Membangun Industrialisasi yang Tangguh Berbasis Agroindustri dalam Menghadapi Perdagangan Bebas Prof. Mangara Tambunan
Prof. Dr. Bungaran Saragih sangat identik dengan pemikirannya tentang sistem agribisnis, sebuah pendekatan untuk membangun sektor pertanian secara terintegrasi. Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan pertanian yang sangat luas, namun sektor pertanian belum menjadi sektor yang diandalkan dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan dalam membangun sektor pertanian tidak boleh lagi hanya melihat dari sisi produk primer atau on farm namun harus merupakan satu kesatuan dalam sistem agribisnis. Tantangan untuk membangun sektor pertanian yang tangguh dalam sebuah sistem agribisnis ini semakin diperlukan ketika Indonesia memasuki era perdagangan bebas. Disinilah diuji, sejauh mana pendekatan ini mampu menjawab tantangan ketika pasar domestik yang selama ini sudah dirambah oleh produk pertanian impor khususnya dari China, sementara Pertanian kita masih berkutat pada persoalan subsisten yang tidak efisien dan kurang memberi perhatian pada kualitas dan daya saing produk.
Latar Belakang CAFTA yang mulai diberlakukan sejak 2010 memberi bayang-bayang kecemasan terhadap semakin rapuhnya perekonomian Indonesia, karena semakin membanjirnya produk dari luar negeri khususnya China ke pasar Indonesia. Padahal, ekonomi Indonesia baru saja bergerak dari kebangkitan pasca krisis dan menuju kestabilan sejak tahun 2004. Tak pelak, dimulainya era perdagangan bebas ASEAN-China ini menimbulkan kekhawatiran luar biasa terhadap produk-produk dalam negeri, baik produk primer maupun produk industri manufaktur. Indonesia lengah dan tertatih-tatih memasuki era perdagangan bebas sehingga menjadi negara produsen pertama yang tidak siap memasuki era baru. Pada sektor pertanian, hal yang paling nampak terlihat adalah membanjirnya produk-produk hortikultura, khususnya buah-buahan asal impor yang membanjiri pasar Indonesia, bahkan sampai ke pasar tradisional.
R1_Refleksi AGB.indd 65
07/04/2010 19:03:16
66
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Produk buah-buahan asal China seperti jeruk, apel, dan produk asal Thailand seperti durian dan klengkeng dengan mudah didapat dipasar dan dengan harga yang relatif terjangkau konsumen. Pada sektor manufaktur, produk perangkat dan mainan dari China juga membanjiri pasar dengan harga yang sangat murah. Preferensi konsumen atas produk-produk yang beredar dipasar pada akhirnya menjadi benteng terakhir untuk membendung produk-produk asal impor ini ke tangan konsumen. Neraca perdagangan Indonesia dengan China dalam lima tahun terakhir menunjukkan defisit yang semakin besar dengan berbagai produknya, produk-produk daru China membanjir pasar Indonesia, khususnya untuk consumer product. Tabel. Neraca Perdagangan Indonesia dan China (US$ Juta) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Ekspor Nilai 3.959,8 5.450,0 6.673,9 7.787,2 8.906,3
Impor
Pertumbuhan 37,6% 22,5% 16,7% 14,4%
Nilai 4.551,3 5.503,7 7.953,0 14.947,9 13.496,8
Pertumbuhan 20,9% 44,5% 88,0% -9,7%
Gambar. Trend ekspor dan Impor Indonesia ke dan dari China Pengalaman krisis lalu memberi pelajaran penting tentang kinerja
R1_Refleksi AGB.indd 66
07/04/2010 19:03:16
Prof. Mangara Tambunan
67
neraca perdagangan dan kerapuhan industri manufaktur, terutama yang mengandalkan bahan baku impor. Terpuruknya sektor perbankkan mengimbas kepada perkembangan sektor riil. Kondisi tersebut hampir melumpuhkan berbagai kegiatan sektor ekonomi. Namun demikian, krisis ekonomi justru menyebabkan “booming” di sektor pertanian, khususnya akibat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah sektor pertanian juga akan mampu bertahan dan menjadi penyelamat dalam perdagangan bebas ini atau justru menjadi sektor yang paling terpukul? Bagaimana kondisinya untuk sektor sekundernya melalui agroindustri ? Apakah agroindustri justru yang menunjukkan kemampuan bersaing dan menjadi unggulan dalam perdagangan bebas ? Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pertanian pernah menyatakah bahwa sejak pemberlakuan CAFTA, produk pertanian Indonesia mempunyai keunggulan luar biasa, bahkan telah merealisasikan surplus sebesar 2 milyar dolar AS dalam neraca perdagangan produk pertanian dengan China. Indonesia sama sekali tidak mengkhawatirkan diimplementasikannya CAFTA karena sektor pertanian Indonesia jauh lebih unggul. China banyak mengimpor minyak sawit, kakao, getah pohon, dan komoditas lainnya dari Indonesia, termasuk komoditas hortikultura tertentu yang disukai di China seperti Salak. Kalaulah demikian, apakah pengembangan sektor agroindustri saat ini sudah berada dalam jalur yang tepat, khususnya dalam bangunan strategi industrialisasi Indonesia? Apakah momentum pemberlakukan perdagangan bebas ini memberikan peluang bagi reorientasi strategi industrialisasi di Indonesia saat ini dan masa mendatang? Apakah basis industrialisasi yang selama ini diterapkan masih layak untuk dipertahankan? Bagaimana menggerakkan Sektor Industri yang berbasis agroindustri di Indonesia pada era perdagangan bebas ini ? Secara khusus, Prof. Bungaran Saragih memberikan penilaiannya terhadap sikap dan kebijakan yang harus diambil dalam menghadapi perdagangan bebas dalam CAFTA khususnya untuk sektor pertanian. Pemerintah dan pelaku usaha saat ini telah kehilangan kepercayaan diri dan takut bersaing dalam era perdagangan bebas yang sebetulnya bukan merupakan hal yang baru. Sejak 2001, Indonesia sesungguhnya telah melakukan proteksi di bidang agrobisnisnya, baik terhadap komoditas yang belum mampu bersaing maupun yang memiliki daya saing. Setelah itu, melakukan promosi melalui peningkatan produksi, produktivitas, dan daya saing. Namun sayangnya, tidak ada kontinuitas dan konsistensi kebijakan dari suatu pemerintah ke pemerintahan berikutnya. Pemerintah dan kalangan dunia usaha seharusnya
R1_Refleksi AGB.indd 67
07/04/2010 19:03:16
68
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
lebih bekerja keras, mampu bekerja sama dengan negara-negara lain, serta bertekad untuk bersaing dalam usaha yang menjadi unggulan bangsa ini seperti produk pangan dan pertanian tropis. Proteksi dan promosi harus dilakukan untuk komoditas yang strategis, seperti beras, jagung, gula, dan kedelai. Gagalnya pembangunan industri pertanian, baik pangan maupun perkebunan, akibat kesalahan strategi industrialisasi di mana negara ini tidak pernah melihat sektor agroindustri sebagai sektor yang mampu bersaing dalam perdagangan bebas. Tidak ada kontinuitas dan konsistensi kebijakan dari suatu pemerintah ke pemerintahan berikutnya
....Prof. Bungaran Saragih.
