PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN SEKTOR PARIWISATA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS DALAM ERA GLOBALISASI PADA PERMULAAN ABAD XXI
OLEH: OKA A. YOETI PENDAHULUAN SDM sektor pariwisata kita sekarang ini masih identik sebagai pelayan hotel atau restoran, pada hal kenyataannya tidak sesimpit itu. SDM sektor pariwisata bukan hanya sebagai faktor produksi saja, tapi harus ditempatkan pada kedudukan yang lebih bergengsi pada posisi sebagai pengambil keputusan (decision maker). Hal itu dianggap penting, karena Indonesia ingin menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan, menjadi primadona penghasil devisa negara pada akhir Pelita VII tahun 2005 nanti. Oleh karena itu Lembaga Pendidikan Kepariwisataan di Indonesia harus dapat
menyesuaikan diri, berusaha meningkatkan kualitas pendidikannya, mencetak manajer tangguh, memiliki kemampuan analisis yang andal dan profesional di bidang yang digelutinya, dan mampu bersaing dalam perdagangan bebas era globalisasi pada permulaan abad ke 21 nanti. Salah satu masalah pokok dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan kualitas SDM di segala bidang, termasuk SDM sektor pariwisata. Sekarang ini, dunia pendidikan kita masih dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri, terlepas dari perkembangan kemajuan yang akhir-akhir ini meningkat dalam
Oka A. Yoeti, MBA, Lektor, Staf Pengajar STP Trisakti
46
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
semua aspek perekonomian dan kehidupan. Dalam mengikuti kemajuan yang sangat cepat itu, ternyata lembaga pendidikan kita begitu terlambat dalam mengikuti perkembangan kemajuankemajuan yang terjadi. Beberapa dekade yang lalu, faktor penentu kemajuan suatu bangsa adalah potensi alam, tenaga buruh dan modal, tetapi nanti di abad ke 21 nanti penguasaan ilmu dan tekhnologi merupakan faktor penentu dan menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa. Implikasinya dalam dunia pendidikan kita, dibutuhkan lembaga pendidikan yang dapat mengoptimalisasikan penguasaan ilmu dan teknologi, khususnya bidang pariwisata dan perhotelan. Untuk itu perlu diciptakan Lembaga Pendidikan Pariwisata dan Perhotelan yang berkualitas, yang mendidik mahasisswanya menjadi pemikir dan perencana yang ampuh. Kami melihat Akpar Trisakti berpotensi untuk menjadi lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan yang berkualitas itu. Karenanya, sangat diharapkan kepada pihak-pihak terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, baik istansi
ISSN 1411-1527
pemerintah maupun swasta, agar merasa terpanggil untuk bersama-sama meningkatkan kualitas pendidikan sektor pariwisata, terutama dalam usaha memenuhi permintaan pasar yang selalu menginginkan tenaga siap pakai. Tidak kalah pentingnya, adalah kemampuan angkatan kerja lokal dalam menerapkan standard yang dianggap terbaik yang berlaku secara internasional dalam memenuhi kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan harapan (expectations) wisatawan yang semakin kompleks. Dalam hubungan ini, kerjasama sektor pemerintah dan swasta (dalam dan luar negeri) dalam berbagai program pendidikan dan pelatihan perlu terus diupayakan. Apa sesungguhnya yang akan terjadi pada eksekutif kita di permulaan abad ke-21 nanti? Mampukah mereka menghadapi persaingan global? Bagaimana mereka dapat meramalkan kondisi-kondisi bisnis yang mulai berubah, menghadapi strategy alliances, pemasaran global, transnational take-over, akuisisi, merger dan intergrasi ekonomi internasional, teknologi informasi, transportasi, Oka A. Yoeti MBA, 45-54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
