KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG CERAMBYCID (COLEOPTERA : CERAMBYCIDAE) PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI PROVINSI JAMBI
FAHRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera : Cerambycidae) pada Empat Tipe Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Fahri NIM G352110081
RINGKASAN FAHRI. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera : Cerambycidae) pada Empat Tipe Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI, dan WORO A NOERDJITO. Kumbang (Ordo Coleoptera) termasuk serangga yang memiliki keanekaragaman tinggi yaitu sekitar 30% dari total serangga. Kumbang berperan penting sebagai herbivor, predator, fungivor, dan menjadi sumber makanan penting bagi organisme lain, dan indikator perubahan lingkungan. Kumbang cerambycid merupakan serangga perombak kayu lapuk. Kumbang cerambycid dewasa mempunyai antena panjang. Keberadaan komunitas kumbang di suatu lahan dipengaruhi oleh spesies pohon, penutupan tajuk, ranting dan cabang lapuk dan membusuk. Jambi termasuk salah satu provinsi dengan tingkat deforestasi yang tinggi. Laporan mengenai pengaruh konversi hutan menjadi lahan perkebunan terhadap komunitas kumbang cerambycid di Provinsi Jambi belum banyak dilakukan. Hal tersebut yang malatarbelakangi dilakukan penelitian tentang keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid (Coleoptera : Cerambycidae) pada empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan di lahan perkebunan masyarakat yang terletak di desa Bungku, Pompa Air, Sungkai dan Singkawang, dan di lahan hutan karet bekas tebangan yang terletak di desa Bungku dan Singkawang Kecamatan Bejubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada perbedaan tingkat penggunaan lahan, yaitu areal hutan karet, kebun karet, kebun kelapa sawit, dan hutan karet bekas tebangan. Hutan karet, kebun karet, kebun sawit, berusia lebih dari 10 tahun. Hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit terdapat di empat desa (Bungku, Pompa Air, Sungkai, dan Singkawang). Hutan karet tebangan terdapat di desa Bungku dan Singkawang (masing-masing 2 plot). Di setiap lokasi ditentukan 4 plot dengan ukuran 70 x 50 m. Kumbang cerambycid dikumpulkan dengan menggunakan perangkap cabang tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus) berdaun segar yang diikatkan pada pohon. Di setiap lokasi dipasang sebanyak 12 perangkap. Koleksi sampel dilakukan dengan menggoyang atau memukul perangkap dengan penadah di bawahnya yang dilakukan setiap 3 hari sampai daun dalam perangkap rontok. Koleksi kumbang cerambycid dilakukan sebanyak 5 kali setiap 3 hari yaitu hari ke-4, ke-7, ke-10, ke-13, ke-16 setelah pemasangan perangkap. Spesimen kumbang diidentifikasi di Laboratorium Entomologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) Cibinong, dan diverifikasi di Museum Serangga LIPI Cibinong. Struktur komunitas kumbang Cerambycidae dihitung nilai keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), dan nilai kemerataan Evenness (E). Komposisi spesies kumbang cerambycid pada setiap tipe lahan dianalisis dengan indeks kesamaan Bray-Curtis. Hasil perhitungan indeks kesamaan Bray-Curtis dibuat dalam bentuk matriks yang selanjutnya digunakan untuk membuat dendogram. Nilai keanekaragaman, kemerataan, dan kesamaan dihitung menggunakan program Primer 5 for Windows. Kumbang cerambycid yang dikoleksi sebanyak 1274 individu, termasuk dalam 24 genus dan 72 spesies. Jumlah spesies yang tertangkap dari hutan karet lebih tinggi yaitu 42 spesies (35%), kebun karet 39 spesies (30%), hutan karet
bekas tebangan 28 spesies (22%), dan kebun sawit 16 spesies (13%). Jumlah individu di hutan karet bekas tebangan lebih tinggi yaitu 481 individu (38%), kebun karet 313 individu (24%), kebun sawit 253 individu dan hutan karet 227 individu (20%). Tiga genus yang dominan ialah genus Ropica (11 spesies) Sybra (16 spesies), dan Pterolophia (12 spesies). Genus tersebut merupakan cerambycid dengan ukuran tubuh kecil yaitu 8-18 mm. Larva cerambycid yang berukuran tubuh kecil mampu hidup di cabang atau ranting kecil. Keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang cerambycid lebih tinggi pada habitat hutan karet (H’ = 3.23; E = 0.87), dengan kelimpahan individu paling sedikit (228 individu). Keanekaragaman spesies terendah ditemukan di kebun sawit (H’ = 2.01). Nilai kemerataan terendah (E = 0.71) ditemukan pada habitat hutan karet bekas tebangan. Keanekaragaman Cerambycidae di habitat kebun karet dan hutan karet bekas tebangan relatif sama (H’ = 2.67 dan H’ = 2.38). Kemerataan spesies di kebun karet dan kebun sawit relatif sama (E = 0.72). Kesamaan komunitas antara hutan karet dan kebun karet memiliki nilai yang tinggi (50.005). Kesamaan spesies antara hutan karet dengan hutan karet bekas tebangan memiliki nilai terendah (34.796). Kesamaan spesies tertinggi terdapat antara kebun karet dengan hutan karet bekas tebangan (51.249). Jumlah koleksi spesies cerambycid pada pengambilan hari ke-4 di hutan karet, kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan lebih rendah (20, 21, 9, 9) jika dibandingkan dengan pengambilan hari ke-7 (32, 37, 13, 27). Koleksi spesies pada pengambilan hari ke-4 merupakan jumlah tertinggi. Terjadi penurunan koleksi pada hari ke-10, ke-13, dan ke-16. Perbedaan kelimpahan, kemerataan dan keanekaragaman berkaitan dengan tingkat gangguan hutan. Hal tersebut terjadi karena komposisi vegetasi hutan karet masih cukup beragam karena merupakan hutan polikultur dan hutan yang tidak intensif dirawat oleh petani, sehingga serasah, ranting atau cabang yang telah lapuk tidak dibersihkan, yang disukai oleh kumbang cerambycid. Tingginya nilai kesamaan antara hutan karet dengan kebun karet disebabkan karena spesies vegetasi penyusunnya sama yaitu pohon karet. Tingginya nilai kesamaan antara kebun karet dengan hutan karet bekas tebangan diduga karena hutan keret yang merupakan tanaman monokultur. Kesamaan komunitas cerambycid antara hutan karet dengan kebun sawit, hutan karet dengan hutan karet bekas tebangan, kebun karet dengan kebun sawit, kebun sawit dengan hutan karet bekas tebangan memiliki nilai kesamaan yang rendah, yaitu masing-masing 35.246, 34.796, 43.467, dan 42.409. Rendahnya kesamaan tersebut disebabkan vegetasi, serasah dan tutupan tajuk. Kehadiran kumbang cerambycid pada perangkap Artocarpus seiring dengan tahap layu perangkap. Pada pengambilan hari ke-4, daun Artocarpus belum layu, kemudian pada pengambilan hari ke-7 daun telah layu. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah spesies dan jumlah individu sangat tinggi jika dibandingkan dengan pengambilan sebelum dan sesudah pengambilan hari ke-7. Pada pengambilan hari ke-10, hari ke-13, dan hari ke-16 perangkap yang telah membusuk perlahan-lahan mengalami kerontokan. Kondisi tersebut tidak begitu mendukung kehadiran kumbang cerambycid pada perangkap tersebut. Kata kunci: cerambycid, jambi, keanekaragaman, perbedaan penggunaan lahan
SUMMARY FAHRI. Diversity and Abundance of Cerambycid Beetle (Coleoptera: Cerambycidae) in Four Land Use Types in Jambi Province. Supervised by TRI ATMOWIDI, and WORO A NOERDJITO. Beetles (Order Coleoptera) are highly diverse insects which are about 30% of the total insect. Beetles play important roles such as herbivor, predator, fungivor, as food source for other organisms, and indicators of environmental change. Cerambycid beetles are decayed woodborer. Cerambycid adult beetles have long antennae. The presence of beetle communities in an area is affected by tree species, crown cover, and decaying or rotten twigs and branches. Jambi is one of the provinces with a very high rate of deforestation in Indonesia. The underlying of the research on the diversity and abundance of cerambycid beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in four land use types in the province was due to the lack reports on the effect of forest conversion to plantations on cerambycidae beetle communities. The study was conducted in the plantation areas located in the village Bungku, Pompa Air, Sungkai and Singkawang, and felling forests which were located in the Bungku village and Singkawang village, Bejubang Subdistrict, Batang Disctrict, Jambi Province. Research site determining was based on the difference in the level of land use which was the jungle rubber, rubber plantation, oil palm, felled jungle rubber. Jungle rubber, rubber plantations, oil palm plantations were aged more than 10 years. Jungle rubber, rubber plantation, and oil palm plantations located in the four villages (Bungku, Pompa air, Sungkai, and Singkawang) while felled jungle rubber were in the Bungku village and Singkawang village (each 2 plots). At each location was placed 4 plots of 70 x 50 m. Cerambycidae beetle trapped using jackfruit branches (Artocarpus heterophyllus) with fresh leaves tied to a tree. A total of 12 traps were placed each site. Samples were collected every 3 days by shaking or hitting the traps with fences underneath until the leaves fall in the trap. Cerambycidae beetle collection performed 5 times a day every 3 days; day 4th, day 7th, day 10th, day 13th and 16th after trapping. Specimens were identified in the Laboratory of Entomology, Indonesian Institute of Science (LIPI) Cibinong, and verified in LIPI Museum of Insect, Cibinong. The structure of Cerambycidae beetle community was calculated using Shannon-Wiener diversity (H') index, and evenness value (E). The composition of Cerambycidae beetle on each land use type was analyzed using the Bray-Curtis similarity index. The resulting calculations of Bray-Curtis similarity index were then displayed in the form of a matrix which was then used to create a dendogram. Diversity value, evenness, and similarity index calculated using Primer 5 for Windows. In total, 1274 individuals were collected in this study which represented 24 genera and 72 species. Number of species collected from each sited were 42 species of jungle rubber (35%), 39 species of rubber plantation (30%), 28 species of felled jungle rubber (22%), and 16 species of oil palm plantations (13%). But the number of individual found in each site were 481 individuals in the felled
