KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)
Oleh:
PUTY SIYAMITRI I34051393
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT This research tells about the work condition of the woman employees and its correlation to family welfare in PTPN VI Kebun Kayu Aro. Overall the work condition of employees in PTPN VI Kebun Kayu Aro described as good enough, but there is the difference of work condition because of sex difference. Education doesn’t employees work condition in the company. Unlike the long term of work and age. The family welfare can be seen from the health, education of member of the family, family consumsion pattern, and the employee’s houses. The amount childern in the family doesn’t have correlation the family welfare. The suggestion of this research are apply gender socialization in order to abolish gender stereotyp, improve communication between company and employees, and motivate the children of employees to persue their education to higher level. Keywords: work condition, gender, welfare
RINGKASAN PUTY SIYAMITRI. I34051393. Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA). Perkebunan cukup besar peranannya dalam perekonomian nasional dan dalam penyerapan tenaga kerja. Gambaran positif itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan sering tidak harmonis, pembagian kerja dan pengupahan di perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Kebijakan pembangunan di Indonesia yang menjamin hak dasar pekerja dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam prakteknya mengalami hambatan. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama yang menentukan kondisi kerja karyawan di perkebunan. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan (golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan, (2) mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi kondisi kerja karyawan di perkebunan, dan (3) mengetahui dan menganalisis pengaruh kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survei yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang ditentukan secara purposive. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2009. Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mempunyai golongan karir yang lebih tinggi dan mendapat premi yang lebih besar. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya. Pendidikan pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro tidak berhubungan terhadap kondisi kerja sebab pendidikan karyawan
pada umumnya rendah yaitu hanya sampai SD, pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan berumur tua. Lama bekerja mempunyai hubungan terhadap kondisi kerja di perkebunan, semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, namun ada variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga karyawan yang tidak bersumber dari perusahaan.. Kesehatan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik, dilihat dari status kesehatan yang baik karena perusahaan menyediakan sarana pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), namun kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan keluarga karyawan lakilaki karena untuk karyawan laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena makan lebih dari 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan sudah mencukupi kebutuhan gizi. Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan disebabkan kurangnya biaya dan tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua yang rendah tidak mampu memberi motivasi kepada anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka. Pola konsumsi keluarga karyawan pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik yang dapat dilihat dari keadaan infastruktur rumah yang sudah baik walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Saran dari penelitian ini yaitu: 1) melakukan sosialisasi gender agar tercipta kondisi kerja yang sama dan lebih baik di perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, 2) meningkatkan komunikasi antara perusahaan dengan karyawan tentang hak dan kewajiban serta peraturan yang berlaku di perusahaan, 3) membangkitkan motivasi anak-anak karyawan untuk mau meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dengan memberikan penyuluhan kepada karyawan dan anak-anaknya tentang pentingnya pendidikan.
KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)
Oleh: PUTY SIYAMITRI I34051393
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komuikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Judul
: Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)
Nama Mahasiswa : Puty Siyamitri Nomor Mahasiswa : I34051393 Major
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 131284835 Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (KASUS PADA PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO, KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI, PROPINSI JAMBI)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Agustus 2009
Puty Siyamitri I34051393
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Puty Siyamitri yang dilahirkan di Pemalang pada tanggal 18 Mei 1987. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan suami isteri Muslim Latief dan Nirmala. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Aisyiah Sungai Penuh pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Pertiwi Sungai Penuh pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun 1999-2002 dan SMA Negeri 2 Sungai penuh pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan setelah melewati satu tahun di TPB (Tahap Persiapan Bersama), penulis berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia yang merupakan pilihan pertama penulis dalam pemilihan mayor di IPB. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis mengikuti organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu
Aro, Kabupaten
Kerinci, Propinsi Jambi)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro. Kondisi kerja yang dilihat yaitu golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diterima oleh karyawan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Skripsi ini juga melihat faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini juga membahas mengenai hubungan kondisi kerja karyawan perkebunan dengan kesejahteraan keluarga yaitu mengenai kesehatan keluarga, pendidikan keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan keluarga karyawan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Ir. Anna Fatchiya, selaku penguji dari Departemen Sains KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Mama dan Almarhum Papa tercinta, Mbak Endah dan Mbak Dian tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya. 5. Seluruh responden karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro, atas kerjasamanya selama penelitian 6. Bapak Uyung dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian di PTPN VI Kebun Kayu Aro, terima kasih atas bantuannya. 7. Sahabatku, Mas Wisnu, Kokoy, Nits, Taye, Ema, Lusi, Liza, Egi, Mbak Tul dan teman-teman kosan SQ yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doa dan waktunya untuk menemani dalam penulisan skripsi ini. 8. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................................................................ DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vii x xii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................
6
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................
6
BAB II PENDEKATAN TEOROTIS .......................................................
7
2.1 Konsep Gender..........................................................................
7
2.2 Ketidakadilan Gender ...............................................................
9
2.3 Pembagian Kerja Gender ..........................................................
13
2.4 Perkebunan di Indonesia ...........................................................
14
2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan .............................................
16
2.6 Kesejahteraan ............................................................................
20
2.7 Kerangka Pemikiran..................................................................
27
2.8 Hipotesis ...................................................................................
29
2.9 Definisi Operasional .................................................................
29
BAB II METODOLOGI PENELITIAN...................................................
38
3.1 Metode Penelitian .....................................................................
38
3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian...................................
38
3.3 Metode Penentuan Responden dan Informan ...........................
39
3.4 Metode Pengumpulan Data.......................................................
39
3.5 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data.............................
40
BAB IV PROFIL LINGKUNGAN PERUSAHAAN ...............................
42
4.1 Sejarah Perusahaan ...................................................................
42
4.2 Konteks Lokasi Perusahaan ......................................................
43
4.3 Sarana dan Prasarana ................................................................
44
4.4 Struktur Organisasi dan Kultur Perusahaan Perkebunan ............................................................
45
4.5 Sumber Daya Manusia (SDM) di Perusahaan ..........................
50
BAB V KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO ....................... 5.1 Golongan Karir Karyawan ........................................................
52 54
5.2 Pendapatan Karyawan...............................................................
56
5.3 Jaminan Kerja Karyawan ..........................................................
58
5.4 Jaminan Keluarga Karyawan ....................................................
61
5.5 Ikhtisar ......................................................................................
63
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO ...................... 6.1 Hubungan Pendidikan dengan Kondisi Kerja...........................
65 65
6.2 Hubungan Umur dengan Kondisi Kerja ...................................
67
6.3 Hubungan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja ......................
69
6.4 Ikhtisar ......................................................................................
70
BAB VII PENGARUH KONDISI KERJA TERHADAP KESEJAHTERAAN KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO .................... 7.1 Kesehatan Keluarga Karyawan.................................................
72 75
7.2 Pendidikan Keluarga Karyawan ...............................................
77
7.3 Pola Konsumsi Keluarga Karyawan .........................................
79
7.4 Perumahan Keluarga Karyawan ...............................................
81
7.5 Ikhtisar ......................................................................................
83
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................
85
8.1 Kesimpulan ...............................................................................
85
8.2 Saran .........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. LAMPIRAN.................................................................................................
89 92
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Rincian Metode Pengumpulan Data .....................................................
2.
Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009.........................
3.
60
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................
9.
57
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................
8.
55
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................
7.
54
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................
6.
51
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................
5.
44
Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja, Golongan Karir, dan Tanggungan.........................................................
4.
40
62
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................
66
10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................
67
11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................
69
12. Hasil Pengujian Hubungan Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu aro ...........
73
13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................
75
Halaman 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................
76
15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................
77
16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................
79
17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................
82
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Hasil Pengujian Chi-Squere ..................................................................
93
2.
Hasil Pengujian Rank Spearman...........................................................
95
3.
Peta PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro ...........................
97
4.
Dokumentasi .........................................................................................
98
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam
perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2003 adalah sekitar 16,6 persen (BPS, 2003). Berdasarkan lapangan buruhannya, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 43,67 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor perdagangan sebanyak 20,13 persen, industri sebanyak 12,46 persen, dan jasa sebanyak 11,90 persen (BPS, 2007a). Secara nasional, jumlah angkatan kerja terus bertambah dengan struktur penyerapan tenaga kerja menurut sektor yang tidak mengalami banyak perubahan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2005 sektor pertanian menyerap 44,04 persen tenaga kerja, pada Februari 2006 naik menjadi 44,46 persen, kemudian menurun lagi menjadi 43,67 persen pada Februari 2007 (BPS, 2007b). Krisis ekonomi di Indonesia sejak Juli 1997 telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan angka kemiskinan pada semua sektor akibat krisis tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa semua sektor menerima dampak negatif dari krisis yang terjadi. Menurut data Susenas 1996 dan 1999 (dalam Kristina 2004), angka kemiskinan tertinggi yang secara konsisten terjadi pada sektor pertanian justru mengalami penurunan. Hal ini karena buruh di berbagai sektor beralih ke pertanian.
2
Salah satu sub sektor yang cukup besar peranannya dalam pertanian adalah sub sektor perkebunan. Hal ini terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor perkebunan pada tahun 2004 telah mencapai 16,2 persen dari total PDB sektor pertanian. Selain itu volume ekspor komoditas perkebunan juga terus meningkat mencapai 47 persen dari total ekspor komoditas pertanian pada tahun yang sama (BPS, 2005). Sub sektor perkebunan menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini karena hasil dari sub sektor perkebunan mengalami peningkatan harga sebagai dampak dari perbedaan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sejak pertengahan tahun 1970-an pertumbuhan sektor perkebunan terus dipicu melalui berbagai kebijakan baik produksi, investasi, ekspor, dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan sumberdaya domestik yang dikandungnya, sektor perkebunan ini dinilai memiliki keunggulan komparatif di pasar domestik dan internasional. (Suprihartini et all.,1996 dalam Anggraeni, 2003). Di samping peranannya dalam perekonomian nasional, peran sub sektor perkebunan dalam penyerapan tenaga kerja nasional juga cukup besar. Pada tahun 2004 sekitar 18,6 juta tenaga kerja nasional diserap oleh sub sektor ini (BPS, 2005). Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991). Seharusnya
3
perusahaan perkebunan memperlakukan buruhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu melakukan pembagian kerja sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh buruh. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata. Kenyataan lain yaitu hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan tidak harmonis padahal kehidupan buruh sangat tergantung pada perusahaan, dalam arti buruh tidak dapat keluar dari perusahaan walau buruh diupah rendah dengan jaminan kerja yang kurang baik. Masalah lain adalah pembagian kerja dan pengupahan yang tidak mengalami banyak perubahan. Dalam gambaran Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), kondisi buruh perkebunan serba berat, secara fisik dieksploitasi, menerima upah minimal, sehingga taraf hidupnya sangat rendah. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Hal ini dapat dilihat dari Gender–related Development Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara dan menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun 1999. Di dalam peringkat dunia indeks tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN, dan dengan adanya berbagai krisis di Indonesia indeks-indeks tersebut peringkatnya akan semakin menurun. Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki
4
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia menjamin hak-hak dasar pekerja dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dalam prakteknya masih mengalami hambatan. Peluang perempuan di bidang ekonomi untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masih terkendala oleh berbagai faktor. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Perempuan diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, tidak perlu keterampilan sehingga boleh diupah rendah, serta ada pandangan penghasilan perempuan sebagai penghasilan tambahan dalam keluarga. Ketidakadilan gender berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga tercermin dari adanya diskriminasi dalam hal jaminan sosial. Buruh perempuan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dan dana pensiun bagi anak-anaknya sedangkan untuk buruh laki-laki akan mendapatkan fasilitas kesehatan untuk dirinya dan juga berlaku bagi anggota keluarganya yaitu seorang istri dan 2 anak. Kesehatan anak-anak dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki. Begitu pula soal tabungan untuk masa depan anak-anak (Oktaviani, 1995). Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat perempuan tetap bekerja dan tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka
5
juga harus berutang kepada tengkulak maupun koperasi perkebunan. Pada hari libur, di samping mengerjakan kewajiban di rumah tangga, perempuan memilih tetap bekerja di perkebunan milik perorangan yang membuat akses sosial dan politik buruh perempuan terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai kesempatan berinteraksi dengan masyarakatnya. Jadi, buruh perkebunan identik dengan keterpaksaan, ketiadaan lahan, pendapatan rendah, minimnya pendidikan, dan banyak hutang (Nur R, 2002). Permasalahan ke depan adalah dapatkah sektor perkebunan tetap menjadi tumpuan bagi tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah yang menjadi
titik perhatian dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan? 2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perempuan di perkebunan? 3. Sejauhmana hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan perempuan di perkebunan?
