MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Oleh :
LINDA PRATIWI I34052025
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT This paper aims to reveal the inequality gender labourer of women in the industrial factory, which based on four indicators of work condition. There are wage employment, the status of workers, job security, and assurance given by the family company. Inequality gender that occurs between male workers and women in the factory, will be seen again how big the impact on the welfare of his family. Research paper results show that women's access to labourer to get the wages and status of the workers who remain more limited than for mens, which is caused by various factors, such as the high gender stereotypes attached to the labourer and the company. To overcome the problem, required a special break, which is the result of cooperation between stakeholders, such as working together with the agreement between employers and workers . Keywords: work condition, inequality gender, industry, welfare of family.
RINGKASAN LINDA PRATIWI. I34052025. Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja. CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA)
Munculnya industrialisasi membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor publik terutama dengan bekerja sebagai operator/buruh. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan pun meningkat seiring dengan berkembangnya industrialisasi. Perempuan dapat turut berperan secara ekonomi bekerja menghasilkan materi (uang) untuk kehidupan dirinya maupun keluarganya. Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan kualitas kondisi kerja berupa penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Gambaran positif itu berbeda dengan kenyatan yang telah ada. Kondisi kerja pekerja perempuan berada di posisi yang terpinggirkan/ termarjinalisasikan
dibandingkan
pekerja
laki-laki.
Kondisi
seperti
itu
menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri. Jenis kelamin merupakan pembeda utama yang mendasari perbedaan kondisi kerja pekerja di pabrik. Oleh karena itu, penelitian mengenai kondisi kerja pekerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) menggambarkan kondisi kerja pekerja laki-laki dan perempuan di pabrik, (2) mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi kerja pekerja, (3) menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan (4) mendeskripsikan faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survei, dan didukung dengan data kualitatif.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi kerja pekerja dan pengaruhnya terhadap tingkat kesejateraan keluarga pekerja. Penelitian ini dilakukan di CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat yang ditentukan secara purposive dengan cara memilih daerah yang mempunyai sentra/kelompok industri. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2009. Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik secara umum dikatakan belum baik. Terdapat perbedaan kondisi kerja pekerja berdasarkan jenis kelamin pekerja, seperti dalam hal pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Perempuan ditempatkan pada bagian packing dan laki-laki pada bagian mesin. Sebagian besar pekerja di CV. Mekar Plastik Industri berstatus pekerja tetap, namun tampak bahwa jumlah pekerja lakilaki berstatus tetap lebih banyak dibandingkan perempuan. Dalam hal upah, CV. Mekar Plastik Industri memberikan besar upah yang sama kepada pekerja lakilaki dan pekerja perempuan yang berstatus pekerja tetap, namun untuk pekerja harian lepas, upah pekerja laki-laki lebih tinggi daripada pekerja perempuan. CV. Mekar Plastik Industri memberikan jaminan kerja yang cukup baik, namun pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja yang lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Sama halnya seperti jaminan kerja, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki memiliki jenis pekerjaan yang lebih berat dan memiliki tanggungan hidup yang banyak sehingga upahnya lebih tinggi dibandingkan perempuan. Setelah menganalisis hasil penelitian di CV. Mekar Plastik Industri, tidak ada hubungan langsung antara stereotip gender dengan kondisi kerja, namun stereotip gender mempengaruhi adanya pembagian kerja secara seksual yang dilakukan pihak perusahaan, dan pembagian kerja tersebut akan mempengaruhi status pekerja dan kondisi pekerja tersebut. Tingkat pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan yang memuat kewajiban dan hak-hak pekerja dan pengusaha memiliki hubungan/korelasi yang kuat dengan kondisi kerja. Semakin tinggi tingkat pemahaman pekerja maka semakin baik kondisi kerjanya.
Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri secara umum belum sejahtera. Kesejahteraan keluarga pekerja diukur melalui kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Setelah melalui pengujian, ternyata kesejahteraan keluarga pekerja tidak memiliki hubungan dengan kondisi kerja, namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga. Keadaan infrastruktur perumahan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik. Sebagian besar perumahan yang berkondisi baik dimiliki oleh keluarga pekerja perempuan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah untuk memperbaiki keadaan infrastruktur perumahan mereka. Kondisi kesehatan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sudah baik karena terdapat perbaikan kesehatan pekerja yang didukung perusahaan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di POLIKLINIK BINA SEHAT yang dapat diakses oleh pekerja laki-laki beserta istri dan anaknya, namun tidak untuk suami atau anak dari pekerja perempuan. Pola konsumsi keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik karena sebagian besar keluarga baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan memiliki pola konsumsi makanan yang lebih tinggi daripada konsumsi non makanannya. Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor (sepeda motor), kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika. Kepemilikan aset keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri lebih tinggi dibandingkan keluarga pekerja laki-laki. Hal ini disebabkan adanya uang tambahan untuk membeli barang tersebut dari suami yang bekerja, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga bekerja mencari nafkah keluarga, sehingga uang mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan dengan uji korelasi mengenai hubungan kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, dapat disimpulkan bahwa ternyata kondisi kerja yang diberikan perusahaan kepada pekerja tidak terlalu membawa pengaruh yang besar terhadap tingkat
kesejahteraan keluarga pekerja. Setelah dilakukan pengujian dengan variabel lain seperti pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga, ternyata dua faktor inilah yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. Secara umum, tingkat pendapatan total keluarga CV. Mekar Plastik Industri sudah tinggi. Tingkat pendapatan total keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri yang tinggi lebih banyak dibandingkan dengan total pendapatan total keluarga pekerja laki. Keadaan seperti ini sangat berlawanan, namun logis karena hampir semua pekerja perempuan juga mendapatkan pendapatan tambahan dari suaminya yang bekerja. Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sebagian besar memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak. Berdasarkan Uji Korelasi Spearman jumlah tanggungan keluarga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, berarti semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga, maka semakin baik tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Berdasarkan fakta dan data yang ada di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja pekerja dalam perusahaan belum dapat memberikan kesejahteraan yang berarti bagi keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan
MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Oleh : LINDA PRATIWI I34052025
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakatr Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Judul
Nama Mahasiswa Nomor Mahasiswa Major
: Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat) : Linda Pratiwi : I34052025 : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 131284835
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 1983031 001
Tanggal Lulus Ujian : __________________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “MARGINALISASI PENGARUHNYA
PEREMPUAN TERHADAP
DALAM
INDUSTRI
KESEJAHTERAAN
DAN
KELUARGA
PEKERJA (CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI, KELURAHAN CILAMPENI, KECAMATAN KATAPANG, KABUPATEN BANDUNG, PROPINSI JAWA BARAT).” BELUM PERNAH DIAJUKAN ADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2009
Linda Pratiwi I34052025
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Linda Pratiwi dilahirkan di Bekasi pada tanggal 11 Juni 1987. Penulis adalah anak kedua dan terakhir dari pasangan suami istri Syamharso dan Srinuryati. Pendidikan pertama sekolah dasar ditempuh penulis di SD. Santa Maria
Monica
Bekasi
pada
tahun
1993-1999,
kemudian
melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 2 Bekasi pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), dan setelah melewati satu tahun di TPB (Tahun Persiapan Bersama), penulis berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia yang merupakan pilihan pertama penulis dalam pemilihan mayor minor di IPB. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis mengikuti organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) dan Alibi (Alumni Satu Bekasi), dan mengikuti beberapa kepanitiaan yaitu Pelatihan Jurnalistik by ANTV dan COMMNEX 2008.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Marginalisasi Perempuan dalm Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja pekerja laki-laki dan perempuan yang bekerja di CV. Mekar Plastik Industri. Kondisi kerja yang diteliti berdasarkan pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diperoleh pekerja. Skripsi ini juga melihat faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini membahas mengenai pengaruh kondisi kerja pekerja pabrik terhadap kesejahteraan keluarganya yang diukur dengan variabel kondisi infrastruktur perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi makanan, dan kepemilikan aset keluarga pekerja. Selain itu, skripsi ini juga akan melihat faktor lain yang turut mempengaruhi tingakt kesejahteraan keluarga pekerja karyawan, selain kondisi kerja, seperti pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga pekerja. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, September 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi, terutama kepada : 1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS., selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bantuan, bimbingan, koreksi, pemikiran dan sarannya serta kesabarannya dalam penyusunan dan perbaikannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Mas-masku, dan Keponakanku Raissa) yang selalu setia menemani dengan motivasi, semangat, doa, perhatian dan kasih sayangnya yang begitu besar. 3. Pak Hendra, Pak Endang, dan Pak Iyak dari Disnaker Kabupaten Bandung, Pak Ade RT 02 Cilampeni dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian, terima kasih atas pendampingannya. 4. Freddy Munandar yang telah memberikan semangat, motivasi, perhatian, kesabaran dalam menghadapi kejenuhan dan amarah aku, dan kesetiaan saat seneng dan susah selama ini. Terima kasih atas doa, waktu, dan kasih sayangnya untuk menemani aku sampai skripsi ini selesai dan aku dapat kerja. 5. Sahabatku, Nono, Ghea, Tari, Dilla, dan Icha atas semangat dan dukungannya, dan semua cerita yang pernah dilalui bersama sampai saat ini. 6. Teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kerjasamanya selama ini. 7. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama ini sehingga memberikan warna dalam hidup penulis.
Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.............................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................
4
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................
5
BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................
6
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................................
6
2.1.1 Konsep Gender .................................................................................
6
2.1.2 Karakteristik Tenaga Kerja Perempuan ...........................................
8
2.1.3 Pembagian Kerja dan Kondisi Kerja...............................................
10
2.1.4 Isu-isu Ketimpangan Gender dalam Sistem Kerja ...........................
12
2.1.5 Penyebab Ketimpangan Gender .......................................................
15
2.1.6 Kesejahteraan Keluarga ....................................................................
17
2.2 Kerangka Pemikiran..................................................................................
20
2.3 Hipotesis ...................................................................................................
21
2.4 Definisi Operasional .................................................................................
22
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................
29
3.1 Metodologi Penelitian ...............................................................................
29
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................
29
3.3 Teknik Pengumpulan Data .........................................................................
29
3.4 Teknik Analisa Data .................................................................................
30
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ................................................
31
4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ....................................................
31
4.2 Kondisi Kerja Pekerja CV. Mekar Plastik Industri...................................
32
BAB V
KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI
37
5.1 Pembagian Kerja secara Seksual ..............................................................
37
5.2 Status Pekerja ............................................................................................
39
5.3 Pengupahan ...............................................................................................
40
5.4 Jaminan Kerja ...........................................................................................
43
5.5 Jaminan Keluarga......................................................................................
45
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI ................................
49
6.1
Stereotip Gender dan Pembagian Kerja secara Seksual ..........................
51
6.2
Kurangnya Pemahaman Pekerja terhadap Peraturan Perusahaan ............
56
BAB VII KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI ..........................................................................
59
7.1
Perumahan................................................................................................
59
7.2
Kesehatan .................................................................................................
60
7.3
Pendidikan Anak ......................................................................................
62
7.4
Pola Konsumsi .........................................................................................
64
7.5
Kepemilikan Aset.....................................................................................
65
7.6
Hubungan Kondisi Kerja dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga ..............
67
7.7
Pendapatan Total Keluarga ......................................................................
68
7.8
Jumlah Tanggungan Keluarga .................................................................
69
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1
Kesimpulan ..............................................................................................
73
8.2 Saran ........................................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
77
LAMPIRAN..............................................................................................................
80
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perbedaan Seks dan Gender .................................................................................7
Tabel 2.
Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992 ....................14
Tabel 3.
Jumlah dan Persentase Pekerja Berdasarkan Status Pekerja, Jenis Kelamin, dan Kewarganegaraan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 .................................32
Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jenis Pekerjaan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009.....................................................38
Tabel 5.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ........................................................40
Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Upah, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ......................................................................41
Tabel 7.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Upah, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 .......................................42
Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ...........................................................43
Tabel 9.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Jaminan Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ........................44
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 ......................................................47 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Jaminan Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009.................................47 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Stereotip Gender, CV.Mekar Plastik Industri, 2009..................52 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Status Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 .........................53 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Kerja, dan Kondisi Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ........................................54 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Pemahaman Pekerja Terhadap Peraturan Perusahaan, dan Kondisi Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 .......................................................................56
Halaman Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kondisi Perumahan, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ......60 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kesehatan Keluarga, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ..........61 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan Anak, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ................62 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pola Konsumsi, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 ........64 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kepemilikan Aset, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 .................66 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 .................67 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendapatan Total Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 .....................................................................................................68 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 .....................................................................................................69
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran...........................................................................................21 Gambar 2. Peta Wilayah Penelitian .....................................................................................81
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari
posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah perempuan. Perempuan telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut dia adalah makhluk rumah sejat, mengasuh anak-anaknya dengan setia, dan berperan serta dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional sekitar rumahnya. Seiring terjadinya perubahan struktur perekonomian nasional yang mengarah pada industrialisasi, peran perempuan mengalami perubahan. Perempuan pun berbaur dengan laki-laki memasuki dunia publik untuk menjadi pekerja (sebagai faktor produksi). Menurut Tjandraningsih (1999), meskipun di sektor publik adalah domain laki-laki, namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat meskipun secara absolut tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun secara relatif tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data BPS tahun 2002, selama 2 dekade terakhir partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami peningkatan yang cukup mengesankan. Pada tahun 1995 TPAK perempuan sebesar 40,5% dan pada tahun 2002 naik menjadi 44,2%. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa peranan perempuan dalam angkatan kerja menjadi semakin penting. Meningkatnya jumlah perempuan di sektor publik berkaitan erat dengan dibukanya kesempatan kepada perempuan untuk bekerja di sektor publik terutama dengan bekerja sebagai pekerja. Munculnya industrialisasi membuka peluang bagi perempuan, sehingga perempuan dapat turut berperan secara ekonomi bekerja menghasilkan materi (uang) untuk kehidupan dirinya maupun keluarganya.
2
Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dugaan ini masih perlu pembuktian (Widanti, 2005). Beberapa dari hasil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan perempuan menjadi tenaga kerja di sektor industri atau pabrik, tak lepas dari berbagai tindakan diskriminatif yang terjadi di lingkungan tempat mereka bekerja. Perempuan masih dianggap sebagai tenaga kerja nomor dua (sekunder) dan upah tenaga kerja perempuan diperlakukan diskriminatif dengan laki-laki, dilihat dari resiko serta beban kerjanya (Suyanto dan Hendrarso, 1996 dalam Safitri, 2006). Kondisi kerja seperti itu menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri. Gender diartikan sebagai konstruksi sosial budaya yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin hanya menunjuk pada perbedaan biologis semata. Perbedaan secara biologis ini tidak dapat memasukkan dinamika sosial budaya yang sangat bervariasi antar struktur sosial masyarakat. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan. Seperti yang telah diungkapkan di atas, peningkatan partisipasi kerja perempuan dapat mempengaruhi pasar kerja, dan juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan pekerja itu sendiri, serta kesejahteraan keluarganya. Keinginan meneliti tentang Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja ini timbul dari adanya fakta berdasarkan penelitian sebelumnya (Rohmah, 2006) yang menggambarkan bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan, memiliki manfaat, yaitu sebagai
3
pekerja yang mampu memenuhi kebutuhan bagi dirinya sendiri dengan cara mengaktualisasikan diri, dibuktikan dengan meningkatnya pendapatan keluarga). Menurut Sajogyo (1983), yang menjadi masalah perempuan dalam masyarakat yang sedang berkembang adalah tingginya perbedaan imbalan dan penghargaan yang diterima antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja perempuan masih dipandang hanya sebagai pelengkap dari tenaga kerja laki-laki, dan karena itu imbalan upah yang harus mereka terima menjadi lebih kecil dari upah atau nafkah pekerja laki-laki. Apalagi, jika kenyataan menunjukkan bahwa dalam hal pendidikan dan keterampilan, tenaga kerja perempuan masih sangat terbelakang, meskipun sebenarnya bila diberikan kesempatan yang sama tidak sedikit pekerja perempuan yang mampu berprestasi dengan kaum laki-laki. Dengan semakin meningkatnya keterlibatan perempuan bekerja di sektor publik tersebut, dan tidak terlepas dari berbagai faktor dan pertimbangan, muncul permasalahan-permasalahan yang dianggap
menyudutkan dan merugikan
perempuan. Perempuan selalu ditempatkan dan diperlakukan tidak sama dengan laki-laki. Permasalahan yang sudah umum terjadi antara lain adanya terjadinya ketimpangan gender, seperti marginalisasi dalam kesempatan kerja, pembagian kerja, dan pemberian upah kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Seiring dengan perkembangan masalah tersebut, Pemerintah menetapkan UU No 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan untuk memberikan perlindungan pada perempuan agar perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap berbagai sumber daya dan meningkatkan keterampilan. Hal ini perlu diperhatikan karena peningkatan peranan perempuan di dalam berbagai sektor publik semakin meluas dan agar keterlibatan ini tidak mengakibatkan ketimpangan gender. Jika dilihat dari segi kemanfaatan bagi pekerja perempuan itu sendiri, nilai manfaat dengan hambatan yang harus dihadapi sering tidak seimbang. Bergesernya pembagian kerja secara seksual ke pembagian gender seringkali menjadi lain ketika mereka memasuki dunia publik. Misalnya saja banyak jenis pekerjaan laki-laki yang dapat dikerjakan oleh perempuan, namun karena adanya
4
bias gender, hal tersebut menjadi penghambat perempuan untuk dapat menunjukkan kemampuannya melakukan pekerjaan tersebut. Inilah fenomena masyarakat, yang meskipun semakin berkembang namun pandangan umum tentang perempuan bekerja masih terjadi bias gender dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Bias gender tersebut kemudian memunculkan masalah yang berkaitan dengan tingkat partisipasi perempuan bekerja dalam sektor publik. Hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan atau ketidakadilan gender antara pekerja laki-laki dan perempuan yang kemudian akan mempengaruhi kondisi kerja pekerja itu sendiri. Jika sudah terkait dengan kondisi kerja, maka itu juga akan terkait dengan seberapa besar tingkat kesejahteraannya. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kondisi kerja pekerja perempuan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga.
