BUKU BAHAN KULIAH HUMAN RELATION BAGI MAHASISWA FISIP UNIVERSITAS PANJI SAKTI SINGARAJA Di susun oleh: Gede Sandiasa, S.Sos, M.Si *Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIPAS
I. P E N D A H U L U A N A. Manusia Manusia sebagai mahluk termula di muka bumi semakin lama semakin cerdas. Kecerdasan yang semakin meningkat itu mengakibatkan manusia telah di juluki dengan berbagai “predikat”, seperti “homo faber”, “homo sapiens”, “homo politikus”, dan “homo ekonomikus”. Dikatakan pula bahwa manusia itu adalah zoon politikon. Disamping semuanya ini penulis berpendapat bahwa manusia modern adalah pula “homo administratikus”, serta organisation man. Naluri masyarakat, naluri berorganiasi serta ketidakmampuan manusia untuk memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhanya yang semakin kompleks itu serta sifat hakiki dari manusia itu sebagai “mahluk yang tidak puas” menyebabkan manusia itu merupakan milik yang paling berharga bagi pimpinan suatu organisasi. Itulah sebabnya secara hakiki dapat dikatakan bahwa jika seseorang ingin berbicara tentang “filsafat administrasi”, maka fokus analisanya harus bertitik tolak dari manusia dan berorientasi kepada manusia karena seluruh proses administrasi dimulai oleh manusia, dimaksudkan demi kepentingan manusia, dan diakhiri pula oleh manusia. (bahan-bahan tersebut di atas dari buku Filsafat Administrasi Sondang P. Siagihan). B. Bagaimana Dasar Perbedaan Manusia Manusia berbeda dalam tiga hal : Dalam cara mereka berpikir ; dalam cara mereka berperasaan ; dalam cara mereka bertindak. 1. Berpikir menunjukkan pada sifat-sifat rohani seseorang kecerdasan, kecakapannya untuk berpikir secara logis, kecakapan untuk menangkap sesuatu, kebiasaan-kebiasaan berpikirnya. 2. Merasa menunjukan pada sifat emosional, sikap seseorang dalam menghadapi kritik, sifatnya sebagai penyerang dalam percakapan, cepatnya ia menjadi marah, kebiasaan-kebiasaan emosionalnya. 3. Bertindak menunjukan pada sifat kejasmanian-kekuatan badan seseorang, gaya tahannya, kecepatannya untuk bergerak, caranya berhubungan, kebiasaan-kebiasaan berbuatnya. Melihat perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain tidak selalu mudah. Hal ini membutuhkan pengamatan dan pengalaman. Akan 1
tetapi jika saudara berusaha melatih di dalam hal menggolong-golongkan dan menilai orang, saudara akan berpendapat, bahwa bergaul dengan para pekerja, merupakan pekerjaan yang lebih mudah daripada apa yang saudara kira.
C. Bagaimana Dasar Persamaan Manusia Kita semua mempunyai beberapa kebutuhan-kebutuhan, keinginankeinginan dan sifat-sifat tertentu, yang merupakan sebab adanya “penyebut” dari tabiat manusia seperti tersebut di atas. Hal ini tidak saja terdapat pada penduduk asli dari Pulau Laut Selatan, tapi juga pada seseorang sekretaris pada suatu kantor, seorang gadis penjual di belakang meja kedai, atau seseorang pekerja di dalam Pabrik. Persamaan-persamaan tersebut diantaranya adalah : 1. Naluri untuk bergolong. Telah menjadi kodrat alam, bahwa manusia mempunyai kebutuhan untuk berkumpul. Orang ini berkawan dengan orang lain. Ia ingin bersatu dengan sebuah gerombolan, atau beberapa gerombolan manusia. Hal ini merupakan kenyataan pula bagi para pekerja yang berada di bawah kekuasaan saudara dan para pemimpin yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada saudara. Hal yang sama terdapat pula pada saudara sendiri, isteri, anak dan tetangga saudara. 2. Perlawanan tehadap perubahan. Menurut Hukum Ilmu Alam, jika sebuah benda sekali bergerak dalam jurusan tertentu, kekuatan harus dipergunakan guna merubah jurusannnya. Makin cepat perubahan itu diadakan dan makin besar adanya perubahan, maka makin besar pula kekuatan yang dibutuhkan. Contoh itu dapat saudara lihat jika saudara mengendarai mobil saudara. Kita umpamakan saudara melalui sebuah jalan sambil membelok dengan belokan yang tajam, saudara akan melihat adanya perlawanan dari mobil saudara. Roda setir seolah-olah menghendaki berputar kembali. Apabila belokannya terlalu tajam, saudara bahkan akan menubruk pagar pelancar, tak dapat lagi menguasai kendaraan dan akan mendapat kecelakaan. Akan tetapi jika saudara berbelok dengan perlahan, saudara akan melihat bahwa saudara dapat menjalankannya dengan mudah, halus dan aman. Hal tersebut mengandung kebenaran dalam pergaulan dengan manusia. Sekali orang mengerjakan sesuatu dengan cara yang tertentu, hal itu merupakan kebiasaan jasmani dan rohani. Untuk merubah kebiasaan jasmani dan cara berpikir itu dibutuhkan usaha-usaha secara bertingkat-tingkat atau berangsur– angsur. Hal tersebut membutuhkan kesabaran yang tidak sedikit. Apabila perubahan itu saudara kerjakan secara bertingkat-tingkat 2
dan berangsur-angsur, saudara akan membutuhkan lebih sedikit usaha daripada jikalau perubahan jurusan itu dilakukan secara tajam. Jika perubahan diadakan dengan terlalu sekonyongkonyong akan timbul bahaya, bahwa orang seperti halnya dengan Auto Mobil, akan memberontak atau melawan terhadap pengawasan saudara. Umpam sebagai contoh, langganan saudara bermaksud menaikkan harga susunya, yang semula besarnya dua rupiah setengah botol besar, menjadi tiga rupiah, yakni menaikkan harga perbotol dengan lima picis. Apabila ia berpengalaman, ia tahu bahwa menaikkan harga dengan lima picis sebotol dengan sekonyong-konyong akan menimbulkan amarah daripada langganan dan menyebabkan mereka mencari langganan lain. Berdasarkan atas pengalaman tersebut langganan saudara tidak menaikkan harga susunya sekaligus dengan lima picis sebotol, melainkan mula-mula ia menaikkan harganya dengan sepicis sambil memberi keterangan bahwa biaya-biaya pemerasan susu naik, dan karenanya terpaksa menaikan harga susunya. Jika ia yakin, bahwa saudara telah menerima dan dapat membiasakan diri dengan harga baru itu, maka ia pada suatu ketika menaikkan lagi harganya dengan sepicis, dan mengulanginya dengan berangsur-angsur sehingga akhirnya harga susunya sebotol menjadi tiga rupiah. Hal yang sama belaku pula dengan keadaan yang lain. Ambillah tuntutan serikat buruh mengenai kenaikan upah. Seorang pemimpin buruh yang cerdik mengetahui bahwa menuntut kenaikan upah yang besar dengan sekaligus hanya akan menemui perlawanan dari pihak majikan dan pendapat umum. Dari sebab itu ia mengajukan tuntutannya secara bertingkat-tingkat dan berangsur-angsur. Ia mengetahui bahwa dengan cara demikian kemungkinannya untuk berhasil menjadi lebih besar. 3. Kehausan akan “Ego” Kita semua ingin menjadi orang yang penting. Bagi seseorang manusia, titik sekitar mana dunia berputar adalah tempat yang dapat ditentukan dengan memegang sebuah potlot di atas tengah-tengah kepalanya. Apabila orang kena kepotong jarinya, rasa sakit yang dideritanya merupakan hal yang terpenting baginya. Mungkin sekali hal tersebut pada saat itu baginya jauh lebih dari pada kematian beberapa ratus orang akibat gempa bumi yang terjadi ditempat yang jauh letaknya. Apakah artinya “Ego”? Artinya ialah : “Diri pribadi” yaitu “Aku” dan “Aku” merupakan salah satu perikatan yang paling penting dalam kamus bahasa kita. Pernah diadakan penyelidikan tentang kata-kata yang paling biasa di pakai dalam percakapan dengan melalui telepon. Ternyata bahwa”Aku” 3
merupakan satu-satunya perkataan yang paling sering di pergunakan dalam percakapan tersebut. John Dewey seseorang ahli filsafat yang tersohor pernah berkata : “Keinginan agar menjadi penting adalah dorongan yang paling besar yang terdapat dalam tabiat manusa”. Berhubungan dengan itu kehausan akan”Ego” atau diri pribadi merupakan faktor yang amat penting dalam pergaulan dengan manusia. Hal ini menunjukkan adanya beberapa peraturan dasar dalam perhubungan antara manusia dan manusia. Salah satu diantaranya ialah adanya kodrat manusia untuk menjadi marah apabila menerima celaan. Itulah sebabnya maka saudara akan menganggap mudah untuk membuat seorang tidak menyukai saudara apabila saudara kurang memberi penghargaan baginya, tidak mau mengenal kepadanya, memberi tegoran kepadanya dimuka kawankawannya sekerja, atau tidak memberi penghargaan, jika penghargaan seharusnya diberikan. Pukulan-pukulan semacam itu pada diri pribadi atau ego seseorang tak dapat diterima begitu saja olehnya. Unsur bergaul dengan manusia dengan cara yang baik, saudara harus belajar untuk menghargai diri pribadi mereka dengan memandang persoalanpersoalan tidak hanya dari sudut diri kita sendiri melainkan juga dari sudut mereka. 4. Keinginan terhadap ketentraman Jikalau saudara bertanya kepada beberapa orang akan anti “ketentraman” maka mereka sering kali akan menjawab : Uang simpanan dalam Bank. Jawaban tersebut adalah singkat akan tetapi juga bersifat menyesatkan. Ketentraman itu adalah keadaan pikiran. Tidaklah merupakan suatu syarat. Cara lain yang lebih baik untuk menentukan arti kata ketentraman ialah dengan menyatakan bahwa, ketentraman itu adalah perasaan percaya pada diri sendiri dan kekuatan batin yang tenang dengan disertai ketentraman pikiran. Uang saja tidak dapat menjamin adanya pikiran yang tentram. Seorang pekerja, yang dapat dipercayai yang dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik, dan yang karena pekerjaannya serta cara penghidupannya merasa dirinya berguna, mempunyai rasa tentram yang mendalam, faktor-faktor apa yang membuat orang merasa tentram? Untuk menyelidiki hal itu saudara umpamakan diri saudara terdampar pada kepulauan Laut Selatan. Apa yang saudara butuhkan untuk mendapatkan ketentraman pikiran dan jiwa? Dalam hubungannya dengan para pemimpin, penulis buku ini mengajukan pertanyaan tersebut kepada mereka. Jawabanjawaban yang diterimanya, dengan tak diduganya, menunjukkan banyak persesuaian. Jawaban-jawaban itu adalah sebagai berikut :
4
a. Soal makanan akan menjadi perhatian saudara yang pertama, saudara akan menjadikan atau mencari apa saja yang dapat dimakan, barangkali buah kelapa, dan mata air untuk minum. b. Soal perlindungan kemudian akan menjadi buah pikiran saudara. Setelah saudara mengetahui darimana saudara akan mendapat bahan-bahan makanan, saudara akan membutuhkan tempat untuk tidur dan untuk berlindung terhadap angin dan hujan, pakaian agar tidak kedinginan, api untuk menakuti dan mengusir binatang. c. Keinginan untuk berteman menjadi kebutuhan saudara yang ketiga. Saudara ingin berhubungan dengan sesama manusia. Saudara membutuhkan kawan, seseorang dengan siapa saudara dapat bercakap-cakap dan dengan siapa saudara dapat bergaul. d. Selanjutnya saudara membutuhkan kemakmuran yang lebih besar. Saudara mungkin memutuskan untuk membuat tempat tidur yang lebih empuk, tempat berteduh yang lebih besar, meja dan kursi, dan mungkin juga sebuah selokan agar dapat mengambil air secara lebih mudah. e. Akhirnya saudara mencari kepuasan hati dengan mengetahui bahwa orang lain yang berada di Pulau itu mempunyai rasa hormat terhadap saudara. Dalam usaha saudara supaya orang lain menghormati dan menghargai saudara, barangkali saudara ingin mencoba untuk menjadi pimpinan mereka. Jika saudara tidak mempunyai sifat menyerang, saudara mungkin akan mencoba pula supaya mereka mempunyai perasaan dan pikiran yang baik terhadap diri saudara. Saudara barangkali akan menawarkan pertolongan kepada tetangga saudara dalam membangun rumah tangga mereka. Mungkin saja saudara sedia menolong melaksanakan beberapa pekerjaan, yang meskipun tak menyenangkan, perlu untuk kepentingan umum. Marilah kita merubah pemandangan tersebut. Dalam buku yang lain berjudul “Teori dan Manajemen Konflik”, oleh Kusnadi & Bambang Wahyudi (2001). Disampaikan tentang hakekat persamaan dan perbedaan manusia seperti dijelaskan di bab II. II. HAKEKAT PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MANUSIA Tindakan atau perilaku seseorang dalam organisasi dan di tengahtengah masyarakat dapat searah (sama) atau berbeda dan persamaan serta perbedaan pada diri manusia merupakan potensi manusia yang dapat menjadi potensi positif atau potensi negatif. Memahami secara tepat dan cepat dari komponen persamaan dan perbedaan manusia di dalam organisasi secara khusus akan memberikan kearifan yang tinggi sehingga keputusan dan tindakan individu, kelompok atau organisasi tidak ditetapkan dan diterapkan secara gegabah melainkan telah melalui suatu proses pemikiran dan pertimbangan yang matang dan dengan demikian iklim kelompok, organisasi atau masyarakat akan semakin sejuk sehingga
5
semua pihak yang terlibat di dalam kelompok, organisasi atau masyarakat akan memperoleh kepuasan yang patut dibanggakan. Mengingat perseteruan atau konflik awalnya berasal dari perbedaan maka mengenal prinsip dasar perbedaan manusia merupakan studi yang relevan dan sangat kondusif untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul meskipun tidak semua para pakar menganggap konflik suatu hal yang negatif yang mesti harus dijauhi akan tetapi para ahli sepakat bahwa konflik dapat berpotensi berdampak negatif jika pihak yang terkait salah di dalam mengambil langkah yang tepat di dalam menyelesaikan suatu konflik. Karena manusia di samping mempunyai perbedaan dasar juga mempunyai persamaan dasar yang sekaligus merupakan pasangannya maka dalam tulisan ini akan dibahas pula prinsip persamaan dasar dan prinsip perbedaan dasar manusia. Dengan mengetahui hakekat prinsip dasar persamaan dan perbedaan dasar manusia ini diharapkan kita semua semakin arif, bijak dan harmonis di dalam melakukan pergaulan dengan semua pihak, sehingga kita juga dapat menempatkan atau memposisikan diri kita secara proporsional. A. Hakekat Persamaan Dasar Manusia. Setiap orang baik yang ada di dalam organisasi pada dasarnya mempunyai persamaan universal sebagai pemberian dari Tuhan. Adapun unsur (komponen) persamaan universal manusia adalah: 1. Setiap orang umumnya mempunyai sifat lebih mengutamakan dirinya dan keluarga dekatnya. Dalam organisasi tentunya setiap orang lebih mengutamakan dirinya, teman dekatnya dan kelompoknya. Oleh karena itu konsep nepotisme akan mengedepan jika orang tidak berpikir rasional dan tidak berpegang kepada perintah Tuhan maupun peraturan yang ada. 2. Setiap orang menganggap dirinya mempunyai posisi atau peranan yang penting. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan dirinya di hadapan orang lain seperti “jika tidak ada saya maka sangat sulit mencapai keadaan seperti ini atau saya dibegitukan makanya saya melakukan tindakan begini atau jangan coba-coba melawan atau merugikan saya kalau tidak ingin saya hadapi secara begini dan seterusnya”. Pernyataan tadi sebenarnya merupakan pengungkapan penonjolan diri dan memandang pihak lain lebih rendah, padahal belum tentu pihak lain lebih rendah dari dirinya. 3. Setiap orang senang dipuji atau diberi penghargaan berupa materi maupun non materi. Penghargaan berupa materi merupakan penghargaan kelas bawah yang hanya akan efektif jika yang diberi penghargaan masih berada pada pemenuhan yang bersifat materi. 4. Setiap orang tidak menghendaki atau tidak menyenangi penderitaan dan sedapat mungkin akan berupaya untuk menghindarinya. Semua sepakat bahwa penderitaan adalah suatu keadaan yang kurang atau sangat tidak menyenangkan bagi manusia.
6
5. Setiap orang akan selalu berusaha menghindari bahaya. Sudah merupakan fitrah manusia jika manusia lebih mengutamakan selamat dan senantiasa akan menjauhi bahaya sebab bahaya senantiasa akan membuat manusia menderita dan susah. 6. Setiap orang menghendaki atau menyenangi kepuasan dan kenikmatan dan akan selalu berusaha untuk mendapatkannya. Setiap tingkat kepuasan tercapai maka manusia senantiasa akan mengejar kepada tingkat kepuasan yang lebih tinggi. 7. Umumnya setiap orang tidak menghendaki berurusan dengan resiko dan seandainya ada orang yang berani beresiko, jumlahnya tidak begitu banyak. Resiko seringkali ditafsirkan tidak mengenakkan (tidak menguntugkan). B. Perbedaan Dasar Manusia Sebagaimana persamaan, perbedaan dasar manusia juga merupakan anugerah Tuhan dan juga ada di setiap organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non formal. Tiap orang baik yang ada di dalam organisasi maupun yang tidak berada di dalam organisasi pada dasarnya pasti mempunyai perbedaan universal sebagai pemberian dariNya. Perbedaan dapat menjadi kontribusi positif yang berguna bagi organisasi akan tetapi dapat juga memberikan kontribusi negative, sehingga dapat membahayakan organisasi. Adapun unsur (komponen) perbedaan universal manusia adalah : 1. Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam befikir. Manusia mempunyai perbedaan berfikir dikarenakan perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan latar belakang budaya, perbedaan latar belakang sistim nilai yang dipercayai, perbedaan latar belakang sosial, perbedaan latar belakang politik, perbedaan latar belakang ekonomi dan berbagai latar belakang lainnya. Latar belakang yang berbeda ini akan berpengaruh kepada kualitas kognisi (kepandaian) seseorang. Tak seorangpun di dunia ini yang mempunyai latar belakang yang persis sama meskipun dilahirkan dari bapak dan ibu yang sama apalagi dari bapak ibu yang berbeda. 2. Setiap manusia berbeda di dalam merespon keadaan sekitarnya baik terhadap keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistim nilai, pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya yang terjadi dalam segenap aspek hidup dan kehidupan manusia. Yang perlu disadari di sini bahwa keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistim nilai, pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya senantiasa berada dalam kondisi dinamis. Oleh karena itu respon manusia senantiasa berubah sepanjang waktu di dalam menyesuaikan dengan keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistem nilai, pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya yang serba berubah tersebut. Tidaklah mengherankan jika seorang tokoh dinyatakan kepadanya: mengapa pandangan anda dahulu dan sekarang berubah, apakah berarti
7
3.
4.
5.
6.
7.
