© 2005 Departemen Akuntansi FEUI Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.2, No. 1, Juli 2005 pp 58-76
MENGGAGAS PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA MELALUI OBLIGASI SYARIAH Septian Hario Seto Septian Hari Seto adalah mahasiswa program reguler di Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Abstract Some o f objectives o f infrastructure development are pushing economic growth and decreasing unemployment. Economic crises that started in 1997 brought the bad condition in Indonesian infrastructure, this condition arise because government doesn ’t have enough fu n d to increase quality and quantity o f the infrastructure. This paper tries to offer new source o f fu n d fo r Indonesian infrastructure development through Islamic bonds. This is a prospective way to absorb funtf, because this type o f bonds is very demanding, especially from g u lf countries Keyword: infrastructure development, islamic bonds
Menggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
59
PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memberikan berbagai efek negatif bagi bangsa ini. Kondisi perekonomian yang semakin merosot sehingga menyebabkan penurunan taraf hidup masyarakat. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan rusaknya infrastruktur fisik yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal ketersediaan infrastruktur yang baik merupakan salah satu prasyarat utama agar perekonomian dapat terus tumbuh. Infrastruktur disini meliputi infrastruktur jalan, sumber daya air dan irigasi, energi serta informasi dan telekomunikasi. Survei yang dilakukan oleh KADIN terhadap kondisi bisnis di Indonesia menunjukkan bahwa 51 persen dari seluruh total responden memiliki pengalaman negatif terhadap kondisi infrastruktur di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia terkait dengan produktivitas dan iklim investasi di Indonesia berhasil mengindentifikasi bahwa biaya yang harus dikeluarkan perusahaan terkait dengan ketidakhandalan infrastruktur, korupsi dan ketidakpastian hukum akan meningkatkan biaya produksi sebesar 20 %. Perbaikan sekaligus peningkatan kondisi infrastruktur tentunya menjadi persyaratan mutlak bagi peningkatan ekonomi Indonesia ke depan, dan untuk itu dibutuhkan biaya sekitar R pl300 Trilyun. Di sisi lain, usaha untuk terus melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia juga mengalami hambatan dalam hal kemampuan finansial pemerintah. Besarnya,- hutang bersama bunganya yang harus dibayarkan setiap tahunnya membuat dana untuk investasi dan pembangunan infrastruktur harus dikurangi. Untuk mengatasi kebutuhan dana tersebut pemerintah telah menganalisa berbagai sumber pembiayaan seperti perbankkan, asuransi, dana pensiun, APBN, bantuan dan pinjaman luar negeri, serta dana dari para investor. Artikel ini akan membahas salah satu sumber pembiayaan lain yang sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh pemerintah dalam mendanai pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sumber pembiayaan tersebut adalah obligasi syariah, jenis obligasi ini telah digunakan oleh banyak negara untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti Malaysia, Bahrain dan Turki. KONDISI INFRASTRUKTUR INDONESIA Sejak tahun 1993-2002 rasio belanja infrastruktur per GDP Indonesia terus mengalami penurunan. Tabel berikut ini menunjukkan penurunan rasio belanja infrastruktur Indonesia per GDP.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
60
Grafik 1. Belanja Infrastruktur per GDP (%) 6,0
5,34
5,0 4,0 3,0 2,0
1,0 0,0
1993/1994
1994/1995
1995/1996
1996/1997 1997/1998
1998/1999
2000
2002
*Sumber kementrian koordinator bidang perekonomian
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa proporsi belanja infrastruktur per GDP di Indonesia sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2002 terus mengalami penurunan, dari 5,34 % pada APBN 1993/1994 menjadi hanya 2,33 % pada tahun 2002. Hal ini tidak hanya menyebabkan pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak berkembang, tetapi juga tidak mampu mempertahankan kondisi infrastruktur yang ada dalam kondisi layak untuk digunakan. Menurut data Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah pada tahun 2004, kondisi jqjan di Indonesia yang layak untuk digunakan hanya sekitar 54 %. Kondisi yang sama juga dialami infrastruktur energi di Indonesia, pembangunan pembangkit listrik yang banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa menyebabkan pembangunan menjadi tidak merata, hal tersebut juga mengabaikan besarnya potensi sumber daya alternatif yang banyak tersebar di luar Pulau Jawa. Untuk infrastruktur telekomunikasi dan informasi, menurut data dari Bappenas pada tahun 2005, selama lima tahun terakhir ini ketersediaan infrastruktur telekomunikasi baru mencapai 16,8 % atau 5 jaringan per seratus penduduk. Kondisi-kondisi tersebut tentu saja harus diperbaiki untuk dapat memacu pertumbuhan perekonomian. Kondisi infrastruktur yang buruk memiliki pengaruh negatif terhadap perekonomian. Secara spesifik menurut penelitian Bank Dunia, pengaruh ketidakhandalan infrastruktur terhadap peningkatan biaya produksi dapat dilihat pada grafik berikut:
Menggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
61
Grafik 2. Pengaruh Ketidakhandalan Infrastruktur Terhadap Peningkatan Biaya Produksi Pengaruh Ketidakhandalan Infrastruktur Terhadap Peningkatan Biaya Produksi
0
Indonesia
Phillipines
China
Poland
Brazil
S um ber: Bank Dunia
