1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia akan menghadapi era perdagangan bebas
yang
memberikan kebebasan negara-negara untuk melakukan perdagangan tanpa adanya restriksi atau pembatasan yang sangat ketat. Seiring dengan hal tersebut, diperlukan regulasi yang mapan guna mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul. Perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk di dalamnya Hak Cipta, wajib diimplementasikan dalam prakteknya di Indonesia. Hal ini terutama dengan keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), yaitu suatu perjanjian internasional di bidang perlindungan HAKI.
TRIPs merupakan standard internasional yang harus dipakai negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia berkenaan dengan perlindungan HAKI.
Dengan demikian melalui
perjanjian WTO
menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terikat pada TRIPs. 1 Karenanya dengan meratifikasi WTO pada tahun 1994, Indonesia telah memberikan komitmen kepada dunia internasional untuk menyesuaikan 1
Tim Lindsey et al., ed., 2011, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet.6, Bandung, PT Alumni, hlm. 25
2
hukum nasionalnya di bidang ekonomi dan perdagangan dengan kesepakatan-kesepakatan WTO tersebut.
Dewasa ini, pengaturan Hak Cipta mengalami banyak perubahan seiring dengan tuntutan dunia internasional dan kepentingan ekonomi negara kita. Selain itu perubahan suatu perundang-undangan berjalan seiring dengan berubahnya kebutuhan masyarakat akan hukum tersebut. Oleh karenanya, undang-undang Hak Cipta di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta merupakan aturan yang paling terbaru yang mengatur mengenai Hak Cipta di Indonesia. Undang-undang Hak Cipta diberlakukan tidak terlepas dari ide dasar sistem hukum Hak Cipta yaitu untuk melindungi wujud hasil karya yang lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Karya-karya yang dihasilkan Hak Cipta bukan merupakan sesuatu yang mudah didapatkan, dibutuhkan waktu, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit untuk menghasilkannya sehingga wajar apabila karya-karya tersebut mendapat perlindungan karena karya-karya tersebut memiliki nilai ekonomi jika digunakan untuk tujuan komersial dan kegiatan bisnis. Di samping itu, karya-karya intelektualitas dari seseorang ataupun manusia ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga sekaligus merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik dimanfaatkan bangsa dan negara Indonesia, sehingga dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
3
Salah satu karya cipta yang akhir-akhir ini banyak lahir di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi di era modern ini adalah karya cipta di bidang sinematografi yang merupakan media komunikasi massa berupa gambar gerak (moving images). Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai Hak Cipta dalam pasal 40 ayat (1) huruf m yaitu karya sinematografi.
Menurut penjelasan pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Karya sinematografi merupakan Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.
Perlindungan selain terhadap karya cipta sinematografi dan karya cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam undang-undang juga dapat diberikan terhadap semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Sehingga tanpa kita sadari karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang dengan intelektualnya
4
menciptakan sesuatu, secara cepat telah terjadi peniruan atas karya ciptanya.
Hingga saat ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap karya cipta ternyata belum membuahkan hasil yang maksimal, meskipun aturan mengenai Hak Cipta telah diperbaharui yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta dan pemegang hak cipta sudah cukup memadai, namun pelanggaran Hak Cipta masih terus terjadi.
Hambatan-hambatan yang dihadapi berupa rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya perlindungan hak cipta, kurangnya koordinasi nasional dari para penegak hukum, kurangnya tenaga dan keahlian teknis di lapangan, serta kurangnya sarana pendukung operasional di kalangan penegak hukum menjadikan aturan terbaru mengenai hak cipta yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum dapat berjalan sebagaimana yang ditentukan oleh undangundang.
