]urnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, Nomor
ISSN 1410-4946 3,
Maret 2005 (331 - 350)
Kebijakan Publik dan Praksis Democratic Goaernnnce di Sektor Pariwisata' f anianton Damanik" Abstract Tburism is a public sector that should be operated by stakeholders: goaernment, industry and the public itself in the way of a collaboratiae management. Appropriateness of the public policy ought to be seen from the planning process which inaolaes the local community and takes their interests
into account. This article argues that tourism has been deueloped through a strong control of goaernment and based on the growth paradigm. This has distorted the role of the goatrnment which should be a facilitator to be a single player
of tourism dnelopment. The industry and public itself are alienated fro* the decision making processes in tourism. The case of tourism shows that democratic goaernance has not been implemented weII and it is a challenge for the future tourism develapment.
Kata-kata kunci: Kebij akan
publik; pariwisata; democratic goaernance; pelibatan masy arakat; sumber day a.
'
Tulisan ini dikembangkan dari makalah yang disajikan pada Workshop tentang Democratic Govemance in Theory: Sebuah Gugatan atas Konsep Good Gover-nance yang diadakan untuk menyambut Dies Natalis ke-49 FISIPOL UGM pada tanggal 15-18 September 2004.
"
fanianton Damanik adalah dosen pada Jurusan Sosiatri (Pembangunan Sosial) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Vogyakarta.
331
lurnal IImu
Sosinl
& IImu Potitik, Vol' 8, No' 3, Maret 2005
Pendahuluan Diskusi tentang kebijakan publik di sektor pariwisata dengan dua hal berikut sendirinya mengantar"kan kita padi pembahasan tentang Indonesia; dan ini, yakni: pertaina, sejarah pembangunan pariwisata di beberapa selama kuat kedla, paradigma pembangunan yang dianut bahwa tampak dasawarsa terJkhir.lita ditelusuri dengan cermat maka pengaruh perkembangan pu.i*iruta Indonesia tidak terlepas dari maju negara-negara gabungan antara tingginya kebutuhan wisata dalam kuat f,"rlgoritarikan t"p"^f,igan kapitalisme global yang sangat dan media Pemuas penlediaan infrasiruktuipariwisata (Dress ,7979:7) kebutuhan tersebut. Dari data statistik diketahui, sejak tahun 1970-an permintaan oleh wisata clari negara maju terus meningkat yang. qi:""dai oleh Pergeseran pertumbuhan jurilah wisaiawan yang pesat' dan diikuti menuju destinasi dari kawasan Laut Tengah-dan Kepulauan-K'aribia lama masuk kawasan Asia Pasifik (BMZ, :p19d:23). Meskipun sudah gerbang Bali (Picard, dalam jaringan destinasi wisata global melalui Pintu
wisata global 1993:75), namun Indonesia biru tercatat dilam Pasar mancanegara seiak tairun tgg} ketika sekitar dua juta wisatawan asing mulai pemodal itu mengunjungi negeri ini. Bersamaan dengan jasa konsultansi dan menancapkan k,itrr'yu melalui investasi modal setidaknya dalam pengembungan sektor pariwisata- Pembangunan mulai dari pinggiran, kawasan di sembilan resort-resort wisata baru di Indonesia timur Nias di kawasan barat sampai ke Biak di kawasan ini Semua awal tahun 1990-an dapai dijadikan contoh untuk itu' kapitalisme ditujukan untuk merespon peimintaan Pasar wisata dan global tadi.
Faktor kedua yakni paradigma Pembangunan yang masih Untuk bertumpu pada p".tumbuhan ekorioml if;okrowinoto, 2004)'
mencapaipertumbuhanyangtingginegaradituntutuntuk sektor *ur,g"ksploitasi sumberd "yi y"ig tersedia, tidak terkecuali di at. ria * t ang gung-tu.tgg.tttg, p ariwis ata kemu di an dinob atkan p aririri
s
devisa menjadi salah satu totomotit pemUu"gunan yang akan menarik negara-negara Eropa Pada tahun 1994 misalnya, rata-rata 60 persen penduduk 5 hari',Pett-"Ti:" selama sekuring-kurangnya wisata perjalanan Barat melakukan dan Den(72 persen) i"itirrggi diraih otun l"r*an (78 persen) disusul oleh Swiss martlTr persen). Lihat: Mundt (1998:31)'
332
lanianton Damanik, Kebijalan Publik dan Praksis Democratic Governance .....
besar ke dalam negeri sekaligus mengurang defisit perdagangan luar negeri/ solusi bug masalah pengangguran yang akut dan membuka
peluang raihan pajak yan! te6in Uerut. p".,-"tapan target-target kuantitatif kunjungan wisatawan mancanegara, devisa mittiptter--eq fect dan penerimaan pajak dari sektor pariwisata dari tahun ke tahun kemudian menjadi bahasa yang Lazim ditemukan dalarn dokumendokumen Pemerintah. Untuk memudahkan pencapaian target tersebut pemgrintah juga mengeluarkan berbagai kebijakan pendukung, seperti pembebasan visa kunjungan wisata bagi tidak kuring 22 negara'dan disertai deng,an pemberlakuan fiskal ol*g Indonesia ying akan _bugi bepergian ke luar negeri-, pembukaan kantor/kantor promosi pariwisata di berbagai negara dan sebagainya. Paradigma seperti itu mempunyai implikasi yang tegas pada pilihan-pilihan pembangunan pariwiiata. Di samping mengutamakan bentuk mass tourism yang sebenamya sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara tuiuan wisata*, pembangunan
pariwisata Indonesia condong untuk melayani kebutuhan wisata masyarakat global daripada mengeksplorasi dan mengakomodasi kepentingan wisata masyarakat lokal. Dengan pilihan seperti itu maka pembangunan pariwisata lebih dimaknai sebagai eksploitasi sumberdaya pariwisatq melalui berbagai cara dan serangkaian seremoni-seremonf nasionals untuk melayini t
Meskipun tidak tersed.ia dat4 diduga pemberian insentif seperti ini tidak mampu medngkatan jumlah wisman ke Lrdonesia di waktu lampau. Oleh sebab itu dengan
dalih asas resiprositas, kebijakan sebagian dengan Visa on Arrival.
'
n t
ini akhirnya dicabut dan kemudian diginti
Pudu dasarnya pemberlakuan fiskal merupakan upaya pemerintah untuk
menaikkan penerimaan negara, narnun di tingkat implementasi kebijakan itu tidak efektif karena disinyalir banyak terjadi kebocoran-kebocoran. Dalam konteks ini bisa dipahami mengapa kemudian pemerintah berencana mulai Januari yang lalu akan mencabut kebijakan tersebut (Kompas, 18 Agustus 2004). Terlepas dari hal itu pemberlakuan fiskal luar negeri dipandang sangat restriktif karena membatasi peluang orang untuk berwisata ke luar negeri sekaligus mengurangi peluang bagi pelaku bisnis pariwisata Indonesia.
