KEBIJAKAN PUBLIK Oleh Gede Sandiasa (Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Publik) FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja BAB I PENDAHULUAN Pentingnya peranan pemerintah dalam pembangunan kiranya tidak perlu diragukan lagi. Tanpa ikut campur tangannya pemerintah, pembangunan tidak akan berhasil atau sekurang-kurangnya tidak dapat berjalan dengan lancar. Tetapi bagaimanapun baiknya dan efesiensinya suatu aparat pemerintah, setiap birokrasi selalu mengandung keterbatasan. Langkah-langkah tindakannya selalu mengikuti pola kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk-petunjuk dari atasan, dan dilakukan melalui jalur-jalur formal dan jenjang hirarki yang telah ditetapkan. Jalur dan jenjang-jenjang hirarki ini kerap kali terlalu panjang dan cukup rumit, sehingga berakibat tindakan-tindakannya tidak cepat dan tidak luwes. Akibatnya pemerintah kurang peka terhadap masalah-masalah khusus yang timbul di daerah dengan cepat dan silih berganti. Karena kurang peka dan kurang cepat tanggap terhadap masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendesak, maka dalam memenuhi kebutuhan daerah, pemerintah cendrung mementingkan hasil-hasil kuantitatip saja. Karena terdorong oleh usaha mengejar jumlah output dan sasaran waktu yang ahrus dicapai, maka para petugas pemerintah dalam menjalankan tugasnya tidak sempat memikirkan bagaimaa output yang seharusnya dihasilkan. Padahal masyarakat justru sangat berkepentingan terhadap sasaran output yang harus dicapai. Seharusnya masyarakat mengambil bagian dan memegang peranan penting
dalam
pembangunan
serta
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
pembangunan di daerah. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan pemerintah, sering juga terjadi persepsi yang berbeda ini, menurut Subanda (1994) diakibatkan oleh faktor-faktor : struktur birokrasi, sumber daya dan sistem komunikasi yang ada masing-masing daerah. Dengan analisis diharapkan bagaimana agar suatu produk kebijakan dengan judgement moral yang tinggi, sebab tidak diinginkan adanya formulasi
kebijakan publik in a moral vacuum (Horrington, 1996) dan berdimensi kemanusiaan (Hoksbergen, 1986) atau ―the collective life‖, Terry Cooper (dalam Harington diakuinya kebenaran yang hakiki dari setiap orang. Jane Mansbridge (dalam Lynn, 1995) social arrangement sebagai ungkapan lain dari kebijakan publik harus mencirikan diri pada ―public spirits‖ artinya keberpihakannya benarbenar pada rakyat utamanya masyarakat yang lemah. Chambers (1988) menyebutkan bahwa pembangunan diarahkan untuk rakyat, dari rakyat dan oleh rakyat. Dengan demikian nafas demokrasi diakui oleh para pembuat kebijakan, diperlukan adanya partisipasi politik semua pihak ―Partisipatory Public Policy‖ melalui Public Fora (Peter De Leon, 1994) Perumusan dan implementasi kebijakan hendaknya terhindar dari paham profesionalisme yang sempit. Tampaknya jalan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat bagi golongan profesionalisme, tidak begitu mudah. Tidak mudah secara mental dan kultural demikian juga secara teknis. Sekarang ini hal yang penting disadari adalah diperlukan sikap mental tertentu bagi golongan profesional yang dalam kenyataan berasal dari kelas menengah, bahkan lingkungan elit, untuk berorientasi kepada rakyat kecil, dalam konteks dan struktur birokrasi dan sistem nilai yang berlaku dalam proses pembangunan ini. Para profesionalisme bisa menimba bahan bahkan ilmu serta teknologi dari rakyat, sebab menurut pengalaman gagasan yang lahir dari proses itu mudah dimengerti oleh masyarakat karena disusun berdasarkan logika rakyat, bukan berdasarkan kemampuan kaum profesional yang biasanya bekerja diatas meja, sehingga sulit untuk dipahami apa yang mereka programkan (Chamber, 1988). Public Fora merupakan media untuk mewujudkan ―public conversation‖ (Harington, 1996), untuk mengetahui apa yang diinginkan dan diketahui rakyat, untuk kemudian dikompensasikan dengan kaum profesional dengan berbagai dalil ilmiah yang dimilikinya, sehingga ada sinkronisasi antara keinginan rakyat dengan Policy makers, juga dalam upaya untuk mengangkat Human dinity, Lasswell & Kaplan, 1950 (dalam Peter de Leon, 1994) dari rakyat itu sendiri, bagaimana berupaya mendudukkan manusia dalam posisi yang setara antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini antara Policy makers dengan target group yang dikehendaki. Dengan melalui apa yang disebut oleh Habermas
(__________, 1994) dengan ―Communicative competence‖. Semua hal ini diupayakan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat. Sehubungan dengan peranan masyarakat dalam proses pembangunan, Gant (dalam Syamsi, 1986 : 112) menyatakan bahwa peranan masyarakat antara lain : 1. Masyarakat merupakan target dari proses pembangunan. 2. Masyarakat merupakan instrumen pembangunan. 3. Masyarakat mempunyai hak untuk menikmati hasil pembangunan. Menurut R. Mayer dan Ernest Green Wood (1984). Penelitian kebijakan menaruh perhatian pada proses mencapai pemecahan suatu masalah tertentu disamping juga sebagai pemecahan masalahnya sendiri. Tidaklah salah untuk mengatakan bahwa penelitian kebijakan merupakan suatu jenis penelitian ilmu sosial terapan baru. Melalui penelitian dan analisis kebijakan diharapkan memperkaya studi kebijakan. Untuk dapat memberikan sumbangan yang positif bagi para pengambil keputusan kebijakan dan para pelaksana kebijakan (implementor). Menurut Solichin (1998) bahwa studi kebijakan diharapkan berperan sentral dalam memberikan nuansa baru dalam kerangka dasar pemikiran yang lebih baik bagi keputusan-keputusan kebijakan itu dibuat. Permasalahan
yang
menyangkut
implementasi
(pelaksanaan)
kebijaksanaan negara sekalipun telah sering diperbincangkan orang, namun sesungguhnya masih amat jarang dipelajari dan diteliti, Pressman dan Wildausky (Solichin, 1990 : 172). Implementasi dapat dikatakan sebagai memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus penelitian impelementasi kebijaksanaan, yakni kejadiankejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedomanpedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat / dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian, Daniel A. Masmanian dan Paul A. Sabatier lihat gambar 5 (Solichin, 1991 : 51). Dengan demikian pelaksanaan kebijaksanaan dapat dicermati melalui hasil atau dampak langsung yang diterima dan dirasakan oleh pengguna (kelompok sasaran) yang dituju oleh produk suatu kebijaksanaan. Keberhasilan atau gagalnya
implementasi suatu kebijaksanaan dapat dilihat dan dicermati dari sudut kemampuan yang nyata dalam meneruskan pelaksanaan program-program yang telah direncanakan. Dan bersentuhan langsung pada sasaran dari kebijaksanaan yang dibuat, artinya memperhatikan dan melibatkan kepentingan kelompok atau individu
sasaran, sehingga manfaatnya
dapat
dirasakan serta pembuat
kebijaksanaan mencapai harapan dan tujuan dari dibuatnya kebijaksanaan tersebut. Fenomena kegagalan sering nampak pada hasil pelaksanaan-pelaksanaan, ini dimungkinkan besar disebabkan kurang adanya analisa secara mendalam terhadap produk kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, dan dipengaruhi faktorfaktor yang dimiliki oleh kelompok dan individu-individu sebagai sasaran kebijaksanaan tersebut. Telah ada beberapa kebijaksanaan yang dihasilkan untuk mengatasi beberapa permasalahan yang menyangkut masyarakat atau penduduk di Indonesia, khususnya yang banyak menjadi pembicaraan para pakar dan peneliti, yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan arti kemiskinan, seperti : program IDT, pemberdayaan sumber daya manusia, penetapan upah minimum regional, GN’OTA dan lain-lain, serta kebijaksanaan tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Dalam tulisan ini akan diungkapkan proses kebijakan dari formulasi, implementasi, evaluasi, analisis dan skenario kebijakan, serta berbagai pendekatan dalam ilmu sosial.
BAB II FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK A. Pemahaman Terhadap Kebijakan Publik Serangkaian tindakan yang bertujuan, dirumuskan, dilakukan, diikuti dan ditetapkan
pemerintah
dalam
menyelesaikan
pokok
atau
permasalahan-
permasalahan publik, itulah yang dipahami sebagai kebijakan publik oleh Anderson, ―public policy is a purposive course of action followed by government in dealing with some topic or matter of public concern‖. Menurut Thomas R Dye (Islmay, 1995), bahwa kebijakan publik ―whatever government choose to do or not to do‖ (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Ini berkenaan dengan kewenangan administrasi ―administration descretion‖, untuk membuat pilihan diantara berbagai macam alternatif baik untuk
berbuat atau tidak berbuat misalnya pembatalan pembelian pesawat terbang dari Amerika, atau memutuskan hubungan dengan IGGI dan sebagainya. Dalam buku yang sama Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu : 1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai. 2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan nyata dari taktik atau strategi. B. Proses Perumusan Kebijakan Publik Proses perumusan kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 1. Merevisi Tujuan
Menetapkan Tujuan
Merevisi tujuan
Tindak lanjut dan kontrol
Menilai Alternatif
Mencari alternatif Memperbaiki pencarian alternatif
Menetapkan pilihan
Implementasi Keputusan
Pertama, pemetaan tujuan dengan syarat-syarat sebagai berikut : (a). Tidak terlalu tinggi atau rendah. (b). Tercapainya tujuan individu dan organisasi. (c). Bersifat luwes, tujuan disertai sarana pencapaian tujuan. (d). Ada tidaknya ukuran keberhasilan. (e). Mendefinisikan masalah dengan benar dan mencari alternatif yang sebaik mungkin. (f). Memahami karakteristik masalah: interdependen; subyektif; artifisial yaitu membaca dan menterjemahkan masalah; serta dinamis bahwa masalah harus disadari selalu berubah-ubah, dari struktur, agak terstruktur dan tidak terstruktur. (g). Memusatkan diri pada masalah dan bukan pada gejalagejala masalah. Dan (h). Mengantisipasi dampak positif maupun negatif. Kedua, mencari alternatif dengan cara : (a). Menggali informasi dari dalam/luar.
(b).
Menemukan
alternatif
yang
relevan.
(c).
Alternatif
berkorespondensi dengan tujuan. (d). Pendekatan yang dipakai rasional dan non rasional. Ketiga, Menilai alternatif, mengukur bobot serta kualitas masing-masing alternatif. (a). Tergantung pada kualitas SDM. (b). Faktor eksternal. (c). Membandingkan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan alternatif. (d). Berpedoman pada hasil dan tujuan. (e). Menemukan alternatif yang baik. Keempat, menempatkan pilihan dengan cara : (a). Memilih alternatif yang baik bukan yang terbaik. (b). Mempertimbangkan kriteria aksestabilitas dari segi : aktor perumus kebijakan, aplibility, ekspektansi hasil dilihat dari intended risk atau intended consequency. (c). Rasional kuantitatif atau non rasional semisal : subyektif dan kualitatif. (d). Mempertimbangkan dampak sosial politik dan ekonomis. Dan (e). Pembuatan keputusan lebih menjadi satisficer daripada optimizer. Kelima, melaksanakan keputusan dengan : (a). Pemberian kekuatan hukum dengan legitimasi atau penerapan sangsi. (b). Pelaksanaan yang efektif semisal tiadanya komplik kepentingan, rasio imbalan dengan resiko yang ditimbulkan dan dapat dipahami oleh kelompok sasaran. Dan (c). Memperhatikan aspek teknis dan kemanusiaan. Terakhir, tindakan lanjutan dan pengendalian melalui : (a). Menilai hasil nyata, dengan hasil yang diharapkan. (b). Sistem pengendalian dilakukan dengan menetapkan standar, menilai kinerja dengan standar dan koreksi atas penyimpanan. Dan (c). Melihat dampak positif atau negatif menjadikannya sebagai input baru. David Easton, mengemukakan perumusan kebijakan sebagai suatu sistem, yang dilihat bagaimana kebijakan itu dibuat dan bagaimana dampak dari kebijakan tersebut. Easton hanya melihat dari sistem fisik, tidak melihat aspek kesemestaan, dengan melihat proses itu sendiri dan dukungan dari sistem-sistem lain. Teori sistem ini lahir sebagai upaya menolak pendekatan keseimbangan dari Harol
Laswell,
menurutnya
sistem
mempunyai
hubungan
yang
saling
mempengaruhi dan juga bisa terjadi komplik serta juga integrasi diantaranya. Ini dapat digambarkan sebagai berikut (seperti gambar 2)
Gambar 2.
Sumber: David Easton, 1965
Selanjutnya untuk dapat memahami lingkungan sosial politik suatu kebijakan menurut Ann Majchrzak (1984 : 33) dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Select social problem ; menyeleksi problem-problem sosial
2.
Indentify key policy issues ; menentukan permasalahan utama yang akan ditangani dengan merumuskan kebijakan-kebijakan tersebut pada agenda pemerintah. Untuk bisa permasalahan masuk kedalam agenda pemerintah, maka masalah itu sendiri harus dipersepsikan oleh masyarakat, atau stakeholder yang lain semisal permasalahan tersebut potensial meresahkan masyarakat dan perlu penanganan segera serta adanya kemauan, keinginan dan perhatian Policy maker untuk mengangkat permasalahan tersebut.
3.
Analyze legislative history of policy issues : menelusuri proses perumusan dari orang-orang yang menyusun atau mentrasir secara squency (berurutan).
4.
Trace progress of previous research and change efforts : adanya kajiankajian penelitian sebelum masalah tersebut diangkat dan kemudian diadakan upaya-upaya penanganan.
5.
Obtain organizational chart of decision making bodies : memperoleh atau membuat bagan perumusan keputusan (kerangka pikir).
6.
Interviews stakeholders : wawancara langsung dengan berbagai stakeholder yang terlibat atau bisa melihat lansung rapat-rapat perumusan kebijakan.
7.
Synthesize information : memadukan berbagai informai lalu kemudian menganalisisnya untuk membuat suatu kajian yang mendalam.
C. Teori Inkremental Sebagai Pendekatan Perumusan Kebijakan Menurut Anderson (1979), teori inkremental pada pembuatan kebijakan, lebih sederhana. Inkrementalism (menambahkan) muncul sebagai teori keputusan yang menghindari beberapa permasalahan pada teori rasional komprehensif dan saat bersamaan lebih deskriptif sebagai langkah nyata yang diambil oleh para pelayan publik dalam membuat keputusan. Mengenai teori tersebut dapat disarikan sebagai berikut : 1.
Menyeleksi tujuan-tujuan atau sasaran dan langkah analisis empiris diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak dibedakan antara yang satu dengan yang lain.
2.
Pembuat keputusan mempertimbangkan hanya pada beberapa alternatif pemecahan masalah dan hanya pilihan-pilihan yang sifatnya marginal dari kebijakan yang sudah ada.
3.
Pada setiap alternatif dibatasi hanya para sejumlah konskwensi penting yang merupakan evaluasi.
4.
Permasalahan yang hadapi pembuat kebijakan adalah perubahan secara kontinu, inkrementalis memungkinkan perubahan cara dan tujuan terus menerus (bahkan tak terhitung) yang berpengaruh agar permasalahan lebih dapat diatur.
5.
Bukan merupakan satu-satunya keputusan atau solusi yang benar dari satu permasalahan. Menghasilkan keputusan yang baik dengan berbagai analisis untuk menemukannya dan langsung menyepakati tanpa pertimbangan apakah keputusan itu merupakan cara yang tepat untuk mencapai sasaran.
6.
Pembuatan keputusan Inkremental merupakan perbaikan yang esensial dan lebih menyempurnakan dari ketidak-sempurnaan sosial yang nyata dari peningkatan tujuan-tujuan sosial di masa mendatang.
Menurut Limblom, (1979), model ini sangat baik untuk diterapkan karena mudah mencapai kesepakatan dengan memodifikasi program-program yang sudah ada dari isu-isu kebijakan yang luas. Mengingat para pembuat kebijakan diharapkan dengan kondisi yang tidak tentu sebagai konskwensi tindakannya di masa mendatang. Pendekata ini lebih realistis mengingat keterbatasan waktu, kemampuan intelektual dan sumber-sumber yang tersedia yan dibutuhkan untuk memperoleh analisis komprehensif pada seluruh pilihan dari solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Lebih dari itu orang tidak selalu mencari jalan (pemecahan) yang terbaik dari permasalahan, tetapi lebih mendekati pada sesuatu yang akan dikerjakan secara inkremental. Keputusan singkat, hasil-hasil dibatasi, praktis, aseptable. Mengenai pendekatan inkremental ini ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita. Pertama, mengingat waktu dan dana yang dijatahkan untuk masalah kebijakan hanya terbatas. Administrator pemerintah dapat melaksanakan fungsifungsinya, membatasi perhatiannya sampai pada nilai-nilai yang relatif sedikit dan kebijakan-kebijakan alternatif yang relatif sedikit diantara alternatif-alternatif yang tak terhitung jumlahnya. Dalam teori-teori formal pendekatan inkremental jarang dibahas, organisasi dalam membahas masalah keputusa mestinya dimulai secara berurutan, seperti yang dilakukan oleh pendekatan rasional. Namun prakteknya banyak yang melakukan pendekatan inkremental. Terus menerus merumuskan permasalahan berdasarkan situasi yang ada, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit ―disebut juga succesive limited comparisons‖. Kedua, gagasan bahwa nilai-nilai harus diperjelas, ini dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan terhadap kebijakan-kebijakan alternatif, tapi pada masalah-masalah sosial hal ini tidak dapat terlaksana dengan baik sebab : a.
Mengenal banyak nilai dan tujuan yang sangat penting, para warga negara yang tidak sepaham, para anggota konggres yang tidak sepaham, dan para administtrator yang demikian juga. Bahkan apabila telah disepakati, mengenal tujuan spesifik masih memungkinkan terjadinya komplik pada penentuan sub-sub tujuan.
b.
Administrator sulit menghindari komplik dalam mencari kepastian mengenai apa yang lebih disukai mayoritas, karena preferensi-preferensi mengenal kebanyakan masalah belum pernah tercatat.
c.
Sulit menentukan nilai-nilai yang akan dipilih, bahkan nilai-nilainya sendiri (dalam dirinya), nilai mana yang akan diambil atau dikorbankan.
d.
Tujuan-tujuan sosial tidak selalu mempunyai nilai-nilai yang relatif sama. Satu keputusan mungkin dinilai sangat penting pada suatu situasi tertentu, tetapi kurang penting dalam situasi yang lain. Usaha-usaha untuk membuat urutan-urutan atau mengatur nilai-nilai dalam pengertian-pengertian umum dan abstrak sehingga nilai-nilai itu tidak bergeser dari satu keputusan ke keputusan lainnya. Akan berakhir dengan diabaikannya preferensi-preferensi yang relevan.
e.
Evalausi dan analisis jalin menjalin dengan memilih diantara nilai-nilai dan diantara kebijakan-kebijakan, pada saat yang sama dan memilihterkait dengan perhatian terpusat pada nilai-nilai yang merginal atau nilai-nilai tambahan.
f.
Meraih pengertian, memahami dan menghubungkan nilai-nilai satu dengan yang lainnya tidak diperluas sampai melampaui kemampuannya. Ketiga, pengambilan keputusan biasanya dirumuskan sebagai hubungan
means-end (cara-cara dan tujuan, menurut anggapan mean dinilai serta dipilih dari dan sebelum tujuan ditetapkan. Sedangkan inkremental mean-end dipilih secara bersama-sama. Keempat, bagaimana menentukan kebijakan yang baik. Pada pendekatan rasional bahwa keputusan yang diambil dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dimana dalam menetapkan tujuan tidak hanya menggambarkan keputusa itu sendiri, tetapi termasuk langkah-langkah implementasi, tujuan etc. inkrementalism bahwa pemufakatan mengenai kebijakan itu sendiri, mungkin atau tidak mungkin tercapai kesepakatan mengenai nilai-nilai. Kedua pendekatan tersebut menekankan kesepakatan menjadi ciri dari kebijakan yang baik. Tetapi metode rasional kesepakatan diletakkan pada unsur-unsur apakah dalam keputusan itu yang memerlukan tujuan, dan tujuan manakah yang harus didahulukan. Sedangkan metode inkremental mengandalkan kesepakatan, dimanapun kesepakatan itu diperoleh, baik dalam menentukan nilai, alternatif maupun tujuan dari kebijakan itu sendiri.
Kelima,
analisis
bersifat
non-komprehensif
bahwa
keterbatasan-
keterbatasan pada kemampuan intelektual manusia dan pada informasi yang tersedia menetapkan batas-batas yang pasti bagi kemampuan manusia untuk dapat komprehensif. Setiap administrator dihadapkan pada masalah-masalah yang sungguh-sungguh
komplek
harus
mencari
cara-cara
drastis
untuk
menyederhanakannya ―Succecive limited comparison‖ dapat dicapai dalam dua cara. a.
Penyederhanaan itu dicapai melalui pembatasan perbandingan-perbandingan kebijakan hanya sampai pada kebijakan-kebijakan yang berbeda secara relatif sedikit dari kebijakan-kebijakan yang sedang berlaku.
b.
Tidak perlu untuk mengadakan penelitian fundamental terhadap suatu alternatif serta akibat-akibatnya, yang perlu hanyalah mempelajari segi-segi dimana alternatif yang diusulkan beserta konskwensi-konskwensinya berbeda dari situasi yang ada. Penyesuaian akan terus berlangsung melalui pengaruh mempengaruhi antara kelompok-kelompok, bahkan apabila antara mereka sedang tidak ada komunikasi, apa yang diabaikan oleh kelompok yang satu akan tidak diabaikan oleh kelompok lain. Keenam,
perbandingan-perbandingan
dilakukan
bersamaan
dengan
pemilihan kebijakan, berlangsung dalam urutan-urutan kronologis. Kebijakan diciptakan tidak untuk dipakai selamanya. Tapi kebijakan akan dibuat dan diciptakan kembali terus menerus tanpa akhir. Pembuatan kebijakan merupakan suatu proses mendekati tujuan-tujuan yang dikehendaki secara berturut-turut, dimana yang diinginkan itu sendiri dan terus berubah (ditinjau kembali). Baik para politisi atau administrator belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenal dunia sosial yang begitu luas, untuk mencegah kekeliruan yang berulang-ulang. Dalam meramalkan akibat-akibat tindaka kebijakan, diharapkan dapat mencapai sebagian dari keinginan dan pada waktu yang sama akan menghasilkan akibat-akibat yang tak terduga yang semestinya lebih suka untuk dihindari. Ada beberapa hal kelebihan pendekatan inkremental. 1.
