KEANEKARAGAMAN VEGETASI DAN BIOMASSA PADA BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU
WOLFRAM YAHYA MOFU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Keanekaragaman Vegetasi dan Biomassa pada beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Septermber 2011 Wolfram Y. Mofu NRP: E451070051
ABSTRACK WOLFRAM YAHYA MOFU. Vegetation Diversity and Biomass of Certain Types of Peatland Use In Kepulauan Meranti Regency, Riau. Under academic supervision of ISTOMO and LAILAN SYAUFINA. The purpose of this study was to assess the diversity of vegetation and biomass on the three different peat land use types; natural forests, gardens, and industrial forest plantation of sago areas (HTI sago). The results showed that the composition of plant species for three growth rates, saplings, pole, and trees stages, ware different among three different peat land use types. The dominant species in natural forests were Shorea parvifolia, Shorea uliginosa, Baccaurea bracteata and Palaquium rostratum. In gardens, the dominant species are Metroxylon spp., Artocarpus sp., Palaquium ridleyi, and Alstonia spatulata Blume.; while in HTI sago areas, including Metroxylon spp, the presence of other species of forest vegetation were Ficus microcarpa, Combretocarpus rotundatus, Baccaurea bracteata and Palaquium rostratum. The higher diversity index of three different growth rates; saplings (2.75), pole (2.99) and trees (3.15) respectively, were only found in the natural forest. On the contrary, the lower diversity index of sapling stage (1.95) was in gardens and both the pole (0.77) and tree (0.44) were belonged to the HTI sago. Potential biomass of pole stages figured out the higher and the lower value were 359,01 ton ha-1 in HTI sago, 159,75 ton ha-1 in gardens and 67,79 ton ha-1 in natural forest, respectively. This trend also occurred nearly equal to the higher stages of trees and a lower value were 209.20 ton ha-1 in HTI sago, but the natural forest 161.13 ton ha-1 higher than the gardens, 107.22 ton ha-1, respectively. Keywords : Vegetation diversity, Dominant species, Biomass, Peatland use types.
RINGKASAN WOLFRAM YAHYA MOFU. Keanekaragaman Vegetasi Dan Biomassa Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Di bawah bimbingan ISTOMO dan LAILAN SYAUFINA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji keanekaragaman vegetasi dan biomassa atas permukaan pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu. Penelitian ini dilaksanakan di areal HPH PT. National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu (Sekarang PT. Sampoerna) di Kabupaten Kepulauan Meranti (sebelumnya Kab. Bengkalis) Provinsi Riau. Penelitian lapangan dan Laboratorium dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, dimulai pada bulan September sampai dengan bulan November 2008. Obyek penelitian ini adalah hutan gambut pada tiga komunitas hutan, yaitu Hutan Alam, Kebun Rakyat dan areal HTI Sagu. Pengambilan data analisis vegetasi dilakukan dengan cara jalur atau transek dan pembuatan petak contoh dilakukan secara purposive systematic sampling berdasarkan kerapatan tegakan dan tipe penggunaan lahan. Selanjutnya dibuat 5 buah petak contoh berukuran 20 m x 20 m pada masing-masing komunitas hutan. Pada setiap petak contoh dibuat sub petak contoh - sub petak contoh secara nested sampling dengan ukuran 20 m x 20 m, untuk tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang 5 m x 5 m untuk tingkat pancang. Analisis sifat-sifat tanah gambut dilakukan pengambilan contoh tanah setiap komunitas hutan di beberapa sub petak contoh yang selanjutnya tanah gambut dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah FakuItas Pertanian IPB. Untuk estimasi potensi biomassa dihitung berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon dan tiang yang memiliki diameter ≥ 10 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa komposisi jenis tumbuhan yang paling dominan di hutan alam adalah Shorea parvifolia, S. uliginosa, Combretocarpus rotundatus, Cratoxylum arborescens, Diospyros maingayi, Dipterocarpus sp, Baccaurea bracteata, Actinodaphne glabra. Pada areal kebun rakyat adalah Metroxylon sp., Macaranga semiglobosa, Alseodaphne umbelliflora, Antidesma punticulatum, Arthocarpus sp, Palaquium ridleyi dan Alstonia spatulata Blume. Dan untuk areal HTI dengan tanaman utama Metroxylon spp, kehadiran jenis tanaman hutan lainnya adalah B. bracteata, A. umbelliflora dan Macaranga semiglobosa Ficus microcarpa, P. rostratum, C. rotundatus. M. pruinosa dan M. semiglobosa. Jenis vegetasi hutan yang sama antara ketiga komunitas hutan adalah B. bracteata, A. umbelliflora, C. arborescens, P. rostratum. Kerapatan tingkat pancang berkisar antara 1.920 – 3.120 individu/ha, termasuk ke dalam klasifikasi tinggi, Sedangkan kerapatan tingkat tiang di dua komunitas berkisar 580 – 640 individu/ha termasuk klasifikasi sedang, kecuali pada kebun rakyat termasuk dalam kerapatan rendah, dan kerapatan tingkat pohon untuk semua komunitas termasuk klasifikasi rendah dengan kerapatan berkisar antara 155 - 225 individu/ha.
Keanekaragaman jenis tertinggi untuk semua tingkat pertumbuhan terlihat di hutan alam, yaitu pada tingkat pohon sebesar 3,15 tingkat tiang 2,99 dan pancang 2,75. Nilai keragaman terendah pada komunitas Areal HTI untuk tingkat pohon 0,44 dan tiang 0,77 sedangkan nilai terendah pada tingkat pancang terlihat pada komunitas kebun rakyat dengan nilai indeks 1,95. Kesamaan Komunitas antar komunitas hutan yang dibandingkan termaksud dalam klasifikasi rendah yaitu < 55%. Nilai indeks tingkat pancang 48,28% - 53,85%, tingkat tiang 15,38% - 26,67% dan tingkat pohon 6,90% 22,86%. Indeks kesamaan komunitas 53,85% adalah pada kebun rakyat dan areal HTI, sedangkan 6,90% adalah antara komunitas hutan alam dan areal HTI. Biomassa Hutan sangat dipengaruhi oleh kerapatan pohon dan diameter jenis-jenis dominan penyusun tegakan hutan. Hasil penelitian pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan rumus Allometrik (W = 0.0145D30.4659D2 + 30.64D – 263.32) menunjukan bahwa areal HTI merupakan tipe hutan dengan total kandungan biomassa tertinggi yaitu sebesar 568,22 ton ha-1 kemudian kebun rakyat 266,97 ton ha-1 dan hutan alam 228,92 ton ha-1. Kata kunci : Keragaman Vegetasi, Jenis Dominant, Biomassa, Penggunaan lahan gambut.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilidungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KEANEKARAGAMAN VEGETASI DAN BIOMASSA PADA BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU
WOLFRAM YAHYA MOFU
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop
Judul Tesis : Keanekaragaman Vegetasi dan Biomassa pada beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Nama
: Wolfram Yahya Mofu
NRP
: E451070051
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Istomo, MS Ketua
Diketahui
Plh. Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Noor Farikhah H, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 27 September 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Sorga atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis Keanekaragaman Vegetasi Dan Biomassa Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau dapat diselesaikan. Ungkapan rasa bahagia dengan penuh rasa hormat yang setinggi-tingginya, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Istomo, M.S dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. selaku pembimbing yang terus menerus memberikan bimbingan, arahan dan motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan penulisan ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan juga kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H.M. Hasjim Bintoro, M.Agr yang telah melibatkan penulis dalam kegiatan antara LPPM IPB dan Sekretariat Badan LITBANG Pertanian, DEPTAN pada tahun 2008 di Kabupaten Bengkalis, Riau. 2. Prof. Dr. Ir. Utomo K, MS, Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop dan Dr. Ir. Noor Farikhah H, M.S, selaku moderator seminar dan penguji luar komisi yang telah meluangkan waktu, memberikan saran dan masukan. 3. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA atas rekomendasi dan izin tugas belajar, serta seluruh civitas akademika UNIPA. 4. Kementerian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS 2007). 5. Pemerintah Daerah Provinsi Papua atas bantuan biaya pendidikan. 6. Civitas Akademika SPs IPB, Rekan-rekan SVK 2007, Staf Pengajar dan administrasi Departemen dan Mayor Silvikultur Tropika. 7. Keluarga Bapak Ir. C.Y. Hans Arwam, MP. atas motivasi dan kebersamaan dalam keluarga. 8. Keluargan besar Mama M. Tunya, Keluarga mili Michael (Alan-Alen) Baransano, S.P, M.Si., atas semangat dan bantuaanya. 9. Keluarga Besar Mahasiswa SPs IPB asal Papua, k’ Rima, Yan, Anjas, Teguh dan adik Victor Simbiak, Ana, Mechu, Descarlo, Rio, Alfredo, serta semua pihak yang tidak penulis sebutkan, atas segala budi baik dan kebesamaannya. Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan juga untuk Ayah tercinta Gasper Mofu sekeluarga serta seluruh keluarga besar dan secara khusus kepada Kakak Ir. Paulus Chadikun, M.Si yang selalu menopang secara moril maupun materil. Ungkapan rasa cinta kasih penulis sampaikan kepada Istri tersayang Fretti Listintari yang terus memberikan semangat dan kasih sayang, teristimewa dalam masa akhir studi bersamaan dengan kelahiran Putra pertama kami. Penulis menyadari keterbatasan dalam penulisan ini, mohon kiranya sumbang saran guna melengkapi karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2011 Wolfram Y. Mofu
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 21 Maret 1978 sebagai anak pertama dari Ayah Gasper Mofu dan Ibu Yustina Takay (Alm). Jenjang pendidikan formal SD hingga SMU penulis selesaikan di Jayapura, dan pada tahun 1996 penulis terdaftar sebagai mahasiswa strata satu pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih yang kemudian menjadi Universitas Negeri Papua dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007, penulis terdaftar sebagi mahasiswa pada Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Bantuan Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2003, penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari. Tahun 2006 penulis menikah dengan Fretti Listintari, Amd.P. dan dalam masa akhir studi bersamaan dengan kelahiran Putra pertama kami G.R. Mofu.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang .....................................................................................
1
Tujuan ...................................................................................................
4
Manfaat .................................................................................................
4
Kerangka Pemikiran ...........................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
6
Definisi Gambut ..................................................................................
6
Jenis dan Sifat Tanah Gambut .............................................................
7
Hutan Rawa Gambut ...........................................................................
11
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan .............................................
13
Biomassa Hutan ...................................................................................
15
Pengukuran Biomassa ..........................................................................
16
METODOLOGI ..........................................................................................
19
Lokasi dan Waktu ................................................................................
19
Bahan dan Peralatan ............................................................................
19
Jenis dan Sumber Data ........................................................................
19
Metode Penelitian ................................................................................