Hul ini terjadi seiring dengan pergeseran psikografis wisatawan global yang menghendaki keragaman dan keunikan produk dan pencarian pengalaman yan; utuh (total experience) dari kegiatan wisatanya. Lihai Weiler ain Halt, lgg1: Ku*punye Sadar Wisata, Sapta Pesona, Tahun Kunjungan Lrdonesia "1.g9'l,,promosi Pariwisata Indonesia di luar negeri yang semuanya ditujukan untuk menarik wisman, dapat dipahami sebagai bagian dari perhelatan nasional dimaksud..
333
lurnal llmu
Sosiat
B llmu Politik, VoL 8, No' 3' Maret 2ffi5
dibangun tuntutan pasar global. Lebih ielasnya, pariwisata Indonesia yang intemasional Pu-du di atas kekuatan atau fondasi industri pu.i*ituta alat sekaligus terhormat" "ta1nu meniadi gilirannya bukan saja [apitah#e global di dalam negeri dan.mengeliminasi peran-Peran menyetir arah kebiiakan strategis indu"stri pariwisata nasioiaf tetapiitgu ."gurl terhadap pembangunan pariwisata itu sendiri. statement Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendekonstruksi Inpariwisata berbagai kalangan tentang keberhasilan pembangunal untuk penting eddun rebih donesia, meskiiun hal itu-perru dilakukar,. dalam pembangunan publik mendiskusikJ usp"k-usfek kebijakan terutama dalam pariwisata yang selama- ini mungkin ierabaikan, norrnatif baik (good konteks ketatapJmerintahan yang tla* saja secara partisipasi dan kontrol goaernance) teilpi ;"gu memblka"diri terhadap sebag ai democratic publik secara luaq itau aPa yanq .ob1 diisdlahkan pilihar, pada uun"su.,"ini cukup rasionar sekaligus strategis, ioirruon e. potensi besar untuk mengingat pembangunan pariwisata memiliki saia mamPu *"r.,[i.,"gtcaii kepentingal publik,- di samping tentu ati hasilmenikm meningkatkan kupasitas"pubfik untuk mengeiola-dan hasilnya.
Kebijakan Publik di Sektor Pariwisata Di d.alam konvensi internasional yang dimotori oleh badan berwisata meruPakan pariwisata dunia (ywo) telah ditegaskT !uh*a terkait kepariwisataan aktivitas hak asasi *ur,"riuu. oi iutu* p.u[t"k, masyarakat' erat atau *u^yungkut eksisiensi kehiduPan bersama terkait dengan sehinggu p"r,g"lJlaannya mau tidak mi,-, sangat adalah survival kepentingan publik. Karena yang P-erlu,dilindungi untuk kehidupun b"rrama, maka U"tit"t kebiiakutt- I^1tq^tepat tentu y ang mengurusinya adalah kebij akan publik (Priyono, 2004:..722) adalah dikelola oleh negara, khususnyu p"*erintah' Implikasinya ata p ariwis infrastruktur pemerintah bertaig gungi aw ab aia s p enye di aan tersebut' manusia sebagai wujud penghormatan puat hak azasi
'
p"ngukuan yang sama tecantum dalam Magna Charta tahun 1215 dan kemudian bahwa pariwisata "as a ditegaskan lagi"dalam Resolusi PBB yang mengatakan and encouragement of praise basic and desirable human activity altuitlt g ti" 18)' 2000: KLH' dan all peoples and goverrlments" (UNDP
334
Janianton Damanik, Kebijakan Pubtik dan Praksis Demouatic Goaernance
Pemerintah memiliki otoritas kekuasaan untuk menjaga stabilitas keamanan, menetapkan aturan main dan dukungan iiriansial yang sangat elementer bagi pariwisata. Pemerintah dipat memfasiiitas-i pariwisata melalui penyediaan layanan dan melakukan pengawasan atas industri serta aktivitasnya untuk meniamin bahwa kegiatariwisata yang ditawarkan memenuhi standar dan dikembangkin sesuai dengai kebutuhan masyarakat (Elliot, 7997: Z-4). Namun corak kebijakan publik ini sangat tergantung pada visi pemerintah terhadap pembangunan pariwisati. Di atai telah disinggr.g
betapa kuatnya dominasi par"digma pertumbuhan di airu* Plmbangunan pariwisata nasional. Oleh sebaU itu dapat dimaklumi jika kebijakan pariwisata tidak bergeser jauh dari upaya untuk meniaring wisatawan mancanegara dalam jumlah belasEn-juia dengan harapan akan menghasilkan devisa dalam jumhh besart, tentu den[an segala konsekuensi plus-minusnya.
Lalu muncul pertanyaan menarik berikut:
apakah
Pengarusutamaan kebijakan seperti itu dapat berjalan efektif daniesuai dengan kebutuhan masyarakat? Perlu ditegaskankembali bahwa sejauh ini efektivitas berbagai kampanye dan promosi pariwisata Indonesia di l"1t negeri yang menelan biaya besar tidak d-ik"tuh.ti dengan jelas. Bukan maksudnya untuk menegasikan fungsi promosi dan pemasaran yang memang sangat fundamental, tetapi lebih pada r.tpuyu klarifikasi tentang perubahan Pennintaan pasar setelah intervenii p.o*osi dan Pemasaran dilakukan di luar negeri. Kekhawatiran p"Utit adalah terjadinya inefisiensi. Pembubaran outlet-outlet prombsi pariwisata Indonesia di berbagai negara bisa dijadikan pega.,gin untuk itu. Bahkan kemampuan industri pariwisata nasional menjaring wisman juga
"r,t"t masih perlu dipertanyakan. Apakah keberhasilan m"endatangkin wisman itu murni hasil jerih-payah pelaku pariwisata nasional atau sebaliknya merupakan ekspansi agresif industri pariwisata global? Misalnya pemerintah pernah mematok target wisman sebanyak 11 juta orang dengan devisa sebesar 15 milyar dolar AS irntuk tahun 2005. penetapan target tersebut terkesan irasional dan didasarkan pada optimisme yang blrlebihln, meskipun diakui bahwa krisis ekonomi dalam negeri lelah mendahiui kegagalan pencapaian target yang dimaksud. Jika hanya mengandalkan infrastruktur dan suprastruktur, pariwisata yang terbatas, maka target tersebut hanya tercapai dengan keajaiban.
