1
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh MEGAFURY APRIANDHINI NIM E 1106149
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS KEWENANGAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (SEBUAH TELAAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009 DALAM KASUS BANK BALI)
Oleh MEGAFURY APRIANDHINI NIM. E1106149
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 11 Maret 2010
Dosen Pembimbing
EDY HERDYANTO, S.H., M.H. NIP. 1957 0629 198503 1 002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009) Oleh MEGAFURY APRIANDHINI NIM. E1106149 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 23 Maret 2010 TIM PENGUJI
1. Kristiyadi, S.H., M.Hum. NIP. 1958 1225 198601 1 001 Ketua
( ................................. )
2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP. 1962 0209 198903 1 001 Sekretaris
( .................................. )
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 1957 0629 198503 1 002 Anggota
( ................................. )
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 1961 0930 198601 1 001
4
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Untuk: Ayahanda Eko Kuswanto, Ibunda Siti Rumilah, Adinda Arwinda Arisundara
Aku bersyukur karena Skripsi ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan untuk dikerjakan dan ku pelajari keindahan-keindahan dalam setiap prosesnya sehingga dapat terselesaikan dengan mudah dan lancar. Sungguh benar bahwa ALLAH memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh hambaNya dan tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Segala sesuatunya melebihi dari apa yang aku harapkan.
5
ABSTRAK
MEGAFURY APRIANDHINI, E.1106149, ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum dalam memeriksa dan memutus terhadap pengajuan peninjauan kembali perkara korupsi BLBI Bank Bali. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, metode penelitian kualitatif, pendekatan studi kasus, sifat penelitian deskriptif dan analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet), teknik pengumpulan data deduksi sosiologisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam manafsirkan Pasal Pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum yang hanya diperuntukkan terpidana dan ahli warisnya dan dengan tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali maka diartikan dapat mengajukan permohonan. Perbedaan penafsiran lain oleh hakim Mahkamah Agung dan berdasarkan yurisprudensi putusan sebelumnya adalah tidak sesuai dengan kepastian hukum di Indonesia. Kata kunci: peninjauan kembali, putusan, yurisprudensi.
6
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul : ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN MEMERIKSA PENINJAUAN
HAKIM
DAN
MAHKAMAH
MEMUTUS
KEMBALI
OLEH
AGUNG
TERHADAP PENUNTUT
DALAM
PENGAJUAN
UMUM
DALAM
PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009) Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidaklah berlebihan bahwa penulisan hukum ini penulis kerjakan dengan ketekunan dan telah mencurahkan segala kemampuan yang ada, namun karya ilmiah ini sangat sederhana dan mungkin masih banyak kekurangan-kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf apabila dalam penulisan hukum ini banyak kekurangan serta penulis mohon saran dan kritk yang membangun dari pembaca sekalian. Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari bahwa untuk terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak-pihak
yang telah
memberikan bantuan yang berupa bimbingan, saran-saran, nasehat-nasehat, fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut : 1.
Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2.
Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing penulisan hukum yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dengan sabar untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.
7
3.
Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku pembimbing dosen penguji dan pembimbing magang dan yang dalam penulisan hukum ini telah banyak membantu dan memberi masukan positif.
4.
Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji yang banyak membantu dalam penulisan hukum ini.
5.
Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6.
Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang banyak mengarahkan dan memberi nasehat selama masa kuliah.
7.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini.
8.
Bapak dan Ibu staf karyawan dan dengan semua penghuni kampus Fakultas Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum UNS.
9.
Bapak Sholeh, sebagai pemberi ide, pendapat dan informasi yang sangat berguna sehingga penulisan hukum ini dapat saya kerjakan dengan lancar dan penuh semangat.
10. Ayahanda Eko Kuswanto dan Ibunda Siti Rumilah tercinta, yang tiada hentinya mencurahkan kasih sayangnya dan tidak pernah lelah berdoa, mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa kuliah dan menyelesaikan penulisan hukum ini. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian, fasilitas, dukungan dan kepercayaan atas segala jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya buat, hanya dengan Ridho kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini. 11. Adikku tersayang, “dek Winda a.k.a. A“ yang selalu memberi keceriaan dan dukungan dalam segala hal.
8
12. Keluarga di rumah, Mbah Ti, Mbah Kung, Bulik Anok, Paklik Tajab, Dek Entot, Dek Yaya, Mbah Tro dan segenap keluarga besar Kasreman yang selalu memberi dukungan dan kasih sayang dalam bentuk apapun. 13. Elsya, sahabatku yang selalu menemani dan menguatkanku dalam menghadapi segala tantangan hidup ini dengan segala nasehat, dorongan, kesabaran, keyakinan, kasih sayang bahkan cacian yang sangat berarti bagiku untuk aku melangkah memilih jalan hidupku. 14. “Gank Ulet Bulu”, Kiki (bestfriend forever), Grecy dan Anik, kalian tidak pernah tergantikan meski jarak dan kesibukan memisahkan kita, namun semua itu tidak akan cukup membuat kita goyah. 15. Teman-teman kos “Wisma Endah”, Neneh (kakak, sahabat, teman, dan Ibuku selama di Solo), Ipung, Nita, Mbak Dyan, Mbak Luky, Mbak Rizky, Vita, Iies, Ana, yang selalu menjadi keluarga keduaku selama masa kuliahku ini, 4 tahun bersama dengan formasi yang berubah-ubah namun semakin seru dan menjadi pelepas segala kepenatan selama kuliah. 16. Fibry, yang membuat ceritaku menjadi bermakna, dengan segala kebaikan dan kesalahan bersamamu, membuatku banyak mengerti dan dapat mengambil hikmah dari segala pilihan hidup. 17. Nana dan dewi yang selalu membantu, mengingatkan dan memberi dorongan, tanpa kalian aku tidak akan pernah mampu mengerti akan kemampuanku dan dapat berada disini. 18. Sahabatku Johan, atas kesabaran, kekompakan, kesediaan, kesetiaan dan segala kebaikan dengan tulus dan yang pasti terimakasih atas tebengan ke kampus selama kuliah. 19. Teman-teman kuliah, Ayuk, Lina, Oos, Melly, Devi, Gembong, Ditya, Dyan, Damar, semua teman-teman, kakak dan adik tingkat Non Reguler yang dengan kebersamaannya sangat membantu dan membuat kampus sangat menyenangkan dan berwarna. 20. Teman-teman senasib seperjuangan dalam mengerjakan penulisan hukum dengan segala informasi dan kesetiannya mendukung dan membantu.
9
21. Teman-teman Magang Mandiri di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebulan bersama, marantau dan merasakan bagaimana perjuangan hidup dan bekerja di ibukota. 22. Pembela KORFaH, Qomar, Bedu, Ndemek dan spesial kepada team basket FH UNS, Puput dkk (pa) dan Uthe dkk (pi) serta seluruh anggota KORFaH, segalanya terasa menyenangkan bersama kalian, semoga KORFah dapat hidup dan bertahan kembali bersama penerus kita. 23. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang beragam, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang indah dan membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian semua dan kuliah di fakultas hukum. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat dan faedah kepada pembaca khususnya dan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 11 Maret 2010
Penulis
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
iv
ABSTRAK ...................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
4
C. Tujuan Penelitian....................................................................
4
D. Manfaat Penelitian..................................................................
5
E. Metode Penelitian ...................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori .......................................................................
12
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman .......................................................................
12
a. ......................................................................... Pengerti an Hakim ................................................................
12
b. ......................................................................... Pengerti an Kekuasaan Kehakiman ......................................
12
c. ......................................................................... Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim ................
13
2. Tinjauan Tentang Pembuktian .........................................
14
a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim ......................
14
b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim .....................................................................
16
11
c. Pertimbangan Hakim dalam Putusan ......................
16
3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak).................
16
4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali ...............
17
a. ......................................................................... Pengerti an Peninjauan Kembali...........................................
17
b. ......................................................................... Proses Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP ........... ................................................................................
18
5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali....................................
24
6.................................................................................... Pengatu ran Tentang Peninjauan Kembali dalam Perundang-Undangan di Indonesia ...................................
27
a. ......................................................................... UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ..................................................................
27
b. ......................................................................... UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ............................................................................31 c. ......................................................................... UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ...........................................
36
B. Kerangka Pemikiran................................................................
36
12
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali ...............................
38
A. Kasus Posis ............................................................................
38
B. Identitas Terdakwa ................................................................
40
C. Dakwaan ................................................................................
40
D. Tuntuttan ................................................................................
41
E. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000 ........
42
F. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 .....................
42
G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum .....................................................................
42
H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali ...............................................................
83
I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan Peninjuan Kembali ................................................................
94
J. Pembahasan ...........................................................................
95
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ................................................................................
105
B. Saran.......................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3), telah dijelaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dari keterangan tersebut dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Prabandari Tri Hapsari, 2007: 1). Hukum itu sendiri mempunyai arti sebagai suatu norma atau kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, negara melalui alat negara penegak hukum dan menjalankan tugas dan kewenangan harus berdasarkan hukum atau dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam penegakan hukum di Indonesia dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang terdiri dari Kepolisian yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum dan pengadilan yang memutus perkara. Peradilan dengan pemutus perkara pidana akan ditentukan dengan adanya lembaga upaya hukum. Upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, dan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali dan Kasasi demi kepentingan hukum. Lembaga peradilan disebut baik, apabila prosesnya berlangsung secara jujur, bersih dan tidak memihak, selain itu juga harus memenuhi prinsipprinsip yang sifatnya terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur upaya hukum banding dan kasasi sebagai upaya hukum biasa dan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali. Hal ini dikarenakan bahwa aparatur hakim sebagai manusia biasa juga tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka negara kita melengkapi upaya hukum
14
terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan kasasi demi kepentingan hukum yang pengaturannya terdapat di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 dalam bab XVIII bagian kesatu Pasal 259 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Demi kepentingan hukum terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali perohonan kasasi oleh Jaksa Agung” dan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya, pengaturannya terutama dapat ditemui dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Bab XVIII bagian kedua mengatur mengenai lembaga Peninjauan Kembali. Sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau warisnya
dapat
mengajukan
permintaan
Peninjauan
Kembali,
maka
menimbulkan suatu pertanyaan bagaimanakah pihak lain selain terpidana dapat mengajukan upaya hukum tersebut. Pihak lain tersebut diantaranya adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan, yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah putusan yang salah. Oleh karena itu berbagai celah digunakan untuk mewujudkan keadilan yang dicari oleh semua pihak. Sikap aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum akan berpengaruh terhadap kepastian hukum di Indonesia ke depan dan rasa keadilan dalam masyarakat. Masalah Peninjauan Kembali dipandang perlu adanya pengaturan lebih jelas dan tegas dalam iusconstituendum, bagaimana kedudukan adanya novum (bukti baru) sebagai syarat limit apabila dimungkinkan pihak selain terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan upaya hukum novum seperti lembaga kejaksaan baik Penuntut Umum atau Jaksa Agung. Dalam hal ini penulis mencoba melihat lagi ke belakang pada kasus Muchtar Pakpahan yang dalam pertimbangan hukum yang diberikan
15
Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusannya disebut-sebut telah menjadi yurisprudensi yang akan menjadi sumber hukum bagi penyelesaian peristiwa konkrit hukum sejenis. Mahkamah Agung dalam putusan bernomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Agustus 1996 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Agung. Kasus ini sejenis dengan kasus yang penulis angkat sebagai bahan kajian penulisan hukum yaitu dalam kasus BLBI Bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra, dimana setelah dikeluarkannya putusan berkekuatan hukum tetap jaksa penuntut umum mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung yang kemudian permohonan tersebut diterima. Dalam hal penerimaan permohonan peninjauan kembali terhadap kasus Djoko S. Tjandra oleh Mahkamah Agung telah menimbulkan suatu pertanyaan, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengabulkan permintaan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali dengan berpegang pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, kemudian bagaimana putusan Peninjauan Kembali tersebut dikabulkan terhadap putusan bebas terhadap terdakwa, yang telah berkekuatan hukum tetap. Berbagai pertanyaan yang timbul menyebabkan adanya suatu telaah bahwa telah terdapat suatu tumbukan permasalahan hukum yaitu adanya kesalahan persepsi dalam melaksanakan suatu upaya hukum. Karena sesuai dengan tujuan hukum acara dalam KUHAP yaitu untuk mencari kebenaran materiil dalam suatu peradilan pidana, yaitu hukum acara (pidana formil) mengatur tentang bagaiamana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, atau terdapat pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut: Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebernaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
16
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan kata lain dari perspektif empiris, adanya keinginan untuk keluar dari sifat limitasi yang dikandung dalam KUHAP telah menjadi kenyataan yang patut dicermati secara sungguh-sungguh. Kemudian bagaimana analisis terhadap hal tersebut, apa yang menjadi alasan yuridis, dan bagaimanakah terhadap penerapan kepastian hukum di Indonesia, maka penulis mencoba untuk membahas masalah ini dengan mengangkat judul: ”ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA KORUPSI BLBI BANK BALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 12 PK/PID.SUS/2009)”. B. Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, terarah serta mencapai tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung yang memberi kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait kasus Bank Bali? C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
17
melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif Untuk mengetahui pertimbangan hakim dan penemuan hukumnya, sehingga
dikeluarkannya
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
12
PK/Pid.Sus./2009. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis. c. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulisan hukum penulis. D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalm mengadakan penelitian sejenis berikutnya disamping itu sebagai pedoman bagi peneliti yang lain di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Memberi jawaban atas masalah yang diteliti.
