KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN
TEGUH PRIBADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Teguh Pribadi NIM G351060391
ABSTRACT TEGUH PRIBADI. The Diversity of Termite Community on Different Land Use Types as Bioindicator for Environmental Quality. Under direction of RIKA RAFFIUDIN and IDHAM SAKTI HARAHAP. Termites have sensitivity on land use changes and disturbance levels. Their sensitivity can be used as bioindicator for environmental quality. However, termite response community to land use alteration and disturbance levels in plateau ecosystems remain poorly studied. This study was conducted to investigate the response of termite’s community in Slamet Mountain which was impacted by land use intensification and to explore their roles as bioindicator for environmental quality. Termite protocol standard survey was used to collect termites in different land use types with several disturbance levels i.e. protection forest, recreation forest, production forest, agroforestry and urban area. A range of environmental parameters i.e. plant diversity, physical and chemical soil properties and litter thickness were measured to explore their relationship with termite community as well. Explorations found two termite families of seven species. Termite species richness, species evenness, biodiversity, relative abundance and biomass of termite declined along land use types and disturbance gradient along protection forest to urban area. Disturbance habitat was the main factor in declining diversity of termite community whereas litter thickness was the main factor in affecting termite species existence. Termite composition changed along disturbance gradient of land use. Soil feeding group of termite showed their gradual sensitivity to disturbance and was not found in urban area. Hence, they can be used as bioindicator for environmental quality to detect disturbance habitats. Key-word: termite community, bioindicator, land use, environmental disturbance, Slamet Mountain
RINGKASAN TEGUH PRIBADI. Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan IDHAM SAKTI HARAHAP. Rayap merupakan mesofauna tanah utama di kawasan tropis. Rayap berperan penting dalam dekomposisi, perputaran unsur hara dan proses di dalam tanah. Perubahan dan intensitas penggunaan lahan berperan besar terhadap kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati berdampak pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Rayap memiliki kepekaan terhadap perubahan penggunaan lahan dan tingkat kerusakan habitat sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator. Umumnya penelitian tentang kepekaan rayap terhadap penggunaan lahan dilaksanakan di ekosistem dataran rendah, masih sedikit yang mengkaji di ekosistem dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari: pengaruh penggunaan lahan terhadap komunitas rayap dan parameter lingkungan yang mempengaruhinya serta pemanfaatan rayap sebagai bioindikator. Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Slamet bagian Timur pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda, yaitu: hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman. Dua buah transek protokol standar untuk pengamatan rayap dilakukan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Pada transek ukuran 100 m x 2 m yang dibagi menjadi 20 bagian dilakukan pengkoleksian rayap secara manual. Tiap bagian dilakukan pencarian rayap pada 12 lubang tanah dengan ukuran 12 cm x 12 cm x 15 cm; tumpukan serasah dan humus di sekitar pohon besar atau akar papan; ranting, cabang, batang kayu dan tunggak pohon; tanah di bawah batang kayu yang membusuk; sarang di permukaan tanah; liang kembara pada pohon dan sarang arboreal sampai ketinggian 2 m. Rayap dipilah secara morfospesies kemudian diidentifikasi sampai tingkat spesies. Spesies rayap yang telah diidentifikasi kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok fungsional rayap berdasarkan kebiasaan tipe makanan yang diperoleh. Kelimpahan relatif rayap dihitung berdasarkan jumlah bagian petak ditemukannya suatu spesies rayap. Biomassa rayap dihitung berdasarkan berat basah rata-rata bobot tubuh individu spesies rayap. Pengamatan tumbuhan atas dilakukan di sepanjang transek rayap pada petak berukuran 40 m x 5 m, tumbuhan bawah diukur pada petak 0.5 m x 0.5 m sebanyak 8 contoh petak (atau 4 contoh petak 1 m x 1 m untuk petak yang berada di kawasan bukan hutan). Parameter yang dihitung adalah keanekaragaman tumbuhan bawah dan atas, luas bidang dasar, kerapatan individu pohon. Sifat tanah seperti: pH, kandungan karbon organik, nitrogen total, dan bulk density dianalisis di dua titik di sepanjang bidang transek. Ketebalan serasah dan laju dekomposisi dihitung pada 5 titik di sepanjang bidang transek. Ordinasi Redudancy Analysis (RDA) dan Canonical Correspondence Analysis (CCA) digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara parameter lingkungan dengan komunitas rayap. Jumlah spesies rayap yang ditemukan di Gunung Slamet bagian Timur sebanyak tujuh spesies, yang terdiri dari dua famili dan empat subfamili. Schedorhinotermes javanicus Kemner merupakan satu-satunya spesies rayap dari
Famili Rhinotermitidae yang terkoleksi. Enam spesies rayap lainnya adalah spesies rayap dari Famili Termitidae yang dikelompokan dalam tiga subfamili. Subfamili Termitinae terdiri dari spesies Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, Subfamili Macrotermitinae terdiri dari spesies Macrotermes gilvus Hagen dan Microtermes insperatus Kemner dan Subfamili Nasutitermitinae terdiri dari spesies Nasutitermes javanicus Holmgren dan N. matangensis Haviland. Kelompok rayap pemakan tanah terdiri dari Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, sedangkan lima spesies rayap yang lain dikelompokan ke dalam kelompok rayap pemakan kayu. Nasutitermes javanicus dan Schedorhinotermes javanicus ditemukan di seluruh lokasi pengambilan sampel. Sedangkan spesies rayap yang hanya ditemukan pada satu lokasi adalah Macrotermes gilvus dan N. matangensis. Kelimpahan relatif rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung sebanyak 39 encounter dan terendah di permukiman sebanyak 10 encounter. Biomassa rayap di lokasi hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman berturut-turut: 1.33, 0.31, 0.81, 0.49, dan 0.34 gr/m2. Di permukiman tidak ditemukan spesies rayap pemakan tanah sedangkan spesies rayap pemakan tanah terbanyak diperoleh di hutan lindung dan hutan produksi. Berdasarkan analisis ordinasi RDA, keanekaragaman komunitas rayap menunjukan penurunan dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat (λ = 0.38, p = 0.038, F = 4.84). Namun, tipe penggunaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap keanakeragaman komunitas rayap (λ = 0.00, p = 0.965, F = 0.07). Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan spesies rayap berdasarkan ordinasi CCA adalah ketebalan serasah (λ = 0.30, p = 0.030, F = 4.34). Parameter yang lain dinyata pengaruhnya seperti bulk density (λ = 0.20, p = 0.160, F = 1.73), keanekaragaman tumbuhan atas (λ = 0.18, p = 0.225, F = 1.33), pH (λ = 0.14, p = 0.290, F = 1.25), luas bidang dasar (λ = 0.13, p = 0.130, F = 3.27), laju dekomposisi (λ = 0.07, p = 0.495, F = 0.94), nitrogen total (λ = 0.06, p = 1.000, F = 0.00), dan kandungan karbon organik (λ = 0.02, p = 0.765, F = 0.40), serta keanekaragaman tumbuhan bawah (λ = 0.00, p = 1.000, F = 0.00). Penurunan keanekaragaman komunitas rayap dipengaruhi oleh perubahan kondisi habitat. Habitat yang terganggu cenderung menunjukkan jumlah pohon yang lebih sedikit sehingga penutupan tajuk menjadi lebih terbuka. Pembukaan penutupan tajuk berdampak pada perubahan iklim mikro sehingga mengurangi aktivitas dan daerah jelajah rayap. Kerusakan habitat juga menurunkan jumlah serasah yang mempengaruhi penyusutan mikrohabitat rayap sehingga mengurangi aktivitas rayap untuk bersarang dan mencari makanan. Peningkatan tingkat gangguan habitat menyebabkan peningkatan bulk density yang berdampak pada penyempitan daerah jelajah rayap. Komposisi antara kelompok rayap pemakan tanah dengan rayap pemakan kayu mengalami perubahan sesuai dengan tingkat gangguan habitatnya. Berdasarkan hal ini, kelompok rayap pemakan tanah dapat digunakan sebagai bioindikator. Kelompok rayap pemakan tanah memiliki kepekaan terhadap tingkat ganggguan habitat. Kata kunci: komunitas rayap, bioindikator, penggunaan lahan, gangguan lingkungan, Gunung Slamet
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN
TEGUH PRIBADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis Nama NIM
: Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan : Teguh Pribadi : G351060391
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 22 Januari 2009
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ibnul Qoyyim
PRAKATA Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni sampai Oktober 2008 ini ialah komunitas rayap, dengan judul Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M. Si. dan Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M. Si. selaku komisi pembimbing serta Dr. Ir. Ibnul Qoyyim yang telah memberi saran untuk perbaikan isi tesis. Asper Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Timur, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Serang dan Warga Desa Serang yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan teknis selama penelitian dilaksanakan. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ahmad Rizali, S. P., M. Si.; Rosniati A. Risna, S. Si., M. Si.; dan Ir. Samin Botanri, M. P. yang telah memberikan saran untuk perbaikan penulisan tesis serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui program beasiswa Peneliti, Pencipta, Penulis, Seniman, Olahragawan dan Tokoh (P3SWOT). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, istri, dan anakku yang tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2009
Teguh Pribadi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 27 Desember 1980 dari ayah Supardi dan ibu Suliyah. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Ika Wahyuni, S. Pd. dan memiliki seorang putra yang bernama Naufal ‘izza Labib Abhista. Tahun 1999 penulis lulus dari SMK Negeri 2 Purwokerto. Tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister diperoleh pada tahun 2006 di Departemen Biologi pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional. Sekarang penulis bekerja sebagai PNS Departemen Pendidikan Nasional di Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) XI Kalimantan dan ditempatkan sebagai Dosen diperbantukan (DPK) di Program Studi Budi Daya Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Palangka Raya sejak tahun 2005 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xiv
PENDAHULUAN ........................................................................................ Latar Belakang..................................................................................... Tujuan.................................................................................................. Manfaat ................................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ Bioekologi Rayap ................................................................................ Dasar dan Konsep Bioindikator........................................................... Ekosistem yang Sehat ..........................................................................
4 4 8 12
METODE PENELITIAN.............................................................................. Waktu dan Tempat............................................................................... Alat dan Bahan .................................................................................... Cara Kerja............................................................................................ Analisis Data ........................................................................................
14 14 15 15 20
HASIL ...... .................................................................................................... Komunitas Rayap ................................................................................ Parameter Lingkungan......................................................................... Hubungan antara Komunitas Rayap dengan Parameter Lingkungan ..
22 22 26 30
PEMBAHASAN ........................................................................................... Kekayaan Spesies Rayap ..................................................................... Komposisi dan Kepadatan Rayap........................................................ Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap ............................................. Tingkat Gangguan Habitat................................................................... Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat.... Paremeter Lingkungan......................................................................... Komunitas Rayap sebagai Bioindikator ..............................................
34 34 36 38 39 40 43 48
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... Simpulan .............................................................................................. Saran ....................................................................................................
50 50 51
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
52
LAMPIRAN..................................................................................................
58
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Karakteristik lokasi pengambilan sampel ...............................................
16
2
Kelimpahan relatif spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ...............................................
25
Lima famili dan spesies tumbuhan bawah yang mendominasi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur..
27
Struktur dan komposisi vegetasi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ...............................................
29
Rataan dan standar deviasi beberapa sifat kimia dan fisika tanah pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur.. ....................................................................................................
29
Rataan dan standar deviasi ketebalan serasah, dekomposisi relatif, dan laju dekompoisisi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ...............................................
29
Parameter yang digunakan sebagai indikator tingkat gangguan habitat .
30
3
4
5
6
7
8 Ringkasan hasil ordinasi RDA pengaruh parameter lingkungan terhadap struktur dan komunitas rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur...................................... 9
Ringkasan hasil ordinasi CCA dari parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur............................
31
32
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2
Morfologi kasta rayap Schedorhinotermes javanicus Kemner: (a) pekerja, (b) parajurit, (c) reproduktif.................................................
4
Skema perkembangan rayap ...................................................................
6
3 Tingkat respons sistem biotik terhadap stress terkait dengan ukuran dan Kompleksitas sistem yang mengalami tekanan.......................................
11
4
Peta lokasi penelitian ..............................................................................
14
5
Bentuk transek pengamatan rayap dan penempatan petak pengamatan tumbuhan.................................................................................................
17
Prajurit spesies S. Javanicus Kemner: (a) parajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, (c) prajurit mayor tampak dorsal, dan (d) prajurit mayor tampak lateral ............................................................
22
Prajurit spesies Procapritermes setiger Haviland: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral..............................................................................
23
Prajurit spesies Pericapritermes semarangi Holmgren: (a) tampak Dorsal dan (b) tampak lateral..................................................................
23
Prajurit spesies M. gilvus Hagen: (a) prajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, dan (c) prajurit mayor tampak tampak dorsall .........................................................................................
23
10 Prajurit spesies Microtermes insperatus Kemner: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral..............................................................................
24
11 Prajurit spesies N. javanicus Holmgren: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral ....................................................................................
24
12 Prajurit spesies N. matangensis Haviland: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral ....................................................................................
24
13 Biomassa rayap pada masing-masing tipe penggunaan lahan yang Berbeda di Gunung Slamet bagian Timur...............................................
26
14 Perbandingan antara kelompok rayap pemakan kayu ( ) dengan pemakan tanah ( ) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ...............................................
26
6
7 8 9
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 15 Ordinasi RDA antara tingkat gangguan habitat (TK), tipe penggunaan lahan (PL) dengan kemerataan spesies (E), biomassa (BM), kelimpahan relatif (KR), dan keanekaragaman spesies (H), serta kekayaan spesies (S) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur .............................................................
31
16 Ordinasi CCA parameter lingkungan ( ) dengan spesies rayap (Δ) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ...........................................................................................
33
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di hutan lindung ....................................................
58
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di wana wisata.......................................................
60
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di hutan produksi...................................................
61
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di agroforestri........................................................
62
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di permukiman ......................................................
64
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di hutan lindung.........................................................
65
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di wana wisata ...........................................................
65
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di hutan produksi.......................................................
66
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di agroforestri ............................................................
66
10 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di permukiman...........................................................
67
2
3
4
5
6
7
8
9
xiv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia merupakan penyebab utama perubahan ekologis suatu ekosistem. Perubahan dan intensitas penggunaan lahan berperan besar terhadap kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati berdampak pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme deteksi dini yang dengan cepat dapat mengetahui perubahan kondisi ekosistem. Deteksi dini ini dapat dilakukan menggunakan suatu organisme yang ada di suatu ekosistem atau habitat yang memberikan respons terhadap perubahan tersebut. Suatu organisme yang dapat memberikan respons (Weissman et al. 2006), indikasi (Elliot 1997), peringatan dini (Jones & Eggleton 2000), atau representasi (Hilty & Merylender 2000; Vanclay 2004), serta refleksi (Vogt et al. 1997; Didden 2003; Vanclay 2004), dan informasi (McGeoch 1998) dari kondisi dan atau perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem disebut bioindikator. Bioindikator merupakan salah satu komponen penting dalam pengelolaan ekosistem. Dasar pemikiran akan adanya suatu organisme indikatif adalah adanya hubungan yang erat antara suatu organisme dengan parameter biotik dan abiotik dari suatu ekosistem (McGeoch et al. 2002). Suatu organisme akan berkembang secara optimal pada kondisi lingkungan yang ideal. Komponen ekosistem yang tidak normal berdampak pada perubahan mekanisme kerja pada suatu organisme. Salah satu organisme indikator yang potensial dicermati adalah rayap. Rayap, semut dan kupu-kupu heliconida merupakan tiga kelompok serangga indikator terbaik berdasarkan perannya di dalam ekosistem, tingkat respons terhadap gangguan pada ekosistem dan tingkat asosiasi dengan organisme yang lain (Speight et al. 1999). Rayap menunjukkan korelasi yang positif terhadap keanekaragaman takson yang lain pada habitat yang sama (Vanclay 2004). Selain itu, rayap juga menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap pengaruh kondisi lingkungan, baik biotik maupun abiotik yang memaparnya serta proses-proses yang terjadi di dalam ekosistem (Jones & Eggleton 2000).
Pembukaan kawasan hutan pada umumnya mengakibatkan penurunan kelimpahan, biomassa dan kekayaan spesies rayap secara cepat (Eggleton & Bignel 1995; Eggleton et al. 1995; 1996). Kekayaan spesies rayap pada suatu ekosistem berkorelasi negatif dengan tingkat gangguan yang terjadi pada ekosistem tersebut (Eggleton et al. 1995; 2002). Penelitian Jones et al. (2003) dan Gillison et al. (2003) menemukan sekitar 34 spesies rayap pada hutan primer dan menurun sampai hanya ada satu spesies rayap di pertanaman tipe monokultur. Beberapa penelitian juga menunjukan fenomena yang sama dimana kekayaan spesies rayap pada kawasan yang relatif belum terganggu lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain yang sudah terganggu (Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; Jones & Prasetyo 2002; Gillison et al. 2003) Komposisi spesies rayap mengalami perubahan ketika suatu ekosistem yang kompleks menjadi lebih sederhana (Bignell & Eggleton. 2000). Pada hutan yang telah mengalami pembukaan, dominasi rayap pemakan tanah digantikan oleh keberadaan rayap pemakan kayu (Bignel & Eggleton 2000; Jones et al. 2003). Rayap pemakan kayu cenderung meningkat jumlahnya sedangkan komposisi spesies rayap pemakan tanah menurun dengan drastis (Eggleton et al. 2002). Kelimpahan relatif dari rayap pemakan kayu juga cenderung lebih tinggi dibandingkan rayap pemakan tanah (Jones & Prasetyo 2002; Jones et al. 2003). Purbalingga merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang berada di kaki Gunung Slamet. Lereng bagian timur Gunung Slamet merupakan salah satu kawasan di Purbalingga dengan variasi penggunaan lahan yang tinggi. Di kawasan ini terdapat hutan lindung, hutan produksi terbatas, loka wisata Gua Lawa, Wana Wisata Serang, dan sentra pertanian hortikultura serta kawasan permukiman. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk lahan pertanian dan permukiman serta akses negatif dari kegiatan pertanian dan pariwisata menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kawasan dengan laju perubahan penggunaan lahan yang tertinggi di Purbalingga. Perubahan penggunaan lahan yang masif akan berdampak pada perubahan parameter ekologi seperti penurunan keanekaragaman hayati, penurunan keseimbangan hara tanah, peningkatan pencemaran lingkungan,
2
dan peningkatan erosi. Lingkungan yang terganggu merupakan indikasi dari ketidaksehatan suatu ekosistem. Rayap merupakan mesofauna tanah utama di kawasan tropis (Lee & Wood 1971, Bignel & Egglenton 2000). Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak pada rayap. Berdasarkan pemikiran ini perlu dikaji respons rayap terhadap perbedaan penggunaan lahan dan tingkat indikasi sebagai bioindikator kualitas lingkungan. B. Tujuan 1. Mempelajari pengaruh tipe penggunaan lahan yang berbeda terhadap komunitas rayap di Gunung Slamet bagian Timur. 2. Mempelajari hubungan antara parameter lingkungan dan tingkat gangguan habitat terhadap komunitas rayap di Gunung Slamet bagian Timur. 3. Mempelajari pemanfaatan komunitas rayap sebagai bioindikator kualitas lingkungan di Gunung Slamet bagian Timur. C. Manfaat Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang: (1) keanekaragaman dan komposisi jenis rayap pada berbagai tipe penggunaan lahan yang berbeda khususnya di Gunung Slamet bagian Timur, (2) beberapa parameter lingkungan yang berperan dalam keanekaragaman rayap, khususnya di Gunung Slamet bagian Timur dan (3) pemanfaatan rayap sebagai bioindikator di Gunung Slamet bagian Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka tentang bioindikator dalam monitoring lingkungan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Rayap Rayap merupakan serangga sosial (Lee & Wood 1971; Wilson 1971; Gullan & Cranston 1999; Speight et al. 1999; Elzinga 2004; Triplehorn & Johnson 2005) pemakan selulosa (Gullan & Cranston 1999; Speight et al. 1999; Triplehorn & Johnson 2005) dan tinggal di dalam sarang atau termitarium yang dibangun sendiri (Lee & Wood 1971). Serangga ini memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil (Triplehorn & Johnson 2005) seringkali pada kasta reproduktif bersayap atau alates ukuran panjang tubuh tidak lebih dari 20 mm (Gullan & Cranston 1999), kecuali kasta reproduktif primer yang mengalami physogastry atau pembesaran pada bagian abdomen sehingga dapat mencapai ukuran panjang 8 cm (Gullan & Cranston 1999; Triplehorn & Johnson 2005). Rayap merupakan serangga sosial dengan sistem kasta polimorfik (Lee & Wood 1971; Gullan & Cranston 1999; Roisin 2000). Morfologi kasta-kasta rayap dapat dilihat pada Gambar 1.
a
b
c
Gambar 1 Morfologi kasta rayap Schedorhinotermes javanicus Kemner: (a) pekerja, (b) prajurit minor, dan (c) reproduktif.