33s
Vol' 8, No' 3, Maret 2NS lurnat llmu Sosiat & ltmu Politik,
untuk Dalam hal ini temuan ahli (March, 1gg7:23) menarik pada tahun 1994' disimak. Meskipu., "berhasil" menarik 4 juta wisman yang bepergian ternyata IndonJsia juga "kecolon gan" 3 iuta warganya Malaysia' ke luar negeri. Jum"lah orang fndonesia, menguniungi 2 juta orsedikitnya saja lalu Thailand dua tahun
Y,u^g singapuru dur, merupakan- Pangsa Pasar Indonesia wisatawan 2002 ur,gl fada tahun juta dan pengeluaran sebesar 1,39 total terbesar di SingaPura dengan S$ 1,1 milyar (STPB, 2004)' Sekali |agi, kebijakan fiskal yang. memPersempit Pulyllq dapat dikatakan efektif. wisatawan Indonesia ke ruar negeri jogu tia* borderless dengan Secara logika kebiiakan terseb,ributt"berangan Tut selalu tinggi yang demand pariwisaia, karena per*illu_ul .wisata dibuktikan secara mengalahkan restriksi administratif. Hal ini dapat ttu^tl:u wisatawan empirik. Data terbaru menunjukkan ketimpangan negara ASEAN lainnya' outbotmd antara Indonesia dengan beberapa beberapa eitir,y" jumlah orang IndoneJia ya!g- bepergian menuju ini ASEAN ncgara tetangga tetap meningtot. fututt lptttt t-"11*.u di sisi Indonesiat ke merupakan kawasan pengirim wisatawan terfesar tidak kalah gemuk di lain Indor."riu iriu *"tqlai Pangsa Pasar yang ternyata terdapat kawasan ini. BahIan dengut iUufiysia dan Singaprla gzd pada tahun 2002 ribu riUu dan rO5 defisit masing-masing ,"iuru, disebut-sebut sebagai yang lalu, ro"ikip.rr, t'ud,ru n€gara jiran ini sering pasar rvisata utama Indonesia ' tidak Kebiiakan yang berorientasi ke Pasar internasional itgu potensial ini karena tanpa cacat. Para ani tetan banyakrn"t grititi hal Britton 1g/9; , 1983; Khan' 1997) melahirkan ketergantungan (Wo od,, lokal dan dengan sendirinva *"r,"iur,tarkan kepentingT.Tu.tyarakat mengabaikan hal ini (Scheyve ns, L999:Z+O-ZqZ). Dalam batasan tertentu menjadi bag seharusnya yu domestik penggalian potensi wisatawan Kegairahan untuk sis pengembangan industri pariwisata t usiottal' pembangunan memberikar, laliur,an terbaik bagi wisman mendorong tetapi di infrastruktur pariwisata yang sJsuai dengan tuntutan Pasar
'
jakarta' 1997;bdk' Diq"r, Pariwisata. Analisis Pasar ryi:1t1Yu1y?:tu"egara' 2004)
t
pasar- wisatawan regional Angku ini diolah sendiri oleh penulis berdasarkan data 20M) 22 (retieved luly tu..org ASEAN 2002 (http :I lwwww.urLut
http ://wwww.aseansec-org (retrieved 22 July
336
laninnton Damanik, Kehijalun Publik dan Praksis Dettuqatic
fununce
pihak lain sering justru mema4inalkan,,Frasyarekat,lokal di daerah
tujuan wisata (Bachmann, 1988: ll2t.Meethan,,Z00lr: 4S), Banyak kasus kegagalan , , kebijakani ,'tersebut untuk mengakomodasi kebutuhan masyaraka!, d3t sebalikhya mendorong . terjadinya Proses pemiskinan yang sekaligus merintangi pencapaiai tujuan awal pembangunan pariwisata (Radetzki-Stenne r, Igtig;Luebberu
yang menunjukkan
1,995).
Ketika prioritas kebijakan diiatuhkan pada ,kepentingan wisatawan m€ulcanegara sebagai upq/a untuk mengejar pertumbrhun
ekonomi, maka pembangunan infrastruktur - menjadi simbol
perkembangan pariwisata. Gerbang-gerbang pintu masuk dibuka lebarlebar melalui kebij akan intemasionalisasi bandara-. bandara di berbagai propinsi. Perhatian pemerintah terhadap usaha-usaha. besar di sektor pariwisata begitu ti.gg, bahkan cendenrng memperlakukannya seperti anak emas karena bisnis tersebut diharapkan menjadi instmmen yang
tepat untuk menjaring devisa dan pajak. Itulah sebabnyi pengembangan mega-resort wisata menjadi fenomenal dengin dukungan penuh sektor perbankan sebelum krisis ekonomi Namun harapan tersebut bukan tidak mungkin melese! karena ilfrastruktur padat modal itu sangat potensial mengalirkan perolehan devisa kembali ke luar negeri melalui impor 6arang [onsumsi wisatawan, biaya konsultary jasa expatriat dan sebagainya. seperti diperkirakan Sigit (dikutip Uthoff, 1996:10a) tingkat kebocoran devisa pariwisata Lrdonesia mencapai 42 persen pada awal dekade 90-an. Fakta laln iuga ikut berbicara ketika pada pascakrisis hampir semua megaresort tersebut terjerat oleh hutang-hutang yang secaia logika rasional bisnis sulit dilunasi^". Euforia pada pariwisata untuk tnet gsi pundipundi perekonomian nasional kemudian,berubah menj"Ji sir,isme, karena pariwisata terbukti merupakan salah satu.raja kredit macet yang membebani ekonomi rakyat.
Persoalan lain muncul karerra kebiiakan yang mendorong penguatan sumbeldaya dan pelibatan masyarakat dalam"pemuanguna; pariwisata terlihat berhenti di batas wacana. Fola kemitraan antara usaha 10
Sebagai contotu
!"gg,u tahun 2000 yeng ta[u tgrcatat sebesar Rp 49 triliun kredit di 34 resort wisata. Lihit Majalah Eksekuiif Mareg 2000.