telekomunikasi dan faktor-faktor lain yang sedang berubah secara cepat. Bagi kita, yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan yang kini ada, karenanya usaha meningkatkan kualitas pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM pariwisata kita untuk mampu bersaing dalam perdagangan bebas nanti. DAYA SAING SDM INDONESIA Menurut World Competitiveness Report (1996), daya saing SDM Indonesia berada di peringkat 45, jauh di bawah negara-negara Asia lainnya seperti: Singapura (8), Cina (35), Pilipina (38), Thailand (40). Hal ini antara lain disebabkan tingginya biaya pendidikan, sistem pendidikan yang belum baku, rendahnya gaji guru, tidak tersedianya buku-buku standard, budaya pungutan liar, semuanya merupakan lingkaran setan yang tidak mudah diluruskan. Bun Yamin Ramto, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) dalam Musyawarah Wilayah I APTISI
Oka A. Yoeti, MBA 45-54
47
Sumbar, tgl 26 Juni 1999 di Padang mengatakan: ”Posisi Perguruan Tinggi Indonesia kini berbeda jauh di bawah Thailnad, Malaysia, Pilipina dan Singapura. Ia mrujuk pada laporan Asia Week edisi beberapa waktu yang lalu menyebutkan, UI yang merupakan universitas kebanggaan bangsa Indonesia, hanya menempati urutan ke-70 saja, GAMA urutan ke-67, UNDIP urutan ke-77 dan UNAIR urutan ke-79. Kalau masalah ini tidak dicarikan jalan keluarnya dengan memperbaiki substansi dan metodologi pendidikan, maka dunia pendidikan Indonesia akan jauh tertinggal”. Laporan UNICEF juga menyebutkan rendahnya daya saing SDM Indonesia itu disebabkan karena rendahnya anggaran pendidikan dibandingkan dengan Anggaran pendidikan di negara-negara tetangga Indonesia seperrti Malaysia (5.3 % dari GDP), Singapura ( 4.8 % dari GDP). Menurut sumber yang sama dikatakan biaya rata-rata pendidikan di negara-negara berkembang berkisar sebesar 3.7 % dari GDP. Indonesia sendiri berada di bawah 3.7 %.
ISSN 1411-1527
48
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
Akibatnya, ijazah luar negeri lebih diperhatikan oleh industri, karena dianggap lebih siap ketimbang lulusan dalam negeri. Kekurangannya dimanfa-atkan oleh tenaga kerja asing (TKA). Dalam periode tahun 1988 – 1995 saja TKA di Indonesia meningkat 5 kali lipat dan sampai tahun 1997 jumlahnya sudah mencapai sebanyak 60.000 orang. Bayangkan berapa besar kebocoran (leakages) devisa kita sempat disedot oleh TKA ini. Program diploma yang diharapkan dapat mencetak SDM siap pakai ternyata kemampuannya mengecewakan pihak industri. Alasan klasik para pembina mengatakan, hal itu terjadi sukar mendapatkan tempat praktek mahasiswa, pada hal pra-syarat utama program Diploma adalah tersedianya tempat praktek yang memadai atau adanya kesempatan magang pada industri terkait. PENDIDIKAN YANG IDEAL Pertumbuhan pendidikan SDM di Indonesia dirasakan relatif lamban, tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri pariwisata itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi ISSN 1411-1527
Indonesia dalam dekade terakhir di masa Orde Baru berkisar pada angka 7% - 8% tiap tahunnya dan pertumbuhan pariwisata mencapai rata-rata 13% - 15%, tetapi pertumbuhan pendidikan SDM kita hanya beringsut dari 2 % - 3 % saja tiap tahunnya. Itulah sebabnya mengapa kualitas pendidikan kita masih rendah, hal itu terbukti dari sinyalemen Menteri P & K Wardiman Djojonegoro pada seminar Mempercepat Akselerasi Value SDM Untuk Menghadapi Tahun 2003 (AFTA) dan Tahun 2010 (APEC) di UI tanggal 20 November 1996, yang mengatakan: ”Kualifikasi Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi syarat hanya 15% saja, sebaliknya yang belum memenuhi syarat ada sebesar 85%. Kelihatannya, ”masih jauh panggang dari api”. Oleh karenanya dipandang perlu adanya perbaikan dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan kita, terutama untuk mencapai keterkaitan dan kesepadanan (Link & Match). Tiga syarat untuk mencapai Link & Match itu adalah:
Oka A. Yoeti MBA, 45-54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
49
Pertama: Sistem pendidikan itu harus terkait dengan kebutuhan yang terus berkembang.