6
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan.
2.
Mengetahui dan menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan di perkebunan.
3.
Mengetahui dan menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan.
1.4
Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang
bermanfaat khususnya bagi: 1. Peneliti, merupakan sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dengan melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkanya dengan teori yang telah diperoleh. 2. Kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi untuk penulisan atau penelitian selanjutnya mengenai kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Instansi terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong agar memperhatikan karyawan perkebunan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan terkait dengan ketenagakerjaan.
II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Konsep Gender Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena seringkali disamaratakannya ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah dan atau diubah. Fakih (1996) menyatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, namun untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jajakala (kala menjing), dan produsen sperma, sedangkan rahim saluran untuk melahirkan, sel telur, vagina, dan alat untuk menyusui dimiliki oleh perempuan. Secara biologis, alat tersebut melekat pada manusia, tidak bisa dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan suatu kodrat (ketentuan Tuhan). Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial (feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tercermin dalam perilaku, kepribadian, sikap, keyakinan, penampilan, pekerjaan,
8
seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Dikotomi tersebut tidak berdasarkan biologis, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat dan struktur masyarakat yang bersangkutan. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat bahkan dapat berbeda dari kelas ke kelas lainnya dalam suatu konsep gender. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain (Fakih, 1996; Saptari, 1997). Pemahaman dan pembedaan gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. (Fakih, 1996). Hal ini juga diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami persoalan-persoalan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena terkait dengan perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (gender inequalities). Di samping itu dengan memisahkan perbedaan seks dengan gender akan memudahkan dalam menganalisis realita kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang, sehingga seringkali hal tersebut merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaiamana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki.
9
2.2
Ketidakadilan Gender Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu
dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan, yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. (Fakih, 1996). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. de Vries (2006) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi pada perempuan yaitu: pertama, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan; kedua, pelabelan
10
negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan; keempat, beban kerja berlebih sehingga perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus bekerja di sektor domestik dan produktif. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Fakih (1996), akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu: 1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan. Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Di samping itu perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umunya dikerjakan oleh laki-laki. 2. Subordinasi Pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di rumah tangga.
11
3. Pandangan Stereotipe Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya pelabelan perempuan sebagai ‘ibu rumah tangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai. 4. Kekerasan (violence). Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. 5. Beban Kerja Sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender adalah beban kerja menjadi panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Menurut Fakih (1996) bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk-bentuk seperti di atas dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat negara, tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat,
12
dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan bahkan dalam lingkungan rumah tangga. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi pada masing-masing orang (kaum perempuan maupun kaum laki-laki), keluarga hingga tingkat negara yang bersifat global, sehingga ketidakadilan gender menjadi hal yang paling sulit untuk diubah. Selanjutnya sebagai maniefestasi lain dari ketidakadilan gender adalah domestikasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Menurut Saptari (1997) mengutip dari literatur “Perempuan dalam Pembangunan” domestikasi adalah suatu proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena domestik. Dalam menjelaskan konsep domestikasi, Saptari mengacu kepada Barbara Rogers dengan karyanya yang terkenal “The Domestication of Women“ yang menurutnya cukup menggambarkan proses domestikasi. Menurut Rogers (1980) dalam Saptari (1997), bersamaan dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang, ideologi tentang ‘kodrat’ domestik mereka didukung dengan kuat, melalui pengajaran ketrampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang tempat mereka di rumah. Istilah domestikasi sering dipakai secara bergantian dengan pengertian housewifization atau pengiburumahtanggaan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Maria Mies. Pengiburumahtanggaan menurut Mies (1986) yang dikutip oleh Saptari (1997) merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan. Menurut Saptari sendiri, definisi ini berimplikasi
13
kepada timbulnya anggapan perempuan yang tergantung secara ekonomis kepada laki-laki dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka.
2.3
Pembagian Kerja Gender Menurut Saptari (1997) dalam masyarakat kita pekerjaan yang dilakukan
perempuan seringkali tidak tampak. Selain itu perempuan cenderung terlibat dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Moore (1988) dalam Saptari (1997) mengemukakan definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut Dalam
situasi
seperti
ini
bisa
dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena dalam masyarakat kita keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Sebenarnya terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada. Dari berbagai dikotomi yang pernah ada dalam litetarur studi perempuan (produksi/reproduksi, domestik/bukan domestik, upahan/bukan upahan), menurut Saptari (1997) sampai saat ini belum ada yang memberikan batasan jelas mengenai hakikat kerja. Menurutnya hal ini dikarenakan dalam kehidupan seharihari sulit untuk membuat pemisahan yang tajam. Oleh karena itu dalam melihat
14
suatu pekerjaan yang terpenting adalah bukan batasannya melainkan hubungan sosial atau hubungan kerja yang berbeda dan kondisi sosial yang mempengaruhi kerja yang dilakukan seseorang. Menurut Moser (1986), kerja produktif dipakai untuk menunjukkan kerja baik secara aktual maupun potensial, yang memiliki nilai tukar, mencakup kerja di sektor formal dan informal, termasuk di dalamnya bekerja pada perusahaan keluarga. Sedang kerja reproduktif juga merupakan kerja produktif, tetapi karena nilai produksi yang dihasilkan tidak berupah, maka kerja reproduktif dikategorikan sebagai kerja produktif tidak langsung. Bila dibedakan kerja menurut ruang lingkupnya, Moser (1986) memberi arti domestik untuk pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. sedangkan publik merupakan ruang lingkup kerja di luar rumah.
2.4
Perkebunan di Indonesia Pada sektor perkebunan, sejak zaman tanam paksa, interaksi antara buruh
perkebunan dan masyarakat petani dengan pengusaha dan negara mengalirkan sejarah kekalahan buruh kebun. Kekalahan buruh perkebunan terjadi akibat penguasaan lahan dan sistem pengelolaan tenaga kerja (pengupahan, penerapan teknologi, dan sistem manajemen) yang mengeksploitasi petani. Pada masa kolonial digambarkan bahwa para kuli perkebunan yang dikelola W. F Kissing yang ada di Sumatera Selatan tidak dapat mencapai tingkat upah biasa karena kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada mereka terlalu besar (Houben, 2003 dalam Wijaya, 2005).
15
Mengkaji kekalahan petani dan para kuli buruh kebun, disimpulkan bahwa kehidupan dan budaya petani Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah dihancurkan oleh faktor-faktor eksternal seperti kebijakan internasional tentang liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan pertanian dimana berbagai kebijakan tersebut membuat para petani mengahadapi persoalan peminggiran ekonomi, dominasi politik serta berbagai kekerasan terhadap budaya mereka (Fakih, 2001 dalam Wijaya, 2005). Menurut Maliki (1999) dalam Wijaya (2005), modernisasi pertanian yang memunculkan keberhasilan Indonesia memperoleh pengakuan FAO di tahun 1984 ternyata tidak mengubah bergaining position para petani secara ekonomi maupun politik dan ironisnya petani diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Bahayanya, persoalan petani yang semakin terpinggirkan tidak pernah dianggap serius oleh pemerintah. Menurut
Kartodirdjo
dan
Djoko
Suryo
(1991),
sebagai
sistem
perekonomian baru, perkebunan di Indonesia didifusikan oleh pemerintah kolonial Belanda tanpa dasar persiapan budaya agar pihak penjajah mendapat nilai tambah dari perkembangan ekonomi wilayah negara jajahan melalui pola produksi perkebunan komersial di tanah jajahan yang berdampak pada perubahan kehidupan masayarakat jajahan. Pada konteks penggunaan tenaga kerja, diterapkan model spesialisasi yang menciptakan keterpisahan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya (petani) yang menggunakan sistem kerja pra-spesialisasi. Keadaan tersebut berdampak perkebunan menjadi kantong-kantong industri (enclave industri). Ini bisa dipahami dengan mengamati keadaan industri perkebunan yang komersil di
16
tengah masyarakat Indonesia yang berciri subsistensi, kondisi perkebunan yang berteknologi modern dengan keadaan masyarakat yang masih berteknologi tradisional. Padahal industrialisasi dan prosesnya dalam pengusahaan perkebunan membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima, mendukung, dan melestarikan keadaan fisik industri perkebunan di tengah masyarakat petani (Soetrisno, 1983 dalam Tetiani, 2005 ) Masyarakat perkebunan memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku dan sangat dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan yang sering turut campur tangan. Terjadi perbedaan yang jelas antara administratur dan karyawan perkebunan dengan buruh perkebunan, yang mana golongan staf dan karyawan tak hanya tinggal dalam rumah dan lingkungan yang bagus tetapi mereka juga bergaya hidup mewah, sedangkan buruh hidup dengan penuh kesederhanaan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991)
2.5
Kondisi Kerja Buruh Perkebunan Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja
di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani, 1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lama waktu kerja.
17
Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pemanenan. Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara masingmasing golongan (Kristina, 2004). Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi, membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan, penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman pegawai staf. Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet, perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada tahap permulaan tanaman baru, perempuan hanya turut bekerja pada 6 jenis
18
pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang, perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap. Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan. Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja. Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan berdasarkan keahlian, kecakapan, dan tanggung jawab seorang pekerja, serta
19
menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah daripada pekerja laki-laki Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah. Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan. Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor lakilaki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995). Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama 3 bulan, dan berhak menerima upah dan
20
fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2) Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan. Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik. Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata.
2.6
Kesejahteraan Menurut Sawidak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan
sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menurut Wattimena (2009), tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat
21
dari kepuasan individu-individu. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Maka diperlukan penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat (Wattimena, 2009). Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Suharto, 2006). Taraf kesejahteraan rakyat masyarakat indonesia secara umum mengalami peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi dalam konteks demografis, yaitu walaupun jumlah penduduk masih terus bertambah tetapi kecepatan bertambahnya terus berkurang sebagai akibat turunnya angka kelahiran. Peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antara lain
22
ditunjukkan oleh dua indikator yang berdampak pada bidang kesehatan dan pendidikan, yaitu meningkatnya angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah (BPS, 2006). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) melalui aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek yang spesifik. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur (BPS, 2006). Diperlukan berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995 dalam Munir, 2008). Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembagunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Di samping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Hal-hal yang perlu
23
diperhatikan pada masalah kependudukan adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, pesebaran dan kepadatan penduduk, serta fertilitas. 2. Kesehatan dan Gizi Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angaka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. 3. Pendidikan Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Semakin lamanya usia wajib belajar diharapkan tingkat pendidikan anak semakin baik, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. Aspek yang dapat mengagambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu angka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
24
dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak. 5. Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. 6. Perumahan dan Lingkungan Manusia dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas yang mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum dan fasilitas tempat buang air besar. Kualitas perumahan yang baik dan penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.
25
7. Sosial Lainnya Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah. Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survey juga berbeda dimana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan Keluarga. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1. Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin. 2. Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB. 3. Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra sejahtera (sangat miskin), keluarga sejahtera I (miskin), keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus 4. Data individu, seperti nomor indentitas keluarga, nama, alamat, dll. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan
26
pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera: 1. Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) yaitu belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. b. Indikator Non-Ekonomi seperti melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera I (Miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni b. Indikator Non-Ekonomi seperti ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-KB.
27
3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi 4. Keluarga Sejahtera III yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti
kegiatan
masyarakat,
rekreasi
bersama
(6
bulan
sekali,
meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi. Belum dapat memenuhi beberapa indikator, yaitu: aktif memberikan sumbangan material secara teratur, aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. 5. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator yaitu aktif memberikan sumbangan material secara teratur dan aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
2.7
Kerangka Pemikiran Dalam konteks perusahaan perkebunan, jenis kelamin, umur, pendidikan
dan lamanya seorang bekerja diduga memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan yaitu dalam golongan karir, pendapatan, perolehan jaminan kerja dan jaminan untuk keluarga. Namun, jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan.
28
Diduga terdapat ketidakadilan gender dalam kondisi kerja karyawan perkebunan. Ketidakadilan gender adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Perempuan diduga diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, golongan karir yang rendah dan sulit meningkat sehingga boleh diupah rendah dan tidak diberikan jaminan kerja dan jaminan keluarga seperti laki-laki. Sesungguhnya bekerja baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah suatu hal yang sangat penting. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di duga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga ini dapat dilihat dari kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam gambar kerangka pemikiran berikut ini: Pendidikan
Jenis Kelamin
Umur
Lama Bekerja
• • • •
Kondisi Kerja Golongan Karir Pendapatan Jaminan Kerja Jaminan Keluarga
Keterangan: : berhubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kesejahteraan Keluarga • Kesehatan • Pendidikan • Pola konsumsi • Perumahan
29
2.8
Hipotesis Berdasarkan kerangkan pemikiran tersebut, dapat diajukan beberapa
hipotesa sebagai berikut: 1. Jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 2. Pendidikan diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Umur diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 4. Lama bekerja diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 5. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) diduga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga (kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan).
