Memanfaatkan Dana Halal untuk Membiayai Pembangunan Infrastruktur di Indonesia 1 Oleh: Brahmantio Isdijoso2 dan Widodo Ramadyanto3
1. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan dana untuk pembangunan menjadi semakin besar. Bappenas mengindikasikan bahwa tidak kurang dari USD 150 miliar diperlukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur hingga tahun 2014. Untuk memenuhi tantangan pendanaan tersebut, Pemerintah telah membuka pintu keada pihak swasta untuk lebih terlibat. Salah satu pintu yang dibukakan adalah pintu kerjasama yang bernama Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau biasa juga disebut PPP (Public Private Partnerships). Namun, krisis keuangan global dan penurunan kegiatan perekonomian global telah mempengaruhi pasar keuangan internasional termasuk kegiatan untuk melakukan pendanaan. Ini berarti sumber penyediaan dana dari sektor swasta untuk pembiayaan infrastruktur juga menurun sehingga tantangan untuk mengembangkan kebijakan Kerjasama Pemerintah Swasta semakin besar. Oleh karena itu, sumber pendanaan infrastruktur dari swasta tersebut harus lebih diperluas dengan membuka lebih banyak saluran dan skema yang lebih menarik partisipasi sektor swasta. Salah satu saluran pendanaan tersebut adalah pendanaan yang berasal dari pasar keuangan syariah (Islamic Fund). Pasar ini relatif lebih aman dari pengaruh krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini disebabkan karena adanya kharakteristik khusus yang dimiliki sistem keuangan syariah yang dapat menghindari krisis. Kharakteristik umum tersebut menjaga jarak dengan transaksi 1
2 3
Artikel ini merupakan bagian dari laporan kajian Tim PPRF-BKF Kementerian Keuangan untuk Tahun 2011-2012. Judul Laporan Tim: Pengembangan Skema Islamic Finance (2011) dan Implemetasi Skema Islamic Finance pada Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Swasta (2012). Kepala Bidang Rekomendasi Pengelolaan Risiko FIskal. Penulis adalah Kepala Subbidang Risiko …. dan merangkap Peneliti Muda BKF
1
spekulatif dan tidak jelas. Beberapa hal dilarang dalam skema syariah yaitu tidak diperbolehkannya pengenaan bunga (riba), keterlibatan transaksi yang mengandung spekulasi (maysir) dalam setiap transaksi, serta adanya unsur ketidakpastian yang tinggi (gharar). Salah satu kelebihan pembiayaan syariah adalah pembiayaan dengan pendekatan asset-based or an asset-backed system, dimana setiap kontrak pembiayaan harus didasarkan pada aset riel atau inventori, sehingga menjadi alternatif untuk meminimalisasi dampak krisis keuangan. Dasar pemikiran dari aturan-aturan tersebut adalah bahwa keadilan dan kesetaraan seharusnya mencegah suatu pihak dalam sebuah transaksi untuk melakukan eksploitasi yang di luar batas sehingga mengorbankan pihak yang lain. Prinsip-prinsip dan karakteristik tersebut kemudian mendorong pada terciptanya instrumen-instrumen dan skema keuangan Islam seperti mudharaba (profit-loss-sharing), musharaka (joint venture), murabahah (cost-plus-sale) dan lain-lain. Skema pembiayaan syariah sangat tepat digunakan sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur, karena pada dasarnya infrastruktur adalah aset dan tidak mengandung aktivitivas yang dilarang oleh ketentuan syariah. Meskipun banyak tipe pembiayaan syariah, dalam konteks infrastruktur hanya ada beberapa instrumen keuangan Islam yang dapat digunakan antara lain murabaha, istisna, ijara, mudharabah, musyaraka, sukuk dan kafalah. Di samping itu, ketentuan syariah mengijinkan pembiayaan bersama (co-financing) antara pembiayaan syariah dengan pembiayaan konvensional dalam proyek infrastruktur tanpa harus berkompromi dalam prinsip-prinsip agama atau skemaq ribawi. Struktur co-financed, kombinasi pembiayaan Islamic dan Western sponsors pada proyek Equate Petrochemical telah berhasil diimplementasikan. Bagi Pemerintah, hal ini adalah sebuah tantangan untuk mengaitkan produk dan skema Keuangan Islam dengan kebijakan untuk meningkatkan keterlibatan pembiayaan dari sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur. Dari sisi praktis, ketersediaan dana yang berlimpah di pasar Keuangan Islam, termasuk di pusat-pusat pengelolaan dana tersebut, seperti di Timur Tengah, London, Hongkong dan Singapura, dan yang lebih utama di pasar keuangan domestik di dalam negeri seharusnya dicermati oleh Pemerintah untuk melakukan kajian tentang kaitannya dengan kebijakan KPS secara lebih mendalam.
2
2. Tinjauan Pustaka a. Akad-akad Syariah 1) Ijarah Akad ini biasa dikenal dengan sewa. Dewan Syariah Nasional (DSN) mendefinisikan Ijarah sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Kontrak Ijarah dapat dilakukan baik secara verbal maupun bentuk lain, sepanjang disepakati oleh pihak yang berkontrak. Pihak-pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa. Sedangkan obyek Ijarah adalah manfaat barang dan sewa; atau manfaat jasa dan upah. 1) 1. Ketentuan Obyek: a. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; b. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak; c. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan); d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah; e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa; f.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik;
g. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak; h. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. 1) 2. Kewajiban Pemberi Sewa/Pemberi Jasa dan Penyewa/Pengguna: a. Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa: 1) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan; 2) Menanggung biaya pemeliharaan barang; 3) Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan. b. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa: 1) Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak; 3
2) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil); 3) Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. 2) Al-ijarah Almuntahiyah Bi Al-tamlik atau Al-ijarah Wa Al-iqtina’ Al-ijarah almuntahiyah bi al-tamlik atau Al-ijarah wa al-iqtina’ atau biasa disebut IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa. Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan umum sebagai berikut: a. Semua ketentuan dalam akad Ijarah berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi alTamlik; b. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani; c. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad. Ketentuan : a. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai; b. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'ad, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai. 3) Istishna’, Akad ini diterapkan pada transaksi jual beli yang barangnya belum ada atau belum jadi. Barang yang diperjualbelikan harus dibuat,atau dibangun dulu sebelum dipindahkan kepemilikannya. Istishna’ merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’). 3) 1. Ketentuan Pembayaran: a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat; b. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan; c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. 4
3) 2. Ketentuan tentang Barang: 1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3. Penyerahannya dilakukan kemudian. 4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. 7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. 3) 3. Ketentuan Lain: 1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. 2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’. 3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 4) Musyarakah Berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000, musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketentuannya antara lain: 1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut: a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
5
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal. d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri. 4) 1. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) a) Modal a. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal b. berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. c. Para
pihak
tidak
boleh
meminjam,
meminjamkan,
menyumbangkan
atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. d. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, dapat diminta jaminan. b) Kerja a. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh b. melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. c. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. c) Keuntungan a. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. b. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
6
c. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. d. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. d) Kerugian Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masingmasing dalam modal. e) Biaya Operasional Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. 5) Mudharabah Fatwa tentang mudharabah ini diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000. Mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak; 5) 1. Rukun dan Syarat Pembiayaan: a) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum. b) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. c) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. d) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. 7
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. e) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan: 1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu. 2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. 3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 6) Kafalah Kafalah diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor: 11/DSN-MUI/IV/2000 dengan definisi jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). 6) 1. Ketentuan Umum Kafalah 1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). 2. Dalam
akad
kafalah, penjamin dapat
menerima imbalan (fee) sepanjang
tidak
memberatkan. 3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. 8
b. Larangan-larangan dalam Transaksi 1. Maysir Kata maysir biasanya diartikan sebagai perjudian. Ketentuan dasar Al Maysir adalah semua perbuatan yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi yang bersumber dari spekulasi (gharar) dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. Terminologi Ulama: “semua perbuatan yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif)”. Perbedaan dengan Gharar adalah, setiap Maysir adalah Gharar, tetapi tidak semua Gharar adalah Maysir, sebuah perbuatan yang ada Gharar-nya terkadang tidak ada unsur judinya. Maisir terbagi menjadi dua, yaitu: Maysir al Lahwu (yang tidak dilakukan dengan harta) dan Maysir Al Qimaar (saling mengalahkan dan spekulatif pada harta). Ditinjau dari sisi agama, haramnya Maisir dapat ditemui pada Al-Qur’an sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90) Dari ayat tersebut dapat dipetik alasan bahwa kegiatan tersebut mengandung unsur taruhan, menyerempet bahaya, bahkan dapat menjadi penyebab melalaikan dari mengingat ALLAH dan shalat. Adanya unsur taruhan inilah yang menyebabkan judi menjadi haram. Kebiasaan seperti itu sangat dikhawatirkan Nabi terjadi pada dirinya dan pada umatnya. Pernyataan itu dapat ditemukan dalam hadis beliau yang berbunyi: Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah SAW: 'Sesungguhnya yang aku takutkan terhadap umatku, seperti yang aku takutkan terhadap diriku, adalah (mengikuti) hawa dan panjang angan-angan. Karena hawa akan membelokkan dari kebenaran dan panjang angan-angan akan membuat lupa kepada akhirat. Padahal dunia ini hanyalah tempat (jalan) yang akan ditinggalkan dan akhirat adalah tempat yang akan didiami selamanya. Kedua tempat itu akan memiliki anak-anaknya (bani; keturunan). Jika kamu mampu untuk tidak menjadi bani dunia, lakukanlah. Karena kamu hari ini (di dunia) adalah perkampungan untuk beramal, tidak ada hisab. Sedang besok (di akhirat) kamu akan berada di kampung perhitungan, tidak ada amal di sana". (HR. al-Bayhâqiy). 9
2. Gharar Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (alkhathr), serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan. Adapun dalam terminologi syariat, pendapat para ulama dalam hal ini hampir sama, yaitu “Algharar adalah yang terselubung (tidak jelas) hasilnya (Majhul al-‘Aqibah)”. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa “jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya.” Kaidah ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, صلهى ه َنهَى رَ سُو ُل ه َّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم َعنْ َبي ِْع ا ْلحَ صَا ِة َو َعنْ َبي ِْع ا ْل َغرَ ِر َ َِّللا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli algharar.” (Hr. Muslim) Para ulama memberikan syarat bagi al-gharar yang terlarang: .
harar-nya besar dan dominan pada akad transaksi (
)
Dengan demikian, gharar yang sepele (sedikit) diperbolehkan dan tidak merusak keabsahan akad. Ini perkara yang telah disepakati para ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/155) dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (9/258). Para ulama memberikan contoh dengan masuk ke kamar mandi umum untuk mandi dengan membayar. Ini mengandung gharar, karena orang berbeda dalam penggunaan air dan lamanya tinggal di dalam. Demikian juga, persewaan (rental) mobil untuk sehari atau dua hari, karena orang berbeda-beda dalam penggunaannya dan cara pemakaiannya. Ini semua mengandung gharar, namun dimaafkan syariat, karena gharar-nya tidak besar. 2. Kebutuhan umum tidak membutuhkannya ( Kebutuhan umum (
)
) dapat disejajarkan dengan darurat.
Al-Juwaini rahimahullahu menyatakan, ضر ُْورَ َة اس َكا َف ًة َت ْن ِز ُل َم ْن ِزلَ َة ال ه ِ الحَ اجَ ُة فِيْ حَ ِّق ال هن “Kebutuhan pada hak manusia secara umum disejajarkan dengan darurat). Batasannya adalah semua hal yang seandainya tidak dilakukan orang, maka mereka akan merugi pada saat itu atau di kemudian hari.”
10
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, ُ ار ُع الَ ُيحَ ِّر ُم مَا َيحْ َتا .ك َ ِج ال هناسُ إِلَ ْي ِه مِنَ ا ْل َبي ِْع ألَجْ ِل َن ْو ٍع مِنَ ا ْل َغرَ ِر َب ْل يُبِ ْي ُح مَا َيحْ َتا ُج إِلَ ْي ِه ال هناسُ مِنْ َذل ِ َوال هش “Syariat tidak mengharamkan jual-beli yang dibutuhkan manusia hanya karena ada sejenis gharar. Bahkan, syariat memperbolehkan semua hal yang dibutuhkan manusia dari hal itu.” Kaidah yang disampaikan para ulama ini, harus terwujudkan kebutuhan tersebut secara pasti dan tidak ada solusi syar’i lainnya. Apabila kebutuhan ini telah menjadi kebutuhan umum, maka disejajarkan dengan darurat. Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi, ِّ صالَ ُحهَا َ َار حَ هتى َي ْب ُد َو َ أَنه ال هن ِبيه ِ صلهى َّللا ُ َع َل ْي ِه وَ َسله َم َنهَى َعنْ َبي ِْع الثم “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah.” (Muttafaqun ‘alaihi) Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kemudahan menjual buah dari pohon kurma setelah tampak menjadi buah, lalu dibiarkan hingga sempurna kematangannya, walaupun sebagiannya belum ada. Hal ini menunjukkan kebolehan gharar karena hajat umum . Dengan demikian diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa apabila telah tampak menjadi buah seperti berwarna merah pada al-busr (kurma muda) atau menguning, maka jual-belinya sah, padahal sebagian dari buah-buah tersebut belum ada. Ini jelas gharar. Meskipun demikian, syariat memperbolehkannya karena kebutuhan umum. 3. Mungkin menghindarinya tanpa susah payah Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (9/258) dan Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad (5/820) menukilkan adanya ijma’ bahwa gharar yang tidak mungkin dihindari, kecuali dengan susah payah, maka diperbolehkan. Para ulama mencontohkannya dengan pondasi rumah serta bangunan, dan isi kandungan hewan yang hamil. Seseorang membeli rumah dalam keadaan tidak mengetahui keadaan pondasi dan tiang-tiangnya, serta bagaimana proses finishing pembangunannya. Juga isi kandungan hewan yang hamil, apakah kandungannya jantan atau betina, berbilang atau hanya seekor, dan apakah hidup atau mati. Ini jelas gharar, namun diperbolehkan karena hal seperti ini tidak dapat diketahui jelas. Seandainya dipaksa mengetahuinya tentulah harus dengan sangat susah payah. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin
11
dipisahkan darinya seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Semua ini diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….” Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka keberadaan gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, isi perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian umum) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Karenanya, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.” 4. Gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah Inilah pendapat imam Malik rahimahullahu dan dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Adapun kewajiban larangan gharar pada akad tabarru’at seperti shadaqah, hibah, dan sejenisnya masih diperdebatkan dalam dua pendapat, setelah mereka (para ulama –ed) sepakat tentang tidak adanya larangan gharar pada al-washiyat. a. Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at, Inilah pendapat mazhab Malikiyah, serta dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim Mereka berdalil dengan hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi, صلهى ه ُ َف َقا َم رَ ُج ٌل فِي َي ِد ِه ُكب ٌهة مِنْ َشعْ ٍر َف َقا َل أَ َخ ْذ َّللا ُ َعلَ ْي ِه وَ َسله َم أَمها مَا َكانَ لِي َولِ َبنِي َ َّللا ِ ت َه ِذ ِه ِألُصْ لِ َح بِهَا َبرْ َذ َع ًة لِي َف َقا َل رَ سُو ُل ه َع ْب ِد ا ْلم ه ك ِ ُِطل َ َب َف ُهوَ ل “Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut (seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana kudaku’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun yang menjadi hakku dan bani Abdil Muthalib, maka itu untukmu.” (Hr. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/36–37)
12
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthallib dari benda tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut tidak berlaku pada akad tabarru’at. Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah sah”, baik dalam akad mu’awadhah ataupun tabaru’at. Asal hukum ini tidak berubah dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gharar dalam hadits Abu Hurairah terdahulu, karena itu menyangkut akad muawadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi, karena akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun untuk berbuat baik dan menolong orang lain. b. Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama. Namun yang rajih adalah pendapat yang pertama. Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang disampaikan ulama, di antaranya: Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah, seorang menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek dan bentuknya, atau memberi sesuatu yang ada di kantongnya. Ia berkata, “Saya hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas. Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan barang-barang yang hilang atau budak yang kabur. Dengan demikian jelas, bahwa permasalahan akad tabarru’at lebih luas dari permasalahan akad mu’awadhah. 5. Gharar terdapat pada asal, bukan sampingan (taabi’) Gharar yang ikut kepada asal adalah gharar yang dimaafkan, karena terdapat kaidah bahwa sesuatu itu diperbolehkan apabila terikutkan dengan sesuatu yang lain, sedangkan dia menjadi tidak boleh bila ia terpisahkan darinya (hanya berdiri sendiri). ) ًََْئ إِ َذا َكانَ َت ِابعًا مَاالَ ُي ْغ َت َف ُر إِ َذا َكانَ أَصال ٍ (ي ُْغ َت َف ُر فِيْ َشي Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, َمنْ ِا ْب َتاعَ َن ْخالً َبعْ َد أَنْ ُت َؤبهرَ َف َثمَرَ ُتهَا لِ ْلبَائ ِِع إِ هال أَنْ َي ْش َت ِر َط ا ْل ُم ْب َتا ُع َو َمنْ ا ْب َتاعَ َع ْب ًدا َولَ ُه مَا ٌل َفمَال ُ ُه لِلهذِي بَا َع ُه إ ِ هال أَنْ َي ْش َت ِر َط ا ْل ُم ْب َتا ُع 13
“Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya, dan barangsiapa yang membeli hamba (budak -ed) dan hamba (budak –ed) itu memiliki harta, maka hartanya milik pihak yang menjualnya, kecuali pembeli budak tersebut mensyaratkannya (mensyaratkan untuk juga memiliki harta si budak setelah dia membeli budak tersebut -ed).“ (Hr. al-Bukhari)
Dalam hadits ini pembeli diperbolehkan mengambil hasil talqih tersebut, apabila talqih tersebut ada setelah pembeli mensyaratkannya. Padahal, hasilnya (buahnya) belum ada atau belum dapat dipastikan keberadaannya. ِّ )ح َها ِ َصال َ َار َق ْبلَََ ُب ُد ِو ِ ( َب ْي ُع الثم Syekhul
Islam
Ibnu
Taimiyah
rahimahullahu
dalam
menjelaskan
dasar
kaidah
ini
menyatakan, “Nabi memperbolehkan bila seorang menjual pohon kurma yang telah dikawinkan (talqih) untuk pembeli yang mensyaratkan (untuk juga mengambil) buahnya. Sehingga, ia telah membeli buah sebelum waktu baiknya. Namun, itu diperbolehkan karena (buahnya) terikut, bukan asal. Sehingga jelaslah, gharar yang kecil diperbolehkan apabila terikutkan (dengan sesuatu yang lain), yang (ini tentu) tidak boleh bila selain dari keadaan ini.” Demikianlah beberapa kaidah dalam gharar yang dilarang syariat.
2.1. Aplikasi Kaidah Al-Gharar Di antara contoh muamalah yang memiliki gharar yang terlarang adalah: a. Jual-beli Al-Hashah Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam Shahih Muslim yang berbunyi, َعنْ أَ ِبيْ ُهرَ ْيرَ َة رَ ضِ يَ َّللا ُ َع ْن ُه أَنه ال هن ِبيه صَلىه َّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم َنهَى َعنْ َبي ِْع ا ْلحَ صَا ِة َو َعنْ َبي ِْع ا ْل َغرَ ِر Dari Abu Hurairah-–semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli gharar.” Para ulama memberikan contoh jual-beli ini: Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan, “Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi dan si penjual yang untung). 14
b. Jual-beli Mulamasah dan Munabadzah Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi, أن النبي صَلىه َّللا ُ َعلَ ْي ِه وَ َسله َم َنهَى َعنْ ا ْلم َُال َم َس ِة َوا ْل ُم َنا َب َذة “Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli mulamasah dan munabadzah.” Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang, maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu, bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi. Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini, lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” c. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, صلهى َّللا ُ َعلَ ْي ِه وَ َسله َم َنهَى َعنْ َبي ِْع حَ بَل الحَ بَلة َ أن النبي “Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.” Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak. Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.