1.2
Perumusan Masalah Untuk memahami realitas dari kondisi ketimpangan gender yang terjadi
pada pekerja perempuan maka ada beberapa pertanyaan spesifik, yaitu : 1. Bagaimana kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik Industri? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut? 3. Bagaimana hubungan kondisi kerja pekerja perempuan terhadap tingkat kesejahteraan keluarganya? 4. Selain kondisi kerja, faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi kerja
pekerja CV. Mekar Plastik Industri, mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut, menganalisis hubungan kondisi kerja pekerja perempuan tersebut terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan mendeskripsikan faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan tersebut.
5
1. 4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang terkait. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam menentukan perundang-undangan ketenagakerjaan, terutama tentang ketenagakerjaan perempuan yang peka gender untuk upaya pemberdayaan dan peningkatan peran perempuan dalam sektor pembangunan. Bagi kalangan akademis dan peneliti lain, dapat digunakan sebagai alternatif bahan referensi penelitian dan penulisan berikutnya, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan gender dan ketenagakerjaan perempuan. Bagi pabrik, penelitian ini berguna untuk mengetahui sejauhmana kebijakan pabrik memberi dampak terhadap kesejahteraan pekerja. Bagi pekerja, terutama pekerja perempuan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang konsep gender dan isu-isu ketimpangan yang selama ini ada di sekitar mereka, sehingga dengan penelitian ini diharapkan membantu laki-laki dan perempuan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 2.1.1
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Gender Konsep gender hingga saat ini telah dirumuskan dan dijabarkan oleh banyak
pihak. Salah satu konsep yang berbicara mengenai definisi gender diungkapkan oleh Fakih (2004), adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan satu sama lain dan berubah dari waktu ke waktu. Artinya laki-laki bisa saja memiliki sifat yang dianggap sifat perempuan, sebaliknya perempuan bisa juga memiliki sifat yang dianggap sifat laki-laki (Fakih, 2004). Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep gender di sini dapat mengakibatkan munculnya bias gender yang akan berujung pada berkembangnya masalah ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Definisi lainnya menurut Dirjen Peranan Perempuan (1998) dalam Rohmah (2006), adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Konsep gender berbeda dengan seks. Seks sama dengan jenis kelamin yaitu persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma, sebaliknya perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen, sehingga tidak berubah dan tidak bisa dipertukarkan karena sudah merupakan ketentuan Tuhan yang dikatakan sebagai kodrat Tuhan. Konsep gender yang disebabkan oleh struktur dan sifat manusia laki-laki dan perempuan yang dibentuk sejak masa kanak-kanak dan menjadi kekuatan aktif tenaga materiil manusia juga menyebabkan pengklasifikasian secara universal
7
antara laki-laki dan perempuan. Salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat (domestik). Wilayah publik, yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama, dan kultur, hampir semua didominasi oleh laki-laki meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada lakilaki (Widanti, 2005). Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antar keduanya terdapat perbedaan biologi atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranannya masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat diperhatikan melalui Tabel 1 adanya kenyataan bahwa laki-laki secara biologis berbeda dengan perempuan tidak ada perbedaan pendapat, akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan.
Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender No.
Karakteristik
Seks
Gender
1
Sumber pembeda
Tuhan
Manusia (masyarakat)
2
Visi, misi
Kesetaraan
Kebiasaan
3
Unsur pembeda
Biologis (alat reproduksi)
Kebudayaan (tingkah laku)
4
Sifat
Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan
Harkat, martabat dapat dipertukarkan
5
Dampak
Terciptanya nilai-nilai: kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll, sehingga menguntungkan kedua belah pihak
Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang ”pantas” atau ”tidak pantas”. Laki-laki pantas jadi pemimpin, perempuan pantas dipimpin, dll, sering merugikan salah stau pihak, kebetulan adalah perempuan
6
Keberlakuan
Sepanjang masa, dimana Dapat berubah, musiman dan saja, tidak mengenal berbeda antara kelas pembedaan kelas
Sumber : Sugiarti & Handayani. 2002.
8
Berdasarkan konsep gender yang telah diuraikan pada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa masing-masing konsep memiliki tujuan yang secara umum dapat dikatakan sama, yaitu untuk menunjukkan adanya perbedaan antara konsep gender dengan konsep seks. Terdapat perbedaan dalam menjelaskan konsep, karena masing-masing konsep memiliki konteks yang berbeda. Pada konsep yang dijelaskan Fakih (2004), bahwa kedudukan laki-laki berada pada tingkat yang lebih kuat daripada perempuan, sehingga peran laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hal tersebut sependapat dengan Widanti (2005) yang menjelaskan bahwa salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik yang hampir semua didominasi oleh laki-laki, meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada laki-laki.
2.1.2
Karakteristik Tenaga Kerja Perempuan Seperti yang telah dibahas sebelumnya, telah dijelaskan tentang konsep
gender dan isu-isu ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan. Untuk lebih mendalami penelitian selanjutnya, kita juga harus tahu pengertian dari tenaga kerja perempuan itu sendiri, khususnya yang bekerja sebagai pekerja. Pekerja adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah dari pengusaha (Semaoen, 2000). Pekerja terbagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja tetap dan pekerja lepas. Pekerja perempuan banyak yang menempati posisi sebagai operator yang berstatus pekerja lepas. Posisi tersebut merupakan posisi paling bawah. Pekerjaan perempuan dalam perusahaan bertugas menjalankan mesin-mesin produksi yang memiliki tingkat risiko kecelakaan paling tinggi, namun memiliki upah rendah. Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik memiliki karakteristik tertentu yang dapat dilihat dari segi ekonomi dan sosial (Hutagalung, et al., 1992). Dilihat dari latar belakang sosial, pekerja perempuan biasanya berasal dari keluarga golongan menengah ke bawah. Pekerja perempuan tersebut memiliki keterbatasan dalam segi keahlian. Pekerja yang bekerja di pabrik garmen biasanya hanya bisa menjahit.
9
Dari segi ekonomi mereka memiliki pendapatan ekonomi yang lemah dan berpendidikan rendah. Perempuan yang bekerja di pabrik, biasanya masih berusia muda dan belum menikah. Pekerja yang sudah tua biasanya di PHK dengan alasan pabrik sedang mengalami krisis dan tidak mampu membayar pekerja (Tjandraningssih, 1999). Pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan laki-laki, yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah yang lebih tinggi (Hutagalung, et al., 1992). Masih dalam topik yang sama, ada juga pernyataan lain seperti menurut Widanti (2005), upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada upah yang diterima laki-laki atas pekerjaan yang sama. Strategi pengupahan yang ditetapkan oleh pabrik dapat berbeda satu sama lain, namun seperti yang telah dijelaskan oleh pendapat yang pertama, bahwa upah bisa saja sama atas pekerjaan yang sama, namun kesempatan dalam memperoleh upah dapat saja berbeda. Dalam hal ini pekerja perempuan sering mempunyai kesempatan yang lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan tidak jarang perempuan ditempatkan pada posisi yang kasar dan dengan risiko yang tinggi. Dari segi karakteristik individu, pekerja perempuan sering distereotipkan sebagai makhluk yang patuh, teliti, nrimo (Widanti, 2005). Selain itu pekerja perempuan lebih disukai perusahaan karena tidak banyak menuntut dan mudah dikendalikan (Hutagalung, et al., 1992). Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik besar, biasanya masih berusia muda yaitu 18 sampai 28 tahun dan berstatus belum menikah. Walaupun status tersebut kadang-kadang tidak benar. Banyaknya pekerja yang berusia muda di pabrik disebabkan oleh adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang dianggap sudah tua. Kemudian perusahaan merekrut pekerja baru yang berusia muda belia (Tjandraningsih, 1999). Pekerja perempuan biasanya masuk kerja dengan mengajukan lamaran terhadap perusahaan atau melalui calo (Hutagalung, et al., 1992). Selain itu, perempuan biasanya masuk dengan bantuan saudara atau teman yang bekerja di pabrik, biasanya mereka berstatus sebagai pekerja pula. Perempuan dapat dengan mudah bekerja di pabrik garmen dengan memiliki bekal keahlian menjahit dengan menggunakan mesin, namun kebanyakan dari mereka adalah berstatus sebagai pekerja lepas.
10
2.1.3
Pembagian Kerja dan Kondisi Kerja Setelah membahas konsep gender, konsep pembagian kerja juga menjadi
penting dalam mengkaji pemahaman lebih lanjut mengenai ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan dalam sektor industri khususnya. Konsep pembagian kerja yang pertama adalah menurut Rahima (2004), bahwa dalam komunitas terdapat dua kategori pembagian kerja, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan. Kerja reproduktif adalah kerja ”memproduksi manusia”, bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental. Hal tersebut berperan penting dalam melahirkan dan memampukan seseorang untuk ”berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial komunitas. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumahtangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumahtangga yang lain, sehingga dengan makanan dan kenyamanan tersebut proses yang lain tidak terganggu. Pekerjaan reproduksi seperti ini tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh komunitas dan juga pemerintah padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja. Selanjutnya Rahima (2004) menyatakan bahwa sistem kapitalisme memiliki kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja produksi dan reproduksi, dimana kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat kesimpulan bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dalam hal pengambilan keputusan dan produksi, lebih besar dibandingkan perempuan. Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan. Secara tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya bertanggungjawab dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media
11
massa, mendukung pula pandangan ini dan sedikit sekali yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga. Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban dan tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, akan mematahkan mitos ”laki-laki adalah pencari nafkah utama”. Di sektor publik sering kali sistem yang ada ”tidak mendukung” perempuan bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau karyawan perempuan lajang. Situasi di sektor publik sering kali tidak ramah keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja. Seperti yang sudah disinggung di atas, berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, kenyataannya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu, seperti garmen, didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa
12
tenaga kerja perempuan banyak dimanfaatkan di bagian tenaga produksi yang kasar namun dengan upah yang rendah, dan perempuan dihadapkan pada suatu posisi yang lemah, dan tidak mampu berbuat banyak untuk membela hak-haknya.
2.1.4
Isu-isu Ketimpangan Gender dalam Sistem Kerja Pelanggaran hak-hak perempuan dan ketidakadilan terhadap kaum
perempuan di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering kita jumpai dalam kehidupan bekerja. Pada dasarnya hal tersebut tidak membedakan hak-hak dari adanya gender, tetapi selama ini dominasi sistim patriarkhi tetap menjadi persepsi masyarakat secara struktural. Sering kita jumpai pelanggaran diberbagai bentuk ketidak adilan yang bukan saja disebabkan karena inherennya struktur hubungan 'gender' tetapi juga struktur ini bersifat asimetris. Hubungan asimetris ini, pada gilirannya mempunyai pembagian kerja yang sangat dikotomis. Akibatnya kehidupan posisi perempuan tersubordinat dan sekaligus terlemahkan. Misalnya, laki-laki menempati posisi yang dominan terhadap reproduksi biologis, kontrol terhadap kerja, maupun pola hubungan produksi sosial-ekonomi dari gender. Dengan demikian, perspektif perempuan kalau dikaji dalam kehidupannya memang ternyata secara implisit belum bisa memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada diri perempuan. Gender tidak menjadi masalah jika tidak menyebabkan ketimpangan gender terhadap salah satu jenis kelamin, namun gender yang berlaku di komunitas seringkali diadopsi oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga melakukan ketimpangan gender dalam skala yang lebih luas (Widanti, 2005). Dalam hal ini, perempuan sering menjadi korban ketimpangan gender terutama dalam lingkungan keluarga, komunitas dan tempat kerja. Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini memunculkan sejumlah persoalan. Mitos-mitos yang muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum laki-laki dan mendeskriditkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan negara Indonesia
13
menganut hukum hegemoni patriarkhi, yaitu yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga dan ini berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Jadi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender (gender differences) tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality), namun persoalannnya adalah tidaklah sesederhana yang dipikirkan, ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Menurut Fakih (2004), ketimpangan/ketidakadilan gender termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah marginalisasi. Marginalisasi perempuan berarti peminggiran perempuan, yang meliputi empat dimensi (Scott, 1986): 1.
Pertama, marginalisation as exclusion from productive employment (sebagai proses pengucilan). Bahwa perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis kerja upahan tertentu.
2.
Kedua, marginalisation as concentration on the margins of the labour market (sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja). Dimana posisi perempuan dalam sektor publik terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki kestabilan kerja.
3.
Ketiga, marginalisation as feminisation or segregation (sebagai proses feminisasi atau segregasi). Feminisasi adalah penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor produktif tertentu. Segregasi adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu berdasarkan jenis kelamin.
4.
Keempat, marginalisation as economic inequality (sebagai proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat) yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir.
14
Salah satu bentuk terjadinya marginalisasi terhadap pekerja perempuan adalah dengan pemberian upah yang rendah. Bahkan di sektor publik telah terjadi diskriminasi upah pekerja laki-laki dan upah pekerja perempuan. Upah pekerja di Jakarta ditemukan bahwa pekerja perempuan hanya menerima rata-rata Rp71.395 per bulan, sedangkan pekerja laki-laki rata-rata Rp95.087 per bulan (Yusuf dan Kurniawan, 1992). Pada Tabel 2 disajikan data tentang diferensiasi upah pekerja menurut jenis kelamin.
Tabel 2. Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992 Upah (Rp/bulan)
Laki-laki (%)
Perempuan (%)
Total (%)
< 70.000
21 (27,6)
123 (53,94)
144 (47,4)
70.000-85.000
10 (13,2)
40 (17,54)
50 (16,5)
85.000-100.000
21 (27,6)
41 (17,98)
62 (20,3)
> 100.000
24 (31,6)
24 (10,5)
48 (15,8)
71.395
83.252
Mean (Rupiah) 95.108 Sumber: Yusuf dan Kurniawan (1992)
Berdasarkan Tabel 2, pekerja perempuan memiliki proporsi lebih besar dalam menerima upah yang kecil dibandingkan pekerja laki-laki. Sebaliknya, pekerja perempuan memiliki proporsi yang lebih kecil dalam menerima upah yang besar dan pekerja laki-laki menerima upah yang lebih besar dibandingkan pekerja perempuan. Dengan demikian, perempuan yang bekerja sebagai pekerja menerima upah yang rendah dalam dunia publik dan hal ini diakibatkan adanya anggapan bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarga. Dari berbagai teori mengenai isu-isu ketimpangan gender seperti yang telah dibahas di atas, terdapat banyak sekali ketidakadilan yang memojokkan perempuan sebagai korbannya. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, tidak punya kekuatan dan kekuasaan untuk memperjuangkan hak-haknya. Perempuan dianggap sebagai bawahan laki-laki, sehingga selalu berada dalam posisi yang lemah, terutama dalam wilayah publik.
15
2.1.5
Penyebab Ketimpangan Gender Berbagai isu ketimpangan gender telah dibahas sebelumnya. Isu-isu yang
semakin berkembang di kalangan masyarakat menimbulkan kondisi yang tidak baik dalam penyetaraan hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Ketimpangan gender adalah suatu kondisi yang tidak memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam suatu praktek. Yang dimaksud praktek adalah istilah teknis yang berarti setiap bentuk kegiatan yang ditunjuk oleh suatu sistem peraturan dan yang menentukan struktur kegiatan tersebut (Rawls, 1976 dalam Rohmah 2006). Salah satu penyebab ketimpangan gender adalah adanya ideologi gender. Ideologi gender berbicara tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahamanpemahaman,
pendapat,
nilai-nilai,
prakonsepsi-prakonsepsi,
pengalaman-
pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual. Ideologi gender yang berlaku di komunitas yang diperkuat oleh hukum negara. Kemudian ideologi gender yang telah terbentuk dalam komunitas diadopsi/dipungut oleh industri yang cenderung mengucilkan perempuan untuk menekan biaya produksi dengan menekan biaya pengeluaran upah untuk pekerja. Kaitan
itu
dapat
dijelaskan
dengan
posisi
pekerja
perempuan
yang
termarjinalisasikan yaitu perempuan sebagai pekerja murah dan terkonsentrasi dalam industri padat kerja. Hal tersebut terjadi merupakan akibat dari adanya ideologi gender dalam komunitas yang dikuatkan oleh negara (Widanti, 2005). Bentuk-bentuk ideologi gender yang sering terjadi adalah adanya stereotip gender yang memposisikan perempuan sebagai makhluk inferior yang lemah dan tidak berdaya. Stereotip gender tersebut pada akhirnya menimbulkan bias gender yang memicu dan membuat isu-isu ketimpangan/ketidakadilan gender yang menimpa perempuan semakin berkembang dan sulit diatasi. Ada beberapa contoh ketimpangan gender yang terjadi dan menimpa perempuan, misalnya saja ketika bekerja di industri, perempuan telah mengalami eksploitasi, baik secara disadari maupun tidak. Dikatakan tidak disadari karena dalam hal ini ada ideologi gender yang menyebabkan sebagian dari mereka menganggap bahwa kebijakan pabrik tersebut adalah adil.