jungle rubber (38%), 313 individuals of rubber plantations (24%), 253 individuals of oil palm plantations (20%) and 227 individuals of jungle rubber (18%). Three dominant genera were Ropica genus (11 species) Sybra (16 species), and Pterolophia (12 species). The body size of genera members are small, ranged 8-18 mm. Larvae of those small body size cerambycid is able to live in a small branch or twig. Cerambycid beetles species diversity and evenness was higher in rubber forest habitat (H' = 3.23; E = 0.87), but least number of individual (228 individuals). The lowest species diversity found in oil palm (H' = 2.01). Lowest evenness value (E = 0.71) was found in forest habitats harvest rubber. Cerambycids diversity value in rubber plantations was similar to felled jungle rubber (H' = 2.67 and H' = 2,38). Species evenness in jungle rubber and oil palm plantations are relatively equal (E = 0.72). Community similarity between jungle rubber and rubber plantation was high (50.005). Similarity of species between jungle rubber and felled jungle rubber was the lowest (34.796). The highest similarity of beetles was between rubber plantation and jungle rubber (51.249). The number of beetle collection occurred on the day 4th on jungle rubber, rubber plantations, oil palm plantations, and felled jungle rubber harvest was lower (20; 21; 9; 9) than day 7th (32, 37, 13, 27). The highest number of samples collection occurred on the 7th day. There was a decrease in the collection of the day 10th, day 13th, and day 16th. The difference in abundance, evenness and diversity was associated with levels of forest disturbance. As a polyculture forest, the composition of jungle forest vegetation quite diverse which support beetle community. Along with lack of care by farmers e.g unclean forest floor from debris, was a favor habitat of cerambycidae. The high similarity index between the jungle rubber and rubber plantation was because both land use types has similar monoculture species. Cerambycidae community similarity indexes between the jungle rubber - oil palm plantations, jungle rubber - felled jungle rubber, rubber plantations - oil palm plantations, oil palm plantations - felled jungle rubber, respectively 35.246, 34.796, 43.467, and 42.409. The low similarity among those land use types was due to vegetation, litter and canopy cover. The number of trapped cerambycid beetles correlated with the wilted stage of Artocarpus leaves. On the 4th day of collection, Artocarpus leaves had not wilted yet, and then on the day 7th Artocarpus leaves had wilted. It gave high number of trapped individuals when compared to the collection before or after the day 7th. On collection day 10th, day 13th and day 16th, the traps were slowly experiencing decaying and losing of leaves. The condition was not so support the presence of cerambycid beetle. Keywords: cerambycid, jambi, diversity, land use type
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG CERAMBYCID (COLEOPTERA : CERAMBYCIDAE) PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI PROVINSI JAMBI
FAHRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Judul Tesis : Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera : Cerambycidae) pada Empat Tipe Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Nama : Fahri NIM : G352110081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Tri. Atmowidi, M.Si. Ketua
Prof. Dr. Woro A. Noerdjito Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biosains Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Bambang Suryobroto
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan atas segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera : Cerambycidae) pada Empat Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi berhasil diselesaikan. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2012 sampai Mei 2013. Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dan fasilitas penelitian dari Start-Up Project Colaborative Research Center (CRC) EFForTS Kerjasama Indonesia-Germany dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr Tri Atmowidi MSi dan Ibu Prof Dr Woro A Noerdjito selaku pembimbing yang telah banyak memberikan nasihat, saran serta bimbingan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Rektor Universitas Tadulako, Dekan Fakultas MIPA UNTAD, dan Ketua Jurusan Biologi FMIPA UNTAD yang telah merekomendasikan penulis untuk melanjutkan studi Magister di IPB. 2. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) atas izin untuk melanjutkan studi di Mayor Biosains Hewan IPB. 3. Dr. Bambang Suryobroto, seluruh staf pengajar, dan laboran Biosains Hewan (BSH) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini. 4. Dr. Hari Sutrisno, seluruh peneliti dan staf di Laboratorium Entomologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) atas segala fasilitas, ilmu dan bantuannya dalam proses identifikasi dan verifikasi spesimen. 5. Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran dalam penyusunan tesis. Terima kasih penulis ucapakan kepada Bapak Yulnasri, Bapak Dadang, Bapak Taufik atas bantuan dalam proses pengumpulan data dan kepada Bapak Andi Darmawan, SSi MSi, Ibu Silvia Puspitasari S.Pd, Ibu Novriyanti Tanjung S.Hut dan teman-teman BSH angkatan 2011 yang telah membantu penulis dalam meyelesaikan naskah Tesis ini. Terima kasih pula kepada seluruh teman-teman di Zoocorner atas dukungan dan persahabatan selama ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman di Asrama Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah atas bantuan dan kerja sama. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayah dan Ibu, kakak dan seluruh keluarga atas segala doa, semangat, dan kasih sayang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2013
Fahri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Wilayah Biologi Kumbang cerambycid
2 2 4
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan Spesimen Kumbang Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kumbang Analisis Data
6 6 7 9 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid Jumlah spesies dan individu cerambycid berdasarkan waktu pengambilan sampel Pembahasan
10 10 10 19 20
5 SIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
19
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL 1 2 3
Kondisi Penutupan Lahan Provinsi Jambi (Hasil interpretasi Landsat tahun 1999/2000 dan tahun 2007) Jumlah spesies cerambycid pada setiap lokasi penelitian Matriks kesamaan komunitas Bray-Curtis
3 11 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kumbang cerambycid Ciri-ciri kumbang cerambycid Lokasi penelitian di empat tipe penggunaan lahan Lokasi penelitian kumbang cerambycid Perangkap cabang nangka dan cara koleksi kumbang Presentase jumlah spesies dan individu cerambycid Kumbang cerambycid yang terkoleksi di Prov. Jambi Nilai kemerataan dan keanekaragaman kumbang cerambycid Dendogram kesamaan komunitas kumbang cerambycid Jumlah spesies kumbang cerambycid pada lima pengambilan Jumlah individu kumbang cerambycid pada lima pengambilan
4 5 7 8 9 10 13 18 19 20 20
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan hujan tropis (tropical rain forest) merupakan salah satu ekosistem terestrial yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Primarck & Corlett 2005). Di Indonesia, luas hutan hujan tropis terus mengalami penurunan akibat penebangan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan (Luttrell et al. 2011; Kissinger et al. 2012). Diperkirakan laju kerusakan hutan di Indonesia pada periode tahun 2000 hingga 2009 mencapai 1.51 juta ha per tahun (FWI 2011). Konversi lahan merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. Namun, pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati belum banyak diketahui (Perfecto et al. 1997), khususnya pada Arthropoda yang menunjukkan respon beragam terhadap kerusakan habitat (Schulze et al. 2004). Serangga terestrial merupakan komponen integral dari hutan tropis dengan keanekaragaman spesies yang tinggi. Akan tetapi, keberadaan serangga jarang dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan (Janzen 1987; Packham et al. 1992). Kumbang (Ordo Coleoptera) termasuk serangga yang memiliki keanekaragaman tinggi yaitu sekitar 30% dari total serangga (Lawrence dan Britton 1991). Kumbang berperan penting sebagai herbivor, predator, fungivor, dan menjadi salah satu sumber makanan penting bagi organisme lain (Janzen 1987; Packham et al. 1992), juga memainkan peran penting dalam dekomposisi dan siklus hara dalam ekosistem hutan (Siitonen 2001; Grove 2002) dan indikator perubahan lingkungan (Forsythe 1987; Lovei dan Sunderland 1996; Warriner et al. 2002). Kumbang cerambycid merupakan serangga perombak kayu lapuk (Fellin 1980). Kumbang cerambycid dewasa mudah dikenali karena mempunyai antena sangat panjang. Kumbang dewasa betina memiliki panjang antena kurang lebih sepanjang tubuhnya, sedangkan kumbang jantan sekitar 2 kali atau lebih dari panjang tubuhnya. Larva cerambycid memiliki mandibula yang kuat dan keras yang digunakan untuk merombak kayu lapuk (Noerdjito et al. 2003). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan komunitas kumbang cerambycid adalah spesies pohon, penutupan tajuk, serasah, pohon lapuk dan membusuk. Rusaknya hutan menjadi penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati dan menjadi ancaman terhadap fungsi ekosistem dan penggunan lahan secara berkelanjutan (Hoekstra et al. 2005; Cardillo 2006). Keanekaragaman dan distribusi kumbang dapat berubah akibat pengaruh tipe penggunaan lahan (Kra et al. 2009). Penebangan dan pengambilan kayu di hutan berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan kumbang cerambycid, terutama pada fase larva (Noerdjito et al. 2005). Pada fase tersebut, larva kumbang cerambycid memiliki mandibula yang kuat dan keras (Noerdjito et al. 2003) yang berfungsi merombak kayu lapuk (Gosling DCL dan Gosling NM 1977; Noerdjito et al. 2003) dan menghabiskan waktu hidupnya sebagai penggerek kayu. Dengan demikian, kehadiran kumbang ini dapat dipakai sebagai salah satu indikator biologi dari suatu kawasan hutan (Yanega 1996; Baur et al. 2002; Baur et al. 2005; Noerdjito 2011).
