Pola Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian dalam mengungkap Diri (Self Disclosure) (Studi Kasus Peran Komunikator dan Komunikan Kaum Lesbian dalam Berkomunikasi Terkait Pengungkapan Diri terhadap Komunitasnya di Kota Tegal) Meily Rohmatun Prahastiwi Utari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Homosexuality have become a much spoken topic in the society. In Indonesia, with its eastern culture, homosexuality still become a sexual phenomenon that mentioned as taboo and considered as deviate for some society. Woman who have feeling related interest (compassion, emotional relation) to other woman. Lesbian phenomenon is not only grow in large cities, but also in small cities like Tegal, a relatively small city in Central Java Province. The lesbian individual is having a hard time to interact with large society, even with her own community. This phenomenon is interesting to be researched regarding the communication process that a lesbian does to her community is not an easy thing to do like a usual daily conversation in general. Self- disclosure process in the interpersonal communication have a purpose to make friends, date, or lover. In self disclosure they reveal all their restrained feelings when normal life demand them to cover their behavior in front of the society. According to DeVito (2011), self-disclosure is information about someone, that comprise thoughts, feeling and someone behavior or about someone else who is close to us who have significantly dependent relationship with us. Selfdisclosure fix communication. We can understand what someone said more if we know him better. In a contrary, without self-disclosure, the meaningful and deep relationship will never happens. According to this theory opinion, then arranged a qualitative research with a purpose to describe and analyze the role of communicator and communicant in interpersonal communication process of lesbian community related to their self-disclosure. To analyze the problem, case study method is used because to get to know detail a holistic about the interpersonal communication pattern of lesbian of self-disclosure. From the conducted analysis result, communicator and communicant role is become very important in lesbian self-disclosure, so formed a pattern of interpersonal communication that describe the interaction process start from the introduction stage until the climax relationship. Keywords: Interpersonal Communication, Self Disclosure, Lesbian
1
Pendahuluan Homoseksual sudah menjadi suatu fenomena yang banyak dibicarakan di dalam masyarakat, baik di berbagai negara maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dengan adat ketimurannya, homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang masih terbilang tabu dan dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat, walaupun di negara-negara barat fenomena ini sudah tidak lagi menjadi suatu fenomena yang dianggap tabu lagi. Dan hal ini juga bisa dikatakan sebagai budaya, dimana seseorang bebas dalam memilih pasangan hidupnya. Di Indonesia juga demikian, dimana pasangan hidup yang dimaksud “bebas” adalah bebas dalam batasan jenis kelamin. Seorang perempuan boleh berpasangan dengan laki-laki atau boleh saja (jika dianggap wajar) berpasangan dengan perempuan yang dari sesama jenisnya sendiri. Begitu juga sebaliknya dengan kaum laki-laki. Homoseksualitas secara umum merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang menyimpang, ditandai dengan adanya ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) terhadap sesama jenis kelamin. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang menderita penyimpangan ini, sedangkan bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim disebut “lesbian”. Untuk menentukan besarnya angka insidensi dan angka prevalensi penyimpangan perilaku lesbian secara akurat memang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar dari banyak negara belum mampu menentukan secara tepat besarnya angka insidensi dan prevalensi lesbian. Secara umum diperkirakan jumlah kaum lesbian dan gay di dalam masyarakat adalah 1% hingga 10% dari jumlah populasi. Kinsley, bahkan menyebutkan bahwa setidaknya 2% hingga
5%
wanita
adalah
lesbian.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41083/4/Chapter%20I.pdf. Diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 10.46) Penelitian lain, hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan GN (GAYa Nusantara) memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homoseksual. Angka-angka itu belum termasuk kaum homoseksual di kota-kota besar. Dede Oetomo (pendiri Yayasan GAYa Nusantara) memperkirakan, secara
2
nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia (Oetomo, 2001:58). Fenomena lesbian kini semakin marak di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Dengan didirikannya beberapa LSM dan organisasi yang melindungi perempuan lesbian seperti Swara Srikandi di Jakarta, perempuan lesbian kini diakui keberadaannya dan dilindungi oleh lembaga tersebut. Lembaga tersebut bukan hanya sekedar menampung saja, tetapi para perempuan lesbian tersebut juga dilatih keterampilan agar dapat menjadi perempuan yang berguna. Contoh yang di Yogyakarta, terdapat beberapa lembaga yang menampung dan melindungi perempuan lesbian seperti Lentera Sahaja, agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya selayaknya seperti perempuan normal lainnya. Semaraknya perempuan lesbian ini ditunjukkan dengan adanya bukti bahwa perempuan lesbian berusaha untuk mengembangkan diri dan mempertahankan hak-hak para lesbian itu sendiri, para lesbian telah membentuk berbagai organisasi nasional, regional dan
lokal.
