MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI Kedi Suradisastra Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
Masalah kerusakan lahan dan degradasi ekosistem memiliki keterkaitan erat dengan perilaku masyarakat pengguna lahan tersebut. Sebagai salah satu sumber kehidupan, ekosistem lahan mengalami berbagai tindak eksploitatif teknis-biofisik guna mengejar tuntutan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial keluarga dan masyarakat yang hidup di ekosistem tersebut. Degradasi lahan dan ekosistem yang terjadi akibat kegiatan survival dan ekonomi memerlukan sikap dan tindakan yang mengarah pada upaya pengelolaan yang lebih berkesinambungan. Akan tetapi pada umumnya masyarakat pengguna dan pengeksploitasi lahan kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan pengelolaan serta upaya konservasi ekosistem yang memadai. Upaya konservasi dan pengelolaan ekosistem menuntut biaya tinggi serta tenaga dalam jumlah besar yang tidak mampu dipenuhi oleh individu dan masyarakat berkemampuan terbatas. Lebih jauh lagi, masa depan dan keberhasilan upaya dan kegiatan tersebut sulit diramalkan. Akibatnya adalah masyarakat petani tidak atau kurang responsif terhadap kebijakan terkait konservasi atau pelestarian ekosistem dan sumberdaya, namun sebaliknya mereka lebih responsif terhadap kebijakan dan upaya terkait peningkatan produksi pangan. Di sisi lain, berita tentang keberhasilan ekonomi dan lingkungan yang disebabkan oleh penerapan teknologi pengelolaan ekosistem dan konservasi lebih menjamin ketertarikan petani untuk mengadopsi teknologi serupa. Perdebatan akademik terkait perubahan ekologis dan pengelolaan sumber daya dalam dekade terakhir ini bergeser pada topik sejauh mana dan secepat apa dampak perubahan memberikan pengaruh dan bagaimana masyarakat harus bersikap dan bertindak. Konservasi lingkungan saat ini tidak hanya dipandang dari sudut ekosistem saja, namun juga mencakup tantangan teknis dan administratif dengan aspek politik yang semakin meningkat. Masyarakat perlu diberi tahu dan dibujuk untuk mengambil manfaat ekosistem secara benar serta dididik untuk memahami sangsi yang diberikan bila mereka tidak menaati peraturan terkait pelestarian ekosistem. Guna menerapkan pemikiran ini diperlukan penguasaan informasi dan keterampilan teknis serta strategi bimbingan yang tepat. Makalah ini mencoba menggali potensi lokal terkait pemahaman dan pengelolaan serta tujuan pemanfaatan ekosistem di mana masyarakat mengandalkan hidup dan mempertaruhkan masa depannya.
Ketangguhan dan Kerentanan Sosial dan Ekologi Keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat diperlukan guna mempertahankan kelangsungan produksi dan produktivitas suatu ekosistem dalam memenuhi kebutuhan
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
komunitas yang beraktivitas dalam sistem tersebut. Dalam kaitannya dengan sistem sosial dan ekologi, yang oleh Conway (1981) disebut ekosistem, adalah keseimbangan sistem tersebut yang dicirikan oleh karakteristik sistem yang diukur dengan parameter produksi. Conway (1981) merinci karakterisasi suatu sistem dalam: (a) produktivitas, yaitu kemampuan suatu sistem atau ekosistem dalam menghasilkan produksi yang dapat diukur, (b) stabillitas, yaitu kemampuan sistem tersebut untuk mempertahankan produksi dalam kisaran tertentu dalam berbagai gangguan eksternal, (c) kemerataan, yaitu kemampuan sistem mendistribusikan produksinya bagi masyarakat atau stakeholder yang menggantungkan hidup kepada sistem tersebut, dan (d) keberlanjutan atau sustainabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk tetap bertahan dan berproduksi secara berkelanjutan. Conway (1987) menyebutkan bahwa elemen sosial merupakan kunci utama dalam mempertahankan suatu sistem untuk tetap berada dalam kondisi berimbang. Secara implisit pernyataan ini menunjukkan bahwa ketangguhan sosial atau social resilience masyarakat memegang peran penting dalam menjaga kelangsungan hidup suatu ekosistem. Di sisi lain, Chambers (1992) mengembangkan teknik analisis kesisteman yang berkaitan dengan karakterisasi sistem tersebut. Chambers juga mengemukakan bahwa manusia atau elemen sosial dalam suatu sistem tidak dapat dipisahkan dari elemen ekologis dalam sistem tersebut. Walaupun kedua penulis di atas menunjukkan peran ketangguhan sosial masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem yang dikelolanya, namun Conway (1981, 1987) lebih mengutamakan keseimbangan ekosistem sebagai suatu sistem ekologi di mana elemen-elemen alam, sosial (manusia), teknologi dan ekonomi saling berinteraksi. Dalam pembahasannya Conway menunjukkan contoh bagaimana suatu komunitas berevolusi dalam sikap dan tindakan mengelola ekosistem secara berkelanjutan. Di sisi lain Chambers (1992) membahas peran teknik dan metode yang sesuai dengan tujuan sosial-ekonomi masyarakat. Namun pada hakekatnya kedua penulis tersebut mengutamakan aspek sosial dan sosiologis yang dicerminkan oleh kemampuan evolusi sosial dan mengadaptasikan sikap dan tindakan sosial dalam konteks resilience (kelenturan, keluwesan atau daya lenting). Sebelum Chambers dan Conway menerapkan teori keseimbangan dan analisis sistem seperti di atas, Holling (1973) telah mengintegrasikan terminologi resilience ke dalam konteks ekologis dalam upaya meningkatkan pemahaman dinamika non linier ekosistem yang diamati. Ketangguhan ekologis didefinisikan oleh Holling (1973) dan dipertajam oleh Gunderson (2000) sebagai ”kemampuan suatu ekosistem untuk bertahan terhadap berbagai gangguan eksternal tanpa menunjukkan perubahan berarti”. Dalam pembahasan Conway (1987) ketangguhan ekologis ini dijabarkan sebagai stabilitas sistem atau “kemampuan suatu sistem untuk tetap berproduksi secara optimum dalam berbagai gangguan eksternal seperti perubahan iklim, hama dan penyakit, dll.” Penjabaran ini menunjukkan bahwa ketangguhan ekologis berkaitan erat dengan perubahan variabel tertentu seperti kandungan hara tanah, struktur habitat, tinggi permukaan laut, dan berbagai perubahan faktor-faktor iklim dalam jangka panjang. Sebaliknya, penurunan ketahanan ekologis merupakan resultan intervensi 277
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