Rayap secara taksonomi dikelompokkan ke dalam ordo Isoptera (iso = sama dan ptera = sayap). Rayap memiliki tubuh yang lunak dan berwarna terang (Triplehorn & Johnson 2005). Ordo Isoptera dicirikan dengan kepala yang prognatik (prognathous head, yaitu posisi alat mulut searah dengan arah bidang tubuh atau mengarah ke depan) (Elzinga 2004). Memiliki mata majemuk dan umumnya mengalami pereduksian sebagai pola adaptasi terhadap kebiasaan hidup di habitat yang gelap (Gullan & Cranston 1999). Antena berbentuk manik-manik (moniliform) (Elzinga 2004) panjang, multisegmen dari 11 sampai dengan 31 segmen (Gullan & Cranston 1999; Donovan et al. 2000; Kambhampati & Eggleton 2000). Alat mulut bertipe menggigit-mengunyah (mandibulata) yang berkembang sesuai dengan tipe kastanya; prajurit memiliki bentuk mandibula besar atau memiliki nasuti (Gullan & Cranston 1999). Tarsi terdiri dari tiga sampai dengan lima segmen. Cerci pendek terbagi dalam satu sampai lima segmen (Gullan & Cranston 1999; Donovan et al. 2000; Kambhampati & Eggleton 2000). Sayap hanya dimiliki oleh kasta reproduktif yang terdiri dari dua pasang sayap tipe membran dengan venasi yang rumit serta memiliki ukuran dan bentuk yang sama, kecuali pada Mastotermes dengan venasi sayap yang lebih rumit (Gullan & Cranston 1999). Rayap mengalami metamorfosis paurometabola (Wilson 1971; Triplehorn & Johnson 2005). Rayap kasta reproduktif (fertil) terdiri dari sepasang kasta reproduktif primer dan beberapa anggota kasta reproduktif sekunder/alates. Selain itu sering kali muncul pula kasta reproduktif suplementer/neoten, yang muncul ketika koloni mengalami fragmentasi. Kasta reproduktif yang terdiri dari sepasang ratu dan raja yang bertugas untuk menghasilkan telur (Triplehorn & Johnson 2005). Rayap kasta non reproduktif (steril) terdiri dari kasta prajurit dan kasta pekerja yang umumnya terdiri dari individu-individu jantan dan betina, tidak bersayap, pada kebanyakan spesies umumnya buta karena mata majemuk terreduksi. Rayap kasta pekerja merupakan individu terbanyak dalam koloni rayap (Lee & Wood 1971). Satu koloni rayap dapat terdiri dari ratusan sampai dengan jutaan individu. Kasta prajurit memiliki ciri warna tubuh lebih pucat dan lunak karena kurang tersklerotisasi. Kasta ini melakukan hampir semua pekerjaan di dalam koloni dari mencari makan sampai dengan merawat telur dan larva
5
(Lee & Wood 1971; Higashi et al. 2000). Rayap kasta prajurit memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan pekerja, namun memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, berwarna lebih gelap, tubuh mengalami elongasi dan kepala tersklerotisasi dengan tipe alat mulut blattoid atau mandibulata (Lee & Wood 1971; Wilson 1971; Triplehorn & Johnson 2005). Pada rayap kasta prajurit untuk beberapa spesies mengalami polimorfik, yaitu prajurit mayor dan minor (Gullan & Cranston 1999; Triplehorn & Johnson 2005). Koloni rayap dibentuk pertama kali dari sepasang alates (laron) yang muncul ketika sedang musim kawin. Setelah itu mereka berkopulasi menjadi ratu dan raja dan menghasilkan telur. Telur berkembang menjadi larva kemudian berkembang menjadi kasta pekerja yang mendominasi koloni dan sebagian menjadi kasta prajurit. Larva yang lain berkembang menjadi nimfa yang akan berkembang menjadi laron. Pembentukan kasta rayap pada rayap tingkat rendah dipengaruhi oleh pemberian hormon foremon dasar (primer pheromone) oleh kasta reproduktif primer, sedangkan pada rayap tingkat tinggi pembentukan kasta rayap dimulai sejak awal atau instar pertama. (Gambar 2).
Gambar 2 Skema perkembangan rayap (Abe & Higashi 2000)
6
Karakteristik perilaku rayap sebagai serangga sosial antara lain trophallaxis (memberi makan anggota kasta lain), grooming (saling menjilat), tigmotaksis (bergerombol dan berdesak-desakan), koprofagi (memakan bangkai anggota koloni) dan kanibalisme. Salah satu sifat yang khas dari rayap jika dibandingkan dengan serangga sosial lainnya adalah kriptobiotik (menjauhi cahaya) kecuali kasta reproduktif pada waktu swarming (penerbangan untuk mencari pasangan sebelum melakukan kopulasi) (Lee & Wood 1971; Wilson 1971). Kemampuan rayap mendegradasi selulosa karena terdapat simbion di dalam rektum rayap. Mikroorganisme yang lazim terdapat di dalam rektum rayap adalah Archaaea, Eubacteria, dan Eucarya seperti Protozoa dan Fungi (Bignel 2000). Rayap tingkat rendah (lower termite) banyak ditemukan protozoa simbion di rektum sedangkan pada rayap tingkat tinggi (higher termite) peran protozoa digantikan oleh bakteri (Lee & Wood 1971). Jumlah spesies rayap di dunia ada sekitar 2,648 spesies yang digolongkan ke dalam tujuh famili dan 281 genus. Famili Termitidae merupakan famili dengan jumlah anggota spesies yang tertinggi. Delapan puluh lima persen total spesies rayap
yang
telah
diidentifikasi
merupakan
anggota
Famili
Termitidae
(Kambhampati & Eggleton 2000). Sedangkan, Famili Mastotermitidae dan Famili Serritermitidae hanya memiliki satu anggota spesies rayap. Famili rayap yang lain adalah Famili Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae dan Rhinotermitidae yang masing-masing famili berturut-turut terdiri dari 411, 20, 15, dan 305 spesies rayap (Kambhampati & Eggleton 2000). Rayap banyak terdapat di kawasan tropis dan subtropis (Lee & Wood 1971) dan menyebar sampai ke daerah temperate pada demarkasi 500 LU/LS. Kekayaan spesies rayap turun secara drastis dari Ekuator ke Selatan dan Utara terutama sejak garis 100 LU/LS. Kecepatan penurunan kekayaan spesies di daerah utara lebih cepat dibandingkan dengan daerah selatan begitu juga dengan tingkat endemisisme (Eggleton 2000). Famili rayap yang banyak ditemukan di kawasan Asia Tenggara (kawasan oriental) khususnya Indonesia adalah Rhinotermitidae, Kalotermitidae dan Termitidae. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200 spesies rayap (Tarumingkeng 1971). Jumlah spesies rayap yang ditemukan di
7
Jawa sebanyak 30 spesies (Gathorne-Hardy et al. 2000), sedangkan menurut Tho (1992) terdapat 54 spesies rayap. Rayap juga dikelompokkan dalam berbagai karakteristik seperti: (1) Rayap dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan habitat yaitu: rayap kayu kering atau dry wood termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam kayu yang kering) dan rayap tanah atau subterranean termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam tanah) (Su & Scheffrahn 2000; Triplehorn & Johnson 2005) serta rayap kayu lembab atau damp wood termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam kayu yang sudah lapuk atau lembab) (Tarumingkeng 1971); (2) Rayap dikelompokkan menjadi enam kelompok berdasarkan tipe makanan (feeding groups) yang terdiri dari: soil feeder (pemakan mineral tanah yang berasal dari bahan berselulosa yang telah lapuk), soil/wood interface-feeders (pemakan kayu yang lapuk), wood feeders (pemakan kayu), litter-foragers (rayap menjelajahi serasah atau kayu kecil dan membawa ke sarang secara temporer), grass-feeders (pemakan rumput, terutama rumput atau batang tumbuhan bawah) dan minor feeding groups (kelompok kecil rayap yang terdiri dari pemakan jamur, alga ataupun lumut kering, pemakan tinja dan rayap yang mencari makan dari sarang spesies rayap lain); (3) Rayap dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan struktur (letak) sarang, yaitu: wood nesting (bersarang di dalam kayu), hypogeal nesting (bersarang di dalam tanah), epigeal mounds (sarang berada di permukaan tanah) dan arboreal mounds (sarang berada di pohon) (Biggnel & Eggleton 2000). B. Dasar dan Konsep Bioindikator Bioindikator adalah organisme (atau bagian dari suatu organisme ataupun suatu komunitas organisme) yang dapat memberikan informasi tentang kualitas suatu kondisi lingkungan atau sebagian dari organ lingkungan (Mhatre & Pankhurst 1997; Kettrup 2003) yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan pada skala ruang dan waktu (Markert et al. 2003) ataupun kondisi lingkungan sehingga sering diacu sebagai indikasi tekanan lingkungan yang
bersifat
antropogenik
(Franzle
2003).
Lebih
lanjut,
bioindikator
didefinisikan sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat menggambarkan
kondisi
lingkungan
baik
abiotik
maupun
biotik
atau
8
menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu kawasan (McGeoch 1998). Bioindikator adalah organisme yang menunjukan sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Spesies indikator adalah spesies yang memiliki amplitudo terhadap satu atau beberapa pengaruh faktor lingkungan yang sempit (McGeoch 1998). Bioindikator dalam penerapan di lapangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. Indikator lingkungan adalah spesies atau kelompok spesies yang tanggap terhadap kondisi lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan. Organisme ini dapat digunakan untuk menduga dan memantau perubahan kondisi lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi lima yaitu sentinels (organisme peka yang dapat diaplikasikan di lapangan sebagai alat peringat dini), detektor (spesies yang secara alamiah terkait dan menunjukan respons biologis terukur terhadap perubahan lingkungan), eksploiter (kehadiran spesies ini memberikan informasi tentang kemungkinan adanya pencemaran dan gangguan pada lingkungan), akumulator (organisme yang mampu menyerap dan mengakumulasi bahan kimia di dalam tubuh sehingga memberikan informasi tentang tingkat pencemaran yang memapar), dan bioassay organisms (organisme yang digunakan sebagai reagen untuk mendeteksi pencemaran atau toksisitas di lingkungan). 2. Indikator ekologis yaitu karakteristik takson atau kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan, yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan respons tersebut diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut sekaligus memonitor pengaruh penyebab tekanan terhadap perubahan kondisi biota dalam jangka panjang 3. Indikator keanekaragaman hayati adalah kelompok takson atau kelompok fungsional dimana keanekaragaman hayati tersebut dapat menggambarkan beberapa ukuran tentang keanekaragaman hayati (kekayaan spesies, kekayaan
9
sifat dan endemisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok habitat, sehingga fungsinya dapat digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati ataupun memantau perubahan keanekaragaman hayati. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal McGeoch (1998). Bioindikator
dapat
meliputi
beberapa
variasi
skala
dari
aspek
makromolekul, sel, organ, organisme, populasi, sampai ekosistem. Sehingga bentuk bioindikasi meliputi : (1) reaksi biokima dan fisiologis; (2) penyimpangan bentuk anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normal, (3) perubahan floristik, faunistik, dan populasi secara berurutan, (4) perubahan ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst 1997). Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan respons bioindikator terhadap permasalahan lingkungan (tekanan) yang memapar organisme bioindikator, yaitu: (1) Indikator (kehadiran dan ketidakhadiran bioindikator menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara kuantitatif jarang dianalisis). (2) spesies uji (respons spesies ini mengindikasikan tentang permasalahan yang luas, spesies uji umumnya memiliki standardisasi yang tinggi), (3) monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan dan kesimpulan secara kuantitatif biasanya memungkinan jika dilakukan kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif (organisme monitor yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang diintroduksi). Monitor pasif terdiri dari reaktor (respons spesies reaktor berupa perubahan fungsi atau reaksi) dan akumulator yang responsnya diamati berdasarkan akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1997). Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik biologis diantaranya adalah komposisi spesies, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1997). Respons suatu organisme terhadap pengaruh lingkungan dapat diamati dari tingkat molekular sampai dengan tingkat ekosistem (Gambar 3).
10
Ruang (m2)
Waktu (S) Dampak 100
10-9 Ambang batas
tiba-tiba beberapa hari
Gangguan
Reaksi biokimia
Gejala neurologis dan endokrin kemofoto dan geotaksis, orientasi, motilitas
Reaksi fisiologis jam – minggu
Depleksi O2, proses osmotik dan ionik, pengambilan makanan, pencernaan, ekskresi, fotosintesis nitrifikasi
aktivitas enzimatis dan metabolisme, induksi MFO, sintesis asam amino dan hormon steroid, mutasi DNA Reaksi morfologis perubahan jaringan, pembentukan tumor, deformasi
Modifikasi daur kehidupan hari bulan
Embriogenesis, reproduksi, kecepatan pertumbuhan
Perubahan pada tingkat komunitas
bulan tahun
Penyusutan kelimpahan, perubahan struktur umur dan sumber daya genetik Perubahan pada tingkat ekosistem
tahun dekade 109 1010
Perubahan struktur dan dinamika pada komunitas dan ekosistem 103 104
Gambar 3. Tingkat respons sistem biotik terhadap tekanan terkait dengan ukuran dan kompleksitas sistem yang mengalami tekanan (Franzle 2003). Kriteria umum untuk menetapkan suatu organisme digunakan sebagai indikator adalah : (1) takson yang lebih tinggi dan/atau dipilih takson yang telah diketahui secara detail dan memiliki taksonomi yang jelas serta mudah untuk diidentifikasi; (2) biologi organisme tersebut diketahui dengan baik, memiliki respons yang baik terhadap faktor tekanan atau perubahan habitat; (3) organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah disurvei dan dimanipulasi; (4)
11
organisme tersebut terdistribusi dalam ruang dan waktu yang luas atau bersifat kosmopolitan; dan (5) berkorelasi kuat dengan keseluruhan komunitas dan/atau dengan faktor tekanan (Hodkinson & Jackson 2005). C. Ekosistem yang Sehat Ekosistem yang sehat dapat diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak mengalami tanda-tanda terjadinya tekanan (dan atau gangguan). Ekosistem tersebut mampu memulihkan diri secara cepat seperti kondisi semula (kelentingan) dan atau hilangnya resiko atau ancaman gangguan terhadap komposisi, struktur dan fungsi ekologis yang terdapat di dalam ekosistem tersebut (Rapport et al. 1997). Kesehatan ekosistem mengacu pada fungsi-fungsi penting dalam ekosistem tersebut berjalan secara baik dan sempurna. Kesehatan eksosistem berarti juga stabil dan berkelanjutan (Rapport et al. 1998). Kesehatan ekosistem memiliki padanan istilah dengan integritas ekosistem (ecosystem integrity). Karakteristik eksosistem yang sehat adalah: (1) ekosistem tersebut bebas dari sindrom tekanan ekosistem (ecosystems distress syndrome). Pada ekosistem daratan, ekosistem yang mengalami tekanan ditandai dengan peningkatan pencucian unsur hara, penurunan keanekaragaman hayati, perubahan komposisi spesies yang didominasi oleh spesies oportunistik (invansif), dan penurunan produktivitas, serta peningkatan serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan ekosistem yang normal; dan (2) ekosistem memperoleh energi dari dalam ekosistem tersebut. Artinya ekosistem tersebut tidak memperoleh subsidi atau bantuan dari manusia untuk meningkatkan produktivitas seperti pemupukan; dan (3) tidak mengganggu sistem di sekitarnya. Misalnya sistem pertanian yang memiliki ekosistem yang sehat seharusnya tidak mencemari daerah aliran sungai yang ada di sekitar ekosistem tersebut (Rapport et al. 1997). Kesehatan eksosistem merupakan perwujudan dari fungsi ekologi. Fungsifungsi penting dari suatu ekosistem merupakan dasar dalam kuantifikasi ekosistem yang baik, seperti perputaran unsur hara, transfer energi yang melibatkan berbagai unsur baik biotik maupun abiotik (Rapport et al. 1997). Penilaian kesehatan ekosistem didasarkan pada tiga parameter yaitu: (1) kelentingan, yaitu kapasitas suatu sistem untuk memelihara struktur dan fungsi-
12
fungsi yang terdapat pada sistem tersebut dari gaya tekanan yang berasal dari luar sistem; (2) organisasi, tingkat keragaman dan kompleksitas interaksi antar komponen ekosistem. Nilai yang dapat digunakan sebagai dasar perhitungan pada tingkat organisasi antara lain: rasio antara spesies r dan spesies k, tingkat eksotisisme, tingkat endemisme, banyaknya spesies spesialis. (3) aktivitas (vigour), merupakan representasi dari metabolisme di dalam ekosistem, produksi primer (Rapport et al. 1998). Indikator ekosistem sehat dapat diamati dari: tingkat struktur vegetasi yang tinggi dan komposisi vegetasi yang seimbang, produktivitas yang tinggi, perputaran unsur hara yang komplit, prevalensi hama dan penyakit pada organisme, keanekaragaman hayati yang tinggi, struktur komunitas yang lengkap dan laju dekomposisi yang cepat (Rapport et al. 1998).