(http://www.academia.edu/6568952/STUDI_KASUS_PEREMPUAN_LESBIAN _BUTCHY_DI_YOGYAKARTA. Diakses pada tanggal 25 April 2014 pukul 22.00) Selain LSM juga terdapat sebuah lembaga pusat kajian, penerbitan dan advokasi hak-hak lesbian, biseksual dan transgender (LBT) perempuan di Indonesia. Lembaga ini didirikan pada tanggal 14 November 2005 di Jakarta sebagai bentuk kerja sama dari sejumlah kelompok kepentingan lesbian, biseksual, transgender perempuan dalam Koalisi Perempuan Indonesia. Adalah Ardhanary Institute yang dipimpin oleh RR Agustine. Lembaga ini juga berusaha memperjuangkan kesamaan hak-hak kaum LBT yang dirasakan tertekan karena budaya patriarki yang kuat di masyarakat Indonesia, yang membuat perempuan seringkali merasa tidak berdaya dalam peranan dan posisinya dalam masyarakat, termasuk
pula
dalam
mengklaim
seksualitasnya.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ardhanary_Institute. Diakses tanggal 11 Mei 2014 pukul 12.45). Ada pula majalah online lesbian pertama di Indonesia yakni SepociKopi. SepociKopi didirikan oleh dua perempuan yang peduli dengan gerakan lesbian,
3
Alex
dan
Lakhsmi
pada
Januari
2007
berbasis
weblog
di
www.sepocikopi.blogspot.com. Tulisan-tulisan awalnya adalah opini pribadi yang ditulis di waktu luang, namun ternyata berkembang menjadi esai-esai yang menelurkan gagasan kritis dan revolusioner, yang pada kemudian hari menjadi sangat berpengaruh. Tulisan-tulisan tersebut dilanjutkan oleh beberapa penulis lesbian lainnya yang terus menerus menapaktilas pada keluasan topic tak terbatas mulai dari budaya, gaya hidup, sampai humaniora. Pada tanggal 1 April 2009, SepociKopi mengubah statusnya menjadi majalah online lesbian pertama dan satu-satunya
di
Indonesia
yang
beralamatkan
di
www.sepocikopi.com.
(SepociKopi, http://sepocikopi.com/2009/01/01/sejarah-kami/. Diakses tanggal 11 Mei 2014 pukul 13.00) Banyaknya perempuan lesbi di Indonesia juga dibuktikan dengan adanya website lesbian pertama, yakni www.swarasrikandi.com dibuat khususnya untuk melayani kebutuhan perempuan lesbian Indonesia. Website ini didirikan oleh empat relawan yang merasakan perlunya kebutuhan untuk menyatukan kaum lesbian Indonesia sehingga nantinya para lesbian bisa membentuk suatu komunitas. Website di internet ini merupakan bukti semaraknya lesbian di Indonesia, media internet menunjang kebutuhan dan fasilitas bagi perempuan lesbian untuk berkomunikasi dan berinteraksi karena internet merupakan pilihan yang logis karena teknologi ini memungkinkan para perempuan lesbian bertemu, berbicara, berkenalan, dan berdiskusi, tanpa harus membuka identitas diri yang sebenarnya,
apabila
yang
bersangkutan
tidak
bersedia
(http://www.academia.edu/6568952/STUDI_KASUS_PEREMPUAN_LESBIAN _BUTCHY_DI_YOGYAKARTA. Diakses pada tanggal 25 April 2014 pukul 22.00). Kendati demikian, ternyata fenomena kaum lesbian ini tidak hanya berkembang di kota besar saja, melainkan telah mempengaruhi perkembangan kaum lesbian di Kota Tegal, sebuah kota yang tergolong kota kecil di propinsi Jawa Tengah. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh kaum lesbian sekarang ini yaitu bagaimana menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Karena keberadaan mereka masih dibilang asing dalam kehidupan dan sedikit sulit untuk diterima. Banyak masyarakat luas beranggapan menjadi seorang lesbian hanya
4
menjadi aib yang dapat memalukan diri sediri, keluarga dan orang yang berada di sekitarnya. Namun kenyataannya kaum lesbian semakin menunjukan keberadaan mereka dengan membentuk sekumpulan dari beberapa orang untuk membentuk komunitas yang ada. Sehingga keeksistensian mereka semakin menunjukkan dirinya. Salah satu komunitas lesbian di Tegal adalah CTB (Community of Tegal Belok). Belok sendiri adalah istilah umum yang dipakai untuk menyebut lesbian. CTB beranggotakan remaja berusia 15-21 tahun. Komunitas ini berdiri karena keinginan untuk berkumpul dan berbagi untuk para remaja yang baru mencari tahu apa sebenarnya orientasi seksual mereka. Komunitas ini biasanya berkumpul di GOR Wisanggeni dan di Kafe Tagor. Menurut apa yang penulis dapatkan dari informan, kaum lesbian yang berusia di atas 21 tahun tidak lagi aktif bergabung dalam komunitas karena kebanyakan dari mereka berpindah ke kota lain untuk melanjutkan studi ataupun bekerja sekaligus mencari kebebasan yang tidak mereka dapatkan di Kota Tegal (hasil wawancara dengan Gie Gabileh (bukan nama sebenarnya pada tanggal 22 April 2014 pukul 13.15). Sebagian besar komunitas bahkan individu lesbian sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Bahkan untuk berinteraksipun dengan sesama komunitasnya sendiri mengalami sedikit kesulitan. Banyak di antara kaum lesbian tidak terang-terangan menyatakan diri mereka adalah sebagai lesbian. Dengan alasan jati diri yang terbuka akan merubah pandangan orang dan mempengaruhi posisi serta kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, mereka memiliki masalah dalam pengungkapan diri. Itu sebabnya keberadaan kaum lesbian masih belum tercatat secara resmi di Kota Tegal. Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat proses komunikasi yang dilakukan oleh kaum lesbian terhadap komunitasnya bukan merupakan hal mudah yang dapat dilakukan seperti percakapan sehari-hari pada umumnya. Kaum homoseksual biasanya tertutup dan enggan menonjolkan diri, terlebih untuk seorang lesbian. Kaum lesbian cenderung tertutup, sehingga kurang begitu dikenal dan dipahami dibanding laki-laki homoseksual. Lingkungan Kota Tegal yang menjadi tempat penelitian merupakan salah satu wilayah yang juga memiliki komunitas kaum lesbian meskipun keberadaannya tidak terlihat secara transparan.