manusia yang berupaya meningkatkan daya tahan atau stabilitas proses ekosistem seperti mitigasi banjir, kekeringan dan kebakaran (Gunderson dan Pritchard 2002). Sebagai contoh, ledakan pertumbuhan ganggang dan perubahan komposisi tanaman air dalam sebuah danau merupakan isyarat terjadinya perubahan ekologis sekaligus dipandang pula sebagai krisis ekologi (Folke, Carpenter, Walker, Scheffer, Elmqvist, Gunderson dan Holling 2004) Pembahasan di atas dengan jelas menguak fakta bahwa perilaku manusia lebih sering meningkatkan kerentanan ekosistem daripada meningkatkan ketangguhannya. Setiap tindakan dan campur tangan manusia berpotensi menurunkan ketangguhan ekologis karena tujuan aktivitas manusia umumnya untuk mengontrol atau mengubah keragaman proses yang terjadi dalam suatu ekosistem (Gunderson 2000). Akan tetapi, ironisnya, sistem ekologis dan sistem sosial memiliki sifat ketangguhan dalam hal kemampuan untuk melakukan konsolidasi melalui interaksi antara struktur sistem dengan proses yang pada akhirnya menghasilkan perubahan atau perkembangan sistem tersebut. Para pakar kesisteman dan ekologi dalam kurun waktu berbeda secara konsisten mengemukakan bahwa karakteristik penting ketangguhan sosial dan ekologi adalah ”kemampuan untuk bertahan, berproduksi, berevolusi dan menyesuaikan diri terhadap gangguan eksternal”. Terminologi ”konsolidasi” memberikan implikasi bahwa struktur suatu sistem dan proses perubahannya tidak mudah dipisahkan dan keduanya berinteraksi secara organik untuk menghasilkan pola-pola organisasi atau pola sistem yang baru. Termasuk dalam struktur sistem adalah elemen-elemen kesisteman seperti sumber daya, teknologi, manusia dan kelembagaan serta infrastruktur pendukung yang secara garis besar merupakan bagian faktor-faktor teknis, sosial dan ekonomi. Secara singkat, terminologi ketangguhan sosial dan ekologi mencerminkan daya adaptasi sistem sosial dan ekologi. Holling (2001) menyebut ketangguhan sosial dan ekologi yang mampu mengikuti proses untuk beradaptasi sebagai suatu siklus adaptasi atau adaptive-cycle. Dengan kata lain suatu sistem sosial-ekologi yang memiliki ketangguhan tinggi dapat dipastikan memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi pula. Di sisi berseberangan dari ketangguhan sosial yang memiliki konotasi optimis dijumpai istilah kerentanan (vulnerability) yang sering digunakan dalam suatu pernyataan yang bersifat pesimis. Akan tetapi pada hakekatnya kedua terminologi tersebut hanya menunjukkan perbedaan dari sudut pandang yang berbeda. Tompkins dan Adger (2004) mengungkap bahwa ketangguhan dan kerentanan sosial memiliki elemen-elemen sosial yang kuat karena keduanya merupakan fungsi kapasitas adaptif suatu sistem sosial yang sangat tergantung pada modal sosial (social capital), kelembagaan, sumber daya dan distribusinya dalam suatu sistem sosial. Makna kapasitas adaptasi umumnya dikaitkan dengan tindakan manusia dalam merespons, mengantisipasi, atau memproyeksikan perubahan ekosistem, guna mengurangi dampak buruk atau mengambil keuntungan dari perubahan dan peluang yang diakibatkan 278
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
oleh perubahan ekosistem. Namun demikian kemampuan sistem sosial dalam merespons perubahan ekosistem tidak sama. Sebagian sistem sosial memiliki kemampuan merespons perubahan iklim dan ekosistem secara berkelanjutan (sustainable responses), sebagian lagi tidak memilikinya (Tompkins dan Adger, 2004). Ketangguhan tekno-sosial organisasi subak di Bali yang bertahan lebih dari satu millenium dan diungkap oleh Suradisastra, Sejati, Supriyatna dan Hidayat (2002) mencerminkan bahwa etnis Bali memiliki kemampuan merespon berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim dan ekosistem. Secara teknis, anggota atau kerama subak akan memberi respons atau menyesuaikan diri terhadap setiap intervensi eksternal secara terus menerus atau berkelanjutan. Reaksi subak sebagai suatu organisasi petani mengarah pada tidak pemecahan masalah. Sikap responsif seperti ini mengungkap bagaimana organisasi subak dapat bertahan dan beradaptasi selama ini. Sebaliknya etnis Sunda cenderung memiliki respon yang tidak berkelanjutan dalam menghadapi perubahan ekosistem sebagaimana ditunjukkan oleh hilangnya berbagai kearifan lokal yang pernah membawa etnis-etnis tersebut ke tingkat evolusi sosial sekarang (Suradisastra, Hastuti, Wiryono, Budhi dan Tarigan, 2009). Salah satu contoh adalah semakin memudarnya kepatuhan akan larangan-larangan tersamar yang mengarah pada upaya pelestarian sumberdaya, terutama sumber daya air, yang disebut pamali (Suradisastra 1997). Ketangguhan sosial memiliki makna paralel dengan ketangguhan ekologi. Ketangguhan sosial adalah kemampuan suatu kelompok atau sistem sosial (keluarga, komunitas, dan masyarakat) untuk bertahan terhadap berbagai trauma yang disebabkan oleh perubahan yang mengganggu. Gangguan sosial dapat dipicu oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Suatu kelompok sosial yang memiliki ketahanan sosial tidak hanya menunjukkan keterikatan (kohesifitas) yang kuat dalam kondisi gangguan, namun juga mampu menyerap gangguan tersebut dan menyesuaikan diri setelah gangguan tersebut hilang. Parameter pengukuran ketahanan sosial dan ekologi dibagi dalam 3 (tiga) tahap (Gunderson dan Pritchard 2002), yaitu: (a) sampai sejauh mana sistem tersebut mampu bertahan terhadap gangguan eksternal, (b) sampai sejauh mana anggota dan elemenelemen sistem tersebut mampu melakukan reorganisasi, dan (c) sampai sejauh mana sistem tersebut mampu menyerap dan mencerna pelajaran dan pengalaman yang diperoleh dalam konteks politik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Suatu sistem yang kuat akan mampu mempertahankan kohesi sosial, melakukan konsolidasi, bertahan dan menyesuaikan diri dengan/dalam kondisi baru. Sistem demikian menurut Tompkins dan Adger (2004) diklasifikasikan kedalam kelompok sosial yang memiliki ketangguhan tinggi. Sebaliknya bila suatu sistem atau organisasi tidak mampu bertahan terhadap gangguan dan intervensi eksternal, maka sistem atau organisasi tersebut akan runtuh karena ketangguhan sosialnya rendah.
279
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Ketangguhan sosial dan ekologi umumnya diuji bila ekosistem menunjukkan perubahan atau berperilaku mengejutkan. Peristiwa-peristiwa tertentu terjadi karena faktor eksternal seperti fenomena alam yang berskala besar (angin topan atau kekeringan yang luas) ”bersilangan” dengan perubahan internal ekosistem yang disebabkan oleh ulah manusia. Salah satu contoh perubahan internal yang disebabkan oleh ulah manusia antara lain adalah banjir dan longsor sebagai dampak berantai penggundulan hutan dan vegetasi lainnya. Dalam proses penebangan yang tidak terkontrol, secara gradual ekosistem hutan dan sungai mengalami perubahan komposisi dan keterdedahan yang lebih luas namun dampak ekologisnya masih belum terlihat. Kondisi ekosistem yang rawan itu memerlukan pemicu untuk menunjukkan dampak penggundulan yang tidak terkontrol tersebut. Pada saat alam menunjukkan perubahan, misalnya perubahan curah hujan atau angin secara ekstrim, kondisi terdedah lahan gundul akan terpengaruh secara drastis. Curah hujan yang berlebih atau tiupan angin yang tidak lazim yang berpapasan dengan ekosistem rawan tersebut sudah cukup untuk menimbulkan bencana.