2.9
Definisi Operasional Untuk menjelaskan sesuatu yang absrak seperti konsep/variabel menjadi
konkrit untuk dapat diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut: 1. Jenis kelamin adalah identitas biologis karyawan. Jenis kelamin dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. laki-laki 2. perempuan. 2. Umur adalah lamanya hidup karyawan yang diukur berdasarkan usia. Umur menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Umur digolongkan menjadi
30
dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata umur karyawan yang diketahui dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: 1. ≤ 45 tahun = skor 2 = muda 2. > 45 tahun = skor 1 = tua 3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan karyawan. Pengukuran: 1. Tidak lulus SD 2. Lulus SD 4. Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai dari awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Lama bekerja digolongkan menjadi dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata lama bekerja karyawan yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: 1. ≤ 25 tahun = skor 1 = kurang lama 2. > 25 tahun = skor 2 = lama 5. Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang meliputi golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga Pengukuran:
31
a) Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan karir karyawan di perusahaan. Golongan karir merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. IA/14 = skor 1 = rendah 2. > IA/14 = skor 2 = tinggi b) Pendapatan adalah tingkatan jumlah uang yang diterima oleh karyawan sebagai imbalan atas pekerjaan utama yang dilakukan. Ukuran pengupahan
ditentukan berdasarkan upah rata-rata karyawan yang
diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yaitu upah minimum perusahaan adalah Rp. 820.000. Pengupahan merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. ≤ upah rata-rata buruh = skor 1 = rendah 2. > upah rata-rata buruh = skor 2 = tinggi c) Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan kesehatan, jaminan keselamatan dan fasilitas yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan. Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: Jaminan kesehatan: •
Memperoleh libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan
•
Memperoleh biaya penggantian bila sakit
•
Memperoleh biaya pengobatan rawat jalan bila sakit
•
Memperoleh biaya pengobatan rawat inap bila sakit
•
Memperoleh asuransi kesehatan penduduk miskin
32
•
Memperoleh hak beristirahat
•
Memperoleh hak beribadah
Jaminan keselamatan dan fasilitas: •
Asuransi keselamatan kerja
•
Kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja
•
Fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung) 1. Ya ≤ 5 = skor 1 = kurang baik 2. Ya >5 = skor 2 = baik
d) Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk keluarga yang diterima oleh karyawan dari pekerjaan yang dilakukan di perkebunan. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: •
Memperoleh THR
•
Memperoleh santunan menikah
•
Memperoleh santunan melahirkan
•
Memperoleh santunan anggota keluarga sakit
•
Memperoleh santunan anak khitan/sunatan
•
Memperoleh santunan pendidikan anak
•
Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia
•
Memperoleh rumah/tempat tinggal
33
•
Memperoleh pinjaman/hutang
•
Memperoleh sembako bulanan
•
Memperoleh dana pensiun
•
Memperoleh pesangon bila di-PHK 1. Ya ≤ 6 = skor = Kurang baik 2. Ya > 6 = skor 2 = Baik
Pengukuran kondisi kerja: 1. Skor ≤ 4 = Kurang baik 2. Skor > 4 = Baik 6. Jumlah anak dalam keluarga adalah banyaknya anak dalam keluarga yang menjadi tanggungan karyawan. Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga karyawan. Pengukuran: 1. < 2
= skor 1 = sedikit
2. ≥ 2
= skor 2 = banyak
7. Kesehatan keluarga adalah status kesehatan dan taraf gizi yang antara lain diukur melalui angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pengukuran: a) Angka kondisi sakit merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Angka kondisi sakit dilihat dari
34
frekuensi seringnya sakit karyawan atau keluarganya dalam satu tahun. Angka kondisi sakit digolongkan menjadi dua yaitu: 1. > 2 kali
= skor 1 = rendah
2. ≤ 2 kali
= skor 2 = tinggi
b) Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Jenis pengobatan dilihat dari apa yang dilakukan oleh karyawan dan keluarganya ketika terdapat anggota keluarganya yang sakit. Jenis pengobatan digolongkan sebagai berikut: 1. Berobat non medis (warung, dukun/pengobatan alternatif) = skor 1 2. Berobat medis (Puskesmas, Dokter,) = skor 2 c) Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Frekuensi makan dilihat dari seberapa sering karyawan dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan digolongkan menjadi dua: 1. ≤ 2 kali = skor 1 2. > 2 Kali = skor 2 d) Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam makanan yang dikonsumsi buruh dan keluarganya dalam satu hari. Janis makanan digolongkan menjadi dua kategori: 1. Makanan yang dikonsumsi kurang atau telah mencukupi makanan yang mengadung karbohidrat dan protein = skor 1
35
2. Makanan yang dikonsumsi melebihi makanan
yang mengadung
karbohidrat dan protein = skor 2 Pengukuran kesehatan keluarga: 1. ≤ 4 = skor 1 = Kurang baik 2. > 4 = skor 2 = baik 8. Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan yang Drop Out atau tidak melanjutkan. Pendidikan keluarga digolongkan sebagai berikut: 1. ≥ 1 orang = skor 1 = banyak 2. < 1 orang = skor 2 sedikit Semakin sedikit jumlah anggota keluarga buruh yang drop out maka semakin sejahtera keluarga buruh. 9. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga untuk kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi nonmakanan. Pola konsumsi merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pola konsumsi digolongkan sebagai berikut: 1. Konsumsi makanan ≥ konsumsi non makanan = skor 1 = rendah 2. Konsumsi makanan < konsumsi non makanan = skor 2 = tinggi Semakin tinggi tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. 10. Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status rumah, keadaan rumah, keadaan MCK, alat penerangan, fasilitas komunikasi.
36
Pengukuran: a) Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga karyawan. Status rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. Bukan milik pribadi = skor 1 2. Milik pribadi
= skor 2
b) Keadaan rumah adalah kondisi bangunan rumah atau tempat tinggal keluarga karyawan. Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. < semi permanen = skor 1 2. ≥ semi permanen = skor 2 c) Keadaan MCK adalah kondisi MCK yang dimiliki dalam rumah tangga. Kondisi MCK merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1.
Tidak ada MCK = skor 1
2.
Ada MCK = skor 2
d) Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga karyawan. Alat penerangan merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Alat penerangan dibagi menjadi dua katagori: 1. Listrik ≤ 450 Watt = skor 1 2. Listrik > 450 Watt = skor 2
37
•
Fasilitas komunikasi adalah kepemilikan alat komunikasi dalam sebuah rumah tangga. Fasilitas komunikasi merupaka variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Fasilitas komunikasi dibagi menjadi dua katagori : i. Tidak menggunakan telepon/HP = skor 1 ii. Menggunakan telepon/HP
= skor 2
Pengukuran perumahan: 1. skor ≤ 5 = Kurang baik 2. skor > 5 Baik 11. Kesejahteraan keluarga karyawan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. kesejahteraan keluarga karyawan dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Pengukuran: 1. skor ≤ 4 = Kurang terpenuhi 2. skor > 4 = Terpenuhi
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode survei
pada karyawan perkebunan dan didukung dengan data kualitatif. Metode survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Selain itu dipergunakan juga metode studi kepustakaan yaitu menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan tema penelitian. Pengamatan juga dilakukan untuk memperkuat keyakinan terhadap data dan informasi hasil survei dan wawancara.
3.2
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI
Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Lokasi penelitian ini ditentukan secara purposive, karena merupakan tempat dimana karyawan tinggal dan bekerja. Lokasi penelitian tersebut dipilih karena secara geografis mudah dijangkau oleh peneliti dan sejak kecil peneliti tinggal di Kabupaten Kerinci sehingga mengerti subjek yang diteliti dan memahami bahasa sehari-hari mereka. Selain itu komunitas di lingkungan tersebut merupakan perkebunan teh yang memperlihatkan adanya persoalan yang hendak diteliti. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2009. Pada bulan Mei dilakukan pengambilan data melalui kuesioner mengenai responden penelitian yang akan langsung diisi oleh peneliti dan melakukan
39
wawancara mendalam dengan beberapa informan. Pada bulan Juni sampai Agustus 2009, dilakukan input data, pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan hasil penelitian.
3.3
Metode Penentuan Responden dan Informan Sampel adalah 30 keluarga karyawan laki-laki dan 30 keluarga karyawan
perempuan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Responden adalah karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro yang keluarganya dijadikan sampel. Responden dipilih secara acak (random sampling) dengan jumlah yang unproportional yaitu terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan karena tidak didapatkan data awal mengenai jumlah karyawan di perusahaan. Responden diambil 60 responden guna memenuhi pengujian. Responden diambil dari dua lokasi perusahaan yang terdapat karyawan. Pengambilan responden dimulai dari lingkungan pabrik kemudian dilanjutkan ke lingkungan afdeling. Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan terkait dengan tema penelitian yang dipilih secara purposive yaitu staf dan karyawan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro.
3.4
Metode Pengumpulan Data Sumber data penelitian yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Rincian mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
40
Tabel 1.Rincian Metode Pengumpulan Data Data yang Dibutuhkan
Keterangan
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Kondisi Kerja karyawan
Golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, jaminan keluarga
Primer
Kuesioner dan wawancara mendalam
Faktor yang mempengaruhi kondisi kerja
Jenis kelamin, pendidikan, umur, dan lama bekerja
Primer
Kuesioner dan wawancara mendalam
Kesejahteraan Keluarga
Kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan
Primer
Kuesioner dan wawancara
Gambaran umum lokasi
Lingkungan perkebunan dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro.
Primer dan sekunder
Wawancara mendalam dan studi literatur
3.5
Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan program komputer
SPSS Versi 13. Program ini digunakan untuk mempermudah proses pengolahan data. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk memperlihatkan dan mendeskripsikan fenomena yang akan dijelaskan. Tabulasi silang digunakan untuk mengelompokan data ke dalam variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya merujuk pada hipotesa yang sudah ada. Data yang diperoleh bersifat nominal dan ordinal, sehingga untuk menganailisis hubungan antara data tersebut digunakan Chi-Square dan. Korelasi Rank Spearman. Chi-Squere digunakan untuk menguji hubungan antara jenis kelamin, pendidikan, umur, dan lama bekerja dengan kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga). Uji Chi-Squere digunakan untuk menguji hubungan antara variabel skala nominal. Hasil uji Chi-
41
Squere kemudian dilanjutkan dengan melihat keeratan hubungan antara dua variabel dengan rumus koefisien kontingensi (C). X 2 = ∑ (f 0 .f h ) 2 fh Keterangan: X 2 = Chi Kwadrat f 0 = Data frekuensi yang diperoleh dari sampel (hasil kuesioner) f h = Frekuensi yang diperoleh/diharapkan dari sampel sebagai pencerminan dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi C = Chi Kwadrat X2 N+X2
C=
X 2 = Koefisien kontingensi N = Banyaknya sampel
Guilford dalam Rakhmat, 1997 mengartikan koefisien korelasi sebagai berikut: < 0, 20
: Hubungan rendah sekali, lemas sekali
0,20-0,40
: Hubungan rendah tapi pasti
0,40 -0,70
: Hubungan yang cukup berarti
0,70- 0,90
: Hubungan yang tinggi, kuat
> 0,90
: hubungan yang sangat tinggi, kuat sekali, dapat diandalkan Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara
kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) dengan Kesejahteraan keluarga (kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan). r s = 6∑d 2 2
n (n -1)
Keterangan: r s = Korelasi Spearman n = Banyaknya pasangan data d = Jumlah selisih peringkat bagi x dan y
IV. PROFIL LINGKUNGAN PERUSAHAAN
4.1
Sejarah Perusahaan Perkebunan teh Kayu Aro merupakan perkebunan teh tertua di Indonesia.