18
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama. E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada metode, sistematis dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa. (Soerjono Soekanto, 1986:43). Selain dari apa yang tercantum dalam pengertian tersebut, dalam penelitan hukum juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul pada gejala yang bersangkutan. Peneliti hukum dalam penelitian hukum melakukan aktivitasnya untuk mengungkapkan
kebenaran
hukum
dilakukan
secara
terencana
dan
metodologis, sistematis dan konsisten. (Bambang Sunggono, 2003: 38). Oleh karena itu di dalam suatu penelitian hukum merupakan suatu faktor yang penting dan menunjang proses pembahasan suatu permasalahan, dapat dikatakan bahwa metode merupakan cara uatam yang digunakan dalam mencapai tujuan penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penulisan hukum kepustakaan. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Bahanbahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
19
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006:13-14). 2. Metodologi Penelitian ini menggunakan jenis metodologi kualitatif, dimana dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan secara lisan maupun tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh ( Soerjono Soekanto 1986:250). Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. 3. Pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach), yaitu bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memeperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplansi hukum (Johnny Ibrahim, 2005: 321). Dalam penelitian hukum ini yang menjadi fokus penelitian adalah putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009. Yaitu bagaimana penerapan hukum atau penormaan terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut. 4. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis, dimana penelitian ini disamping bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai objek baik
20
dalam teori maupun dalam studi kasus juga bermaksud melakukan analisa secara yuridis. Penelitian deskriptif itu sendiri mempunyai pengertian sebagai suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklarifikasi, menganalisa, serta mengintrepretasikannya (Soerjono Soekanto, 1986: 10). Putusan Mahkamah Agung yang menjadi penelitian hukum ini dianalisis secara yuridis, guna untuk mencari bagaimana pertimbangan hakim dalam pengambilan putusan dengan cara mengumpulkan data, menganalisa dan mengintreprestasikannya. 5. Jenis Data Berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan penulis yang merupakan penelitian normatif, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data sekunder didapat dari sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, laporan hasil penelitian, literatur, peraturan perundang-undangan dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 6. Sumber Data Sumber data adalah tempat dimana penelitian ini diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu tempat dimana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah: 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
21
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4) Putusan hakim Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Bank Bali. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Bahan hukum sekunder ini meliputi: jurnal, literatur, buku, koran, laporan penelitian dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13). Bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 7. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Di dalam sebuah penelitian hukum normatif, pengelolaan data hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadap bahan hukum tertulis. Sistematika berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono Soekanto, 1986: 251-252). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah dengan metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Selanjutnya Hadjon dalam pemaparannya mengemukakan bahwa di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah
22
aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47). Sehingga dalam penelitian hukum ini yang menjadi premis minornya adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam menerima permohonan peninjauan kembali oleh penuntut umum dan yang merupakan premis mayornya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP terutama dalam Pasal 263 ayat (1). F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk
lebih
mempermudah
dalam
melakukan
pembahasan,
penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan umum tentang hakim dan kekuasaan kehakiman, putusan hakim, putusan bebas, peninjauan kembali, hak penutut umum mengajukan peninjauan kembali, asas kepastian hukum, dan penerapan KUHAP. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai analisis kewenangan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum ditinjau dasri asas kepastian hukum dalam perspektif KUHAP terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Bank Bali.
BAB IV
: PENUTUP
23
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan mengenai hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Bab III dan juga berisi saran sehubungan dengan hasil penelitian yang telah didapat. DAFTAR PUSTAKA
24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman Aparat penegak hukum yang melaksanakan penegakan hukum adalah kepolisian sebagai penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai penuntut umum dan hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. a.
Pengertian Hakim Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
b. Pengertian Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat
25
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya. Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin. Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101). c.
Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1)
Tanggung jawab moral
26
Adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan. 2)
Tanggung jawab hukum Adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar ramburambu hukum.
3)
Tanggung jawab teknis profesi Adalah
merupakan
tuntutan
bagi
hakim
untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik
bersifat
umum
maupun
ketentuan
khusus
dalam
lembaganya. 2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim a.
Pengertian dan Jenis Putusan Hakim Pengertian putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI tahun 1985 adalah
hasil
atau
kesimpulan
dari
sesuatu
yang
telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. (Evi Hartanti, 2006: 52) Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguhsungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara: 1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.
27
2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Jenis-jenis
putusan
hakim
dalam
perkara
pidana,
diklasifikasikan menjadi dua,yaitu : 1) Putusan yang bukan putusan akhir Dalam praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan/eksepi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum (Lilik Mulyadi, 2007: 125). Putusan yang bukan putusan akhir, antara lain : a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili. b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum. c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima. 2) Putusan akhir Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah “putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan “pokok perkara” selesai diperiksa. (Lilik Mulyadi, 2007 : 124). Bentuk dari putusan akhir, antara lain : a) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle rechtsvervolging). b) Putusan bebas (vrijspraak). c) Putusan pemidanaan (veroordeling).
28
b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim Secara umum formalitas yang harus ada dalam suatu putusan hakim baik terhadap putusan permohonan Peninjauan Kembali dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya 10 (sepuluh) buah elemen harus terpenuhi. Dan menurut ayat (2) pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g dan i, maka putusan batal demi hukum (van rechtswege nietig ). c.
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. 2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang tidak berdasarkan Undang-Undang atau pertimbangan yang berdasarkan peraturan di luar UndangUndang.
3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas (Vrijspraak) Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas ”. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
29
4. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali a.
Pengertian Peninjauan Kembali Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak memberikan definisi
mengenai Peninjauan Kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, oleh karena itu pengertiannya harus dicari baik di dalam penjelasannya. Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan praktek turut pula menunjang di dalam mencari pengertian tersebut. Dalam pasal 263 Ayat (1) KUHAP, dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Dalam penjelasan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa pasal ini memuat alasan secara limiatif untuk dapat dipergunakan meminta Peninjauan Kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam penjelasan tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian Peninjauan Kembali. Hal tersebut memberikan arti bahwa pembuat undang-undang menganggap bahwa para pembaca KUHAP telah mengerti maksud pembuat undang-undang. Andi Hamzah dan Irdan Dahlan memberikan definisi: Peninjauan
Kembali,
yaitu
hak
terpidana
untuk
meminta
memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya. Subyek
pengaju/ pemohon Peninjauan Kembali
merupakan hak semata dari terpidana manurut pengertian tersebut atau hak bahwa Peninjauan Kembali bukan merupakan hak Jaksa Penuntut Umum, apalagi upaya jaksa tersebut memohonkan Peninjauan Kembali seseorang yang telah diputus pengadilan secara tanpa pemidanaan.
30
Berdasar uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa Peninjauan Kembali memiliki unsur-unsur yang sangat limitatif sebagai berikut: a. Meninjau Kembali b. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap c. Tidak merupakan putusan bebas atau putusan lepas d. Ditujukan untuk terpidana atau ahli warisnya b. Proses Acara Peninjauan Kembali dalam KUHAP 1) Putusan pengadilan yang dapat dimintakan Peninjauan Kembali, yaitu: a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Upaya hukum Peninjauan Kembali baru dapat dipergunakan setelah upaya hukum biasa (banding dan kasasi) telah tertutup. Tahap proses upaya hukum Peninjauan Kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya hukum biasa. b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali, setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas terhadap semua tuntutan hukum Terpidana yang sudah dibebaskan dari pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak mungkin mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang menguntungkan dirinya.
31
2) Para ahli yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP menegaskan mengenai pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, yakni terpidana atau ahli warisnya. Dari penegasan tersebut, Jaksa Penuntut Umum
tidak
berhak
mengajukan
permintaan Peninjauan
Kembali. Dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, undang-undang tidak memberi hak kepada Jaksa Penuntut Umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Hak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan ha mengajukan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada Penuntut Umum melalui Jaksa Agung seperti diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang selengakapnya berbunyi “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”. 3) Alasan Peninjauan Kembali Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 263 ayat (2): a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan tuntutan pidana yang lebih ringan. Bukti baru atau disebut juga novum merupakan satu dari alasan limitatif untuk pengajuan Peninjauan Kembali.
32
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c) Apabila putusan itu telah dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. d) Apabila dalam suatu putusan, suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 263 ayat 93). 4) Tata cara mengajukan Peninjauan Kembali a) Permintaan diajukan kepada panitera Pemohon mengajukan permintaan kepada penitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Pengadilan negeri selanjutnya akan meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung. Permintaan Peninjauan Kembali pada prinsipnya diajukan secara tertulis dan boleh juga diajukan secara lisan, dengan menyebutkan alasan-alasan
yang
mendasari
permintaan
Peninjauan
Kembali. b) Panitera membuat Akta permintaan Peninjauan Kembali Untuk pertanggungjawaban yuridis panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan permintaan mencatat dalam sebuah surat keterangan yang lazim disebut “akta permintaan Peninjauan Kembali”. Akta atau surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. c) Tenggang Kembali
waktu
mengajukan
permintaan
Peninjauan
33
Mengenai tenggang waktu mengajukan permintaan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 ayat (93) yang menegaskan bahwa permintaan adalah ada atau tidak alasan yang mampu mendukung permintaan Peninjauan Kembali. 5) Pemeriksaan permintaan di sidang Pengadilan Negeri a)
Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa Setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali, ketua
Pengadilan
Negeri
mengeluarkan
penetapan
penunjukan hakim. Hakim yang ditunjuk tidak boleh yang dulu memeriksa dan memutus perkara yang diajukan Peninjauan Kembali tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas dan objektivitas terhadap pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali tersebut, dan tetap mengingat bahwa hakim atau majelis yang ditunjuk harus hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan perkara semula. (M. Yahya Harahap, 2002: 625-626). b) Objek pemeriksaan sidang Pemeriksaan sidang hanya pada alasan permintaan Peninjauan Kembali dan tidak di luar hal yang menjadi alasan permohonan Peninjauan Kembali. Hakim meneliti dan menguji apakah alasan pengajuan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 263 ayat (2). Hakim hanya berwenang menilai secara formal yang akan dituangkan dalam berita acara pendapat. Sedangkan
dari
segi
materiil
merupakan
wewenang
Mahkamah Agung dalam melakukan penilaian terhadap alasan Peninjauan Kembali yang diajukan. c)
Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum
34
Pasal 265 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum dan pemohon lkut hadir dalam menentukan pendapatnya. Berdasarkan Pasal 265 tersebut dapat dilihat bahwa sifat pemeriksaannya resmi dan terbuka untuk umum, hanya saja pemeriksaan berbeda dengan sidang biasanya. d) Berita acara pemeriksaan Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengatakan “Atas pemeriksaan tersebut
dibuat
pemeriksaan
tersebutdibuat
acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara pendapat yang ditandantangani oleh hakim dan panitera”. Ketentuan dalam Pasal 265 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ini berbeda dan
merupakan
penyimapangan terhadap Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa berita acara sidang ditandatangani oleh hakim dan penitera. e)
Berita acara pendapat Terdapat
dua
berita
acara
dalam
pemeriksaan
pengajuan Peninjauan Kembali di sidang Pengadilan Negeri, yaitu berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat. Jadi berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang disampaikan kepada Mahkamah Agung agar menerima atau menolak pengajuan Peninjauan Kembali tersebut karena sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; juga dapat perumusan dari berita pemeriksaan sesuai ketentuan Pasal 265 ayat (3).
35
f)
Pengadilan Negeri melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkaah Agung Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 264 ayat (5) dan Pasal 265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun ketentuan dalam pasal yang pertama tidak efektif dan mubazir, karena dalam Pasal 265 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ketentuannya lebih terperinci yang berbunyi “Ketua pengadilan segera malanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada mahkamah Agung
yang tembusan surat pengantarnya disampaikan
kepada pemohon dan jaksa. 6) Putusan Peninjauan Kembali, yang berupa: a)
Putusan pemidanaan, yaitu putusan yang berisi penjatuhan pidana atau putusan yang berisi penghukuman atau putusan yang berupa pernyataan salah terhadap terdakwa, yang terdapat dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP jo. Pasal 183 KUHAP.
b) Putusan bebas, hakim akan memutus bebas jika kesalahan terdakwa tentang melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, yang terdapat dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. c)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan ini dijatuhkan jika perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan merupakan suatu tindak pidana, atau hilang sifat melawan hukumnya perbuatan karena dibenarkan oleh UU (pasal 191 Ayat (2) KUHAP.
7) Asas yang ditentukan dalam Peninjauan Kembali, yaitu: a) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
36
Asas ini bermaksud membuka kesempatan bagi terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dar ketidakbenaran penegakan hukum. b) Permintaan Peninjauan Kembali tidak mengguhkan putusan. Asas ini menghendaki sikap dan kebijakan yang matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak pidana maupun dengan sifat dan kualitas alasan yang menjadi landasan permintaan Peninjauan Kembali. c) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali. Sesuai yang terdapat dalam Pasal 268 Ayat (3) yang berbunyi “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. 5. Tinjauan Umum Tentang Hak Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 Ayat (6) huruf a menyebutkan Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan RI Pasal 1 menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberian wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
37
Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindakan berdasarkan hukum dengan menindahkan normanorma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjadi kehormatan dan martabat profesinya. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang merupakan kesatuan dan tidak terpisah-pisah dalam
melakukan
penuntutan.