Governan (Aspek Kewenangan) Dalam keragaman tradisi Indonesia dijumpai berbagai lembaga organisasi non formal yang memiliki ketangguhan sosial dan ekologi yang berbeda. Seluruh kelembagaan tersebut memiliki dewan suku, dewan adat atau kelompok pengurus yang secara implisit sesungguhnya merupakan bentuk sistem governan (governance system) atau sistem kewenangan yang bersifat lokal. Governan didefiniskan sebagai ”struktur dan proses di mana anggota masyarakat mendelegasikan kewenangannya” (Gunderson 2000). Terminologi governan, yang dalam bahasa Indonesia sering disebut kepemerintahan, pada hakekatnya mencerminkan kewenangan atau kontrol terhadap segala sesuatu yang terjadi di wilayah suatu sistem (zona atau wilayah governan), baik sistem sosial, sistem ekologi, maupun keduanya. Struktur dan proses governan turut membentuk sikap individu dan tindak kolektif masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sebagai shareholder governan memiliki sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada kelompok berwenang. Aspek governan meliputi hukum dan perundang-undangan, peraturan, hak berdebat, mediasi, negosiasi, resolusi konflik, pemilihan, konsultasi, protes dan berbagai proses pengambilan keputusan. Kepemerintahan yang baik (good governance) muncul dari interaksi berbagai aktor dan kelembagaan, termasuk sektor swasta dan lembaga-lembaga non profit dalam suatu sistem sosial dan ekosistem. Sistem governan yang baik harus memiliki kemampuan manajemen guna mempertahankan, meningkatkan dan mengembangkan ketangguhan sosial dan ekosistem. Hal ini sulit dilaksanakan bila struktur dan proses dalam suatu sistem tidak menyertakan anggota sistem sebagai shareholder sistem tersebut. Lebel, Anderies, Campbell, Folke, Hatfield-Dodds, Hughes, dan Wilson (2006) merinci karakteristik governan sebagai berikut: 280
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
1. memiliki sifat partisipatif dalam arti membuka peluang kontak dan interaksi secara baik, 2. bersifat polisentris yang menunjukkan bentuk organisasi yang terdiri atas beberapa pemegang kewenangan, 3. akuntabel bagi masyarakat dan pemegang kewenangan diatasnya, 4. deliberatif dalam arti memberi peluang bagi anggotanya untuk berdebat, melakukan mediasi dan negosiasi, 5. memiliki susunan pengurus secara berlapis (multi-layered) dalam arti mengandung keterwakilan yang luas, 6. berkeadilan dalam distribusi keuntungan dan risiko yang tidak diharapkan. Suatu governan yang memiliki karakteristik lengkap akan mampu melaksanakan halhal berikut dalam mempertahankan dan meningkatkan ketangguhan sosial dan ekologi suatu sistem: 1. mampu terlibat dan melaksanakan berbagai dinamika perkembangan sistem dalam berbagai skala, 2. mampu mengantisipasi dan mengatasi ketidak pastian dan kejutan tertentu, 3. cocok dan mampu guna merancang kelembagaan yang sesuai dengan konteks sosial dan ekologis, 4. mampu mendeteksi dan memberi arah terhadap ambang perubahan yang tidak dapat dikembalikan, 5. memiliki keterampilan mengintegrasikan berbagai pengetahuan, 6. mampu menjaga keragaman ekologi dan sosial. Dengan melalui proses partisipatif, governan yang memiliki karakteristik dan kemampuan di atas akan mampu mempertahankan, meningkatkan dan mengembangkan ketangguhan sosial dan ekosistem setempat di mana komunitas tersebut berada. Dalam kaitannya dengan kelembagaan pengelola sumber daya (terutama sumber daya air) di Indonesia, kelengkapan karakteristik governan dan kapasitas mengelola ketangguhan sosial dan ekosistem diharapkan mampu mendukung kelangsungan evolusi resiliensi sosial dan ekosistem secara berkelanjutan. Temuan peran governan organisasi pengelola sumber daya di Indonesia akan dipaparkan dalam bab selanjutnya. Bersumber pada Suradisastra (1997), beberapa lembaga organisasi tradisional yang memiliki kewenangan atau governan lokal dan kewenangan partisipatif antara lain adalah Kerapatan Adat Nagari atau KAN (etnis Minang), lembaga dewan adat Otini-tabenak (etnis Dani, Papua), dan Sambanim-pakasanim (Marind Anim, Papua). Struktur dan proses yang membentuk governan dilembagakan dalam sejenis kelompok pengurus yang dalam kasus Papua disebut dewan adat yang setara dengan status governing board dalam pandangan 281
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
modern. Karakteristik governan pada lembaga-lembaga ini dicerminkan oleh eksistensi struktur organisasi dan proses pengambilan keputusan partisipatif, kehadiran lembaga atau tokoh kepemimpinan, bertanggung jawab kepada anggota, dan memperhatikan aspek kemerataan. Dengan pola manajemen yang dilaksanakan secara konsisten, lembagalembaga ini mampu melakukan kontrol dan mengarahkan tujuan organisasi dengan manajemen ketangguhan yang berbeda. Governan dalam sistem sambanim dan pakasanim memiliki ketangguhan lemah karena pada saat ini kelembagaan tata pengaturan tanam tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Otini-tabenak sebagai lembaga governan etnis Dani juga semakin melemah perannya. Namun sebaliknya, lembaga KAN memiliki ketangguhan tinggi karena mampu bertahan dan berfungsi sampai saat ini. Lembaga subak di Bali mungkin merupakan contoh sebagai organisasi petani pengguna air di Indonesia yang memiliki sistem governan yang baik. Subak memiliki struktur kelembagaan yang sangat lentur sehingga mampu beradaptasi, berintegrasi dengan gagasan eksternal, dan berevolusi sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Subak mampu mengadaptasikan secara baik resiliensi sosial dan teknis subak kedalam berbagai kondisi. Subak menunjukkan pola interaksi dan partisipasi tinggi antara kerama (anggota) subak dengan governan (kelompok pengurus) serta mampu memfasilitasi dinamika struktur dan proses interaksi anggotanya. Suradisastra, Sejati, Supriyatna dan Hidayat (2002) memaparkan proses pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumber daya dan pemerataan pembagian hak atas air yang dilaksanakan melalui sangkepan. Dalam sangkepan tersebut kerama subak berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan dan tujuan subak sebagai suatu indigenous governance system. Temuan ini didukung penelitian lebih lanjut oleh Suradisastra, Tarigan dan Suryani (2009) di mana peran sangkepan sebagai ajang pertemuan governing board dengan shareholder subak menunjukkan dinamika tinggi dalam memanfaatkan dan mengembangkan ketangguhan sosial kerama subak dan sumber daya pendukung kelangsungan kegiatan usahatani subak.