Berbagai
macam
pelanggaran
terus
berlangsung
seperti
pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun
5
menjual karya cipta orang lain tanpa seijin pencipta atau pemegang hak cipta.2
Keadaan tersebut menunjukkan terjadinya pelanggaran Hak Cipta dimana pada pokoknya Hak Cipta terdiri dari 2 (dua) macam hak yang sifatnya mutual eksklusive, yaitu antara Hak Ekonomi (economic right) di satu pihak dan Hak Moral (moral right) di pihak lainnya.3 Di dalam Hak Ekonomi, ada Hak Menyewakan (rental right) dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Hak menyewakan adalah hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi (film) dan program komputer maupun prosedur rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Untuk karya sinematografi, apabila persewaan menimbulkan penyalinan secara meluas yang merugikan hak khusus penggandaan yang diberikan oleh pencipta kepada pemegang hak ciptanya maka negara anggota TRIPs termasuk Indonesia harus mengatur ketentuan mengenai rental right.4 Ketentuan Hak Penyewaan ini diatur dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
2
Sophar Maru Hutagalung,1994,Hak Cipta Kedudukan dan Perannya di dalam Pembangunan, Jakarta, Akademika Pressindo, hlm. 2 3 Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002,Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Edisi 1, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm. 21-22 4 OK. Saidin,2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Edisi ke 3, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 47
6
menyatakan bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan penyewaan Ciptaan.
sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”.
Pada prakteknya yang tampak bukan hanya tidak berjalannya perlindungan hukum atas Hak Penyewaan bagi Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta karya sinematografi namun juga ketidaktahuan masyarakat khususnya para pelaku usaha penyewaan karya sinematografi yang menganggap bahwa hak milik atas benda berupa VCD (Video Compact Disc) maupun DVD (Digital Video Disc) merupakan hak yang bersifat mutlak atas benda yang secara riil dikuasai. Diatur dalam pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatakan bahwa “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan”. Terkait dengan ini
7
tindakan para pengusaha penyewaan karya sinematografi yang tanpa meminta izin melakukan usaha sewa atau rental film untuk mencari nilai komersial maka disini jelas sangat merugikan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Secara umum sejak tahun 1997, VCD maupun DVD telah menjadi pilihan utama dalam dunia hiburan di Indonesia khususnya dunia perfilman yang merupakan bagian dari karya cipta sinematografi. Hal inilah yang membuat setiap orang berpikir untuk mengembangkan bisnis persewaan maupun penjualan VCD/DVD. Namun maraknya bisnis persewaan VCD maupun DVD di Indonesia ini tidak diikuti dengan penegakan dan perlindungan hukum Hak Cipta dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di masyarakat. Masih banyaknya masyarakat khususnya para pelaku usaha penyewaan karya sinematografi yang menganggap bahwa dengan membeli VCD/DVD karya sinematografi secara sah maka berarti terjadi peralihan hak milik secara langsung dan penuh dari penjual kepada pembeli. Sehingga bagi para pelaku usaha tersebut yang telah membeli VCD/DVD secara sah maka mereka menganggap memiliki hak penuh atas VCD/DVD yang dibelinya berupa kebebasan memperlakukan VCD/DVD tersebut, seperti dijual kembali pada orang lain, maupun disewakan pada orang lain dengan tanpa ijin dari pencipta maupun pemegang hak cipta atas karya sinematografi yang ada dalam VCD/DVD.
8
Berdasar
pada
uraian
tersebut
maka
penelitian
terhadap
Implementasi Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Terkait Dengan Penyewaan Karya Sinematografi Dalam Bentuk VCD/DVD Pada Usaha Penyewaan VCD/DVD merupakan hal yang sangat penting dan menarik bagi peneliti karena para pelaku pengusaha penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD maupun DVD tidak mendukung pelaksanaan ketentuan hak menyewakan (rental right). Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan konsepsi tentang hak milik antara Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan konsep yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga penegakan hukum ketentuan hak menyewakan (rental right) belum dapat terwujud di Indonesia. Alasan tersebut kemudian menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti untuk mengadakan penelitian di Kota Purwokerto dan kemudian merumuskannya dalam judul “Implementasi Pasal 9 ayat (2) UndangUndang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Terkait Dengan Penyewaan Karya Sinematografi Dalam Bentuk VCD/DVD Pada Usaha Penyewaan VCD/DVD Di Purwokerto”.
9
B.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin Penulis bahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait dengan penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD/DVD pada usaha penyewaan VCD/DVD di Purwokerto ? 2. Hambatan apa yang dialami oleh Pemerintah dalam pelaksanaan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait dengan penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD/DVD pada usaha penyewaan VCD/DVD di Purwokerto ?