Kebun Kayu Aro dibuka pada tahun 1925 sampai dengan 1928 oleh perusahaan Belanda yaitu Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam (NV HVA). Penanaman teh pertama dimulai pada tahun 1929 dengan varietas spesifik asli dari biji teh. Pada tahun 1932 dibangun pabrik teh di Bedeng VIII Kayu Aro dengan kapasitas produksi 90 ton pucuk teh per hari dan kapasitas terpasang 100 ton, teh yang dihasilkan adalah jenis teh hitam (ortodox). Pada tahun 1959, melalui PP No. 19 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu berturut-turut Kebun Kayu Aro mengalami peruabahan status/organisasi dan manajemen sesuai dengan keadaan yang berlaku. Tahun 1959 sampai dengan 1962 Kebun Kayu Aro menjadi unit produksi dari PT Aneka Tanaman VI, tahun 1963 sampai dengan 1973 bagian dari PNP Wilayah I Sumatera Utara, dan mulai tanggal 1 Agustus 1974 menjadi salah satu kebun dari PT. Perkebunan VIII yang berkedudukan di Jalan Kartini No. 23 Medan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11/1996 tanggal 14 Februari 1996 dan
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
165/KMK.016/1996 tanggal 11 Maret 1996,PTP VIII termasuk Kayu Aro dan PTP lainnya yang ada di Sumatera Barat/Jambi dikonsilidasi menjadi PT Perkebunan Nusantara VI (Persero). Maka terhitung mulai tanggal 11 Maret
43
1996, Kebun Kayu Aro telah menjadi salah satu unit kebun dari PTP Nusantara VI (Persero) yang berkantor pusat di Jalan Zainir Haviz No. 1 Kota Baru Jambi. Kebun teh Kayu Aro menyimpan sejarah bangsa Indonesia. Untuk membuka perkebunan teh ini, perusahaan Belanda mendatangkan ribuan pekerja dari pulau Jawa. Secara umum anak dan cucu pekerja itulah yang kini hidup relatif makmur mendiami desa-desa enclave dan sekitar perkebunan teh tersebut. Di samping bekerja di perkebunan, mereka memiliki kebun kayu manis (casiavera), memelihara ternak, berladang sayuran (kentang, kol, dan wortel).
4.2
Konteks Lokasi Perusahaan Kebun Kayu Aro terletak di Desa Bedeng VIII Kecamatan Kayu Aro
Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Adapun jaraknya sebagai berikut: a) ± 37 Km dari Ibu kota kabupaten (Sungai Penuh) b) ± 452 Km dari Ibu kota propinsi (Jambi) c) ± 325 Km dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang (via Pesisir Selatan) d) ± 237 Km dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang (via Muara Labuh) Kebun Kayu Aro secara geografis terletak pada posisi 1 0 46, 978 0 Lintang Selatan (LS) dan 101 0 16,856 0 Bujur Timur (BT). Elevasi pabrik terletak 1.430 m. Dpl, elevasi kebun terendah terletak 1.401 m. Dpl, dan elevasi kebun tertinggi terletak 1.715 m. Dpl. Kebun Kayu Aro terletak di daerah dataran tinggi dengan jenis tanah yang dominan adalah jenis andosol. Luas areal Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Kayu Aro adalah 3.014,60 Ha dengan perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
44
Tabel 2. Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Penggunaan Lahan
Luas Lahan (Ha)
1. Lahan yang ditanami •
Tanaman menghasilkan (RKAP 2009)
•
Tanaman non produktif
•
Rencana tanaman ulang /compacting
114,00
•
Tanaman Belum Mengasilkan (TBM)
78,00
Jumlah areal teh
2.338,65 94,04
2.624,69
2. Luas lahan yang belum ditanami •
Emplasment/bangunan
105,77
•
Jurang/kuburan/hutan
227,21
•
Jalan/jembatan
Jumlah
56,93 389,91
3. Luas Hak Guna Lahan (1+2)
3.014,60
Sumber: Profil Perusahaan Unit Usaha Kayu Aro 2009 Kebun Kayu Aro memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan rata-rata setahun adalah 2.000 mm dengan jumlah 200 hari hujan dalam setahun. Sinar matahari rata-rata setahun adalah 6 jam per hari. Suhu udara di Kebun Kayu Aro antara 17 0 - 23 0 C dan suhu minimum 5 0 C dengan kelembaban nisbi/RH antara 70 – 95%.
4.3
Sarana dan Prasarana Perusahaan PTPN Kebun Kayu Aro memiliki 636 rumah yang digunakan
sebagai perumahan bagi staf dan karyawan. Perumahan tersebut terdiri dari 5 golongan yaitu rumah staf sebanyak 23 rumah dengan daya tampung 20 orang, rumah G1 sebanyak 73 rumah dengan daya tampung 73 orang, rumah G2 sebanyak 511 rumah dengan daya tampung 1.006 orang, rumah G3 sebanyak 22
45
rumah dengan daya tampung 66 orang, dan rumag G4 sebanyak 7 rumah dengan daya tampung 28 orang. Peruasahaan menyediakan Rumah Sakit Kebun Kayu Aro sebagai tempat perawatan kesehatan dan pengobatan karyawan. Di Perusahaan juga terdapat tempat ibadah yaitu sebuah mesjid dan sebuah gereja. Untuk pembinaan olahraga perusahaan menyediakan sarana olahraga yaitu lapangan tenis, sepak bola, bulu tangkis, volly, dan tersedia fasilitas untuk tenis meja, catur dan lainnya. Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar PTPN VI Kebun Kayu Aro antara lain SD di emplasment dan setiap afdeling, SMP, MTS, SMK di emplasment, SMA di afdeling F Kersik Tua, SMA IT di Bedeng VIII, dan untuk pendidikan anak-anak pra sekolah, perkebunan mengelola Sekolah Taman KanakKanak dengan bantuan seorang guru negeri dan Tempat Pengasuhan Anak (TPA) di setiap afdeling.
4.4
Struktur Organisasi dan Kultur Perusahaan Perkebunan PTPN VI Kebun Kayu Aro merupakan perusahaan persero yang dipimpin
oleh seorang administrator/manajer yang bernama Ir. Zainal Prayitno. Terdapat 2 orang kepala dinas, 2 orang asisten kepala wilayah, 1 orang Asisten TUK, 1 orang asisten SDM, 2 orang asisten pengolahan, 1 orang asisten tehnik, 8 orang asisten afdeling, dan 1 orang perwira pengamanan. Struktur organisasi perusahaan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.
46
Manager
Askep Wil. A
Askep Wil. B
Asist Afdeling
KDP
Asist Pengolahan
KDT
Asist Teknik
Asist TUK
Asist SDM
Dok ter
Papam bun
Keterangan: : garis komando : garis koordinsi Gambar 2. Struktur Organisasi PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009
Sistem organisasi yang dipakai oleh perusahaan adalah sistem organisasi garis dan staf yaitu setiap atasan memimpin bawahan tertentu. Sistem organisasi garis dan staf digunakan oleh perusahaan untuk memudahkan koordinasi perusahaan yang terbilang luas. Manajemen di PTPN VI Kebun Kayu Aro menggunakan Laporan Manajemen (LM) dan Laporan Peristiwa Masalah Umum (LPMU). Laporan ini merupakan laporan rutin yang dibuat setiap bulan untuk diserahkan kepada pimpinan. Laporan ini menggambarkan data dan usaha baik keuangan, fisik, SDM atau hasil seluruh kegiatan secara berkala. PTPN VI Kebun Kayu Aro melakukan manajemen yang saling terkait antar masing-masing unit/afdeling secara berurutan mulai dari mandor, asisten, buku pucuk dan neraca percobaan. Struktur organisasi di PTPN VI Kebun Kayu Aro yang terdiri dari staf, pegawai bulanan, karyawan harian tetap dan karyawan harian lepas. Staf/Pegawai terdiri dari pegawai administrator, asisten kepala, asisten pabrik dan kepala tata
47
usaha. Pegawai Bulanan adalah pegawai yang diangkat oleh administrator dengan persetujuan direksi. Karyawan Harian Tetap merupakan tenaga kerja yang digaji berdasarkan banyak hari kerja yang diangkat administrator. Karyawan Harian Lepas ( KHL) merupakan karyawan yang dibayar berdasarkan hari kerja, hanya tidak mendapat fasilitas dari perusahaan dan tidak berlaku untuknya kesempatan kerja sama. Adapun uraian tugas struktur organisasi unit usaha Kebun Kayu Aro adalah sebagai berikut: 1. Manajer/administrator mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu direksi dalam mengelola unit usaha di kebun, dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan bertanggung jawab pada direksi yang membawahi asisten afdeling, kepala pabrik, asisten pengawasan mutu, asisten pabrik dan asisten teknik, kepala tata usaha, petugas umum serta pegawai/karyawan kebun. 2. Asisten Kepala bertugas mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu manajer/administrator dalam mengelola produksi di kebun dalam upaya mengoptimalkan potensi tanaman sesuai dengan kualitas yang telah ditentukan serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 3. Kepala Tata Usaha mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu manajer/administrator dalam mengelola aktivitas kegiatan keuangan dan administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencapai tujuan perusahaan. 4. Kepala Dinas Pengolahan (KDP) mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu administrator dalam mengelola proses pengolahan hasil produksi
48
kebun sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah ditentukan, serta pengendalian biaya akhir untuk mencapai tujuan perusahaan. 5. Asisten Afdeling mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu asisten kepala dalam upaya mengoptimalkan potensi tanaman sesuai dengan kualitas yang telah ditentukan serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 6. Asisten Pengelola mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu administrator dalam mengelola proses pengolahan hasil produksi kebun sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah ditentukan, serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 7. Asisten teknik mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada pabrik dan membawahi karyawan/pegawai pabrik. 8. Mandor 1 (First Mandor) mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten afdeling dalam seluruh kegiatan operasional dan mengatur tenaga kerja di lapangan setiap harinya. 9. Mandor Lapangan (Field Mandor) mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten afdeling dan mandor 1 dalam melaksanakan kegiatan kerja karyawan di lapangan. 10. Krani Afdeling dan Krani Lapangan mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten Afdling dalam mencatat absen karyawan, kegiatan operasional di lapangan, administrasi afdeling dan membuat buku permintaan barang yang diperlukan di lapangan dan diteruskan ke kantor pusat sedangkan Krani Lapangan bertanggung jawab kepada Krani Afdeling dalam mencatat absen karyawan di lapangan.
49
11. Papambun mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap keamanan kebun, membuat laporan keamanan kepada asisten untuk diteruskan kepada administrator. 12. Tidak terdapat istilah Buruh di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Istilah tersebut diganti dengan sebutan karyawan. Karyawan mempunyai fungsi utama yaitu bertugas melaksanakan kegiatan di lapangan dan di kantor, di pabrik sesuai dengan instruksi atasannya. Hubungan sesama karyawan baik di pabrik maupun di kebun adalah dekat. Karyawan di pabrik telah dibagi dalam bidang-bidang pekerjaan mulai dari daun basah sampai pengepakan. Masing-masing bidang memiliki hubungan yang akrab. Sama halnya dengan di kebun, walaupun tempat mereka memetik pucuk atau melakukan boyan (pemeliharaan kebun) berdekatan tapi mereka telah mengetahui wilayah kerja masing-masing. Ancak (blok) masing-masing karyawan sudah jelas sehingga tidak terdapat kesalahan ancak (blok) panen pucuk atau boyan (pemeliharaan kebun). Sesama karyawan juga saling memberikan bantuan apabila terdapat karyawan yang belum menyelesaikan tugasnya. Hubungan yang tidak dekat terjadi karena adanya konflik yang terjadi pada beberapa karyawan. Hubungan kedekatan sesama karyawan terlihat di luar pekerjaan terjalin dengan baik. Terlihat setiap bulannya diadakan pengajian dan arisan uang antar karyawan dalam dua kali dalam sebulan yang dikumpulkan oleh wakilnya. Sebagian besar hubungan atasan dan bawahan umumnya tidak dekat. Hubungan yang tidak dekat karena adanya jarak antar karyawan dengan staf. Akan tetapi hubungan dengan mandor cukup dekat kecuali saat bekerja langsung di lapangan mandor tidak memberikan toleransi dalam bentuk apapun kepada
50
karyawan karena mandor bertanggung jawab pula dengan atasannya. Hubungan kerja antar atasan dan bawahan adalah hubungan yang vertikal.
4.5
Sumber Daya Manusia (SDM) di Perusahaan Berdasarkan data terakhir Februari 2009 jumlah tenaga kerja di PTPN VI
Kebun Kayu Aro adalah 2.052 orang yang terdiri dari 19 orang karyawan pimpinan, 1 orang perwira pengamanan. Untuk jumlah karyawan pelaksana terdiri dari 859 orang karyawan golongan IB sampai IID, dan 1.173 orang karyawan golongan IA dengan jumlah tanggungan adalah 1.712 orang. Jumlah pensiunan perusahaan adalah 1.189 orang dan jumlah tanggungan karyawan adalah 1.712 orang. Perincian tenaga kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro menurut lokasi, golongan dan tanggungan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 3.
51
Tabel 3. Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja, Golongan Karir, dan Tanggungan. No.