Penggunaan
kebijakan-kebijakan
masa
lampau
kemungkinan-kemungkinan akibat yan dihasilkan.
dapat
meramalkan
2.
Tidak perlu berusaha melakukan lompatan-lompatan besar kearah sasaransasaran yang akan menuntut daripada prediksi-prediksi yang ada diluar jangkauan pengetahuan (tidak pernah merupakan pemecahan masalah secara tuntas).
3.
Sesungguhnya bisa menguji prediksi-prediksi yang dibuat sebelumnya, sementara itu maju terus dengan langkah selanjutnya. Kita dapat membuat keputusan sambil melaksanakan keputusan sebelumnya. Ketujuh, pada administrator sering merasa mempunyai kepercayaan diri
yang lebih besar, apabila bekerja atas pikirannya sendiri daripada mengikuti nasehat para teoritis, mempraktekkan metode sistematik. Tidak berbelit-belit atau tidak perlu mengikuti aturan-aturan, teori-teori dan dalil-dalil yang panjang.
BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK A. Memahami Implementasi Kebijakan Publik Implementasi sebagai suatu dualisme pandangan : ekskursi dimana kebijakan itu dilaksanakan atau prosesnya, dan yang kedua mencoba melihat hasil/efek atau prestasi yang dicapai oleh suatu kebijakan atau produk yang pada awalnyadilihat secara dikotomis, pada akhirnya mereka melihat secara kontinum. Pendekotomian antara administrasi-politik oleh Frank Goodnow, ini berarti secara politik peranan diambil oleh Policy maker. Sedangkan dalam proses implementasi politik tidak terlibat. Menurut Anderson (1979), implementasi adalah hal-hal yang berkaitan dengan : 1.
Mempertanyakan siapa yang melaksanakan. Pandangan ―top down‖ mengandalkan pelaksanaan kebijakan kepada unit-unit administrasi dengan POAC. Terjadi pada semua departemen, memandang implementasi sebagai suatu pelaksanaan sempurna daripada pelaksanaan program SOP ―standard operation prosedur‖, semua tertata dengan baik.
2.
Bagaimana sebenarnya hakekat makna proses kebijakan. Hakekat dari pada proses administrasi akibat dengan telah ditetapkannya ―bottom up‖, ada semacam ramifikasi untuk mencoba melihat pada tataran implementasi di tingkat bawah. ―implementation process doesn’t work in a vacuum‖. Pelaksanaan yang sempurna pada point 1, tidak melihat faktor-faktor lain
berfungsi menunjang pelaksanaan implementasi. Maka dari itu point 2 memperbaiki, yang menyatakan ternyata kandungan politik sangat besar pengaruhnya pada kesuksesan implementasi kebijakan. 3.
Aspek kepatuhan stakeholder (s), target group. Bagaimana upaya dilakukan oleh unit administrasi yang bersifat indusif ―pendekatan endorcement‖, bukan koersif, untuk mencapai kepatuhan pada target group, namun pada tataran tertentu tindakan koersif perlu juga. Peran penyebaran informasi sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan, sebagai upaya memotivasi target group. Tingkat kepatuhan ini perlu untuk melihat apakah suatu kebijakan perlu dilanjutkan (continuiting), terminating (ditunda), atau dihentikan sama sekali.
4.
Pelaksanaan kebijakan dengan melihat konten dari suatu kebijakan tersebut, apakah betul-betul maksud yang diharapkan telah tercapai, termasuk pertimbangan-pertimbangan political and social coast. Sebab menurut pandangan G. Edward II & I Sharkanshy, bahwa tidak ada kebijakan yang ―self excecutive‖ sehingga perlu diupayakan untuk dilaksanakan. Selanjutnya hal-hal yang penting dalam implementasi menurut G. Edward
II & I Sharkanshy adalah sebagai berikut. Pertama, komitmen; pada siapa aspek masalah implementasi pertama kali disampaikan. Yang mana menurut Anderson bahwa
komunikasi
pertama
adalah
pada
para
pelaksana.
Komunikasi
dimaksudkan agar pemahaman secara jelas, konsistensi, dan adaptasi kebijakan serta mewujudkan implementasi sebagai proses belajar. Kedua, resources; para pelaksana harus didukung oleh kecukupan sumbersumber dalam arti luas seperti : human resources; finansial; tehnologi baik bersifat soft wear (pengetahuan) maupun hard wear (teknis); natural; social fsikological yang sangat berpengaruh besar antara lain : a.
Educated staff, kualitas dan kuantitas pegawai yang memadai dan proporsional.
b.
Hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh pegawai menyangkut otoritas dan responsibilitas.
c.
Akses terhadap informasi; selain menerima informasi dapat pula memberi informasi atau berhak bertanya tentang sesuatu yang mereka ingin ketahui.
Ketiga, diskresi atau disposisi bagi para pelaksana kebijakan; kewenangan untuk memilih berbagai alternatif (administration descretion), keluwesan, kebebasan mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan sedemikian rupa, sehingga berjalan sebagaimana diharapkan, maka perlu diperhatikan hal-hal semisal ; organizational interest; personal interest; policy interest dan public interest (general interest sebagai hal terpenting dan terkait dengan public interest). Diskresi diarahkan untuk melihat dua sisi, baik segi kepentingan birokrasi dan public interest. Dengan konsep ―putting in the last first‖ (melakukan yang akhir menjadi yang utama, artinya target group sebagai sasaran akhir kebijakan, kepentingannya menjadi prioritas. Semisal kebijakan tentang masyarakat desa, maka yang utama dilakukan merebut hati atau simpati masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingannya, sehingga pada akhirnya mereka dengan antusias akan mendukung kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini implementasi dipengaruhi oleh : 1. Birokrat politik 2. Insentif atau daya dorong/daya tarik 3. By pressing final; memilih orang-orang yang tepat untuk melaksanakan kebijakan. Keempat, SOP ―standard operation prosedur‖ adalah alat untuk mengendalikan dan mengontrol implementasi kebijakan sebagai bahan evaluasi kebijakan. Kelima, Follow up, dengan melihat dari indikasi suatu kebijakan, kapan diteruskan atau kapan ditunda dan dihentikan, apa yang menjadi alasannya serta kebijakan penggantinya. Fleksibilitas harus ada dalam implementasi kebijakan, sebagai upaya selektif/memilah-milah dalam pengembangan tindakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. B. Model Implementasi Kebijakan Model implementasi diperlukan
setiap
perumus
kebijakan
yang
menginginkan setiap kebijakannya berhasil. Implementasi akan berhasil bila mengikuti suatu model tertentu dan akan lebih berhasil lagi apabila menggunakan model lebih dari satu. Terkait dengan model implementasi ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu : a). Analisis implementasi; bagaimana sesuatu yang kita buat atau desain implementasi bisa menghasilkan tujuan maksimal. Maka pertanyaan
yang perlu dijawab adalah siapa yang terlibat didalam implementasi (menyangkut aktor atau lembaga), bagaimanakah kegiatan-kegiatan implementasi itu akan dilaksanakan dan faktor kritis apa yang bisa menyebabkan tujuan kebijaksanaan berhasil atau tidak. b). Dengan analisis, implementasi tidak dengan sendirinya akan berhasil mencapai tujuan, maka yang perlu dilihat adalah proses implementasi. Ada beberapa kisi yang perlu diperhatikan tentang model yaitu : tidak dengan sendirinya ketika kebijaksanaan diputuskan secara otomatis implementasi dapat dilakukan; model lebih menekankan pada apa yang terjadi sesudah kebijaksanaan dibuat; dan model lebih banyak menawarkan kepada usaha memperbaiki implementasi kebijaksanaan di masa mendatang. Mengenai model implementasi dapat digambarkan seperti model Parkins dibawah ini (gambar 3) Gambar 3
Implementasi Formulasi
Problem Sosial
Statemen Tujuan
Tujuan yang dilegistasikan
Sistem Layanan
Tujuan Program
Efek Program
Struktur Administr asi
outcome
Intervensi sosial
Politik Sosial Ekonomi
Evaluasi
Beberapa model Jan Erik Lane, 1995 Model dari Hood (1976) yaitu implementasi sebagai administrasi yang sempurna. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa untuk mencapai hasil kebijakan secara optimal dapat dilakukan dengan sistem administrasi yang terpadu misalnya : ada otoritas yang tunggal; adanya tujuan yang jelas; adanya pijakan peraturan
yang tegas;
mengendalikan:
implementasi
koordinasi,
informasi,
memiliki
kekuatan otoritatif guna
sumber-sumber
dan
mendapatkan
dukungan secara politik penuh. Hood menyebutkan bahwa implementasi yang sempurna ini sebagai tipe yang ideal dari implementasi, karenma dia melihat kegagalan-kegagalan implementasi sebelumnya disebabkan oleh tidak adanya unitary administrasi. Dipertegas lagi bahwa karakteristik dan tipe ideal Hood adalah guna mencapai kesuksesan dari pada implementasi harus diatur secara mekanis. Karakteristik model implementasi sebagai administrasi yang sempurna adalah sebagai berikut : 1.
Merupakan suatu sistem administrasi tunggal dengan menggambarkan garis otoritas yang tunggal, maka orang-orang yang akan melaksanakan harus persis seperti apa yang digariskan.
2.
Pemaksaan ―enforcement‖ yang seragam tentang aturan-aturan atau prinsipprinsip yang tunggal, pelaksanaan sesuai dengan SOP.
3.
Tujuan yang ditetapkan harus jelas. Agar si pelaksana tidak lagi memberikan suatu tafsiran yang lain dari suatu kebijakan, maka sistem administrasi harus memiliki sistem pengendalian (kontrol administrasi). Juga diperlukan koordinasi dan mendapatkan informasi yang cukup.
4.
Para pelaksana harus terbebas daria danya ―time pressure‖; tidak bisa dipaksakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, sehingga mereka tidak merasa seperti dikejar-kejar waktu, ini akan mengurangi keberhasilan implementasi kebijakan.
5.
Tersedianya
sumber-sumber
yang
tidak
terbatas;
untuk
itu
harus
dipertimbangkan mengenai premis-premis apa yang perlu disediakan. Para pelaksana dituntut mampu untuk melihat bahan-bahan yang tersedia atau disediakan serta yang akan tersedia. 6.
Political feasibility; push and full mechanism (mekanisme tarik ulur) diantara para perumus, stakeholder (s). sebab tidak akan pernah suatu kebijakan vakum oleh suatu pengaruh. Kritikan terhadap tulisan ini; bahwa mekanisme akan lebih simetri jika
dilakukan oleh implementor melalui proses bargaining baik itu melalui negosiasi atau hubungan pertukaran; mekanisme bargaining lebih penting ketimbang unsur otoritaitf; dan model ini adalah top down akan terjadi kesulitan jika implementasi
melibatkan pelaksana yang cukup banyak, hal ini disebabkan karena nilai pelaksanaan dan intensitasnya berbeda-beda. Untuk itu diperlukan riset kebijakan. Riset ini akan lebih berguna ketika implementor mengalami hambatan di dalam pelaksanaan; hasil penelitian akan lebh bermanfaat jika konsumen peneliti masuk sebagai implementor dan analisis kebijakan; riset tidak akan merubah kepentingan-kepentingan birokrasi kecuali hanya sekedar memperbaiki efisiensi layanan dan riset dengan pilihan usulan yang bervariasi akan lebih bermanfaat ketimbang pemecahan yang bersifat tunggal. Model
kedua,
implementasi
sebagai
manajemen
kebijaksanaan
(Mazmanian dan Sabatier). Model ini tercakup dengan garis-garis besar kebijakan implementasi. Didalam mana bahwa target group merupakan tujuan utama kebijakan, kemampuan strategi manajemen diperlukan bagi dukungan proses perubahan perilaku target group. Kemampuan managerial yang harus terikat dengan keputusan kebijakan. Guna mencapai kemampuan manajerial yang maksimal ada berbagai macam faktor yang seyogianya dipenuhi. Seperti tehnologi, kejelasan tujuan, keahlian, dukungan dan konsensus. Persyaratan model ini bahwa para pelaksana harus mampu melaksanakan prinsip-prinsip manajemen. Karakteristik model ini antara lain: 1.
Setiap kebijakan harus didasarkan kepada teori yang sehat, tujuan yang menguntungkan kelompok sasaran. Pendekatan bersifat ―people centre development approacht‖ (pendekatan pengembangan yang berpusat pada manusia). Yang kita kenal sebagai ―tricle down effect theory‖ yaitu growth, basic needs dan equity (pemerataan), bukan lawannya yaitu ―empire building‖ (membangun kekaisaran/memperkuat status quo). Para pelaksana menginginkan
adanya
perubahan
perilaku
pada
kelompok
sasaran
sehubungan dengan tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana dari tujuan dibuatnya suatu kebijakan. 2.
Kebijakan tersebut didukung secara nyata dan aktif oleh kelompok sasaran, tokoh-tokoh politik (ekskutif dan legislatif). Sehingga implementasi tersebut berjalan dengan baik, aseptable. Bahkan sebelum kebijakan dilaksanakan kebijakan tersebut tidak ada yang menolaknya dalam hal ini komunikasi politik sangat diperlukan.
3.
Pelaksana kebijakan harus memperhatikan faktor-faktor krusial yang mempengaruhi suatu kebijakan. Sebab tidak ada suatu pendekatan yang berakhir secara linier; keterkaitan antar berbagai aspek masih sangat berpengaruh dan tidak ada kepakuman dari proses perumusan sampai pada implementasi. Hal-hal yang berpengaruh diantaranya : adanya ambiguitas tujuan, meskipun dalam perumusan kebijakan telah ditetapkan suatu tujuan, tetapi bisa jadi para pelaksana mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai tujuan tersebut; keahlian implementor baik yang berada di dalam birokrasi maupun diluar birokrasi; dukungan dan konsensus; dan tehnologi. Ketiga, model implementasi sebagai evolusi. Ide pokoknya adalah terletak
pada kemampuan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan dan reinterpretasi atas implementasi. Model ini tidak memisahkan antara implementasi dan formulasi. Model ini memiliki kelemahan yang mempertanyakan tentang kapan sebuah implementasi itu dikatakan berhasil atau gagal. Kapan dicapai tujuan, kapan mulai sulit terpisahkan antara implementasi dan formulasi, sebab begitu hasil dicapai diformulasikan lagi dan begitu seterusnya. Model keempat, implementasi sebagai proses belajar. Pada model ini dikatakan bahwa implementasi sebagai proses belajar yang tidak ada akhirnya, dalam mana implementor terlibat secara kontinu terhadap proses penyelidikan, untuk memperbaiki fungsi dan tehnologi implementasi yang reliable. Titik sentralnya adalah perbaikan cara-cara didalam setiap pelaksanaan implementasi. Model ini merupakan penjelasan atas hipotesis implementasi sebagai evolusi, adminsitasi sempurna maupun manajemen kebijakan. Dan model ini digunakan untuk melihat/mengkaji suatu kebijakan yang dikeluarkan. Implementasi bukanlah sebagai suatu sekali tembak ―one shot‖, melainkan sebagai suatu proses. Model kelima, model simbolik yang penekanannya pada jargon-jargon politik, tehnik-tehnik implementasi termanipulasi didalam tujuan dan hasil dari kebijakan. Implementasi dipandang sebagai simbul-simbul dari kepentingan politik. Model keenam, implementasi sebagai struktur, aktor-aktor perumus dan pelaksana kebijakan (H. Jeren Porter). Diantaranya para pelaksana haruslah tercakup didalam kebijakan yang dimaksud, sehingga antara formulator dan implementor tetap konsisten di dalam tujuan dan hasil kebijakan. Meskipun
penekanan pada top down, tetapi juga tetap memperhatikan beberapa hal diantaranya kompleksitas organisasi, pemilihan kepada kelompok partisipan, perbedaan lokasi dan motif serta kepentingan. Sebagai titik penekanan yang lain yakni pada kualisi antara formulator dan implementor. Model ini memerlukan waktu yang cukup lama dan melibatkan banyak orang. Dari model-model tersebut ada dua hal yang bisa dikemukakan oleh Erik Lane antara lain: model-model yang bottom up ; skor yang tinggi di dalam pelaksanaan dan dalam realisasi di lapang. Dan model-model yang top down mempunyai skor yang tinggi dalam hal kesederhanaan dan koherensinya. Dua hal ini dibedakan atas asumsi-asumsinya, untuk model top down berangkat dari asumsi-asumsi sumber daya, keterkaitan dan kausalitas. Ada beberapa model lain yang bisa dikemukan yaitu: a). Implementasi dampak. Yang melihat dampak itu penting, namun seringkali orang lupa bahwa mencapai hal itu memerlukan banyak hal. Apakah yang ingin dicapai sudah benar-benar telah dipersiapkan, tujuan-tujuan dengan struktur yang mendukung, faktor-faktor
extraneus
dan
komponen-komponen
cukup
tersedia.
b).
Implementasi sebagai backward mapping, sebagai pemetaan kembali yaitu melihat kembali pada fase formulasi. Dalam artian jika implementasi mengalami kegagalan atau keberhasilan maka kita harus melihat kembali pada formulasi kebijakan tersebut. Sebab keberhasilan implementasi sangat tergantung pada proses awal, proses komunikasi, ada tidaknya public debate, baru kemudian pada tataran pelaksanaan (mencakup kualitas implementor). c). Implementasi sebagai kualisi (sabatier). Tidak ada satupun kebijakan yang tidak tersentuh provider policy, melibatkan semua pihak. Bila Implementasi ingin dimengerti ada suatu proses jangka panjang, perlu adanya proses belajar diantara orang-orang yang terlibat pada kebijakan. Dan model terakhir adalah model Implementasi biografi dari Adam Smith (gambar 4)
Gambar 4. Bio Grafikal Model Process
Policy Making dilaksanakan)
(dengan
asumsi
3. Implementing Organization Policy Making
bahwa
kebijakan
harus
2. Target Group
1. idealized policy
Tensions
Policy process
4. environmental factor Transactions Feed Back Aksestabilitas Aplikabilitas Ekspektansi hasil Teori Rodgers
Institutions
Adoption Process 1. Awareness 2. Information 3. Aplication/evaluation 4. Trial 5. Adoption
Menurut Smith, tidak benar begitu suatu kebijakan itu dirumuskan seolaholah langsung bisa diterapkan, karena terlampau banyak faktor internal/eksternal yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, tidak seperti pandangan model rasional komprehensif, bahwa formulasi baik maka implementasi akan baik. Tingkat implementasi paling bawah seolah-olah sudah siap, padahal kebijakan yang mereka laksanakan terlalu banyak bahkan menumpuk.kelompok kepentingan, partai oposisi, kelompok sasaran, kelompok pengaruh ―affected population‖ organisasi yang berpengaruh, seringkali ketika pada tataran implementasi melakukan modifikasi. Karena stakeholder ini begitu beragam maka modifikasinyapun bervariasi. Modifikasi sengaja dilakukan padahal mereka secara birokrasi bertanggungjawab sebagai implementasi. Mengenai hal ini perlu diperhatikan adalah : faktor kemampuan dan keterampilan yang rendah sulit
menterjemahkan kebijakan makor arsibal artinya seringkali kebijakan-kebijakan itu direvisi secara radikal, akan kesulitan ketika dihadapkan pada political feasibility, technical social etc; akibat adanya kesulitan-kesulitan itu seringkali pada implementor mengalami tensions/stress, oleh karena seringkali implementasi tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Policy making process yaitu decision—action—policy 1.
Idealized policy bahwa suatu pola interaksi yang dicita-citakan oleh perumus kebijakan yang bertujuan untuk mendukung, mendorong, merangsang kelompok sasaran untuk melaksanakan.
2.
Target group ; bagian dari policy stakeholder, dimana mereka diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang dirumuskan oleh perumus kebijakan tadi. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak mendapat pengaruh dari kebijakan. Oleh karena itulah mereka harus dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya sesuai dengan kebijakan-kebijakan itu.
3.
Implementation
organization
;
unit-unit
birokrasi
pemerintah
yang
bertanggungjawab bagi pelaksanaan kebijakan. 4.
Environment factor ; faktor-faktor atau unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan. Smith menyebut hal ini sebagai koridor yang bisa menghambat atau merintangi pelaksanaan kebijakan. Menurut Rodger dalam implementasi perlu adanya hal-hal sebagai berikut:
1.
Awareness ; bahwa formulator harus memiliki kesadaran dan kebijakannya merupakan sesuatu yang baru, yang belum dipahami oleh kelompok sasaran. Oleh karena itu adalah kewajibannya untuk meneruskan kesadaran itu pada level dibawahnya ―the gate keeper‖
2.
Information ; untuk menimbulkan kepatuhan pada kelompok sasaran maka diperlukan informasi, persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam implementasi perlu dikuasai.
3.
Application/evaluation ; begitu kelompok sasaran mendapat informasi, kemudian disaring sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk diterapkan (penyaringan/compactability).
4.
Trial (Uji Coba) ; dalam hal-hal tertentu formulator perlu mengadakan uji coba terhadap kebijakan baru, agar tidak membuat kejutan bagi masyarakat.
5.
Adoption ; setelah beberapa waktu kelompok sasaran akan memutuskan untuk menerima kebijakan secara langsung ―newly adoption‖, atau menolak ―rejection‖, atau pada awalnya menolak setelah terbukti kebenaran baru diterima ―late adoption‖ Menurut Mazmanian dan Sabatier (Stillman II, 1988), untuk melihat
efektivitas implementasi dapat dikaji melalui : A. perspektif Policy maker; B. perspektif implementor dan C. perspektif kelompok sasaran. Sedangkan mengenai keefektipan pencapaian tujuan bisa dilihat dari tiga faktor : I.
