maporina.com
MEMBANGUN AGROINDUSTRI HULU YANG TANGGUH UNTUK MENCIPTAKAN AGRIBISNIS YANG KUAT DAN BERDAULAT Last Updated Sunday, 06 September 2009
.Normal { FONT-WEIGHT: normal; FONT-SIZE: 10pt; MARGIN: 0pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Times New Roman" } H1 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 18pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" } H2 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 16pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" } H3 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 14pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" } MEMBANGUN AGROINDUSTRI HULU YANG TANGGUH
UNTUK MENCIPTAKAN AGRIBISNIS
YANG KUAT DAN BERDAULAT
Oleh : DR. Zaenal Soedjais
Ketua Umum MAPORINA & Ketua Umum DPI
Seminar Nasional Fak. Pertanian, UGM, 2 Mei 2009
BATASAN 1. Agribisnis adalah suatu rangkaian system usaha berbasis pertanian dan sumber daya lain dari hulu sampai hilir, meliputi berbagai subsistem antara lain : pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian dan alat mesin pertanian (alsintan), usaha tani untuk produksi komoditas pertanian, pengadaan dan pengawetan hasil-hasil pertanian (agroindustri), penyimpanan serta pemasaran dan perdagangan di hilir dan termasuk pula subsistem pendukung lain seperti jasa permodalan/ perbankan, asuransi, angkutan dan sebagainya.
.Normal { http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
FONT-WEIGHT: normal; FONT-SIZE: 10pt; MARGIN: 0pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Times New Roman" } H1 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 18pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" } H2 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 16pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" } H3 { FONT-WEIGHT: bold; FONT-SIZE: 14pt; MARGIN: 0pt 0pt 6pt; COLOR: black; TEXT-INDENT: 0pt; FONT-FAMILY: "Arial" }BATASAN 2. Strategi membangun agrobisnis dalam menggerakkan perekonomian barulah akan berhasil apabila keseluruhan subsistem terangkai dan terintegrasi dengan baik dan saling memperkuat.
Di samping itu, membangun agrobisnis bukanlah semata-mata terbatas pada persoalan manajemen di tingkat mikro, tetapi juga terkait dengan kebijakan makro dan kepiawaian dalam menemukan breakthrough untuk memperoleh hasil optimal bagi seluruh peserta dalam kegiatan agribisnis. Apabila added value hanya dinikmati oleh sebagian subsistem, maka keseluruhan kegiatan agribisnis tidak akan tumbuh langgeng dengan baik.
3. Peran Negara amat penting dalam mengupayakan terjadinya pembagian yang adil antara peserta-peserta dalam tiap subsistem, dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang tepat, dan dilaksanakan secara tepat pula. Melepaskan hal tersebut secara penuh kepada mekanisme kekuatan masing-masing (pasar) akan menimbulkan masalah, karena kekuatan (napas) dari para petani khususnya dan pengusaha-pengusaha kecil menengah tidaklah cukup panjang.
4. Paper ini membatasi uraian pada agroindustri hulu di bidang pertanian, yaitu khususnya industri pupuk dengan segala permasalahannya. Sedangkan input yang lain seperti benih/bibit maupun insektisida, pestisida/herbisida serta alat permesinan pertanian akan disinggung serba sedikit.
II. PUPUK SINTETIK DAN BIO (ORGANIK)
A.
PENDAHULUAN
1. Sudah lebih dari 40 tahun sejak kita mengenal revolusi hijau, masalah perpupukan boleh dikatakan tidak pernah benar-benar settled. Selalu saja ada riak dan gejolak dengan segala dinamika dan spektrum permasalahannya. Ini menunjukkan bahwa masalah perpupukan bukan masalah ringan/ kecil, tetapi banyak faktor-faktor strategis ikut mempengaruhinya dan tidak mudah dikendalikan.
2. Indonesia sebenarnya sudah cukup maju dalam mengembangkan agrokimia industri seperti pupuk sintesis/ anorganik yang dimulai sejak tahun 1960-an. Pada saat ini industri pupuk urea Indonesia yang keseluruhannya BUMN memiliki 15 unit pabrik urea dengan kapasitas terpasang 8,6 juta ton/ tahun, merupakan urutan ke-4 terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Pabrik pupuk phosphat 900.000 ton/ tahun, ZA 650.000 ton/ tahun, NPK 1.750.000 ton/ tahun.
Hanya pabrik pupuk KCl (potash) yang tidak kita miliki dan seluruhnya masih diimpor. Disamping itu atas inisiatif swasta (pengusaha, Perguruan Tinggi dan Researcher), telah mulai pula berkembang pupuk alternatif sejak tahun 90-an, terdorong oleh sering sulitnya diperoleh pupuk oleh petani pada saat diperlukan. Jumlah perusahaan yang memproduksi pupuk tersebut (anorganik maupun organik padat dan cair) tercatat lebih dari 600 buah, dengan merek dagang lebih dari http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
1.000.
