McChesney, 2010. Public choice theory and antitrust policy. Dalam Public Choice (2010) 142: 385–406 Department of Economics, University of Mississippi, P.O. Box 1848, University, MS Sirianni, Carmen, 2010. Citizen Participation and Dispute Resolution : Investing in Democracy: Engaging Citizens in Collaborative Governance . Brookings Institution Press, Washington : Journal of the American Planning Association, Autumn 2010, Vol. 76, No. 4 Smith, Graham, 2009. Democratic Innovations: Designing institutions for citizen participation. New York: Cambridge University. Smith, Neale, 2010. The Public Administrator As Collaborative Citizen: Three Conceptions. PAQ Summer 2010, page 238-261. Sugiharto, Bambang, 1996. Postmodernisme: Tantantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Wescott, Clay, et al., (eds.), 2009. The Many Faces Of Public Management Reform In The Asia-Pacific Region. Bingley BD16 1WA, UK: Emerald Group Publishing Limited. Widada, YS., dkk,. Edt,. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wiloto, Christovita, 2006. The Power Of Public Relations. Jakarta: Power PR Global Publishing.
77
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012