Mudah tidaknya masalah dikendalikan. a. Kesukaran-kesukaran teknis b. Keragaman perilaku kelompok sasaran c. Prosentase kelompok sasaran dari popilasi
II. Kemampuan di dalam menggambarkan struktur implementasi a. Kejelasan dan konsentrasi tujuan b. Keterpaduan teori kausalitas c. Ketepatan alokasi sumber d. Keterpaduan secara hirarki lembaga implementasi e. Aturan yang diputuskan pejabat pelaksana f. Rekruitmen tenaga pelaksana g. Akses formal pihak luar III. Faktor-faktor di luar kebijaksanaan yang berpengaruh a. Kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan tehnologi b. Dukungan publik c. Sikap dan sumber daya dalam masyarakat d. Dukungan pejabat atasan e. Komitmen dan kemajuan kepemimpinan para pelaksana Model tersebut digambarkan seperti pada gambar 5
Gambar 5
Selanjutnya model Kebijakan Publik George C. Edward III, yang dikenal dengan direct and Indirect Impact on Implementation pendekatan ini berspektif Topdown, dalam pendekatan ini menyebutkan ada empat factor yang berpengauh terhadap keberhasilan suatu kebijakan, yaitu (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi. Model implementasi kebijakan publik
menurut Edward III menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan, dapat ditentukan oleh empat (4) variabel yaitu: 1) komunikasi menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran; indikator yang digunakan adalah : a) transmisi, yakni penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik; b) kejelasan, komunikasi harus jelas dan tidak membingungkan; c) konsistensi bahwa perintah yang diberikan dalam implementasi harus konsisten dan jelas. 2) sumberdaya adalah menyangkut a) staf harus memadai, kompeten dan mencukupi secara jumlahnya; b) informasi, yang menyangkut cara melaksanakan kebijakan dan mengenai kepatuhan dari para pelaksanan; c) wewenang merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik; d) fasilitas pendukung merupakan faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan.
Setiap kebijakan harus didukung dengan sumberdaya
yang memadai, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya financial. 3) disposisi menunjuk pada karakteristik yang menempel erat pada implementor kebijakan, meliputi dua hal: a) pengangkatan birokrat, disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan, staf birokrat harus memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; b) insentif, pemberian insentif secara tepat akan mempengaruhi cara kerja para pelaksana kebijakan; 4) struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan yang menyangkut dua hal yaitu mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri yang tertuang dalam SOP pelaksanaan program (Indiahono, 2009 dan Agustino, 2006).
KOMUNIKASI
SUMBER DAYA
IMPLEMENTASI DISPOSISI
SRUKTUR BIROKRASI Gambar Model Pendekatan Direct and Direct on Implementation (George Edward III Dalam Agustino, 2006: 150) Model hybrida atau pendekatan atas dan bawah, model ini dapat disebut dengan model partisipatif. Pendekatan ini Hill dan Hope merumuskan sebagai “implementation theory: the synthesizers”.
Dengan tokohnya adalah Richard
Elomore dengan “innovative methodology; Fritz Scharpf dengan konsep “pioneering network analysis; Randal Ripley dan Grace Franklin “specifying policy type”
yang menyampaikan bahwa, proses implementasi melibatkan
sejumlah aktor penting yang melontarkan tujuan dan bersaing, di mana bekerja dalam kontekstualisasi dari gabungan semakin luas dan kompleknya program pemerintah yang memerlukan partisipasi dari berbagai lapisan dan unit pemerintah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kuat di luar kendali para aktor bersangkutan, dan tokoh lainnya adalah Paul Sabatier: towards the advocacy coalition approach.
Sabatier sangat penting, sama halnya dengan
Barret dan Fudge, yang cenderung untuk menghilangkan perbedaan antara pembentukan kebijakan dan implementasi, dengan pendapat bahwa pertama, itu membuat sangat sulit untuk membedakan pengaruh relatif dari pejabat terpilih dan para pelayan publik, sehingga menghalangi analisis akuntabilitas demokratis
dan kebijaksanaan birokrasi, sebagai topik yang tidak sepele.
Kedua,
pandangan proses kebijakan sebagai sesuatu yang mulus berikut tanpa poin keputusan,
umumnya mengesampingkan evaluasi kebijakan dan analisis
perubahan kebijakan (Hill & Hope , 2002).
Adapun salah satu model hybrid
seperti bagan di bawah ini. Gambar An Advocacy Coalitions framework of Policy Change (Model Sabatier) Relatively Stable Parameters 1. Basic attributes of the problem area (good) 2. Basic distribution of natural resources 3. Fundamental sociocultural values and social structure 4. Basic constitutional structure (rules)
Coalition A
Policy
Coalition B
a) Policy beliefs b) Resouces
Brokers
a) Policy beliefs b) Resources
Constraints and Resources of Subsystem Actors
External (System) Event 1. Changes in socioeconomic conditions 2. Changes in systemic governing coalition 3. Policy decision and impacts from other subsystems
Strategy A1
Strategy B1
Re guidance
re guidance
Instruments
instruments
Decisions By sovereigns
Sumber: Mazmanian & Sabatier, 1989 p. 305
Agency Resources and General Policy Orientation
BAB IV EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK Policy Output
A. Pemaknaan Tentang Evaluasi Kebijakan MC. Alister (Solichin, 1995), mengenai evaluasi kebijakan sebagai berikut Policy Impacts
―pollicy evaluation is now an integral part of the public policy process in which programmes are reviewed to asses wheter the have achieved their stated objectives and the interventions, has had the requisite impact‖. Evaluasi bertujuan untuk menaksirkan secara kritis dan kemudian menetapkan apakah program atau
proyek pembangunan tertentu telah mencapai tujuan atau hasil akhir yang diharapkan atau tidak. Sedangkan menurut Campbell dan Scriven menyebutkan bahwa evaluasi sebagai penilaian menyeluruh terhadap efektivitas program. Ada jenis evaluasi yang mengevaluasi hasil evaluasi, yang disebut dengan meta evaluasi, yang biasanya dilakuka setelah akhir suatu program. ―evaluasi ex ante‖ 1. Guna melihat apakah evaluasi yang telah dilaksanakan sebelumnya, telah dilaksanakan dengan tepat dan benar. 2. Kemungkinan hasil-hasil evaluasi terhadap proyek yang sejenis dijadikan satu, disistematiskan dan dianalisis. Siapakah yang dapat menjadi evaluator: 1) Para pejabat yang bertanggung jawab pada tingkat kebijakan (orang-orang yang menduduki posisi senior dalam struktur kebijakan. 2). Para pejabat yang bertanggungjawab pada tingkat program, termasuk para staf dari pemberi bantuan sebagai tanggung jawab administrasi. 3) Staf program yang bekerja pada tingkat local atau pada tingkat proyek (misalnya manajer proyek). Dan 4). Kelompok sasaran yaitu individu / kelompok yang dikenakan suatu program atau “the beneficiary”. Peran evaluator : sebagai teknisi, pengukuran tertentu atau baku, sebagai descriptor, pemberi gambaran tentang kelemahan dan kekuatan suatu program; sebagai predictor, menafsirkan kinerja suatu program (Scriven) dan responsive evaluator, sebagai penanggungjawab informan atau selaku mediator dalam proses negosiasi. Dalam Solichin (1995) menyebutkan berbagai peran evaluator. Generasi pertama, terpusat pada pengukuran tertentu misalnya dalam bidang pendidikan, keuangan dan seterusnya. Generasi kedua, mendiskripsikan pola-pola yang ada pada suatu program dengan menunjuk pada kekuatan dan kelemahan program untuk mencapai tujuan. Generasi ketiga, menaksir kinerja suatu program dan model informasi serta pada akhirnya member pertimbangan-pertimbangan alternative. Generasi keempat, bertindak selaku mediator dalam proses negosiasi. Beberapa pendapat disekitar evaluasi ; Kelin (1980), evaluasi tidak hanya untuk pengembangan metode dibutuhkan, tetapi dalam upaya pencapaian berbagai intervensi sosial yang komplek, sekali waktu pula untuk menemukan suatu kesimpulan yang sensible yang ingin diwujudkan. Menurut Morell & Flathery
evaluator harus melibatkan “constituencies” (partisipan). Cronbach dan asosiasinya; mengatakan pentingnya evaluator yang professional sebagai sine qua non dalam pemanfaatan dan dampak evaluasi yang menurutnya : evaluasi terhadap proyek diletakkan untuk perwujudan implikasi-implikasi proyek di masa mendatang melalui perkembangan dan akumulasi pengetahuan yang reasonable dan lebih menekankan pada akomodasi berbagai komplik ketimbang prosedur komando. Dalam kesimbangan dan kesadaran ketika dalam ruang akomodasi interpretasi keluasan dan komplik dari setiap interest dalam kebijakan yang secara tidak kentara sebagai studi kelompok untuk memelihara atau melepaskan netralitas (Carol Weiss). Policy maker sebagai nilai instrumental yang melibatkan perubahan praktis atau prosedur yang merupakan hasil langsung dari temuan evaluasi konseptual. Melibatkan perubahan pada titik pandang Policy maker atau pemimpin proyek atas kebijakan dengan studi evaluasi dari program-program yang berhubungan (Corner). Dan Oleh Cook dan Weiss tentang konsep ini dimaksudkan untuk mengembangkan cara dan gagasan yang berorientasi pada masa mendatang. Ada sejumlah syarat yang dipakai oleh sejumlah pakar kalau kita mencoba menguakkan atau mencerminkan pada persoalan-persoalan politik, gagasan kita terjebak pada hal-hal yang atau mencerminkan pada persoalan-persoalan politik, gagasan kita terjebak pada hal-hal yang bersifat politis tapi lebih ditekankan pada fesebilitas politik, mana yang sekiranya aspek-aspek politik yang menghambat atau mendukung kebijakan yang dibuat atau mana yang rentan dengan “Policy Dilemma”. Point 2 eksplorasi kualitatif, dapat mengungkapkan melampui dari perhitungan rasional ekonomi; sampai mengapa itu terjadi/mengapa kausalitas itu terjadi. Harus ada perhatian yang besar pada aspek kearifan atau “Tacit Knowledge”. Selanjutnya muatan evaluasi yakni aktivitas, dampak dan efisiensi baik financial maupaun politik. Bagaimana mencapai rasionalitas nilai, penilaian menyeluruh terhadap efektivitas program (Campbell & Scriven), apakah actual output dan expected output, evaluasi tentang tindakan pemerintah, untuk siapa, mengapa dilakukan,
konskwensinya apa, impact bagaimana, pengungkapan the hidden dimension seperti ongkos sosial dan politik.
B. Manfaat dan Fungsi Evaluasi Kebijakan Manfaat evaluasi : peningkatan kualitas dan impact kebijakan, member informasi tentang pelaksanaan suatu proyek atau program, member informasi pada para penanam modal, mengetahui cara-cara penyempurnaan pelayanan, dan apakaha tujuan serta kepentingan target group dapat dicapai. Fungsi penelitian evaluasi (Dussel Dorp, 1994) adalah evaluasi dapat mengemban fungsi pembelajaran dalam artian bahwa dengan evaluasi dapat diketahui kondisi-kondisi yang membuat suatu program sukses atau mengantar kepada kegagalan. Adapun fungsi lainnya adalah: sebagai kemudi manajemen, kontrol dan inspeksi, akuntabilitas (cost apakah sama atau tidak dengan output), dan sebagai fungsi kepenasihatan dalam rangka menghindari resiko dan perbaikan program. Tiga unsur dasar penelitian evaluasi adalah : 1. Analisis
teoritis
mengenai
asumsi-asumsi
program
(pengumpulan
informasi) 2. Penelitian terhadap komponen-komponen program (kepentingan para stakeholder) 3. Pembagian teliti atas pendekatan-pendekatan alternatif. Unsure-unsur evaluasi lainnya adalah informasi yang sistematis, bermanfaat bagi yang berkepentingan, pemahaman yang mendalam terhadap perubahan akibat suatu kebijakan dan member dukungan dalam pengambilan keputusan atau upaya perbaikan program. Weiss, penelitian evaluasi bermaksud agar dimanfaatkan segera dan langsung untuk memperbaiki kualitas program sosial. Namun tinjauan menyeluruh atas pengalaman-pengalaman evaluasi menunjukkan bahwa hasil evaluasi ternyata tidak membuahkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan program. Ada beberapa tipe pemanfaatan evaluasi. Pertama, instrumental, hasil dipergunakan oleh pengguna dalam setiap langkah maupun keputusan. Kedua, secara konseptual, hasil evaluasi secara konsep dapat diterima dan diperhatikan
oleh para pengguna (masih dalam pikiran saja). Ketiga, persuasive penggunaan hasil hanya untuk mempengaruhi atau untuk menggalang kekuasaan. Meskipun evaluasi telah dilakukan dengan baik dan dengan metode yang canggih, tapi pemanfaataannya tidak maksimal bahkan tidak jarang hanya masuk laci para biokrat. Sebab banyak halangan yang ada diseputar pemanfaatan hasil evaluasi sehingga rendah pemanfaatannya. Mengenai hal ini menurut Huran Institute, Lyn dkk (Solichin, 1995) bahwa : 1. Rendahnya kualitas penelitian, dilihat dari sudut kepentingan pengguna sama sekali tidak mempunyai implikasi-implikasi praktik. 2. Daya kegunaannya diragukan atau tidak diketahui atau orang lebih memilih untuk tidak menggunakan. 3. Evaluasi tidak menghasilkan dampak, karena dampak tidak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang dilakukan oleh banyak individu di pemerintah. Sedangkan menurut Shadish dalam buku yang sama bahwa hal-hal yang mempengaruhi kemanfaatan hasil evaluasi adalah : 1. Dianggap mengancam kepentingan yang telah mengakar. 2. Para manajer terbiasa bekerja dengan caracara tertentu, yang dirasa sebagai sesuatu yang nyaman dana aman. 3. Para pengambil keputusan-keputusan menggunakan berbagai sumber informasi dengan berbagai cara. Sebenarnya evaluasi juga diharapkan bisa memberdayakan dan member peluang bagi pihak klien. Konsep ini yang dikenal dengan pendekatan “kosmetik simpatik” dimana didalamnya ada sharing of power (empowerment), pengguna sebagai pelanggan, “consumer driven approach”, hak konsumen adalah selain dilayani, juga perlu didengar pendapatnya. Dengan demikian kemungkinan pemanfaatan terhadapa hasil evaluasi akan lebih baik, sebab para klien merasa ikut bertanggungjawab dalam menentukan hasil evaluasi dan rekomendasi. Makna konsumerisme (Pollit) sebagai sebuah kontinum yang bergerak mulai dari kepedulian terhadap konsumen dengan menyediakan informasi yang semakin banyak dan baik kepada para pengguna jasa, hingga upaya pemberdayaan dimana para konsumen dilibatkan dalam manajemen dan pemberian pelayanan itu sendiri. Namun dalam hal pelayanan kadangkala terjadi distorsi, yang mana :
1. Berasal dari dampak pengaruh yang melampui hal-hal yang tengah dievaluasi. 2. Berasal dari tingkat aspirasi awal dari para pengguna yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : a) para pengguna telah terbiasa dengan pelayanan yang berkualitas rendah (menerima apa adanya), b). para pengguna tingkat pengetahuannya rendah mengenai jenis pelayanan (pelayanan yang diberikan), c). informasi dan kapasitas para pengguna mempengaruhi preferensi-preferensi tidak terdistribusikan secara merata. Ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan hasil evaluasi adalah : para evaluator dan para pengguna; pengolah informasi oleh para pengguna; kredibilitas evaluasi yang memenuhi criteria timing yang tepat, transfaransi dan juga konten dari evaluasi; dan keterlibatan para pengguna dalam penelitian evaluasi. Yang terefleksikan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Relevansi; dengan kebutuhan tertentu dari pihak pengguna. 2. Komunikasi; keakraban komunikasi antara pengguna dan evaluator, tidak terjadi distorsi, disiminasi informasi, mereka sering menggunakan evaluator atau perantara. 3. Pengolah informasi; dituntut jelas dan syarat dengan pertimbangan, informasi yang relevan berkualitas, komunikasi tertulis ataupun lisan, disampaikan secara terbuka dengan metode yang baik dalam bahasa yang praktis, mudah dimengerti dan bila dilaksanakan nyata hasilnya. 4. Kredibilitas; pertimbangan rasional politik dan akademis, mempercayai hasil penelitian ketimbang Intuisi, evaluator terlatih dan menguasai bidang yang diteliti hingga tidak seorangpun dapat menyangkal kualitas metode yang dipergunakan. 5. Keterlibatan pengguna dan advokasi (dalam kontek politik dan komitmen individu), ini akan memungkinkan beberapa hal antara lain :
Mudah berintegrasi dengan hasil penemuan.
Komitmen individual pembuat keputusan menentukan apakah evaluasi akan digunakan.
Menggunakan pendekatan kepemilikan hasil evaluasi mudah meresap keseluruh pengguna.
Pemanfaatan temuan evaluasi secara konsepsual bersifat serta merta.
Pengguna akan lebih mudah diadvokasi.
Proses pembuatan keputusan tidak lagi menjadi monopoli para evaluator.
Kasus di Indonesia mengenai evaluasi tidak berkembang pesat. Ini dikarenakan tidak tersedia informasi dan data yang transparan, proses politik dan pelembagaan tidak teratur, banyak terjadi korupsi, perumusan terburu-buru oleh karena permasalahan terlalu banyak, pusat kekuasaan tidak terbagi secara merata, sering terjadi perubahan ditiap daerah, adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan ideology, terbelenggu oleh struktur dan birokrasi yang ketat dan apa yang senyatanya mereka kerjakan dan pikirkan sering merupakan rahasia ―silence dan secrecy‖. Menurut Abidin bahwa ―evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kebijakan‖, namun pengertian evaluasi secara lengkap mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) evaluasi awal dari proses perumusan kebijakan sebelum diimplementasikan; (2) evaluasi dalam proses implementasi atau monitoring dan (3) evaluasi akhir yang dilakukan setelah selesai proses implementasi kebijakan. Penilaian yang hendak dicapai dalam evaluasi adalah menyangkut: efisiensi, keuntungan, efektif, keadilan, detriment (indikator negatif dalam bidang sosial) dan manfaat tambahan (Abidin, 2012). Evaluasi kebijakan bersangkutan, dengan persoalan dengan untuk menentukan dampak dari kebijakan terhadap kondisi kehidupan nyata. Menurut James Anderson, ungkapan "mencoba untuk menentukan" digunakan karena, seperti yang akan menjadi jelas, menentukan efek yang sebenarnya, atau konskwensi-konskwensi, kebijakan seringkali merupakan tugas yang sangat rumit
dan sulit. Minimal, evaluasi kebijakan mengharuskan untuk mengetahui apa yang ingin dicapai dengan kebijakan yang diberikan (tujuan kebijakan), bagaimana berusaha untuk melakukannya (program), dan jika ada, apa yang telah dicapai menuju pencapaian tujuan (dampak atau otcomes), dan hubungan hal tersebut dengan kebijakan). Dan dalam mengukur prestasi, perlu menentukan tidak hanya bahwa beberapa perubahan dalam kondisi kehidupan nyata telah terjadi, seperti penurunan tingkat pengangguran, tetapi juga bahwa itu karena tindakan kebijakan dan tidak karena faktor-faktor lain, seperti ekonomi swasta keputusan (Anderson, 1979). Menurut hasil penelitian Compston, bahwa penerapan kebijakan publik di masa depan di arahkan pada upaya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan: 1) kebijakan bisnis Lebih ramah; 2) kebijakan ketenaga-kerjaan lebih ramah; 3) kebijakan lebih institusif, teknologi dan internasionalisasi, penegakan hukum dan keamanan; 4) kebijakan berpihak pada perempuan lebih ramah; 5) kebijakan sosial lebih liberal; 6) kebijakan penanganan lingkungan lebih kuat; dan 7) kebijakan
untuk
melawan
efek
negatif
dari
inovasi
teknologi
dan
internasionalisasi ekonomi yang lebih kuat (Compston, 2009). Menurut Masmanian dan Sabatier, penilaian evaluasi pada realisasi dampak output kebijakan berarti telah peduli dengan pencapaian tujuan program, sesuai dengan harapan yaitu: (a) output kebijakan dari lembaga pelaksana konsisten dengan tujuan undang-undang, (b) kelompok sasaran akhir sesuai dengan output kebijakan, (c) tidak ada "subversi" output kebijakan yang serius atau undangundang mengalami dampak yang saling bertentangan, dan undang-undang yang menggabungkan teori kausal yang memadai menghubungkan perubahan perilaku
dalam kelompok target untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. Dampak yang dirasakan akan menjadi fungsi dari dampak aktual, mengharapkan korelasi yang tinggi antara predisposisi awal menuju undang-undang dan persepsi serta evaluasi dampak. Selain itu, sesuai dengan undang-undang kognitif baik akan (a) melihat dampak-dampak yang tidak konsisten dengan tujuan undang-undang, (b) melihat undang-undang tidak sah, dan/atau (c) mempertanyakan validitas data dampak (Masmanian dan Sabtier, 1989). Dampak dari kebijakan memiliki beberapa dimensi, semua yang harus diperhitungkan dalam proses evaluasi. Ini termasuk: 1. Dampak pada masalah publik yang diarahkan dan pada orang yang terlibat; 2. Kebijakan mungkin memiliki efek pada situasi atau kelompok lain selain seperti apa yang menjadi harapan, efek ini disebut dengan eksternalitas atau spillover; 3. Kebijakan mungkin berdampak pada masa depan serta kondisi saat ini; 4. Biaya langsung dari kebijakan merupakan komponen lain dari evaluasi, dan 5. Kebijakan mungkin menimbulkan biaya tidak langsung dari masyarakat atau sebagian dari anggotanya (Anderson, 1979).
BAB V ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN A. Pengertian Analisis Kebijakan Ericson (Solichin, 1998); analisis kebijakan publik adalah merupakan penelitian yang berorientasi di masa depan dalam merancang cara-cara optimal dalam mencapai serangkaian tujuan-tujuan sosial. Dan menurut Dror dalam buku yang sama; analisis kebijakan public adalah suatu pendekatan dan metodelogi untuk merancang dan mengidentifikasi pilihan-pilihan alternative dalam menangani isu kebijakan yang komplek dari sudut para pembuat kebijakan. Ini berarti analisis kebijakan mencakup serangkaian aktivitas kreatif yang
dimaksudkan untuk pengembangan, koordinasi administrative dan politis, implementasi, monitoring dan evaluasi.