3. Beberapa tahun terakhir bahkan masalah kelangkaan pupuk semakin meresahkan, ramai dan rumit. Lebih-lebih setelah berlakunya UU no 22 tahun 2001 tentang Migas (tidak lain merupakan liberalisasi perdagangan oil dan gas), yang kemudian mengakibatkan industri pupuk kesulitan mendapatkan cukup gas alam dengan harga murah seperti waktu-waktu sebelumnya. Ditambah dengan pabrik-pabrik yang mulai menua (sebagian besar sudah di atas 25 tahun), produksi pupuk mengalami penurunan, sementara konsumsi semakin meningkat. Perbedaan harga pupuk subsidi dengan non subsidi semakin lebar, dari semula sekitar 20% belakangan sampai menjadi 500%, menyebabkan pupuk semakin menggairahkan untuk dispekulasikan.
4. Semua kejadian-kejadian yang meresahkan tersebut diliput mass media dan disebarkan secara realtime dan instant dari segala pelosok tanah air di mana pun, yang seringkali memicu tindakan spekulatif, baik oleh penyalur pupuk, pedagang kagetan walaupun petani sendiri, sehingga terasa pupuk langka di mana-mana. Hal ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Benarlah jika dikatakan bahwa pupuk sudah menjadi komoditi politik, topik yang ampuh untuk melemparkan tuduhan ketidakberesan pengurusan/ pengelolaan dan kepemimpinan kepada pihak lain
B. BEBERAPA FENOMENA MASALAH PERPUPUKAN YANG DIHADAPI
1. Kelangkaan pupuk sintetik (anorganik) pada musim tanam besar terjadi merata di mana-mana, sekurang-kurangnya itulah yang diberitakan oleh media masa dan lembaga-lembaga masyarakat terkait.
2. Harga pupuk bersubsidi pada musim tanam besar (Oktober-Februari) melambung harganya, sehingga petani harus mengeluarkan biaya jauh lebih mahal dari semestinya.
3. Penjarahan gudang-gudang pupuk dan truk-truk berisi pupuk oleh sekelompok petani terjadi di beberapa tempat.
4. Perbedaan harga pupuk subsidi dengan non-subsidi demikian besar (5 x lebih), menyebabkan spekulasi dan perembesan sulit dihindari.
5. Penangkapan oleh aparat Kepolisian terhadap pupuk bersubsidi yang merembes ke daerah di luar peruntukkannya baik keluar provinsi, kabupaten bahkan kecamatan terjadi di berbagai tempat. Hal ini dikarenakan adanya SK Menperindag No. 70 Tahun 2003 yang diperbaharui dengan Permendag No. 03/M-DAG/PER/2/2006 tanggal 16/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian, tetapi intinya tidak berubah, yaitu rayonisasi distribusi pupuk secara rigid, dilaksanakan oleh masing-masing BUMN pupuk minus sentralisasi kendali. Daerah menjadi tersekat-sekat menyebabkan aliran barang tidak cair, persis seperti zaman KOTOE. Sedangkan transaksi jual beli diatas HET dibiarkan berlangsung. Padahal yang merugikan itu adalah masalah harga juga.
6. Industri pupuk Urea semakin menurun produksinya karena tersedianya gas alam sebagai bahan baku tidak mencukupi. Bahkan 1 (satu) unit pabrik milik PT. AAF (PT. Asean Aceh Fertilizer) terpaksa ditutup. Sehingga dari kapasitas terpasang 15 (lima belas) unit pabrik sebesar 8,6 juta ton/tahun kini tinggal maksimum 8 juta ton/tahun. Produksi yang dicapai tahun 2008 hanya 6,2 juta ton atau 77,5% bahkan tahun 2007 hanya 5,86 juta ton atau 73%.
7. Dalam beberapa tahun kedepan terdapat ancaman dalam kelancaran angkutan pupuk (urea) dengan kapal curah khusus. Keadaan kapal-kapal yang ada sudah tua, 5 (lima) buah berumur 33 tahun, 3 (tiga) buah berumur 25-27 tahun, memerlukan renovasi/penggantian. Hal ini karena 80% pabrik urea berada di luar Jawa, 70% konsumsi pupuk urea berada di Jawa. Belum lagi kendala pendangkalan di pelabuhan muat dan bongkar, sehingga muatan tidak maksimal.
8. Pemakaian pupuk sintetik meningkat secara signifikan baik karena luasan areal kebun dan areal tanaman pangan juga meningkat (kebun sawit kini sudah diatas 7 juta Ha, luas tanam tanaman padi 12 juta Ha lebih). Bahkan aqua culture juga mulai menggunakan pupuk urea. Dosis penggunaannya juga sangat meningkat. Urea misalnya dijumpai penggunaannya di beberapa daerah sampai lebih dari 600 kg/ha yang semestinya disekitar 200 kg/ha. Secara total http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
dengan jenis pupuk sintetik yang lain seperti ZA, KCl, SP36, NPK banyak yang menggunakan sekitar 1 ton/ha. Ini adalah bukti fanatisme petani yang berlebihan terhadap pemakaian pupuk sintetik. Kenyataan membuktikan pula bahwa prinsip pemupukan berimbang banyak disimpangi dalam penggunaan hara makro, mikro maupun organik.
9. Kerusakan dan penurunan kesuburan tanah semakin parah. Hal ini terlihat dari merosotnya kadar C organik dalam sebagian besar (67%) tanah pertanian menjadi di bawah 1%, dari yang semestinya di atas 2%. Hal inilah yang menyebabkan petani makin meningkatkan dosis pemakaian pupuk sintetik agar diperoleh produksi yang sama dan bahkan lebih tinggi. Akibatnya, semakin banyak pupuk dipakai semakin banyak yang tidak terserap tanaman dan terbuang, meracuni air tanah dan tambak-tambak di muara, serta mengotori udara/ lingkungan.
10. Pemakaian pupuk hayati/ organik serta masukan unsur organik banyak dilupakan petani. Hal ini ditengarai dengan pengertian dan persepsi petani yang tidak tepat. Penyuluh kurang berhasil meyakinkan petani dan yang paling menonjol adalah harga pupuk sintetik bersubsidi yang amat murah. Jumlah yang diperlukan relatif sedikit, sederhana cara penggunaannya, dan efeknya pun instan. Lebih dari itu, petani merasa lebih maju/ modern dibandingkan bila menggunakan pupuk organik yang slow release, kualitas macam-macam, bulky, bercitra kuno dan jika diperlukan dalam jumlah besar sulit diperoleh. Dalam pelaksanaan program Bantuan Pupuk (organik) Langsung yang dijalankan pada pertengahan tahun 2008 ini, diperoleh informasi bahwa dari pupuk organik yang disediakan cuma-cuma oleh Deptan melalui beberapa BUMN ternyata terserap petani hanya 20% saja dan petani belum mau sepenuhnya merubah pola pemupukan. Ini mengindikasikan bahwa petani belum yakin terhadap pupuk organik. Petani memerlukan bukti dari demplot-demplot yang berhasil di daerah sekitarnya.
C. SARAN PENYEMPURNAAN
1. Berkenaan dengan aspek PASOKAN/SUPPLY:
Pemerintah diharapkan mampu memberikan kepastian tersedianya pasokan gas alam untuk feed stock dan kebutuhan energi bagi industri pupuk urea, sehingga mampu mencapai produksi maksimal, sekurang-kurangnya 7,5 juta ton/tahun. Pasokan tersebut sebaiknya diatur melalui satu tangan yakni holding pupuk, sehingga industri pupuk mempunyai bargaining power lebih kuat dengan pihak kontraktor bagi hasil gas, baik dalam soal volume, kualitas, maupun harga. Selanjutnya harga yang dikenakan terhadap masing-masing industri pupuk (anak perusahaan holding) seyogianya sama, yang merupakan rata-rata tertimbang dari harga yang dikenakan oleh kontraktor bagi hasil gas untuk masingmasing industri pupuk yang selama ini bervariasi/ berbeda-beda. Pola seperti ini sebenarnya sudah diterapkan pada awal-awal industri pupuk dibangun, yaitu dengan harga tunggal US$ 1 / MMBTU. Dengan demikian akan lebih adil dan mudah lagi dalam membandingkan tingkat efisiensi yang dicapai oleh masing-masing industri pupuk. Di masa depan, Pemerintah seyogianya lebih mendorong dibangunnya pabrik pupuk sintetik NPK dan pupuk organik di berbagai lokasi, serta memanfaatkan Bio Nitrogen Fixation (legum, azolla, dll.) dan bio Fertilizer yang lain, sehingga tercipta suatu Integrated Plant Nutrient Management yang baik. Sedangkan pabrik pupuk urea sebenarnya cukup dengan melakukan de-bottlenecking/ renovasi sehingga tidak menghabiskan banyak dana yang memang terbatas, atau maksimal cukup membangun satu pabrik urea di Bontang tanpa unit pabrik amoniak-nya, dengan memanfaatkan produksi amoniak dari industri yang ada serta kelebihan amoniak PT. Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) sendiri yang keseluruhannya tidak kurang dari 1,4 juta ton/tahun. Untuk satu pabrik urea dengan kapasitas 1 juta ton/tahun diperlukan hanya 670.000 ton amoniak/tahun. Selanjutnya produksi urea tersebut diutamakan untuk mendukung pabrik-pabrik NPK.