macet yang tersebar
337
lurnal ltmu
Sosiat
S llmu Potitik, VoL 8, No' 3, Maret
2A05
melancarkan besar dengan usaha kecil dan menengah Img diharapkan t iii.e-down ,trtfl hampii 9"ii1- untuk mengatakan tidak mekanis
^" di lapangl^". Usaira kecil dan menengah di sektor ditemukan pari*isuta dibiarkan b"e4uang sendiri .untuk tetap eksis di tengah suntikan modal yang berarti dan irrn.ungan badai krisis dan tJnpa bisnis besar bantuan kredit lunak seperti yang secara mudah diperoleh ini takluk kecil pariwisata. Bahkan tidai jarang felompok masyarakat yang secara pudu desakan ekspansi modal besar di sektor pariwisata dengan- sumber sistematis memutus mata-rantai hubungan mereka di kawasan penghiduPannya. Kasus-kasus Penggusu'ran pendudY.\ di Nias (Weber' wisata yang teriadi beberapu *ui.to Vi"g lalg, ieperti Biak (GN& L994\' IggS), Borobudur (IzDW, 1986), Nusa b.ru" dan wisata enklaf-enklaf privatisasi ruang P"blif melalui penggmb-angan ikut untuk yang #"gutibatkan *utyu*kat kehitangan akses
-
eksklusif dalam konteks menikmuti oUpt *iiutu, dan seba SmrYu:harus dipahami memuluskan selalu makro, yakni bahrva kebijakan [ariwitul? tidak trickle-down tff"t tadi, tetapi jugu ;ut* A"{5iberlangsungnya mekanisme (Tjokrowinoto' iapat rienciptuiur, k-emiskinan baru bug masyarakat pemberdayaan bagi 2004). Pariwisata bukan lagi menjadi instrumen masyarakat melainkan alat yu.g efektif untuk memarjinalisasi Peranperan mereka dalam Pembangunan' sumberdaya Partisipasi penuh masyarakat di dalam pengeloluT
pariwisata semakin jelai terabaikan ketika struktur-struktur 'pemurir",tahan berperan sebagai pengelola sekaligus distributor kepentingan srrmb"rdaya bagi masyarakat dan puiut. Atas nama sebagai umum, pemeriniah beihak mengtlaim inisiatif masyarakat komoditu, t"lilukan publik di a"atam pengembangan atraksi-atraksi peluangwisata, terlepas dari apakah hal itu kemudian mematikan
wisata' Ketika suatu peluang ekonomi inisiator pengembangan produk 1l
lihat Dahles dan untuk analisis kasus-kasus yang mendalam mengenai hal ini, Bras, 1999.
t2
menegaskan Meskipun Rencana Induk Pengembang.an Pariwisata Bali prakteknya namun fceharusan, sebagii perlinciungan masyarakat lokai utaria. Dalam hal ini Mowforth dan Munt kepentingan investoi meniadi ",t+* investor ist strictly a matter of ii6g3l m-engatakan: "susiainability for these about the availability of land for sustaining profits and their .or,."rr,, are more
golf courJei and condominia than about local needs ...".
338
lanianton Damanik, Kebijakan Publik dan Praksis Democratic Goaernance
objek dan d'ay.a talikrrryisata sudah berkem bang,,,pemerintah mengambil begitu saia"'" dari tangan masyarakat lokll dan kemudian
hanya memberikan "residu" kepada mereka. padahal hakekat partisipasi dalam pariwisata adalih "keterlibatan di dalam proses pembentukan kehidupan sebagai hak asasi yang meliputi keterlibatan dalam pengambilan keputusan, putlg.iolain dan kontrol atas pengembangan pariwis ata" (uNDp din KLH, 2000 :79-g0), bukan sekedar penyediaan sumberdaya dari dan oleh masyarakat atau
keterlibatan mereka sebagai tenaga kerja dalam pariwisaia. APU yang ingin ditegaskan dalam diskusi ini adalah bahwa g$ldigma yang dianut ketat menjadikan pembangunan pariwisata lebih urusan privat ketimbang urusan yang *Lnyungkut -m9rupakan hidup orang,banyak. Paradigma itu rienyetir plriliku penga*U1 frajat keputusary mau dijadikan apa dan untuk siapa puii*iruta. Ben"ar apa ya\8 d-isinyal-ir Pengamat, 6ahwa: "the dominant ideological and phiosophical beliefs-and aalues of tle political system wiII delermine how far Soaernments wiII interaerne in the economic system, what will be the roli of the priaate sector, and hous much support and fnance will be giaen to touism,, (Elliott, 7997: reuijakan,pariwisata yang seharusiya merupakan -sl. disusun kebijakaf Rubtik di,atas puruaig*a pembung.rr,un yang posisi-posisi sekelompok orattg 1"tifu lokal iun kupita1if T"lryutkan global). Itu berarti negara mendefinisikan sendiri kebijakan pembangunan
pariwisata, meskipun implementasi kebijakan itu^di lapJngan sebenarnya banyak mengalami distorsi, sebab hasir akhir yX.g
menyolok adalah kelompok miskin dalam proses-proses -marjinalisasi distribusi dan redistribusi sumberdaya pariwisata (Dahles dan Bras, 1'997: 66). sekalipun dalam kapasitarnyi sebagai public agency sering mengklaim keb.e?il*"*ru pada kepenting"an publik, iegara dan atau_ pemerintah lebih condong menampakkin pLru.gui y*g tidak perduli-pada quftit. Kebijakan penerapan fiskai kunyi,ngan ke luar negeri dapat dirujuk sebagai conioh. Jiki memang makr.rdr,yu adalah 13
Pengalaman seorang umar, inisiator.pengembangan kawasan konservasi monyet Iang merupakan salah satu atraksi wisata di pinggir Danau Toba, Sumatera Utara, ketika berhadapan dengan peng:fsa lokat yang;engatasnamakan,,kepentingan publik". Lihat Kompas 13 ]uli 20b5.
339
Politik, VoI' 8' No' 3' Maret 2005 lurnal llmu Sosial & ltmu
maka di dalam praktek unhrk mengurangi kebocor an, (leakage) devisa, ini. Di satu sisi pemer]niah seharusnya tidak terjadi diskriminaslberikut diri lewat aktivitas membatasi keinj;; publik untuk mengaktuarisasi di sisi lain negara namun rekreasi ke luar"r,"guii atas nama pribidi, dan biaya dinas justru merestui p# eHtg politik - atas nama negara yang diselubungi untuk melakukin pe4alanan wisata ke.luar negeri disimpulkan dapat yang APu dengan jaket ,t rai Uur,iit g dan y-ang laintn. negara dengan mudahnya kemudian adalah bahwa [alam hafpertama pubiit dan kemudian pada menyeret urusan-urusan pribadi ke ranah prlblik dengan cara kasus kedua ,r"guru memprivatisasi kepentingan fetika hal itu terjadi' menyerahkannya ke tangan-tangan indiviau' publik dan kebijakan sesungguhnya garis demarkasi aitara kebijakan itu sendiri ikut nonpublik telah"hilang, r"t ir,jgu kebijakanipariwisata) 123-124)' 2004: Priyono, kehilangan watak publiknyu'lia.dingkan: berimplikasi Pudamya watak pubtik dalam kebiiakan pariwisata positif secara h"."rpon untuk luas pada ketidakberdayaan masyarakat persaingan iklim peningkatan perubahan-perubahan Pasar wisata dan pubtik yang seharusnya Instiiusi produk wisata di tingkat global. penguatan Peran-Peran io"r,gurahkan kebiiafan p-ariwisata pada gagal melakukan fungsi masyarakat seba gai stakeholder d,an shaiehotdei adalih " that only priaillaged strategis itu. safih satu konsekuensinya in any position to coordinate' commercial and potiticat groups t...1 al of.-a new industry construct, oprr:r{, ana pr"oyit irom the, deaelopme_nt Sebaliknya masyarakat such as tourisi,', lDuhles dan Bras, 7997:66). pariwisata tetap yang merupakan target terdePal -eelbangunan yang tidak residuXt pelakuipetaku industri pariwisata menjadi hanya tidak ini Hal "r,titus pemah mencapai tingkai profesionalme optimal' itu sendiri' tetapi juga memperlambai laju ierkembangan Paliwiiata di tengah berpotensi untuk-*"r',"*patkari mereka sebagai,penon]on yang ekonomi dan peluang keramaian pemodal asing merebut pasar 2001':76)' lokal (Nugroho' seharusnya menjadi sasaran pebisnis wisata lokal yang "kebetulan" ind'ustri atau meniadi mangsa "*p,rk pelaku negara' memiliki akses istimewa pada kelompok elite 14