B. Institusi-institusi Analisis Kebijakan Tugas Institusi sebagai “think tank” (tangki pemikir) yakni menawarkan informasi dan alternatif-alternatif kebijakan adalah tugas pemerintah untuk menggunakan atau tidak menggunakan informasi itu dan untuk memilih atau tidak, memilih diantara alternatif-alternatif yang disodorkan. Adapun beberapa institusi tersebut dibagi menjadi : 1. Badan-badan administrasi pusat, menetapkan dan mempersiapkan kebijakan-kebijakan dalam pedoman-pedoman operasional. 2. Institusi-institusi
yang
bertugas
untuk
menghimpun
informasi
kecenderungan pilihan-pilihan kebijakan. 3. Dewan penasehat dalam upaya pengembangan dan koordinasi kebijakan atau mempunyai kerjasama dengan pemerintah / spesialisasi sendiri. Di Indonesia DPR adalah tangki pemikir juga analis bahkan pengawas, masih sering dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Legislatif berada dibawah pengaruh eksekutif oleh Baehr (1986) disebabkan hal-hal sebagai berikut: a), merekrut orang-orang yang seideologi, b). memangkas anggaran keuangan, c). menolak dan menunda member komentar atas laporan dewan dan, d). memberondong dewan dengan berbagai permintaan nasehat kebijakan.
C. Pentingnya, Tujuan Analisis Kebijakan Analisis kebijakan menjadi penting oleh karena : semakin kompleknya tanggungjawab urusan dan program yang dilaksanakan pemerintah; sebagai proses demistifikasi, bahwa kemajuan yang ingin dicapai adalah melalui program yang telah terencana dengan baik untuk mencapai tujuan di masa mendatang, untuk meningkatkan kualitas keputusan. Adapun tujuan analisis adalah merumuskan
kebijakan
dalam
suasana
problematik,
mempertahankan keputusan-keputusan birokrasi yang sudah ada.
bukan
sekedar
D. Peran Analis Kebijakan Meskipun dalam tujuan telah tergambar seperti itu, namun peran analis dibatasi oleh tujuan analisis, dukungan sumber financial, sikap Policy maker (s) dan akses terhadap informasi bagi keperluan analisis. Adapun peran analisis adalah sebagai berikut: a. Mampu menyediakan suatu pedoman kebijakan mengenai langkahlangkah strategis yang harus diambil oleh Policy maker, khususnya mengidentifikasi masalah politik yang dihadapi serta penyusunan sebuah scenario kebijakan tentang tindakan strategi yang perlu diambil yang efektif, efesien dan logis. b. Mempunyai fungsi kepenasihatan politik ―Politic advocacy” c. Mengidentifikasi berbagai aktor baik yang mendukung maupun yang menolak kebijakan.
E. Keterbatasan Analisis Kebijakan Publik 1. Konotasinya yang sering mengarah pada logika kalkulatif, kuantitatif dan matematis. 2. Tidak dapat menyediakan jawaban yang cepat untuk masalah-masalah yang ruwet dan tak bisa dimanajemen. 3. Tidak merupakan ilmu pasti dan tak akan menjadi demikian. 4. Bukanlah sebuah obat mujarab, “the panacea” bagi kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kebijakan public (untuk point 3 dan 4 dipertegas oleh pendapat Edward S. Quade, 1975). Akan
mengalami
kesulitan
dalam
menciptakan
kepercayaan
public,
membangun koalisi, melakukan negosiasi/kompromi dengan stakeholder (s), ini menyangkut system politik atau dinamika politik tertentu.
F. Pendekatan-Pendekatan Analisis Kebijakan Publik Pembuatan kebijakan yang didasarkan pada intuisi/naluri (Dror) ke penggunaan metode-metode penelitian dan evaluasi yang lebih rasional dan terstruktur dengan berbasiskan informasi-informasi yang akurat dan melibatkan aktivitas berpikir penuh pertimbangan adalah menjadi sangat penting. Menolak
anggapan bahwa dengan metode ilmiah dapat diperoleh pemahaman yang netral dan obyektif atas isu-isu kebijakan. Meyakini adanya kemajuan dan pluralism nilai-nilai dan argument yang bisa dimanfaatkan untuk memahami berbagai isu kebijakan. Adapun sifat pendekatan analisis adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan konstektual yang berfungsi memetakan konteks kebijakan, mengintepretasikan apa yang terjadi dan pada saat yang sama terjadi berbagai pemahaman atau bertukar pikiran untuk mengkaji atas peta yang dibuat. 2. Lebih bersifat filosofis dan kritis terhadap asumsi-asumsi yang melatarbelakangi suatu kebijakan, memungkinkan seseorang mencermati secara kritis pandangan orang lain, terjadi “meeting of assumption” (perjumpaan asumsi) 3. Mempromosikan dan mempengaruhi gagasan-gagasan, yang dimaksudkan menghubungkan antara upaya analisis dengan studi-studi proses, dimana gagasan-gagasan informasi terlibat dalam persuasi politik. Adapun pendekatan-pendekatan analisis kebijakan. Pertama, analisis kebijakan partisipatif / AKP (Dan Durning), meyakini fenomenologi sebagai cara yang lebih baik, yang interatip dan hermeneutic sebagai paradigm ilmiah yang terdiri dari : AKP untuk kepentingan partisipatif, AKP sebagai penyedia analitik, AKP intepretatif dan AKP untuk kepentingan stakeholder. Kedua, analisis kebijakan sebagai diskursus (White) yakni : diskursus analitik, diskursus kritis, dan diskursus persuatif. Tehnik-tehnik analisis. Pertama pendesain sistem informasi atau analisis system dari Quade (1966), yakni analisis guna membantu pembuat kebijakan mengidentifikasi suatu pilihan tindakan tertentu yang diinginkan diantara sejumlah alternative yang tersedia. Selanjutnya dalam menganalisis suatu kebijakan dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Perumusan masalah dengan tepat, menetapkan tujuan kebijakan. b. Mencari alternatif-alternatif yang mungkin c. Menilai dan merangking alternative d. Menentukan alternative yang tepat sesuai dengan tujuan.
G. Netralitas Analisis Kebijakan Reinn (1976) pemikiran bahwa analisis itu sepenuhnya haruslah ilmiah, tidak memihak dan tidak berperasaan serta bebas nilai, hal ini sesungguhnya hanyalah sebuah mitos. Sebab penelitian sudah pasti dipengaruhi oleh keyakinankeyakinan dan asumsi-asumsi penelitinya. Myrdall mengatakan bahwa studi tentang suatu persoalan sosial memang harus ditentukan oleh penilaian-penilaian ilmu sosial yang tidak memihak sesungguhnya tidak ada. Untuk mencapai obyektivitas adalah dengan membeberkan secara transfaran serta menyajikan secara sadar, spesifik dan jelas. Sebagai kesimpulan bahwa yang menjadi pusat perhatian analisis kebijakan adalah : isu kebijakan bagian dari policy space, substansi kebijakan, waktu dan fisibilitasnya; tindakan-tindakan politik yang diambil; kualitas isu dan kontek kebijakan itu sendiri; dan mekanistik-atomistik ke sistematik-holistik. Menurut Habermas dengan analisis, selain nilai atas efesiensi materi yang ingin dicapai, juga para aktor dibimbing oleh norma-norma tertentu dan nilai berdasarkan kepantasan sosial dan legitimasi.
H. Pentingnya Pertimbangan Kelayakan Politik Memahami berbagai aktor utamanya “mayor player” bagaimana mereka melakukan pengaruh, pola interaksinya tentang aspek-aspek politik serta implikasi politik yang terlibat. Sebab perlu disadari untuk menghasilkan sebuah kebijakan dari hasil transaksional dari para aktor melalui loby-loby, tawar menawar, negosiasi atau kompromi yang intinya dalam proses ini siapa memperoleh apa, berapa banyak, kapan dan dengan cara bagaimana. Sebab kebijakan publik sesungguhnya bersangkut paut dengan persoalan kekuasaan dan hubungan kekuasaan dalam lingkungan system politik. Analisis akan sangat tergantung pada peran yang diambil oleh analisis, pengetahuannya dan lingkup kebijakan yang ditangani. Dalam hal kelayakan politik ini ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita. Pertama pemahaman atas implikasi dan dampak politik dari setiap kebijakan. Kedua, masih langkanya metodelogi yang tepat.
I. Skenario Kebijakan Publik Skenario menurut Encel (Solichin, 1998) adalaha merupakan langkahlangkah hipotetik yang difokuskan pada proses-proses kausalitas dan titik-titik kritis keputusan. Mengorganisasikan informasi politik bagi keperluan penyusunan alternatif-alternatif kebijakan yang menyangkut masa depan dan kebijakan yang sedang digarap Akzin (___). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan analis dalam penyusunan scenario kebijakan yaitu : merumuskan lingkungan politik, menghimpun
dan
mengorganisasikan
informasi
politik;
dan
membuat
pertimbangan politik, serta memperkirakan kelayakan politik.
J. Proses Penyusunan Skenario Kebijakan Publik Untuk memahami proses dari penyusunan scenario kebijakan, perlu dipahami enam komponen berikut ini. Pertama, para aktor bahwa proses kebijakan sebaiknya dipahami sebagai sebuah peristiwa sosial dan arena perjuangan, tempat, dimana para partisipan baik individu ataupun kelompok yang berbeda pandangan dan latar belakang lapisan sosialnya, berkompetensi untuk memenangkan kepentingannya masing-masing, Crehan & Oppen (Solichin, 1998). Aktor disini termasuk juga target group, yang dapat mempengaruhi berhasilnya suatu kebijakan. Tidak memandang proses kebijakan sebagai satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan merupakan serentetan upaya negosiasi yang berlapis-lapis dari para aktor, yang mengambil peranan yang selektif yang secara sengaja mempengaruhi kebijakan, Ortwin Reinn (1992). Para aktor dalam hal ini adalah penegak hokum; penggema isu seperti kaum professional, jurnalis, ilmuwan, para promoter di luar arena dan free riders. Menurut Crosier, menggariskan suatu pendekatan penelitian yang memandang birokrasi modern tidak sebagai suatu mesin yang sudah diatur dan berjalan lancer, melainkan sebagai konstilasi dari berbagai konfigurasi (partaipartai) yang melakukan tugas-tugas yang berbeda dan berusaha untuk mengontrol pendefinisian tujuan-tujuan organisasi. Namun demikian pendekatan ini belum mampu menjawab bagaimana tiap-tiap bagian dalam organisasi nyata berinteraksi maka muncul Mintzberg yang mengatakan organisasi sebagai sebuah arenah. Dimana berbagai bagian menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang saling
bertentangan dan bertarung untuk merebut control atas keseluruhannya. Dalam beberapa kasus manajemen pusat mampu melakukan control dan menciptakan suatu birokrasi mesin akan tetapi dalam kasus-kasus lainnya ia tidak dapat berbuat demikian. Sebab lebih pada birokrasi professional yang didominasi oleh staf operasi. Kedua, motivasi aktor bahwa masing-masing aktor memiliki motif untuk melakukan preferensi tertentu, meski bersifat pribadi dan berada dalam dimensi ruang dan waktu. Termasuk motivasi politik untuk menentukan seberapa besar nilai trade off oleh aktor lain bagi dukungan politik yang diberikan. Ketiga, kepercayaan politik yakni menyangkut keyakinan sikap, dan nilai-nilai para aktor. Analisis menyingkap fenomena-fenomena sosial berdasarkan nilai-nilai sosial dan cultural yang diyakini sebagai suatu yang lebih baik dan benar. Melalui pemahaman tersebut diupayakan untuk menggali kompleksitas jaringan makna atas dasar para aktor itu menyandarkan strategi-strategi yang mereka gunakan dalam upaya mempengaruhi kebijakan, Crehan dan Oppen (Solichin, 1998). Atau apa yang disebut sebagai “conceptual lense” yang dianut, yang sering berbeda dengan para pendukung atau oposan suatu kebijakan. Keempat, sumber daya bahwa hal yang terpenting dalam proses kebijakan adalah sumber daya sosial seperti : uang, kekuasaan, pengaruh sosial, komitmen terhadap nilai dan fakta (Renn, 1992). Sumber daya ini yang menjadi instrument untuk mencapai tujuan dan sebagai pemuas motivasi. Kelima, pentas para aktor “political setting” sebagai alur kapan dimulai atau diakhiri sebuah proses yang bisa terwujud. Sebagai contoh dalam fraksi DPR, yakni lobi-lobi tokoh politik, bagi analis perlu kiranya membuat “political map” (peta politik untuk mengetahui semua kekuatan politik yang ada yang mana sangat dipengaruhi oleh sikap, nilainilai dan lain sebagainya. Dan yang terakhir, pertukaran dengan mengestimasi mengenai aktor-aktor mana saja yang secara politis dapat mengambil tindakan politik yang efektif, melalui proses trade off dan bargaining serta kemungkinan terjadinya consensus dan komplik atas suatu kebijakan. Dalam membuat skenario kebijakan, apa latar belakangnya sehingga model matematis atau ekonomi yang mendominasi cara orang untuk mencoba melakukan analisis ? Mulai ragam tehnik yang bisa dilihat seperti cost-benefit,
mekanisme pasar, padahal kita tidak bisa mengabaikan kekuasaan sebagai sumber, kasak-kusuk, rontoknya kekuasaan tidak bisa analogkan dengan hubungan korelasi seperti barang dan jasa tetapi toh ini yang dipergunakan sejak dulu dipakai sepanjang internal statemen-statemen yang kita ikuti tidak akan kesasar. Bagaimana metodeloginya (lihat Solichin, 1998 : 81-85). Persoalan cost-benefit, hendaknyaan politis seperti : mengenai siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan dan bagaimana prosesnya ? Menurut Hoksbergen; SCBE tidak mungkin benar-benar netral atau fee-value bahkan harus ada pertimbangan-pertimbangan nilai seperti kebaikan yang hakiki “the notion of the good” (bagaimana mereka menilai sesuatu yang berhasil) partisipasi meningkat. Sebab dari pilihan nilai yang mereka ambil sudah mencirikan bahwa tindakan tersebut penuh dengan judgement-judgement nilai, dalam artian tidak netral. Bagaimana kita menyusun skenario, “Theatrum Politicum” bagaimana kerangka berpikir yang mendominasi kebijakan public bagaimana proses kebijakan perlu kita lihat sebagai perspektif yang berbeda, yang dianggap berjalan lurus, tapi kita lihat sebagai “Social Events”, kita melihat pada tatanan makro politik dalam wacana demokrasi, siapa partisipannya, siapa kelompok-kelompok yang bergabung didalamnya, apa kepentingannya dan apa pandangannya. Mereka yang tidak terdidik / miskin / atau lebel-lebel lain yang diberikan kepadanya, sebenarnya bisa mempengaruhi outcame atau menggagalkan kebijakan dengan cara-cara mereka sendiri. Jhonson & Clark mengatakan bahwa dalam interaksi sosial pada proses kebijakan itu pasti ada semacam orang atau organisasi yang saling tarik menarik. Untuk memperjuangkan kepentingan mereka masingmasing. Ini yang kita temui dalam teori Metafora dari Ortwin Reinn (model arena sosial). Bagaimana proses implementasinya yang terkait dengan formulasinya, siapa bertindak apa, siapa bernegosiasi dan apa yang dinegosiasikan. 1. Proses kebijakan tidak dipandang sebagai suatu proses yang terintegrasi, janngan dilihat sebagai suatu yang utuh sebab masih merupakan serpihanserpihan yang sebenarnya penuh dengan negosiasi / koalisi/kapan/siapa/ dalam situasi yang bagaimana sosial politiknya seperti apa) terkait dengan dimensi-dimensi pembangunan/sosial.
2. Peran aktor, terutama perilaku individu atau kelompok yang secara sengaja mempengaruhi kebijakan. Peran aktor dalam arena sosial sangat selektif. Langkah-langkah analisis model kualitatif (Solichin, 1998) : 1. Identifikasi masalah 2. Identifikasi para aktor 3. Deskripsi karakteristik (point 1 dan 2) 4. Mengkaji berbagai saran dan pandangan yang pernah diajukan dalam masalah yang sama. 5. Kajilah berbagai pengalaman sebelumnya. 6. Membuat daftar alternative tindakan 7. Pilihan tindakan yang selayaknya bisa diteliti lebih lanjut 8. Rinci tindakan yang akan diambil termasuk cara implementasinya. 9. Rinci akibat atau konskwensi yang mungkin terjadi.
K. Metode-Metode Lain Dalam Penelitian Kebijakan Metode
lain yang digunakan. Pertama, metode Delphi; bahwa para
peneliti tidak perlu datang ke daerah penelitian, mereka atau para peneliti cukup dengan mengundang orang-orang yang sudah pernah mengadakan penelitian secara berulang-ulang dan teratur pada daerah yang akan diteliti atau dengan mengundang masyarakat yang telah lama tinggal didaerah tersebut. Kedua, metode “The Prince” sangat sederhana tapi brilian, dengan tanpa mengadakan survey, tapi cukup dengan mengadakan kunjungan pada pusat-pusat keramaian, kota, daerah terkenal, atau pusat-pusat informasi pada Negara yang ingin diteliti. Dengan mengasumsikan tempat-tempat tersebut, misalnya ―kalau Bandar udaranya saja sembraut apalagi stasiun busnya, kalau front officenya saja kotor bagaimana dengan kamarnya, dll. Dalam penelitian yang terpenting jangan sampai kehilangan imajinasi, pertanyaan harus dikembangkan, dan terus menerus. Usahakan memasuki sampai tahap yang paling abstrak, tidak hanya pada tataran empiris. What Neck To Do, lompatan-lompatan intelektual atau dentingan intelektual akan terus dilakukan. Apa yang muncul dalam skenario-skenario kebijakan prosesnya adalah seperti itu. Pengakuan keterbatasan mengenai analis. Analis kebijakan bukanlah suatu
“Fanacea” masih perlu ditelusuri lagi tiada henti pada statistic atau perolehan data tertentu. Tugas utama analis; bagaimana mengubah “messes” (sampah) menjadi sesuatu yang konstruktif, menjadi sesuatu yang lebih baik, dengan kreasi dan imajinasi kita.
BAB VI KAJIAN TERHADAP PENDEKATAN POSITIVISME Politism Comte, pengetahuan indrawi khususnya yang terwujud dalam ilmu-ilmu alam, tidak hanya menjadi norma melainkan satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan dan dengan norma ini penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih, menjadi semakin radikal dalam sejarah perkembangan teori. Pendekatan ini mengajukan diri sebagai alternative untuk menjadi pandangan dunia total manusia modern yang akan menyatukan berbagai bidang. Namun
dalam
kenyataannya
menjadi
pecah
berkeping-keping,
karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi beserta berbagai spesialisasinya, menciptakan tatanan obyektif baru yang didasarkan pada metafisika. Melainkan metode-metode ilmu alam yang scienties. Scientifikasi berbagai bidang hidup, mengimplikasikan tehnologi berbagai bidang kehidupan dan akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya, mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan, pada gilirannya mempermiskin dan mengosongkan
makna
kehidupan
manusia
hingga
pada
akhirnya
menginstrumentalisasikan manusia. Pandangan dunia total scientism bukannya menyatukan, melainkan memecah belah manusia sampai pada akar-akar integritasnya, semua hal dikuartifikasikan. Seperti kegelisahan, perasaan, etika, estetika, agama, metafisika. Menganggap ilmu-ilmu sosial menganut tiga prinsip yakni : empiris obyektif, deduktif nomologis, dan instrumental bebas nilai. Menurut Anthony Giddens mengatakan pendekatan positivism memiliki karakteristik: 1. Prosedur-prosedur metodologi ilmu-ilmu dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, 2. Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti ilmu-ilmu alam.
3. Ilmu-ilmu sosial harus bersifat tehnis yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Sedangkan menurut Hammersley (dalam Solichin, 1995), pendekatan positivism adalah : 1. Diadopsi dari ilmu alam yang merupakan satu-satunya pengetahuan yang logis dan rasional. 2. Harus diaplikasikan pada penelitian sosial, kendatipun ciri-ciri realitas sosial berbeda. 3. Pengukuran kuantitatif dan eksperimen atau manipulasi statistic atas variable-variabel penting atau tidak merupakan ciri-ciri ideal dari setiap kajian dan penelitian ilmiah. 4. Penelitian dapat dan seharusnya menghasilkan suatu yang bisa dipertanggungjawabkan sejalan dengan realitas independen. 5. Pengetahuan ilmiah terdiri dari hukum-hukum yang universal. 6. Penelitian haruslah obyektif dank arena itu segala bias harus diatasi dengan komitmen yang tinggi terhadap prinsip netralitas. Dalam statistika; pengukuran yang reliable dan kesimpulan analitis yang sempit (Sproullin & Larkey); untuk mempertahankan diri dari tuntutan publik mengenai program-program pentingnya : metode untuk memilih desain, prosedur dan analisis, tetapi juga inovasi metode belum dapat mendefinisikan dan menjawab persoalan-persoalan yang sebelumnya telah ada. Termasuk aspek-aspek keprilakuan, solidaritas sosial / kelompok dalam cost-benefit analysis (Knetsch) diangap sebagai “the blue print model”, sesuatu yang sudah pasti ini hanya akan berguna untuk memudahkan Policy maker, dan akan membahayakan bagi target group. Evaluasi bukanlah hanya menyangkut pelaksanaan administrasi atau teknis saja, tetapi termasuk juga kontruksi sosial dan politik yang ada (Jhon G. Heliman). Jurgen Habermas mengatakan bahaya riil positisme dalam ilmu sosial sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses alam pada masyarakat yang selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif. Untuk saling memahami intersubyektif oleh karena itu akan menghadirkan tehnologi sosial. Yang pada gilirannya menjadi determinan dan dominasi, di dalam teknokrasi total peranan
subyek dalam membentuk “fakta sosial” disingkirkan. Yang terjadi disini adalah obyektivisme, dimana subyek hanya bertugas menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat menjelaskan menurut mekanisme yang obyektif. Paradigma ekonomi neoklasik (Martin Staniland) yang mendukung individu meliputi kepentingan-kepentingan dan perilakunya sebagai sesuatu yang secara anallitis maupun normatif bersifat fundamental, masyrakat dalam pandangan mereka terikat sebagai kumpulan atau hasil perjuangan kepentingan individual politik (dan juga Negara) dianggap hanya merupakan agen melalui mana kepentingan-kepentingan individual diperjuangkan sejalan dengan pendapat Adam Smith (dengan teori pasar) konvensional, bahwa dalam pasar setiap individu dapat berusaha memaksimalkan kepentingan mereka masing-masing, jika mereka diberi kebebasan maka akan muncul inovasi-inovasi baru, alternatifalternatif baru untuk mewujudkan keseimbangan pasar. Didalam tulisan Hoksbergen juga menyebutkan dalam ekonomi neoklasik bahwa manusia merupakan “rational maximize” dari kepentingan mereka sendiri dan tindakan mereka yang bercirikan pada kekuatan yang mengarah pada suatu keseimbangan. Koreksi yang diberikan oleh Peter De Leon (1994), pada epistomologi positisme sebagai metodelogi ekonomi yang bersifat the sine qua non, teknokratis, mencirikan Negara garnesum, diupayakan untuk mendukung kepentingan kaum tirany, melalui penyederhanaan fenomena sosial, dengan political exclution artinya para klien atau target group dikesampingkan tidak dilibatkan dalama proses pengambilan keputusan dan pendekatan top-down, menganggap problema dan resolusinya sebagai sesuatu yang fix price (harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi). Padahal tidak ada kebijakan yang linier artinya apa yang sudah direncanakan akan berjalan seperti itu atau sebagai model kausal (jika,,,, maka.) dan hegemony. Sebagaimana pemikiran public policy quota dominanze school of throught”. Sehingga terjadi “policy dilemma” dimana dasar-dasar preferensi tidak terungkap jelas, penggambaran tidak akurat dan terlalu legalistic, hanya pada hal-hal yang Nampak saja atau dapat diamati, kebijakan dianggap sebagai unit analisis, sehingga gagal menyingkapkan bahwa kebijakan sebagai proses belajar “policy discourse”.