Dari tabel di atas pengaruh ketidakhandalan infrastruktur terhadap peningkatan biaya produksi di Indonesia jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Philipina, Cina, Polandia dan Brazil. Kondisi ini tentunya harus diperbaiki, karena akan menurunkan daya saing usaha yang pada akhirnya akan menurunkan minat investor untuk berinvestasi langsung di Indonesia Arti Pembangunan Infrastruktur Bagi Indonesia Infrastruktur yang baik merupakan salah satu pendorong laju pertumbuhan ekonomi’ sekaligus membuka lapangan kerja baru. Laporan Bank Dunia pada tahun 2004 di wilayah Amerika Latin menyebutkan bahwa minimnya investasi infrastruktur di wilayah tersebut pada periode 1990-an telah menyebabkan penurunan pertumbuhan jangka panjang sebesar 1-3 %. Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa investasi pada sektor telekomunikasi dan energi di wilayah Afrika pada periode 1980-1990 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi diwilayah tersebut tumbuh lebih besar 1,3% dibandingkan wilayah Asia Timur. Melalui pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan oleh pemerintah selama lima tahun ke depan, diharapkan mempu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sehingga akhirnya dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan model makroekonometri yang telah dikembangkan LPEM pada tahun 2004 telah menunjukkan keterkaitan yang signifikan antara stok infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, air, listrik dan telekomunikasi terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya tabel berikut menunjukkan hasil simulasi tersebut: Tabel 1. Peningkatan PDB (% ) A kibat Peningkatan Stok In fra stru k tu r sebesar 10 %
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
62
Irigasi Jalan Listrik Telepon
% Pertumbuhan PDB 1,26 0,88 0,84 0,61
Pelabuhan
0,26
Air
0,22
Infrastruktur
Sumber LPEM UI 2004
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan stok infrastruktur irigasi memberikan dampak terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti oleh infrastruktur jalan, listrik, telepon, pelabuhan dan air. Simulasi lebih lanjut yang dilakukan oleh LPEM juga menunjukkan keterkaitan antara proporsi investasi pada sektor-sektor infrastruktur tertentu terhadap pertumbuhan lapangan pekerjaan. Simulasi tersebut menggunakan asumsi proporsi investasi sebagai b e rik u t: Tabel 2. Asumsi Alokasi Investasi Per Sektor Infrastruktur Uraian
Sektor
LPEM
BAPPENAS
145
Prasarana Pertanian
4,49%
4,49%
146
Jalan, Jembatan dan pelabuhan IJangunan & Instalasi listrik, gas, air minum dan komunikasi
31,70%
31,70%
63,82%
63,82%
147
Sumber LPEM 2004
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diperoleh hasil sebagai b erik u t: Tabel 3. Pengaruh Alokasi Investasi Per Sektor Infrastruktur Terhadap Lapangan Kerja Sektor 145 146
147
Uraian Prasarana Pertanian Jalan, Jembatan dan pelabuhan Bangunan & Instalasi listrik, gas, air minum dan komunikasi TOTAL
Multiplier
Rank
0,05511
65
Exp Investment (Rp Juta) 58.551.407
0,05063
77
413.635.951
20.942.388
0,04737
89
832.812.642 1.305.000.000
39.450.335 63.619.491
Employment Im pact (orang) 3.226.768
Sumber LPEM 2004
Dari hasil simulasi yang telah diungkapkan diatas pemerintah dapat mengoptimalkan pembangunan pada sektor-sektor infrastruktur yang memiliki
M enggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
63
efek terhadap pertumbuhan ekonomi serta peningkatan tenaga keija yang cukup besar, seperti sektor jalan, jembatan dan pelabuhan serta bangunan, instalasi listrik, gas, air minum dan komunikasi. Dengan adanya optimalisasi melalui pembangunan infrastruktur yang lebih terarah, sasaran yang ingin diraih diharapkan dapat lebih cepat tercapai Target Kebijakan Ekonomi Indonesia ke Depan dan Kebutuhan Dana bagi Pembangunan Infrastruktur Memasuki tahun 2003, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan stabilitas makroekonomi mulai dapat diraih oleh Indonesia. Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi Indonesia sejak tahun 2000 dapat dilihat pada tabel berikut i n i : Tabel 4. Indikator Ekonomi Indonesia Indikator
2000
2001
2002
2003
2004
Pertumbuhan PDB (%) Indeks Harga Konsumsi
4.9 9.3
3.4 12.5
4.3 10.0
4.5 5.1
5.13 5.0
GROSS RESERVES (BILL.USS)
29.4 '
28.0
35.2
94.3
91.6
32.0 74.9
36.2
Hutang Luar Negeri (% dari PDB)
63.6
53
Nilai Tukar (Rp/US$)
8,422
10,246
9,295
8,578
9.000 - 9.500
Sumber Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
NSmun, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi yang telah diraih ternyata belum mampu meningkatkan lapangan kerja yang memadai sehingga belum mampu menurunkan angka kemiskinan, untuk menciptakan lapangan pekerjaan dapat dilakukan dengan cara meneruskan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Menyadari hal tersebut, memasuki tahun 2005 Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang terbentuk sebagai hasil pemilihan langsung pada pemilu 2004 telah mencanangkan target-target ekonomi yang harus diraih selama lima tahun kedepan. Target tersebut antara adalah : • Tingkat Penggangguran menurun dari 9,7% di tahun 2004 menjadi 5,1% di tahun 2009 • Jumlah penduduk miskin menurun dari 16,6% di tahun 2004 menjadi 8,2% di tahun 2009 • Untuk mencapai target tersebut diperlukan percepatan pertumbuhan ekonomi dari 5% di tahun 2004 menjadi 7,6% di tahun 2009 atau rata-rata pertumbuhan sebesar 6,6% pertahun
64
•
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
Sasaran laju pertumbuhan diatas hanya akan tercapai jika rasio investasi terhadap GDP dapat meningkat dari 20,5% di tahun 2004 menjadi 28,4% di tahun 2009.