20
Analisis Data ........................................................................................
22
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..........................................
25
Letak dan Luas Wilayah ......................................................................
25
Iklim dan Tanah ...................................................................................
24
Luas Areal dan Keadaan Tanaman ......................................................
27
Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam ............................
27
Lokasi Penelitian .................................................................................
28
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
30
Hasil .....................................................................................................
30
Pembahasan .........................................................................................
44
SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
53
LAMPIRAN .................................................................................................
57
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Sifat fisik tanah gambut dari Sumatra dan Kalimantan ...........................
9
2
Kandungan hara pada tiga tipologi tanah gambut ....................................
10
3
Biomassa total pada beberapa tipe hutan .................................................
16
4
Rata-rata Curah Hujan, Suhu udara dan Kelembaban Udara Bulanan dan Tahunan (periode pengamatan dari Tahun 1988-1997) .......
26
Jenis tumbuhan tingkat Pancang dengan Indeks nilai penting (INP) > 10% pada setiap komunitas hutan. ........................................................
30
Jenis tumbuhan tingkat Tiang dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan. .........................................................
32
Jenis tumbuhan tingkat Pohon dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan. .........................................................
34
Kerapatan tingkat pertumbuhan seluruh jenis dan lbds pada setiap komunitas tipe penggunaan lahan gambut. ..............................................
36
Nilai indeks keragaman (H'), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada masing-masing komunitas hutan untuk setiap tingkat pertumbuhan. ............................................................................................
37
10 Nilai indeks kesamaam komunitas (%) antar setiap komunitas hutan. ........................................................................................................
32
11 Biomasa beberapa jenis dominat tingkat pertumbuhan Pohon pada tiga komunitas penggunaan lahan gambut ................................................
40
12 Biomasa beberapa jenis dominat tingkat pertumbuhan Tiang pada tiga komunitas penggunaan lahan gambut ................................................
41
13 Sifat-sifat kimia pada tiga tipe penggunaan lahan gambut .......................
42
14 Perbandingan potensi biomassa tegakan di beberapa lokasi. ...................
49
5 6 7 8. 9.
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................
5
2
Desain jalur dan petak ukur Analisis Vegetasi ........................................
20
3
Peta lokasi penelitian di sekitar dan didalam Areal HTI sagu. ................
29
4
(a,b,c). Indeks Nilai Penting (%) beberapa jenis dominat tingkat pancang pada setiap komunitas hutan gambut. ........................................
31
5
(a,b,c). Indeks Nilai Penting (%) beberapa jenis dominat tingkat tiang pada setiap komunitas hutan gambut. .............................................. Jumlah jenis untuk masing-masing tingkat pertumbuhan pada setiap komunitas hutan. ............................................................................
35
Nilai kerapatan (K) dan Luas bidang dasar (lbds) tingkat pertumbuhan di hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI. ........................
36
(a,b,c). Nilai Indeks Shannon-Weiner tingkat pertumbuhan pada ketiga tipe penggunaan lahan. .......................................................................
38
Total Biomassa (ton ha-1) pertumbuhan tingkat tiang dan pohon di setiap komunitas hutan. ...........................................................................
42
10 Total biomassa pada ketiga komunitas tipe penggunaan lahan gambut. ....................................................................................................
48
6 7 8 9
33
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peta lokasi penelitian hutan gambut di Kabupaten Bengkalis ...............
58
2.
Daftar jenis pohon yang ditemukan dalarn analisa vegetasi ..................
59
3a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Hutan Alam. .........................................................................
60
3b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Kebun Rakyat. ......................................................................
60
3c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Areal HTI..............................................................................
61
4a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Komunitas Hutan Alam. ........................................................................
62
4b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Komunitas Kebun Rakyat. .....................................................................
62
4c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Areal HTI. ........................................................................................................
62
5a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Komunitas Hutan Alam. .......................................................................
63
5b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Komunitas Kebun Rakyat. .....................................................................
63
5c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Areal HTI. .......................................................................................................
64
6a. Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Tiang di ketiga komunitas penggunaan lahan. .....................................................
65
6b Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Pohon di ketiga komunitas penggunaan lahan. ......................................................
66
7a. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut Pusat Peneliian Tanah, Bogor (1993). .............................................................
67
7b. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut Wiradinata dan Hardjosoesastro (1979). ................................................
67
8a Sifat kimia tanah pada tiga komunitas hutan rawa gambut. ...................
68
8b Kriteria sifat kimia tanah pada lokasi penelitian menurut Pusat Penelitian Tanah, Bogor (1993). .............................................................
68
8c Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut pada lokasi penelitian menurut Wiradinata dan Hardjosoesastro (1979)...................
68
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Di Sumatra sekitar
7,2 juta ha atau sekitar 14,9% luas
pulaunya, Kalimantan sekitar 5.769.200 ha dan Papua 7.795.455 ha (Wahyunto et al. 2005). Dalam survey yang dilakukan olehnya diketahui bahwa penyebaran utama dan terbesar di Sumatra adalah Provinsi Riau seluas 4.043.601 ha, dan Kabupaten Bengkalis 856.386 ha kedua terbesar setelah Kabupaten Indragiri Hilir. Secara umum jika dibandingkan dengan tipe ekosistem hutan lainnya di Indonesia, hutan rawa gambut menempati urutan kedua dalam hal luas areal setelah hutan hujan tropika tanah kering. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp), maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk
pada
umumnya
merupakan
tanah
yang
belum
mengalami
perkembangan, seperti tanah-tanah aluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik (Histosols) (Mulyanto, 2002). Istomo (2002) menyebutkan semakin tinggi deposit lumpur yang terjadi semakin berkurang salinitasnya, sehingga vegetasi bakau digantikan oleh vegetasi daratan. Karena kandungan sulfida yang tinggi dan tergenang air, maka proses dekomposisi terhambat, sehingga terjadi penumpukan serasah sampai membentuk kubah gambut (dome). Hamparan gambut yang terbentuk tidak lagi terpengaruh oleh pasang-surut air laut dan tidak lagi mendapat pasokan dari air sungai, air yang menggenangi gambut tersebut hanya dari air hujan. Gambut di Indonesia sebagian besar merupakan gambut rawa lebak dan tanahnya mengandung lebih dari 65% bahan organik dengan jeluk (depth) bervariasi, mulai dari ketebalan 50 cm sampai dengan 20 meter dengan di dasari oleh tanah mineral (Budianta, 2003). Hasil penelitian (Suhardjo et al. 1976; Pangudiatno, 1974 dalam Budianta, 2003) menyebutkan gambut Riau mempunyai
2
pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N dan C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,854,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan) serta kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah. Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkorelasi dengan ketebalan gambut. Kesuburan tanah semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin mendekati kubah gambut/dome (Kongse, 1995). Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, data ini menurun dari data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar pertahun. Kegiatan yang ditengarai menjadi penyebab kerusakan hutan rawa gambut adalah kesalahan dalam pengelolaan hutan, pembangunan skala besar, drainase, perambahan dan penebangan liar serta jutan hektar lainnya telah terbakar hebat. Syaufina et al. (2004) menyebutkan di antara jenis kebakaran hutan, kebakaran gambut adalah jenis kebakaran yang paling berbahaya. Menurut Elias (2009), sistem silvikultur adalah suatu proses memproduksi hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari mata rantai-mata rantai komponen kegiatan yang berurutan satu sama lainnya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pemanenan) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, menyebutkan sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman dan memanen. Sistim pengelolaan hutan Indonesia berpedoman pada sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII) yang di tetapkan berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005. Pengelolaan hutan rawa gambut diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P. 30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Selanjutnya untuk daur dan siklus
3
tebangan pada hutan rawa dengan limit diameter ≥ 30 cm dan siklus tebang 40 tahun
diatur melalui Sistem silvikultur THPB, THPA, TPTI, Tebang Rumpang (TR), TPTJ. dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistim Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Penerapan silvikultur intensif di areal yang sensitif terhadap kerusakan lingkungan harus sedapat mungkin dihindarkan, karena pada umumnya penerapan silvikultur intensif di hutan alam tropika akan menyebabkan keterbukaan tanah cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat (Elias, 2009). Optimalisasi pemanfaatan hutan diwujudkan pemerintah melalui UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 18, yaitu menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30 % (tiga puluh persen). Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi. Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka telah diberlakukannya moratorium terhadap semua lahan gambut melalui Intruksi Presiden nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Berdasarkan kenyataan di atas maka diperlukan kajian terhadap berbagai tipe penggunaan lahan gambut terhadap biodiversitas khususnya keanekaragaman jenis guna pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut berasaskan kelestarian. Beberapa pertanyaan yang ingin diajukan adalah seberapa besar tingkat keanekaragaman vegetasi pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut? dan bagaimana perbedaan kandungan biomassa pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut dimaksud? dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.
4
Tujuan Tujun penelitian ini untuk mengkaji : 1. Keanekaragaman vegetasi pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut. 2. Kandungan biomassa pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang preferensi ekologi sehingga menjadi masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.
Kerangka Pemikiran Model kajian Keanekaragaman vegetasi dan Biomassa pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut Di Kabupaten Meranti Provinsi Riau didasarkan pada kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1.
5
Hutan Rawa Gambut Gambut
Air
Vegetasi
Perlindungan Tegakan HRG
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Keanekaragaman Vegetasi
Areal HTI Sagu
Biomassa
Reforestasi Jenis Dominan dan Biomassa tertinggi Pemilihan Jenis Ekonomis
Kebijakan
Pengelolaan yang tepat
Fungsi Ekologi Global
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran.
6
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Gambut Gambut adalah material organik (mati) yang terbentuk dari bahan-bahan organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan, yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sangat sedikit oksigen dan keasaman tinggi serta terbentuk disuatu lokasi dalam jangka waktu geologis yang lama (Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project, 2008). Buckman and Brady (1982) menyatakan gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15% - 20% dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20% - 25% bahkan kadang mencapai 90%. Penggunaan kata gambut sendiri diambil dari nama sebuah desa yang sekarang telah menjadi Kecamatan Gambut Kalimantan Selatan, dimana untuk pertama kalinya padi berhasil dibudidayakan di persawahan tanah gambut. Para pakar dan peneliti tanah dari beberapa negara banyak menggunakan istilah gambut yang berbeda-beda seperti Moorpeat (Australia), organic soil (Kanada), Soil hydromorphes organiques (Perancis), Moorboden (Jerman), Histosol (USA), Bog Soil (USSR), tanah gelam (Malaysia), Veen atau Venuge Grond (Belanda), Peat atau peaty soils (Inggris), tanah organik, tanah rawang, tanah daun, tanah gambut (Indonesia) (Budianta, 1988). sistem Klasifikasi Tanah /Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999) tanah gambut yang biasanya disebut organic soils, bog soils, tanah merawang (half-bog soils), mucks, atau peats dikelompokkan menjadi satu ordo tanah tersendiri yang disebut Histosols. Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003), mengklasifikasi suatu jenis tanah sebagai Histosol, diperlukan 3 kriteria, yakni : (1) tersusun dari bahan tanah organik, (2) tingkat perombakan/pematangan atau dekomposisi bahan organik, dan (3) ketebalan dan bobot isi dari bahan tanah organik. Tanah dapat dikategorikan sebagai gambut bila mengandung sekurang-kurangnya 12-18% C
7
organik, tergantung fraksi mineralnya. Bila fraksi mineral liatnya 0%, paling sedikit C organik 12%, sedangkan bila fraksi liatnya >60%, maka C organiknya harus lebih 18%. Ketebalannya sendiri, minimal harus 40 cm jika BD (Bobot Isi) ³ 0,1 g/cm3, atau 60 cm bila BD-nya <0,1 g/cm3.