8.
pendirian anda berubah? Maka tokoh tersebut menyatakan bahwa pendiriannya tidak berubah yang berubah kondisi dan pendekatan analisis yang digunakannya berubah karena keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistim nilai, pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya telah berubah pula. Jika tehnik dan metode lama yang digunakan mata dipandang kurang sesuai dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang. Setiap manusia mempunyai perbedaan emosi dan perasaan. Perbedaan emosi dapat disebabkan karena bawaan lahir, pengaruh lingkungan atau karena perbedaan struktur bio- kimiawi yang ada di dalam tubuh manusia, atau juga karena perbedaan struktur dan komposisi vitamin, struktur gizi, struktur mineral yang semuanya akan berpengaruh kepada metabolisme tubuh dan emosi seseorang. Suatu misal, seseorang yang dalam tubuhnya mempunyai kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi akan mempunyai tingkat emosi yang berbeda dengan yang mempunyai lemak dan kolesterol yang rendah sehingga akan berbeda pula di dalam merespon segala sesuatu yang menyangkut kepentingannya. Setiap manusia mempunyai perbedaan bertindak. Perbedaan bertindak ini disebabkan karena perbedaan berfikir, emosi dan perasaan. Ada orang yang begitu mendengar tentang berita kematian saudaranya meresponnya dengan menjerit, menangis dan berteriak sedangkan yang lain mungkin menerima dengan tenang sambil melakukan pendekatan dengan pencipta. Ada orang yang begitu diputus cintanya oleh pacarnya kemudian berusaha membunuh diri sedangkan yang lain malah mungkin tertawa. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Umumnya setiap orang di dunia ini karena mempunyai latar belakang yang berbeda baik dari segi biologi, biografis, biokimia, pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, sistem nilai dan lainnya maka akan menghasilkan kepribadian yang berbeda pula. Setiap orang akan mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda baik di dalam mengkonsumsi barang dan jasa maupun di dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan respon seseorang kepada produk A adalah baik sedangkan respon orang atau kelompok lain kepada produk A adalah jelek. Tentunya, banyak sekali argumen yang akan diketengahkan mengapa orang mempunyai respon yang berbeda-beda. Setiap orang mempunyai referensi (kesukaan, kecenderungan atau keinginan) yang berbeda-beda. Karena preferensi orang atau kelompok berbeda-beda maka tidak menutup kemungkinan melahirkan skala prioritas yang berbeda pula. Setiap orang akan mempunyai tingkat stamina yang berbeda-beda sehingga juga akan berpengaruh kepada kinerjanya, baik kinerja mandiri maupun kinerja di dalam organisasi. Stamina manusia dapat 8
dipengaruhi oleh kondisi psikis dan kondisi biokimia yang ada di dalam tubuh seseorang.
III. HUMAN RELATIONS DALAM ORGANISASI Sebagaimana telah dikatakan dimuka, para ahli administrasi pada umumnya sependapat bahwa manajemen merupakan inti daripada administrasi, dan kepemimpinan merupakan inti daripada manajemen. Akan tetapi pendapat ini masih perlu diperdalam dengan melanjutkan analisa mengenai inti tersebut. Lanjutan dari pendapat ini ialah dengan mengatakan bahwa human relations merupakan inti daripada kepemimpinan. Paling sedikit demikianlah halnya untuk masa sekarang ini meskipun – sebagaimana akan terlihat dalam bab-bab lain dari buku ini – tidak selalu demikian halnya di masa-masa yang lalu. Dengan perkataan lain bidang administrasi sekarang ini telah disadari dan diakui bahwa dalam setiap kegiatan administrasi unsur manusia serta hubungan-hubungan antar manusia itu merupakan faktor yang menentukan sukses tidaknya proses administrasi itu dijalankan. Hal ini berarti manusia didalam suatu organisasi tidak boleh diperlakukan sama dengan unsur-unsur administrasi lainnya, seperti modal, mesin, alatalat perlengkapan dan lain sebagainya. Pengertian ini akan menjadi lebih jelas lagi apabila diingat bahwa human relations adalah “keseluruhan rangkaian hubungan, baik yang bersifat formal maupun informal, antara atasan dengan bawahan, atasan dengan atasan, serta bawahan dengan bawahan yang lain yang harus dibina dan dipelihara sedemikian rupa sehingga tercipta suatu team work dan suasana kerja yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian tujuan”. A. Organisasi Di dalam buku Filsafat Administrasi oleh S.P. Siagian. Ini definisi organisasi yang dipergunakan ialah : “Setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian sesuatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan mana terdapat seorang/ beberapa orang yang disebut atasan dan seorang/ sekelompok orang yang disebut bawahan”. Definisi di atas menunjukkan bahwa organisasi dapat ditinjau dari dua segi pendapat yaitu : 1. Organisasi sebagai wadah dimana kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan. 2. Organsasi sebagai rangkaian hirarki antar orang-orang dalam suatu ikatan formal.
9
Sebagai wadah organisasi relatif bersifat statis, sedangkan sebagai suatu rangkaian hirarki organisasi merupakan suatu program dan dengan demikian ia bersifat lebih dinamis. Didalam ilmu administrasi para sarjana semakin banyak perhatian kepada organisasi sebagai suatu proses dan kurang perhatian terhadapnya sebagai wadah kegiatan kerja. Hal ini adalah akibat daripada perhatian yang semakin besar terhadap unsur manusia didalam suatu organisasi.
10
B. Pembinaan Hubungan-Hubungan Intern Dan Ekstern Dalam Organisasi Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan bagi suatu organisasi, merupakan kewajiban kelompok pimpinan dalam organisasi menciptakan serangkaian hubungan antara orang-orang didalam organisasi sendiri yang bersifat intern dan dengan pihak-pihak luar organisasi, dan bersifat ekstern. Dengan perkataan lain, hubungan yang perlu diciptakan dan dibina meliputi hubungan antar orang-orang di dalam organisasi dan antara organisasi dengan fihak luar. Dalam administrasi hubungan intern itu diklasifikasikan sebagai “human relations”. Sedangkan hubungan yang bersifat ekstern itu disebut “public relation”. Sering timbul pertanyaan : yang mana sebenarnya yang lebih luas? Human relationkah? Atau public relationkah? Jawaban yang mendekati kebenaran ialah bahwa yang terpenting bukan yang mana diantaranya kedua macam relations itu yang lebih luas dari yang lain. Yang terpenting harus diperhatikan ialah bahwa demi tercapainya tujuan dengan efisien dan ekonomis, kedua macam hubungan itu harus diciptakan, dikembangkan dan dibina. IV. HUMAN RELATIONS DALAM ADMINISTRASI Telah dikatakan dimuka bahwa filsafat administrasi dan managemen modern sekarang ini didasarkan atas dan berorientasi pada manusia sebagai unsur yang terpenting. Karena itulah dikatakan bahwa filsafat administrasi dan managemen sekarang ini adalah suatu filsafat yang “people centered”. Telah dikatakaan pula bahwa human relations merupakan inti daripada kepemimpinan karena cara penggerakan bawahan sekarang ini memang didasarkan kepada pendapat bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai martabat, perasaan, cita-cita, keinginan, temperamen dan harapan-harapan. Disamping itu perlu diperhatikan bahwa tidak ada dua individu yang sama dalam segala hal meskipun ada tujuan-tujuan manusia yang sifatnya universal. Misalnya, setiap manusia ingin bebas, ingin dihargai, ingin memperoleh kemajuan dalam hidup dan sebagainya. Tambahan pula setiap manusia mempunyai sifat-sifat yang positif dan negatif. Keseluruhan sifat-sifat itu, baik yang positif maupun negatif dibawa oleh seseorang kedalam organisasi ke dalam mana ia menggabungkan diri. Dengan perkataan lain, dalam diri setiap manusia ada dua macam “kekuatan”, yaitu kekuatan-kekuatan yang konstruktif dan kekuatankekuatan yang destruktif. Dalam hubungan ini harus diperhatikan bahwa kelompok pimpinan didalam suatu organisasi harus mengetahui dan memahami sifat hakiki manusia itu. Memperkecil jurang antara mengetahui dan mamahami prasyarat yang sangat penting dalam rangka
11
usaha menggerakkan bawahan. Salah satu sarana untuk memperkecil jurang antara mengetahui dan memahami hakiki manusia itu ialah mengetahui dan mampu menerapkan prinsip-prinsip human relations. Definisi human relations yang telah diberikan dalam permulaan buku ini ialah : “Keseluruhan hubungan baik yang formal maupun yang informal yang perlu diciptakan dan dibina dalam suatu organisasi sedemikian rupa sehingga tercipta suatu teamwork yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”. A. Prinsip-Prinsip Human Relation Ada sepuluh prinsip pokok dari human relations yang sering disebut sebagai “the ten commandments of human relations”. Prinsip-prinsip pokok itu ialah: 1. Harus ada sinkronisasi antara tujuan manusia atau individu dengan tujuan-tujuan organisasi didalam organisasi tersebut. Artinya bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang sangat terbatas, baik karena keterbatasan fisik, biologis maupun mental. Karena keterbatasan itu tidak mampu untuk memuaskan semua kebutuhannya dengan efisien dan ekonomis tanpa bekerja sama dengan orang lain. Bekerja sama dengan orang lain berarti menggabungkan diri dengan berbagai organisasi. William h. White menyebut manusia itu sebagai “manusia organisasi”. Akan tetapi manusia itu pada dasarnya adalah mahluk yang egoistis. Karena ia egoistis, maka harus dijaga agar supaya jangan sampai ia berusaha mencapai tujuan pribadinya dengan sama sekali melupakan tugas dan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Artinya, didalam kehidupan berorganisasi perlu dijaga agar jangan sampai timbul pertentangan yang runcing antara tujuan orangorang didalam organisasi dengan meyakinkan orang-orang didalam organisasi bahwa apabila tujuan organisasi telah tercapai, hal itu sekaligus akan berarti tercapainya pula tujuan-tujuan pribadi dari individu-individu didalam organisasi itu. 2. Suasana kerja yang menyenangkan. Suasana kerja yang menyenangkan disini berarti sangat luas. Yang dimaksud meliputi: (a) pekerjaan yang menarik, penuh tantangan dan tidak rutin, (b) hubungan kerja yang intim, (c) lingkungan kerja yang membangkitkan kegairahan bekerja, seperti penerangan lampu yang cukup, alat-alat yang lengkap, ventilasi ruangan yang cukup memberi udara segar, dan (d) perlakuan yang adil. 3. Informalitas yang wajar dalam hubungan kerja. Suatu organisasi yang baik adalah suatu organisasi yang dpimpin dengan cara-cara yang demokratis. Administrasi dan managemen yang demkratis sering disebut dengan istilah “open administration and management”, “permissive administration and management”, “participative administration and management”.
12
4.
5.
6.
7.
8.
Sifat keterbukaan dari organisasi yang demokratis dimanifestasikan terutama oleh hubungan kerja yang informal. Artinya, semakin baik administrasi dan managemen suatu organsiasi hubungan kerjapun semakin informal, tanpa melupakan segi formal dari hubungan kerja itu. Memang pimpinan organisasi harus dapat mencapai keseimbangan antar informalitas dan formalitas dalam hubungan kerja. Jika informalitas dibiarkan terlalu merajai hubungan kerja, rasa hormat terhadap pimpinan dapat berkurang. Sebaliknya, jika formalitas terlalu menonjol, maka kekakuan dalam hubungan kerja akan timbul yang mengakibatkan kelambatan-kelambatan. Manusia bawahan bukan mesin. Berbeda dari uang, mesin, metode, material dan alat-alat produksi yang lain, manusia ingin diperlakukan secara terhormat. Kepribadiannya diakui, keinginannya diperhatikan, kebutuhannya – yang material dan non material – dipuaskan dan kemampuannya dikembangkan secara teratur. Untuk ini pengertian, penghargaan dan perasaan memegang peranan yang menentukan. Kembangkan kemampuan bawahan sampai tingkat yang maksimal. Kepada setiap orang didalam organisasi harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kapasitas mentalnya melalui pendidikan, latihan – baik yang bersifat latihan jabatan atau onthe-job training maupun yang bersifat off-the-job training dan cara-cara pengembangan lainnya tour of duty, tour of area dan lain-lain teknik. Untuk menerapkan prinsip ini dengan sebaik-baiknya adalah tugas pimpinan untuk mengetahui bakat dan keahlian bawahannya. Pimpinan harus pula mengetahui batas-batas kemampuan bawahannya agar dalam usaha pengembangan kemampuan itu pengarahan yang lebih tepat dan dibuat. Meskipun harus diakui pula pentingnya kapasitas bawahan, harus diingat bahwa “no trainning can develop a man, he must develp himself”. Pekerjaan yang menarik dan penuh tantangan. Seseorang yang sungguh-sungguh mau bekerja akan tidak menyenangi pekerjaan yang bersifat rutin. Baginya pekerjaan yang demikian akan segera membosankan. Sebaliknya, pekerjaan yang interesant dan penuh tantangan akan memperbsar kegairahan bekerja, memperluas imainasinya dan memperhebat daya kreasi dan inisiatifnya. Pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan bak (extraordinary performance). Pimpinan harus cepat mengakui dan menghargai, pelaksanaan tugas dengan baik oleh seseorang bawahan. Bentuk pengakuan dan penghargaan itu dapat berbentuk kenaikan pangkat luat biasa, kenaikan gaji berkala luar biasa, hadiah uang, surat penghargaan dan kombinasi dari beberapa hal ini. Alat perlengkapan yang cukup. Sering keterlambatan terjadi dalam pelaksanaan tugas disebabkan oleh tidak tersedianya alat perlengkapan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas.
13
Memang administrasi dan manajemen harus beroperasi dalam keadaan serba kekurangan, akan tetapi paling sedikit, alat yang minimal diperlukan untuk melaksanakan tugas dengan baik harus tersedia. 9. “The right man in the right place”. Setiap orang harus ditempatkan menurut keahlian dan kecakapannya. Untuk ini sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengetahui apa bakat, kecakapan dan keahlian bawahannya. Harus diketahui pula batas-batas kemampuannya. Dalam organisasi dikenal apa yang disebut “occupational incomptence”. Artinya ada batas-batas maksimal untuk dicapai oleh seseorang dalam kariernya. Ada yang sangat baik sebagai Kepala Bagian, misalnya, tetapi tidak mampu menjadi Kepala Biro. Jika toh ia ditempatkan sebagai Kepala Biro, ia akan mencapai “occupational incompetence” itu. Jika toh ia didudukkan sebagai Kepal Biro ia akan kehilangan kegairahan bekerja, karena ia akan selalu “frustrated”, tidak merasa pasti akan tindakan dan keputusannya yang berakibat ketidakberesan dalam pelaksanaan tugas. 10. balas jasa harus setimpal dengan jasa yang diberikan. Kepada setiap orang di dalam organisasi harus diberikan upah dan gaji yang setimpal dengan jasa yang diberikan dan sekligus dapat menjamin tingkat hidup yang layak baginya dan keluarganya. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang tersulit dipraktekkan oleh suatu Negara yang miskin dan sedang berkembang karena adanya lingkaran setan berupa pendapat per capita dan nasional yang rendah, perekonomian yang tidak stabil, produktifitas yang rendah, serta managerial dan technological skill yang masih sangat kurang. Meskipun demikian, pimpinan harus berusaha untuk sedapat mungkin menerapkan prinsip ini dibarengi oleh prinsip “equal pay for qual work” dan “a fair pay for a fair days work”. Sedangkan menurut Teguh Meinanda dalam buku-buku : pengantar Public Relations dalam Management menyebutkan tentang prinsip-prinsip human relation sebagai berikut: a. Importence of the individual (pentingnya individu) Seperti sudah diketahui tiap orang harus diberlakukan sebagai individu. Menurut Davis, tindakan sesuatu badan harus memperhitungkan perasaan pegawai, mengakui dan memperhatikan kepentingannya. b. Mutual Acceptence (saling menerima) Pemimpin, yang dipimpin dan organisasi buruh sesuatu badan harus bersatu. Mereka satu sama lain harus saling menerima sebagai individu dan sebagai kelompok. Harus saling menghormati dan menghargai tugas dan kewajiban masing-masing. c. Common Interest (kepentingan bersama) Pemimpin, yang dipimpin dan organisasi buruh satu sama lainnya terikat oleh kepentingan bersama. Karena mereka bersatu mereka mampu untuk mencapai sukses dalam pekerjaannya, dan terjaminkan kebutuhan tiap individu tergantung dari sukses itu. 14
d. Open Communication (komunikasi terbuka) Berterus terang mengenai ide, perasaan dan mengenai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Komunikasi yang sifatnya terbuka akan menimbulkan pengertian yang lebih baik dan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih tepat. e. Partisipasi Pegawai. Hasil-hasil yang efesien disebabkan karena adanya keseimbangan dalam pandangan-pandangan dan karena segala problema dihadapi dan dipecahkan bersama-sama. f. Lokal Indentify (identitas setempat) Dengan memberikan pujian yang tepat pada seseorang, orang itu akan merupakan sebagian dari badan dimana ia ditugaskan. g. Lokal Decisions (keputusan setempat). Memberi wewenag pada orang-orang untuk memecahkan sendiri problema-problema yang langsung timbul ditengah-tengah mereka. h. High Moral Standards (ukuran moral yang tinggi). Kebenaran dan keadilan mengenai sesuatu tindakan dapat disebut benar dan adil bila didasarkan pada moralitas dan hak-hak azasi manusia. B. Kreteria Penerapan Prinsip-Prinsip Human Relations Apabila seseorang hendak meneliti apakah pimpinan organisasi menerapkan prinsip-prinsip human relations tersebut dimuka dengan baik atau tidak, ia dapat melihat kriteria sebagai berikut : 1. Ada atau tidaknya loyalitas para bawahan terhadap atasan 2. Ada atau tidaknya loyalitas para atasan terhadap bawahan 3. Ada atau tidaknya loyalitas para atasan terhadap sesama atasan 4. Ada atau tidaknya loyalitas para bawahan terhadap sesama bawahan 5. Ada atau tidaknya loyalitas para anggota kepada organisasi 6. Ada atau tidaknya kegairahan bekerja 7. Sifat hubungan kerja kaku atau luwes, formal atau informal 8. Moral tinggi atau rendah 9. Disiplin tinggi atau rendah 10. Banyak penyelewengan atau tidak Melihat hal-hal tersebut di atas, jelaslah mengapa dikatakan bahwa human relations merupakan inti kepemimpinan. Terlihat pula betapa pentingna penerapan prinsip-prinsip human relations itu dalam rangka pencapaian tujuan dengan efisien dan ekonomis (bahan-bahan tersebut di atas dari buku Filsafat Administrasi oleh : S.P. Siagian. V. HUMAN RELATION DALAM MANAGEMENT A. Pengertian Dan Pekembangan Human Relations Di negara-negara yang sudah maju human relations semakin mendapat perhatian para manager dalam organisasi apapun, karena semakin dirasakan pentingnya dalam rangka memecahkan berbagai masalah yang menyangkut faktor manusia dalam manajemen. 15
Benturan-benturan psikologis dan konflik-konflik sering terjadi, bukan saja antara manager dengan karyawan, tetapi juga antara karyawan dengan karyawan, yang benar-benar mengganggu jalannya roda organisasi dalam mencapai tujuan. Human relations juga dirasakan pentingnya oleh para manager untuk menghilangkan “luka-luka” akibat salah komunikasi (miscommunication) dan salah inter-pretasi (mis-interpretation) yang terjadi antar manager beserta karyawannya dengan publik diluar organisasi. B. Pengertian Human Relations Tidaklah mudah untuk mencari sebuah perkataan dalam bahasa Indonesia yang benar-benar tepat sebagai terjemahan dari istilah human relations. Ada yang menterjemahkannya menjadi “hubungan manusia”, dan ada pula yang mengalih bahasakannya menjadi “hubungan antar manusia”. Secara harfiah terjemahan tersebut mungkin tidak salah, tetapi kedua-duanya tidak mengandung makna yang sebenarnya yang dikandung oleh human relations itu. Baik pada istilah “hubungan manusia” maupun “hubungan antar manusia” tidak terdapat ciri hakiki human relations. Ciri hakiki human relations bukan “human” dalam pengertian wujud manusia (human being), melainkan dalam makna proses rokhaniah yang tertuju kepada kebahagiaan berdasarkan watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap, tingkah laku dan lain-lain aspek kejiwaan yang terdapat pada diri manusia. Karena itu, terjemahan yang paling mendekati makna dan maksud human relations adalah hubungan manusiawi atau hubungan insani. Contoh berikut ini akan memperjelas pengertian human relations. Seorang karyawan sebuah perusahaan berkata kepada teman sekerjanya : “Direktur kita itu adalah paman saya”. Sang teman tersenyum. Antara si karyawan dengan direkturnya itu terdapat hubungan baik hubungan keluarga maupun hubungan kerja. Dan hubungan itu adalah hubungan manusia atau hubungan antar manusia, tetapi itu bukan “human relations”. Seorang ayah berkata kepada anaknya : “Tolong bawa kacamataku kemari, nak”. Si anak mengambilnya, lalu menyerahkannya. Antara sang ayah dan si anak terdapat hubungan. Dan hubungan itu adalah hubungan manusia atau hubungan antar manusia, tetapi bukan human relations. Untuk memperoleh kejelasan mengenai yang mana hubungan manusia atau hubungan antar manusia, dan yang mana human relation, berikut ini adalah kisah singkat di sebuah rumah tangga sebagai contoh sederhana. Seorang suami berkata kepada istrinya : “ku nanti pulang terlambat, bu. Jangan lupa si bungsu beri obat batuk”. “Jangan khawatir pak, dan jangan terlalu malam”. Jawab sang istri.