Fungsi Kepemimpinan, Ekologi Kultural dan Partisipasi Kepemimpinan Salah satu masalah dalam upaya memberdayakan peran kepemimpinan adalah ketiadaan sikap dan tindakan penguatan fungsi kepemimpinan (leadership enforcement) dalam sistem sosial-ekologi tradisional. Sistem sosial-ekologi tradisional umumnya tidak memilih figur pemimpin atau membentuk lembaga kepemimpinan. Kepemimpinan tradisional bukan suatu posisi berdasarkan pemilihan formal (legal election), namun lebih berupa aklamasi psiko-sosial di mana masyarakat mengakui seseorang sebagai tokoh pemimpin karena menunjukkan hal-hal positif dalam sikap, tindakan, dedikasi dan tanggung jawabnya terhadap kelompok sosial dan ekosistem sekitarnya. Dalam sistem sosial yang lebih terstruktur, masyarakat memilih wakil-wakil atau tokoh yang dapat membawakan aspirasinya dalam sistem governan mereka. Masyarakat memiliki kontrol 282
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
terhadap struktur dan proses yang terjadi dalam sistem governan mereka. Masyarakat memiliki peluang untuk turut menentukan arah dan tujuan terkait upaya pengelolaan ketangguhan sosial dalam sistem mereka. Dalam sistem sosial-ekologi tradisional, masyarakat umumnya tidak atau kurang memiliki kontrol terhadap keputusan dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh tokoh atau lembaga kepemimpinan. Dengan demikian akan sulit bagi suatu sistem tradisional sosial dan ekologi untuk menerapkan manajemen yang baik dalam upaya membangun, mempertahankan dan mengembangkan ketangguhan sosial dan ekologi shareholder sistem tersebut. Dalam kondisi ini dibutuhkan sifat dan sikap kepemimpinan untuk menggerakkan masyarakat dalam upaya mempertajam dan mengevolusikan ketangguhan sosial dan ekologi setempat sesuai dengan ekologi kultural lingkungan tersebut. Para tokoh pemimpin lokal hendaknya mampu memahami dan menguasai peta kultural dalam sistem sosial di mana mereka berada. Teknik dan strategi pendekatan para pemimpin lokal juga sangat beragam dari pendekatan fisik dan keras (seperti kasus jawara di Banten) sampai kepada pendekatan feodalistik seperti masih terjadi di beberapa lokasi etnis di Indonesia. Secara ringkas, peran tokoh atau lembaga kepemimpinan adalah sebagai katalis yang dapat memberikan dampak signifikan dalam suatu proses perubahan.
Ekologi Kultural Keterikatan sosial dan hubungan sosial (social interplay) dalam suatu ekologi kultural memiliki pengaruh dalam memilih strategi peningkatan ketangguhan sosial dan ekologi masyarakat. Sistem sosial yang memiliki keterikatan sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan interaksi sosial. Masyarakat dalam suatu sistem dengan hubungan sosial yang relatif tinggi lebih mudah berkomunikasi dan karenanya lebih mudah pula menerima intervensi eksternal yang dapat membantu meningkatkan taraf hidup dan lingkungan ekosistemnya (Suradisastra, 2005). Sistem sosial dan ekologi yang dicirikan dengan pola demikian memiliki ketangguhan yang tinggi dan mampu berevolusi sesuai dengan perubahan struktur dan kebutuhan internalnya. Tokoh pemimpin dalam suatu sistem harus mampu memahami dan memanfaatkan tatanan sosial (social setting), atau sering disebut ekologi kultural, sebagai entry point untuk menyampaikan gagasan eksternal kedalam suatu sistem (Suradisastra, 2005) dan mencermati reaksi yang terjadi karena intervensi eksternal tersebut. Tokoh kepemimpinan harus mampu menduga fleksibilitas ketangguhan sosial dan ekosistem yang berada dibawah kontrolnya. Tokoh pemimpin atau lembaga penggerak komunitas terkait pembangunan ketangguhan sosial dan ekologi harus memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami penyebab kerusakan sistem sosial-ekologi komunitasnya. 2. Mengidentifikasi elemen-elemen yang hilang dari sistem sosial-ekologi tersebut. 3. Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mampu melakukan konsolidasi dan memulihkan kerusakan sistem tersebut (upaya recovery). 283
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
4. Mampu menduga implikasi hal-hal di atas terhadap kebijakan peningkatan ketangguhan sosial dan implementasinya. 5. Memahami sumbangan yang diberikan oleh konsep adaptasi terhadap keruntuhan, konsolidasi dan pemulihan sistem sosial. Agar mampu melaksanakan kelima tindakan tersebut, seorang tokoh pimpinan harus mampu melakukan pendekatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek-aspek sosial, ekologi, teknis dan ekonomi serta aspek politik. Dengan demikian diharapkan lembaga kepemimpinan dengan governan yang baik akan mampu menggerakkan dan melakukan konsolidasi dan mobilisasi komunal untuk menentukan arah dalam membangun ketangguhan sosial dan ekosistemnya.
Partisipasi Menerapkan konsep partisipasi dalam upaya meningkatkan ketangguhan sosial dan ekologi merupakan suatu tindakan penting. Partisipasi mampu membangun kepercayaan (trust) dan pemahaman persepsi (shared understanding) yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan mobilisasi komunal (self-mobilization) sebagai bentuk partisipasi tertinggi. Dalam hal ini peran kepemimpinan adalah menjamin agar rasa saling percaya dalam komunitasnya tetap terjaga. Begitu pentingnya tokoh atau lembaga kepemimpinan sehingga Gunderson, Carpenter, Folke, Olsson, dan Peterson (2006) mengemukakan bahwa lembaga kepemimpinan adalah minyak pelumas bagi terselenggaranya suatu jejaring kerjasama (network). Peran kunci lain bagi tokoh kepemimpinan adalah berupaya mengintegrasikan pemahaman sosial dan ekologi secara objektif.
Meningkatkan Ketangguhan Sosial dan Ekosistem Masyarakat atau sistem sosial adalah fokus pembinaan dalam upaya meningkatkan ketangguhan sosial dan ekosistem. Di sisi lain tindak kolektif atau komunal merupakan dasar untuk membangun perspektif manajemen sumber daya guna mengembangkan sikap antisipatif masyarakat terhadap kemungkinan perubahan iklim dan ekosistem (Tompkins dan Adger 2004). Dalam pemahaman sosiologis, suatu tindak kolektif dan komunal tidak dapat dipisahkan dari sikap dan tindak partisipatif individu dalam suatu sistem sosial. Akan tetapi masalah utama dalam melaksanakan suatu tindak kolektif adalah mengidentifikasi sikap dan tindak partisipatif yang sesuai dengan tujuan melakukan tindak komunal. Berbagai kegiatan dan upaya membangun ketanggguhan sosial dapat dilaksanakan antara lain dengan menerapkan strategi sebagai berikut: 1. Meningkatkan kegiatan social campaign dalam bentuk penyuluhan dan sosialisasi program pembangunan terkait pengelolaan sumber daya dan ekosistem secara berkelanjutan.
284
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
2. Mengembangkan jaringan kerja sama sistem sosial yang berada dalam lingkup ekologi kultural yang sama guna meningkatkan ketangguhan dan mengurangi kerentanan sosial dan ekosistem. 3. Walaupun saat ini dicanangkan bahwa degradasi lingkungan telah bersifat global dan karenanya tindakan global dibutuhkan, namun dampak dan masalah perubahan iklim, ekosistem dan lingkungan lebih bersifat lokal. Para perancang manajemen lingkungan dan ekosistem harus berfikir global, namun bertindak lokal (think globally, act locally). Dampak perubahan ekosistem yang sangat beragam harus ditangani secara spesifik di berbagai hierarki ekosistem dan administratif. 4. Upaya menghidupkan, memberdayakan dan merancang kelembagaan baru yang berorientasi ke arah tindakan kolektif masyarakat. Bentuk dan struktur kelembagaan harus disesuaikan dengan sifat (nature) kelompok sosial dan kondisi ekosistem serta keragaman sumber daya lokal. 5. Memulai kegiatan dalam kelompok-kelompok kecil yang memperhatikan kemerataan pencapaian kelompok dan mampu menggali alternatif substitusi keuntungan sosial (social benefit) dari kegiatan kolektif yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kelompok kecil lebih mudah dibentuk dan lebih mudah mencapai tujuan atau sukses. Pembagian keuntungan dan social benefit dalam kelompok kecil lebih mudah didistribusikan dan karenanya kelompok kecil lebih mampu menerapkan aspek kemerataan yang relatif tinggi. Lebih jauh lagi kegagalan tindak kolektif dalam kelompok kecil lebih mudah diantisipasi karena anggota kelompok lebih mudah dikelola dan diarahkan. Kelompok kecil juga lebih mampu menggali keuntungan selektif guna menutup kegagalan kolektif yang mungkin terjadi. 6. Guna meningkatkan sikap partisipatif masyarakat diperlukan pemahaman terhadap faktor-faktor sosial, budaya dan pengalaman kelembagaan anggota sistem sosial tertsebut. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena secara umum setiap kelemahan partisipasi selalu dikaitkan dengan kelemahan informasi dan pemahaman masyarakat terhadap informasi tersebut.
Kasus Perubahan Sosial dan Ekologi DAS Cimanuk Kondisi Umum DAS Cimanuk Sungai Cimanuk adalah salah satu sungai utama di Jawa Barat. Sungai Cimanuk berhulu di kaki Gunung Cikuray, desa Cikandang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Hulu Sungai Cimanuk terletak lebih kurang 35 km dari Kota Garut ke arah selatan. Sungai ini mengalir melalui wilayah Kabupaten dan Kota Garut, Kabupaten Sumedang, Majalengka, Jatibarang dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Indramayu. Air Sungai Cimanuk dimanfaatkan untuk irigasi teknis di wilayah yang dilewatinya, terutama di Kabupaten Indramayu sebagai salah satu kabupaten utama penghasil padi. Di Kabupaten Majalengka, air sungai Cimanuk dimanfaatkan untuk mengairi kebun tebu rakyat. 285
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Salah satu masalah yang berkaitan dengan Sungai Cimanuk dan daerah alirannya adalah kegiatan penambangan pasir dan batu (bahan galian-C). Di wilayah Garut, terutama sekitar kaki Gunung Guntur, Kecamatan Tarogong, kegiatan penggalian pasir dan batu telah berlangsung lama. Eksploitasi ekosistem dan penggundulan vegetasi sepanjang DAS Cimanuk di bagian hulu dan tengah telah mengakibatkan perubahan ekosistem yang parah sepanjang DAS tersebut. Harian Pikiran Rakyat tanggal 8 April 2010 melaporkan peristiwa runtuhnya kirmir pembatas badan sungai dan pemukiman di berbagai lokasi yang menyebabkan banjir dan kerusakan harta-benda. Peningkatan debit air Cimanuk di wilayah hulu mempengaruhi debit air di wilayah hilir. Harian Pos Kota (23 April 2010) mengabarkan kecemasan petani tambak udang dan bandeng di Indramayu. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung menilai bahwa meluasnya lahan kritis di kawasan hulu Sungai Cimanuk merupakan penyebab utama tidak terkontrolnya aliran sungai. Tekanan air dari sungai yang meluap mengikis dan merusak kirmir dan menyebabkan bencana. Pengakuan Bupati Garut bahwa “lahan kritis di kawasan hulu Sungai Cimanuk sudah berada dalam keadaan sangat mengkhawatirkan” (Harian Pikiran Rakyat, 8 April 2010) menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan cepat dan akurat guna mencegah berlanjutnya kerusakan dan terjadinya bencana alam. Berita di atas menyajikan contoh klasik kelemahan koordinasi dan persaingan kelembagaan (institutional competition). Persaingan ini melibatkan BBWS CimanukCisanggarung dengan BKSDA dan Dinas Kehutanan serta Pemkab Garut. Kesulitan dan keterbatasan anggaran terkait pelestarian DAS mempengaruhi sikap dan tanggung jawab kelembagaan yang terlibat, akan tetapi tidak pernah berkembang suatu upaya lintas kelembagaan yang secara bersama dan terkoordinir memusatkan tujuan dan sasaran pada interes dan masalah bersama (shared interest and problem) yang dihadapi ketiga kelembagaan tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa bukan hanya ketangguhan ekologi DAS Cimanuk yang telah dan dapat berubah karena kerusakan ekosistem, namun juga ketangguhan sosial dan kelembagaan turut terpengaruh. Kerusakan ekosistem DAS Cimanuk terutama disebabkan oleh tindakan manusia yang berinteraksi dengan kondisi ekosistem DAS Cimanuk. Kegiatan penambangan bahan galian kelas-C, ekspansi dan ekstensifikasi usaha perkebunan dan pertanian melalui pembukaan dan konversi lahan hutan menyebabkan penurunan ketangguhan sosial-ekologi DAS yang diindikasikan antara lain oleh menurunnya tingkat kesuburan lahan, peralihan pola tanam dan komoditas yanjg diusahakan, peningkatan migrasi dan perubahan lapangan pekerjaan serta perubahan kelembagaan lokal. Produktivitas dan produksi komoditas tanaman pangan dan perkebunan semakin tergantung pada pemberian input eksternal, terutama pupuk anorganik dan pestisida. Sistem sosial dan kelembagaan yang berurusan dengan pengelolaan dan pemanfaatan air dan lahan sepanjang DAS Cimanuk lenyap atau semakin melemah perannya. Salah satu contoh adalah menghilangnya lembaga tradisional petani pengguna air (mayorat dan ulu-ulu) pada kelompok-kelompok sosial sepanjang DAS Cimanuk. 286
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Perubahan ketangguhan sistem sosial kelembagaan dan ekologi sepanjang DAS Cimanuk merupakan resultan interaksi tindakan manusia dengan ekosistem DAS setempat. Perubahan ekosistem DAS karena ulah manusia telah mengubah kemerataan akses terhadap sumber daya air dari sungai Cimanuk. Introduksi teknologi yang meningkatkan produktivitas telah mengubah sistem sosial dan kondisi ekologi di tingkat pedesaan. Usahatani tanaman pangan yang semula menerapkan pola tanam padi-padi-ikan atau padi-padi-palawija telah berubah menjadi pola padi-palawija-bera sebagai dampak berubahnya akses terhadap air. Introduksi varietas padi unggul telah meningkatkan produksi padi, namun membutuhkan input pupuk, pestisida dan teknik pengolahan lahan yang mengubah ketangguhan sosial dan ekologi setempat. Penggunaan pestisida telah mengubah keseimbangan ekologi dan menyingkirkan predator alam dan introduksi sabit telah melenyapkan ani-ani. Perubahan sistem sosial dan ekologi kini ditandai dengan meluasnya hama pengganggu tanaman seperti tikus dan meningkatnya migrasi penduduk desa guna memperoleh pekerjaan yang layak. Penggundulan hutan dan vegetasi serta pengrusakan kualitas air sungai karena kegiatan penambangan bahan galian-C (batu kali dan pasir sungai) telah mengubah kondisi aliran Sungai Cimanuk menjadi sulit dikendalikan dan debit air yang sulit diramalkan.