Kerangka Pikir Strategi Industrialisasi berbasis Agroindustri Reorientasi strategi industrialisasi berbasis agroindustri merupakan salah satu syarat mutlak untuk membawa Indonesia keluar dari ancaman keterpurukan akibat perdagangan bebas dan justru menjadikannya sebagai pemenang. Dimulainya era perdagangan bebas membuka peluang baru untuk melakukan reorientasi terhadap strategi industrialisasi yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Menggerakkan ataupun mengembangkaan sektor agroindustri tidaklah dapat dipandang sebagai satu bagian tersendiri dan parsial, namun harus dipandang dalam kerangka sistem agribisnis secara menyeluruh. agroindustri sebagai down-stream agribusiness sub-system, akan mempunyai hubungan kait-mengkait dengan on-farm agribusiness sub-system, up-stream agribusiness sub-system, support-services and policy sub-system. Oleh karena itu, dalam pengembangan agroindustri akan dipengaruhi oleh kinerja sub-sistem pertanian primer (agribisnis hulu), lembaga penopang, kebijakan pemerintah dan berbagai perubahan pada faktor eksternal lainnya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah keseluruhan sub-sistem yang telah ada saat ini kondusif dalam pengembangan agroindustri di Indonesia? Faktor-faktor eksternal apa saja yang berpengaruh dalam pengembangan agroindustri di Indonesia?
R1_Refleksi AGB.indd 68
07/04/2010 19:03:16
Prof. Mangara Tambunan
69
Pelajaran penting dari krisis ekonomi di tahun 1999 adalah bahwa sektor pertanian mendapat keuntungan dari depresiasi rupiah yang terjadi, yang membuat harga produk-produk pertanian yang berorientasi ekspor nilainya menjadi lebih tinggi. Namun, ini hanya dinikmati oleh produkproduk yang bersifat primer atau setengah jadi yang menjadi bahan baku untuk pengolahan lebih lanjut. Jadi, ekspor yang dilakukan bukan untuk konsumsi langsung (final product) dari konsumen luar negeri namun untuk pengolahan lanjutan seperti pada kakao, kopi, crude palm oil (CPO), kopra, dan sebagainya. Sementara untuk produk pertanian yang dikonsumsi langsung dan mengandalkan pasar dalam negeri yang memang besar seperti produk hortikultura, tidak mendapat manfaat yang signifikan. Manfaat yang dirasakan hanya bahwa konsumen pada akhirnya memilih produk lokal yang lebih murah dibanding produk impor (keunggulan komparatif) yang harganya melambung tinggi akibat meningkatnya nilai tukar dolar. Situasi itu pun tidak mendorong terjadinya peningkatan kualitas produk pertanian primer khususnya hortikultura untuk memiliki keunggulan kompetitif dan mampu mensubstitusi produk pertanian impor ketika kesetimbangan nilai tukar terjadi lagi. Pada kondisi persaingan bebas, produk pertanian primer tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif dari sisi harga. Apalagi proses efisiensi dalam produksi maupun transportasi belum banyak terjadi. Bahkan biaya transaksi cenderung semakin tinggi di era otonomi daerah, karena semakin banyaknya pungutan dalam pengangkutan produk pertanian. Produktivitas juga tidak menunjukkan peningkatan berarti. Dalam posisi demikian, maka produk olahan pertanian baik dalam bentuk setengah jadi maupun produk final menjadi andalan dari sektor pertanian untuk bersaing di era perdagangan bebas. Maka, menjadikan pengembangan agroindustri sebagai kebijakan pokok di sektor pertanian dalam era perdagangan bebas merupakan sebuah keharusan. Walaupun terdapat peluang yang cukup besar, pengembangan agroindustri di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, baik yang terkait dengan subsistem agribisnis hulu maupun terhadap persaingan pasar global produk pertanian olahan. Permasalahan pengembangan agroindustri yang terkait dengan sektor primer [agribisnis hulu] antara lain: [1] belum
R1_Refleksi AGB.indd 69
07/04/2010 19:03:16
70
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
terjaminnya kontinuitas pasokan bahan baku agroindustri dari Local Onfarm Business, [2] rendahnya kualitas pasokan bahan baku agroindustri dari On-farm Business dan [3] belum baiknya zonasi pengembangan wilayah produksi sektor primer dengan agroindustri. Di sisi lain, karena produksi hasil pertanian primer dipengaruhi oleh kondisi alam, maka perkembangan agroindustri secara tidak langsung akan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor tersebut. POTENTIAL SUPPLY SIDE: • Pertanian Primer • Input Lainnya KRISIS EKONOMI • • • • • • • • •
Depresiasi Rupiah Inflasi Tinggi Instabilitas Harga Ketatnya Liquiditas Kenaikan Suku Bunga Daya Beli Masyarakat Turun Peningkatan Pengangguran
LINGKUNGAN USAHA AGROINDUSTRI • • • • •
Biaya Ketidakpastian Resiko Usaha Pesaing Usaha Lingkungan Bisnis
POTENTIAL DEMAND SIDE: • Permintaan Lokal • Ekspor
• Ongkos Produksi • Sektor ekonomi • • • •
Modal Bahan Baku Tenaga Kerja Pemasaran
Peluang Agroindustri
Keuntungan Usaha
LINGKUNGAN EKSTERNAL: • Era Globalisasi • Liberalisasi Perdagangan • Kebijakan Pemerintah
Gambar Dampak Krisis Global dan Dinamika Lingkungan Eksternal terhadap Peluang Pengembangan Agroindustri Selain berbagai tantangan tersebut, dalam konteks perekonomian global dan perdagangan bebas (lingkungan eksternal), pengembangan agoindustri dalam perspektif ke depan juga menghadapi tantangan yang semakin berat. Tantangan pertama muncul dari “sisi eksternal” yakni perubahan lingkungan strategis, baik internasional maupun domestik. Perubahan lingkungan strategis internasional tersebut ditunjukkan oleh; [i] penurunan dan penghapusan subsidi dan proteksi usaha pertanian, [ii] globalisasi dan
R1_Refleksi AGB.indd 70
07/04/2010 19:03:17
Prof. Mangara Tambunan
71
liberalisasi perdagangan serta investasi, [iii] perubahan pola permintaan produk pertanian, [iv] humanisasi pasar dan [v] krisis ekonomi global. Sedangkan perubahan pada lingkungan strategis domestik ditandai oleh; [i] dinamika struktur demografi, [ii] perubahan kondisi dan kebijakan makroekonomi dan [iii] dinamika sosio-kultural-politis. Tantangan kedua berasal dari “kondisi internal” sektor pertanian yang masih didominasi oleh usahatani rakyat berskala kecil, ekstensif, terpencar-pencar dan berorientasi subsisten. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya menggerakkan dan mengembangkan agoindustri di Indonesia. Namun demikian, berbagai tantangan tersebut dapat pula menjadi peluang bagi pengembangan agroindustri di Indonesia pada masa mendatang. Globalisasi perdagangan membuat pasar komoditas domestik terintegrasi dengan pasar dunia, dan hal ini terjadi bersamaan dengan perubahan mendasar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk pertanian. Preferensi konsumen berubah dari hanya sekedar membeli komoditi ke arah membeli produk, disamping berkaitan dengan isu-isu “humanisasi pasar” (Simatupang 1995). Persaingan dengan produk impor di pasar domestik semakin tidak dapat dihindari, karena biaya transportasi antar negara yang semakin murah, terbukanya investasi asing serta telah diratifikasinya kesepakatan GATTWTO maupun implementasi APEC, AFTA, dan CAFTA. Penggunaan tarif, quota, dan subsidi sebagai instrumen kebijakan yang bersifat proteksi tidak dibenarkan lagi dalam era perdagangan bebas. Kondisi tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap peningkatan permintaan produk pertanian, baik kuantitas, kualitas, maupun keragamannya. Kemampuan menghasilkan komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai dengan keinginan konsumen [pasar], merupakan salah satu “sumber kekuatan keunggulan kompetitif” di masa mendatang. Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip “efisiensi ekonomis” merupakan syarat keharusan “necessary condition” agar produk hasil pertanian mempunyai “daya saing” yang tinggi. Hal tersebut menuntut upaya yang lebih serius dalam perencanaan pengembangan agroindustri agar tumbuh sejalan dengan dinamika di sisi permintaannya dan perubahan lingkungan strategis di tingkat internasional dan domestik, efisien dan berdaya saing tinggi. Salah satu wujud konkritnya adalah perencanaan pengembangan industri pertanian [agroindustri] harus didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, sehingga tercermin adanya pengembangan industri pertanian wilayah atas dasar komoditas unggulan dengan skala usaha ekonomis [efisien], berdaya saing,
R1_Refleksi AGB.indd 71
07/04/2010 19:03:17
72
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
dan berorientasi pasar. Oleh karena itu, dalam perencanaan pengembangan agroindustri harus berbasis pada; [i] keterpaduan komoditi, [ii] keterpaduan usahatani, dan [iii] keterpaduan wilayah yang dijalankan dengan memanfaatkan kaidah “efisiensi ekonomi” dan berorientasi ekspor. Untuk memahami tentang peluang menggerakkan agroindustri di Indonesia dalam era perdagangan bebas, harus didasarkan pada analisis atas kinerja dari sektor agroindustri itu sendiri dalam perekonomian Indonesia. Lebih khusus lagi perlu juga dilihat kinerjanya dari sisi ekspor/neraca perdagangan dan kinerjanya dalam pemanfaatan input impor maupun outputnya sebagai permintaan antara untuk industri di luar negeri.
Kinerja Industri Manufaktur Indonesia dan Posisi Agroindustri Dalam dua dasawarsa terakhir, sektor industri berkembang menjadi leding sector perekonomian Indonesia dengan memberi sumbangan output terbesar dibanding sektor-sektor lainnya. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap perekonomian Indonesia mencapai lebih dari 25% tiap tahunnya. Namun, kontribusi ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam lima tahun terakhir. Kontribusi sektor industri manufaktur yang pada tahun 2003 mencapai hampir 25%, sampai dengan kuartal III tahun 2009 baru mencapai 26,6%. Penurunan kontribusi ini terutama disebabkan mulai meningkatnya peran ekonomi dari sektor-sektor tersier terutama dari perdagangan dan jasa termasuk transportasi dan komunikasi. Namun, hal yang menarik dari pola pergeseran struktur ekonomi dalam lima tahun terakhir adalah meningkatnya kembali kontribusi dari sektor pertanian. Sampai kuartal III tahun 2009, kontribusi sektor pertanian telah mencapai 15,85% setelah pada tahun 2006 hanya berkisar pada angka 13%.
R1_Refleksi AGB.indd 72
07/04/2010 19:03:17
73
Prof. Mangara Tambunan
Tabel . PDB atas dasar harga Berlaku Tahun 2005 – Q3 2009 (Rp. Milyar) Lapangan Usaha
2005
2006
2007
1. Pertanian
364.169,3
433.223,4
547.235,6
2. Pertambangan dan Penggalian
309.014,1
366.505,4
440.826,2
3. Industri Pengolahan
760.361,3
919.532,7
1.068.806,4
26.693,8
30.354,8
34.726,2
5. Bangunan
195.110,6
251.132,3
305.215,7
6. Perdagangan Hotel & Restoran
431.620,2
501.542,1
590.822,3
7. Pengangkutan dan Komunikasi
180.584,9
231.808,6
265.256,9
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
230.522,7
269.121,4
305.216,0
9. Jasa-Jasa
276.204,2
336.258,9
399.298,6
483.771,3
430.403,9
PDB
2.774.281,1
3.339.479,6
3.957.403,9
4.954.028,9
4.131.144,8
PDB Tanpa Migas
2.458.234,3
2.967.303,1
3.540.950,1
4.426.384,7
3.828.845,5
4. Listrik, Gas, & Air Bersih
*)
2008*
Q3 2009**
713.291,4
654.664,7
543.363,8
390.780,4
1.380.731,5
1.098.479,0
40.846,7
34.876,7
419.321,6
408.068,4
692.118,8
550.480,0
312.454,1
263.025,8
368.129,7
300.365,9
Angka sementara
**) Angka sangat sementara
Gambar. Kontribusi sektoral perekonomian Indonesia
R1_Refleksi AGB.indd 73
07/04/2010 19:03:17
74
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Jika dilihat dari laju pertumbuhannya, sektor industri manufaktur justru menunjukkan trend pertumbuhan yang menurun dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan sektor industri manufaktur yang pada tahun 2005 mencapai 4,6%, pada tahun 2008 menurun menjadi hanya sebesar 3,66%. Kinerja ini jauh dibawah dari sektor tersier, khususnya pengangkutan dan komunikasi yang pertumbuhannya dua digit dan pada tahun 2008 mencapai 16,2%. Hal yang menarik lagi-lagi ditunjukkan oleh sektor pertanian yang menunjukkan trend pertumbuhan output yang meningkat. Pertumbuhan sektor pertanian yang pada tahun 2005 sebesar 2,72% meningkat menjadi 4,69%. Peningkatan pertumbuhan di sektor pertanian ini terutama disumbang oleh sektor perikanan yang pertumbuhannya diatas 5% per tahun dalam lima tahun terakhir dan sektor perkebunan yang masih tetap tumbuh positif dengan pertumbuhan yang masih meningkat meskipun dibawah 5%. Tabel. Laju Pertumbuhan Sektoral PDB di Indonesia 2005-2008 (%) Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, & Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan Hotel & Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa PDB PDB Tanpa Migas
2005
2006
2007
2008
2,72% 3,20% 4,60% 6,30% 7,54% 8,30% 12,76%
3,36% 1,70% 4,59% 5,76% 8,34% 6,42% 14,38%
3,50% 1,98% 4,66% 10,40% 8,61% 8,46% 14,38%
4,69% 0,55% 3,66% 10,86% 7,31% 7,19% 16,18%
6,70%
5,47%
7,99%
8,24%
5,16% 5,69% 6,57%
6,16% 5,51% 6,13%
6,60% 6,32% 6,92%
6,45% 6,01% 6,47%
Kinerja Perdagangan Luar Negeri Dari sisi kinerja perdagangan luar negeri, sektor agroindustri masih merupakan sektor yang memiliki kinerja cukup baik. Ekspor produk agribisnis Indonesia masih jauh diatas impornya. Kinerja ekspor juga menunjukkan perkembangan yang sangat baik, dimana pada ekspor untuk beberapa komoditas agribisnis andalan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan kecuali kayu dan barang dari kayu. Namun, beberapa komoditas potensial belum menunjukkan kinerja yang cukup baik seperti minyak atsiri, daging, dan ikan olahan meskipun menunjukkan trend peningkatan ekspor. Secara keseluruhan, produk-produk agribisnis memiliki kinerja ekspor yang cukup baik dan cukup mampu bersaing di pasar internasional.
R1_Refleksi AGB.indd 74
07/04/2010 19:03:17
Prof. Mangara Tambunan
75
Dari sisi impornya, impor produk-produk agribisnis masih didominasi oleh produk antara untuk kebutuhan industri seperti gandum-gaduman, kapas, dan ampas/sisa industri makanan. Impor produk agribisnis juga menunjukkan kecenderungan peningkatan, namun masih dibawah ekspornya. Untuk produk-produk konsumsi akhir, impor produk agribisnis ini menunjukkan peningkatan yang signifikan seperti untuk buah-buahan, gula dan kembang gula, dan makanan olahan. Tabel. Ekspor Produk Agribisnis Indonesia menurut kode HS (US$ juta) HS
URAIAN
LEMAK & MINYAK 15 HEWAN/NABATI 40 KARET DAN BARANG DARI KARET 44 KAYU, BARANG DARI KAYU 3 IKAN DAN UDANG 9 KOPI, TEH, REMPAH‐REMPAH 47 BUBUR KAYU/PULP 18 KAKAO/COKLAT 52 KAPAS 24 TEMBAKAU 16 DAGING DAN IKAN OLAHAN MINYAK ATSIRI, KOSMETIK 33 WANGI‐WANGIAN 4 SUSU, MENTEGA, TELUR 8 BUAH‐BUAHAN 19 OLAHAN DARI TEPUNG 32 SARI BAHAN SAMAK & CELUP OLAHAN DARI BUAH‐ 20 BUAHAN/SAYURAN 21 BERBAGAI MAKANAN OLAHAN
2004
2005
2006
2007
2008
2009
4.421,20 2.987,40 3.271,70 1.460,40 579,6 591 549,3 750,7 257,2 243,7
4.950,60 3.560,00 3.111,30 1.522,50 787 934,2 668 755 323,7 278,9
6.069,90 5.526,20 3.355,60 1.642,90 920,6 1.126,40 855 777,9 339,8 317,2
10.226,80 6.248,70 3.128,20 1.723,00 1.036,90 1.068,10 924,2 696,7 424,7 380,5
15.624,00 7.637,30 2.879,80 1.966,30 1.452,60 1.425,30 1.268,90 659,7 508,8 506,7
12.219,50 4.912,80 2.341,20 1.709,50 1.253,00 868,8 1.413,40 524,8 595,6 540,5
189,5 118,2 153 159,4 154,9
206,9 133,4 206,1 188,1 169
215,6 127,4 225,8 199,2 218,8
286,4 144,3 279,9 225,5 261,8
368,5 305,3 302,1 288,3 264,9
341,2 219,2 261,2 307,1 215,4
139,3 56
175,8 91,2
171,9 113,3
122,4 159,6
264,3 223,4
186,6 238,5
Tabel. Impor Produk Agribisnis Indonesia menurut kode HS (US$ juta) HS URAIAN 10 GANDUM‐GANDUMAN 52 KAPAS AMPAS/SISA INDUSTRI 23 MAKANAN 47 BUBUR KAYU/PULP KARET DAN BARANG DARI 40 KARET 4 SUSU, MENTEGA, TELUR MINYAK ATSIRI, KOSMETIK 33 WANGI‐WANGIAN 21 BERBAGAI MAKANAN OLAHAN 17 GULA DAN KEMBANG GULA 8 BUAH‐BUAHAN 11 HASIL PENGGILINGAN 24 TEMBAKAU 1 BINATANG HIDUP 44 KAYU, BARANG DARI KAYU 41 JANGAT DAN KULIT MERAH 7 SAYURAN
R1_Refleksi AGB.indd 75
2004 1.080,70 843,1
2005 2006 2007 2008 2009 884,4 1.229,10 1.804,50 2.196,50 1.506,20 731,1 782,4 953 1.991,70 1.476,10
900,4 824,8
824,8 785,1
882,7 1.147,50 1.740,60 1.678,80 852,7 1.022,50 1.474,80 950,9
466,6 436,8
609,4 521,2
696,6 566,2
289,6 167 321,2 216,4 127,7 171,1 100,4 150 101,3 109,3
320,2 186,6 654,7 217,5 194,4 180,4 118,5 188,3 73,1 127,4
358,5 435,6 208,9 255,8 640 1.116,40 327,8 435,4 259,6 322,8 191,3 267,8 117,3 228,1 222,4 258,3 79,1 89,1 190,6 245,1
790,7 1.415,50 1.125,30 879,4 874,5 610,5 555,9 496,6 457,4 452 434 401,4 386,8 347,7 336 292,7
515,1 356,4 704,6 606,8 353,9 365,8 438,2 240,8 216,7 299
07/04/2010 19:03:18
76
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Hasil perhitungan keterkaitan industri ke depan dan ke belakang dari Tabel IO tahun 2003 menunjukkan bahwa industri yang tergolong agroindustri yaitu industri pengolahan makanan, penggilingan padi, gula, makanan lainnya, minuman, dan rokok (ISIC 31) bersama industri manufaktur lainnya yang belum digolongkan (ISIC 39) mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang rendah. Keterkaitan ke depan yang rendah tersebut dikarenakan sebagian besar produk industri tersebut merupakan produk yang langsung di serap oleh konsumen akhir. Hal yang sama juga terjadi pada industri bambu dan kayu. Sementara industri pemintalan, industri kertas, dan industri alat pengangkutan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang tinggi. Industri pengilangan minyak bumi mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi, dan industri barang dari logam mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi. Tabel. Ringkasan Hasil Uji Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan Tahun 2003 Keterkaitan ke Belakang Tinggi
Tinggi
Keterkaitan ke Depan
Rendah
30. Ind Tepung 35. Ind Permintalan 36. Ind Tekstil, Pakaian & Kulit 38. Ind Kertas & Brg dari kertas 40. Ind Kimia 42. Ind Brg Karet & Plastik 49. Ind Alat Pengangkutan & Perbaikannya
41. Pengilangan Minyak Bumi
39. Ind Pupuk & Pestisida 45. Ind dasar besi dan baja 47. Ind Barang dari Logam 48. Ind Mesin & Alat Perlengkapan 50. Ind Barang lain yg belum digolongkan
27. Ind Pengolahan & Pengawetan Makanan 28. Ind Minyak dan Lemak 29. Ind Penggilingan Padi 31. Ind Gula 32. Ind Makanan Lainnya 33. Ind Minuman 34. Ind Rokok 37. Ind Bambu, Kayu dan Rotan 43. Ind Barang Mineral bukan Logam 44. Ind Semen 46.Ind Logam Dasar bukan Besi
Rendah
Diadopsi dari Silvia Mila Arini (2006)
R1_Refleksi AGB.indd 76
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
77