16
Dialog singkat itu bukan human relations. Keesokan harinya ketika sang suami pulang kantor dan menyerahkan uang rapel kenaikan pangkat, yang tidak kecil jumlahnya bagi mereka, kepada istrinya, tampak ia aman gembira. “Belikan kalung mas saja, ya pak, aku ingin sekali. Sejak menikah sampai punya anak tiga sekarang, kalungku hanya ini saja dari mas imitasi” kata istrinya memelas. Suami terdiam. Termenung sejenak. Lalu berkata : “bagaimana, ya…….. Bukan aku tidak sayang padamu, bu. Tetapi aku rasa ada yang lebih penting dari itu. Bagaimana pendapatmu, kalau rapelan yang sekarang ini kita belikan kursi setelan untuk di kamar depan dan lemari pakaian. Kursi rotan kita itu sudah rusak dan pakaian selalu berserakan. Aku berjanji rapel yang akan datang akan kubelikan kalung mas untukmu. Atau, siapa tahu kita dapat rejeki dalam waktu dekat. Akan kukabulkan keinginanmu itu. Bagaimana, bu?” “Betul juga katamu itu, pak. Aku setuju sekali dengan gagasanmu itu”, jawab istrinya dengan muka cerah. Dialog yang terakhir ini adalah human relations. Disini terdapat kegiatan komunikatif-persuasif-sugestif dan kedua pihak merasa hatinya puas, yang merupakan aspek-aspek manusiawi dari human relations. Atas dasar itu, maka human relations akan lebih mendekatkan ketepatan apabila diterjemahkannya menjadi “hubungan manusiawi dari para “hubungan manusia” dan “hubungan antar manusia”. Dari paparan di atas jelas bahwa human relations bersifat “action oriented”, bukan hanya hubungan yang pasif, dan yang dituju adalah kepuasan batin. Karena itu human relations banyak diterapkan dalam manajemen. Kapan dimulainya gerakan human relations dalam manajemen itu? C. Sejarah Singkat Human Relations Menurut Jack Hallowan dalam hubungannya “Applied Human Relations, An Organizational Approach”, meskipun tidak dapat ditentukan tanggal berapa gerakan human relations dimulai, namun tahunnya dapat disebutkan, yakni setelah tahun 1850, ketika perhatian banyak ditumpahkan kepada kebutuhan para pekerja, dan tatkala disadari bagaimana kebutuhan tersebut mempengaruh keseluruhan produktivitas. Sebelumnya, para manager memandang para pekerja sebagai suatu komuditi – untuk dibeli dan dijual seperti komuditi lainnya. Bekerja sehariharian yang teramat lama dengan upah yang rendah serta kondisi kerja yang menyedihkan merupakan kenyataan bagi kehidupan rata-rata pekerja. Persatuan kaum buruh masih berjuang untuk dapat berdiri, dan masih belum dapat memenangkan hak untuk mewakili kekuatan kaum buruh.
17
Kemudian pada tahun-tahun sekitar peralihan abad muncul Frederick Taylor dengan teorinya yang terkenal dengan apa yang dinamakan “Scientific management”. Teori ini menyatakan bahwa produktivitas yang lebih besar akan dapat diperoleh dengan memerinci tugas-tugas secara khusus. Tujuan utama dari “scientific management” tersebut, menurut Taylor, adalah “untuk menghilangkan antagonisme antara majikan dan bawahannya”. Dia merasa yakin bahwa apabila para pengusaha dan para pekerjanya bersama-sama mengkonsentrasikan dirinya pada metode untuk meningkatkan produksi, dan bersama-sama menumpahkan perhatian terhadap peningkatan–bukunya mempersoalkan pembagian surplus, maka surplus tersebut akan menjadi sedemikian besarnya, sehingga tidak akan menimbulkan konflik mengenai bagaimana membaginya, karena sudah lebih dari cukup. Teori Taylor ini ternyata mendapat kecaman juga, yakni bahwa manajemen ilmiah tersebut cenderng untuk lebih mengeksploitasi para pekerja daripara memberikan keuntungan kepadanya. Dikatakan bahwa teori tersebut menitik beratkan kontrol dan disiplin pada pengerusakan morale atau daya juang para pekerja. Si pencipta scientific management itu dituduh menganggap para pekerja semata-mata alat ekonomi, dipisahkan, hampir-hampir mekanik, dan merupakan bantuan dari proses produksi, bukan sebagai manusia dengan kebutuhannya. Kecaman berikutnya menyatakan bahwa scientific management tidak menaruh perhatian terhadap jaringan sosial yang kompleks yang diciptakan oleh para pekerja di dalam lingkungan kerjanya. Ditegaskan oleh para pengecam itu bahwa sesungguhnya jaringan sosial yang kompleks itulah yang menimbulkan pengaruh paling besar terhadap produksi. Lepas dari banyaknya kecaman tersebut, pengenalan scientific management itu telah meluas pula ke kalangan industriawan dan para manager. Dengan menyebarnya teknik-teknik management ilmiah itu, dalam rangka meningkatkan penentuan tugas dan prosedur penempatan para pekerja, para usahawan dan industriawan menyadari bahwa kemampuan para pekerja secara individual adalah unik. Pada tahun 1920 citra para pekerja telah berubah banyak dibandingkan dengan tahun-tahun pada waktu peralihan abad. Pandangan baru menyatakan bahwa semua pekerja adalah manusia-manusia yang kompleks dan unik, yakni bahwa ketrampilan dan kemampuannya secara individual dapat diukur, diuji, dan dilatih. Seorang pekerja secara individual dapat dianggap sebagai perpaduan dari berbagai sifat-sifat yang dapat diukur secara cermat dan dikembangkan dengan latihan yang tepat. Selama dekade ini para manager menjadi percaya bahwa testing dapat memecahkan, jika tidak seluruh masalah, setidak-tidaknya penentuan tugas, penempatan dan kenaikan pangkat. 18
Pada waktu yang sama, ketika citra baru dari para pekerja berkenan dihati para manager, serikat sekerja menjadi semakin kuat. Antara tahun 1897 dan 1904 di Amerika Serikat keanggotaan serikat pekerja meningkat dari 400.000 menjadi dua juta. Dan pada tahun 1920 serikat-serikat pekerja di seluruh negeri telah mendapat pengakuan dari para industriawan beserta para managernya. Perkembangan yang terpisah tehnik-tehnik management ialah, perjuangan pemimpin-pemimpin serikat buruh, dan teknologi yang berubah cepat – kesemuanya menuju kepada pengakuan bahwa seorang pekerja adalah manusia dengan segala kebutuhannya. Ketiga perkembangan tersebut juga menyebabkan para manager mengkaji kembali citranya masing-maisng. Mereka menilik diri dan mulai mempertanyakan kearifannya mengenai pandangannya yang tradisional terhadap gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusannya. Pada pertengahan tahun 1920 titik fokal dari pendekatan humanistik dalam bisnis dan industri adalah studi Hawthorne yang sangat terkenal yang dilakukan oleh Elton Mayo dan kawan-kawannya pada National Research Council yang bekerja sama dengan Massachustta Institute of Technology. Regu Mayo ini memulai studinya mengenai efek penerangan lampu, ventilasi dan kepenatan para-para pekerja Hawthorne Plant of Western Electric. Setelah eksperimen yang berlangsung selama beberapa tahun itu selesai, menjadi jelas bagi para peneliti bagaimana pentingnya faktor-faktor morale atau daya juang kelompok lain motivasi pribadi. Sebagai kesimpulan, studi Hawthorne itu menunjukkan bahwa dengan pengukuran secara kuantitatif, interaksi normal dari para pekerja yang sedang melakukan tugasnya selamanya menciptakan suatu jaringan sosial yang dinamakan organisasi informal yang amat besar pengaruhnya terhadap pola tingkah laku para pekerja. Sejak itu bagi management sudah tidak mungkin lagi memandang para pekerja semata-mata sebagai alat ekonomi atau sebagai unit yang terpisahkan dari proses produksi. Mereka harus dilihat sebagai manusia yang kompleks yang interaksinya berpengaruh terhadap hasil produksi secara keseluruhan tanpa mempersoalkan proses teknologi yang jelimet. Perhatian dan minat terhadap human relations itu pernah menurun disekitar tahun 1930-an selama berlangsungnya depresi di Amerika Serikat. Tetapi pada tahun-tahun Perang Dunia II dan sesudahnya para industriawan dan usahawan telah menunjukkan pengertian yang lebih mendalam terhadap hubungan antara produktivitas dan kepuasan hati para pekerja. Sejak itu amat banyak studi yang dilakukan dan diterbitkan oleh para teoritisi bisnis dan ilmuwan sosal. Menurut Jack Hallowan, dua diantaranya yang dianggap paling penting adalah karya Mc Cregor mengenai teori management tradisional yang ia namakan Theory X sebagai
19
lawan dari pendekatan humanistik yang disebut theory Y ; dan Abraham Maslow mengenai “jenjang kebutuhan manusia” (hierarchy of human needs). Kontrbusi kepada disiplin ilmu yang cepat berkembang itu mengalami peningkatan selama tahun 1940-an dan 1950-an. Berbagai studi dilakukan, diantaranya oleh para psikolog seperti Carl Rogers dan Kurt Lewin ; para sosiolog Daniel Bell dan C. Wright Mills ; dan para manager organisasi-organisasi besar, antara lain Chester I. Barnard. Pada tahun 1960-an dan 1970-an para usahawan diberbagai negara maju telah menunjukkan penilaiannya bagaimana pentingnya kontribusi secara teoritis dan eksperimental tersebut. Human relations telah menjadi ilmu pengetahuan yang tidak bisa diabaikan oleh mereka yang bergerak dalam bidang bisnis. D. Ruang Lingkup Human Relations Telah disinggung dimuka bahwa masalah human relations adalah masalah rohaniah, yaitu proses rohaniah yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap dan tingkah laku menuju suatu kebahagiaan atau kepuasan hati. Proses rohaniah dengan perasaan bahagia ini berlangsung pada dua atau tiga orang yang terlibat dalam hubungan komunikatif, yakni komunikasi antar personal yang karena sifatnya dialogis, maka masing-masing tahu, sadar dan merasakan efeknya. Jika kesemuanya merasa bahagia, maka orang yang melakukan kegiatan human relations itu berhasil. Apabila tidak menimbulkan rasa puas, human relations itu gagal. Bahwa human relations sebagai suatu aktivitas itu tidak mudah dilaksanakan, adalah benar. Karena itu senantiasa menjadi bahan studi. kesukaran utama dalam kegiatan human relations itu dikarenakan pelik dan jelimetnya rohani manusia. “Ho two leaces, no two anowflakes, no two people of individualityis know as variation”. Demikian kata Calvin C. Thomaso dan Frank A. Clement dalam bukunya “Human Relations in Action”. Memang, demikian banyak manusia di bumi ini, tetapi tidak ada dua pun yang sama dan serupa dalam segala hal, bahkan diantara yang kembarpun, terutama dalam watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap dan tingkah laku. Berdasarkan paparan di atas, maka jika seseorang ingin sukses dalam kehidupannya, human reations adalah salah satu cara untuk dapat dipergunakan; lebih-lebih bagi seorang pimpinan, pemimpin dalam organisasi apapun dan dalam bidang apapun. Dalam hubungan ini ia seyogyanya memahami ilmu komunikasi dan ilmu jiwa, meskipun hanya ala-kadarnya. Akan lebih baik lagi apabila ia mempelajarinya secara mendalam. Dengan demikian, ia akan disenang, disegani, dan di hormati, baik oleh orangorang yang berada di organisasinya atau bidangnya, maupun diluar organisasinya dan diluar bidangnya.
20
Mengenai human relations itu terdapat dua pengertian, yakni human relations dalam arti luas dan human relations dalam arti sempit. E. Human Relations Dalam Arti Luas Human relations dalam arti luas adalah komunikasi persuasive yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah fihak. Jadi human relations dalam arti luas dilakukan dimana saja ; di rumah, di jalan, di pasar, di toko, di kampus, dalam bis, dalam kereta api, dan sebagainya. Pada awal pembahasan Bab II ini telah diketengahkan contoh human relations yang dilakukan oleh seorang suami dengan istrinya. Si suami melakukannya dalam situasi tatap muka, secara psikologis dan manusiawi, sehingga timbul kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah pihak. Mungkin saja sang suami dapat membuat istrinya tunduk kepadanya, tetapi harinya gemas, karena keinginannya dibelikan kalung mas tidak dikabulkan. Human relations si suami berhasil, apabila pernyataan setuju yang diucapkan istrinya memang benar-benar merupakan pencerminan hatinya yang murni, sebab bisa saja si istri menunjukkan mukanya yang gembira atau usul suaminya, tetapi hatinya merasa kesal. Mungkin saja si istri menunjukkan wajah senang, hanya karena takut atau tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi human relations yang dicontohkan dalam situasi rumah tangga itu berhasil, kalau sikap (attitude), pernyataan (opinion) dan tingkah laku (behavior) sang istri tadi sama, yakni puas hatinya lahir batin. Bagi seorang pemimpin – apakah direktur perusahaan, Kepala Jawatan, perwira angkatan bersenjata, ketua partai politik, atau pemuka masyarakat – human relations dalam segala situasi ini penting dilaksanakan, karena akan mencerminkan pribadinya dan citra organisasi yang dipimpinnya. Suksesnya seseorang dalam melaksanakan human relations, karena ia berkomunikasi secara etis : ramah, sopan, menghargai dan menghormati orang lain. F. Human Relations Dalam Arti Sempit Human relations dalam arti sempit adalah komunikasi persuasive yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam situasi kerja (work organization) dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerjasama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati. Human relations dalam organisasi kekaryaan inilah yang banyak diteliti dan dipraktekkan di negara-negara yang sudah maju, terutama dalam bidang ekonomi sektor industri.
21
Sebabnya ialah karena ternyata perkembangan masyarakat sebagai akibat kemajuan teknologi telah meimbulkan berbagai pengaruh kepada individu-individu yang merupakan tenaga kerja (manpower), yang sering menghambat lancarnya pekerjaan. Dengan kegiatan human relations para pemimpin organisasi kekaryaan berusaha memecahkan masalah-masalah (problems) dalam situasi kerja dan masalah-masalah yang menimpa para karyawannya secara individual, sehingga dengan demikian mereka dapat digairahkan dan digerakkan ke arah yang lebih produktif. Dengan human relations dapat diusahakan untuk menghilangkan rintangan-rintangan komunikasi, mencegah salah pengertian, dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia. Demikian kata Norman R.F. Maier. Jadi human relations dalam organisasi kekaryaan adalah komunikasi persuasif antara orang-orang yang berada dalam struktur formal untuk mencapai suatu tujuan. Antara seorang manager–direktur perusahaan, kepala jawatan, atau pemimpin lembaga lainnya – dengan bawahannya mendapat struktur formal antara yang memimpin dan yang dipimpin. Karena itu human relations dalam organisasi kekaryaan ini sering dinamakan “Organizational human relations”. Di atas dikatakan, human relations adalah suatu komunikasi persuasif, bukan hanya sekedar relasi atau hubungan saja. Jadi human relations bukan suatu keadaan yang pasif, melainkan suatu aktivitas. Suatu kegiatan. Human relations adalah suatu “action oriented”. Suatu kegiatan untuk mengembangan hasil yang lebih produktif dan memuaskan (to develop moreproduktive and satisfying results). Karena itu, human relations adalah seni dan ilmu pengetahuan terapan (appkied art and science). Dan dipandang dari sudut seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk memimpin sebuah kelompok, human relations adalah pengintegrasian orang-orang kedalam suatu situasi kerja yang menggiatkan mereka untuk bekerja bersama-sama serta dengan rasa puas, baik kepuasan ekonomis, psikologis maupun kepuasan sosial. Atau singkatnya: human relations adalah pengembangan usaha kelompok karyawan secara produktif dan memuaskan (human relations is the development of produktive, satisfying group effort). G. Kunci Aktivitas Human Relations Titik sentral human relations adalah manusia. Dan titik sentral human rleatins dalam organisasi kekaryaan adalah karyawan. Manusia karyawan ini harus ditinjau dari segi manusiawinya. Untuk mempraktekkan human relations, seorang pemimpin perlu sedikit banyak mempelajari sifat tabat manusia karyawan tadi. Meskipun tidak secara mendalam, pemimpin organisasi perlu memahami mengapa para karyawan satu sama lainnya berbeda dalam tabiat dan tingkah lakunya ;
22
dan perlu mengetahui bagaimana tingkah laku mereka dalam hidup berkelompok dan bermasyarakat. Bahwa manusia berbeda dengan mahluk-mahluk lain bahkan memiliki kelebihan dari mahluk lain, sudah diakui sejak dahulu kala. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan vegetatif : makan dan berkembang biak ; bukan saja hanya memiliki kemampuan sensitif : bergerak, mengamat-amati, bernafsu, dan berperasaan; tetapi juga berkemampuan intelektif : berkemauan dan berkecerdasan. Kemudian yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya ialah sifat-sifat rohaniahnya. Dalam pertumbuhannya, manusia bukan saja mengalami prkembangan dalam segi jasmaniahnya, tetapi juga rohaniahnya. Dan perkembangan ini membentuk jiwanya, sifat tabiatnya dan tingkah lakunya. VI. FAKTOR PEMBAWAAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN Ada dua faktor yang menentukan sifat tabiat manusia yakni pembawaan sejak ia dilahirkan (heredity) dan lingkungan hidupnya (environment). Yang menjadi dasar dari watak sifat tabiat seseorang ialah sifat-sifat yang dimilikinya begitu ia dilahirkan, sifat mana adalah warisan dari orang tuanya dan nenek moyangnya. Sifat-sifat tersebut terpengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Lingkungannya akan menentukan apakah sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir itu akan berkembang atau bertahan. Interaksi dengan orang-orang dalam lingkungannya akan berpengaruh kepada sifat-sifat yang sudah ada padanya. Yang diartikan pengaruh disini adalah bahwa sifat-sifat yang sudah ada itu berkembang atau tertahan ; tetapi tidak mematikan. Dalam perjalanan hidupnya – dalam berinteraksi dengan lingkungannya – seseorang menangkap kesan-kesan dari luar dirinya melalui panca inderanya. Yang ia lihat, yang ia dengar, dan sebagainya, berpadu dengan kesan-kesan pengalaman warisan nenek moyangnya yang sudah ada sejak ia lahir. Kesan-kesan pengalaman sendiri yang bersatu dengan kesan-kesan pengalaman nenek moyangnya, pada orang yang satu berbeda dengan orang lainnya. Dan itulah yang menimbulkan perbedaan sifat tabiat manusia. Karena itu untuk mengetahui pribadi seseorang tidak cukup mengenal individu itu saja tetapi harus mengetahui pula kehdupan orang tua dan nenek moyangnya. Selanjutnya dalam perjalanan hidupnya dan perkembangan jiwanya, seseorang mengalami aktivitas psikhis. Dan bila aktivitas kejiwaan itu tetap sama tanpa terpengaruhi oleh kesan-kesan yang pada suatu saat muncul, ini dinamakan fungsi psikhis. Fungsi psikhis ini adalah fikir, rasa, intuisi dan penginderaan. Dan salah satu diantaranya pada seseorang bisa dominan. Jadi pada seseorang yang dominan bisa fikirannya, perasaannya, intuisinya atau penginderaannya. Orang yang dominan fikirannya akan berusaha memahami lingkungannya dengan jalan pengetahuan, menghubungkan pengertian
23
yang satu dengan yang lainnya dengan mengambil kesimpulan yang logis ; sedang ukuran penilaiannya ialah benar atau salah (right or wrong). Orang yang dominan perasaannya memahami lingkungannya dengan ukuran penilaian senang atau tidak senang, suka atau tidak suka (like or dislike). Pikiran dan perasaan tidak akan sama. Ukuran penilaian pikiran adalah benar atau tidak benar. Walaupun hati tidak senang, pikiran bisa menyatakan benar. Atau sebaliknya, meskipun hati merasa senang, pikiran bisa menyatakan tidak benar. Dalam pada itu pada seseorang bisa intuisi yang dominan. Orang yang demikian akan menangkap segala hal dalam lingkungannya lebih banyak melewati penglihatan batin; tidak melihat secara mendetail. Tetapi melihat makna secara keseluruhan. Diantara keempat fungsi psikhis tersebut yang pokok adalah fikiran dan perasaan ; yang dua lainnya hanya sebagai pembantu. Tetapi biasanya fikiranlah yang melebihi lainnya. Fikiranlah yang menuntun. Pada kenyataannya fikiran tidak pernah bekerja sendiri, tetapi dibantu oleh penginderaan atau intuisi. Selalu bekerja dengan sempurna. Jika fikiran seseorang bekerja sama dengan penginderaan, ia berpikir secara empiris, yakni berpikir tentang kenyataan berdasarkan tangkapan inderanya, berdasarkan empirisnya. Orang semacam itu biasanya senang mempelajari ilmu pengetahuan. Ada pula orang yang fikirannya dibantu oleh intuisi. Ia berpikir intuitif ; berpikir tidak berdasarkan kenyataan, melainkan berdasarkan firasat. Kalau perasaan seseorang dibantu oleh penginderaan, ia berperasaan empiris. Ia merasa senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, menerima atau menolak didasarkan atas empirisnya. Dan bila intuisi yang membantu perasaannya itu, ia berperasaan intuitif. Dalam berperasaan intuitif ini, jika ia merasakan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, menerima atau menolak itu, didasarkan atas intuisinya ; ia tidak tahu apa sebabnya. VII. EXTRAVERT, INTROVERT DAN AMBIVERT Berdasarkan fungsi psikhis tersebut di atas, ahli jiwa Jung membedakan manusia menjadi dua golongan menurut arah perhatiannya. Jika perhatiannya terutama ditujukan keluar, yakni kesekelilingnya, ini dinamakan type extraverse. Dan orangnya disebut extravert. Seorang extravert lebih mementingkan lingkungannya dari pada dirinya sendiri; lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Orang semacam ini umumnya berhati terbuka, gembira, ramah-tamah, lancar dalam pergaulan, dan memancarkan sikap hangat, sehingga cepat mendapat banyak kawan. Golongan yang kedua ialah orang yang perhatiannya terutama diarahkan kedalam dirinya sendiri. Ini disebut tipe introverse. Dan orangnya dinamakan introvert. Orang yang bertype ini lebih mementingkan dirinya
24
sendiri daripada kepentingan umum. Dirinya sendiri menjadi primer, lingkungannya sekunder. Seorang introvert biasanya pendiam, egoistis, suka merenung, senang mengasingkan diri, tidak bisa bergaul. Yang penting ialah jika seorang extravert hidup bersama dengan seorang introvert, maka antara kedua orang tersebut akan terjadi ketegangan psikologis. Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan yang extrim itu hanya terdapat pada sebagian kecil manusia saja, sebab antara kedua golongan itu ada segolongan yang mengantarainya, yakni type ambiverse. Dan ternyata, bahwa orang-orang ambivert jauh lebih banyak daripara orang-orang extravert dan introvert. Jadi berdasarkan fungsi psikhis dan arah perhatiannya maka terdapat orang-orang extravert yang terbiasa berfikir empiris, berfikir intuitif, berperasaan empiris, berperasaan intuitif ; dan orang introvert yang berfikir empiris, berfikir intuitif, berperasaan empiris, berperasaan intuitif. Sebagai manusia para karyawan-pun terdiri dari orang-orang extravert, ambivert dan introvert dengan kebiasaan-kebiasaan berfikir dan berperasaan seperti disebutkan di atas. Itu semua perlu diketahui oleh para manager atau pemimpin eksekutif. Dengan demikian para pemimpin kelompok kekaryaan akan dapat memahami, mengapa seorang karyawan mempunyai sifat tabiat tertentu. Dan ini akan memudahkan memecahkan masalah yang dihadapi pada karyawan. Masalah-masalah yang dihadapi para karyawan, baik dirumahnya maupun ditempat pekerjaannya, akan besar pengaruhnya kepada pelaksanaan tujuan organisasi. Dengan berhasilnya memecahkan masalah para karyawan, berarti seorang manager telah sukses melaksanakan human relations. Dan ini besar artinya bagi manajemen. VIII. MANUSIA DALAM DINAMIKA KELOMPOK Manusia tidak pernah hidup sendiri. Sejak ia dilahirkan ia tergantung dari orang lain. Ia mengadakan interaksi dengan orang lain. Dan dalam interaksi itu terjadi pengaruh mempengaruhi. Semakin lama ia hidup dan tumbuh, semakin banyak ia berinteraksi. Dan semakin luas ruang lingkup interaksinya. Ia berada dalam kehidupan kelompok. Ia berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Ada tiga faktor mendasari interaksi manusia dalam kehidupannya dengan manusia lain. Ke tiga faktor tersebut ialah imitasi, sugesti dan simpati. Imitasi tampak dengan jelas tingkah laku anak-anak dalam pertumbuhannya menjadi dewasa. Bahasa untuk menyatakan setiap keinginannya adalah imitasi dari ibunya. Cara makan, cara berpakaian, cara mengucapkan selamat jalan, cara memberikan isyarat dan lain sebagainya semuanya adalah hasil imitasi.