13
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini secara geografis dilakukan di Kabupaten Purbalingga yang terletak pada posisi 109011’ – 109035’ BT dan 7010’ – 7029’ LS. Beberapa lokasi adalah di sekitar Gunung Slamet bagian Timur. Lokasi penelitian ini secara admistratif berada di Desa Serang, Kecamatan Karang Reja, Kabupaten Purbalingga (Gambar 4). Secara umum topografi kawasan ini berbukit-bukit dengan kelerengan yang relatif curam, kecuali pada lokasi yang dijadikan permukiman memiliki topografi yang datar. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober 2008.
Gambar 4.
Peta lokasi penelitian. Keterangan angka pada peta lokasi menunjukan titik pengambilan sampel dalam penelitian ini: 1 (hutan lindung), 2 (wana wisata), 3 (hutan produksi), 4 ( agroforestri) dan 5 (permukiman).
B. Alat dan Bahan Bahan penelitian yang digunakan adalah: (1) hardcopy peta administratif dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Purbalingga, hardcopy peta tanah, data citra satelit dari Bappeda kabupaten Purbalingga, peta kawasan hutan dari BKPH Banyumas Timur; (2) bahan untuk pembuatan herbarium: alkohol (70%), kantong plastik besar (60 cm x 100 cm), kertas koran, gunting ranting, label gantung; (3) bahan untuk pembuatan koleksi spesimen rayap (microtube); dan (4) kantung nilon ukuran 20 cm x 20 cm. Alat penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) perangkat computer; (2) alat pengecek lapangan: GPS, kamera digital dan baterei, abney level, kompas geologi, clinometer, RH-meter, pH-meter dan hagameter; (3) peralatan pengukuran laju dekomposisi serasah: timbangan analitik dan penggaris; (4) peralatan inventarisasi pohon: tali, meteren gulung dan phiband; (5) alat tulis menulis; (6) perlengkapan jelajah lapangan; (7) parang dan sekop tanah; (8) oven; dan (9) mikroskop stereo. C. Cara Kerja 1. Penentuan area kajian dan rancangan percobaan Lokasi pengambilan sampel untuk pengamatan keragaman rayap tanah dipilih berdasarkan perbedaan tingkat gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas tipe penggunaan lahan sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Bickel & Watanasit (2005). Penilaian tingkat gangguan habitat didasarkan pada pada: (1) jumlah pohon dengan diameter besar (ø ≥ 20 cm); (2) keberadaan tumbuhan bawah; (3) jumlah stratifikasi tajuk; (4) paparan sinar matahari langsung memapar permukaan tanah; dan (5) tingkat aksesibilitas ke kawasan. Berdasarkan kriteria di atas maka dipilih lima lokasi secara purposive untuk mewakili kondisi terganggu dan tidak terganggu. Kawasan yang tidak terganggu diwakili oleh hutan lindung dan derajat gangguan yang makin meningkat direpresentasikan oleh wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman. Masing-masing lokasi memiliki tipe tegakan yang berbeda, yaitu puspa untuk hutan lindung, damar untuk wana wisata dan agroforestri dan pinus untuk hutan produksi (Tabel 1).
15
Tabel 1. Karakteristik lokasi pengambilan sampel No.
Lokasi
Koordinat
3.
S. 07015.229’ E.109016.716’ S. 07014.706’ Pesanggrahan E.109017.505’ S. 07014.503’ Brubahan E.109017.717’
4.
Kali Pring
5.
Brubahan
1. 2.
Gunung Keris
S. 07015.181’ E.109017.059’ S. 07014.846’ E.109017.868’
Ketinggian tempat (m dpl)
Tipe tegakan dominan Tegakan puspa Tegakan damar
Hutan lindung (HL) Wana wisata (WW)
1124
Tegakan pinus
Hutan produksi (HP)
1087
Tegakan damar
1001
-
Agroforestri (AF) Permukiman (PM)
1152 1012
Tipe penggunaan lahan
2. Pengambilan Sampel Rayap Metode yang digunakan untuk mengamati karakter ekologis rayap pada penelitian ini adalah metode transect surveys (Eggleton et al. 1999). Metode ini relatif cepat untuk menilai kekayaan jenis rayap pada suatu kawasan, pola spasial dan temporal dari struktur komposisi rayap di hutan tropis sekaligus mendukung pengamatan rayap sebagai bioindikator (Jones & Eggleton 2000). Data yang diperoleh dari protokol standar ini adalah komposisi taksonomi dan kelompok fungsional rayap (kelompok makan atau feeding groups) (Eggleton et al. 2002; Jones et al. 2006). Pada
masing-masing lokasi ditempatkan dua buah transek rayap yang
diletakkan secara purposive (ditempatkan pada habitat yang secara kasat mata seragam) dan memotong garis kontur. Transek rayap berukuran 100 m x 2 m, dimana sepanjang transek rayap dibagi menjadi 20 section (bagian) dengan ukuran 5 m x 2 m, yang disusun secara berurutan (Gambar 5). Di setiap bagian dilakukan pengamatan, pencarian dan pengoleksian rayap yang tertangkap berdasarkan mikrosite-nya. Mikrosite yang dieksplorasi untuk menemukan rayap adalah tanah (bagian dalam dan permukaan), serasah, batang kayu, dan pohon. Waktu yang diperlukan untuk mengeksplorasi keberadaan rayap pada setiap bagian adalah 30 menit/orang untuk dua orang kolektor.
16
2m
5m
40 m
5m 100 m
Gambar 5. Bentuk transek pengamatan rayap dan penempatan petak pengamatan tumbuhan. keterangan : = bagian dari transek pengamatan rayap (5 m x 2 m) = petak pengamatan tumbuhan atas (40 m x 5 m) = petak pengamatan tumbuhan bawah (0.5 m x 0.5 m). Titik-titik pengamatan di setiap bagian dalam transek rayap terdiri dari: (1) dua belas areal di permukaan tanah dengan luas ± 50 cm2 yang banyak terdapat serasah. Masing-masing areal digali kira-kira 5 cm kedalaman dari permukaan tanah dan rayap yang ada di dalamnya dikoleksi. (2) kayu mati dengan diameter 1 cm ke atas dibongkar dan rayap yang ada di dalamnya dikoleksi. Batang kayu atau banir, di mana banyak terdapat serasah atau bahan organik tanah di sekitarnya, diamati. Banir dan lembaran pepagan dibuka dan rayap yang ditemukan sampai ketinggian ± 2 m dikoleksi. (3) sarang dan mound (gundukan) yang ada di permukaan tanah dibuka dan rayap yang ditemukan dikoleksi. Rayap yang dikoleksi dimasukkan dalam tabung yang berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya dilakukan pemilahan dan identifikasi spesimen. Identifikasi awal dilakukan sampai tingkat morfospesies genus. Identifikasi spesimen rayap mengacu pada kunci identifikasi Ahmad (1965), Tho (1992) dan Sornnuwat et al. (2004) dan selanjutnya spesimen dikirim ke ahli taksonomi rayap (Dr. Anggoro Hari Prasetyo – Museum Zoologi LIPI Cibinong) untuk pengecekan ulang dan verifikasi sampai tingkat spesies. Kelimpahan relatif diukur berdasarkan jumlah rayap dari spesies yang sama yang tertangkap di setiap bagian pada sepanjang transek. Sehingga nilai kelimpahan relatif (KR) berkisar dari 0 – 20 untuk tiap transek. Kelimpahan relatif ini dapat digunakan sebagai alat perbandingan dengan lokasi yang lain. Berat rayap dihitung berdasarkan berat basah alkohol. Dua puluh (jika jumlahnya tidak memungkinkan maka jumlah rayap yang ditimbang dikurangi)
17
rayap yang terkoleksi ditimbang. Penimbangan diulangi sebanyak lima kali sebagai ulangan. Biomassa rayap (BM) untuk masing-masing tipe penggunaan lahan dihitung dengan persamaan: n =l
mi n =0 LA
BM = ∑ dimana : BM
mi LA n
= = = =
Biomassa rayap (gr/m2) Massa individu rayap spesies i (gr) Luas petak pengamatan (200 m2) Kelimpahan relatif rayap (0, 1, 2, 3, …, l)
3. Pengukuran Parameter Lingkungan Di setiap lokasi pengamatan rayap dibuat petak pengamatan tumbuhan atas seluas 40 m x 5 m (Gillison 2002). Petak pengamatan tumbuhan atas ditempatkan di sepanjang transek pengamatan rayap yang dibuat memotong garis kontur. Luas bidang dasar tumbuhan atas dengan diameter ≥ 3 cm diukur dan jumlahnya dihitung. Vegetasi berupa herba atau tumbuhan bawah diukur dalam delapan petak dengan ukuran 0.25 m2 yang diletakkan secara sistematis sepanjang petak pengamatan vegetasi tumbuhan atas dengan jarak 5 m antar petak pengamatan tumbuhan bawah. Pada kawasan bukan hutan petak pengamatan tumbuhan bawah diperluas menjadi 1 m2 sebanyak empat petak pengamatan tumbuhan bawah (Jones et al. 2003). Spesimen tumbuhan yang tidak bisa diidentifikasi di lapangan dibuat herbarium untuk dideterminasi berdasarkan Kostermans et al. (1987) dan Steenis (2006). Ilustrasi petak pengamatan vegatasi dapat dilihat pada Gambar 5. Ukuran kuantitas komunitas tumbuhan, yang terdiri dari: kerapatan individu (KI), luas bidang dasar (LBD), dan indek nilai penting (INP) dihitung berdasarkan formulasi dari Muller-Dombois & Ellenberg (1974); Cox (2002). Keanekaragaman
hayati
diinterpretasi
dengan
menilai
indeks
kekayaan
spesies (S), indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H) dan indeks kemerataan Smith & Wilson (E) berdasarkan rumus dari Krebs (1999). Sifat fisika dan kimia tanah diambil di sepanjang jalur transek pengamatan rayap. Titik pengambilan sampel tanah terlebih dahulu dibersihkan dari serasah atau kotoran yang lain. Sampel sifat kimia tanah diambil dari sampel tanah komposit, sedangkan sifat fisika tanah sampelnya diperoleh dari tanah padat yang
18
diperoleh dengan menggunakan ring sampel pada kedalaman tanah 15 cm dari permukaan tanah. Contoh tanah kemudian dimasukkan ke dalam kantong hitam dan disimpan pada kotak khusus untuk mencegah benturan dan kerusakan sampel tanah sebelum dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Sifat-sifat tanah yang diukur adalah: bulk density, pH, kandungan karbon organik, dan kandungan nitrogen total. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada dua titik dengan jarak 40 m pada transek pengamatan rayap. Ketebalan serasah diukur dari lima titik yang berjarak 8 m antar titik di masing-masing lokasi di sepanjang transek pengamatan rayap. Serasah baik berupa daun atau ranting yang belum membusuk diambil pada petak 0.25 m2, kemudian dibersihkan dari kotoran atau tanah dan dikeringkan pada suhu 400 C selama 48 jam. Laju dekomposisi diukur dengan menggunakan teknik kantung serasah (litter bag) sesuai dengan usulan Coleman et al. (2004); Barlocher (2005) yang dimodifikasi. Pengukuran laju dekomposisi di wilayah permukiman dilakukan dengan menggunakan bahan yang mudah diperoleh di tempat tersebut. Hal ini dikarenakan jumlah serasah yang tersedia terbatas di permukiman dan untuk menyamakan perlakuan pada masing-masing perlakuan maka digunakan serasah daun duku (Lansium domesticum). Kantung serasah terbuat dari kain nilon dengan ukuran 20 cm x 20 cm dengan lubang ukuran 1 mm. Masing-masing kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 20 gr (kering udara). Kemudian lima kantung serasah ditempat pada tiap lokasi pengambilan sampel dengan jarak 20 m antar titik di sepanjang transek pengamatan rayap. Kantung serasah diletakan pada permukaan tanah kemudian ditutup dengan serasah yang ada di sekitarnya. Setelah 60 hari masing-masing kantung serasah diambil dan serasah yang tersisa dibersihkan dan dikeringkan dengan tanur pada suhu 40oC selama 48 jam serta ditimbang. Dekomposisi relatif (DR) dihitung berdasarkan persamaan yang dibuat oleh Das dan Chaturvedi (2003): DR
= ln (W1 – W0) : (t1 – t0)
(Das & Chaturvedi 2003)
Sedangkan, laju dekomposisi (R) dihitung berdasarkan persamaan: Xt
= X0.e-Rt
Barlocher (2005)
19
dimana : DR W1 W0 t1 t0 Xt X0 e R t
= = = = = = = = = =
Dekomposisi relatif (gr/bulan) Berat akhir (gr) Berat awal (gr) Waktu akhir pengamatan (bulan) Waktu awal pengamatan (bulan) Berat kering udara pada akhir pengamatan (gr) Berat awal saat dimasukkan ke dalam litterbag (20 gr) Logaritma natural Laju dekomposisi (gr/gr.hari) Selang waktu (hari). 60 hari.
D. Analisis Data Kekayaan spesies rayap dan tumbuhan (S) dihitung berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan. Indeks Shannon & Wiener (H), indeks kemerataan Smith & Wilson (E) dihitung dengan bantuan perangkat lunak Ecological Methodology 2nd Edition. Analisis varian satu arah (one ways ANOVA) digunakan untuk membedakan pengaruh tipe pengunaan lahan terhadap masing-masing parameter yang diukur. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan Software Statistica Versi 6 (StatSoft 2001). Hubungan antara tipe penggunaan lahan (PL) dan tingkat gangguan habitat (TK) terhadap komunitas rayap yang terdiri dari: kekayaan spesies (S), kelimpahan relatif (KR), keanekaragaman hayati (H), kemerataan spesies (E), dan biomassa (BM) dianalisis dengan ordinasi Redudancy Analysis (RDA). Koneri (2007) menyatakan bahwa kecenderungan hubungan antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas suatu spesies (kekayaan, kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan) dapat diduga dengan analisis RDA. Analisis RDA dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Canoco Versi 4.5 (Braak & Smilauer 2002). Hubungan antara spesies rayap dengan parameter lingkungan diuji dengan ordinasi Canonical Correspondence Analysis (CCA) dengan menggunakan perangkat lunak Canoco Versi 4.5 (Braak & Smilauer 2002). Parameter lingkungan yang digunakan adalah keanekaragaman tumbuhan bawah (HTB), keanekaragaman tumbuhan atas (THA), bulk density (BD), pH (pH), kandungan karbon organik (COR), kandungan nitrogen total (NTO), ketebalan serasah (KSE), dekomposisi relatif (DR) dan laju dekomposisi (R). CCA merupakan teknik analis peubah ganda yang digunakan untuk mengurai hubungan antara spesies dengan karakter lingkungan yang telah diketahui. Hubungan ini
20
digambarkan melalui grafik ordinasi. Karakter lingkungan ditampilkan dengan anak panah dan spesies dalam bentuk segitiga. Kedekatan posisi titik spesies dengan anak panah parameter lingkungan menunjukan kedekatan hubungan antara parameter lingkungan dengan spesies tersebut (Rizali 2006). Parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap struktur komunitas dan spesies rayap pada RDA dan CCA diperingkatkan menggunakan metode forward selection dan diuji dengan menggunakan monte carlo permutation dengan 199 permutasi acak (Koneri 2007).
21
IV. HASIL A. Komunitas Rayap Jumlah spesies yang ditemukan pada penelitian ini adalah tujuh spesies, enam genera dari empat subfamili yang dikelompokan dalam dua famili (Gambar 6-12). Schedorhinotermes javanicus Kemner merupakan satu-satunya spesies rayap dari Famili Rhinotermitidae yang terkoleksi. Enam spesies rayap lainnya adalah spesies rayap dari Famili Termitidae yang dikelompokan dalam tiga subfamili. Subfamili Termitinae terdiri dari spesies Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, Subfamili Macrotermitinae terdiri dari spesies Macrotermes gilvus Hagen dan Microtermes insperatus Kemner dan Subfamili Nasutitermitinae terdiri dari spesies Nasutitermes javanicus Holmgren dan N. matangensis Haviland.
a
1 mm
c Gambar 6
1 mm
b
1 mm
d
1 mm
Prajurit spesies S. javanicus Kemner: (a) prajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, (c) prajurit mayor tampak dorsal, dan (d) prajutit mayor tampak lateral.
a Gambar 7
1 mm
1 mm
b
1 mm
Prajurit spesies Pericapritermes semarangi Holmgren: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral.
a
Gambar 9
1 mm
Prajurit spesies Procapritermes setiger Haviland: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral.
a
Gambar 8
b
1 mm
b
c
1 mm
1 mm
Prajurit spesies M. gilvus Hagen (a) prajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, (c) prajurit mayor tampak dorsal.
23
a
1 mm
b
1 mm
Gambar 10 Prajurit spesies Microtermes insperatus Kemner (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral.
a
1 mm
b
1 mm
Gambar 11 Prajurit spesies N. javanicus Holmgren (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral.
a
1 mm
b
1 mm
Gambar 12 Prajurit spesies N. matangensis Haviland (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral. Total kelimpahan relatif rayap yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 88 encounter (Tabel 2). Hutan lindung merupakan kawasan dengan kelimpahan relatif rayap tertinggi, tercatat diperoleh 39 encouter. Berturut-turut kelimpahan relatif rayap makin menurun dimulai dari hutan produksi (18), wana wisata (12), permukiman (10) dan agroforestri (9). Nasutitermes matangensis adalah spesies
24
rayap dengan kelimpahan relatif terendah sedangkan spesies rayap dengan kelimpahan
relatif
tertinggi
adalah
Pericapritermes
semarangi.
Schedorhinotermes javanicus dan N. javanicus merupakan spesies rayap yang ditemukan di seluruh tipe penggunaan lahan. Sedangkan, Macrotermes gilvus dan N. matangensis merupakan dua spesies rayap yang ditemukan hanya di satu tipe penggunaan lahan. Macrotermes gilvus ditemukan pada permukiman sedangkan N. matangensis pada hutan lindung yang tidak terganggu. Tabel 2 Kelimpahan relatif spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur Tipe Penggunaan Lahan
Spesies HL
WW
HP
AF
∑
Ket.
PM
Schedorhinotermes javanicus Kemner (Sch) Procapritermes setiger Haviland (Pro) Pericapritermes semarangi Holmgren (Per) Macrotermes gilvus Hagen (Mac) Microtermes insperatus Kemner (Mic) Nasutitermes javanicus Holmgren (Nja) Nasutitermes matangensis Haviland (Nma)
9 4 8 1 1 23 RH, Rh1, K* 2 1 3 TE, Te1, T* 16 3 6 6 31 TE, Te1, T 5 5 TE Te2, K 1 2 3 TE, Te2, K 10 4 1 2 4 21 TE, Te3, K 2 2 TE, Te3, K Jumlah 39 12 18 9 10 88 Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. RH (Rhinotermitidae), Rh1 (Rhinotermitinae), TE (Termitidae), Te1 (Termitinae), Te2 (Macrotermitinae), Te3 (Nasutitermitinae). K (pemakan kayu), T (pemakanan tanah). *Kelompok fungsional rayap berdasarkan klasifikasi Donovan et al. (2001). Tanda (-) berarti tidak diketemukan rayap spesies tersebut.
Biomassa
rayap
tertinggi
diperoleh
di
hutan
lindung
sebanyak
1.33 gram/m2, sedangkan biomassa rayap terendah diperoleh di wana wisata sebanyak 0.31 gram/m2 (Gambar 13). Ukuran berat individu spesies rayap berperan dalam biomassa rayap secara keseluruhan. Namun, dalam penelitian ini ukuran populasi rayap tidak diamati, sehingga biomassa rayap didasarkan pada berat rata-rata individu spesies rayap dan kelimpahan relatifnya. Kelompok fungsional rayap berdasarkan kelompok makanan (feeding group) diperoleh dua kelompok yaitu kelompok rayap pemakan kayu dan rayap pemakan tanah. Kelompok rayap pemakan tanah terdiri dari Procapritermes setiger dan Pericapritermes semarangi. Sedangkan, kelompok rayap pemakan kayu terdiri dari S. javanicus, Macrotermes gilvus, Microtermes insperatus, N. javanicus dan N. matangensis. Kelompok rayap pemakan tanah tidak ditemukan di permukiman (Gambar 14).
25
1.4
Biomassa gr/m2
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0 HL
WW
HP
AF
PM
Tipe Penggunaan Lahan Gambar 13 Biomassa rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. 6 5
Jumlah spesies
4 3 2 1 0 HA
WW
HP
AF
PM
Tipe Penggunaan Lahan Gambar 14 Perbandingan antara kelompok rayap pemakan kayu ( ) dengan pemakan tanah ( ) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. B. Parameter Lingkungan Tumbuhan bawah yang ditemukan lokasi penelitian ini terdiri dari 40 famili dengan 90 spesies. Vegetasi tumbuhan bawah untuk hutan lindung didominasi oleh Famili Urticeae. Wana wisata di dominasi oleh Famili Commelinaceae.
26
Sedangkan, Hutan Produksi didominasi oleh Famili Poaceae. Agroforestri dan permukiman didominasi oleh Famili Asteraceae (Tabel 3). Tumbuhan bawah pada masing-masing kawasan cenderung menunjukan perbedaan spesies yang mendominasi (Lampiran 1-5). Hutan lindung didominasi oleh Elatostema sesquifolium (Bl) Hassk. Wana wisata didominasi oleh Pityrogramma calomelanos Link dan hutan produksi didominasi oleh spesies Isochne globosa (Thunb) OK. Sedangkan, agroforestri dan permukiman didominasi oleh Ageratum conyzoides L (Tabel 3). Tabel 3
No
Lima famili dan spesies tumbuhan bawah yang mendominasi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur Famili
1 2 3 4 5
Urticeae Araceae Begoniaceae Melastomaceae Polypodiaceae
1 2 3 4 5
Commelinaceae Polypodiaceae Asteraceae Poaceae Melastomaceae
1 2 3 4 5
Poaceae Asteraceae Commelinaceae Apiaceae Melastomaceae
1 2 3 4 5
Asteraceae Poaceae Hypericeae Compositaceae Cyperaceae
1 2 3 4 5
Asteraceae Hypericaea Poaceae Cyperaceae Apiaceae
SDR Spesies (%) Hutan lindung 26.602 Elatostema sesquifolium 14.597 E. strigosum 8.095 Homalomena javanicum 7.798 Melastoma macrophyllum 7.353 Begonia robusta Wana wisata 21.246 Pityrogramma calomelanos 20.385 Commelina diffusa 14.553 Eupathorium triplinerve 13.497 Axonopus compressus 12.619 Melastoma polyanthum Hutan produksi 29.568 Isochne globosa 16.410 Commelina diffusa 15.846 Eupathorium troplinerve 9.573 Centella asiatica 7.659 Melastoma polyanthum Agroforestri 30.042 Ageratum conyzoides 12.247 Biden pilosa 10.042 Hypericum japonicum 9.916 Crassocephalum crepidioces 8.342 Cyperus rotundus Permukiman 19.192 Ageratum conyzoides 13.126 Hypericum japonicum 12.903 Cyperus rotundus 9.853 Elausine indica 7.410 Setaria palmefolia
INP (%) 10.928 9.872 9.261 5.866 5.421 17.602 14.392 13.459 12.525 11.801 19.502 12.641 11.043 8.224 6.579 20.593 10.711 8.948 8.809 7.232 18.015 12.304 8.434 7.304 6.990
27
Keanekaragaman hayati tumbuhan bawah tertinggi terdapat di hutan lindung yaitu
dengan
nilai
indeks
Shannon-Wiever
sebesar 4.224, sedangkan
keanakeragaman hayati yang terrendah berada di wana wisata sebesar 3.152. Begitu juga dengan tingkat kemerataan dan kekayaan spesies tumbuhan, bawah hutan lindung menunjukan nilai yang paling tinggi yaitu dengan nilai indeks kemerataan sebesar 0.439 dan kekayaan spesies sebanyak 35 spesies dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan yang lain. Namun kerapatan individu tertinggi diperoleh di agroforestri sebanyak 270.5 individu/m2 (Tabel 5). Inventarisasi tumbuhan atas di lima tipe penggunaan lahan pada penelitian ini diperoleh 18 Famili dengan 22 spesies (Lampiran 6-10). Tumbuhan atas relatif homogen pada semua petak pengambilan sampel vegetasi yang dicirikan dengan nilai INP ≥ 50% dari suatu spesies dan famili, kecuali permukiman yang memiliki komposisi spesies tumbuhan atas yang lebih beragam. Permukiman menunjukan nilai keanekaragaman hayati dan kemerataan tumbuhan atas yang tertinggi dibandingkan dengan empat tipe penggunaan lahan yang lain. Sedangkan, hutan lindung memiliki nilai luas bidang dasar dan kerapatan individu tertinggi yaitu 115.95 m2/ha dan 3050 individu/ha (Tabel 4). Tipe penggunaan lahan secara statistik tidak menunjukan perbedaan sifat kimia dan fisika tanah pada lokasi pengambilan sampel (p > 0.05), namun ada kecenderungan bahwa pH dan bulk density meningkat, dan kandungan karbon dan nitrogen total menurun dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat (Tabel 5). Tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap ketebalan serasah, dekomposisi relatif dan laju dekomposisi (Tabel 6). Tipe penggunaan lahan yang semakin terganggu akan menurunkan nilai KSE (F(4.20)=33.411, p = < 0.001), DR (F(4.20)=16.13, p = < 0.001), R (F(4.20)=19.70, p = < 0.001). Tingkat gangguan habitat pada penelitian ini didasarkan pada pengamatan visual dan hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di atas. Hutan lindung merupakan habitat yang tidak terganggu, semakin ke arah permukiman tingkat gangguannya makin meningkat. Parameter yang digunakan untuk menilai tingkat gangguan habitat pada penelitian ini didasarkan pada Bickel & Watasit (2004). Pemeringkatan ini tidak dilakukan kuantifikasi dan pembobotan terhadap masing-masing parameter (Tabel 7).
28
Tabel 4
Struktur dan komposisi vegetasi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur Tipe Penggunaan Lahan HL WW HP AF Tumbuhan bawah 4.224 3.152 3.497 3.270 35 19 25 30 0.439 0.317 0.361 0.245 168.5 90.5 133.0 270.5 Tumbuhan atas 2.161 0.658 0.978 0.592 9 3 3 2 0.372 0.339 0.469 0.569 3050 1200 850 1050 115.95 76.06 92.20 21.98
H S E KI (individu/m2) H S E KI(individu/ha) LBS (m2/ha)
PM 3.429 26 0.249 155.3 2.822 9 0.773 900 9.17
Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. H (indeks keanekaragaman Shannon-Wiever), S (kekayaan spesies), E (indeks kemeretaan Smith & Wilson), KI (kerapatan individu, dan LBS (luas bidang dasar).
Tabel 5 Rataan dan standar deviasi sifat kimia dan fisika tanah pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur Tipe Penggunaan Lahan HP AF
HL
WW
5.65±0.49ts 9.38±1.94ts 0.66±0.06ts
5.75±0.2ts 7±0.71ts 0.57±0.06ts
PM
Sifat Kimia Tanah
pH (H2O) COR (%) NTO (%)
5.55±0.07ts 9.6±1.0ts 0.74±0.05ts
5.65±0.07ts 6.31±0.9ts 0.58±0.08ts
6.35±0.21ts 6.15±0.38ts 0.51±0.06ts
Sifat Fisik Tanah
BD (gr/cc) 0.59±0.09ts 0.54±0.01ts 0.64±0.02ts 0.68±0.04ts 0.61±0.08ts Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. ts berarti tidak ada perbedaan nyata (uji beda nyata: one way Anova dan Uji jarak ganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% n = 2). pH (pH), COR (kandungan karbon organik), NTO (nitrogen total), dan BD (bulk density).
Tabel 6
Rataan dan standar deviasi ketebalan serasah, dekomposisi relatif dan laju dekomposisi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur
HL
Tipe Penggunaan Lahan WW HP AF
PM
160.88 ± 101.12 93.92 55.6 46.68 28.7c ±11.22b ±55.6b ±13.25a ±12.68a 1.96±0.05d 1.64±0.14b 1.60±0.15b 1.79±0.11c 1.425±0.10a 7.2 x 10-3 ± 5.0 x 10-3 ± 4.4 x 103± 5.5 x 10-± 3.9 x 10-3± R (gr/gr.hari) -4 -4 -4 -4 4 x 10 d 8 x 10 bc 7 x 10 ab 7 x 10 c 4 x 10-4a Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata (uji beda nyata: one way Anova dan Uji jarak ganda Duncan dengan taraf kepercayaan 95% n = 5). KSE (ketebalan serasah), DR (dekomposisi relatif), dan R (laju dekomposisi).
KSE (mg/m2) DR (gr/bulan)
29
Tabel 7
Parameter yang digunakan sebagai indikator tingkat gangguan habitat HL (I)
WW (II)
HP (III)
AF (IV)
PM (V)
1050/ha LBD 21.98 m2/ha 2 lapis, lebih terbuka Tanah kurang tertutup rapat, rendah 270.5/m2 Sangat tembus
900/ha LBD 9.17 m2/ha 1 atau 2 lapis, sangat terbuka Tanah banyak yang terbuka, rendah 155.3/m2 Sangat tembus sekali Sangat sering, pertanian dan permukiman
3050/ha LBD 115.95 m2/ha 3 lapisan, rapat
1200/ha, LBD 76.06 m2/ha 2 lapis, rapat
850/ha LBD 92.20 m2/ha 2 lapis, terbuka
Keberadaan tumbuhan bawah
Tanah tertutup rapat, tumbuhan bawah tinggi, 168.5/m2
Tanah tertutup rapat, tapi tidak tinggi, 90.5/m2
Tanah tertutup rapat, tapi tidak tinggi 133.0/m2
Paparan sinar matahari
Tidak tembus
Tidak tembus
Tembus
Aksesibilitas
Sangat jarang (berburu dan mencari rumput)
Jarang (mencari rumput, jalan alternatif)
Sering penyadapan pinus, ada ladang, dekat permukiman (±200 m) 1980
Tumbuhan atas Tajuk
Sering, lahan pertanian semusim
Tidak 1980 1995 Tidak diketahui diketahui Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. Keterangan huruf romawi pada keterangan tipe penggunaan lahan menunjukan tingkat ketergangguan habitat. Sumber pengukuran di lapangan berdasarkan Bickel dan Watanasit (2004) dan Koneri (2007) yang telah dimodifikasi.
Keberadan
C. Hubungan antara Komunitas Rayap dengan Parameter Lingkungan Kekayaan spesies rayap, biomassa rayap, kelimpahan relatif rayap, kemerataan spesies rayap dan keanekaragaman rayap memiliki hubungan antar masing-masing parameter serta memiliki korelasi positif. Sedangkan, hubungan antara tingkat gangguan habitat dan tipe penggunaan lahan menunjukan korelasi positif namun hubungannya rendah. Kekayaan spesies rayap, biomassa rayap, kelimpahan relatif rayap, kemerataan spesies rayap dan keanekaragaman hayati rayap menunjukan penurunan dengan peningkatan gangguan habitat dan tipe penggunaan lahan (Gambar 15). Namun, keanekaragaman hayati rayap tidak berkorelasi dengan tipe penggunaan lahan. Tingkat gangguan habitat merupakan penyebab utama dari menurunnya struktur komunitas rayap dan pengaruhnya nyata (λ = 0.38, p = 0.038, F = 4.84), sedangkan tipe penggunaan lahan merupakan penyebab kedua dari penurunan struktur komunitas rayap, namun pengaruhnya tidak nyata (λ = 0 , p = 0.965, F = 0.07) (Tabel 8).
30
Tabel 8
Ringkasan hasil ordinasi RDA pengaruh parameter lingkungan terhadap struktur komunitas rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur
Akar ciri (eigen value) Korelasi struktur komunitas rayap-lingkungan Total inersia = 1.000 Persentase variasi (%) Parameter lingkungan Tingkat gangguan habitat (TK) Tipe penggunaan lahan (PL)
0.2
1 0.268 0.825
Sumbu 2 3 4 0.080 0.303 0.192 0.656 0.000 0.000
77.0 λ 0.38 0.00
100.0 p F 0.038 4.84 0.965 0.07
E
TK
BM
KR S H
PL
-0.8 -1.5
1.0
Gambar 15 Ordinasi RDA antara tingkat gangguan habitat (TK), tipe penggunaan lahan (PL) dengan kemerataan spesies (E), biomassa (BM), kelimpahan relatif (KR) dan keanekaragaman spesies (H) serta kekayaan spesies (S) rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan: panjang anak panah menunjukan kekuatan korelasi antar parameter. Parameter dengan arah anak panah yang sama berarti berkorelasi positif, sedangkan arah anak panah yang berlawanan berarti berkorelasi negatif dan arah anak panah yang tegak lurus antar parameter berarti tidak berkorelasi. Semakin kecil sudut yang terbentuk antara dua parameter berarti semakin tinggi korelasinya (Braak & Smilauer 2002).
31
Kondisi lingkungan habitat mempengaruhi keberadaan beberapa spesies rayap (Gambar 16). P. semarangi merupakan spesies yang paling terpengaruh terhadap perubahan parameter lingkungan karena P. semarangi paling banyak parameter
lingkungan
yang
mempengaruhi
yaitu:
luas
bidang
dasar,
keanekaragaman tumbuhan bawah, bulk density, ketebalan serasah, laju dekomposisi, dan keanekaragaman tumbuhan atas. Sedangkan, Macrotermes gilvus dan Microtermes insperatus terpengaruh oleh satu parameter lingkungan saja yaitu pH untuk M. gilvus dan kandungan nitrogen total untuk Microtermes insperatus. Keberadaan spesies rayap S. javanicus, Procapritermes setiger, N. matangensis dan N. javanicus terpengaruh oleh beberapa parameter lingkungan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16. Parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan spesies rayap adalah ketebalan serasah (λ = 0.30, p = 0.03, F = 3.43) sedangkan parameter lingkungan yang lain tidak berpengaruh secara nyata secara statistik (Tabel 9). Tabel 9
Ringkasan hasil ordinasi CCA dari parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur
Akar ciri (eigen value) Korelasi struktur komunitas rayap-lingkungan Total inersia = 1.096 Persentase variasi (%) Parameter lingkungan Ketebalan serasah (KSE) Bulk density (BD) Keanekaragaman tumbuhan atas (KTA) pH (pH) Luas bidang dasar (LBD) Laju dekomposisi (R) Kandungan nitrogen total (NTO) Kandungan karbon organik (COR) Keanekaragaman tumbuhan bawah (KTB)
1 0.515 1.000
Sumbu 2 3 4 0.275 0.171 0.090 1.000 1.000 1.000
47.0 λ 0.30 0.20 0.18 0.14 0.13 0.07 0.06 0.02 0.00
72.1 p 0.030 0.160 0.225 0.290 0.130 0.495 1.000 0.765 1.000
87.7 F 4.34 1.73 1.33 1.25 3.27 0.94 0.00 0.40 0.00
95.6
32
0.6
Mic
Sch
NTO
pH
Pro
COR
Mac
LBD HTB BD
-0.4
R -0.6
Per
KSE
Nma
Nja
HTA 1.0
Gambar 16 Ordinasi CCA parameter lingkungan (→) dengan spesies rayap (∆). pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan kode parameter lingkungan (singkatan dengan huruf kapital) sesuai yang tertera pada Tabel 9. Keterangan kode spesies rayap (singkatan dengan format italik) sesuai yang tertera pada Tabel 2. Panjang anak panah mengidentifikasikan kuatnya parameter lingkungan yang mempengaruhi pola perubahan komposisi spesies (Braak & Smilauer 2002).
33
V. PEMBAHASAN A. Kekayaan Spesies Rayap Pada penelitian ini diperoleh kekayaan jenis sebanyak tujuh spesies. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian yang sama di ekosistem pegunungan yang dilakukan oleh Jones (2000) dan Gathorne-Hardy et al. (2001). Kekayaan spesies rayap di Maliu Basin-Sabah (Kalimantan) pada eksositem dengan ketinggian di atas 1000 m dpl diperoleh kekayaan spesies rayap sebanyak 13 dan 11 spesies Jones (2000) dan Gathorne-Hardy et al. (2001) mengeksplorasi sebanyak 30 spesies di Taman Nasional Lauser Aceh (Sumatera) pada beberapa ketinggian dari 125 m dpl sampai dengan 1400 m dpl. Terdapat perbedaan jumlah spesies rayap yang mencapai > 50% antara jumah spseies rayap pada penelitian ini dengan kedua penelitian sebelumnya. Namun, hal ini dapat dijelaskan berdasarkan sumber keanekaragaman hayati awalnya. Kelompok spesies (pool species) yang ada pada masing-masing pulau berbeda (Donovan et al. 2002). Tho (1992) menyebutkan bahwa spesies rayap di Jawa lebih sedikit dibandingkan dengan Sumatera dan Kalimantan. Di Jawa terdapat 54 spesies rayap sedangkan Sumatera ada 89 spesies rayap dan 90 spesies rayap di Kalimantan. Hal ini didukung dengan penelitian Gathorne-Hardy et al. (2002) yang menyatakan bahwa ukuran pulau berperan dalam komposisi rayap. Kekayaan spesies yang rendah juga dapat dikaitkan dengan teori biogeografi. Ukuran pulau dan jarak dari daratan benua (daratan utama sumber kolonisasi) berpengaruh terhadap kekayaan spesies. Rizali (2006) menyebutkan bahwa kekayaan spesies semut di Kepulauan Seribu terkait dengan luasan pulau dan jarak pulau dari sumber kolonisasi (Jawa). Hal, ini didukung dengan kenyataan bahwa Pulau Jawa adalah pulau yang paling kecil dibandingkan dengan Sumatera dan Kalimantan. Jarak dari Benua Asia, Pulau Jawa menunjukkkan posisi yang paling jauh dibandingkan Sumatera dan Kalimantan. Di Kepulauan Krakatau, Kekayaan spesies rayap lebih sedikit dibandingkan dengan daratan utama (Pulau Jawa dan Sumatera) (Donovan et al. (2002). Pulau Panjang (paling kecil dan paling jauh dari pulau Jawa dan Sumatera) hanya dihuni oleh tiga spesies rayap. Pulau Rakata (lebih besar daripada pulau Panjang dan lebih dekat
dengan Pulau Sumatera) memiliki kekayaan spesies rayap lebih tinggi dibandingkan dengan kekayaan spesies rayap di Pulau Panjang yaitu sebanyak lima spesies. Sedangkan, Pulau Sebesi (paling besar dan paling dekat dengan pulau Sumatera) memiliki kekayaan spesies rayap yang tertinggi dibandingkan dengan kedua pulau tersebut yaitu sebanyak 13 spesies rayap (Gathorne-Hardy & Jones. 2000). Perbedaan jumlah spesies rayap yang diperoleh selain dipengaruhi oleh keberadaan pool species dan teori biogeografi juga dipengaruhi oleh lokasi. Pada penelitian ini, hutan lindung yang dijadikan sebagai sumber kekayaan spesies ternyata relatif sulit diperoleh. Secara umum di Jawa Tengah, hutan alam yang ada sangat sedikit, dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur (FWI 2001). Hutan alam umum di Jawa umum berada di pegunungan. Hal ini berpengaruh terhadap kekayaan spesies yang diperoleh dalam penelitian ini. Padahal, lebih dari 60 % kekayaan spesies rayap berada di hutan yang belum terganggu atau hutan primer (Jones et al. 2003). Semakin tinggi suatu lokasi maka keanekaragaman spesies rayap makin menurun (Jones 2000; Gathorne-Hardy et al. 2001). Gathorne-Hardy et al. (2001) kekayaan spesies rayap menurun tiap interval ketinggian 100 m. Faktor utama yang menyebabkan penurunan kekayaan jenis pada dataran tinggi adalah fenomena kabut. Kehadiran kabut yang rutin akan menyebabkan penurunan suhu lingkungan (Gathorne-Hardy et al 2001). Speight et al. (1999) menyatakan bahwa semua serangga adalah berdarah panas (poikilotherms) dimana suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan disekitarnya. Suhu merupakan faktor utama yang menentukan beberapa proses fisiologis serangga seperti pertumbuhan, perkembangan atau aktivitas serangga. Secara umum kekayaan spesies suatu organisme di suatu ekosistem disebabkan oleh empat faktor, yaitu 1) geografi yang terdiri dari ketingggian tempat, posisi pada garis lintang dan kedalaman untuk ekosistem perairan dari permukaan air; 2) faktor yang terkait dengan ketinggian tempat seperti variasi musim, masukan energi, produktivitas ekosistem, umur ekosistem dan ekosistem yang didominasi oleh sebuah faktor abiotik yang ekstrim; 3) faktor yang tidak terkait dengan posisi pada garis lintang seperti gangguan secara fisik terhadap
35
ekosistem, isolasi habitat dan tingkat keragaman sifat kimia dan fisika habitat; 4) faktor biotik, seperti kompetisi, predasi dan parasitisme, keragaman spasial dan arsitektur yang disebabkan oleh organisme tersebut dan tahapan suksesi pada komunitas tersebut (Begon et al. 2005). Perbedaan kekayaan spesies rayap pada penelitian ini dengan penelitian yang sama di Maliu Basin oleh Jones (2000) dan di Lauser oleh Gathorne-Hardy et al. (2001) diduga kuat disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian. Karena penelitian ini juga menggunakan metode yang sama dengan kedua penelitian sebelumnya. Perbedaan kekayaan spesies rayap yang ditemukan pada penelitian yang berbeda mungkin disebabkan oleh perbedaan lokasi dan metode yang digunakan (Calderon & Contantino 2007). Intensitas pengoleksiaan rayap, yaitu: waktu dan semua mikrohabitat yang mampu dieksplorasi dapat mempengaruhi jumlah spesies rayap yang diperoleh dalam sampling pengamatan rayap (Jones & Eggleton 2000). Dengan demikian, penggunaan metode dalam pengkoleksian rayap, rancangan percobaan, dan perbedaan tingkat usaha pengkoleksian dapat mempengaruhi jumlah spesimen rayap yang terkoleksi (Jones et Gathorne-Hardy et al. (2001) Komposisi dan Kepadatan Rayap Pada penelitian ini komposisi jenis rayap terdiri dari empat subfamili yaitu Rhinotermitinae, Macrotermitinae, Termitinae dan Nasutitermitinae. Subfamili ini merupakan subfamili yang umum ditemukan di kawasan Paparan Sunda (Ronwall 1970; Tarumingkeng 1971; Tho 1992). Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Jones (2000); Gathorne-Hardy et al. (2001) dimana subfamili yang ditemukan
adalah
Nasutitermitinae.
Rhinotermitinae, Namun,
pada
Macrotermitinae,
penelitian
Jones
Termitinae (2000)
dan
diperoleh
Subfamili Kalotermitidae. Pada dataran tinggi umumnya kelompok rayap pemakan tanah lebih sedikit dibandingkan dengan dataran rendah. Di Lauser di kelompok rayap pemakan ditemukan sebanyak 18 spesies sedangkan dataran rendah mencapai 30 spesies (Gathorne-Hardy et al. 2001). Pada penelitian ini ditemukan spesies rayap pemakan tanah sebanyak dua spesies sedangkan pemakan kayu lebih banyak
36
sebanyak lima spesies. Hal ini sesuai dengan penelitian Jones (2000) yang juga menemukan
dua
spesies
dari
kelompok
rayap
pemakan
tanah
yaitu
Pericapritermes ? nitobei dan P sp B. Genus Pericapritermes dan Procapritermes merupakan genus yang umum ditemukan di dataran tinggi (Jones 2000; Gathorne-Hardy et al. 2001). Schedorhinotermes javanicus, N. matangensis adalah dua spesies yang umum ditemukan di dataran tinggi, misalnya di dataran tinggi di Maliu Basin (Jones 2000), Lauser (Gathorne-Hardy et al. 2001) dan juga dalam penelitian ini. Spesies rayap M. gilvus tidak ditemukan di kawasan berhutan, spesies ini hanya ditemukan di pertanaman singkong (Gillison et al. 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Roonwall (1970) dan Tarumingkeng (1971) yang menyatakan bahwa M. gilvus adalah spesies yang banyak ditemukan di habitat yang terbuka serta berasosiasi dengan permukiman (sebagai ciri habitat yang sudah terganggu). Sedangkan, Procapritermes setiger dan Pericapritermes semarangi adalah dua spesies yang ditemukan di hutan primer (Gillison et al. 2003). Pengaruh negatif dari ketinggian tempat terhadap keberadaan spesies rayap pemakan tanah adalah terkait dengan strategi mencari makan dari masing-masing kelompok rayap (Gathorne-Hardy et al. 2001). Rayap pemakan tanah memperoleh energi dari campuran antara mineral tanah dan humus akibatnya energi yang diperoleh untuk melakukan aktivitas metabolisme lebih rendah dibandingkan dengan rayap pemakan kayu (Jones 2000). Peningkatan ketinggian berkorelasi dengan suhu yang rendah yang menjadi faktor pembatas metabolisme rayap. Karena rayap pemakan tanah harus mengeluarkan energi yang lebih tinggi untuk beraktivitas
dibandingkan
rayap
pemakan
kayu
(Jones
2000;
Gathorne-Hardy et al. 2001). Oleh karena itu, kekayaan spesies rayap pemakan tanah di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Hal ini serupa juga ditunjukan dengan nilai kelimpahan kelompok rayap pemakan tanah dan rayap pemakan kayu. Pada penelitian ini, kelimpahan rayap pemakan tanah selalu lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan rayap pemakan kayu (Tabel 2), kecuali untuk tipe penggunaan lahan Agroforestri. Namun, kelimpahan relatif kelompok rayap pemakan tanah di hutan lindung pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan rayap pemakan tanah
37
di Maliu Basin (Jones 2000) yaitu 9/transek dan 3.5/transek. Pada penelitian diduga, ketebalan serasah berperan dalam menentukan kelimpahan relatif rayap karena serasah merupakan mikrohabitat yang menjadi sumber makanan bagi rayap pemakan tanah (Tabel 9). Hal ini juga sejalan dengan dugaan yang disampaikan oleh Jones (2000) yang menyatakan bahwa kelimpahan rayap pemakan tanah disebabkan oleh melimpahnya bahan organik tanah yang berasal dari tumpukan serasah. B. Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap Spesies S. javanivus merupakan spesies yang banyak ditemukan di Jawa. Spesies S. javanivus dapat ditemukan sampai ketinggian 1000 m dpl. Spesies rayap ini umumnya ditemukan di batang pohon, batang kayu atau tunggak kayu di hutan (Roonwal 1970). Walaupun spesies ini juga bisa ditemukan di Kalimantan (Jones 2000) dan Sumatera (Gathorne-Hardy et al. 2001). Procapritermes setiger pada penelitian ini terdapat luas dari Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan. Ditemukan pada kayu mati (Roonwal 1971). Banyak ditemukan di hutan dataran rendah sampai dataran tinggi (Tho 1992). Pericapritermes semaranggi menyebar dari Burma, Sumatera bagian Timur sampai Jawa. Bersarang di dalam tanah. Habitat dari hutan dataran rendah sampai dataran tinggi (Tho 1992). Macrotermes gilvus pada penelitian ini merupakan spesies rayap yang besar, merupakan rayap pembuat sarang gundukan (mound) yang umum di Asia Tenggara, dari Burma, Indonesia dan Filipina (Roonwal 1970). Habitat yang umum adalah dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl (Tarumingkeng 1971). Umumnya terdapat di habitat di sekitar perkampungan, permukiman khususnya kebun atau taman yang luas (Tho 1992). Microtermes inperatus banyak terdapat di Jawa, hidup di dalam tanah, sering menyerang permukiman dan pohon mati (Roonwal 1970). Microtermes insperatus sering ditemukan bersama-sama dengan M. gilvus dalam menyerang perkebunan (Tarumingkeng 1971). Nasutitermes javanicus pada penelitian ini banyak terdapat di Indonesia bagain barat. Habitat hutan atau kawasan permukiman yang dekat dengan hutan (Tho 1992). N. matangensis tersebar luas dari Semenanjung Malaya, Vietnam,
38
Sumatera, Jawa, Kalimantan sampai Nikobar dan Pulau Chrismas (Samudera Hindia) (Roonwall 1970). Habitat hutan, terutama pada kayu lembab atau permukiman yang dekat dengan hutan (Tho 1992). C. Tingkat Gangguan Habitat Hutan lindung adalah habitat yang tidak terganggu. Wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman adalah berturut-turut habitat relatif tidak terganggu sampai yang paling terganggu. Tingkat gangguan habitat didasarkan pada intensitas aktivitas manusia terhadap habitat tersebut (Koneri 2007; Shahabudin 2007). Semakin intensif penggunaan lahan oleh manusia maka habitat tersebut makin terganggu. Berdasarkan penelitian ini permukiman merupakan habitat yang paling terganggu dibandingkan dengan keempat tipe penggunaan lahan tersebut. Permukiman merupakan tempat tinggal sehari-hari dan digunakan sebagai lahan pertanian. Dalam penelitian ini hutan lindung merupakan habitat dengan tajuk yang rapat dengan stratifikasi tajuk yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan yang lain. Tingkat gangguan habitat juga didasarkan atas keterbukaan tajuk (Bicknel & Watanasit 2004; Shahabudin 2007). Habitat yang memiliki celah (gap) makin luas sebagai akibat dari penyusutan penutupan tajuk merupakan tanda habitat yang terganggu. Selain itu, habitat yang didominasi oleh rerumputan dari golongan tumbuhan dengan strategi ruderal (strategi tumbuhan yang beradaptasi terhadap lingkungan dengan tekanan yang rendah dan tingkat gangguan habitat yang tinggi) juga mengindikasikan bahwa habitat tersebut mulai terganggu. Luas bidang dasar (LBD) dari tumbuhan berkayu juga dapat dijadikan indikasi tingkat gangguan habitat. Pada penelitian ini hutan lindung adalah tipe penggunaan lahan yang memiliki LBD yang paling tinggi (116 m2/ha). Tipe penggunaan lain berturut-turut dari LBD yang tinggi sampai yang paling rendah adalah wana wisata (76.06 m2/ha), hutan produksi (92.20 m2/ha), agroforestri (21.98 m2/ha) dan permukiman (9.17 m2/ha). Hal ini sesuai dengan pernyataan Smiet (1992) yang menggolongkan ketergangguan habitat hutan di Jawa
39
berdasarkan nilai LBD. Hutan yang tidak terganggu memiliki LBD > 45 m2/ha sedangkan yang terganggu LBD < 15 m2/ha. D. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat Penelitian ini menunjukan bahwa tipe penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan penurunan kekayaan spesies rayap, kelimpahan relatif rayap dan biomassa rayap secara bertahap dari hutan lindung ke permukiman (Tabel 8 dan Gambar 15). Beberapa penelitian juga melaporkan adanya penurunan kekayaan spesies dan kelimpahan relatif rayap (misalnya Eggleton & Bignel 1995; Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; 2002; Jones & Prasetyo 2002; Gillison et al. 2003; Jones et al. 2003) dan biomassa rayap (Eggleton et al. 1996; 1999) dalam merespons perubahan penggunaan lahan. Namun, pada penelitian ini respons penggunaan lahan terhadap struktur komunitas (keanekaragaman hayati) rayap tidak menunjukan pengaruh yang nyata (Tabel 8). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Gathorne-Hardy
et
al.
(2002)
yang
menyimpulkan
bahwa
penurunan
keanekaragaman hayati rayap tidak dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan. Tapi sistem pertanaman monokultur yang menyebabkan penurunan kekayaan spesies rayap secara nyata. Sistem pertanaman monokultur menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati rayap karena menurunkan keragaman mikrohabitat untuk mendukung kehidupan rayap (Jones et al. 2003). Pada penelitian tentang pengaruh penggunaan lahan terhadap kekayaan spesies kumbang kotoran menunjukan cenderung penurunan kekayaan spesies kumbang kotoran dari hutan alam ke kawasan yang terbuka, namun secara statistik tidak nyata. Perbedaan yang nyata hanya ditunjukan oleh dua tipe penggunaan lahan yaitu: kekayaan spesies kumbang kotoran di hutan alam dengan di kawasan yang terbuka. Sistem pertanian agroforestri menunjukan kekayaan spesies yang hampir sama dengan hutan primer (Shahabudin 2007). Namun, dalam penelitian ini sistem agroforestri menunjukan perbedaan antara kekayaan spesies rayap dan kelimpahan relatif rayap yang ada dengan hutan lindung. Hal ini diduga disebabkan oleh tingkat gangguan habitat mempengaruhi keberadaan spesies rayap. Habitat agroforestri dalam penelitian ini merupakan habitat yang sudah terganggu (Tabel 7).