Jenis dan Sifat Tanah Gambut Kemampuan gambut menyerap dan mengikat air sangat besar namun bila mengalami pengeringan yang berlebihan, akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan tejadi gejala kering tidak balik (irreversible drying), kemampuan tersebut sangat berhubungan dengan ukuran pori, jumlah ruang pori dan permeabilitas yang berkaitan dengan bobot isi (bulk density) dan kandungan serat yang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi bahan organik. Bobot isi (bulk density) gambut umumnya berkisar antara 0,05 sampai 0,40 gram/cm3 (Wahyunto et al, 2006). Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998; 1999), tanah gambut atau histosol diklasifikasikan kedalam 4 (empat) sub ordo berdasarkan tingkat dekomposisinya yaitu; 1) Folis: bahan organik belum terdekomposisi di atas batu-batuan, 2) Fibrik: bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm3. Folis dan fibrik masih mempunyai banyak serabut atau daun yang belum terlapuk, rata-rata volume seratnya >75% dari volume keseluruhan. 3) Hemik adalah tanah gambut yang agak matang, sebagian bahan organiknya sudah benar-benar lapuk, dan sebagian lagi masih berupa serat, kandungan seratnya sekitar 17-75% dari volume dan BD 0,1-0,2 gram/cm3. 4) Saprik adalah tanah gambut yang sudah matang, seratnya tinggal sedikit, yaitu <17% dari volume dengan BD >0,2 gram/cm3. Buckman dan Brady (1982) mengklasifikasikan gambut menurut bahan induknya menjadi tiga yaitu : 1. Gambut endapan, gambut endapan biasanya tertimbun didalam air yang relatif dalam, karena itu umumya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan type gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta berwama hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan
8
bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman. 2. Gambut berserat, gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat di permukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat diatas endapan. 3. Gambut Kayuan, tipe ini biasanya terdapat di permukaan timbunan organik, berwama coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian. Darmawijaya (1990), menggolongkan gambut berdasarkan faktor pembentukannya menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Gambut ombrogen yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat, curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat asam dengan pH 3,0 – 4,5 meliputi Sumatera, Kalimantan, sepanjang pantai Malaysia dan Selatan lrian Jaya (Papua). 2. Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman rumput paku dan semak belukar yang mempunyai pH yang relatif tinggi. 3. Gambut pegunungan terbentuk karena ketinggian tempat gambut, pegunungan didaerah khatulistiwa hanya terbentuk didaerah yang tinggi dan iklimnya menyerupai iklim didaerah sedang dengan vegetasi sphagnum. Sifat dan karakteristik fisik tanah gambut ditentukan oleh dekomposisi bahan gambut itu sendiri dan tingkat perubahan dekomposisi akan mempengaruhi struktur lapisan gambut dan bobot isi (bulk density), nilai kerapatan bobot isi sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineralnya. Bobot isi tanah gambut merupakan sifat fisik paling mendasar dan sangat penting untuk dijadikan suatu parameter (Driessen & Rochimah. 1976; Andriesse. 1988). Bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah, makin padat suatu tanah makin tinggi bobot isinya. Pada umumnya bobot isi berkisar dari 1,1 – 1,6 g/cm3
9
dan untuk tanah gambut bahkan dapat kurang dari 0,10 g/cm3 (Hardjowigeno, 2003). Gambut dengan bobot isi yang rendah (0,05–0,40 g/cm3), mempunyai daya dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang rendah. Akibat dari sifat ini jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase, gambut akan ’kempes’’ atau mengalami subsidence (Wahyunto et al, 2006). Lebih lanjut dikatakan lagi bahwa bila terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) maka gambut dapat berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi. Daya menahan air dari gambut bervariasi, karena adanya interaksi yang komplek dari berbagai sifat tanah gambut tersebut. Jumlah air tersedia bagi tanaman pada jenis hemik lebih tinggi dari pada fibrik. Pada jenis saprik, meskipun air pada kapasitas lapang tinggi, tetapi kadar air pada titik layu permanen juga tinggi, karena itu banyak tanah gambut saprik yang mempunyai kadar air tersedia lebih rendah dari pada gambut hemik (Driessen, 1978). Berikut Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan kalimantan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan Kalimantan. Fisik Gambut
BD (g/cm3)
RPT (% Vol)
Retensi air (% Volume) pF 1
pF 2
Hemik/ Saprik 0,1 – 0,3 86 - 91 74 - 86 64 - 78 Fibrik/ Hemik 0,06 – 0,15 88 – 92 83 – 90 54 - 75 Sumber : Suhardjo dan Driessen, 1975; Koesmawadi, 1996.
pF 2,5
pF 4,2
54 - 70 40 – 56
38 - 64 30 – 37
Air tersedia (% Vol) 14 -30 10 - 17
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975). Pembentukan komposisi hutan rawa gambut merupakan hasil suksesi yang memakan waktu yang sangat lama. Suksesi hutan rawa gambut diperkirakan berasal dari tumbuhan payau yang berangsur-angsur berubah menjadi tumbuhan hutan rawa gambut (Poerwowidodo, 1991). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Gambut di Kalimantan Tengah termasuk gambut
10
ombrogen oligotropik yaitu gambut miskin dengan sumber penggenangan air dari air hujan (Istomo, 1994). Pada gambut ombrogen semakin kearah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecenderungan semakin menurunnya kesuburan tanah dicirikan dengan menurunnya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunnya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khususnya pH dan ketersediaan hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh: ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral dibawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Widjaja dan Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, forfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe, Mn yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Salah satu petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat kesuburan alami gambut adalah kadar abu, semakin tinggi kadar abu semakin tinggi kandungan mineralnya, yang memberi indikasi semakin tinggi tingkat kesuburannya. Tabel 2. menjelaskan kandungan abu bersama dengan kandungan P2O5, CaO dan K2O (dalam persen berat kering gambut) digunakan untuk menentukan tipe gambut, apakah eutrofik, mesotrofik atau oligotrofik (Wahyunto et al. 2006). Fleischer dalam Supraptohardjo (1974) selanjutnya menggolongkong kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu : (a) Gambut eutrofik yang subur, (b) Gambut mesotrofik dengan kesuburan sedang dan (c) Gambut oligotrofik sebagai gambut miskin. Tabel 2. Kandungan hara pada tiga tipologi tanah gambut. Kandungan (% berat kering gambut) Abu P2O5 CaO K2O Eutrofik >10 >0,25 >4,0 >0,10 Mesotrofik 5-10 0,20-0,25 1,0-4,0 0,10 Oligotrofik 2-5 0,05-0,20 0,25-1,0 0,03-0,1 Sumber: Polak (1941; 1949) dalam Wahyunto et al. 2006. Tipe tanah gambut
11
Hutan Rawa Gambut Istilah hutan rawa gambut (peat-swamp forest) muncul karena antara hutan rawa dan hutan gambut yang umumnya berdekatan, seringkali tidak memiliki batas yang tegas. Ciri umum tanah gambut, tidak mengalami perkembangan profil ke arah terbentuhya horizon-horizon yang berbeda, berwama coklat kelam sampai hitam, berkadar air tinggi dan berwama seperti teh serta bereaksi masam dengan pH 3,0 - 5,0 (Istomo, 1992). Menurut Jacobs (1988), hutan rawa gambut adalah salah satu tahap suksesi dari hutan rawa dimana memiliki pH rendah, miskin mineral dan tingkat dekomposisi alami yang rendah. Pada beberapa wilayah terdapat hutan rawa gambut yang dipengaruhi oleh air sungai sehingga terdapat dekomposisi bahan organik yang tinggi. Hutan rawa gambut merupakan suatu ekositem yang unik dengan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; 1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka macam, mulai dari tegakan sejenis (Calophyllum sp.) sampai tegakan campuran, 3) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas dan 5) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam (Asian Wetland Bureau dan Ditjen PHPA, 1993). Berdasarkan pengamatannya di Serawak dan Brunai yang meliputi struktur, fisiogami dan flora, maka Anderson (1964) membagi hutan rawa gambut kedalam 6 tipe hutan, yaitu : 1. Tipe I. Hutan rawa campuran (mixed peatswamp forest) yaitu hutan dengan tajuk terputus, hampir sama dengan hutan hujan dataran rendah tetapi jumlah jenis dan bantang per hektar lebih sedikit. Tipe ini merupakan asosiasi dari Gonystylus-Dactylocladus-Neoscortechinia. 2. Tipe II. Hutan alan (Alan forest), hutan ini memiliki penampilan yang hampir sama dengan pertama, tetapi dengan tinggi tajuk yang lebih rendah dan jumlah batang per hektar yang lebih kecil. Hutan Alan memiliki asosiasi Shorea albida-Gonystylus-Stemonurus. 3. Tipe III. Hutan Alan Bunga (Alan bunga Forest), yaitu hutan rawa gambut yang tajuknya bersambung atau merata yang didominasi oleh Shorea albida (konsosiasi Shorea albida).