25
Jadi imitasi adalah tanggapan yang dipelajari. Hasil interaksi, pengaruh lingkungan. Bukan pembawaan sejak dilahirkan. Demikianlah, dalam perkembangan anak itu selanjutnya imitasi memegang peranan penting. Dalam memperoleh pengetahuan, cara berpakaian mengikuti mode dan sebagainya ia banyak berimitasi. Bahwa imitasi tidak, selalu bersifat positif, tampak dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang tidak sesuai dengan norma-norma hidupnya. Rambut gondrong atua bertingkah laku ala Hippies adalah imitasi yang oleh segolongan masyarakat dianggap tercela. Para karyawanpun sebagai manusia yang hidup bermasyarakat tidak akan lepas dari imitasi. Imitasinya itu tidak selalu positif. Kemungkinan besar banyak yang negatifnya. Terutama imitasi dari film. Akibat dari imitasinya itu, seperti umpamanya tingkah laku bintang film yang tidak sesuai dengan norma hidup masyarakat kita, bisa berpengaruh pada kehidupan kelompok kekaryaan dimana para karyawan bekerja. Beruntunglah, apabila para karyawan berimitasi dari teman sejawatnya yang rajin menambah pengetahuannya diluar pekerjaan. Imitasi yang positif itu akan berpengaruh pula kepada organisasi kekaryaan dimana mereka bekerja. Faktor lain adalah sugesti. Sugesti diterima seseorang dari orang lain yang mempunyai otoritas, prestise sosial yang tinggi, atau ahli dalam lapangan tertentu. Ia mengoper tingkah laku atau adat kebiasaan dari orang lain tadi tanpa sesuatu pertimbangan. Sugesti ini memegang peranan penting dalam hidup kelompok kekaryaan, karena disitu terdapat orangorang yang mempunyai otoritas, mempunyai prestise sosial yang tinggi, atau yang mempunyai keahlian dalam lapangan tertentu, terutama dalam organisasi yang besar. Faktor ketiga yang mempunyai peranan penting dalam interaksi adalah simpati. Simpati adalah perasaan tertariknya seseorang oleh orang lain. Perasaan simpati ini dapat timbul secara tiba-tiba atau secara lambat laun. Berlainan dengan sugesti, timbulnya simpati ini adalah sebagai proses yang disadari ; dan timbulnya tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Pada simpati dorongan utama ingin mengerti dan ingin kerja sama dengan orang lain. ”Murtual understanding” atau pengertian bersama hanya dapat dicapai kalau terdapat simpati. Seorang karyawan tidak selalu bersimpati kepada managernya, pemimpin eksekutifnya, atau pimpinan kelompoknya ; bisa juga bersimpati kepada karyawan lainnya, ini berarti ia ingin bekerja sama dengan orang tua. Bagi sebuah organisasi kekaryaan kerja sama kearah yang produktif adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Dan itu salah satu kegiatan human relations.
26
A. Situasi Kelompok Para karyawan yang hidup dalam situasi kelompok (group situation) berbeda dengan orang-orang yang hidup dalam situasi kebersamaan (togetherness situation). Orang yang berada dalam situasi keberamaan tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan orang-orang lainnya, karena sebelumnya mereka tidak saling mengenal. Beradanya mereka itu pada suatu tempat secara bersama-sama karena kebetulan saja. Orang-orang yang berada di pasar adalah dalam togetherness situation. Mereka berada disana dan bertemu satu sama lainnya hanya secara kebetulan saja ; karena suatu kepentingan yang sama, yakni berbelanja. Kebanyakan hubungan mereka hanya pada waktu itu saja ; selanjutnya tidak saling mengenal lagi. Lain dengan situasi kelompok. Di situ terdapat hubungan psikologis. Anggota kelompok – seperti umpamanya para karyawan – mempunyai hubungan yang erat, karena mereka berinteraksi dalam waktu yang sama. Hubungan para karyawan itu selain bersifat pribadi, juga struktural dan hirarkhis, karena ada pemimpin, yang dipimpin, peraturan, dan sebagainya. Serta terdapat pembagian tugas untuk mencapai tujuan tertentu yang merupakan kepentingan bersama. Kenyataan menunjukkan bahwa sifat kelompok menentukan sifat dari pengaruhnya terhadap kemajuan para anggota kelompok. Nilai kelompok, stabilitas dari nilai-nilai tersebut, suasana kelompok, dan sifat dari kesesuaian yang dikehendaki oleh kelompok menentukan apakah suatu kelompok menimbulkan pengaruh yang positif atau negatif terhadap pertumbuhan dan tingkah laku anggota-anggotanya. Sehubungan dengan kenyataan itu, penting peranan seorang pemimpin kelompok untuk selalu menjaga nama baik kelompoknya dan dan menjaga suasana kelompoknya senantiasa hangat dan penuh pengertian diantara sesama anggotaanggotanya. Situasi seperti itu akan menimbulkan pengaruh yang positif terhadap anggota-anggotanya. Sebaliknya suasana yang penuh permusuhan dan tidak disenangi oleh orang-orang luar, akan menimbulkan pengaruh yang negatif pada pertumbuhan dan tingkah laku anggota-anggotanya. Pengaruh positif terhadap para karyawan akan menyebabkan para karyawan bekerja giat. Dan ini akan berpengaruh pula kepada tujuan yang dicapai oleh organisasi. B. Mengapa Orang Memasuki Kelompok ? Pada umumnya orang memasuki sebuah kelompok, karena percaya bahwa dengan bersama-sama dengan orang lain, kebutuhannya akan bisa terpenuhi dibandingkan kalau diusahakan sendirian. Demikianlah, maka orang memasuki kelompok, apakah kelompok itu
27
berbentuk kelompok kekaryaan atau bentuk perkumpulan. Para karyawan bekerja di perusahaan, jawatan, atau organisasi kekaryaan lainnya, dengan tujuan untuk memuaskan kebutuhan hidupnya. Sekali si-karyawan itu menjadi anggota kelompok, mungkin saja ternyata baginya kebutuhannya tidak terpuaskan, tetapi ia tetap tidak keluar dari kelompoknya itu, karena ia memperoleh keuntungan lain. Seorang karyawan, umpamanya, bekerja di sebuah perusahaan dengan pikiran bahwa ia akan menerima upah secara teratur, dan banyak kemungkinan tiap tahun akan naik. Andaikata dikemudian hari ternyata bahwa tidak demikianlah apa yang diharapkan itu, ia tetap tidak keluar dari kelompoknya itu, karena ia melihat kondisi-kondisi kerjanya menyenangkan. Pada kenyataannya ada dua jenis kebutuhan yang menyebabkan seseorang memasuki suatu kelompok kebutuhan yang pokok sebagaimana ia ingin peroleh ketika memasuki kelompok tersebut, dan kebutuhan sampingan. Seseorang yang bekerja di sebuah Departemen pada pokoknya bertujuan untuk memperoleh upah yang teratur dan yang akan meningkat terus secara teratur pula; kenyataannya, perlawatannya ke luar negeri merupakan keutungan sampingan. Demikian pula seorang pemain sepak bola. Semula tujuannya hanya untuk kesehatan dan untuk mendapat bimbingan dari seorang ahli secara teratur. Ternyata hanya karena kehadirannya dalam sepak bola itu, ia ditawari pekerjaan oleh sebuah perusahaan besar dengan jaminan hidup yang memuaskan. Tidak semua mahasiswi bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan; banyak juga untuk memperoleh suami yang “memuaskan”. Tidak sedikit pemuda yang menjadi Hansip bertujuan untuk dipandang gagah karena seragamnya. Banyak juga ibu-ibu yang memasuki perkumpulan arisan bukan karena manfaat arisan, melainkan takut tidak disenangi oleh teman-temannya. Jadi orang memasuki suatu kelompok dengan tujuan tertentu, dengan motif tertentu. Dan motifnya itu mempengaruhi tingkah lakunya. Apakah motif karyawan memasuki suatu organisasi kekaryaan semata-mata untuk dapat terpenuhi kebutuhan sehari-harinya?. Sebuah penelitian telah dilakukan terhadap 500 orang karyawan mengenai kebutuhannya; mengenai apa yang mereka inginkan. Kepada mereka ditanyakan apa yang mereka paling senangi dalam pekerjaannya dan apa yang paling mereka tidak sukai. Jawaban mereka ternyata bukan hanya mengenai kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan sampingan. Pada dasarnya, yang mereka inginkan tercakup dalam 10 jawaban dibawah ini : 1. Kami ingin pimpinan yang baik, karena kami tergantung dari kepemimpinan. 2. Kami ingin mendapat penerangan. Kami ingin mengetahui tujuan yang akan dicapai, di fihak mana kami berada, dan kekuatankekuatan apa yang mempengaruhi lingkungan kerja kami.
28
3. Kami ingin diberlakukan sebagai manusia terhormat. Kami adalah manusia yang masing-masing mempunyai masalah dan kebutuhan yang berlainan. 4. Kami ingin perangsang dan kesempatan untuk maju. Kami mengharap adanya usaha dan kompetisi dengan mereka yang sedang mengalami kemajuan. 5. Kami ingin kebebasan dalam sikap kami sehubungan dengan persoalan kami. 6. Kami ingin hidup bermasyarakat dan ingin penghormatan dari orang-orang lain. Kami adalah manusia-manusia bermasyarakat. Kami ingin mencegah pertentangan pribadi. 7. Kami ingin jaminan keamanan. Kami menentang perubahan. 8. Kami ingin kondisi dan kesenangan bekerja sejauh kemungkinan yang bisa diberikan kepada kami. Ini termasuk upah. 9. Kami ingin melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat. Kami ingin berprestasi dalam pekerjaan sebagai sumbangan kepada kebutuhan masyarakat. Partisipasi akan membentuk kami mencapai prestasi. 10. Kami ingin diperlakukan secara jujur. Ini adalah keadilan yang berarti menyebabkan kegiatan kami akan tetap terus sesuai dengan keadaan. Penelitian tersebut dilakukan terhadap para karyawan Amerika Serikat, akan tetapi manusia dimana-mana sama saja dalam hal kebutuhan psikologis, dan sosial. Karena itu hasil penelitian di atas terdapat saja dipergunakan sebagai pegangan dalam rangka meningkatkan karyawan-karyawan di Indonesia. C. Masalah Dan Pemecahannya Kehidupan manusia sebenarnya merupakan rentetan pemecahan masalah (problem solving). Mulai bangun tidur di pagi hari sehari-harinya setiap orang dihadapkan kepada masalah-masalah. Setiap masalah yang timbul segera di atasi, tetapi kemudian muncul masalah lain yang juga meminta pemecahan. Banyak masalah yang datang bersamaan yang secara serentak pula menghendaki pemecahan. Setiap masalah tidak sama kadarnya; karena itu periode pemecahannya tidak sama. Ada yang dapat dipecahkan seketika, ada yang memerlukan waktu yang lama. Sebagai contoh yang sederhana: gatal adalah masalah. Masalah ini mudah dipecahkan seketika kalau terasa dikulit terbuka. Lain kalau gatal itu terasa di punggung ketika sedang memakai jaket kulit. Masalahnya agak lebih berat, dan periode pemecahannya pun lebih lama. Demikian pula ingin buang air adalah masalah yang mudah diatasi, jika berada di rumah atau di kantor. Adalah lain, kalau waktu menonton sepak bola di Buana Patra. Pemecahannya lebih berat. Dan periode pemecahannya pun lebih lama. Contoh di atas hanyalah masalah-masalah yang sederhana yang dapat dipecahkan sendiri oleh yang bersangkutan dengan mudah. Pada
29
kenyataannya masing-masing orang dihadapkan kepada masalah-masalah yang lebih berat, bahkan berat sekali, sehingga untuk memecahkannya bukan saja sulit, tetapi juga memerlukan bantuan orang lain. Bagi seorang karyawan, istrinya yang sakit merupakan masalah. Dan masalahnya itu akan merupakan masalah besar jika sakitnya parah, dan ia tidak mempunyai uang. Untuk memecahkannya diperlukan periode yang lebih lama dan memerlukan bantuan orang lain. Seorang akan selalu berusaha memecahkan masalahnya sendiri. Ini bisa menimbulkan dua kemungkinan; Kesesuaian yang menyenangkan (adjugtmant) yang berarti masalahnya terpecahkan; atau malah menimbulkan masalah baru (maladjusment). Kembali kepada contoh masalah yang dihadapi karyawan tadi: istrinya sakit, sedang uang tidak punya. Dengan menjual jam tangannya, masalahnya itu terpecahkan. Tetapi ketika arloji yang akan dijualnya itu mati sehingga tidak laku, maka masalahnya itu bukan terpecahkan, bahkan menimbulkan masalah baru. 1. Frustasi Maladjusment bisa berakibat lebih jauh, yakni menimbulkan frustasi. Frustasi ialah rasa kecewa, disebabkan kegagalan dalam memecahkan masalah; kegagalan dalam memecahkan masalah; kegagalan dalam menghilangkan rintangan yang menghambat terlaksananya suatu keinginan. Antara orang yang satu dengan yang lainnya berbeda kemampuannya dalam memecahkan masalahnya. Ada yang cepat ada yang lambat. Demikian pula dalam frustasi. Ada orang yang mudah menderita frustasi bila menghadapi kegagalan, ada yang lambat. Akan tetapi cepat atau lambat, apabila seseorang menderita frustasi, ia berada dalam keadaan yang menyedihkan. Dalam tingkah lakunya ia tidak inteligen lagi. Usahanya tidak lagi diarahkan kepada masalahnya, melainkan ditujukan untuk melepaskan diri dari penderitaan frustasinya. Orang yang menderita frustasi bisa macam-macam tingkah lakunya. Ia bisa merasa tidak berdaya, sedih, putus asa, lalu mengundurkan diri dari pergaulan. Ia mungkin juga bertingkah laku yang tidak pantas bagi orang setua dia. Atau bisa juga mencari suatu dalih atau alasan untuk menutupi ketidakmampuannya dalam mengatasi kegagalannya. Atau dapat pula berfantasi, mencari kepuasan dengan menghayalkan hal-hal yang menyenangkan. Selain itu, orang yang menderita frustasi bisa juga melakukan kompensasi. Ini bisa merupakan tingkah laku yang terpuji, bisa juga sebaliknya. Seorang karyawan yang gagal dalam melakukan tugasnya mungkin mencari kompensasi dengan mengerahkan tenaganya sehingga ternyata ia dapat melaksanakan tugasnya dengan gemilang; akan tetapi bisa juga ia lalu melakukan kompensasi dengan “menyakit-nyakitkan diri”
30
di rumah, atau melawak di depan teman-teman sekerjanya untuk menarik perhatian. Akan tetapi yang lebih parah jika frustasi itu merupakan frustasi yang disertai afresi, sehingga bertingkah laku agresif. Ia menyerang orang lain secara fisik atau menyerang benda-benda umpamanya membanting kursi, menendang meja, atau barang-barang lain, semata-mata melampiaskan nafsunya akibat emosinya yang meluap-luap. Akan tetapi serangan yang dilakukan orang-orang yang menderita frustasi agresif itu dapat juga dalam bentuk kata-kata: memarahi orang tanpa berasalan, menyebarkan fitnah, memutar balikkan kenyataan, dan lain sebagainya. Apa yang harus dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan kelompok jika menghadapi orang yang bertingkah laku seperti itu? Dalam hal inilah human relations harus dilaksanakan. Bukanlah seorang pemimpin yang bijaksana, apabila ia memegang tengkuk karyawan marahmarah seperti itu, lalu mengancamnya akan memberhentikan dari pekerjaannya. Dalam rangka melaksanakan human relations, seorang pemimpin hendaknya memanggil dia dengan baik-baik kekantornya, lalu mengajak bercakap-cakap dari hati ke hati. Orang yang mengalami frustasi marah tidak baik dihadapi dengan marah pula, sebab hasilnya akan negatif, bukan saja bagi orang yang bersangkutan, tetapi bagi pekerjaan yang dilakukan. Tugas human relations adalah menggiatkan seluruh karyawan kearah sasaran bersama dengan hati yang sama-sama puas dan senang. Karyawan yang marah-marah tadi bukan harus dihadang, melainkan dibimbing, dipimpin, dikendalikan terlebih dahulu kearah suasana yang tenang tanpa emosi. Apabila sudah reda, pemimpin mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan ia berceritera terus terang tentang masalahnya yang menyebabkan dia menderita frustasi. Bagi seorang yang menderita frustasi, kenyataannya (to express) saja, yakni menyatakan masalahnya kepada orang lain, sudah merupakan keringanan; ia merasa sedikit terbebaskan dari gumpalan kesesakan dalam dadanya. Jika karyawan tadi mengutarakan masalahnya, maka bagi pemimpin sebagai tahap pertama sudah berhasil. 2. Tingkah laku pemecaan masalah Tugas pemimpin selanjutnya ialah membawa karyawan yang sudah mengeluarkan isi hatinya itu ke suasana “tingkah laku pemecahan masalah (problem solving behavior): Tingkah laku pemecahan masalah berarti lebih menggiatkan lagi usahanya dalam mencapai sasarannya. Orang yang menderita frustasi tadi tidak berhasil memecahkan masalahnya. Jadi frustasinya tadi dikembalikan kepada suasana pemecahan masalah untuk kemudian lebih digiatkan usahanya dalam mencapai tujuannya itu. Ia dibimbing untuk memberikan masalahnya lebih teliti dan memikirkan cara-cara yang lebih tepat untuk mengatasi kesulitannya.