40
Tingkat gangguan habitat berkorelasi negatif dan pengaruhnya nyata terhadap struktur komunitas rayap (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian Gathorne-Hardy et al. (2002). Gangguan habitat merupakan penyebab utama penurunan keanekeragaman hayati rayap di Paparan Sunda. Mekanisme yang menyebabkan penurunan keanekaragaman komunitas rayap akibat gangguan habitat adalah: 1) Penyusutan penutupan tajuk menyebabkan sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah. Perubahan ini berakibat pada penurunan kelembaban dan peningkatan suhu lingkungan sehingga membentuk iklim mikro yang lebih ekstrim. Variasi antara suhu dan kelembaban harian tinggi sehingga mempengaruhi aktivitas rayap; 2) Gangguan habitat berdampak pada penurunan jumlah dan kualitas mikrohabitat. Mikro habitat rayap yang berkurang akan mengurangi kesediaan makan rayap dan untuk bersarang; 3) peningkatan bulk density sehingga tanah semakin padat dan menurunkan aktivitas rayap, terutama rayap tanah. Sehingga jika habitat makin terganggu, yang mengalami dampak pertama kali adalah kelompok rayap pemakan tanah. (Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; Jones & Prasetyo 2002; Jones et al. 2003). Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelompok rayap pemakan tanah pada kawasan permukiman. Tingkat gangguan habitat mempengaruhi komposisi spesies rayap. Spesies rayap pemakan tanah tidak hadir pada habitat yang terganggu dan terbuka. Umumnya kelompok rayap pemakan tanah memiliki integumen yang kurang terskeklerotisasi dibandingkan dengan kelompok rayap pemakan kayu (Davies et al. 2003) sehingga kelompok rayap pemakan tanah lebih peka terhadap kondisi lingkungan. Faktor lain adalah kelompok rayap pemakan tanah memiliki kemampuan dispersal yang rendah, sehingga kemampuan kelompok rayap ini untuk mengkolonisasi suatu habitat di sekitarnya tidak luas. Kelompok rayap pemakan tanah memiliki ketergantungan pada beberapa parameter lingkungan yang tinggi. Misalnya kelompok rayap pemakan tanah memerlukan kondisi kelembaban tanah dan suhu tanah yang lebih stabil dibandingkan rayap pemakan kayu. Kondisi habitat yang ideal bagi kelompok rayap pemakan tanah adalah hutan hujan tropis yang rapat penutupan tajuknya (Eggleton et al. 20002)
41
Gathorne-Hardy et al. (2000) mengemukakan bahwa dalam proses kolonisasi suatu habitat, rayap pemakan kayu adalah pioneer. Gangguan habitat merupakan tahapan awal suksesi, spesies yang tidak bisa menyesuaikan akan punah dan digantikan oleh spesies yang mampu bertahan. Kemampuan kelompok pemakan kayu untuk bertahan di dalam habitat yang terganggu disebabkan oleh kemampuan rayap tersebut dalam menggunakan sumber daya yang tersedia secara efektif. Selain itu rayap pemakan kayu lebih banyak memperoleh energi yang lebih tinggi dengan memakan kayu yang kaya selulosa sedangkan rayap pemakan tanah memperoleh selulosa dari bahan organik dan mineral tanah. sehingga rayap pemakan kayu lebih tinggi ketahananya terhadap tekanan dari luar dibandingkan rayap pemakan tanah. Penggunaan lahan juga menyebabkan penurunan biomassa rayap (Eggleton et al. 1996; 1999). Biomassa rayap pada penelitian ini untuk hutan yang belum terganggu sebasar 1.33 gr/m2 sedangkan pada penelitian Eggleton et al. (1999) di Kalimantan sebesar 3,49 gr/m2, namun pada penelitian Eggleton et al. (1996) di Kamerun diperoleh biomassa yang tinggi yaitu sebesar 123.2 gr/m2. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan dalam mengestimasi biomassa rayap. Kesulitan yang lain dalam menduga biomassa rayap adalah kekomplekan habitat dari rayap (Yamada 2005) dan populasi rayap yang sangat tinggi (serangga sosial) dengan perilaku kriptik. Penggunaan lahan berpengaruh terhadap biomassa rayap (Meyer et al. 2001). Hal ini terkait dengan kelimpahan rayap. Semakain melimpah populasi rayap maka biomassa rayap makin tinggi. Biomassa rayap juga dipengaruhi oleh berat rata-rata individu spesies rayap dan kelimpahan relatifnya. Hutan lindung memiliki biomassa rayap tertinggi karena spesies penyusunnya banyak berasal dari spesies rayap dengan ukuran yang besar dan kelimpahan relatif yang tinggi. Meyer et al. (2001) menyebutkan bawah biomassa kasta prajurit mayor rayap Macrotermes natalensis memberikan kontribusi yang tinggi (68.45%) terhadap biomassa total koloni dibandingkan kasta pekerja (25.00%). Ketebalan serasah adalah parameter lingkungan yang paling berpengaruh dan nyata terhadap keberadaan spesies rayap (Tabel 9). Serasah merupakan sumber utama unsur hara pada suatu ekosistem. Serasah berperan penting dalam
42
peningkatkan porositas tanah dan aktivitas organisme di dalam tanah. Hal ini juga didukung dengan banyaknya spesimen rayap yang terkoleksi di tumpukan serasah atau kayu, selain di dalam tanah di dalam penelitian ini. Kekayaan spesies dan kelimpahan relatif rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung yang memiliki ketebalan serasah yang tertinggi. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Koneri (2007), komunitas kumbang lucanid yang tertinggi diperoleh pada habitat yang memiliki ketebalan serasah yang tertinggi. Ketebalan serasah merupakan salah satu mikrohabitat rayap untuk bersarang dan mencari makan. Menurut Jones (2000), humus yang kaya akan bahan organik berperan dalam kekayaan spesies rayap. Keberadaan serasah dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi rayap dari kondisi disekitarnya, mempertahankan kondisi iklim mikro yang tetap dan menyediakan sumber makanan bagi rayap. E. Parameter Lingkungan Pengaruh gangguan terhadap suatu habitat pada penelitian ini menunjukan perbedaan. Struktur komunitas tumbuhan bawah di hutan lindung menunjukan nilai keanekaragaman hayati (Indeks Shannon-Wiever berkisar dari 1 (rendah) sampai 5 (tinggi)), kekayaan spesies tumbuhan, kemerataan spesies (indeks Smith dan Wilson berkisar dari 0 (sama) sampai 1 (berbeda)) dan kerapatan individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan empat tipe penggunaan yang lain (Tabel 4). Keanekaragaman hayati komunitas tumbuhan bawah yang tinggi berada di tipe penggunaan lahan yang tidak terganggu dan paling terganggu, keanekaragaman yang rendah diperoleh di tipe penggunaan lahan dengan tingkat gangguan habitat menengah. Hal ini berbeda dengan penelitian Koneri (2007) dan Shahabudin (2007) yang memperoleh keanekaragaman tumbuhan bawah pada tingkat gangguan menengah adalah yang tertinggi. Hal ini diduga terkait dengan proses suksesi yang terjadi pada habitat tersebut. Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan kedua penelitian di atas diduga terjadi karena perbedaan tingkatan suksesi yang sedang terjadi dan intensitas gangguan (atau intervensi manusia) yang terjadi pada habitat tersebut. Penutupan tajuk juga mempengaruhi kekayaan spesies tumbuhan bawah, perlakuan penjarangan yang menyebabkan pembukaan
43
tajuk akan meningkatkan kekayaan spesies tumbuhan bawah (Thomas et al. 1999). Tumbuhan bawah pada hutan lindung yang relatif tidak terganggu dicirikan dengan banyaknya spesies yang bersifat toleran naungan. Sedangkan, untuk lahan yang terganggu (di sini diwakili oleh lahan agroforestri dan permukiman) banyak dijumpai tumbuhan intoleran naungan. Smart et al. (2006) menyatakan bahwa ekosistem yang dimodifikasi oleh manusia akan meningkatkan keseragaman biotik karena ekosistem tersebut mengalami perubahan biofisik yang berakibat pada peningkatan kesesuain habitat pada beberapa spesies. Namun, modifikasi ekosistem oleh manusia menurunkan kesesuaian habitat pada sejumlah besar spesies. Spesies ini merupakan spesies invansif yang umumnya dicirikan oleh tumbuhan gulma. Sehingga ada kecenderungan suatu habitat akan memiliki tingkat kemerataan spesies yang rendah. Hal ini disebabkan oleh perubahan faktor pembatas lingkungan sehingga terjadi penurunan keanekeragaman tumbuhan, relung-relung ekologis mengalami kekosongan dan pembentukan komunitas tumbuhan yang didominasi oleh spesies weedier atau gulma (kompetitor yang lemah namun penyebarannya bagus) (Tilman & Lehman 2001). Keanekaragaman tumbuhan atas menunjukan pola yang sama dengan tumbuhan bawah. Keanekaragaman tumbuhan atas terrendah berada di habitat dengan tingkat gangguan menengah (Tabel 4). Hal ini berbeda dengan penelitian Koneri (2007) dan Shahabudin (2007) dimana habitat dengan tingkat gangguan habitat yang menengah merupakan habitat dengan keanekaragaman hayati tumbuhan atas yang tertinggi. Hal ini terkait dengan intervensi manusia, semakin sering mengalami gangguan maka proses suksesi akan berjalan mundur, artinya proses menjadi klimaks tidak terjadi. Smiet (1992) menyatakan komunitas tumbuhan di dataran tinggi di Pulau Jawa sangat terpengaruh oleh gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Tiga tipe penggunaan di sini merupakan hutan produksi yang secara manajerial dibuat menjadi monokultur, jadi wana wisata, hutan produksi dan agroforestri lebih homogen dan keanekaragaman hayatinya lebih rendah. Namun, kelimpahan dan luas bidang dasar pada penelitian ini (Tabel 4) menunjukan pola yang umum, makin menurun luas bidang dasarnya seiring
44
peningkatan ketergangguan habitat. Smiet (1992) menggolongkan hutan terganggu dan tidak terganggu berdasarkan luas bidang dasarnya. Hutan yang terganggu memiliki luas bidang dasar < 15 m2/ha dan yang tidak terganggu luas bidang dasarnya > 45 m2/ha. Pada penelitian ini hutan yang tidak terganggu luas bidang dasarnya 116 m2/ha. Hal, ini terkait dengan intervensi manusia terhadap hutan. Aktivitas manusia mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi spesies pohon di hutan (Smiet 1992). Luas bidang dasar yang tinggi juga dipengaruhi oleh umur tumbuhan dan kerapatan individu. Kondisi pH tanah pada umumnya berkisar dari 3.0 sampai 9.0. Di Indonesia umumnya tanah bereaksi masam dengan pH (4.0 – 5.5) sehingga tanah dengan pH (6.0 – 6.5) termasuk tanah dengan pH netral (Hardjowigeno 2007). Pada penelitian ini rentang pH pada beberapa tipe penggunaan lahan adalah 5.55 di hutan pinus sampai 6.35 di permukiman. Kondisi pH tanah pada tegakan pinus umumnya bersifat lebih masam karena serasah pinus tidak mudah terdekomposisi dan tingginya kandungan senyawa α pinene dan β pinene (Hilwan 1993, Hardjowigeno 2007). Nilai karbon organik dan nitogen total pada penelitian ini berkisar dari (6.15 – 9.60 %) dan (0.51 – 0.74 %). Berdasarkan kriteria (BPT 2005) maka nilai karbon organik dan nitrogen total adalah sangat tinggi untuk karbon organik (> 5.0 %) dan tinggi (0.51 – 0.75 %) untuk nitrogen total. Tingginya kandungan nitrogen di dalam tanah disebabkan oleh jumlah bahan organik tanah yang halus, intensitas pengikatan nirogen oleh mikroorganisme, pemupukan dan jumlah air hujan (Hardjowigeno 2007). Perbedaan kandungan karbon dan nitrogen di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh jumlah masukan dan kualitas input serasah dari tumbuhan yang berada di kawasan tersebut. Pada lokasi dengan vegetasi yang lebih beragam akan meningkatkan variabilitas kandungan nitrogen dan karbon (Martinus et al. 2004). Namun pada penelitian ini kandungan karbon organik dan nitrogen total yang tertinggi berada di hutan produksi. Hutan produksi didominasi oleh tanaman pinus. Serasah pinus merupakan serasah yang banyak mengandung nitrogen dan sukar terdekomposisi.
45
Pada penelitian ini, nilai bulk density, kandungan karbon dan nitrogen menunjukan nilai yang tinggi dibandingkan dengan nilai yang umumnya terjadi. Jika diamati dari kondisi geologis, fenomena ini adalah wajar. Karena lokasi pengambilan sampel berada di bekas Gunung aktif (Gunung Slamet). Umumnya tanah pada daerah gunung beraktif adalah tanah andisol, dengan nilai bulk density antara 0.6 – 0.9 gram/cc (Hardjowigeno 2007). Bulk density tanah andisol karena tingginya jumlah alofan dan bahan organik. Keragaman nilai bulk density disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan tanah, kandungan bahan organik dan jumlah liat (Sutopo 2003). Pada penelitian ini tipe penggunaan lahan yang makin terganggu mengakibatkan peningkatan kondisi pH tanah dan bulk density serta menurunkan kandungan karbon organik dan nitrogen total (Tabel 5). Hal ini memperkuat hasil penelitian Jones et al. (2003) dan Hairiah et al. 2004 yang menyatakan bahwa perubahan tipe penggunaan lahan dari yang tidak terganggu ke tipe penggunaan lahan yang terganggu akan menyebakan peningkatan kondisi pH tanah dan bulk density dan menurunkan kandungan karbon organik dan nitrogen total. Perubahan tipe penggunaan lahan akan mengakibatkan perubahan sifat fisika tanah (Barros et al. 2004). Peningkatan aksesibilitas suatu ekosistem akan berdampak pada tingkat gangguan tanah. Tanah yang sering dirambah akan meningkatkan pemadatan tanah. Dampaknya ruang pori akan menurun sehingga bulk density-nya meningkat. Bulk density yang rendah di hutan lindung disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1) tingginya bahan organik yang meningkatkan aktivitas organisme tanah, sistem perakaran yang dalam sehingga meningkatkan pemecahan aggregat tanah (Suprayogo et al. 2004). 2) Sedangkan Hairiah et al. (2004) menyatakan bahwa sistem penggunaan lahan berpengaruh terhadap jumlah pori makro tanah, sehingga menurunkan nilai bulk density. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah pori makro tanah adalah tajuk pohon, luas bidang dasar, tumbuhan bawah dan lapisan serasah. Pada penelitian ini ketebalan serasah menunjukan penurunan dengan meningkatnya tingkat gangguan pada ekosistem. Ketebalan serasah dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan dan pola pengelolaannya (Hairiah et al. 2004).
46
Penelitian Hairiah et al. (2004) menyimpulkan bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap ketebalan serasah. Namun, nilai ketebalan serasah pada penelitian ini (160.88 gr/m2) lebih rendah daripada penelitian Hairiah et al. (2004) sebesar 210 gr/m2. Ketebalan serasah terkait dengan jumlah masukan serasah yang berasal dari guguran biomassa tumbuhan yang ada atau produktivitas serasah. Faktor lain adalah tingkat keterdekomposisian serasah tersebut. Semakin sulit serasah terdekomposisi maka serasah yang ada makin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Martinus et al. (2004) yang menyatakan bahwa ketebalan serasah dipengaruhi oleh jumlah jatuhan serasah dan laju dekomposisi. Namun, aktivitas manusia juga berpengaruh pada jumlah serasah yang ada. Misalnya pada lingkungan permukiman, serasah yang tidak berguna cenderung untuk disingkirkan karena alasan estetika. Laju dekomposisi pada penelitian ini termasuk dalam kategori sedang (0.005 – 0.01) untuk hutan lindung (0.007), agroforestri (0.0055), dan wana wisata (0.005) sedangkan tipe penggunaan yang lain hutan pinus (0.0044) dan permukiman (0.0039) dikelompakan dalam laju dekomposisi lambat (< 0.005). Laju dekomposisi pada penelitian ini menurun dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat yang diakibatkan oleh tipe penggunaan lahan (F(4.20)=19.70, p = < 0.001). Hal ini sesuai dengan penelitian Martinus et al. (2004), dimana laju dekomposisi menurun dari hutan primer ke hutan tanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah faktor lingkungan (curah hujan, suhu, pH, kelembaban tanah dan genangan air), kandungan bahan kimia dari serasah, dan keberadaan organisme pengurai (Aerts et al. 2003). Penurunan laju dekomposisi dengan meningkatnya tingkat gangguan terhadap suatu habitat diduga dipengaruhi oleh terjadinya perubahan parameter lingkungan dan keberadaan organisme pengurai yang menurun baik jumlah maupun jenisnya. Hutan lindung merupakan tipe penggunaan lahan yang tertinggi laju dekomposisinya karena di sini kelimpahan relatif rayap adalah yang tertinggi. Rayap merupakan salah satu organisme utama yang berperan dalam dekomposisi di ekosistem daratan (Lee & Wood 1971).
47
F. Komunitas Rayap sebagai Bioindikator Pada penelitian ini kelompok rayap pemakan tanah merupakan kelompok rayap yang paling peka terhadap gangguan habitat. Habitat yang terganggu komposisi jenis antara rayap pemakan tanah dengan pemakan kayu makin menurun. Bahkan, pada habitat dengan tingkat gangguan yang tinggi rayap pemakan tanah tidak muncul pada habitat tersebut (Gambar 14). Beberapa penelitian yang sama, juga melaporkan bahwa kelompok rayap pemakan tanah paling terpengaruh terhadap tingkat gangguan habitat seperti rayap dari genus Procapritermes, Pericapritermes dan Termes (Eggleton & Bignel 1995; Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; 2002; Gathorne-Hardy & Jones. 2000; Gahtorne-Hardy et al. 2002 Jones & Prasetyo 2002; Davies et al. 2003; Gillison et al. 2003; Jones et al. 2003). Kekayaan spesies rayap semakin menurun dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat (Eggleton et al. 2002). Respons kelompok rayap pemakan tanah terhadap tingkat gangguan habitat dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat McGeoch (1998) yang menyatakan bahwa bioindikator adalah organisme (atau kelompok organisme) yang menunjukan sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Spesies indikator adalah spesies yang memiliki amplitudo terhadap satu atau beberapa pengaruh faktor lingkungan yang sempit. Usulan untuk menggunakan rayap sebagai bioindikator telah dikemukan oleh Speight et al. (1999); Jones & Eggleton (2000); dan Vanclay (2004). Informasi dasar dari rayap juga sudah diperoleh sebagai pembanding dengan tingkat gangguan yang lain. Hilty dan Merenlender (2000) menyatakan bahwa organisme yang akan dijadikan sebagai bioindikator harus menunjukan perubahan respons terhadap perubahan tekanan yang terjadi. Namun, respons perubahan memiliki kepekaan yang tidak kuat. Karena bila responsnya terlalu kuat maka akan memberikan informasi yang tidak tepat. Kelompok spesies rayap pemakan tanah memiliki respons terhadap tingkat perubahan tekanan yang bertahap. Ini ditandai dengan penurunan kelimpahan relatif dan jumlah spesies rayap pemakan
48
tanah yang menurun secara bertahap dalam merespons perubahan tingkat gangguan habitat. Namun, kecenderungannya tidak konstan. Pemilihan rayap sebagai bioindikator juga didukung oleh adanya metode standar yang dapat digunakan secara luas. Selain, tentang informasi biologi, suatu bioindikator juga harus memiliki suatu metode yang aplikatif dan mudah digunakan serta dapat dianalisis secara statistik (Hilty & Merenlender 2000; Hodkinson & Jackson 2005). Rayap mudah diukur, jumlahnya melimpah, taksonominya
jelas
sehingga mempermudah
penggunaan
rayap
sebagai
bioindikator. Serta memiliki tipe makanan yang khusus, yaitu memakan selulosa (Hilty & Merenlender 2000).
49
VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Tujuh spesies rayap dari dua famili rayap ditemukan di lima tipe penggunaan lahan di Gunung Slamet bagian Timur. Pericapritermes semarangi merupakan spesies rayap yang paling dominan di Gunung Slamet bagian timur. Schedorhinotermes javanicus dan Nasutitermes javanicus adalah rayap yang ditemukan di semua tipe penggunaan lahan. Tipe penggunaan lahan tidak mempengaruhi parameter komunitas rayap, namun ada kecenderungan penurunan parameter komunitas rayap yang terdiri dari kekayaan spesies rayap, kelimpahan relatif rayap dan biomassa rayap dan komposisi spesies rayap (perbandingan antara kelompok rayap pemakan tanah dengan kelompok rayap pemakan kayu) dari hutan lindung ke kawasan permukiman. Tingkat gangguan habitat merupakan parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap parameter komunitas rayap. Tingkat kerusakan habitat berkorelasi negatif dengan kekayaan spesies rayap, kelimpahan relatif rayap, keanekaragaman spesies rayap, biomassa rayap dan kemerataan spesies rayap. Parameter lingkungan yang paling berpengaruh dan memiliki pengaruh nyata terhadap keberadaan spesies adalah ketebalan serasah. Spesies P. semarangi merupakan spesies rayap yang paling sensitif terhadap perubahan parameter lingkungan karena paling banyak parameter lingkungan yang mempengaruhi (ketebalan
serasah,
keanekaragaman
tumbuhan
atas,
bulk
density,
keanakeragaman tumbuhan bawah, luas bidang dasar dan laju dekomposisi). Sedangkan, Macrotermes gilvus dan Microtermes insperatus paling rendah kepekaanya terhadap parameter lingkungan. M. gilvus hanya dipengaruhi oleh satu parameter lingkungan yaitu pH dan Microtermes insperatus odipengaruhi oleh kandungan nitrogen tanah. Komunitas rayap memiliki potensi untuk digunakan sebagai bioindikator gangguan habitat. Peningkatan tingkat gangguan habitat direspon oleh komunitas rayap dengan penurunan parameter komunitas rayap (kekayaan spesies, kelimpahan relatif, komposisi rayap, biomassa rayap, kemarataan spesies rayap dan keanekaragaman spesies rayap). Namun, kecenderungannya tidak terdeteksi
secara nyata. Kecenderungan yang dapat diamati dari penelitian ini adalah ketidakhadiran spesies rayap pemakan tanah pada kawasan permukiman (paling terganggu). Ketidakhadiran spesies rayap pemakan tanah pada suatu habitat dapat dijadikan sebagai bioindikator habitat yang terganggu (kualitas lingkungan). B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini beberapa hal yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu: 1) respons komunitas rayap pada penggunaan tipe penggunaan lahan yang berbeda pada tipe ekosistem yang berbeda dengan cakupan daerah yang lebih luas sehingga dapat diambil kesimpulan yang lebih menyeluruh, 2) definisi jelas antara parameter lingkungan
yang mencirikan kondisi ekosistem
yang sehat,
3) monitoring temporal komunitas rayap dalam skala ruang dan tempat yang panjang dan luas, dan 4) pemanfaatan instrumen statistik yang lebih sahih dan valid dalam menganalisis suatu organisme (khususnya rayap) sebagai bioindikator seperti penggunaan analisis nilai indikator (indicator value) yang mampu memberikan validasi suatu spesies (rayap) sebagai bioindikator dan merespons perubahan sensitivitas terhadap perubahan habitat.
51
DAFTAR PUSTAKA Abe T, Higashi M. 2000. Isoptera. Di dalam: Levin SA. Encyclopedia of Biodiversity. Volume ke-3. London: Academic Pr Aerts R, Caluwe H, Beltman B. 2003. Plant community mediated vs. Nutritional controls on litter decomposition rates in grassland. Ecology 84: 3918-3208 Ahmad M. 1958. Key the Indomalaya Termite. Biologia 4: 33-198 Begon M, Townsend J CR. Harper JL. 2005. Ecology: from Individuals to Ecosystem. Ed ke-4. Oxford: Blackwell Barlocher F. 2005. Leaf mass loss estimated by litter bag technique. Di dalam: Graca MAS, Barlocher F, Gessner MO. Methods to Study Litter Decomposition A Practical Guide. Dordrecht: Springer. hal: 37-42 Barros E, et al. 2004. Soil physical degradation and changes in macrofaunal communities in Central Amazon. Appl Soil Ecol 26: 157-168 Becker PH. 2003. Biomonitoring with birds. Di dalam: Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG. Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Amsterdam: Elsevier Science. hal: 677-736 Bickel TO, Watanasit S. 2005. Diversity of leaf litter ant communities in Ton Nga Chang Wildlife sanctuary and nearby rubber plantation Songkhla, Southern Thailand. Songklanakarin J Sci Technol 27: 943-955 Bignell DE. 2000. Introduction to symbiosis. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 189-208 Bignell DE, Eggleton P. 2000. Termites in ecosystems. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 363-387 BPT (Balai Penelitian Tanah). 2005. Petunjuk Teknis, Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan, Pupuk. Bogor: BPT Braak CJF ter, Smilauer P. 2002. CANOCO Reference Manual and CanoDraw for Windows User’s Guide Software for Canonical Community Ordination (versi 4.5). Ithaca: Microcomputer Power Calderon RA, Constantino R. 2007. A survey of termite fauna (Isoptera) of an eucalyptus plantation in Central Brazil. Neotrop Entomol 36: 391-395 Coleman DC, Crossley DA Jr, Hendrix PF. 2004. Fundamentals of Soil Ecology. Ed ke-2. New York: Blackwell Scientific Cox GW. General Ecology Laboratory Manual. Ed ke-8. Boston: McGraw-Hill Das DK, Chaturvedi OP. 2003. Litter quality effects on decomposition rates of forestry plantation. Tropic Ecol 44: 261-264 Didden W. 2003. Oligochaeta. Di dalam: Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG. 2003. Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Amsterdam: Elsevier Science. hal: 555-576 Davies RG, Eggleton P, Jones DT, Gathorne-Hardy FJ, Hernandez LM. 2003. Evolution of termite functional diversity: analysis and synthesis of local ecological and regional influence on local species richness. J Biogeograph 30: 847-877 Donovan SE, Jones DT, Sands WA, Egglenton P. 2000. Morphological phylogenetics of termites. Biol J Linn Soc 70: 467-513
Donovan SE, Egglenton P, Bignell DE. 2001. Gut content analysis and a new feeding group classification of termites. Ecol Entomol 26: 356-366 Donovan SE, Eggleton P, Martin A. 2002. Species composition of termite of the Nyika plateau forest, Northern Malawi, over an altitude gradient. Afr J Ecol 40: 379-385 Eggleton P. 2000. Global patterns of termite diversity. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 25-51 Eggleton P, Bignell DE. 1995. Monitoring the response of tropical insects to changes in the environment: troubles with termites. Di dalam: Harrington R, Stroks NE. Insects in a Changing Environment. London: Academic Pr. hal: 473-497 Eggleton P, et al. 1995. The species richness of termites (Isoptera) under differing levels of forest disturbance in the Mbalmayo Forest Reserve, southern Cameroon. J Tropic Ecol 11: 85-98 Eggleton P, et al. 1996. The diversity, abundance and biomass of termites under differing levels of disturbance in the Mbalmayo Forest Reserve, southern Cameroon. Phil Trans the Royal Soc Lon Ser B 351: 51-68 Eggleton P, et al. 1999. Termite assemblages, forest disturbance and greenhouse gas fluxes in Sabah, East Malaysia. Phil Trans of the Royal Soc Lon Ser B 354: 1971-1802 Eggleton P, et al. 2002. Termite diversity a cross an anthropogenic disturbance gradient in humid forest zone of West Africa. Agric Ecos Environ 90: 189202 Eggleton P, Williams PH, Gaston KJ. 1994. Explain global termite diversity: productivity or history. Biodiv & Conser 3: 318-330 Elliot ET. 1997. Rationale for developing bioindicator of soil health. Di dalam: Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. New York: CABI Elzinga RJ. 2004. Fundamental of Entomology. Ed. Ke-6. New Jersey: Pearson Educ Franzle O. 2003. Bioindicators and environmental stress assessment. Di dalam: Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG, editor. Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Amsterdam: Elsevier Science. Hal: 41-83 (FWI) Forest Watch Indonesia. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor: FWI Gathorne-Hardy FJ, Jones DT, Mawdsley NA. 2000. The recolonization of the Krakatau islands by termites (Isoptera), and their biogeographical origins. Biol J Linn Soc 71: 251-267 Gathorne-Hardy FJ, Jones DT. 2000. The recolonization of the Krakatau island by termites and their biogeographical origin. Bull J Linn Soc 71: 251-267 Gathorne-Hardy FJ, Syaukani, Eggleton P. 2001. The effects of altitude and rainfall on the composition of the termites (Isoptera) of the Leuser Ecosystems (Sumatra, Indonesia). J Tropic Ecol 17: 379 – 393 Gathorne-Hardy FJ. Jones DT, Syaukani. 2002. A regional perspective on the effects of human disturbance on termites of Sundaland. Biodiv Conser 11: 1991-2002.
53
Genet JA, Genet KS, Burton TM, Murphy PG, Lugo AE. 2001. Response of termite community and wood decomposition rates to habitat fragmentation in subtropical dry forest. Trop Ecol 42: 35-49 Gillison AN. 2006. A Field Manual for Rapid Vegetation Classification and Survey for General Purposes. Bogor: CIFOR Gillison AN, Jones DT, Susilo FX, Bignell DE. 2003. Vegetation indicates diversity of soil macroinvertebrates: a case study with termites along a landuse intensification gradient in lowland Sumatra. Organisms Divers Evol 3: 111-126 Gullan PJ, Cranston PS. 1999. The Insect An Outline of Entomology. Edisi Ke-2. Oxford: Blackwell Sci Hairiah K, et al. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi: ketebalan serasah, populasi cacing dan makroporositas tanah. Agrivita 26: 68 – 80 Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pr Highasi M, Yamamura N, Abe T. Theories on the sociality of termites. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 169-187 Hilty J, Merenlender A. 2000. Faunal indicator taxa selection for monitoring ecosystem health. Biol Con 92: 185-197 Hilwan I. 1993. Produksi, Laju Dekomposisi, dan Pengaruh Alelopati Serasah Pinus merkusii Jungh. et De Vriese dan Acacia mangium Willd di Hutan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. [tesis]. Bogor: SPS IPB Hodkinson ID, Jackson JK. 2005. Terrestrial and aquatic invertebrates as bioindicators for environmental monitoring, with particular reference to mountain ecosystems. Environ Manag 35: 649-666 Hornby D, Bateman GL. 1997. Potential use of plant root pathogens as bioindicators of soil health. Di dalam: Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. New York: CABI. hlm: 179-200 Jones DT. 2000. Termite assemblages in two distict montane forest types at 1000 m elevation in the Maliau Basin, Sabah. J Tropic Ecol 16: 271 – 286 Jones DT, Davies RG, Eggleton P. 2006. Sampling termites in forest habitats: a reply to Roisin and Laponce. Austral Ecol 31: 429-431 Jones DT, Eggleton P. 2000. Sampling termite assemblages in tropical forest: testing a rapid biodiversity assessment protocol. J Appl Ecol 37: 191-203 Jones DT et al. 2003. Termite assemblage collapse a long a land-use intensification gradient in lowland central Sumatra, Indonesia. J Appl Ecol 40: 380 – 391 Jones DT, Prasetyo AH. 2002. A survey termites (Insecta: Isopteran) of Tabalong District, South Kalimantan, Indonesia. Raffles Bull Zool 50 : 117-128 Jones DT, Verkerk RHJ, Eggleton. 2005. Methods for sampling termites. Di dalam: Leather SR. Insect Sampling in Forest Ecosystems. hal: 221-253 Kambhampati S, Egglenton P. 2000. Taxonomy and phylogeny of termites. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 1- 23
54
Kettrup AAF. 2003. Environmental specimen banking. Di dalam: Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG, editor. Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Amsterdam: Elsevier Science. hal: 775-796 Koneri R. 2007. Bioekologi dan konservasi kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan Gunung Salak, Jawa Barat [desertasi]. Bogor: SPS IPB Kostermans AJGH, Wirjaharjdja S, Dekker RJ. 1987. The weeds: description, ecology and control. Di dalam: Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjiptrosoepomo G, editor. The Weeds of Rice in Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm: 24-565 Krebs C. 1999. Ecological Methodology. Ed ke-2. California: Benjamin Cummings Lee KE, Wood TG. 1971. Termite and Soil. London: Academic Press Martius C, Hofer H, Garcia MVB, Rombke J, Hanagarth W. 2004. Litter fall, litter stocks and decomposition rates in rainforest and agroforestry sites in Central Amazonia. Nutri Cyc Agroecos 68: 137-154 McGeoch MA. 1998. The selection, testing, and application of terrestrial insects as bioindicator. Biol Rev 73: 181-201 McGeoch MA, Rensburg BJ van, Botes A. 2002. The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol 39: 661-672 Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG. 2003. Definition, strategies and principles for bioindicator/biomonitoring of the environment. Di dalam: Merkert BA, Breure AM, Zechmeister HG, editor. Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Amsterdam: Elsevier Science. hlm: 3 – 39 Meyer VW, Crewe RM, Braack LEO, Groeneveld HT, Linde MJ van der. 2001. Biomassa of Macrotermes natalensis in the northern Kruger National Park, South Africa – the effect of land characteristic. Sociobiology 38: 431-448 Mhatre GN, Pankhurst CE. Bioindicator to detect contamination of soils with reference to heavy metal. Di dalam: Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. New York: CABI. hlm: 349 - 369 Muller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: J Wiley Nalepa CA, Bandi C. 2000. Characterizing the ancestors: paedomorphosis and termite evolution. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. Hal: 53-75 Rapport DJ, McCullun J, Miller MH. 1997. Soil health: its relationship to ecosystem health. Di dalam: Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil health. New York: CABI. hlm: 29-47 Rapport DJContanza R, McMichale AJ. 1998. Assessing ecosystem health. Tree 13: 397-402 Rizali A. 2006. Keanekaragaman Semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. [tesis]. Bogor: SPS IPB
55
Roisin Y. 2000. Diversity and evolution of caste patterns. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. hal: 95-119 Roonwal ML. 1970. Termites of the Oriental Region. Di dalam: Krishna K, Weesner FM, editor. Biology of Termites. Vol 2. hal: 315-391 Shahabudin 2007. Effects of Land Use on Diversity Copprophagus Beetles (Coleopter:Scarabidae) and Dung Decomposition: A case Study at The Forest Margin of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. [desertasi]. Bogor: SPS IPB Sornnuwat Y, Vongkaluang C, Takematsu Y. 2004. A systematic key to termites of Thailand. Kasetsart J Nat Sci 38:349-368 Smart SM, Thompson K, Marrs RH, Le Duc MG, Maskell LC, Firbank LG. 2006. Biotic homogenization and changes in species diversity across humanmodified ecosystems. Proc. R. Soc. B 273: 2659–2665 Smiet AC. 1992. Forest ecology on Java: human impact and vegetation of montane forest. J Tropic Ecol 8: 129-152 Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insect Concepts and Applications. Oxford: Blackwell Science StatSoft. 2001. Statistica for Windows Release 6.0. Tulsa: Statsoft Steenis CGGJ van. Flora Pegunungan Jawa. Kartawinata JA, penerjemah. Bogor: LIPI. Terjemahan dari: The Mountain Flora of Java Straalen NM van. 1997. Community structure of soil arthopods as bioindicator of soil health. Di dalam: Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR, editor. Biological Indicator of Soil Health. New York: CABI. hlm: 235-264 Su NY, Scheffrahn. 2000. Termites as pests of building. Di dalam: Abe T, Bignell DE, Higashi M. Termites Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Dordecht: Kluwer Academic. Hal: 437-453 Suprayogo D, et al. 2004. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi system monokultur: kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita 24: 60-68 Sutopo. 2003. Pengaruh Kalsium Karbonat, Fosfat Alam dan SP 36 terhadap Serapan P, Ciri Kimia Andisol dan Efisiensi Pemupukan P pada Tanaman Jagung. [tesis]. Bogor: SPS IPB Tarumingkeng RC. 1971. Biologi dan pengendalian rayap perusak kayu. LPPK 138 Tilman D, Lehman C. 2001. Human-caused environmental change: impacts plant diversity and evolution. Pnas 98: 5433-5440 Thomas SC, Halperen CB, Falk DA, Liguori DA, Austin KA. 1999. Plant diversity in managed forests: understory responses to thinning and fertilization. Ecol Appl 9: 864-879 Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Malay Forest Rec 36. Kepong: FRIM Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insects. Ed. Ke-7. Australia: Thomson Vanclay JK. 2004. Indicator groups and faunal richness. Fbmis 1: 105-113 Vogt KA, et al. 1996. Ecosystem Balancing Science with Management. New York: Springer-Verlag
56
Weissman L,Fraiber M, Shine L, Garty J, Hochman A. 2006. Responses of antioxidants in the lichen Ramalina lacera may serve as a nearly warning bioindication systems for detection of air pollution stress. Fems Microbiol Ecol 58: 41-53 Wilson EO. 1971. The Insect Societies. Cambridge: Harvard Univ Pr Yamada A. 2004. Ecological Function of termites in tropical forest. [desertasi] Kyoto: Kyoto Univ
57
Lampiran 1
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di hutan lindung. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili. Famili (Species)
Araceae Homalomena aculta Homalomena javanica Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi
Balsaminaceae Impatiens balsamina Begoniaceae Begonia longifolia Bl. Begonia robusta Bl. Commelinaceae Commelina diffusa Burm. Euphorbiaceae Glochidion sp1 Glecicheniaceae Gleichenia sp1 Hydrangeceae Dischroa sylvatica (Review. ExBl). Liliaceae Smilax zeylanica L Melastomaceae Melastoma macrophyllum Melastoma polyanthum BL Myrsinaceae Ardisia crispa Orchidaceae Eria erecta (Bl) lindl Phaius flavus (Bl) Lindl Palmae Pinanga javana Pandaneceae Pandanus sp1 Piperaceae Piper sp1 Poaceae Imperata Cylindrica (L.) Beauv Isachne globosa (Thunb.) O.K. Polypodiacea Nephrolepis bisserata Schott Nephrolepis exaltata Schott Nephrolepis radicans Rubiaceae Argostemma borragineum DC Selaginellaceae Selaginella sp1 Selaginella sp2
F 7.000 2.000 5.000 1.000 1.000 1.000 5.000 2.000 4.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 5.000 4.000 1.000 3.000 3.000 3.000 1.000 2.000 3.000 3.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 5.000 2.000 3.000 2.000 2.000 2.000 4.000 1.000 3.000
FR (%) 12.281 2.899 7.246 1.449 1.754 1.449 8.772 2.899 5.797 1.754 1.449 1.754 1.449 1.754 1.449 1.754 1.449 1.754 1.449 8.772 5.797 1.449 5.263 4.348 5.263 1.449 2.899 5.263 4.348 1.754 1.449 1.754 1.449 1.754 1.449 1.449 8.772 2.899 4.348 2.899 3.509 2.899 7.018 1.449 4.348
K (Ind/m2) 28.500 8.500 19.000 1.000 3.000 3.000 12.500 4.000 8.500 2.500 2.500 2.000 2.000 2.000 2.000 0.500 0.500 0.500 0.500 11.500 10.000 1.500 3.000 3.000 2.000 0.500 1.500 4.500 4.500 1.500 1.500 0.500 0.500 7.500 1.000 6.500 10.000 5.500 3.500 1.000 1.000 1.000 6.000 1.500 4.500
KR (%) 16.914 5.045 11.276 0.593 1.780 1.780 7.418 2.374 5.045 1.484 1.484 1.187 1.187 1.187 1.187 0.297 0.297 0.297 0.297 6.825 5.935 0.890 1.780 1.780 1.187 0.297 0.890 2.671 2.671 0.890 0.890 0.297 0.297 4.451 0.593 3.858 5.935 3.264 2.077 0.593 0.593 0.593 3.561 0.890 2.671
INP (%) 29.195 7.943 18.522 2.043 3.535 3.230 16.190 5.272 10.842 3.238 2.933 2.941 2.636 2.941 2.636 2.051 1.746 2.051 1.746 15.597 11.732 2.339 7.044 6.128 6.450 1.746 3.789 7.934 7.018 2.645 2.339 2.051 1.746 6.205 2.043 5.307 14.707 6.163 6.425 3.492 4.102 3.492 10.578 2.339 7.018
INP/2 (%) 14.597 3.972 9.261 1.021 1.767 1.615 8.095 2.636 5.421 1.619 1.466 1.471 1.318 1.471 1.318 1.026 0.873 1.026 0.873 7.798 5.866 1.170 3.522 3.064 3.225 0.873 1.894 3.967 3.509 1.322 1.170 1.026 0.873 3.103 1.021 2.653 7.353 3.081 3.212 1.746 2.051 1.746 5.289 1.170 3.509
58
Lampiran 1
Lanjutan Famili (Species)
Urticeae Elatostema sesquifolium Elatostema sp 1 Elatostema strigosum (Bl). Hassk Pilea melastomoides (Poir). Bl. Pilea pepliodes Procris frutescens Zingeberaceae Amomum coccineum (Bl) K. Sch Zingeber inflexum Bl. Grand total
F 8.000 3.000 1.000 4.000 1.000 2.000 2.000 3.000 3.000 2.000 69.000
FR (%) 14.035 4.348 1.449 5.797 1.449 2.899 2.899 5.263 4.348 2.899 100.000
K (Ind/m2) 66.000 29.500 2.000 23.500 0.500 1.500 9.000 3.500 1.500 2.000 168.500
KR (%) 39.169 17.507 1.187 13.947 0.297 0.890 5.341 2.077 0.890 1.187 100.000
INP (%) 53.204 21.855 2.636 19.744 1.746 3.789 8.240 7.340 5.238 4.085 200.000
SDR (%) 26.602 10.928 1.318 9.872 0.873 1.894 4.120 3.670 2.619 2.043 100.000
59
Lampiran 2
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di wana wisata. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili. Famili (Species)
Araucariaceae Agathis damarra (Lambert) Rich Asteraceae Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins Eupathorium triplinerve Vahl Begoniaceae Begonia longifolia Bl. Commelinaceae Commelina benghalensis L. Commelina diffusa Burm. Commelina paludosa Bl Cyanotis ciliata (Bl) Bakh. f. Fagaceae Calliandra hematocephala Melastomataceae Melastoma polyanthum BL Poaceae Axonopus compressus (Sw.) Beauv Polypodiaceae Nephrolepis exaltata Schott Nephrolepis radicans Pityrogramma calomelanos Link Urticeae Elatostema macrophylum Elatostema sesquifolium Vitaceae Tetrastigma papillosum (Bl) Planch Grand Total
F 0.125 0.125 0.750 0.125 0.750 0.125 0.125 1.000 0.125 0.625 0.500 0.125 0.250 0.250 0.750 0.750 0.875 0.875 0.875 0.125 0.125 0.750 0.625 0.125 0.625 0.125 0.125 5.500
FR (%) 2.273 2.000 13.636 2.000 12.000 2.273 2.000 18.182 2.000 10.000 8.000 2.000 4.545 4.000 13.636 12.000 15.909 14.000 15.909 2.000 2.000 12.000 11.364 2.000 10.000 2.273 2.000 100.000
K (Ind/m2) 0.500 0.500 14.000 0.500 13.500 0.500 0.500 22.000 2.000 17.000 2.000 1.000 3.000 3.000 10.500 10.500 10.000 10.000 22.500 1.000 0.500 21.000 7.000 1.000 6.000 0.500 0.500 90.500
KR (%) 0.552 0.552 15.470 0.552 14.917 0.552 0.552 24.309 2.210 18.785 2.210 1.105 3.315 3.315 11.602 11.602 11.050 11.050 24.862 1.105 0.552 23.204 7.735 1.105 6.630 0.552 0.552 100.000
INP (%) 2.825 2.552 29.106 2.552 26.917 2.825 2.552 42.491 4.210 28.785 10.210 3.105 7.860 7.315 25.239 23.602 26.959 25.050 40.771 3.105 2.552 35.204 19.098 3.105 16.630 2.825 2.552 200.000
INP/2 (%) 1.413 1.276 14.553 1.276 13.459 1.413 1.276 21.246 2.105 14.392 5.105 1.552 3.930 3.657 12.619 11.801 13.479 12.525 20.385 1.552 1.276 17.602 9.549 1.552 8.315 1.413 1.276 100.000
60
Lampiran 3
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di hutan produksi. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili Famili (Species)
Acanthaceae Acanthus sp1 Apiaceae Centella asiatica (L.) Urb Araceae Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll.. & Moritzi
Asteraceae Ageratum conyzoides L Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins
Eupathorium triplinerve Vahl Balsaminaceae Impatiens balsamina Commelinaceae Commelina benghalensis L. Commelina diffusa Burm. Compositacae Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moor
Cyperaceae Cyperus rotundus (L) Marsileaceae Marsilea crenata Presl Melastomataceae Melastoma polyanthum BL Poaceae Axonopus compressus (Sw.) Beauv Cynodon dactylon (L.) Pers Echinochaloa crusgalli L. Imperata Cylindrica (L.) Beauv Isachne globosa (Thunb.) O.K. Oplismenus burmanni (Retz.)) Beauv. Polypodiaceae Pityrogramma calomelanos Link Rosaceae Rubus rosaefolius J.E. Smith Rubiaceae Galium subtrifidum BL Selagillaceae Selaginella wildenovii Bak Solanaceae Brugmansia suaveolens (H. et B0 B. et P.)
Grand Total
0.250 0.250 0.625 0.625 0.125
FR (%) 4.651 3.571 11.628 8.929 2.326
0.125 0.875 0.125 0.125 0.625 0.125 0.125 0.875 0.250 0.875 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.500 0.500 0.875 0.625 0.375 0.125 0.375 0.625 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.250 0.250 0.125 0.125 5.375
1.786 16.279 1.786 1.786 8.929 2.326 1.786 16.279 3.571 12.500 2.326 1.786 2.326 1.786 2.326 1.786 9.302 7.143 16.279 8.929 5.357 1.786 5.357 8.929 1.786 2.326 1.786 2.326 1.786 2.326 1.786 4.651 3.571 2.326 1.786 100.000
F
2.000 2.000 10.000 10.000 0.500
KR (%) 1.504 1.504 7.519 7.519 0.376
INP (%) 6.155 5.075 19.147 16.447 2.702
INP/2 (%) 3.077 2.538 9.573 8.224 1.351
0.500 22.000 4.000 0.500 17.500 1.000 1.000 20.500 3.500 17.000 0.500 0.500 3.500 3.500 2.000 2.000 8.000 8.000 57.000 5.000 6.500 2.500 2.500 40.000 0.500 0.500 0.500 1.000 1.000 2.000 2.000 2.000 2.000 0.500 0.500 133.000
0.376 16.541 3.008 0.376 13.158 0.752 0.752 15.414 2.632 12.782 0.376 0.376 2.632 2.632 1.504 1.504 6.015 6.015 42.857 3.759 4.887 1.880 1.880 30.075 0.376 0.376 0.376 0.752 0.752 1.504 1.504 1.504 1.504 0.376 0.376 100.000
2.162 32.820 4.793 2.162 22.086 3.077 2.538 31.693 6.203 25.282 2.702 2.162 4.957 4.417 3.829 3.289 15.317 13.158 59.136 12.688 10.244 3.665 7.237 39.004 2.162 2.702 2.162 3.077 2.538 3.829 3.289 6.155 5.075 2.702 2.162 200.000
1.081 16.410 2.397 1.081 11.043 1.539 1.269 15.846 3.102 12.641 1.351 1.081 2.479 2.209 1.915 1.645 7.659 6.579 29.568 6.344 5.122 1.833 3.618 19.502 1.081 1.351 1.081 1.539 1.269 1.915 1.645 3.077 2.538 1.351 1.081 100.000
K (individu/m2)
61
Lampiran 4
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di agroforestri. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili Famili (Species)
Apiaceae Centella asiatica (L.) Urb Hydrocotyle sibthorpioides Lamk Araceae Alocasia escutenta Asteraceae Ageratum conyzoides L Bidens pilosa Balsaminaceae Impatiens balsamina Brassicaceae Brassica rapa L Campanulaceae Lobelia angulata Forst f Commelinaceae Commelina benghalensis L. Compositacae Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moor
Taraxacum officinale Weber et Wiggers Youngia javanica (L.) DC. Convolvulaceae Physalis peruviana Cruciferae Nasturtium backeri O. E Schulz Cyperaceae Cyperus difformis (L) Cyperus rotundus (L) Euphorbiaceae Manihot utilissima Hypericaceae Hypericum japonicum Murr. Marsileaceae Marsilea crenata Presl Melastomataceae Melastoma polyanthum BL Oxalidaceae Oxalys corniculata L.
F
FR (%)
0.625 0.500 0.125 0.125 0.125 1.000 0.875 0.625 0.375 0.375 0.125 0.125 0.125 0.125 0.250 0.250 0.750 0.750 0.125 0.125 0.750 0.750 0.625 0.625 0.750 0.125 0.750 0.250 0.250 0.875 0.875 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125
7.576 4.819 1.205 1.515 1.205 12.121 8.434 6.024 4.545 3.614 1.515 1.205 1.515 1.205 3.030 2.410 9.091 7.229 1.205 1.205 9.091 7.229 7.576 6.024 9.091 1.205 7.229 3.030 2.410 10.606 8.434 1.515 1.205 1.515 1.205 1.515 1.205
K (individu/m2)
2.500 2.000 0.500 0.500 0.500 129.500 88.000 41.500 3.000 2.500 0.500 0.500 0.500 0.500 4.000 4.000 29.000 28.000 0.500 0.500 4.000 4.000 7.000 7.000 20.500 1.000 19.500 1.000 1.000 25.500 25.500 0.500 0.500 0.500 0.500 2.000 2.000
KR (%)
INP (%)
INP/2 (%)
0.926 0.742 0.186 0.185 0.186 47.963 32.653 15.399 1.111 0.928 0.185 0.186 0.185 0.186 1.481 1.484 10.741 10.390 0.186 0.186 1.481 1.484 2.593 2.597 7.593 0.371 7.236 0.370 0.371 9.444 9.462 0.185 0.186 0.185 0.186 0.741 0.742
8.502 5.561 1.390 1.700 1.390 60.084 41.087 21.423 5.657 4.542 1.700 1.390 1.700 1.390 4.512 3.894 19.832 17.619 1.390 1.390 10.572 8.713 10.168 8.621 16.684 1.576 14.465 3.401 2.781 20.051 17.896 1.700 1.390 1.700 1.390 2.256 1.947
4.251 2.781 0.695 0.850 0.695 30.042 20.543 10.711 2.828 2.271 0.850 0.695 0.850 0.695 2.256 1.947 9.916 8.809 0.695 0.695 5.286 4.357 5.084 4.311 8.342 0.788 7.232 1.700 1.390 10.025 8.948 0.850 0.695 0.850 0.695 1.128 0.973
62
Lampiran 4
Lanjutan Famili (Species)
Poaceae Axonopus compressus (Sw.) Beauv Digataria radicosa (Presl.) Miq. Imperata Cylindrica (L.) Beauv Isachne globosa (Thunb.) O.K. Setaria palmifolia (Willd.) Stapf Zea mays Polypodiaceae Pityrogramma calomelanos Link Rubiaceae Argostemma montanum Bl Galium subtrifidum BL Grand Total
F 0.875 0.750 0.125 0.125 0.375 0.625 0.125 0.125 0.125 0.250 0.125 0.125 8.250
FR (%) 10.606 7.229 1.205 1.205 3.614 6.024 1.205 1.515 1.205 3.030 1.205 1.205 100.000
K (individu/m2)
37.500 9.500 1.000 1.000 4.500 20.000 1.500 1.000 1.000 1.000 0.500 0.500 270.000
KR (%) 13.889 3.525 0.371 0.371 1.670 7.421 0.557 0.370 0.371 0.370 0.186 0.186 100.000
INP (%) 24.495 10.754 1.576 1.576 5.284 13.445 1.761 1.886 1.576 3.401 1.390 1.390 200.000
INP/2 (%) 12.247 5.377 0.788 0.788 2.642 6.723 0.881 0.943 0.788 1.700 0.695 0.695 100.000
63
Lampiran 5
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di permukiman. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili Famili (Species)
Acanthaceae Amaranthus spinosus Desf Apiaceae Hydrocotyle sibthorpioides Lamk Merremia emarginata Araceae Alocasia cucullata (Loureiro.) Asteraceae Ageratum conyzoides L Bidens pilosa Brassicaceae Brassica rapa L Buxaceae Lobelia angulata Forst f Commelinaceae Commelina diffusa Burm. Cyanotis ciliata (Bl) Bakh. f. Compositacae Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moor
Convolvulaceae Ipomea batatas Ipomoea pes-tigridis L Cruciferae Nasturtium backeri O. E Schulz Nasturtium montanum Wal Cyperaceae Cyperus difformis (L) Cyperus rotundus (L) Hypericaceae Hypericum japonicum Murr. Marsileaceae Marsilea crenata Presl Plantaginaceae Plantago major L Poaceae Axonopus compressus (Sw.) Beauv Echinochloa colona (L.) Link. Eleusine indica (L.) Gaertn. Oryza sativa Setaria palmifolia (Willd.) Stapf Rosaceae Fragraria fragrans Grand Total
F
FR (%)
0.250 0.250 0.750 0.500 0.500 0.500 0.500 1.000 1.000 0.250 0.750 0.250 0.250 0.250 0.500 0.250 0.250 0.750 0.750 0.250 0.250 0.250 0.500 0.500 0.500 1.000 0.250 1.000 0.750 0.750 0.500 0.500 0.500 0.500 1.000 0.250 0.250 1.000 0.250 0.750 0.250 0.250 9.500
2.632 2.083 7.895 4.167 4.167 5.263 4.167 10.526 8.333 2.083 7.895 2.083 2.632 2.083 5.263 2.083 2.083 7.895 6.250 2.632 2.083 2.083 5.263 4.167 4.167 10.526 2.083 8.333 7.895 6.250 5.263 4.167 5.263 4.167 10.526 2.083 2.083 8.333 2.083 6.250 2.632 2.083 100.000
K (individu/m2)
1.500 1.500 10.750 1.750 9.000 0.750 0.750 43.250 43.000 0.250 2.750 0.500 0.250 0.250 1.000 0.250 0.750 2.500 2.500 1.000 0.500 0.500 6.750 6.750 2.250 14.250 1.000 13.250 28.500 28.500 4.250 4.250 10.500 10.500 24.000 1.750 0.250 9.750 0.250 12.000 3.250 3.250 155.250
KR (%)
INP (%)
SDR (%)
0.966 0.966 6.924 1.127 5.797 0.483 0.483 27.858 27.697 0.161 1.771 0.322 0.161 0.161 0.644 0.161 0.483 1.610 1.610 0.644 0.322 0.322 4.348 4.348 1.449 9.179 0.644 8.535 18.357 18.357 2.738 2.738 6.763 6.763 15.459 1.127 0.161 6.280 0.161 7.729 2.093 2.093 100.000
3.598 3.050 14.819 5.294 9.964 5.746 4.650 38.385 36.031 2.244 9.666 2.405 2.793 2.244 5.907 2.244 2.566 9.505 7.860 3.276 2.405 2.405 9.611 8.514 5.616 19.705 2.727 16.868 26.252 24.607 8.001 6.904 12.026 10.930 25.985 3.211 2.244 14.614 2.244 13.979 4.725 4.177 200.000
1.799 1.525 7.410 2.647 4.982 2.873 2.325 19.192 18.015 1.122 4.833 1.203 1.396 1.122 2.954 1.122 1.283 4.753 3.930 1.638 1.203 1.203 4.805 4.257 2.808 9.853 1.364 8.434 13.126 12.304 4.000 3.452 6.013 5.465 12.993 1.605 1.122 7.307 1.122 6.990 2.362 2.088 100.000
64
Lampiran 6.
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan atas yang terdapat di hutan lindung. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili
Famili (spesies) Araliaceae Schefflera sp Arecaceae Pinanga javana Cyatheaceae Alsophila glauca J. Sm. Hamamelidaceae Altingia excelsa Norona Meliaceae Dysoxylum sp Myrtaceae Eugenia cymosa Lamk Pandanaceae Pandanus tectonius Theaceae Schima wallichii (DC) Korth Zingeberaceae Amomun sp Grand Total
Lampiran 7.
K (ind/m2) 0.005 0.005 0.125 0.125 0.010 0.010 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005 0.020 0.020 0.105 0.105 0.025 0.025 0.305
KR (%) 1.639 1.639 40.984 40.984 3.279 3.279 1.639 1.639 1.639 1.639 1.639 1.639 6.557 6.557 34.426 34.426 8.197 8.197 100.000
D (m2) 0.0018 0.0018 0.0442 0.0442 0.0052 0.0052 0.1016 0.1016 0.0029 0.0029 0.0011 0.0011 0.0193 0.0193 2.1370 2.1370 0.0060 0.0060 2.3190
DR (%) 0.077 0.077 1.907 1.907 0.223 0.223 4.380 4.380 0.124 0.124 0.049 0.049 0.831 0.831 92.151 92.151 0.258 0.258 100.000
INP (%) 1.717 1.717 42.891 42.891 3.502 3.502 6.019 6.019 1.763 1.763 1.689 1.689 7.388 7.388 126.577 126.577 8.454 8.454 200.000
INP/2 (%) 0.858 0.858 21.445 21.445 1.751 1.751 3.010 3.010 0.882 0.882 0.844 0.844 3.694 3.694 63.289 63.289 4.227 4.227 100.000
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di wana wisata. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili
Famili (spesies) Araucariaceae Agathis dammara (Lambert) Rich
Hamamelidaceae Altingia excelsa Norona Theaceae Schima wallichii (DC) Korth Grand Total
K (ind/m2) 0.105 0.105 0.005 0.005 0.010 0.010 0.120
KR (%) 87.500 87.500 4.167 4.167 8.333 8.333 100.000
D (m2) 1.3386 1.3386 0.0659 0.0659 0.1169 0.1169 1.5214
DR (%) 87.988 87.988 4.330 4.330 7.682 7.682 100.000
INP (%) 175.488 175.488 8.496 8.496 16.015 16.015 200.000
INP/2 (%) 87.744 87.744 4.248 4.248 8.008 8.008 100.000
65
Lampiran 8.
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di hutan produksi. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili
Famili (spesies) Cyatheaceae Alsophila glauca J. Sm. Hydreaecea Dischroa sylvatica (Review. Ex. Bl).
Pinaceae Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese
Grand Total
Lampiran 9.
KR (%) 17.647 17.647 5.882 5.882 76.471 76.471 100.000
D (m2) 0.0106 0.0106 0.0010 0.0010 1.8324 1.8324 1.8439
DR (%) 0.574 0.574 0.052 0.052 99.374 99.374 100.000
INP (%) 18.221 18.221 5.935 5.935 175.844 175.844 200.000
INP/2 (%) 9.111 9.111 2.967 2.967 87.922 87.922 100.000
Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di agroforestri. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili
Famili (spesies) Anonnaceae Anona muricata Araucariaceae Agathis dammara (Lambert) Rich
Grand Total
K (ind/m2) 0.015 0.015 0.005 0.005 0.065 0.065 0.085
K (ind/m2) 0.015 0.015 0.090 0.090 0.105
KR (%) 14.286 14.286 85.714 85.714 100.000
D (m2) 0.0393 0.0393 0.4004 0.4004 0.4397
DR (%) 8.946 8.946 91.054 91.054 100.000
INP (%) 23.231 14.286 176.769 85.714 200.000
INP/2 (%) 11.616 7.143 88.384 42.857 100.000
66
Lampiran 10. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan bawah yang terdapat di permukiman. Nama dengan huruf tebal adalah nama famili Famili (spesies) Anacardiaceae Mangifera indica L Caricaceae Carica papaya L. Euphorbiaceae Manihot utilissima Fagaceae Paraseriathes falcataria L Guttiferae Garcinia mangostana L. Meliaceae Toona sureni (Blume) Merr. Musaceae Musa paradisiaca Myrtaceae Psidium guajava Burm.f Rubiaceae Coffea arabica L Grand Total
K (ind/m2) 0.005 0.005 0.010 0.010 0.005 0.005 0.005 0.005 0.010 0.010 0.005 0.005 0.030 0.030 0.005 0.005 0.015 0.015 0.090
KR (%) 5.556 5.556 11.111 11.111 5.556 5.556 5.556 5.556 11.111 11.111 5.556 5.556 33.333 33.333 5.556 5.556 16.667 16.667 100.000
D (m2) 0.0183 0.0183 0.0100 0.0100 0.0026 0.0026 0.0357 0.0357 0.0109 0.0109 0.0249 0.0249 0.0351 0.0351 0.0199 0.0199 0.0261 0.0261 0.1835
DR (%) 9.990 9.990 5.429 5.429 1.405 1.405 19.464 19.464 5.940 5.940 13.598 13.598 19.109 19.109 10.840 10.840 14.226 14.226 100.000
INP (%) 15.546 15.546 16.540 16.540 6.960 6.960 25.020 25.020 17.051 17.051 19.153 19.153 52.442 52.442 16.395 16.395 30.893 30.893 200.000
INP/2 (%) 7.773 7.773 8.270 8.270 3.480 3.480 12.510 12.510 8.526 8.526 9.577 9.577 26.221 26.221 8.198 8.198 15.446 15.446 100.000
67