Lokasi
Golongan IBIID
IA
Jumlah
Tanggung an IA-IID
Jumlah (e+f)
Pensiun an
Jumlah (g+h)
a
b
c
d
e
f
g
h
i
1
Afd. A
64
133
197
145
342
107
449
2
Afd. B
21
135
156
105
261
115
376
3
Afd. C
116
85
201
154
355
143
498
4
Afd. D
121
98
219
143
362
186
548
5
Afd. E
79
113
192
72
264
131
395
6
Afd. F
108
119
227
143
370
90
460
7
Afd. G
30
188
218
129
347
124
471
8
Afd. H
61
131
192
90
282
154
436
9
Kantor
65
7
72
137
209
23
232
10
Pabrik
69
147
216
300
516
47
563
11
RSKA
46
3
49
42
91
21
112
12
Tehnik
79
14
93
199
292
41
333
859
1173
2032
1659
3691
1182
4873
Jumlah
Sumber Profil Perusahaan Unit Usaha Kayu Aro 2009
V. KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Sejak dibukanya Perkebunan teh Kayu Aro pada tahun 1925 sampai dengan 1928 dan dibangunya pabrik teh pada tahun 1932 di Bedeng VIII Kayu Aro, perusahaan Belanda mendatangkan ribuan pekerja (buruh) dari pulau Jawa. Mulai saat itu pekerja dari pulau Jawa mensosialisasikan pekerjaan perkebunan kepada anak mereka sejak usia dini. Bagi orang tua hal ini dijadikan sebagai cara mendidik anak agar terbiasa mengelola tanaman teh, sedangkan gagi anak, sosialisasi ini penting untuk modal masa depannya. Orang tua membawa anaknya sejak kecil bekerja di perkebunan agar anak terbiasa dengan pekerjaan tersebut dan saat sudah dewasa mereka dapat bekerja sebagai pekerja di perkebunan teh. Anak dan cucu pekerja dari pulau Jawa itulah yang kini banyak bekerja mendiami desa di sekitar perkebunan teh dan menjadi karyawan di PTPN VI Kebun kayu Aro. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut: “Sejak kecil saya sering diajak ibu ke kebun teh, saya cuma lihat-lihat saja ibu yang sedang bekerja dari tempat yang teduh, ibu saya membawa saya sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat mandor, setelah saya agak besar saya diajari ibu cara memetik dan sayapun ikut menolong ibu memetik pucuk teh.” (Ibu Ytn, 42 tahun, Karyawan PTPN) “Karyawan yang bekerja disini kebanyakan orang tuanya dahulu juga kerja disini. Kami keturunan Jawa yang lahir di Kayu aro, setiap hari kami menggunakan bahasa Jawa tapikebanyakan kami tidak tau kampung kami di Jawa ada dimana, saya pun sampai sekarang belum pernah ke Jawa, kalau ditanya saya orang mana, saya selalu jawab orang Kayu Aro.” (Bapak Sky, 52 tahun, Karyawan PTPN)
53
Proses sosialisasi dari orang tua mereka menjadikan anak dan cucu mereka saat ini pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya pada perkebunan. Keterbatasan pendidikan, tidak adanya tanah yang dimiliki dan adanya keterkaitan dengan perkebunan membuat mereka kini menjadi karyawan di perkebunan. Selain itu kondisi kerja yang diberikan PTPN VI Kebun Kayu Aro yang dirasakan jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi kerja di luar perkebunan sehingga mereka tetap memilih untuk bekerja di perkebunan. Bahkan saat ini banyak sekali angkatan kerja yang ingin bekerja menjadi karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro akan tetapi perusahaan belum membuka kesempatan bagi mereka karena kondisi perusahaan yang saat ini kelebihan tenaga kerja sehingga karyawan yang pensiun tidak diimbangi dengan perekrutan karyawan baru. Dari hasil wawancara dengan salah satu karyawan yang bekerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro diketahui bahwa perekrutan tenaga kerja terakhir yaitu sekitar tahun 1996. Kondisi kerja karyawan adalah perlakuan perusahaan perkebunan yang diterima oleh karyawan yang meliputi golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi ini adalah kondisi yang dialami oleh reponden ketika bekerja di perusahaan perkebunan. PTPN VI Kebun Kayu Aro berupaya untuk selalu menjaga kondisi kerja di perkebunan sehingga sebagian besar karyawan mendapatkan kondisi kerja yang baik walaupun terdapat sebagian karyawan yang masih mendapatkan kondisi kerja yang kurang baik. Kondisi kerja karyawan laki-laki dan karyawan perempuan secara umum di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro digambarkan pada Tabel 4 di bawah ini:
54
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Kondisi Kerja
Jenis Kelamin Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
25
83,33
13
43,33
Kurang Baik
5
16,67
17
56,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 4 di atas karyawan laki-laki menerima perlakuan yang baik dari perusahaan perkebunan yaitu 83,33 persen dari jumlah responden lakilaki mengalami kondisi kerja yang baik, dibandingkan dengan responden perempuan yang hanya 43,33 persen. Karyawan perempuan masih banyak yang mendapatkan kondisi kerja yang kurang baik yaitu 56,67 persen. Persentase tersebut mengambarkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dengan nilai signifikansi 0.001 dengan α sebesar 0,10. Hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dapat dijelaskan secara rinci pada sub bab berikut.
5.1
Golongan Karir Karyawan Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan
karir karyawan di perusahaan. Golongan karir yang dimiliki responden adalah golongan karir paling bawah di dalam perusahaan. Golongan karir tersebut dibagi menjadi dua yaitu golongan karir sedang dan golongan karir tinggi. Di PTPN VI Kebun Kayu Aro, karyawan laki-laki dan karyawan perempuan sebagian besar
55
telah menempati golongan karir yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Golongan Karir
Jenis Kelamin Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Tinggi
23
76,67
18
60,00
Rendah
7
23,33
12
40,00
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 5 dapat dibuktikan bahwa karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang tinggi yaitu 76,67 persen dibandingkan karyawan perempuan yaitu 60,00 persen. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tampak perbedaan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan tetapi perbedaan itu tidak begitu besar. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dengan nilai signifikansi 0.165 dengan α sebesar 0,10. PTPN VI Kayu Aro membuat peraturan yaitu karyawan laki-laki dan karyawan perempuan mempunyai hak yang sama dalam golongan karir. Golongan karir ditentukan oleh prestasi kerja karyawan. Prestasi kerja dinilai dari tiga hal yaitu: penilaian khusus oleh asisten atau kepala dinas, penilaian terhadap kesehatan karyawan, dan penilaian terhadap kehadiran dan kepribadian karyawan. Akan tetapi pada kenyataannya laki-laki lebih mudah naik golongan dibandingkan perempuan. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut:
56
“Perusahaan memberi hak yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk naik golongan, akan tetapi peluang untuk naik golongan karyawan laki-laki lebih besar daripada perempuan. Setiap tahun ada saja laki-laki yang naik golongan, namun tidak demikian pada perempuan. Kalaupun perempuan naik golongan dalam satu tahun hanya boleh 1 tingkatan sementara laki-laki dalam satu atahu bisa lebih dari satu tingkatan.” (Ibu Ald, 52 tahun, Karyawan PTPN) Golongan karir karyawan dapat turun ketingkat yang lebih rendah apabila karyawan melakukan kesalahan misalnya tidak disiplin, sedangkan bagi karyawan yang melakukan tindakan kriminal langsung dikeluarkan dari perusahaan.
5.2
Pendapatan Karyawan Pendapatan yang diperoleh karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro
berasal dari upah bulanan. Upah bulanan terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap,dan bantuan RALT/Transpor yang diberikan berdasarkan golongan karyawan, ditambah dengan 15 Kg beras perbulan. Sementara itu juga diberikan premi kepada karyawan berdasarkan perhitungan kerja mereka setiap harinya. Untuk karyawan petik diberikan premi yaitu Rp. 250,- per kilogram teh yang dipetik di luar basis petikan wajib yaitu 32 Kg. Sementara karyawan lainnya diberikan premi lembur yang dihitung perjam setelah jam wajib kerja yaitu 7 jam. Pada kondisi tertentu perusahaan memberikan bonus pada karyawan. Pada umumnya karyawan selalu mendapatkan premi, akan tetapi masih terdapat karyawan yang mendapatkan upah kurang atau sama dengan upah minimum perusahaan sebab dipotong oleh cicilan hutang dan iuran wajib Jamsostek,
57
pensiun. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: “Upah dari perusahaan sebenarnya lumayan sudah sesuai dengan upah minimum yang seharusnya, tapi upah itu hanya ada di dalam kertas perinciannya, sedangkan upah yang saya dan karyawan lainnya terima setiap bulan seringkali lebih sedikit dari pada upah minimum itu karena dipotong dengan cicilan hutang koperasi bagi yang berhutang dan iuran-iuran yang harus dibayar, tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” (Bapak Mk, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)
Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Perbedaan pendapatan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan oleh lebih tingginya golongan karir yang dimiliki karyawan laki-laki dibandingkan karyawan perempuan. Perbedaan pendapatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pengupahan
Jenis Kelamin Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Tinggi
23
76,67
15
50,00
Sedang
7
23,33
15
50,00
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 6 di atas, diketahui bahwa pendapatan karyawan lakilaki berada pada tingkatan tinggi yaitu melebihi dari UMP PTPN VI Kebun Kayu Aro yaitu 76,67 persen, sedangkan karyawan perempuan sebanyak masing-masing 50,00 persen mendapatkan pendapatan tinggi dan rendah. Persentase tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan. Hal
58
ini didukung dengan hasil pengujian statustik yang menunjukkan nilai signifikansi 0,032 dengan α sebesar 0,10. Perbedaan pendapatan itu terjadi sebab selain ditentukan oleh golongan karir, pendapatan juga ditentukan oleh premi. Karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mendapat premi yang lebih besar karena karyawan laki-laki dalam waktu satu bulan tidak mendapat libur sedangkan karyawan perempuan mendapatkan libur cuti haid selama dua hari setiap bulan sehingga karyawan perempuan tidak mendapat premi pada libur cuti haid tersebut. Selain itu untuk karyawan yang bekerja di kebun tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pucuk yang dapat dipetik oleh karyawan laki-laki dalam setiap harinya memang lebih besar dibandingkan dengan karyawan perempuan, sedangkan untuk karyawan pabrik jam kerja lembur pada malam hari hanya diperbolehkan untuk karyawan laki-laki. Sementara yang menjadi sumber premi adalah kelebihan jam kerja (kerja lembur) dan kelebihan jumlah pucuk yang dapat dipetik. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro: “Perusahaan memberi keuntungan buat karyawan perempuan, perempuan dikasih libur dua hari untuk cuti haid jadi ibu-ibu disini bias istirahat. Karena libur perempuan tidak dapat premi hari itu tapi kami lebih memilih dapat libur dari pada premi.” (Ibu Ald, 52 tahun, Karyawan PTPN) 5.3
Jaminan Kerja Karyawan Jaminan kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro dilihat dari perolehan jaminan
kesehatan dan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Jaminan kesehatan yaitu mendapatkan libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan, mendapatkan biaya
59
penggantian bila sakit, mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan bila sakit, mendapatkan biaya pengobatan rawat inap bila sakit, mendapatkan asuransi kesehatan penduduk miskin, mendapatkan hak beristirahat, dan mendapatkan hak beribadah. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yaitu mendapatkan asuransi keselamatan kerja, medapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja, dan mendapatkan fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung, dll). Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro memberikan jaminan kerja yang cukup baik untuk karyawan yaitu jaminan kesehatan maupun jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut: “Saya betah di perusahaan ini walaupun saya karyawan rendahan, karena kalau bekerja di sini saya mendapat banyak keuntungan seperti bisa berobat gratis di Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), pokoknya kesehatan saya terjagalah, kalau RSKA tidak bisa mengobati saya dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar di Sungai Penuh. Waktu saya terluka saat kerja, saya diberi pengobatan. Perusahaan juga pernah memberikan alat-alat untuk kerja, tapi itu jarang dan tidak selalu ada, terakhir sudah lama sekali, saya tidak ingat. Jadi alat untuk bekerja ya saya beli sendiri dengan uang saya. (Bapak Sky, 52 tahun, Karyawan PTPN Kebun Kayu Aro)” Akan tetapi karyawan laki-laki dan karyawan perempuan mendapatkan jumlah jaminan yang berbeda. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
60
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Jaminan Kerja
Jenis Kelamin Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
23
76,67
16
53,33
Kurang Baik
7
23,33
14
46,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa jaminan kerja karyawan laki-laki jauh lebih baik yaitu 76,67 persen, dibandingkan dengan karyawan perempuan yang mendapatkan jaminan kerja baik yaitu 53,33 persen. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja dengan nilai signifikansi 0,058 dengan α sebesar 0,1. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro memberikan jaminan kerja yang sama untuk karyawan laki-laki dan karyawan perempuan. Perbedaan persentase banyaknya jaminan kerja yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan kurangnya pengetahuan karyawan perempuan tentang jaminan keselamatan kerja yang diberikan oleh perusahaan. Jaminan kerja karyawan laki-laki lebih banyak dibandingkan jaminan kerja karyawan perempuan sebab aktivitas kerja karyawan laki-laki yang lebih rentan mengalami kecelakaan tidak dialami oleh karyawan perempuan sehingga karyawan laki-laki yang pernah mengalami atau melihat rekan sesama karyawan laki-laki mengalami kecelakaan saat bekerja mengetahui bahwa mereka mendapatkan jaminan keselamatan kerja sedangkan karyawan perempuan yang belum pernah mengalami atau melihat rekan sesama karyawan perempuan
61
mengalami kecelakaan saat bekerja sebagian tidak mengatahui bahwa mereka mendapat jaminan keselamatan kerja. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut: “Selama saya bekerja di Kebun, Alhamdulillah saya belum pernah terluka, saya juga belum melihat ada teman saya yang terluka parah, paling kalau terluka cuma diobati sendiri di rumah dan itu tidak diberi biaya untuk berobat dari perusahaan. Tapi Pak TL dulu pernah luka lumayan parah saat mengangkut pucuk di Pabrik dan dia diberi pengobatan oleh perusahaan. Mungkin laki-laki diberi biaya atau yang diberi obat hanya untuk yang luka parah, saya juga kurang tahu.” (Ibu Wyt, 43 tahun, Karyawan PTPN)
5.4
Jaminan Keluarga Karyawan Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk
keluarga yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan. Jaminan keluarga dilihat dari mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), mendapat santunan menikah, mendapat santunan melahirkan, mendapat santunan anggota keluarga sakit, mendapat santunan anak khitan/sunatan, mendapat santunan pendidikan anak, mendapat santunan keluarga meninggal dunia, rumah/tempat tinggal, mendapat pinjaman/hutang, mendapat sembako bulanan, mendapat dana pensiun, dan mendapat pesangon bila di-PHK. Sama halnya seperti jaminan kerja, karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbandingan perolehan jaminan keluarga dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini:
62
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Jaminan Keluarga
Jenis Kelamin Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
23
76,67
7
23,33
Kurang Baik
7
23,33
23
76,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 8 di atas, dapat dilihat bahwa jaminan keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki lebih baik daripada karyawan perempuan yaitu 76,67 persen dari karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga yang baik, sedangkan karyawan perempuan lebih banyak mendapatkan jaminan keluarga yang kurang baik yaitu 76,67 persen. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga 0,00 dengan nilai signifikansi 0,058 dengan α sebesar 0,10. Perbedaan jaminan keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa karyawan laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya sehingga jaminan keluarga yang diberikan kepada karyawan laki-laki lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Untuk jenis jaminan keluarga tertentu seperti santunan keluarga sakit, santunan anak khitan/sunatan, santunan pendidikan anak, sembako bulanan, hanya diberikan kepada karyawan laki-laki saja. Jaminan yang diberikan perusahaan untuk karyawan laki-laki diberikan bagi dirinya dan keluarganya sedangkan untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Kurang baiknya jaminan keluarga yang diterima oleh karyawan
63
perempuan terungkap dari hasil wawancara dengan seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut: “Kalau laki-laki mendapat banyak pemberian dari perusahaan daripada perempuan. Seperti bantuan pendidikan anak dan kesehatan anak hanya didapatkan oleh karyawan laki-laki karena laki-laki adalah kepala keluarga. Untungnya suami saya juga bekerja di PTPN jadi anak saya kalau sakit bisa berobat gratis ke RSKA karena dia jadi tanggungan bapaknya. Kalau yang suaminya tidak bekerja di PTPN anaknya tidak bisa berobat gratis di RSKA cuma yang bekerja saja yang bisa. Untuk biaya pendidikan anak sebenarnya cuma sedikit Cuma buat pemondokan, kalau masih tinggal sama orang tua ya tidak dikasih bantuan.” (Ibu Ytn, 42 tahun, Karyawan PTPN) 5.5
Ikhtisar Pekerjaan perkebunan telah disosialisasikan oleh orang tua kepada anak-
anaknya dari usia dini sejak dibukanya Perkebunan teh Kayu Aro sampai dengan dibangunya pabrik teh di Bedeng VIII Kayu Aro. Hal ini membuat anak dan cucu mereka kini banyak bekerja dan tinggal di desa di sekitar perkebunan teh dan menjadi karyawan di PTPN VI Kebun kayu Aro. Kondisi kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi kerja di luar perkebunan menyebabkan banyak angkatan kerja yang ingin menjadi karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro akan tetapi perusahaan belum membuka kesempatan bagi mereka karena kondisi perusahaan yang saat ini kelebihan tenaga kerja. Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan laki-laki dan karyawan perempuan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun masih tampak bahwa karyawan laki-laki lebih
64
banyak berada pada golongan karir yang tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Oleh karena itu, pendapatan karyawan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki memiliki golongan karir yang lebih tinggi dan mendapatkan premi yang lebih besar dibandingkan karyawan perempuan. Jaminan kerja di Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro telah cukup baik. Akan tetapi karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Perbedaan banyaknya jaminan kerja yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan kurangnya pengetahuan karyawan perempuan tentang jaminan keselamatan kerja yang diberikan oleh perusahaan. Sama halnya seperti jaminan kerja, karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya sedangkan perempuan yang bekerja hanya untuk tambahan nafkah dalam keluarga.
VI. FAKTOR-FAkTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Dari penjelasan pada Bab V diketahui bahwa kondisi kerja karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro digambarkan sudah cukup baik. Jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. Karyawan laki-laki cenderung mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan perempuan. Pada Bab VI ini akan dilihat bagaimana hubungan pendidikan, umur, dan lama bekerja dengan kondisi kerja karyawan perkebunan berdasarkan jenis kelamin yang berbeda.
6.1
Hubungan Pendidikan dengan Kondisi Kerja Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah
dilakukan karyawan. Pada PTPN VI Kebun Kayu Aro, pendidikan diduga akan mempengaruhi kondisi kerja karyawan perkebunan. Tabel 9 menunjukkan hubungan pendidikan dan kondisi kerja yang diperbandingkan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan.
66
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan
Kondisi kerja
Pendidikan Tidak Lulus SD
Lulus SD
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
9
100,00
16
76,19
Kurang Baik
0
0,00
5
23,81
9
100,00
21
100,00
Baik
9
52,94
4
30,77
Kurang Baik
8
47,06
9
69,23
17
100,00
13
100,00
Laki-Laki Total Perempuan Total
Dapat dilihat pada Tabel 9 terdapat 100,00 persen karyawan laki-laki yang tidak lulus SD yang mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 76,19 persen karyawan laki-laki mempunyai pendidikan lulus SD mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan, terdapat 52,94 persen karyawan perempuan yang tidak lulus SD mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 30,77 persen karyawan perempuan yang lulus SD mendapat kondisi kerja yang sudah baik. Data ini menunjukkan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: “Kerja disini tidak memandang pernah sekolah atau gak, apalagi untuk jadi karyawan rendahan. Saya lulus SD, bahkan pernah SMP tapi sama saja dengan teman saya yang tidak pernah sekolah, kami sama-sama golongan IB. Soal upah juga tidak karena pendidikan tapi karena golongan kita di perusahaan sama kerajinan kita disini, misalnya kalau metik banyak dapatnya banyak, kalau lembur dikasih tambahan upah. Kalau fasilitas sama jaminan kantor itu karena dia laki-laki atau perempuan.” (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)
67
Tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja juga dibuktikan oleh pengujian statistik dengan nilai signifikansi 0.382 dengan α sebesar 0,10.
6.2
Hubungan Umur dengan Kondisi Kerja Umur merupakan salah satu faktor penentu kondisi kerja. Seperti yang
telah diketahui pekerjaan perkebunan merupakan pekerjaan yaang banyak menggunakan fisik dari pada hal lainnya, terbukti dari tidak berpengaruhnya faktor pendidikan dalam menentukan kondisi kerja. Karena pada kasus ini yang dibahas adalah karyawan pelaksana maka pekerjaan ini terkait dengan tenaga. sehingga sebaiknya dilakukan oleh kaum muda. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara umur dan karyawan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini:
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan
Kondisi kerja
Umur
≤ 45 Tahun
> 45 Tahun
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
8
66,67
17
94,44
Kurang Baik
4
33,33
1
5,56
12
100,00
18
100,00
Baik
2
15,38
11
64,71
Kurang Baik
11
84,62
6
35,29
13
100,00
17
100,00
Laki-Laki Total Perempuan Total
68
Tabel 10 di atas menunjukan terdapat 66,67 persen karyawan laki-laki yang berumur ≤ 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 94,44 persen karyawan laki-laki yang berumur > 45 tahun mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik pula. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan, terdapat 15,38 persen karyawan perempuan yang berumur ≤ 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 64,71 persen karyawan perempuan yang yang berumur > 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kondisi kerja karyawan dengan nilai signifikansi 0,002 dengan α sebesar 0,10. Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,391, artinya semakin tua seseorang maka semakin baik kondisi kerja karyawan Dugaan
awal
seharusnya
karyawan
yang
berumur
lebih
muda
mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik daripada karyawan yang berumur lebih tua. Pada kasus kondisi kerja di PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro, ternyata baik pada karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan, umur yang lebih tua mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja. Hal ini menyangkut pengalaman kerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua. Hal juga ini didukung oleh ungkapan dari seorang karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro: “Biasanya karyawan yang lebih tua labih baik daripada yang lebih muda, hal itu karena mereka lebih dulu bekerja di perusahaan sehingga golongan mereka jadi lebih tinggi. Mereka yang tua lebih berpengalaman sehingga bekerja lebih cepat. Mereka lebih akrab dengan atasan bahkan atasan yang lebih muda menghormati karyawan tersebut sehingga kebutuhan mereka di perusahaan lebih dipermudah.” (Bapak Aq, 39 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)
69
6.3
Hubungan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai
dari awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Selain itu adanya pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik. Begitu pula halnya dengan jaminan kerja dan jaminan kesehatan misalnya jumlah cuti dalam satu tahun. Selain itu karyawan yang bekerja lebih dari 25 tahun akan mendapatkan bonus dari perusahaan berupa emas sebanyak 10 gram, uang sebanyak enam bulan gaji. Sedangkan untuk yang lebih dari 30 tahun akan mendapatkan uang dan piagam, begitu juga ketika karyawan bekerja sampai lebih dari 35 tahun. Untuk mengetahui hubungan lama bekerja dengan kondisi kerja yang diperbandingkan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan dapat dilihat dari Tabel 11 berikut ini:
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan
Kondisi kerja
Lama Bekerja
≤ 25 Tahun
> 25 Tahun
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
11
68,75
14
100,00
Kurang Baik
5
31,25
0
0,00
16
100,00
14
100,00
Baik
6
33,33
7
58,33
Kurang Baik
12
66,67
5
41,67
18
100,00
12
100,00
Laki-Laki Total Perempuan Total
70
Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa terdapat 68,75 persen karyawan laki-laki yang bekerja selama ≤ 25 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 100,00 persen karyawan laki-laki yang bekerja selama lebih dari 25 tahun mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik pula. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan yang bekerja selama ≤ 25 tahun lebih banyak mendapat kondisi kerja yang kurang baik yaitu sebanyak 66,67 persen, sedangkan karyawan perempuan yang bekerja selama lebih dari 25 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik sebanyak 58,33 persen. Data tersebut membuktikan bahwa lama bekerja berhubungan dengan kondisi kerja. Hal ini didukung oleh pengujian statistik yang menunjukan nilai signifikansi 0,054 dengan α sebesar 0,10. Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,250 artinya semakin lama karyawan bekerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro maka semakin baik kondisi kerjanya.
6.4
Ikhtisar Pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro
ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. Umur memiliki hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan, semakin tua karyawan maka semakin baik kondisi kerja karyawan. Hal ini karena pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua.
71
Lama bekerja mempunyai hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik.