12
4. Tipe IV. Hutan Padang Alan (padang alan forest), memiliki kerapatan pohon yang tinggi dan tajuk yang merata, karakter xeromorfiks yang bervariasi serta sedikit pohon yang memiliki keliling batang lebih dari 1,8 m. asosiasi pada tipe ini adalah Shorea albida-Litsea-Parastemon. 5. Tipe V. Hutan ini dicirikan dengan kerapatan pohon tinggi dan tajuk yang rendah serta hanya sedikit pohon dengan keliling lingkaran kebih dari 0,9 m. 6. Tipe VI. Hutan padang keruntum, yaitu open savanna woodland, dicirikan dengan banyaknya pohon kerdil dan derajat xeromorfiks tinggi, dimana hanya terdapat dua jenis dengan keliling bantang lebih dari 0,3 m. tipe hutan ini merupakan asosiasi Combretocarpus-Dactylocladus. Pada hutan rawa gambut umumnya terdapat tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975) Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii). Pisangpisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaquium spp.), durian hutan (Durio sp.), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia spp.), pelawan (Trisfania spp.), medang (Litsea spp.), kemuning (Xantophyllum spp.), mendarah (Myristica spp.) dan kayu malam (Diospyroy spp.). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp., Pandanus spp., Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp. Wibowo (1995) dalam studi stuktur tegakan, mengemukakan bahwa di hutan primer rawa gambut Riau juga terdapat 3 (tiga) lapisan tajuk yaitu stratum A yang tingginya 30 meter ke atas diisi oleh jenis-jenis Cratoxylon arborescens, K. malaccensis, Durio carinatus, S. uliginosa, S. parvifolia, G. bancanus dan Calophyllum inophylloidea. Stratum B yang tingginya antara 20 - 30 meter diisi oleh jenis-jenis Murraya paniculata, Horsfieldia glabra, Xylopia spp., Polyalthia spp., Palaquium walsurifolium, S. parvifolia, Cratoxylon arborescens, Anisoprera marginata, Tetramerista glabra, Vitex pubescens, Eugenia spp., Diospyros malaccensis, Mangifera spp., Durio carinatus, Palaquium burckii, Actinodaphne glabra, K. malaccensis, S. uliginosa, C. inophylloidea. Stratum C yang tingginya 4 - 20 m terdiri dari banyak jenis yang mencakup 50 % dari jumlah pohon yang ada.
13
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Soerianegara dan Indrawan (2005), menyatakan bahwa masyarakat hutan adalah kelompok tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang menempati suatu tempat tumbuh atau habitat, dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuh-tumbuhan itu satu sama lain dan dengan lingkungannya, dan satuan masyarakat hutan ini disebut tegakan. Selanjutnya dalam tegakan hutan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau dari berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hara mineral, air, cahaya dan ruang. Persaingan ini menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuk-tumbuhan yang tertentu bentuknya (life form-nya), macam dan banyaknya jenis dan jumlah individu-individunya, sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya. Komposisi vegetasi digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan, sedangkan struktur vegetasi hutan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richard, 1964). Soerianegara dan Indrawan (1983), menyatakan bahwa komposisi dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Sehingga dapat dijelaskan bahwa komposisi vegetasi adalah keberadaan jenis-jenis pohon pembentuk tegakan pada hutan sejenis maupun hutan campuran. Struktur tegakan mengandung dua macam pengertian yaitu struktur tegakan horisontal dam struktur tegakan vertikal. Struktur tegakan horisontal adalah sebaran banyaknya pohon per satuan luas pada kelas diameternya, sedangkan struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk (Richard, 1964; Suhendang, 1995). Perubahan dan perkembangan struktur menggambarkan keadaan atau kondisi tegakan hutan yang bersangkutan. Stratifikasi merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis. Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang berbeda-beda seperti adanya pohon, semak belukar, rumput atau tumbuhan lain yang membentuk lapisan.
14
Model arsitektur pohon di gunakan Halle et al. (1978) untuk memperoleh gambaran komposisi, struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi. Menurutnya, pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran dan dan keadaan biologi, pohon dibedakan menjadi tiga golongan yaitu : 1. Pohon masa mendatang (trees of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon-pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan di masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan. 2. Pohon masa kini (trees of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini. 3. Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua yang mulai mengalmi kerusakan dan selanjutnya akan mati. Soerianegara dan Indrawan (2005), mengemukakan stratifikasi tajuk hutan hujan tropika sebagai berikut: 1. Stratum A: Pohon dominan, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. 2. Stratum B: Pohon Kodominan, terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. 3. Stratum C: Pohon Intermediet, terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah. Lebih lanjut dikatakan juga bahwa antara stratum A dan stratum B terdapat perbedaan yang jelas karena terdapat diskontinuitas tajuk yang vertikal, tetapi antara stratum B dan C biasanya kurang jelas, hanya dapat dibedakan berdasarkan tinggi dan bentuk pohon.
15
Pengetahuan tentang struktur tegakan berguna dalam menentukan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan Penentuan biomassa tegakan.
Biomassa Hutan Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh tumbuhan per satuan unit area pada suatu waktu. Biomassa biasanya dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam gram atau kalori, dengan unit satuan biomassa adalah gram per m2 (gr/m2) atau kg per hektar (kg/ha) atau ton per hektar (Chapman, 1976, Brown, 1997). Pengetahuan tentang biomassa sangat penting untuk studi aspek-aspek fungsional hutan seperti produktivitas primer, siklus hara dan aliran energi, Oleh karena itu, data biomassa penting untuk mengetahui karakteristik ekosistem hutan dalam rangka menentukan sistem pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil. (Harse et al. 1985; Kusmana et al. 1992 dalam Istomo 2002). Sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya dinyatakan per satuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al. 1987). Kajian-kajian biomassa dalam suatu komunitas hutan secara umum terdiri dari dari biomassa atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan tanah (below ground biomass). Informasi kandungan biomassa suatu tegakan hutan atau vegetasi tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan baik oleh manusia maupun alam. Lugo dan Snedaker (1974) mengemukakan bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Pengaruh pengelolaan hutan yang tidak bijaksana seperti pembukaan hutan dan perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan pengurangan biomasa dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 100 ton ha-1 di hutan dataran rendah dan 2 ton ha-1 di padang alang-alang (Whitten et al. 1984). Kesuburan tanah dan zat-zat hara yang semakin menurun akibat eksploitasi biomasa tumbuhan secara berlebihan merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem hutan.
16
Hutan hujan tropika merupakan ekosistem dengan kerapatan vegetasi yang tinggi pada semua lapisan. Kerapatan yang tinggi dengan suhu dan curah hujan yang tinggi menyebabkan biomassa di hutan hujan tropika paling besar dibandingkan dengan tipe hutan lainnya Rata-rata biomasa hutan hujan tropika adalah 420 ton/ha (Ramade, 1980). Whitmore (1985) menjelaskan bahwa biomassa yang diperoleh pada hutan dataran rendah di Pasoh sebesar 475 ton/ha dan 664 ton/ha dalam plot contoh seluas 0.1 dan 0.2 ha dengan struktur hutan yang heterogen. Biomassa pada beberapa tipe hutan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Biomassa total pada beberapa tipe hutan. Luas contoh (ha)
Formasi hutan Hutan hujan datara rendah selalu hijau Malaya : Pasoh Kamasul Hutan kering Sarawak, Mulu Hutan hujan semi selalu hujau Khao Chong Hutan hujan pegunungan rendah New Guinea Seluruh hutan (Whole Forest) Mature/Late Building Phase Sumber : Kato et al. dalam Whitmore, 1985.
Total Biomassa diatas tanah (ton/ha)
0,1 0,2
664 475
1,0
490
0,32
331
6x0,04 6x0,04 5x0,02
310 295 773
Pengukuran Biomasa Metode destruktif (pemanenan langsung) adalah pengukuran terhadap biomassa pohon yang ada di atas permukaan tanah secara langsung dengan mengukur berat segar dari komponen-komponen yang berbeda (batang pohon, cabang, ranting, dan daun), kemudian menghitung berat kering oven contoh yang dilakukan di laboratorium. Brown (1999) mengemukakan bagian terbesar menyimpan karbon adalah dalam biomassa hidup, meliputi komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati meliputi serasah halus, sisa kayu kasar, tanah termasuk mineral, lapisan organik dan gambut. Metode lain untuk mengukur biomasa di atas tanah adalah dengan membuat hubungan allometrik antara berat kering dan dimensi pohon yang mudah diukur, yaitu : diameter pohon (D), serta mengukur dan menimbang contoh
17
beberapa pohon yang mewakili. Metode sederhana lain dapat menggunakan hubungan : V = tinggi x basal areal x 0.5, dimana V menyatakan volume kayu dan kulit di atas tanah (Dawkins 1961, Whittaker and Woodwell, 1968 dalam Whitmore. 1985). Metode pendugaan biomassa diatas permukaan tanah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua (Chapman, 1976), yaitu: 1. Metode pemanenan (destruktif) a) Metode pemanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada kerapatan tanaman individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jumlah yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b) Metode pemanenan kuadrat, metode ini megharuskan menanam semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen dalam suatu unit area. c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar (Lbds), metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran individu seragam. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon. 2. Metode pendugaan tidak langsung (non-destruktif) a) Metode hubungan alometrik, metode ini didasari pada persamaan alometrik dengan mencari korelasi paling baik antara dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan biomassanya. Sebelum pembuatan persamaan, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area. b) Crop meter, metode pendugaan biomassa ini dilakukan dengan cara menggunakan peralatan elektroda listrik.
18
Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan (Brown et al. 1989): Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB X WD X BEF dimana : VOB = Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha) WD = Kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa inventarisasi (m3) BEF = Perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven hasil inventarisasi hutan. Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan regresi (Brown et al. 1989): Biomassa di atas tanah atau Y = aDb dimana : Y = biomassa pohon (kg) D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta. Whitmore (1985) mengemukakan bahwa kandungan biomassa (berat kering) dari hutan berbeda-beda tergantung dari tipe hutan, kesuburan tanah, tempat tumbuh, dan bagian-bagian biomassa pohon. Pada bagian berat batang lebih besar daripada berat akar, berat cabang dan berat daun, meskipun demikian bagian-bagian tersebut sangat penting dalam inventarisasi hara, dan kandungan hara pada bagian batang cenderung mendominasi semua komponen di dalam hutan.
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis terletak pada 0032’ - 1008’ LU dan 1010 43’ - 103008’ BT dengan ketinggian 0 – 5 m diatas permukaan laut. Data lapangan dan laboratorium diperoleh dari bulan September sampai November 2008. Bahan dan Peralatan Bahan penelitian adalah hutan gambut yg terdiri dari hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Peta Kerja, Peta Vegetasi, GPS, kompas, meteran pica diameter, alat ukur tinggi (Haga Hypsometer), tambang plastik, tali plastik, bor tanah, ring sample tanah, pH tester, golok, pisau kecil, patok, tally sheet, kantong plastik, kamera, peralatan pembuatan herbarium (alkohol, gunting, label, kertas koran dan sasak) serta alat tulis. Jenis dan Sumber Data Pengumpulan data primer diperoleh berdasarkan hasil penelitian lapangan yang meliputi : 1. Komposisi dan struktur tegakan hutan rawa gambut berdasarkan perubahan tipe penggunaan lahan gambut. 2. Penyebaran dan kelimpahan jenis berdasarkan perubahan tipe hutan gambut. 3. Potensi biomassa tegakan atas permukaan pada setiap jenis maupun tipe penggunaan lahan, diduga berdasarkan data diameter. 4. Sifat-sifat tanah yang meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Selain data primer dikumpulkan pula data sekunder seperti data iklim, Keadaan Umum lokasi, Peta dan informasi lain yang menunjang penelitian ini.