2
Berbagai perubahan tutupan lahan akibat perbedaan penggunaan lahan dapat mengganggu keseimbangan alami ekosistem yang dapat berdampak pada penurunan keanekaragaman kumbang cerambycid. Jambi termasuk salah satu provinsi dengan tingkat deforestasi yang sangat tinggi (Achard et al. 2002). Laporan mengenai pengaruh konversi hutan menjadi lahan perkebunan terhadap komunitas kumbang cerambycid di Provinsi Jambi belum banyak dilakukan. Beranjak dari pemahaman bahwa perbedaan populasi tumbuhan di suatu lahan akan berpengaruh terhadap komposisi spesies dan distribusi hewan, termasuk kumbang cerambycid, menjadi dasar dilakukan penelitian ini. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mempelajari keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid pada empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi, yaitu hutan karet, kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan. b. Mempelajari tingkat kesamaan komunitas kumbang cerambycid pada empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi, yaitu hutan karet, kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dan sumber informasi dalam upaya konservasi kumbang cerambycid pada khususnya dan kumbang secara umum. Data tentang kelimpahan dan keanekaragaman kumbang cerambycid dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi hutan dan untuk usaha konservasi habitat sebagai tempat hidupnya kumbang dan ekosistem secara umum.
2 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Wilayah Secara umum wilayah Provinsi Jambi sebagian besar merupakan dataran rendah terutama di bagian timur dan tengah termasuk Kabupaten Muaro Jambi, Batang Hari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur, dan di bagian barat merupakan dataran tinggi. Penyebaran ketinggian dari permukaan air laut pada wilayah Provinsi Jambi sebagian besar (42,76%) terletak pada ketinggian 40 hingga 100 meter dari permukaan laut (Dinas Kehutanan Prov. Jambi 2008). Berdasarkan tipe iklim Schmid dan Ferguson, Provinsi Jambi termasuk dalam tipe iklim A. Tipe iklim tersebut ditandai dengan curah hujan banyak dengan penyebaran hampir merata sepanjang tahun. Dalam periode 5 tahun terakhir jumlah curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.390 mm. Jumlah rata-rata bulan basah 9,6 atau 9 sampai dengan 10 bulan dan rata-rata bulan kering 2,4 atau atau 2 sampai dengan 3 bulan. Meskipun telah banyak terjadi perubahan
3
komposisi tutupan lahan basah dan lahan kering akibat berbagai faktor alami dan non alami, tetapi secara makro iklim di wilayah Provinsi Jambi tidak mengalami perubahan. Suhu udara rata-rata bulanan pada periode tersebut berkisar antara 26,1°C hingga 27,6°C. Suhu udara rata-rata meningkat mulai dari bulan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Mei tiap tahunnya. Pada bulan September suhu udara mulai menurun sebagai pertanda datangnya awal musim penghujan (Dinas Kehutanan Prov. Jambi 2008). Tipe hutan di Provinsi Jambi termasuk dalam hutan hujan tropika basah (tropical rain forest). Kawasan hutan yang rusak semakin bertambah karena berbagai aktivitas seperti kegiatan penebangan liar (illegal logging), perambahan (land encroachment), pertambangan tanpa izin (PETI) dalam kawasan hutan. Aktivitas manusia tersebut dalam kawasan hutan telah membatasi ruang gerak dari berbagai spesies hewan (Dinas Kehutanan Prov. Jambi 2008). Berdasarkan Peta Penutupan Lahan hasil dari interpretasi Citra Satelit Tahun 1999/2000 dan tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Pusat Pengukuran dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan, secara rinci kondisi penutupan lahan hasil interpretasi cira disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kondisi Penutupan Lahan Provinsi Jambi (Hasil interpretasi Landsat tahun 1999/2000 dan tahun 2007). Jenis Penutupan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Mangrove Sekunder Semak Belukar Belukar Rawa Rumput Hutan Tanaman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campuran Sawah Tanah Terbuka Pemukiman
Interpretasi Citra satelit 1999/2000 442.350 644.200 150.970 251.940 3.710 67.960 134.970 59.830 272.980 71.910 1.549.110 1.740 14.920 17.390
Interpretasi Citra satelit 2007 150.730,36 996.633,28 122.996,90 149.442,94 3.384,29 184.757,07 257.343,93 661,66 78.796,89 466.308,47 249.928,04 1.051.893,54 68.170,78 138.138,09 80.854,74
Sumber : Biphut (2002) dan Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (2007) Kawasan hutan di Provinsi Jambi seluas ± 1.423.187,77 Ha (hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder dan hutan mangrove sekunder). Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan yang sangat signifikan untuk luasan hutan primer, hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder, sebaliknya untuk hutan sekunder, semak belukar, belukar rawa, padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, tanah terbuka dan pemukiman mengalami peningkatan yang sangat besar (Dinas Kehutanan Prov. Jambi 2008). Provinsi Jambi memiliki 10 perkebunan tanaman utama seperti karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, cassivera, pinang, teh, kakao, tebu dan nilam. Kebun karet dan sawit masing-masing menempati urutan pertama dan kedua dari jenis tanaman unggulan tersebut (Disbun Jambi 2000). Luas perkebunan karet 664.943
4
ha dan sawit 484.137 ha atau sekitar 84% dari luas total perkebunan di Jambi (Kelapa, Kopi, Cassivera, Pinang, Teh, Kakao, Tebu dan Nilam) (Disbun Jambi 2000). Achard et al. 2002 melaporkan Sumatera bagian tengah termasuk Provinsi Jambi termasuk salah satu provinsi dengan tingkat deforestasi yang sangat tinggi sekitar 3.2–5.9% per tahun diikuti daerah Brazil Amazon bagian Acre dengan tingkat deforestasi 4,4% per tahun. Biologi kumbang cerambycid Kumbang cerambycid termasuk dalam Ordo Coleoptera. Kumbang merupakan kelompok yang terbesar (40%) dari serangga. Sekitar 350.000 spesies telah dideskripsikan, 30.000 spesies di Amerika Serikat dan Kanada (Borror et al. 1989), 30 ribu spesies di Australia (Lawrence dan Britton 1991) dan diperkirakan sekitar 10% dari jumlah spesies kumbang terdapat di Indonesia. Kumbang cerambycid merupakan kelompok serangga perombak kayu yang mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi. Di Asia telah teridentifikasi sekitar 35.000 spesies, dimana sekitar 800 spesies telah dilaporkan dari hutan dataran rendah di Kalimantan Timur (Makihara et al. 1999). Kumbang cerambycid juga telah dilaporkan di beberapa tempat di pulau Jawa, termasuk sekitar 150 spesies dari Taman Nasional (TN) Gunung Halimun (Makihara et al. 2002), 38 spesies dari TN Gunung Ciremai (Noerdjito 2008), dan 13 spesies dari Kebun Raya Bogor (Noerdjito 2008). Koleksi kumbang cerambycid yang tersimpan di laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian BiologiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekitar 1.200 spesies yang telah teridentifikasi (Makihara 1999; Makihara et al. 2002; Makihara dan Noerdjito, 2004; Noerdjito et al. 2003, 2004, 2005; Noerdjito, 2008, 2010, 2011).