DPR direncanakan berangkat ke Baru-baru ini misalnya sekelompok anggota aktivitas' urgensi jelas Program' lima negara dengan biaya 2,5-milyar *piii-1at-tpa 13 iu" evJluasi kefiatannya' Lihat: Kompas' Juli 2005'
340
lanianton Damanik, Kebijakan Publik dan Praksis Democratic Goaernance
Menuju Democratic Goaernance
oleh sebab itu perubahan kebijakan publik merupakan keharusan kalau perkembangan sektor pariwisata lndonesia tidak ingin terbelenggu oleh stagnasi yang permanen. Perubahan tersebut perlu diarahkan terutama untuk menghadapi peran baru pemerintah lokal (baca: kabupaten dan kota) di dalam memfasilitasi pengembangan kepariwisataan. Intinya adalah kepemimpinan yang kuat dan visioner sehingga dapat mengambil keputusan strategis untuk mendorong Pengembangan ataupun mengendalikan pembangunan sesuai dengan nilai dan tujuan yang dikehendaki (UNDP dan KLH, 2000: 37) dan didasari oleh kemitraan segitiga antara pemerintah, swasta dan masyarakat. ]ika visi pemimpin tentang pengembangan kepariwisataan tidak jelas, maka sulit mengharapkan lahirnya suatu kebijakan yang memberikan apresiasi dan dorongan besar untuk mengembangkan pariwisata dan - lebih dari itu - untuk memosisikan pariwisata itu sendiri sebagai komoditas publik yang dikelola sesuai dengan prinsipprinsip good goaernance. |elasnya, selama ini fungsi-fungsi badan publi( masyarakat dan pasar tidak bekerja secara optimal dan sinergis, maka pariwisata akan sulit memenuhi misinya sebagai salah satu lokomotif pembangunan. Sesuai dengan itu, di tingkat praksis pengelolaary distribusi dan redistribusi sumberdaya pariwisata perlu didasarkan pada prinsipprinsip yang adil dan demokratis. Mekanisme pengelolaan yang didominasi oleh otoritas negara jelas tidak menjadi jaminan tunggal bagi bekerjanya prinsip-prinsip ketatapemerintahan yang demokratis (democratic goaernance) karena sesungguh.yu //n,eFara bukanlah pilar
tunggal pemb angunan p ariwisata" ( Ellio t, 1997 : 6 ).' " Pariwisata haruslah dilihat sebagai sumberdaya lokal (Brohman, 1996: 60), sehingga
pengelolaannya bukan hanya harus didasarkan pada kepentingan masyarakat lokal tetapi irgu pada kemampuan mereka menyediakan tenaga dan modal sosial yang lain (baca: partisipasi). Di samping berbeda.
n seperti ini sering muncul dan dimaknai secara Di satu sisi pemerintah mengartikannya sebagai jalan menuju lepas
tangan dari kewajiban-kewajiban fungsionalnya dalam pengembangan pariwisata.
Di sisi lain sektor privat memaknainl'a sebagai larangan bagi pemerintah unfuk mendominasi keputusan-keputusan strategis yang menyangkut kehidupan sektor
privat.
341
lurnal llmu Sosial
€+
Ilmu Politik, Vol.
8, No. 3,
Marct 2005
d.istribusi sumberdaya pariwisata itu sendiri, distribusi kewenangan pengelolaan bagi masyarakat jttga menjadi penting' lokal atas ]adi kalau kendali dan partisipasi penuh masyarakat satu salah menjadi arllg y peme_rintahan proses-proses penyelenggaraan diturunkan itu perlu prinsip d r*orriti, gorerrirce, makaseharusnya hal menjadi praksis pengembangan kepariwisataan. Pemerintah dituntut untuk *"*^mkun Juatu desain kebijakan Pengembangan pariwisata yang membuka peluang luas bagi masyarakat tidak saja untuk ikut *".E.,.unakan kegiatan dut sasaran-sasaran pemblngunan pariwisata' adil' Desain tetapi juga turut-sJrta menikmati hasil yang diperoleh secara ^jugX harus mengakomodasi kepentingan Pa-sal sekaligus itu memberikan hak ke mising-masing pihak untuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap-ptot"t pe-mban$lnan pariwisata tersebut' Suatu teUilatan yang me-mberikan insentif bagi pelaku wisata yang multiptie, - tfft lt pariwisata dan disinsentif bagi mampu meningkltkJn -gagal menjalankan fungsi-fungsi ekonominya atau yang
-"r"iu
mengha*Uut ie"rkembangan pariwisata itu sendiri, misalnya' merupakan pilihan Yang strategis. Memang harus diakui bahwa unsur pelibatan masyarakattt dan sektor swasta dalam Pengembangan pariwisata belum mengkristal di dalam seperti dituntut oleh suatu ketatapengelolaan yanq demokratis p*i*lruta. Sayangnya hal ini d"t gut't mudah ditemukan di daerah destinasi wisala ,tiu*u di Indonesia. Di DIY misalnya, Perencanaan digerakkan oleh elite birokrasi, sementara masih sepenuhnya -diberiperan sebagai penerima produk perencanaan masyarakit hanya masih perlu dibuktikan di lapangan yu.g tersebut. Alasan pembenir ad.alah, "that residents are unedicated and thus unable to participate in the planning process" (Timothy, 1999: 377). Demikian pula pelibatan sekior privit dipandang "tidak begitu mendesak dalam jangka pen{e\ dan memakan waktu yurrg cukup lama, sehingga tidak meniadi hal 16
Menarik untuk dicermati bahwa di dalam praktek partisipasi masyarakat lokal sering rancu karena lebih merujuk keterlibaian elite lokal di dalam pengembilan kepuLsan. Di negara berkembang dominasi elite lokal ini sangat kentara dalam mereka dapat proses pengambiLn keputururl plt g.mbangan pariwisata karena terjembatani tidak acap yang masyarakat fiitsi *urnurriuatkan i"^gur, .uidik sendiri' d.an lalu memanipulasi kepentingan komunalnya itu bagi keuntungan Lihat misalnya Brohman (1996: 60).
342
lanianton Damanik, IQbijalan Publik dan Pral<sis Democratic Goaernance .....
yang prioritas bu$ elite pemerintah" (Timothy, 1999:385). Di Balf di balik indikator statistik kepariwisataan yang mengagumkary ternyata dalam proses perencanaan pengembangan pariwisata bukan saja masyarakat namun pemerintah lokal jrgu terpinggirkan (Picard, 1993: 82).