20
Metode Penelitian Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur tegakan hutan.
Pengambilan data analisis dilakukan dengan cara jalur atau
transek dengan penentuan jalur dan pembuatan petak contoh dilakukan secara purposive systematic sampling berdasarkan kerapatan tegakan hutan. Jumlah petak contoh dibuat 5 petak pada setiap komunitas hutan yaitu : Hutan alam, Kebun rakyat dan HTI Sagu. Petak ukur dalam jalur pengamatan terdiri dari sub-petak-sub-petak berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi. Pembuatan sub-petak tersebut dilakukan secara nested sampling, dimana sub petak yang berukuran lebih besar mengandung sub petak yang berukuran lebih kecil (Soerianegara dan Indarawan, 2005). Ukuran petak contoh pengamatan sebagai berikut : 1. Petak ukur 20 m x 20 m, dibuat sejajar arah jalur untuk pengamatan vegetasi tingkat pohon (diameter > 20 cm), dan dalam setiap petak contoh ini terdapat dua macam petak ukur kecil untuk tingkat tiang dan pancang. 2. Petak ukur 10 m x 10 m, dibuat secara berselang-seling (kanan-kiri sumbu jalur), dengan jarak antar petak 10 m, untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang (diameter 10 cm sampai dengan 20 cm) 3. Petak ukur 5 m x 5 m dibuat berselang-seling (kanan kiri sumbu jalur), jarak antar petak ukur 15 m, untuk pengamatan pancang (tinggi permudaan 1,5 m sampai pohon-pohon muda berdiameter < 10 cm). Parameter yang diamati dalam analisis vegetasi untuk tingkat Pohon dan Tiang meliputi jumlah dan jenis pohon, tinggi pohon bebas cabang dan tinggi total serta diameter pohon, jumlah jenis dan jumlah individunya. Desain jalur dan petak ukur dapat dilihat pada Gambar 2. 20 m
10 m 10 m
A
C B
Arah Jalur
Ket : A = 20 m x 20 m (tingkat pohon) B = 10 m x 10 m (tingkat tiang) C=5mx5m (tingkat pancang)
Gambar 2. Desain jalur dan petak ukur Analisis vegatasi.
21
Biomassa Atas Permukaan Estimasi nilai kandungan biomassa pada hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI dihitung hanya pada biomassa atas permukaan untuk pertumbuhan tingkat tiang dan pohon dengan diameter ≥10 cm setinggi dada. Pendugaan biomassa kemudian dikelaskan kedalam biomassa jenis dan komunitas hutan. Sifat Tanah Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah, kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pengukuran kedalaman gambut pada setiap sub plot atau petak ukur analisis vegetasi dengan menggunakan bor gambut / galah ukur. 2. Pengambilan contoh tanah didasarkan pada beberapa zonasi perbedaan komunitas hutan. 3. Contoh tanah dikelompokkan berdasarkan tipe penggunaan lahan kemudian dicampur untuk mendapatkan sampel tanah yang selanjutnya akan dianalisis di Laboratorium. 4. Pengukuran pH air (water pH meter) dan pH tanah (soil pH meter) Penentuan tingkat kematangan gambut dilapangan, dapat dilakukan dengan kombinasi meremas segenggam tanah gambut dan memperhatikan warna gambut sebagai berikut: 1. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (¾), maka digolongkan kedalam jenis fibrik, jika antara tiga perempat sampai seperempat bagian (¾ - ¼), maka digolongkan kedalam jenis hemik dan bila setelah pemerasan yang tertingga adalah sama dengan atau kurang dari seperempat bagian (≤ ¼) maka digolongkan kedalam jenis saprik. 2. Memperhatikan warnanya. Jenis tanah gambut fibrik akan memperlihatkan warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap. Peubah-peubah tersebut yang diukur dan diamati terutama adalah tingkat kematangan gambut, kedalaman gambut, tipe gambut dan tinggi air tanah serta sifat-sifat kimia gambut. Analisis tanah selanjutnya terhadap pH tanah, pH air,
22
kandungan C organik, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, KTK, kejejuhan basa dan kadar abu, dilakukan di Laboratorium Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Analisis Data Komposisi jenis Analisis Indeks Nilai Penting (INP) dikaji berdasarkan hasil hitungan besaran: Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR) menurut rumus yang dikembangkan Mueller-Dombois dan Elenberg (1974) sebagai berikut : Kerapatan (K)
=
Kerapatan Relatif (KR)
=
Frekuensi (F)
=
Frekuensi Relatif (FR)
=
Dominansi (D)
=
Dominansi Relatif (DR)
=
Banyaknya Individu suatu jenis Luas plot contoh Kerapatan dari suatu jenis
x 100 %
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot contoh ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot contoh Frekuensi dari suatu jenis Frekuansi seluruh jenis
x 100 %
Jumlah luas bidang dasar suatu jenis Frekuansi seluruh jenis Dominasi dari suatu jenis Dominansi seluruh jenis
x 100 %
INP untuk tingkat pancang dan semai = KR + FR INP untuk tingkat tiang dan pohon = KR + FR + DR Kesamaan Komunitas Kesamaan komunitas diketahui dengan membandingkan setiap dua tegakan pada tempat tumbuh yang bersamaan digunakan rumus koefisien Indeks of Similarity (IS) atau Kesamaan Komunitas (C) dalam Soerianegara dan Indrawan (2005) sebagi berikut :
23
C
2w
=
a+b
x 100 %
Dimana : C (=IS) = Koefisien masyarakat atau Koefisien Kesamaan Komunitas w = Jumlah nilai yang sama dan terendah dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama. b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua. Sedangkan untuk menghitung nilai koefisien ketidaksamaan atau Indeks of Dissimilarity (ID) adalah; ID = 100 - IS Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Jenis Untuk mengkaji keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis pada hutan rawa gambut dihitung menurut Shannon-Weiner Diversity Index (Kusmana dan Istomo, 1995), yaitu : S
i i log 2 N N
H′
Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Weiner ni = Nilai penting untuk tiap jenis atau jumlah individu jenis ke-i N = Nilai penting total atau jumlah individu semua jenis S = Banyaknya jenis Indeks
keseragaman
Shannon
digunakan
untuk
mengukur
tingkat
keseragaman dari spesies yang diamati dalam plot pengamatan. Rumus perhitungan indeks keseragaman adalah : J' =
H' H ' Max
Dimana : J' = Indeks Keseragaman Shannon-Wiener H' = Indeks Keragaman Shannon-Wiener H'Max = Nilai maksimum H'= Ln S (S = jumlah spesies di dalam komunitas)
24
Indeks dominansi merupakan nilai kuantitatif pada tingkat dominansi relatif di dalam komunitas yang umumnya ditunjukkan oleh satu jenis pohon di dalam komunitas tersebut. Rumus perhitungannya sebagai berikut :
⎛n ⎞ Di = ∑ ⎜ i ⎟ ⎝ N ⎠
2
Dimana : Di = Indeks Dominansi Simpson ni = Kerapatan spesies N = Total Kerapatan Spesies Biomasa Tegakan Data analisis vegetasi yang diperoleh kemudian diolah untuk mengkaji potensi biomassa atas permukaan pada setiap komunitas hutan. Pendugaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan data diameter setinggi dada setiap pohon ≥ 10 cm dan kerapatan pohon. Perhitungan biomassa rata-rata pohon didekati dengan menggunakan rumus Allometrik yang dikembangkan Istomo (2002) sebagai berikut: W = 0.0145D3- 0.4659D2 + 30.64D – 263.32 Dimana : W = Biomasa (kg) D = Diameter pohon setinggi dada (cm) Biomassa rata-rata tiap pohon yang dominan pada setiap komunitas hutan digunakan untuk menghitung biomassa pohon total dalam tegakan per hektar menggunakan rumus (Brown et al. 1989) : Y = yNa Dimana : y = W = Biomassa pohon dalam tegakan Na = Kerapatan Pohon (Phn/ha)
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0°42'30" - 1°28'0" LU dan 102°12'0" - 103°10'0" BT, dan terletak pada bagian pesisir timur pulau Sumatera, dengan luas 3.707,84 km². Sedangkan luas
Pulau Panjang adalah 1.438,83 km². Secara administratif, Kabupaten
Kepulauan Meranti terdiri dari 7 kecamatan dan 78 desa/ kelurahan, dengan batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara, berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Bengkalis - Sebelah Timur, dengan Kabupaten Karimun. - Sebelah Selatan, dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan. - Sebelah Barat, dengan Kabupaten Bengkalis. Lokasi Penelitian berada di dalam dan sekitar areal kerja PT. National Timber and Forest Product di Kecamatan Tebing Tinggi, yang secara geografis terletak pada 0032’- 1008’ LU dan 101043’ – 103008’ BT dan secara administratif areal PT. National Timber And Forest Product menempati beberapa desa, yaitu beberapa desa yaitu Desa Tanjung Sari, Desa Lukun, Desa Kayu Ara, Desa Sungai Pulau, Desa Kepau Baru, Desa Teluk Buntal, Desa Sungai Tohor dan Desa Tanjung Gadai. Areal HTI Sagu ini dilewati oleh beberpa aliran sungai, yaitu; Sungai Mukum (7 Km), Sungai Pulau (7,5 KM), Sungai Suir Kiri (13,6 Km) dan Sungai Buntal (3 Km) (NTFP, 1997). Luas total kawasan hutan HTIMurni Sagu PT. National Timber And Forest Product sebesar 19.900 ha. Dari areal seluas 19.900 ha tersebut menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan terdiri atas Hutan Produksi Terbatas 18.100 ha dan Hutan Konversi seluas 1.800 ha.
Keadaan Iklim dan Tanah Iklim Berdasarkan data dari Pemerintahan Provinsi Riau, suhu udara minimum 260 C-320 C dan curah hujan rata-rata antara tahun 1.971-2.000 sebesar 2.191 mm atau 280 hari/ tahun. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu udara antara 25° - 32° Celcius, dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi.
26
Musim hujan terjadi sekitar bulan September-Januari, dan musim kemarau terjadi sekitar bulan Februari hingga Agustus. Curah hujan dilokasi penelitian berkisar antara 2.095 mm sampai 2.294 mm dengan rata-rata 2.208 mm. dilihat dari distribusi curah hujan bulanannya, maka bulan Mei merupakan bulan yang paling kering, sedangkan bulan September dan Oktober merupakan bulan yang paling basah. Namum lokasi penelitian merupakan kawasan yang lembab karena curah hujan bulanannya lebih dari 100 mm (Tabel 4.) Hari hujan tahunannya cukup tinggi, yaitu sekitar 118 hari hujan sampai 149 hari hujan sedangkan suhu dan kelembaban udara berkisar antara 260C sampai 27,400C dan 82% sampai 88% (Bintoro et al. 2008). Tabel 4. Rata-rata Curah Hujan, Suhu udara dan Kelembaban Udara Bulanan dan Tahunan (periode pengamatan dari Tahun 1988-1997). No.
Bulan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 1988 Raia-rata
Curah Hujan (mm) 194 219 233 117 70 134 159 151 254 254 198 112 174,58
Hari Hujan (hari ) 12 12 13 7 9 6 10 10 9 12 13 10 10.25
Curah Hujan (mm) 2.095 2.191 2.161 2.198 2.254 2.267 2.215 2.189 2.225 2.294 2.208
Hari Hujan (hari) 125 118 120 130 141 143 133 129 137 149 132,5
Sumber : Bintoro et al. 2008
Suhu Udara 26,3 26,6 26 27,4 27,2 27,3 27,3 27,3 26,5 26,6 26,1 26,7 26,77 Suhu Udara 26,7 26,4 26,5 26,2 26,2 26,2 26,2 26,2 26,2 26,4 26,32
Kelembaban udara (%) 88 81 87 85 86 84 82 85 84 86 84 88 85 Kelembaban udara (%) 85 -
27
Tanah pada areal HTI sagu PT. National Timber and Forest Product secara keseluruhan adalah jenis tanah organosol dan gley humus. Derajat keasaman (pH) yang sangat masam yaitu 3,1–4,0.. Menurut Laporan Utama Analisis Dampak Lingkungan dalam PT. NTFP (1997) lapisan gambut di areal PT. NTFP memiliki ketebalan kurang lebih 3 m. Susunan batuan terdiri atas jenis batuan endapan aluvium muda berumur holosen dan litologi lempung, lanau, kerikil kecil dan sisa tumbuhan rawa gambut. gambut riau tergolong dalam oligotropik, yaitu gambut dengan dengan sedikit kandungan mineral. Jenis tanah yang terdapat di areal PT. National Timber And Forest Product terdiri atas jenis tanah organosol seluas 19.820 hektar (99,6 %) dan jenis tanah alluvial seluas 80 hektar (0,4 %) dengan dengan topografi datar kemiringan lahan termasuk kelas lereng LI (kelerangan antara 0 – 8 %). Karakteristik tanahnya memiliki konsistensi tanah lekat, porositas tanah sedang, dan reaksi tanah yang sangat masam dengan pH berkisar 3,1 – 4,0 (NTFP, 1997).
Luas Areal dan Keadaan Tanaman Penanaman sagu di PT. National Timber And Forest Product Unit HTI Murni Sagu dilakukan dalam tiga periode. Penanaman sagu di Divisi 1, 2, 3, 4 dilakukan pada tahun 1996-1997, Divisi 5, 6, 7, 8 dilakukan pada 1999/2000, dan Divisi 9, 10, 11, dan 12 dilakukan pada tahun 2003/2004. Kondisi pertumbuhan sagu di Divisi 1, 2, 3, dan 4 lebih baik dibandingkan yang lainnya. Jumlah tanaman yang tumbuh pada keempat divisi tersebut juga lebih banyak dibandingkan Divisi 5-12.
Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam Gambaran umum Kabupaten Kepulauan Meranti adalah sebagi berikut : memiliki potensi sumber daya alam, baik sektor Migas maupun Non Migas, di sektor Migas berupa minyak bumi dan gas alam, yang terdapat di daerah kawasan pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A di daerah Kurau desa Lukit (Kecamatan Merbau). Sektor Non Migas kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi beberapa jenis perkebunan seperti sagu (Metroxylon sp) dengan produksi 440.309 ton/tahun (2006), kelapa 50.594,4
28
ton/tahun, karet 17.470 ton/tahun, pinang 1.720,4 ton/tahun, kopi 1.685,25 ton/tahun. Potensi perkebunan hanya diperdagangkan dalam bentuk bahan baku keluar daerah Riau dan belum dimaksimalkan menjadi industri hilir, sehingga belum membawa nilai tambah yang mendampak luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara di sektor kelautan dan perikanan dengan hasil tangkapan: 2.206,8 ton/tahun. Selain itu masih ada potensi dibidang kehutanan, industri pariwisata, potensi tambang dan energi.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di dalam dan sekitar Areal HTI, meliputi Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI sagu. Lokasi penelitian seperti pada Gambar 3.
28
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di sekitar dan didalam Areal HTI Sagu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Komposisi Jenis Hasil analisis vegetasi yang dilaksanakan pada berbagai komunitas hutan yang diteliti yaitu hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI, ditemukan 43 jenis vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 2. Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui komposisi jenis setiap tingkat pertumbuhan di hutan rawa gambut dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Tingkat pertumbuhan pancang dengan INP >10% pada setiap komunitas hutan ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis tumbuhan tingkat Pancang dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan. Komunitas Hutan
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Areal HTI
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4.
Nama Jenis
KR (%)
Shorea parvifolia Shorea uliginosa Combretocarpus rotundatus Cratoxylum arborescens Diospyros maingayi Dipterocarpus sp. Baccaurea bracteata Criptocarya crassinervia Macaranga semiglobosa Metroxylon spp. Macaranga semiglobosa Alseodaphne umbelliflora Antidesma punticulatum Arthocarpus sp. Metroxylon spp. Baccaurea bracteata Alseodaphne umbelliflora Macaranga semiglobosa
10,26 10,26 7,69 7,69 7,69 7,69 5,13 5,13 5,13 33,33 12,50 8,33 8,33 8,33 39,49 13,44 6,72 6,72
FR (%) 10,34 10,34 10,34 6,89 6,89 6,89 6,89 6,89 6,89 23,81 14,29 9,52 9,52 9,52 22,72 13,63 9,09 9,09
INP 20,60 20,60 18,03 14,58 14,58 14,58 12,02 12,02 12,02 57,14 26,79 17,86 17,86 17,86 62,22 27,08 15,81 15,81
Membandingkan komposisi jenis tingkat pancang pada berbagai komunitas hutan yang dipelajari seperti pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan diantara komunitas hutan tersebut dengan ditunjukan oleh tingkat INP tertinggi vegetasi penyusun komunitas hutan tersebut.
31 Beberapaa jenis tum mbuhan tingkat pancang g yang paliing dominaan di hutan alam m adalah Shhorea parvif ifolia, Shorrea uliginossa, Combreetocarpus rrotundatus, Cratooxylum arbborescens, Diospyros maingayi, Dipterocaarpus sp. P Pada areal kebuun rakyat adalah a Metroxylon spp., Macara anga semigglobosa, Allseodaphne umbeelliflora, Antidesma punticulatum p m, Arthocarrpus sp. seedangkan ppada Areal HTI dengan buudidaya tanaaman Metrooxylon spp. kehadirann jenis tanam man hutan hne umbellifflora dan M Macaranga lainnnya adalah Baccaurea bracteata, Alseodaph semigglobosa. Jeenis vegetaasi hutan yang y sama antara kettiga komunnitas hutan adalaah Baccauurea bractteata, Alseeodaphne umbelliflorra, dan M Macaranga semigglobosa (Gaambar 4.)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
97
(a) Hutan Alam
(c) ( Kebun Rakyat R 21
21
70
18
15
15
60
63
57
50 40 30 20 79
18
18
18
10 0
80 70
27
62
60 50 40 30 20
7 27 16
16
10 0
(b) Areeal HTI
G Gambar 4 (a,b,c). Indeeks Nilai Peenting (%) beberapa b jennis dominatt tingkat panncang pada setiap s komu unitas hutann gambut.
32 Tabel 6. memperlihatkan beberapa kesamaan jenis permuadaan tingkat Tiang pada ketiga komunitas hutan gambut dengan INP >10%. Tabel 6. Jenis tumbuhan tingkat Tiang dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan. Komunitas Hutan
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Arel HTI
No.
Nama Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5
Shorea uliginosa Shorea parvifolia Baccaurea bracteata Actinodaphne glabra Combretocarpus rotundatus Cratoxylum arborescens Garcinia sp. Gonystylus becanus Macaranga semiglobosa Metroxylon spp. Arthocarpus sp. Palaquium ridleyi Baccaurea bracteata Shorea parvifolia Criptocarya crassinervia Elaeocarpus stipularis Melicope sp. Metroxylon spp. Ficus microcarpa Combretocarpus rotundatus Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
10,34 10,34 6,89 3,44 6,89 6,89 3,44 3,44 3,44 59,09 9,09 9,09 4,54 4,54 4,54 4,54 4,54 87,50 3,12 3,12 3,12 3,12
10,71 7,14 7,14 3,57 7,14 7,14 3,57 3,57 3,57 35,71 14,28 14,28 7,14 7,14 7,14 7,14 7,14 55,55 11,11 11,11 11,11 11,11
12,19 11,84 6,88 13,24 4,60 2,94 5,31 4,76 4,25 84,07 4,66 2,44 2,75 2,75 1,22 1,22 0,85 97,68 0,98 0,55 0,38 0,38
33,25 29,33 20,92 20,26 18,64 16,98 12,33 11,78 11,27 178,88 28,04 25,82 14,44 14,44 12,91 12,91 12,53 240,73 15,22 14,79 14,62 14,62
Hasil Tabel 6. memperlihatkan vegetasi paling dominan pertumbuhan tingkat tiang pada hutan alam adalah S. parvifolia, S. uliginosa, B. bracteata, A. glabra,. Kebun rakyat adalah Metroxylon spp., Arthocarpus sp. dan Palaquium ridleyi. Sedangkan pada Areal HTI adalah Metroxylon spp., Ficus microcarpa, Combretocarpus rotundatus, Macaranga pruinosa dan Macaranga semiglobosa. Kehadiran beberapa jenis vegetasi hutan tingkat tiang yang sama pada ketiga komunitas hutan adalah Macaranga semiglobosa, Combretocarpus rotundatus, Elaeocarpus stipularis, Criptocarya crassinervia, Shorea parvifolia, Baccaurea bracteata, Palaquium ridleyi (Gambar 5). Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4a, 4b dan 4c.
33 (a) Hutan Alam m 178 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
33
29
21
20
19
14
14
(b) Kebun Rakkyat 179 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
28
38
26
(c) Areal HTI 241 250 200 150 100 50
15
15
15
15
0
mbar 5 (a,b,cc). Indeks Nilai N Pentinng (%) beberapa jenis dominat d tinggkat tiang Gam pada settiap komuniitas hutan gambut.
34 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat Pohon pada ketiga komunitas tipe penggunaan lahan gambut ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis tumbuhan tingkat Pohon dengan Indeks nilai penting (INP) > 10% pada setiap komunitas hutan. Komunitas Hutan
No.