1 cm
1 cm
a
b
Gambar 1. Kumbang cerambycid. Batocera sp. (a), Raphipodus sp. (b) Kumbang cerambycid mudah dikenali karena mempunyai antena sangat panjang. Kumbang betina memiliki panjang antena kurang lebih sepanjang tubuhnya (Gambar 2a) sedangkan kumbang jantan sekitar 2 kali atau lebih dari panjang tubuhnya (Gambar 2c). Bentuk tubuh silindris dengan panjang 2-60 mm (Gambar 2b). Mata umumnya menakik (notched), seolah-olah mata mengelilingi pangkal antena (Gambar 2d). Jumlah ruas tarsi (formula) terlihat 4-4-4, tetapi sebenarnya 5-5-5, karena ruas ke 4 sangat kecil dan tersembunyi. Kumbang
5
Cerambycidae mirip dengan kumbang Chrysomelidae dengan formula tarsalnya sama, tetapi pada kumbang Chrysomelidae memiliki antena yang lebih pendek, tubuh yang lebih oval, dan mata yang tidak bertakik (Gambar 2) (Noerdjito et al. 2011).
a 1 cm
c b Sumber : Fahri 1 cm Sumber : Fahri
d Sumber : Fahri
Gambar 2
5 mm Sumber : Fotini
e Ciri-ciri Kumbang cerambycid. Antena Cacia picticornis jantan (a), Antena Epepeotes luscus jantan (b), Antena Cacia picticornis betina (c), Mata bertakik (d), Mandibel larva (e)
Kumbang cerambycid sebagian besar diketahui sebagai pemakan nektar, pucuk daun, dan kulit kayu. Telur kumbang cerambycid diletakkan oleh betina dengan menusukkan ovipositornya pada bagian kayu yang lunak atau bagian luka bekas serangan hewan lain, di celah kulit kayu di pangkal cabang, atau tepat di bawah cabang yang terpotong (Noerdjito et al. 2011). Larva dari kumbang cerambycid menghabiskan waktu hidupnya sebagai penggerek kayu. Beberapa spesies diketahui sebagai perusak kayu di hutan, pohon buah-buahan, kayu tebangan baru, batang pohon serta cabang yang mati, membusuk dan sangat kering. Beberapa spesies kumbang cerambycid yang mampu menggerek kayu hidup atau tumbuhan herba. Selain itu, larva cerambycid juga sering ditemukan di dalam bagian kayu gubal dan pembuluh kayu. Larva cerambycid ditemukan di dalam kayu gubal karena larva tersebut masuk dengan cara memakan atau menggerek batang pada tanaman (seedling). Larva cerambycid masuk ke dalam pembuluh xilem dengan cara menggerek, yang sering menghasilkan bekas gerekan berupa saluran yang melingkar (Noerdjito et al. 2011). Sebagian besar kumbang cerambycid, baik dewasa maupun larva yang berukuran besar, dapat masuk, menggerek atau mengebor batang kayu, sedangkan spesies yang kecil menggerek ranting dan cabang pohon (Makihara 1999). Beberapa spesies cerambycid diketahui mengebor batang bambu dan rerumputan (Famili Gramineae) (Noerdjito et al. 2005). Kumbang pemakan bahan organik yang membusuk, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan atau tinja dapat membantu mengurai menjadi zat yang lebih sederhana yang dikembalikan lagi ke tanah. Kumbang kayu pembuat lorong dalam kayu adalah agen-agen yang penting dalam
6
mempercepat proses penguraian menjadi bahan organik. Terowongan-terowongan tersebut digunakan sebagai jalan pintu masuk bagi jamur dan organisme pembusuk lain yang mempercepat penguraian kayu (Borror et al. 1989). Beberapa spesies kumbang cerambycid hanya ditemukan di hutan, dan beberapa spesies ditemukan di kawasan terbuka atau hutan terganggu (penebangan, perubahan fungsi kawasan menjadi sistem agroforestri) dan kebakaran. Struktur komunitas kumbang cerambycid di setiap tipe habitat adalah khas, sehingga kelompok kumbang ini dapat digunakan sebagai indikator perubahan lingkungan (Noerdjito et al. 2009). Noerdjito (2008), melaporkan bahwa kumbang cerambycid dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam menentukan status atau keadaan suatu kawasan. Cerambycid juga menjadi hama yang menyerang beberapa bagian termasuk akar, batang, ranting, cabang, bunga dan perbungaan. Kumbang cerambycid menjadi hama hutan dan pohon rindang, semak, kayu mentah produk, dan sebagai vektor penyakit pohon (Hanks et al. 1998). Selain itu, Asogwa et al. (2009) melaporkan Plocaederus ferrugineus menjadi hama pada tanaman Jambu mete.
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012-April 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan November 2012-Desember 2012. Penelitian dilakukan di lahan perkebunan masyarakat yang terletak di desa Bungku, Pompa Air, Sungkai dan Singkawang, dan hutan karet bekas tebangan yang terletak di desa Bungku dan Singkawang Kecamatan Bejubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi (Gambar 3). Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada perbedaan tingkat penggunaan lahan, yaitu areal hutan karet, kebun karet, kebun kelapa sawit, dan hutan karet bekas tebangan. Deskripsi dari masing lokasi penelitian ialah sebagai berikut : a. Areal hutan karet merupakan plot dengan tanaman polikultur yang memiliki banyak serasah, ranting, cabang lapuk dan pohon tumbang yang telah melapuk. Selain itu, hutan karet memiliki penutupan tajuk yang tinggi karena selain tidak memperhatikan jarak tanam juga terdapat pohon-pohon besar selain karet dan semak belukar (Gambar 4.a). b. Kebun karet merupakan plot dengan tanaman monokultur yaitu karet (Havea braziliznsis). Di kebun karet juga masih didapatkan ranting dan beberapa tanaman karet yang telah roboh dan melapuk (Gambar 4.b). c. Kebun sawit (Elaeis sp.) juga merupakan kebun monokultur dan terdapat bekas pangkasan pelepah kelapa sawit di sekitar kebun (Gambar 4.c). d. Hutan karet bekas tebangan awalnya hutan polikultur kemudian dilakukan penebangan sekitar setahun sebelum dilakukan penelitian (Gambar 4.d). Hutan karet, kebun karet, kebun sawit, berusia lebih dari 10 tahun. Hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit terdapat di empat desa (Bungku, Pompa Air, Sungkai, dan Singkawang), dan khusus untuk hutan karet bekas tebangan,
7
digunakan 2 plot yang berada di desa Bungku dan 2 plot di desa Singkawang (Gambar 3). Di setiap lokasi penelitian ditentukan 4 plot pengambilan sampel dengan ukuran 70 x 50 m.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian. HJ: Hutan karet, HR : Kebun karett, HO : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan.
Pengumpulan Spesimen Kumbang Kumbang cerambycid dikumpulkan dengan menggunakan perangkap cahaya (light trap) dan perangkap cabang tumbuhan nangka. Perangkap cahaya ialah perangkap lampu (160 watt sebanyak 2 bohlam) yang dipasangkan didepan layar putih dengan ukuran 2 x 2 m (Gambar 5a). Waktu pemasangan perangkap cahaya disetiap lokasi mulai pukul 19.00-01.00 WIB selama 2 malam berturutturut. Koleksi sampel dilakukan dengan mengarahkan mulut botol pembius (telah diberi ethyl acetat) ke kumbang cerambycid yang telah hinggap di layar (Gambar 5d). Perangkap cabang tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus) juga disebut Artocarpus trap (Gambar 5.b) (Noerdjito 2008). Perangkap cabang ialah perangkap atau umpan berupa cabang berdaun segar yang diikatkan pada pohon. Di setiap lokasi dipasang sebanyak 12 perangkap. Koleksi sampel dilakukan dengan menggoyang atau memukul perangkap dengan penadah di bawahnya yang dilakukan setiap 3 hari sampai daun dalam perangkap rontok Gambar 5c). Kumbang cerambycid yang telah terjatuh ke penadah kemudian dimasukan ke dalam botol pembunuh. Kumbang cerambycid yang telah dibius menggunakan ethyl acetat dicatat spesies dan jumlah individunya, dan disimpan dalam kertas papilot (koleksi kering). Penadah yang digunakan ialah layar putih dengan ukuran 100 x 100 cm dan pemukul dengan panjang 100 cm (Gambar 5c). Di setiap lokasi
8
dilakukan koleksi kumbang cerambycid sebanyak 5 kali setiap 3 hari. Masingmasing waktu koleksi ialah hari ke-4, hari ke-7, hari ke-10, hari ke-13, hari ke-16 setelah pemasangan perangkap. Setiap koleksi dilakukan penghitungan spesies dan individu dan di pisahkan menurut waktu dan lokasi koleksi.
