LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo)
Yuliani Usuli1, Wirnangsi D. Uno2, Dewi W. K. Baderan3 Mahasiswa Biologi1, Dosen Biologi 2, Dosen Biologi 3 Program studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jendral Sudirman No. 6, Kota Gorontalo, 96128
1
LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo) Yuliani Usuli1, Wirnangsi D. Uno2, Dewi W. K. Baderan3 Mahasiswa Biologi1, Dosen Biologi 2, Dosen Biologi 3 Program studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jendral Sudirman No. 6, Kota Gorontalo, 96128 Email:
[email protected]
ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis lumut kerak yang merupakan bioindikator pencemaran udara serta mengetahui keanekaan dan pertumbuhan lumut kerak sebagai bioindikator pencemaran udara di Jalan H.B Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode jelajah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga jenis lumut kerak yang ada di Jalan H.B Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo yaitu Physcia aipolia, Parmelia sulcata, dan Dirinaria picta. Keanekaan lumut kerak yang dijumpai pada pohon waru ada tiga jenis dan pada pohon mangga hanya ada satu jenis. Ciri makroskopik yang diamati meliputi warna dan bentuk talus. Warna talus yang diperoleh diantaranya hijau tua, hijau muda, hijau kusam, dan putih dengan bentuk talus yang mengikuti substrat tempat melekatnya lumut kerak. Kata kunci : Lumut Kerak, Bioindikator, dan Pencemaran Udara. PENDAHULUAN Kota Tengah merupakan kawasan padat penduduk yang memiliki luas 0,33 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 sebesar 3456 jiwa (DDA BPS Kota Tengah, 2012), kemudian meningkat menjadi 3480 jiwa hingga bulan Maret 2013. Meningkatnya jumlah penduduk di Kota Gorontalo mengakibatkan peningkatan volume kenderaan yang lalu lalang setiap harinya. Jumlah kenderaan bermotor di Kota Gorontalo pada tahun 2010 naik 15,26% dibanding tahun sebelumnya. Sepeda motor mengalami kenaikan tertinggi yaitu sebesar 15,36% (DDA BPS Kota Gorontalo, 2012). Hal ini diduga dapat meningkatkan kadar pencemaran udara di wilayah tersebut, khususnya di Jalan HB Yasin.
2
Menurut Permen Lingkungan Hidup No 12 Tahun 2010, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan. Zat, energi dan/atau komponen lain tersebut disebut polutan. Polutan tersebut jika terlalu banyak di lingkungan akan merusak lingkungan yang ada di sekitarnya baik itu manusia, hewan, dan tumbuhan. Beberapa tumbuhan dapat memberikan respon yang kurang baik terhadap adanya pencemaran di udara misalnya lumut kerak. Lumut kerak dapat digunakan sebagai bioindikator adanya pencemaran udara karena mudah menyerap zat-zat kimia yang ada di udara dan dari air hujan. Hadiyati, dkk (2013) menyatakan bahwa talus lumut kerak tidak memiliki kutikula sehingga mendukung lumut kerak dalam menyerap semua unsur senyawa di udara termasuk SO 2 yang akan diakumulasikan dalam talusnya. Kemampuan tersebut yang menjadi dasar penggunaan lumut kerak untuk pemantauan pencemaran udara. Selanjutnya, Hardini (2010) menyatakan bahwa lumut kerak adalah spesies indikator terbaik yang menyerap sejumlah besar kimia dari air hujan dan polusi udara. Adanya kemampuan ini menjadikan lumut kerak sebagai bioindikator yang baik untuk melihat adanya suatu kondisi udara pada suatu daerah yang tercemar atau sebaliknya. Menurut Richardson (1988, dalam Wijaya, 2010), lumut kerak sangat berguna dalam menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Untuk