Program Kajian Kebudayaan (UDAYANA), Bahasa Asing (ABA), Antropologi (FISIP-UI dan FISIP-ERLANGGA).
Kedua: Harus terkait dan sepadan dengan nilai, sikap, perilaku dan etos masyarakat (jajaran pariwisata sendiri).
Untuk menghadapi persaingan yang ketat menghadapi, AFTA, APEC dan WTO di mana Indonesia ikut meratifikasinya, mau tidak mau seorang yang memiliki gelar S1 pariwisata minimal hendaknya memiliki pengetahuan pariwisata secara totalitas. Ia harus menjadi seorang pimikir, mampu menjadi seorang: Ahli Ekonomi Pariwisata, Ahli Pemasaran dan Promosi Pariwisata, dan Ahli dalam Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata.
Ketiga: Harus terkait dan sepadan dengan masa depan yang selalu perubahan secara cepat. Idealnya lembaga pendidikan kepariwisataan itu tidak identik dengan kursuskursus keterampilan profesi. Melihat perkembangan pariwisata pada permulaan abad ke-21 nanti, pendidikan pariwisata yang dicita-citakan tidak hanya sampai tingkat D3, dan S1 saja, tetapi juga program S2 dan bahkan S3, tetapi pendidikannya di bawah payung “Ilmu Pariwisata” diselenggarakan oleh lembaga pendidikan yang mandiri pula secara intergral. Apa arti semuanya itu? Pendidikan pariwisata dan perhotelan itu hendaknya tidak dititipkan pada berbagai disiplin ilmu pada bermacam- macam perguruan tinggi seperti : Planologi (ITB), Sastra (UNPAD), Fakultas Ekonomi (USAHID),
Oka A. Yoeti, MBA 45-54
Sedangkan alumnus S1 perhotelan hendaknya selain profesional dalam bidang Front Office, Housekeeping, Food & Beverage, Hotel Accounting atau Engineering, ia juga diharapkan menjadi seorang yang ahli dalam: Sales & Marketing, Hotel Administrations dan Hotel Accounting. Di sinilah pentingnya peningkatan kualitas pendidikan pariwisata dan perhotelan itu, tujuannya tidak lain agar dapat menghasilkan alumni yang “menggigit”, mampu bersaing dan dapat merumuskan ISSN 1411-1527
50
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
kebijaksanaan dan perencanaan pariwisata dan perhotelan secara tepat sesuai dengan tuntutan global.
Kurangnya kesempatan untuk praktek atau magang pada industri terkait.
PERMASALAHAN
2) Tenaga pengajar
Menurut Prof. M. K. Tadjuddin (mantan Rektor UI) pada suatu seminar megatakan: ”Perguruan tinggi di Indonesia menghadapi permasalahan yang krusial, karena tidak didukung dengan kurikulum yang relevan, hal itu dapat mengakibatkan kualitas lulusannya cendrung merosot. Untuk itu katanya, diperlukan otonomi yang lebih luas bagi lembaga pendidikan agar dapat menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan atau industri di dalam dan di luar negeri.
Kurangnya tenaga pengajar yang mempunyai latar belakang atau pengalaman di sektor pariwisata dan perhotelan sesuai dengan kejuruan yang ada. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
Secara umum masalah yang dihadapi lembaga pendidikan kepariwisataan di Indonesia saat ini adalah:
Harus seorang lulusan S1 dan diutamakan yang mempunyai latar belakang pendidikan kepariwisataan dan perhotelan.
Sudah memiliki jenjang kepangkatan akademik dari Kopertis, minimal Asisten Ahli Madya.
Memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara aktif (Akpar Trisakti mensyaratkan minimal TOEIC 650 atau TOEFEL 500).