Hampir semua sektor dalam industri manufaktur mengalami kenaikkan jumlah permintaan antara yang cukup besar pada tahun 2003. Akan tetapi peningkatan yang paling pesat terjadi sektor industri kimia (I-O 40), hingga lebih dari dua kali lipat. Peningkatan yang relatif pesat dari permintaan antara dalam negeri mengindikasikan perlunya perhatian yang serius terhadap sektor-sektor yang memberi kontribusi besar dalam peningkatan tersebut. Sektor tersebut harus dikembangkan dengan efisien. Tahun 2003, gambaran umum industri manufaktur andalan Indonesia yang tergolong dalam industri ringan, menunjukkan kontribusi jumlah permintaan akhirnya lebih besar dari pada permintaan antaranya. Industri tersebut ditunjukkan oleh sektor yang tergolong dalam industri makanan, minuman, dan tembakau ISIC 31 (sektor I-O 27 s/d 34, kecuali industri tepung I-O 30 untuk tahun 2003), industri tekstil dan pakaian ISIC 32 (sektor I-O 35 s/d 36), industri kayu dan furniture ISIC 33 (sektor I-O 37), industri manufaktur lainnya (sektor I-O 50). Dari sini terlihat bahwa industri-industri yang tergolong dalam agroindustri masih lebih banyak menjadi produk akhir di pasar dalam negeri. Ini akibat dari industri lanjutannya yang belum banyak dikembangkan dan pada akhirnya pengolahan lebih banyak dilakukan di luar negeri. Sementara untuk industri hulu, yaitu industri kertas (I-O 38), pupuk dan pestisida, kimia, barang dari karet dan plastik (I-O 39, 40, 42), barang mineral, semen, (I-O 43, 44), industri besi baja, logam, dan barang dari logam (I-O 45, 46, 47) menunjukan kondisi di mana permintaan antaranya lebih besar dibandingkan permintaan akhirnya. Akan tetapi, untuk industri mesin, alat elektronik, dan alat angkutan (I-O 48, 49) menunjukkan kondisi sebaliknya, di mana permintaan akhirnya lebih besar daripada permintaan antaranya. Ini juga menunjukkan industri ini relatif lebih banyak dikembangkan dalam kebijakan pemerintah selama ini, dibanding industri pada kelompok agroindustri. Jika dilihat dari permintaan domestik dan permintaan ekspornya, pasar dari industri ringan Indonesia lebih banyak ditujukan untuk ekspor, sehingga nilai ekspornya lebih besar dibandingan permintaan domestiknya. Hal ini disebabkan karena produk dari industri pada kelompok ini, khususnya agroindustri masih merupakan produk antara yang menjadi bahan baku bagi industri lain. Namun, industri pengolahannya belum banyak dikembangkan di dalam negeri. Akan tetapi, untuk industri makanan, minuman, dan tembakau (sektor I-O 27 s.d. 34) menunjukkan kondisi sebaliknya, di mana pasar domestik lebih dominan daripada ekspornya. Pasar industri hulu Indonesia pada tahun 2003, yaitu industri kertas (I-O 38), pupuk
R1_Refleksi AGB.indd 77
07/04/2010 19:03:18
78
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
dan pestisida, pengilangan minyak bumi, barang dari karet dan plastik (I-O 39, 41, 42), barang mineral, semen, (I-O 43, 44), industri besi baja, dan logam (I-O 45, 46) dan mesin serta perlengkapan elektronik (I-O 48) juga menunjukan kondisi nilai ekspornya lebih besar dibandingkan permintaan domestiknya. Secara implisit, ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah pasar yang besar dan sangat potensial untuk produk-produk agroindustri dan selama ini produk agroindustri masih lebih banyak diserap oleh pasar domestik dibanding ekspor. Jika tidak didukung dengan pengembangan yang baik, maka akan memunculkan keunggulan komparatif maupun kompetitif, bukan tidak mungkin pasar domestik ini akan diambil oleh produk dari luar, khususnya China. Agroindustri yang masuk dalam kelompok ISIC 31 juga ditandai dengan perbedaan pangsa margin perdagangan dan biaya transportasi yang relatif besar. Industri ini juga memiliki pangsa margin perdagangan dan biaya transpartasi dari permintaan ekspor juga relatif besar dibandingkan dengan permintaan domestiknya. Secara implisit, ini menunjukkan bahwa biaya transaksi dan rantai nilai yang terjadi pada produk-produk yang termasuk dalam kelompok agroindustri relatif besar dibanding industri manufaktur lainnya. Rantai nilai yang besar ini dapat menyebabkan menurunnya insentif untuk melakukan investasi dan kegiatan usaha di bidang agroindustri. Padahal sektor inilah yang diharapkan dapat menyelamatkan sektor pertanian
Margin Perdagangan dan Biaya Transportasi Margin perdagangan dan biaya transportasi merupakan selisih nilai transaksi pada tingkat harga pembeli dengan tingkat harga produsen. Secara umum industri manufaktur Indonesia mempunyai pangsa margin perdagangan dan biaya transportasi dari permintaan antara lebih besar dibandingkan permintaan akhirnya (Lampiran 3). Sektor industri ISIC 31 dan 38 mempunyai perbedaan pangsa margin perdagangan dan biaya transportasi yang relatif besar. Begitu juga dengan pangsa margin perdagangan dan biaya transportasi dari permintaan ekspor ISIC 31 dan 38 lebih besar dibandingkan permintaan domestiknya. Sedangkan industri ISIC 32 menunjukkan hal yang sebaliknya, di mana pangsa margin perdagangan dan biaya transportasi dari permintaan. Ini juga menunjukkan, masih besarnya rantai nilai dan biaya transaksi (trasaction cost) dari perdagangan produk-produk agroindustri yang tidak efisien dan tidak mendukung untuk peningkatan daya saing. Dalam era perdagangan bebas yang menuntut efisiensi sebesar-besarnya dalam produksi maupun biaya transaksi, maka biaya transaksi dan rantai nilai yang masih besar
R1_Refleksi AGB.indd 78
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
79
ini harus ditekan sehingga produk yang dihasilkan mampu lebih bersaing di pasar internasional dan pada sektor hulu (on farm) masih mendapat insentif yang menguntungkan untuk terus berproduksi.