Pelaksanaan
kekuasaan
negara
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Penegakan kepastian hukum dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat lantaran putusan pengadilan yang mengandung kekhilafan hakim merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita hukum khususnya KUHAP itu sendiri. Tetapi di lain pihak mengorbankan kepastian hukum demi mementingkan rasa keadilan masyarakat juga akan menimbulkan runtuhnya wibawa hukum yang berakibat lebih jauh timbulnya anarki dan kekacauan maka usaha untuk
menemukan hukum dalam
peneyelesaian masalah dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tetap mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini KUHAP. Oleh karena itu hukum sering dikatakan adalah apa yang menjadi perilaku para penegaknya khususnya khususnya hakim melalui putusannya. Dengan lahirnya putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 (tanggal 25 Oktober) yang menerima secara formal permintaan peninjauan kembali penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan, telah menimbulkan suatu pandangan atau telah menjadi preseden Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan peninjauan kembali. Putusan tersebut telah menjadi
38
yurisprudensi baru, dimana memperbolehkan pihak selain terpidana atau ahli warisnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia yang berasal dari bahasa latin, yang dalam bahasa Indonesianya berarti pengetahuan hukum. Istilah lainnya adalah yurisprudentie dalam bahasa Belanda dan juridprudence dalam bahasa Perancis yang berarti peradilan-tetap atau hukum-peradilan. Sesuai pasal 263 ayat (3) KUHAP bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan, maka menurut Prof. Dr. Andi Hamzah SH, hanya berarti untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka. Menurut Al. Wisnubroto dalam keadaan normal, aturan bahwa PK adalah hak terpidana dan ahli warisnya adalah prinsip yang harus ditegakkan. Namun bila keadaannya bersifat anomaly seperti extraordinary crimes (misal: Kejahatan Lingkungan, Korupsi, Pelanggaran HAM berat) harus ada sebuah pengecualian guna membuka kebuntuan hukum dalam pencapaian keadilan. Prinsip progresif dalam pengecualian PK kontroversial ini berlaku pula untuk PK atas PK dan PK yang diajukan lebih dari dua kali. Bila pengecualian yang berupa terobosan hukum (rule breaking) tersebut dipandang bisa memberikan keadilan yang substansial, maka ke depan seyogyanya pengecualian tersebut bisa diintegrasikan pada penyempurnaan aturan PK dalam hukum positif (KUHAP), agar tidak ada persoalan lagi pada kepastian hukumnya. Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan prinsipnya peninjauan kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi. Karenanya, MA tak sembarangan mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Dua syarat,
39
adanya kepentingan umum dan kepentingan negara, harus benar-benar terpenuhi. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap SH, seseorang yang telah dijatuhi putusan bebas, harus dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi atas pembebasan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan landasan Hak Asasi Manusia yang demikian, terhadap putusan pembebasan, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali. Lagi pula Pasal 263 KUHAP, menutup pintu bagi penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. 6. Pengaturan
Tentang
Peninjauan
Kembali
dalam
Perundang-
Undangan di Indonesia Dalam aturan tentang Peninjauan Kembali dalam KUHAP ini terdapat pada berbagai pasal, yaitu: a.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 1 12) Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 263 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a)
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
40
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b)
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c)
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Pasal 264 1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. 3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada penjauan
41
kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. Pasal 265 1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1) menunjukkan hakim yang tidak memerisa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (2). 2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. 3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. 5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaiakan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Pasal 266 1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
42
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah
Agung
menolak
permintaan
peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya; b) Apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: 1) putusan bebas; 2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum; 3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yag telah dijatuhkan dalam putusan semula. Pasal 267 1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagiamana dimaksudkan dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali. Pasal 268
43
1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. 2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. 3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pasal 269 Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku begi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 34 Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasanalasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang ini. Pasal 66 1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. 2) Permohonan peninjauan kembali tidak mengangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. 3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi. Pasal 67
44
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. a)
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b)
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat yang bersidat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c)
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d)
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e)
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f)
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kakhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68 1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohona dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Pasal 69 Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
45
a) Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; b) Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada parapihak yang berperkara; d) Yang tersebut pada huruf e sejak putusan terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Pasal 70 1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan mambayar biaya perkara yang diperlukan. 2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Pasal 71 1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. 2) Apabila permohonan tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya cesara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. Pasal 72
46
1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud: a.
Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau ba agar
pihak
lawan
mempunyai
kesempatan
untuk
mengajukan jawabannya; b.
Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan salah satu alasa yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
2) Tenggang
waktu
bagi
pihak
lawan
untuk
mengajukan
jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali. 3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang salinannya disampaikan atau dikirimkan pihak pemohon untuk diketahui. 4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. 5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak dapat diadakan surat menyurat antara pemohon dan/ atau pihak lain dengan Mahkamah Agung. Pasal 73 1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pangadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau
47
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama
ata
Pengadilan
Tingkat
Banding
mengadakan
pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud. 2) Mahkamah Agung dapat meminta pemeriksaan dari Jaksa Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan apabila diperlukan. 3) Peengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah Agung. Pasal 74 1) Dalam hal Mahakmah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya. 2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan. 3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan. Pasal 75 Mahkamah Agung mengirim salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan salinanya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pasal 76
48
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan secara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. c.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undangundang. 2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan an peninjauan kembali.
B. Kerangka pemikiran
Putusan berkekuatan hukum tetap
Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)
Teoritik pasal 263ayat (1) KUHAP
Praktek peradilan/ yurisprudensi MA
Terpidana/Ahli warisnya
Jaksa Penuntut Umum
Analisis kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali
49
Suatu
putusan
Hakim
yang
sudah
berkekuatan
hukum
tetapdimungkinnya diajukannya suatu upaya hukum. Upaya hukum teralhir yang dapat dilakukan adalah Peninjauan Kembali. Pengaturan mengenai pengajuan peninjauan kembali secara teoritik terdapat dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya
yang memperoleh
pemidanaan. Sedangkan dalam putusan bebas tidak dapat diajukan suatu peninjauan kembali, karena upaya hukum ini diperuntukkan sebagai upaya hukum terakhir terpidana apabila merasa belum tercapainya suatu keadilan kepadanya. Namun dalam praktek peradilan di Indonesia sekarang ini, jaksa penuntut umum dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap terdakwa yang sifatnya memberatkan. Hal ini berdasarkan atas yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu sejak dikeluarkannya putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Hal ini menimbulkan suatu analisis mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali dan bagaimanakah dengan kepastian hukum menurut KUHAP. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis mengangkatnya sebagai sebuah penelitian hukum.
50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali. Pada bab ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh selama melakukan penelitian, data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara disini yang dipelajari adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan tingkat Peninjauan Kembali yaitu di Mahkamah Agung Jakarta Selatan. Kasus atau berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Mahkamah Agung Jakarta Selatan. Adapun kasus tersebut di atas dapat didefinisikan sebagai berikut, yaitu putusan perkara Mahkamah Agung Nomor : 12 PK/Pid.Sus./2009 dalam perkara Peninjauan Kembali dengan terdakwa Djoko S. Tjandra. Untuk mengetahui lebih rinci dan mendalam tentang berkas perkara tersebut, maka berikut ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh. A. Kasus Posisi Kasus Skandal Bank Bali bermula ketika Djoko S. Tjandra ditahan polisi karena melakukan korupsi pengalihan hak tagih piutang (Cessie) Bank Bali yaitu pada 11 Januari 1999, ada perjanjian cessie Bank Bali ke BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 598 miliar dan BUN (Bank Umum Nasional) sebesar Rp 200 miliar antara Bank Bali dan PT EGP (Era Giat Prima). Selanjutnya, 3 Juni 1999 BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan. Rinciannya, Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan. Setelah tagihan itu cair, PT EGP menulis surat ke BPPN. Isi surat itu adalah permintaan agar kewajiban PT BUN kepada Bank Bali sebesar Rp 204 miliar dan bunga sebesar Rp 342 miliar
51
dibayarkan kepada PT EGP. Lalu, PT EGP mendapat fee tadi, sebesar Rp546,468 miliar. Namun karena kemudian kasus ini mencuat ke permukaan dan Direktur Utama EGP Djoko S. Tjandra dimeja-hijaukan, akhirnya PT EGP mengembalikan dana tersebut ke Bank Bali. Setelah melalui jalannya persidangan, pada 28 Agustus 2000 Majelis Hakim tingkat pertama (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) yang memeriksa perkara menjatuhkan vonis bebas (Putusan Nomor 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL) kepada terdakwa korupsi Djoko S. Tjandra. Kemudian dikarenakan putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah lepas dari segala tuntutan hukum, maka terhadapnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dan Majelis Hakim di tingkat Kasasi menjatuhkan putusan pada 28 Juni 2001 (Putusan Nomor 1688 K/Pid/2000) yaitu menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum. Terhadap putusan Makamah Agung tersebut maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 3 September 2008 mengajukan Peninjauan Kembali. Kemudian Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009, mengabulkan Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan terdakwa Djoko S. Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dik.nai vonis dua tahun penjara dan denda 15 juta rupiah. Namun Djoko S. Tjandra dan kuasa hukumnya OC Kaligis menganggap ada kesalahan fatal dalam putusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum atas kasus cessie Bank Bali, bahwa dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan Peninjauan Kembali itu hanya kepentingan terpidana, kemudian putusan MK pada 2008, menyatakan secara normatif Pasal 263 ayat (1) tersebut tidak bisa diubah. Untuk itu kuasa hukum Djoko S. Tjandra mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus./2009 tersebut, dalam permohonannya menyebutkan bahwa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pengalihan hak tagih piutang Bank Bali adalah kesalahan fatal dalam sejarah tindak pidana di Indonesia, putusan
52
itu memperlihatkan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata karena melampaui kewenangan Mahkamah Agung. Dalam KUHAP, tidak ada satu ketentuan pun yang memberikan hak bagi jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (http://antikorupsi.org/indo). Namun dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Hari Sasangka, pengajuan Peninjauan Kembali oleh Djoko S. Tjandra tak dibenarkan. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 10/2009, hanya satu kali pengajuan Peninjauan Kembali untuk perkara yang sama. B. Identitas Terdakwa Nama
: Joko Soegiarto Tjandra
Tempat lahir
: Sanggau, Kalimantan Barat
Umur/Tanggal lahir
: 49 tahun/27 Agustus 1950
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jl. Simprug Blok I Kav 89 Rt 03/08 Grorol Selatan, Jakarta Selatan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Direktur PT. Era Giat Prima
C. Dakwaan Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra diajukan ke persidangan Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan melanggar : 1. Primair Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. 2. Subsidair
53
Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. 3. Lebih Subsidair Lagi Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke –1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. 4. Lebih Lebih Subsidair Lagi Pasal 480 ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. D. Tuntutan Agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini menyatakan JOKO SOEGIARTO TJANDRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan : “Turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berturut-turut sebagai perbuatan berlanjut”. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) sub a Jo pasal 28 Jo pasal 34 c Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 Jo Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Pasal 55ayat (1) ke 1 Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 1 ayat (2) KUHP dan untuk kesalahannya tersebut mohon agar JOKO SOEGIARTO TJANDRA dijatuhi : 1.
Pidana penjara selama1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dengan ketentuan bahwa pidana tersebut akan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan pidana denda sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
2.
Merampas
untuk
negara
barang
bukti
berupa
dana
sebesar
Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah);
54
3.
Sedangkan barang bukti berupa surat-surat sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti digunakan untuk perkara lain;
4.
Mohon agar Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp 7 500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
E.
Amar
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
156/PID.B/2000/PN.Jak.Sel., tanggal 28 Agustus 2000: 1.
Menyatakan perbuatan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA tersebut diatas sebagaimana dalam dakwaan Primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana;
2.
Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van rechtverfolging);
3.
Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
4.
Membebankan biaya perkara kepada Negara;
5.
Memerintahkan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account Bank Bali No.0999.045197 sejumlah Rp.546.166.116.369,dikembalikan kepada PT. Era Giat Prima;
6.
Sedangkan barang bukti berupa dana yang ada pada BNI 46 Rasuna Said Jakarta Selatan sejumlah Rp.28.756.160,- dikembalikan kepada Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA;
7.
Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam daftar barang bukti digunakan dalam perkara lain;
F.
Amar Putusan Kasasi
Mahkamah Agung RI No.1688 K/Pid/2000
tanggal 28 Juni 2001: 1.
Menolak
permohonan
kasasi
dari
Pemohon
Kasasi
:
JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN, tersebut; 2.
Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara.
G. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum:
55
1. Terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan pemidanaan. Adapun keadaan baru yang dimaksud dalam memori ini adalah: a. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali TUN Nomor : 21.PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 yang amarnya: Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Drs.Setya Novanto dengan salah satu pertimbangannya di hal. 24 menyatakan : "bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan perjanjian pengalihan (cessie) tagihan No.002/ PEGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 merupakan masalah perdata, seharusnya permasalahan yang berkaitan dengan surat keputusan BPPN No.SK.423/BPPN/1999 tanggal 15 Oktober 1999 diselesaikan terlebih dahulu ke peradilan umum/perdata." Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali TUN tersebut di atas, maka masalah sah atau tidaknya pembatalan Cessie oleh BPPN harus diselesaikan melalui peradilan umum/perdata. b. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali Perdata Nomor : 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 yang amarnya : Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari PT.Era Giat Prima dengan salah satu pertimbangannya di hal. 21 menyatakan: 1) bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,oleh karena alasanalasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak cukup beralasan karena pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi sudah benar dan tepat tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata ; 2) bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 1/14/Kep.DP.S/1999 tanggal 23 Juli 1999, Tergugat/Termohon
56
Peninjauan Kembali I (PT.Bank Bali Tbk) telah diserahkan kepada BPPN untuk dilakukan program penyehatan; 3) bahwa dalam melaksanakan program penyehatan tersebut dan sesuai dengan kewenangannya seperti yang diatur dalam pasal 37 A ayat (3) huruf d UU No.1 Tahun 1998 jo pasal 19 PP.No.17 Tahun
1999,
BPPN
pada
tanggal
15
Oktober
1999
No.SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan Perjanjian Pengalihan /Cessie No.002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999"; 4) bahwa tanggal
putusan 2
TUN
Maret
No.148/G.TUN/1999/PT.TUN
2004
(yang
membatalkan
Jakarta
SK.BPPN
No.SK.423/BPPN/1999) yang dijadikan dasar dari Judex Facti untuk mensahkan Perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No.447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002; Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut diatas maka BPPN berwenang untuk membatalkan cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dan PT.Era Giat Prima maka dengan sendirinya perjanjian cessie tersebut adalah batal dan tidak sah karena telah dibatalkan dengan SK Ketua BPPN No. SK/423/BPPN/1999; Dengan demikian, apabila putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali Nomor : 59 PK/Pdt/2006 yang menyatakan bahwa cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima adalah batal, dan tidak sah, telah diketahui pada saat proses persidangan oleh Judex Juris perkara atas nama terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA, maka dalam putusannya unsur melawan hukum dalam perkara tersebut seharusnya terbukti dan dinyatakan bersalah serta dihukum, bukan diputus lepas dari segala tuntutan (onslag van recht verfolging); 2. Pada pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
57
dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Bahwa dalam perkara pencairan klaim PT.Bank Bali Tbk yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa antara lain adalah JOKO S.Tjandra dan Pande N Lubis yang diajukan secara terpisah (splitzing) namun pertimbangan putusan mengenai unsur turut serta dari ke-2 perkara tersebut adalah saling bertentangan yaitu : a. Bahwa Putusan Pidana dalam perkara an. JOKO S. Tjandra Nomor:1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 Judex Juris dalam pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan: "Terdakwa tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak pula terbukti telah mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26 tahun 1998". b. bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana an. Pande N Lubis Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 Judex Juris dalam pertimbangan mengenai unsur "Turut serta" menyebutkan dalam hal 83: "bahwa unsur turut serta melakukan tersebut menurut pendapat mahkamah Agung telah dipenuhi oleh perbuatan terdakwa karena dipersidangan telah terbukti bahwa terdakwa dalam mempersiapkan pencairan klaim PT. Bank Bali tersebut telah terlebih dahulu membicarakannya dengan A. A. Baramuli, Tanri Abeng, Joko S Tjandra, Drs.Setya Novanto, Syahril Sabirin, Firman Soetjahya dan Irvan Gunardwi". Bahwa pertimbangan Judex Juris dalam perkara Joko S.Tjandra dan Pande N Lubis telah menimbulkan pertentangan dalam menafsirkan unsur "turut serta" walaupun dalam ke-2 putusan tersebut terdapat fakta hukum yang sama. Fakta hukum tersebut adalah sebagai berikut:
58
a. Bahwa pada tahun 1997 PT. Bank Bali,Tbk telah melakukan transaksi SWAP' dengan PT. BDNI sebanyak 8 (delapan) kali yang dilakukan antara tanggal 1 Desember 1997 s/d tanggal 20 Mei 1998 dengan jumlah total Rp.436.717.230.723,- dan US$ 45.000.000, dimana pada saat itu (sampai dengan 30 Desember 1997) saldo giro PT. BDNI pada Bank Indonesia dalam keadaan over draft/saldo debet sebesar Rp.8.463.711.000.000,- sehingga pada saat transaksi tersebut jatuh tempo, karena sudah tidak memiliki dana yang cukup PT. BDNI tidak dapat memenuhi pembayaran kepada PT. Bank Bali atas transaksi SWAP dan money market tersebut; b. Bahwa Presiden mengeluarkan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum di mana PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI ikut program penjaminan pemerintah; c. Bahwa PT. Bank Bali,Tbk mengajukan klaim kepada BPPN sebanyak 10 (sepuluh) kali antara tanggal 10 Maret 1998 s/d 12 Februari 1999 terhadap transaksi dengan PT. BDNI, namun ditolak oleh Bank Indonesia
karena
tidak
memenuhi
persyaratan
administrasi
sebagaimana ditentukan dalam SKB.I karena transaksi tersebut terlambat didaftarkan; d. Pada tanggal 11 Januari 1999 PT. Bank Bali,Tbk mengalihkan piutangnya tersebut dengan perjanjian cessie kepada PT. Era Giat Prima (JOKO SOEGIARTO TJANDRA), namun ternyata tidak diikuti dengan penyerahan surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima kepada PT. Bank Bali,Tbk sebagaimana yang dipersyaratkan dalam perjanjian Cessie tersebut; e. Ketidakmampuan PT. Era Giat Prima menyerahkan surat-surat berharga senilai Rp.798.091.770.000,- kepada PT. Bank Bali, Tbk diketahui dengan adanya surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 dan No.005/SPEGP/IV-99 tanggal 12 April
59
1999 yang ditandatangani JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku Direktur PT.Era Giat Prima; f. Terjadi beberapa kali pertemuan antara JOKO SOEGIARTO TJANDRA, A. A. BARAMULI, SETYA NOVANTO dan beberapa orang lainnya dengan g. Berdasarkan surat kuasa No.02/SK.EGP/III-99 tanggal 29 Maret 1999, PT. Era Giat Prima memberi kuasa kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk untuk dan atas nama PT. Era Giat Prima menagih kepada PT.BDNI (yang sudah di ambil alih BPPN). h. Tanggal 16 Mei 1999 diterbitkan SKB II No. 32/46/KEP/DIR 181/BPPN/0599 Yang memberi hak kepada Bank Kreditur untuk mengajukan klaim, sehingga PT. Bank Bali, Tbk berhak mengajukan klaim atas transaksi SWAP dan Money market dengan Bank BDNI; i. Dalam menentukan apakah transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tersebut termasuk transaksi yang dijamin atau tidak dalam program penjaminan pemerintah, Bank Indonesia tidak melakukan verifikasi on site terhadap PT.BDNI selaku bank debitur; j. Pada tanggal 1 Juni 1999, PT. Bank Bali telah menerima pencairan dana dari Bank Indonesia sebesar Rp.904.642.428.369,- melalui rekening PT. Bank Bali,Tbk yang ada di Bank Indonesia Nomor : 523.013.000; k. Bahwa kemudian dana yang berasal dari Bank Indonesia karena program penjaminan pemerintah tersebut oleh PT. Bank Bali,Tbk sebagian
diserahkan
kepada
PT.
Era
Giat
Prima
sebesar
Rp.546.466.166.369,Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan fakta-
60
fakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta sebagai fakta yang berdiri sendiri; Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut terlihat adanya kesadaran/niat bersama-sama dari para terdakwa (JOKO S. TJANDRA, PANDE N LUBIS DAN SYAHRIL SABIRIN) untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu agar transaksi SWAP dan money market antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali,Tbk adalah termasuk dalam transaksi yang dijamin oleh pemerintah sehingga klaim PT. Bank Bali,Tbk tersebut dapat diproses dan dibayar oleh Pemerintah; Bahwa dengan adanya kesadaran/niat bersama tersebut masingmasing terdakwa mempunyai peran/tugas yang berbeda-beda untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut, sehingga menurut doktrin tentang ajaran "turut serta" perbuatan dari masing-masing terdakwa tersebut walaupun tidak memenuhi seluruh unsur delik, namun dengan kerja sama secara sadar perbuatan masing-masing terdakwa tersebut menjadi sebuah peristiwa yang memenuhi semua unsur delik sehingga perbuatan tersebut selesai (voltooid) sebagaimana yang didakwakan; Tetapi kenyataannya putusan dari masing-masing terdakwa tersebut saling berbeda yaitu: 1) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 atas nama terdakwa PANDE NASORAHONA LUBIS, Judex Juris menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana "KORUPSI YANG
DILAKUKAN
SEBAGAI
SECARA BERSAMA-SAMA DAN
PERBUATAN
BERLANJUT".
Dimana
dalam
pertimbangannya halaman 83 disebutkan bahwa unsur "turut serta" telah terbukti bersama-sama dengan AA. BARAMULI, TANRI ABENG, JOKO SOEGIARTO TJANDRA, Drs. R. SETYA NOVANTO, SYAHRIL SABIRIN, FIRMAN SOETJAHJA DAN IRVAN GUNARDWI;
61
2) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 atas nama terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
perbuatan
pidana
sehingga
terdakwa
JOKO
SOEGIARTO TJANDRA dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht verfolging). Seharusnya masing-masing terdakwa yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan kasus ini telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan para pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, karena peristiwa yang mendasari adanya kasus ini adalah satu yaitu Klaim PT.Bank Bali,Tbk kepada Pemerintah atas kewajiban PT.BDNI dalam transaksi SWAP dan money market senilai Rp.904.642.428.369,-.; Bahwa masing-masing fakta persidangan tersebut di atas adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sehingga untuk membuktikan perbuatan para terdakwa haruslah berdasarkan faktafakta tersebut sebagai kesatuan bukan dari masing-masing fakta sebagai fakta yang berdiri sendiri; 3. Terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan Hakim. Judex Juris tidak melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peradilan dibawahnya dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan pasal 11 ayat (4) UU No.4 Th.2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan : "Mahkamah Agung bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang"
62
dan pasal 32 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.5 Th.2005 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi : "Mahkamah
Agung
melakukan
pengawasan
tertinggi
terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman" Berdasarkan ketentuan tersebut di atas seharusnya Mahkamah Agung RI sebagai muara terakhir peradilan (the last corner stone) melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap peradilan dibawahnya dan Mahkamah Agung RI selaku Judex Juris disamping memeriksa penerapan hukum juga dapat mengadili sendiri berdasarkan fakta-fakta persidangan, sehingga tidak timbul dualisme putusan pengadilan lebih-lebih dalam kasus yang sama atau berkaitan satu sama lain. Judex Juris yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama JOKO SUGIARTO TJANDRA dalam pemeriksaan tingkat Kasasi, dalam perkara a quo keliru menafsirkan antara lain unsur "perbuatan melawan hukum" dan unsur "turut serta melakukan" sehingga menyatakan perbuatan terdakwa JOKO SUGIARTO TJANDRA terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana, putusan ini menimbulkan ketidakpastian
hukum
dan
ketidakadilan
terhadap
masing-masing
terdakwa lainnya yaitu : a. SYAHRIL SABIRIN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas perbuatan yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskan terdakwa dari segala dakwaan (Vrijspraak); b. PANDE N. LUBIS terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana "KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT"; Disamping putusan pengadilan yang menimbulkan ketidakadilan terhadap para terdakwa dan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status barang bukti uang negara sebesar Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus
63
empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) karena di satu sisi dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa JOKO S.TJANDRA barang bukti tersebut dikembalikan kepada PT. Era Giat Prima dan dalam perkara terpisah atas nama terdakwa SYAHRIL SABIRIN
barang
bukti
tersebut
dikembalikan
pada
rekening
penampungan (Escrow Account) nomor 999045197 atas nama PT. Bank Bali qq PT.Era Giat Prima sedangkan dalam perkara terpisah lainnya atas nama terpidana PANDE NASORAHONA LUBIS putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 (telah berkekuatan hukum tetap) tidak menentukan status barang bukti berupa uang sebesar Rp. 546.468.544.738,- hanya menetapkan barang bukti berupa surat-surat supaya tetap terlampir dalam berkas perkara ini untuk dipergunakan dalam perkara lain, seharusnya barang bukti berupa uang dirampas dan dikembalikan kepada negara karena terpidana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT"; Dengan
demikian
pertimbangan
Judex
Juris
yang
telah
membenarkan pertimbangan Judex Facti seperti yang tercantum dalam putusan
Hakim
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 adalah merupakan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, yaitu : a. Salah dalam penafsiran unsur Melawan Hukum Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan sebagai berikut adalah : 1) Bahwa pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan : "bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan
64
perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah dipertimbangkan Judex Facti sudah tepat dan benar" dan pada halaman 214, "bahwa dalam proses transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah tidak melawan hukum". serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan: "bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998". 2) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Program Penjaminan Pemerintah halaman 214: "Judex Facti telah mempertimbangkan bahwa dalam proses transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan PT. BDNI adalah tidak melawan hukum, karena sudah didasarkan kepada peraturan hukum positif yang berlaku, juga berdasarkan keterangan saksi-saksi ahli dari Bank Indonesia selaku pemegang kendali kegiatan perbankan, yaitu Iwan R. Prawiranegara, Subarjo Joyosumarto, Adnan Djuanda, Erman Munzir, Hifni Arkian, Miranda S. Goeltom, Syahril Sabirin, Bambang Subianto, R.Dody Rushendra, Desmi Demas dan RC. Eko Santoso Budiarto, tidak terdapat seorang saksi pun yang telah menyatakan transaksi dimaksud sebagai melawan hukum"
65
dan halaman 290 menyebutkan : "bahwa dari kewajiban PT. BDNI (BBO) kepada PT.Bank Bali diatas Rp 10 milyar, adanya dokumen dan kewajaran transaksi SWAP dan money market serta tidak dilanggarnya prinsip kehatihatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kesehatan bank, maka transaksi tersebut dengan nilai pokok Rp. 904.642.428.369,-
termasuk
transaksi
yang
dijamin
oleh
pemerintah sesuai Keppres nomor 26 tahun 1998, Keputusan Menkeu nomor 26/KMK.017/98, SKB I tanggal 6 maret 1998 dan SKB II tanggal 14 Mei 1999". 3) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai Perjanjian Pengalihan/Cessie menyebutkan pada halaman 177, bahwa: "beralasan
tidaknya
pengalihan
piutang
tersebut
telah
dipertimbangkan Judex Facti dengan mendengar keterangan sejumlah saksi dan pada akhirnya Judex Facti berkesimpulan dan berpendapat pengalihan piutang (cessie) tersebut sebagai perbuatan perdata"; Juga pada halaman 210, "bahwa baik dengan keterangan saksi ahli hukum pidana atau tanpa keterangannya, penilaian keabsahan tersebut yang mengacu dan telah terbukti bahwa dilakukan atas kesepakatan bebas dari para pihak, dengan kecakapan para pihak, mengenai hal tertentu yaitu pengalihan hak dan pengalihan hak itu bukan merupakan hal yang terlarang, maka cessie sudah sah menurut hukum". 4) Hakim Judex Juris dalam pertimbangannya mengenai peranan terdakwa dalam pencairan klaim halaman 182 disebutkan: "bahwa Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian "turut Serta" karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang terungkap di depan persidangan terdakwa hanya melakukan cessie dengan Bank Bali dan perjanjian cessie sendiri adalah perbuatan perdata.