1) Kurikulum
Kurikulum belum sesuai dengan kejuruan yang ada, antara lain disebabkan karena belum adanya kesesuaian pengertian antara lembaga pendidikan dengan pihak Kopertis/Departemen P & K.
ISSN 1411-1527
3) Sarana pendukung
Tersedianya dana untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar melalui kegiatan: diskusi, penelitian, pendidikan lanjutan relevan atau Oka A. Yoeti MBA, 45-54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
mengikuti seminar di forum-forum nasional atau internasional .
Tersedianya sarana tempat praktek, perpustakaan, kelengkapan buku-buku yang terkait, video training, slides projections atau OHP.
Adanya kesempatan bagi tenaga pengajar untuk melakukan studi banding tentang kegiatan operasional pada Biro Perjalan Wisata (BPW), Hotel dan Restoran, Obyek dan Atraksi Wisata.
Adanya kerjasama dengan lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan di luar negeri untuk pertukaran tenaga pengajar dan mahasiswa.
Kurangnya kesempatan tenaga pengajar untuk meningkatkan pendidikannya pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi di dalam atau di luar negeri.
Masih terbatas dan mahalnya harga buku-
Oka A. Yoeti, MBA 45-54
51
buku pariwisata dan perhotelan di Indonesia. Masalah lainnya yang juga dirasakan cukup menghambat pendidikan kepariwisataan di Indonesia adalah keberadaan pariwisata sebagai suatu ilmu yang mandiri. Jalan keluarnya, lembaga pendidikan terpaksa berlindung di bawah payung ilmu lain seperti: management, ekonomi, bahasa, sastra, kebudayaan, planologi dan antropologi untuk dapat memperoleh izin pendirian lembaga pendidikan pariwisata. Tetapi kenyataan di lapangan lain, tanpa menghiraukan apakah pariwisata merupakan suatu cabang ilmu yang mandiri atau tidak, lembaga pendidikan pariwisata semakin banyak dan tumbuh marak sejalan dengan pertumbuhan pariwisata sebagai suatu industri. Pariwisata diajarkan semenjak dari SMIP, D1, D2, D3, sampai S1 dan kini mulai pula ditawarkan program S2 oleh ITB, UNPAD, USAHID dan oleh perguruan tinggi lainnya. Harusnya pihak-pihak terkait menjadi arif, pertanda apa gerangan yang terjadi, namun anehnya tidak ada suatu istansi pun yang tergerak hatinya untuk mengambil ISSN 1411-1527
52
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
inisiatif untuk membicarakan “nasib” pariwisata sebagai ilmu yang mandiri itu. Ini suatu tantangan bagi Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (HILDIKTIPARI) yang lebih berkepentingan tentang itu. Bagi kita yang penting adalah adanya suatu ketegasan, jangan sampai terjadi kesimpangsiuran. Orang awam akan bertanya: ”Pariwisata yang diajarkan semenjak 40 tahun yang lalu, dan diajarkan di banyak perguruan tinggi, tetapi belum diakui sebagai suatu ilmu yang mandir? “. Kalau demikian halnya, pertanyaan kita adalah: “Alangkah bodoh dan na’ifnya kita semua, termasuk kita yang hadir di sini, memberikan perhatian yang begitu besar terhadap sesuatu yang dianggap bukan ilmu”. Saya kira ini merupakan PR bagi kita bersama untuk mendudukkan persoalan yang tidak kunjung tuntas selama lebih dari tiga dekade. Sungguh suatu keterlaluan dan ironis. Masalah selanjutnya kami serahkan kepada istansi terkait dengan harapan mohon dapat ditindaklanjuti***.