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 4. Lokasi penelitian di empat tipe penggunaan lahan: hutan karet (a), kebun karet (b), kebun sawit (c), dan hutan karet bekas tebangan (d)
9
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Perangkap cahaya (a), perangkap cabang (b), koleksi cerambycid dari perangkap cabang (c), dan koleksi kumbang cerambycid dari perangkap cahaya (d) Preservasi dan Identifikasi spesiman kumbang Untuk mempermudah proses identifikasi, terlebih dahulu dilakukan proses pinning dan labelling cerambycid mengikuti prosedur yang dilakukan di Laboratorium Entomologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) Cibinong. Pinning serangga dilakukan dengan cara menusukkan jarum serangga ke bagian elitra sebelah kanan untuk cerambycid yang berukuran lebih dari 10 mm. Jarum serangga disesuaikan dengan ukuran tubuh, semakin besar ukuran tubuh cerambycid maka semakin besar jarum yang digunakan. Untuk cerambycid yang berukuran kurang dari 10 mm dilakukan penempelan pada point (kertas segitiga memanjang dengan panjan 8-10 mm dan lebar 3-4 mm). Penggunaan point dilakukan dengan cara menyentuhkan lem (perekat) pada ujung point kemudian disentuhkan ke bagian abdomen sebelah kiri dengan kepala menghadap depan. Setelah pinning dilakukan, dilanjutkan dengan proses labelling sebagai data lokasi, tanggal, bulan, tahun, metode koleksi dan nama kolektor. Spesimen kumbang dimasukan ke dalam oven selama 1 minggu dan setelah itu dimasukan ke dalam freezer selama 1 minggu dan kemudian dimasukan ke dalam ruang koleksi untuk proses identifikasi. Spesimen kumbang diidentifikasi di Laboratorium Entomologi, LIPI Cibinong, berdasarkan Makihara (1999), Makihara et al. (2002), Makihara & Noerdjito (2004), Samuelson (1965), Heffern (2011). Spesimen yang telah diidentifikasi diverifikasi di Museum Serangga LIPI Cibinong.
10
Analisis Data Spesies kumbang cerambycid yang ditemukan dideskripsikan berdasarkan ciri-ciri morfologi dan dihitung jumlah individu (N), dan jumlah spesiesnya (S). Struktur komunitas kumbang cerambycid dihitung nilai keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), dan nilai kemerataan Evenness (E) (Magguran 1987). Analisis indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan nilai kemerataan spesies digunakan program Primer (Plymouth Routines In Multivariate Ecological Research) 5 for Windows. Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Indeks keanekaragaman spesies (H’) = Indeks kemerataan spesies (E ) = H/ln S Keterangan : pi = proporsi tiap spesies; ln = logaritme natural (bilangan alami); S = jumlah spesies Komposisi spesies kumbang cerambycid pada setiap tipe habitat dianalisis dengan indeks kesamaan Bray-Curtis (Bray and Curtis 1957). Data yang digunakan adalah data spesies dan kelimpahan spesies pada masing-masing habitat (Cheng 2004). Rumus yang digunakan ialah : B= Indeks kesamaan Bray-Curtis dihitung menggunakan program Primer versi 5 for Windows. Hasil perhitungan indeks kesamaan Bray-Curtis dibuat dalam bentuk matriks yang selanjutnya digunakan untuk membuat dendogram kesamaan antar komunitas kumbang cerambycid.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid Total individu kumbang cerambycid dewasa yang dikoleksi dengan perangkap Artocarpus sebanyak 1274 individu, yang termasuk dalam 24 genus dan 72 spesies (Tabel 2).
(a)
(b)
Gambar 6. Persentase jumlah spesies (a) dan individu (b) cerambycid. Ket : HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan
11
Tabel 2. Jumlah spesies cerambycid pada setiap lokasi penelitian. HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan
12
Penggunaan perangkap cahaya mulai pukul 19.00-01.00 WIB, tidak mendapatkan kumbang cerambycid. Jumlah spesies yang tertangkap dengan menggunakan perangkap Artocarpus dari hutan karet lebih tinggi yaitu 42 spesies (35%), kebun karet 39 spesies (30%), hutan karet bekas tebangan 28 spesies (22%), dan kebun sawit dengan jumlah spesies terendah yaitu 16 spesies (13%) (Gambar 6.a). Jumlah individu di hutan karet bekas tebangan lebih tinggi yaitu 481 individu (38%), kemudian kebun karet 313 individu (24%), kebun sawit 253 individu dan hutan karet yang memiliki jumlah individu terendah yaitu 227 individu (20%) (Gambar 6.b).
13
Gambar 7. Cerambycid yang terkoleksi di Prov. Jambi. Trachelophora cervicollis (1), Acalolepta ructicatrix (2), Acalolepta unicolor (3), Acalolepta dispar (4), Acalolepta bicolor (5), Acalolepta sp1. (6), Epepeotes luscus (7), Epepeotes spinosus (8), Metopides occipitalis (9), Cacia picticornis (10), Coptops lichenea (11), Coptops undulata (12)
14
Gambar 7. Cerambycid yang terkoleksi di Prov. Jambi. Batocera sp (g), Clyzomedus annularis (h), Gnoma sticticollis (i), Imantocera plumosa (j), Apomecyna longicollis (k), Atimura bacillina (l), Ropica marmorata (m1), Ropica borneotica (m2), Ropica honesta (m3), Ropica illiterata (m4), Ropica sp1 (m5), Ropica sp2 (m6), Ropica sp3 (m7), Ropica sp4 (m8), Ropica sp5 (m9), Ropica sp6 (m10), Ropica sp7 (m11), Ropica sp8 (m12)
15
Gambar 8. Cerambycid yang terkoleksi di Prov. Sybra vitticollis (n1), Sybra lateralis (n2),Sybra propinqua (n3), Sybra fervida (n4), Sybra borneotica (n5), Sybra pseudalternans (n6), Sybra sp1 (n7), Sybra sp2 (n8), Sybra sp3 (n9), Sybra sp4 (n10), Sybra sp5 (n11), Sybra sp6 (12), Sybra sp7 (13), Sybra sp8 (14), Sybra sp9 (15), Zorilispe seriepuntata (o), Xenolea tomentosa (p), Moechotypa thoracica (q)
16
Gambar 8. Cerambycid yang terkoleksi di Prov. Nyctimenius varicornis (r), Egesina albolineata (s1), Egesina sp1 (s2), Egesina sp2 (s3), Egesina sp3 (s4), Egesina sp4 (s5), Egesina sp5 (s6), Pterolophia melanura (t1), Pterolophia crassipes (t2), Pterolophia fractilinea (t3), Pterolophia secuta (t4), Pterolophia propinqua (t5), Pterolophia sp1 (t6), Pterolophia sp2 (t7), Pterolophia sp3 (t8), Pterolophia sp4 (t9), Pterolophia sp5 (t10), Pterolophia sp6 (t11), Pterolophia sp7 (t12)
17
Gambar 8. Cerambycid yang terkoleksi di Prov. Exocentrus rufohumeralis (u1), Exocentrus sp (u2), Rondibilis spinosus (v), Glena sp1 (w), Obera denominata (x)
Komposisi spesies kumbang Cerambycidae yang ditemukan dengan menggunakan Artocarpus trap pada empat penggunaan lahan bervariasi. Beberapa spesies spesifik ditemukan pada satu tipe habitat, namun beberapa spesies yang terdistribusi di seluruh habitat. Dari total 72 spesies yang ditemukan, 16 spesies hanya di temukan di hutan karet yaitu Trachelophora cervicollis, Metopides occipitalis, Gnoma sticticollis, Apomecyna longicollis, Ropica sp1., Ropica sp2., Ropica sp3., Ropica sp8., Sybra sp3., Sybra sp4., Sybra. sp7., Egesina sp2., Egesina sp3., Egesina sp4., Exocentrus rufohumeralis, dan Exocentrus sp1. Sebelas spesies hanya ditemukan di kebun karet yaitu Acalolepta bicolor, Acalolepta sp1., Batocera sp., Cacia sp1., Sybra sp5., Moechotypa thoracica, Egesina sp1., Pterolophia secuta, Pterolophia sp5., Pterolophia sp7., dan Glena sp1. Dua spesies hanya ditemukan di kebun kelapa sawit, yaitu Sybra sp.5 dan Obera denominata. Sembilan spesies hanya ditemukan di hutan karet bekas tebangan, yaitu Clyzomedus annularis, Ropica honesta, Ropica sp7., Sybra borneotica, Sybra pseudalternans, Sybra sp6., dan Sybra sp9., Pterolophia propinqua, Rondibilis spinosus. Tiga genus yang dominan ialah genus Ropica (11 spesies), Sybra (16 spesies), dan Pterolophia (12 spesies) (Tabel 2). Jumlah spesies tertinggi (42 spesies) terdapat pada habitat hutan karet dan jumlah spesies terendah (16 spesies) terdapat pada kebun sawit. Di hutan karet bekas tebangan dan kebun karet masing-masing berjumlah 28 spesies dan 39 spesies. Kelimpahan individu tertinggi (481 individu) terdapat pada hutan karet bekas tebangan dan kelimpahan individu terendah (228 individu) terdapat pada hutan karet. Kebun sawit dan kebun karet berjumlah masing-masing 253 individu dan 313 individu (Tabel 2).