31
Dalam sub bab “counceling” pada bab yang akan datang soal itu akan diuraikan lebih dalam lagi. IX.MOTIF DAN MOTIVASI Prestasi kerja seorang karyawan kadang-kadang tidak sama dengan kecakapan yang dimilikinya. Memang factor penyebabnya tidak sama antara karyawan yang satu dengan yang lainnya. Faktor penyebab ini tergantung dari orangnya sendiri atau lingkungan kerjanya. Tidak sesuai prestasi kerjanya dengan kecakapannya itu bagi seorang karyawan mungkin karena tidak mempunyai kemauan; bisa juga karena tidak menyukai pemimpinnya; atau dapat juga karena kekurangan energi, dan lain sebagainya. Dalam psikologi, keadaan seperti itu dikatakan sebagai berikut: bukan kecakapan (ability) yang kurang, melainkan motivasi (motivation) yang kurang atau tidak ada motifnya yang tidak kuat, sehingga hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan kecakapannya. Apakah motif dan motivasi itu? Motif adalah kondisi seseorang yang mendorong untuk mencari suatu kepuasan atau mencapai suatu tujuan. Atau dapat juga dikatakan, motif gaya/daya gerak yang mendorong seseorang berbuat sesuatu. Sedang motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri, untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki. Jadi motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau mengerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu tujuan atau kepuasan. Seseorang melaksanakan kecakapannya, karena ada suatu motif. Kalau motif itu tidak timbul, belum tentu ia berbuat sesuatu melaksanakan kecakapannya, meskipun ia sanggup berbuat demikian. Hampir semua orang bisa lari tapi kenyataannya tidak semua orang lari. Kalau seseorang lari, itu disebabkan ada motif yang timbul padanya, entah mengejar sesuatu, ada pembunuhan, maka pertama-tama timbul pada benak seorang detektif ialah pertanyaan : “Apakah motif pembunuhan itu?” Bila seseorang membunuh orang lain pasti ada motifnya. A. Motif dan Motivasi Prestasi kerja seorang karyawan biasanya tidak sama dengan kecakapan yang dimilikinya. Dan faktor penyebabnya tidak sama antar karyawan yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini tergantung dari lingkungan kerjanya serta orangnya. Dan tidak sesuainya prestasi kerja dengan kecakapannya itu bagi seorang karyawan mungkin disebabkan tidak ada kemauan; bisa juga dengan tidak menyukai pimpinannya. Keadaan seperti itu dalam psikologi bukanlah kecakapan (ablity) yang kurang, melainkan motivasi yang kurang. Motif yang tidak kuat, sehingga hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan kecakapannya.
32
Apakah motif dan motivasi itu? Motif adalah kondisi seseorang yang mendorong untuk mencari kepuasan atau mencapai suatu tujuan. Sedangkan motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki. Seseorang melaksanakan kecakapannya, karena ada suatu motif. Kalau motif tidak timbul, belum tentu ia berbuat sesuatu untuk melaksanakan kecakapannya, meskipun ia sanggup berbuat demikian. Suatu motif timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup manusia ada dua jenis; pertama kebutuhan primer atau kebutuhan phisiologis yang pokok; kedua kebutuhan sekunder atau kebutuhan yang bersifat sosial psikologis. Kebutuhan primer ini sifatnya universil, seperti makan, minum, dan lain-lain, yaitu untuk kelangsungan hidup. Sedangkan kebutuhan sekunder bersifat yang menunjang kebutuhan pikiran dan kerokhanian. Kebutuhan ini sangat berpengaruh pada tingkah laku seseorang. Motif yang sama bisa menimbulkan tingkah laku yang berbeda pada saat yang berbeda. Sebaliknya tingkah laku yang sama dapat disebabkan oleh berbagai motif. Fungsi human relations dalam manajemen ialah memotivasikan para karyawan; membangkitkan motif mereka, membangkitkan daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat. Jadi jika dalam memotivasikan para karyawan akan menggunakan kata-kata, maka kata-kata itu harus positif, mengandung kebijaksanaan, menimbulkan sifat optimis; bukan kata-kata negatif yang menjatuhkan mental. B. Apa yang Mendasari Motif Suatu motif timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup manusia ada dua jenis : Pertama kebutuhan primer atau kebutuhan psikologis yang pokok; kedua kebutuhan skunder, atau kebutuhan yang bersifat sosial psikologis. Kebutuhan primer atau motif primer diantaranya ialah kebutuhan akan makanan, air untuk minum, udara untuk nafas, tidur, sex, dan lainlain untuk kelangsungan hidup dan untuk meneruskan jenisnya. Karena itu kebutuhan primer ini sifatnya universal. Kebutuhan skunder kurang begitu pasti dibandingkan dengan kebutuhan primer oleh karena merupakan kebutuhan bagi pikiran dan rohaniahnya. Dan kebutuhan kedua ini berkembang sejalan dengan usia yang semakin bertambah. Contoh untuk itu ialah persaingan, harga diri, kepentingan diri sendiri, memiliki sesuatu, melaksanakan tugas, dan sebagainya. Kebutuhan sekunder ini lebih bervariasi dari pada kebutuhan primer. Kebutuhan kedua atau motif skunder itu berpengaruh kepada tingkah laku seseorang. Motif yang sama bisa menimbulkan tingkah laku
33
yang berbeda pada saat yang berbeda. Sebaliknya suatu tingkah laku yang sama dapat disebabkan oleh berbagai motif. Karyawan yang mengambil kursus atau kuliah di waktu sore mungkin karena ingin cepat naik pangkat atau menjadi orang yang terpandang di masyarakat atau agar dapat pindah ke perusahaan yang diidam-idamkan, atau karena terbawa oleh kawannya saja. Karyawan yang absen, mungkin tidak menyenangi, atau disebabkan tidak menyukai pekerjaan atau bermusuhan dengan kawan sekerjanya atau tidak menyukai pimpinannya. Fungsi human relations dalam manajemen adalah memotivasikan para karyawan; membangkitkan motif mereka, mengugah daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat. Jadi jika dalam memotivasikan para karyawan akan menggunakan kata-kata, maka kata-kata itu harus positif, mengandung kebijaksanaan, menimbulkan sikap optimistis; bukan kata-kata negatif yang menjatuhkan mental. Sebagai contoh, adalah salah sekali bila berkata kepada seorang karyawan sebagai berikut: “Bodoh sekali kamu” yang begini saja tidak bisa kamu kerjakan”. Adalah lebih baik jika berkata seperti ini : “Sebetulnya saudara bisa mengerjakannya lebih baik. Coba kerjakan dengan cermat”. C. Eksperimen Motivasi
Seorang ahli ilmu jiwa R.S. Woodworth telah mengadakan beberapa eksperimen mengenai motivasi ini, yang hasilnya didasarkan untuk dipraktekkan dalam kelompok kekaryaan. Salah satu diantaranya ialah persaingan (compettion). Dalam percobaan ini diambil seorang karyawan yang sedang bekerja. Sebagai hasil pekerjaannya ia memperoleh jumlah tertentu. Kemudian ia digantikan oleh karyawan lain yang diperkirakan lebih tinggi jumlah hasilnya. Karyawan yang pertama tadi disuruh menyaksikannya. Setelah melihat kawan yang menggantikannya itu berprestasi lebih tinggi, karyawan yang pertama tadi berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyamai hasil kerja saingannya tadi. Eksperimen kedua ialah dengan cara bersaing sendiri (selfcompotition). Ini sederhana saja. Berikan kepada seorang karyawan sebuah pekerjaan, lalu berikanlah kepadanya kesempatan untuk mencoba beberapa kali lagi. Tetapi sebelumnya perlihatkan dulu hasil percobaan yang pertama. Ia berusaha agar berhasil lebih baik dari pada sebelumnya. Eksperimen berikutnya ialah dengan cara “membuat jarak (pace making)”. Eksperimen ini sebenarnya dilakukan di luar situasi kerja, tetapi dapat dipraktekkan dalam pekerjaan. Eksperimen dilakukan terhadap seorang pelari. Seorang pelari “akan lari lebih cepat” jika didepannya terdapat seorang pengendara sepeda sebagai pembuat jarak (face maker) yang terus-menerus berada didepannya. Si pembuat jarak bukanlah saingan yang sebenarnya, dan si pelaripun tidak ingin menyusulnya. Jadi apakah gunanya pembuat jarak itu? Ia merupakan tujuan terdekat selalu berada dekat di depan si pelari, sehingga pelari itu dari saat ke saat selalu berusaha sebaik-baiknya agar jaraknya 34
dengan pace maker itu tetap. Sedang untuk tujuan yang jauh daya dorongnya kurang. Eksperimen ini menunjukkan betapa pentingnya tujuan yang dekat dan dapat dilihat. Dalam situasi kerjapun demikian. Target yang dekan akan menimbulkan daya dorong yang lebih besar daripada taget yang jauh untuk dicapai. Ketiga eksperimen tersebut telah menggunakan perangsangperangsang. Dan perangsang-perangsang itu telah menimbulkan daya dorong yang lebih besar, motif serta menggerakkan motif itu untuk mencapai tujuan. Untuk meningkatkan suatu hasil karya, perlu sekali diadakan tujuan yang tegas dan jelas. Tanpa tujuan yang tegas dan jelas, tanpa tujuan yang definitif kemungkinan besar para karyawan tidak bekerja giat sebagaimana diharapkan. Tujuan itu harus yang mungkin dapat dicapai. Jika tujuan akhir memang jauh, hendaknya dibuat tujuan sementara yang lebih dekat yang dapat dicapai dengan segera. Sebab tujuan yang dapat dicapai dengan segera akan menimbulkan usaha yang lebih giat. Sehubungan dengan itu, semakin jelas terlihat cara-cara untuk menempuh tujuan itu, akan semakin giat usaha untuk mencapainya. Ini berlainan dengan tujuan yang samar-samar. Karena itu pula, dalam rangka mencapai suatu tujuan, terlebih dulu perlu dicari metode-metode yang tepat dan alat yang tepat. Dalam pelaksanaannya, baik sekali apabila karyawan yang akan mengerjakannya diberi kesempatan untuk memperbincangkannya. Biasanya sukses tidaknya suatu pekerjaan menyangkut harga diri orangorang yang mengerjakannya. Para karyawan akan merasa bangga, jika apa yang dikerjakannya berhasil dengan sukses, sebaliknya akan kecut hatinya apabila ia gagal. Orang yang ikut membicarakan suatu pekerjaan yang akan dilaksanakannya, akan mempunyai rasa tanggung jawab. Karenanya mereka akan bekerja giat demi prestasi dirinya dan kelompoknya. Diskusi diantara para karyawan mengenai pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan “laboratorium” untuk memotivasikan mereka; untuk membangkitkan motif-motif mereka; untuk menggerakkan mereka bekerja lebih giat, sehingga tujuan yang akan dicapai oleh mereka dengan semangat kerja sama. Motivasi adalah seni, tetapi seni yang dapat dipelajari dan dipraktekkan oleh siapa saja. Menurut Kate Keenam (1996), tentang pentingnya motivasi menyebutkan tindakan memotivasi merupakan aspek vital untuk bekerja dengan baik. Aktivitas ini berhubungan seberapa jauh komitmen orang terhadap pekerjaan mereka dan dalam mencapai tujuan mereka. Bahkan hal ini sesederhana keinginan untuk menghasilkan lebih banyak uang atau pulang ke rumah lebih awal.