5
Kaum lesbian di Tegal tidak sebanyak dan sebebas di kota-kota besar lainnya. Hal ini disebabkan karena Tegal merupakan representasi dari kota-kota di pantura yang nota bene hanya dilewati kendaraan dari luar kota dan bukan merupakan kota transit, destinasi wisata ataupun jujugan wisatawan. Sehingga sedikit sekali pengaruh dari luar yang masuk ke dalam lingkungan Tegal itu sendiri. Jika dilihat dari faktor sosial budaya, masyarakat Tegal sendiri masih sangat awam dan cenderung „udik‟, selain itu mayoritas dari mereka merupakan pemeluk agama islam yang kuat, sehingga menganggap hubungan sejenis adalah hubungan yang tabu dan aneh. Meskipun dipandang sebagai perilaku menyimpang, namun semakin banyak komunitas lesbian yang semakin menunjukkan jati diri mereka terhadap lingkungan sekitar di kota kecil ini, sehingga kondisi ini patut dipertimbangkan. Dalam
penelitian
ini,
peneliti
lebih
menekankan
kepada
peran
komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan diri mereka (antar sesama lesbian). Komunikator mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan efektivitas komunikasi, karena ia berkedudukan sebagai pembuka komunikasi yaitu sebagai pihak yang mengirim pesan. Kemampuan komunikator untuk berkomunikasi efektif sangat ditentukan oleh ketepatan dalam menentukan identifikasi sasaran, formulasi isi pesan, pemilihan saluran komunikasi dan kredibilitas dirinya sendiri. Keefektifan komunikasi tidak saja ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi, tetapi juga oleh diri si komunikator. Untuk menjadi komunikator yang baik, juga harus menjadi komunikan yang baik pula. Karena komunikasi bersifat transaksional, maka keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh salah satu pihak, tetapi ditentukan oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi. Ini berarti bahwa komunikasi akan berhasil apabila kedua belah pihak mempunyai kesepakatan mengenai hal-hal yang dikomunikasikan (Effendy, 2008:35). Komunikan juga merupakan faktor penentu keberhasilan komunikasi. Ukuran keberhasilan komunikator adalah apabila pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima, dipahami, dan mendapatkan tanggapan positif oleh komunikan, dalam arti sesuai dengan harapan komunikator. Komunikan berperan dalam proses pengolahan informasi yang disampaikan oleh komunikator. Dalam proses
6
pengolahan informasi terjadi proses seleksi yang mencakup perhatian, persepsi dan daya ingat. Pesan yang diolah adalah yang sesuai dengan kerangka pengetahuan dan pengalaman saja, karena sesuai dengan keperluan, minat dan keinginan, terlebih jika dapat digunakan sebagai penyelesaian masalah (Riswandi, 2009:51). Proses pengungkapan diri dalam komunikasi interpersonal ini bertujuan untuk mencari teman, teman kencan, kekasih bahkan mereka mengungkapkan semua perasaan yang tertahan ketika kehidupan normal menuntut mereka untuk menutupi tingkah laku dan perilaku mereka dalam bermasyarakat. Selain itu penelitian juga membahas mengenai penggunaan komunikasi nonverbal yang digunakan dalam proses pengungkapan diri sampai pada tahap terbentuknya hubungan antar sesama lesbian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikator dan komunikan masing-masing mempunyai peran yang penting dalam berkomunikasi menuju proses pengungkapan diri. Komunikator akan menjadi cerminan dan tolak ukur dalam pergaulan kaum lesbian. Untuk melihat lebih jelas tentang pengungkapan diri kaum lesbian dalam komunitasnya ini, digunakan metode penelitian kualitatif studi kasus yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan diri yang dilakukan oleh kaum lesbian. Hal ini merujuk kepada fenomena lesbian yang dulu dianggap tabu dan menyimpang, sekarang bisa dibilang hal ini telah menjadi gaya hidup hampir di semua kalangan masyarakat, pun di daerah yang sama sekali tidak terduga. Kehidupan perempuan lesbian merupakan suatu hal yang terlalu subyektif untuk ditampilkan dalam bentuk angka-angka statistik dan terlalu pribadi untuk ditampilkan dalam bentuk angket. Sehingga perlu dilakukan penelitian secara intensif dan mendalam untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Metode kualitatif dengan jenis studi kasus ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui secara rinci dan menyeluruh mengenai pola komunikasi interpersonal kaum lesbian dalam melakukan pengungkapan diri serta bagaimana peran komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan dirinya sebagai seorang lesbian.
