1 UNIVERSITAS NGURAH RAI DISKUSI KEBIJAKAN PUBLIK Denpasar, Bali, 30 Juli 2010 Materi Diskusi IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM BIDANGPERPAJAKAN oleh Prof. Dr. Safri Nurmantu, M.Si * Abstrak Kebijakan perpajakan di Indonesia sejak tahun 1983 telah meningkatkan penerimaan secara signifikan. Di pihak lain terdapat sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-‐‑prinsip pajak. Kebijakan di bidang pajak penghasilan terkini yang diwacanakan publik adalah fasilitas tax holiday dan kebijakan perpajakan PPN. Wacana publik mengenai fasilitas tax holiday menyangkut dualisme dasar hukum, prinsip keadilan, netralitas, dan terutama sponsor yang berasal dari ranah kepentingan elit. Kebijakan lain adalah adanya ambiguitiy dalam pemajakan terhadap usaha jasa konstruksi serta melanggar prinsip universalitas/globality. Rumusan kebijakan PPN tentang simplifikasi, mengurangi biaya kepatuhan, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dinilai sebagai pernyataan yang tidak jelas, bahkan termasuk yang fallacy: tautology. Pemberlakuan kembali fasilitas tax holiday harus berdasarkan UU sesuai dengan asas lex specialis derogat generalis, melalui studi baik ex ante-‐‑ cost-‐‑benefit analyis-‐‑ maupun ex post analysis. Ke depan rumusan kebijakan dalam PPN yang blurred supaya lebih kongkrit dengan mencantumkan secara eksplit pasal mana yang terkait dengan kebijakan itu.
Pengantar Pertama saya ucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Ngurah Rai yang mengundang saya untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi siang dan sore ini dalam rangkaian acara pengukuhan Prof. Dr. Azhari A. Samudra, M.Si sebagai guru besar tetap Kebijakan Fiskal pada Universitas Ngurah Rai, Bali. Saya ucapkan selamat kepada Prof. Dr. Azhari A.Samudra, M.Si yang dalam umur yang masih relatif muda telah mencapai tingkat tertinggi dalam kehidupan akademik. Sejak 1 November 2008 Guru Besar Tetap pada STIAMI (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia), Jakarta, Pensiunan Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia.
2 Kepada Universitas Ngurah Rai juga saya ucapkan selamat dan banyak terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Selanjutnya, berikut ini saya sampaikan bahan diskusi kita siang dan sore ini sebagai sekedar pemandu saja. Makalah saya ini terfokus pada isu terkini di bidang kebijakan publik khususnya pajak pengahasilan serta evaluasi terhadap beberapa kebijakan Publik yang tercantum dalam UU Pajak Pertambahan Nilai. Semoga mendapatkan input dari peserta diskusi dan bermanfaat. Kebijakan pajak dan kebijakan fiskal termasuk dalam bagian dari kebijakan publik. Dari setiap tahap proses kebijakan publik, tahap implementasi dan evaluasi merupakan tahap yang kritis. Tahap formulasi kebijakan, walaupun belum dapat dikatakan sempurna, sejak zaman Orde Baru terutama rumusan dalam GBHN, pihak luar menilai, bahwa Indonesia mampu membuat rencana kebijakan yang cukup komprehensif. Akan tetapi jika sampai pada dua tahap berikutnya yang tahap implementasi dan evaluasi, maka penilaian menjadi lain, bahkan terbalik. Tak terdapat data yang memadai tentang keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan sebagai hasil evaluasi suatu kebijakan. Sulit menemukan hasil penelitian objektif yang dibuat sendiri oleh pemerintah mengenai evaluasi sesuatu kebijakan. Penelitian pada Perguruan Tinggi juga masih sangat terbatas, jika bukan pesanan, maka yang ada adalah hasil penelitian para mahasiswa dengan berbagai keterbatasan. Makalah ini akan membahas beberapa isu terkini tentang kebijakan di bidang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. I. Pajak Penghasilan a. Tax Holiday Dalam beberapa minggu terakhir ini terdapat wacana tentang pemberlakuan kembali pemberian fasilitas tax holiday kepada investor. Fasilitas tax holiday memang bukan hal yang baru di Indonesia, karena sejak UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri kepada investor yang menanamkan modalnya di bidang yang diprioritaskan Pemerintah mendapat tax holiday dasar dua tahun dan dapat ditingkatkan menjadi enam tahun jika memenuhi syarat-‐‑syarat tertentu. Walaupun dengan justifikasi untuk meningkatkan jumlah investasi, mengurangi pengangguran, substitusi impor, dan growth pada umumnya, akan tetapi pada dasarnya pemberian fasilitas tax holiday kepada Wajib Pajak tertentu melanggar asas keadilan dan netralitas. Itulah sebabnya rezim pajak antara tahun 1984 sampai dengan 2010 tidak pernah membuka peluang dalam pasal Undang-‐‑Undang Pajak Penghasilan tentang fasilitas tax holiday tersebut. Fasilitas tax holiday melanggar asas keadilan karena kepada Wajib Pajak tertentu dibebaskan dari pengenaan PPh Badan selama sekian sekian tahun, sedangkan Wajib Pajak lainnya yang (mungkin) dalam bidang bisnis yang sama tetap membayar PPh