66
dan halaman 216 disebutkan : "bahwa tidak terdapat alat bukti yang telah membuktikan bahwa pribadi-pribadi Rudy Ramly, Pande N Lubis, Syahril Sabirin, dst telah melakukan tindak pidana korupsi dan dilakukannya bersamasama atau dengan ikut serta atau dengan disuruh melakukan hal tindak pidana itu oleh terdakwa". serta halaman 325-326 disebutkan: "bahwa masalah transaksi SWAP dan Money market antara PT. Bank Bali, Tbk dan PT. BDNI (BBO) dan masalah pengajuan klaim PT. Bank Bali atas tagihannya terhadap PT. BDNI kepada BPPN adalah permasalahannya sendiri PT. Bank Bali, Tbk dan PT. BDNI dan terdakwa tidak tahu menahu dan tidak berperan apapun dalam masalah transaksi tersebut dan pengajuan klaim yang diajukan PT. Bank Bali, Tbk. Bahwa terdakwa tidak pernah terbukti telah mempengaruhi pejabat Bank Indonesia, BPPN, Departemen Keuangan atau pejabat lainnya (pejabat pemegang otoritas moneter) yang berkaitan dengan pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk. Bahwa dalam proses pencairan klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI para pejabat pemegang otoritas moneter tidak mengetahui adanya cessie PT. Bank Bali,Tbk kepada PT. Era Giat Prima karena cessie tersebut tidak merupakan syarat untuk pencairan klaim tersebut".77 juga pada halaman 310 menyatakan: 5) "Bahwa sepanjang para pihak in casu PT. Bank Bali,Tbk sebagai cedent dan PT. Era Giat Prima (EGP) sebagai Cessionaris merasa tidak adanya dwang (paksaan), dwaling (kekhilafan/kekeliruan) atau bedrog (penipuan) dalam melakukan perjanjian cessie di satu pihak dan di pihak lain sepanjang Cessionaris dan cedent merasa adanya unsur kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian telah melakukan perjanjian cessie serta sepanjang pula Cessionaris atau cedent tidak merasa dirugikan dan tidak mengajukan pembatalan
67
perjanjian cessie ke Pengadilan Negeri dengan alasan wanprestasi dan atau melawan hukum (onrechtmatige daad) maka menurut ketentuan pasal 1338 KUHPerdata perjanjian pengalihan cessie, tagihan berikut instrumennya mengikat dan berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi PT. Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima". Tanggapan Jaksa Penuntut Umum: Ad.1. Mengenai transaksi PT.BDNI dengan PT.Bank Bali Tbk. Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur dan bank debitur; Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September 1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran; Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini, sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk tersebut; Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur; Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI dalam keadaan over draft, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP
68
dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang - Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan
rambu-rambu
kesehatan
bank
dalam
rangka
pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum di mana diatur di dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah; Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu: a. b. c. d.
Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997. Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997. Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997. Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997.
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali.Tbk. Ad.2 Tentang Program Penjaminan Pemerintah Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut adalah merupakan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, karena hanya menilai kewajaran dari transaksi antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.BDNI
69
namun Judex Juris tidak mempertimbangkan apakah transaksi tersebut dijamin atau tidak dijamin. Untuk menjadi transaksi yang dijamin oleh pemerintah, berdasarkan pasal 2 ayat (2) KEPPRES Nomor : 26 Tahun 1998 tentang Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang menyatakan: "Kewajiban pembayaran yang dijamin pemerintah meliputi kewajiban dalam mata uang rupiah dan mata uang asing" Sedangkan menurut Kep.Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 kewajiban bank yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 yaitu: "Kewajiban yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam KEPPRES Nomor 26 Tahun 1998 meliputi seluruh kewajiban pembayaran dari bank umum, baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing yang timbul sebelum, pada atau sesudah hari pertama dari jangka waktu berlaku dan jatuh tempo pada atau sebelum hari terakhir dari jangka waktu berlaku termasuk tetapi tidak terbatas pada giro, tabungan, deposito berjangka dan deposito on call, obligasi, surat berharga, pinjaman antar bank, pinjaman yang diterima, SWAPS/hedgesfuture, derivatives dan kewajiban-kewajiban kontinjen (off balance sheet) lainnya, seperti bank garansi, standby letter of credit, performance bonds dan kewajiban-kewajiban yang sejenis selain yang dikecualikan dalam keputusan ini". Sedangkan kewajiban bank umum yang tidak dijamin diatur dalam pasal 4 huruf e juga menyebutkan: "Pemerintah tidak menjamin pembayaran Kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh kreditur yang tidak beritikad baik". Bahwa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan SKB I tanggal 6 Maret 1998 dan Petunjuk Pelaksanaan SKB II tanggal 14 Mei 1999, disebutkan bahwa kewajiban-kewajiban bank umum yang dijamin
70
adalah seperti yang disebutkan di dalam KEPPRES Nomor : 26 Tahun 1998 dan Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998, sedangkan tentang jenis-jenis kewajiban bank yang tidak dijamin antara lain disebutkan: "Kewajiban-kewajiban yang diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat atau kewajibankewajiban yang oleh kreditur yang tidak beritikad baik"., Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas transaksi SWAP maupun money market yang dilakukan antara PT. BDNI dan PT. Bank Bali,Tbk yaitu: a.
Transaksi
SWAP
tanggal
1
Desember
1997
sebesar
Rp.64.754.250.000,- jatuh tempo tanggal 2 Maret 1998. b.
Transaksi
SWAP
tanggal
3
Desember
1997
sebesar
Rp.48.060.000.000,- jatuh tempo tanggal 3 Maret 1998. c.
(3) Transaksi SWAP tanggal 12 Desember 1997 sebesar Rp.51.600.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Maret 1998.
d.
Transaksi
SWAP
tanggal
-
Desember
1997
sebesar
Rp.1.131.250.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998. e.
Transaksi
SWAP
tanggal
15
Desember
1997
sebesar
Rp.81.225.000.000,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998. f.
Transaksi Money market tanggal 2 Maret 1998 sebesar Rp.66.139.271.458,- jatuh tempo tanggal 16 Maret 1998.
g.
Transaksi
SWAP
tanggal
12
September
1997
sebesar
Rp.61.830.000.000,- jatuh tempo tanggal 24 Maret 1998. h.
Transaksi Money market tanggal 20 Mei 1998 sebesar Rp.61.977.459.265,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
i.
Transaksi
SWAP
tanggal
5
Desember
1997
sebesar
1997
sebesar
US$40.000.000,- jatuh tempo tanggal 5 Juni 1998. j.
Transaksi
SWAP
tanggal
12
Desember
US$5.000.000,- jatuh tempo tanggal 12 Juni 1998.
71
bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena telah melanggar prinsip kehati-hatian yaitu pada waktu melakukan transaksi SWAP maupun money market PT. BDNI keadaan saldo giro PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia dalam keadaan over draft/saldo debet sejak 15 Oktober 1997 serta CAR kurang dari 5%. Dengan kondisi demikian seharusnya PT. BDNI tidak melakukan transaksi SWAP dan money market sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 30/266/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan Suku Bunga Simpanan dan Penyedia Dana, pasal 2 ayat (1) jo pasal 9 huruf a, b dan c jo pasal 11, yaitu, pasal 2 ayat (1): "Bank dalam menerima kewajiban antar bank dari bank lain wajib dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan memenuhi batasan yang ditetapkan". pasal 9: "Bank dapat menetapkan sendiri pertumbuhan penyediaan dana dengan ketentuan: Pasal 9 huruf a: "Telah mempertimbangkan aspek kehati-hatian dan semua risiko usaha dan" Pasal 9 huruf b: "Memenuhi ketentuan kehati-hatian yang meliputi Rasio Modal (CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan tidak mempunyai kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan" Pasal 9 huruf c: "Tidak terdapat pelanggaran kewajiban antar bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 2"
72
Bahwa PT. Bank Bali sebelum melakukan transaksi SWAP dan money market dengan PT. BDNI seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian dengan indikator awal antara lain berupa Capital Adequate Ratio (Rasio Kecukupan Modal) dan Giro Wajib Minimum PT. BDNI pada Bank Indonesia seperti yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997, di mana disebutkan: "Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah. Sedangkan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing adalah 396 dari dana pihak ketiga dalam valuta asing". Oleh karena transaksi antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali tersebut dilakukan pada saat saldo giro PT. BDNI pada Bank Indonesia dalam keadaan over draft berarti telah melewati batas minimum Saldo Giro Wajib pada Bank Indonesia sebesar 5%. Dengan demikian transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehatihatian bank dan bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat sehingga transaksi tersebut tidak dijamin sebagaimana diatur dalam program penjaminan oleh pemerintah (vide pasal 4 huruf e Kep. Menkeu Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 dan SKB I Nomor : 30/270/KBP/DIR 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998 serta SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR 181/BPPN/0599 tanggal 14 Mei 1998). Bahwa di samping itu pada SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998 diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum pada angka "II" poin 3 huruf b nomor 2) disebutkan bahwa :
73
"pendaftaran dimaksud dilakukan oleh bank yang bersangkutan kepada BPPN dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak timbulnya kewajiban tersebut bagi kewajiban yang ada setelah Surat Keputusan Bersama di atas"; Sedangkan pada angka "IV" Tata Cara Pengajuan Klaim dan Pembayaran Jaminan dalam poin 1 huruf b disebutkan bahwa: "Dalam hal Bank memperkirakan tidak akan mampu membayar, bank yang bersangkutan akan memberitahukan kepada BPPN sesuai dengan contoh pada lampiran 6, yang harus disampaikan selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum kewajiban tersebut jatuh tempo". Dari fakta yang ada PT. BDNI mengajukan klaim kepada BPPN dengan alamat Bank Indonesia baru diajukan pada tanggal 23 Juni 1998 (sebanyak 7 (tujuh) surat klaim) dan 20 Juli 1998, begitu pula PT. Bank Bali mengajukan klaim transaksi tersebut kepada BPPN pada tanggal 10 Maret 1998, 3 Juni 1998, 8 Juni 1998, 19 Juni 1998, 6 Agustus 1998, 28 September 1998, 5 Oktober 1998, 21 Oktober 1998, 23 Desember 1998 dan terakhir tanggal 12 Pebruari 1999. Dengan demikian pengajuan klaim baik oleh PT. BDNI (sebagai debitur) dan PT. Bank Bali (sebagai kreditur) secara administrasi telah melewati batas waktu yang ditentukan di dalam SKB I Nomor 30/270/KEP/DIR 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998, sehingga permohonan klaim tersebut ditolak oleh Bank Indonesia dengan suratnya yang ditujukan kepada Tim Pemberesan PT.BDNI (BBO) dengan tembusan antara lain ketua BPPN dan Direksi PT.Bank Bali,Tbk dengan surat Nomor: a.
Nomor : 31/632/UPPB/AdB tanggal 23 September 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
b.
Nomor : 31/635/UPPB/AdB tanggal 24 September 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
74
c.
Nomor : 31/653/UPPB/AdB tanggal 28 September 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
d.
Nomor : 31/697/UPPB/AdB tanggal 5 Oktober 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
e.
Nomor : 31/713/UPPB/AdB tanggal 13 Oktober 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
f.
Nomor : 31/738/UPPB/AdB tanggal 16 Oktober 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
g.
Nomor : 31/775/UPPB/AdB tanggal 20 Oktober 1998 perihal klaim PT. BDNI atas kewajiban kepada PT. Bank Bali,Tbk.
Dari uraian tersebut di atas, klaim PT. Bank Bali,Tbk kepada BPPN dan Bank Indonesia baik secara administrasi (pendaftaran transaksi dan klaim terlambat diajukan) maupun secara substansi/materi yaitu transaksi tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian bank adalah transaksi yang tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah. Ad.3 Tentang Perjanjian Pengalihan/Cessie Bahwa pertimbangan Judex Juris yang mengatakan bahwa cessie adalah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang antara PT. Era Giat Prima dan PT. Bank Bali,Tbk adalah merupakan kekeliruan karena tidak mempertimbangkan pasal-pasal lain dalam KUHPerdata yang berkaitan dengan sah atau tidaknya Cessie tersebut. Dalam KUHPerdata Cessie diatur antara lain dalam Buku II pasal 613 KUH Perdata yang menyebutkan : "Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang
75
karena surat atas bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai endosemennya". Berdasarkan pasal 584 KUH Perdata disebutkan bahwa sahnya cessie tergantung dari sahnya perjanjian obligatornya, berarti dalam perjanjian cessie harus diikuti dengan penyerahan jaminan sebagai kompensasi telah dialihkannya piutang tersebut. Bahwa perjanjian obligator yang mendasari cessie disini adalah penyerahan (levering) aset/surat-surat berharga dari PT. Era Giat Prima kepada PT. Bank Bali untuk memenuhi prestasi atas pengalihan tagihan/cessie sebagaimana
yang
No.002/P.EGP/I-99
diperjanjikan tanggal
11
dalam
Januari
surat
1999
perjanjian
antara
JOKO
SOEGIARTO TJANDRA selaku direktur PT. Era Giat Prima dan RUDY RAMLY selaku direktur PT. Bank Bali,Tbk dimana JOKO S. TJANDRA membuat surat pernyataan No.002/SP.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 berjanji akan menyerahkan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Bali,Tbk dan bank-bank pemerintah atau BUMN sebesar Rp. 798.091.770.000,- (tujuh ratus sembilan puluh delapan milyar sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) paling lambat pada tanggal 11 April 1999. Namun ternyata JOKO SOEGIARTO TJANDRA selaku Direktur PT. Era Giat Prima tidak pernah menyerahkan aset/surat berharga tersebut, dan dengan surat pernyataan Nomor : 005/SP-EGP/IV-99 tanggal 12 April 1999, penyerahan surat-surat berharga di atas diperpanjang menjadi paling lambat tanggal 11 Juni 1999. Karena perjanjian obligatoir yang mendasari cessie tersebut adalah tidak sah dan secara otomatis perjanjian cessie tersebut adalah tidak sah. Berdasarkan fakta di persidangan, bahwa PT. Era Giat Prima selaku Cessionaris menguasakan kembali kepada PT. Bank Bali,Tbk untuk mengajukan klaim kepada BPPN, dan hal yang demikian (dikuasakan
76
kembali kepada cedent/PT.Bank Bali) bertentangan dengan asas kepatutan dan kelaziman. Seperti pendapat Suharnoko,SH,MLI,dkk dalam bukunya "Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie" halaman 122-123 "bahwa terjadi keganjilan karena jika Bank Bali menerima pembayaran dari debitornya atau dari BPPN maka tidak ada kewajiban bagi Bank Bali untuk membayar kepada PT. Era Giat Prima. Menurut pendapatnya tersebut jika PT. Era Giat Prima kesulitan untuk menagih kepada BDNI, maka lebih baik dilakukan retro cessie". Bahwa yang dimaksud dengan retro cessie adalah "penyerahan hak kembali" berdasarkan Kamus Hukum Yan Pramadya Puspa, penerbit CV. Aneka Semarang, 1977, halaman 736; Dari uraian di atas, bahwa cessie tersebut hanyalah pro forma (sekedar untuk memenuhi tata cara/semu/pura-pura) dan itu merupakan alat/modus untuk melakukan perbuatan melawan hukum bagi
JOKO
SOEGIARTO
TJANDRA
untuk
mendapatkan
keuntungan dari klaim PT. Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI; Judex Juris hanya mempertimbangkan kebenaran formil dari faktafakta yang ada yaitu tentang keabsahan cessie, seharusnya dalam persidangan perkara pidana Judex Juris harus mencari kebenaran materiil, yaitu seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa cessie tersebut adalah pro forma dan merupakan alat/modus bagi JOKO SOEGIARTO TJANDRA. Ad.3 Tentang peranan terdakwa dalam pencairan klaim Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA sebatas pembuatan Akta Cessie,
seharusnya
juga
mempertimbangkan
peran
JOKO
SOEGIARTO TJANDRA dalam memfasilitasi pertemuan antara pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk
77
dan adanya perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA/PT.EGP yang menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali. Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1/BPPN/1998 1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim kepada Bank Indonesia terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun ditolak dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan maupun terlambat pengajuan klaimnya. Atas dasar penolakan tersebut PT. Bank Bali,Tbk melakukan pengalihan tagihan dengan memberikan cessie kepada JOKO SOEGIARTO TJANDRA (PT. Era Giat Prima) untuk mencairkan klaim terhadap PT. BDNI tersebut yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 1999 dengan Cessie No.002/P.EGP/I/99. Setelah menerima pengalihan tagihan (cessie) dari PT. Bank Bali,Tbk tersebut JOKO SOEGIARTO TJANDRA mulai melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI tersebut
dapat
dicairkan
oleh
BPPN,
diantaranya
adalah
mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan para pejabat pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN) dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI yang dilakukan di kantor Menteri Keuangan, Hotel Mulia dan di rumah Menteri Keuangan; Bahwa klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula selalu ditolak oleh Bank Indonesia, setelah pertemuan tanggal 11 Februari 1999 bertempat di Hotel Mulia yang diprakarsai dan difasilitasi oleh JOKO SOEGIARTO TJANDRA yang dihadiri oleh JOKO SOEGIARTO TJANDRA sendiri, AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI, kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan mencari jalan untuk
78
mengatasinya, PT. Bank Bali,Tbk mengajukan kembali klaim tersebut kepada BPPN dengan surat Nomor : 012/CL.02/99 tanggal 12 Februari 1999 yang merupakan hasil pertemuan tanggal 11 Februari 1999 tersebut di atas. Kemudian seluruh proses pencairan klaim PT. Bank
Bali,Tbk
terhadap
PT.