15
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai). 4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak dikonsumsi ( ) Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi, ِّ َ صالَ ُحهَا َ َار حَ هتى َي ْب ُد َو ِ أنه ال هن ِبيه صَلىه َّللا ُ َعلَ ْي ِه وَ َسله َم َنهَى َعنْ َبي ِْع الثم “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun ‘alaihi) Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.
5. Ta’min (Asuransi) Asuransi adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha, perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali. Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena keberadaan syariat adalah untuk
16
menjaga harta manusia. Oleh karena itu, Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal 4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-qimar (perjudian).
Jenis-jenis Gharar Bila ditinjau pada terjadinya jual-beli, gharar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual-beli habal al-habalah (jual-beli tahunan), yakni menjual buah-buahan dalam transaksi selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli dengan sistem kontrak tahunan, yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi, صلهى ه َنهَى رَ سُو ُل ه َاو َم ُة َ َاو َم ِة وَ ا ْلم َُخابَرَ ِة َقا َل أَحَ ُد ُهمَا َب ْي ُع ال ِّسنِينَ هِيَ ا ْل ُمع َ َّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم َعنْ ا ْل ُمحَ ا َقلَ ِة َوا ْلم َُزا َب َن ِة َوا ْل ُمع َ َِّللا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli muhaqalah, muzabanah, mu’awamah, dan mukhabarah. Salah seorang dari keduanya menyatakan, ‘Jual-beli dengan sistem kontrak tahunan adalah mu’awamah.’ ” (Hr. Muslim) Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan, ِّ ََّللا ُ َعلَ ْي ِه وَ َسله َم َي َتبَا َي ُعون يه ْم َقا َل ا ْل ُم ْب َتا ُع إِ هن ُه أَصَابَ ه صلهى ه ُالثمَرَ ال ُّد َمان َ َّللا ِ ُول ه ِ َكانَ ال هناسُ فِي َع ْه ِد رَ س ِ ِالثمَارَ َفإِ َذا جَ هد ال هناسُ َوحَ ضَرَ َت َقاض صلهى ه َات َيحْ َتجُّ ونَ ِبهَا َف َقا َل رَ سُو ُل ه ٌ أَصَا َب ُه ُمرَ اضٌ أَصَا َب ُه قُ َشا ٌم عَاه ْ ََّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم لَ هما َك ُثر ك َفإِمها َال َف َال َت َتبَا َيعُوا َ ِت ِع ْن َدهُ ا ْل ُخصُو َم ُة فِي َذل َ َِّللا حَ هتى َي ْب ُد َو ص ََال ُح ه الثم َِر “Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan jual-beli buahbuahan. Kalau datang masa panen dan datang para pembeli yang telah membayar buahbuahan itu, para petani berkata, ‘Tanaman kami terkena diman , terkena penyakit, terkena qusyam , dan berbagai hama lain.’ Maka, ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila tidak, jangan kalian menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi (tampak kepantasannya). Demikianlah, dengan melarang jual-beli ini, Islam memutus kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula, Islam memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual-beli tersebut. 2. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul) - Mutlak, seperti pernyataan seseorang, “Saya jual barang ini dengan harga seribu rupiah”, padahal barangnya tidak diketahui secara jelas; atau 17
-
Jenisnya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobilku kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas; atau
-
Tidak jelas ukurannya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual kepadamu tanah seharga lima puluh juta,”namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Kesimpulannya, objek penjualan itu bisa jadi tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda.” Bisa juga, sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual seluruh isi rumah saya kepada Anda,” atau,“Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaan saya,” dan sejenisnya. Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,”atau, “Saya jual kepada Anda budak milik saya.”
3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan Seperti jual-beli budak yang kabur atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang, dan pada akad jual-belinya. Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi pada jumlahnya, seperti segenggam dinar. Sedangkan, ketidakjelasan pada barang– seperti dijelaskan di atas–dan ketidakjelasan pada akad, seperti menjual dengan harga sepuluh rupiah bila kontan dan dua puluh rupiah bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya. Seperti juga jual-beli unta yang sudah hilang, ikan yang ada dalam air, dan burung yang terbang di langit. Bentuk penjualan ini ada yang dipastikan haram dan ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan. Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jualbeli ma’dum, seperti habal al-habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidakjelasan–baik mutlak pada barangnya atau jenisnya atau sifatnya–.”
Gharar yang Diperbolehkan Menurut hukumnya, jual-beli yang mengandung unsur gharar ada tiga macam, yaitu:
18
1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum). 2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya (dari pondasi rumah tersebut) tidak diketahui. Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan tidak mungkin lepas darinya. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung–dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina, apakah lahir sempurna atau cacat–, termasuk juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Seluruh hal tersebut diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya: umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah. Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisahkan darinya, maka gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Dengan demikian, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak yang mungkin dapat dilepas darinya.” Dalam kitab lainnya, beliau menyatakan, “Terkadang sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat menuntutnya, seperti ketidaktahuan akan mutu pondasi rumah, serta membeli kambing hamil dan masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.” Dari sini dapat disimpulkan bahwa gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang sepele atau gharar-nya tidak sepele, namun jika gharar tersebut dilepaskan maka akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan kebolehan jual-beli yang mengandung gharar, apabila ada hajat untuk melanggar gharar dan jika gharar tersebut tidak dilakukan maka akan timbul kesulitan, atau gharar-nya sepele.
19
3. Yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua. Misalnya: menjual sesuatu yang diinginkan tetapi masih terpendam di dalam tanah (seperti: wortel, kacang tanah, bawang, dan lain-lainnya). Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun para ulama masih berbeda pendapat dalam menghukuminya. Perbedaan mereka ini terjadi karena sebagian dari mereka, di antaranya Imam Malik rahimahullahu, memandang bahwa gharar-nya sepele atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga ulama-ulama tersebut memperbolehkan gharar semacam ini. Adapun sebagian ulama yang lainnya, di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, memandang bahwa gharar-nya besar dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga para ulama ini mengharamkan gharar tersebut. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkan pendapat yang memperbolehkan gharar dalam hal ini. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahuh menyatakan, “Adapun Imam Malik, maka mazhabnya adalah mazhab terbaik dalam permasalahan ini. Menurut mazhab Imam Malik, hal-hal ini, semua hal yang dibutuhkan, atau hal-hal yang mengandung sedikit gharar, boleh diperjual-belikan… hingga (mazhab Imam Malik pun) memperbolehkan jual-beli benda-benda yang tidak tampak di permukaan tanah seperti wortel, lobak dan sebagainya.“+ Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, tidak memiliki dua perkara tersebut, karena gharar-nya sepele (kecil) dan tidak mungkin dilepas darinya.” Dengan demikian, jelaslah, tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Hal ini membuat kita harus lebih mengenal kembali pandangan para ulama seputar permasalahan ini, dengan memahami kaidah-kaidah dasar yang telah dijelaskan. Riba Firman Allah : “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39) Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu
ekonomi
masyarakat
yang
pada
gilirannya
akan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah 20
kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas. Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
d. Undang-undang Ketenagalistrikan; Undang-undang yang menjadi patokan hukum dalam pengusahaan ketenagalistrikan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Berdasarkan Pasal 1 undang-undang tersebut Ketenagalistrikan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. Sementara itu, Tenaga listrik merupakan suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat. Sedangkan Usaha penyediaan tenaga listrik yang diatur meliputi pengadaan tenaga listrik yaitu pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Beberapa ketentuan lain yang didefinisikan antara lain: a. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; b. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintah
negara
Republik
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan ketenagalistrikan. Pada sisi lain, terkait jual beli tenaga listrik, berdasarkan Pasal 33 diatur bahwa Pasal 33 Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat. Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. Pemegang izin usaha 21
penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik tanpa persetujuan Pemerintah atau pemerintah daerah. e. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk mengoperasionalkan Undang-undang nomor 30 tersebut, disusunlah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Beberapa hal yang lebih teknis diatur dalam PP ini. Berdasarkan Pasal 25, pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan tenaga listrik oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dengan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik lainnya harus dilakukan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik. Pembelian tenaga listrik tersebut wajib dilakukan melalui pelelangan umum. Namun, dalam hal pembelian tenaga listrik tersebut dilakukan dalam rangka diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik ke non-bahan bakar minyak, dapat dilakukan melalui pemilihan langsung. Pembelian tenaga listrik pun dapat dilakukan melalui penunjukan langsung, dengan syarat: a. pembelian tenaga listrik dilakukan dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, gas marjinal, batubara di mulut tambang, dan energi setempat lainnya; b. pembelian kelebihan tenaga listrik; c. sistem tenaga listrik setempat dalam kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik; dan/atau d. penambahan kapasitas pembangkitan pada pusat pembangkit tenaga listrik yang telah beroperasi di lokasi yang sama. Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik yang diberlakukan wajib mendapatkan persetujuan
Menteri,
gubernur,
atau bupati/walikota
sesuai
dengan kewenangannya.
Persetujuan harga jual tenaga listrik tersebut dapat berupa harga patokan. f.