Hutan Alam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3
Kebun Rakyat
Areal HTI
Shorea parvifolia Shorea uliginosa Palaquium rostratum Cratoxylum arborescens Gonystylus becanus Kurz Diospyros maingayi Kompassia malaccensis Shorea tesymanniana Combretocarpus rotundatus
KR (%) 9,30 6,97 4,65 6,97 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65
FR (%) 7,89 5,26 5,26 5,26 5,26 5,26 5,26 2,63 5,26
DR (%) 11,66 10,62 7,49 4,09 6,41 5,02 4,41 6,62 3,78
INP (%) 28,86 22,85 17,39 16,33 16,32 14,93 14,33 13,90 13,69
Metroxylon spp. Artocarpus sp. Alstonia spatulata Blume Durio carianatus Elaeocarpus stipularis Ficus benjamina Palaquium ridleyi Cratoxylum arborescens Metroxylon spp. Ficus microcarpa Palaquium rostratum
67,74 6,45 6,45 3,22 3,22 3,22 3,22 3,22 95,55 2,22 2,22
33,33 13,33 13,33 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 71,43 14,29 14,29
75,86 6,95 4,79 3,15 2,39 1,89 1,89 1,73 98,63 0,68 0,68
176,93 26,74 24,57 13,05 12,28 11,78 11,78 11,63 265,61 17,19 17,19
Nama Jenis
Hasil Tabel 7. diketahui bahwa tiga jenis yang paling dominan tingkat pohon pada hutan alam adalah Shorea parvifolia, Shorea uliginosa, Palaquium rostratum. Sedangkan pada kebun rakyat adalah Metroxylon spp., Artocarpus sp., Alstonia spatulata Blume dan tingkat pohon dominan pada areal HTI adalah Metroxylon spp., Ficus microcarpa, Palaquium rostratum. Untuk jenis vegetasi pohon hutan yang sama antara ketiga komunitas hutan adalah Cratoxylum arborescens dan Palaquium rostratum. Selengkapnya pada lampiran 5a, 5b dan 5c. Jumlah jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan yang ditemukan di ketiga komunitas hutan yang dipelajari (Gambar 6), dapat dijelaskan bahwa secara umum jumlah jenis tertinggi ditemui pada komunitas hutan alam kemudian komunitas kebun rakyat dan terendah pada areal HTI. Hal ini disebabkan karena fungsi pengelolaan ketiga komunitas hutan ini juga sangat berbeda, hutan alam berfungsi sebagai kawasan konservasi, kebun rakyat sebagai penunjang ekonomi
35 keluaarga yang dikelolah d seecara tradisiional dan areal a HTI yaang dikelollah sebagai perkeebunan saguu.
30
26 22
25 20
17 12
14
15 9
8 10
5 3
5 0 Panccang Hutan Alam m
Tiang Kebun R Rakyat
Pohon Arreal HTI
Gam mbar 6. Jum mlah jenis untuk u masinng-masing tingkat t perttumbuhan ppada setiap kom munitas hutaan. Jumlahh jenis tertinnggi untuk pertumbuha p an tingkat pohon p (26 jeenis), tiang (22 jenis) dan pancang (17 jenis) ditemui pada di kom munitas huutan alam, sedanngkan untuk jumlah jeenis terendaah pertumbu uhan tingkaat pohon (3 jenis) dan tiangg (5 jenis)) ditemukaan pada komunitas k areal a HTI, selanjutnyya tingkat pertuumbuhan paancang terenndah (12 jennis) pada ko omunitas keebun rakyat..
Keraapatan Kerapataan seluruh jenis untuk semua s tingk kat pertumbbuhan dan luuas bidang dasarr (lbds) unntuk tingkat tiang dan d pohon pada setiaap komuniitas hutan, ditam mpilkan padda Tabel 8.
36 Tabel 8. Kerapatan K t tingkat perrtumbuhan seluruh jeenis dan lbbds pada setiap s k komunitas tiipe penggunnaan lahan gambut. g
No. 1 2 3
Tingkat Perttumbuhan Tian ng Pancang
Koomunitas H Hutan Hutan Alam Kebbun Rakkyat Areal HTI
Total
Pohon
K ((I/ha)
lbdss (m2/hha)
K (I/ha)
lbds (m ( 2/ha)
K (I/hha)
lbds (m2/ha)
K (I/ha)
3 3.120
-
580
10,67 1
2155
17,64
3.915 28,,31
1 1.920
-
440
18,47 1
1555
11,94
2.515 30,,41
2 2.380
-
640
40,66 4
2255
22,97
3.245 63,,63
lb bds (m2/ha)
Keterangan : K = Kerapaatan lbds = Luass bidang dasarr I = Individuu
Taabel 8. mennggambarkaan bahwa kerapatan k u untuk tingkaat pancang pada lokasi pennelitian berkkisar antaraa 1.920 – 3.120 3 indivvidu/ha, term masuk ke dalam d klasifikasii kerapatan tinggi, sedaangkan kerapatan perm mudaan tinggkat tiang di d dua komunitass berkisar antara 5800 – 640 ind dividu/ha termasuk kllasifikasi seedang kecuali pada kebun rakyat terrmasuk dalam kerapattan rendah, dan keraapatan tingkat poohon termassuk klasifikaasi rendah dengan d keraapatan berkkisar antara 155 225 indiviidu/ha. 156
160 140
119
120 100
96
80
4 64
58
60
4 40.66 44
40 20
15.5 5
18.47 10.67
21.5
22.5
11 1.94 22.97 17.64
0 Kx20 (I/ha) Pancang
Kx10 (I/ha)) lbds (m2/h ha) Tiang
Huttan Alam
K x10(I//ha) lbds (m m2/ha) Pohon
Kebun R Rakyat
Areal HTI
Gambar 7. Nilai keraapatan (K) dan d Luas bidang dasar (lbds) tingkkat pertumb buhan di hutan alam, a kebunn rakyat dan n areal HTI. Luuas bidang dasar (lbdss) seluruh jenis j untukk tingkat tiaang pada semua s komunitass hutan (Gaambar 7), menjelaskan m bahwa areaal HTI mem miliki luas bidang dasar tertinggi (40,666 m2/ha) dibbandingkan komunitas kebun rakyyat (18,47 m2/ha)
37 dan hutan alam (10,67 m2/ha), demikian juga untuk tingkat pohon, lbds tertingi pada areal HTI dengan 22,97 m2/ha kemudian hutan alam 17,64 m2/ha dan kebun rakyat 11,94 m2/ha. Keragaman/Diversity (H’), Keseragaman/Evennes (E), dan Dominansi (D) Indeks keragaman (H’) menggambarkan tingkat keragaman di dalam suatu komunitas, sedangkan Indeks keseragaman (E) mengukur tingkat keseragaman dari spesies yang diamati dalam suatu komunitas dan Indeks Dominansi (D) merupakan nilai kuantitatif pada tingkat dominansi relatif didalam komunitas, yang biasanya ditunjukkan oleh satu jenis pohon didalam komunitas. Semakin tinggi nilai H', maka semakin tinggi pula keragaman jenis pada komunitas hutan yang bersangkutan, sebaliknya jika nilai H' semakin rendah maka keragaman jenis pada komunitas bersangkutan semakin rendah, demikian juga dengan nilai indeks E, Untuk nilai D, semakin tinggi nilai indeksnya maka mengindikasikan semakin dominan salah satu jenis dalam komunitas tersebut, demikin juga sebaliknya, semakin rendah nilai D maka semakin banyak dominansi jenis pada kamunitas tersebut. Hasil perhitungan beberapa nilai indeks pada masing-masing komunitas hutan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai indeks keragaman (H'), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada masing-masing komunitas hutan untuk setiap tingkat pertumbuhan. No,
Indeks
1
H (Keragaman)
2
E (Keseragaman)
3
D (Dominansi)
Tingkat Pertumbuhan Pancang Tiang Pohon Pancang Tiang Pohon Pancang Tiang Pohon
Hutan Alam 2,75 2,99 3,15 1,25 1,67 1,52 0,07 0,06 0,05
Komunitas Hutan Kebun Areal Rakyat HTI 1,95 2,31 1,44 0,77 1,50 0,44 0,89 1,05 0,80 0,43 0,72 0,21 0,24 0,14 0,38 0,65 0,37 0,79
38 Padda Tabel 9. 9 terlihat bahwa kom munitas Hutan H alam memiliki nilai keragamann tertinggi dibandingka d an dengan 2 komunitass lainnya yaaitu pada tiingkat pohon sebbesar 3,15 tiingkat tiang 2,99 dan pancang p 2,755. Nilai keraagaman tereendah terlihat pada komunittas Areal HT TI untuk tin ngkat pohonn sebesar 0,444 dan tiang g 0,77 sedangkann nilai terenndah pada tingkat paancang terlihat pada kkomunitas kebun k rakyat denngan nilai indeks 1,995. Indeks keragaman ini menunnjukan kekaayaan spesies ataau keanekaraagaman hayyati (Gambaar 8).
(a) Nilai Indeks Keragaman
3.5 3
2 2.75
2.99
5 3.15 2.31
2.5
1.95 1.5 1 1.44
2 1.5
0.77 0 0.44
1 0.5 0 H Hutan Alam
Kebun R Rakyat P Pancang
T Tiang
Areal HTI Poho on
(b) Nilai Indeks Keseeragaman
2 1.5
1.67
1.52
1..25 1.05 0.89
1
0.8
0.72 0.43
0.5
0.21
0 H Hutan Alam
Kebun R Rakyat Areal HTI Pancang P T Tiang Poho on
39
(c) Nilai N Indeks Dominansi D 0.79 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0.65 5
0.38
0.37
0.2 24 0.14 0.07 0.06 6 0.05
Hutan Alam
Keb bun Rakyat Pancang
Tiang
Areal HTTI P Pohon
Gam mbar 8 (a,b,cc). Nilai Inddeks Shannoon-Weiner tingkat perrtumbuhan ppada ketiga tipe penggunaan lahhan. Indeks keeseragaman menunjukaan bahwa paada komuniitas hutan aalam untuk tingkkat pertumbuuhan tiang memiliki m tinngkat keseraagaman palinng tinggi yaaitu sebesar 1,67.. Untuk tinggkat keseraggaman palinng rendah yaitu sebessar 0,21 teerlihat pada tingkkat pertumbuuhan pohonn di komuniitas areal HTI, H sedanggkan hasil pperhitungan indekks dominanssi jenis yangg tertinggi teerlihat padaa tingkat pohhon di komuunitas areal HTI dan terendaah pada kom munitas hutann alam untu uk tingkat poohon.
Kesaamaan Kom munitas Hasil peerhitungan nilai indekks kesamaan n antara koomunitas hhutan alam denggan berbagaai tipe pengggunaan lahhan, dan in ndeks kesam maan komuunitas antar berbaagai komunnitas tipe pennggunaan laahan disajik kan pada Taabel 10. Tabeel 10. Nilai indeks i kesaamaam kom munitas (%) antar setiapp komunitas hutan. No.