BDNI tersebut
oleh
PANDE
NASORAHONA LUBIS yang mempunyai kewenangan untuk memproses klaimnya, diproses hingga dapat dicairkan. Selain tanggapan kami tersebut di atas, kami kemukakan doktrindoktrin mengenai unsur "melawan hukum" yaitu: Penjelasan umum Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa dalam undang-undang tersebut "unsur melawan hukum" adalah mengandung pengertian formil maupun materiil, dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum. Menurut Prof. MR. Roeslan Saleh, "Bahwa melawan hukum dalam pendapat yang formil apabila telah memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan delik dan tidak perlu diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat adalah betul-betul telah dirasakan tidak patut". Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, "Menurut ajaran yang materiil disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan di dalam rumusan delik, maka perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan,
karena
bertentangan
dengan
atau
menghambat
terwujudnya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu". Dengan
adanya
kata-kata
"agar
lebih
mudah
memperoleh
pembuktian" dalam penjelasan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 tersebut maka dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor.3 Tahun 1971 tersebut menerapkan sifat melawan hukum materiil
79
dalam arti yang positif, yaitu perbuatan yang melanggar asas kepatutan dan tercela di dalam masyarakat adalah bersifat melawan hukum sehingga dapat dihukum. Berdasarkan uraian dari poin 1 sampai dengan poin 4 di atas, perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA yaitu menerima cessie yang menurut Judex Facti adalah sah, sebenarnya hanya merupakan alat/ modus/ sarana bagi JOKO SUGIARTO TJANDRA untuk dapat menikmati keuntungan atas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang diajukan kepada pemerintah Cq.BPPN. Walaupun perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA menerima sejumlah dana yang dilandasi oleh perjanjian cessie, namun perjanjian cessie itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak patut atau tercela karena hanya dimaksudkan agar JOKO SUGIARTO TJANDRA dapat mengikatkan diri ke dalam masalah klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI sehingga terdakwa dapat menikmati keuntungan dari pembayaran klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI oleh Bank Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk dalam transaksi yang dijamin oleh pemerintah. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. BDNI dan PT.Bank Bali,Tbk adalah sudah tidak benar karena PT. BDNI sudah overdraft sehingga transaksi tersebut tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah sedangkan cessie tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata. Dengan demikian sejak terjadi transaksi SWAP dan money market antara
PT.
Bank
Bali,Tbk
dengan
PT.
BDNI
hingga
pengiriman/transfer dana pembayaran klaim yang berasal dari pemerintah melalui PT. Bank Bali ke rekening PT. Era Giat Prima dilakukan dengan secara melawan hukum. b. Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut
80
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Pertimbangan Judex Juris pada halaman 182 menyatakan bahwa tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex Facti dengan benar. dan halaman 215 menyatakan “ ..............maka pembayaran klaim tersebut tidak merupakan tindakan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara karena uang yang dibayarkan untuk membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk merupakan uang dan hak yang sah dari PT. Bank Bali sendiri. Dengan tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka juga tidak terbukti terjadi perbuatan yang merugikan perekonomian negara". Judex Facti dalam pertimbangannya halaman 341-342 : "bahwa benar negara pada tanggal 1 Juni 1999 telah mengeluarkan dana talangan sebesar Rp. 904.462.428.369,- untuk membayar tagihan PT. Bank Bali, Tbk terhadap PT. BDNI (BBO) tetapi uang tersebut adalah sah milik PT. Bank Bali sehingga PT. Bank Bali bebas untuk menggunakan uangnya". Tanggapan Jaksa Penuntut Umum Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu
kekhilafan
atau
kekeliruan
yang
nyata
karena
hanya
mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya mempertimbangkan apakah transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada. Bahwa sesuai dengan penjelasan pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 yang dimaksud dengan keuangan negara adalah :
81
“
...........meliputi
juga
keuangan
daerah
atau
suatu
badan/badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut". Bahwa dana yang dibayarkan kepada PT. Bank Bali,Tbk sebesar Rp.904.462.428.369,- adalah berasal dari Obligasi dalam rangka penjaminan pemerintah terhadap kewajiban dari Bank-bank Umum yang pelaksanaannya diserahkan kepada BPPN untuk dibayar oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Surat Menteri Keuangan Nomor : SK-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 perihal Surat Kuasa Umum dalam rangka pembayaran Jaminan Pemerintah terhadap kewajiban Bank sebesar Rp.53.779.000.000.000,- (lima puluh tiga trilyun tujuh ratus tujuh puluh sembilan milyar rupiah); Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum (hal.22-28 diatas) bahwa transaksi antara PT. BDNI dan PT. Bank Bali, Tbk tidak boleh dilakukan karena melanggar prinsip kehati-hatian sesuai pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sehingga sesuai ketentuan, transaksi tersebut bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah; Bahwa berdasarkan uraian pada unsur melawan hukum poin 3) bahwa cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era Giat Prima adalah tidak sah sesuai ketentuan pasal 613 ayat (2)KUH Perdata dan pasal 584 KUH Perdata. Sehingga cessie tersebut hanya merupakan pro forma untuk digunakan sebagai alat/sarana bagi JOKO SUGIARTO TJANDRA untuk dapat menikmati dana penjaminan pemerintah terhadap klaim PT. Bank Bali,Tbk secara melawan hukum; Karena transaksi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI tersebut bukan termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah maka pemerintah tidak perlu membayar klaim tersebut;
82
Oleh karena cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. Era Giat Prima adalah tidak sah sehingga uang yang dibayarkan oleh PT. Bank
Bali
Tbk
kepada
PT.Era
Giat
Prima
sebesar
Rp.
546.466.166.369,- tersebut adalah bukan uang PT. Bank Bali, tetapi merupakan uang negara. Dengan demikian uang sejumlah Rp. 546.466.166.369,sebagai uang hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan JOKO SUGIARTO TJANDRA secara bersama-sama dengan terdakwa lainnya (vide putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 380 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004 atas nama terpidana PANDE NASORAHONA LUBIS), sudah seharusnya uang tersebut dirampas untuk Negara sebagai
pemulihan
terhadap
kerugian
Negara
sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971. c. Unsur perbuatan turut serta (pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana Judex Juris dalam pertimbangan halaman 182 menyatakan: "Judex Facti tidak salah menafsirkan pengertian turut serta dst karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie dengan Bank Bali". Dan pada halaman 216 menyatakan: "Tidak terdapat alat bukti yang membuktikan bahwa pribadi-pribadi Rudy Ramli dst telah melakukan tindak pidana korupsi dan dilakukannya bersama-sama atau dengan ikut serta atau dengan disuruh melakukan hal tindak pidana itu oleh terdakwa". Pertimbangan Judex Facti pada halaman 343 menyatakan antara lain bahwa: "Dari pengertian tersebut kalau terdakwa ditempatkan sebagai orang yang turut melakukan tindak pidana siapakah sebenarnya subyek pelaku tindak pidana yang bertalian dengan dana pencairan klaim tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI (BBO) sehubungan
83
transaksi SWAP dan money market. Bahwa terdakwa tidak berperan apapun dalam hal kelahiran SKB II, tidak berperan dalam hal verifikasi on site, tidak berperan dalam pencairan tagihan, dan tidak pula terbukti telah mempengaruhi pejabat otoritas moneter yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor : 26 Tahun 1998". Tanggapan Jaksa Penuntut Umum Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan
atau
kekeliruan
yang
nyata
karena
hanya
mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi lain tentang ajaran "turut serta". Menurut Hoge Raad, medepleger selain sebagai pelaku penuh juga semua pelaku tindak pidana (bila pelaku lebih dari satu orang) yang salah satu dari mereka memunculkan fakta hukum sementara yang lainnya hanya mewujudkan sebagian dari fakta hukum tersebut. Pendapat ahli hukum/doktrin Menurut Prof.Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia: "Hubungan accessoir hanya berlaku untuk bentuk pembujukan (uitlokking) dan pembantuan (medeplichtigheid), dengan demikian dalam "turut serta" pelaku tidak harus melaksanakan semua unsur delik". Selanjutnya Remmelink menyatakan bahwa menurut Hoge Raad: "Untuk mengatakan adanya suatu medeplegen atau turut serta disyaratkan adanya kerja sama yang disadari dengan kata lain kesengajaan untuk melakukan kerja sama yang harus dibuktikan keberadaannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa harus dibuktikan adanya dua bentuk kesengajaan dalam delik-delik kesengajaan yang
84
dilakukan
secara
(1)Kesengajaan
bersama-sama (untuk
untuk
memunculkan)
sejumlah akibat
pelaku delik;
: dan
(2)Kesengajaan untuk melakukan kerja sama. Tidak perlu ada rencana atau kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu dibuktikan hanya adanya saling pengertian diantara sesama pelaku dan pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama". Menurut Prof. Mr. D. Simon dalam bukunya "leerboek van het Nederland strafrecht" (yang dikutip dari buku Hukum Pidana Indonesia, Drs. P.A.F. Lamintang, SH, C.Djisman Samosir, SH) mengatakan bahwa : "Orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu dapat dianggap sebagai pelaku, maka disitu dapat terjadi medepleger atau turut serta melakukan. Mededaderschap itu menunjukkan tentang adanya kerja sama secara fisik untuk melakukan suatu perbuatan, kerja sama secara fisik itu haruslah didasarkan pada kesadaran bahwa mereka itu bekerja sama". Bahwa Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam menafsirkan arti kata "pelaku" (pleger) dan "turut serta" (medepleger) karena dalam putusan tersebut Judex Facti menafsirkan dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang harus diketahui dahulu mana pelaku pokoknya (dader) dan mana pelaku "turut serta"(medepleger), sehingga seharusnya tidak perlu dicari pelaku pokoknya terlebih dahulu karena masing-masing pelaku telah mempunyai niat yang sama walaupun perannya berbeda beda, sehingga dari peran masing-masing pelaku tersebut terselesaikanlah perbuatan pidana tersebut. Dalam kasus ini, kerja sama secara sadar dengan adanya saling pengertian antara JOKO SUGIARTO TJANDRA dengan para terdakwa lain yang disidangkan secara terpisah antara lain PANDE
85
NASORAHONA LUBIS, Drs. R. SETYA NOVANTO dan RUDY RAMLY dapat dilihat dalam hal : 1) Berdasarkan SKB I Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1/BPPN/1998 1998 PT. Bank Bali,Tbk pernah beberapa kali mengajukan klaim kepada BPPN terhadap tagihan kepada PT. BDNI namun ditolak dengan alasan bahwa klaim tersebut terlambat didaftarkan. 2) Atas dasar penolakan tersebut PT.Bank Bali,Tbk melakukan pengalihan tagihan kepada JOKO SUGIARTO TJANDRA (PT. Era Giat Prima) untuk mencairkan klaim terhadap PT. BDNI tersebut yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 1999. 3) Setelah menerima pengalihan tagihan (cessie) dari PT.Bank Bali,Tbk tersebut JOKO SUGIARTO TJANDRA mulai melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan agar klaim PT. Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI tersebut dapat dicairkan oleh BPPN, diantaranya adalah mempengaruhi pemegang otoritas moneter. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kali pertemuan para pejabat pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN) dengan pihak PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI yang dilakukan: a) Tanggal 11 Februari 1999 malam bertempat di Hotel Mulia Jakarta JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Firman Sutjahya dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI. b) Tanggal 1 April 1999 PT.Bank Bali,Tbk mengajukan klaim terhadap PT. BDNI c) Awal Mei 1999 bertempat di rumah Tanri Abeng, JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan AA. Baramuli dan Setya Novanto untuk membahas klaim PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI.
86
d) Bulan Mei 1999 bertempat di rumah AA. Baramuli, JOKO SUGIARTO TJANDRA mengadakan pertemuan dengan Tanri Abeng, Setya Novanto dan Marimutu Manimaren untuk membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI. e) Tanggal 26 Mei 1999 JOKO SUGIARTO TJANDRA bersamasama dengan Rudi Ramly dan Marimutu Manimaren bertemu Menteri Keuangan (Bambang Subiyanto) di rumah Menteri Keuangan untuk membahas klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI. 4) Bahwa klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI yang semula telah ditolak oleh BPPN dengan alasan tidak sesuai dengan SKB I Nomor 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998 1/BPPN/1998 karena berdasarkan SKB I tersebut yang berhak untuk mengajukan
klaim hanyalah bank debitur (PT. BDNI), setelah diadakan pertemuan-pertemuan tersebut BPPN bersama-sama dengan Bank Indonesia mengeluarkan SKB II Nomor : 32/46/KEP/DIR tanggal 181/BPPN/0599 14 Mei 1999 di mana disebutkan bahwa bank kreditur (dalam hal ini PT.Bank Bali,Tbk) dapat mengajukan klaim kepada BPPN. Dengan adanya SKB II tersebut klaim dari PT.Bank Bali,Tbk diproses oleh BPP hingga akhirnya dibayar oleh Bank Indonesia. 5) Walaupun pertemuan-pertemuan tersebut diabaikan oleh Judex Facti sebagaimana pertimbangannya pada halaman 318 yang menyatakan: "Hanya ada 1 (satu) saksi yaitu saksi Firman Sutjahya yang menerangkan benar pada tanggal 11 Februari 1999 ada pertemuan di hotel Mulia yang dihadiri oleh Syahril Sabirin, AA.Baramuli, Tanri Abeng, Joko Soegirato Tjandra, Setya Novanto dan Pande N. Lubis yang dibantah oleh terdakwa (Joko Soegirato Tjandra) dan
87
tidak dibenarkan oleh kesaksian-kesaksian di bawah sumpah lainnya" Yang dibenarkan oleh Judex Juris dengan pertimbangan pada halaman 180 yang menyatakan: "Judex Facti tidak salah menerapkan hukum pembuktian khusus tentang pengertian unus testis nulus testis karena hanya saksi Firman Soetjahja yang menerangkan ada pertemuan di Hotel Mulia pada tanggal 11 Pebruari 1999" dan pada halaman 212 yang menyatakan: "Keterangan Firman Soetjahja satu-satunya yang menerangkan terdapat pertemuan pada tanggal 11 Februari 1999 untuk membicarakan percepatan pencairan tagihan PT. Bank Bali, memenuhi kriteria hukum sebagai unus testis nulus testis. 6) Bahwa pertimbangan Judex Juris yang demikian terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata, karena dari fakta di persidangan karena ada keterangan saksi-saksi lainnya antara lain Bambang Subiyanto (Menteri Keuangan), Rudy Ramly, Irvan Gunardwi, Marimutu Manimaren, Firman Sutjahja dan beberapa saksi lainnya, bila dikaitkan keterangan masing-masing saksi tersebut satu sama lain terdapat hubungan yang erat, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu sebagaimana tersebut dalam
pasal
185
ayat
(4)
KUHAP,
yaitu
adanya
pertemuanpertemuan antara JOKO SOEGIARTO TJANDRA dengan pemegang otoritas moneter antara lain Syahril Sabirin dan Pande N. Lubis dan Bambang Subianto dalam membahas klaim PT.Bank Bali hingga dapat dibayarkan klaim tersebut. Berdasarkan uraian di atas, terlihat peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA dalam pencairan klaim PT.Bank Bali,Tbk terhadap PT. BDNI walaupun perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tidak memenuhi semua unsur delik yang didakwakan namun terlihat adanya
88
kerja sama dengan terdakwa lain (PANDE NASORAHONA LUBIS dan SYAHRIL SABIRIN), sebagaimana kami uraikan dalam pengertian unsur "turut serta" menurut doktrin ilmu hukum pidana dan Yurisprudensi. Dengan adanya kerja sama dan niat yang disadari (bewuste samenwerking) antara para terdakwa tersebut sehingga unsur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu "turut serta melakukan" telah terbukti dan para terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. d. Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam pasal 64 ayat (1) KUHP Pertimbangan Judex Facti pada halaman 346 menyatakan : Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam praktek peradilan harus memenuhi syaratsyarat: 1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus ada kesatuan tekad. 2) Perbuatan harus serupa atau sejenis. 3) angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama. Menurut Judex Facti perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur tersebut, namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil. Dan juga menyatakan: "Bahwa setelah PT. Bank Bali menerima dana tagihan terhadap PT. BDNI (BBO) sejumlah Rp.904.642.428.369,- tanggal 1 Juni 1999 yang berasal dari dana talangan pemerintah sehubungan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres Nomor 26 tahun 1998, pada tanggal 3 Juni 1999 dari dana sebesar Rp.904.642.428.369,- yang Rp.404.642.428.369,- dikreditkan oleh PT. Bank Bali (cedent) ke rekening PT.Era Giat Prima (Cessionaris) A/C 0701026934 di Bank Bali selanjutnya pada tanggal 10 Juni 1999 PT. Bank Bali selaku cedent mentransfer sejumlah Rp.141.826.116.369,- ke rekening PT. Era Giat Prima selaku Cessionaris". Dan pada halaman 348 menyatakan bahwa:
89
“....dana yang diterima oleh PT.Era Giat Prima selaku Cessionaris dari PT.Bank Bali selaku cedent sejumlah Rp.546 milyar adalah pelaksanaan perjanjian pengalihan/cessie tagihan Nomor : 002/PEGP/1-99 tanggal 11 Januari 1999 antara cedent PT.Bank Bali dengan Cessionaris PT.Era Giat Prima yang hanya mengikat bagi cedeht dan Cessionaris". yang dibenarkan oleh Judex Juris dalam pertimbangannya halaman 210 dimana Judex Juris menyatakan : "bahwa cessie sebagai produk perdata memenuhi kriteria sebagai perjanjian yang sah menurut hukum perdata, sehingga perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA menerima dana dari PT. Bank Bali,Tbk adalah dalam kapasitasnya sebagai Cessionaris dan PT. Bank Bali,Tbk yang menyerahkan dana kepada PT. Era Giat Prima tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai cedent sehingga tidak terdapat perbuatan yang bersifat melawan hukum. Tanggapan Jaksa Penuntut Umum Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan
atau
kekeliruan
mempertimbangkan
bahwa
yang perbuatan
nyata
karena
JOKO
hanya
SOEGIARTO
TJANDRA dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat
keperdataan
(sebagai
Cessionaris)
seharusnya
juga
mempertimbangkan peran JOKO SOEGIARTO TJANDRA dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum. Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA
yang
dilakukan
bersama-sama
dengan
SYAHRIL
SABIRIN dan PANDE NASORAHONA LUBIS dapat dilihat dari rangkaian peristiwa sebagai berikut: 1) bahwa transaksi SWAP dan money market antara PT. Bank Bali,Tbk dengan PT. BDNI adalah transaksi yang tidak termasuk transaksi yang dijamin oleh pemerintah karena pada waktu itu PT.
90
BDNI dalam kondisi over draft sehingga transaksi tersebut telah melanggar "prinsip kehati-hatian". 2) adapun Cessie antara PT.Bank Bali,Tbk dengan PT.Era Giat Prima (EGP) adalah Cessie yang tidak sah karena landasannya yaitu perjanjian obligatornya tidak sah karena tidak diikuti dengan levering sesuai dengan pasal 584 KUH Perdata. 3) Sehingga dana yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada PT. Bank Bali,Tbk sebesar Rp.904.642.428.369,- bukan milik PT. Bank Bali,Tbk karena transaksi SWAP dan Money market antara PT. BDNI dan PT. Bank Bali, Tbk bukan termasuk transaksi yang dijamin sehingga dana sebesar Rp.546.468.544.738,- yang ditransfer kepada PT. Era Giat Prima masing-masing pada tanggal 3 Juni 1999 sebesar Rp.404.642.428.369,- dan pada tanggal 10 Juni 1999 sebesar Rp.141.826.116.369,- adalah uang negara. (Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tanggapan Jaksa mengenai unsur melawan hukum diatas) Dengan demikian rangkaian perbuatan JOKO SUGIARTO TJANDRA yang dilakukan bersama-sama dengan SYAHRIL SABIRIN dan PANDE NASORAHONA LUBIS tersebut adalah bersifat "melawan hukum", maka dengan terbuktinya sifat melawan hukum dari perbuatan JOKO SOEGIARTO TJANDRA tersebut seharusnya perbuatan berlanjut seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti. Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa sebelum mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali perlu terlebih dahulu dibatasi makna pengajuan peninjauan kembali oleh Penuntut umum dalam kapasitasnya mewakili negara dan kepentingan umum dalam penyelesaian perkara pidana bukan untuk kepentingan pribadi penuntut umum ataupun lembaga Kejaksaan, dan makna kepentingan umum dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
91
menjelaskan “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama atau kepentingan pembangunan”, demikian juga dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung yang mengartikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas ; Dari makna ketentuan diatas dihubungkan dengan permohonan peninjauan kembali aquo terlihat bahwa kepentingan bangsa dan negara maupun masyarakat luas lebih menonjol, sehingga permohonan aquo mempunyai sifat yang eksepsional telah memenuhi makna dari kepentingan umum dan makna kepentingan umum ini pula yang harus membatasi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, karenanya tidak dapat serta merta seluruh perkara pidana Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ; Bahwa Alasan-alasan Peninjauan Kembali yang diajukan
Jaksa bertalian dengan dasar diajukan permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana disebut dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, yaitu putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan sebagai berikut: 1) ALASAN ad. A dan ad. B; a) Alasan tersebut dapat dibenarkan karena tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian i.c. “ pembatalan perjanjian pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya merupakan putusan TUN yang semestinya secara absolut tidak berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang mengikat para pihak ; b) Selain itu berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam penyelesaian bank bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan
92
perjanjian cessi antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud, namun karena adanya intervensi dari pihak pihak yang mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun 1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan klaim dimaksud ; c) Bahwa ternyata secara sadar Terdakwa bersama sama dengan Pande N. Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi Swap dan Money market antara PT. BDNI dengan PT Bank Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya upaya yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud dengan diproses dan dibayarkannya tagihan dimaksud ; 2) Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Facti mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut adalah : a) Pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan PT. Bank Bali Tbk pada halaman 182, menyatakan : "bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah dipertimbangkan Judex Factie sudah tepat dan benar" dan pada halaman 214, "bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah tidak melawan hukum".
93
serta pada halaman 281 s/d 285 menyebutkan : "bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998". b) Pertimbangan Judex Facti tersebut diatas adalah keliru dan merupakan
kekhilafan
yang
nyata
karena
hanya
mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank Bali,Tbk ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur dan bank debitur. c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah Rapat Direksi Nomor: 31.00.08 tanggal 24 September 1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran. d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site seperti yang dimaksud dalam program penjaminan ini,
94
sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk tersebut. e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur. f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft senilai Rp.1,7 triyun lebih bahkan pada akhir Desember mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk sudah melanggar prinsip kehati-hatian
bank
(prudential
principle)
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 jo pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka pengendalian
risiko.
Prinsip
kehati-hatian
seperti
yang
ditentukan di dalam pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah. h) Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997
95
telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal
30 Desember
1997
telah over
draft
sebesar
Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu : Nomor : 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997, Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997, Nomor : 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997, Nomor : 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997. sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk. i) Bahwa
berdasarkan
pada
uraian
uraian
diatas
dapat
disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin maupun Pande N. Lubis ; Bahwa dengan telah terbuktinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dan mengambil alih pertimbangan yudex facti (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan dana talangan berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money market dari Bank Bali sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya tidak dapat dibayarkan, sehingga atas pembayaran itu telah merugikan keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan dalam Escrow Acount Bank Bali pada rekening nomor : 0999.045197 sejumlah Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.
96
H. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali. Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum; Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Mahkamah Agung akan memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 KK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut : a. Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana; b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undangundang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : 1)
Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan
97
bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak mumi dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung; 2)
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
3)
Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa;
4)
Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali (PK);
5)
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal.yang belum diatur oleh KUHAP
dengan
(yurisprudensi)
cara
demi
menciptakan
untuk
adanya
hukum kepastian
acara hukum
sendiri serta
98
mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum Acara Pidana; 6)
Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah
Agung berpendirian
bahwa secara formal
permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali; Menimbang,
bahwa
untuk
memelihara
keseragaman
putusan
Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali; Menimbang, bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk memelihara keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah Agung, dalam putusan-putusan tersebut, terkandung "penemuan hukum" yang selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut : a. Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan ,hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila, terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang" tidak menjelaskan tentang "siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" tersebut.
99
Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan", tidak menjelaskan "tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali" dan terhadap ketidakjelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran
ekstensif,
bahwa
yang
dimaksud
"pihak-pihak
yang
berkepentingan dalam perkara pidana" selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa; b. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu: 1) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali .atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP; 2) Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan" tidak mungkin dimanfaatkan
100
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali; c. Bahwa sehubungan dengan adanya ketidakjelasan dalam Pasal 263 KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut: 1) Bahwa penganut Doktrin "Sens-clair (la doctrine du sensclair) berpendapat bahwa "penemuan hukum oleh hakim" hanya dibutuhkan jika : a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau b) Peraturannya sudah ada tetapi belum / tidak jelas; 2) Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : " Dan apabila kita memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undangundang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanya kententuan undang-undang itu atau artinya suatu kata jang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis, baik "recht maupun wetshistoris"; (Lie Oen Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada Peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam limu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11); 3) Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : " Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta
101
manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui "imperative", tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat "dilenturkan" (flexible), dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation". Dalam kasus ini walaupun pasal 244 KUHAP
"tidak
memberikan
hak"
kepada
penuntut
umum
mengajukan kasasi terhadap "putusan bebas" ( terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini "dilenturkan", bahkan disingkirkan (overruled) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau " bertentangan dengan undang-undang" (dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and recitduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;
102
Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk “mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah”. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan "non yuridis". Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal ,mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan "tidak adil" (in justice) karena didasarkan ada alasan "non yuridis" (lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua hlm.642-643); Bahwa doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum berdasarkan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,
103
Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut; Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.) “Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi "Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)”; d. Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep "daad-dader-stra-recht " yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan
(Muladi,
Kapita
Selekta
Hukum
Pidana,
Universitas
Diponegoro, Semarang 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana;
104
e. Di dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan, disatu sisi kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan disisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari tingginya aspek kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh karena itu konsekwensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya, maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain agar dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi hakim harus berani mereduksi nilai kepastian hukum ; f. Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran "prioritas baku" tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana "keadilan" selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan atau kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran "prioritas baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi "Keadilan dan Kepastian sebagal tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum"; g. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan, kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
105
di dakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan", maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31ahun 1997, menentukan "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan"; b. Article 8 Statute of International Criminal Curt pada pokoknya menentukan "1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has been given Express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds that..................”; c.