Untuk mencapai target yang telah disebutkan diatas, selama lima tahun ke depan diperkirakan kebutuhan dana yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah R pl.300 trilyun atau sekitar 5 % pertahunnya dari total GDP, diluar dana restrukturisasi Aceh sebesar US$4,5 milyar. Dari sekitar Rpl.300 trilyun tersebut, pemerintah hanya mampu menyediakan 17 % yang dialokasikan dari APBN, sebesar 21 % kemudian diharapkan dapat diperoleh dari dana domestik seperti perbankkan, reksadana, asuransi dan dana pensiun. Funding gap sebesar, 62 % atau Rp810 trilyun kemudian diharapkan dari lembaga donor sebesar Rp90 trilyun dan sisanya sebesar Rp720 trilyun diharapkan datang dari sektor swasta. Untuk memenuhi kebutuhan sebesar Rp720 trilyun tersebut, Pemerintah pada awal tahun 2005 telah melaksanakan Infrastructure Summit yang berhasil menawarkan tahap pertama pembangunan infrastruktur sebesar Rp202,5 trilyun, sisanya sebesar Rp517,5 tilyun akan ditawarkan pada tahap berikutnya. Untuk memenuhi kebutuhan dana yang sangat besar tersebut pemerintah harus intensif melakukan pendekatan kepada para investor dan mampu memanfaatkan segala peluang yang ada. Salah satu peluang -yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia saat ini adalah pemanfaatan instrumeninstrumen syariah untuk melakukan penghimpunan dana. Potensi dana yang dapat diraih melalui instrumen ini sangat besar, nilainya mencapai US$200-300 milyar. Salah satu instrumen yang dapat digunakan dan sudah sangat berkembang adalah obligasi syariah. Negara-negara seperti Malaysia dan Bahrain telah menggunakan instrumen ini untuk menghimpun dana guna membangun proyek infrastrukturnya. Di Malaysia, instrumen ini banyak digunakan untuk mendanai proyek-proyek seperti jalan tol, perumahan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Bahkan pada tahun 2002, Malaysia bahkan telah menerbitkan Malaysian Global Sukuk (MGS) yang merupakan obligasi syariah global pertama yang diterbitkan oleh negara itu sebesar US$600 juta. Obigasi ini mengalami oversubcribed sebesar 300 %. Pemerintah Jerman pun rencananya juga akan menerbitkan obligasi syariah untuk membiayai pembangunan infrastruktur di negaranya. Besarnya permintaan terhadap obligasi syariah tidak terlepas dari besarnya permintaan, sementara jumlah instrumen ini masih terbatas. Karakteristik utama yang dimiliki oleh obligasi syariah, selain interestfree, adalah selalu didasarkan atas aset riil, sehingga sangat cocok untuk digunakan untuk menghimpun dana guna pembangunan infrastruktur.
Menggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
65
Karakteristiknya yang interest-free juga membebaskan pemerintah dari perangkap bunga yang selama ini dialami.
DASAR-DASAR KEUANGAN ISLAMI Konsep utama yang mendasari obligasi syariah adalah sistem dan konsep yang ada pada keuangan islami (Islamic Finance). Menurut Iggi H. Achsien (2000) keuangan islami adalah konsep keuangan yang didasari oleh hukum dan epistemologi yang ada dalam Islam. Konsep keuangan islami menentang konsep sekuler antara hukum komersial dari pertimbangan etika dan religius. Oleh karena itu tujuan yang ingin dicapai oleh sistem keuangan islami tidak hanya mengoptimalkan return dari masing-masing individu, tetapi juga menciptakan kemashlahatan dalam masyarakat. Ada tiga konsep penting yang terdapat dalam sistem keuangan islar.ii yang akan berpengaruh terhadap praktik dan perkembangan keuangan islami, yaitu: 1. Pelarangan Riba Islam melarang riba karena dikategorikan sebagai mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Riba berasal dari akar kata r-b-w yang disebutkan sebanyak dua puluh kali dalam Al-Qur’an, dimana secara khusus istilah riba digunakan sebanyak delapan kali. Akar kata tersebut memiliki arti tumbuh, mengembang, menyuburkan. Penggunaan-penggunaan arti kata tersekat secara umum mengacu kepada satu artu yaitu bertambah, dalam arti kuantitas dan kualitas. Al-Qur’an 3:130 merupakan ayat pertama yang turun mengecam adanya praktek riba. Namun, Allah membedakan adanya riba dengan jual beli melalui Surat Al-Baqarah ayat 275, dimana Allah mengharamkan adanya riba dan menghalalkan jual beli. Pada saat ini, cukup banyak polemik atas interpretasi riba, terutama apakah riba dapat dikaitkan dengan bunga yang saat ini sangat umum mewarnai praktek ekonomi dan keuangan. Namun, mayoritas ulama di dunia sepakat bahwa bunga dapat disamakan dengan riba. Majelis Ulama di Indonesia sendiri pada tahun 2004 telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan praktek bunga dalam seluruh sendi perekonomian. Ada dua karakteristik mengapa riba dilarang, hal itu juga terkait dengan ayat-ayat terakhir yang turun berkaitan dengan riba. Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan sifat dari riba, yang pertama adalah lakum r u ’usu amwalikum (bagi kalian adalah pokok pinjaman kalian) dan la tazhlimun wa la tuzhlamun (kalian tidak menganiyaya dan tidak pula dianiyaya). Dua karakteristik tersebut mengisyaratkan bahwa hak seorang kreditor adalah hanya pokok