Alternative yang ditawarkan oleh Peter DeLeon adalah kebijakan sebagai wacana “share” cara pandang yang sama, “complicating” (beda pendapat dan diskursus sebagai sarana belajar). Share meaning; harus ada trade-off (tawar menawar), take and give, negosiasi, public debate, dan penyikapan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersama sebagai alternative terbaik. Sebagai solusi De Leon menawarkan pendekatan partisipatory, dimana dalam pendekatan ini mengandung akuntabilitas, terjadi proses transformasi, democratizing public policy making planning as social discourse dalam menentukan the notion of the good. Penerapan political inclution sebagai proses politik to competing diversivication of interest (dalam upaya pencapaian berbagai kepentingan yang berbeda), penerapan double hermeneutics dalam mencari kebenaran yang humanis. Dalam upaya tersebut ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut: a. Menempatkan informan sebagai individu yang komplit yang memiliki politic choice, perasaan, harga diri, dll. b. Peneliti sebagai pendengar yang baik dan informan sebagai guru, perlakuan yang sama dan berada dalam situasi kesetaraan. c. Menyadari bahwa informan atau partisipan sebagai pemilik property “social property” apa yang dikatakan, apa yang peneliti amati adalah kepunyaan yang diteliti, peneliti tidak mengiterpretasikan sendiri tapi menanyakan dan meminta informan member arti tentang apa yang mereka ketahui. Peneliti hanya menulis dan memindahkan apa yang disampaikan oleh partisipan. Sebagai kesimpulan kritik terhadap model ekonomi mikro atau ekonomi kesejahteraan adalah sebagai berikut: 1. Kurang
memperhatikan
aspek
politik
seperti
status,
legitimasi,
kewenangan, kekuatan dan kekuasaan cenderung tidak dianggap penting. 2. Kurang menyadari pentingnya nilai-nilai procedural, kepentingan kolektif. 3. Meremehkan factor-faktor ketidakpastian dalam pencapaian tujuan dan harapan. Anggapan
BAB VII BEBERAPA PENDEKATAN ALTERNATIF Memperhatikan sumbangan dan dominasi yang selama ini dari pendekatan positivism yang begitu banyak dalam perkembangan ilmu sosial, namun masih di rasa banyak kekurangan maka perlu diupayakan beberapa pendekatan alternatif, dengan tanpa meninggalkan pendekatan perintis tersebut. Beberapa pendekatan alternative ini harus memenuhi criteria sebagai berikut : 1. Mempertimbangkan aspek-aspek politik 2. Konsepsi pembuatan keputusan dan kebijakan diperluas tidak hanya didasarkan pada pandangan alokasi sumber-sumber. 3. Inovasi dan kreatif, tidak disandarkan hanya pada alternative yang sudah ada. 4. Aspek kearifan (tacit knowledge) perlu ditonjolkan. 5. Dapat memprediksi jangka panjang ke depan. 6. Lebih luwes, tidak kaku namun tetap sistematik.
A. Pendekatana Kualitatif Menurut Detzner dkk, kualitatif sebagai naturalistic field work mempunyai ciri-ciri umum dengan metode “doble fitting dan multiplicity of reality” sebagai berikut: 1. Mencari kedalaman informasi bukan kebebasannya atau ketebalannya. 2. Bukan mencari representative atau tidaknya sample yang ditarik dari populasi yang besar, melainkan memberikan kedalaman dan keakraban terhadap mereka sebagai totalitas sosial (dengan meneliti sebagian kecil dari masyarakat). 3. Pusat pembahasan pada bagaimana mereka bertindak dan berpikir, segala sesuatu yang ingin kita ketahui bukan memfokuskan pada apa yang dilalui oleh orang-orang itu, apa yang mereka percayai. 4. Situasi yang dipelajari dapat dibedakan dalam berbagai level, mikro ke makro atau induktif ke deduktif. 5. Menemukan dimensi-dimensi yang tersembunyi yang mungkin tidak ditemui dalam survey, menemukan informasi yang baru yang tidak mungkin diperoleh dengan cara lain.
6. Tujuan akhirnya dari metode ini adalah mempertanyakan kebenaran teoritis untuk memunculkan teori baru yang diangkat dari hasil kajian lahan dan tidak pernah berhenti pada satu titik. Bentuk-bentuk penelitian kualitatif (Detzner), adalah naturalistic kualitatif yang mencakup : a). oral word (monolog), peneliti sebagai pendengar yang baik dari informasi yang disampaikan oleh informan/partisipan, b). write words yakaniaaa diambil dari data-data sekunder seperti : jurnal, otobiografi, texs book, surat-surat, laporan-laporan resmi dan dokumen sejarah., c). catata-catatan observer atau hasil-hasil temuan partisipan, pengamatan-pengamatan pada upacara-upacara, ritual dan family life, d). sejarah kehidupan dan cerita narasi baik secara tertulis maupun tak tertulis, e). Observasi visual; peneliti dapat menggunakan hal-hal yang bisa diamati seperti rekaman video, gambar, relief bangunan, “fhysical of setting self” seperti
dekorasi rumah, atau ornament-
ornamen kehidupan termasuk self expression ; bahasa tubuh/isyarat, expresi wajah, mode pakaiana. Bagaimana cara untuk menguji tranferbilitas (validitas dalam kuantitatip) dan dependibilitas (reliabilitas dalam kuantitatip) penelitian kualitatif; keabsahan suatu penelitian diperlukan dengan bersandar pada satu orang informan yang kemudian di cross-checkkan dengan orang-orang yang mempunyai fenomena sosial yang ± sama dengan informan kunci. Atau di cross-chekkan dengan pengamatan yang lebih dilakukan secara informal oleh pengamat lain seperti : tokoh-tokoh adat, pengamat informal di pedesaan, model ini mirip dengan model triangulasi). Membandingkan kategori-kategori yang dipakai oleh informan dengan masyarakat luar “inter coder”. Menurut Daly; validitas atau rehabilitas bisa ditingkatkan kalau ada kesamaan antara peneliti dengan yang diteliti, dalam kesetaraan, aka nada kepercayaan antara mereka dalam pertukaran informasi yang setara, “in egalitarian of the meaningful exchange”. Rasionalitas kualitatif (Solichin, 1997) bahwa kebijakan publik sebenarnya tidak bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai dengan penekanan pada keadialan, kebebasan preferensi bagi setiap orang yang terlibat adalah penting. Sehingga diharapkan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara adil, agar dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Dan
prinsip ulitarian mesti diperhatikan : a), hal yang menyangkut bagaimana mengukur kebaikan / kemaslahatan umum, memaksimalkannya dan mengevaluasi dampak yang ditimbulkannya, b). pertimbangan moral tentang kebahagiaan dan kelompok public yang spesifik dan c). menyangkut perdebatan yang sengit antara kelompok ulitarian yang berorientasi pada segi praktis (tindakan) dengan kelompok yang orientasinya pada aturan. Diharapkan
kebijakan dapat
mengakomodasi semua nilai yang ada.
B. Teori Fenomenologi, Hermaneutik, dan Teori Kritik (Memberi tekanan pada subyek yang menafsirkan obyeknya) B.1. Teori Fenomenologi Memperluas kontek ilmu pengetahuan dengan konsep dunia kehidupan (Hussseri) yang diangkat, dan direfleksikan secara filosophis untuk menjadi landasan sebuah teori (dunia apa adanya). Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya dalam ilmu-ilmu sosial. Windel Brand membedakan ilmu alam sebagai nomotetis (menghasilkan hukum-hukum/dalil) dan ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idiografis (melukiskan suatu keunikan). Segala tindakan berlangsung dalam dunia kehidupan sosial, yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia kehidupan sosial itu bersifat pro-teoritis dan pra-ilmiah dan bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetapkan oleh masyarakat.
B.2. Hermeneutik Merupakan penafsiran atas dunia kehidupan sosial (Dilthey), dunia kehidupan sosial didekati dengan memahami (versteken) yaitu dengan menafsirkan makna tindakan-tindakan sosial dan bukan dengan erklaren (menjelaskan hubungan sebab akibat). Penafsiran menunjukkan peranan pokok subyek dalam kegiatan pengetahuan. Tokoh-tokoh
Hermeneutik;
Dilthey
Schleiermacher,
Gadamer.
Pemahaman terhadap pokok-pokok kajian ilmu-ilmu sosial yakni pengalaman, ungkapan dan pemahaman. Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti pada ilmu-ilmu alam melainkan melalui
pemahaman, “share meaninga”, apa yang ingin diketahui di dunia sosial bukan kausalitas semata dalam memberikan makna. Oleh karena itu tujuan ilmu sosial mendekati wilayah observasinya adalah dengan memahami makna. Dalam hal ini ilmuwan sosial tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu, karena itu dengan cara tertentu ia harus masuk kedalam dunia kehidupan yang unsure-unsurnya ingin ia jelaskan. Untuk dapat menjelaskan makna pemahaman menjadi penting, dalam rangka memahami ia harus dapat berpartisipasi dalam proses menghasilkan dunia kehidupan. Ungkapan yang direfleksikan dalam bentuk obyek-obyek simbolis seperti pikiran, perasaan, dan keinginan melalui endapan misalnya teks-teks kuno, tradisitradisi, karya-karya seni, artifact-artifact, tehnik-tehnik sampai pada hal-hal yang bersifat terstruktur dan tersusun seperti pranata-pranata, system sosial, struktur kepribadian, memahami secara komunikasi intersubyektif untuk mengungkap matra verbal /non-verbal, matra vertical (kontek sejarah masyarakat), matra horizontal (kontek sosial pengalaman bersama), matra historis dan sosialnya. Dalam buku yang lain Crabtree dan Miller (1992), menyebutkan asumsiasumsi dari pendekatan Hermeneutik sebagai berikut: 1. Partisipants of research are meaning giveng being; pemaknaan adalah penting dalam memahami perilaku manusia. 2. Pemaknaan tidak hanya pada pernyataan yang verbal (but action and practice, belief and dayly work : everyday practice). 3. Proses permaknaan seseorang tidak sepenuhnya merdeka/bebas tetapi selalu ada yang melatarbelakangi seperti : konsep kesegeraan, struktur sosial : hubungan keluarga, hubungan sosial, personal histories (pengalaman hidup seseorang), share of practice seperti kerjasama / pembagian tugas semisal subak di bali/banjar. 4. Pemaknaan dan signifikansi terhadap tindakan manusia jarang sebagai ―fixed clear and unambiguitious” (selalu pasti dan nyata dengan jelas), pemaknaan tidak dibatasi oleh kategori-kategori yang tetap/baku, melainkan sebagai suatu proses negosiasi dan interaksi-interaksi yang secara kontinu.
5. Interpretasi diperlukan dalam memaknai tindakan manusia, sebab evaluasi tidak pernah mencapai apa yang namanya obyektivitas dalam posisi bebas nilai, selalu ada upaya-upaya perbaikan (tidak berhenti pada suatu titik).
B.3. Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Jurgen Habermas Versus Marx Menekankan peranan kesadaran (subyek) untuk mengubah strukturstruktur obyektif, maka analisis mereka ditekankan pada fenomena superstruktur, khususnya rasionalitas. Sedangkan Habermas mengembangkan komunikasi bagi ilmu-ilmu sosial, dalam praktik komunikasi dimaksudkan untuk mencapai pemahaman timbale balik. Habermas. Berbicara language games, yang melibatkan unsure kognitif, emotif dan volisional manusia serta bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik. Sekurangkurangnya dalam kondisi manusiawi yang wajar, hubungan-hubungan dalam dunia kehidupan sosial tersusun atas language games dan tindakan komunikatif tertentu. Guideline For Preparing Policy Issue Papers (Willian Dunn, 1995). 1. Bagaimana konflik terjadi, sejak kapan untuk mencari akar permasalahan. 2. Bagaimana para stakeholders merumuskan permasalahan (komplik) itu, meliputi landasan nilai, persepsi, etik yang mereka gunakan, seperi komplik yang laten atau manifest. 3. Masalah ini masuk kategori apa, lingkupnya sampai dimana, seberapa jauhkah masalahnya, bagaimana kualitas masalahnya “severity”. Juga menyangkut masalah geografi lokal, melebar nasional atau internasional. 4. Bagaimana kira-kira peluang masalah yang kita tangani akan mengalami perubahan di bulan-bulan atau tahun-tahun mendatang (mengarah pada peliknya keadaan), perubahan mengarah kemana makin baik atau buruk. 5. Kalau begitu sasaran atau tujuan apakah yang bisa dikembangkan agar lebih membaik (minimal memecahkan masalah yang ada). 6. Bagaimana kita mengukur keberhasilan pemecahan permasalahan atau tujuan (secara cost-efectiveness etc.)
7. Tindakan-tindakan atau proyek
yang perlu dikembangkan untuk
memecahkan masalah itu. 8. Alternatif-alternatif apakah yang direkomendasikan. Yang mana dari alternative tersebut yang dipilih, disukai mengingat masalah yang dihadapi. Yang menjadi focus dan format isu kebijakan adalah siapa klien, siapa yang menjadi audiens. Untuk menghasilkan berbagai alternative sebagai tugas analis, maka perlu diawali dengan pertanyaan-pertanyaan kunci. Serta perlu diingat bahwa pilihan-pilihan yang dihasilkan tidaklah mandeg sampai disitu, melainkan masih bersifat terbuka (masih mungkin untuk diuji, diperbaiki) “Not definitive conclusions”. Analisis yang mendalam dapat dilakukan kemudian tetapi kesegeraan informasi itu yang dibutuhkan oleh reader atau klien. Jadi hasil sementara sudah dapat ditawarkan pada klien. Dalam membahas isu kebijakan dapat diikuti bentuk berikut : staff refort, briefing paper dan option papers. Serta policy paper dibatasi oleh waktu “times constraint”, memerlukan respon yang cepat (segera) sebab sifat permasalahan cepat berubah. Setiap permasalahan “is not given”, masih dalam konstruksi pikiran. Konstruksi mental kita apa yang kita anggap sebagai masalah meliputi cara kita memandangnya “the way we views‖. Parah tidaknya kita melihat masalah sebagaimana yang dinamakan sebagai kualitas masalah, tergantung pada dasar pengetahuan yang kita miliki mengenai problem tersebut. Ada yang melihat permasalahan tersebut sebagai suatu hal final/given, tapi ada pula yang masih melihat peluang-peluang yang perlu dikaji dan diperbaiki. Semuanya kalau dipikirkan secara jujur, semua hal yang kita analisis harus ada berbagai pertimbangan etik atau moral (Harrington). Jangan sampai hanya untuk kepentigan sempit mereka (Policy maker), dengan mengekploitasi kepentingankepentingan lainnya. Disatu pihak diserahkan pada mekanisme pasar. Misalnya masalah-masalah kemiskinan, apa yang disebut sebagai moral obligation, social equity perlu menjadi perhatian didalam membuat “social arrangement”. (Lyn). Agar perilaku target group sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Policy maker.
Pemerintah sebagai aktor harus dalam posisi yang tegas, jelas dan tepat. Apakah ketepatan ini kita persepsikan sebagai “proper function” sama dengan pengertian kenetralan (whilshire). Jangan sampai posisi pembuat UU atau kebijakan lainnya serta kebijakannya yang dibuatnya ketinggalan kereta. Harus diupayakan “balance competing interests of stakeholder groups are honored” atau public conversation (dircourses) perlu dilakukan untuk mencapai hal ini. Atau oleh Fritz Gaenslen mesti diupayakan rational choice analysis of unanimity and mayority rules dalam bahasa kita musyawarah mufakat dengan melalui “dispute resolution process” atau perdebatan publik dalam publik fora. Dengan proses tersebut akan terjadi interpersonal disagreement in fiction, hubungan-hubungan sosial antara komplik-komplik dari kondisi-kondisi awal yang menyebabkan dispute. Akan terjadi cross cultural evidence dan status dimension of social relationships to feature, untuk dapat eksis di dunia dari para elit politik yang terlibat dalam policy making. Kepentingan pengukuran dalam proses dicision making, apakah konflik-konflik kepentingan tersebut, dalam “double filling” (De Leon) diperhatikan. Dini akan dapat dibedakan dan mendapat masukan-masukan yang positif. Persepsi terhadap Policy maker yang meliputi legitimasi tindakan mereka, dalam treating colleagues and subordinates akan sangat dipengaruhi oleh respect, honesty dari para pembuat kebijakan. (Haringgton). Dan oleh Merk Moore mengatakan bahwa kepercayaan yang diberikan pada Policy makers akan tergantung pada kemampuannya dalam : 1. To articulate the value at stakeholders (bagaimana ia mampu memilih, menempatkan dan mewujudkan judgement nilai). 2. Keterandalan Policy maker dalam “handling inevitable uncertainly; karena perlu dipikirkan bahwa tidak semua persoalan yang ditangani sudah pasti atau diyakini empiris adanya. 3. Quantified in market term; mereka mampu memperhitungkan segala sesuatu dalam ukuran-ukuran monetary, cost benefit and so on. Kepentingan akan kemampuan itu perlu dimiliki oleh Policy maker, agar kebijakan senantiasa mendapat dukungan dari semua pihak, yang akhirnya dapat diimplemantasikan dengan baik, sehingga perilaku target group dapat dirubah
sesuai dengan arah kebijakan yang dibuat. Sebab menurut George Akeriof dan Jl. Yellen, bahwa tidak mungkin menekan pelanggaran apabila hanya mengandalkan “law enforcement”, kerjasama dengan masyarakat atau target population dan juga apakah ia percaya pada para agen pembuat kebijakan dapat menjamin keadilan yang mereka inginkan itulah yang menjadi pendorong kepatuhan bagi kelompok sasaran. Bahwa kepatuhan warga Negara adalah bukanlah sesuatu yang pemerintah dapat melakukannya dengan mudah. Menurut Yanke Lovich, kebijakan harus didasarkan pada pengutamaan “spirit of public”, titik tekan pada nilai yang mana, dimana nilai digali melalui proses perubahan sosial dan politik yang panjang. Sedangkan pemerintah sering merubah kebijakannya lebih tertuju pada perubahan tujuan-tujuan bukan dengan memilih cara-cara yang terbaik untuk mewujudkan tujuan tersebut. Masalah keadilan menurut Margaret Mead (Lyn, 1995) adalah bagaimana mereka dapat melakukan sesuatu sesuai dengan dasar kebutuhan mereka ―nature of person”, bukan didasarkan pada tujuan masyarakat. Apakah tuntutan mereka mampu memperbaiki nasib mereka ataukah mereka yang menjadi korban dari ketidakadilan masyarakat dari apa yang menjadi harapannya. Sebab masyarakat yakin bahwa tindakan pemerintah akan mampu merubah sikap dan perilaku mereka yang mengarah pada solusi permasalahan. Prinsip keadilan menurut Jhon Rawls (Solichin, 1997), fungsi utama dari prinsip keadilan adalah membetengi pihak-pihak yang paling tidak beruntung atau menderita dalam masyarakat terhadap kemungkinan kesewenang-wenangan birokrat atau Negara atau pihak yang kuat. Atau bila demi kesejahteraan umum dan jika ada korban janganlah silemah yang jadi korban. Dari uraian tersebut dapat diajukan 2 formula sebagai pedoman dalam merumuskan kebijakan publik. 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan seluruh sistem yang sama yang mengatur kebebasan bagi semua orang. 2. Ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi haruslah diatur sedemikian rupa sehingga keduanya dapat : a. Memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat sejalan dengan penerapan prinsipprinsip penabungan yang dil.
b. Memungkinkan kesempatan yang terbuka pada semua orang untuk menduduki jabatan dan posisi, benar-benar berlangsung dalam situasi yang adil. Pemikir-pemikir metapolicy berpikir lebih jauh dari Rawls yakni prinsip nilai kebebasan untuk memaksimasi kesejahteraan meliputi, bebas untuk hidup, bebas dari perbudakan dan dominasi yang tidak adil serta bebas dari pemenjaraan yang tak adil. Pelanggaran terhadap suatu produk kebijakan, bagi target group atau yang lain sering diakibatkan dengan masalah untuk rugi yang mereka dapatkan dari suatu konsekwensi tindakan melanggar atau compliance. Menurut Knetch, bahwa masyarakat akan melanggar jika barang lain member dampak kesejahteraan yang menguntungkan, pada pilihan barang yang sama. Dengan demikian mereka dengan sukarela membayar untuk memperolehnya. Selanjutnya dikompensasikan dengan fungsi-fungsi penjualan ―trade off‖ dari justifikasi terpenuhinya harapan . Perhitungan untung rugi “losses and gains” (Frey & Pommerchne, 1987), yng didasarkan pada kemampuan untuk membayar akan sangat berbahaya bagi lingkungan alam dan sosial. Dalam perilaku mereka untuk melakukan pilihan realitasnya terfokus pada perhitungan sejauhmana mereka mengetahui informasi dari kerugian terhadap pelanggaran atau kepatuhannya. Biaya sosial sering terabaikan, secara kontinu sebagai hal yang memungkinkan untuk perbaikan dalam frekwensi tuntutan para analis kebijakan atas analisis yang baik, yang mengarah pada respon kebijakan yang lebih rasional dan reasonable. Rasional menurut Oliver Wendell Holmess adalah bahwa pilihan manusia didasarkan pada pikirannya, didasarkan pada sifat atau pendapatnya. Dan akan melakukan cara tanpa kebencian pada tindakan dan mencoba mempertahankan diri. Artinya dalam setiap tindakan yang dilakukan penuh dengan tujuan dan perhitungan (lihat Gaenslen dalam Rational choice theory). Dalam upaya penerapan law enforcement, untuk memelihara dan menegakkan wibawa pemeritah, guna menghendaki perubahan perilaku masyarakat kearah yang lebih baik, sangat diinginkan jaminan insentif yang dapat disediakan melalui struktur yang ada. Lawrence Margaret Mead mengatakan pemenuhan pilihan-pilihan publik dengan mengatur sejumlah insentif, dalam
upaya memaksimalkan manfaat yang diperoleh “utlity maximizers” . Dimana Policy maker dapat berperan : 1. Interest mazimizers 2. Information prossesor 3. Social being. Bagi masyarakat yang menjadi harapannya adalah kesediaan pemerintah untuk menjalankan nilai-nilai yang ada, bukan hanya dengan memperhitungkan, juga banyak hal yang terahasiakan bahkan dianggap tidak ada nilai, guna mencapai efektivitas dan efisiensi yang mengabaikan argumen politik (Reich, 1988), bahkan nilai yang mana berkenaan dengan moral, kebiasaan, dan normanorma sosial seperti penyelenggaraan kepercayaan, efektifitas dan demokrasi dalam fungsi politik. Perbedaan dalam melakukan pilihan rasional, menimbulkan pokok persoalan baru tentang fakta-fakta dan biaya sosial, yang biasanya cenderung diabaikan seperti apa yang telah disampaikan di atas. Persoalannya adalah bagaimana prosedur kebijakan dapat diketahui dan dipahami dan pelaksanaannya mendekati universal. Disini perlu dilakukan proses transfaransi, transaksional dari mekanisme dan substansi kebijakan itu sendiri. Policy maker dituntut kemampuannya sebagai agen perubahan atau “enginee of change” yang bisa berfungsi enabling dan empowering not constraint the public”. Ketepatan Policy maker dalam melakukan law enforcement; dalam artian kapan ia harus melakukan pendekatan koersif, kapan persuasif. Sebab dalam dimensi ruang dan waktu manusia tidak ada yang universalitas, artinya semua kepentingannya terpenuhi dan dapat mencapai rasionalitas sejati atau seluruhnya berlangsung secara simultan, tidak ada criteria dan nilai yang datang atau berlaku di setiap tempat (dari Tuhan / alam), tetapi dari usaha mereka sendirilah yang akan mampu mencapainy, berdasarkan historis dan interest mereka, THomans Kun (dalam Danzinger). Para pengambil keputusan harus bersikap antisipatif bahkan proaktif antisipatif. On the equity of the distribution judgement value of benefit cost (Hoksbergen, 1986).
BAB VIII MATERI-MATERI TAMBAHAN A. Hoksbergen, 1986 “Approach to evaluation of Development Intervention” Hoksbergen, memberikan pendekatan alternative dari kaum humanis sebagai counter terhadap pandangan positisme, dimana ia yang mengatakan obyektivitas dalam positisme sebenarnya adalah anti religious, bebas nilai, mudah dikuantifikasikan dalam menghadapi fenomena sosial (menggunakan money figures). Padahal ada hal-hal yang sulit dalam menentukan pilihan-pilihan subyektif. Dia menganut metafisika atau pandangan mengenai kualitas kehidupan dalam ilmu sosial “The world and the views in social science”. Ia menekankan pendekatan SCBE, sangat netral dan bebas nilai karena mendasarkan ukurannya pada efisiensi suatu proyek, dengan demikian para evaluator tidak perlu memperhatikan apakah tujuan/ sasaran baik/tidak, namun lebih pada bagaimana upaya untuk mencapainya. Menurutnya SCBE tidak mungkin bebas nilai/netral, pertimbangan-pertimbangan nilai tidak mungkin bisa dihindari, dan akan tetap digunakan secara implicit maupun eksplisit. Analisis paradigm neoklasik dan SCBE (biaya manfaat dalam hukum uang), dalam menilai suatu kebaikan lebih ditekankan pada hal-hal yang dapat dikuantifikasikan seperti hubungan antar personal, pendidikan, urusan budaya, keluarga, dan organisasi tempat mereka bekerja. Bukan pertimbangan pada kualitas hidup, penekanan pada keadaan ceteris paribus (suatu keadaan yang tidak berubah) dan menggunakan logika positif yang mengutamakan ketepatan dan obyektivitas
(lihat
Solichin,
1995
:16).
Dalam
praktiknya
sering
memperhitungkan kepentingan dan kebebasan dari kualitas hidup terfokus pada input dan output yang dapat dikualifikasikan. Akhirnya manusia dianggap sebagai benda “think” yang tidak memiliki kepentingan, nilai/preferensi. Menurut John Sommer : kesalahan pendekatan kuantitatif adalah dalam mengenali elemenelemen manusia yang menjadi dasar program mereka. Landasan world and life views mempunyai beberapa preposisi antara lain: 1. Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang : a). suka mementingkan diri sendiri, b). rasional; tahu kepentingan dan mampu mengadakan pilihanpilihan anternatif untuk memaksimalkan kepentingannya.
2. Tujuan hidupnya adalah bersifat individual dalam mengejar kebahagiaan sesuai dengan definisinya dan pemahaman mereka. 3. Dunia sosial merupakan sekumpulan individu yang saling melengkapi di bawah kondisi kelangkaan sumber dalam meraih kepentingan atau tujuan pribadinya. Kelengkapan judgemen nilai berdasarkan preferensi pada kebutuhan individu dapat diringkas sebagai berikut: 1. Individu harus mendapatkan apa yang diinginkannya. 2. Keseimbangan dalam persaingan pasar merupakan situasi ekonomi yang ideal; (a) institusi pasar yang kompetitif harus dilegalkan dalam segala situasi dan kondisi, (b) harga pasar harus dipakai untuk menentukan nilai. 3. Cara dan tujuan harus “mean-end” dibedakan secara jelas dalam dua kategori yang saling mempengaruhi. 4. Cara dan tujuan harus diukur secara kualitatif (sebagai focus dari meanend). Pemisahan antara cara dan tujuan tidaklah dibutuhkan oleh world and life views, tapi merupakan suatu kebutuhan operasional dalam upaya menghasilkan riset studi yang bermakna. Jika cara dan tujuan tidak dibedakan secara jelas maka ekonomi neoklasik menjadi kehilangan makna atau hanya sekedar sebutan tautologies. Dengan pemisahan cara dan tujuan maka secara operasional dapat dilakukan pengukuran secara kuantitatif, dengan demikian memungkinkan untuk melakukan pengukuran mengenai seberapa jauh suatu situasi, bermakna lebih baik di banding situasi yang lain, seperti apa yang diungkapkan oleh Hagul; pembangunan di lihat sebagai suatu proses dimana tujuannya yang pasti tidak ditentukan
sebelumnya,
dalam
kenyataannya
salah
satu
tujuan
utama
pembangunan adalah proses pembangunan itu sendiri, jadi tidak terdapat perbedaan yang jelas antara mean-end. “Perfectly neutral its imposible” but ; syarat sifat dari nilai kepentingan dan skema klasifikasi secara historis mempengaruhi sains, dalam menentukan persoalan yang akan diajukan, problem yang ingin dipecahkan, jawaban yang akan dipertimbangkan, asumsi-asumsi yang mendasari teorinya, persepsi terhadap fakta yang diterima, hipotesis yang disusun, standar yang menjadi dasar
estimasinya, bahasa yang dipakai dalam memformulasikan, kategori-kategori yang dipilih (Larry Dwyer). Bahkan Royal Brandis, mengatakan evaluator tidak bisa lari dari judgement nilai, karena itu adalah penting untuk mempertahankan sebagian pandangan dunia dalam menyeleksi aksioma teori yang kita pakai landasan untuk menyusun data empiris. Pandangan humanis (Haque dkk); untuk memperkuat status politik dari pihak yang tereksploitir dalam suatu masyarakat. 1. Manusia merupakan mahluk sosial yang tahan banting, sehingga punya kemampuan adaptif dalam menciptakan lingkungan sosialnya. 2. Tujuan dari hidup adalah bekerja untuk memperkuat kepribadian individu dan kelompok. 3. Dunia biologis dan dunia sosial terikat atau terlibat dalam proses evolusi historis yang mengarahkannya ke depan yaitu menuju tahap tatanan yang lebih baik. Pada evaluasi pembangunan pedesaan, pelibatan kelompok sasaran / desa adalah hal yang baik, karena membawa manfaat bagi individu. Makin besar melibatkan orang maka makin besar memperoleh manfaat masing-masing individu. Langkah-langkah evaluasi pedesaan: 1. Mempertimbangkan problem-problem yang dihadapi oleh institusiinstitusi desa. 2. Mempertimbangkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Pertimbanganpertimbangan ekonomi antara lain : a). prestasi, b). keadilan dalam distribusi keadilan, c). akumulasi asset-aset yang dimiliki secara kolektif, d). ekspansi dari proyek menuju masyarakat / wilayah lain. e). pemantapan garis komunikasi dengan wilayah lain yang terkait dengan proyek. Sedangkan sikap yang harus dikembangkan dalam evaluasi. 1. Semangat solidaritas kelompok 2. Nilai-nilai demokratis 3. Semangat kerjasama 4. Semangat kebersamaan 5. Jiwa kreatif 6. Semangat percaya diri kelompok.
B. Wildavsky, 1982. “Self Evaluation Organization (SEO)” Konsep Seo adalah evaluasi yang dilakukan sendiri pada organisasi, sebagai salah satu cara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam upaya mencapai tujuan terkait dengan berbagai metode yang dipergunakan untuk mencapainya. Dan kreasi model dari hubungan antara input dan output dalam upaya mencari kombinasi yang terbaik. Evaluasi dalam upaya menseleksi permasalahan dan kemudian dengan kecerdasannya mencari solusi, oleh karena demikian evaluasi dilakukan pada setiap proses kebijakan. Ini berarti SEO oleh Wildavsky dapat dikatakan sama dengan langkah monitoring; mengadakan monitoring secara kontinu pada segala kegiatan organisasi, sehingga dapat menentukan apakah tujuan mereka telah dicapai, saat evaluasi menyarankan mengadakan perubahan tujuan/program untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dengan monitoring akan terbuka kemungkinan para pembuat kebijakan menjadikan dirinya sebagai pembuat kebijakan yang menguasai persoalan. Meskipun sebenarnya secara umum antara evaluasi dan monitoring dapat dan harus dibedakan (Solichin, 1996). Monitoring dapat dilakukan pada setiap langkah untuk menghindari kegagalan (mirip kontroling dan inspeksi), sedangkan evaluasi dapat dilakukan untuk keseluruhan / akhir suatu proses kebijakan. Monitoring menurut Casley & Kumar (1987) adalah suatu kegiatan internal proyek berwujud studi-studi diagnostic yang sebagian fungsinya ialah mendukung manajemen pembuatan keputusan. Monitoring dapat dijadikan dasar/sebagai informasi awal kegiatan evaluasi dia bukan sekedar menyangkut kegiatan mengumpulkan data atau informasi, juga menyangkut keputusan-keputusan strategi mengenai tindakan apa yang harus diambil jika program melenceng dari garis yang diharapkan. Bukan juga sekedar menyangkut masalah rutin, teknis administratip melainkan menyangkut control dan krida kekuasaan (Solichin, 1996). Langkah-langkah monitoring : 1). Melakukan penelitian terhadap buktibukti kualitatif guna menetapkan isu-isu penting untuk membahas kebijakan, 2). Perhimpunan dan manajemen data (pengelompokkan data menurut urutan waktu dan jenis), 3). Analisis statistik terhadap keluaran-keluaran birokrasi. Dan 4). Melakukan uji ulang dengan mengkaji laporan-laporan birokrasi atau sumber-
sumber kualitatip. Mengenai proses monitoring dapat digambarkan seperti pada gambar 6. Evaluation (ex-ante) I. Perencanaan
Onggoing Program II. Pelaksanaan
Ex-post III.Evaluasi Program
Sejauhmana tujuan Cukup layak dan tidak menimbulkan kesulitan pelaksanaan
Untuk menentukan penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan berdasarkan pengalaman lapangan yang diperoleh sepanjang program
Untuk mengetahui sejauhmana dampak pelaksanaan program apakah hasil diperoleh sesuai dengan rencana tujuan program
Pengumpulan informasi
Tindakan koreksi
Tujuan evaluasi menurut Wildavsky adalah : 1). Sebagai upaya untuk memaksimalkan kebutuhan sosial serta efisiensi, tujuan dan sumber dimodifikasi secara kontinu agar responsive dapat mencapai keutuhan sosial. 2). Selain diupayakan untuk mencapai sasaran yang lebih baik juga diarahkan untuk bisa merobah sasaran. 3). Analisis yang efektif dalam upaya mendekatkan antara caa dan tujuan suatu kebijakan dalam mencapai tujuan sosial, melayani klien, masyarakat yang terlemah “the lumbermen”. 4). Herbert Kaufman; melalui kasus “on the forest rangers” tuntutan SEO sulit dilakukan sebab dalam problem solving structure khusus dan kebijakan dalam organisasi, tingkatan keahlian diperlukan dalam melakukan pertimbangan yang tinggi dan dalam identifikasi permasalahan yang tersebar. Keahlian diperlukan untuk memungkinkan memaknai kebijakan dan kualitas perilaku untuk mempengaruhi anggotanya. Tugas mereka untuk memonetoring birokrasi dan mengadakan perubahanperubahan yang dibutuhkan. 5). Melakukan kritik terhadap program-program tertentu dan bermaksud untuk menggantinya dengan program yang lain, sebagai proses politik. Jika evaluasi tidak bermakna politik terhadap partisipan partai maka makna politiknya mengacu pada advokasi kebijakan, tanpa suatu dukungan
politik atau dukungan pihak-pihak yang ada di masyarakat, maka keberadaan evaluasi akan menjadi terlantar. 6). Menseleksi aktivitas organisasi. Political : - diversifikasi strategy - diversity creates political flexibility manifestly. Adapun syarat-syarat untuk mengadakan SEO : 1). Dapat memelihara stabilitas kerjanya, kelangsungan hidup organisasi dan secara simultan mendapat kebebasan dan dukungan dari birokrasi saat menghasilkan kebijakan yang anti birokrasi. 2). Harus mampu menggabungkan fisibilitas politik dengan analisis murni. 3). Evaluasi bersifat terbuka, cinta kebenaran dan transfaran (baik mengenai biaya maupun tujuan yang setepat mungkin), member kesempatan pada yang lain untuk mengadakan penyangkalan/penilaian. Selain itu sikap skeptic selalu diperlukan dalam mengadakan evaluasi sebab: 1. Organisasi terbuka untuk koleksi diri, haruslah memiliki sikap skeptic ketimbang sikap pasrah atau mudah menerima/mengakui. Terus bersikap kritis atau meragukan secara ilmiah dalam upaya mencari kebenaran yang baru dan upaya menguji hipotesis haruslah menjadi kegiatan utamanya. 2. Belajar bertindak lebih baik dalam memproduksi dan menggunakan evaluasi. Beberapa karakteristik SEO : 1). Memiliki pemahaman yang lebih rinci tentang permasalahan yang dihadapi selama tahapan proyek. 2). Lebih mudah memperbaiki kesalahan, apabila disadari berdasarkan pengamatan sendiri ketimbang menerima kritik dari luar. 3). Saluran komunikasi yang dilalui tidak terlalu panjang, 4). Mengandung fungsi pembelajaran, 5). Sebagai landasan (batu loncatan) bagi evaluasi eksternal, 6). Biaya yang dikeluarkan lebih murah. Dan cenderung mencari alasan-alasan pembenaran dan dapat menciptakan keteganganketegangan tertentu bagi pelaksana proyek. Kelebihan-kelebihan yang dapat ditunjukkan metode SEO adalah: a. Dengan SEO untuk keperuan evaluasi dan pengelolaan akan lebih murah ongkosnya; biaya ditanggung oleh setiap evaluator pada seluruh tingkatan organisasi.
b. Setiap anggota akan mempunyai dan dituntut untuk meningkatkan kemampuan evaluasi/ananalisis sehingga dengan demikian kualitas pribadinya meningkat. c. Mengurangi beban manajemen puncak yang nota bene jarang dapat melaksanakan fungsi evaluatornya dengan baik. d. Setiap anggota organisasi dapat memaksimalkan kemampuan kreativitas/ inisiatifnya untuk mengadakan perbaikan disetiap jenjang hirarki, para evaluator
memiliki
permasalahan
yang
otoritas dihadapi,
untuk
mengendalikan
mengolah
data
dan
permasalahanmodel
untuk
mengendalikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengolah data dan model untuk menjustifikasi kebijakan yang ada, dapat mencegah terjadinya proses kerja dari sistem yang mengarah pada birokrasi yang berlebihan. Mereka akan mengikuti persaingan pasar, mereka bersaing dalam mengarahkan kebijakan pada suatu area yang ditentukan, pengakuan nilai-nilai dan bakat mereka dapat dimaksimalkan. Tugas evaluator adalah memperhitungkan konskwensi dari kebijakan yang berlaku, mencari alternative kerja yang lebih baik dan memperkenalkan kebijakan baru agar dijalankan oleh unit-unit administratipnya. e. Kemampuan untuk membuat perubahan sesuai dengan ketentuan analisis yang menjadi esensial dari kapasitasnya untuk melakukan koreksi diri dalam realitas yang dinamis. f. Pihak evaluator selain dapat menghimpun pengetahuan juga dapat menggalang power. g. Dapat memantapkan bentuk organisasi yang dimiliki; manfaat analisis sebagai suatu cara membuat keputusan kebijakan yang baik, yang selanjutnya menawarkan kepada pihak lain (bagi evaluator lain). sedangkan bagi pengguna analisis sebagai suatu cara untuk mendapatkan pemahaman yang baik mengenai pilihan-pilihan yang ada, sehingga mereka bisa melakukan control terhadapnya. h. Sebagai inti dari SEO adalah bahwa ditanamkan pada setiap tingkatan organisasi etika evaluasi.
Namun demikian dalam melaksanakan SEO juga ditemukan beberapa kendala antara lain : 1). Seluruh personel dilibatkan, sangat sulit untuk mempertemukan criteria/standar evaluasi pada setiap tingkatan organisasi. 2) belum ada tindakan yang tepat untuk setiap tingkatan organisasi bila evaluasi merembes kedalam keseluruhan organisasi, 3). Problem yang muncul pada aspek politik mengalami kegagalan bila evaluasi dilakukan secara serius (menyangkut status dan konplik terhadap pengambilan keputusan/birokrasi). Sebaliknya jika kurang serius akan mengalami krisis kepercayaan dan kehilangan dukungan dari para anggota yang penuh pengabdian. Jadi menjaga keseimbangan antara keefektifan dengan komitmen sangatlah sulit. 4). Sebagai organisasi yang terbuka terhadap koreksi diri sangat rentan terhadap macam-macam tendensi anti evaluative (kecenderungan labil). Karena itu diperlukan mestabilkan lingkungan, bisa menjaga loyalitas internal dan dukungan dari luar. C. Harrington, 1996. “Ethic and Public Policy Analysis” Peran pemerintah sepenuhnya dalam hubungan public dan private, dengan pemberian input yang baik dan peran perusahaan untuk dapat memaksimalkan berbagai kepentingan stakeholder, yang selanjutnya akan menjadi landasan yang sangat penting dalam analisis etika dari kebijakan-kebijakan pengaturan. Namun demikian sangat jarang para pembuat kebijakan member perhatian pada unsur etika
dalam
mewarnai
analisisnya.
Asumsi-asumsi
dasar
keengganan
pertimbangan etik dan moral dalam kebijakan pengaturan adalah hubungan bisnis dan pemerintah; peran jelas pemerintah; fungsi hukum dan peran pembuat hukum, karakteristik bisnis dan perusahaan. Pernyataan selanjutnya dari Harrington, “don’t formulate public policy in moral vacumm” (tak ada satupun perumusan kebijakan yang terbebas dari judgement-judgement moral), sebab dalam kontek sosial dari kehidupan manusia dan dasar kemanusiaan untuk berjuang demi kebaikan, etika dan politik saling terkait. Negara adalah sebuah kesatuan dan persatuan yang dibentuk oleh beberapa pandangan tentang tujuan baik yang bertingkat. Dimana kebaikan yang paling tinggi akan lebih berkuasa ketimbang yang lain, hal ini dicapai melalui aktivitas politik. Analisis etik belum banyak menjadi bahan diskusi dalam
kebijakan public, ide tehnik pengaturan bisnis dan industri dilakukan dengan alasan kekhawatiran terhadap pandangan mayoritas yang melanggar legitimasi hak-hak minoritas, sebagai suatu kerapuhan moral dalam bentuk perbedaan nilai. Pertimbangan etik dan moral merupakan hal yang baru menjadi perbincangan dalam problem-problem publik semisal : kekejaman kota “urban violence, welfare and health care”. Berkenaan dengan analisis etik, artikel ini akan mencoba membahas dari kajian demokrasi kapitalis sosial, yang tidak memandang secara terpisah dari elemen-elemen tersebut, tapi lebih dilihat sebagai aspek-aspek yang fundamental saling berhubungan, saling ketergantungan dari “social life”.