7
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh kaum lesbian dalam pengungkapan diri? 2. Bagaimana peran komunikator dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri? 3. Bagaimana peran komunikan dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri? Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang digunakan oleh kaum lesbian dalam pengungkapan diri. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis peran komunikator dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri. 3. Mendeskripsikan dan menganalisis peran komunikan dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri. Tinjauan Pustaka a. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal banyak membahas tentang bagaimana suatu hubungan dimulai, bagaimana mempertahankan suatu hubungan dan keretakan suatu hubungan. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orangorang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2005:73). Komunikasi interpersonal sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan ke lima alat indera kita untuk memberikan stimuli sebagai daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi interpersonal berperan penting hingga kapan pun, selama manusia
8
masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya. b. Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan
tanpa
menggunakan
kata-kata
atau
nonlinguistik.
Komunikasi nonverbal penting karena apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:110). Menurut Samovar & Porter (1991) dalam Mulyana (2005:308), komunikasi nonverbal mencakup perilaku yang sengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, kita memengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. Dalam penelitian ini, komunikasi nonverbal digunakan sebagai salah satu cara yang dominan untuk mengungkapkan diri. Karena pesan pengungkapan diri yang akan disampaikan bersifat pribadi dan krusial, maka komunikasi nonverbal lebih banyak digunakan daripada komunikasi verbal. c. Pengungkapan Diri Menurut DeVito (2011:64), pengungkapan diri merupakan sebuah bentuk komunikasi di mana informasi mengenai diri kita yang biasanya kita sembunyikan kita beritahukan kepada orang lain. DeVito juga menyatakan beberapa aspek yang terkandung dalam definisi ini, yang mencakup : 1) Pengungkapan diri merupakan suatu bentuk komunikasi 2) Pengungkapan diri adalah informasi, dimana informasi yang dimaksudkan sebagai sesuatu hal yang belum diketahui sebelumnya oleh si pendengar, dengan kata lain informasi tersebut adalah pengetahuan baru. 3) Pengungkapan diri adalah informasi mengenai seseorang, yang meliputi isi pikiran, perasaan dan perilaku seseorang atau mengenai orang lain yang dekat dengan kita yang memiliki hubungan ketergantungan signifikan dengan kita. 4) Pengungkapan diri mencakup informasi yang normalnya disembunyikan. Hal ini bukan hanya sekedar informasi yang belum diungkapkan
9
sebelumnya, namun mengenai informasi yang sebelumnya tidak kita ungkapkan dan berusaha untuk menyimpan rahasia tersebut. 5) Pengungkapan diri melibatkan sedikitnya satu orang lain. Dalam melakukan pengungkapan diri, komunikasi yang dilakukan sedikitnya diantara dua orang, karena pengungkapan diri bukan merupakan komunikasi intrapersonal. Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya (Dayakisni, 2006:88). Raven & Rubin (dalam Dayakisni, 2006:88), juga menjelaskan bahwa dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan memiliki norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memeperlakukan kita sama seperti memperlakukan mereka. d. Lesbian Sebagai Homoseksual Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah seorang yang penuh kasih. Pada saat ini kata lesbian digunakan untuk menunjukkan kaum gay wanita. Lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan di ikuti kata Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan
10
agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian (Kartono, 2009:249). Sajian dan Analisis Data A. Latar Belakang Pengidentifikasian Diri sebagai Lesbian Hal yang menjadi dasar dari analisis kasus ini adalah latar belakang pengidentifikasian diri sebagai lesbian. Dengan latar belakang tersebut, peneliti
dapat
mengetahui
beberapa
faktor
penyebab
informan
mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbian. Masing-masing informan memiliki alasan yang berbeda sesuai dengan kondisi psikologis, pengalaman hidup, serta bagaimana cara pandang mereka terhadap orientasi seksual lesbian. Dari penelitian ini ditemukan bahwa latar belakang pengidentifikasian diri sebagai lesbian antara lain berdasarkan pengalaman pribadi dan gaya hidup. Pengalaman pribadi merupakan pembelajaran yang didapat dari hasil interaksi dengan orang lain. Hal ini sangat berpengaruh terhadap penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Namun ditemukan pula faktor gaya hidup yang menjadi latar belakang pengidentifikasian diri sebagai lesbian. Jika dilihat lebih jauh, pengalaman dapat dikatakan sebagai gaya hidup yang pernah dijalani di masa lampau dan dianggap sebagai sesuatu yang berkesan. Sehingga proses pembelajaran dan pengenalan pada faktor pengalaman lebih mendalam. Pengaruh faktor gaya hidup terhadap pengenalan dan penilaian diri cenderung bersifat sementara jika dibandingkan dengan faktor pengalaman pribadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung). Menurut Bukatko&Daehler (2004:223), pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang
11
kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Seorang perempuan yang telah memilih lesbian sebagai orientasi seksual mereka dan telah mantap dengan pilihannya tersebut (lesbian senior), biasanya adalah mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai lesbian dengan latar belakang pengalaman pribadi. Hal ini pada awalnya tidak mereka sadari karena telah terdapat bibit-bibit homoseksualitas dalam dirinya yang terlihat jauh sebelum masa pubertas, dimana merupakan masa ketika seorang individu mulai mencari jati dirinya. Faktor pengalaman pribadi yang dialami oleh lesbian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan karena telah menjadi pelajaran dalam hidup mereka. Keputusan ini mutlak mereka ambil secara pribadi tanpa pengaruh maupun paksaan dari siapapun. Bukan juga karena maksud dan tujuan tertentu, melainkan hanya mengikuti perasaan dan hati nurani yang dirasakan. Gaya hidup merupakan karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya, cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebiasaan di rumah, kebiasaan di kantor, kebiasaan belanja, pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan sebagainya. Gaya hidup, dengan demikian, merupakan kombinasi dan totalitas dari cara, tata kebiasaan,
pilihan
serta
objek-objek
yang
mendukungnya,
yang
pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu (http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-163-1970273389tesis%20bab%20i-viii%20ari%20trisna%20handayani.pdf.
Diakses
pada
tanggal 27 Juli 2014 pukul 16.00). Pada era globalisasi dan modern sekarang ini, gaya hidup merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Berbagai macam cara dilakukan orang-orang untuk bisa menunjukkan jati dirinya masing-masing, baik itu dari segi cara berpakaian,
12
pola hidup, bahkan sampai ke perilaku seksual yang akhir-akhir ini semakin menyimpang dari etika dan norma yang ada. B. Peran Komunikator dalam Pengungkapan Diri sebagai Lesbian Dalam komunikasi interpersonal, terdapat hubungan antar pribadi yang memerankan peranan penting. Hubungan tersebut akan mempengaruhi kedalaman informasi yang akan disampaikan, termasuk juga pengungkapan diri. Begitu pula halnya dengan lesbian ketika ingin mengungkapkan identitas dirinya kepada orang lain. Pengungkapan diri ini membutuhkan significant others yakni orang yang dianggap mempunyai peranan penting untuk mempengaruhi lesbian dalam mengungkapakan identitas diri mereka. Seperti yang dikemukakan oleh George Herbert Mead (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2005:101) bahwa significant others merupakan istilah untuk orang-orang di sekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Lesbian ini akan menentukan kepada siapa saja pengungkapan diri tersebut dilakukan. Karena tidak mudah untuk memberitahukan informasi yang sebenar-benarnya mengenai identitas sebagai lesbian, informasi ini normalnya disembunyikan. Hal ini bukan hanya sekedar informasi yang belum
diungkapkan
sebelumnya,
namun
mengenai
informasi
yang
sebelumnya tidak mereka ungkapkan dan berusaha untuk menyimpan rahasia tersebut. Dari penelitian ini ditemukan bahwa peran komunikator dalam pengungkapan diri sebagai lesbian sangat dipengaruhi oleh significant others yang memiliki kedekatan baik secara fisik maupun psikologis. Significant others yang mempengaruhi pengungkapan diri lesbian ini antara lain adalah keluarga, teman heteroseksual dan teman sesama lesbian. Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat dengan individu lesbian. Ketika seorang lesbian hendak berterus terang kepada orang tuanya mengenai orientasi seksual mereka yang berbeda, ini tentu saja menjadi hal yang paling emosional dalam diri mereka. Kebanyakan secara umum keluarga mereka menolak untuk menerima perbedaan orientasi seksual anak mereka dikarenakan malu, takut ditolak oleh keluarga besar, teman, agama
13