Undang-undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi
Dalam memformulasikan kebijakan listrik sektor panas bumi, harus diperhatikan undangundang yang mengatur sektor tersebut. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Panas Bumi sendiri didefinisikan sebagai sumber
22
energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Hingga saat ini, Panas Bumi dimasukkan dalam rezim pertambangan. Oleh karena itu, untuk mengusahakan panas bumi, pengembang harus mempunyai Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi yang biasa disingkat dengan IUP. IUP diberikan dalam ruang lingkup Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi (Wilayah Kerja). Wilayah Kerja tersebut ditawarkan kepada Badan Usaha diumumkan secara terbuka oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Undang-undang ini membuka memberi restu kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan Survei Pendahuluan. Sementara itu, Pemerintah dapat menugasi pihak lain untuk melakukan Survei Pendahuluan. Pemerintah juga dapat melakukan eksplorasi. Ruang lingkup eksplorasi meliputi rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi Panas Bumi. g. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi Berdasarkan peraturan ini, Menteri merencanakan, menyiapkan dan menetapkan Wilayah Kerja berdasarkan pengkajian dan pengolahan data Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi. Data tersebut harus dibayar oleh pemenang lelang berdasarkan harga dasar data yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota. Sementara itu, Menteri dapat melakukan Eksplorasi dalam wilayah hukum pertambangan Panas Bumi Indonesia. Pelaksanaan Eksplorasi tersebut dilakukan secara terkoordinasi dengan gubernur atau bupati/walikota yang bersangkutan. Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan Usaha dengan cara lelang. Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pemenang lelang Wilayah Kerja berdasarkan penawaran harga uap atau tenaga listrik terendah 23
h. Perpres Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Peraturan presiden pertama yag mengatur skema Public Private Partnership (PPP) adalah Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005 tentang tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Berdasarkan Perpres ini, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat bekerjasama dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah tersebut kemudian bertindak selaku penanggung jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Sebagai PJPK, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah melakukan identifikasi proyek-proyek Penyediaan Infrastruktur yang akan dikerjasamakan dengan Badan Usaha, dengan mempertimbangkan paling kurang: a. kesesuaian dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional/ daerah dan rencana strategis sektor infrastruktur; b. kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; c. keterkaitan antarsektor infrastruktur dan antar wilayah; d. analisa biaya dan manfaat sosial. Sementara itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan proyek, maka setiap usulan proyek yang akan dikerjasamakan harus disertai dengan: a. pra studi kelayakan; b. rencana bentuk kerjasama; c. rencana pembiayaan proyek dan sumber dananya; dan d. rencana penawaran kerjasama yang mencakup jadwal, proses dan cara penilaian. Terkait pengelolaan risiko, risiko dikelola berdasarkan prinsip alokasi risiko antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan Badan Usaha secara memadai dengan mengalokasikan resiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan resiko dalam rangka menjamin efisiensi dan efektifitas dalam Penyediaan Infrastruktur. Pada sisi lain, Perjanjian Kerjasama paling kurang memuat ketentuan mengenai: a. lingkup pekerjaan; b. jangka waktu; c. jaminan pelaksanaan; d. tarif dan mekanisme penyesuaiannya; 24
e. hak dan kewajiban, termasuk alokasi resiko; f.
standar kinerja pelayanan;
g. larangan pengalihan Perjanjian Kerjasama atau penyertaan saham pada Badan Usaha pemegang Perjanjian Kerjasama sebelum Penyediaan Infrastruktur beroperasi secara komersial; h. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian; i.
pemutusan atau pengakhiran perjanjian;
j.
laporan keuangan Badan Usaha dalam rangka pelaksanaan perjanjian, yang diperiksa secara tahunan oleh auditor independen, dan pengumumannya dalam media cetak yang berskala nasional;
k. mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur secara berjenjang, yaitu musyawarah mufakat, mediasi, dan arbitrase/ pengadilan; l.
mekanisme pengawasan Kinerja Badan Usaha dalam pelaksanaan perjanjian;
m. pengembalian
infrastruktur
dan/
atau
pengelolaannya
kepada
Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah; n. keadaan memaksa; o. hukum yang berlaku, yaitu hukum Indonesia. Pengadaan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dilakukan melalui lelang izin (auction). Menteri/Ketua Lembaga/Kepala Daerah membentuk Panitia Pengadaan yang akan melaksanakan pelelangan. Panitia pelelangan tersebut terdiri atas unsur-unsur yang memahami: Anggota Panitia Pengadaan terdiri dari unsur-unsur yang memahami: a. tata cara pengadaan; b. substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan; c. hukum perjanjian; d. aspek teknis; e. aspek keuangan. Hal lain yang ditegaskan dalam perpres ini adalah terkait Harga Perhitungan Sendiri (HPS). HPS harus ditetapkan dengan cermat. Pada tahun 2010, dilakukan perubahan pertama terhadap Perpres 67 tahun 2005. Perubahan tersebut diatur dalam Perpres nomor 13 tahun 2010. Salah satu perubahan dalam perpres 25
tersebut adalah kemungkinan BUMN atau BUMD menjadi PJPK. Dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa: “Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai sektor infrastruktur yang bersangkutan menyatakan bahwa Penyediaan Infrastruktur oleh Pmerintah diselenggarakan atau dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, maka Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah tersebut bertindak selaku penanggung jawab Proyek Kerjasama.” Sementara itu, jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha juga diperjelas menjadi mencakup: a. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian; b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; d. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; e. infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; f.
infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government;
g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; dan h. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi. Perubahan terakhir atas Perpres 67 tahun 2005 dilakukan pada tahun 2011 seiring dengan penerbitan Perpres 56 tahun 2011. Dalam Perpres ini, dipertegas dukungan yang dapat diberikan terhadap Proyek Kerjasama. Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat memberikan Dukungan Pemerintah terhadap Proyek Kerjasama sesuai dengan lingkup kegiatan Proyek Kerjasama. Dukungan Pemerintah dapat berupa kontribusi fiskal. Kontribusi ini harus tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan apabila Dukungan Pemerintah diberikan dalam bentuk perizinan, pengadaan tanah, dukungan sebagian konstruksi, dan/ atau bentuk lainnya sesuai dengan 26
peraturan perundang-undangan yang berlaku maka harus ditetapkan ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Terkait insentif fiskal Pihak yang berwenang memutuskan adalah menteri Keuangan. Berdasarkan usulan
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah,
Menteri Keuangan dapat
menyetujui pemberian Dukungan Pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan dan/ atau kontribusi fiskal dalam bentuk financial. Dukungan Pemerintah tersebut harus dicantumkan dalam dokumen pelelangan umum. Hal lain yang diatur dalam perubahan perpres ini adalah pengadaan tanah. Pengadaan tanah dalam Proyek Kerjasama dilaksanakan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebelum pemasukan dokumen penawaran. Dalam hal Proyek Kerjasama layak secara finansial, Badan Usaha pemenang lelang dapat membayar kembali biaya pengadaan tanah yang telah dilaksanakan. Biaya yang timbul dalam penyiapan Proyek Kerjasama serta perencanaan dan pelaksanaan pengadaan dapat dibebankan kepada pemenang lelang. Biaya yang timbul tersebut meliputi a. biaya penyiapan pra studi kelayakan Proyek Kerjasama dan/atau transaksi Proyek Kerjasama hingga tercapainya perolehan pembiayaan (financial close); dan b. imbalan yang wajar, dalam hal penyiapan proyek dilakukan oleh lembaga/institusi yang diberikan penugasan oleh Pemerintah. Biaya-biaya di atas harus dicantumkan dalam dokumen pelelangan umum.
i.
Perpres Penjaminan Pemerintah
Proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan pola PPP atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dimungkinkan untuk mendapatkan penjaminan. Penjaminan ini dipayungi oleh Perpres 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Penjaminan Infrastruktur dalam Perpres tersebut didefinisikan sebagai pemberian jaminan atas kewajiban finansial penanggung jawab proyek kerja sama yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian penjaminan. Kewajiban Finansial PJPK adalah kewajiban untuk membayar kompensasi financial kepada Badan Usaha atas terjadinya Risiko Infrastruktur yang menjadi
27
tanggung jawab pihak PJPK sesuai dengan Alokasi Risiko sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama. Penjaminan Infrastruktur diberikan terhadap Risiko Infrastruktur yang: a. lebih mampu dikendalikan, dikelola atau dicegah terjadinya, atau diserap oleh Penanggung jawab Proyek Kerja Sama daripada Badan Usaha, b. bersumber (risk factor)dari PJPK; dan/atau c. bersumber (risk factor) dari Pemerintah selain PJPK. Penjaminan Infrastruktur dilakukan berdasarkan Usulan Penjaminan yang disampaikan oleh PJPK kepada Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) sebelum dimulainya pelaksanaan pengadaan Badan Usaha. BUPI adalah badan usaha yang didirikan oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur. Dalam hal Penjamin telah rnelaksanakan kewajibannya kepada Penerima Jaminan berdasarkan Perjanjian Penjaminan, maka Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama berkewajiban untuk memenuhi Regres. Regres adalah hak Penjamin untuk menagih PJPK atas apa yang telah dibayarkannya kepada Penerima Jaminan dalam rangka memenuhi Kewajiban Finansial PJPK dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang yang dibayarkan tersebut (time value of money). Jika PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga, pemenuhan Regres dilakukan dengan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila PJPK adalah Kepala Daerah maka pemenuhan Regres dilakukan dengan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama adalah BUMN/BUMD, pemenuhan Regres dilakukan dengan mekanisme korporasi berdasarkan peraturan perundangundangan. Atas Penjaminan Infrastruktur yang diberikan, BUPI dapat mengenakan imbal jasa penjaminan. Dalam menentukan nilai imbal jasa penjaminan yang akan dikenakan, BUPI dapat mempertimbangkan: a. nilai kompensasi finansial dari jenis Risiko Infrastruktur yang akan dijamin; b. biaya yang dikeluarkan untuk memberikan jaminan; 28
c. margin keuntungan yang wajar.
j.
PMK Penjaminan
Sebagai pelaksanaan Perpres Penjaminan di atas, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 260 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha. Dalam rangka melaksanakan prinsip pengendalian dan pengelolaan risiko keuangan negara, seluruh rangkaian proses Penjaminan Infrastruktur dilakukan melalui mekanisme satu pelaksana oleh BUPI (Single Window Policy). Berdasarkan PMK ini, Penjaminan Infrastruktur pada Proyek Kerjasama dilakukan dengan cara: a. Penjaminan hanya oleh BUPI (Penjaminan BUPI), yang dapat mencakup seluruh atau sebagian Risiko Infrastruktur dalam satu Proyek Kerjasama; atau b. Penjaminan BUPI bersama-sama dengan Penjaminan Pemerintah untuk Risiko Infrastruktur yang berbeda dalam satu Proyek Kerjasama (Penjaminan BUPI dengan Penjaminan Pemerintah), yang didasarkan pada suatu pembagian Risiko Infrastruktur antara BUPI dengan Menteri Keuangan. Dalam rangka mitigasi risiko keuangan negara sesuai mekanisme pengendalian dan pengelolaan risiko keuangan negara (ring fencing), pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur diusahakan seoptimal mungkin dengan cara Penjaminan. Penjaminan Infrastruktur hanya dapat dilakukan dalam kondisi sebagai berikut: a. kekayaan yang dimiliki BUPI tidak mencukupi untuk melakukan penjaminan sesuai Usulan Penjaminan, namun penjaminan tersebut berdasarkan evaluasi BUPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Perpres 78/2010 perlu dilakukan demi tercapainya tujuan penjaminan Infrastruktur; b. tidak terdapat kerjasama atau dalam hal terdapat kerja sama, fasilitas yang tersedia di dalamnya tidak mencukupi, tidak memadai atau tidak sesuai untuk mendukung pelaksanaaan Penjaminan Infrastruktur; atau c. upaya untuk memenuhi kecukupan kekayaan BUPI belum dapat dilakukan, sedangkan pengadaan Badan Usaha dalam Proyek Kerja Sama yang diusulkan dalam Usulan Penjaminan sudah tidak dapat ditunda lagi pelaksanaannya.