Prinsip democratic goaernance dalam pengembangan pariwisata mensyaratkan adanya pengakuan bahwa semua stakeholder memiliki
peran-peran khusus yang jika diingkari akan mengakibatkan merosotnya kinerja sektor pariwisata secara keseluruhan. Tanpa pemerintah akan mustahil tersedia infrastruktur dasar bagi Pengembangan kepariwisataary mulai dari sarana dan prasarana fisik hingga ke kelembagaan (Elliott, 1997 : 5+56). Infrastruktur yang tersedia tidak berfungsi optimal apabila sektor swasta tidak melakukan investasi dan promosi. Juga sulit membayangkan pariwisata berkembang apabila masyarakat lokal tidak mengalokasikan sumberd aya yang dimiliki sebagai atraksi wisata. Itulah sebabnya di dalam perencanatu:t perlu diakomodasi beragam kepentingan yang diartikulasikan secara berbeda namun memiliki nilai yang sama.
Memang sering muncul kesan seolah-olah pemerintah, swasta dan masyarakat sulit duduk dalam satu entitas baru untuk memajukan pariwisata. Kesan ini tidak terhindarkan karena masing-masing pihak mengklaim diri di jalan yang benar dan lebih unggul dibandi.g ya.g lain. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi apabila se-,ru pihui menyadari bahwa pembangunan pariwisata bukan sekedar urusan
privat namun j.tgu menyangkut ranah publik, karena ia berkaitan
langsung dengan regulasi dan pengaturary pembiayaan dan insentif fiskal, tata-guna lahary pengendalian atas dampak pembangunan, penl'ediaan infrastruktur, penetapan standar (laya.*), perlindungan terhadap suatu wilayah dan pengendalian atas arus wisatawan yang biasanya dilakukan oleh negara (Swarbrooke, 2003: 88). Aktor-aktor yang berperan secara optimal di setiap subsektor akan menentukan keberhasilan pariwisata. Fungsi-fungsi yang dimainkan oleh aktor tersebutlah yang sebenamya menjadi sumber inspirasi penting dalam penyusunan kebijakan pariwisata.
343
lurrut llmu
Swiat
B Itmu Politik, VoL 8, No'
3, Ivlnret 2005
Kasus Mikro
dalam untuk melihat praksis democratic Soaernancebaiknya
pur,g"*Uangan pariwisaia di level pikro, barangkali ada dikutip sekilas konsep " tree-adopt-ion"-t' yang peinah diujicobakan m asy-arakat' p asar seb agai produk yang rnenginte grasikan kepentingan dan negara, tlrulamu dut ["tt tujuan - untuk memberdayakan loka1. Misinya adalih distribusi dan redistribusi sumberdaya maka pemerintah' ^"ryur#at pariwisata secara adil. S,tpuyu hal itu dapat terwujud
kuncinya. swasta dan masyarakat hu*t memainkan Peran (objek) Oteh karena masyarakat lokal mempunyai sumberdaya secara wisata maka mereka plrlu didorong untuk memanfaatkannya
Faktanya' oprimal. Namur, *odul fisik saji tentu tidak cukup' 'rriuryurakat belum memiliki kemampuan yang rnemadai untuk dapat *ur,g"*bangkan dan mengelo!1 sumLerdaya tersebut agr
(b aca: wisatawan) diserap pasar' (marketatrle). KJmudian tuntutan Pasar tit gs. Tultutan sangat atas kualitas dan diversifikasi produk wisata industrl inilah yang harus direspon otetr pelaku wisata, khususnya a"r,g* *""luk ,kan inovisi-inovati dut memasarkan produk alternatif '
tergantung pad-a |ela! sekali bahwa dalam hal ini mereka sangat larn, pemerintah dukungan masyarakat pemilik atraksi wisata. Di sisi regulasi, berperan untuk *"rryldiakan penyediaan infrastruktur,
masyarakat' stimulan untuk *"*p"rkuat kemitraan antar-pelaku' ]adi' dalam wisatawan, indurt i, d* pemerintah, mempunyai kesepakatan pariwisata, hat nilar; yakni raihan keuntungan optimal dari sumberdaya berbeda' relatif mereka *eskipu" ai dalam praktek kepentingan Pengelolaan sumberdaya pariwisata sektor publik secara ini dapat clemokratis dapat tercaP:u, terutama jika tiga syarat berikut dipenuhi (bdd Efliott, iggZ, 4044). Pertama, Peran strategis stakeholder tt
yTg difokuskan Konopnya sebenarnya cukup sederhana, yakni kegiatan wisata
oleh masyarakat pada penanaman pohon oleh wisatawan. biUit potrbn disediakan masing-masing itu Untuk setempat dan wisatawan membeli serta menanalnnya'
pohon memperoleh insentif: wisatawan menerima sertifikat atas penanaman kemudian masyarakat oleh dipelihara untuk "miliknya" yang meniad.i I1"g
*"rip"roieh kontraprestasi berupa dana pemeliharaan' Lihat:
Rencana
pe'gembangan Wisati Ramah Lin-gkungan ftJporan Akhir). Kerjasama Puspar
UGII dengan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup,
344
2003.
lanianton Damank, Kehijalan Publik dan Pralcsis Demotatic Governance .....
didefinisikan secara jelas dan dijalankan secara konsistery yakni siapa melakukan aPa dan dengan konsekuensi bagaimana. Kedua)ada aturan main yang jelas, mengikat dan adit bahwa pemanfaatan sumberdaya pariwisata harus ditinjau setiap saat apabila hasitttyu merugikan salah satu pihak. Ketiga, sumberdaya pariwisata dikelota secara trar,spatan dan akuntabel. Dalam konsep " tree-Adoption" tadi, kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman yang kebetulan merupakan habitat satwa serta Pengamatan satwa itu sendiri menjadi fokus kegiatan bersama antara masyarakat pemilik objek wisata, industri penyedia jasa maupun wisatawan. Masyarakat berperan untuk melestarikan atraksi dengan cara, antara lain, menyediakan bibit tanaman yang menjadi tempat perkembangbiakan satwa tersebut. Di samping itu mereka diberi hak untuk menyediakan layanan akomodasi wisata. Sektor swasta, khususnya tour operator, yang memang membufuhkan produk-produk wisata diberi Peran sebagai pengembang atau pengemas atraksi tersebut sehingga layak dijual kepada wisatawan. Pada gilirannya bibit tanaman tadi dijual kepada wisatawan untuk ditanam di lokasi sebagai bentuk keperduliannya terhadap lingkungan. Insentif yang diberikan kepada wisatawan adalah sebenfuk sertifi,kat yang menyatakan bahwa tanaman
tersebut adalah "miliknyu"
'" dan masyarakat lokal wajib
memeliharanya, dengan harapan bahqS wisatawan tersebut akan memperoleh pengalaman total berwisata" dan dalam jangka paniang akan melakukan kunjungan kembali ke lokasi atau - setidiknya memiliki ingatan terhadap objek tersebut. Insentif bagi tour operator tampak dalam bentuk lama tinggal di daerah tujuan wisata yang sertamerta akan meningkatkan revenue. Pemerintah secara tidak langsung ikut diuntungkan karena produk-produk wisata baru semakin beragam dan dengan demikian tenaga kerja lokal dapat diserap tebih b*iut, serta konservasi lingkungan berjalan sinergis dengan kegiatan pariwisata.
