TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA
MANAJEMEN PERPAJAKAN
Kelompok : ANDI AMIRULLAH ARIF TIRO - 15/391326/EE/07067 MEYLIA CANDRAWATI
- 15/391382/EE/07122
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA 1. Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan Untuk Menghitung Angsuran Masa PPh Pasal 25 Pajak
Penghasilan
(PPh)
adalah
pajak
atas
penghasilan
yang
diterima/diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak. Penghitungan besarnya penghasilan dan PPh yang terhutang untuk satu tahun pajak secara prinsip hanya bisa dilakukan manakala tahun pajak yang bersangkutan telah berakhir dan WP sudah melakukan tutup pembukuan. Dengan demikian, perhitungan besarnya penghasilan dan besarnya PPh yang terhutang tersebut baru dapat diketahui pada saat WP membuat SPT Tahunan PPh. Akan tetapi dalam konteks perpajakan Indonesia, WP tidak diperkenankan melakukan pembayaran seluruh jumlah PPh yang terhutang sekaligus hanya pada saat menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan PPh kepada kantor pajak. WP dalam hal ini diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil pembayaran PPh-nya selama tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT Tahunan PPh. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekuranganbayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebihbayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPTTahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21,22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.Sebelum menghitung besarnya angsuran atau cicilan PPh Pasal 25, dilakukan pengelompokkan jenis penghasilan terlebih dahulu. Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 25, pengelompokan jenis penghasilan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Penghasilan Non Obyek (pasal 4 ayat 3) b. Penghasilan Obyek Pajak (pasal 4 ayat 1) Bersifat Tidak Final / Final (Pasal 4 ayat 2)
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan. Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final
tidak dapat dikurangkan. Objek pajak dari PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut meliputi: a) Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro b) Penghasilan dari transaksi lainnya di bursa efek c) Bunga/diskoto Obligasi d) Hadiah Undian e) Jasa Konstruksi f) Persewaan Tanah/bangunan g) Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan h) Penghasila tertentu lainnya Bersifat Tidak Teratur / Teratur Penghasilan yang bersifat teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Adapun contoh penghasilan berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut: 1) Penghasilan dari Pekerjaan, contoh: gaji, honor, dan lain-lain. 2) Penghasilan dari Pekerjaan Bebas, contoh: dokter, akuntan, konsultan, dan lain-lain. 3) Penghasilan dari Usaha, contoh: laba usaha 4) Penghasilan dari Harta/Modal, contoh: sewa, bunga, dividen, dan lain-lain. 5) Penghasilan Lain-lain, contoh: pembebasan utang, hadiah, dan lain-lain. Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan
harta
(capital
gain)
sepanjang
bukan
merupakan
penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat
insidentil.Dalam
perhitungan
PPh
pasal
25,
variabel
penghasilan-penghasilan yang tidak teratur harus dihitung ulang dari
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA Penghasilan Kena Pajak.Dimana variabel tersebut bisa ditambahkan atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. 2. Foreign Exchange Revenue(Laba Selisih Kurs) Pada prinsipnya wajib pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang rupiah tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut akan timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut. Keuntungan atau kerugian selisih kurs juga memungkinkan timbul dari transaksi utang-piutang, selisih kurs ini timbul akibat perbedaan kurs antara tanggal pencatatan hutang atau piutang dengan kurs tanggal neraca atau tanggal akhir periode akuntansi atau perbedaan juga timbul akibat selisih kurs mata uang asing pada tanggal neraca dengan tanggal pelunasan. Adapun jenis-jenis transaksi yang memungkinkan transaksi dalam mata uang asing diantaranya adanya pendapatan atau pembelian barang dan jasa dimana harganya ditetapkan dalam mata uang asing, adanya pembelian aktiva tetap, dan adanya utang atau pinjaman dalam mata uang asing. Dasar Hukum Laba Rugi Selisih Kurs Laba rugi selisih kurs merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi laba perusahaan.Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, keuntungan selisih kurs merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l. Dimana di dalamnya disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia dan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undangundang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK Nomor 10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang penghasilan tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 3. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN Keluaran dan DPP PPh yang Diotong/Dipungut Rekonsiliasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN ini penting dengan tujuan untuk memastikan semua peredaran usaha telah di laporkan di dalam SPT PPN; dan untuk memberikan penjelasan kepada fiskus jika terdapat perbedaan antara jumlah peredaran usaha yang dilaporkan di SPT PPh dan SPT PPN. Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena dua kondisi, yaitu: a. Karena karakteristik transaksi b. Karena Peraturan yang berlaku