Keterkaitan Impor Sektor-sektor industri manufaktur selain ISIC 38 yang merupakan industri berteknologi tinggi, menunjukkan peranan impor yang semakin menurun selama periode 2000-2003. Peranan impor industri kertas, dan barang dari kertas (I-O 38) atau ISIC 34 terhadap total permintaan sebesar 17,7% dan menurun menjadi 13,1%. Peranan impor industri pemintalan, tekstil, dan garmen (I-O 35, 36) atau ISIC 32 terhadap total permintaan sebesar 10% dan menurun menjadi 7,8%. Akan tetapi, secara khusus untuk industri pemintalan (I-O 35) mengalami kenaikkan peranan impornya terhadap total permintaan, yaitu dari 6,7% pada tahun 2000, menjadi 21,8% pada tahun 2003. Hal ini disebabkan, karena sebagian besar bahan baku industri pemintalan, seperti serat sintetis dan kulit mentah masih diimpor. Impor input antara dari industri pemintalan, tekstil dan garmen (ISIC 32) nilainya 15% dari keseluruhan impor input antara dari industri manufaktur. Sedangkan peranannya dalam proses produksi dalam negeri, industri ISIC 32 menggunakan impor input antara sebesar 28,6% dari total input antara yang dipergunakan dalam proses produksi industri tersebut. Untuk industri makanan, minuman, dan tembakau (I-O 27 s/d 34) atau ISIC 31 menunjukkan penurunan nilai impor pada tahun 2000-2003 sebesar 16,4%. Begitu juga dengan peranan impornya, dari 8,7% menurun menjadi 3,9%. Peranan impor industri makanan, minuman, dan termbakau sebagian besar disebabkan dari kontribusi impor yang sangat besar pada sektor industri gula yaitu 60,5% pada tahun 2000 dan sebesar 28,3% pada tahun 2003. Nilai impor input antara dari industri makanan (ISIC 31) sebesar 11% dari keseluruhan impor input antara dari industri manufaktur. Sedangkan peranan impor tersebut dalam proses produksi menunjukkan 9,3% dari penggunaan input antaranya yang berasal dari impor. Impor barang konsumsi, sebagian besar dilakukan oleh industri mesin, perlengkapan elektronik dan alat angkutan (ISIC 38), yaitu sebesar 33,6%, kemudian dilakukan juga oleh industri kimia, pengilangan minyak bumi serta barang dari karet dan plastik (ISIC 355+356) sebesar 27,3%, serta industri makanan (ISIC 31) sebesar 25,7%. Sebagian besar impor barang konsumsi dari industri makanan tersebut dilakukan oleh industri gula, yang mencapai 10,2% dari total impor barang konsumsi, serta industri pengolahan/pengawetan
R1_Refleksi AGB.indd 79
07/04/2010 19:03:18
80
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
makanan sebesar 5,4% dari total impor barang konsumsi. Di samping itu, industri tekstil dan pakaian jadi juga melakukan impor barang konsumsi yang cukup besar, yaitu 9,4% dari total impor barang konsumsi. Tahun 2003, sebagian besar sektor dalam industri manufaktur menunjukkan peningkatan nilai impor barang konsumsi, kecuali untuk industri makanan, minuman, dan tembakau yang menurun kontribusi impor barang konsumsinya menjadi 12,6% dari total impor barang konsumsi; serta industri tekstil dan garmen yang menurun kontribusi impor barang konsumsinya menjadi 3,2%.
Tingkat Efisiensi dan Produktifitas Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi, industri manufaktur dengan pendekatan input-output menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dan 2003, salah satu industri dengan efisiensi tinggi adalah industri rokok (I-O 34). Tingginya tingkat efisiensi tersebut mengindikasikan nilai tambah yang dihasilkan lebih besar dibandingkan biaya madya yang digunakan dalam proses produksi. Berdasarkan hasil perhitungan indeks efisiensi menunjukkan bahwa ternyata industri-industri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi mempunyai indeks efisiensi yang rendah, seperti (I-O 35 dan 36) industri pemintalan, tekstil, pakaian, dan kulit (ISIC 32). Secara implisit ini juga menunjukkan semakin besar penggunaan input impor, maka tingkat efisiensinya menjadi semakin rendah. Oleh karena itu, pilihan pengembangan industri dengan basis efisiensi ini harus diletakkan pada industri-industri yang memiliki keterkaitan impor yang rendah seperti industri-industri di sektor pertanian (agroindustri).
Gambar. Indeks Efisiensi Industri Manufaktur di Indonesia, Tahun 2000 dan 2003 (sumber : Arini 2006)
R1_Refleksi AGB.indd 80
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
81
Tenaga kerja dalam industri manufaktur terkonsentrasi bekerja pada industri makanan, minuman, dan tembakau (I-O 27 s.d. 34), industri tekstil dan garmen (I-O 35, 36), dan industri kayu, bambu dan rotan (I-O 37) atau yang tergabung dalam ISIC 31, 32, dan 33. Pada tahun 2000, kelompokkelompok industri tersebut memberikan kontribusi pekerjaan bagi hampir 60% total penduduk yang bekerja di industri manufaktur. Selama periode 1995-2000, industri makanan (ISIC 31) menunjukkan penurunan jumlah tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga kerja tersebut merupakan pengaruh dari kenaikkan tingkat upah riil dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan pemerintah yang menyebabkan industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan menggantikannya dengan kapital/mesin. Dalam industri ISIC 31 tersebut, industri rokoklah yang paling banyak mengalami penurunan jumlah tenaga kerja hingga mencapai rata-rata 19,6% tiap tahunnya (Lampiran 2). Akibatnya sektor industri (ISIC 31) tersebut mengalami kenaikkan tingkat produktivitas hingga melebihi produktivitas rata-rata industri manufaktur pada tahun 2000. Tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata industri manufaktur menunjukkan nilai Rp 33,2 juta/orang. Hasil pengamatan industri manufaktur dengan menggunakan analisis tabel Input Output memperlihatkan bahwa peran industri manufaktur sangat penting dan perlu dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan keunggulan komparatif di dalam sisi jumlah tenaga kerja dan sumber daya alam. Oleh karena itu, tahap industrialisasi yang tepat untuk dilakukan adalah mengembangkan kategori industri ringan, seperti industri makanan (ISIC 31), industri tekstil dan pakaian jadi (ISIC 32), industri kayu dan furniture (ISIC 33), industri kertas (ISIC 34), dan industri manufaktur lainnya antara lain mainan anak, perhiasan, dan aksesoris lainnya (ISIC 39). Tingkat efisiensi dan produktivitas dari sektor-sektor tersebut perlu diperbaiki. Apabila industri-industri tersebut telah berkembang baik dan berhasil memupuk akumulasi kapital yang baik, maka tahap industrialisasi selanjutnya adalah pengembangan industri yang mempunyai kandungan kapital/modal dan teknologi yang tinggi. Industri makanan, minuman, dan tembakau (ISIC 31) menunjukkan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang rendah karena merupakan industri konsumsi. Seiring dengan perkembangan penduduk dan aktivitas ekonomi, produk industri tersebut semakin dibutuhkan masyarakat, khususnya pasar domestik, seperti ditunjukkan dengan nilai permintaan domestik yang sangat besar. Akan tetapi, tingkat efisiensi industri tersebut masih rendah sehingga perlu diupayakan dan ditingkatkan serta menjaga tingkat produktivitas yang
R1_Refleksi AGB.indd 81
07/04/2010 19:03:18
82
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
tinggi. Dalam konteks persaiangan di pasar bebas, peningkatan efisiensi ini juga menjadi keharusan dan membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah agar mampu bersaing dengan produk sejenis dari impor dan bahkan mungkin untuk bersaing di pasar ekspor. Sejauh ini hanya industri tembakau yang sudah memiliki kemampuan yang bersaing, namun harus berhadapan dengan berbagai kampanye anti tembakau. Khusus untuk produk-produk intermediet yang dihasilkan oleh industri di sektor pertanian (agroindustri), hal yang perlu mendapat perhatian adalah masih tingginya biaya transaksi dan rantai nilai yang tidak menguntungkan pelaku usaha di sektor hulu. Jika hal ini tidak diperbaiki melalui perbaikan infrastruktur dan mengurangi pungutan dalam proses transaksi dan pengangkutan, maka industri yang telah memiliki daya saing dan keunggulan ini dapat terhambat pengembangannya. Padahal saat ini, jenis agroindustri inilah yang mampu bersaing dan menjadi andalan ekspor Indonesia ke luar negeri khususnya ke China. Disamping mengembangkan agroindustri yang menghasilkan produk akhir dengan memperbaiki struktur industri, kualitas produk dan efisiensinya, kebijakan industri tidak boleh mengabaikan dan membiarkan saja agoindustri yang menghasilkan produk intermediet. Meskipun selama ini sudah memiliki kinerja ekspor yang baik, agoindustri ini tetap memerlukan kebijakan yang kondusif dan pengembangan yang terarah dan terencana.