melihat apakah udara pada suatu daerah telah tercemar atau tidak, dapat di lihat dari pertumbuhan lumut kerak yang menempel di pohon-pohon atau batu. Lumut kerak yang berada pada suatu daerah yang telah tercemar akan menunjukkan respon pertumbuhan yang kurang baik dibandingkan dengan lumut kerak yang tumbuh subur di daerah yang tidak tercemar. Hardini (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan dan kesuburan lumut kerak kurang baik bila daerahnya telah mengalami perubahan kondisi lingkungan akibat pencemaran udara, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan atau keberadaan suatu jenis lumut kerak. 3
METODE PENELITIAN Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode jelajah. Semua jenis lumut kerak yang dijumpai di lapangan dicatat kemudian diidentifikasi. Adapun parameter yang akan diamati adalah : 1. Keanekaan, untuk melihat keanekaan dihitung jumlah jenis lumut kerak yang menempel di pohon pada daerah lokasi penelitian 2. Pertumbuhan, untuk melihat pertumbuhan lumut kerak dengan mengamati keadaan morfologi dan warna talusnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan melihat keanekaan dan pertumbuhan lumut kerak yang dijumpai menempel pada pohon.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Jenis lumut kerak yang ditemukan selama penelitian sebanyak 3 jenis yaitu Physcia aipolia, Parmelia sulcata, Dirinaria picta. Physcia aipolia merupakan jenis lumut kerak dari suku Physciaceae. Kelompok lumut kerak ini berwarna abu-abu dengan percabangan halus. Parmelia sulcata merupakan jenis lumut kerak dari suku Parmeliacea yang memiliki bentuk talus spesifik dan mudah dikenali. Sedangkan Dirinaria picta termasuk juga dari suku Physciaceae sama halnya seperti Physcia aipolia yang ditandai dengan percabangan halus. Untuk lebih jelasnya diuraikan secara deskriptif masing-masing lumut kerak sesuai dengan kunci identifikasi: 1. Physcia aipolia Physcia aipolia merupakan jenis lumut kerak dari suku Physciaceae dengan ciri-ciri melekat pada kayu, memiliki tipe talus foliose, terdapat soredia pada talusnya dan permukaan atas dengan titik putih.
4
2. Parmelia sulcata Parmelia sulcata memiliki ciri-ciri memiliki talus foliose yang berwarna hijau, terdapat isidia dan soredia tetapi tidak memiliki lobus tidak tetap, permukaan atas talus tanpa pori-pori dengan permukaan bagian bawah hitam. Permukaan talus soredia bawah berwarna hitam, terdapat garis putih pada permukaan atas, dan permukaan atas soredia tepi jarang pada batas. 3. Dirinaria picta Dirinaria picta adalah talusnya memiliki soredia dengan bentuk membulat dan biasa, serta terdapat lobus berlainan. Dirinaria picta ini memiliki tipe talus foliose. Jenis-jenis lumut kerak yang dijumpai dapat dilihat pada gambar 4.1
A
B
C
Gambar 4.1 (A) Physcia aipolia. (B). Parmelia sulcata. (C) Dirinaria picta (Sumber : Data Primer, 2013) 4.1.2. Keanekaan dan Pertumbuhan
Lumut Kerak sebagai Bioindikator
Pencemaran Udara 4.1.2.1. Keanekaan Pada lokasi penelitian di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo tercatat bahwa semua jenis lumut kerak dijumpai menggunakan kulit batang tanaman sebagai substrat. Adapun batang tanaman yang dijadikan sebagai substrat hidup lumut kerak adalah tanaman waru dan mangga. Sebagian besar lumut kerak dijumpai pada tanaman waru. Jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan dengan jenis tanaman sebagai substrat pada lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 4.1.