18
Keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang cerambycid lebih tinggi pada habitat hutan karet (H’=3,23; E=0,87), pada habitat ini memiliki kelimpahan individu paling sedikit (228 individu). Keanekaragaman spesies terendah ditemukan di kebun sawit (H’=2,01). Nilai kemerataan terendah (E=0,71) ditemukan pada habitat hutan karet bekas tebangan. Di habitat hutan karet bekas tebangan memiliki kelimpahan individu yang tinggi (481 individu). Keanekaragaman cerambycid di habitat kebun karet dan hutan tebangan relatif sama (H’=2,67 dan H’=2,38). Kemerataan spesies kebun karet dan kebun sawit relatif sama (E=0,72) (Gambar 8).
Gambar 8. Nilai kemerataan dan keanekaragaman kumbang cerambycid. Hutan karet (HK), kebun karet (KK), kebun sawit (KS) dan hutan karet bekas tebangan (HT). E: Kemerataan Evennes, H’: Keanekaragaman Shannon-Wiener. Analisis kesamaan komunitas kumbang cerambycid berdasarkan indeks kesamaan Bray-Curtis menunjukan bahwa nilai kesamaan spesies antar habitat berkisar antara 34.796-51.249. Kesamaan komunitas antara hutan karet dan kebun karet memiliki nilai yang tinggi (50.005). Kesamaan spesies antara hutan karet dengan hutan tebangan memiliki nilai terendah (34.796). Kesamaan spesies antara hutan karet dengan kebun sawit ialah 35.264. Nilai kesamaan spesies tertinggi terdapat antara habitat kebun karet dengan hutan tebangan (51.249) (Tabel 3). Tabel 3. Matriks kesamaan komunitas Bray-Curtis. HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan
HK KK KS HT
HK
KK
KS
50.005 35.264 34.796
43.467 51.249
42.409
HT
19
Dendogram nilai kesamaan spesies cerambycid berdasarkan indeks kesamaan Bray-Curtis, diketahui terdapat tiga kelompok kesamaan komunitas, yaitu hutan karet, kebun sawit ,dan kebun karet-hutan karet bekas tebangan (Gambar 9). Hutan-karet bekas tebangan
Kebun karet
Kebun sawit
Hutan karet
20
40
60
80
100
Gambar 9. Dendogram kesamaan komunitas kumbang Cerambycidae. HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan. Jumlah individu cerambycid berdasarkan waktu pengambilan Koleksi kumbang cerambycid dilakukan sebanyak 5 kali setelah pemasangan Artocarpus trap pada hari pertama. Pengambilan sampel dilakukan pada hari ke 4, hari ke-7, hari ke 10, hari ke-13, dan hari ke-16 setelah pemasangan perangkap. Jumlah koleksi spesies cerambycid pada pengambilan pertama (hari ke-4) di hutan karet, kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan lebih rendah (20; 21; 9; 9) jika dibandingkan dengan pengambilan ke-2 (hari ke-7) (32; 37; 13; 27). Secara umum jumlah koleksi spesies pada pengambilan ke-2 merupakan jumlah tertinggi. Koleksi spesies pada pengambilan ke-3 (24; 15; 9; 14), pengambilan ke-4 (16; 9; 4; 5), dan pengambilan ke-5 (7; 3; 3; 7) mengalami penurunan (Gambar 10). Jumlah koleksi individu cerambycid yang tertangkap pada pengambilan pertama (hari ke-4) di hutan karet, kebun karet, kebun sawit dan hutan karet bekas tebangan (42; 72; 83; 71). Sama halnya dengan jumlah koleksi spesies, terjadi peningkatan jumlah individu pada pengambilan ke-2 (hari ke-7). Koleksi individu pada pengambilan ke-3, pengambilan ke-4 dan pengambilan ke-5 terjadi penurunan (58;51;43;130), (33; 16; 13; 28), dan (9; 8; 6; 23). Secara umum, koleksi ke-2 (hari ke-7) merupakan koleksi dengan jumlah terbanyak baik spesies maupun individu. Jumlah spesies dan individu paling sedikit terdapat di koleksi ke-5 (hari ke-16) (Gambar 11).
20
Gambar 10. Jumlah spesies kumbang cerambycid pada lima pengambilan. HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan
Gambar 11. Jumlah individu kumbang cerambycid pada lima pengambilan. HK : Hutan karet, KK : Kebun karet, KS : Kebun sawit, HT : Hutan karet bekas tebangan.