2. Berkenaan dengan HARGA:
Harga pupuk sintetik terlalu murah akhirnya membawa dampak buruk seperti tersebut di atas kiranya sudah harus dihentikan. Namun menaikkan terlalu drastis juga membawa dampak psikis yang kurang menguntungkan. Lebih-lebih pupuk mudah dijadikan issue politik. Wajar sekali jika dilaksanakan program kenaikan bertahap, sehingga dalam kurun 35 tahun ke depan diharapkan mendekati harga normal. Pada saat ini harga subsidi pupuk sebagai berikut: Urea Rp 1.200,-/kg, ZA Rp 1.050,-/kg, SP36 Rp 1.550,-/kg, NPK (Phonska) Rp 1.750,-/kg kesemuanya dalam kemasan 50 kg. Dahulu ada ”rumus tani” yang memberikan perbandingan harga pupuk urea dengan harga gabah kering panen 1 : 1. Jika rumus itu dipakai maka harga pupuk urea sekarang semestinya sekitar Rp 2.400,-/kg. Namun dengan http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
kenaikan bertahap, misalnya 20% setiap tahun maka pada tahun ke-5 harga sudah bisa dilepas sehingga pemerintah tinggal menjaga harga gabah untuk tidak jatuh dan merugikan petani. Situasi demikian akan memudahkan Indonesia dalam percaturan di WTO. Untuk diketahui kenaikan harga pupuk 20% tersebut, mengakibatkan kenaikan ongkos relatif kecil yaitu Rp 150.000 – Rp 200.000,-/Ha atau kurang dari 1 kwintal padi. Sebaliknya harga pupuk untuk sektor perkebunan dan industri (non-subsidi) seyogianya diturunkan, agar supaya perbedaannya dengan harga pupuk subsidi tidak terlalu besar, bahkan bisa saja disamakan. Perbedaan yang besar seperti yang belakangan terjadi (3 hingga 5 kali lipat) amat tidak sehat dan menyulitkan pengendaliannya. Penyalur pupuk yang semuanya ”pedagang” pasti banyak yang tidak tahan terhadap godaan, dengan keuntungan yang dipatok oleh produsen maksimum Rp 50,-/kg, menjual di sektor lain bisa mendapatkan keuntungan Rp 1.000,- bahkan lebih per-kg. Dengan keadaan seperti itu sulit untuk mencegah semua ”pedagang” pupuk tidak bermain-main resiko dengan penegak hukum. Pada saat ini tepatlah kiranya melakukan penurunan harga tersebut oleh karena harga pasar dunia pupuk juga menurun cukup drastis, misalnya pupuk urea hanya US$ 225/ton, sehingga jika industri pupuk dalam negeri menjual pupuk urea ke perkebunan atau industri di atas Rp 3.500,-/kg barang import akan masuk. Idealnya perbedaan harga pupuk subsidi dengan non subsidi tidak lebih dari 20%. Pemberian subsidi kepada sektor perkebunan dan industri ini sebenarnya wajar saja karena mereka itu juga sebagai penghasil devisa dan pada saatnya mereka akan menggantinya dengan pajak yang lebih besar.
3. Berkenaan dengan SISTIM DISTRIBUSI/SUBSIDI:
Sistim rayonisasi harus tetap dijalankan, karena ini merupakan terjemahan dari upaya ”least cost distribution system”. Namun demikian tidak berarti harus dilakukan secara rigid apalagi dengan sanksi pidana. Pelaksanaan pengendalian distribusi pupuk sebaiknya dikembalikan ke industri pupuk, tanpa intervensi terlalu jauh dari pemerintah. Berpindahnya barang sepanjang tidak membahayakan kelancaran supply/demand haruslah ditolerir dan tidak perlu lagi izin Dep. Perindustrian/ Dep. Perdagangan, karena aliran yang cair justru akan membantu khususnya pada saat-saat terjadinya kelangkaan lokal. Bila terjadi ”manipulasi” barulah industri mengambil tindakan tegas dengan pencabutan status. Bahkan perlu diadukan ke pengadilan. Yang harus ditindak sangat keras adalah apabila terjadi perembesan dari sektor subsidi ke sektor non-subsidi atau diekspor (ilegal), dan apabila pupuk bersubsidi ”diperdagangkan” sehingga petani membeli di atas harga eceran tertinggi (HET). Di sinilah sebenarnya kerugian negara terjadi, yang dalam teori sering disebut ”Dead Weight Welfare Loss”. Pelanggaran seperti inilah yang semestinya dipidanakan. Pelaku penyaluran pupuk bersubsidi pada saat ini yaitu distributor, sub-distributor dan pengecer, kesemuanya adalah pedagang. Selama perbedaan antara harga subsidi dan non-subsidi masih sangat besar dan pasokan sering terganggu, terjadinya spekulasi dan manipulasi akan sulit ditangkal, apalagi jatah margin amat kecil (Rp 50/kg). Kiranya sudah waktunya melibatkan langsung Kelompok-Kelompok Tani, Gapoktan atau KUD-KUD selektif yang mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan pertanian/ agribisnis dan bukan dari perdagangan. Seiring dengan program otonomi daerah, kiranya juga perlu melibatkan daerah-daerah termasuk penyaluran dana subsidinya, sehingga terjadi ”sharing” dalam kewenangan dan tanggung jawab. Pelaksanaannya sebaiknya tidak perlu serentak untuk seluruh daerah di Indonesia, tetapi bertahap, dimulai dari daerah-daerah yang benar-benar siap. Hal ini juga akan menjadi batu ujian setiap pimpinan daerah untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dibarengi pengawasan dari Pemerintah Pusat, Industri Pupuk dan Lembaga Sosial Masyarakat. Untuk maksud tersebut Pemerintah Daerah dapat saja mendirikan Perusahaan Daerah yang ”dedicated” untuk mengurusi kebutuhan pupuk, penyaluran pupuk, sampai pengurusan subsidinya bersama Industri Pupuk. Dengan demikian industri pupuk menjual pupuk kepada Perusda dengan harga normal dan Perusda menyalurkan ke petani melalui penyalurpenyalur ”bukan pedagang” degan harga subsidi (HET). Subsidi pupuk kemudian diklaim oleh Pemda ke Pemerintah Pusat bersama-sama unsur anggaran yang lain, dan industri pupuk tidak lagi bersentuhan dengan birokrasi di Depkeu.