18
re
Untuk itu nama wisatawan dicantumkan pada setiap pohon yang ditanam. Suatu bentuk pengalaman yang diperoleh lewat aktivitas wisata yang unik dan tidak semata-mata bersifat lahiriah tetapi menjurus pada pur,guyi"n modal intelektual.
345
2005 lurnal IImu Sosial & IImu Politik, VoL 8, No' 3, Maret
Berdasarkan hal itu maka perlu diciptakan kelembagaan yang baru. pemerintah dituntut untuk mampu memfasilitasi kebutuhankebutuhan pengembangan infrastruktur. Masyarakat perlu dibekali dengan ketramp-ilan mengelola produk jasa wisata yang sering disebut ,ur",iut fragil. Di sini kolaborasi dengan hotel dan tour operator menjadi ,r,.riluk. Selagai inovasi baru tentu saja masih perlu waktu yang paniang untuk melihat sejauhmana efektivitasnya bagi pengembangan pariwisata. Namun dengan uji-coba tersebut konsep demouatic gooyryaycl yu.g masih diperdebulkun ini dapat dipraktekkan mulai dari hal-hal kecil dalam pembangunan pariwisata'
Catatan Akhir Mengakhiri paparan ini, ada empat catatan pentinl!*g terkait dengan tEbutunan akan ketatapemerintahan yang demokratis' Pertima, pemerintah dituntut untuk konsisten menialankan fungsinya sebagai fasilitator Pengembangan kepariwisataan' Di tingkat praksis' ,,"guiu harus melakukan proteksi terhadap sumberdaya pariwisata yang
u.ip menjadi sumber eksploitasi sedemikian ruPa sehingga masyarakat kehilangan akses untuk lk rt-s"tta memanfaatkannya secara optimal'
Peramplsan hak-hak masyarakat dengan mengatasnamakan kemajuan pariwisata tidak akan pernah menjamin kerberlanjutan pembangunan pariwisata itu send iri dan bertentangan dengan prinsip tetatapemerintahan yang demokratis itu sendiri. Kedua, selain bekerja
efisien pemerintatr wajib menjamin distribusi dan redistribusi sumberd'aya secara adil. Dalam pariwisata efisiensi sering mengarah pada pengejaran target dan produktivitas, tetapi hal itu tilak serta-merta *e.t betifur't gur*si Uagi pe*et,than rasa keadilan (Brohman, 7996: 62) dan bagi peningkatan taraf hidup masyarakat- Ke.tiga, proses penyusunan kebiiikan pariwisata harus dimulai dari bawah. irduryu.ukat wajib dilibatkan dalam setiap Proses itu, tidak hanya *"r,yu.gkut apa saja yang akan dikembangkan, tetapi bagaimana .ururryutut apa konsekrrensi pengembangan pariwisata itu bagi *uryurukat. Tidak kalah penting dalam hal ini adalah pelibatan kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses pada kekuasaan namun sangat ientan pada setiap gerak Pengembangan pariwisata' Keempat, d; d.i atas semua itu, semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pariwisata dituntut untuk bekerja secara 346
laninnton Damanik, IQbijalan Publik dan Praksis Danocratic Gooernance
akuntabel dan transparan di dalam pengelolaan sumberd ayapaiwisata.
Akuntabilitas semua jajaran sektor publik atas kebijakan yang -puli dijalankan akan menjamin kepercayaan publik. Demikian transparansi merupakan keharusan, agu kebijakan-kebijakan kepariwisataan tidak menjelma menjadi instrumen yang efektif untuk membohongi publik'r*:t*'F
Daftar Pustaka Bachmann, P. (1988). Tourism in Kenya: Basic Need Peter L*9.
for IMom? Bern.
'Besar, Dana fatan-Jalan DPR.' KOMPAS (13 Juli 2005).
BMZ (Bundesministerium fuer wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung)(1993). Tourismus in Entwicklungslaendern Materialien 88. Bonn: BMZ. Brittory R. (1983). 'Shortcoming of the Third World Tourism.' Dalam vogeler, I dan de souz a, A (ed.), Dialectics of rhird wortd Deaelopment. New ]ersey: hal. 241,-248. Brohman, I. Q'996).'New Directions in Tourism for Third world Development.' Annals of rourism Research, Yol. 23 No. 1, hal. 48-70. Dahles, H. dan Bras, K (1g9n 'The State, the Market, and the Role of NGOs in the Establishment of Sustainable Tourism Development: a Discussion.' Dalam Dahles, H (ed), Tourism, Small Entrepreneurs and Sustainable Deaelopment; Cases from Deaeloping Countries. Tilburg: ATLAS, hal 6S-7i.
Dahles, H. dan Bras, K. (ed) (7999). Tourism nnd Small Entrepreneurs: Deaelopment, National Policy and Entrepreneurial Culture, Indonesian Cases. New York: Cognizant Communication
Corporation. 347
Maret 2005 lurnat llmu Sosiat & ltmu Politik, VoL 8, No' 3,
Ditjen Pariwisata ( 1.997). Analisis Pasar wisatawan
MancaneSara.
jakarta.
Dress, G. (Lg79). Wirtschafts- und sozialgeographi.sche Aspekte
des
Tourismus in Entwicklungs-Iaendern. Dargestellt am Beispiel der Insel Bati in Indonesien, Muenchen'
Elliott, I. $g9n. Tourism: Politics and Pubtic sector Management.London: Methuen. reizendes GNR (Gruppe Neues Reisen), (1gg4). Massentourismus; Ein Thema.St.Peter-ording:GruppeNeuesReisen.
http://wwww.aseansec .otg (retr. 22
Iuly
2004)'
IzDW (Informationszentrum Dritte welt) (1986). Klrysc.hoen u)ar's"' aber - Tourismus in die Dritte wett. Freiburg: IzD\AI' ,Kalau Hotel pailit, pariwisata Menangis.' Majatah Eksekutif (Maret) (2000).
Khary M.M. (19g7).'Tourism Development and Dependency T"9_ry' YoL Mass Tourism vs. Ecotourism.i Annals of Tourism Research, 24 No. 4, hal. 988-99L(1995) Internationaler Tourismus als Faktor der der Insel Regionalintuticiclung in lndonesia; IJntersucht am Beispiel
Luebben,
c.
fombol<.