35
D. Merancang Pekerjaan Memahami kebutuhan yang perlu dipenuhi orang merupakan suatu hal. Memahami apa yang memotivasi orang untuk bekerja dengan baik sama sekali merupakan hal lain. Untuk dapat mengajak orang untuk bekerja keras sesuai dengan potensinya berarti memastikan bahwa kondisi yang tepat sudah diciptakan dan bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan sumber kepuasan sehingga diangap cukup berharga untuk dikerjakan. Untuk melakukan hal ini, anda perlu memahami bagaimana cara merancang pekerjaan, pekerjaan dengan sedemikian rupa untuk memberi orang tingkat kepuasan bekerja yang paling baik. Untuk mencapai proses itu dapat melakukan beberapa tindakan: 1. Melakukan sesuatu yang berharga, menciptakan tindakan atau system kerja yang membuat para pekerja berharga, menghasilkan pekerjaan bernilai tinggi dan memenuhi rasa puas dan bangga dalam pekerjaannya. 2. Menciptakan kondisi yang tepat; menyusun prosedur kerja yang dapat memberikan kenyamanan, merasa tepat kehalian/pekerjaan, kedudukan, terampil dalam mengerjakan pekerjaan sendiri dan mencapai standar yang tinggi. 3. Memberikan kepuasan; untuk mencapai kepuasan maka perlu beberapa persyaratan: menghayati pekerjaan sebagai suatu yang berguna, ikut bertanggungjawab dalam menentukan hasil, dan diberi umpan balik dalam kinerja. E. Sikap Dalam Motivasi Sikap anda pada waktu sedang memotivasi orang sama pentingnya dengan sikap pada saat mereka pada saat anda memotivasi karena sikap orang sebagian besar akan mencerminkan sikap anda pula. Ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan antara lain: 1) Memiliki pandangan positif dengan cara: bersikap antusias terhadap pekerjaan yang sedang dihadapi, memberi dorongan kepada orang dalam pekerjaan mereka, bersedia membantu bila diperlukan, menunjuk kepada orang lain bahwa anda membuat komitmen untuk menyelesaikan tugas, dan mau mendengar pendapat oranglain. 2) Menunjukkan perhatian, dengan mengetahui : ambisi khusus masing-masing orang sehingga bisa mendelegasikan kualitas pekerjaan yang tepat dan keterampilan yang ingin diperoleh seseorang sehingga anda dapat menawarkan kepada mereka kesempatan untuk berkembang. 3) Berperilaku konsisten berarti: anda sudah cukup yakin benar akan maksud dan tujuan anda; menghitung sampai enam sebelum memberikan reaksi sehingga anda mempunyai kesempatan untuk
36
berpikir tentang respon yang akan diberikan dan tetap tenang dalam berbagai situasi. 4) Mempertahankan hasil pekerjaan yang bagus, dengan selalu memperhatikan para pekerja yang menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi dan memotivasi yang untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas. F. Mempertahankan Motivasi Setelah pekerjaan dikerjakan dalam situasi motivasi yang tinggi, maka perlu ada upaya untuk mempertahankan motivasi tersebut. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan yaitu: 1) Selalu memberi informasi, semakin banyak orang yang tahu tentang tentang apa yang telah terjadi semakin memperbesar keyakinan mereka tentang pekerjaannya dalam hal ini mempunyi dampak positif dalam mempertahankan semangat juang para pekerja. 2) Mempertahankan kinerja; dengan cara: melakukan pemeliharaan rutin, melakukan pemeriksaan besar-besaran jika perlu dan peninjauan kembali pada interval yang telah disepakati. 3) Mengendalikan pengaruh; kepribadian individu dapat mempengaruhi semangat juang. Bagaimana kepribadian ini dikendalikan atau dimanfaatkan merupakan hal yang penting jika ingin mempertahankan motivasi. 4) Memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, menciptakan kondisi bekerja yang menyenangkan, nyaman, harmonis dan aman. G. Manfaat Motivasi Memotivasi orang berarti memahami apa yang mendorong dan merangsang orang untuk bekerja. Kegiatan ini dicapai melalui suatu kombinasi antara memahami kebutuhan individu mereka dan menciptakan kesempatan bagi mereka untuk ingin kerja dengan baik. Manfaat yang diperoleh dari bekerja dengan orang yang bermotivasi, yaitu: 1) Pekerjaan akan diselesaikan sesuai dengan standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan. 2) Orang akan senang melakukan pekerjaannya dan merasa berharga. 3) Orang akan bekerja keras karena mereka ingin mengerjakan apa yang sedang mereka kerjakan. 4) Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan pengawasan yang terlalu banyak. 5) Semangat juang akan tinggi, hal ini akan memberikan suasana bekerja yang bagus di semua bagian. X. HUMAN RELATIONS TEORI DAN PRAKTEK A. Human Relation Sebagai Kegiatan Komunikasi Pada Bab I telah dipaparkan secara agak luas, mengenai komunikasi manajemen, dan pada Bab II telah disinggung bahwa human 37
relation adalah komunikasi persuasif secara tatap muka. Jadi para manajer dapat, perlu dan seyogyanya melakukan human relations, baik kepada khalayak atau publik di dalam organisasi, maupun kepada khalayak diluar organisasi. Selain dengan hubungan dengan tugas pekerjaan, juga diluar tugas pekerjaan. Dengan orang-orang yang berada di dalam organisasi, jelasnya para karyawan, human relations perlu dilaksanakan untuk meniadakan gangguan sebagai akibat salah komunikasi dan salah interpretasi, lebihlebih untuk menghilangkan frustasi terutama frustasi agresif, serta menggugah kegairahan dan kegiatan kerja, sehingga timbul kerja sama yang lebih produktif, dari pada yang sudah-sudah dengan perasaan bahagia dan puas hati. Tetapi diluar tugas pekerjaan pun, para manager tingkat tinggi, tingkat menengah maupun tingkat rendah, serta seluruh pegawai sepantasnya senantiasa melakukan human relations dengan siapapun, selain dengan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan organisasi, juga dengan mereka yang tidak ada hubungannya. Human relations ini dilaksanakan dalam perkumpulan olahraga, kesenian, keagamaan, dan lingkungan hidup lainnya; diupacara perayaan, di konverensi, di seminar, dan pergaulan lainnya; di restoran, di stasiun kereta api, di pesawat terbang, dan perjumpaan lainnya; singkatnya di mana saja, ketika berhubungan dengan siapa saja. Ini semua selayaknya dilakukan demi citra organisasi yang diwakilinya. B. Komunikasi antar pesona persuasif manusiawi Sebagaimana telah ditegaskan dimuka, human relation dalam arti sempit atau dalam manajemen, adalah komunikasi persuasif secara tatap muka untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerja sama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati pada kedua belah pihak, baik manajer maupun karyawan dan/atau orang lain yang ada hubungannya dengan organisasi. Komunikasi yang berlangsung dalam kegiatan human relations adalah komunikasi antar persona (interpersonal communications). Karena komunikasi bentuk ini sifatnya dialogis, maka prosesnya berlangsung secara timbal balik (two way traffic communication). Ini berarti bahwa komunikator, dalam hal ini si manager mengetahui efek komunikasinya pada saat itu juga. Umpan balik atau feed back terjadi pada ketika itu juga. Memang manager yang bermaksud melakukan human relations harus melaksanakannya dalam bentuk komunikasi antar persona, sebab kalau ia menggunakan bentuk komunikasi kelompok atau komunikasi bermedia, lebih-lebih lagi bila memakai media massa, maka ia tidak akan memahami frame of reference komunikan secara menyeluruh, Wilbur Schramm dalam karyawanya “Communication Research in the United States” menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan frame of reference– yakni paduan
38
pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Frame or reference atau “kerangka acuan” ini meliputi nilai-nilai keagamaan, kebudayaan,pendidikan dan lain sebagainya yang pernah dialami seseorang. Menurut Schramm, bidang pengalaman (dield or experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila mana tidak sama, akan terdapat kesulitan untuk mengerti satu sama lain. Kesukaran ini akan dijumpai pada situasi komunikasi, misalnya seseorang yang tidak berilmu pengetahuan mencoba karya Einstein; atau jika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang kebudayaannya berbeda dengan kebudayaan dia. C. Homophily dan heterophily Everett M. Rogers dan Rekha Agarwala-Rogers dalam bukunya “Communication in Organizations” menanamkan “homophily” dan “heterophily” untuk kesamaan dan ketidak samaan dalam frame of reference dan field of experience antara komunikator dan komunikan itu. Jelasnya adalah sebagai berikut : homophily ialah derajat pasangan komunikator-komunikan yang sama dalam ciri-ciri tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan atau status sosial (homophily is the degree to which a source receiver pair are similar in certain attributes, such as beliefs, education, or social status : heterophily adalah derajat pasangan komukator-komunikan yang tidak sama dalam ciri-ciri tertentu (heterophiy is the degree to which a source receiver pair are different in certain atrtibutes) Lalu kini timbul pertanyaan: untuk melakukan human relations, bagaimana mungkin seorang manager dapat berkomunikasi secara lancar dengan seorang karyawan yang antara keduanya terdapat heterophily atau ketidak samaan dalam frame of reference-nya?. Menurut Everett M. Rogers dan Dilip K. Bhowmik situasi komunikasi yang “heterpphilous” seperti itu dapat ditembus dengan kemampuan “empathic” fihak manager sebagai komunikator. Empathy adalah kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Ini berarti bahwa apabila komunikator mengetahui bagaimana perasaan komunikan dan bisa merasakan apa yang dirasakan komunikan tersebut maka mungkin sekali komunikator dapat menyampaikan pesan yang tepat kepadanya. Jika manager mempunyai empathy yang dalam dengan karyawan yang heteropilous, maka keduaduanya benar-benar berada dalam keadaan homophilous dalam pengertian sosial psikologis. Joseph A. Devito dalam bukunya “Communicology: An Introduction to the Study of Communication” membandingkan empati (empathy) dengan simpati (sympathy). Menurut Devito empati berarti seperasaan dengan seseorang : berempati dengan orang lain adalah merasakan apa yang dirasakan orang
39
tersebut. Dalam pada itu, bersimpati berarti mempunyai satu perasaan terhadap–seesorang, misalnya merasa kasihan (by empathizing is meant a feeling with the individual ; to empathize with some one is to feel as that prson does. To sympathize, on the other hand, is to felt to the individual, to be sorry for the person, for example). Dijelaskan lebih jauh oleh Devito bahwa jika kita bisa berempati dengan seseorang, maka kita berada dalam posisi mengerti dari mana ia datang, dimana dia sekarang, dan hendak ke mana ia pergi. Juga kecil kemungkinan bagi kita untuk menilai sikap atau tingkah lakunya sebagai hal yang benar atau salah. Dari paparan di atas jelas bahwa bagi manager untuk melakukan komunikasi persuasif manusiawi kepada karyawan yang heterophilous, harus didasari kemampuan berempati. Komunikasi persuasif akan terjadi apabila komunikasi efektif. Yang bagaimanakah komunikasi yang efektif itu? Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam bukunya “Human Communications, An Interpersonal Perspective” telah menguraikan secara khusus “What is effective interpersonal Communication?” Dikatakan oleh Tubbs dan Moss bahwa komunikasi antar pesonal efektif apabila perangsang yang diprakrasai dan dimaksudkan oleh komunikator amat cocok dengan perangsang yang dirasakan dan ditanggapi oleh komunikan (interpersonal communication is effective when the stimulus as it was initiated and intended by the sender correspondens closely with the stimulus as it is poroolved and responded to by the receiver). D. Faktor Human Relations Pengertian Human Relations mempunyai arti yang sangat luas dalam interaksi diberbagai bidang. Di dalam pergaulan hidup, baik itu dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar kita selalu dapat jumpai kegiatan Human relations. Dan Human relations itu sendiri bukanlah kegiatan manusia dalam wujudnya, melainkan dalam tingkah lakunya, sifat-sifatnya, dan lain-lain aspek kejiwaan. Sebagai suatu ilustrasi tentang human relations adalah sebagai berikut : Misal si istri merengek-rengek agar uang rapel yang baru diterimanya itu dibelikan kalung emas saja. Mendengar itu si suami berkata “bukan aku tidak sayang padamu, dik ; Aku pikir uang itu kita belikan kursi jok saja dulu. Kita malu kalau kedatangan tamu. Nanti kalau ada rezeki lagi, pasti aku belikan perhiasan apa saja yang kau inginkan. Si isteri menjadi mengerti dan merasa puas atas pengertian yang diberikan si Suami 1). Memperlakukan orang lain dengan sifat-sifat positif, artinya menampilkan sikap serta tindakan dengan dasar saling menghormati, saling menghargai sesamanya adalah human relations. Dalam pada itu untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan pergaulan hidup, K. C. Ingram mengatakan sukses dan kebahagiaan kita tergantung dari sikap
40
dan tindakan-tindakan orang lain. Sikap orang lain ini tergantung juga dari kelakuan kita. E. Dalam Organisasi Manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan interaksi. Di sini terjadi proses pengaruh mempengaruhi, dari individu berkembang kepada kelompok, dan kemudian pada lingkungannya. Dalam kehidupan organisasi terdapat hubungan kepemimpinan, yaitu hubungan dalam struktur formal antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dalam hubungan ini tercipta hubungan psikologis, yang erat dan mengikat diantara anggotanya. Hubungan mereka itu tidak saja bersifat pribadi, tetapi juga strukturil dan hirarkhis, dan sebagainya. Karena ada pemimpin, yang dipimpin, peraturan, dan sebagainya. Serta terdapat pembagian tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang merupakan kepentingan bersama ). Di sini Keith Davis mengemukakan pendapatnya “From the viewpoint of a manager who has responsibility for leading a group, human relations is the interaction of people into a work situation that motivations them to work together productively, cooperatively, and with economic, psychological, and social satisvactions (dilihat dari sudut kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk memimpin kelompok, human relations adalah interaksi dari orang-orang ke dalam suasana kerja dengan motivasi, mereka akan bekerja bersama-sama secara produktif, cooperatif dengan kepuasan baik itu dari segi ekonominya maupun segi psikologi dan sosialnya. Peranan seorang pemimpin sangat penting di dalam suatu kelompok untuk menjaga nama baik kelompoknya, serta meningkatkan suasana kerja yang penuh pengertian. Mengingat nilai kelompok, stabilitas nilai tersebut, suasana kelompok, dan sifat-sifat kesesuaian yang dikehendaki kelompok menentukan apakah suatu kelompok menimbulkan pengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan dan tingkah laku anggota-anggotanya). Suasana keakraban dan pengertian sudah barang tentu akan menimbulkan pengaruh positif terhadap anggota-anggotanya. Oleh karena motivasi yang timbul karena adanya kebutuhan, kebutuhan psikologi, ekonomi dan sosial, maka human relations yang efektif menurut Davis adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang itu, memberikan kepuasan kepada mereka dengan batas-batas kemampuan badan itu. Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap 500 karyawan mengenai kebutuhannya; mengenai apa yang mereka inginkan. Kepada mereka ditanyakan apa yang paling mereka senangi dalam pekerjaannya dan apa yang paling mereka tidak sukai. Jawaban mereka ternyata bukan hanya mengenai kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan sampingan. Pada dasarnya jawaban mereka itu tercakup dalam 10 jawaban sebagai berikut : 1. Kami ingin pimpinan yang baik, karena kami tergantung dari kepemimpinan.
41
2. Kami ingin mendapat penerangan. Kami ingin mengetahui tujuan yang akan dicapai, dipihak manakah kami berada, dan kekuatankekuatan apa yang mempengaruhi lingkungan kerja kami. 3. Kami ingin diperlakukan sebagai manusia terhormat, kami adalah manusia yang masing-masing mempunyai masalah dan kebutuhan yang berlainan. 4. Kami ingin perangsang dan kesempatan untuk maju. Kami mengharapkan adanya usaha dan kompetisi dengan mereka yang sedang mengalami kemajuan. 5. Kami ingin kebebasan dalam sikap kami sehubungan dengan persoalan kami. 6. Kami ingin hidup bermasyarakat dan ingin penghormatan dari orang-orang lain. Kami adalah manusia-manusia yang bermasyarakat. Kami ingin mencegah pertentangan pribadi. 7. Kami ingin jaminan keamanan. Kami menentang perubahan. 8. Kami ingin kondisi dan kesenangan bekerja sejauh kemungkinan yang bisa diberikan kepada kami. Ini termasuk upah. 9. Kami ingin melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat. Kami ingin berprestasi dalam pekerjaan sebagai sumbangan kepada kebutuhan masyarakat. Partisipasi akan membantu kami mencapai prestasi. 10. Kami ingin diberlakukan secara jujur. Ini adalah keadilan yang berarti menyebabkan kegiatan kami akan tetap terus sesuai dengan keadaan. Davis mengemukakan yang menjadi dasar falsafah human relations adalah sebagai berikut : a. Mutual Interest (kepentingan bersama) Di dalam kepemimpinan, antara yang memimpin dan yang dipimpin, serta diantara orang-orang yang dipimpinnya haruslah ada suatu kepentingan bersama. Bila hal ini tidak ada, maka usaha untuk mengumpulkan orang-orang yang dalam satu organisasi dan menciptakan kerja sama tidak ada faedahnya. Pemimpin tak akan mencapai tujuannya tanpa bantuan para pegawainya. Demikian pula sebaliknya, pegawai tidak akan dapat melakukan pekerjaan yang teratur bahkan tidak akan terorganisir tanpa kepemimpinan yang baik. Tujuan atau sukses hanya dapat tercpai bila pemimpin dan para pegawainya dapat bersatu dalam memperjuangkan kepentingan bersama. b. Perbedaan-Perbedaan Individu Tiap individu berbeda dengan yang lainnya, dan ini merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Manusia merupakan hal yang unik di dalam penghidupannya dari hari ke hari. Karena itu agar para pegawai dapat merasa puas dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka harus diperlakukan berdasarkan perbedaanperbedaan tadi. 42
c. Human Dignity (harga diri) Menurut Davis bahwa Human Dignity merupakan suatu etika dan dasar moral bagi Human Relations. Hasil penyelidikan mengenai proposal wamts ……, telah menunjukan bahwa tiap manusia ingin diperlakukan dengan respect, dengan dignity, ingin diberlakukan sebagaimana layaknya manusia. Dalam pada itu, Emerson menyatakan pendapatnya sehubungan dengan Human Dignity ini, “setiap orang yang saya jumpai adalah orang yang lebih dari pada saya dalam sesuatu hal. Dalam hal itulah saya dapat belajar pada dia”. F. Counselling Counselling merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dalam Human Relations. Tujuan counselling ialah membantu para karyawan dalam memecahkan berbagai masalahnya. Di sini counselor memberikan nasehatnya, bukan mengarahkan untuk dituruti. Dan Counselleo sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan pemecahannya sendiri. Jadi di sini counselor hanya membantu Counselleo memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya itu belum dimengerti dengan jelas, maka tidak akan ada langkah-langkah untuk pemecahannya. Counseller akan mencapai suatu sukses apabila ia mengetahui frame of reference counselleo. XI. BUDAYA KERJA A. Pengertian Budaya Secara harfiah, pengertian budaya (culture) berasal dari kata Latin Colere, yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). Namun pengertian yang semula agraris ini lebih lanjut diterapkan pada hal yang bersifat rohani (Langeveid, 1993). Sedangkan Ashley Montagu dan Cristoper Dawson (1993), mengartikan kebudayaan sebagai way of life , yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa. The American Herritage Dictonary (dalam Kotter dan Heskett, 1992) mendefinisikan “kebudayaan” secara lebih formal, “sebagai suatu keseluruhan dari pola prilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia”. Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah “keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”. Selanjutnya dinyatakan, bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia 43
Wujud pertama adalah wujud idiil dan kebudayaan yang sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan idiil ini berfungsi sebagai adat istiadat yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsinya ini, kebudayaan idiil terdiri dari beberapa lapisan. Lapiran pertama, yaitu dapat yang paling “abstrak” (misalnya sistem nilai budaya); Lapisan kedua, yang lebih “konkret” yaitu norma-norma dan sistem hukum. Sedangkan lapisan ketiga berupa peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan organisasi, seperti aturan sopan santun. Para sarjana yang menggarap dan memfokuskan dalam wujud pertama antara lain para sarjana ilmu kesusasteraan. Wujud kedua dari kebudayaan atau disebut sebagai sistem sosial, terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul berdasarkan pola tata laku tertentu. Wujud kedua ini lebih konkret karena terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diamati, difoto dan didokumentasikan. Pada sarjana yang menggarap wujud kedua ini adalah para sarjana ilmu sosiologi, anthropologi dan psikologi serta ilmu-ilmu sosial lainnya yang tergolong dalam “behavioral sciences”. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan merupakan wujud kebudayaan yang paling konkret, misalnya : candicandi, pabrik-pabrik, bangunan kantor dan sebagainya. Para sarjana seperti ahli arkeologi yang menggarap wujud kebudayaan ketiga ini. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu sama lain, dan bahkan saling mengisi dan saling berkait secara erat. Kemudian pada bagian lain, menurut Koentjaraningrat kebudayaan dirumuskan sebagai, “Keseluruhan gagasan dari karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. B. Pengertian Kerja Dalam literatur budaya organisasi dapat juga disebut basic assumption tentang sesuatu, dalam hal ini kerja. Kata Kerja dapat diidentifikasi berbagai pernyataan sebagai berikut : 1. Kerja adalah hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia dihukum: untuk bisa hidup sebentar manusia harus bekerja banting-tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja paksa: 2. Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Juga bagi kaum budak atau pekerja yang berada dalam posisi lemah;
44
3. Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi atau sistem kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau membayar hutang; 4. Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas. Kerja sebagai sumber nafkah merupakan anggaran dasar masyarakat umumnya; 5. Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan hobi atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada SDM yang workaholic; 6. Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan status sosial dan jabatan. Jabatan seseorang struktural misalnya, jauh lebih diidamkan ketimbang jabatan fungsional. 7. Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja di sini dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang menganut anggapan dasar ini, lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor sapi. 8. Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan dengan bakat. Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja. 9. Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengan tulus, tanpa pamrih. 10. Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja; 11. Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur atas kehidupan di dunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan dan bukan kepada manusia. Oleh karena itu orang bekerja penuh enthusiasm; 12. Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan. C. Pengertian Budaya Kerja Berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa atau masyarakat Indonesia kebudayaan diolah sedemikian rupa, sehingga menjadi nilainilai baru yang menjadi sikap dan perilaku manajemen dalam menghadapi tantangan baru. Budaya Kerja itu tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh melalui suatu proses yang terkendali dengan melibatkan semua SDM dalam seperangkat sistem, alat-alat dan teknik-teknik pendukung. Budaya kerja merupakan kawah Candradimuka untuk merubah cara kerja lam menjadi cara kerja baru yang akan berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat. Kualitas atau mutu suatu produk (jasa atau barang), cara kerja dan SDM harus dapat diukur dan merupakan kesepakatan bersama. Pengukuran kualitas antara lain dari aspek persyaratan, bentuk, warna, estetika, ketahanan, performa atau kinerja, waktu, jaminan, pelayanan dan lain-lain. Kembali pada dasar kualitas yang bersumber pada tingkat kualitas SDM yang bermutu tinggi dapat dipastikan akan dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, karena
45
semua orang terlibat dalam proses kerja dan mereka sudah tahu apa yang seharusnya dikerjakan dengan bahasa yang sama Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang disadari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”. Budaya Kerja organisasi adalah manajemen yang meliputi pengembangan, perencanaan, produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomi dan memuaskan. Dalam Seminar KORPRI Daerah Istimewa Yogyakarta Nopember 1992 berkesimpulan bahwa : 1. Budaya Kerja adalah salah satu komponen kualitas manusia yang sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur dasar dalam pembangunan. 2. Budaya Kerja dapat ikut menentukan integritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa. 3. Budaya Kerja sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dimilikinya, terutama falsafah bangsa yang mampu mendorong prestasi kerja setinggi-tingginya. Program Budaya Kerja akan menjadi kenyataan melalui proses panjang, karena perubahan nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru akan memakan waktu untuk menjadi kebiasaan dan tak henti-hentinya terus melakukan penyempurnaan dan perbaikan. Warna Budaya Kerja adalah produktivitas, yang berupa perilaku kerja yang tercermin antara lain : kerja keras, ulet, disiplin, produktif, tanggung jawab, motivasi, manfaat, kreatif, dinamik, konsekuen, konsisten, responsive, mandiri, makin lebih baik dan lain-lain. Menurut Budhi Paramita dalam tulisannya berjudul “masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia”, budaya kerja dapat dibagi menjadi : 1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain, seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjanya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya; 2. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama karyawan, atau sebaiknya. Selanjutnya oleh Profesor Emil P. Bolongaita, JR dari Asian Institute of Management menyatakan bahwa pada masa globalisasi ini sebaiknya pemerintah mampu mengakomodasikan pengalaman manajemen pemerintahan dengan pengalaman pengelolaan bisnis, dan memperlakukan masyarakat sebagai pelanggan (customer). Kombinasi 46
upaya pengelolaan seperti tersebut mendorong ide yang disebut Total Quality Governance (TQG) dengan beberapa prinsip sebagai berikut : 1. Mempertemukan tuntutan masyarakat dan kemampuan pemerintahan. 2. Mekanisme kerja yang berorientasi pada pasar; 3. Mengaktualisasikan misi lebih penting dari pada mengatur; 4. Fokus kerja pada hasil/keluaran (barang/jasa) bukan masukan; 5. Upaya kualitas lebih banyak mencegah dari pada memperbaiki/ mengobati; 6. Mengutamakan kerja partisipatif/gotong royong; 7. Melakukan kerjasama, koordinasi dan kemitraan. D. Tujuan Dan Manfaat Budaya Kerja Melaksanakan Budaya Kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadap tantangan masa depan. Manfaat yang didapat antara lain sebagai berikut: menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik; membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain). Di samping itu masih banyak lagi manfaat yang muncul seperti kepuasan kerja meningkat, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang, tingkat absensi turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi dan lain-lain. Di samping itu masih banyak lagi manfaat yang muncul seperti kepuasan kerja meningkat, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang, tingkat absensi turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi dan lain-lain. Selanjutnya oleh Roland E. Wolseley dan Laurance R. Campbell dalam bukunya Exploring Journalisme menyatakan bahwa : 1. Orang yang terlatih melalui kelompok Budaya Kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dengan keinsyafan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobyektif mungkin; 2. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metoda ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis, kreatif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan;
47
3. Orang yang terdidik melalui Kelompok Budaya Kerja berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya, baik nilai-nilai spiritual maupun standar-standar etika yang fundamental untuk menyerasikan kepribadian dan moral karakternya. 4. Orang yang terdidik dalam Kelompok Budaya Kerja mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahliankeahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajibannya dalam bidangnya, demikian pula dalam hal berproduksi dan pemenuhan kebutuhan hidupnya; 5. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan memahami dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada. 6. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan bangsanya. Penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya serta, memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang berkreasi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin. E. Unsur-Unsur Falsafah Falsafah negara, bangsa dan masyarakat Indonesia telah jelas dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita namakan PANCASILA. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan cermin nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat. Dalam menghadapi tantangan apapun hakekat nilai-nilai luhur tersebut tidak bisa berubah, yang berubah adalah nilai-nilai instrumental yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan. Untuk itu kualitas SDM dituntut responsive atau peka, penuh prakarsa, bersikap proaktif, trampil, mandiri, disiplin, integritas tinggi dan lain-lain. Implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam organisasi menuntut perubahan cara komunikasi, dari yang biasa dilakukan secara vertikal dari atas ke bawah, menjadi hubungan lebih horisontal dan partisipatif. Demikian juga gaya kepemimpinan menjadi lebih banyak mengajak dari pada memerintah, memberikan keteladanan, mendorong dan memberikan kepercayaan lebih besar kepada bawahan. Sebagai konsekuensi gaya partisipatif tersebut maka dalam pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Dengan gaya manajemen seperti tersebut di atas akan mendorong bawahan menjadi lebih merasa ikut memiliki, ikut bertanggung jawab dan mawas diri. Hal ini sangat penting bagi pengembangan SDM agar mampu memberikan sumbangan kerja yang terbaik atau optimal bagi manajemen.
48
SISTEM KERJA Nilai-nilai budaya
Disiplin Efektif Efisien Cepat Peningkatan Mutu
Pasti Nilai-nilai Instrumen
Tantangan
Sopan Ramah Penolong Indah Nyaman LING. KERJA
Dengan masuknya nilai-nilai budaya dalam manajemen diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas SDM, kualitas cara kerja dan kualitas produknya. Mengenai kualitas produk dapat diukur dari beberapa aspek antaralain : 1. Kesesuaian dengan mutu yang diminta oleh pelanggan, mereka menyatakan puas atau tidak, kalau mereka tidak puas, berarti kualitas produk tersebut belum mencapai standarnya, dan harus disempurnakan. 2. Setiap orang dalam organisasi mempunyai sifat peran sebagai pemasok pelanggan baik yang berorientasi internal maupun eksteral. Setiap pelanggan mempunyai dimensi persyaratan mutu yang berbeda-beda tergantung pada keperluannya. Oleh karena itu untuk menciptakan produk (barang atau jasa) diperlukan kerjasama internal maupun eksternal agar produk tersebut dapat memenuhi standard yang dipersyaratkan oleh pelanggan. Untuk kerjasama yang intensif perlu diciptakan jaringan kerja yang menerobos kekakuan birokrasi seperti jaringan kerja horisontal, vertikal dan diagonal; 3. Orientasi pada pencegahan lebih baik dari pada memperbaiki kesalahan, karena biaya perbaikan akan menjadi lebih mahal dan mempengaruhi daya saing. Falsafah yang terkenal untuk kegiatan itu antara lain “Don’t right of thefirs time”, “Zero Defect” “Zero Discrepencies”. 4. Untuk mencegah pemborosan agar mutu menjadi lebih baik perlu dilihat dari aspek pembiayaan, yang antara lain meliputi penilaian (inspeksi, pengujian dan tugas lain), pencegahan (latihan, mencari penyebab, koreksi, pengembangan), kegagalan (kerusakan, perbaikan, kerja ulang, kurang waktu), kegagalan eksternal (penggantian jaminan kerusakan, kehilangan pelanggan (goodwill) keluhan dan perbaikan). 49
5. Mutu terletak pada sumbernya, yang berarti setiap SDM adalah inspektur kualitas bagi pekerjaannya. Untuk mencapai tingkat optimal cara kerja seperti itu diperlukan kerjasama melalui kelompok tertentu, mereka diberi pelatihan dan peralatan teknik untuk pemecahan masalah, sehingga mereka mampu mencegah kesalah-kesalahan yang mungkinkan terjadi; 6. Mutu dapat diraih melalui cara perbaikan yang berkesinambungan, hal ini merupakan falsafah manajemen yang mendekatkan tantangan atau tuntutan dengan cara kerja melalui proses yang berkesinambungan dan mencapai kemenangan kecil. Dalam hal ini ide-ide dari kelompok akan banyak berperan dalam upaya memperbaiki terus menerus.
50
XII. MEMBANGUN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF A. Pengertian Secara etimologis komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu cum, artinya dengan atau bersama dengan, dan kata umus, yang berarti satu. Akhirnya membentuk kata communion, yang dalam bahasa inggris disebut dengan communion, yang artinya kebersamaan, persatuan, persekutuan, gabungan, pergaulan, atau hubungan. Untuk menjadikan kata kerja maka dibentuk kata baru yaitu communicare, berarti membagi sesuatu dengan seseorang, tukar menukar, membicarakan sesuatu dengan orang, memberitahukan sesuatu pada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, berteman (Endang Lestari & Maliki, 2003). Menurut Riyono Pratikto, komunikasi adalah mengeluarkan pikiran; berarti memindahkan gagasan melalui lambang-lambang yang dimengerti kepada orang lain, dengan tujuan agar orang lain itu memahami apa yang dimaksudkan. B. Komunikasi Sosial Komunikasi social menunjuk pada komunikasi yang dilakukan antar manusia atau “human communication”. Manusia disebut sebagai suatu homo socius artinya mahluk ciptaan Tuhan yang tidak berdiri sendiri dalam hidupnya, dan selalu bergantung kepada orang lain. Untuk itu ia selalu berusaha untuk berhubungan dengan orang lain; dan kegiatan untuk berhubungan itulah disebut dengan komunikasi. Prinsip-prinsip yang diperlukan untuk mengerti komunikasi menurut Onong Uchjana Effendy (1979) sesungguhnya adalah prinsipprinsip yang diperlukan untuk mengerti aspek-aspek lain dari tingkah laku, mulai dari perang secara psikologis sampai kepada psikoterapi dalam situasi tatap muka. Dalam hal ini komunikasi social dimaksudkan adalah mekanisme di mana terdapat hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alatalat untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup ekspresi wajah, sikap, gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta api, telegarf, telepon, dan apa saja yang merupakan penemuan terakhir untuk menguasai ruang dan waktu. C. Komunikasi Yang Efektif Sebelum mendefinisikan komunikasi yang efektif, barangkali kita perlu merujuk dahulu kepada kata “efektif” itu sendiri. Secara etimologis kata “efektif” sering diartikan sebagai mencapai sasaran yang diinginkan (producing desired result), berdampak menyenangkan (having a pleasing effect), bersifat aktual, dan nyata (actual and real). Dengan demikian, komunikasi yang efektif dapat diartikan sebagai penerimaan pesan oleh komunikan atau receiver sesuai dengan pesan yang dikirim oleh sender atau komunikator, kemudian receiver atau komunikan memberikan respon yang positif sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, komunikasi efektif itu 51
terjadi apabila terdapat aliran informasi dua arah antara kemonikator dan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut (komunikator dan komunikan). Bagaimana cara membangun komunikasi yang efektif? Pada bab ini kita akan berusaha menjawab pertanyaan ini. a.
Aspek-aspek komunikasi efektif Sedikitnya ada lima aspek yang harus dipahami dalam membangun komunikasi yang efektif. 1. Kejelasan (Clarity) : bahasa maupun informasi yang disampaikan harus jelas. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita mendengar ucapan-ucapan seperti ini : “Masalahnya ininya belum dianukan”. Apa ini dan diapakan? Akan lebih mudah dihapami maknanya bila, misalnya, kata ini diganti buku dan kata anu diganti bagi. Jadi kalimat itu berbunyi: Masalahnya, bukunya belum dibagikan. 2. Ketepatan (accuracy): bahasa dan informasi yang disampaikan harus betul-betul akurat alias tepat. Bahasa yang digunakan harus sesuai dan informasi yang disampaikan harus benar. Benar ini artinya sesuai dengan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan. Bisa saja informasi yang ingin kita sampaikan belum tentu kebenarannya, tetapi apa yang kita sampaikan benar-benar apa yang memang kita ketahui. Inilah yang dimaksud akurasi disini. 3. Konteks (contex): bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Bisa saja kita menggunakan bahasa dan informasi yang jelas dan tepat tetapi karena konteksnya tidak tepat, reaksi yang kita peroleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya, sepulang kerja seorang suami berkata kepada istrinya : “Dindaku, tolong kanda berikan segelas air nan jernih, kanda haus sekali”. Dari segi kejelasan dan keakuratan bahasa dan informasi tidak ada masalah. Tetapi konteksnya tidak tepat, sehingga mungkin sang istri tidak segera mengambil air melainkan bertanya tentang keadaan sang suami. 4. Alur (flow) : keruntutan alur bahasa dan informasi yang efektif. Sewaktu kita meminjam uang, misalnya, kita cenderung mengemukakan kesulitan-kesulitan kita terlebih dahulu sebelum kita menyampaikan maksud kita untuk meminjam uang. Mungkin begitu juga pada saat kita pertama kali menyampaikan perasaan jatuh cinta pada seseorang. 5. Budaya (culture) : aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga tatakrama atau etika. Bersalaman dengan satu tangan bagi orang Sunda mungkin terkesan rada kurang sonap, tetapi bagi etnis lain mungkin suatu hal yang biasa. Kata “juancu” bagi arekarek Suroboyo merupakan kata yang lumrah didengar dan dapat diterima. tetapi bagi wong Solo atau Johja, mungkin risih mendengar kata itu.
52
b. Strategi membangun komunikasi efektif Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan sutu komunikasi yang efektif. 1. Ketahui mitra bicara (audience). Kita harus sangat sadar dengan siapa kita bicara. Apakah dengan orang tua, anak-anak, laki-laki atau perempuan, status sosialnya seperti apa – pangkat, jabatan, dan semacamnya – petani, pengusaha, guru, kiyai, dan lain-lain. Dengan mengetahui audience kita, kita harus cerdik dalam memiliki kata-kata yang digunakan dalam menyampaikan informasi atau buah fikiran kita. Artinya, bahasa yang dipakai harus sesuai dengan bahasa yang mudah dipahami oleh audience kita. Berbicara dengan orang dewasa tentu akan sangat berbeda dengan berbicara kepada anak-anak. Berbicara dengan atasan tentu akan berbeda dengan berbicara pada bawahan atau teman sederajat. Pengetahuan mitra bicara kita pun harus diperhatikan. Informasi yang disampaikan mungkin saja bukan hal yang baru bagi mitra kita, tetapi kalau penyampaiannya dengan menggunakan jargonjargon atau istilah-istilah yang tidak dipahami oleh mitra, informasi atau gagasan yang kita sampaikan bisa saja tidak dapat dipahami. Jadi, dengan memperhatikan mitra bicara kita, kita akan dapat menyesuaikan diri dalam berkomunikasi dengannya. 2. Ketahui tujuan. Tujuan kita berkomunikasi akan sangat menentukan cara kita menyampaikan informasi. Bila kita bermaksud sekedar menyampaikan informasi, tentu komunikasi kita bersifat pengumuman. Tetapi bila kita bermaksud membeli atau menjual barang komunikasi kita akan bersifat negoisasi. Lain pula cara kita berkomunikasi apabila tujuan kita untuk menghibur, membujuk, atau sekedar basa-basi. Misalnya kita bertanya : “Anda mau pergi kemana?” Apakah pertanyaan ini dimaksudkan untuk benar-benar mengetahui agenda orang yang ditanya ataukah kita bertanya sekedar basa-basi? Jadi, kejelasan tujuan dalam berkomunikasi harus diketahui sebelum kita berkomunikasi. 3. Perhatikan konteks. Konteks di sini bisa berarti keadaan atau lingkungan pada saat berkomunikasi. Pada saat berkomunikasi, konteks sangat berperan dalam memperjelas informasi yang disampaikan. Dalam hal pemakaian kata, misalnya. Kata „hemat‟ dalam kalimat : “Kita harus menghemat uang, waktu dan tenaga kita”, sangat berbeda dengan kata „hemat‟ dalam kalimat “Menurut hemat saya, kita harus lebih jujur dan terbuka dalam berkomunikasi dengan sesama rekan sekerja”. Tidak hanya kata konteks kalimat, tetapi cara mengucapkan dan kepada siapa kata itu diucapkan akan membuat makna yang disampaikan berbeda pula. “Ah…dasar gila”. Kalimat ini bisa bermakna cacian bisa juga bermakna kekaguman, tergantung bagaimana kita mengucapkannya. Bila diucapkan dengan nada tinggi berarti cacian, tetapi bila diucapkan dengan nada datar apalagi dibarengi dengan gelengan kepala, kalimat ini bisa berarti kekaguman. Ungkapan “Gila lu” disampaikan kepada teman dekat, pasti dipahami sebagai ungkapan
53
biasa yang tidak bermakna negatif. Tetapi bila disampaikan kepada orang yang belum atau baru kita kenal ungkapan ini tentu akan dipahami sebagai ungkapan yang memiliki makna negatif. Formalitas dalam konteks tertentu juga dapat mempengaruhi cara berkomunikasi seseorang. Coba perhatikan gaya komunikasi atasan dan bawahan di lingkungan dunia kerja, bahkan komunikasi antar sesama atasan maupun sesama bawahan pasti berbeda. Apabila orang-orang ini bertemu di mall atau di undangan (tempat resepsi) gaya komunikasi diantara mereka akan sangat lain dengan gaya pada saat mereka berada di kantor. Mengirim bunga kepada orang yang berulang tahun atau kepada orang yang kita kasihi, akan berbeda maknanya bila disampaikan kepada orang yang sedang berduka. Bahkan jenis bunga yang disampaikan pun membawa pesan atau kesan tersendiri. Dengan ilustrasi singkat di atas, jelaslah bahwa konteks sangat mempengaruhi makna apapun yang disampaikan. 4. Pelajari Kultur. Kultur atau budaya, habitat atau kebiasaan orang atau masyarakat juga perlu diperhatikan dalam berkomunikasi. Orang Jawa atau Sunda pada umumnya dikenal dengan kelembutannya dalam bertutur kata. Kegemulaian bertutur ini akan sangat baik bila diimbangi dengan cara serupa. tetapi tentu tidak berati mutlak. Maksudnya, bukan berarti orang non Jawa atau non Sunda mutlak harus seperti bertuturnya orang Jawa atau Sunda, meskipun kalau memang bisa itu lebih baik. Atau orang Batak yang dikenal bernada tinggi dalam bertutur perlukan diimbangi dengan nada tinggi pula oleh orang yang non Batak? Perimbangan di sini tidak berarti orang Jawa harus bertutur seperi orang Batak bila bermitra bicara dengannya, atau orang Batak harus bertutur seperti orang Sunda, orang Maluku, orang Papua, dan sebagainya pada saat mereka berkomunikasi. Yang memahami kultur mitra bicaranya sehingga timbul saling pengertian dan penyesuaian gaya komunikasi dapat terjadi. Ingat peribahasa : “Dimana bumi dipijak, di situ langit di junjung” atau “When in Rome, do as the Romans do”. 5. Pahami Bahasa. “Bahasa menunjukkan bangsa” artinya bahasa dapat menjadi ciri atau identitas suatu bangsa. Berbicara identitas berarti berbicara harga diri atau kebanggan. Dengan memahami bahasa orang lain berarti berusaha menghargai orang lain. Tetapi memahami bahasa di sini tidak berarti harus memahami semua bahasa yang dipakai oleh mitra bicara kita. Istimewa sekali kalaupun memang demikian. Yang lebih penting adalah memahami gaya orang lain berbahasa (bukan gaya bahasa). Coba perhatikan bagaimana anak muda berbahasa dengan sesamanya, atau bagaimana cara orang terminal (bis atau angkutan kota) berbahasa. Bahasa orang kantoran, bahasa pedagang, bahasa petani, bahasa politisi tentu semuanya ada perbedaan. Perhatikan kalimat berikut. “Masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada pada tingkat kehidupan pra sejahtera”. Apa bedanya dengan : 54
“Masyarakat Indonesia pada umumnya masih miskin”? Siapa memakai kalimat yang mana akan membantu kita memahami pesan yang disampaikannya. Orang kebanyakan tentu akan lebih suka memakai kalimat yang kedua daripada yang pertama. Para politisi biasanya cenderung memakai bahasa yang sumir-sumir, eufimistis, atau diplomatis. Untuk memperjelas pesan yang hendak disampaikan dalam berkomunikasi, gunakanlah kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami. Kalimat panjang dan kompleks seringkali mengaburkan makna. Kepiawaian dalam menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana dan tepat dalam berbahasa akan sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi kita. Bagaimana bila kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa angin? Sama saja! Memahami bahasa asing memang prasyarat mutlak untuk dapat berkomunikasi secara global. c. Efektifitas komunikasi verbal Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, kualitas komunikasi verbal ditentukan oleh tonalitas suara atau tinggi rendahnya dan lemah lembutnya suara, keras tidaknya suara dan perubahan nada suara. Tetapi tonalitas suara saja tidak cukup, karena tonalitas suara bisa saja membuat komunikasi verbal kurang hidup. Oleh karena itu tonalitas suara sebaiknya dibarengi dengan ekspresi atau raut muka yang sesuai. Sebuah hasil riset menunjukkan bahwa dalam komunikasi verbal, khususnya pada saat presentasi, keberhasilan menyampaikan informasi 55% ditentukan oleh bahasa tubuh (body language), postur, isyarat dan kontak mata – 38% ditentukan oleh nada suara, dan hanya 7% saja yang ditentukan oleh kata-kata (Mechribian dan Ferris seperti yang dikutip oleh O‟Connor dan Seymour). Riset lain juga menunjukkan bahwa komunikasi akan lebih efektif apabila disampaikan secara berbarengan antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan. Masyarakat senang dengan komunikasi lisan pada saat media tulisan memberikan hal-hal yang tidak jelas, dan masyarakat akan senang menggunakan media tulisan apabila media lisan telah jelas.