16
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sargent dalam Fakih (2001), yang mengatakan bahwa adanya ideologi akan menyebabkan sesuatu yang kompleks dianggapnya sebagai sesuatu yang sederhana. Begitu pula dengan pekerja yang sebenarnya
telah
mengalami
ketimpangan
menganggap
bukan
suatu
permasalahan. Berbeda lagi jika pekerja perempuan mengalami ideologi lain yang bertentangan dengan ideologi gender yang berlaku, maka akan menganggap ketimpangan yang dialami adalah sebagai bentuk permasalahan. Menurut Widanti (2005) dalam kajian feminis jurisprudence
1
pekerja perempuan dapat dikaji dari
dua aspek yaitu aspek kondisional dan aspek struktural. Aspek kondisional pekerja perempuan menyangkut pekerja secara umum yang secara fisik bersifat jangka pendek seperti upah, diskriminasi upah, diskriminasi tunjangan, kondisi kerja yang menyangkut kesehatan, maupun kesehatan yang berhubungan dengan reproduksi, hak berorganisasi, mengeluarkan pendapat dan hak-hak dasar lainnya. Aspek struktural lebih menekankan posisi pekerja perempuan dalam keseluruhan struktur formasi sosial yang ada. Kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya Fakih (2004) menambahkan bahwa pekerja perempuan harus diletakkan dalam perspektif struktural dalam kerangka kerja jangka panjang. Diskriminasi
upah
yang
terjadi
secara
eksplisit
maupun
implisit
memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran seringkali terjadi di pabrik. Kenyataan bahwa tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, menyebabkan saat perempuan masuk ke sektor publik ”sah-sah” saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai ”sampingan” untuk ”membantu” suami. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja. Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan (Rahima, 2004).
1
Feminis jurisprdence adalah kajian hukum feminis yang merupakan landasan kajian
hukum bagi kelompok buruh perempuan.
17
Jika dilihat secara teliti lagi, sebenarnya telah ditemukan pokok utama permasalahan penyebab ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan, khususnya dalam sektor industri. Ideologi gender menimbulkan bias gender yang nantinya berwujud ketidakadilan gender, dan perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Jika saja pekerja tahu akan hak dan kewajibannya
sebagai
pekerja,
dan
mereka
mau
bersatu
untuk
memperjuangkannya, masalah ini dapat diatasi, tentunya dengan kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
2.1.6
Kesejahteraan Keluarga Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Nurohmah (2003), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat dikatakan sejahtera bagi orang lain. Menurut
Sawidak
(1985)
dalam
Nurohmah
(2003),
kesejahteraan
merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil menkonsumsi pendapatan tertentu. Konsumsi sendiri bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan per bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melakukan pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik. (BPS, 1995)
18
Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendapatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun, maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun, sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun (BPS, 1995). Menurut Mardinus (1995) dalam Nurohmah (2003), untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara materiil atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minuman makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara materiil. Menurut data BPS tahun 2007 Garis Kemiskinan Indonesia naik sebesar Rp.166.697 per kapita per bulan (Siregar, et al., 2007 dalam Nurohmah, 2003). Selain itu, BPS juga menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan (Rusman, 2006 dalam Nurohmah, 2003). Menurut data Susenas tahun 1996 dan 1996 pengeluaran untuk pangan bagi rumahtangga miskin berkisar antara 60-80% dari pendapatan dan bagi rumahtangga mampu antara 20-59%, sedangkan pengeluaran untuk pangan di Indonesia menurut BPS tahun 1990 masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga, yaitu lebih dari 59% (Soekirman, 2000 dalam Nurohmah 2003). Indikator tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dari berbagai aspek, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
19
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya (BPS, 2008). BPS kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumahtangga tersebut. Rumahtangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumahtangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumahtangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumahtangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.
20
2.2
Kerangka Pemikiran Pembagian kerja secara seksual dalam perusahaan muncul dan diperkuat
oleh adanya stereotip gender dalam masyarakat dan karena kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajibannya dan hak-haknya sebagai pekerja dalam perusahaan seperti yang tercantum dalam peraturan perusahaan akan mempengaruhi kondisi kerja pekerja itu sendiri. Kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja dapat dilihat dari pengetahuan dan pelaksanaan peraturan perusahaan tersebut oleh para pekerja. Stereotip gender dalam masyarakat, memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, bersifat melayani, tergantung, dan emosional, dan laki-laki dianggap sebagai makhluk yang berjiwa pemimpin, mandiri, kuat, dan rasional. Pembagian kerja secara seksual yang didasarkan pada streotip gender ini mengakibatkan terjadinya peminggiran atau pembedaan, dan biasanya perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan adanya pembagian kerja secara seksual tersebut, perempuan sudah berada dalam posisi yang termarjinalkan (mengalami marginalisasi-ketimpangan gender). Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh stereotip gender tersebut, sudah berlaku di komunitas dan memiliki kekuatan mengikat tertentu seperti norma, walaupun tidak ada peraturan khusus yang mengatur sistem pembagian kerja tersebut. Marginalisasi perempuan dalam perusahaan menjadi lebih kuat dengan kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, sehingga perempuan menerima ketimpangan (marginalisasi) ini seperti hal yang wajar dan keharusan aturan. Marginalisasi ini nampak dalam hal ketimpangan upah, status pekerja, jaminan kerja, dan jaminan keluarga, yang merupakan variabel-variabel kondisi kerja pekerja dalam perusahaan yang lebih jauh lagi akan berpengaruh pada kesejahteraan keluarga pekerja pabrik. Kesejahteraan keluarga pekerja pabrik dapat dilihat dari perumahan, kesehatan, pendidikan keluarga, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Namun ada faktor lain yang diduga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tunjangan keluarga. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana pengaruh keterlibatan perempuan dalam bekerja di sektor publik terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Tinggi
21
rendahnya tingkat kesejahteraan hidup pekerja, dapat dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga pekerja sehari-hari seperti sandang, pangan, papan, pendidikan anak dan kesehatan keluarga. Pendapatan Total Keluarga
Kurangnya pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan (hak dan kewajiban) Stereotip gender
Kondisi Kerja Buruh: - Status Pekerja - Pengupahan - Jaminan Kerja - Jaminan Keluarga
Pembagian kerja secara seksual
Tingkat Kesejahteraan keluarga - Perumahan - Kesehatan - Pendidikan Keluarga - Pola konsumsi - Kepemilikan aset
Tanggungan Keluarga
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja Keterangan : : Memiliki hubungan (diuji) : Memiliki hubungan (tidak diuji)
2.3
Hipotesis Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa hipotesis yang diuji
dalam penelitian ini, yaitu:
22
1. Diduga kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja berpengaruh terhadap kondisi kerja pekerja dalam pabrik. 2. Diduga
pembagian
kerja
secara
seksual
menyebabkan
adanya
ketimpangan/ketidakadilan gender dalam kondisi kerja pekerja dalam pabrik. 3. Diduga kondisi kerja memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. 4. Diduga ada hubungan antara besarnya pendapatan total keluarga dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. 5. Diduga ada hubungan antara banyaknya jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.
2.4
Definisi Operasional Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini
akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1. Tingkat pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya yang tercantum dalam perjanjian kerja a. Pengetahuan pekerja akan perjanjian kerja adalah tingkatan pengetahuan pekerja terhadap aturan-aturan yang memuat pengetahuan tentang: perusahaan dan pekerja, jabatan atau jenis pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayaran, jam kerja, syarat-syarat kerja, masa berlaku kontrak kerja, dan sistem penerimaan pekerja atau perpanjangan masa kontrak kerja. Penilaian: 2 : tahu , 1 : tidak tahu. b. Pelaksanaan pekerja adalah kemampuan pekerja dalam melakukan semua aturan perusahaan sesuai perjanjian kerja yang telah disepakati. Penilaian: 1 : tidak dilaksanakan, 2 : dilaksanakan. Tingkat pemahaman pekerja adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pelaksanaan pekerja terhadap aturan-aturan perusahaan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. Skor berjumlah 16-24 = tidak paham, 25-32 = paham. Semakin tinggi tingkat pemahaman pekerja terhadap perjanjian kerja maka semakin baik pembagian kerja seksual dan kondisi kerja pekerja dalam pabrik.
23
2. Stereotip pekerja tentang gender adalah pelabelan suatu sifat gender yang sudah melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa (stereotip). Bias gender ini kemudian menimbulkan ketidakadilan gender. Penilaian: 1: tidak setuju, 2: setuju. Skor berjumlah 1522: tidak setuju, 23-30: setuju. Semakin tinggi skor tentang stereotip masyarakat tentang gender, bias gender makin tinggi, maka semakin buruk pembagian kerja secara seksual dan kondisi kerja pekerja dalam pabrik. 3. Pembagian kerja secara seksual Ketidakadilan atau ketimpangan gender dapat disebut dengan diskriminasi. Salah satu contohnya terjadi dalam bentuk marginalisasi (proses peminggiran). Marginalisasi umumnya meminggirkan kaum perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang inferior (lemah dan tak dapat berbuat apa-apa), misalnya dalam hal pembagian kerja secara seksual. Pembagian kerja dapat diukur dari jenis pekerjaan responden antara pekerja perempuan dan laki-laki. Pekerja perempuan biasanya ditempatkan di bagian operator packing yang tidak membutuhkan tenaga besar (diberi skor 1), dan laki-laki ditempatkan di bagian operator mesin yang membutuhkan kekuatan (diberi skor 2). 4. Kondisi Kerja Pekerja dalam Pabrik (Marginalisasi) a. Status pekerja atau tingkat kerentanan pekerja untuk dikeluarkan jika terjadi pemecatan. Status pekerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja, dibagi menjadi dua, yaitu: 1: pekerja harian lepas = rentan, 2: pekerja tetap = tidak rentan. Semakin rentan status pekerja maka semakin buruk kondisi kerja pekerja. b. Pengupahan. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja. Pengupahan dibagi menjadi dua kategori menurut Upah Minimum Regional (UMR) daerah setempat, yaitu: Kategori 1= rendah , Kategori 2= tinggi. Semakin tinggi upah maka semakin baik kondisi kerja pekerja.
24
c. Jaminan kerja Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan dan fasilitas yang diterima pekerja dari perusahaan. Jaminan kerja diukur dengan melihat ada tidaknya: libur/cuti jika sakit, libur tahunan/hari raya, jaminan beristirahat, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan/sakit, jaminan beribadah, upah lembur, jaminan kematian, jaminan hari tua, cuti haid/melahirkan/ keguguran, libur/cuti pernikahan/kematian/ kelahiran, dan pesangon PHK. Penilaian: ada = skor 2, tidak ada = skor 1. Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja. Semakin banyak jaminan kerja yang diperoleh, maka semakin baik kondisi kerja pekerja. d. Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitas kesejahteraan keluarga yang diterima oleh pekerja. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja. Jaminan keluarga dapat dilihat dari ada tidaknya: THR (tunjangan hari raya), santunan menikah pertama kali, santunan melahirkan, santunan kematian ortu/mertua, santunan anak khitan/sunatan, santunan kematian istri/anak/suami, santunan perkawinan anak, santunan anggota keluarga meninggal dunia, santunan jika pekerja ditahan, pinjaman/hutang. Penilaian: ada skor 2, tidak ada skor 1. Skor berjumlah 10-15 = rendah, 16-20 = tinggi. Semakin banyak jaminan keluarga yang diperoleh maka semakin baik kondisi kerja pekerja. Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan kepada pekerja yang meliputi status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja pekerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarganya. Penilaian: skor ≤36= buruk, skor 37-48 = baik. Semakin kecil skor maka semakin buruk kondisi kerja pekerja. 5. Kesejahteraan pekerja a. Perumahan -
Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga pekerja. Status rumah merupakan variabel untuk melihat tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja. Status rumah dibagi menjadi dua kategori, yaitu : bukan milik sendiri = skor 1, milik sendiri = skor 2.
25
-
Keadaan rumah adalah kondisi fisik rumah yang dihuni oleh pekerja dan keluarganya (responden). Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja. Keadaan rumah dibagi menjadi dua kategori, yaitu : skor 1 = bangunan tidak permanen, skor 2 = bangunan permanen, berlantai keramik, berdinding tembok.
-
Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga pekerja. Alat penerangan merupakan merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja. Alat penerangan dibagi menjadi dua, yaitu skor 1 = listrik 450 watt, skor 2 = > 450 watt
-
Kelayakan tempat tinggal antara luas rumah dengan jumlah anggota keluarga. Skor 1 = luas bangunan tidak memadai untuk seluruh anggota keluarga, skor 2 = luas bangunan memadai untuk seluruh anggota keluarga. Memadai atau tidaknya luas bangunan diukur secara emik, yaitu satu tumbak=14m² untuk satu orang yang tinggal.
-
Perumahan adalah tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari status rumah, keadaan rumah dan alat penerangan. Penilaian: skor berjumlah ≤ 6 = tidak sejahtera, skor 7-8 = sejahtera. Semakin tinggi keadaan infrastruktur rumah pekerja maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, begitu pun sebaliknya.
b. Kesehatan -
Angka kesakitan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga pekerja. Angka kesakitan dilihat dari frekuensi seringnya sakit pekerja atau keluarganya dalam satu tahun yang lalu. Angka kesakitan digolongkan menjadi : skor 1 : ≥ 5 kali, skor 2 : < 5 kali.
-
Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga pekerja. Jenis pengobatan dilihat dari apa yang dilakukan oleh pekerja dan keluarganya ketika terdapat anggota keluarganya yang sakit. Jenis pengobatan digolongkan menjadi: skor 1 = berobat
26
non medis (dukun/pengobatan alternatif/membeli obat warung), skor 2 = berobat medis (Dokter, Puskesmas) -
Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi keluarga pekerja. Frekuensi makan dilihat dari seberapa sering pekerja dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan digolongkan menjadi dua kategori, yaitu : skor 1 : < 3 kali, skor 2 : ≥ 3 kali.
-
Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga pekerja. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam makanan yang dikonsumsi pekerja dan keluarganya dalam satu hari. Jenis makanan dikategorikan menjadi dua, yaitu: skor 1 : karbohidrat, skor 2 : karbohidrat dan protein.
-
Kesehatan keluarga adalah adalah status kesehatan dan taraf gizi keluarga yang antara lain diukur melalui angka kesakitan, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Penilaian: skor ≤ 6 = buruk, skor 7-8 = baik. Semakin tinggi status kesehatan keluarga pekerja maka semakin baik kesehatan keluarga pekerja. Semakin baik kesehatan keluarga pekerja maka semakin sejahtera keluarga pekerja.
c. Pendidikan keluarga Banyaknya anak pada usia sekolah yang masih sekolah dan tidak sekolah. Pengukuran: skor 1 : rendah : ≤ 1 orang, skor 2: tinggi : > 1 orang. Semakin banyak anak pada usia sekolah yang masih sekolah maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. Selain itu, perlu diperhatikan banyaknya anak yang berhenti sekolah atau DO (Drop Out). d. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian pengeluaran uang dalam keluarga untuk kebutuhan akan makanan dibandingkan dengan konsumsi non makanan. Pola konsumsi digolongkan menjadi dua, yaitu : Skor 1 = rendah : biaya konsumsi untuk makanan lebih besar dari biaya untuk kebutuhan non makanan, Skor 2 = tinggi, biaya konsumsi untuk makanan lebih kecil.dari biaya untuk kebutuhan non makanan. Semakin tinggi
27
tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. e. Kepemilikan aset : banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga berupa barang mahal dan barang yang tidak mahal. Barang mahal seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor ( sepeda motor ). Barang tidak mahal seperti : kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika. Kepemilikan aset merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga dan dapat dilihat dari ada tidaknya aset. Penilaian : skor 1 = ada, skor 0 = tidak ada. Skor untuk kepemilikan barang mahal yaitu 0-3 barang = rendah, dan 4-7 barang = tinggi, sedangkan skor untuk barang tidak mahal yaitu 0-2 barang = rendah, dan 3-5 barang = tinggi. Skor jumlah untuk kepemilikan barang : ≤ 5 barang= rendah, skor untuk 612 barang= tinggi. Semakin banyak banyak yang dimiliki maka semakin tinggi kesejahteraan keluarga pekerja. Jika barang yang dimiliki banyak, maka diberi skor 2, dan jika barang yang dimiliki sedikit, maka skor 1. 6. Jumlah tanggungan keluarga adalah orang yang hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumahtangga, termasuk kepala rumahtangga itu sendiri. Jumlah tanggungan keluarga dikategorikan menjadi dua, yaitu: skor 2 : ≤ 3 orang = sedikit, skor 1 : > 3 orang = banyak. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin tidak terpenuhi, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. 7. Pendapatan adalah jumlah uang yang dihasilkan rumahtangga selama satu bulan bekerja. Pendapatan dapat berupa bantuan dari orang yang tinggal bersama dalam satu rumahtangga. Pengukuran: 1: ≤Rp.1.500.000,- = rendah, skor 2 : >Rp.1.500.000,- = tinggi. Pengukuran ini berdasarkan emik yang didapat dari jumlah upah yang diterima pekerja ditambah dengan pendapatan lain-lain. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin terpenuhi, maka semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan keluarga.