4. Berkenaan dengan PROMOSI PUPUK ORGANIK:
Usaha untuk peningkatan penggunaan pupuk hayati/ organik memerlukan suatu GERAKAN meluas di masyarakat, yang tentu saja dimotori oleh Pemerintah. Melihat tantangan yang lebih sulit dibandingkan keadaan ketika pemerintah mengenalkan pupuk sintetik pada awal tahun 60-an, maka upaya yang harus dicurahkan sudah barang tentu harus lebih besar daripada dahulu, karena hal-hal berikut :
- Pertanian organik banyak dilupakan dan disepelekan http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
- Walaupun sudah mulai digalakkan oleh inisiatif swasta dan pemerintah (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah), tetapi belum cukup meluas dan relatif lambat perkembangannya.
- Banyak yang belum mengerti benar apa itu pupuk organik dan cara bertani organik dan apa manfaatnya.
- Banyak petani memandang tidak praktis, beresiko gagal, produksi menurun.
- Industri pupuk anorganik dan beberapa scientist/ birokrat memandang kurang efektif karena standar tidak sama, dan mengandung logam berat, toxic, pathogen dll. Pro-kontra masih berlangsung (juga di luar negeri).
- Bahan baku bermacam-macam, proses produksi yang tepat dan efisien belum disosialisasikan secara benar/ meluas, masih sendiri-sendiri (perlu didukung dengan analisa ilmiah).
- Kadar macro nutrient dipandang rendah, memerlukan masukan yang sangat besar (5-8 ton/ha) untuk menggantikan pupuk sintetik 500 kg/ha.
- Belum dikenal luas pupuk organik/hayati/semi-organik yang lengkap (dengan kadar macro-nutrient dan micro nutrient yang lumayan). Ada satu pilot project di Cikampek (PT KAT), yang memproduksi pupuk hayati lengkap dengan hanya 500 kg/ha plus 40% pupuk sintetik mampu meningkatkan produksi gabah 10-20%.
- Beberapa metode tanam atas dasar PTT antara lain SRI (System of Rice Intensification) yang mampu menghasilkan kenaikan produksi sampai 50% dengan pupuk organik dan semi organik, menggunakan benih lokal unggul hanya 20% dari sistem pertanian konvensional, penghematan air 40% dengan dry-wet watering cycle. Perkembangan sistem ini belum cukup cepat karena masih memerlukan pengenalan.
Keunggulan pupuk organik perlu disosialisasikan antara lain sebagai berikut::
- Bahan organik yang diaplikasikan merupakan bahan energi untuk microbia bekerja menyediakan nutrient ke tanaman dalam waktu yang lebih lama, sesuai dengan daya serap tanaman. Seluruhnya berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah baik fisik, kimia dan biologis.
- Mampu menyediakan micronutrient yang amat diperlukan tanaman walaupun jumlahnya amat sedikit.
- Bahan baku yang tersedia amat banyak tersebar di mana-mana. Sampah pertanian, sampah kota/RT, sisa pemotongan hewan dan pemrosesan ikan, sampah perkebunan, kotoran hewan (dan manusia), mineral, azolla, dll. Total setiap tahun tidak kurang dari 140 juta ton. Jika seluruhnya diproses menjadi pupuk organik minimal menjadi 20% berarti 28 juta ton per tahun pupuk organik yang tersedia, berarti lebih dari 2,5 ton/ha sawah untuk setiap musim tanam.
- Jika model pupuk hayati dari PT KAT dibuat scalling-up 100 ton produksi per hari atau 33.000 MT/tahun, berdasarkan perhitungan PT Rekayasa Industri memerlukan biaya Rp. 20 Milyar. Untuk memproduksi 660.000 MT/tahun diperlukan 20 buah pabrik dengan total investasi Rp.400 Milyar. Sebagai perbandingan, untuk membangun pabrik Ammonia/ Urea dengan kapasitas 660.000 MT/tahun diperlukan biaya US$325 juta atau Rp.3,5 Trilyun atau 8,7 kali lipat.