dan lingkungan mereka sendiri. Tapi tidak jarang juga dimana keluarga menerima dan berusaha berdamai dengan perbedaan orientasi seksual yang dialami anaknya, dan tetap mendukung anaknya tersebut. Ketika suatu hubungan akrab antara kaum lesbian dengan teman heteroseksualnya sudah terbentuk, maka akan membuat individu lesbian menghabiskan waktu untuk bersama lebih banyak, berinteraksi satu sama lain pada situasi yang lebih bervariasi, menjadi self-disclosing, saling memberikan dukungan emosional, dan membedakan antara teman dekat dengan teman yang lain. Keterbukaan diri seorang lesbian tergantung dari tingkat kedekatan mereka dengan seseorang. Lesbian bisa menggambarkan dirinya atau mengekspresikan dirinya kepada orang yang dianggapnya dekat dan dapat mengerti dirinya, seperti teman dekat. Lesbian akan lebih terbuka kepada teman dekat ketimbang keluarganya karena sahabat dianggap penuh pemahaman dan menerima mereka apa adanya. Orang lain yang sangat berperan penting sebagai significant others untuk mempengaruhi lesbian mengungkapkan identitas dirinya adalah teman sesama lesbian. Beberapa faktor yang melatarbelakangi pengungkapan diri terhadap teman sesama lesbian antara lain adanya kesamaan orientasi seksual, adanya kesamaan gaya hidup, dan adanya kesamaan tujuan yaitu ingin agar keberadaan komunitas lesbian dapat diterima masyarakat. Dengan kesamaan tersebut di atas, seorang lesbian mempunyai ikatan emosional yang kuat antar satu dengan lainnya, yang mempunyai perasaan senasib, kesamaan orientasi seksual, dan memperjuangkan hal yang sama yaitu perjuangan untuk mendapatkan pengakuan di masyarakat, negara dan hukum. Mereka memiliki harapan dan tujuan agar kelak perjuangan mereka untuk dapat diterima oleh masyarakat umum dan negara sebagai bagian dari mereka tanpa adanya perbedaan. Sebagian besar lesbian tidak merasa kesulitan untuk mengungkapakan identitas dirinya kepada sesama lesbian, dengan catatan mereka telah mengidentifikasi bahwa orang tersebut memiliki orientasi seksual yang sama dengan mereka. Dalam berkomunikasi, mereka akan saling bertukar informasi dan berinteraksi dimana hal ini secara tidak langsung akan
14
mengungkapkan identitas diri mereka masing-masing tanpa dipaksakan. Jarang sekali lesbian ini mengungkapkan secara langsung mengenai identitasnya kepada teman sesama lesbiannya. Mereka mengkomunikasikan identitas diri sebagai lesbian dengan melalui gaya berpenampilan, cara berbicara dan cara memperlakukan calon pasangannya. C. Peran Komunikan dalam Pengungkapan Diri sebagai Lesbian Komunikasi interpersonal akan menghasilkan hubungan interpersonal yang efektif jika para pelaku komunikasi bersikap terbuka, percaya, dan saling mendukung sehingga mendorong timbulnya sikap yang saling memahami, menghargai, dan saling mengembangkan kualitas. Tidak hanya komunikator, komunikan juga merupakan faktor yang sangat penting di dalam melakukan komunikasi yang efektif. Sikap dan perilaku dari komunikator dan komunikan di dalam melakukan komunikasi sangat mempengaruhi efektifitas dari komunikasi yang disampaikan, khususnya dalam hal pengungkapan diri. Komunikan merupakan penerima pesan dari sebuah proses dalam komunikasi. Cara mendengarkan dan menanggapi lawan bicara sangat penting
dalam
kelancaran
komunikasi.
Ketika
komunikan
mampu
memberikan kesan sebagai pendengar yang baik maka komunikator pun akan memberikan respon yang baik pula. Peran komunikan dalam pengungkapan diri sebagai lesbian lebih banyak dilakukan oleh lesbian junior yang berlatar belakang gaya hidup dalam mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbian. Mereka lebih pasif dan lebih banyak mendengar serta belajar dari lesbian senior. Bentuk pesan pengungkapan diri yang diterima komunikan berupa pesan verbal dan nonverbal, yakni terang-terangan secara lisan dan melalui ekspresi wajah maupun tingkah laku. Ada juga yang menerima pesan nonverbal berupa perhatian lewat simbol-simbol tertulis di media. Frekuensi penerimaan pesan beberapa hampir setiap hari, beberapa yang lain menyesuaikan situasi dan kondisi dengan durasi yang bervariasi, tergantung bentuk dan isi pesan yang disampaikan. Komunikan memberikan perhatian hanya kepada pesan-pesan yang yang baru, berulang, serta sesuai dengan kebiasaan dan kemauan.
15
Persepsi yang diberikan oleh komunikan terhadap pesan pengungkapan diri lesbian ini tidak terburu-buru dan obyektif. Komunikan akan menyesuaikan pesan yang diterima pada waktu sebelumnya dengan pesan yang diterima setelahnya. Sehingga kebenaran pesan kemudian dapat disimpulkan setelah memunculkan kembali dan menyesuaikan dengan pesan yang komunikan dapatkan sebelumnya. Barulah setelah itu komunikan merespon pesan pengungkapan diri melalui ekspresi wajah yang menunjukkan antusiasme hingga menanggapinya dengan melakukan pengungkapan diri yang sama. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah dan analisis yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti menarik kesimpulan bahwa : 1.