66
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
pinjaman saja, segala kelebihan dari pokok yang telah ditentukan sebelumnya atau karena adanya penangguhan tergolong riba, hal tersebut juga mengisyaratkan agar tidak teijadi penganiyayaan debitur atas kreditur karena sistem riba akan menjadikan debitur memiliki hutang semakin besar akibat ketidakmampuannya membayar hutang. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan mengapa obligasi konvensional yang berbasis bunga di haramkan 2. Pelarangan Atas Gharar dan Maysir (Perjudian) Tidak ada penjelasan fiqih yang cukup jelas untuk memberikan definisi atas gharar. Literatur-literatur fiqih yang ada hanya mengungkapkan tindakantindakan yang dapat dikategorikan sebagai gharar. Contohnya adalah hadits dari Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Hambal yang melarang penjualan ikan di dalam laut karena termasuk gharar. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, juga mencontohkan transaksi lain yang dilarang karena termasuk gharar yaitu membeli kain tanpa melihat atau membalik kain tersebut, atau menjual buah yang belum masak. Dalam literatur modem, seorang ilmuwan muslim Sami’ Al-Suwaillem mengidentifikasikan transaksi gharar sama dengan suatu transaksi zero-sum game dimana keuntungan yang diperoleh salah satu pihak hanya dapat diraih jika merugikan pihak lain yang menjadi lawan transaksinya. Karim (2004) menyebutkan bahwa incomplete information yang terjadi diantara kedua belah pihak dapat menimbulkan gharar, terutama karena hal tersebut menimbulkan ketidakpastian diantara kedua belah pihak. Secara spesifik, gharar dapat teijadi pada empat aspek yang menjadi bagian integral dari sebuah kontrak, yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Vogel dan Hayes (1998) juga menjelaskan kondisi yang dapat menimbulkan gharar, yaitu tidak adanya pengetahuan dari kedua belah pihak tentang objek yang menjadi kontrak, objek kontrak tidak exist atau objek kontrak tidak ada dalam kontrol pihak-pihak yang terikat kontrak. Lebih jauh, Vogel dan Hayes (1998) menyatakan ketiadaan salah satu dari ketiga syarat diatas tidak boleh dikompensasi dengan adanya kenaikan harga atau return. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terikat dalam kontrak obligasi syariah harus memperhatikan aspek-aspek yang disebutkan diatas, terutama dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan/kontrak. Selain itu aspek pengetahuan atau keahlian dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak terhadap objek juga menjadi aspek penting agar tidak menimbulkan gharar. 3. Konsep Akad dalam Islam Pihak-pihak yang akan bertransaksi dalam Islam, terikat dengan suatu akad. Akad adalah janji diantara kedua belah pihak untuk bersepakat melaksanakan
Menggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
67
sesuatu kewajiban yang sudah diperinci secara jelas. Perincian itu meliputi terms and condition yang terkait dengan kewajiban yang akan dilaksanakan, selain itu konsep gharar dan riba yang telah dibahas sebelumnya akan menjadi bagian penting dalam penyusunan akad. Jika salah satu pihak ada yang wanprestasi/pelanggaran yang disengaja maka akan mendapatkan hukuman sesuai dengan akad yang telah disepakati. Namun, jika ternyata timbul kerugian karena aspek bisnis atau kondisi ekonomi yang memburuk, pihak-pihak yang akan menanggung kerugian akan tergantung dari karakteristik masing-masing akad yang digunakan. Ada dua jenis akad yang terkait dalam transaksi-transaksi yang ada dalam ekonomi syariah. Yang pertama adalah akad tabarru, yaitu akad yang mengikat kedua belah pihak, dimana salah satu pihak melakukan sesuatu kewajiban untuk orang lain. Akad ini pada dasarnya merupakan non-profit transaction dimana pihak yang melakukan kebaikan tersebut tidak dapat mengenakan laba atas tindakan yang dilakukannya kepada pihak yang lain. Namun, pihak tersebut berhak untuk meminta penggantian biaya atas tindakan yang dilakukannya, tetapi tetap tidak dapat memungut laba. Contoh akad ini adalah qard (meminjamkan), rahn (gadai), wakalah (penyediaan jasa), w adi’ah (jasa titipan), hibah dan shadaqah. Jenis akad yang kedua adalah akad tijarah. Akad ini bertujuan untuk profit transaction. Contoh akad tijarah adalah akad jual-beli, investasi dan sewa-menyewa. Akad tijarah dibagi lagi menjadi dua, yaitu akad yang memiliki natural uncertainty dan yang memiliki natufal certainty. Pada jenis yang pertama waktu dan cashflownya tidak boleh ditentukan terlebih dahulu, karena akan tergantung dengan hasil investasi yang dilakukan. Contoh akad ini adalah akad-akad investasi seperti mudharabah dan musyarakah. Sedangkan jenis yang kedua waktu dan cahsflow-nya telah ditentukan diawal, sehingga cashflow dan waktu 'berakhirnya kontrak sudah pasti. Contoh dari jenis ini adalah akad ijarah (sewa-menyewa), akad jual beli seperti murabahah, istisna dan salam. Definisi Obligasi Syariah Pada dasarnya definisi obligasi syariah akan sangat tergantung berdasarkan jenis dan karakteristik akad yang mendasarinya. Berbeda dengan definisi pada ekonomi konvensional yang menunjukkan obligasi itu sebagai surat hutang, obligasi syariah bisa berarti sebagai bukti kepemilikan investasi. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emitten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan
68
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
emitten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin//ee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Definisi tersebut dikeluarkan oleh DSN ketika obligasi syariah mudharabah pertama kali akan dikeluarkan oleh PT Indosat senilai Rp 175 Miliar. Melihat definisi yang dikeluarkan diatas, ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati. Pertama adalah pendapatan yang dibagikan kepada pemegang obligasi dapat berupa hasil atau margin atau fee, hal ini akan merujuk kepada jenis akad yang digunakan. Misalnya dalam akad, mudharabah, hal yang dapat dibagikan kepada pemegang obligasi adalah pendapatan atau laba dari operasi yang dibiayai oleh penerbitan obligasi syariah tersebut. Pendapatan biasanya digunakan sebagai dasar untuk bagi hasil jika non-controllable cost dari proyek yang dibiayai cukup besar, fatwa MUI juga menyebutkan bahwa revenue sharing lebih baik digunakan untuk kemashlahatan. Dalam kasus obligasi syariah mudharabah yang diterbitkan oleh PT Indosat, jenis operasi yang dibiayai oleh penerbitan obligasi syariah tersebut adalah jasa satelit dan internet yang dimiliki Indosat. Jenis akad lain yang digunakan dalam obligasi syariah menurut fatwa DSN diatas antara lain musyarakah, murabahah, istisna, salam, dan ijarah. Jenis operasi yang dibiayai oleh penerbitan obligasi syariah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Fatwa DSN No.20/DSN-MUI/IX/2000 menjelaskan lebih jauh jenis-jenis usaha yang dilarang, antara lain adalah peijudian, transaksi yang terkait dengan usaha lembaga keuangan ribawi, usaha untuk memproduksi dan mendistribusikan barang haram dan barang yang dapat merusak "moral atau bersifat mudharat. Lebih jauh dijelaskan dalam fatwa ini adalah jenis transaksi yang dilarang, yaitu transaksi yang melibatkan unsur spekulasi {gharar), short selling (bai ’ al-ma ’dum), insider trading dan investasi pada perusahaan yang tingkat (nisbah) hutangnya iebih dominan dari modalnya. Fatwa DSN No. 20 juga menjelaskan kriteria keuangan yang dimiliki oleh emitten yang layak untuk berinvestasi secara syariah yaitu struktur pembiayaan hutang tidak melibatkan riba, emiten tersebut memiliki proporsi hutang tidak lebih dari 45 % dan manajemen diketahui tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Ketentuan-ketentuan yang diatur oleh DSN tersebut ditujukan supaya berinvestasi secara syariah harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kehati-hatian, agar investasi yang dilakukan tidak hanya memberikan keuntungan bagi investor tetapi juga kepada masyarakat. Hal kedua yang layak dicermati dari definisi obligasi syariah yang disebutkan diatas adalah adanya kewajiban bagi emiten untuk membayarkan pokok pada saat jatuh tempo dan pendapatan berupa fee atau margin atau hasil dari operasi yang dibiayai melalui penerbitan obligasi syariah. Definisi tersebut cukup bermasalah, terutama terkait dengan akad-akad investasi seperti
M enggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
69
mudharabuh dan musyarakah, dimana pendapatan yang dibagi hasilkan akan sangat tergantung dari hasil operasi yang dibiayai oleh akad tersebut. Jika operasi tersebut tidak menghasilkan pendapatan disebabkan karena faktor-faktor diluar kelalaian emiten atau mudharib (pengelola dana mudharabah) maka tidak ada kewajiban untuk membagi hasilkan berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena karakteristik akad yang merupakan akad investasi, dimana tidak ada kepastian bahwa akan mendapatkan hasil investasi. Perdebatan ini cukup menjadi polemik, namun DSN memiliki alasan mengingat keterbatasan pasar dan instrumen obligasi syariah yang ada saat ini, sehingga untuk lebih menggalakkannya serta memberikan keamanan bagi investor maka definisi obligasi syariah tersebut masih dapat dibenarkan menurut kaidah fiqih. Penjaminan terhadap pembayarak pokok obligasi juga dilakukan oleh pemerintah Yordania terhadap obligasi syariah mudharabah yang dikeluarkan di negara itu, dengan adanya penjaminan diharapkan penerimaan investor terhadap obligasi syariah menjadi lebih baik.