- Jika seluruh tanaman pangan 12 juta ha diterapkan pupuk hayati 500 kg/ha, diperlukan pupuk hayati 6 juta ton/tahun, berarti diperlukan 200 pabrik dengan kapasitas 6,6 juta ton/tahun dan biaya pembangunannya ± Rp.4 Trilyun.
http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
- Berarti pula hanya dengan ¼ dari subsidi pupuk tahun 2008 (Rp.15 Trilyun), dapat dibangun fasilitas pabrik pupuk hayati, sehingga meghemat 60% dari kebutuhan pupuk sintetik (urea 6 juta ton, SP 36 2 juta ton, KCl 1 juta ton, NPK 1,5 juta ton)
Dalam kaitan ini beberapa usaha masal harus dilakukan sebagai berikut:
a. Perlu digalakkan kembali bekerjanya penyuluh bahkan pendamping di desa-desa, dengan kualitas lebih dari penyuluh di masa lalu, karena kini mereka harus menghadapi petani yang sudah ”addicted” atau kecanduan pupuk sintetik (di masa lalu ada program BIMAS 1964, INMAS 1969, INSUS 1980, SUPRA INSUS 1987).
b. Dilakukan pelatihan massal kepada penyuluh/ pendamping di daerah-daerah, sehingga mereka mampu berlaku sebagai ”technical adviser” atau ”RECOMENDATOR” bersertifikat, disertai sebidang lahan milik desa yang dijadikan demplot dengan bantuan dana Pemerintah/ Pemda. Dewan Pupuk Indonesia bisa diminta untuk melakukan program ini bersama unsur-unsur terkait seperti: Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Perguruan Tinggi, Balai-balai, Lembaga Riset, dan sebagainya.
Pengertian yang harus disampaikan kepada mereka antara lain:
- Pengertian tentang tanah sebagai media tumbuh dan teknik untuk mempertahankan kesuburannya dan memeriksa tingkat kesuburannya dengan cara sederhana (perangkat uji tanah dan bagan warna daun).
- Prinsip-prinsip agronomi yang utama, khususnya berkaitan dengan perlakuan terhadap input, seperti benih, pupuk, pestisida, herbisida, air dan sebagainya.
- Pengetahuan tentang pupuk baik sintetik maupun hayati/ organik, pengertian tentang hara, baik yang non-mineral (C, H, O) maupun hara primer/ macro nutrient (N, P, K) dan hara sekunder (Ca, Mg, S) serta hara mikro (Zn, Cl, B, Mo, Cu, Fe, Mn, Co, Ni), prinsip-prinsip pembuatan maupun aplikasinya, khususnya untuk pupuk organik dan bio diikuti dengan praktek lapangan dalam demplot-demplot yang diadakan untuk pelatihan mereka, sekaligus untuk percontohan terhadap petani di sekitarnya.
- Pengetahuan tentang Balance Fertilizing Spesific lokasi
- Pengetahuan tentang kalkulasi biaya dan perhitungan rugi-laba sederhana serta hal-hal lain yang berkenaan dengan kegiatan usaha seperti masalah administrasi/pembukuan, pembuatan perhitungan ke-ekonomian, pemasaran, prinsipprinsip manajemen keuangan, personalia, dsb.
c. Pemerintah memberikan INSENTIF baik berupa subsidi terhadap petani yang menggunakan pupuk hayati/organik, ataupun kepada kelompok masyarakat / NGO yang telah mempromosikan penggunaan pupuk organik/ bio kepada masyarakat petani, menyediakan dana cukup untuk PROMOSI tentang pupuk hayati/ organik maupun menyediakan kredit khusus dengan bunga murah bagi industri pupuk hayati/ organik dan insentif berupa bebas pajak/ bea masuk bagi impor mesin-mesin untuk industri pupuk hayati/ organik.
d. Pemerintah mempercepat pelaksanaan proses sertifikasi produk organik baik yang berupa pangan organik maupun pupuk hayati/ organik. Langkah ini perlu untuk perlindungan terhadap konsumen, industri atau petani sehingga pertumbuhan pertanian organik dan perdagangan produk-produk pangan organik bisa lebih cepat lagi.
http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
III. BENIH/ BIBIT
1. Benih memegang peranan yang juga amat penting dalam peningkatan produksi. Penggunaan benih unggul yang berbasis pemuliaan benih lokal harus didorong, sehingga tidak memusnahkan kekayaan bio diversity.
2. Di Indonesia produksi benih/ bibit unggul padi terutama oleh PT SHS (Sang Hyang Sri), PT Pertani dan juga beberapa Perusahaan swasta khususnya untuk jagung. Beberapa lembaga juga turut mengembangkan misalnya BATAN dll. Pemakaian benih unggul (label biru) berdasarkan catatan akhir barulah sekitar 150.000 ton/ tahun dari total kebutuhan bibit sebesar ± 300.000 ton/ tahun (50%).