Pola komunikasi yang terbentuk dalam pengungkapan diri lesbian ini pada dasarnya sama layaknya pola komunikasi pada pertemanan heteroseksual, perbedaannya terletak pada pelaku komunikasi dan pesan pengungkapan diri. Dalam interaksi komunikasi interpersonal, informan melalui tahap-tahap seperti: pencarian (identifikasi individu lesbian), perkenalan, pendekatan, hingga hubungan puncak. Pengungkapan diri sendiri dilakukan pada tahap pendekatan, tentunya kepada orang yang terdekat dan dipercaya. Jika pesan pengungkapan diri ini sudah tersampaikan dan mendapatkan respon positif, maka informan akan melanjutkan hubungan ke arah yang lebih jauh.
2.
Peran komunikator dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri sangat dipengaruhi oleh significant others. Orang yang berperan penting tersebut adalah keluarga, teman heteroseksual dan teman sesama lesbian. Keluarga yang berperan sebagai significant others adalah ibu dan saudara perempuan. Identitas diri lesbian tidak banyak diketahui melalui pengungkapan diri melainkan melalui informasi dari orang lain. Hal ini dikarenakan pihak keluarga menganggap bahwa lesbian adalah orientasi seksual yang menyimpang, sehingga kebanyakan dari mereka akan memberikan respon negatif seperti menolak identitas diri lesbian. Pengungkapan diri lesbian lebih terbuka jika dilakukan kepada teman heteroseksual terlebih teman sesama lesbiannya. Teman heteroseksual seperti teman dekat atau sahabat akan lebih memaklumi identitas diri lesbian.
16
Sedangkan untuk mengidentifikasi individu lesbian, informan lebih mudah mengenali lesbian yang berlabel butchi daripada femme atau andro dari gaya berpenampilan
dan
lingkungan
pergaulannya.
Informan
melakukan
pengungkapan diri melalui bahasa tubuh dan menyatakan identitas dirinya secara langsung. Sebagian besar teman sesama lesbian memberikan respon positif terhadap pesan pengungkapan diri tersebut. Dalam hal ini, yang lebih banyak berperan sebagai komunikator adalah lesbian senior karena mereka memiliki pengalaman hidup yang lebih kompleks dalam menjalani kehidupan sebagai lesbian, sehingga dianggap lebih mengerti dan memahami seluk beluk kehidupan lesbian. 3.
Peran komunikan dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri dapat dilihat dari penerimaan, pengolahan, dan respon terhadap pesan. Bentuk pesan pengungkapan diri yang diterima komunikan sebagian besar berupa pesan nonverbal, yakni melalui ekspresi wajah maupun tingkah laku maupun melalui simbol-simbol tertulis di media. Meskipun beberapa informan mengaku mendapatkan pesan pengungkapan diri berupa pesan verbal. Frekuensi dan durasi penerimaan pesan bervariasi, hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh bentuk dan isi pesan yang disampaikan, kecakapan dan kondisi psikologis komunikan juga ikut memberikan pengaruh. Informan memberikan perhatian hanya kepada pesan-pesan yang yang baru, berulang, serta sesuai dengan kebiasaan dan kemauan. Dunia lesbian dianggap sebagai hal yang baru bagi informan, sehingga mereka akan memberikan perhatian lebih ketika mendapat pesan tersebut. Selain itu, pengungkapan diri yang dinyatakan melalui perhatian dan disampaikan berulang-ulang akan menjadi perhatian lebih pula bagi informan. Persepsi yang diberikan oleh informan terhadap pesan pengungkapan diri lesbian ini cenderung obyektif dan penuh pertimbangan. Informan akan menyesuaikan pesan pengungkapan diri yang diterima dengan pesan-pesan terkait yang diterima pada waktu sebelumnya. Sehingga
kebenaran
pesan
kemudian
dapat
disimpulkan
setelah
memunculkan kembali dan menyesuaikan dengan pesan yang komunikan dapatkan sebelumnya. Barulah setelah itu komunikan merespon pesan
17
pengungkapan diri melalui ekspresi wajah yang menunjukkan antusiasme hingga menanggapinya dengan melakukan pengungkapan diri yang sama. Saran Berkaitan dengan hasil temuan di lapangan dan informasi dari berbagai informan, terdapat beberapa saran yang perlu disampaikan sebagai bahan pertimbangan seperti berikut : 1.
Pola komunikasi interpersonal yang terbentuk ketika lesbian mengungkap diri kepada sesamanya sudah terpolakan dalam penelitian. Peneliti menyarankan khususnya kepada kaum lesbian yang ingin mengungkap diri supaya tidak terpancang pada pola yang sudah muncul tersebut, melainkan menggunakan pola yang lain dalam pengungkapan identitas dirinya sebagai lesbian. Hal ini juga mempengaruhi keberhasilan penyampaian pesan pengungkapan diri kepada lawan bicaranya.