29
k. PMK Tata Kelola Fasilitas Dana Geothermal Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) mempunyai kekhususan tersendiri terutama terkait besarnya risiko yang dihadapi. Oleh karena itu, rangka pemanfaatan
panas
bumi
bagi
pengembangan pembangkit
listrik,
mendukung
usaha
diperlukan
peran
Pemerintah untuk mengurangi risiko usaha panas bumi. Peran pemerintah tersebut salah satunya diwujudkan dengan menyediakan Dana Geothermal
yang
dialokasikan
dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P). Dana Geothermal merupakan dana yang dialokasikan untuk pembiayaan dalam rangka mitigasi risiko eksplorasi dan meningkatkan kelayakan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi. Insentif dana ini desain sebagai sebuah fasilitas fiscal yang terintegrasi dengan fasilatfasilitas untuk proyek KPS. Karenanya fasilitas ini dinamakan Fasilitas Dana Geothermal (FDG), yaitu dukungan fasilitas yang diberikan Pemerintah untuk mengurangi risiko usaha panas bumi dalam rangka mendukung usaha pemanfaatan panas bumi bagi pengembangan pembangkit listrik. Tujuan diberikannya fasilitas ini adalah untuk: a. meningkatkan kecukupan data dari hasil Survei Pendahuluan guna menurunkan risiko eksplorasi dalam rangka pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik; b. menyediakan data pendukung guna menyusun dokumen pelelangan dalam rangka penawaran Wilayah Kerja untuk pengadaan Proyek PLTP KPS kepada badan usaha; dan/atau c. mendukung pembiayaan kegiatan eksplorasi dalam rangka percepatan pengembangan proyek PLTP. FDG yang digunakan untuk penyediaan data pendukung pelelangan untuk pengadaan proyek PLTP secara KPS hanya dapat diberikan kepada pemerintah daerah yang akan melakukan pelelangan WKP Panas Bumi. Penyediaan data/informasi tersebut dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut: a. studi rinci geosains (geologi, geofisika dan geokimia); b. Magnetotelluric (MT); c. pengeboran landaian suhu; dan d. pengeboran eksplorasi. 30
Penyediaan data/informasi tersebut diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan nilai maksimal USD 30.000.000 (tiga puluh juta dollar amerika serikat), sesuai kurs
tengah
Bank Indonesia rata-rata yang berlaku pada 3 (tiga) bulan terakhir.
31
3. Penerapan KPS Syariah untuk PLTU a. Struktur KPS Syariah PLTU Dalam struktur KPS Proyek PLTU, PLN sebagai Electricity Distribution Company, melakukan perjanjian jual beli listrik (PPA-Power Purchase Agreement) dengan Project Company. PLN akan memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam PPA. Sementara itu, apabila PLN tidak dapat memenuhi kewajibannya, terdapat pihak lain yang menjaminnya. Pihak tersebut adalah Guarantor yang dalam hal ini dilaksanakan oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan dapat bersama-sama dengan Multi-Development Agencies (MDA) seperti Bank Dunia. Risiko yang dijamin oleh PII adalah risiko politik. Selanjutnya, penjaminan ini akan dituangkan dalam Perjanjian Penjaminan (Guarantee Agreement) antara Project Company dan PII. Sementara itu, PII mempunyai Perjanjian Regres, perjanjian yang memberi hak kepada PII untuk menagihkan kembali pembayaran yang telah diberikan kepada Project Company, kepada Pemerintah atau PLN. Pada sisi lain, agar dapat membangun pembangkit listrik, Project Company membutuhkan dana. Dana tersebut dapat berupa ekuitas (equity) dan/atau hutang (debt). Ekuitas akan diberikan oleh Project Sponsor, sebagai imbalannya, Project Sponsor akan mendapatkan pembagian keuntungan (Profit Distribution). Mengingat pendanaan proyek infrastruktur umumnya membutuhkan dana yang besar, maka selain menggunakan ekuitas, Project Company juga membutuhkan dana yang berasal dari hutang. Pada umumnya, proyek tersebut didanai dengan mekanisme Project Financing. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan hutang dilakukan dengan skema Corporate Financing.
32
Gambar 1: Struktur KPS PLTU Sementara itu, untuk membangun, menjalankan dan memelihara pembangkit, Project Company akan bekerjasama dengan beberapa pihak lain. Pembangunan pembangkit akan dilakukan oleh Kontraktor Energy, Procurement, and Construction (EPC). Setelah pembangkit tersebut jadi, selama pengoperasian akan membutuhkan bahan bakar sehingga Project Company akan membuat kontrak jual beli bahan bakar dengan Pemasok Bahan Bakar (Fuel Supplier). Pemeliharaan pembangkit akan dilakukan oleh pihak lain yang mempunyai pengalaman untuk memelihara pembangkit yang diikat dengan kontrak pemeliharaan (operation and maintenance contract). b. Struktur Syariah KPS Struktur syariah KPS ini adalah pengembangan dari dari struktur-struktur yang telah dikembangkan oleh investor-investor di negara lain. Struktur ini dapat dilihat pada gambar dibawah.
33
Gambar 2: Struktur Syariah KPS Skema Perjanjian dalam struktur KPS ini
dibuat dalam dua kategori yaitu tentang Project
Ownership dan Funding. Secara garis besar struktur syariah KPS ini tidak berbeda banyak, khususnya tentang pihak-pihak yang terlibat. Akan tetapi dalam hal hubungan perikatan antar pihak bertentangan secara prinsip dengan kaidah syariah sebagaimana ditetapkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional/DSN, misalnya mengandung riba, maysir dan gharar maka diperlukan penyesuaian atau jika dibanding perlu maka dapat dilakukan penyederhaan. Sebagai contoh, sistem syariah tidak mengenal adanya hak regres dalam hal utang piutang, sehingga dalam struktur syariah KPS dihilangkan. Demikian juga kontrak hutang piutang dengan kompensasi bunga antara Lenders dengan SPV ditiadakan dan digantikan dengan kontrak kerjasama antara SPV sebagai pengelola dan Investor sebagai pemilik dana. Skema Perjanjian Project Ownership: Perjanjian 1a, merupakan akad antara PJPK dengan SPV. Salah satu akad yang bisa dipilih adalah Istishna’ dengan rukun sebagai berikut: a. Pembeli: SPV (sebagai Project Company) b. Penjual: PLN c. Objek akad : pembangkit 34
d. Spesifikasi objek akad e. Harga f.
Periode kontrak
Syarat akad ini adalah: a. Spesifikasi dan harga objek akad ditentukan dalam akad. b. Periode kontrak harus jelas dan dituangkan dalam akad. c. Adanya pengalihan hak kepemilikan setelah periode kontrak selesai Sementara itu, hak dan kewajiban yang timbul dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1: Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian 1a Istishna Hak/Kewajiban
PT PLN (Penjual)
SPV sebagai Project Company (Pembeli)
Hak
• Berhak
memperoleh
pembayaran Company
dari
atas
•
Project
memperoleh
pembangkit listrik
pembangkit
yang
dihasilkan oleh PT PLN. •
listrik yang dihasilkan.
Berhak
Apabila PLN wanprestasi (kesalahan PLN) atau pun adanya risiko politik, berhak memperoleh
pembangkit
listrik Kewajiban
• Menyediakan
pembangkit
•
Membeli pembangkit listrik
listrik dan menjualnya kepada
yang telah disediakan oleh
Project Company
PLN
• Mendesain,
membangun,
mengkonstruksikan pembangkit
dalam
bentuk
Availability Payment [terdiri atas Capacity Payment dan
listrik
sesuai
Energy
Payment
selama
dengan Project Description
periode yang ditentukan di
yang
dalam PPA (“Periode PPA”)
ditentukan
di
dalam
PPA. • Mengusahakan
dengan perolehan
pembiayaan (financing) untuk
tepat
waktu.
Pembayaran ini dilakukan secara
bulanan
(monthly
35
konstruksi pembangkit listrik sesuai
waktu
yang
telah
payment) •
PLN akan membeli proyek
ditentukan (12 bulan) sejak
apabila karena kesalahan
tanda tangan PPA
PLN / adanya risiko politik menyebabkan
terjadinya
terminasi PPA •
Pada akhir Periode PPA, PT
PLN
pembangkit tingkat
akan pada harga
membeli suatu yang
disepakati.
Selain dengan Istishna’, dapat juga digunakan akad Ijarah dengan rukun: a. Pemilik: SPV (sebagai Project Company) b. Penyewa: PLN c. Objek akad : energi listrik d. Spesifikasi objek akad e. Harga f.
Periode kontrak.
Syarat dalam akad Ijarah ini adalah: a. Spesifikasi dan harga objek akad ditentukan dalam akad. b. Periode kontrak harus jelas dan dituangkan dalam akad. c. Adanya pengalihan hak kepemilikan setelah periode kontrak selesai untuk kontrak Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik.