VII. HUBUNGAN KONDISI KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan tentang kondisi kerja karyawan perkebunan dan faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan tersebut. Pada bab ini akan dilihat bagaimana hubungan kondisi kerja karyawan terhadap kesejahteraan keluarga karyawan pada saat penelitian dilakukan. Kesejahteraan keluarga karyawan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. Keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Ayu Aro secara umum sudah sejahtera. Kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Variabel-variabel yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro adalah variabel pada kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga). Hasil pengujian statistik untuk hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga karyawan disajikan pada Tabel 12.
73
Tabel 12. Hasil Pengujian Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro Kondisi Kerja
Kesejahteraan Keluarga Kesehatan
Pendidikan
Koefisien
p-
Koefisien
(x )
2
value
0,230
Pendapatan Jaminan
Golongan
Pola Konsumsi
Perumahan
p-
Koefisien
p-
Koefisien
p-
(x )
value
(x )
2
value
(x )
2
value
0,077
-0,134
0,307
0,067
0,613
0,077
0,560
0,77
0,560
-,296
0,022
-0,199
0,128
0,067
0,611
0,184
0,160
-0,161
0,219
0,119
0,365
0,132
0,314
0,234
0,072
0,076
0,562
0,352
0,006
-0,033
0,076
2
Karir
Kerja Jaminan Keluarga
Hipotesis penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga, namun berdasarkan hasil pengujian statistik membuktikan bahwa tidak hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, baik terhadap kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, maupun perumahan. Artinya tidak ada perbedaan dalam hal kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan diantara keluarga karyawan yang memiliki perbedaan golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Namun ada beberapa variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Secara umum kesejahteraan Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik. Tidak adanya hubungan kondisi kerja dengan keluarga karyawan berdasarkan pengujian statistik disebabkan terdapat faktor lain yang berhubungan
74
dengan kesejahteraan keluarga yaitu jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, pendapatan keluarga di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan perkebunan, dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga yang tidak bersumber dari perusahaan perkebunan. Logikanya, semakin banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh sebuah keluarga, maka semakin banyak pula kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi sedangkan apa yang dimiliki sebuah keluarga tetap sama. Namun, dari hasil penelitian ternyata pada kasus keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Usia karyawan yang secara umum sudah tua menyebabkan anak mereka tidak lagi menjadi tanggungan keluarga dan keberhasilan pihak perusahaan yang mengadakan program Keluarga Berencana (KB) untuk karyawannya melalui pemberian pengarahan secara terprogram oleh petugas kesehatan Rumah Sakit Kayu Aro menyebabkan jumlah anak karyawan menjadi sedikit. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejaahteraan keluarga juga disebabkan banyaknya keluarga karyawan yang memiliki pendapatan yang tidak hanya bersumber dari pendapatan karyawan yang bekerja di perkebunan seperti bersumber dari pekerjaan lain atau hasil pendapatan anggota keluarga yang lain serta adanya sumbangan atau subsidi lain yang bukan dari perusahaan seperti subsidi pemerintah. Kesejahteraan keluarga karyawan dapat dijelaskan secara rinci pada sub bab berikut:
75
7.1
Kesehatan Keluarga Karyawan Kesehatan keluarga adalah kondisi status kesehatan dan taraf gizi
keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Status kesehatan dilihat dari angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan. Status kesehatan karyawan dapat dilihat dalam Tabel 13 berikut:
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Status Kesehatan
Keluarga Karyawan Laki-Laki
Karyawan Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
21
70,00
17
56,67
Kurang Baik
9
30,00
13
43,33
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Dilihat dari Tabel 13 di atas kesehatan keluarga karyawan sudah baik karena lebih dari 50,00 persen keluarga karyawan baik laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan memiliki status kesehatan yang baik. Itu artinya lebih dari 50,00 persen karyawan yang menjadi responden sakit ≤ 2 kali sakit dalam satu tahun pada tahun lalu dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke dokter atau rumah sakit. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro telah menyediakan sarana pengobatan yang diberikan perusahaan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA) yang dapat diakses oleh karyawan laki-laki dan termasuk istri dan anakanaknya dengan gratis. Namun demikian, kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan keluarga karyawan laki-laki. Sedikitnya perbedaan antara keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan
76
perempuan disebabkan banyaknya karyawan perempuan yang menjadi responden memiliki suami yang juga bekerja di PTPN sehingga anggota keluarganya dapat mengakses RSKA dengan gratis, tetapi untuk karyawan perempuan yang suaminnya tidak bekerja atau bukan karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro, anak dari karyawan perempuan tersebut tidak dapat mengakses RSKA dengan gratis sehingga kesehatan keluarga karyawan perempuan lebih rendah daripada keluarga karyawan laki-laki.. Untuk mengetahui kondisi kesehatan keluarga karyawan selain melalui status kesehatan, dilihat pula dari taraf gizi. Taraf gizi diukur dari dua hal yaitu frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan. Taraf gizi karyawan dapat dilihat dalam Tabel 14 berikut:
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Taraf Gizi
Keluarga Karyawan Laki-Laki
Karyawan Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
24
80,00
19
63,33
Kurang Baik
6
20,00
11
36,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 14 atas, dapat dilihat bahwa taraf gizi keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki lebih baik daripada keluarga karyawan perempuan yaitu 80,00 persen dari keluaraga karyawan laki-laki mempunyai taraf gizi yang baik, sedangkan taraf gizi keluarga karyawan perempuan kurang baik dibandingkan kaluarga karyawan laki-laki yaitu 63,33 persen.
77
Di luar hal tersebut taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena lebih dari 50,00 persen keluarga karyawan baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi sampel makan > 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh responden sudah mencukupi kebutuhan gizi yaitu kebutuhan karbohidrat dan protein sudah terpenuhi bahkan zat gizi lain seperti lemak, vitamin, dan lainnya juga sudah dipenuhi.
7.2
Pendidikan Keluarga Karyawan Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan
yang Drop Out atau tidak melanjutkan sekolah. Pendidikan keluarga dapat memberikan gambaran kesejahteraan keluarga yang terlihat dari keberhasilan menyekolahkan
anak
karyawan
perusahaan
perkebunan.
Keberhasilan
menyekolahkan anak dapat dilihat dari Tabel 15 berikut:
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pendidikan Keluarga
Keluarga Karyawan Laki-Laki
Karyawan Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
17
56,67
15
50,00
Kurang Baik
13
43,33
15
50,00
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 15 di atas dapat dilihat bahwa keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka.
78
Terlihat dari persentase pendidikan keluarga karyawan laki-laki (43,33 persen) dan keluarga karyawan perempuan (50,00 persen) yang masih kurang baik. Akan tetapi banyak alasan yang menyebabkan kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan, selain kurangnya biaya ternyata tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah menjadi alasan utama kurang baiknya pendidikan keluarga. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro: “Saya sudah berusaha bilang pada anak saya untuk melanjutkan sekolah saja agar nanti tidak menjadi karyawan rendahan seperti saya, tapi anak saya tetap tidak mau, katanya buat apa sekolah cuma bikin capek dan mengahabiskan uang, lebih baik bekerja saja.” (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) “Anak saya sudah punya skire (pacar) jadi dia tidak mau melanjutkan sekolah, dia mau menikah saja dengan pacaranya padahal saya ikhlas hidup susah asalkan anak saya mau sekolah tapi anaknya gak mau ya mau diapakan lagi, apalagi bapaknya tidak mendukung saya, malah mendukung keinginan anaknya, katanya anak perempuan gak perlu sekolah tingi-tinggi karena akhirnya juga ngurusin dapur sama kasur.” (Ibu Wyt, 43 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan salah perusahaan perkebunan yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan keluarga karyawan perkebunan sebab perusahaan telah menyediakan sarana pendidikan mulai dari pendidikan untuk pra sekolah sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) bahkan perusahaan juga memberikan santunan pendidikan untuk anak karyawan, akan tetapi hal ini terjadi karena rendahnya pendidikan orang tua sehingga tidak mampu memberi motivasi kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah atau meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, tidak pula terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka.
79
7.3
Pola Konsumsi Keluarga Karyawan Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga
untuk kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi non-makanan. Pola konsumsi adalah salah satu kondisi karyawan yang menggambarkan kesejahteraan keluarganya. Kondisi pola konsumsi dapat dilihat dari Tabel 16 berikut ini:
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pola Konsumsi
Keluarga Karyawan Laki-Laki
Karyawan Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
18
60,00
7
23,33
Kurang Baik
12
40,00
23
76,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Tabel 16 di atas menggambarkan bahwa pola konsumsi keluarga karyawan laki-laki lebih baik yaitu 60,00 persen, dibandingkan dengan pola konsumsi keluarga karyawan perempuan yaitu 23,33 persen. Pola konsumsi keluarga karyawan perempuan dapat dikatakan kurang baik karena sebagian besar yaitu 76,67 dari sampel keluarga karyawan perempuan pola konsumsinya kurang baik. Pola konsumsi keluarga karyawan yang menjadi sampel pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan. Hal ini dikarenakan mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Hal ini di dukung kondisi mereka yang setiap hari bekerja sehingga tidak banyak hal yang lebih penting daripada makanan untuk menjaga
80
kesehatan mereka. Hal ini terungkap dari seorang karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro yaitu: “Yang terpenting untuk karyawan seperti saya dan teman-teman cuma makanan, asal perut kenyang sudah cukup, badan juga jadi sehat. Mau beli baju baru juga gak tau mau dipeke kemana, paling waktu lebaran saja beli baju, itu juga buat anak-anak, kalau sudah tua baju ya gak guna, kan saya sudah punya istri. Maunya saya punya rumah mewah tapi gak cukup juga. Upah saya ya digunakan untuk makan, anak saya juga tidak sekolah jadi gak ada uang keluar untuk biaya sekolah anak.” (Bapak Sd, 51 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Waktu yang banyak dihabiskan oleh karyawan perkebunan untuk bekerja di perusahaan membuat karyawan jarang sekali melakukan aktivitas di luar bekerja seperti rekreasi atau berpergian sehingga biaya untuk hal tersebut jarang ada. Biaya untuk keperluan pakaian, sepatu, sandal, dan assesoris hanya dikeluarkan pada saat hari raya dan itupun biasanya lebih diprioritaskan untuk anak mereka karena mereka beranggapan benda-benda tersebut tidak terlalu penting untuk mereka yang sudah tua dan mereka tidak ada waktu dan tujuan menggunakan benda-benda tersebut karena untuk bekerja mereka cukup memakai pakaian lama yang sudah jelak. Seperti yang diungkapkan oleh seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: “Saya dan suami tidak pernah beli baju baru atau sandal yang bagus, paling saat hari raya Idul Fitri, itu juga tidak setiap tahun karena nanti baju dan sandal yang bagus tidak bias dipakai lagi. Kan sayang kalau dipakai untuk ke kebun. Tapi untuk anak baju lebaran selalu dibeli, kalu tidak dia akan iba hati.” (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)
81
7.4
Perumahan Keluarga Karyawan Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang
menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status rumah, keadaan rumah, keadaan MCK, alat penerangan, fasilitas komunikasi. Pada prinsipnya perusahaan sudah berusaha untuk memberikan fasilitas perumahan untuk setiap karyawan, namun sebagian besar karyawan telah mampu untuk memiliki rumah pribadi sehingga kebanyakan dari keluarga karyawan tinggak di rumah-rumah pribadi di daerah sekitar perusahaan perkebunan. Rumah yang disediakan oleh perusahaan adalah rumah peninggalan jaman Belanda yang masih dalam kondisi baik dan layak untuk dihuni berupa bangunan semi permanen. Lingkungan membuat karyawan mendirikan rumag pribadi mereka dengan bentuk yang hampir serupa yaitu bangunan yang semi permanen, sepertiga bagian bawah rumah terbuat dari beton dan sisanya terbuat dari papan. Selain mengikuti model yang mereka inginkan, hal ini bertujuan agar suhu di dalam rumah tidak terlalu dingin karena daerah Kayu Aro adalah daerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. Rumah yang disediakan oleh perusahaan telah memiliki MCK, begitupula dengan rumah pribadi yang dimiliki oleh keluarga karyawan, walaupun sebagian kecil dari rumah karyawan masih ada yang memiliki dua diantara tiga macam MCK. Untuk penerangan di rumah-rumah karyawan sebagian menggunakan jasa PLN, sedangkan yang belum menggunakan PLN penerangannya dikelola oleh Koperasi Karyawan Aroma Pecco dengan mendapat subsidi dari perusahaan. Perkembangan teknologi yang kini telah merambah ke pelosok daerah-daerah membuat keluarga karyawan yang tinggal di sekitar perusahaan telah memiliki
82
fasilitas komunikasi yaitu handphone, bagi mereka yang tidak memiliki handphone mereka dapat menggunakan jasa warung telepon yang ada di Kayu Aro. Adapun perumahan yang dimiliki keluarga karyawan keluarga laki-laki dan keluarga karyawan perempuan dapat dilihat dari Tabel 17 di bawah ini:
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Perumahan
Keluarga Karyawan Laki-Laki
Karyawan Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
Baik
19
63,33
19
63,33
Kurang Baik
11
36,67
11
36,67
Jumlah
30
100,00
30
100,00
Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat diketahui bahwa perumahan keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan telah baik. Baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan (63,33 persen) telah memiliki keadaan infastruktur rumah yang baik. Namun, 36,67 persen dari karyawan laki-laki dan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Keadaan infrastruktur rumah perempuan yang kurang baik dikarenakan terdapat karyawan perempuan yang tidak memiliki suami sehingga pendapatan hanya bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan karyawan laki-laki jarang sekali yang tidak memiliki istri, bahkan dari semua karyawan semuanya memiliki istri.