28
8. Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. Tingkat kesejahteraan keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari rumahtangganya. Kesejahteraan keluarga pekerja dilihat dari pendapatan total keluarga, jumlah tanggungan keluarga,
perumahan,
kesehatan, pendidikan keluarga, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Untuk yang skornya lebih tinggi, diberi nilai 2, sedangkan untuk skor rendah, diberi nilai 1 untuk tiap variabelnya. Penilaian skor 7-10 = tidak terpenuhi, skor 1114 = terpenuhi. Semakin terpenuhinya kebutuhan keluarga pekerja maka semakin sejahtera sebuah keluarga.
29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode
penelitian survei, yaitu suatu metode yang menggunakan sistem pengambilan sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner terstruktur sebagai alat pengumpulan data. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalahmasalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui kondisi kerja pekerja dan pengaruhnya terhadap tingkat kesejateraan keluarga pekerja.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan
Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung yaitu kawasan dimana banyak ditemui industri yang melibatkan perempuan. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan cara memilih daerah yang mempunyai sentra industri. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2009.
3.3
Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif. Data
kuantitatif diperoleh dari kuesioner terstruktur yang diberikan peneliti kepada responden. Kuesioner berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang lebih rinci yang mampu menjawab perumusan masalah. Pertanyaan berisi pertanyaan terbuka dan tertutup. Dalam penelitian ini, karena jumlah sampel relatif kecil, dibutuhkan data kualitatif yang diperoleh dari informan sebagai pendukung data kuantitaif. Responden penelitian adalah pekerja pabrik, baik laki-laki maupun perempuan dengan kesamaan tempat bekerja dan kesamaan pekerjaan yaitu bekerja sebagai operator (homogen), dan sudah berkeluarga (mempunyai anak dan
30
tinggal dalam satu rumahtangga, serta memiliki kepala keluarga), sedangkan informan yaitu orang-orang tertentu yang sengaja dipilih karena memiliki informasi berkaitan dengan topik penelitian ini. Informasi yang dicari adalah persentase pekerja berdasarkan jenis kelamin, jadwal jam kerja, pembagian jenis pekerjaan, upah kerja, jaminan, dan fasilitas apa saja yang diberikan pengusaha kepada pekerja berdasarkan peraturan perusahaan. Responden diambil dengan metode simple random sampling (acak sederhana) dengan jumlah responden sebanyak 60 orang, yang terdiri dari 30 pekerja laki-laki, dan 30 pekerja perempuan secara unproportional sample karena jumlah populasi kurang dari 1000 orang sampel. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa kuesioner terstruktur yang diisi oleh responden dan dibimbing oleh peneliti. Selain data primer, peneliti juga memperoleh data sekunder dari arsip/dokumen/buku yang berkaitan dalam penelitian ini. Sebagai contoh, buku mengenai profil perusahaan, peraturan perusahaan (PP), dokumen dan arsip perusahaan, serta sumber cetak lainnya yang mendukung penelitian ini serta data dari kesbang kabupaten setempat.
3.4
Teknik Analisis Data Analisis data kuantitatif menggunakan tabulasi silang secara manual dengan
bantuan program SPSS for Windows Versi 13.0 dan Uji Korelasi Rank Spearman yakni untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara variabel yang berukuran ordinal (Faisal, 2005). Unit analisis yang digunakan adalah individual pekerja dan keluarga pekerja untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pekerja perempuan dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya. Langkah selanjutnya setelah data dianalisis adalah menafsirkan atau memaknai hasil analisis tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan ini didasarkan atas perumusan masalah yang difokuskan secara lebih spesifik dalam bentuk hipotesa penelitian, sedangkan untuk melengkapi data kuantitatif tersebut, maka dilakukan penambahan data-data kualitatif agar lebih jelas dan kaya akan makna (Muljono, 2003).
31
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1
Sejarah dan Perkembangan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri adalah perusahaan yang bergerak dalam industri
pembuatan plastik khususnya kantong plastik Reclosable dan polimer plastik. CV. Mekar Plastik Industri didirikan oleh seseorang berkewarganegaraan Cina bernama Awang pada tanggal 5 Agustus 1986, namun beberapa kali terjadi penutupan perusahaan karena bangkrut akibat krisis ekonomi. Hingga saat ini, perusahaan tersebut masih berdiri sejak terjadi pendirian kembali pada tanggal 7 Januari 1997. Adapun lokasi perusahaan ini di Jalan Bojong Buah Raya Km.11, Kav 8, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 2002 diadakan perubahan susunan persero dan pengurusnya. Kini, CV. Mekar Plastik Industri berada di bawah keanggotan PT. WMK (PT. WEIS MARKETS INC) Bandung, Jawa Barat, Indonesia yang merupakan gabungan-gabungan dari beberapa perusahaan besar dan sekarang bergerak dalam bidang produksi berbagai jenis plastik polimer. CV. Mekar Plastik Industri ini didirikan dengan status permodalan swasta nasional dan telah merekrut sekitar 255 orang pekerja saat ini. Untuk meningkatkan kapasitas produksi maka CV. Mekar Plastik Industri melakukan penambahan jumlah tenaga kerja, mesin/peralatan, dan suku cadang serta menambah modal kerja. Oleh karena adanya penambahan tenaga kerja dan peralatan serta didukung oleh modal kerja yang kuat maka perusahaan sampai saat ini berkembang semakin besar. Pasar dari hasil produksinya semakin meluas sehingga saat ini produksinya mencapai satu setengah ton per hari. Hasil produksi CV. Mekar Plastik Industri dipasarkan di dalam kota dan luar kota (Bali, Cianjur, Cirebon, Jakarta, Jogya, Sukabumi, Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya di Indonesia), dan sebagian hasil produksi CV. Mekar Plastik Industri ada yang dieksport ke Singapura dan Malaysia.
32
4.2
Kondisi Kerja CV. Mekar Plastik Industri Dengan semakin berkembangnya CV. Mekar Plastik Industri, tenaga kerja
yang dibutuhkan juga semakin bertambah, khususnya di bagian produksi. Besarnya jumlah pekerja yang bekerja di CV. Mekar Plastik Industri pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Pekerja Berdasarkan Status Pekerja, Jenis Kelamin, dan Kewarganegaraan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 STATUS PEKERJA 1. Pekerja Bulanan 2. Pekerja Borongan 3. Pekerja Harian Lepas
WNI Laki-laki 125
WNA
Perempuan
Laki-laki Perempuan
130 (51%)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(49%)
Jumlah 125 130 Sumber: Data Perusahaan CV. Mekar Platik Industri, 2009
-
Jumlah 255 (100%)
255
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah pekerja perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pekerja laki-laki. Jumlah pekerja perempuan mencapai 51% dari total keseluruhan pekerja, sedangkan jumlah pekerja laki-laki sebanyak 49%. Jumlah ini mengalami peningkatan dari jumlah 2 tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, jumlah total pekerja adalah 170 orang, dengan komposisi 95 orang pekerja perempuan dan 75 orang pekerja laki-laki (Data Perusahaan CV. Mekar Platik Industri, 2007). Peningkatan ini terjadi seiring dengan berkembangnya perusahaan setiap tahun. Status pekerja CV. Mekar Plastik Industri ada yang pekerja tetap dan ada juga pekerja harian lepas. Pekerja tetap adalah pekerja yang dipekerjakan tanpa batas waktu tertentu dan mendapatkan upah setiap sebulan sekali dengan jumlah yang konstan, sedangkan pekerja harian lepas adalah pekerja yang bekerja dalam batas waktu tertentu, dan biasanya hanya dipekerjakan sewaktu-waktu perusahaan membutuhkan tenaga kerja lebih saja, dan itu sifatnya tidak terikat kontrak waktu.
33
Dalam penerimaan karyawan, perusahaan melaksanakannya sesuai dengan kebutuhan perusahaan dengan kriteria sebagai berikut: 1.
Adanya formasi : kebutuhan di salah satu bidang
2.
Adanya pendidikan : tenaga kerja yang memiliki pendidikan/ ijazah yang diperlukan untuk suatu jabatan tertentu
3.
Adanya keterampilan : tenaga kerja tersebut memiliki keterampilan atau kecakapan tertentu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tertentu. Selain itu, perusahaan juga memberi syarat kepada pekerja untuk
penerimaan karyawan, yaitu WNI, memenuhi syarat administrasi, mengikuti tes yang diadakan perusahaan, dan bersedia menjalani masa percobaan atau kontrak selama 3 bulan atau sesuai dengan UU RI No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Definisi karyawan dalam perusahaan CV. Mekar Plastik Industri adalah setiap laki-laki/ perempuan yang mengadakan hubungan kerja dengan perusahaan dan telah diangkat menjadi karyawan tetap. Karyawan perempuan adalah perempuan yang telah kawin dianggap berstatus lajang. Sedangkan untuk pekerja berstatus kontrak disebut buruh, karyawan harian tetap, karyawan magang, atau karyawan kontak (untuk waktu tertentu). Dalam penempatan karyawan, perusahaan menerapkan sistem manajemen organisasi dan kepersonaliaan untuk menyusun penggolongan dan kepangkatan karyawan atas dasar status karyawan yang bersangkutan, syarat pekerjaan/ jabatan, pendidikan, dan pengalaman/ keahlian. Untuk karyawan bagian kantor, meliputi bagian keuangan dan pemasaran, minimal lulusan SMA atau sederajat, sedangkan untuk karyawan bagian lapang, meliputi bagian produksi dan gudang perusahaan, tidak melihatnya dari jenjang pendidikan, tetapi dilihat dari kemampuan, pengalaman, dan keseriusan karyawan tersebut untuk menekuni pekerjaannya dengan baik. Untuk bidang produksi sendiri kemampuan yang harus dimiliki adalah pengetahuan mengenai jenis plastik yang akan di produksi dan standar kualitas produksi yang baik. Kemampuan yang dimiliki karyawan didapat dari pengalaman mereka sebelumnya. Dalam penentuan gaji pekerja didasarkan pada jenis pekerjaan, pengalaman/ keahlian, dan posisi/jabatan. Untuk karyawan harian maupun bulanan dalam masa
34
percobaan, upahnya ditetapkan sebesar upah minimum dan atau upah yang telah disepakati bersama. Gaji tesebut dibayarkan setiap minggu, yaitu tiap hari Sabtu untuk karyawan harian tetap, dan untuk karyawan staf dibayar setiap awal bulan (tanggal 1) oleh perusahaan. Selain itu, perusahaan juga memberikan tunjangan seperti insentif, tunjangan makan, tunjangan hari raya, dan tunjangan hari tua (bagi yang ikut) seperti yang tertulis dalam Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri Bab IX pasal 31 tahun 2009 mengenai tunjangan-tunjangan. Insentif adalah pembayaran berupa uang yang diberikan kepada karyawan untuk jabatan tertentu atas tugas dan tanggung jawab, disiplin kerja, dan efektivitas waktu kerja dengan tujuan untuk memotivasi karyawan dalam meningkatkan rasa tanggung jawabnya. Secara keseluruhan, upah yang diberikan perusahaan berupa gaji pokok, insentif, tunjangan makan, tunjangan masa kerja (TMK) yang besarnya ditentukan oleh perusahaan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.04/MEN/94, perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawan sebesar 1 (satu) bulan upah bagi karyawan dengan masa kerja 1 (satu tahun atau lebih. Namun jika karyawan belum memiliki masa kerja 1 (satu) tahun dan telah melewati masa percobaan, maka besarnya THR dihitung secara proporsional, yaitu : Jumlah Bulan Masa Kerja
X 1 bulan upah
12 bulan Seperti yang tercantum pada Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri tahun 2009, perusahaan memiliki beberapa jaminan sosial untuk karyawannya, yaitu Program Jaminan Sosial Karyawan (Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua), Jaminan Kesehatan, Kecelakaan di Luar Jam Kerja, Bantuan Duka Cita, Tempat Ibadah, dan Tunjangan Masa Kerja sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Selain gaji pokok dan tunjangan-tunjangan dari perusahaan, perusahaan juga memberikan upah lembur bagi karyawan yang melakukan kerja lembur yang dilakukan selebihnya dari jam kerja biasa (jam normal) seperti yang telah ditetapkan dan atau pada hari-hari libur resmi. Waktu kerja ditentukan 6 (enam)
35
hari seminggu dengan jumlah kerja 7 jam sehari atau 40 jam seminggu dengn istirahat 1 (satu) hari setiap minggunya,yang hari liburnya diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Untuk waktu kerja, dalam sehari dibagi menjadi 3 shift, yaitu pagi, sore, dan malam sesuai dengan jadwal yang ditentukan perusahaan. Kerja lembur hanya dapat dilaksanakan bila ada perintah/ persetujuan dari atasan kepada karyawan yang ingin kerja lembur, dan upah lembur dibayarkan bersamaan dengan upah setiap minggu atau bulan. Dasar perhitungan upah lembur bagi karyawan harian sesuai dengan KEP. MENAKER No.102/MEN/2004, yaitu :
1 173
X
UMK =
upah sejam
Untuk karyawan staff tidak menerima upah lembur bila melakukan pekerjaan melebihi waktu standar, kecuali pada hari minggu atau libur resmi. (SE DIRJEN BINAWAS NAKER No. SE-02/M/BW/87, tanggal 22 April 1987). Untuk lebih meningkatkan kondisi kerja karyawannya, CV. Mekar Plastik Industri juga memberikan upah jika karyawan sakit terus menerus, upah selama karyawan ditahan pihak yang berwajib, serta pemberian hari libur, cuti tahunan, cuti sakit, cuti hamil, keguguran, dan haid bagi karyawan perempuan, ijin, dan mangkir. Adapun aturan tentang mangkir akan terkait dengan pemotongan upah yang akan dilakukan pihak perusahaan terhadap pekerja yang mangkir. Sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bandung Nomor: 568/238/VIII/HIPK/PP/2009, Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri harus memuat beberapa poin penting sebagai syarat pengesahan peraturan perusahaan yang berkaitan dengan : 1. Pengangkatan, penempatan, mutasi, promosi, dan demosi karyawan 2. Penggolongan karyawan 3. Aturan dan tata tertib 4. Sangsi-sangsi terhadap pelanggaran 5. Terputusnya hubungan kerja 6. Pengupahan
36
7. Tunjangan-tunjangan 8. Hari libur, cuti, ijin, dan mangkir 9. Jaminan sosial 10. Keselamatan dan kesehatan kerja 11. Koperasi karyawan 12. Penyelesaian keluh kesah 13. Masa berlaku peraturan perusahaan dan perubahan Dalam Peraturan Perusahaaan CV. Mekar Plastik Industri, semua sudah tercantum mengenai syarat kerja serta hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, mulai dari sistem penerimaan karyawan, pengupahan, tunjangan, libur/cuti, sanksi dan larangan, hingga ke sistem pemecatan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Peraturan Perusahaan tersebut dibuat mengingat Undangundang No 13 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan, Per.02/Men/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian Perpekerjaan, Kep.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, dan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung tentang Retribusi Izin Pelayanan Ketenagakerjaan. Peraturan Perusahaan ini biasanya ditempel di tempat-tempat yang dengan mudah dibaca oleh para pekerja agar pekerja mengetahui hak dan kewajibannya di perusahaan tersebut. Diharapkan pekerja dan pengusaha memahami dengan baik isi dari peraturan perusahaan agar tidak terjadi bentrok kepentingan antara pengusaha dan pekerja di kemudian hari.
37
BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik merupakan perlakuan perusahaan kepada pekerja, baik laki maupun perempuan yang meliputi pembagian kerja secara seksual, status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga.
5.1
Pembagian Kerja secara Seksual Gender tidak menjadi masalah jika tidak menyebabkan ketimpangan gender
terhadap salah satu jenis kelamin, namun gender yang berlaku di komunitas seringkali diadopsi oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga melakukan ketimpangan gender dalam skala yang lebih luas (Widanti, 2005). Dalam hal ini, perempuan sering menjadi korban ketimpangan gender terutama dalam lingkungan keluarga, komunitas dan tempat kerja. Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini memunculkan sejumlah persoalan, seperti terjadinya pembagian kerja secara seksual yang dialami pekerja CV. Mekar Plastik Industri. Perusahaan melakukan pembagian kerja secara seksual berdasarkan kemampuan dan keahlian pekerja dalam mengoperasikan alat-alat atau mesin di pabrik. Tak lepas dari itu, perusahaan juga masih memiliki bias gender tinggi yang melekat dan itu menjadi prinsip pembagian kerja yang utama. Stereotip gender dalam masyarakat, memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, bersifat melayani, tergantung, emosional, dan tidak bisa bekerja kasar seperti mengangkat barang atau mesin berat, sedangkan lakilaki dianggap sebagai makhluk yang berjiwa pemimpin, mandiri, kuat, dan rasional. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan pada bagian packing yang ringan dan tidak membutuhkan banyak tenaga karena dianggap tidak mampu mengoperasikan mesin-mesin berat.