ISSN 1411-1527
PELUANG DAN TANTANGAN Peluang kesempatan kerja sektor pariwisata di permulaan abad ke-21 cukup menjanjikan. John Naisbitt dalam buku The Global Paradox mengatakan bahwa pariwisata di tahun 2010 akan menjadi “The Globalization of The World Largest Industry” dan akan menyedot kesempatan kerja sebanyak 204 jura orang atau 6% dari angkatan kerja dunia. Ini berarti bahwa 1 di antara 10 orang nantinya akan bekerja di sektor pariwisata. Dalam periode tahun 1994 – 2005 saja katanya, sektor pariwisata akan menciptakan kesempatan kerja sebanyak 144 juta orang dan 122 juta di antaranya terdapat di kawasan Asia-Pasifik. Menurut Direktorat Jendral Pariwisata, pada akhir Pelita VI Tahun 2005 nanti diharapkan Indonesia akan dikunjungi wisatawan global sebanyak 11 juta orang dan kalau itu menjadi kenyataan akan menciptakan kesempatan kerja sebanyak 88.006 orang. Masih menurut Direktorat Jendral Pariwisata, pada waktunya nanti, setiap pertambahan kunjungan wisatawan global sebanyak 25.000 orang akan dapat menciptakan
Oka A. Yoeti MBA, 45-54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
kesempatan kerja langsung sebanyak 390 orang dan 243 orang kesempatan kerja tidak langsung. Sedangkan menurut Institut Pariwisata Indonesia (IPI) memperkirakan untuk tahun 2000 saja kesempatan kerja seluruh DTW di Indonesia mencapai sebanyak 900.292 orang. Jadi kesempatan kerja sektor pariwisata cukup menjanjikan di abad ke-21 nanti. Yang penting sekarang adalah bagaimana lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan harus lebih berorientasi pada kualitas. Bukankah lembaga pendidikan pariwisata yang kini sudah ada, sebenarnya secara kuantitas dianggap sudah lebih cukup, tetapi secara kualitas masih perlu ditingkatkan. Tantangan paling besar yang akan dihadapi lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan dalam menghadapi millenium ke-3 nanti adalah masuknya lembaga-lembaga pendidikan pariwisata dan perhotelan luar negeri yang akan menyerbu Indonesia, baik secara langsung atau tidak langsung dengan menerapkan “strategy alliances”. Sekarang saja mereka sudah mulai gencar mempromosikan Oka A. Yoeti, MBA 45-54
53
pendidikan yang mereka selenggarakan yang kita yakini relatif lebih baik ketimbang dengan kondisi lembaga pendidikan kita seperti sekarang ini. Oleh karena itu dari sekarang kita sudah harus melakukan antisipasi agar lembaga pendidikan pariwisata dan pehotelan kita tidak menjadi “terpuruk” di antara pendatang yang kualitasnya lebih baik itu. Selain itu, tantangan bagi SDM pariwisata kitadi abad ke21 nanti, dalam mencari kerja persyaratannya akan semakin sukar dipenuhi. Masalahnya, selain tidak mungkin menggantikan TKA yang lebih jauh berpengalaman, nantinya organisasi, asosiasi dan industri tidak hanya akan memperhatikan gelar kesarjanaan semata, tetapi mereka akan memilih dan mendahulukan mereka yang memiliki Cerified of Proffessional Quality Standard yang dikeluarkan oleh asosiasi. Nantinya di Indonesia, seseorang yang ingin memiliki sertifikat itu harus lulus ujian yang diberikan IPI, suatu lembaga yang kedudukannya sama dengan AHMA di Amerika Serikat, misalnya untuk profesi:
ISSN 1411-1527
54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
Hotel, oleh (Amerika), (Australia), (Asean) dan (Indonesia)
AHMA TAFE SHATEC I. P. I
Restaurant, oleh AHMA (Amerika), dan I. P. I (Indonesia). Tour & Travel, oleh ASTA (Amerika), AFTA (Australia), NATAS (Asean), dan I. P. I (Indonesia). Professional Convention Officer (PCO), oleh SITE (Amerika), IAPCO/ ACCA (Eropa), dan I. P. I (Indonesia). Tourist Attractions, oleh I. P. I (Indonesia).
Sehingga nantinya mereka yang memiliki profesi di perhotelan harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan IPI, seperti yang pernah diberikan AHMA sebagai berikut:
CHA, untuk Certified Hotel Administrations
CRDE, untuk Certified Room Devision Executive
CFBE, untuk Food & Executive
CHRE, untuk Certified Human Resources Executive
ISSN 1411-1527
Certified Beverage
CEOE, untuk Certified Engineering Operations Executive.