C.1. Hubungan Bisnis dan Pemerintah Teori sosial klasik liberal (Jhon Locke’s) menyebutkan bahwa private dan public adalah hal yang terpisah baik keterhubungannya maupun aktivitasnya, bahwa otonomi individu adalah yang utama, yang berarti ada kebebasan yang sempurna, kesamaann dan kemerdekaan, “the civil government was non arbitrary and transferable” (pemerintah sipil tidak bersifat arbitrasi tetapi lebih tranferbilitas), tidak
mengambil alih dan tidak mempunyai
wewenang
mencampuri kepemilikan private. Peran pemerintah disini adalah menegakkan hukum dasar dan terbatas pada “provide the public good or public sphere and private market sphere” (penyediaan kebutuhan-kebutuhan dasar dan private bertanggungjawab pada bidang ekonomi ―pasar‖). Sedangkan menurut Barry Bozeman, bahwa public mempunyai kewenangan politik yang berpengaruh pada perilaku dan proses keseluruhan organisasi, karenanya “publicness is not discrete quality but rather multidimensional property, constraints the economic activity and political constraints is significant”. Dengan demikian publik tidak dibatasi pada kualitas pelayanan tertentu, melainkan semua aspek / bidang termasuk pembatasan-pembatasan dibidang ekonomi maupun politik yang relevan. Dengan mengingat bahwa peran pemerintah/public adalah melindungi kepentigan public dan anggota organisasi (masyarakat umum). Pandangan terpisah antara peran bisnis dan pemerintah ini, menghadirkan konsekwensi-konsekwensi seperti pemerintah dapat mengkonsentrasikan diri pada “public goods and keeping the law of nature”. Apa yang sungguh-sungguh
menjadi kepentingan publik seharusnya dapat dipenuhi. Sedangkan private “can be balance of diverse stakeholders interest and another proverty universally accessible dimensions of collective life” (Coper). Ini sebagai esensi dari teori stakeholder adalah menyeimbangkan berbagai kepentingan stakeholder, menjaga stabilitas organisasi dalam hubungan dengan sistem ekonomi dimana organisasi itu berada. Sedangkan pandangan mengenai pemerintah dan private tak terpisah. Menurut Terry Cooper bahwa private dan public mempunyai hubungan yang kontinum “from public to fully private” atau sebaliknya. Hubungan yang saling membantu sebagai “another provider”. Ia melihat sebagai dua lembaga yang bertanggungjawab pada ekonomi masyarakat (keduanya sangat berperan), dalam menyelenggarakan “general collective good”. Namun demikian ada dua kesulitan penting dalam rangka hubungan antara public dan private dalam analisis etika dari tujuan kebijakan dan konsekwensinya. Pertama, pemahaman dari sistem politik sebagai hubungan ekologi. Kedua, penyeimbangan kepentingan-kepentingan politik dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Menurut Cooper bahwa pemerintah yang efisien seharusnya mampu memaksimalkan “the full range of public” dan private sebagai pemberi input. Dengan demikian semakin jelas bahwa antara pemerintah dan private mempunyai peranan yang saling mendukung. Dalam teori agen (Cooper) kejelasan tujuan dan konskwensi kebijakan publik, mengatur komplik antar kepentingan merupakan sesuatu dilemma yang sudah biasa dihindari oleh bisnis dalam tugas dan tanggungjawab publiknya. Ada pemahaman yang berbeda antara pemerintah dan bisnis mengenai apa yang sungguh-sungguh menjadi kepentingan public dan bagaimana kepentingan, public seharusnya dapat dipenuhi.
C.2. Peran Pemerintah Pemahaman dari demokrasi kapitalis yang menghantarkan kita pada kerangka Interpretasi komitmen umum dari human well being dalam public good, untuk mengevaluasi fakta-fakta Institusi-Institusi dan kebijakan. Yang termasuk etos demokrasi adalah regim nilai semisal focus on free individual (Jhon Locke); kepentingan public dan social equity (keadilan sosial). Dalam hal ini bagaimana
pemerintah dapat membuat UU untuk dapat melindungi kepentingan-kepentingan fundamental / kebutuhan-kebutuhan dasar, dan hak-hak minoritas, menghindari korupsi. Mengenai identitas kepentingan-kepentingan para pembuat hukum atau kebijakan dengan kepentingan mayoritas yang diatas. Walter Uppman berpendapat bahwa kepentingan public merupakan ; apakah manusia akan melakukan pilihanaa, jika mereka memandang ada kejelasan, rasionalitas, keuntungan atau kerugian dan kebijakan ?. Menurut Mark Moore tugas pelayan public adalah melayani kepentingan public dari tiga prinsip kewajiban yakni, dengan meligitimasi tindakannya, mengkoordinasi rekan/ bawahannya, kejujuran dll. Dalam pencapaian kepentingan publik diperlukan tugas dan tanggungjawab Policy maker didasarkan pada kepentingan publik tersebut. Menurut Moore ada kesulitan-kesulitan dalam mencapai kepentinga publik adalah : kurang bisa memahami tindakan yang berakibat gagal dalam mengartikulasikan nilai-nilai dari berbagai stakeholder, salah penanganan terhadap preferensi-preferensi kebijakan publik yang tidak dapat diprediksi ―inevitable uncertainty”, pelaksanaan yang hanya didasarkan pada pandangan yang sempit dalam bentuk “market term” or money term”. Pemerataan atau keadilan sosial dalam hal hak-hak asasi yang dikatakan oleh David Hart sebagai “spirits and habits of faimess, justness dan kebenaran dalam
memperlakukan
hubungan
pergaulan
antar
manusia.
Pemberian
kesempatan yang sama atau perolehan yang sama dalam suatu kebijakan, harus mengandung dimensi pembinaan, pemberian peluang dan kesempatan yang sama pada setiap orang dalam memperbaiki kehidupannya (SOlichin, 1998). Juga dalam hal untuk member input nilai pada suatu kebijakan serta menikmati hasil dari suatu kebijakan.
C.3. Hukum dan Pembuatan Hukum Jennings berpendapat baha kehidupan politik sebagai hal yang menolak etika dari kebahagiaan dan kebaikan ideal. Dengan demikian begitu kentalnya kehidupan politik yang kurang memperhatikan sisi etika dalam tindakannya. Berkenaan dengan legislative yang sangat besar pengaruhnya dengan kehidupan politik ada dua kategori yang berbeda dari dilemma etika yaitu : permasalahan –
permasalahan pengaturan (tindakan – tindakan legislator); dan permasalahanpermasalahan kewajiban “obligation”. Ketepatan tindakan dalam proses legislative dan penanganan komplik kepentingan yang terjadi antar stakeholders serta dalam mengevaluasi berbagai kemungkinan legislative yang diperhadapkan dengan kondisi yang tidak dapat prediksi berbagai kemungkinan legislative yang diperhadapkan dengan kondisi
yang tidak dapat prediksi
“uncertainty
conditions”. Bila legislative yang meletakkan problem-problem regulasi dan tanggungjawab atau kewajiban sebagai “moral minimalism” (penyelenggaraan kepercayaan, efektif, kejelasan demokrasi, fungsi-fungsi politik legislatif). Menurut Madisons legislatif secara umum berkeinginan untuk mencapai kepentingannya dan motivasi untuk tetap berkuasa melalui pemilihan kembali, legislative dituntut responsibilitasnya, berkenaan dengan “political reward sistem” sebab banyak penggunaan kantor publik untuk mencari keuntungan financial personal. Pemasukan moral minimalism dalam kehidupan sosial yang komplek adalah guna keperluan-kepelruan; restrukturisasi; membatasi opsion pembelaan dan menentukan pokok-pokok baru dari penjelasan dan justifikasi oleh para pelaksanaan itu sendiri. Efektifnya moral dipandang dari sudut kemanfaatan tradisional dari kelayakan, kemampuan dan kepentingan politik itu sendiri, moral minimalism diperlukan untuk tetap membedakan secara jelas antara prinsipprinsip moral dan kebijakan politik “moral principle and political prudence”, dimana politik seringkali dominan. Penyesuaian antara tuntutan publik terhadap aktivitas legislative adalah penting. Dengan moral minimalism pada legislator dapat melakukan peran advokasi dan dapat melakukan pilihan kebijakan yang sesuai (viable), yaitu : 1. Multidimensional nature of advocacy role dan kemampuan untuk mencapai kepentingan itu sendiri. 2. Mengembangkan political viable policy choice 3. Resolving problem of regulation 4. To support the ethical analysis of public policy 5. Membatasi permasalahan-permasalahan pengaturan, menampilkan secara cermat produk legislatif dan dilemma obligasi.
Lon Fuller menyebutkan paradigm moralitas Internal hukum (UU), menawarkan alternative untuk moral minimalism sebagai standar etika legislative, yang menawarkan kerangka eksplorasi kebijakan pengaturan dalam memperluas penerapan Internal atau prosedur, integritas hukum dan identifikasi perubahan dalam substansi tujuan hukum yang seharusnya juga diteliti. Moralitas internal hukum didukung dengan nilai dari etika demokrasi. Secara umum tujuan hukm dalam demokrasi adalah “to protect those regim values of liberty property and quality”, hal ini terkait dengan fungsi-fungsi untuk tetap menjaga prosedur keadilan dan spirits and habit of faimess‖ yang menandai adanya keadilan sosial dalam produk kebijakan tersebut.
C.4. Karakteristik Bisnis dan Perusahaan Menurut Adam Smith bahwa publik dan private adalah berbeda, efektivitas bisnis yang murni private, hak milik dan efisiensi tergantung pada pasar bebas dan tanpa adanya intervensi pemerintah. Pandangan perusahaan individual sebagaimana dalam teori agen pada pasar bebas bahwa : 1. Terjadi kontrak yang tegas antar pengelola sumber-sumber 2. Penggunaan agen (manajemen) dalam penyelenggaraan pelayanan kepentingan 3. Peran
manajemen
sebagai
upaya
memaksimalkan
kepentingan-
kepentingan para pemegang saham (memperbesar modal). Dan Milto Friedman menyebutkan “the social responsibility of business is increasing profits/profit maximizing goals” (responsibilitas sosial dari kehidupan bisnis
adalah
dengan
meningkatkan
keuntungan
atau
memaksimalkan
keuntungan). Dan Jhon Lodd mengungkapkan bahwa organisasi yang ideal tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral, organisasi-organisasi formal adalah merupakan struktur pembuatan keputusan yang dapat menunjukkan rasionalitas pencapaian tujuan, dalam perolehan manfaat secara empiris yang membawa pada manajemen etika, netral dalam tindakan efisiensi yang rasional. Peran manajemen sebagai agen tersendiri dari para pelaksana dan responsibilitas manajemen untuk memaksimalkan kekayaan para pemegang saham “shareholder”.
Pendapat Friedman yang ditindaklanjuti oleh K. Good Paster yang mengarah pada teori Stakeholders. Kurang adanya mandate sosial dari manajer, berakibat terjadi kesalah pahaman antara sector privat dan public. Menurutnya tak ada bisnis yang bebas (tanpa dipengaruhi) oleh para pelanggannya, suppliernya, para pegawai, masyarakat dan lainnya, dalam wilayah moral dan sosial yang berpengaruh pada kehidupan para pendukungnya. Douglas Sherwin mengatakan tujuan bisnis adalah sebagai mekanisme yang prinsip dalam memproduksi dan distribusi barang-barang ekonomi tetapi tergantung pada pandangan sistem partisipan. Adapun komponen-komponen Teori Stakeholder adalah : 1. Perusahaan baik secara implicit maupun eksplisit merupakan kontrak antara berbagai stakeholder (yang mempunyai kepentingan-kepentingan sendiri terhadap perusahaan). 2. Pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan fungsi (kepentingan) dari stakeholder. 3. Peranan manajemen didefinisikan sebagai mediator antar kepentingan stakeholder. Peran pemerintah menurut Cooper adalah meyakini ekologi dari hubungan sistem ekonomi sebagai sesuatu yang saling tergantung antar stakeholder, pelanggan/klien, pemilik, pegawai, manajer dan sebagainya. Sebagai inti teori stakeholder adalah saling ketergantungan antar stakeholder semakin meningkat, sebab setiap stakeholder ingin menjaga kestabilan lingkungan bisnis mereka dan sistem partisipasi lain, guna memuaskan pencapaian kebutuhan mereka. Situasi saling ketergantungan memperburuk kesamaan antar stakeholder, bagaimanapun sumber keputusan dialokasikan. Pencapaian akan pemerataan, setiap waktu dapat terlaksana jika sistem tetap stabil. Kepentingan-kepentingan berbeda seperti para pemilik preferensinya adalah bertambahnya modal, pegawai naiknya gaji, manajemen menginginkan bonus/reward dan customer memerlukan harga yang turun.
C.5. Kepentingan-kepentingan Stakeholder dan Pengaturannya Pembicaraan berbagai pereanan pemerintah, hukum, pembuat hukum, bisnis dan perusahaan, sarat dengan dimensi-dimensi kehidupan sosial.
Perhitungan-perhitungan yang membedakan public dengan privat, moral minimalism dalam etika legislative dan teori agen dalam perusahaan secara luas, berpengaruh pada keengganan dalam subyek kebijakan pengaturan dalam ketelitian/ketepatan etika. Nilai-nilai transaksional dari etos demokrasi, liberty, equality, private property dan public interest dalam gagasan social equity, tetap menjadi bagian budaya kontemporer, bagaimanapun pemisahan klasik antara private
dan
public
sebagai
ketidak
akuratan
kerangka
kerja
dalam
menggambarkan kekomplekan masyarakat dimana kita hidup. Ada beberapa kegagalan yang dilakukan oleh Teory Agen yaitu dalam hal memenuhi tuntutantuntutan stakeholder atas sumber-sumber organisasi; dan menyediakan pedoman kegiatan strategi serta taktik untuk memuaskan kepentingan pemilik. Kebijakan pengaturan meredakan hubungan antara Industri, pemerintah dan individu lainnya serta stakeholder kolektif. Dengan subyek tujuan dan konskwensi-konskwensi yang tegas dari kebijakan pengaturan dengan analisis etik sebab struktur yang jelas seperti persiapan cara-cara yang teliti untuk mengevaluasi kebijakan yang sukses. Kesimpulan sejumlah isu pemerintah yang melibatkan potensi pemerintah akan bemanfaat dengan analisis etika (contoh health care dillivery), bagaimana dapat
memperhitungkan
seluruh
stakeholder
dan
kepentingan
mereka,
konskwensi-konskwensi tujuan dari kebijakan-kebijakan pengaturan dapat dipahami. Manfaat pendekatan analisis etika adalah : terjadinya public discourse guna relevansi antara stakeholder dan kepentingan mereka; kebijakan regulatory ditetapkan atas dasar kemampuan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan stakeholder, legitimasi dari kepentingan dari keseluruhan stakeholder yang terlibat (ikut mewarnai alternative kebijakan dan konskwensi); dan kecermatan pilihan kebijakan regulatory melalui kajian analisis etika dan policy debate dalam sistem sosial dan organisasi ekonomi melalui moral. Analisis didasarkan pada kepentingan stakeholder termasuk komponen deskriptif dan normatif. Analisis etika merupakan alat evaluasi pilihan kebijakan dan konskwensinya melalui perhitungan-perhitungan kepentingan yang bersaing dan komplik dari keseluruhan stakeholder dan kecermatan penggabungan berbagai tindakan tertentu, dalam memaksimalkan keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut.
Gambar 7. Facts & Issues
Impact of Policy
Key Stakeholder
Stakeholders Interest
Tujuan-tujuan dari fase deskriptif dari analisis merupakan identifikasi dari peranan yang dimainkan dan pemainnya (stakeholder). Focus analisis adalah identifikasi berbagai isu yang ditangani dan fakta-fakta yang menunjang isu tersebut. Key stakeholder (berpengaruh) dan kelompok-kelompok stakeholder harus juga diidentifikasi termasuk kepentingan mereka. Akhirnya fase deskriptif dari analisis seharusnya mengestimasi impact dari subyek kebijakan terhadap interest dari stakeholders. Test for necessary amandements
Balance
Pengembangan Alternatif Balance test
Perhitungsn Berbagai Konskwensi Rekomendasi Amenden Kebijakan
Fase deskriptif; analisis terfokus pada pemetaan pengembangan dampak kebijakan
(dampak antisipatif), penyeimbangan antar berbagai stakeholder,
dengan kata lain dengan analisis etika dapat mengetahui apakah kebijakan regulatory dapat mengembangkan antar kepentingan stakeholder atau sebaliknya terjadi
keuntungan
yang
jomplang
bagi
stakeholder
tertentu,
dengan
mengorbankan yang lain. peningkatan kemampuan bisnis untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan stakeholder melalui diskusi kebijakan pengaturan “policy
regulatory debate” yang mengarh pada balance of all stakeholder interest, balance of costs and benefit a cross stakeholder, tapi tidak bermaksud bahwa setiap kebijakan berpengaruh sama pada setiap stakeholder, tapi semata-mata menjaga stabilitas. Penghindaran analisis etika dalam bisnis dalam ukuran-ukuran: “good deeds” (perbuatan-perbuatan baik), yang merupakan misi dari organisasi bisnis atau industry atau merupakan cara-cara yang tidak pantas. Beberapa penerapan model : 1. Bagaimana memberi kesempatan untuk pada setiap stakeholder untuk memberi warna pada kebijakan pengaturan. 2. Bagaimana kebijakan pengaturan dapat mengurangi biaya dan menambah saving and loan bailoat (good will). 3. Penyebaran uang di pedesaan atau di daerah terpencil menurun. 4. Pendekatan Draconian pada industry kesehatan financial. D. FRITZ GAENSLEN, 1996. “Motitional Orientation and the Nature of Konsensual Decision Making” Model pengambilan keputusan elit masa (non demokratis) dengan asumsi dasarnya hal mutlak bagi elit mengambil keputusan (dengan cara bagaimana dispute dapat diselesaikan). Perbedaan pengambilan keputusan consensus ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu analisis pilihan rasionalitas mayoritas
dan
mayoritas suara (yang kita kenal sebagai musyawarah mufakat) sebagai maksimasi kepentingan, studi psikologi sosial terhadap dampak, hukum di lapang (laboratorium), dalam upaya mengelola informasi (sebagai prosesor informasi); dan diskripsi proses resolusi dispute/komplik sebagai social being seperti yang terjadi di RUsia, Cina, Jepang dan AS. Di Cina dalam bidang kebijakan ekonomi melalui pembagian wewenang dalam isu-isu yang komplek dari reformasi, ekonomi (pendelegasian melalui consensus). Para pemimpin partai yang bercokol di birokrasi membagi wewenang pada pemerintah di level tingkat bawahnya untuk mengambil keputusan consensus. Apabila consensus tidak dapat dicapai pada tingkat pemerintahan diatasnya sampai consensus itu tercapai (model bertingkat). Dengan moral tertentu yang signifikan para anggota dapat mempunyai kesempatan konsultasi yang sama dan seimbang didalam rangka proses kebijakan yang adil (Limpton,
1992). Akibatnya anggota pada tingkat bawah sering menunggu petunjuk atasan dalam melakukan resolusi. Di Jepang para elit mengambil consensus secara tertutup, tidak terjadi kesempatan antara otoritas dan power dari berbagai aktor pemerintah yang berwenang untuk intervensi dan berpartisipasi dalam pengembangan berbagai isu, tetapi tidak memiliki kekuasaan langsung untuk bertindak atau mengontrol hasil, (tanggungjawab aktor hanya pada tingkat perumusan dengan consensus). Para elit pembuat keputusan dapat memandang proses keputusan consensus sebagai ketepatan cultural (Calder, 1988). Kesimpulannya. Di Jepang kekuasaan tersebar pada semua pihak (tidak terakumulasi pada satu elit pembuat keputusan). Setiap bawahan dapat mengambil keputusan; dapat melakukan bargaining, take and give dan trade off bisa terlaksana. Jepang memiliki ―streamline structure” (struktur pemerintah yang ramping), sehingga keputusan dapat diambil di bawah. Tujuan penulisan artikel Gaenslen adalah menunjukkan bahwa perbedaan hanya merupakan catatan teoritis dan kebutuhan menyatakan signifikansi dalam kasus yang nyata sulit diidentifikasikan, paling tidak pada bagian orientasi motivasi dari para partisipan (perbedaan-perbedaan yang ada hanya memiliki makna teoritis apa yang semestinya terjadi sulit teridentifikasi). Kesulitan yang muncul adalah tidak mampu mengakses pada tiap level pengambilan keputusan; siapa berkata apa, untuk siapa, apa yang ditekankan (tidak semua hal dapat terungkap dengan jelas atau hanya sebagian saja). Berbagai informasi secara otomatis memperbaiki proses materi pengarsifan seperti memorandum report, dan catatan-catatan pertemuan, yang dapat dirinci antara lain : 1. Banyak diskusi dan persuasi pada level pengambilan keputusan pemerintah teratas (tertinggi) sebagai suatu formalitas. 2. Pengarsipan berbagai materi materi dilakukan untuk alasan-alasan institusional dan bukan untuk konsumsi umum (publik) tapi dilakukan melalui “image manajement” 3. Apa yang dihasilkan dalam formal yang refleksinya tidak bisa dirubah dari setiap kecenderungan dan pembatasan para pembuatnya.