21
PEMBAHASAN
Kumbang cerambycid yang dikoleksi di empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi termasuk dalam satu subfamili, yaitu Lamiinae. Secara umum, Lamiinae merupakan subfamili yang beragam, memiliki beberapa tribe dan genus dengan banyak variasi warna dan ukuran. Heffern (2013), melaporkan 22 tribe dari Borneo yaitu Tribe Xylorhizini, Homonoeini, Gyaritini, Morimopsini, Monochamini, Mesosini, Ancylonotini, Dorcaschematini, Apomecynini, Eunidiini, Agapanthiini, Ceroplesini, Nyctimeniini, Hyborhabdini, Pteropliini, Rhodopinini, Acanthocinini, Pogonocherini, Astathini, Saperdini, Obereini, dan Phytoeciini. Beberapa spesies Lamiinae berukuran tubuh besar, spesies lain memiliki antena panjang, atau tungkai pendek. Karakteristik umum dari kumbang Lamiinae ialah memiliki wajah yang datar (Ponpinij et al. 2011). Seluruh spesies cerambycid yang ditemukan di empat tipe lahan di Prov. Jambi dikoleksi dengan perangkap Artocarpus. Penggunaan perangkap light trap tidak efektif untuk cerambycid. Hal tersebut disebabkan karena waktu penelitian merupakan bulan basah (musim hujan). Hujan yang terjadi di empat lahan penelitian sebagian besar terjadi dimalam hari seiring dengan waktu pemasangan light trap. Kumbang cerambycid yang ditemukan di Provinsi Jambi termasuk dalam 12 tribe dan 24 genus. Ke 12 tribe dan 24 genus tersebut ialah Homonoeini (genus Trachelophora), Monochamini (genus Acalolepta), Batocerini (genus Batocera), Mesosini (genus Cacia, Clyzomedus, Coptops), Gnomini (genus Gnoma, Imantocera), Apomecynini (genus Apomecyna, Atimura, Ropica, Sybra, Zorilispe), Xenoleini (genus Xenolea), Hecyrini (genus Moechotypa), Nyctimeniini (genus Nyctimenius), Pteropliini (genus Egesina, Pterolophia), Acanthocinini (genus Exocentrus, Rondibilis) dan Saperdini (genus Glenea dan Oberea). Spesies kumbang cerambycid yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan beberapa hasil penelitian di luar pulau Sumatera. Dari 72 spesies yang ditemukan di provinsi Jambi, 10 spesies diantaranya ditemukan di Borneo, yaitu Trachelophora curvicollis, Acalolepta unicolor, Cacia picticornis, Ropica marmorata, Ropica borneotica, Sybra fervida, Sybra borneotica, Pterolophia fractilinea, Pterolophia propinqua, dan Oberea denominata. Tiga spesies cerambycid pernah ditemukan di Borneo dan Sumatera, yaitu Atimura bacillina, Ropica illiterata, Exocentrus rufohumeralis. Satu spesies terdistribusi di Borneo dan Malaysia (bagian barat), yaitu Acalolepta bicolor dan satu spesies terdistribusi di Borneo dan Sulawesi yaitu Sybra pseudalternans (Heffern 2013). Tiga spesies memiliki distribusi yang lebih luas, yaitu Acalolepta rusticatrix dengan penyebaran di Borneo, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Filipina, Taiwan, Asia Tenggara, dan India. Spesies Ropica honesta yang tersebar di Borneo, Sumatra, Jawa, Papua Nugini, Filipina, Asia Tenggara, Taiwan, dan Cina. Spesies Xenolea tomentosa tersebar di Borneo, Sumatra, Malaysia bagian barat, Andaman, Jepang; Taiwan; dan Cina (Samuelson 1965 dan Heffern 2013). Tiga genus yang dominan ialah genus Ropica (11 spesies) Sybra (16 spesies), dan Pterolophia (12 spesies). Genus tersebut merupakan cerambycid dengan ukuran tubuh kecil yaitu 8-1,8 mm. Larva cerambycid ukuran tubuh kecil
22
mampu hidup di cabang atau ranting kecil. Kvamme dan Wallin (2011), melaporkan kumbang Stenostola ferrea (Tribe Saperdini) dengan ukuran tubuh 814 mm menyukai tanaman Tilia spp. sebagai host plant. Tanaman Tilia spp. yang dijadikan host plant S. ferrea memiliki diameter cabang dan ranting mulai dari 120 cm. Pada habitat hutan karet, kemerataan dan keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan dengan kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan (Tabel 1). Hal tersebut terjadi karena hutan karet memiliki ranting, cabang dan kayu lapuk yang merupakan habitat penting larva kumbang cerambycid. Hal ini sesuai dengan laporan Fellin (1980), bahwa kumbang cerambycid memakan tanaman mati atau kayu mati dan memainkan peran penting dalam pelapukan kayu mati. Karakteristik hutan-karet tebangan yang sama dengan kebun karet, diantaranya memiliki banyak ranting lapuk, pohon tumbang yang melapuk dan tutupan tajuk yang sempit atau tidak memiliki tutupan tajuk. Ranting-ranting dan cabang pohon memperkaya total kayu yang lapuk. Nilai kesamaan komunitas cerambycid antara kebun karet dan hutan-karet tebangan lebih tinggi (51,249) jika dibandingkan dengan kesamaan komunitas pada habitat lain. Karakteristik hutankaret diantaranya memiliki ranting dan kayu lapuk dan tutupan tajuk yang rapat. Kondisi ini sangat mendukung kehadiran spesies cerambycid. Vegetasi di hutan karet masih tergolong polikultur dengan intensitas gangguan yang cukup rendah, karena tidak dilakukan perawatan, penjarangan, dan penyiangan. Ranting atau cabang serta pohon lapuk yang tidak dibersihkan merupakan habitat yang sesuai bagi kumbang cerambycid. Berbeda dengan hutan-karet, jumlah spesies yang ditemukan di kebun karet lebih sedikit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena daerah ini didominasi oleh tegakan karet (Hevea braziliensis) dengan intesitas gangguan cukup tinggi. Tingginya nilai kesamaan cerambycid antara hutan-keret dan kebun karet tersebut diduga kuat akibat kesamaan dominansi tegakan dan karakter lantai hutan di kedua habitat tersebut. Kehadiran spesies dan jumlah individu yang berbeda pada masing-masing tipe penggunaan lahan mengindikasikan batas toleransi dan kebutuhan setiap spesies terhadap kondisi habitat. Hal tersebut terjadi karena kehidupan kumbang cerambycid sangat tergantung pada pepohonan. Kehadiran kumbang dapat digunakan sebagai salah satu indikator biologi dari suatu kawasan hutan. Hal ini sesuai dengan Yanega (1996) dan Noerdjito et al. (2003) yang melaporkan kumbang cerambycid memiliki ketergantungan terhadap kayu mati dan sensitif dengan kondisi hutan. Kehadiran kumbang cerambycid pada beberapa pengambilan menunjukan variasi jumlah spesies dan jumlah individu. Variasi ini dipengaruhi oleh perangkap dan kondisi habitat. Penggunaan perangkap light trap tidak efektif dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan karena cerambycid yang mendominasi di empat tipe lahan yaitu subfamili Lamiinae. Subfamili Lamiinae umumnya merupakan cerambycid yang menyukai ranting dan cabang mati. Perangkap Artocarpus merupakan perangkap yang baik dan efektif untuk koleksi kumbang cerambycid (Noerdjito et al. 2003). Kehadiran kumbang cerambycid pada perangkap Artocarpus seiring dengan waktu layu daun. Pada pengambilan hari ke-4 daun perangkap belum layu, kemudian pada pengambilan hari ke-7 daun perangkap telah layu. Hal tersebut menyebabkan jumlah spesies dan jumlah
23
individu sangat tinggi jika dibandingkan dengan pengambilan sebelum dan sesudah pengambilan hari ke-7. Pada pengambilan hari ke-10, ke-13, dan ke-16 daun perangkap yang telah layu dan perlahan-lahan mengalami kerontokan dan hanya tersisa ranting Artocarpus. Kondisi tersebut kurang mendukung kehadiran kumbang cerambycid. Hawkeswood dan Dauber 1992 melaporkan kumbang Gnoma boisduvali tertarik pada getah di cabang yang sekarat atau pohon yang terluka. Gosling DCL dan Gosling NM (1977) melaporkan bahwa kumbang genus Monochamus dikoleksi dari batang pinus yang baru saja mati. Selain itu, Hanks (1999) melaporkan bahwa kumbang Monochamus tidak berkembang biak di pohon yang sehat, namun tertarik pada pohon yang sedang dalam proses pelapukan atau pohon yang baru ditebang untuk bertelur.
SIMPULAN
Kumbang cerambycid yang ditemukan di empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi berjumlah 72 spesies. Jumlah spesies cerambycid di hutan karet dan kebun karet lebih tinggi dibandingkan dengan hutan karet bekas tebangan dan kebun sawit. Beberapa genus dominan yang ditemukan di empat tipe penggunaan lahan yaitu Ropica (11 spesies), Sybra (16 spesies), Pterolophia (12 spesies). Keanekaragaman tertinggi terdapat pada hutan karet, diikuti oleh kebun karet, hutan karet bekas tebangan, dan kebun sawit. Kesamaan komunitas tertinggi terdapat antara kebun karet dengan hutan karet bekas tebangan, diikuti oleh antara hutan karet dengan kebun karet, kebun karet dengan kebun sawit, hutan karet dengan kebun sawit, dan antara hutan karet dengan hutan karet bekas tebangan. Jumlah spesies dan individu cerambycid tertinggi ditemukan pada pengambilan hari ke-7 setelah pemasangan perangkap. Dalam penelitian ini, habitat hutan karet merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan kumbang cerambycid dibandingkan dengan habitat kebun karet, kebun sawit, dan hutan karet bekas tebangan. Hal tersebut disebabkan karena secara kualitatif habitat hutan karet memiliki ranting dan cabang bekas tebangan serta batang kayu yang melapuk yang menjadi habitat yang baik untuk kumbang cerambycidae.