38
Ada beberapa pekerjaan yang khusus dilakukan oleh pekerja laki-laki, yaitu bagian service mesin, gudang mesin, dan ekspedisi. Pekerjaan tersebut dianggap kerja kasar dan memerlukan tenaga yang besar dan kuat serta ketangkasan yang cepat. Pada Tabel 4 disajikan data komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jenis Pekerjaan, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Operator Packing
5
16,7
30
100
Operator Mesin
25
83,3
0
0
Total
30
100
30
100
Berdasarkan pada Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa seluruh responden perempuan sebanyak 30 orang (100%) bekerja sebagai operator, dan 25 orang (83,3%) pekerja laki-laki bekerja di bagian mesin, sedangkan hanya 5 orang (16,7%) pekerja laki-laki yang bekerja sebagai operator. Di perusahaan tersebut, sebenarnya tidak ada pekerjaan yang khusus dilakukan oleh perempuan, namun biasanya perempuan ditempatkan di bagian packing (pengepakan barang), walaupun ada juga laki-laki yang ditempatkan di bagian packing. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan tenaga kasar dan kuat, yang penting memiliki tingkat ketelatenan yang tinggi. Pembagian kerja secara seksual yang didasarkan pada stereotip gender ini mengakibatkan terjadinya peminggiran perempuan, dan biasanya perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan adanya pembagian kerja secara seksual tersebut, perempuan sudah berada dalam posisi yang termarjinalkan
(mengalami
marginalisasi-ketidakadilan
gender),
namun
perempuan itu sendiri juga masih memiliki bias gender yang tinggi dan mereka juga tidak mau bekerja kasar seperti yang dilakukan laki-laki. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh stereotip gender tersebut, sudah berlaku di komunitas dan memiliki kekuatan
39
mengikat tertentu seperti norma, walaupun tidak ada peraturan khusus yang mengatur sistem pembagian kerja tersebut. Pembagian kerja secara seksual ini tergolong marginalisation as concentration on the margins of the labour market dan marginalisation as feminisation or segregation yang berarti terjadi peminggiran posisi perempuan dalam sektor publik pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki kestabilan kerja, serta mengalami feminisasi dan segregasi.
5.2
Status Kerja Status kerja pekerja menggambarkan tingkat kerentanan pekerja untuk
dikeluarkan jika terjadi pemecatan. Status kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja pekerja dalam suatu perusahaan, apakah telah baik atau tidak. Status kerja pekerja di CV. Mekar Plastik dibedakan menjadi dua, yaitu pekerja tetap dan pekerja harian lepas. Pekerja tetap disebut juga karyawan atau pekerja waktu tidak tertentu (tidak rentan dipecat), sedangkan pekerja harian lepas disebut juga pekerja waktu tertentu (rentan dipecat). Pekerja tetap memiliki status dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan pekerja harian lepas, seperti mendapatkan berbagai tunjangan dan fasilitas perusahaan. Status pekerja ini sangat berpengaruh pada pembagian upah kepada pekerja, terlepas dari adanya pembagian kerja seksual berdasarkan gender. Status pekerja dapat menyebakan ketimpangan apabila pekerja laki-laki dan perempuan diperlakukan berbeda. Pada Tabel 5 disajikan data komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin dan status pekerja. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa jumlah pekerja laki-laki yang statusnya pekerja tetap di CV. Mekar Plastik Industri lebih banyak dibandingkan perempuan, yaitu 63,3% dari total pekerja laki-laki, sedangkan jumlah pekerja perempuan yang statusnya pekerja tetap yaitu 46,7% dari total pekerja perempuan. Untuk pekerja harian lepas, jumlah pekerja perempuan lebih banyak dibandingkan pekerja laki-laki, yaitu 53,3% dari total pekerja perempuan, sedangkan pekerja laki-laki yang status kerjanya sebagai pekerja harian lepas sebesar 36,7% dari total pekerja laki-laki.
40
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Harian Lepas
11
36,7
16
53,3
Pekerja Tetap
19
63,3
14
46,7
Total
30
100
30
100
Jenis pekerjaan laki-laki seperti mesin dan ekspedisi membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus dalam mengoperasikannya, tingkat kesulitannya juga lebih tinggi dibandingkan denga bagian packing (pengepakan), sehingga tingkat kerentanan dipecat juga kecil pada bagian mesin. Sebaliknya, jenis pekerjaan packing dianggap sepele dan tidak membutuhkan keahlian khusus seperti bagian mesin, sehingga tingkat kerentanan dipecatnya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian mesin yang biasa dipegang oleh laki-laki. Pada posisi ini, perempuan kembali mengalami ketimpangan/ketidakadilan karena merasa berada pada posisi yang rentan atau tidak aman dalam hal pekerjaan, sehingga mereka cenderung pasrah dan tidak berani melawan atau meminta haknya kepada perusahaan karena takut dipecat.
5.3
Pengupahan Dalam hal pengupahan, CV. Mekar Plastik Industri dianggap belum
memenuhi syarat Upah Minimum Regional seperti yang telah ditetapkan Gubernur Jawa Barat dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 561/Kep.684Bangsos/2008, sebesar Rp.1.000.950,- untuk wilayah Kabupaten Bandung. Upah yang diberikan perusahaan terdiri atas dua tingkat, yaitu Rp31.000,- per hari untuk karyawan tetap, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan, dan pekerja laki-laki harian lepas, dan Rp.25.000,- per hari untuk pekerja perempuan yang harian lepas. Pembagian upah ini dianggap tidak adil oleh pekerja perempuan namun mereka tidak dapat menuntut hak lebih karena itu adalah kebijakan perusahaan, selain itu mereka juga takut dipecat tanpa uang pesangon. Pembagian upah ini dipengaruhi oleh adanya pembagian kerja secara seksual dan pembagian
41
status kerja. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sebagian besar laki-laki yang menjadi operator mesin memiliki tingkat kerentanan dipecat yang lebih kecil dibandingkan dengan perempuan sebagai operator packing yang jenis pekerjaanya diaanggap sepele. Data Tabel 6 menunjukkan komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan gender dan upah.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Upah, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin Upah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Rendah (
0
0
14
46,7
Tinggi (≥ UMR)
30
100
16
53,3
Total
30
100
30
100
Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa pekerja laki-laki memiliki upah yang lebih tinggi daripada pekerja perempuan. Tinggi rendahnya upah ditentukan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) wilayah regional kajian penelitian, yaitu Kabupaten Bandung, sebesar Rp.1.000.950,- untuk industri plastik. Bila upah di atas UMR, maka dapat dikatakan, upah yang diterima pekerja lebih tinggi, begitupun sebaliknya, bila upah yang diterima kurang dari UMR, maka dapat dikatakan upah yang diterima pekerja adalah di bawah rata-rata. Berdasarkan persentase jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan upah, sebanyak 100% pekerja laki-laki mendapatkan upah yang tinggi (≥ UMR) dan hanya 53,3% pekerja perempuan yang mendapatkan upah tinggi, dan 46,7% pekerja perempuan mendapatkan upah yang rendah (< UMR). Dapat dilihat juga, hampir tidak ada (0%) pekerja laki-laki yang mendapatkan upah di bawah UMR. Hal ini dikarenakan pekerja laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan membutuhkan tenaga yang lebih banyak dalam proses produksi dibandingkan perempuan, sehingga upahnya diberikan lebih besar oleh perusahaan (bias gender perusahaan terhadap pekerja). Perbedaan upah ini merupakan salah satu ketimpangan yang dialami oleh pekerja perempuan karena mereka berada dalam posisi yang termarjinalisasikan dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena
42
takut dipecat, namun hal ini ternyata tidaklah menjadi suatu masalah yang besar bagi pekerja perempuan, karena mereka merasa bahwa uang yang mereka dapatkan dari hasil bekerja bukanlah suatu nafkah utama untuk keluarga, tetapi merupakan uang tambahan nafkah untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga. Di samping gender sebagai pembanding utama pembagian upah, hal yang perlu diperhatikan lebih spesifik adalah status pekerja. Status pekerja sangat mempengaruhi perusahaan dalam hal memberikan upah kepada pekerja. Besarnya upah yang diterima pekerja tergantung dari bagaimana statusnya sebagai pekerja di CV. Mekar Plastik Industri, yaitu sebagai pekerja harian lepas atau pekerja tetap. Tabel 7 menunjukkan komposisi pekerja berdasarkan status pekerja dan upah/gaji yang diterima pekerja.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Upah, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Upah Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Status Pekerja
≥ UMR
< UMR
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Pekerja Tetap
19
100
0
0
Harian Lepas
11
100
0
0
Pekerja Tetap
14
100
0
0
Harian Lepas
0
0
16
100
Dapat dilihat pada Tabel 7 bahwa pekerja yang berstatus pekerja tetap memiliki upah yang lebih tinggi daripada pekerja yang berstatus pekerja harian lepas. Upah yang lebih tinggi tersebut adalah upah yang besarnya sama atau di atas UMR, begitupun sebaliknya, bila upah yang diterima kurang dari UMR, maka dapat dikatakan upah yang diterima pekerja adalah rendah. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah laki-laki pekerja tetap dan menerima upah yang tinggi lebih banyak dibandingkan perempuan yang sebagian besar berstatus pekerja harian lepas dan menerima upah yang lebih rendah. Perbedaan upah ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender (marginalisasi) yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja, apalagi sebagian besar korbannya
43
adalah pihak perempuan yang ditempatkan sebagai pekerja harian lepas, walaupun entah secara sengaja atau tidak perusahaan menempatkan perempuan dalam posisi tersebut. Perempuan masih saja dianggap sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya dalam sektor publik, dan mereka juga takut untuk menuntut hak-haknya karena menganggap dirinya akan kalah jika melawan pihak perusahaan yang besar dan berkuasa tersebut.
5.4
Jaminan Kerja Jaminan kerja merupakan salah satu aspek penting dalam melihat baik atau
tidak baiknya kondisi kerja seorang pekerja dalam suatu perusahaan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri, pekerja berhak untuk menerima jaminan kerja berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua bagi yang ikut, jaminan beribadah, jaminan beristirahat, dan jaminan kematian, libur atau cuti jika sakit, libur tahunan/hari raya, upah lembur, libur cuti pernikahan/ kematian/kelahiran, dan pesangon bila terjadi PHK. Pada Tabel 8 disajikan komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin dan jaminan kerja yang diperoleh.
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin Jaminan Kerja
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Baik
23
76,7
17
56,7
Tidak Baik
7
23,3
13
43,3
Total
30
100
30
100
Berdasarkan Tabel 8 bahwa pekerja laki-laki memiliki jaminan kerja yang lebih baik daripada pekerja perempuan. Baik atau tidaknya ukuran kualitas jaminan kerja ditentukan oleh banyaknya jaminan yang diterima pekerja selama pekerja bekerja di CV. Mekar Plastik Industri. Data pada Tabel 8 menunjukkan sebesar 76,7% pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja baik dan 56,7%
44
pekerja perempuan mendapatkan jaminan kerja yang baik pula, serta 43,3% pekerja perempuan lainnya mendapatkan jaminan kerja yang tidak baik. Untuk perolehan jaminan kerja, antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan bila status kerjanya adalah pekerja tetap, namun untuk pekerja harian lepas, antara pekerja laki-laki dan perempuan dibedakan, misalnya dalam hal pengupahan, pekerja laki-laki mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan pekerja perempuan; laki-laki mendapatkan jaminan kesehatan untuk istri dan anaknya berobat di poliklinik perusahaan, sedangkan perempuan hanya mendapatkan jaminan kesehatan untuk dirinya sendiri saja. Hal ini merupakan suatu ketimpangan gender yang menimpa pekerja perempuan, karena perempuan yang bekerja di CV. Mekar Plastik Industri ini dianggap sebagai perempuan lajang/belum menikah, sehingga tidak memiliki yang lebih. Selain akibat adanya stereotip gender, jaminan kerja yang didapat pekerja dipengaruhi oleh status pekerja. Pada Tabel 9 dapat dilihat komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin, status pekerja, dan jaminan kerja yang diperoleh.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Jaminan Kerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jaminan Kerja Jenis Kelamin
Status Pekerja
Baik
Tidak baik
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Pekerja Tetap
19
100
0
0
19 (100%)
Harian Lepas
4
36,36
7
63,63
11 (100%)
Pekerja Tetap
14
100
0
0
14 (100%)
Harian Lepas
3
18,75
13
81,25
16 (100%)
Laki-laki
Perempuan
Berdasarkan Tabel 9 dapat diidentifikasi bahwa jika status pekerja pekerja baik maka jaminan kerja yang didapatkan juga baik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah pekerja berstatus pekerja tetap yang mendapatkan jaminan kerja
45
yang baik lebih besar daripada pekerja berstatus harian lepas yang mendapatkan jaminan kerja baik, namun ini juga terkait dengan gender atau jenis kelamin, karena sebagian besar pekerja yang berstatus pekerja tetap adalah berjenis kelamin laki-laki, dan pekerja yang berstatus harian lepas sebagian besar adalah perempuan dan mendapatkan jaminan kerja yang tidak baik. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pekerja laki-laki dianggap memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menafkahi keluarganya dibandingkan perempuan. Pemberian jaminan kerja yang diberikan perusahaan, semuanya sudah diatur dalam Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri untuk karyawannya, namun pada kenyataanya jaminan kerja yang diterima oleh pekerja ternyata tak sebanyak yang dijanjikan perusahaan tersebut dalam peraturan yang dibuatnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja. Seperti yang telah dibahas di atas, pekerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan beribadah, jaminan beristirahat, dan jaminan kematian, libur atau cuti jika sakit, libur tahunan/hari raya, upah lembur, libur cuti pernikahan/kematian/kelahiran, dan pesangon PHK, namun pada kenyataannya, hak-hak itu hanya ditujukan untuk pekerja tetap, bukan untuk pekerja harian lepas. Pekerja harian lepas tidak mendapatkan libur tahunan/hari raya, jaminan kesehatan, dan pesangon saat PHK. Bahkan banyak yang mengeluh karena seminggu menjelang Hari Raya Lebaran, mereka langsung dipecat tanpa pesangon dengan alasan perusahaan sedang tidak produktif atau sepi order. Pemecatan pekerja seperti ini harusnya dapat dihindari jika antara pengusaha dan pekerja saling terbuka dan mentaati peraturan yang sudah dibuat bersama.
5.5
Jaminan Keluarga Selain pemberian jaminan kerja, perusahaan juga memberikan jaminan
keluarga bagi pekerja yang statusnya pekerja tetap, yaitu Tunjangan Hari Raya, santunan melahirkan karyawan (untuk pekerja perempuan), dan pemberian jaminan hutang. Jamian keluarga ini diberikan oleh perusahaan sebagai salah satu wujud kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan keluarga pekerjanya. Adapun jaminan keluarga lain seperti santunan menikah pertama kali, santunan
46
melahirkan karyawan/istri karyawan, santunan anak khitan/sunatan/pembaptisan anak karyawan, santunan anggota dalam satu rumah meninggal dunia, santunan kematian orangtua/mertua, santunan kematian istri, anak atau suami, santunan perkawinan anak, pinjaman/hutang, santunan jika pekerja ditahan yang tertera dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak semua dipenuhi oleh CV. Mekar Plastik Industri kepada para pekerjanya. Perusahaan hanya memberikan jaminan lain seperti santunan menikah, santunan anggota keluarga meninggal, santunan istri/anak karyawan, itupun tidak sepenuhnya diberikan, harus melalui beberapa keputusan dari pihak perusahaan. Sebagian besar sumbangan yang seharusnya diberikan oleh perusahaan oleh pekerja, biasanya diberikan oleh teman-teman kerjanya sendiri berupa sumbangan sukarela, bukan dari perusahaan, walaupun hak-hak jaminan keluarga seperti yang disebutkan di atas, tertera dalam Peraturan Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri. Dalam hal ini perusahaan belum memenuhi hak-hak pekerja dan kewajiban pengusaha sebagaimana yang tercantum pada undang-undang dan peraturan perusahaan. Untuk Tunjangan Hari Raya diberikan 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya, dan itu berlaku untuk pekerja yang berstatus pekerja tetap, sedangkan untuk pekerja harian lepas, seharusnya tidak perlu khawatir, karena menurut Peraturan Perusahaan Bab IX pasal 31 mengenai tunjangan, tertulis:
“ Bagi karyawan yang telah melewati masa percobaan tetapi belum memiliki masa kerja (satu) tahun, besarnya THR dihitung secara proporsional.....”