Menggerakkan Agroindustri dalam Era Persaingan Dualisme dampak perdagangan bebas pada sektor pertanian primer dan agroindustri hendaknya dijadikan pelajaran penting dalam upaya mengembangkan agribisnis di Indonesia. Gambaran keduanya dapat menjadi pelajaran untuk memanfaatkan peluang dan menepis kendala dalam menggerakkan dan mengembangkan agroindustri di Indonesia. Bagaimana melihat sektor pertanian primer dan agroindustri dalam kerangka pengembangan agribisnis? Kebijakan dan kelembagaan apa saja yang dibutuhkan? Gambar di bawah menjelaskan konseptualisasi pengembangan agroindustri dalam kerangka agribisnis. Sektor agroindustri, bukanlah sektor yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari suatu kompleks sistem agribisnis. Agroindustri terkait langsung dengan pertanian primer (on-farm business), karena agroindustri merupakan industri yang mengolah produk primer sektor pertanian menjadi barang setengah jadi (intermediate goods) ataupun barang konsumsi (final
R1_Refleksi AGB.indd 82
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
83
goods). Karena sektor pertanian primer dipengaruhi industri, perdagangan, dan distribusi input produksi, maka kinerja up-stream agribusiness ini akan mempengaruhi pula perkembangan agroindustri. Di samping itu, kegiatan agroindustri dipengaruhi oleh lembaga dan infrastruktur pendukung, baik lembaga perbankkan, penyuluhan, penelitian dan pengembangan, lingkungan bisnis, dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, untuk menggerakkan dan menggembangkan agroindustri selama dan pasca krisis harus mengacu kepada keseluruhan sistem. Up-Stream Agribusiness Sub-system • manufacture of farm inputs, machinery, equipment and tools • procurement and distribution of farm inputs, machinery, equipment and tools.
On-Farm Agribusiness Sub-system • plant cultivation and animal rising • harvest, gathering, and post-harvest handling • selling and marketing of agricultural primary products
Down-Stream Agribusiness Sub-system (AGROINDUSTRY)
• procurement of produce and primary products • processing into intermediate and final goods • wholeselling and retailing of intermediate and final goods
Support-Services and Policy Sub-system • credit facilities and agricultural insurance
• local and national infrastructure
• agricultural extension and • informasion • • transportation and commu-nication
research & development business enviroment (macro-economic and spatial policy)
Gambar. Menggerakkan Agoindustri dalam Konseptualisasi Agribribisnis1 Berkaitan dengan paparan tersebut, secara sederhana, pengembangan agroindustri haruslah memperhatikan kaidah keterpaduan usaha, yakni: [1] azas keterpaduan wilayah, [2] azas keterpaduan usahatani dan [3] azas keterpaduan komoditi. Azas keterpaduan komoditi berarti, kesepakatan dari semua pelaku bisnis dan pengambil keputusan untuk memberikan prioritas utama pada komoditi yang akan dikembangkan di suatu wilayah. Penentuan dan pengembangan komoditi yang memperhatikan wilayah sebagai suatu kesatuan ekonomi yang didasarkan pada keterpaduan wilayah, harus bermuara pada sistem usahatani yang memadukan pola usaha dan organisasi produksi yang efisien dan azas keterpaduan usahatani. Dengan demikian, pada
R1_Refleksi AGB.indd 83
07/04/2010 19:03:18
84
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
tingkat usahatani diharapkan terjadi keterpaduan antara teknik berproduksi dan aktivitas kelembagaan sosial yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas usahatani (on-farm business) pada lahan pertanian. Pola keterpaduan tersebut akan mendorong pengembangan agroindustri, karena: [1] kontinyuitas pasokan input agroindustri dapat terjamin, [2] kualitas dan kuantitas input agroindustri dapat dicapai, [3] zonasi pengembangan agroindustri dapat ditata secara tepat, baik berkaitan dengan input yang digunakan maupun pasar yang hendak dijangkau, baik dalam negeri maupun ekspor. Kondisi tersebut dapat menjamin tercapainya “efisiensi” agroindustri, baik dari sisi pengolahan produksi hasil pertanian maupun efisiensi pemasaran. Integrasi sistem agribisnis dan perwilayahan komoditas pertanian menurut kaidah efisiensi diperlukan agar menjaga pengembangan agribisnis yang berkelanjutan (sustainability). Hal ini dikarenakan, pengembangan agroindustri harus berlandaskan dan memanfaatkan kaidah keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif (comparativeness & competitiveness), baik dari sisi komoditas maupun wilayah. Pengalaman dari krisis ekonomi tahun 1998-1999, pengembangan agroindustri sangat ditopang oleh “booming” di sektor pertanian primer dan peningkatan permintaan ekspor. Namun demikian, karena “booming” sektor pertanian terjadi akibat “depresiasi rupiah”, maka hal tersebut hanyalah bersifat “sementara”. Momentum penting yang perlu dijaga adalah memanfaatkan “booming” tersebut untuk meningkatkan efisiensi usaha, baik di sektor pertanian primer maupun agroindustri. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan agroindustri harus dibenahi dengan meningkatkan “efisiensi usaha”. Kalau kaidah ini tidak diterapkan, maka pengembangan agoindustri dan sektor pertanian akan menghadapi tantangan yang lebih berat, apalagi menuju era gobalisasi dan liberalisasi perdagangan yang akan datang. Hal lain yang tidak dapat dilupakan adalah perlunya kebijakan pemerintah yang kondusif bagi pengembangan sektor pertanian dan agroindustri. Peningkatan akses perbankkan, penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pengembangan infrastruktur dan kebijakan makroekonomi di tingkat wilayah maupun nasional sangat diperlukan. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa perlu mengembangkan agroindustri di Indonesia? Beberapa alasan logis pengembangan agoindustri di Indonesia, antara lain: [1] besarnya efek pengganda nilai tambah (multiplier effect of value
R1_Refleksi AGB.indd 84
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
85