Jenis-jenis Obligasi Syariah Seperti yang telah disebutkan di atas, ada enam jenis obligasi syariah yaitu obligasi syariah mudharabah, musyarakah, istisna, salam, murabahah dan ijarah. Jenis yang telah ada di Indonesia adalah obligasi syariah mudharabah yang antara lain dikeluarkan oleh PT Indosat dan Bank Syariah Mandiri dan obligasi syariah ijarah ying antara lain dikeluarkan oleh PT Matahari Putera Prima dan PT Citra Sari Makmur. Proses penerbitan obligasi syariah dimulai dengan adanya sekuritisasi atas aset atau operasi yang akan dibiayai, hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah penentuan fixed atau variabel return sesuai dengan karakteristik akad yang digunakan, penilaian atas kelayakan aset atau operasi, penentuan jatuh tempo, dan penentuan apakah return akan didistribusikan secara akumulatif atau secara periodik. Di Pakistan, proses sekuritisasi juga harus memperhatikan standar akuntansi yang digunakan, serta data-data historis dari emiten. Penentuan jenis akad yang akan digunakan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam proses sekuritisasi, karena akan terkait dengan performance obligasi syariah yang bersangkutan. Berikut ini akan dibahas obligasi syariah mudharabah, murabahah, musyarakah dan ijarah:
70
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
1. Obligasi Syariah Ijarah Menurut fatwa DSN ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu, yang diikuti dengan pembayaran sewa/upah, tanpa adanya pemindahan kepemilikan barang/jasa itu sendiri. Jika disertai dengan perpindahan kepemilikan maka akad tersebut dinamakan Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik (IMBT). Namun, perpindahan kepemilikan merupakan suatu opsi, dan hanya merupakan w a ’ad, yang hukumnya tidak mengikat. Jadi, apabila akad tersebut akan dilaksanakan maka harus ada akad pemindahan. Oleh karena itu akad pemindahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah adanya akad Ijarah. Ketika kegunaan dari barang atau jasa telah ditransfer dari lessor ke lesse, maka lesse bertanggung jawab atas setiap kerusakan dari barang atau jasa yang disebabkan karena kelalaian dari lesse Penentuan sewa/upah sudah ditentukan dari awal. Besarnya sewa dapat tergantung dari performance dari jasa atau barang yang disewakan atau independen dengan performance objek tersebut. Oleh karena itu besarnya sewa/upah juga dapat berbeda berdasarkan periode-periode tertentu dari masa sewa, namun hal itu harus sudah disepakati ketika akad dilakukan. Terkait dengan obligasi syariah, akad yang digunakan biasanya adalah IMBT dimana pada akhir masa sewa terdapat opsi perpindahan kepemilikan. Obligasi Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia dalam hal ini adalah Bank Negara Malaysia, menggunakan akad IMBT, dimana obligasi ini digundkan untuk membiayai pembangunan proyek infrastruktur publik yaitu gedung departemen keuangan, dua rumah sakit dan civil service accommodation. Dalam obligasi ini, pemerintah membentuk suatu SPV (special purpose vehicle) yang akan membeli infrastruktur tersebut dari Federal Land Commissioner selama jangka waktu lima-tahun. Kemudian, infrastruktur tersebut disewakan kepada pemerintah selama jangka waktu yang sama. Setelah itu, SPV akan menerbitkan obligasi syariah ijarah untuk mensekuritisasi akad ijarah dengan pemerintah. Investor akan mendapatkan return berupa sewa yang dibayarkan kepada pemerintah secara periodik. Ketika jatuh tempo, pemerintah akan membeli aset tersebut, sehingga dana yang diperoleh dapat digunakan untuk membayar obligasi syariah yang jatuh tempo tersebut. Penggunaan obligasi syariah ijarah tidak hanya terbatas kepada infrastruktur publik, tetapi juga kepada infrastruktur komersial dan dikeluarkan oleh swasta atau BUMN. Contohnya, jika pemerintah ingin membangun proyek pembangkit tenaga listrik, pemerintah dapat membentuk suatu sindikasi lembaga keuangan yang akan memberikan dana untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik tersebut. Kemudian, pembangkit
M enggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
71
listrik tersebut disewakan kepada PLN dengan periode waktu tertentu. Atas akad ini pihak sindikasi lembaga keuangan dapat menerbitkan obligasi syariah ijarah yang dapat digunakan untuk menutup dana pembangunan pembangkit tersebut. Ketika akhir periode, PLN akan membeli pembangkit tersebut dan dana yang diperoleh dapat digunakan untuk membayar obligasi syariah yang jatuh tempo tersebut. Jenis obligasi syariah ini sangat umum untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Bahrain dan Malaysia. 2. Obligasi Syariah Mudharabah Obligasi syariah mudharabah, menurut fatwa DSN No. 33/DSNMUI/IX/2002, adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN tentang pembiayaan mudharabah. Mudharabah sendiri mememiliki arti sebagai suatu bentuk keijasama antara dua atau lebih pihak, dimana salah satu pihak sebagai penyedia modal (shahibul maal), dan pihak lain adalah pengelola modal tersebut (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk keijasama ini menggabungkan antara keahlian yang dimiliki oleh mudharib dengan ketersediaan finansial yang dimiliki oleh shahibul-maal. Dalam mengelola dana, shahibul maal tidak dapat menempatkan wakilnya untuk ikut mengelola dana. Ada dua jenis akad mudharabah, yang pertama yaitu mudharabah mutlaqoh, dimana mudharib memiliki kebebasan untuk mengalokasikan dana yang diperolehnya. Sedangkan yang kedua yaitu mudharabah muqayyadah, shahibul maal memiliki hak untuk menentukan sektor industri yang akan mendapatkan alokasi dananya. Obligasi syariah mudharabah relatif baru berkembang. Di Malaysia dan Yordania jenis obligasi yang lebih banyak berkembang adalah obligasi syariah mudharabah, yang lebih disukai karena memberikan return yang pasti. Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menggunakan obligasi syariah mudharabah. Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan untuk membiayai proyekproyek infrastruktur yang memiliki perkembangan sangat cepat d imasyarakat, contohnya adalah sektor telekomunikasi. Dalam kasus obligasi syariah mudharabah yang diterbitkan oleh Indosat, dana yang diperoleh digunakan untuk mengembangkan operasi di sektor internet dan jasa satelit yang dimilikinya. Dua sektor ini merupakan sektor usaha yang memiliki prospek perkembangan yang sangat bagus bagi Indosat. Pendapatan yang dibagi hasilkan adalah pendapatan yang berasal dari kedua sektor tersebut. Obligasi syariah mudharabah juga bisa digunakan untuk proyek pembangunan pelabuhan, bandara, dan jalan tol, dimana pendapatan dari masing-masing
72
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
operasi yang akan dibagi hasilkan kepada para investor. Berbeda dengan obligasi yang menggunakan bunga, obligasi syariah mudharabah relatif lebih baik dalam hal fluktuasi pasar. Hal ini disebabkan, karena yang diberikan kepada investor adalah rasio dari pendapatan yang telah disepakati dari awal dan bukan persentasi tertentu dari par value obligasi. Sehingga ketika kondisi usaha sedang mengalami penurunan, emiten tidak akan mengalami tekanan keuangan, karena bagi hasil yang diberikan kepada bondholder adalah pendapatan yang diperoleh. 3. Obligasi Syariah Musyarakah Menurut fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000, musyarakah adalah suatu keijasama diantara dua belah pihak untuk melakukan suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak turut memberikan kontribusi modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dan kerugian beserta resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Dalam hal pembagian keuntungan dan kerugian, proporsi yang digunakan juga harus mempertimbangkan kontribusi keija dan kemampuan dari masing-masing pihak, sehingga dapat dimungkinkan pihak yang memberikan kontribusi modal paling besar belum tentu akan mendapatkan rasio keuntungan yang lebih besar pula. Obligasi syariah musyarakah digunakan oleh pemerintah Iran, Turki dan Sudan. Di Iran obligasi syariah musyarakah diterbitkan untuk membiayai sejumlah proyek pembangunan di Teheran, dimana dalam proyek tersebut termasuk shopping centre. Di Sudan obligasi syariah musyarakah digunakan sebagai instrumen moneter dengan didasarkan kepada keuntungan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan milik negara. Sedangkan di Turki pada tahun 1984, obligasi syariah Musyarakah dikeluarkan senilai US$ 200 juta yang digunakan untuk pembangunan jembatan tol. Obligasi ini selama sepuluh tahun menjadi salah satu obligasi yang marak diperdagangkan di pasar, karena memiliki return yang sangat menguntungkan. 4. Obligasi Syariah Murabahah. Murabahah, berdasarkan fatwa DSN No. 4/DSN-MUI/IV/2000, adalah suatu transaksi jual beli dimana penjual menjual suatu barang kepada pembeli dengan suatu harga perolehan dan margin yang telah disepakati bersama. Bentuk pembiayaan ini terdiri dari tiga hal, yang pertama tunai, mencicil atau lump-sum. Dalam hal bentuk tunai, pembeli akan langsung membayar seluruh harga barang yang disepakati berdasarkan setelah penjual menyerahkan barang. Hal yang berbeda jika bentuk lump-sum yang digunakan, dimana pembeli membayar harga yang telah disepakati pada akhir periode tertentu yang telah disepakati. Sedangkan dalam bentuk mencicil, pembeli membayar
M enggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
73
harga yang telah disepakati secara periodik berdasarkan jangka waktu yang telah ditetapkan. Di Malaysia, obligasi syariah murabahah digunakan sebagai pengganti zero coupun bond, efek kupon sengaja dihilangkan agar tidak mempengaruhi perhitungan yield sehingga dapat digunakan sebagai benchmark bond. Obligasi syariah jenis ini hanya dapat diperdagangkan di primary market. Hal itu disebabkan karena pembiayaan murabahah tergolong hutang, perpindahan hutang dari satu pihak ke pihak lain dalam jangka waktu yang berbeda dilarang dalam Islam menurut hadits riwayat daruqutni, bahwa Nabi Muhammad melarang penjualan hutang dengan hutang yang jumlah pembayarannya berbeda pada waktu yang lain. Namun, karena hanya diperdagangkan di pasar primer, obligasi syariah murabahah memiliki keuntungan. Contohnya, Pertamina membutuhkan mesin pengolahan minyak yang baru, karena dana yang dimiliki saat ini belum cukup, Pertamina menerbitkan obligasi syariah murabahah, dimana nilainya merupakan harga beli mesin pengolahan minyak ditambah margin yang disepakati dengan investor. Setelah jatuh tempo, Pertamina harus melunasi obligasi syariah tersebut. Formulasi Obligasi Syariah Jenis-jenis obligasi syariah yang telah dibahas di atas, masing-masing memilik j,-keuntungan dan kerugian tersendiri sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing akad yang mendasari penerbitan obligasi syariah tersebut. Sehingga penyesuaian karakteristik operasi yang akan dibiayai dengan karakteristik akad yang digunakan diperlukan agar investor tertarik dengan obligasi syariah yang akan diterbitkan. Karim (2004) mengkategorikan pembiayaan investasi menjadi lirna, yaitu pendirian proyek baru, rehabilitasi atau penggantian mesin dan peralatan yang sudah rusak dengan mesin/peralatan yang baru, modernisasi atau penggantian seluruh mesin/peralatan lama dengan mesin/peralatan baru yang memiliki kemampuan teknologi lebih baik, ekspansi dengan menambah mesin atau peralatan, dan yang terakhir adaiah relokasi proyek. Analisis yang penting untuk dilakukan bagi setiap jenis pembiayaan adalah karakteristik dari masing-masing proyek yang akan dibiayai, jika pada tahap awal kedua belah pihak saling mempertukarkan asetnya, maka objek pertukaran (barang atau jasa) pun sudah harus ditetapkan diawal baik kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Kontrak semacam ini termasuk natural certainty contract sehingga menggunakan
74
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
akad jual beli (murabahah, istisna, salam) dan akad sewa menyewa (ijarah dan IMBT). Namun, jika kondisi yang terjadi adalah kedua belah pihak saling mempertukarkan asetnya menjadi satu kesatuan maka pertanggungan resiko (finansial dan non finansial) untuk mencapai keuntungan harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Sehingga keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh nantinya menjadi tanggungan bersama. Kontrak jenis ini termasuk natural uncertainty contract dimana cashflow-nya tidak dapat diprediksikan dari awal. Oleh karena itu dalam penentuan akad dan obligasi syariah harus memperhatikan aspek pertukaran atau percampuran aset dari kedua belah pihak. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah jangka waktu kontrak. Jika jangka waktunya semakin lama maka sebaiknya menggunakan natural uncertainty contract. Hal ini disebabkan semakin panjangnya waktu kontrak akan terkait dengan ketidakpastian yang akan terjadi dalam jangka waktu kontrak tersebut. Contohnya adalah obligasi syariah musyarakah yang digunakan di Turki. Dalam natural uncertainty contract, pemilik dana/bondholder dapat menentukan covenant untuk mengurangi moral hazard yang mungkin dilakukan oleh pengelola dana, antara lain : 1. Penentuan batas maksimal debt to equity 2. Penetapan jaminan berupa fixed asset atau pihak penjamin 3. Penyajian cashflow yang transparan 4. Pengendalian terhadap non-controllable cost. Melihat pengalaman di berbagai negara yang telah memiliki pasar obligasi syariah yang sudah berkembang, terlihat peran pemerintah yang sangat besar, baik dalam sisi regulasi maupun berperan secara langsung untuk menerbitkan obligasi syariah. Dalam kasus Indonesia, peran swasta dalam mengembangkan obligasi syariah sudah cukup besar, namun peran pemerintah dirasakan masih sangat kurang, terutama dalam memberikan payung regulasi, contohnya dalam hal perpajakan, akad murabahah masih dikenakan pajak berganda, padahal di negara lain seperti Malaysia dan Inggris tidak diberikan pajak berganda. Melihat besarnya sisi permintaan akan obligasi syariah, pemerintah diharapkan dapat jeli untuk mengambil kesempatan ini guna membiayai berbagai proyek infrastruktur yang saat ini telah direncanakan. Baik melalui perbaikan regulasi atau ikut langsung menerbitkan obligasi syariah.
Menggagas Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia melalui Obligasi Syariah
75
KESIMPULAN Stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia saat ini ternyata belum mampu menurunkan angka pengangguran secara signifikan. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan hal itu adalah melakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur fisik yang dimiliki oleh Indonesia saat ini. Pembangunan infrastruktur selain dapat membuka lapangan keija baru, juga dapat meningkatkan dan memperlancar aktivitas ekonomi sehingga akhirnya akan berpengaruh positif terhadap kineija ekonomi Indonesia. Selain itu, kondisi infrastruktur yang memadai akan menarik para investor untuk menanamkan dananya guna berinvestasi di Indonesia. Namun, rencana pembangunan infrastruktur tersebut dihadapkan kepada keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan pula peran swasta untuk membiayai atau berperan langsung dalam membangun infrastruktur di Indonesia. Salah satu peluang yang dimiliki oleh pemerintah saat ini adalah mengembangkan pasar obligasi syariah di Indonesia, mengingat dari sisi permintaan atas instrumen ini sangat besar, baik dari dalam negeri atau pun luar negeri. Obligasi syariah yang memiliki korelasi sangat kuat terhadap aset atau sektor riil merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang baik untuk dimanfaatkan oleh pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur didalam negeri. Aflanya berbagai jenis akad yang bisa digunakan dalam obligasi syariah dapat memberikan fleksibilitas untuk membiayai proyek infrastruktur yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
76
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia/Juli 2005
DAFTAR PUSTAKA Achsien, Iggi H.. 2003. Investasi Syariah di Pasar Modal. Jakarta: PT Gramedia Artikel, Paper dan Presentasi Asad, Alavi. Et.all. BMA Islamic Bonds, www.kantakii.org Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Hamidi, M. Lutfi. Jejak-Jejak Ekonomi Syariah. 2003. Jakarta: PT Senayan Abadi Publishing. Muhammad Al-Amine, Muhammad Al-Bashir. The Islamic Bonds Market : Possibilities and Challanges. International Journal o f Islamic Financial Services. Vol 3 No. 1 Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam. Jakarta : PT Rajawali Grafiti. Saeed, Dr. Omar Abdullah. 2004. Menyoal Bank Syariah. Jakarta : PT Paramadina SusantoncJ, Bambang. Infrastruktur, Investasi dan Kelembagaan. Disampaikan dalam Sidang Pleno ISEI XI. Jakarta, 22 Maret 2005 Usmani, M. Taqi. Ijarah. www.kantakii.org Vogel, Frank E and Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance : Religion, Risk and Return. London : Kluwer Law International Winoto, Joyo PhD dan Hermanto Siregar, Phd. Peranan Pembangunan Infrastruktur dalam Sektor Riil. Disampaikan dalam Sidang Pleno ISEI XI Jakarta, 22 Maret 2005