Pernyataan tersebut seharusnya dapat menjadi solusi bagi pekerja yang berstatus harian lepas untuk mendapatkan tunjangan hari raya, namun nyatanya mereka tidak mendapat tunjangan tersebut dan jaminan yang lain. Mereka hanya mengharapkan belas kasih pihak perusahaan atau teman-temannya yang mampu untuk memberikan mereka bantuan saat hari raya itu tiba. Tidak ada sedikitpun pemberian barang ataupun uang untuk pekerja harian lepas untuk mereka merayakan hari raya, walaupun banyak diantara mereka yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, sedangkan menurut Peraturan Perusahaan, karyawan hanya
47
melewati masa kontrak tiga bulan, dan mendapatkan hak pengangkatan menjadi karyawan dan uang penghargaan masa kerja. Pada Tabel 10 ditunjukkan komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin dan jaminan keluarga yang diperoleh.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jaminan Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin Jaminan Keluarga
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Baik
0
0
0
0
Tidak Baik
30
100%
30
100%
Total
30
100%
30
100%
Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa tidak ada pekerja yang mendapatkan jaminan keluarga yang baik. Walaupun ada beberapa jaminan keluarga yang diberikan kepada pekerja, tak mencapai setengah dari keseluruhan jaminan yang ada diberikan oleh perusahaan kepada pekerja. Peneliti pun mencoba membandingkan komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin, status pekerja, dan jaminan keluarga yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Pekerja, dan Jaminan Keluarga, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jaminan Keluarga Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Status Pekerja
Baik
Tidak Baik
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Pekerja Tetap
0
0
19
100
Harian Lepas
0
0
11
100
Pekerja Tetap
0
0
14
100
Harian Lepas
0
0
16
100
48
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11 tentang jaminan keluarga pekerja berdasarkan jenis kelamin dan status pekerja, 100% responden baik pekerja lakilaki dan pekerja perempuan yang berstatus harian lepas atau pekerja tetap, tidak mendapatkan fasilitas dan pelayanan jaminan keluarga yang baik. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpedulian perusahaan terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan terjadinya penyimpangan Peraturan Perusahaan yang telah dibuat dan disepakati bersama antara pihak-pihak terkait lainnya. Jika pun ada jaminan keluarga yang diberikan, biasanya berupa pinjaman atau pemberian hutang dari perusahaan kepada pekerja yang birokrasinya sulit, sehingga pekerja pun malas atau enggan untuk meminjam ke perusahaan. Santunan-santunan seperti santunan anggota keluarga meninggal yang dijanjikan perusahaan pun sulit didapatkan, biasanya santunan yang diterima pekerja pada kejadian seperti itu berasal dari sumbangan sesama pekerja lainnya yang sifatnya sukarela dan tidak mengikat.
Ikhtisar CV. Mekar Plastik Industri melakukan pembagian kerja secara seksual berdasarkan dari kemampuan dan keahliannya dalam mengoperasikan alat-alat atau mesin di pabrik. Namun tak lepas dari itu, pihak pengusaha juga masih memiliki bias gender yang tinggi yang melekat. Perempuan ditempatkan pada bagian packing yang ringan dan tidak membutuhkan banyak tenaga karena dianggap tidak mampu mengoperasikan mesin-mesin berat, dan laki-laki pada bagian bagian service mesin, gudang mesin, dan ekspedisi. Pekerjaan tersebut dianggap kerja kasar dan memerlukan tenaga yang besar dan kuat serta ketangkasan yang cepat. Pembagian kerja secara seksual ini tergolong marginalisation as concentration on the margins of the labour market dan marginalisation as feminisation or segregation. Status kerja pekerja adalah tingkat kerentanan pekerja untuk dikeluarkan jika terjadi pemecatan. Sebagian besar pekerja laki-laki di CV. Mekar Plastik Industri berstatus pekerja tetap, sedangkan perempuan sebagian besar berstatus pekerja harian lepas. Kondisi kerja ini belum baik karena masih terjadi ketimpangan/marginalisasi. Marginalisasi ini tergolong marginalisation as concentration on the margins of the labour market.
49
Dalam hal pengupahan, CV. Mekar Plastik Industri dianggap belum memenuhi syarat Upah Minimum Regional sebesar Rp.1.000.950,- untuk wilayah Kabupaten Bandung. Upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja laki-laki jumlahnya lebih besar daripada upah pekerja perempuan. Untuk pekerja tetap, pekerja laki-laki dan perempuan besarnya upah sama, namun untuk pekerja harian lepas, upah pekerja laki-laki dan perempuan dibedakan. Hal ini dikarenakan pekerja laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan membutuhkan tenaga yang lebih banyak dalam proses produksi dibandingkan perempuan, sehingga upahnya diberikan lebih besar oleh perusahaan. Marginalisasi ini tergolong marginalisation as economic inequality dan marginalisation as feminisation or segregation. Pada perusahaan CV. Mekar Plastik Industri, jaminan kerja yang diberikan telah cukup baik, namun terdapat perbedaan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja yang lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, dan dipengaruhi juga oleh status pekerja itu sendiri. Marginalisasi ini tergolong marginalisation as economic inequality. Selain pemberian jaminan kerja, perusahaan juga memberikan jaminan keluarga bagi pekerja yang statusnya pekerja tetap, yaitu Tunjangan Hari Raya, santunan melahirkan karyawan (untuk pekerja perempuan), dan pemberian jaminan hutang, namun tidak ada pekerja yang mendapatkan jaminan keluarga yang baik secara keseluruhan. Sama halnya seperti jaminan kerja, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan, misalnya saja dalam hal pengobatan/kesehatan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan dalam peraturan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki memiliki tanggungan hidup yang banyak sebagai kepala keluarga, sedangkan perempuan dianggap bekerja tambahan untuk keluarga, oleh karena itu juga perempuan banyak yang ditempatkan pada posisi pekerjaan yang rentan (harian lepas) dibandingkan dengan laki-laki. Marginalisasi ini tergolong marginalisation as economic inequality.
50
Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik secara umum belum baik, karena banyak faktor yang mempengaruhinya seperti adanya stereotip gender dan pembagian kerja secara seksual, dan kurangnya pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang perlu dilihat lagi hubungannya secara nyata. Namun, sudah dapat diduga bahwa dari beberapa alat ukur kondisi kerja seperti status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga, perempuan sudah berada pada posisi yang termarjinalisasikan (mengalami marginalisasi). Marginalisasi ini menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki dalam sektor publik.
51
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI 6.1
Stereotip Gender dan Pembagian Kerja secara Seksual Stereotip masyarakat tentang gender adalah pelabelan suatu sifat gender
yang sudah melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Stereotip gender dalam masyarakat, memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, bersifat melayani, tergantung, emosional, dan tidak bisa bekerja kasar seperti mengangkat barang berat, sedangkan laki-laki dianggap sebagai makhluk yang berjiwa pemimpin, mandiri, kuat, dan rasional. Stereotip yang berkembang di masyarakat akan memunculkan dampak bias gender yang cukup besar, dan kemudian menimbulkan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam hal pembagian kerja yang dilakukan oleh CV. Mekar Plastik Industri kepada pekerjanya. Perusahaan CV. Mekar Plastik Industri melakukan pembagian kerja secara seksual pada pekerja berdasarkan dari kemampuan dan keahliannya dalam mengoperasikan alat-alat atau mesin di pabrik. Namun tak lepas dari itu, pihak pengusaha juga masih memiliki bias gender yang cukup tinggi sama dengan stereotip yang melekat di masyarakat. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan pada bagian operator packing yang ringan dan tidak membutuhkan banyak tenaga karena dianggap tidak mampu mengoperasikan mesin-mesin berat, dan laki-laki ditempatkan pada bagian operator mesin berat. Pada Tabel 12 ditunjukkan seberapa besar stereotip gender yang masih melekat pada pekerja dilihat dari jenis kelamin dan jenis pekerjaan pekerja CV. Mekar Plastik Industri. Berdasarkan Tabel 12 dapat diidentifikasi bahwa bias gender pekerja CV. Mekar Plastik Industri adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penempatan 28 orang perempuan yang memiliki bias gender tinggi (93,3% dari total pekerja perempuan) sebagai operator packing dan 25 orang laki-laki yang memiliki bias gender tinggi (83,3% dari total pekerja laki-laki) sebagai operator mesin, serta 2 orang pekerja perempuan lainnya yang memiliki bias gender rendah (100% dari total pekerja perempuan) pada jenis pekerjaan operator.
52
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Stereotip Gender, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Stereotip Gender Jenis Kelamin
Laki-laki
Jenis Pekerjaan
Bias gender rendah
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Operator Mesin
25
83,3
0
0
Operator Packing
5
16,7
0
0
30
100
0
0
Operator Mesin
0
0
0
0
Operator Packing
28
93,3
2
6,7
28
93,3
2
6,7
Total Perempuan
Bias gender tinggi
Total
Sebagian besar pekerja memiliki bias gender yang tinggi karena menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan tidak cocok bekerja di sektor publik dibandingkan dengan laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga pencari nafkah yang kuat dan pemimpin. Hal ini membuktikan bahwa pandangan masyarakat khususnya pekerja masih sangat didominasi oleh akar budaya sosial maupun kultural mengenai gender. Adapun perempuan yang memiliki bias gender rendah beranggapan bahwa perempuan boleh saja bekerja membantu suami dan tidak harus memiliki sifat yang manja dan lemah lembut. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang karyawati bernama IMT, 38 tahun, CV. Mekar Plastik Industri berikut: “Perempuan jaman sekarang mah ga boleh manja neng..kalo manjamanja aja ga bisa makan dong..gaji suami paling berapa sih? ga cukup buat makan dan keperluan lain sebulan....” (IMT, 38 tahun, Karyawati CV. Mekar Plastik Industri)
Penempatan posisi jenis pekerjaan ini, dipertimbangkan juga oleh pihak perusahaan berdasarkan stereotip gender pihak perusahaan dan pengalaman. Pihak perusahaan menganggap bahwa perempuan tidak cocok untuk bekerja kasar dan mengendalikan mesin-mesin berat seperti yang dilakukan laki-laki. Pekerjaan
53
operator mesin adalah pekerjaan yang membutuhkan tenaga kuat, kasar, dan tangkas seperti yang dimiliki laki-laki, sedangkan pekerjaan operator packing hanya membutuhkan keterampilan dan ketelitian seperti yang dimiliki perempuan. Pembagian jenis pekerjaan secara seksual yang didasarkan pada streotip gender ini mengakibatkan terjadinya marginalisasi perempuan atau peminggiran, dan biasanya perempuan menjadi korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan adanya pembagian kerja secara seksual tersebut, perempuan sudah berada dalam posisi yang termarjinalisasikan (mengalami marginalisasi-ketidakadilan gender) dan tidak dapat melakukan apa-apa untuk mendapatkan haknya secara penuh sesuai dengan yang peraturan perusahaan dan undnag-undang tentang ketenagakerjaan karena takut dipecat. Marginalisasi perempuan dalam perusahaan menjadi lebih kuat dengan kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, sehingga perempuan menerima ketimpangan yang tidak dapat dielakkan. Pada Tabel 13 ditunjukkan komposisi jumlah responden pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan jenis kelamin, status pekerja, dan jenis pekerjaan. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Status Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Pekerjaan Jenis Kelamin
Laki-laki
Status Pekerja
Total
Operator Packing
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Pekerja Tetap
19
63,3
0
0
Harian Lepas
6
20,0
5
16,7
25
83,3
5
16,7
Pekerja Tetap
0
0
14
46,7
Harian Lepas
0
0
16
53,3
0
0
30
100
Total Perempuan
Operator Mesin
Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja laki-laki dengan status pekerja tetap (63,3%) lebih tinggi lebih banyak daripada jumlah pekerja perempuan yang berstatus pekerja tetap (46,7%). Hal ini dipengaruhi juga oleh adanya pembagian kerja secara seksual yang dilakukan oleh perusahaan
54
kepada pekerja. Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa persentase jumlah pekerja perempuan ditempatkan pada bagian operator packing dengan tingkat kerentanan dipecat yang tinggi (harian lepas) lebih besar (100%) dibandingkan laki-laki yang hanya 16,7%. Untuk dapat melihat kondisi kerja, tidak hanya perlu diperhatikan stereotip gender dan pembagian kerja secara seksualnya saja, namun juga perlu dilihat status pekerja tersebut dalam perusahaan. Pada Tabel 14 disajikan data komposisi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin, status pekerja, dan kondisi kerja. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Kerja, dan Kondisi Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Kondisi Kerja Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Status Pekerja
Baik
Tidak Baik
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Pekerja Tetap
14
73,7
5
26,3
19 (100%)
Pekerja Harian Lepas
0
0
11
100
11 (100%)
Pekerja Tetap
14
100
0
0
14 (100%)
Pekerja Harian Lepas
0
0
16
100
16 (100%)
Berdasarkan pada Tabel 14 dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja lakilaki dan perempuan yang berstatus pekerja tetap memiliki proporsi yang tetap dengan kondisi kerja yang baik, namun jika dibandingkan dengan yang berstatus harian lepas, pekerja perempuan memiliki proporsi yang lebih banyak dibandingkan pekerja laki-laki yang berstatus harian lepas, yaitu 100% secara keseluruhan pekerja perempuan. Ketidakadilan gender ini terlihat pada perbedaan upah antara pekerja harian lepas laki-laki dan pekerja harian lepas perempuan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja tetap sebesar Rp.31.000,- per hari dengan jumlah yang sama antara pekerja laki-laki dan perempuan, namun upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja harian lepas laki-laki sebesar Rp.31.000,- per hari dan Rp.25.000,- per
55
hari untuk pekerja perempuan. Perbedaan ini juga terlihat pada pemberian jaminan kerja dari perusahaan yang diberikan berdasarkan status kerja pekerja tersebut, dan ini didasarkan juga oleh adanya stereotip gender yang memandang bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab dan jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar dibandingka pekerja perempuan. Jika disimpulkan secara umum dan logis, hubungan antara stereotip gender, pembagian kerja secara seksual, dan status pekerja saling berpengaruh, namun jika diuji, pembagian kerja secara seksual tidak memiliki hubungan langsung dengan kondisi kerja pekerja itu sendiri karena memiliki nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,228>0,05 level of significant (α) sehingga Ho diterima (pembagian kerja secara seksual tidak berkorelasi dengan kondisi kerja). Jika dilakukan pengujian korelasi antara status pekerja dengan kondisi kerja, terlihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,000<0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima (pembagian kerja secara seksual berkorelasi dengan kondisi kerja) dengan keeratan korelasi yang sangat kuat sebesar 0,846, namun perlu diingat bahwa status pekerja (pekerja tetap atau harian lepas) tetap dipengaruhi oleh adanya stereotip gender dan pembagian secara seksual. Dengan adanya stereotip gender antara pekerja dan perusahaan yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat bekerja kasar, sebagian besar pekerja perempuan ditempatkan pada pekerjaan di bagian operator packing, dengan status pekerja yang rentan akan tindak pemecatan (harian lepas) karena pekerjaan tersebut dianggap sepele oleh pihak perusahaan, sedangkan laki-laki sebagian besar ditempatkan pada pekerjaan di bagian mesin yang tidak rentan terhadap tindak pemecatan (pekerja tetap) karena dianggap cocok bekerja di bagian tersebut yang membutuhkan tenaga kasar dan kuat seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Jadi, sudah jelas bahwa yang berpengaruh pada terhadap kondisi kerja pekerja itu adalah status pekerja, yang juga merupakan alat ukur kondisi kerja pekerja dalam perusahaan, disertai dengan pengaruh stereotip gender dan pembagian kerja secara seksual.
56
6.2
Kurangnya Pemahaman Pekerja terhadap Peraturan Perusahaan Kurangnya pemahaman pekerja terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai
pekerja dalam perusahaan telah menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan kondisi kerja yang nyata antara pekerja laki-laki dan perempuan dalam perusahaan. Marginalisasi ini nampak dalam hal ketimpangan upah, status pekerja, jaminan kerja, dan jaminan keluarga, yang merupakan variabel-variabel kondisi kerja pekerja dalam perusahaan yang lebih jauh lagi akan berpengaruh pada kesejahteraan keluarga pekerja pabrik. Tingkat pemahaman pekerja terhadap Peraturan Perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dihitung berdasarkan tingkat pengetahuan pekerja dengan tingkat pelaksanaan pekerja terhadap tentang Peraturan Perusahaan. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar hubungan pemahaman pekerja akan peraturan perusahaan di tempat mereka bekerja yang terhadap kondisi kerja. Pada Tabel 15 dapat dilihat hubungan dan komposisi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pemahaman, dan kondisi kerja pekerja. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Pemahaman Pekerja Terhadap Peraturan Perusahaan, dan Kondisi Kerja, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Jenis Kelamin
Tingkat Pemahaman Pekerja
Kondisi Kerja Baik
Tidak Baik
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Paham
12
63,16
7
36,84
19 (100%)
Tidak Paham
2
18,18
9
81,81
11 (100%)
Paham
10
66,67
5
33,33
15 (100%)
Tidak Paham
4
26,67
11
73,33
15 (100%)
Laki-laki
Perempuan
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat sebanyak 63,16% pekerja laki-laki yang paham akan peraturan perusahaan yang memuat hak dan kewajiban mereka dengan kondisi kerja yang baik, 81,81% pekerja laki-laki yang tidak paham akan
57
peraturan tersebut dengan kondisi kerja yang tidak baik. Mengenai tingkat pemahaman, jumlah pekerja perempuan yang tidak paham lebih banyak dibandingkan dengan yang paham. Jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki, persentase jumlah laki-laki yang paham dan memiliki kondisi kerja yang baik lebih besar daripada pekerja perempuan. Hal ini disebabkan oleh pola pikir perempuan yang biasa menerima apa adanya atas kondisi kerja yang mereka terima (stereotip gender). Mereka tidak memiliki keberanian untuk meminta hak mereka secara penuh dan terang-terangan kepada pihak perusahaan karena status kerja mereka yang rentan dipecat sebagai operator packing, berbeda dengan pekerja laki-laki yang lebih berani dan terbuka dalam meminta hak-haknya kepada pihak perusahaan karena status kerjanya yang lebih kuat. Pada Tabel 15 juga dapat dilihat hubungan atau korelasi antara tingkat pemahaman pekerja akan peraturan perusahaan yang memuat hak dan kewajiban dengan kondisi kerja. Data menunjukkan ada 22 pekerja laki-laki dan perempuan yang paham dan memiliki kondisi kerja yang baik, dan hanya enam pekerja yang tidak paham memiliki kondisi kerja yang baik. Begitupun sebaliknya, terdapat 20 pekerja yang tidak paham memiliki kondisi kerja tidak baik, dan 12 orang pekerja yang paham memiliki kondisi kerja yang tidak baik. Data tersebut membuktikan adanya hubungan silang berhubungan antara tingkat pemahaman dengan kondisi kerja. Semakin tinggi pemahaman pekerja terhadap Peraturan Perusahaan dan terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, maka semakin baik pula kondisi kerjanya, sedangkan semakin rendah tingkat pemahaman pekerja terhadap Peraturan Perusahaan dan terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, semakin tidak baik kondisi kerjanya. Jika dilakukan pengujian korelasi dengan Uji Korelasi Spearman antara status pekerja dengan kondisi kerja, terlihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,001<0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima (tingkat pemahaman pekerja berkorelasi dengan kondisi kerja) dengan keeratan korelasi yang kuat sebesar 0,413.