memang
mengakibatkan
timbulnya
perbedaan. Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain dikarenakan oleh: a. Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cumacuma, dan lain-lain. b. Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak. Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA dilakukan dengan taat asas.Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi.Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak
selalu
menggunakan
kurs
transaksi.Kadangkala
Wajib
Pajak
menggunakan kurs rata-rata dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak. c. Pemberian Cash Discount Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo/syarat pembayaran yang telah disepakati sebelumnya.Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan. d. Adanya kesalahan tulis atau hitung Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT Masa PPN.Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi PPN ini dilakukan secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan cara mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan 10%.Apabila sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan PPN masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya.Apabila masih ada yang tertinggal belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera dilakukan pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya.Meskipun hal ini tetap menjadi exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah melakukan
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan. 4. Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran Usaha Benchmarking (perbandingan) adalah suatu proses sistematik dalam membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Model benchmarking umumnya digunakan dalam dunia bisnis.Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi dalam rangka melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama akan cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang mewakili karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut Total Benchmarking. Karakteristik Total Benchmarking Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha; 2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan ingkat laba dan input-input perusahaan; 3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark; 4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tujuan Total Benchmarking Tujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE11/PJ/2010
tentang
penetapan
Rasio
Total
Benchmarking
tahap
II
yang
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu: 1. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT Tahunan yang dilaporkan Wajib Pajak; 2. Membantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, terutama menyangkut kepatuhan materialnya. Manfaat total benchmarking menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu: 1. Supporting tools bagi program intensifikasi/ penggalian potensi pajak; 2. Alat bantu dalam penghitungan tax gap. Proses dan Metode penetapan Benchmarking Proses dan Metode penetapan Benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu: 1. Nilai
masing-masing
benchmarking
ditetapkan
untuk
masing-masing
kelompokusaha berdasarkan 5 digit kode KlasifikasiLapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak.Klasifikasi Lapangan Usaha dimaksudadalah KLU sesuai Keputusan DirjenPajak nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal 14Februari 2003; 2. Penetapan rasio-rasio benchmarking untuk keseluruhan kelompok usaha dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak; 3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmarking adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari: a. Elemen-elemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan; b. Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN; c. Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan. Perhitungan semua rasio selain rasio PPN menggunakan elemen data hasil perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Data penjualan, HPP, Laba bersih dari operasi, Laba sebelum pajak diambil dari formulir 1771 Lampiran I, sedangkan data PPh terutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Datadata gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biaya-biaya lain diambil dari perekaman formulir 1771 Lampiran II.Apabila data perekaman formulir 1771 Lampiran II tidak lengkap, maka data tersebut dilengkapi menggunakan data perekaman transkrip
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA Laporan Keuangan.Data Pajak Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN baik formulir 1195 maupun 1107. Rasio Total Benchmarking Menurut pedoman Surat Edaran DirjenPajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapanRasio Total Benchmarking tahap IIyang menindaklanjuti ketentuan Surat EdaranDirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentangRasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya,rasio-rasio yang digunakandalam total benchmarking meliputi 14 rasioyang terdiri dari rasio-rasio yang mengukurkinerja operasional, rasio input, rasio PPN danrasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasiotersebut didasarkan pada pertimbangan bahwarasio yang digunakan sedapat mungkin mampumemberikan gambaran secara menyeluruhatas kegiatan operasional perusahaan dalamsatu periode dan berkaitan dengan semua jenispajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.Rasiorasio tersebut meliputi: 1. Gross Profit Margin (GPM) 2. Operating Profit Margin (OPM) 3. Pretax Profit Margin (PPM) 4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR) 5. Net Profit Margin (NPM) 6. Dividend Payout Ratio (DPR) 7. Rasio PPN (pn) 8. Rasio Gaji/Penjualan (g) 9. Rasio Bunga/ Penjualan (b) 10. Rasio Sewa/ Penjualan (s) 11. Rasio Penyusutan/ Penjualan (py) 12. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl) 13. Rasio Biaya Luar Usaha/ Penjualan (bl) 14. Rasio Input Lainnya/ Penjualan (x) Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl maka, didapatkan gambaran yang utuh mengenai kegiatan/ operasi perusahaan dalam suatu tahun pajak. 5. Pengendalian Atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang Terutang Bea Keluar Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor.Harga ekspor adalah harga yang digunakan untuk perhitungan Bea Keluar. Barang ekspor yang dikenakan bea keluar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012, adalah: a. Kulit dan kayu;
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA b. Biji kakao; c. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya; dan d. Bijih (raw material atau ore) mineral. Terdapat 2 cara menghitung bea keluar, yaitu dengan cara Advalorum dan Spesifik. Tarif advalorum adalah pajak yang dikenakan berdasarkan presentase tertentu misalnya 5%, 10%, dan lain-lain. Sedangkan tariff spesifik merupakan besaran pajak berdasarkan satuan barang misalnya Rp. 1000,- per batang, Rp. 2000,per keeping, dan lain-lain. Perhitungan bea keluar adalah sebagai berikut: a. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga Ekspor, Bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang b. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Tarif Bea Keluar per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang. Dalam perhitungan bea keluar khusus untuk barang campuran CPO dan turunannya diatur harga dan tariff yang digunakan adalah harga dan tariff ekspor yang tertinggi dari barang yang dicampur tersebut dengan jumlah barang adalah volume dan atau berat total. Sedangkan untuk campuran bijih (raw material atau ore) mineral harga yang digunakan adalah harga ekspor tertinggi dengan jumlah barang adalah berat total. Contoh Kasus: Perhitungan PPh Pasal 25 PT Abadi yang bergerak pada bidang manufaktur, pada bulan April 2013 melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut: 1. Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Neto) yang dilaporkan di Induk SPT Tahunan PPh sebesar Rp. 500.000.000,00 dan untuk PPh yang terutang diasumsikan tarif PPh Badan yang digunakan adalah 25%. 2. Namun Penghasilan Kena Pajak tersebut terdiri dari penghasilan neto dari kegiatan usaha setelah ditambah dengan laba penjualan aktiva Rp. 10.000.000,00 dan laba selisih kurs Rp. 5.000.000,00. 3. Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan berjumlah Rp. 100.000.000,00 4. Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan berjumlah Rp 10.000.000,00
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA Bagaimana pengelompokan jenis penghasilan yang ada untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT Abadi setiap bulannya di Tahun 2013? Pembahasan: Dalam kasus ini, PT Abadi merupakan perusahaan yang tidak bergerak di bidang jual beli valuta asing (money changer), maka laba-rugi selisih kurs yang terjadi termasuk penghasilan yang bersifat tidak teratur, dan begitu pula dengan laba dari penjualan aktiva yang diperoleh. Namun, apabila dalam setiap transaksi yang dilakukan PT Abadi menggunakan mata uang asing, maka laba rugi kurs yang terjadi merupakan penghasilan teratur meski PT Abadi bukanmoney changer. Maka, perhitungan PPh Pasal 25 PT Abadi adalah sebagai berikut: Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000,00 Laba Penjualan Aktiva(tidak teratur) (Rp 10.000.000,00) Laba Selisih Kurs (tidak teratur) (Rp 5.000.000,00) Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Teratur) Rp 485.000.000,00 PPh Terutang (Tarif Pajak diasumsikan 25%) Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 Kredit PPh Pasal 24 PPh yang harus dibayar PPh Pasal 25 setiap bulannya
Rp 121.250.000,00 (Rp 100.000.000,00) (Rp 10.000.000,00) Rp 11.250.000,00 Rp 937.500,00
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA REFERENSI http://www.slideshare.net/puspa/tax-planning-peredaran-usaha, diakses tanggal 29 Oktober 2014. http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-umum/202menghitung-angsuran-pph-pasal-25, diakses tanggal 29 Oktober 2014. http://ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=10&q=&hlm=, diakses tanggal 30 Oktober 2014. http://tanyapajak1.wordpress.com/2013/11/26/pajak-penghasilan-final-atau-tidakfinal-pph/, diakses tanggal 30 Oktober 2014. http://www.nusahati.com/2013/10/sekilas-tentang-laba-atau-rugi-selisih-kurs/, diakses tanggal 29 Oktober 2014. http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-penghasilan-atas-selisihkurs.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014. http://masalahpajak.blogspot.com/2007/08/perlakuan-atas-selisih-kurs.html,
diakses
tanggal 30 Oktober 2014. http://www.himappi.com/2013/11/rekonsiliasi-ppn.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014. http://ar4pajak.blogspot.com/2012/01/benchmarking-ala-direktorat-jenderal.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014. http://catatankecik.blogspot.com/2012/05/barang-ekspor-yang-dikenakan-beakeluar.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA