KEANEKARAGAMAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA di KAWASAN ASRAMA INTERNASINAL IPB Oleh : Andi Handoko S¹ (E34120079), Rizki Kurnia Tohir1 (E34120028), Yanuar Sutrisno1(E34120038), Dwitantian H Brillianti1(E34120054), Dita Tryfani1(E34120100), Putri Oktorina1(E34120105), Prima Yunita1(E34120114), Ai Nurlaela Hayati1(E34120126) ¹Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
[email protected]
ABSTRAK Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka terhadap pencemaran udara, hasil simbiosis antara fungi dan alga, dimana sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitive terhadap gas belerang (SO2) dan gas buang lainnya yang berasal darikendaraan bermotor atau kawasan industri. Oleh sebab itu lumut kerak dapat dijadikan bioindikator pencemaran udara. Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui morfologi lichen, membandingkan jumlah individu lichens yang hidup pada kulit pohon yang menghadap sumber pencemar dengan yang membelakangi sumber pencemar, dan untuk mengetahui frekuensi penjumpaan terhadap lichens, dengan metode yang digunakan yaitu purposive sampling dan plot pengambilan sampel berupa jalur yang dekat dengan sumber pencemar. Hasilnya yaitu dari Foliose: A (tidak teridentifikasi), Dirinaria picta dan Parmotrema reticulatum, sedangkan dari Crustose yaitu : Cryptothecia effusa, Cryptothecia scripta, G (Tidak teridentifikasi), Graphis assimilis. Frekuensi perjumpaan lichens tertinggi pada jenis Lichens crustose sebesar 57,14 % sedangkan Foliose memiliki nilai frekuensi sebesar 42,85 %. Crustose memiliki bentuk kerak dan cenderung melekat pada batang sehingga kebutuhan air sedikit dan hal tersebut mengambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Kata kunci : Lumut Kerak, Bioindikator, Frekuensi Perjumpaan Lichens PENDAHULUAN Polusi udara dapat memengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga menyebabkan adanya tingkat kepekaan, yaitu sangat peka, peka, dan kurang peka (resisten). Menurut Ryadi (1982), udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Oleh karena itu, Kovacs (1992) menjelaskan bahwa tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan. Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka terhadap pencemaran udara, hasil simbiosis antara fungi dan alga. Simbiosis tersebut menghasilkan keadaan fisiologi dan morfologi yang berbeda dengan keadaan semula sesuai dengan keadaan masing-masing komponen pembentukannya (Ahmadjian, 1967). Lumut kerak mampu hidup pada lingkungan ekstrim, tetapi juga sangat peka terhadap
polusi. Hampir sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitive terhadap gas belerang (SO2) dan gas buang lainnya yang berasal dari kendaraan bermotor atau kawasan industri. Oleh sebab itu lumut kerak dapat dijadikan bioindikator pencemaran udara. Penelitian ini dilakukan di sepanjang jalan Asrama Internasional IPB, Dramaga yang diduga tercemar kendaraan bermotor. Tujuan praktikum ini untuk mengetahui morfologi lichen, membandingkan jumlah individu lichens yang hidup pada kulit pohon yang menghadap sumber pencemar dengan yang membelakangi sumber pencemar, dan untuk mengetahui frekuensi penjumpaan terhadap lichens. METODE Lokasi dan waktu pengamatan Praktikum dilakukan di sepanjang pinggir jalan Asrama Internasional kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2015 pukul 09.00 s.d 12.00 WIB.
Bahan dan Alat Alat yang digunakan selama pengamatan adalah tallysheet, alat tulis, kamera, meteran jahit, cutter, dan plastik spesimen, sedangkan bahan yang digunakan yakni lumut kerak yang ada di pohon sekitar Asrama Internasional IPB. Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling dan plot pengambilan sampel berupa jalur yang dekat dengan sumber pencemar. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara membuat satu plot contoh di lokasi pengamatan yang terdiri dari sepuluh pohon, kemudian sampel lumut pada plot contoh diambil sesuai dengan keragaman jenisnya secara morfologi. Analisis Data Perhitungan Frekuensi perjumpaan lumut kerak digunakan untuk mengukuran keanekeragaman lumut kerak yang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : Jumlah titik pengamatan ditemukan suatu tipe morfologi lumut kerak x 100% Jumlah seluruh titik pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Tjitrosoepomo (2001), lichen merupakan tumbuhan tingkat rendah yang masuk ke dalam Diviso Thallophyta yang merupakan tumbuhan simbiosis antara fungi dan alga sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Dua organisme tersebut hidup berasosiasi satu dengan yang lain. Lichen memiliki fungsi ekonomis dan fungsi ekologis. Fungsi ekonomis sebagai bahan makanan (Umbilicaria, Bryoria fremontii, Cladina stelaris), obat-obatan (Lobaria pulmonaria, Pamelia sulcata, Peltigera canina), bahan kosmetik (Everina, Parmelia, dan Ramalina), bahan tekstil (Parmelia sulcata), bahan dekorasi (Usnea, Xanthroparmelia sp.), dan bahan pertanian (Cladonia). Selain itu Lichen memiliki fungsi ekologis sebagai tumbuhan perintis dan sebagai bioindikator pencemaran udara (Armstrong, 2004). Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999, pencemaran udara adalah masuknya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang mengakibatkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Pencemaran udara bukan hanya mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia (pernapasan, asma, dan kelahiran bayi prematur) (Aminah, 2006), tetapi juga mempengaruhi kondisi tumbuhan secara
fisiologis sehingga menyebabkan adanya tingkat kepekaan. Bioindikator adalah organisme atau respon biologis yang menunjukkan masuknya zat tertentu dalam lingkungan. Bagian utama lichen adalah thallus. Keberadaan thallus dapat terangkat atau tegak lurus dari substratnya, terjumbai, tergantung atau juga dapat terlihat thallus secara rapat atau jarang pada substrat (Fink, 1961). Menurut Nash (2008), lichen dikelompokkan dalam empat tipe berdasarkan morfologi thallusnya yaitu crustose, foliose, frucicose, dan squamoluse. 1 Thallus Crustose : ukurannya bermacam-macam dengan bentuk thallus rata, tipis, dan pada umumnya memiliki bentuk askokarp yang hampir sama. 2 Thallus Foliose : bagian atas dan bagian bawah berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang dan pada bagian tepi thallusnya biasanya menggulung ke atas. 3 Thallus Fructicose : thallus hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lichen ini lebih memperluas dan menunjukkan perkembangannya hanya pada batu-batuan, daun dan cabang pohon. 4 Thallus Squamulose : memiliki struktur askokap yang disebut podetia dan tidak memiliki rhizin. Pertumbuhan lichen dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain suhu udara, kelembaban udara, pH, tanaman inang, dan kualitas udara. Lichen memiliki kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lichen dapat hidup baik pada suhu yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lichen akan segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Salah satu contoh alga jenis Trebouxia tumbuh baik pada kisaran suhu 12-24°C, dan fungi penyusun lichen pada umumnya tumbuh baik pada suhu 18-21°C (Ahmadjian dan Venon, 1993). Kelembaban udara sangat penting dalam distribusi lichen. Ketika thallus lichen basah, lichen secara fisiologi aktif dan sensitif terhadap pencemaran udara dibandingkan ketika kering (Wetmore, 1983). Lichen banyak ditemukan pada pohon yang berada dekat dengan sungai, diduga karena pengaruh kelembaban (Zedda et al., 2009). Walau pun lichen tahan pada kekeringan dalam jangka waktu yang cukup panjang, namun lichen tumbuh dengan optimal pada lingkungan yang lembab (Ronoprawiro, 1989). Tingkat kelembaban yang berbeda menunjukkan variasi spesies dalam komunitas lichen. Keberadaan suatu komunitas
lichen dapat menunjukkan tingkat kualitas udara (McCune, 2000).
5 4
pH substrat dapat mempengaruhi kelimpahan lichen dalam suatu komunitas lichen. Batang dengan pH alkaline atau basa mampu sebagai buffer terhadap kadar asam dan mendukung suplai calcium pada lichen (Beckett, n.d.). Hal ini didukung oleh Zedda dan Rambold (2009) bahwa keanekaragaman lichen tinggi pada substrat yang memiliki pH tinggi (>7) atau basa dan keanekaragaman lichen rendah pada pH rendah (<7) atau asam. Kerapatan spesies lichen tidak berkorelasi dengan kandungan fenol dalam batang. Kandungan fenol berkurang dipengaruhi oleh umur tanaman, semakin tua umur tanaman maka kandungan fenolnya berkurang. Salah satu tanaman yang memiliki allelopati yaitu tanaman tanaman johar (Cassia siamea) (Prawoto, 2009). Alelopati tidak mempengaruhi lichen corticolous, hal ini mendukung fakta bahwa lichen tidak menggunakan jaringan tanaman inang untuk memperoleh nutrisi (Koopmann, 2005). Fink (1961) dan Baron (1999), menyatakan bahwa rhizin meskipun memiliki struktur mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan mineral atau nutrien seperti fungsi akar. Menurut Istam (2007), semakin buruknya kualitas udara di suatu wilayah maka tingkat keanekaragaman lichen semakin rendah. Pada area perk otaan (urban) dan area indusri, ditemukan spesies toleran terhadap pencemaran udara dan kerapatan spesies lichen rendah sedangkan pada area udara bersih atau relatif tidak tercemar ditemui spesies sensitif terhadap pencemaran udara dan kerapatan spesies lichen tinggi (McCune, 2000). Makrolichen epifit jarang ditemukan pada daerah urban dengan aktivitas perindustrian. Pada beberapa daerah rural, lichen subur dan beranekaragam. Perubahan struktur komunitas oleh pencemaran udara menunjukkan hilangnya lichen sensitif, pertama hilangnya spesies fructicose, diikuti oleh spesies foliose dan spesies crustose yang sangat toleran terhadap pencemaran udara (Brodo, 1966). Lokasi pengamatan yang berada pada pinggir jalan Asrama Internasional IPB yang di dominasi oleh deretan tegakan jenis saga pohon (Adenanthera pavonina) dengan rentang diameter sebesar ± 140160 cm. Berdasarkan hasil pengambilan data ditemukan tujuh jenis lumut kerak, terdiri atas empat jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose dan tiga jenis lumut kerak dengan tipe morfologi Foliose, lihat Gambar 1.
4 3
3 2 1 0 Foliose
Crustose
Gambar 1. Diagram perbandingan jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan berdasarkan tipe morfologi. Menurut Menurut Nash (2008), morfologi talus Crustose adalah ukurannya bermacam-macam dengan bentuk thallus rata, tipis, berbentuk lembaran, Menyerupai kerak melekat pada subtratnya. Sedangkan morfologi thallus Foliose adalah bagian atas dan bagian bawah berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang dan pada bagian tepi thallusnya biasanya menggulung ke atas. Lokasi pengamatan yang berada dekat dengan sumber pencemar (jalan raya) menghasilkan dampak perubahan kualitas udara yang akan berdampak pada keberadaan lichen pada batang pohon. Hasil pengamatan yang menemukan dua morfologi Lichen yaitu Foliose dan Crustose melihat bahwa kecenderungan warna dari thallus kedua morfologi tersebut adalah hijau kusam (lihat gambar 2)
(a)
(b)
Gambar 2. Warna pada Lichen morfologi Foliose (a) dan Crustose (b). Warna tipe talus Foliose dan Crustose di kawasan Asrama Internasional IPB memiliki talus warna hijau kusam.. Warna talus dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan mengikuti tempat kondisi dan tempat tumbuhnya.(Fink,1961 diacu dalam Pratiwi, 2006). Warna dapat berubah karena adanya perubahan kadar klorofil pada talus Lichen yang disebabkan gas-gas
yang bersifat racun atau pencemar (Kovaks,1992; Hawksworth&Rese,1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Menurut (Istam 2007), penampakan warna talus dari suatu jenis Lichen tidak selalu memperlihatkan warna yang konsisten atau tetap, hal ini tergantung pada substrat dan kondisi tempat tumbuh talus Lichen. 1. Perbandingan jumlah individu lichens dengan sumber pencemar Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia (Ryadi, 1982; Soedomo, 2001). Adanya gas-gas dan partikulat dengan konsentrasi melewati ambang batas tingkat pencemaran lingkungan, maka udara di daerah tersebut dinyatakan sudah tercemar. Dari hasil pengamatan di sekitar Asrama Internasional, IPB Dramaga, ditemukan 7 jenis liken (lihat tabel 1).
Jenis Lichen
Morfologi
kualitas udara di suatu wilayah maka tingkat keanekaragaman lichen semakin rendah. Maka hal ini tidak sesuai dengan teori, karena seharusnya yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah dibagian pohon yang membelakangi sumber pencemar (jalan raya). Kawasan Asrama Internasional IPB, terutama pada bagian pohon yang menghadap sumber pencemar memiliki nilai pengukuran kandungan udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada kawasan tersebut telah mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan transportasi berupa CO2, SO2, NO2, dan debu.
Jumlah
A B Cryptothecia effusa (Mull.Arg.) R.Sant Crustose 5 0 Cryptothecia scripta G. Thor Crustose 748 141 G (Tidak teridentifikasi) Crustose 55 3 Graphis assimilis Nyl. Crustose 2 0 A (tidak teridentifikasi) Foliose 2 10 Dirinaria picta (Sw.) Schaer. Ex Clem Foliose 181 89 Parmotrema reticulatum (Taylor) M. Choisy Foliose 89 2 TOTAL 1082 245 Tabel 1. Perbandingan jumlah lichen dengan sumber pencemar Keterangan: A: Bagian pohon menghadap sumber pencemar B: Bagian pohon membelakangi sumber pencemar Berdasarkan data yang telah diperoleh menunjukkan terdapat tujuh jenis lumut kerak di lokasi pengamatan yaitu pada bagian pohon yang menghadap sumber pencemar dan bagian pohon yang membelakangi sumber pencemar. Dari tabel 1 terlihat pada bagian pohon yang memiliki jumlah individu paling banyak yaitu sebesar 1082 individu sedangkan pada bagian yang membelakangi pohon sebesar 245 individu. Menurut Istam (2007), semakin buruknya
Gambar 3. Sebaran pohon di Asrama Internasional IPB. Sebaran pohon di Asrama Internasional IPB yang ditunjukan pada gambar 4, menyebabkan jumlah liken yang menghadap jalan raya lebih banyak dari pada yang membelakanginya karena pada saat pengambilan data tidak memasukan sumber pencemar lain yaitu parkiran Asrama Internasional IPB. Padahal tempat parkir kendaraan bermotor termasuk sumber pencemar udara. Keberadaan pohon di depan Asrama Internasional IPB yang jarang, hanya dapat berfungsi sebagai peneduh jalan menjadikan kawasan Asrama Internasional IPB terbuka dan struktur vegetasi yang renggang, sehingga sifat udara akan mengisi semua ruang tanpa adanya penghalang vegetasi yang rapat akan menghasilkan semua batang dari pohon di area itu terpapar atau terpengaruhi polusi udara. 3. Frekuensi Perjumpaan Terhadap Lichens a. Frekuensi morfologi
perjumpaan
berdasarkan
tipe
Pengamatan jenis Lichen menghasilkan tujuh jenis yang termasuk kedalam dua morfologi yaitu morfologi foliose dan crustose. Berikut merupakan
data hasil perhitungan freuensi berdasarkan tipe morfologi lichen. Morfologi
Jumlah jenis
perjumpaan
Frekuensi (%)
Foliose 3 42,85 Crustose 4 57,14 TOTAL 7 100 Tabel 2. Frekuensi perjumpaan lichens berdasarkan tipe morfologi Berdasarkan data yang ditunjukan pada tabel 2, frekuensi perjumpaan lichens berdasarkan tipe morfologi dengan nilai frekuensi tertinggi pada jenis Lichens crustose sebesar 57,14 % sedangkan Foliose memiliki nilai frekuensi sebesar 42,85 %. Perbedaan nilai Frekuensi perjumpaan lichens berdasarkan tipe morfologi didominansi pada jenis lichens crustose. Berdasarkan sifat morfologi, Crustose memiliki bentuk kerak dan cenderung melekat pada batang sehingga kebutuhan air sedikit dan hal tersebut mengambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont (alga) berada di sekitar hifa (Baron, 1999). b. Frekuensi Perjumpaan Berdasarkan Jenis Lichens Frekuensi lichens berdasarkan jenis lichens dengan nilai tertinggi pada bagian yang menghadap sumber pencemar yaitu jenis Cryptothecia scripta G. Thor sebesar 69,13 % dengan tipe morfologi Crustose begitupula pada bagian yang membelakangi sumber pencemar jenis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi terletak pada jenis Cryptothecia scripta G. Thor. Dengan nilai 57,55 %.
Jenis Cryptothecia effusa (Mull.Arg.) R.Sant Cryptothecia scripta G. Thor G (Tidak teridentifikasi)
Morfologi Crustose Crustose Crustose
Frekuensi (%) A B 0,46
0,00
69,13 57,55 5,08
1,22
Graphis assimilis Crustose Nyl. 0,18 0,00 A (tidak Foliose teridentifikasi) 0,18 4,08 Dirinaria picta (Sw.) Foliose Schaer. Ex Clem 16,73 36,33 Parmotrema reticulatum (Taylor) Foliose M. Choisy 8,23 0,82 TOTAL 100 100 Tabel 3. Frekuensi perjumpaan berdasarkan jenis lichens Dari tabel di atas menunujukkan bahwa Frekuensi perjumpaan dengan jenis lichens yang memiliki nilai frekuensi tertinggi pada bagian yang menghadap sumber pencemar yaitu jenis Cryptothecia scripta G. Thor sebesar 69,13 % dengan tipe morfologi Crustose sedangkan nilai frekuensi terendah ditemukan pada jenis Graphis assimilis Nyl. dan A (tidak teridentifikasi) dengan nilai frekuensi sebesar 0,18 %. Pada bagian membelakangi sumber pencemar jenis, memiliki nilai frekuensi tertinggi ditunjukkan pada jenis Cryptothecia scripta G. Thor. Dengan nilai 57,55 %. Jenis lichens Cryptothecia scripta G. Thor dari tipe morfologi Crustose, Jenis ini paling banyak ditemukan karena sifat dari morfologi jenis Cryptothecia scripta G. Thor ini merupakan jenis yang tahan terhadap kehilangan air. Jenis Cryptothecia scripta G. Thor ini memiliki tubuh yang menempel pada kulit batang dan tipis, sehingga penggunaan air dapat diminimalisir, karena kebutuhan akan air sedikit dan bias dipenuhi juga oleh jaringan kulit kayu. SIMPULAN Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka terhadap pencemaran udara. Bagian utama lichen/lumut kerak adalah thallus. Jenisnya antara lain: crustose, foliose, frucicose, dan squamoluse. Hasil pengamatan yang dilakukan di sepanjang jalan Asrama Internasional kampus Institut Pertanian Bogor menunjukan sebanyak 1082 individu ditemukan pada pohon yang menghadap sumber pencemar sedangkan pada pohon membelakangi sumber pencemar yaitu sebanyak 245 individu. Perjumpaan terbanyak pada jenis Cryptothecia scripta (Crustose) yaitu sebanyak 748 (69,13%) yang menghadap pencemar dan 141 (57,55%) individu yang membelakangi pencemar. DAFTAR PUSTAKA Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company Waltham, Massachusetts. Toronto-London
Aminah N, 2006. Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi Ginjal pada Karyawan, BBTKL dan PPM Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2):111120. Armstrong R. 2004. Lichens, Lichenometry, and Global Warning. Mycrobiologist, Aston University. Baron, G. 1999. Understanding Lichens. The Richmond Publishing Co.ltd. England. Boonpragob, K. 2003. Using Lichens as Bioindicator of airpollution. http://www.nfofile.pcd.go. thair31. LichenAcidDep.pdf. [3 November 2015]. Brodo M. I. 1966. Lichen Growth and Cities . Astudy on Long Island, New York. The Bryologist, 67:76-87. Fink. B., 1961, The Lichen Flora of The United States, Ann Harbor, The University of Michigan Press, Michigan Istam YC. 2007. Respon lumut kerak pada vegetasi pohon sebagai indikator pencemaran udara di Kebun Raya Bogor dan Hutan Kota Manggala Wana Bhakti [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood. New York. Massachusetts.Toronto-London Mccune, et al. 2000. The influence of arbuscular mycorrhizae on the relationship between
plant diversity and productivity. Ecol. Letters 3: 137-141. Nash, P. W. (2008), Essentials of Psychology .(4th ed.), Cengage Eearning, Boston Pratiwi, ME. 2006. Kajian Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ronoprawiro. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap Pertumbuhan dan Hasil Teh (Camellia sinensis,L.) [Disertasi]. Yogyakarta (ID). UGM Press. Ryadi, S. 1982. Pencemaran Udara. Surabaya(ID) :Usaha Nasional. Soedomo, M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. Bandung : ITB Press. Tjitrosoepomo G. 2001. Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pterydophyta). Yogyakarta (DI): Gadjah Mada University Press. Wijaya,
L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi. Bandung : Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Padjajaran.
Zedda L, et al. 2009. Diversity of Epiphytic Lichens in the Savanah Biome of Namibia. Herzogia 22:153-164.
LAMPIRAN
Gambar 1. A (tidak teridentifikasi)
Gambar 5. Parmotrema reticulatum (Taylor) M. Choisy
Gambar 2. Cryptothecia effusa (Mull.Arg.) R.Sant
Gambar 6. G (Tidak teridentifikasi)
Gambar 3. Dirinaria picta (Sw.) Schaer. Ex Clem
Gambar 7. Graphis assimilis Nyl.
Gambar 4. Cryptothecia scripta G. Thor