5
Tabel 4.1 Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Dengan Jenis Tanaman Sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan No
Jenis
Jumlah
tanaman
jenis
Jenis lumut Physcia aipolia
1
Pohon Waru
3 jenis
Parmelia sulcata Dirinaria picta
2
Mangga
1 jenis
Parmelia sulcata
Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan tabel 4.1 bahwa pada jenis tanaman waru dijumpai tiga jenis yaitu Physcia aipolia, Parmelia sulcata dan Dirinaria picta. Sedangkan pada pohon mangga hanya dijumpai Parmelia sulcata. Lumut kerak tersebut dijumpai dalam bentuk yang baik dan kurang baik tergantung pada substrat atau kulit pohon tempat bertempelnya lumut kerak. Lumut kerak tumbuh baik pada kulit pohon yang permukaannya utuh dan rata, sedangkan pada kulit pohon yang terpecahpecah dijumpai lumut kerak dengan kondisi talus yang kurang baik pula. 4.1.2.2. Pertumbuhan Menurut Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus lumut kerak dapat dianalisis secara deskriptif. a. Bentuk Talus Jenis-jenis lumut kerak yang dijumpai berkembang pada substrat di lokasi penelitian memiliki bentuk, warna dan keadaan talus yang dapat dibedakan dengan jelas. Talus-talus tersebut terdapat dalam keadaan datar dengan atau rata dengan substrat, sebagian ada yang tipis dan tebal. Bentuk talus secara umum ditemukan beragam, ada yang memiliki bentuk lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur dapat disajikan pada Tabel 4.2.
6
Tabel 4.2 Bentuk Talus Lumut Kerak No
Jenis lumut kerak
Bentuk Talus Cenderung
Memanjang Memanjang
Tidak
membulat
vertikal
horizontal
beraturan
1
Physcia aipolia,
√
-
-
√
2
Parmelia sulcata
-
√
-
√
3
Dirinaria picta.
-
√
-
-
Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan hasil pengamatan Physcia aipolia dijumpai dalam bentuk yang cenderung membulat dan adapula yang tidak beraturan. Parmelia sulcata memiliki bentuk memanjang vertikal dan tidak beraturan. Sedangkan Dirinaria picta memiliki bentuk memanjang vertikal. b. Warna Talus Lumut Kerak Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Walaupun warna ini termasuk dalam kategori ciri makroskopik akan tetapi penampakan warna talus lumut kerak tidak selalu memperlihatkan warna yang sama. Warna talus yang ditemukan antara lain hijau keabuan, putih, hijau muda (Disajikan dalam Tabel 4.3). Tabel 4.3 Warna Talus Lumut Kerak Warna Talus No Jenis lumut kerak
1
Physcia aipolia,
2
Parmelia sulcata
3
Dirinaria picta.
Hijau
Hijau
Hijau
Tua
Muda
Keabuan/kusam √
√
√
Putih
Putih Keabuan
√
√ √
Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan tabel 4.3. Physicia aipolia yang dijumpai di lokasi penelitian memiliki warna hijau keabuan/kusam dan putih. Parmelia sulcata memiliki warna hijau tua, hijau muda, dan hijau keabuan/kusam. Sedangkan Dirinaria picta yang dijumpai berwarna putih.