58
Ikhtisar Pada penelitian di CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung tidak ada hubungan langsung antara stereotip gender dengan kondisi kerja (tidak diuji), namun stereotip gender mempengaruhi adanya pembagian kerja secara seksual yang dilakukan pihak perusahaan, yang nantinya pembagian kerja tersebut akan mempengaruhi status pekerja itu sendiri. Status pekerja adalah tingkat kerentanan pekerja atas tindak pemecatan berdasarkan jenis pekerjaan (pembagian kerja) yang termasuk dalam alat ukur kondisi kerja. Dapat disimpulkan bahwa stereotip gender, pembagian kerja secara seksual, dan kondisi kerja saling saling berpengaruh, namun jika diuji, pembagian kerja secara seksual tidak memiliki hubungan langsung dengan kondisi kerja pekerja itu sendiri Selain stereotip gender, ada faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi kerja pekerja dalam perusahaan, yaitu tingkat pemahaman pekerja akan Peraturan Perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Tingkat pemahaman pekerja memiliki hubungan nyata dengan nilai keeratan korelasi yang kuat sebesar 0,413. Semakin tinggi pemahaman pekerja terhadap Peraturan Perusahaan dan terhadap kewajiban dan hak-haknya sebagai pekerja, pekerja dapat melakukan kewajibannya dengan baik dan meminta haknya secara penuh kepada pihak perusahaan, sehingga semakin baik kondisi kerjanya.
59
BAB VII KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA PABRIK CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI
Kesejahteraan keluarga pekerja adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. Keluarga pekerja di CV. Mekar Plastik Industri secara umum belum sejahtera. Kesejahteraan keluarga pekerja pabrik dapat diukur melalui kondisi infrastruktur perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Namun diduga ada faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga. Faktor-faktor ini akan dibahas lebih dalam pada sub bab berikut.
7.1
Perumahan Perumahan adalah tingkatan keadaan infrastruktur rumah pekerja yang
menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari status rumah, keadaan rumah dan alat penerangan. Semakin tinggi keadaan infrastruktur rumah pekerja maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Pada Tabel 16 disajikan data kondisi infrastuktur rumah pekerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja yang akan dibandingkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa semakin baik keadaan infrastruktur rumah pekerja, semakin sejahtera juga tingkat kesejahteraan keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada adanya hubungan antara perumahan dengan tingkat kesejahteraan yang dihitung dengan Uji Korelasi Spearman dengan melihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,000<0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (keadaan infrastruktur perumahan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja) dengan nilai keeratan korelasi sebesar 0,507 yaitu korelasi tersebut kuat.
60
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kondisi Perumahan, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Kondisi Perumahan
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Total
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Baik
7
70
3
30
10 (100%)
Tidak Baik
2
10
18
80
20 (100%)
Baik
13
86,7
2
13,3
15 (100%)
Tidak Baik
8
53,3
7
46,7
15 (100%)
Laki-laki
Perempuan
Tabel 16 menunjukkan persentase pekerja perempuan yang memiliki keadaan infrastruktur rumah yang baik dan sejahtera sebesar 86,7% lebih tinggi daripada persentase pekerja laki-laki yang memiliki keadaan infrastruktur rumah yang baik dan sejahtera (70%). Hal ini tentu sangat berlawanan dengan kondisi kerja pekerja perempuan yang buruk (tidak baik), namun ternyata tingginya infrastruktur perumahan keluarga pekerja perempuan disebabkan karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah untuk memperbaiki keadaan infrastruktur perumahan mereka, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga turut bekerja mencari nafkah keluarga. Ini membuktikan bahwa ternyata kondisi kerja yang diberikan perusahaan belum dapat memberikan kesejahteraan baik bagi pekerja perempuan maupun pekerja laki-laki.
7.2
Kesehatan Kesehatan keluarga adalah adalah status kesehatan dan taraf gizi keluarga
yang antara lain diukur melalui angka kesakitan, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan salah satu variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Semakin
61
baik kesehatan keluarga pekerja maka semakin sejahtera keluarga pekerja. Pada Tabel 17 disajikan kondisi kesehatan keluarga pekerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja yang dibandingkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kondisi Kesehatan Keluarga, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Kondisi Perumahan
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Total
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Laki-laki
Perempuan
Baik
9
30
21
70
30 (100%)
Tidak Baik
0
0
0
0
0
Baik
9
30
21
70
30 (100%)
Tidak Baik
0
0
0
0
0
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa kondisi kesehatan keluarga pekerja sudah baik karena lebih dari 50% keluarga baik laki-laki maupun perempuan memiliki kondisi kesehatan yang baik. Itu berarti lebih dari 50% karyawan yang menjadi responden sakit <5 kali dalam satu tahun, dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke medis atau dokter. Pada penelitian ini, hampir keseluruhan pekerja memiliki kondisi kesehatan yang baik, walaupun pekerja tersebut tidak sejahtera. Perbaikan kesehatan pekerja ini didukung oleh perusahaan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di POLIKLINIK BINA SEHAT yang dapat diakses oleh pekerja laki-laki beserta istri dan anaknya, namun tidak untuk suami atau anak dari pekerja perempuan. Perusahaan tidak menanggung biaya pengobatan/perawatan bagi pekerja
perempuan
atau
istri
pekerja
perempuan
yang
memeriksakan
kehamilannya dan untuk biaya bersalin. Perusahaan hanya menyediakan obatobatan ringan untuk tindakan pertolongan pertama, dan untuk pengobatan tingkat lanjut perusahaan memberikan bantuan maksimal 80% dari total biaya perawatan
62
di Rumah Sakit. Pembedaan akses kesehatan ini termasuk dalam marginalisation as economic inequality bagi pekerja perempuan. Jika dilihat dari perbedaan akses kesehatan antara pekerja laki-laki dan perempuan, pekerja perempuan tidak memiliki akses terhadap fasilitas pengobatan yang cukup untuk keluarganya, namun keadaan kesehatannya tetap saja baik. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata pekerja perempuan dan keluarganya tersebut masih mampu melakukan pengobatan di medis/dokter karena adanya tambahan pendapatan dari pihak suami yang bekerja. Ini berarti kondisi kerja yang diberikan perusahaan kepada pekerja perempuan, tidak terlalu berpengaruh pada kondisi kesehatan keluarga pekerja, khususnya keluarga pekerja perempuan.
7.3
Pendidikan Anak Pendidikan anak diukur dari banyaknya anak pada usia sekolah yang masih
sekolah dan tidak sekolah. Semakin banyak anak pada usia sekolah yang masih sekolah maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, namun pendidikan anak ini juga diukur dari banyaknya anak yang berhenti sekolah. Semakin banyak anak yang berhenti sekolah, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga pekerja semakin tidak baik. Pada Tabel 18 ditunjukkan kondisi pendidikan anak pekerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja yang dibandingkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan Anak, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Pendidikan Anak
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Laki-laki Perempuan
Total Responden Persentase
Baik
8
38,1
13
61,9
21 (100%)
Tidak Baik
1
11,1
8
88,9
9 (100%)
Baik
19
70,37
8
29,63
27 (100%)
Tidak Baik
2
66,7
1
33,3
3 (100%)
63
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa kondisi pendidikan anak pekerja sudah baik karena lebih dari 50% keluarga baik laki-laki maupun perempuan memiliki kondisi pendidikan anak yang baik, namun hal ini tidak dapat dijadikan variabel pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja karena sebagian besar anak-anak pekerja tersebut berada pada program pendidikan gratis. Pendidikan anak ini dihitung berdasarkan banyaknya anak yang melanjutkan sekolah pada usia sekolah tertentu lebih banyak daripada anak yang tidak sekolah karena DO, berhenti, ataupun bekerja. Berdasarkan hasil Uji Korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara pendidikan anak dengan tingkat kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dengan melihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,054>0,05 level of significant (α) sehingga Ho diterima dan Ha ditolak (pendidikan anak tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja). Hal ini berlawanan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik pendidikan anak, maka semakin baik tingkat kesejahteraaannya, walaupun pada kenyataannya banyak keluarga pekerja yang tidak sejahtera tetapi tetap memiliki pendidikan anak yang baik. Hal ini tak lepas dari adanya campur tangan pemerintah yang memberikan fasilitas sekolah gratis berupa Pendidikan Dasar 9 Tahun secara gratis, dan berdasarkan data di lapangan, ternyata sebagian besar anak pekerja berusia sekitar 7 tahun-16 tahun (masa usia sekolah SD sampai SMP) sehingga mereka dapat menikmati program pendidikan gratis ini. Dengan adanya bantuan pendidikan dari pemerintah tersebut, pekerja merasa terbantu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya khusus yang besar untuk iuran sekolah ataupun buku-buku pelajaran karena ada subsidi pemerintah, dan anak-anaknya pun termotivasi untuk memanfaatkan peluang sekolah gratis ini sebagai dasar pendidikan mereka untuk masa depannya kemudian hari. Berbeda halnya saat anak tersebut harus memasuki sekolah SMA setelah lulus dari SMP. Setelah lulus SMP dari Program Pendidikan Gratis 9 Tahun tersebut, mereka tidak mendapatkan program sekolah gratis lagi karena belum ada program dari pemerintah yang memfasilitasi. Sebagian dari anak mereka ada yang dapat meneruskan pendidikan anaknya hingga tahap Sekolah Lanjutan Tingkat
64
Atas (SLTA), namun ternyata lebih banyak yang memilih berhenti melanjutkan sekolah ke SLTA lalu bekerja di pabrik seperti kedua orangtuanya karena merasa malas, buang-buang waktu dan uang saja. Banyak diantara mereka menjadi pekerja anak di beberapa pabrik tertentu yang memang membuka peluang untuk anak-anak di bawah umur bekerja, walaupun tak lebih dari seorang buruh serabutan biasa yang tak punya jaminan masa depan bagi si anak itu sendiri.
7.4
Pola Konsumsi Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian pengeluaran uang dalam
keluarga untuk kebutuhan akan makanan dibandingkan dengan konsumsi non makanan. Pola konsumsi merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Semakin tinggi pola konsumsi makanan dibandingkan non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. Pada Tabel 19 ditunjukkan pola konsumsi dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja yang dibandingkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pola Konsumsi, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Pola Konsumsi
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Total Responden
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Persentase
Baik
1
100
0
0
1 (100%)
Tidak Baik
8
27,6
21
72,4
29 (100%)
Baik
6
100
0
0
6 (100%)
Tidak Baik
15
62,5
9
37,5
24 (100%)
Berdasarkan Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi keluarga pekerja belum baik karena kurang dari 50% keluarga baik laki-laki maupun perempuan memiliki pola konsumsi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah keluarga pekerja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki pola konsumsi baik, jauh lebih sedikit daripada jumlah keluarga pekerja yang memiliki pola konsumsi tidak baik.
65
Pola konsumsi keluarga ini dihitung dengan membandingkan persentase konsumsi makanan dengan konsumsi non makanan keluarga pekerja. Bila konsumsi keluarga terhadap non makanan lebih besar daripada konsumsi makanan, maka kondisi pola makan keluarga pekerja baik, begitupun sebaliknya, jika konsumsi keluarga terhadap makanan lebih besar daripada konsumsi non makanan, maka kondisi pola makan keluarga pekerja tidak baik. Pada keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri, sebagian besar mengkonsumsi makanan pokok seperti beras (raskin), dengan menu tambahan seadanya seperti sayur, tahu, tempe, dan telur. Mereka jarang mengkonsumsi ayam, ikan, dan susu karena harganya mahal. Keadaan perekonomian yang semakin sulit dan harga-harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, membuat mereka semakin tak bisa memenuhi kebutuhan gizi yang baik layaknya empat sehat lima sempurna, karena gaji/upah yang mereka dapat tidak mencukupi yang mereka butuhkan. Jika diuji dengan Uji Korelasi Spearman, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola konsumsi dengan tingkat kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dengan melihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,004< 0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (pola konsumsi berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja), dengan nilai korelasi yang lemah sebesar 0,363. Ini berarti dugaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi pola konsumsi keluarga terhadap makanan dibandingakn non makanan (kondisi tidak baik), maka semakin tidak sejahtera keluarga tersebut adalah benar.
7.5
Kepemilikan Aset Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki
sebuah keluarga berupa barang mahal dan barang yang tidak mahal. Barang mahal seperti televisi, kulkas, komputer, parabola, handphone, DVD/VCD player dan kendaraan bermotor (sepeda motor). Barang tidak mahal seperti : kipas angin, telepon, rice cooker, radiotape, setrika. Kepemilikan aset merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga dan dapat dilihat dari ada tidaknya aset. Semakin banyak barang yang dimiliki maka semakin tinggi kesejahteraan keluarga pekerja. Pada Tabel 20 ditunjukkan kepemilikan aset dan kesejahteraan keluarga pekerja yang dibandingkan antara pekerja laki-laki dan perempuan.
66
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Kepemilikan Aset, dan Tingkat Kesejahteraan, CV.Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Kepemilikan Aset
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Laki-laki Perempuan
Total Responden Persentase
Baik
6
75
2
25
8 (100%)
Tidak Baik
3
13,63
19
86,37
22 (100%)
Baik
18
100
0
0
18 (100%)
Tidak Baik
3
25
9
75
12 (100%)
Berdasarkan Tabel 20 dapat disimpulkan bahwa pekerja perempuan yang memiliki aset baik dan sejahtera lebih banyak daripada keluarga pekerja laki-laki. Hal ini berlawanan dengan kondisi kerja pekerja perempuan yang cenderung tidak baik, namun karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah dan dapat digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan rumahtangga, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga turut bekerja mencari nafkah keluarga, sehingga uang mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja. Untuk melihat seberapa besar hubungan antara kepemilikan aset dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, maka dilakukan uji korelasi dengan Uji Korelasi Spearman. Berdasarkan penghitungan uji korelasi, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepemilikan aset dengan tingkat kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dengan melihat nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,000< 0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (kepemilikan aset berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja), dengan nilai korelasi yang sangat kuat sebesar 0,740. Ini berarti bahwa semakin banyak aset yang dimiliki keluarga pekerja maka, tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut semakin meningkat.
67
7.6
Hubungan Kondisi Kerja dan Kesejahteraan Keluarga Kondisi kerja pekerja adalah perlakuan perusahaan kepada pekerja yang
meliputi status pekerja, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja pekerja dalam perusahaan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarganya. Diduga bahwa semakin baik kondisi kerja pekerja maka maka semakin baik pula tingkat kesejahteraan keluarganya. Hubungan ini dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Kesejahteraan Keluarga Pekerja
Kondisi Kerja Total
Total
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Baik
16 (57,1%)
12 (42,9%)
28 (100%)
Tidak Baik
14 (43,8%)
18 (56,3%)
32 (100%)
30
30
60 (100%)
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat dari tabulasi silang bahwa kondisi kerja dengan tingkat kesejahteraan memiliki hubungan yang positif. Jumlah pekerja yang memiliki kondisi kerja baik dan memiliki tingkat kesejahteraan yang baik ada 57,1% dan pekerja yang memiliki kondisi kerja tidak baik dan memiliki tingkat kesejahteraan yang tidak baik ada 56,3%. Hubungan ini adalah positif bahwa semakin baik semakin baik kondisi kerja pekerja, maka semakin baik juga tingkat kesejahteraan yang didapatnya. Berdasarkan hasil Uji Korelasi Spearman, ditemukan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja di CV. Mekar Plastik Industri. Hal ini dapat dilihat dengan nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,309 > 0,05 level of significant (α) sehingga Ho diterima dan Ha ditolak (kondisi kerja pekerja tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja), namun tetap memiliki korelasi sebesar 0,134 walaupun sangat lemah keeratan korelasinya. Ada kemungkinan bahwa kesejahteraan keluarga pekerja dipengaruhi oleh faktor lain seperti jumlah pendapatan total dan jumlah tanggungan keluarga pekerja.