36
Sementara itu, hak dan kewajiban yang timbul dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2: Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian 1a Ijarah Hak/Kewajiban
PT PLN (Penyewa)
SPV sebagai Project Company (Pemilik)
Hak
•
Berhak memperoleh listrik
• Berhak
memperoleh
yang dihasilkan oleh Project
pembayaran atas listrik yang
Company.
dihantarkan kepada PT PLN dalam
bentuk
Availability
yang
dibayarkan
Payment secara
bulanan
(monthly
payment). • Apabila terjadi terminasi PPA yang disebabkan oleh PLN wanprestasi (kesalahan PLN) atau pun adanya risiko politik, berhak pembayaran
memperoleh dalam
bentuk
terminasi payment Kewajiban
• Membayar listrik yang telah dihantarkan /dihasilkan oleh Project
Company
dalam
• Menghasilkan
listrik
dan
menjualnya kepada PT PLN • Melakukan
pengoperasian
bentuk Availability Payment
dan pemeliharan pembangkit
[terdiri atas Capacity Payment
selama Periode PPA.
dan Energy Payment] selama periode yang ditentukan di dalam PPA (“Periode PPA”) dengan
tepat
waktu.
ini
dilakukan
bulanan
(monthly
Pembayaran secara payment) •
PLN akan membeli proyek apabila
karena
kesalahan
37
PLN / adanya risiko politik menyebabkan
terjadinya
terminasi PPA • Pada akhir Periode PPA, PT PLN
akan
pembangkit
membeli pada
suatu
tingkat harga yang disepakati.
Perjanjian 1b,
merupakan Perjanjian antara PJPK dengan PII/MDA dengan berlandaskan
pada akad Kafalah bil Ujrah dengan rukun sebagai berikut: a. Pihak Penjamin (Kafiil)
: PT.PII/MDA
b. Pihak yang Dijamin (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
: PJPK
c. Pihak yang Menerima Jaminan (Makfuul Lahu) : Project Company d. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
: Proyek Pengadaan Energi Listrik dan Pembangkit
Syaratnya adalah: a. Merupakan tanggungan pihak yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan. b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin. c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan. d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya. e. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan). Hak dan kewajiban yang timbul adalah: Tabel 3: Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian 1b Kafalah bil Ujrah Hak/Kewajiban
PT PII / MDA
SPV sebagai Project Company
Hak
• Memperoleh Penjaminan (IJP)
Jasa
• Mengajukan klaim penjaminan
Infrastruktur
kepada PT PII atas terjadinya
Imbal
yang
risiko
infrastruktur
yang 38
mempertimbangkan : a) Nilai
kompensasi
dijamin finansial
dan jenis risiko infrastruktur
b) Biaya yang dikeluarkan untuk memberikan penjaminan keuntungan
cara klaim
penjaminan pembayaran
atas klaim penjaminan yang diajukan sesuai jangka waktu
yang
wajar Kewajiban
tata
permohonan • Memperoleh
yang akan dijamin;
c) Margin
sesuai
dan tata cara pembayaran klaim penjaminan.
• Melakukan infrastruktur
penjaminan ,
yang
• Membayar
Imbal
Jasa
pada
Penjaminan (IJP) kepada PT
dasarnya adalah
menjamin
PII sesuai tarif yang telah
pemenuhan
kewajiban
ditentukan.
finansial PT PLN, dalam hal
• Membuat Risk Mitigation Plan
PT PLN, berdasarkan PPA,
untuk
terhadap Risiko Infrastruktur.
risiko
Contoh kewajiban finansial
dampaknya apabila terjadi.
yang
dijamin
antara
mencegah dan
terjadinya mengurangi
lain
adalah monthly payment dan terminasi
payment,
yang
terjadi akibat kesalahan dari PT PLN atau terjadinya risiko politik. • Melakukan verifikasi
klaim
penjaminan • Melakukan pembayaran atas klaim
penjaminan
sesuai
prosedur dan jangka waktu yang telah ditentukan.
39
c. Skema Perjanjian Funding: Perjanjian 2a, merupakan akad kerjasama Musyarokah antara Sponsor dengan SPV, dimana kedua belah pihak secara bersama-sama menanamkan equity dan melakukan kerjasama operasi untuk mengerjakan kontrak berupa fuel supplier, EPC contractor atau O&M contractor. Adapun rukun dalam akad Musyarokah adalah: a. Pihak yang berakad: b. Sponsor dan PC sebagai Syari’ (Mitra) c. Hishshah adalah porsi atau bagian syari’ dalam kekayaan musyarakah. d. Keuntungan /kerugian berupa profit /loss distribution e.
Kegiatan usaha adalah pengadaan pengadaan energi &/ pembangkit listrik.
f.
Akad/ijab-qabul (dokumen perjanjian).
Syarat yang diperjanjikan adalah: a. Modal berbentuk uang tunai, atau asset lainnya yang dapat dinilai dengan uang, dalam jumlah tertentu yang disepakati oleh kedua pihak. b. Profit and Loss distribution harus jelas yang diambilkan dari keuntungan kegiatan usaha. c. Pembagian tugas dan wewenang harus dijelaskan dalam kontrak d. Keuntungan / Kerugian i. Keuntungan /kerugian harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. ii. Keuntungan / kerugian harus dibagi sesuai proporsi masing-masing pihak e. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. Hak dan kewajiban Sponsor serta Project Company diutarakan dalam tabel berikut ini. Tabel 4: Hak dan Kewajiban Sponsor dan Project Company dalam Penjanjian 3a Hak/ Kewajiban
Sponsor
Project Company
1. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. 2. setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. 3. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah . 40
4. Setiap mitra mempunyai wewenang yang sama untuk mengelola aset. 5. Salah satu mitra tidak diizinkan menggunakan dana untuk kepentingannya sendiri. 6. Salah satu mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
Perjanjian 2b, merupakan akad pinjaman Investor/Lenders kepada Project Company berdasarkan akad Mudharabah dengan rukun: a. Pemilik Modal (Rabbul Mal)
: Investor/Lender
b. Peminjam (Mudharib)
: Project Company
c. Modal bisa dari pinjaman langsung atau penerbitan sukuk. d. Kegiatan usaha: pengadaan pembangkit &/ energi listrik. e. Keuntungan berupa return distribution f.
Akad/ijab-qabul (dokumen perjanjian)
Syarat perjanjian: a. Modal berbentuk uang tunai dalam jumlah tertentu yang diserahkan kepada project company. b. Return distribution harus jelas yang diambilkan dari keuntungan kegiatan usaha. c. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya. d. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan). Terkait akad ini, hak dan kewajiban adalah: Tabel 5: Hak dan Kewajiban Investor/Lender dan Perjanjian 3b Hak/Kewajiban
Lender/Investor
Project Company
Hak
• Memperoleh return distribution
• Menerima sejumlah dana
yang disepakati dari
yang disepakati untuk
penyediaan dana yang
pembangunan pembangkit
41
diberikan kepada Project
listrik
Company sehubungan dengan pembangunan pembangkit listrik. Kewajiban
• Menyediakan sejumlah dana
• Membayarkan return
yang disepakati untuk
distribution sesuai
pembangunan pembangkit
kesepakatan kepada
listrik
Investor/Lender.
• Tidak terlibat dalam pengelolaan/manajemen Project Company. • Melakukan pembinaan dan pengawasan. • Menanggung semua kerugian kecuali karena kelalaian Project Company
42
d. Kendala Pengembangan KPS Syariah untuk PLTU Proyek PLTU umumnya merupakan proyek besar. Proyek yang dikerjasamakan dengan skema KPS memang harus besar agar sebanding dengan biaya penyiapan proyek. Proporsi biaya penyiapan proyek KPS akan menjadi sangat besar sehingga menjadi tidak wajar dibandingkan dengan total biaya proyek. Namun, proyek yang akan memanfaatkan dana syariah tidak boleh terlalu besar karena akan menemui beberapa kendala. Kendala pertama timbul dari sifat pendanaannya yang berupa project finance dimana sebagian besar dana pembangunan proyek berasal dari hutang. Dalam banyak kasus, hutang yang dilibatkan memerlukan tenor jangka panjang yaitu 20-30 tahun. Jangka waktu yang panjang tersebut menimbulkan risiko yang cukup tinggi bagi pemberi pinjaman. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi sehingga meningkatkan ketidakpastian selama periode pinjaman. Untuk memitigasi duration risk ini, lembaga keuangan konvensional menggunakan instrumen asuransi keuangan dan produk derivatif. Sementara itu, terdapat pendapat ulama yang mengharamkan asuransi keuangan dimana premi dibayar secara periodik dan pihak tertanggung akan menerima kompensasi apabila menderita kerugian. Hal ini memungkinkan bagi Pihak Tertanggung untuk menerima uang yang sangat besar setelah membayar premi yang hanya beberapa bulan. Sebaliknya, Pihak tertanggung dapat mengalami kerugian karena mengeluarkan uang untuk pembayaran premi tiap bulan tetapi tidak mendapatkan kompensasi apapun dari perusahaan asuransi. Pada sisi lain, asuransi syariah untuk untuk hal ini belum banyak tersedia di pasar. Hal ini karena pihak asuransi syariah juga mempunyai kendala yang sama dalam memitigasi risikonya. Sementara itu, penggunaan instrumen derivatif belum dimungkinkan secara syariah. Alasan utama pelarangan penggunaan instrument derivative ini adalah karena derivative mengandung gharar. Derivatif seperti forward, dan futures mengandung gharar karena obyek yang dijual belum tentu ada dan tersedia pada saat penjualan harus dilakukan.
43
Perbankan Islam juga tidak diijinkan untuk melakukan leverage, yaitu dengan mencari hutang untuk mendapatkan likuiditas yang diperlukan untuk melakukan pembiayaan jangka panjang (Camacho, 2005). Kesulitan-kesulitan di atas membuat pihak lembaga keuangan syariah enggan untuk menyalurkan pembiayaan jangka panjang (lebih dari 10 tahun). Hambatan lainnya terkait dengan keterbatasan sumber dana. Hal ini dapat diakibatkan dari sifat jangka pendek pendanaan syariah, namun dapat juga akibat dari kurangnya pengetahuan atas skema syariah. Sebagian perbankan konvensional enggan untuk masuk dalan skema pendanaan secara syariah karena adanya kemungkinan untuk mengeluarkan biaya tambahan sebagai compliance cost. Selain itu, isu akuntansi dan pencatatan juga berpengaruh. Sedikitnya standar akuntansi untuk skema syariah mengakibatkan tambahan biaya biaya transaksi dan ketidakpastian. Terakhir, hambatan pendanaan syariah untuk
proyek
infrastrukur
adalah terkait
dengan isu
ketidakpastian. Pemerintah, investor, dan lembaga keuangan dapat mempunyai interprestasi yang berbeda terhadap sebuah permasalahan syariah. Proyek pembiayaan PLTU dapat menemui kendala-kendala di atas. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dibatasi skala PLTU yang akan dikerjasamakan dengan skema KPS Syariah. Biaya pembangunan PLTU tersebut tidak boleh sangat besar sehingga akan menyulitkan pendanaan. Skalanya juga tidak terlalu kecil, mengingat biaya penyiapan proyek KPS Syariah tidak akan kecil.