24
DAFTAR PUSTAKA
Achard F, Eva HD, Stibig HJ, Mayaux P, Gallego J, Richards T, Malingreau JP. 2002. Determination of Deforestation Rates of the World’s Humid Tropical Forests. Science 297: 999-1002. Asogwa EU, Anikwe JC, Ndubuaku TCN and Okelana FA. 2009. Distribution and damage characteristics of an emerging insect pest of cashew, Plocaederus ferrugineus L. (Coleoptera: Cerambycidae) In Nigeria: A preliminary Report. Afr J Biotechnol 8: 53-58. Afrika Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. 2002. Luas Kawasan dan Penutupan Lahan Dirinci Tiap Kabupaten di Wilayah Provinsi Jambi (UPTD-BIPHUT) Provinsi Jambi. Baur B, Zschokke S, Coray A, Schläpfer M, Erhardt A. 2002. Habitat characteristics of the endangered flightless beetle Dorcadion fuliginator (Coleopter: Cerambycidae): implications for conservation. Biol Conserv 105: 133–142. Baur B, Coray A, Minoretti N, Zschokke S. 2005. Dispersal of the endangered flightless beetle Dorcadion fuliginator (Coleoptera: Cerambycidae) in spatially realistic landscapes. Biol Conserv 124: 49–61. Bray JR, Curtis JT. 1957. An Ordination of the Upland Forest Communities of Southern Wisconsin. Ecol Monographs 27: 325-349. Cardillo M. 2006. Disappearing Forest and Biodiversity Loss: Which Area Should we Protect?. I Forest Rev 8: 251-255. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. 2008. Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaaan Hutan Produksi (RB-KPHP) Provinsi Jambi. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Fellin DG. 1980. A review of some interactions between harvesting, residue management, fire, and forest insects and diseases. In Environmental consequences of timber harvesting in Rocky Mountain coniferous forests, symposium proceedings. General Technical Report INT-90. Ogden (US). Department of Agriculture, Forest Service. Forsythe TG. 1987. The relationship between body form and habit in some Carabidae (Coleoptera). J Zool Soc London 211: 643-666. Forest Watch Indonesia [FWI]. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia periode tahun 2000-2009. Bogor. Indonesia. Fotini K. 2007. Biologie et phylogeographie de Monochamus galloprovincialis (Coleoptera, Cerambycidae) vecteur du nematode du pin En Europe. Universite D'Orleans. Gosling DCL, Gosling NM. 1977. The Great Lakes Entomologist: An Annotated List of the Cerambycidae of Michigan (Coleoptera) Part 11, The Subfamilies Lepturinae and Lamiinae. Michigan (US): Michigan Entomological Society. Grove SJ. 2002. Saproxylic insect ecology and the sustainable management of forests. Annu Rev Ecol Syst 33: 1-23.
25
Hanks, L. M.; Millar, J. G. & Paine, T. D. 1998. Dispersal of the Eucalyptus Longhorned Borer (Coleoptera: Cerambycidae) in Urban Landscapes. Environmental Entomology 27: 1418-1424. Hawkeswood TJ, Dauber D. 1992. Review of the biology, distribution and taxonomic history of Gnoma boisduvali Plavilstshikov, a longicorn beetle from the rainforests of Papua New guinea and Irian Jaya. Spixiana 15: 253260. Heffern DJ. 2013. A Catalog and Bibliography of Longhorned Beetles from Borneo (Coleoptera: Cerambycidae, Disteniidae and Vesperidae) [bibliografi]. Electronic Version, 2013.1. Hoekstra JM, Boucher TM, Ricketts TH, Roberts C. 2005. Confronting a biome crisis: Global Disparities of Habitat Loss and Protection. Ecol Lett 8: 23-29. Janzen DH. 1987. Insect diversity of a Costa Rican dry forest: why keep it and how. Biol J Linn Soc 30: 343-356. Kissinger G, Herold M, Desy V. 2012. Driver of Deforestation and Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Vancouver: Canada (CA). Kra KD, Mamadou D, Klimaszewski J, Mamadou D, Daouda A. 2009. Soil/lLitter Beetle Abundance and Diversity Along a Land Use Gradient in Tropical Africa (Oumé, Ivory Coast). Sci Nat 6:139-147. Kvamme T, Wallin H. 2011. The genus Stenostola Dejean, 1835 (Coleoptera, Cerambycidae) in Norway, with a review of the biology and the distribution in Fennoscandia. Nor J Entomol 58: 93–108. Lawrence JF, Britton EB. 1991. The Insects of Australia. Melbourne (AU): Melbourne University Press. Lövei GL, Sunderland KD. 1996. Ecology and behavior of ground beetles (Coleoptera: Carabidae). Annu Rev Entomol 41: 231-256. Luttrell C, Obidzinski K, Brockhaus M, Muharrom E, Petkova E, Wardel A, Halperin J. 2011. Lesson for REDD+ from measures to control illegal logging in Indonesia. Jakarta (ID): United Nation Office on Drug and Crime and Center for International Forestry Research. Magurran AE. 2004. Measuring Biologycal Diversity. New Jersey (US): Blackwell Publishing. Makihara H. 1999. Atlas of longicorn beetles in Bukit Soeharto Education Forest, Mulawarman University, East Kalimantan, Indonesia. Pusrehut Special Publication 7: 1-40. Makihara H, Noerdjito WA. 2002. Longicorn Beetles From Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia from 1997-2002 (Coleoptera, Disteniidae and Cerambycidae). Bulletin of the FFPRI 1: 189-223. Makihara H, Noerdjito WA. 2004. Longicorn Beetles of Museum Zoologicum Bogoriense, Idenfied by Dr. E.F. Gilmour, 1963 (Coleoptera: Distenidae and Cerambycidae). Bulletin of the FFPRI 31: 49-98. Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2003. How to find outindicated cerambycid spesies for forest condition status and case of Gunung halimun National Park, West Java and Bukit Bingkarai Forest, East kalimantan. Proc. Int, workshop on the landscape level rehabilitation of dgraded tropical Forest, 18-19 Feb. 2003, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp.57-60. Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2004. Differences and features of Cerambycid fauna with fragmen of primary, secondary and degraded forest
26
in landscape affected by human impacts and fire and disturbance, east Kalimantan, Indonesia. Proc. Int. Woekshop on the Landscape Level Rehabilitation of degraded Tropical Forests, 2-3 March 2004, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp. 63-73. Noerdjito WA, Makihara H, Matsumoto K. 2005. Longicorn beetle fauna (Coleoptera, Cerambycidae) collected from Friendship Forest at Sekaroh, Lombok. Proc. Int. Workshop on the Landscape Level Rehabilitation of degraded Tropical Forest, 22-23 February, 2005, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp. 55-64. Noerdjito WA. 2008. Community Structure of Long Horn Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in the Area of Mount Ciremai National Park. J Biol Indon 4: 371-384. Noerdjito WA. 2011. Evaluasi kondisi hutan berdasarkan keragaman kumbang sungut panjang (Coleoptera, Cerambycidae) di kawasan Gunung Slamet. Berita Biologi 4: 521-531. Packham JR, Harding DJL, Hilton GM, Stuttard RA. 1992. Functional ecology of woodlands and forests. London (GB): Chapman Hall. Perfecto I, Vandermer J, Hanson P, Cartin V. 1997. Arthropod biodiversity loss and the transformation of a tropical agro-ecosystem. Biodiv Conserv 6: 935945. Ponpinij S, Hormchan P, Rojanavongse V. 2011. Checklist of New Records of Subfamily Lamiinae (Coleoptera: Cerambycidae) in Northern Thailand. Kasetsart J (Nat Sci) 45:841-855. Primack R, Corlett R. 2005. Tropical Rain Forest. An Ecological and Biogeographical Comparison. Oxford (GB): Blackwell Publishing Samuelson GA. 1965. The Cerambycidae (Coleopt.) of the Ryukyu Archipelago II, Lamiinae. Pacific Insects 7: 82-130. Schulze, CH, Waltert M, Kessler PJA, Pitopang R, Shahabuddin, Veddeler D, Mühlenberg M,. Gradstein SR, Leuschner C, Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 2004. Biodiversity indicator groups of tropical land-use systems: Comparing plants, birds, and insects. Ecol. Appl. 14: 1321–1333. Siitonen J. 2001. Forest management, coarse woody debris and saproxylic organisms: Fennoscandian boreal forests as an example. Ecol Bull 49: 1142. Warriner MD, Nebeker TE, Leininger TD, Meadows JS. The effects of thinning on beetles (Coleoptera: Carabidae, Cerambycidae) in bottomland hardwood forests. Department of Entomology and Plant Pathology. Mississippi State (US): Mississippi State University. Yanega D. 1996. Field Guide to Northeastern Longhorned Beetles (Coleoptera: Cerambycidae). Illinois (US): Natural History Survey.
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Ogotumubu, Kec. Tomini Kab Parigi Moutong, Prov. Sulawesi Tengah pada tanggal 11 Februari 1988 dari pasangan Bapak Djafar Said Badjeber dan Ibu Salma SA Bouato. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tomini pada tahun 2005. Pendidikan sarjana di tempuh penulis di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako (UNTAD) dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi strata 2 (S2) di Mayor Biosains Hewan (BSH), Departemen Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh Program Pascasarjana, penulis mendapatkan program Beasiswa Unggulan Dikti (BU DIKTI) sebagai Calon Dosen. Publikasi Ilmiah penulis dengan judul “Diversity and Abundance of Cerambycid Beetles (Coleoptera : Cerambycidae) on the Four Types of Land Use in Jambi Province”) sementara di ajukan pada Hayati Journal of Bioscience.