3 Badan sesuai dengan tarif yang berlaku. Fasilitas tax holiday melanggar asas netralitas, karena Wajib Pajak pasti akan mempunyai preferensi ke daerah atau ke bidang tertentu yang menawarkan fasilitas tax holiday untuk menanamkan modalnya. Daya tarik dan daya saing suatu negara bagi calon-‐‑calon investor tidaklah semata-‐‑ mata terdapatnya fasilitas fasilitas tax holiday, akan tetapi terutama terhadap stabilitas keamanan, stabilits politik, tersedianya prasana: jalan dan aliran listrik. Dari data yang diperoleh antara tahan 1967 sampai tahun 1983, jumlah investor yang masuk ke Indonesia dan menikmati tax holiday berkisar antara 400 investor. Tidak ada ex post analyisis atau backward looking yang dilakukukan Pemerintah secara terencana (Bickers dan Williams, 2001: 220), dan dengan demikian tidak ada laporan tentang berapa tax expenditure atau forgone tax yang hilang. Sebenarnya dalam existing tax policy, terdapat tidak kurang dari empat jenis fasilitas perpajakan yang sangat menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Fasilitas pertama adalah investment allowance, dimana investor diperkenankan untuk mengurangi net income sebelum diterapkan tarif pajak penghasilan dengan suatu jumlah sebesar 5% dari total investment selama enam tahun. Fasilitas pengurangan penghasilan neto a 5% tersebut dapat dilakukan paling tinggi selama enam tahun. Fasilitas kedua, adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dengan fasilitas ini, Wajib Pajak yang menanamkan modal dapat “memperbesar biaya penyusutan” dari 12,5% menjadi 25% dari harga perolehan. Demikian pula dengan amortisasi harta tak berwujud. Fasilitas ketiga adalah fasilitas kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun, tapi tidak lebih dari 10 tahun. Dari berbagai perhitungan simulasi yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok pemerhati atau konsultan, dengan memperhatikan bahwa tahun-‐‑tahun awal perusahaan selalu menderita rugi, maka secara substansif pada hakekatnya investor yang bersangkutan tidak akan membayar pajak penghasilan badan selama lima sampai tujuh tahun, yang pada hakekatnya atau seolah-‐‑olah menikmati fasilitas tax holiday. Fasilitas keempat adalah fasilitas reduced rate, yang penurunan tarif pajak penghasilan terhadap dividen yang dibayarkan ke luar negeri. Tarif umum adalah 20% dari dividen yang dibayarkan, akan tetapi berdasarkan fasilitas ini, maka tarif diturunkan menjadk 10% saja. Dari empat macam fasilitas tersebut, yang sebenarnya mulai berlaku sejak reformasi pajak tahun 1994 yang kemudian lebih diperinci pada reformasi tahun 2000, belum ditemukan cost – benefit analysis yang diumumkan ke publik. Belum ditemukan, atau paling tidak belum diumumkan backward looking tentang keberhasilan atau kegagalan pemberian empat macam fasilitas tersebut. Berdasarkan hal ini maka pembuat keputusan
4 untuk memperlakukan kembali fasilitas tax holiday tersebut laksana seorang yang shooting in dark. Dalam hal yang demikian, maka kebijakan dengan model elit-‐‑lah yang akan ditempuh. Dari enam dosa dalam Administrasi Publik (The Deadly Sins in Public Administration) menurut Peter Drucker sebagai dikutip Rosenbloom dan Cravchuk (2005: 359), menurut saya yang sangat relevan dengan current issues tentang tax holiday, pertama adalah: lack of clear, preferably measurable, goals. Belum ada penelitian, cost-‐‑benefit analysis, sebagai forward looking, sehingga tidak/belum diperoleh informasi tentang antara lain jumlah minimal: berapa dolar investasi yang akan masuk, berapa jumlah industri yang akan dibangun, berapa jumlah tenaga kerja yang akan terserap dan berapa jumlah tax expenditure/forgone tax yang akan dipikul. Terkait dengan hal ini, maka dosa kedua menurut Drucker adalah failure to learn from feed back. Bagaimana memanfaatkan masukan, kalau masukan itu tidak diusahakan secara terencana dan sistimatis. Empat dosa lainnya menurut Drucker yang tidak sempat diulas, tapi mungkin penting dalam diskusi: 3) several objectives addressed at once, with no clear priorities; 4) assumption that personnel and funds will solve complex problems; 5) policies or programmes tried out on a