4. Pembangkit Listrik Tenaga Air Mini Hidro Alternatif solusi yang dapat diambil adalah membangun pembangkit listrik yang membutuhkan biaya yang tidak tinggi. Salah satu contohnya adalah membangun Pembangkit Listrik Mini Hidro (PLTM). a. Gambaran Singkat PLTM Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan karena berasal dari energi yang terbarukan. Hampir tidak ada polusi yang dihasilkan dalam konversi aliran air menjadi listrik sehingga secara syariah lebih baik.
44
Lebih lanjut, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Indonesia dianugerahi potensi sumber daya air yang sangat besar. Per 19 Maret 2011, potensi sumber daya air di Indonesia mencapai 75.000 MW. Namun, hingga saat ini baru sekitar 5% yang dikembangkan. Gambar 3: Perkembangan Kapasitas PLTA di Indonesia 4.400
4.200 4.000
MW
3.800 3.600 3.400 3.200 3.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kapasitas Terpasang 4199,33112,63155,23167,93199,73224,33532,53512,93691,33695,53709,6
Sumber: Kementerian ESDM, 2011 Berdasarkan kapasitasnya, PLTA dibedakan menjadi lima jenis, yaitu PLTA Pica Hidro, PLTA Micro Hidro, PLTA Mini Hidro, PLTA Kecil dan PLTA Besar: Semakin besar kapasitas PLTA, maka semakin besar biaya pembangunannya. Biaya pembangunan pembangkit ini masih dalam skala ratusan milyar rupiah, bahkan dalam banyak kasus tidak sampai menyentuh angka dua milyar rupiah Tabel 6: Jenis PLTA4 Jenis PLTA Pico Hidro PLTA Micro Hidro PLTA Mini Hidro PLTA Kecil PLTA Besar 4
Daya Listrik s.d. < 100 kW 100 – 1.000 kW 1.000 – 10.000 kW 10.000 – 25.000 kW > 25.000 kW
http://www.listriktenagaair.com/PembangkitListrik.htm 45
Berdasarkan hasil penelusuran Tim, ditemukan beberapa proyek PLTA Mini Hidro yang telah menggunakan skema pembiayaan syariah. Salah satu pengembang PLTA tersebut adalah PT. Bersaudara Simalungun Energy (BSE) yang telah menggunakan pinjaman dari bank syariah untuk pembangunan PLTM Silau I dan II. Kedua pembangkit tersebut masing-masing memerlukan biaya investasi sekitar Rp 150 Milyar. Sebagian besar pendaan berasal dari Bank Muamalat dengan akad Mudharabah. Akad ini dipilih oleh Bank Muamalat karena telah berpengalaman dan nyaman dengan akad tersebut. Dalam akad ini, bank akan mendanai pembangunan pembangkit seperti halnya pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Bank akan membeli pembangkit untuk kemudian dijual kembali kepada pengembang dengan ditambahkan keuntungan yang wajar. Namun tetap ada perbedaan perlakuan dengan kredit konsumen seperti KPR.
Dalam KPR, nasabah harus
membayar cicilan tiap bulan, tanpa memperhatikan kondisi financial nasabah. Sedangkan dalam pembiayaan pembangkit listrik, nasabah tidak membayar cicilan apabila pengembang tidak menerima pendapatan. b. Pembagian Risiko Secara umum, cara kerja pembangkitan listrik pada PLTMH dapat dilihat pada gambar 4. Mulamula sebagian aliran air sungai dibelokkan melalui saluran pembawa (water way) utuk kemudian ditampung pada Bak Penenang. Dari Bak Penenang, air kemudian diluncurkan dalam Pipa Pesat. Arus air kencang dari Pipa Pesat tersebut kemudian diarahkan menuju Turbin Air yang berada di Rumah Pembangkit (power house). Di Rumah Pembangkit inilah, terjadi korversi energi dari energi gerak menjadi energi listrik oleh Turbin dan Generator. Setelah memutar Turbin, air kemudian dikembalikan ke sungai melalui Saluran Pembuang.
46
Gambar 4: Skema PLTMH
Sumber: Paisey, 2009 Saluran pembawa umumnya berupa saluran terbuka, sedangkan pada umumnya PLTM berlokasi di daerah dataran tinggi. Pembuatan saluran tersebut juga dilakukan dengan menata kontur tanah yang berbukit-bukit, sehingga dalam beberapa kasus hal tersebut laksana “membelah” gunung. Kondisi tersebut membuat Saluran Pembawa terekspos pada risiko tanah longsor. Tanah longsor dapat berdampak besar apabila tanah longsor tersebut menutupi jalan air sehingga air tidak dapat mengalir ke Rumah Pembangkit dan menghasilkan listrik. Peristiwa tersebut pernah terjadi pada salah satu PLTM milik BSE. Akibatnya, selama tiga bulan pembangkit milik BSE tersebut tidak dapat menghasilkan listrik. Karena listrik dibayar apabila disalurkan kepada PT. PLN (Persero), maka selama periode perbaikan saluran, BSE tidak menerima penghasilan. Pada sisi lain, BSE harus menambah pengeluaran untuk biaya perbaikan saluran dan membaran cicilan hutang Bank Muamalat. Namun, pada saat terjadi longsor, Bank Muamalat tidak menagih cicilan hutang BSE. Bank Muamalat terekspos pada risiko keterlambatan pembayaran, bahkan gagal bayar sampai dengan pembangkit listrik tersebut dapat beroperasi dan dapat menjual listrik kepada PLN. Hal ini tidak akan ditemui pada skema pinjaman pada bank konvensional. Bank konvensional akan tetap menagih cicilan hutang, ketika longsor terjadi.
47
c. Analisis Syariah Secara syariah, pemberian pinjaman dengan akad mudarabah telah mengantongi restu dari Dewan Syariah Nasional, sehingga bisa dikatakan telah memenuhi kaidah syariah. Apabila bank masuk di sisi lender syariah biasanya hanya diuji pada pada skema pinjaman antara bank dan nasabah. Lain halnya jika bank/lender masuk sebagai project sponsor. Apabila bank masuk sebagai project sponsor, maka semua akad dalam pembangunan pembangkit tersebut, dari awal sampai akhir, tidak boleh melanggar ketentuan syariah. Kontrakkontrak yang dijalankan tidak boleh melanggar asas maysir, gharar, dan riba. Sementara itu, proyek PLTM dibangun berdasarkan data studi kelayakan. Data studi kelayakan tersebut umumnya mencantumkan lokasi, hidrologi, dan kapasitas pembangkit. Namun tidak banyak studi pendahuluan PLTP yang mencantumkan hasil studi geologi, kontur tanah, dan jenis/tipe tanah. Hal ini mengakibatkan risiko atas longsor tidak dapat diketahui pada saat penandatanganan harga listrik sehingga pembangunan pembangkit listrik dapat mengandung unsur gharar. d. Kendala Proyek PLTM umumnya tidak dilelang menurut harga terendah. Pemerintah telah mematok harga untuk pembangkit listrik skala kecil dengan sumber energi terbarukan. Sementara itu, skema KPS hanya dapat dilakukan jika pengadaan pembangkit tenaga listrik dilakukan berdasarkan harga terendah. Lebih lanjut, penjaminan yang diberikan oleh PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) juga hanya dapat diberikan apabila pengadaan pengembang dilalukan secara kompetitif dan transparan serta berdasarkan harga terendah. 5. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Alternatif berikutnya yang dapat diambil adalah dengan melakukan pembangunan PLTP. Biaya pembangunan PLTP secara umum lebih mahal daripada PLTU dan PLTM, namun harga tersebut dapat menjadi lebih rendah apabila didukung oleh kebijakan fiskal yang sesuai. a. Gambaran Singkat PLTP Indonesia memnpunyai potensi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia. Sekitar 40% potensi panas bumi dunia ada di Indonesia. Ironisnya baru sekitar 4% atau 1.192 MW yang
48
dikembangkan. Untuk mempercepat pengembangan PLTP, pemerintah telah mengeluarkan program percepatan 10.000 MW Tahap II yang sebaian besar bersumber dari panas bumi. Bagan pembangkitan listrik dari panas bumi dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. Pertama-tama, uap dari perut bumi dipisahkan dari air dengan menggunakan separator. Uap dari separator tersebut kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin. Energi kinetis dari generator lalu dikonversi menjadi listrik dengan mengunakan generator untuk kemudian disalurkan ke kabel tensmisi listrik.
Tabel 7: Sistem PLTP
Sumber: Ramdani, 2012 Setelah digunakan untuk memutar turbin, uap dan air kemudian didinginkan. Uap dan air tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk pemakaian langsung (direct use) sebagai pengering produk pertanian dan lains ebagainya. Uap dan air yang teloah dingin kemudian dikembalikan ke dalam perut bumi. Hal inilah yang membuat listrik PLTP menjadi energi yang terbarukan. b. Analisis Risiko Selama ini lelang PLTP dilakukan berdasarkan lelang WKP Panas Bumi. Lelang ini bedasarkan data atas permukaan dan menghasilkan harga listrik. Lelang tidak dilakukan dengan mempertimbangkan data bawah permukaan.
49
Kondisi
di
atas,
mengakibatkan
pengembang
menghadapi ketidakpastian
cadangan.