7
PEMBAHASAN Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan di Jalan H.B Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah seluruhnya berjumlah tiga jenis. Ketiga jenis lumut kerak tersebut keseluruhan memiliki tipe talus
foliose yaitu Physcia
aipolia, Parmelia sulcata, dan Dirinaria picta. Lumut kerak yang ditemukan tersebut yaitu berasal dari famili Parmeliaceae (Parmelia sulcata) dan Physciaceae (Physcia aipolia dan Dirinaria picta). Famili Parmeliaceae adalah kelompok lumut kerak foliose terbesar yang memiliki bentuk talus spesifik dan mudah dikenali. Hadiyati, dkk (2013) menyatakan bahwa Parmelia sp merupakan lumut kerak dengan talus berbentuk foliose (berbentuk seperti daun) memiliki perlekatan yang lemah dengan substrat, sehingga mudah terlepas dari substratnya. Physciaceae adalah kelompok lumut kerak berwarna abu-abu
dengan
percabangan lebih halus dari Parmeliaceae yang bentuknya hampir lekat dengan substrat agak membulat (Yudianto, 1992). Physciaceae memiliki karakteristik lobus atas dan lapisan bawah berwarna gelap atau pun hitam. Pada penelitian ini ditemukan dua jenis lumut kerak yang termasuk ke dalam famili Physciaceae yaitu Physcia aipolia dan Dirinaria picta. Pertumbuhan lumut kerak dapat dilihat dari ciri makroskopiknya. Ciri makroskopik merupakan ciri yang bisa dilihat secara langsung dari objek yang diamati. Secara umum yang termasuk dalam kategori ciri makroskopik lumut kerak meliputi bentuk dan warna talus lumut kerak. Pada lokasi di jalan HB Jasin Physcia aipolia dijumpai dalam bentuk cenderung membulat dan tidak beraturan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Panjaitan, dkk (2010) Physciaceae adalah famili yang memiliki karakteristik talus foliose berbentuk orbicular dan tersebar tidak beraturan. Adapun Parmelia sulcata dijumpai dalam bentuk memanjang vertikal dan tidak beraturan Dirinaria picta dijumpai dalam bentuk memanjang vertikal. Istam (2007) menerangkan bahwa ciri makroskopik talus lumut kerak dari segi keadaan atau kondisi talus tergantung dari kondisi permukaan tempat tumbuh talus tersebut. Bentuk talus bergantung pada kondisi permukaan pohon tempat talus tersebut melekat, dimana pada permukaan pohon yang rata atau halus maka dijumpai kondisi talus lumut kerak 8
yang baik dan pertumbuhannya cepat. Sebaliknya pada permukaan pohon yang terpecah-pecah kondisi talus akan mengikuti bentuk pecahan dari permukaan pohon tersebut sehingga terlihat pertumbuhannya lambat dan kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh warna talus yang berbeda-beda. Perbedaan warna talus tidak hanya terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda, akan tetapi dalam satu jenis lumut kerak yang dijumpai memiliki warna yang berbeda pula. Menurut Fink (1961, dalam Pratiwi 2006) menyatakan bahwa warna talus dapat semakin gelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya. Warna talus yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki perbedaan dengan warna talus aslinya, sehingga pada lokasi penelitian sudah mengindikasikan adanya pencemaran udara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi (2006) bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah. Warna lumut kerak misalnya yang berwarna hijau cerah karena terpapar terus menerus oleh zat-zat pencemar lama kelamaan akan berubah warna menjadi hijau pucat/kusam. Lumut kerak adalah salah satu organisme yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Kemampuan lumut kerak sebagai bioindikator pencemaran udara karena bentuk morfologi lumut kerak yang tidak memiliki lapisan kutikula. Kovacs (1992, dalam Nursal, dkk 2005) menerangkan bahwa lumut keraks mempunyai akumulasi klorofil yang rendah, tidak mempunyai kutikula, mengabsorbsi air dan nutrien secara langsung dari udara dan dapat mengakumulasi berbagai material tanpa seleksi serta bahan yang terakumulasi tidak akan terekskresikan lagi. Lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk pencemaran udara dari kendaraan bermotor, di mana dengan adanya pencemaran udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan jumlah jenis. Jumlah jenis yang ditemukan di lokasi penelitian yang tercemar ringan lebih banyak dibandingkan yang dijumpai pada daerah tercemar berat. Selain itu, dengan melihat warna pada lumut kerak dapat diketahui pula tingkat pencemaran pada suatu lokasi. Hal ini disebabkan adanya akumulasi zat pencemar 9
pada lumut kerak yang mempengaruhi proses fotosintesis dan penurunan kandungan klorofil. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa lokasi penelitian di Jalan H.B. Jasin Kota Tengah Kota Gorontalo telah tercemar ringan. Panjaitan, dkk (2010) menyatakan bahwa kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Hal ini berarti bahwa zat pencemar ada yang menghambat pertumbuhan lumut kerak dan ada pula yang tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Zat pencemar seperti SO2
dapat menghambat pertumbuhan lumut kerak dengan merusak
klorofil lumut kerak yang berada di daerah tercemar, sedangkan logam berat seperti Pb yang bersifat racun memiliki pengaruh kecil terhadap pertumbuhan lumut kerak.