55% bahasa tubuh Penentu keberhasilan 38% nada suara
Komunikasi lisan
7%
kata-kata
55
Pada perkembangan jaman saat ini, komunikasi pada organisasi modern/ organisasi yang maju menggunakan media yang tersedia yaitu video display terminal, E-mail, net camera dan Voive mail (voice messaging system) dan bahkan SMS. d. Efektifitas komunikasi non verbal Bagaimana efektifitas komunikasi non verbal dapat dibangun? Berikut adalah beberapa contoh yang dapat kita kembangkan. 1. Cara berpakaian Cara berpakaian telah mengkomunikasikan siapa dan apa status seseorang, baik dalam pekerjaan sehari-hari maupun dalam waktu-waktu tertentu (pesta, rapat-rapat, kunjungan resmi/ tidak resmi). Masyarakat mempunyai kecenderungan percaya diri kalau ia berpakaian/ berpenampilan dengan sempurna, demikian juga adanya perbedaan cara berpakaian. Kita mengenal istilah “White Collar” dan “blue Collar”, yang mengkomunikasi status seseorang dalam perusahaan. Kenyataan menunjukkan bahwa pada saat seseorang wawancara dalam rangka melamar pekerjaan, mereka yang berpakaian tidak tepat (misalnya: berpakaian berdasi, jas, berpakaian bisnis), maka yang berpakaian tepat akan mempunyai rasa percaya diri yang lebih dibandingkan dengan yang berpakaian tidak tepat, dan hasilnya ia akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji pertama yang lebih baik. Jadi, pakailah pakaian yang tepat untuk suasana yang tepat pula. 2. Waktu Bagi sebagian orang, semestinya bagi kita semua, waktu adalah sesuatu yang sangat berarti. “Time is money” adalah prinsip yang dipegang oleh para pengusaha bahkan oleh orang-orang yang memanfaatkan hidupnya untuk suatu produktifitas yang bermanfaat. Dokter, akuntan, dosen, bahkan sebagian guru, sering dibayar berdasarkan jam kerja. Dalam konteks organisasi, di mana masing-masing mempunyai tugas yang harus diselesaikan, berkomunikasilah secara tepat. Artinya, dalam berkomunikasi manfaatkan waktu sebaik-baiknya. 3. Tempat Sama seperti waktu, tempatpun sangat menentukan efektifitas komunikasi. Kantor adalah tempat bekerja, restoran adalah tempat makan, lapangan golf adalah tempat olahraga, diskotik atau karaoke adalah tempat hiburan, dan sebagainya. Meskipun demikian, seringkali urusan kantor bisa diselesaikan di
56
tempat makan atau lapangan olah raga. Informasi seringkali menyelesaikan masalah-masalah formal. Jadi, dalam berkomunikasi kita perlu memperhitungkan tempat yang tepat untuk mencapai tujuan komunikasi kita. Untuk itu, kita harus jeli tentang suasana: lingkungan kerja, rekan kerja, bahkan beban kerja. Meskipun ada ungkapan bahwa urusan kantor adalah urusan kantor dan harus diselesaikan di kantor. Tetapi, banyak sekali urusan kerja yang dapat diselesaikan pada acara konsinyasi di luar kantor. Selain tiga aspek di atas, untuk membangun efektifitas dalam komunikasi non verbal, kita perlu juga memahami fungsi-fungsi yang menunjukkan ke-nonverbal-an komunikasi. Diantaranya adalah : Repetition (pengulangan). Pengulangan pesan dari individu dilakukan dengan verbal. Contradiction (pertentangan/penyangkalan). Penyangkalan pesan yang dilakukan terhadap seseorang. Misalnya, mengangkat bahu artinya “tidak tahu”, mengerakkan telapak tangan ke kiri dan ke kanan dan menghadap ke depan artinya “tidak”, atau menggelengkan kepala artinya “tidak”. Akan tetapi untuk orang india, menggelengkan kepala artinya “Ya”. Pada momen tertentu, komunikasi non verbal mungkin saja lebih akurat dari pada komunikasi verbal. Substitution (pengganti pesan). Misalnya seseorang berkmunikasi dengan “fire in his eyes” (mendelik), berkomunikasi dengan mengepalkan tangan, dan sebagainya. Complementing (melengkapi pesan verbal). Misalnya mengatakan “bagus” sambil menunjukkan “ibu jari”, mengatakan seseorang tidak waras dengan menunjuk “kening dengan jari telunjuk miring”. Accenting (Penekanan). Penekanan di sini artinya menggaris bawahi pesan verbal. Misalnya berbicara dengan sangat pelan, atau menekan kaki. D. Komunikasi yang respektif Para pimpinan, bawahan dan para komunikator lainnya dapat menciptakan komunikasi respektif (komunikasi yang saling menghargai antara para pelaku komunikasi), untuk membangun suasana yang saling mendukung dengan enam prinsip yaitu: 1) positif thinking (berpikir positif), 2) solution oriented (berorientasi pada solusi) terhadap berbagai masalah yang dikomunikasikan, 3) being honest; gunakan spontanitas dan kejujuran, serta nyatakan maksud sesusngguhnya, 4) emphaty; gunakan perasaan dalam mendengarkan dan tunjukkan keseriusan, 5) feeling; rasakan apa yang orang lain rasakan dan 6) communicate; gunakan teknik-teknik komunikasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Dalam berkomunikasi banyak hambatan yang ditemuai antara lain: hambatan semantik dari sisi bahasa yang digunakan, hambatan psikologis
57
(umur, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, kedudukan, kasta dll), noise (kebisingan), teknik komunikasi, dll. XIII. MEMBANGUN KERJASAMA TIM (Team Building) A. TIM atau Kelompok Efektivititas suatu organisasi akan tercapai secara maksimal apabila menerapkan kerjasama TIM dan dinamika kelompok yang merupakan wujud dari perilaku organisasi yang dinamis, tidak statis. Organisasi yang efektif bukan sekedar kumpulan individu-individu yang berkantor dalam suatu gedung yang beperilaku egosentris, melainkan sebuah kelompok Tim yang berperilaku (Siagian, 1995). Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya, dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi (Juni Pranoto, 2003). Ada beberapa alasan mengapa kelompok dibentuk : a) dengan adanya kelompok maka resiko terhadap pekerjaan ditanggung kelompok, b) sumber lebih banyak dan terjadi proses belajar dari kelompok lain, c) kelemahan individu teratasi oleh kelompok, kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dapat lebih akurat. Sedangkan Tim adalah suatu kelompok yang memiliki ikatan dan interaksi yang harmonis memacu terjadinya perubahan, pertumbuhan dan perkembangan pribadi maupun organisasi. Ikatan dan interaksi yang harmonis tersebut akan muncul dalam wujud keterpaduan pola pikir (way of thinking), pola emosi dan motivasi (way of feeling) dan pola tindak (way of action). Menurut Steven Covey (1997) menemukan 7 (tujuh) resep habits yang perlu dimiliki oleh individu yang ingin memiliki keefektifan yang tinggi yaitu: 1) pro-aktif, 2) mendahulukan yang utama, 3) selalu memulai dengan tujuan akhir, 4) pendekatan menang-menang (win-win), 5) berusaha mengerti orang lain sebelum dimengerti oleh orang lain, 6) selalu menciptakan sinergi, keterpaduan dan kebersamaan serta 7) selalu mengasah dan mengembangkan diri baik fisik, social maupun nilai-nilai. B. Visi Tim Esensi kepemimpinan adalah bahwa anda memiliki visi. Anda tidak boleh meniup trompet yang tidak jelas (Theodore Hesburgh dalam Anonim, 2000). Ketika organisasi-organisasi menjadi semakin kompleks dalam menanggapi lingkungan yang semakin berubah-ubah dalam sifat social, politis, dan ekonomi mereka, tindakan individu dalam organisasi menjadi semakin berpengaruh. Individu jarang menghasilkan perubahan dalam organisasi; yang lebih sering adalah tim. Tim mempunyai ketahanan, rentang ketrampilan, kemampuan, dan pengalaman untuk memastikan agar ide-ide kreatif dipraktekkan secara inivatif. Perubahan-perubahan kemasyarakatan juga sering diawali dengan kegiatan keompok-kelompok kecil yang berkomitmen dan tegar, yang nilai-nilainya mungkin berada diluar rentang social yang bisa diterima.
58
Agar Tim bisa kreatif, ia harus mempunyai suatu visi untuk memberikan focus dan pengarahan pada energi-energi kreatif. Ini bukanlah iming-iming hampa yang menyembunyikan kemiskinan orientasi pada tindakan. Visi bagi tim harus jelas, dianut bersama, dirundingkan, bisa dicapai, dan melibatkan sesuatu hasil yang dinilai tinggi di masa depan. Sebuah tim adalah suatu kekuatan dinamis yang terus berubah. Sejumlah orang bertemu untuk bekerja, membicarakan sasaran, mengumpulkan ide, dan membuat keputusan untuk mencapai tujuan bersama (Heller, 2001). Bekerja bersama, tim yang baik menunjukkan ciri dasar: kepemimpinan yang kuat dan efektif; penentuan tujuan yang tepat; penentuan keputusan yang berdasar; ketentuan bertindak cepat; komunikasi yang bebas; penguasaan teknik dan keterampilan untuk menyelesaikan proyek; penentuan sasaran kerja yang jelas dan yang utama keseimbangan antar orang-orang yang bekerja untuk tujuan bersama. C. Meningkatkan Kreativitas Tim Tanpa ide-ide baru, kecil kemungkinan tim bisa sukses. Berpikir kreatif adalah tanggungjawab tim dengan partisipasi semua anggota. Kembangkan hal ini bersama tim dengan banyak berlatih. Mendorong kreativitas; banyak orang terpaku pada pola piker yang ditarik dari pengalaman dan kepribadian mereka. Untuk membebaskan kreativitas mereka, jangan biarkan diri anda ataupun anggota tim diglongkan sebagai kreatif dan tidak kreatif. Setiap orang mampu memiliki atau mengembangkan ide baru. Dorong orang berpikir kreatif dengan memaksa mereka datang ke tempat tertentu-membicarakan produk baru atau memecahkan suatu masalah-dengan sejumlah ide. Semua bisa memainkan peran kreatif, yang menekankan bahwa berpikir adalah aktivitas tim yang diemban bersama. Terimalah pandangan dari ide yang beragam, namun arahkan debat menuju kebulatan pandangan. Kreativitas melibatkan pembentukan dan pemolesan ide-ide yang diketengahkan sehingga menjadi solusi-solusi yang sesuai. Kreativitas juga melibatkan usaha untuk mengubah data baru menjadi cara-cara praktis yang akan memungkinkan kemajuan substansial dalam pemecahan masalah secara efektif. Ada beberapa cirri-ciri orang yang kreatif: a) memiliki nilai-nilai intelektual dan artistic, b) ketertarikan pada kompleksitas, c) kepedulian pada pekerjaan dan pencapaian hasil, d) ketekunan; tekad keras untuk mencapai tujuan, e) pemikiran yang mandiri; mempunyai kedudukan unggul, loyal pada keputusan dan pendiriannya sendiri, f) toleransi terhadap ambiguitas, g) otonom; memiliki kebutuhan besar akan kebebasan, kendali, dan kebijaksanaan di tempat kerja, h) kepercayaan diri; yakin pada kemampuan-kemampuan diri sendiri, dan i) kesiapan mengambil resiko.
59
D. Pemecahan Masalah Tim Kesetiaan diantara Tim perlu dibangun, sehingga semua masalah, baik pribadi, pekerjaan atau procedural ditangani sebelum merusak semangat kebersamaan Tim (Heller, 2001). Mengenal masalah, setiap Tim pasti punya masalah. Kita ingin setiap individu bekerja dan berpikir hanya untuk tim. Padahal belum tentu anggota tim kompak, tanyakan apakah masalah yang muncul merupakan persoalan pribadi atau menyangkut semua anggota. Jika masalah mengancam kerja semua tim, maka tidak ada jalan lain kecuali tujuan harus mengkaji ulang semua strategi dan tujuan pembentukan tim. Dalam membangun tim terutama pemecahan masalah tim hal yang perlu diingat: masalah pribadi antar anggota harus diitangani secara konstruktif, tidak pantas bereaksi terhadap suatu kesulitan sampai kita tahu apa penyebabnya, selalu saja ada gunung baru yang harus didaki, dan “budaya menyalahkan” harus dicegah, kalau tidak, akan mematikan semangat tim. XIV. PELAYANAN PRIMA A. Pengertian Dalam memahami pelayanan ada dua istilah yang perlu diketahui yaitu: melayani dan pelayanan. Melayani adalah “membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. Sedangkan pelayanan adalah “usaha melayani kebutuhan orang lain” (kamus Bhs Indonesia, 1995). Sedangkan menurut Sutopo & Adi Suryanto (2003) bahwa pelayanan adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen (yang dilayani), yang bersifat tidak terwujud dan tidak dapat dimiliki. Pelayanan yang diberikan harus memiliki sesuai dengan standar pelayanan, sehingga dapat menghadirkan pelayanan yang memusakan konsumen, seperti apa yang disampaikan oleh Daviddow dan Utal (1989), bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik. Sedangkan mutu menurut Goetsch dan Davis (1994) merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Sedangkan pelayanan prima merupakan terjemahan dari “excellent service” , yang secara harpiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik. Terbaik di sini adalah mampu memuaskan pihak yang dilayani, meliputi empat jenis barang menurut Savas yaitu : 1) private goods; barang untuk kepentingan pribadi, 2) toll goods; barang yang dikonsumsi bersama-sama dengan persyaratan apabila menggunakannya harus membayar, 3) collective goods; barang yang digunakan bersama-sama yang tidak bisa disediakan oleh pasar, disediakan oleh mekanisme pemerintah dan 4) common pool; barang memiliki jenis umum yang tiap orang tidak mau membayar.
60
B. Tujuan dan Manfaat Pelayanan Prima Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan. Pelayanan prima pada sektor public didasarkan pada aksioma bahwa “pelayanan adalah pemberdayaan” kalau sektor swasta tentunya pelayanan selalu bertujuan atau berorientasi profite atau keuntungan perusahaan. Untuk itu pelayanan prima sektor public yang dilakukan pemerintah selain memenuhi kebutuhan hajat hidup masyarakatnya, sudah barang tentu adalah untuk memberdayakan bukan memperdayakan, serta membangun kepercayan masyarakat kepada pemerintahnya. Jadi pelayanan prima bertujuan memberdayakan masyarakat, sehingga akan menumbuhkan keperayaan masyarakat kepada pemerintah. Adapun manfaat pelayanan prima adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat sebagai pelanggan dan acuan untuk pengembangan penyusunan standar pelayanan. C. Prinsip-Prinsip Pelayanan Dalam Kepmen Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 81 tahun 1993, mengetengahkan sendi-sendi pelayanan seperti: a) Kesederhanaan; dalam artian bahwa prosedur dan tata cara pelayanan disederhanakan secara mudah, lancer, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. b) Kejelasan dan kepastian; tentang prosedur, persyaratan pelayanan, unit kerja, rincian biaya, jadwal waktu penyelesaian dll. c) Keamanan; bahwa proses serta hasil pelayanan memberikan keamanan dan kenyamanan. d) Keterbukaan; setiap pelayanan wajib dikomunikasikan secara terbuka, baik proses, hasil dan bentuk-bentuk pelayanan. e) Efisien; pelayanan dibatasi pada upaya-upaya yang langsung dalam upaya mencapai sasaran pelayanan. f) Ekonomis; biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar. g) Keadilan yang merata; dalam artian jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. h) Ketepatan waktu; pelayanan hendaknya diselesaikan tepat waktu. D. Standar Mutu Pelayanan Pelayanan pada masyarakat di masa datang hendaknya (Tjiptono, 1997): makin lama makin cepat (faster), makin baik (better), makin diperbaharui (newer), makin murah (cheaper), dan makin sederhana (more simple). Menurut (Creehch, 1996) dalam TQM (total quality management) dan Tjiptono (1997) untuk menghasilkan kualitas pelayanan harus diarahkan pada: fokus pada pelanggan, obsesi terhadap terhadap mutu, pendekatan 61
ilmiah, komitmen pada jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan system berkesinambungan, serta pendidikan dan pelatihan. Dimensi pelayanan prima menurut Gaspers (1997), menyatakan bahwa ada beberapa dimensi yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu pelayanan yaitu: ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan keramahan, tanggungjawab, kelengkapan, kemudahan, variasi model pelayanan, pelayanan pribadi, kenyamanan dan atribut pendukung lainnya. XV. ETIKA DAN MORAL A. Pengertian Etika berasal dari kata ”ethos”, yang berarti kebiasaan atau watak. Etika yang berarti juga kebiasaan atau cara bergaul, berperilaku yang baik. Dalam bahasa Indonesia disebut etiket yang berarti pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau suatu organisasi tertentu. Etika lebih merupakan nilai-nilai perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau sesuatu organisasi tertentu dalam interaksinya dengan lingkungan (Desi Fernanda, 2003). Sedangkan moral ”mores” (cara hidup dan kebiasaan), atau moralitas tampak cenderung lebih merujuk kepada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau suatu organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka oleh sebab itu moral merujuk pada karakter atau sifat-sifat individu yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya. B. Etika dalam Organisasi Nilai-nilai etika terungkap di dalam aturan-aturan atau hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungan masyarakatnya, termasuk juga dengan pemerintah. Menurut Walls (1989) karakteritik yang mesti dimiliki oleh seorang anggota organisasi antara lain: 1. Bebas dari segala urusan pribadi (personal free) 2. Setiap anggota harus mengerti tugas dan ruang lingkup jabatan atau kedudukan dalam hirarki organisasi. 3. Setiap anggota harus mengerti dan dapat menerapkan kedudukan hukumnya dalam organisasi, dalam arti memahami aturan yang menetapkan kewajiban dan kewenangan dalam organisasi. 4. Setiap anggota bekerja berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja. 5. Setiap anggota diangkat dan dipromosikan berdasarkan prestasi dan kompetensi. 6. Setiap anggota mendapatkan konvensasi yang sesuai. 7. Anggota wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi. 8. Setiap anggota ditempatkan dalam struktur dan karier yang jelas.
62
9. Setiap anggota organisasi harus disiplin dalam berperilaku kerjanya dan untuk itu dilakukan pengawasan serta pembinaan. C. Prinsip-prinsip Etika Dalam buku Supriyadi (Desi Fernanda, 2003: 6) menyebutkan 6 (enam) prinsip etika yang mestinya dijalankan dalam organisasi yaitu: 1. Prinsip keindahan (beaty) ; prinsip ini mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Dengan filsafat bahwa hidup dan kehidupan manusia merupakan keindahan itu sendiri. 2. Prinsip persamaan (Equality); hakekat manusia menghendaki persamaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Prinsip persamaan ini dapat menghilangkan perilaku diskriminatif, yang membeda-bedakan dan berbagai aspek interaksi manusia. 3. Prinsip kebaikan (goodness); perkataan baik mengandung sifat seperti: persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketepatan, yang erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia. 4. Prinsip keadilan (justice); keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. 5. Prinsip kebebasan (liberty); keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan tersedia bagi seseorang, atau dapat bertindak menurut pilihan sendiri, kecuali jika pilihan tindakan tersebut melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. 6. Prinsip kebenaran (truth); kebenaran dalam pemikiran (truth in mind), dan kebenaran dalam kenyataan (truth in reality), perlu selalu diupayakan oleh setiap anggota organisasi. DAFTAR BACAAN Anonym, 2000. Developing Creativity In Organisation. Kanisius, Yogyakarta Arifin, Anwar, 1988. Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers, Jakarta. Desi Fernanda, 2003. Etika Organisasi Pemerintah. LAN, Jakarta. Endang Lestari & Maliki, 2003. LAN, Jakarta Gering Supriadi & Tri Guno, 2003. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. LAN, Jakarta. Heller, Robert, 2001. Managing Team. Dian Rakyat, Jakarta Indrawanto, 2001. Teori Administrasi Publik dan Birokrasi. Taroda, Malang Juni Pranoto & Wahyu Suprapti, 2003. Membangun Tim (Team Building). LAN, Jakarta. Jusuf Sutanto, 1999. Tai Chi & Seni Memimpin. Pustaka Snar Harapan Jakarta. Koeswara, 1986. Teori-Teori Kepribadian. Erresso, Bandung Kusnadi & bambang Wahyudi, 2001. Teori dan Manajemen Konflik, Taroda, Malang.
63
Oemi Abrrachman . 1982. Dasar-Dasar Public Relations. Penerbit Alumni – Bandung Onong Uchjana Effendy, 1986. Human Relations dalam Management Penerbit Alumui – Bandung Onong Uchjana Effendy, 1993. Human Relation dan Public Relation, CV Mandar Maju, Bandung Onong Uchjana Effendy, 1979. Komunikasi dan Modernisasi, Penrbit Alumni, Bandung. Riyono Pratikto, 1987. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Remadja Karya, Bandung. S.P. Siagihan, 1982, Filsafat Administrasi. PT. Gunung Agung – Jakarta S. Pamuji BPA, 1970. Diktat Human Relation, Dosen APDN Malang SP. Robbin, 1994. Teori Organisasi. ARCAN, Jakarta Steward L. Tubbis Silvia, Humna Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Sutopo & Adi Suryanto, 2003. Pelayanan Prima. LAN, Jakarta. Teguh Meinanda, 1982. Pengantar Public Relations dalam Management. Armico – Badung Winardi, 2003. Teori Organisasi & Pengorganisasian. PT Rajagrafindo, Jakarta.
64
65