.
Berlin: Dietrich Reimer Verlag'
March, R. (.1,gg7). 'Diversity in Asian outbound Travel Industries.' International lournal of Hospitality Management, vol. 16 No' 2, hal. 231-238Meethan, K. (2001) . Tourism in Global society: Place, culture, consumption' New York: Palgrave.
Mowforth, M. dan Munt, I. (ed) (1998). Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third world. London: Routledge.
Nugroho, H. (2001). Negara, Pasar dan Keadilan sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
348
lanianton Damanik, Kebijakan Publik dan Prakis Democratic Goaernana .....
'Persahabatan Umar Manik dengan Kera.' KoMpAS (lT Juli 2005).
Picard, M. (1993). 'Cultural Tourism in Bali; National tntegration and Regional Differentiation.' Hitchcock, M, dkk, (eds.) Tburism in Southeast Asia. London: Routledg", hal. 7l-9g. Priyono, H. B. (2004). 'Mencari Badan Publik: Refleksi bagi Rehabilitasi Arti Pembangunan.' lurnal llmu Sosial dan llmu Politik, Vol. 8 No. 2, hal. 109-138. Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada
- Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, (2002). Rencana pengembangan wisatq Ramah Lingkungan (Laporan Akhir). yogyakarta.
Radetzki-Stenner,
M.
(1989). Internationaler Tourismus und
Entusicklungslaender: Die Auswirkungen des Einfach-Tburismus auf eine laendliche Region der indonesischen Insel Bali. Muenster: Lit
Verlag. Scheyvens, R. (1999). 'Ecotourism and the Empowerment of Local Communities (Case study),' Tburism Management, yol. za, hal.
245-249.
STPB (Singapore Tourism Promotion Board) http:llapp.stb.com .sgl ketr.
22
luly
2004)
Swarbrooke, J. (2003). Sustainable Tourism Manngemenf. London: Routledge.
Timothy, D.J. 0999). 'Participatory Planning: A view of Tourism in Indonesia.' Annals of rourism Research, Vol. 26 No. 2, haL. grl394. Tj
okrowinoto, M. (2004).'Pengurangan Kemiskinan Melalui Pariwisata: Perspektif Kebijakan Publik,' Makalah pada Seminar Regional
Penanggulangan Kemiskinan
Melalui
pariwisata,
diselenggarakan oleh Kantor Menko Kesra di Jakarta pada tanggal 20 Juli.
349
lurnat llmu
Sosial
& llmu Politik, Vol' 8, No' 3' Maret
2005
Programme dan Kantor UNDP dan KLH (United Nations Development 21 Sektoral; Kement"riur, Lingkungan Hid"pl 1ZOO0).-Agenda Secara Hidup Kualitas Agenda Pariwisata untik Pengembangan B erkelani u t an. ]akarta'
Klischees und uthoff, D. (1996). ',Tourismus in suedostasien -eurocentrischer Realitaeten; Ein Versuch zur Korrektur A (Hrsg')' Vorsteil'ngen.' Dalam: Meyer' -G dan T!i.AT' IdADW' fohannes Tourismus in der Dritten w-ett. Mainz: 73-114' hal Mainz' Gutenberg-Universitaet Nias - Tiniauln dan usulan weber, H. (1995). sektor Pariwisata di Pulau PengembansandalamKonteksPemhang"y!Berkelanjutan.St. Peter-Ordirig: Gruppe Neues Reisen - LTU' Interest Touism' London: weiler, B. dan HalL C. M. (eds) (Lggz). speciat Bellhaven. Asia., \{ood, R.E. (1g7g).,Tourism and UnderdeveloP"':":'i T:d'east
lournalofConteffipornryAsia'Vol'9No'3'haL274-287'
350
Indeks Artikel furnal tlmu sosial dan Ilmu politik Volume 8, Juli 2004 - Maret 2005 Arfani, Riza Noer, Goaernance sebagai Pengelolaan Konflik. Volume No. 3, Maret 2005, halaman 309-330.
g,
Damanik, lanianton, Kebijakan Publik dan Praksis Democratic Goaernance di Sektor Pariwisata. Volume 8, No. 3, Maret Z}11,halaman 331-350.
Darmanto, A., Kinerja TV Publik: Analisis Isi Berita TVRI tentang Kampanye Pemilu Legislatif 2004. volume g, No. 1, Juli 200[, halaman 91-108.
Effendi, Tadjuddin Noer, Mobilitas pekerja, Remitan dan peluang Berusaha di Pedesaan. volume g, No. 2, Nopember 200{, halaman 21,9-230. Herry-Priyono,8., Mencari Badan Publik: Refleksi bagi Rehabilitasi Arti 'Pembangunan'. Volume 8, No. 2, Nope-bur 2004, halaman 109-738,
Hiariej, Eric, Gerakan Anti Kapitarisme Global. volume g, No. Nopember 2004, halaman Ig9-160.
2,
Gazali, Effendi, Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi politik ke Politik Komunikasi. volume g, No. 1, Juli 2a04, halaman 5374.
Irawanto, Budi, Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan. volume g, No. 1, ]uli 2004, halaman l-16.
Kurnia, Noai, Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Volume g, No. Juli 2004, halaman IT-36.
1,
Masdukr, Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam pemilu. Volume 8, No. 1, Juli 2004, halaman 75_90. 351
lurnal IImu
Sosial
& Ilmu Politik, Vol' 8, No' 3' Maret
2005
Debat Keterlibatan Prajarto, Nunung, Terorism-e dan Media Massa: 37-52. Media. folume g, No. L, ]uli 2004, halaman
volume 8, No' 3' Maret Pratikno, Good Goaernance d.an Goaernability' 2005, halaman 231-248' dan Krisis Demokrasi' Rianto, Puii, Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi
Volume8,No.2,Nopember2004,halaman161-180. Cina dalam Perspektif Setyaningrum, Arie, Globalisasi dan Diaspora dan Identitas Post-Kolonial: Dinamika strategi Ekonomi 181'-196' halaman Budaya. volume 8, No. 2, Nope-"u"t 2004, Agenda Penelitian dalam sugiono, Muhadi,Globat Governance sebagai Nopember
2, studi Hubungan Internasional. volurne 8, No' 2004, halaman 797-272'
dan Prospek Goaernance sugiono, Muhadi,Globalis asi, Global Gorsernance
dipuniaKetiga.VolumeB,No.3,Maret2005,halaman249262.
dan Tata Pemerintahan yang Suharko,Masyarakat Sipif Modal Sosial halaman 263-290' Demokratis. volume 8, No. 3, Maret 2005,
HAM di Indonesia: Yuliarso, KurniauJan K. dan Nunung Praiarto, 3, Maret 2005, Menulu D)emocratic Goaerrorirr. volume 8, No. halaman 291-308'
352