Wilayah Hulu Bagian hulu Sungai Cimanuk yang diamati berjarak sekitar 5-7 km ke mata air Sungai Cimanuk di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut. Ketinggian lokasi pengamatan diperkirakan sekitar 1.200 meter, beriklim basah. Lebar sungai di lokasi ini sekitar 1-3 meter dengan kedalaman sekitar 25 cm. Pada musim hujan, lebar sungai dapat mencapai 10 meter dengan kedalaman 6-10 kali lipat dari kondisi pada musim kemarau. Debit air pada musim kemarau terukur sebesar 88,2 liter/detik. Kualitas air baik dan jernih, namun pada musim penghujan diperkirakan menurun sebagai dampak pencucian insektisida yang digunakan di areal pertanian sekitarnya. Penunjuk arah:
Barat daya
Timur laut
Garis transek:
Topografi:
Berbukit, curam
Bergelombang
Relatif datar
Bergelombang
Pemanfaatan:
Hutan lindung
Perladangan
Penambangan
pemukiman
Usaha produktif: Kayu, usahatani
Usahatani
Galian-C
Usahatani
Masalah ekologi Erosi angin
Erosi air, banjir
Erosi air, banjir
Erosi angin
Antisipasi:
Penghijauan
Usahatani berwawasan
Keterpaduan kebijakan
Usahatani berwawasan
Masalah sosialekonomi:
Tenaga kerja, kelembagaan produksi dan ekonomi.
Antisipasi:
Pemberdayaan, adaptasi dan transformasi lembaga sosial dan ekonomi.
Gambar 1. Transek DAS Cimanuk Hulu: Desa Cikandang 287
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang, merupakan wilayah pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Kentang, tomat, cabai, jagung dan kubis ditanam di bagian kiri dan kanan sungai Cimanuk. Tanaman tahunan yang ditanam di batas kepemilikan lahan antara lain adalah kayu Afrika (Meisopsis eminii), eukaliptus (Eucalyptus sp.), suren (Toona sureni), dan waru (Hibiscus sp.). Teknik konservasi tanah dan air belum dilaksanakan dengan baik. Semakin ke hilir, yaitu di Kecamatan Cisurupan (lokasi Desa Tambak Baya) dan Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, jejak aliran Sungai Cimanuk menunjukkan tanda berubah-ubah dan ciri-ciri tebing sering longsor. Perubahan tersebut terjadi karena penggerusan tebing oleh arus sungai yang berkelok-kelok dengan kekuatan relatif besar. Kondisi batas sungai di bagian kiri dan kanan yang sama menunjukkan proses penggerusan yang beralih-alih antara kedua sisi sungai; artinya bila penggerusan di satu sisi berkurang, maka di sisi lainnya akan terjadi pertambahan. Di kedua desa tersebut, air Sungai Cimanuk mengalir di lembah-lembah dan tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Sistem usahatani dan pola tanam serta komoditas yang dikembangkan di kedua lokasi tersebut tidak berkaitan dengan ketersediaan dan suplai air Sungai Cimanuk. Kegiatan usahatani di Desa Tambak Baya ditopang oleh ketersediaan air dari Danau Parabon. Kebutuhan air untuk kegiatan usahatani di Desa Cinunuk dipenuhi dari Danau Sadang. Perkembangan dan pola kegiatan usahatani merupakan resultan interaksi lingkungan sosial dan biofisik kedua desa tersebut. Kegiatan produktif yang dilakukan diarahkan pada kebutuhan konsumsi keluarga (survival) tuntutan pasar (komersial). Di kedua desa tersebut, padi ditanam untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Guna memperoleh uang tunai, petani mengusahakan palawija, pepaya dan tanaman hortikultura lainnya. Kelembagaan petani yang berkaitan dengan pemanfaatan air irigasi adalah kelompok tani tingkat desa. Jenis dan luasan komoditas pertanian yang diusahakan merupakan pilihan petani. Sistem sosial dan ekologi tradisional di DAS Cimanuk Hulu antara lain adalah lembaga ulu-ulu dan panen komunal yang disebut sambatan. Kedua kelembagaan ini merupakan lembaga organisasi khas etnis Sunda (Suradisastra 1997). Lembaga ulu-ulu telah digantikan oleh lembaga organisasi petani pengguna air yang kini diintegrasikan ke dalam kelompokkelompok tani yang dibina pemerintah. Sambatan digantikan oleh panen sistem tebasan dengan upah tunai. Kegiatan berladang dengan sistem tebang-bakar yang masih dilakukan sampai dekade tahun 1960-an di wilayah berbukit DAS Cimanuk Hulu digantikan oleh kegiatan usaha tanaman perkebunan. Sebagian lahan hutan yang ditebang digantikan oleh tanaman perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seperti akar wangi, cengkeh, kakao, vanili, teh, tembakau mole dan sebagainya. Komoditas lain yang diusahakan kelapa oleh perkebunan besar (swasta dan BUMN) antara lain adalah adalah teh, karet dan sawit (Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2008). Konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan pertanian menggambarkan ketangguhan
288
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
ekologi yang lemah karena lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan sangat menggantungkan diri pada input eksternal (pupuk, pestisida, benih, tenaga kerja dan teknologi lain) agar tetap mampu berproduksi secara layak. Perubahan sistem sosial-ekologi yang terjadi karena introduksi sistem kelembagaan baru mengisyaratkan bahwa sistem sosial-ekologi DAS Cimanuk tidak memiliki ketangguhan tinggi. Proses perubahan kelembagaan dan ekosistem yang disebabkan oleh introduksi faktor-faktor eksternal (misalnya struktur kelembagaan dan teknologi) umumnya tidak terjadi secara gradual, namun lebih bersifat transformatif. Introduksi faktor eksternal yang dilakukan secara top-down umumnya mengubah sistem dan struktur sosial-ekosistem secara total. Hubungan tanaman hutan yang berkembang secara alami dengan tanaman perkebunan yang dikembangkan oleh manusia dalam teori yang dikembangkan Purves, Orians dan Heller (2008) disebut interaksi predatori. Interaksi predatori adalah hubungan interaktif di mana satu pihak berperan sebagai pemangsa (predator) dan pihak lain bersifat sebagai mangsa (prey). Interaksi predatori di DAS Cimanuk bagian hulu antara lain ditunjukkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Dalam kaitan dengan teori ini, manusia (sistem sosial) dan tanaman perkebunan (teknologi) merupakan predator terhadap tanaman hutan yang diatur alam. Setiap perluasan lahan perkebunan di DAS Cimanuk Hulu mengakibatkan penurunan luas lahan hutan. Ekosistem hutan di wilayah DAS Cimanuk Hulu tidak mampu bertahan terhadap intervensi eksternal yang dikendalikan dengan teknologi serta terjadi dalam kurun waktu relatif singkat.
Wilayah Tengah Lokasi pengamatan wilayah tengah DAS Cimanuk di Kabupaten Sumedang adalah Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka. Desa ini memanfaatkan air Sungai Cipeles (anak sungai Cimanuk) dan mata air dari Gunung Tampomas untuk keperluan pertanian dan rumah tangga. Air dari mata air di Gunung Tampomas mengalir ke Sungai Ciburial di desa Liani, bermuara di Sungai Cibeureum yang mengalir ke Sungai Cipeles dan selanjutnya bermuara di Sungai Cimanuk. Desa ini termasuk desa makmur dengan kegiatan utama usahatani padi di areal sawah sekitar 60 hektar. Intensitas penanaman padi mencapai 300 persen dan di sebagian lokasi dikembangkan palawija (terutama cabai) yang ditanam dalam waktu bersamaan dengan tanaman padi (multiple cropping).
289
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Penunjuk arah:
Selatan
Utara
Garis transek:
Topografi:
Datar dan bergelombang.