CHHE, untuk Certified Hospitality Housekeeping Executive
CHT, untuk Certified Hospitality Trainer
CHSP, untuk Hospitality Professional
CHTP, untuk Cerfified Hospitality Technology Professional
CHE, untuk Certified Hospitality Educator
CHS, untuk Certified Hospitality Supervisor
Certified Sales
Jadi pada waktunya nanti, seseorang baru dianggap profesional dalam sektor pariwisata dan perhotelan kalau sudah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh IPI. Kalau tidak memiliki sertifikat tersebut akan sukar mendapat kesempatan kerja, karena industri sudah pasti akan mendahulukan mereka yang sudah memiliki sertifikat tersebut. Supaya ijazah yang dikeluarkan oleh Akpar Trisakti dapat diakui oleh IPI, kiranya belum terlambat untuk merintis kerjasama yang saling menguntungkan dengan IPI Oka A. Yoeti MBA, 45-54
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
yang kelihatannya sudah dapat sambutan baik dari Direktorat Jendral Pariwisata. PENUTUP Peningkatan kualitas pendidikan di segala bidang menjelang abad XXI merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kalau kita tidak ingin dilindas persaingan global yang tidak pernah kenal kompromi itu. Kiranya era reformasi seperti sekarang ini memberi angin segar untuk melakukan berbagai perubahan supaya lebih mandiri dan kompetitif. Sebagai seorang sarjana lulusan pendidikan tinggi pariwisata, pertama-tama mereka harus menguasai ilmu yang ditekuninya. Di samping itu mereka harus mampu menerapkannya di bidang yang berkaitan di mana pun ia bertugas. Selain itu, kepada seorang sarjana pariwisata diharapkan pula memberi-kan masukkan yang bermanfaat bagi pembangunan, menjadi pemikir untuk dapat memecahkan masalah pembangunan pariwisata, bukan sebaliknya. Perubahan paradigma itu hendaknya diikuti dengan kesiapan SDM pengelola lembaga perguruan tinggi
Oka A. Yoeti, MBA 45-54
55
sendiri agar mau mengikuti pola baru itu dan tidak lagi terpaku dengan pola pikir lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang dinamis. Untuk mengimplementasikan prinsipperinsip kualitas itu para pimpinan dan dosen dituntut untuk merubah cara kerja lebih baik, terutama dalam pengelolaan administrasi dan akademik sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jendral Pariwisata, Departemen Parpostel, Ukuran Kesempatan Kerja Sektor Pariwisata Tahun 1995 – 2005. Go, Frank M and Ray Pine, Globalization Strategy In The Hotel Industry, Routledge, London dan New York, 1994. Harian Media Indonesia, Edisi Hari Selasa Tgl 29 Juni 1999. Inkpen Gary, Information Technology For Travel and Tourism, Pitman Publishing, National Training Board, ABTA, London, 1994. Mihardjo, M. Strategi Mempertahankan Kelangsungan Organisasi Lembaga Pendidikan Tinggi Di Masa Kritis. Jurnal ISSN 1411-1527
56
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 4, No. 1. Agustus 1999
Penelitian dan Karya Ilmiah, Pusat Penelitian Akademi Pariwisata Trisakti, Edisi No 7 Maret 1999. Maryam Mihardjo. Keberadaan Pendidikan Tinggi Pariwisata Di Indonesia, Majalah INFO APT No: 13/April 1999. Naisbitt, John, Global Paradox, Binaputra Aksara , Jakarta, 1994.
Sektor Pariwisata Menghadapi Perdagangan Bebas Dalam Era Globalisasi. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah, Pusat Penelitian, Akademi Pariwisata Trisakti, Edisi No 4 Januari 1998. World Tourism Organization (WTO), Asean Tourism Industry Seminar, Jakarta, 1992. ***ksm***
Oka A. Yoeti. Upaya Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
ISSN 1411-1527
Oka A. Yoeti MBA, 45-54