68
7.7
Pendapatan Total Keluarga Pendapatan adalah jumlah uang yang dihasilkan rumahtangga selama satu
bulan bekerja. Pendapatan dapat berupa bantuan dari orang yang tinggal bersama dalam satu rumahtangga. Cara pengukuran tinggi rendahnya tingkat pendapatan total keluarga ini berdasarkan jumlah kecukupan pemenuhan kebutuhan keluarga pekerja tersebut dalam sebulan, yaitu sebesar Rp.1.500.000,- Semakin tinggi pendapatan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin terpenuhi, maka semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan keluarga. Besarnya hubungan pendapatan total keluarga terhadap kesejahteraan keluarga pekerja berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendapatan Total Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Tingkat Kesejahteraan Jenis Kelamin
Pendapatan Total Keluarga
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Total
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Persentase Laki-laki
Perempuan
≥Rp.1.500.000,-
4
66,67
2
33,33
6 (100%)
5
20,83
19
79,17
24 (100%)
≥Rp.1.500.000,-
20
74,1
7
25,9
27 (100%)
1
33,33
2
66,67
3 (100%)
Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat jumlah pekerja perempuan yang memiliki pendapatan total keluarga lebih dari dari Rp.1500.000,- lebih banyak dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Keadaan seperti ini sangat berlawanan jika dilihat dari kondisi kerja perempuan yang cenderung berada pada posisi yang tidak baik dibandingkan pekerja laki-laki (termarjinalisasikan), namun dapat dikatakan logis karena hampir semua pekerja perempuan juga mendapatkan pendapatan tambahan dari suaminya yang bekerja, sementara hanya sedikit sekali pekerja laki-laki yang memiliki istri yang turut bekerja membantu mencari nafkah. Dari Tabel 22 dapat dilihat adanya hubungan positif bahwa semakin besar total pendapatan keluarga pekerja, maka semakin baik tingkat kesejahteraannya.
69
Data ini didukung dengan hasil Uji Korelasi Spearman dimana nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,000<0,05 level of significant (α) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak total pendapatan keluarga pekerja berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja) dengan nilai keeratan korelasi sebesar 0,503 yaitu korelasi tersebut kuat.
7.8
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga adalah orang yang hidupnya ditanggung oleh
kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumahtangga, termasuk kepala rumahtangga itu sendiri. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin tidak terpenuhi, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. Hubungan jumlah tanggungan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja dapat dilihat pada Tabel 23. di bawah ini. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga Pekerja, CV. Mekar Plastik Industri, 2009 Jumlah Tanggungan Keluarga
Kesejahteraan Keluarga Pekerja
Total
Sejahtera
Tidak Sejahtera
Sedikit
16 (80%)
4 (20%)
20 (100%)
Banyak
14 (35%)
26 (65%)
40 (100%)
30
30
60 (100%)
Total
Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat kesejahteraan memiliki hubungan yang positif. Pada pekerja yang memiliki jumlah tanggungan keluarga banyak, sebagian besar termasuk dalam kategori tidak sejahtera. sebaliknya, peda keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sedikit, sebagian bear termasuk dalam kategori keluarga sejahtera. Dengan demikian, terdapat hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dengan kesejahteraan keluarga pekerja. Ini berarti semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga, maka semakin baik tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Data ini didukung dengan hasil Uji Korelasi Spearman dimana nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,001 < 0,05 level of significant
70
(α) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (jumlah tanggungan keluarga berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja) dengan nilai keeratan korelasi sebesar 0,424 yaitu korelasi tersebut kuat.
Ikhtisar Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri secara umum sudah hampir sejahtera
baik
keluarga
pekerja
laki-laki
maupun
pekerja
perempuan.
Kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Keadaan infrastruktur perumahan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik secara umum. Sebagian besar perumahan yang berkondisi baik infrastrukturnya dimiliki oleh keluarga pekerja perempuan yang sejahtera. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja perempuan memiliki suami yang juga bekerja sehingga pendapatan mereka bertambah untuk memperbaiki keadaan infrastruktur perumahan mereka, sedangkan sebagian besar pekerja lakilaki jarang sekali yang memiliki istri yang juga turut bekerja mencari nafkah. Kondisi kesehatan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sudah baik karena baik keluarga pekerja laki-laki maupun keluarga pekerja perempuan memiliki kondisi kesehatan yang baik yaitu <5 kali sakit dalam satu tahun, dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke medis atau dokter, walaupun keadaan pekerja tersebut tidak sejahtera. Perbaikan kesehatan pekerja ini didukung oleh perusahaan dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di POLIKLINIK BINA SEHAT yang dapat diakses oleh pekerja laki-laki beserta istri dan anaknya, namun tidak untuk suami atau anak dari pekerja perempuan. Pembedaan akses kesehatan ini termasuk dalam marginalisation as economic inequality bagi pekerja perempuan. Kondisi pendidikan anak pekerja CV. Mekar Plastik Industri sudah baik karena lebih dari 50% keluarga baik laki-laki maupun perempuan memiliki kondisi pendidikan anak yang baik, namun hal ini tidak dapat dijadikan variabel pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja karena sebagian besar anak-anak pekerja tersebut berada pada program pendidikan gratis. Pola konsumsi
71
keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri belum baik karena sebagian besar keluarga baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan memiliki pola konsumsi makanan yang lebih tinggi daripada konsumsi non makanannya. Gaji yang mereka dapatkan tidak besar dan hanya cukup untuk biaya makan mereka sehari-hari, itu menandakan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan mereka masih rendah. Kepemilikan aset adalah banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga berupa barang mahal dan barang tidak mahal. Kepemilikan aset keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri lebih tinggi dibandingkan keluarga pekerja laki-laki. Tingginya kepemilikan aset pada keluarga pekerja perempuan disebabkan adanya uang tambahan untuk membeli barang-barang tersebut dari suami yang bekerja, sedangkan sebagian besar pekerja laki-laki jarang sekali yang memiliki istri yang juga turut bekerja mencari nafkah keluarga, sehingga uang mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan saja. Mengenai hubungan antara kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, dilakukan Uji Korelasi Spearman yang mendapatkan kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja di CV. Mekar Plastik Industri. Hal ini dapat dilihat dengan nilai p value pada kolom sig. (2 tailed) sebesar 0,309>0,05 level of significant (α) sehingga Ho diterima dan Ha ditolak (kondisi kerja pekerja tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja), namun tetap memiliki korelasi sebesar 0,134 walaupun sangat lemah keeratan korelasinya. Ada kemungkinan bahwa kesejahteraan keluarga pekerja dipengaruhi oleh faktor lain seperti jumlah pendapatan total dan jumlah tanggungan keluarga pekerja. Secara umum, tingkat pendapatan total keluarga CV. Mekar Plastik Industri sudah tinggi (≥Rp.1.500.000,-), namun tingkat pendapatan total keluarga pekerja perempuan CV. Mekar Plastik Industri yang tinggi (≥Rp.1.500.000,-) lebih banyak dibandingkan dengan total pendapatan total keluarga pekerja laki-laki yang sebagian besar rendah (
72
mencari nafkah tambahan. Tingkat pendapatan total keluarga berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja dengan nilai keeratan korelasi sebesar 0,503 yaitu korelasi tersebut kuat. Semakin tinggi tingkat pendapatan total keluarga pekerja, maka tingkat kesejahteraan keluarganya semakin meningkat. Keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri sebagian besar memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak. Berdasarkan penghitungan tabulasi silang, jumlah tanggungan keluarga memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja, berarti semakin sedikit jumlah tanggungan keluarga, maka semakin baik tingkat kesejahteraan keluarga pekerja tersebut. Data ini didukung dengan dilakukannya Uji Korelasi Spearman dengan nilai keeratan korelasi sebesar 0,424 yaitu korelasi tersebut kuat. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan keluarga dapat semakin tidak terpenuhi, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga pekerja.
73
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis kelamin merupakan pembeda utama antar pekerja CV. Mekar Plastik Industri yang mempengaruhi kondisi kerja pekerja dalam perusahaan tersebut agar dapat dilihat ketimpangan/ketidakadilan gender yang seperti apa yang menimpa tenaga kerja perempuan. 2. Ketidakadilan gender dan penyimpangan terhadap pekerja terlihat pada adanya perbedaan data jumlah pekerja CV. Mekar Plastik Industri berdasarkan status pekerja dengan fakta yang terjadi di lapangan. Pada data yang dimiliki perusahaan, tidak terdapat pekerja yang berstatus harian lepas, sedangkan berdasarkan fakta yang ada di lapangan, ternyata terdapat banyak sekali pekerja yang berstatus harian lepas, dan sebagian besar pekerja yang berstatus harian lepas tersebut adalah perempuan. Selain itu, perusahaan juga mengingkari akan adanya pengangakatan pekerja harian lepas menjadi pekerja tetap setelah menjalani kontrak selama 3 bulan kerja. Hal ini merupakan beberapa bentuk penyimpangan gender yang terlihat pada kasus CV. Mekar Plastik Industri. 3. Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik secara umum dikatakan belum baik. Terdapat perbedaan kondisi kerja pekerja berdasarkan jenis kelamin pekerja, seperti dalam hal berikut: a. CV. Mekar Plastik Industri melakukan pembagian kerja secara seksual berdasarkan dari kemampuan dan keahliannya dalam mengoperasikan alat atau mesin, disertai dengan bias gender yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada bagian packing dan laki-laki pada bagian bagian service mesin, gudang mesin, dan ekspedisi. (marginalisation as concentration on the margins of the labour market dan marginalisation as feminisation or segregation). b. Sebagian besar pekerja di CV. Mekar Plastik Industri berstatus
74
pekerja tetap, namun tampak bahwa jumlah pekerja laki-laki berstatus pekerja tetap lebih banyak dibandingkan perempuan, yang sebagian besar berstatus pekerja harian lepas. (marginalisation as exclusion from productive employment dan marginalisation as concentration on the margins of the labour market). c. Dalam hal pengupahan, CV. Mekar Plastik Industri memberikan upah yang besarnya sama kepada pekerja laki-laki dan perempuan yang berstatus pekerja tetap, namun untuk pekerja harian lepas, upah pekerja laki-laki lebih tinggi daripada pekerja perempuan. Hal ini karena anggapan laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan perempuan (marginalisation as economic inequality). d. Jaminan kerja yang diberikan perusahaan telah cukup baik, namun pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja yang lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan. Ketimpangan ini disebabkan karena
kurangnya
pemahaman
pekerja
terhadap
peraturan
perusahaan yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja. (marginalisation as economic inequality). e. Sama halnya seperti jaminan kerja, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa laki-laki memiliki tanggungan hidup yang banyak sebagai kepala keluarga (marginalisation as economic inequality). 4. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja pekerja di CV. Mekar Plastik Industri, yaitu: a. Tidak ada hubungan langsung antara stereotip gender dengan kondisi kerja, namun stereotip gender mempengaruhi pembagian kerja secara seksual yang dilakukan pihak perusahaan, dan itu mempengaruhi status pekerja dan kondisi pekerja tersebut dalam pabrik. b. Tingkat pemahaman pekerja terhadap peraturan perusahaan yang memuat kewajiban dan hak-hak pekerja dan pengusaha memiliki hubungan yang kuat dengan kondisi kerja. Semakin tinggi
75
pemahaman pekerja maka pekerja dapat melakukan kewajibannya dengan baik dan meminta haknya secara penuh kepada pihak perusahaan, sehingga semakin baik kondisi kerjanya. 5. Keluarga pekerja di CV. Mekar Plastik Industri secara umum belum sejahtera. Kesejahteraan keluarga pekerja pabrik dapat diukur melalui kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan anak, pola konsumsi, dan kepemilikan aset. Setelah melalui pengujian, kesejahteraan keluarga pekerja tidak memiliki hubungan dengan kondisi kerja, namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut, yaitu pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga. Berdasarkan hasil Uji Korelasi Spearman, pendapatan total dan jumlah tanggungan keluarga memiliki korelasi kuat dengan tingkat kesejahteraan keluarga. 6. Berdasarkan hasil Uji Korelasi Spearman dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja yang diberikan perusahaan kepada pekerja tidak terlalu membawa pengaruh yang besar terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pekerja. Setelah dilakukan pengujian variabel lain seperti pendapatan total keluarga dan jumlah tanggungan keluarga, ternyata dua faktor inilah yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kesejahteraan keluaraga pekerja. Ini berarti bahwa kondisi kerja pekerja dalam perusahaan belum dapat memberikan kesejahteraan yang berarti bagi keluarga pekerja, khususnya pekerja perempuan.
8.2
Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu diadakan perbaikan sistem pengupahan dan pembagian kerja perusahaan agar kondisi kerja pekerja dapat meningkat, khususnya pekerja perempuan. 2. Perlu ada tambahan pendapatan dari luar (selain upah kerja) untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga pekerja. 3. Perlu ada pembaruan Peraturan Perusahaan (PP) menjadi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk membangun hubungan industrial yang kondusif
76
(kepentingan bersama) antara pekerja dan pengusaha dengan cara mengkomunikasikan,
koordinasi,
musyawarah
segala
masalah
di
perusahaan. 4. Perlunya lebih menekankan bahwa pendidikan anak adalah penting. Anak adalah generasi penerus bangsa yang kelak akan membawa orang tuanya ke dalam kesuksesan dan kesejahteraan. 5. Perlu diadakan sosialisasi gender pada pekerja perempuan agar perempuan mampu untuk mempertahankan dan mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja dengan baik, seperti penyuluhan, sehingga tidak ada perempuan yang merasa termarjinalisasikan oleh adanya perbedaan jenis kelamin.
77
DAFTAR PUSTAKA
_________________. 2002. Keadaan Pekerja/Buruh/Karyawan Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. Faisal, Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Fakih, Mansoer. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hadiprakoso, Adji. 2005. Penguatan Peran Gender Dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin: Studi Kasus Kelompok Dasa Wisma Desa Sudagaran. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Hutagalung, Nurmala K., Mies Grijns dan Benyamin White. 1992. Wanita Sebagai Buruh. Proyek Penelitian Sektor Non Pertanian Pedesaan Jawa Barat. PSP-IPB. Lestari, Tri. 2005. Peranan Suami dalam Sosialisasi Anak pada Keluarga Migran Sirkuler Perempuan: Kasus Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Lu’lu. 2005. Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan: Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Muljono, Pudji. 2003. Bahan Ajar Metodologi Penelitian Sosial (Materi Kuliah). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Naibaho, Yunita Berliana. 2005. Peranan Perempuan Pekerja Sektor Informal dalam Sosialisasi Anak: Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Nurohmah, Nunung. 2003. Analisis Peran Tenaga Kerja Perempuan pada Kegiatan Persemaian: Studi Kasus Persemaian Acacia mangium di KPH Bogor. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Peraturan Perusahaan CV. Mekar 568/238/VIII/HIPK/PP/2009. Bandung.
Plastik
Industri
Nomor:
78
Prasetyaningsih, Nasyi’ah. 2004. Dimensi Gender dalam Agroforestry Kajian pada Komunitas Petani di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi JawaBarat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Rahima, Swara. 2004. Perempuan Bekerja, Dilemma Tak Berujung. http://www.or.id/SR/12-04/fokus-htm (diakses tanggal 15 Juli 2009) Rohmah, Eros Siti. 2006. Ideologi Gender dan Isu Ketimpangan Gender terhadap Pekerja Perempuan Pabrik Garmen: Kasus Kawasan Industri Nanggewer Mekar, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Safitri, Astri Sundari. 2006. Gender, Industri, dan Pengaruhnya terhadap Otonomi Perempuan dalam Pendidikan Anak: Kasus Pekerja Perempuan pada Industri Garment, di Kelurahan Cibuluh, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Sajogyo, Pudjiwati. 1983. Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta: CV. Rajawali. Sakinah, Setia Rulianti. 2005. Analisis Gender pada Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi: Kasus di Kelurahan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Salamah, Siti. 2006. Evaluasi Program Berbsis Gender: Kasus Program Pemanfaatan Tanah Pekarangan (PTP) di Desa Cikondang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. Scott. A. Mc Ewen. 1986. Women and Industrialisation: Examining The Female Marginalisation Thesis dalam The Journal or Development Studies, No.22(4). Semaoen. 2000. Penuntun Kaum Buruh. Yogyakarta: Jendela. Sugiarti & Handayani, Tri Sakti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Penerbit Universitas Muhammadiyah. Malang.
79
Tjandraningsih, Indrasari. 1999. Krisis Ekonomi dan PHK: Maknanya Bagi Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Vol 4, No.2 Mei 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Qoriah, Siti Nurul. 2008. Analisis Gender dalam Program Desa Mandiri Pangan: Studi Kasus Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, Ekawati Sri dan Pudji Muljono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diterbitkan di Departemen Ilmu-Ilmu sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Gender. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Yusuf, Verdi dan Kurniawan. 1992. Tingkat Hidup Buruh dan Tukang Becak Kaitan ke Desa. Prisma No.1 tahun XXI Januari, 1992. LP3ES.
80
LAMPIRAN
81
Gambar 2. PETA WILAYAH PENELITIAN
Skala 1: 33.300 sumber : www.google.com