Pemanfaatan:
Pemukiman dan lahan usahatani.
Kegiatan usaha:
Pertanian, perikanan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Masalah umum:
Akses terhadap sumber daya air, penambangan galian-C, tumpang tindih program pertanian.
Gambar 2. Transek DAS Cimanuk Tengah: Desa Cibeureum Tekanan penduduk dan penyempitan penguasaan lahan mengakibatkan menurunnya pembagian jatah air untuk keperluan pertanian. Saluran air banyak yang sudah tua dan bocor sehingga pembagian air tidak merata dan lebih sulit diperoleh dari sebelumnya. Selain itu kegiatan penambangan bahan galian-C di kaki Gunung Tampomas (di bagian hulu) menyebabkan menurunnya permukaan air tanah. Upaya reklamasi yang dilakukan selalu bertentangan dengan kebijakan dinas terkait usaha pertambangan galian-C. Lahan yang direklamasi dan ditanami kembali digali ulang dengan seizin dinas terkait. Kondisi ini menggambarkan ketiadaan koordinasi antara lembaga teknis yang beroperasi di wilayah Kabupaten Sumedang. Kebijakan kelembagaan yang saling bertentangan secara kasat mata selain mencerminkan persaingan kewenangan, juga menunjukkan pertentangan interest terhadap kondisi lahan yang bersangkutan. Penggalian pasir di bagian hulu areal persawahan selain mempengaruhi debit air ke areal usahatani, juga mengubah ekosistem di bagian hilir mata air tersebut. Perubahan ekosistem tersebut diikuti dengan perubahan perilaku usahatani; petani yang semula menanam padi berallih ke komoditas palawija dan hortikultura sayuran. Sebagian petani memilah lahannya menjadi dua atau beberapa petak dan menanaminya dengan padi, palawija dan/atau sayuran dalam waktu bersamaan. Dengan cara ini penghasilan mereka lebih baik dari sebelumnya karena palawija (terutama cabai) memiliki pasar yang baik dan harga tinggi. Perubahan ekosistem tersebut juga memberikan dampak pada wawasan lembaga Kelompok Tani Mandiri di Desa Cibeureum. Selain melaksanakan berbagai program pembangunan pertanian dari pemerintah, kelompok tani yang beranggotakan 163 orang ini mengembangkan pola pengelolaan organisasi yang sesuai dengan perubahan ekosistem 290
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
dan pola tanam. Secara fungsional terjadi perkembangan dan peningkatan kegiatan alih informasi antaranggota Kelompok Tani Mandiri dan dengan kelompok tani lain dari luar desa. Tokoh-tokoh petani yang telah berhasil dalam mengubah pola tanam dan komoditas berperan sebagai sumber informasi dan pembimbing bagi rekan-rekan anggota Kelompok Tani Mandiri dan petani bukan anggota kelompok. Kondisi ini mencerminkan proses transformasi peran kelembagaan kelompok tani dalam konteks lokal. Penggalian pasir di sekitar mata air berdampak negatif terhadap muka air tanah di lokasi penggalian. Muka air tanah (water table) semakin menurun dan menyulitkan upaya pemanfaatan air guna memenuhi kebutuhan usahatani. Lebih jauh lagi, lahan berpasir semakin rentan terhadap erosi air dan hujan. Longsor dan pendangkalan menyebabkan peningkatan lebar sungai karena jumlah air yang mengalir di lokasi tersebut tetap. Arus yang relatif deras dan kedalaman sungai yang rendah sering menyebabkan perpindahan aliran. Upaya mengurangi dampak banjir dilakukan dengan menggunakan bronjong batu di bagian sungai yang sensitif terhadap terpaan air. Penanaman tanaman keras untuk menahan banjir tidak dilakukan karena memerlukan waktu lama. Akan tetapi Perum Perhutani berupaya mengembangkan tanaman jati di sekitar sungai Cimanuk di wilayah Cimalaka. Kegiatan penanaman diupahkan kepada masyarakat setempat dan masyarakat diberi hak untuk menanam palawija di areal tanam sampai kanopi tanaman menghalangi penyinaran matahari. Kegiatan penanaman palawija umumnya berlangsung sampai 2-3 tahun karena dalam umur tersebut, kanopi tanaman jati sudah menaungi lahan dibawahnya. Petani menghentikan kegiatan tumpangsari ketika kegiatan penanaman sudah tidak menguntungkan. Biaya pengairan lahan tanaman dengan pompa berkisar sekitar Rp 4.000/bata (14 m2). Untuk setiap hektar lahan usaha diperlukan biaya Rp 2.800.000 setiap musim. Masyarakat yang berpartisipasi dalam upaya penanaman jati diizinkan membuka kios dagangan di jalan raya tepi sungai Cimanuk dengan uang sewa Rp. 1.000/hari.
291
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Penunjuk arah:
Utara
Selatan
Garis transek:
Topografi:
Curam - landai
Datar
Landai
Landai
Pemanfaatan:
Lahan Perhutani
Badan jalan
Lahan usaha
Lahan pertanian
Kegiatan usaha: Tumpangsari
Transportasi
Petty trading
Usahatani
Masalah ekologi: Erosi, kerusakan ekosistem
Kerusakan ekosistem
Polusi sampah
Erosi air, kesuburan lahan
Antisipasi:
Penghijauan berwawasan
Keterpaduan kebijakan
Social campaign, enforcement
Usahatani berwawasan
Masalah sosialekonomi:
Akses tidak merata
Conflict of interest lintas sektor
Konflik sosial dan ekonomi
Persaingan kegiatan
Antisipasi:
Penataan kebijakan
Keterpaduan kebijakan
Social campaign lintas sektor
Penyuluhan pertanian
Gambar 3. Transek DAS Cimanuk Tengah: Cimalaka. Kebijakan Perum Perhutani dalam melibatkan masyarakat dalam program penanaman kayu jati dengan imbalan izin membuka kios makanan kecil terhadap petani mempengaruhi sikap dan wawasan petani setempat. Kebijakan ini menumbuhkan tindakan diversifikasi kegiatan di kalangan kelompok petani penggarap lahan Perhutani. Bentuk diversifikasi usaha ditunjukkan dengan perkembangan kegiatan dari kegiatan eksklusif pertanian ke kegiatan ganda berupa kegiatan usahatani, perdagangan dan jasa kecil-kecilan (petty trading). Perubahan kegiatan ini mendorong berkembangnya lembaga kelompok petani penggarap lahan Perum Perhutani menjadi kelompok penggarap dan pedagang kecil Cimalaka. Kegiatan petty trading berkembang di lingkungan sosial masyarakat petani sepanjang jalan raya Cimalaka sampai perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Frekuensi lalu-lintas yang tinggi dan lokasi jalan yang strategis membuka peluang membuka kios-kios jajanan untuk melayani para pelancong dan penumpang kendaraan umum yang melalui kawasan tersebut. Kelompok petani yang semula hanya berurusan dengan kegiatan penanaman palawija di lahan Perum Perhutani, kini berkembang menjadi kelompok pengusaha kios jajanan. Kedua kasus kecil di atas menunjukkan bahwa sistem sosial kemasyarakatan di kedua lokasi tersebut memiliki daya lenting sosial yang lentur sehingga mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan kebutuhan anggotanya. Kasus Desa Cibeureum menggambarkan perkembangan kelembagaan sosial-ekologi dalam bentuk pengembangan intensitas komunikasi yang disebabkan oleh penerapan strategi diversifikasi kegiatan 292
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
usahatani. Di sisi lain, kasus perubahan sistem sosial sepanjang jalan raya Cimalaka mencerminkan proses transformasi struktur kelembagaan dari struktur eksklusif pertanian menjadi struktur pertanian dan perdagangan. Kedua perubahan tersebut berkaitan erat dengan ekosistem lingkungan sistem sosial yang berbeda. Proses transformasi kelembagaan dalam sistem sosial dan ekologi DAS Cimanuk Hulu mencerminkan ketangguhan sosialekologi yang relatif tinggi. Lembaga organisasi petani tidak sepenuhnya digantikan atau didominasi oleh kelembagaan baru, namun berangsur-angsur berintegrasi dengan kelembagaan introduksi atau mengembangkan cakupan kegiatannya menjadi kelompok petani multisektor (sektor pertanian dan perdagangan).