added) sektor agroindustri, sehingga mempunyai potensi besar mendorong pertumbuhan ekonomi (major source of growth), [2] sektor ini masih sebagai penyedia lapangan kerja terbesar dalam perekonomian nasional, sehingga dapat mengurangi pengangguran ketika ancaman terhadap industri dalam negeri semakin besar di era perdagangan bebas dan [3] dalam perdagangan luar negeri, sektor ini mempunyai potensi besar dalam meningkatkan devisa negara. Namun demikian, dalam pengembangan agoindustri tersebut harus memperhatikan: [1] menggeser pasar utama produk agroindustri dari domestic market menuju pasar ekspor (export oriented) terutama dalam menghadapi persaingan dalam peragangan bebas, [2] pengembangan agroindustri harus berbasis pada local resources based dan mengurangi ketergantungan terhadap komponen impor, agar dapat bersaing dalam pasar dunia dan [3] pengembangan agroindustri harus berdasarkan kaidah comparativeness dan competitiveness, yakni [a] meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran dan [b] keterpaduan usaha, baik keterpaduan komoditi, usahatani, dan wilayah. Selain hal tersebut di atas, perlu pula mendapatkan perhatian dalam pengembangan Agroindustri maupun bisnis lainnya, berkaitan beberapa kendala yang masih mewarnai kondisi ekonomi dan politik di Indonesia. Pertama, iklim makroekonomi yang belum mendukung, terutama berkaitan dengan penyelesaian perbankan yang berlarut-larut dan kesulitan yang dihadapi dalam mendapatkan kredit perbankan. Hal ini secara efektif menjadi penghambat bagi dunia bisnis (sektor riil) secara keseluruhan. Kedua, pemerintah belum mampu menciptakan iklim investasi dan perdagangan yang mantap. Tingkat suku bunga masih tetap tinggi dan akses ke kredit murah masih terbatas jumlahnya. Ketiga, kenaikan harga bahan bakar akibat kenaikan harga minyak dunia yang menghantam jasa transportasi darat, laut, dan udara secara efektif telah menaikkan ongkos angkutan yang pada akhirnya mengurangi tingkat efisiensi daya saing usaha dan industri, khususnya dalam upaya promosi ekspor. Keempat, harga bahan baku (impor) yang membumbung tinggi telah mempersulit industri pengolahan yang secara tali temali berdampak luas terhadap berbagai jenis industri seperti kimia, poultry, konstruksi, dan sebagainya. Kelima, lemahnya lembaga yang menangani kegiatan bisnis seperti judicary system transparansi, kepastian hukum, keamanan, dan finansial merupakan permasalahan yang besar dalam menentukan kinerja industri. Keenam, derajat efisiensi birokrasi yang lemah dan masalah KKN yang belum surut menunjukkan kendala krisis sehingga tingkat biaya perijinan (transaction cost) usaha belum menurun dan bahkan ada kecenderungan meningkat.
R1_Refleksi AGB.indd 85
07/04/2010 19:03:18
86
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Catatan Penutup • Dimulainya implementasi perdagangan bebas China dan ASEAN telak pelak menimbulkan kekhawatiran terhadap produsen domestik di sektor primer maupun manufaktur. Serbuan produk impor khususnya dari China dengan harga yang relatif murah dikhawatirkan akan mematikan produsen dalam negeri karena selama ini tidak dipersiapkan dengan baik untuk bersaing di pasar internasional. Padahal Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk berbagai jenis produk. Kekhawatiran semakin terasa di sektor pertanian mengingat produk buah impor selama ini juga telah membanjiri pasar lokal dan menyebabkan produk lokal tersingkir. Namun, sektor agroindustri selama ini justru menunjukkan kinerja yang baik terutama dalam perdagangan dengan China. • Pengembangan agribisnis di Indonesia tetap mempunyai arti penting, yakni: [1] besarnya efek pengganda nilai tambah (multiplier effect of value added) sektor agroindustri, sehingga mempunyai potensi besar mendorong pertumbuhan ekonomi pasca krisis (major source of growth), [2] sektor ini masih sebagai penyedia lapangan kerja terbesar dalam perekonomian nasional, sehingga dapat mengurangi pengangguran selama krisis ekonomi dan [3] dalam perdagangan luar negeri, sektor ini mempunyai potensi besar dalam meningkatkan devisa negara. • Untuk mengembangkan dan menggerakkan agroindustri diperlukan syarat keharusan (necessary condition), yakni efisiensi usaha, baik di tingkat produksi maupun pemasaran. Selain itu perlu diperhatikan pula, bahwa dalam pengembangan agroindustri harus diperhatikan: [1] pergeseran orientasi pasar, dari domestic market menuju pasar ekspor (export oriented), [2] harus berbasis pada local resources based dan mengurangi ketergantungan terhadap komponen impor, agar dapat bersaing dalam pasar dunia dan [3] pengembangan agroindustri harus berdasarkan kaidah comparativeness dan competitiveness, yakni [a] meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran dan [b] keterpaduan usaha, baik keterpaduan komoditi, usahatani, dan wilayah. • Di tingkat makroekonomi, baik nasional maupun regional diperlukan: [1] iklim makroekonomi yang kondusif, khususnya penyelesaian perbankan dan rekapitalisasi perbankan, [2] tingkat suku bunga yang profitable bagi dunia bisnis dan [3] sistem kelembagaan, birokrasi, dan infrastruktur yang kondusif bagi pengembangan agroindustri.
R1_Refleksi AGB.indd 86
07/04/2010 19:03:18
Prof. Mangara Tambunan
87
• Untuk membuka peluang bisnis yang luas di seluruh sektor ekonomi, kondisi keharusan ekonomi yang harus diciptakan adalah mengambil langkah mempercepat pemulihan dan stabilitas ekonomi pasca krisis dan transisi demokrasi. Pada saat yang bersamaan, reformasi di bidang fiskal dalam bentuk menyusun prioritas alokasi anggaran pembangunan sangat penting untuk mendinamisasi sektor riil. Kedua langkah penting itu harus konsisten dengan integrasi ekonomi dengan perekonomian global dimana prinsip ekonomi pasar dan efisiensi merupakan prisip dasar alokasi segala sumberdaya. Apabila kedua urutan itu dilakukan dengan cepat dan tepat, maka peluang bisnis, khususnya agroindustri akan terbuka luas dan lebar. • Peluang Agribisnis di tingkat sektor, wilayah, dan komoditi adalah usaha yang berorientasi pasar dalam negeri (import substitution) yang permintaannya dalam negeri masih kuat seperti makanan, industri kerajinan (industri rotan dan kayu) atau industri atau usaha berorientasi yang ekspor (export promotion) tetapi berbahan baku dalam negeri local resources base, seperti sektor pertanian.
R1_Refleksi AGB.indd 87
07/04/2010 19:03:18
R1_Refleksi AGB.indd 88
07/04/2010 19:03:20