3. Varietas unggul padi sawah yang telah dikembangkan sejak tahun 1943-2007 adalah sebagai berikut :
a. Padi inbrida (non hibrida)-sawah dataran rendah dan tinggi sejak ”Bengawan” pada tahun 1943 sampai terakhir ”Mira I” pada tahun 2006, sebanyak 138 varietas.
b. Padai inbrida (non hibrida) sawah pasang surut/rawa mulai ”Barito” 1981 sampai ”Mendawak” pada tahun 2001 adalah 21 varietas.
c. Padi hibrida, mulai ”Intani-1” tahun 2001 sampai ”Hipa 6 Jete” pada tahun 2007 ada 31 varietas.
d. Padi gogo tahun 1960-2002 mulai ”Genjah lampung” pada tahun 1960 sampai ”Situ Bagendit” pada tahun 2002 ada 30 varietas.
4. Jadi keseluruhannya ada 220 varietas unggul. Namun yang paling luas ditanam di Indonesia pada tahun 2005 hanya 11 buah varietas saja, 3 terbesar diantaranya adalah :
IR-64
3.622.622 Ha
Ciherang
2.517.140 Ha
Ciliwung
915.914 Ha
31,4 %
21,8 %
8%
5. Varietas unggul padi rata-rata bisa menghasilkan :
8 ton/ha untuk sawah dataran rendah dan tinggi
7 ton/ha untuk sawah pasang surut
5 ton/ha untuk padi gogo
10-14 ton/ha untuk Hibrida
http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
Melihat kemampuan kita yang cukup bagus dalam memproduksi varietas unggul tersebut, amat disayangkan Pemerintah membuka impor bibit padi Hibrida ex China.
Walaupun menurut keterangan bibit padi tersebut bisa menghasilkan 15 ton, tetapi jangan lupa bahwa bibit Hibrida amat rakus akan hara/nutrisi. Artinya memerlukan pupuk anorganik (N, P dan K) sangat tinggi. Lagi pula biasanya produsen bibit Hibrida mempersyaratkan penggunaan bibit tersebut satu paket dengan insektisida, pestisida/herbisida tertentu, sehingga jika persyaratan tersebut tidak dijalankan pada akhirnya tidak bisa maksimal pencapaian produksinya.
Pemerintah sebaiknya menutup atau sekurang-kurangnya menghambat kran impor bibit Hibrida tersebut karena akan menimbulkan ketergantungan petani karena bibit tersebut bersifat steril (tidak efektif untuk dijadikan bibit lagi), disamping harganya yang amat mahal (± Rp.50.000/kg).
Jika impor seperti ini berlanjut akan membahayakan kelangsungan bio diversity kita.
IV. INSEKTISIDA, PESTISIDA/ HERBISIDA
1. Insektisida, pestisida dan herbisida kimia haruslah diwaspadai penggunaannya, karena membawa risiko besar terhadap lingkungan, produk (dan konsumen), micro/macro organisme serta petaninya sendiri.
2. Insektisida, pestisida dan herbisida kimia umumnya sangat Toxic dan dapat membawa akibat resistensi terhadap hama yang lain.
3. Para petani umumnya juga telah terdorong untuk penggunaan insektisida, pestisida dan herbisida sebagaimana dipromosikan oleh penjual/ formulator dengan dukungan penyuluh. Bahkan penulis terkejut ketika melakukan wawancara para petani di desa Karangsambung Kec. Arjawinangun Kab. Cirebon, yang mengatakan bahwa mereka hanya akan mulai tanam padi jika sudah tersedia urea dan Puradan. Ketika disampaikan bahwa penggunaan Puradan atau pestisida lainnya, secara berlebihan bisa mematikan jasad renik dan makhluk hidup lain, seperti cacing, kodok, belut dan ular, mereka menyatakan ketidakpeduliannya, karena tidak memerlukan (makan) baik kodok maupun cacing, bahkan kalau ular pada mati, mereka malah senang, karena aman membawa anak-anak mereka di sawah. Nampak bahwa banyak para petani yang belum mengerti tentang kehidupan ekosistem.
4. Sekali lagi pengawasan terhadap impor, produksi dan penggunaan insektisida, pestisida dan herbisida harus benarbenar ketat. Jangan sampai terjadi seperti DDT yang pernah amat populer pada tahun 60-70-an, tetapi ternyata amat berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup, dan sekarang sudah dilarang setelah sekian puluh tahun mengotori alam Indonesia. Tidak kecil kemungkinan pula adanya AGRO TERORRISM melalui media ini yang dilakukan oleh pihak asing, atau orang lokal yang frustasi. Sebaiknya Pemerintah memberikan insentif terhadap penggunaan insektisida pestisida dan herbisida organik, serta tata cara usaha tani yang dapat mencegah/mengurangi penggunaan pestisida/ herbisida kimia.
Kegiatan Research hendaknya terus didorong dan dibiayai penuh dari anggaran Negara guna berkembangnya produksi insektisida, pestisida organik yang ramah lingkungan.