Kesimpulan dan Saran 1. Pola penggunaan lahan sepanjang DAS Cimanuk bagian hulu dan tengah belum diterapkan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena petani belum mengetahui pola usahatani dan pola tanam yang sesuai yang memberikan pendapatan memadai dan tidak menganggu lingkungan. 2. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan lahan yang tersedia untuk areal pertanian berkurang. Kondisi ini mengakibatkan konversi areal kawasan hutan menjadi areal pertanian, atau areal yang tersedia diolah secara lebih intensif (overutilized) dan kurang memperhatikan prinsip konservasi tanah dan air sehingga kualitas tanah semakin menurun. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah mengembangkan kegiatan usahatani yang tidak memerlukan lahan yang luas (tembakau, cabai dan palawija berharga tinggi), kegiatan non pertanian atau industri yang dikuasai penduduk seperti anyam menganyam (keranjang dan tikar) dan pengolahan hasil pertanian yang telah dilaksanakan di Kabupaten Garut (dodol kerajinan kulit dan kerupuk kulit) dan Sumedang (industri tahu dan kerajinan). 3. Kerusakan lahan dan hutan sepanjang DAS Cimanuk antara lain disebabkan oleh kegiatan usahatani yang tidak atau kurang memperhatikan asas konservasi dan usahatani berkelanjutan. Selain itu, kegiatan penambangan bahan galian-C (batu kali dan pasir sungai) turut memberikan dampak negatif terhadap ekosistem DAS Cimanuk. Penambangan bahan galian-C yang terus berlanjut akan mengubah ekosistem DAS Cimanuk dan kegiatan produktif sistem sosial di bagian hilir. 4. Bimbingan dari pemerintah dalam penetapan pola tanam dan teknik konservasi tanah yang dapat meningkatkan pendapatan para petani belum dilaksanakan secara baik dan konsisten. 5. Penghargaan (reward) kepada pemangku kepentingan yang melaksanakan kegiatan konservasi tanah dan air yang baik belum tersedia. Sebaliknya, sanksi (punishment) kepada pemangku kepentingan yang tidak mengikuti aturan pengolahan lahan yang semestinya juga belum dilaksanakan secara tegas dan konsisten. 293
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
6. Perhitungan dan pertimbangan untung-rugi kegiatan penanaman tanaman tahunan di lahan kosong (rehabilitasi) perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Cara pemeliharaan dan pemasaran pada waktu panen juga harus disosialisasikan agar para petani dapat memahami strategi pengusahaan komoditas yang dikelolanya. 7. Dampak positif dan negatif kegiatan penambangan yang sudah melalui AMDAL seharusnya dibandingkan dengan kegiatan lain. Pertimbangan untuk mendapatkan PAD secara cepat harus mampu mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi. 8. Rencana Pembangunan Tata Ruang perlu dievaluasi ulang dan pelaksanaannya harus mengikuti peraturan yang berlaku serta ditegaskan dengan tindak pengawasan yang dilaksanakan secara konsisten.
Daftar Pustaka Chambers, R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion Paper 311. IDS, Brighton. Conway, G.R. 1981. Agroecosystems Analysis for Research and Development. Winrock International. Bangkok, Thailand. ______. 1987. The Properties of Agroecosystems. Agric Systems 24, 95-117. Folke, C., S.R. Carpenter, B.H. Walker, M. Scheffer, T. Elmqvist, L.H Gunderson and C.S. Holling. 2004. Regime Shifts, Resilience and Biodiversity in Ecosystem Management. Annual Review of Ecology and Systematics. 35:557-581. Gunderson, L.H., S.R. Carpenter, C. Folke, Per Olsson, and G. Peterson. 2006. Water RATs (Resilience, Adaptability and Transformability) in Lake and Wetland Social Ecological Systems. Ecology and Society 11(1):16. [online] URL: Ecology and Society. 11(1): 19. URL:http//www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art6/ Gunderson, L.H. 2000. Ecological Resilience – in Theory and Application. Annual Review of Ecological Systems 2000. 31:425-439. arjournals.annualreviews.org. Gunderson, L.H. and L. Pritchard (eds.). 2002. Resilience and the Behaviors of Large-scale Ecosystems. Island Press. Washington D.C., USA. Harian Pikiran Rakyat. 2010. Kabupaten Garut Kewalahan. 8 April 2010. Harian Pos Kota. 2010. Debit Sungai Cimanuk Naik, Petani Cemas. 23 April 2010. Holling, C.S. 1973. Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of Ecological Systems 1973. 4:1-23. arjournals.annualreviews.org. ______. 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological and Social Systems. Ecosystems 4:390-405. 294
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Lebel, L, J.M. Anderies, B. Campbell, C. Folke, S. Hatfield-Dodds, T.P. Hughes, and J. Wilson. 2006. Governanve and the Capacity to Manage Resilience in Regional SocialEcological Systems. Ecology and Society. 11(1): 19. URL:http//www.ecologyandsociety. org/vol11/iss1/art19/ Purves, WK, GH Orians and HC Heller. 2008. Life: The Science of Biology. Sinauer, Sunderland MA. Sungai Cimanuk. (http://www.garutpedia.garutkab.co.id) Suradisastra, K, Endang Lestari Hastuti, Budi Wiryono, Gelar Satya Budhi dan Herlina Tarigan. 2009. Perumusan Model Kelembagaan Petani Untuk Revitalisasi Kegiatan Ekonomi Pedesaan. Kerja sama Pusat Analisis Sosial Eknomi dan Kebijakan Pertanian dengan Departemen Pendidikan Nasional. Suradisastra, K., Herlina Tarigan dan Erma Suryani, 2009. Indigenous Community Empowerment in Poverty Alleviation. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dan FAO-RAP Office. Internal Report. Suradisastra, K., W.K. Sejati, Y. Supriatna, dan D. Hidayat. 2002. Institutional Description of the Balinese Subak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 21 No.1, 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Suradisastra, Kedi. 1997. Alternatif Model Sistem Manajemen Sumber daya Lahan Gunung Halimun. Lokakarya Penyempurnaan Model Sistem Manajamen Sumber daya Lahan Gunung Halimun, UPT-INRIK Unpad, 20 Pebruari 1997. ________. 2005. Aplikasi Metode Komunikasi dan Edukasi dalam Diseminasi Inovasi Teknologi. Makalah disampaikan dalam Temu Tugas Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Agustus 2005. Tompkins, E.L. and W.N. Adger. 2004. Does Adaptive Management of Natural Resources Enhance Resilience to Climate Change? Ecology and Society 9(2): 10 [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art10/.
295