2.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa respon yang diberikan oleh keluarga terhadap pengungkapan identitas diri lesbian cenderung negatif atau menolak. Sehingga peneliti menyarankan untuk tidak memandang negatif kaum lesbian, terutama bagi pihak keluarga yang merupakan significant others bagi kaum lesbian dalam mengungkap diri. Dukungan dan pendampingan lebih diutamakan. Hal ini dikarenakan keberadaan kaum lesbian ini memang benarbenar ada di sekeliling kita dan tidak dapat dipungkiri lagi. Kehidupan yang mereka jalani sebagai lesbian adalah sebuah pilihan, yang datang serta didukung oleh latar belakang yang mereka miliki.
3.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa latar belakang pengidentifikasian diri sebagai lesbian salah satunya adalah pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang dialami oleh lesbian, terutama pengalaman ketika mulai menyukai perempuan, telah dirasakan sejak kecil atau usia pra sekolah. Oleh karena itu, peneliti menyarankan supaya pendidikan tentang seks hendaknya diterapkan atau diberikan sejak dini, terutama pada kalangan remaja. Hal ini penting untuk memberikan penjelasan dan pengarahan kepada para remaja tersebut mengenai identitas diri dan orientasi seksual, dengan tujuan agar para remaja dapat mengidentifikasikan diri mereka sesuai dengan jenis kelamin masingmasing.
18
4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah melakukan pengungkapan diri, lesbian mendapatkan respon penolakan dan sanksi sosial berupa penghinaan baik dari keluarga maupun lingkungan luar. Hal ini dapat dipahami karena budaya timur yang melekat pada bangsa Indonesia khususnya di Kota Tegal, belum dapat menerima fakta akan keberadaan kaum lesbian secara terangterangan. Sehingga peneliti menyarankan bagi kaum lesbian, hendaknya lebih menjaga identitas seksual mereka untuk tidak serta merta diperlihatkan dan diungkapkan kepada setiap orang karena tidak semuanya dapat memahami dan menerima identitas seksual lesbian tersebut.
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. (2010). Kontstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Agustine. (2005). All About Lesbian. Jakarta: Ardhanary Institute Budyana, Muhammad & Leila Mona Ganiem. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Kencana Beebe, Steven A.; Susan J. Beebe; & Mark V. Redmond. (2008). Interpersonal Communication : Relating to Others. USA : Pearson Education, Inc. Bukatko, Danuta & Marvin W. Daehler. (2004). Child Development: A Thematic Approach (fifth edition). New York: Houghton Mifflin Company Dayakisni, Tri & Hudaniah, (2006). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press DeVito, Joseph A. (2011). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya Effendy, Onong Uchjana. (2008). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2004). Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kaplan, H.I.; B.J. Sadock; & J.A. Gerbb. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Ilmu Psikiatri Klinis. Jakarta: Binapura Aksara. Kartono, Kartini. (2009). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Yogyakarta: Jala Sutra Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Kusuma, Widjaja. (1997). Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek. Jakarta: Professional Book Liliweri, Alo. (1991). Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti Liliweri, Alo. (1994). Perspektif Teoritis Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Miles, Matthew B & A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
19
Monks, F.J.; A.M.P. Knoers; & Siti Rahayu Haditono. (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Oetomo, Dede. (2001). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press Panuju, Panut & Ida Umami. (2005). Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta Poerwandari, Kristi. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rakhmat, Jalaluddin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Riswandi. (2009). Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Soejanto, Agoes. (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tan, Poedjiati. (2005). Mengenal Perbedaan Orientasi Remaja Puteri. Surabaya: Suara Earnest Tobing, L. Naek. (1987). 100 Pertanyaan Mengenai Homoseksualitas. Jakarta: Pustaka Nilai Harapan Yin, Robert K. (2013). Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41083/4/Chapter%20I.pdf. Diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 10.46) http://www.academia.edu/6568952/STUDI_KASUS_PEREMPUAN_LESBIAN_ BUTCHY_DI_YOGYAKARTA. Diakses pada tanggal 25 April 2014 pukul 22.00) http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1631970273389tesis%20bab%20i-viii%20ari%20trisna%20handayani.pdf. Diakses pada tanggal 27 Juli 2014 pukul 16.00) www.duniapsikologi.dagdigdug.com. Diakses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 13.00 http://id.wikipedia.org/wiki/Ardhanary_Institute. Diakses tanggal 11 Mei 2014 pukul 12.45. Halaman ini terakhir diubah pada 03.33, 27 April 2012. http://khusnia.wordpress.com/pengantar-ilmu-komunikasi/arti-pentingkomunikasi/ diakses pada tanggal 11 Mei 2014 pukul 13.50 (http://www.konseling.net/lesbian-apa-dan-bagaimana-cara-mengobatinya.html. Diakses pada tanggal 5 Maret 2015)
20