Artikel 37 Reglement of de Straf Ver Orderin (SV) (S.1847-40) menentukan "De aanvrage tot herzienning wordt bij hea Hooggerechtshof aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-
106
generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art, aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.(3563, 358v.); d. Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan "Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak:yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung"; Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan "Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan"; I. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan Peninjuan Kembali. a. Mengabulkan permohonan Peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut ; b. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 ; MENGADILI KEMBALI: a. Menyatakan Terdakwa JOKO SOEGIARTO TJANDRA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut” ; b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun ; c. Menghukum
pula
Terdakwa
untuk
membayar
denda
sebesar
Rp.15.000.000,-, (lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
107
tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ; d. Menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account atas rekening Bank Bali No.0999.045197 qq. PT Era Giat Prima sejumlah Rp.546.468.544.738,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) di rampas untuk dikembalikan pada negara ; e. Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam daftar barang bukti tetap terlampir dalam berkas ; f. Membebankan Termohon peninjauan kembali / Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; J. Pembahasan. Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP Buku Kesatu Bab XVIII Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali mulai pasal 263 sampai dengan 269, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Dimana secara garis besar dalam undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan peninjauan kembali itu diperuntukkan kepada terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya hukum terakhir, terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Hak mengajukan permohonan peninjauan kembali yang seharusnya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya dapat dilihat dari penjelasan setiap pasal yang mengaturnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 263 ayat (1) yaitu terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dari uraian pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan:
108
a. Upaya peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Upaya peninjauan kembali tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. c. Adanya batasan dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali hanya kepada terpidana atau ahli warisnya saja. Kesimpulan dari pasal 263 ayat (1) diatas telah menjelaskan secara tegas bahwa dalam pengajuan peninjauan kembali terdapat ketentuan yang harus terpenuhi dan tidak membuka kemungkinan penafsiran lain selain yang disebutkan dalam pasal tersebut. Yaitu tidak terbuka untuk diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan tidak terbuka diajukan oleh pihak selain terpidana dan ahli warisnya. Karena maksud adanya upaya hukum peninjauan kembali ini adalah untuk melindungi dan merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana, sehingga yang dapat mengajukan hanyalah terpidana dan ahli warisnya atau pihak lain dalam hal ini penuntut umum. Sedangkan alasan-alasan hukum diajukannya permohonan peninjauan kembali serta memperkuat mengenai pengajuan oleh terpidana atau ahli warisnya diatur dalam pasal 263 ayat (2), yaitu: Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
109
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.” Pasal 263 ayat (2) tersebut memberikan alasan limitatif untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yaitu dengan ditemukannya keadaan baru atau disebut novum, yang hasilnya akan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau diterapkan pidana yang lebih ringan. Hal ini tentunya merupakan hal-hal yang akan diperoleh oleh terpidana dari hasil putusan peninjauan kembali, bukan untuk jaksa penuntut umum. Selain itu ada alasan bahwa pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain, terdapat kekhilafan yang nyata dari hakim. Sedangkan pada Pasal 263 ayat (3): Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Pasal ini digunakan sebagai hak atau kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali, dengan kata-kata terbukti tetapi akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan, karena Jaksa Penuntut Umum lah yang mempunyai hak menuntut untuk dipidana. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mengatur masalah peninjauan kembali yaitu Reglement of Staaf Ordering maupun peraturan MA Nomor Tahun 1969 atau peraturan MA Nomor 1980 yang menentukan bahwa selain terpidana atau ahli warisnya, permintaan peninjauan kembali juga dapat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dari uraian tersebut terlihat pembuat undang-undang memang tidak memberikan hak kepada jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, hal ini dikarenakan jaksa Agung telah diberikan hak mengoreksi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap melalui pasal 244 KUHAP yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
110
Pasal 266 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Dengan ketentuan yang jelas dan tegas tersebut dapat diartikan dan tidak ada penafsiran lain bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat dari putusan yang pernah dijatuhkan hakim dalam perkara itu. Ketentuan dalam pasal 286 ayat (3) yaitu permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum, maka sudah tidak terbuka lagi kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum untuknya, karena hak nya sudah digunakan oleh jaksa penuntut umum. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, yaitu pasal 23 menyebutkan bahwa: a. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Bahwa pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah pihak yang bersangkutan, dalam perkara pidana yaitu terpidana dan jaksa penuntut umum, maka tidak menutup kemungkinan bahwa terbatas hanya dari terdakwa atau salah pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut, sebatas terpenuhinya terdapat keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-undang. b. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali, maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, dengan tidak terbatas siapa yang dapat mengajukannya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa siapa yang lebih dahulu mengajukan
111
peninjauan kembali adalah yang berhak mengajukan peninjauan kembali dan menutup kesempatan dari pihak lawan. Sedangkan Pertimbangan Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah sebagai berikut: a. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. Pertimbangan ini bukan merupakan suatu kepastian, karena sutu yurisprudensi tidak harus digunakan dalam pertimbangan selanjutnya, melainkan hanya sebagai suatu sumber hukum lain selain yang tertulis dalam perundangan. Karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umm dapat diterima oleh Mahkamah Agung, melainkan harus dipertimbangkan apakah suatu permohonan tersebut mempunyai alas an yang benar dan baik sesuai dengan perkembangan hukum pada masa itu. b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Dalam suatu perundangan suatu Negara, pasti terdapat suatu peraturan yang saling bertentangan antara suatu undang-undang dan yang lainnya. Dari kekurangan tersebut maka harus dicari bagaimana suatu
112
peraturan tersebut dapat digunakan yang paling efektif dan baik, melainkan bukan yang menuntungkan oleh satu pihak saja. c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. Dalam pertimbangan tersebut jaksa penuntut umum memang berwenang untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali karena merupakan pihak yang berkepentingan, dalam suatu perkara yang terdakwanya terbukti bersalah namun tidak diikuti dengan suatu pemidanaan. Dari peraturan tersebut maka sudah menegaskan secara limitatif, maka tidak dapat dimungkinkan penafsiran lain lagi. d. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum serta mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Suatu yurisprudensi adalah sumber hukum yang tidak tertulis, dan merupakan suatu hukum yang dibentuk dengan tujuan untuk melengkapi perundangan
yang
belum
mengaturnya
karena
alasan
adanya
perkembangan hukum. Dalam hal ini seharusnya suatu yurisprudensi dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang telah ada, karena yurisprudensi dibuat adalah berdasarkan peraturan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu tidak semua yurisprudensi adalah dapat diterima, atau dapat digunakan sebagai sumber hukum untuk masa depan.
113
e. Menimbang, bahwa untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Bahwa dalam hukum tidak diharuskan atau diatur bahwa suatu putusan harus diseragamkan dengan putusan terdahulu. Karena dengan begitu akan mengurangi makna diadakannya suatu pemeriksaan pengadilan, apabila suatu peradilan terlalu terpacu oleh suatu putusan dengan perkara yang hamper sama. f. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Adalah wajar apabila permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan bagi terpidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan pengadilan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP. Pertimbangan tersebut menurut penulis tidaklah dapat diterima, suatu undang-undang yang jelas menyatakan peninjauan kembali sebagai kewenangan terpidana atau ahli warisnya mempunyai arti lain bahwa tidak adanya larangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali pula. Sebenarnya pertimbangan tersebut hanya
114
sebuah pemutarbalikan suatu peraturan perundangan, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai dengan alasan adanya suatu dasar hukum. Apabila pertimbangan ini dibenarkan, maka tidak menutup kemungkinan pula bahwa terpidana dapat mengajukan kasasi, karena dalam peraturan mengenai kasasi yang hanya dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum, tidak disertai pula larangan terpidana untuk mengajukan kasasi. g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menentukan "bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan tersebut adalah berlaku untuk setiap pemeriksaan suatu peradilan, sehingga apabila digunakan sebagai pertimbangan dalam perkara ini adalah benar, namun bukan berarti melupakan atau meninggalkan perturan yang lain. Sehingga insiatif yang dilakukan hakim adalah harus sesuai dengan peraturan dalam perundangan. h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi "Berdasarkan azas/legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya di lain pihak di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)”.
115
Pada dasarnya keadilan dalam negara hukum adalah semua warga negara adalah sama di mata hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Asas keseimbangan yang digunakan sebagai pertimbangan adalah apabila jaksa penuntut umum mempunyai hak yang sama dengan terpidana dalam pengajuan paninjauan kembali, namun bukankah suatu undang-undang dibuat itu menggunakan berbagai pertimbangan dan memerlukan persetujuan dari berbagai pihak. Sehingga keadilan dan asas keseimbangan juga sudah terkandung dalam peraturan tersebut, yaitu jaksa penuntut umum mempunyai wewenang untuk mengajukan upaya hukum kasasi, sedangkan terpidana mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum yaitu peninjauan kembali, sebagai upaya hukum terakhir. i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan atau kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran "prioritas baku" tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi "Keadilan dan Kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut,
maka
dalam
mempertimbangkan
hukum
yang
akan
diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum". Penulis berpendapat sesuai dengan pertimbangan sebelumnya bahwa keadilan menurut peraturan dalam perundangan dengan pengertian dari masyarakat atau praktisi hukum pada masa tertentu tidaklah sama. Maka diperlukan adanya suatu perubahan atau revisi suatu undangundang yang sering kita lihat di negara kita, apalagi dengan adanya lembaga konstitusi sebagai wadah untuk judicial review dari suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sehingga apabila suatu Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang
116
ada, maka perlu diadakan suatu perubahan, bukan dengan cara menafsirkan lain dari makna perundangan tersebut dan mengindahkan asas kepastian hukum untuk memperoleh suatu keadilan. j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman "Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan, kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan", maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; Apabila pertimbangan bahwa KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, bukankah hal ini tidak membenarkan adanya pengertian yang berbeda dengan ketentuan itu sendiri. Karena dalam Pasal 263 tersebut juga secara jelas ditegaskan bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan permohan peninjauan kembali. Kebenaran materiil adalah tidak dicari dengan menafsirkan lain dari ketentuan dan maksud yang sebenarnya dan mengurangi adanya makna keadian itu sendiri.
117
BAB IV PENUTUP Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan yang diteliti, maka pada akhir penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran. Dalam simpulan dan saran ini akan dimuat suatu ikhtisar berdasar hasil penelitian dan pembahasan sebagai berikut : A. Simpulan Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung yang Memberi Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 terkait Kasus Bank Bali. Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali terkait kasus Bank Bali dengan terpidana Djoko S. Tjandra adalah dalam memaknai pengertian: a. Pasal 244 KUHAP. b. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970. c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP d. Mahkamah Agung mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi). e. Untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision). f. Pasal 263 ayat (1). g. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. h. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun. i. Mempertimbangkan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch. j. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri, yaitu untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan
118
penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP. Berdasarkan pertimbangan hakim di atas, jaksa penuntut umum berwenang untuk mengajukan peninjuan kembali, namun penulis berpendapat bahwa pengajuan peninjauan kembali sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, seperti yang tercantum dengan jelas dalam Pasal 263 KUHAP, hanya terpidana dan ahli warisnyalah yang mempunyai hak mengajukan permohonan peninjauan kembali, dan tidak dapat ditafsirkan lain. Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutus untuk menerima permohonan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum, karena secara limitatif sudah diatur dalam Pasal 263 KUHAP bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum terahir yang diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya. Sedangkan jaksa penuntut umum diberi kewenangan untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi. B. Saran 1. Hakim Mahkamah Agung dalam membuat pertimbangan terhadap pengajuan peninjauan kembali oleh penuntut umum harus dilakukan secara arif dan bijaksana agar tidak mengganggu prinsip keseimbangan antara asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP
harus
memberikan pengaturan yang tegas dan jelas tentang kewenangan penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
119
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo. Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Edy Herdyanto. 2009. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Memberi Kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengajukan Peninjauan Kembali (Study Kasus Putusan Peninjauan Kembali Muchtar Pakpapahan dan Pollycarpus Budihari Priyanto). Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Ignatius
Haryanto.
Siapa
Djoko
Chandra
yang
Disebut
Joker?
.http://antikorupsi.org/indo>[8 September 2009 pukul 18.44] Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Luhut M. P. Pangaribuan. 2002. Hukum Acara Pidana. Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat praperadilan, eksespsi, pledoi, duplik, memori banding, kasasi, peninjauan kambali.Jakarta: Djambatan. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua.Jakarta: Sinar Grafika. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Prabandari Tri Hapsari. 2007. Penerapan Asas Unus Testis Nullus Testis Dan Testimonium De Auditu Dalam Penilaian Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Perkara Pidana Oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta PUSAT (Studi Kasus Perkara Korupsi BLBI Bank Bali Dengan
120
Terdakwa DR.
Syahril
Sabirin)”.
Surakarta:
Fakultas
Hukum
Universitas Sebelas Maret. Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/PID.B/2000/PN.JAK-SEL. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1688 K/Pid/2000. Rd. Achmad S.Soemadipradja. 1981. Pokok-pokok Hukum acara Pidana Indonesia. Bandung: Alumni. Soerdjono Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Rajawali Pers. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yudi Priambudi. Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya. (http://yudipriambudi85s.blog.com>[29 Agustus 2009 pukul 15.13].