Pengembang dapat menemui cadangan panas bumi lebih rendah daripada yang diperkirakan. Bahkan pengembang bisa saja tidak menemukan cadangan sumber daya. Sebagai gambaran, biaya pengeboran satu titik sekitar USD 6-7 juta. Apabila pengembang menemukan sumur kering (dry holes) pada dua lubang pengeboran awal, maka kerugiannya mencapai USD 12-14 juta.5 Sebagaimana dikemukakan di atas, pelelangan panas bumi tidak disertai dengan data pengeboran. Pada sisi lain, lelang panas bumi menghasilkan harga jual listrik sehingga harga listrik tidak mencerminkan biaya pembangkitan listrik secara akurat. Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) PLTP sangat ditentukan oleh karakteristik uap yang dihasilkan seperti banyaknya fasa, korosifitas, tekanan, temperature,dan aliran fluida. PLTP dengan sumber uap kering (satu fasa) akan lebih murah dibandingkan dengan yang mempunyai dua fasa (uap dan air). Uap yang didominasi dengan air (water dominater) biaya pembangkitannya lebih besar daripada yang kandungan airnya kecil (steam dominated). Lebih lanjut, uap yang bertipe korosif dan/atau menimbulkan kerak (scaling) menimbulkan konsekuensi biaya yang lebih besar dibandingkan yang tidak korosif. Risiko terbesar dihadapi oleh pengembang risiko ini dihadapi pada saat awal. Risiko ini kemudian diperhitungkan oleh para pengembang sebagai risk premium yang ditambahkan pada perhitungan harga. Hal ini mengakibatkan harga listrik panas bumi akan menjadi tinggi. Harga listrik yang tinggi tersebut kemudian harus diterima oleh PLN 6. Oleh PLN, harga tersebut kemudian diperhitungkan dalam subsidi listrik. Pada akhirnya risiko atas ketidakpastian sumber daya ditansfer kepada pemerintah. c. Analisis Syariah Lelang WKP Panas Bumi yang menghasilkan harga listrik tanpa melihat kondisi reservoir mengandung unsur yang dilarang oleh syariah yaitu gharar. Ini sesuai dengan perkara gharar yang dicontohkan oleh Professor Mahmoud Amin El-Gamal dari Rice University memberikan contoh terkait gharar: “Prohibition of (gharar) pertains to a person paying a fixed price for 5
6
Kegagalan dua titik bor dialami oleh PT. Pertamina Geothermal Energi pada saat eksplorasi WKP Kotamubagu. Harga lelang listrik PLTP ditentukan oleh panitia lelang yang diketuai oleh pemerintah kabupaten/kota, provinsi atau Kementerian ESDM berdasarkan kewenangan. PLN sebagai pembeli listrik tidak dilibatkan dalam pelelangan tetapi harus menerima berapa pun harga yang dihasilkan.
50
whatever a diver may catch on his next dive. In this case, he does not know what he is paying for.7” Bagi pengembang, mengikuti pelelangan tanpa mengetahui kondisi reservoir akan membawa pengembang kepada unsur maysir. Pengembang laksana sedang berjudi, apabila beruntung pengembang akan mendapatkan sumber daya yang bagus, dan akan rugi jika mendapatkan sumber daya yang tidak baik. d. Kendala Unsur gharar dan maysir di atas merupakan kendala utama jika pembangunan PLTP dilakukan berdasarkan skema syariah. Oleh karena itu, kedua unsur tersebut harus dihilangkan sebelum dilakukan pelelangan. Senada dengan hal di atas, untuk dikerjasamakan dengan pola KPS, pelelangan harus didasarkan pada data pra-studi kelayakan. Data tersebut tidak dapat diperoleh tanpa adanya data reservoir. Kedua permasalahan di atas bermuara pada satu sebab yaitu kurang lengkapnya data yang dijadikan
dasar
lelang.
Untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut,
pemerintah
telah
mengalokasikan Dana Geothermal. Dana ini salah satunya dimaksudkan untuk membiayai eksplorasi panas bumi sebelum dilakukan pelelangan sehingga data cadangan dapat diketahui sebelum lelang. Kendala berikutnya terkait dengan pihak yang melelang. Peraturan di bidang panas bumi hanya mengijinkan lelang dilakukan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Sementara itu, peraturan di bidang KPS dan ketenagalistrikan, mengamanatkan PLN sebagai Penanggung jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Kal ini membutuhkan solusi yang tidak merugikan pihak lain (win-win solution).
7
El- amal, Mahmoud Amin, “A Basic University, June 2000.
uide to Contemporary Islamic Banking and Finance”, Rice
51
Gambar 5: Skema KPS PLTP
Sebagai jalan tengah, diusulkan skema KPS yang tidak melanggar kedua ketentuan tersebut (lihat Error! Reference source not found.). Pada skema tersebut, baik pemda maupun PLN melakukan pelelangan atas PLTP. Pemda akan melelang IUP sedangkan PLN akan melelang PPA. Agar menghasilkan pemenang lelang yang sama, Pemda dan PLN diikat dalam sebuah Memorandum of Understanding (MOU). Apabila pelelang telah dilakukan berdasarkan data hasil pengeboran serta lelang dilakukan Error! Reference source not found., maka pelelangan PLTP secara KPS syariah dapat dilaksanakan. Apabila ini dijalankan maka proyek PLTP dimaksud berkesempatan untuk mendapatkan fasilitas tambahan dari pemerintah yaitu Penjaminan Pemerintah melalui PT. PII, dan dana Viability Gap Fund.
52
6. Kesimpulan Dan Tindak Lanjut a. Kesimpulan Permasalahan yang muncul dalam pembuatan skema proyek KPS dengan pembiayaan yang syariah comply adalah: 1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Sifat pendanaan berupa project finance, dana berasal dari hutang dengan tenor jangka panjang yaitu 20-30 tahun sehingga muncul duration risk
o
asuransi keuangan dan
o
produk derivative
Keterbatasan sumber dana – sifat jangka pendek pendanaan syariah, namun dapat juga akibat dari kurangnya pengetahuan atas skema syariah
Akuntansi dan pencatatan – Sedikitnya standar akuntansi untuk skema syariah mengakibatkan tambahan biaya biaya transaksi dan ketidakpastian.
Ketidakpastian – Pemerintah, investor, dan lembaga keuangan dapat mempunyai interprestasi yang berbeda terhadap sebuah permasalahan syariah Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dibatasi skala PLTU yang akan dikerjasamakan dengan skema KPS Syariah. Biaya pembangunan PLTU tersebut tidak boleh sangat besar sehingga akan menyulitkan pendanaan. Skalanya juga tidak terlalu kecil, mengingat biaya penyiapan proyek KPS Syariah tidak akan kecil.
2. Pembangkit Listrik Tenaga Air Mini Hidro (PLTM) Kondisi:
Kapasitas pembangkit berkisar antara 1.000 – 10.000 kW
Salah satu pengembang PLTA dengan pembiayaan syariah adalah PT. Bersaudara Simalungun Energy (BSE). BSE telah menggunakan pinjaman dari bank syariah untuk pembangunan PLTM Silau I dan II.
Kedua pembangkit tersebut masing-masing memerlukan biaya investasi sekitar Rp 150 Milyar. Pendaan berasal dari Bank Muamalat dengan akad Mudharabah.
Kendala:
Proyek PLTM umumnya tidak dilelang menurut harga terendah.
Pemerintah telah mematok harga untuk pembangkit listrik skala kecil dengan sumber energi terbarukan.
Skema KPS hanya dapat dilakukan jika pengadaan pembangkit tenaga listrik dilakukan berdasarkan harga terendah. 53
Penjaminan yang diberikan oleh PT. PII juga hanya dapat diberikan apabila pengadaan pengembang dilakukan secara kompetitif dan transparan serta berdasarkan harga terendah.
3. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kondisi:
Indonesia mempunyai potensi panas bumi (geothermal)terbesar di dunia (40%).
Baru sekitar 4% atau 1.192 MW yang dikembangkan.
Lelang PLTP dilakukan berdasarkan lelang WKP Panas Bumi yang tidak disertai dengan data pengeboran sehingga pengembang menghadapi ketidakpastian cadangan.
Pada sisi lain, lelang panas bumi menghasilkan harga jual listrik sehingga harga listrik tidak mencermintan biaya pembangkitan listrik secara akurat
Kendala:
Lelang WKP Panas Bumi yang menghasilkan harga listrik tanpa melihat kondisi reservoir mengandung unsure yang dilarang oleh syariah yaitu gharar.
Agar bisa dikerjasamakan dengan pola KPS, pelelangan harus didasarkan pada data pra-studi kelayakan. Data tersebut tidak dapat diperoleh tanpa adanya data reservoir
Pihak yang melelang. Peraturan di bidang panas bumi hanya mengijinkan lelang dilakukan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Sementara itu, peraturan di bidang KPS dan ketenagalistrikan, mengamanatkan PLN sebagai Penanggung jawab Proyek Kerjasama (PJPK).
Berdasarkan pada beberapa pertimbangan kondisi dan kendala di atas serta kelayakan proyek, kesiapan, kapasitas, dan regulasi KPS yang ada, maka Proyek KPS syariah paling mungkin untuk segera dijalankan adalah PLTU Skala Menengah dan Kecil dan PLTP. 7. Rekomendasi Sebagai langkah konkrit implementasi KPS Syariah maka harus harus segera dilakukan bekerjasama dengan PJPK untuk memilih Pilot Project. Namun sebelum dilakukan pemilihan pilot project perlu dilakukannya presentasi ke Dewan Syariah Nasional untuk mendapatkan fatwa syariah comply.
54
DAFTAR PUSTAKA
Camacho, Jasper, 2005. Islamic Financing for Large Infrastructure Projects International Financial Management, Section 1 Fall 2005. El- amal, Mahmoud Amin, 2000. “A Basic
uide to Contemporary Islamic Banking and
Finance”, Rice University. Fourys Yudo Setiawan Paisey, 2009. Desain dan Rancang Bangun Kontrol Beban Elektronik pada Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro,Tesis, Magister Program Studi Sistem Teknik Konsentrasi Mikrohidro Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik Republik Indonesia,1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. -------------------------, 2003. Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. -------------------------, 2009. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. -------------------------, 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur -------------------------, 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur -------------------------, 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur -------------------------, 2010. Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. -------------------------, 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi.
55
-------------------------, 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur. -------------------------, 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Kementerian Keuangan, 2010. Peraturan Menteri Keuangan nomor 260 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha. Majelis Ulama Indonesia, 2000. Fatwa DSN MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). -------------------------, 2000. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Kafalah. -------------------------, 2000. Fatwa DSN MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah http://www.listriktenagaair.com/PembangkitListrik.htm diakses pada http://husnawalahir.blogspot.com/2012/01/pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi.html
diakses
pada
56