KESIMPULAN Lumut kerak yang dijumpai di Jalan H.B Jasin Kota Tengah Kota Gorontalo adalah Pyscia aipolia, Parmelia sulcata, dan Dirinaria picta. Keanekaan dan pertumbuhan lumut kerak yang dijumpai yaitu pada pohon waru sebanyak 3 jenis dan di pohon mangga sebanyak 1 jenis dengan warna talus diantaranya berwarna hijau tua, hijau muda, hijau keabuan/kusam dan putih, serta bentuk talus yang cenderung membulat, memanjang vertikal dan tidak beraturan. Dilihat dari keanekaan dan pertumbuhan tersebut maka di lokasi penelitian Jalan H.B. Jasin Kota Tengah Kota Gorontalo telah tercemar ringan.
SARAN Diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan tingkat pencemaran udara dilihat dari kualitas udara di Jalan H.B Jasin Kota Tengah Kota Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA DDA BPS Kota. 2011. Kota Gorontalo dalam Angka 2011. Penerbit BPS : Gorontalo. 10
Hadiyati, Mursina., Tri Rima Setyawati., dan Mukarlina. 2013. Kandungan Sulfur dan Klorofil Thallus Lichen Parmelia sp. dan Graphis sp. Pada Pohon Peneduh Jalan di Kecamatan Pontianak Utara. Jurnal Protobiont 2013 Vol. 2 (1): 12 – 17. Online http://jurnal.untan.ac.id. Diakses tanggal 5 Juni 2013. Hardini, Yunita. 2010. Keanekaragaman Lumut kerak di Denpasar Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara. Jurnal Penelitian Online http://ebookbrowse.com/73-keanekaragaman-lumut kerak-di-denpasarsebagai-bioindikator-pencemaran-udara-pdf-d339670545.Diakses tanggal 10 November 2012. Istam, Yeane Christianti. 2007. Respon Lumut Kerak Pada Vegetasi Pohon Sebagai Indikator Pencemaran Udara di Kebun Raya Bogor dan Hutan Kota Manggala Wana Bhakti. Skripsi. Online http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/49641/E07yci.pdf. Diakses tanggal 22 Mei 2013. Januardania, Dadan. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang Pada Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Online http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42388/BA B V_Hasil Penelitian_E95dja-6.pdf?sequence=. Diakses tanggal 22 Mei 2013 Nursal, Firdaus dan Basori. 2005. Akumulasi Timbal (Pb) Pada Talus Lumut kerakes di Kota Pekanbaru. Jurnal Biogenesis Vol. 1 (2):47-50. Online http://dc356.4shared.com/doc/GaYKmtGR/preview.html. Diakses tanggal 21 Mei 2013. Panjaitan, Desi., Fitmawati dan Atria Martina. 2010. Keanekaragaman Lumut kerak sebagai Bioindikator Pencemaran Udara di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Jurnal Penelitian Online http://repository.inri.ac.id/bitstream/123456789/173/1/Artikel%20il miah%20Desi%20M.P.pdf.ruanglingkupbiologi. Diakses tanggal 10 Mei 2013. Pratiwi, Mungki Eka. 2006. Kajian Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Kualitas Udara. Jurnal Penelitian Online http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handl e/123456789/46200/e06mep.pdf?sequence=1. Diakses tanggal 12 November 2012 Wijaya K, Andika.2010. Penggunaan Tumbuhan Sebagai Bioindikator dalam Pemantauan Pencemaran udara. Jurnal Penelitian Online http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-17195-Paper594142.pdf.Online 10 November 2012. Yudianto, Suroso Adi. 1992. Pengantar Cryptogamae. Tarsito : Bandung
11