grand scale; 6) inability to abondan policies or programme when they become unnecessary or fail to achieve the desired results. Wacana akan ditawarkannya kembali fasiltas tax holiday kepada investor telah menimbulkan pro dan kontra. Dari segi dasar hukum, dalam UU Pajak Penghasilan ketentuan tentang tax holiday tidak diatur sama sekali. Pernyataan seorang pejabat, bahwa “karena tidak diatur dalam undang-‐‑undang pajak maka tax tax hoiday itu tidak dilarang”, sangat berbahaya, karena konstitusi, UUD 1945, menyatakan bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-‐‑undang, memungut atau tidak memungut atau membebaskan pajak harus berdasarkan undang-‐‑undang. Yang aneh, adalah ketentuan tentang tax holiday dibuka dalam UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Dengan merujuk pada lex specialis derogat generalis, tentu Undang-‐‑Undang Pajak yang lebih kuat. Akan tetapi sejumlah elit yang mempunyai power dan network luas dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil. Salah satu model kebijakan publik adalah model elit (Dye, 2002: 23-‐‑25). Dalam model ini preferensi dan nilai-‐‑nilai kaum elit sangat mempengaruhi pengambilan kebijakan. Masa atau rakyat banyak bersikap pasif, tidak berperan dalam pengambil keputusan. Aliran informasi bersifat top down. Dalam halaman yang sama Dye menyatakan: Public Policy does not reflect the demands of masses but rather the prevailing values of the elite. Kalaupun toch fasilitas tax holiday ini harus dipaksakan berlaku, maka pertama-‐‑ tama harus dilakukan baik ex ante analyisis. Juga ex post analysis terhadap kebijakan tax
5 holiday di mana yang lampau. Analisis sedikitnya meliputi: bidang mana, daerah mana, tarif yang mana, untuk berapa tahun akan diperberlakukan. Selanjutnya perlu juga dikaji pengusaha-‐‑pengusaha nasional mana yang akan kena externalities, serta impak terhadap pengamanan APBN. Jika lampu hijau, maka fasilitas ini harus diatur dalam Undang-‐‑ Undang Pajak Penghasilan. Ini berarti harus melalui perubahan di DPR. b. PPh terhadap Jasa Konstruksi. Ketentuan tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap usaha jasa konstruksi diatur dalam dua pasal. Pasal pertama adalah Pasal 4 ayat (2). Pengenaan pajak berdasarkan pasal ini bersifat bersifat final dengan konsekwensi: Rugi atau untung tetap membayar pajak penghasilan (2%, 3%, 4% atau 6 % sesuai kriteria tertentu). Jika pengusaha, terutama pada awal-‐‑awal membuka usaha mengalami kerugian, maka kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan pada keuntungan tahun-‐‑tahun berikutnya. Pasal kedua adalah Pasal 23. Dalam pasal ini pengenaan PPh tidak bersifat final, dan dengan demikian jumlah pajak yang dipotong dapat dikreditkan dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun. Rugi yang diderita dapat dikompensasikan dengan keuntungan tahun-‐‑tahun berikutnya. Peraturan pelaksanaan yang ada sekarang hanya terbatas pada pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) atau yang lebih dikenal dengan PPh. Final. Tampaknya Pemerintah mengiring pengusaha jasa konstruksi ke arah PPh Final dengan berbagai konsesekwensi seperti disebutkan di atas. Yang terkena impaknya adalah para pengusaha baru, yang pada umumnya saat-‐‑saat awal usaha selalu mengalami kerugian, dan kerugian ini tidak dapat dikompensasikan terhadap keuntungan tahun-‐‑tahun berikutnya. Terjadi ketidakadilan. Dari kajian literatur, PPh Final disesebut sebagai special treatment dengan sistem schedular taxation, yakni suatu sistem perpajakan yang “memisahkan penghasilan tertentu ini” dengan penghasilan-‐‑penghasilan lain dan dikenakan tarif tertentu pula. Rugi tidak dapat dikompensasikan, dan pajak yang dipotong tidak dapat dikreditkan. Banyak juga negara yang masih menganut schedular taxation (Ault dan Arnold, 2004). Sistem pajak penghasilan yang dianggap lebih adil adalah global taxation, yakni suatu sistem perpajakan yang menggunggung/menjumlahkan semua penghasilan darimanapun asalnya menjadi satu (universalitas) dan kemudian menerapkan tarif pajak progresif yang tunggal. Dalam sistem ini rugi dapat dikompensasikan dan pajak yang dipotong dapat dikreditkan. Sangat direkomendasikan supaya Pemerintah segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan Pasal 23 dengan memberi kesempatan kepada pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu untuk memilih menggunakan PPh Final atau Pasal 23. Pada masa lalu kesempatan untuk memilih alternatif demikian sudah pernah diberlakukan.
6 II. Pajak Pertambahan Nilai Konsep-‐‑konsep yang dimuat dalam suatu undang-‐‑undang pada hakekatnya dalah kebijakan. Terdapat enam kebijakan yang terkandung dalam penjelasan UU R.I. No. 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-‐‑Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana terlampir. Diskusi Dari enam kebijakan ini tidak dijelakskan pasal yang mana, kapan, pada transasksi mana kebajakan itu diterapkan, dan bagimana contohnya. Enam kebijakan tersebut, merupakan bahan diskusi yang baik dengan niat memberikan saran yang membangun bagi reformasi UU PPN selanjutnya. Diskusi didasarkan pada asumsi, bahwa yang namanya Penjelasan, tentu akan membuat lebih jelas dan lebih terang, kalau perlu dengan contoh. Memang risikonya membutuhkan halaman/lembar kertas yang lebih luas. 1.
Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Tidak dijelaskan pada transaksi mana saja kepastihan hukum dan keadilan itu diterapkan. Tidak dijelaskan bagaiman kondisi pada undang-‐‑undang yang lama 2.
Menyederhankan sistem Pajak Pertambahan Nilai.
Tidak dijlaskan pada transaksi mana penyederhanaan ini dilakukan. Empirical data menunjukkan terjadi banyak keluhan wajib pajak terhadap kewajiban membuat laporan bulanan atas progresi pembangunan rumah sendiri dalam memenuhi PPN atas membangun rumah sendiri.
3.
Mengurangi biaya kepatuhan
Tidak dijelaskan pada transasksi mana biaya kepatuhan dapat dikurangi. Penyelasan dari butir 3 ini sangat blurred, sulit ditangkap maknanya.
4.
Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
Tidak dijelaskan pada peristiewa/transaksi mana saja kepatuhan akan lebih meningkat. Penjelasan yang ada agak berputar cenderung menjadi fallacy, tautologi
7 5.
Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai
Tidak dijelaskan pada transaksi-‐‑transaksi mana atau perubahan mana dalam UU yang tidak akan mengganggu penerimaan PPN
6.
Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi. Tidak dijelaskan pada transaksi mana dalam UU yang lama yang terdapat distorsi dan hambatan dalam peningkatan kegiatan ekonomi. Tidak dijelaskan pada transaksi mana saja distorsi ekonomi akan dihilangkan dan pada pasal mana saja kegiatan ekonomi akan meningkat.
Demikianlah makalah ini, atas perhatian saya ucapkan banyak terima kasih. Denpasar, 30 Juli 2010
8 Lampiran: Kebijakan Perpajakan dalam perubahaan UU PPN Tahun 2009 Perubahan Undang-‐‑Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-‐‑Undang Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-‐‑Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 3.
Mengurangi biaya kepatuhan Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai yang diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannnya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
4.
Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio)
5.
Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
6.
Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
9 DAFTAR KEPUSTAKAAN Ault, Hugh, J. and Brian J. Arnold, Comparative Income Taxation, A Structural Analyisis, The Hague, Netherland, Kluwer Bickers, Kenneth N, and John T. Williams,2001, Public Policy Analysis, A Political Economy Approach, Boston, New York, Houghton Mifflin Company, hal 209 Dye, Thomas R, 2002, Understanding Public Policy, New Jersey, Prentice Hall. Goodsell, Charles T, “A New Vision for Public Administration” Public Administration Review, Juli/ Agustus 2006 Rist, Ray, C, 1995, Policy Evaluation, Linking Theory to Practice, Cambridge, Elgar Referensi Collection. Rosenbloom, David H. and Robert S. Kravchuk, 2005, Public Administration, Understanding Management, Politics, and Law In The Public Sector, Boston, New York, London, Sydney.-‐‑