D.1. Pengambil Keputusan Sebagai “Interest maximize” Pilihan rasional bekerja dalam obyak perancangan dan institusi evolusi public dalam penekanan asumsi pada konteks: 1. Setiap para pengambil keputusan bebas mengembangkan pilihan, mendahului preferensi kelompok (atau konsep otonomi diterapkan). 2. Preferensi yang dilakukan tidak sama antara para pembuat keputusan (variasi preferensi atau mandiri dalam opini) 3. Hak suara terdistribusikan sama bagi setiap pembuat keputusan (masingmasing mempunyai hak suara). 4. Para pembuat keputusan dimotivasi untuk dapat memaksimalkan kepentingan (setiap orang bebas menyampaikan pendapat). Sehingga dengan demikian proses pencapaian suara terbanyak nampak lebih; dapat mengakomodasi lebih banyak kepentingan; lebih banyak terjadi ―debate isu”; dan sebagai upaya “log rolling solution” (solusi yang disepakati semua pihak), yang dapat mengakses semua preferensi para partisipan untuk menghasilkan perubahan yang menguntungkan bagi semua pihak (win-win). Proses ini diharapkan menghasilkan efisiensi ―pareto outcome” (kesepakatan), karena sejak awal telah gagal mencapai kesepakatan sebab tidak mudah bagi Policy maker untuk melakukan tindakan kolektif. Ketidakmampuan Policy maker mengambil tindakan kolektif dalam mencapai kesepakatan sebagai anjuran ―rational choice‖ mengandung konskwensi : 1. Positif bahwa pencapaian kesepakatan lebih sebagai upaya stabilitas (memelihara stabilitas). 2. Negatif bahwa sebagai upaya mendukung status quo (dengan segala bentuk ketimpangan lain). Dan bagi partisipan individual akan terjadi ; falsify (kepalsuan) dalam pilihan mereka dalam artian mereka dapat saja memalsukan pribadinya untuk keamanan dirinya, pemerasan (exortion), menentang dengan diam-diam, penyogokan suara (publik), mengurangi kelompok yang tidak sepakat (dengan proses birokratik atau mengikuti pola-pola birokratik artinya sebelum adanya pertemuan formal telah dirumuskan terlebih dahulu oleh kelompok-kelompok tertentu dalam
birokrasi, untuk kemudian dilegitimasi dalam formal meeting, untuk memperoleh kata sepakat. Keinginan untuk memaksimalkan berbagai kepentingan, berakibat terjadi kelambatan keputusan ―Inertia‖, stagnasi, serta pembusukan politik “politic decoy”. Disebabkan alasan-alasan rasional choice diatas, yang dilalui dalam proses politik yaitu : artikulasi, agregrasi, sosialisasi dan implementasi hasil proses, dimana perlu disadari faksi-faksi menunjuk pada political will yang berbeda. D.2. Pengambil keputusan sebagai “Information prossesor” Para psikologis sosial yang membandingkan (musyawarah mufakat) sebagai studi lapang memiliki dua karakteristik. Pertama, kelompok tersusun atas individu-individu yang tidak saling mengenal dan begitu selesai tugas mereka membubarkan diri. Kedua, tugas-tugas dilaksanakan atas dasar kooperatif dan terdefinisikan dengan baik (ada kerjasama) dan identifikasi dengan baik serta pembuatan keputusan nampak sebagai usaha-usaha kognitif dan sedikit dapat memaksimalkan
kepentingan-kepentingan
yang
ada,
memandang
secara
komprehensif pada setiap permasalahan. Ciri yang membedakan dengan D.1 adalah penggunaan daya piker kognitif secara penuh dalam upaya mencapai kata sepakat. Beberapa kesimpulan yang mendukung mufakat adalah sebagai berikut: a. Para pembuat kesepakatan menemukan fakta-fakta yang relevan (pendapat) dari setiap pembuat kesepakatan dalam waktu yang relatif sama (Hastle, 1983). b. Para pembuat kesepakatan dari mayoritas dapat mencurahkan perhatian pada opini kelompok minoritas (Foss, 1981). Hal ini mendorong munculnya pemikiran-pemikiran berbeda serta mengurangi kemungkinan visi yang sama. c. Faksi-faksi dan usulan-usulan tindakan memunculkan kesepakatan bersama. d. Para pembuat kesepakatan hanya sedikit memiliki kesempatan untuk melakukan jalan pintas “cognitive shortcut” dan perhatian mereka tercurah pada “away of from what is being said to who is doing the talk”
(dari apa yang mereka katakana dan siapa yang mengerjakan apa yang mereka katakana (Chaiken, dkk, 1989). Dalam artian apa yang diputuskan dan siapa yang melaksanakan keputusan yang dimaksud. Kesimpulannya kesepakatan digambarkan sebagai upaya pengumpulan data ketimbang mencari solusi (apa yang terjadi dan mengapa terjadi dan mayoritas nampak lebih menekankan apa yang mereka seharusnya kerjakan, atau seperti apa yang tertulis. Ada beberapa perbedaan tipe/gaya pertimbangan pencapaian kesepakatan : a. Unity seeker (user) mayority ; penekanan pada rekomendasi terhadap apa yang seharusnya dikerjakan atau dilakukan. b. Mayoritas pembuat kesepakatan lebih menggunakan waktunya untuk merancang solusi baru, terhadap permasalahan ketimbang mengadopsi solusi-solusi yang sudah ada atau mencapai kepuasan semua pihak. c. Mencapai
kesesuaian antara solusi dan permasalahan yang terjadi,
sehingga nampak mencapai kualitas kepatuhan yang tinggi (Bower dkk, 1965). Dengan demikian keputusan akan lebih dapat diimplementasikan oleh karena merupakan hasil keputusan bersama atau semua pihak berpartisipasi dan resisten terhadap perubahan (lebih dapat dipertahankan, karena untuk mengadakan perubahan memerlukan kesepakatan baru, yang melibatkan semua pihak, waktu dan biaya tambahan. Keputusan ini terfokus pada pembuat keputusan yang dimotivasi untuk sebagai prossesor (pengelola) informasi ketimbang Interest maximize. Namun demikian keputusan yang dihasilkan sering tidak dilaksanakan karena ketidakmampuan para pembuat keputusan untuk bertindak atau ketidakinginan (komitmen) untuk tidak melaksanakan apa yang dilakukannya, sebelumnya (keputusan atau hasil pemikisan kognitif seluruhnya). D.3. Pembuat Keputusan Sebagai “Social Being” Para pembuat keputusan sering menekankan pada kehidupan mereka sehari-hari dalam perjuangannya melalui analisis pengalaman “world historical”. Keputusan-keputusan mereka diambil guna mendukung atau menghambat tujuantujuan eksternal dalam keputusan kelompok. Perilaku kelompok tidak merakan
adanya batasan (sukarela) menerima status hirarki, persahabatan, melewati sejarah, harapan-harapan interaksi atau sepakat/tidak dengan kolega (dalam perhitungan-perhitungan pembuat keputusan yang dilandaskan pada dirinya sebagai mahluk sosial). Elit politik sebagai mahluk sosial; perluasan status elit, keinginan dan secara problematik tidak dikembangkan dari inpersonal rules of the game (sesuai dengan hukum yang ada), melainkan melalui kreasi, pemeliharaan dan alterasi hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan politik. Merumuskan urusan-urusan merupakan
manifestasi
dari
upaya-upaya
melalui
top
leader,
untuk
mengkonsolidasikan dan ekspansi jaringan kerja pelanggan, menawarkan kesempatan karier dalam perubahan untuk mencapai kesetiaan dan dukungan (Gill dkk). Ada beberapa perbedaan pelaksanaan ide dalam artikel ini dibeberapa Negara, semisal di Jepang standar Inpersonal “rules of the game” berkembang dengan baik, meskipun tindakan elit dari bangunan faksi, peningkatan sumber dana dan seleksi pelayanan, didominasi oleh proses informal dalam hubungan sosial. Sedangkan Soviet dan Cina pengembangan mekanisme sistem atasan yang relative lemah dalam penyelesaian komplik kebijakan, penyelenggaraan hubungan sosial dapat dilihat sebagai hambatan langsung dalam proses pembuatan keputusan. Fisi sebagai sumber data, hubungan sosial dipertimbangkan berdampak dalam keputusan consensus (keuntungannya); a. Fisi dapat memberikan gambaran tentang hubungan sosial dan berpengaruh dalam proses pengarsipan. b. Upaya untuk menghindari kesalahan memory dan dalam merespon hasil wawancara dengan Policy maker. c. Memungkinkan untuk mengakses berbagai konteks tanpa intervensi berbagai investigator yang terkait dengan observasi langsung terhadap proses keputusan. d. Beberapa dengan dilapangan; kecenderungan penggunaan setting natural (alamiah), dimana para pelaku saling memiliki hubungan nyata dan problem yang dihadapi juga secara factual. Rekruitmen didasarkan pada
hubungan sosial, namun miskin pada penegasan subyek sebagai tiruan dalam hubungan yang jelas. e. Penilaian terhadap dampak hubungan sosial mempengaruhi keputusan dan proses consensus bagi pengambil keputusan memiliki waktu ektra untuk memaksimalkan manfaat dan perbaikan kesalahan struktur. Dalam hal keputusan consensus ini, penggunaan metode diarahkan pada hal-hal sebagai berikut: a. Membedakan antara hasil consensus dan non consensus b. Mengukur hubungan sosial antara para peserta yang komplik dengan kondisi awal yang menyebabkan komplik itu terjadi. Dengan alasan : cross culture evidence (bukti lintas budaya). Sangat berpengaruh pada cara-cara orang
menilai
orang
lain,
kesamaan
dan
perbedaan
mewarnai
pertimbangan mereka (Wish dkk, 1976); pemunculan dimensi status hubungan sosial dalam dunia elit politik. c. Memerlukan ukuran proses pembuatan keputusan tentang apa yang menjadi discourse para partisipan yang dibedakan antara tindakan koersif (argument paksaan), pendapat akhli, ketentuan normative dan preferensi. Pada akhir tulisan ini siding pembaca bisa mencermati dan member makna pribahasa yang terkenal di AS yaitu “to go along, you have to go along, at least some of the time” (Gaenzlen, 1996).
TABEL PROSES KEBIJAKAN FORMULASI 1. Masalah Kebijakan - Masalah apa? Ekonomi? Politik? Sosial? Lingkungan? Teknologi? - Mengapa masalah tsb yang diangkat? Seberapa urgen ? - Apa karakteristik uta-ma masalah tsb ? - Apakah definisi masalah kebijakan cukup jelas ? - Siapa saja yang terlibat dlm perumusan masalah tsb ? - Apa tujuan yang hendak dicapai ? 2. Opsi/alternatif/solusi masalah Kebijakan - Apa upaya yang dilakukan shg masalah bisa masuk ke agenda pemerintah ? - Apa alternatif kebijakan yang dipilih untuk mengatasi masalah tsb ?
IMPLEMENTASI 1. Strategi implementasi - Apa strateginya? Mengapa? - Apa rasionalitasnya? - Siapa yg memilih? 2. Instrumen implementasi - Apa instrumen implementasi yang dipakai? - Apa rasionalitasnya? - Siapa yang menetapkan instrumen tsb ? 3. Jejaring implementasi - Apa bentuk jejaring yang dibentuk ( kemitraan, kolaborasi dst ) untuk melaksanakan kebijakan ? - Siapa saja yang terlibat dlm jejaring tsb? Mengapa ? - Sejauhmana efekti-vitas koordinasi dian-tara mereka ? 4. Aktor pelaksana kebijakan - Siapa saja aktor yang terlibat? - Apakah mereka punya
EVALUASI 1. Siapa pihak yang menilai hasil dan dampak implementasi kebijakan ? Mengapa? 2. Apa instrumen / kriteria yang dipakai untuk menilai keberhasilan implementasi kebijakan ? Efektivitas? Effisiensi? Keadilan? Persamaan? Akuntabilitas? Atau apa? 3. Apakah evaluasi juga dilakukan pada fase : Exante? On-Going? Ex-Post? Mengapa ? 4. Sejauhmana tujuan kebijakan telah tercapai ? Dan apa dampaknya terhadap beneficiaries ? 5. Apa kendala yang dihadapi selama proses evaluasi ? Mengapa? Dan apa jalan keluarnya ?
REFORMASI 1. Kebijakan apa/mana yang akan direformasi? 2. Mengapa? Atau apa alasannya ? 3. Siapa yang terlbat dalam reformasi kebijakan tsb? 4. Siapa yang bakal diuntungkan dan dirugikan dengan adanya perubahan kebijakan tsb? 5. Apa tujuan utama dari proses reormasi kebijakan tsb ? 6. Bagaimana proses perubahan kebijakan itu dilaksanakan ? 7. Apa strategi utama yang dipakai oleh reformer untuk mereformasi kebijakan tsb ? Mengapa? 8. Pada diimensi proses kebijakan apa/mana reformasi tsb hendak dilakukan ? Formulasi? Implementasi? Evaluasi? 9. Hasil dan dampak signifikan apa yang
Mengapa ? - Faktor lingkungan lingkungan apa saja yang diperhatikan dlm memilih alternatif yang terbaik ? - Kriteria apa saja yang dipakai untuk menakar bobot terbaik dari 5. alternatif tsb ? Teknis? Ekonomis? Politis? Administratif? - Siapa saja pihak yang mendukung atau menolak alternatif tsb ? 3. Kendala apa saja yang dijumpai dalam merumuskan kebijakan tsb? Sumber : Materi Kuliah Prof Irfan Islamy, 2014
power, interest and influence yang signifikan ? - Sejauhmana mereka telah memiliki 5C Protocols : Content, Context, Capacity, Commitment, Client & Constituent ? Kendala-kendala apa saja yang dihadapi selama implementasi kebijakan? Bagaimana jalan keluarnya?
diperoleh dari reformasi kebijakan tsb ? 10. Kendala apa saja yang dijumpai dalam mereformasi kebijakan tsb ?
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Salemba Humanika. Jakarta Anderson, James, 1979, Public Policy Making. Holt, Rinehat & Winston Chambers, Robert, 1988. Pembangunan Desa : Mulai Dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Compston, Hugh. 2009. Policy Networks and Policy Change Putting Policy Network Theory to the Test. Palgrave Macmillan. New York. Crabtree & Miller, 1992. Doing Qualitative Research. Page 111-112. Danziger, Marie, 1995. ―Policy analysis Post Modernzed : Some Political and Pedagogical Ramiflcation‖. Dalam Policy Studies Journal. Harvard Kennedy School. Deitzner, Daniel F, 1995. ―Understanding and valuation Qualitative Research‖. Dalam Journal of Marriage and the Family 57. Department Sociology, Your University, Ontario Canada. DeLeon, Peter, 1994. ―Democration and the Policy Sciences : Aspirations and Operations‖. Dalam Policy Studies Journal. Dunn, William N, 1995. Yogyakarta.
Analisa Kebijakan Publik. PT. Hanindita Offset.
Dye, Thomas R, 1981. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, Prestise Hall, New Jersey. Easton, David, 1965. A Systems Analysis of Political Life. Jhon Wiley & Sons, Inc Edward III, George, 1980. Implementing Public Policy. CQ Press, US Gaenslen, Fritz, 1996. ―Motivational Orientation and the nature of Konsensual Decision Process : A triangulate Approach‖ Dalam Political Research Quartety. Gettysburg College. Harrington, L K, 1996. ―Ethics and Public Policy Analysis : Stakeholder’s Interest and regulary policy‖. Dalam Journal of Bisnis Ethic‖. Kluwer Academic. Netherlands. Heilman, John G. 1983. ―Beyond The Technical and Bureaucratic Theories of Utilization: Some Though om Synthesizing Reviews and the Knowledge Base of the Evaluation Profession‖. Dalam Evaluation Review. Sage Publications, Inc.
Hoksbergen, Roland, 1986, ―Approach to Evaluation of Development Intervision: The Importance of World and Life Views‖. Dalam Charles K. Wilber. The Methodological Foundations of Development Economics. Pergamon Press, Oxford, New York. Knetsch, Jack L. 1995. ―Assumption, Behavioral Findings and Policy Analysis‖. Dalam Journal of Policy Analysis and Management, Jhon Wiley and Sons, Inc. Kobrin, Solomon & Steven G Lubeck, 1975. ―Problems The Evaluator of Crime Control Policy‖. Dalam Kenneth M. Dolbeare ed. Public Policy Evaluation. Sage Publication. Beverly Hills. London. Lodge, George C, & Steven D Gudeman, 1968. ―Study of The Organization of Rural Change In a Latin American Country‖. Dalam The Veraguas Report. Harvard University. Mazmanian, Daniel A & Paul A. Sabatier. 1989. Implemnetaion and Public Policy with a New Postscript. University Press of America. New York. Parks, Boyer B, 1975. ―Complementary Measure of Policies Performance‖. Dalam Kenneth M. Dolbeare ed. Public Policy Evaluation. Sage Publication. Beverly Hills. London. Sabatier, Paul & Daniel Mazmanlan, 1988. ―Implementation : The Concept of optimal Conditions for Effectively accomplishing Objectives‖ Dalam Richard J.Stilmann II. Public Administration : Concept & Cases. Houghton Miffin Company. New Jersey. Solichin. AW, 1988. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan yang Responsif dan Berkualitas. Program Pasca Sarjana. Brawijaya Malang. Solichin. AW, 1996. Evaluasi Kebijakan Publik. IKIP. Malang Solichin. AW, 1997. Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Bumi Aksara Jakarta. Solichin. AW, 1998. Analisis Kebijakan :Teori dan Aplikasinya. FIA Unibraw. Malang. Wildavsky Aaron. 1972. ―The Self-Evaluating Organisation‖. Dalam Buying Recreation Budgeting and Evaluation in Federal Outdoor Recreation Policy. University California at Berkeley. Wiltshire, Kenneth W, 1975. An Introduction to Australian Public Administration, Cassel Australia.
KATA PENGANTAR Puji syukur kami sampaikan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta waranugraha-Nyalah, diktat kebijakan publik ini dapat tersusun, sesuai dengan harapan penyusun. Dan semoga demikian juga, seperti apa yang menjadi harapan para sidang pembaca. Dalam diktat ini, penulis berupaya menghimpun berbagai materi mengenai kebijakan publik. Dan tak lebih merupakan ringkasan berbagai materi kuliah dan hasil kajian terhadap beberapa buku teks serta artikel, yang penulis tekuni selama satu tahun, melalui bimbingan pakar kebijakan publik yang sekaligus sebagai dosen pembina mata kuliah kebijakan publik yaitu Prof. Dr. M. Irfan Islamy, MPA, Prof. Dr. Solichin Abdul Wahab, MA dan Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, dalam mengikuti Program Pasca Sarjana di Universitas Brawijaya Malang, dan selanjutnya menyusun sebuah diktat yang sekiranya dapat mempermudah bagi mahasiswa atau akademisi dalam memahami intervansi pemerintah dalam bentuk kebijakan
Negara
dan
juga
memberi
pertimbangan
terhadap
kemajuan
perkembangan kebijakan publik, bagi kelompok masyarakat dan praktisi kebijakan publik lainnya. Jika sidang pembaca ingin menulis, diktat ini belum bisa dijadikan referensi, namun apabila ingin mengutip essensi dari tulisan ini, diharapkan sidang pembaca mempergunakan referensi aslinya. Meskipun segala kemampuan da daya upaya telah tercurah sepenuhnya, sehingga tulisan ini menurut pemahaman kami sudah cukup baik. Namun demikian sumbang saran dan kritik yang sifatnya dapat memperbaiki diktat ini, sebagaimana partisipasi yang kami harapkan dari sidang pembaca adalah sangat mungkin kami terima secara terbuka. Akhirnya semoga diktat ini senantiasa bermanfaat bagi pembaca.
Singaraja, Pebruari 2016 Penyusun
DAFTAR ISI Judul
Halaman
JUDUL ............................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
BAB II
FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK ..........................................
4
A. Pemahaman Terhadap Kebijakan Publik ...................................
4
B. Proses Perumusan Kebijakan Publik .........................................
5
C. Teori Inkremental Sebagai Pendekatan Perumusan Kebijakan .
8
BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ...................................
12
A. Memahami implementasi Kebijakan Publik ..............................
12
B. Model Implementasi Kebijakan .................................................
14
BAB IV EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK .............................................
26
A. Pemahaman Tentang Evaluasi Kebijakan ..................................
26
B. Manfaat dan Fungsi Evaluasi .....................................................
29
ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN ................................
34
A. Pengertian Analisis Kebijakan ...................................................
34
B. Institusi-Institusi Analisis Kebijakan .........................................
35
C. Pentingnya, Tujuan Analisis Kebijakan .....................................
35
D. Peran Analisis Kebijakan ...........................................................
36
E. Keterbatasan Analisis Kebijakan Publik ....................................
36
F. Pendekatan-Pendekatan Analisis Kebijakan Publik ..................
36
G. Netralitas Analisis Kebijakan ....................................................
38
H. Pentingnya Pertimbangan Kelayakan Politik ............................
38
I. Skenario Analisis Kebijakan ......................................................
39
J. Proses Penyusunan Skenario Analisis Kebijakan Publik ..........
39
K. Metode-Metode Lain dalam Penelitian Kebijakan ....................
42
BAB V
BAB VI PENGKAJIAN TERHADAP PENDEKATAN POSITIVISME ...
43
BAB VII BEBEPARA PENDEKATAN ALTERNATIF ..............................
47
A. Pendekatan Kualitatif .................................................................
47
B. Teori Fenomenologi, Hermeneutik, dan Teori Kritik (memberi tekanan pada subyek yang menafsirkan obyeknya) ...................
49
B.1. Teori Fenomenologi ............................................................
49
B.2. Hermeneutik .......................................................................
49
B.3. Teori Kritis Mazhab Frankurt dan Jurgen Habermas Versus Marx ....................................................................................
51
BAB VIII MATER-MATERI TAMBAHAN .................................................
57
A. HOKSBERGEN, 1986. ―Approach to Evaluation of Development Intervention‖ ..............................................................................
57
B. WILDAVSKI, 1982. ―Self Evaluation Organization (SEO)‖ ...
60
C. Harington, 1996. Ethic and Public Policy Analysis ...................
64
C.1. Hubungan Bisnis dan Pemerintah .......................................
65
C.2. Peran Pemerintah ................................................................
66
C.3. Hukum dan Pembuatan Hukum ..........................................
67
C.4. Karakteristik Bisnis dan Perusahan ....................................
68
C.5. Kepentingan-Kepentingan Stakeholder dan Pengaturannya
70
D. Fritz Gaenslen, 1996. ―Motivational Orientation and the Nature of Konsensual Decision Making‖ ..............................................
73
D.1. Pengambilan Keputusan Sebagai ―Interest Maximizer‖ .....
75
D.2. Pengambilan Keputusan Sebagai ―Information Prosessor‖ .
76
D.3. Pembuat Keputusan Sebagai ―Social Being‖ .....................
77
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
82