V. ALAT PERMESINAN PERTANIAN (ALSINTAN) http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
1. Salah satu kendala dari rendahnya produktivitas kerja per satuan waktu di bidang Pertanian adalah belum dilakukannya mekanisasi dalam usaha Pertanian di Indonesia.
2. Perubahan tata cara kerja dan teknologi dalam bidang usaha Pertanian ternyata amat lambat. Dahulu pada waktu perubahan dari ”ani-ani” untuk potong padi menjadi ”sabit” dan kemudian ”sabit bergerigi” juga tidak mudah. Banyak resistensi dari masyarakat dengan beberapa alasan antara lain ditakutkan mendapat ”bala”
3. Pemakaian tenaga kerja Pertanian per Ha di Indonesia termasuk yang terbesar dibanding negara-negara lain. Dibandingkan dengan petani Jepang, petani Indonesia memerlukan 7x lebih banyak untuk mengerjakan luasan tanah dan produksi yang sama. Dibandingkan dengan USA beda angka itu lebih tinggi lagi yaitu 60 x lebih banyak.
4. Yang sudah dianggap lumayan adalah penggunaan traktor tangan. Perubahan dari alat bajak tradisional yang menggunakan kerbau atau sapi ke traktor tangan memerlukan waktu beberapa dekade.
Pada beberapa tempat masih dijumpai bajak tradisional, tetapi petani pada saat ini sudah jarang memiliki ternak sebagaimana masa lalu. Sehingga pada banyak daerah pertanian berkembang Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) mulai tahun 70-an. Jika pada tahun 1973 pemakaian traktor 2 roda berjumlah 1914 unit, maka pada tahun 1995 meningkat menjadi 53.867 unit. Sedangkan traktor 4 roda tidak banyak peningkatan yaitu dari 1.600 unit menjadi 6.124 unit.
Walaupun demikian pemakaian traktor di Indonesia hanyalah 0,005 kw/ha. Bandingkan dengan USA 1,7 kw/ha, Belanda 3,6 kw/ha dan Jepang 5,6 kw/ha.
Bahkan Indonesia juga ketinggalan bila dibandingkan China yang penduduknya 1,3 Milyar orang.
5. Khusus untuk mesin penggilingan padi terjadi sebaliknya. Jumlah seluruh mesin penggilingan padi di Indonesia pada saat ini adalah ± 110.000 buah. Jumlah ini jauh melampaui kebutuhan kita, sehingga sebagian besar banyak yang berhenti atau bekerja hanya 1-2 bulan/ tahun. Diperhitungkan untuk menghasilkan 36 juta ton beras dalam 1 tahun diperlukan sekitar 10.000 buah mesin saja.
6. Alat mesin Pertanian lain pada umumnya masih lebih jauh lagi ketinggalan, misalnya transplantor, weeder, reaper (pemanen), thresher dryer dan hand sprayer. Kesulitan tenaga kerja untuk panen, manakala panen raya, belum cukup mendorong pemakaian reaper. Padahal pembayaran terhadap pemanen cukup besar yaitu sekitar 10-15% (bawon 1/6 bagian).
Demikian pula dengan mesin perontok (thresher). Walaupun persentase kehilangan cukup tinggi dengan perontokan manual (sabrotan), yaitu sekitar 8%, tetapi masih belum cukup mendorong berkembangnya penggunaan mesin perontok yang seringkali dikombinasikan dengan pengering (thresher dryer), yang dapat mengurangi kehilangan sampai lebih dari 50% nya.
Nampaknya perlu gerakan untuk sosialisasi penggunaan mesin-mesin yang dapat meningkatkan efesiensi tenaga kerja tersebut, dengan dana Negara melalui Pemerintah Daerah.
7. Untuk melaksanakan usaha sosialisasi tersebut perlu ada tenaga penyuluh spesialis yang nantinya diarahkan sebagai pengelola Usaha Pelayanan Jasa alsintan dari pengolahan/ penyiapan tanah, penanaman, menghalau gulma, pemanenan, perontokan sampai pengeringan dengan dukungan dari Pemda pada awalnya dan mandiri selanjutnya.
8. Beberapa hal yang merupakan pandangan akhir terhadap permasalahan alsintan adalah sebagai berikut:
http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49
maporina.com
- Penggunaan alsintan merupakan syarat mutlak untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja dan tanah pertanian, pengurangan kehilangan dan peningkatan mutu produk.
- Pemerintah seyogianya terus menerus melakukan sosialisasi penggunaan alsintan antara lain dengan mendorong tumbuhnya UPJA yang dikelola tenaga terlatih yang handal, dengan memberikan fasilitas kredit berbunga rendah untuk pengadaan prasarana/alsintan.
- Mendorong usaha industri alsintan dalam negeri dan melakukan proteksi terhadap serbuan alsintan impor terutama dari China, Taiwan, Thailand dll.
Jakarta, 29 April 2009
--------------------------------------------
http://maporina.com
Powered by Joomla!
Generated: 19 January, 2017, 15:49