83
7.5
Ikhtisar Keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Ayu
Aro secara umum sudah sejahtera. Kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Kesehatan keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI
Kebun Kayu Aro sudah baik karena baik keluarga laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan memiliki status kesehatan yang baik yaitu hanya ≤ 2 kali sakit dalam satu tahun pada tahun lalu dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke dokter atau rumah sakit karena perusahaan menyediakan sarana pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA). Namun demikian, kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan keluarga karyawan laki-laki karena untuk karyawan laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan yang menjadi sampel makan > 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh responden sudah mencukupi kebutuhan gizi yaitu kebutuhan karbohidrat dan protein sudah terpenuhi bahkan zat gizi lain seperti lemak, vitamin, dan lainnya juga sudah dipenuhi. Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan, selain karena kurangnya biaya ternyata tidak adanya kemauan anak
84
untuk melanjutkan sekolah menjadi alasan utama kurang baiknya pendidikan keluarga. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, akan tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua sehingga tidak mampu memberi motivasi kepada anak-anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka. Pola konsumsi keluarga karyawan yang menjadi sampel pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Kondisi mereka yang setiap hari bekerja sehingga tidak banyak hal yang lebih penting daripada makanan untuk menjaga kesehatan mereka. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik. Baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan telah memiliki keadaan infastruktur rumah yang baik. Walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Pada kasus keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Hal ini karena kebanyakan dari keluarga karyawan memiliki jumlah anak yang sedikit karena adanya program KB dari perusahaan dan usia karyawan yang kebanyakan sudah tua sehingga anak mereka sudah tidak menjadi tanggungannya. Perbedaan kesejahteraan keluarga karyawan juga disebakan oleh pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis kelamin berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 2. Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin, hal ini dilihat karena: a. Karyawan laki-laki dan karyawan perempuan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun masih tampak bahwa karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang tinggi dibandingkan karyawan perempuan. b. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi, karena karyawan laki-laki dan perempuan sebagian besar telah menempati golongan karir yang sama diasumsikan upah yang diterima oleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan sama pula. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mendapat premi yang lebih besar. c. Pada Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, jaminan kerja yang diberikan telah cukup baik. Akan tetapi karyawan lakilaki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya.
86
3. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dan tidak berhubungan terhadap kondisi kerja karyawan baik karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan di perusahaan perkebunan, yaitu: a. Pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. b. Umur memiliki hubungan dengan kondisi kerja, umur yang lebih tua mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Hal ini karena pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua. c. Lama bekerja mempunyai hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik. 4. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, baik terhadap kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, maupun perumahan. Artinya tidak ada perbedaan dalam hal kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan diantara keluarga karyawan yang memiliki perbedaan golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga.
87
Namun ada beberapa variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan, sumbangan, dan subsidi yang diperoleh keluarga karyawan selain yang bersumber dari perusahaan.
8.2
Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro sebaiknya memperbaki cara penaikan golongan karir dan pemberian jaminan karyawan yang sama baik untuk karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan. 2. Menghilangkan steriotipe bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga sedangkan perempuan yang bekerja hanya untuk tambahan nafkah dalam keluarga. Salah satu upaya untuk menghilangkan steriotipe ini adalah melalui sosialisasi gender pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Diharapkan dengan adanya sosialisasi gender akan membuat kondisi kerja yang sama dan lebih baik di perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. 3. Meningkatkan komunikasi antara perusahaan dengan karyawan tentang hak dan kewajiban karyawan sehingga tidak ada lagi karyawan yang tidak
88
mengetahui hak dan kewajibannya. Upaya yang dilakukan yaitu dengan menempelkan hal yang terkait hak dan kewajiban karyawan dan perusahaan serta peraturan-peraturan yang berlaku di sekitar perusahaan dan perusahaan mengingatkan perihal tersebut dalam kegiatan-kegiatan sosial perusahaan misalnya pada arisan karyawan. 4. Membangkitkan motivasi anak-anak karyawan untuk mau meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Upayanya yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada anak-anak dan orang tua mereka tentang pentingnya pendidikan untuk anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Lukytawati. 2003. Peranan Perkebunan Kelapa Rakyat dalam Pertumbuhan Wilayah dan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Badan Pusat Statistik. 2007a. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: BPS. ---------. 2007b. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. ---------. 2006. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. ---------. 2005. Sensus Pertanian: Analisis Rumahtangga Usaha Perkebunan. Jakarta: BPS. ---------. 2003. Sensus Pertanian: Hasil Pencacahan Survei Rumahtangga Usaha Perkebunan. Jakarta: BPS. Daulay, Pardamean. 2006. Sekali Buruh Tetap Buruh: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. de-Vries, Dede Wiliam. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi kelompok Perempuan di Jambi. Bogor : CIFOR. Fakih, Mansoer. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Grijns, Mies. 1987, “Tea-Pickers in West Java as Mothers and Workers”, Female Work and Women’s Jobs pp. 104-119 in : E. Locher-Scholten & A. Niehof (eds). Indonesia Woman in Focus, Past and Present Notions. Dordrecht: Foris Publication. Hastuti, Endang. L. 2003. Hambatan Sosial Budaya dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(8)%20soca-endanghambatan%20sosbud(1).pdf (10 Maret 2009, 21.00). Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
90
Kristina, P. M. Delima. 2004. Hubungan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja Karyawan Pemanen Kelapa Sawit: Kasus PT. MP Leidong West Perkebunan Sinar Mas I Kanopan Ulu, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Propinsi Sumater Utara. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Lubis, Djuara P. 1989. Peranan Wanita dalam Interaksi Kelompok pada Masyarakat Lingkungan Perkebunan Besar. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB. Masithoh, Arifah Dewi. 2005. Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat: Suatu Kajian Perbandingan Komunitas Petani perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Moser, Caroline. 1986. Memenuhi Kebutuhan Praktis Dan Kebutuhan Strategis Gender (Terjemahan). London : University College. Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Skripsi. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian IPB. Nur R, Tri Hastuti. 2002. Memprihatinkan, Nasib Perempuan Buruh. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0211/04/dikbud/memp48.htm. (1 Juli 2008: 20.21). Oktaviani, Linda. 1995. Interaksi Antar Strata Sosial dalam Komunitas Perkebunan: Studi kasus pada Komunitas Perkebunan Kelapa Sawit Milik PT. Sahabat Mewah dan Makmur di Desa Jangkang, Kecamatan Dendang, DATI II Kabupaten Belitung, Sumatera Selatan. Skripsi. Depok: Antroplogi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saptari, Ratna & Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
91
Singarimbun, Masri dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Suharto, Edi. 2006. Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf (2 April 2009, 11:27) Tetiani, Ani. 2005. Memudarnya Dualisme Ekonomi: Studi Mobilitas Sosial Komunitas Perkebunan Teh Kertamanah, Pengalengan, Jawa Barat. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Wattimena, J. R. 2009. Meninjau Konsep Kesenjangan Kesejahteraan. http://www.maltengkab.go.id/bappeda/artikel.php?id=4( 2 April 2009, 11:27). Wijaya, Wawuk Krisiant. 2005. Strategi Kehidupan Rumahtangga Kuli di Komunitas Perkebunan Blitar. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.
LAMPIRAN
93
Lampiran 1 Hasil Pengujian Chi-Squere 1. Hubungan Jenis Kelamin dan Kondisi Kerja Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Contingency Coefficient
Value .383
N of Valid Cases
Approx. Sig. .001
60
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja Keputusan : p-value 0,001 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja Nilai koefisien kontingensi = 0,383 2. Hubungan
Jenis Kelamin dengan Golongan Karir
Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Contingency Coefficient
Value .176
N of Valid Cases
Approx. Sig. .165
60
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir Keputusan : p-value 0,165 > α = 0,10 sehingga terima H0, artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir Nilai koefisien kontingensi = 0,176 3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Pendapatan Symmetric Measures
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Value .267
Approx. Sig. .032
60
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan Keputusan : p-value 0,032 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan Nilai koefisien kontingensi = 0,267
94
4. Hubungan Jenis kelamin dengan Jaminan Kerja Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Contingency Coefficient
N of Valid Cases
Value .238
Approx. Sig. .058
60
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja Keputusan : p-value 0,058 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja Nilai koefisien kontingensi = 0,238 5. Hubungan Jenis Kelamin dengan Jeminan Keluarga Symmetric Measures
Nominal by Nominal
Contingency Coefficient
Value .558
Approx. Sig. .000
N of Valid Cases
60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga Keputusan : p-value 0,000 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga Nilai koefisien kontingensi = 0,267
Lampiran 2 Hasil Pengujian dengan Korelasi Rank Spearman Hubungan Pendidikan, Umur, dan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja Spearman's rho
Pendidikan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Umur Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Lama Bekerja Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kondisi Kerja Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pendidikan 1.000 . 60 -.330(*) .010 60 -.186 .156 60 -.115 .382 60
Umur -.330(*) .010 60 1.000 . 60 .671(**) .000 60 .391(**) .002 60
Lama Bekerja -.186 .156 60 .671(**) .000 60 1.000 . 60 .250 .054 60
Kondisi Kerja -.115 .382 60 .391(**) .002 60 .250 .054 60 1.000 . 60
H0: tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,382 > α = 0,10 sehingga terima H0, artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja H0: tidak ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,002 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja H0: tidak ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,054 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja
96
Hubungan Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga (Kesehatan, Pola Konsumsi, Pendidikan, dan Perumahan Correlations
Spearman's rho
Golongan Karir
Pendapatan
Jaminan Kerja
Jaminan Keluarga
Kesehatan
Pola Konsumsi
Perumahan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed) N Pendidikan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Golongan Karir 1.000 . 60 .746(**) .000 60 .400(**) .002 60 .161 .218 60 .230 .077 60 .067 .613 60 .077 .560 60 -.134 .307 60
Pendapatan .746(**) .000 60 1.000 . 60 .549(**) .000 60 .177 .177 60 .077 .560 60 -.199 .128 60 .067 .611 60 -.296(*) .022 60
Jaminan Kerja .400(**) .002 60 .549(**) .000 60 1.000 . 60 .494(**) .000 60 .184 .160 60 .119 .365 60 .132 .314 60 -.161 .219 60
Jaminan Keluarga .161 .218 60 .177 .177 60 .494(**) .000 60 1.000 . 60 .234 .072 60 .352(**) .006 60 -.033 .805 60 .076 .562 60
Kesehatan .230 .077 60 .077 .560 60 .184 .160 60 .234 .072 60 1.000 . 60 .139 .288 60 .077 .560 60 .010 .942 60
Pola Konsumsi .067 .613 60 -.199 .128 60 .119 .365 60 .352(**) .006 60 .139 .288 60 1.000 . 60 -.058 .657 60 .723(**) .000 60
Perumahan .077 .560 60 .067 .611 60 .132 .314 60 -.033 .805 60 .077 .560 60 -.058 .657 60 1.000 . 60 -.088 .505 60
Pendidikan -.134 .307 60 -.296(*) .022 60 -.161 .219 60 .076 .562 60 .010 .942 60 .723(**) .000 60 -.088 .505 60 1.000 . 60
Lampiran 3
Lampiran 4 DOKUMENTASI Infrastruktur Perusahaan
Pabrik Pengolahan Teh
Kantor PTPN VI Kayu Aro
Perumahan Staf
Perumahan Karyawan
Kantor SDM dan Humas
Kegiatan di PTPN VI Kebun Kayu aro
Kegiatan Memetik Pucuk
Penimbangan Pucuk Teh
Kegiatan Bongkar Muat
Kegiatan Balik Daun
Kegiatan Menganalisa Pucuk Teh
Bagian Daun layu
Bagian penggulungan
Bagian Sortasi
Bagian pengepakan di pabrik