Tiingkat pertuumbuhan
1
Pancangg
2
Tiang
3
Pohon
Komunnitas Hutan Hutan Alaam Kebun Raakyat Hutan Alaam Kebun Raakyat Hutan Alaam Kebun Raakyat
Kebun Rakyat
A Areal HTI
48,,28 26,,67 22,,86 -
51,61 53,85 22,22 15,38 6,90 16,67
40 Pertumbuhan tingkat pancang, nilai kesamaan komunitas antar komunitas hutan yang dibandingkan pada umumnya rendah ≥ 55%. Nilai indeks tertinggi adalah antara kebun rakyat dan areal HTI (53,85%) dan terendah antara hutan alam dan kebun rakyat (48,28%). Kesamaan komunitas tumbuhan tingkat tiang antara ketiga komunitas sangat rendah (15,38% – 26,67%), sedangkan pada tingkat pohon yang tingkat paling rendah adalah antara komunitas hutan alam dan areal HTI (6,90%).
Biomassa Tegakan Biomassa tegakan yang dimaksud adalah total berat bahan organik dari masing-masing tingkat pertumbuhan tiang dan pohon pada berbagai komunitas hutan. Pendugaan biomassa dapat dijadikan sebagai penduga kasar dari laju produktifitas suatu individu jenis atau kumunitas hutan (Hutcihing dan Saenger, 1987). Potensi tegakan suatu komunitas dipengaruhi oleh beberapa dimensi, misalnya diameter dan tinggi, oleh karena itu dimensi pohon dapat dijadikan sebagai salah satu peubah yang digunakan untuk menduga besarnya suatu bahan organik pohon (Hilmi, 2004). Biomassa tegakan setiap komunitas hutan pada tingkat pertumbuhan tiang dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Biomassa beberapa jenis dominan tingkat pertumbuhan Tiang pada tiga komunitas penggunaan lahan gambut. Komunitas Hutan
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Areal HTI
No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Shorea uliginosa Shorea parvifolia Baccaurea bracteata Garcinia rostrata Gonystylus becanus Metroxylon spp. Arthocarpus sp. Beccaurea bracteata Shorea parvifolia Palaquium ridleyi Metroxylon spp. Ficus microcarpa Combretocarpus rotundatus Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa
Rata-rata Biomassa (kg/Pohon) 178,08 176,41 142,07 250,11 221,81 532,41 181,10 221,81 221,81 62,33 632,12 167,04 62,33 10,99 10,99
Jumlah Biomassa (Kg/Jenis)
Biomassa (ton/ha)
534,24 529,24 284,14 250,11 221,81 6.921,27 362,20 221,81 221,81 124,65 17.699,24 167,04 62,33 10,99 10,99
10,68 10,58 5,68 5,00 4,44 138,43 7,24 4,44 4,44 2,49 353,98 3,34 1,25 0,22 0,22
41 Tabel 11. memperlihatkan bahwa hasil pendugaan biomassa tertinggi pertumbuhan tingkat pancang di hutan alam terdapat pada jenis Shorea uliginosa dengan rata-rata 178 kg pohon-1 atau 10,68 ton ha-1 dan Shorea parvifolia sebesar 176 kg pohon-1 atau 10,58 ton ha-1, pada areal kebun rakyat dan areal HTI adalah Metroxylon spp. dengan nilai masing-masing 532,41 kg pohon-1 atau 138,43 ton ha-1 dan 632,12 kg pohon-1 atau 353,98 ton ha-1. Selengkapnya pada Lampiran 6a. Biomasa tegakan setiap komunitas hutan pada tingkat pertumbuhan pohon dapat dilihat pada Tabel 12. Selengkapnya pada Lampiran 5b. Tabel 12. Biomassa beberapa jenis dominan tingkat pertumbuhan Pohon pada tiga komunitas penggunaan lahan gambut. Komunitas Hutan
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Areal HTI
No.
Jenis
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3
Shorea parvifolia Shorea uliginosa Palaquium rostratum Gonystylus becanus Shorea tesymanniana Metroxylon spp. Artocarpus sp. Alstonia spatulata Blume Durio carianatus Elaeocarpus stipularis Metroxylon spp. Ficus microcarpa Palaquium rostratum
Rata-rata Biomassa (kg/Pohon) 943,98 1.190,31 1.210,41 1.070,84 1.060,76 776,40 740,26 509,72 670,76 509,72 960,06 279,12 279,12
Jumlah Biomassa (Kg/Jenis) 3.775,91 3.570,92 2.420,83 2.141,68 2.121,52 16.304,49 1.480,53 1.019,44 670,76 509,72 41.282,73 279,12 279,12
Biomassa Jenis (ton/ha) 18,88 17,85 12,10 10,71 10,61 81,52 7,40 5,10 3,35 2,55 206,41 1,40 1,40
Hasil Tabel 12. memperlihatkan bahwa pendugaan biomassa tertinggi pertumbuhan tingkat pohon di hutan alam terdapat pada jenis Shorea parvifolia sebesar 943 kg pohon-1 atau 18,88 ton ha-1 dan Shorea uliginosa dengan rata-rata 1.190 kg pohon-1 atau 17,85 ton ha-1, pada areal kebun rakyat dan areal HTI adalah Metroxylon spp. dengan nilai masing-masing 776 kg pohon-1 atau 81,52 ton ha-1 dan 960 kg pohon-1 atau 206,41 ton ha-1 (Gambar 8.). Selengkapnya pada Lampiran 6b.
42
ton ha-1 01 359.0
400.00 350.00 300.00 250.00 200.00
2 209.20 161.13
159.75 107.22 2
150.00
67.79
100.00 50.00 0.00 Hutan Alam
Kebun Rakyat Pohon
Areal HTI
Tiang
Gambar 9. Total Bioomassa (tonn ha-1) perttumbuhan tingkat t tianng dan pohon di setiap kom munitas huttan.
Tanah Taanah rawa gambut g di lokasi l peneelitan adalahh komplekss organosoll gley humus deengan bahann batuan alluvial padaa fisiografi datar, Berddasarkan tingkat kematangaannya tanahh gambut di lokasi pen nelitian term masuk tanahh dengan tin ngkat kematangaan hemik. Haasil analisis Laboratoriium tanah gambut g padda setiap diitampilkan pada Tabel 13. Tabel 13. Sifat kimia tanah padaa tiga tipe peenggunaan lahan l gambbut. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Parameeter pH H2O ** C Org O (%) N Total T (%) ** P Bray-1 B (ppm)) ** Ca (me/100 g) Mgg (me/100 g) K (me/100 g) ** Na (me/100 g) KT TK (me/100 g) g Kejjenuhan B assa(%) Kaddar Air (%) Kaddar Abu (%)
Hutan Alaam 3,30 55,10 0,66 13,15 2,95 2,85 0,60 0,64 71,08 7,70 146,36 4,46
Komunnitas Hutan * Kebbun rakyat 3,30 55,53 0,45 12,45 5,71 2,02 0,14 0,52 57,06 14,93 181,30 4,27
Areal HTI 3,40 51,31 5 0,60 11,98 1 2,81 1,93 0,34 0,47 60,08 6 9,46 14 46,20 11,82 1
* Data Kom munitas Hutan : Bintoro, Settiadi, Alloreru ung, Mofu (20008) * Parameterr : Kriteria tinggkat Kesuburaan gambut meenurut Wiradinnata dan Harddjosoesastro (1 1979)
43 Dari hasil analisis seperti pada Tabel 13. di atas dan berdasarkan kriteria penilaian tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1993 (Lampiran 7a), dapat dijelaskan bahwa nilai pH (H2O) di lokasi penelitian berkisar antara 3,20 - 3,50 tergolong sangat masam dengan tingkat kesuburan tanah rendah (Lampiran 7b). Kandungan C-organik (50,90% - 55,86%) di lokasi penelitian tergolong sangat tinggi dan N-total pada komunitas kebun rakayat (0,40% - 0,70%) tergolong sedang sampai tinggi, sedangkan tingkat kesuburan tanah tergolong tinggi, Untuk nilai P-tersedia (11,50 - 13,80 ppm) tergolong kategori rendah dengan tingkat kesuburan tanah juga rendah. Nilai kation-kation basa seperti Ca, Mg, K dan Na rnenunjukkan tingkatan yang bervariasi berdasarkan kisaran nilainya, Kandungan Ca (1,53 – 6,70 me/100g) di lokasi penelitian termasuk rendah, Mg (1,15 – 3,18 me/100 g) termasuk sedang sampai tinggi, K (0,10 – 0,75 me/100g) termasuk rendah sampai sedang demikian juga tingkat kesuburan tanahnya dan nilai kation Na (0,37 - 0,76 me/l00g) termasuk dalam kategori sedang. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah berkisar antara 45,44 – 68,70 me/ 100g di lokasi penelitian tergolong kategori yang sangat tinggi, Sedangkan Kejenuhan Basa (KB) berkisar antara 6,72% - 16,07% termasuk kedalam kategori sangat rendah, Untuk kadar abu (3,70% - 18,42%) termasuk kedalam kategori rendah sampai tinggi, Kadar air pada lokasi penelitian berkisar antara 127,42 – 156,80% dapat digolongkan kedalam batas normal. Tabel 13. menunjukkan tanah gambut pada lokasi penelitian termasuk jenis gambut topogenous yang bersifat mesotrofik, artinya gambut air tawar dengan tingkat kesuburan sedang.
44
Pembahasan Jumlah jenis yang ditemukan pada lokasi penelitian ini tidak berbeda jauh dengan jumlah jenis yang ditemukan Kongse (1995) dalam penelitiannya pada hutan rawa gambut di Riau. Selain itu dari hasil penelitian yang di1akukan sebelumnya, Istomo (1994) dan Koesmawadi ( 1996) menemukan masing-masing sebanyak 41 dan 39 jenis pohon pada hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan Wibowo (1999) menemukan sebanyak 57 jenis pohon pada hutan rawa gambut di Sumatera Selatan. Membandingkan komposisi jenis pada setiap komunitas hutan yang dipelajari, menunjukkan adanya perbedaan antar masing-masing komunitas hutan tersebut. Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh jenis-jenis dominan yang berbeda pada masing-masing komunitas hutan, mengkaji adanya perbedaan komposisi jenis antar komunitas hutan pada lokasi penelitian ini, erat kaitannya dengan keanekaragaman jenis pada masing-masing komunitas hutan, sebab komposisi jenis yang ditunjukkan oleh indeks nilai penting (INP) merupakan penjumlahan dari faktor (nilai) kerapatan (kelimpahan) relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Jenis-jenis yang rnendominasi pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon pada komunitas hutan alam adalah S. uliginosa, S. parvifolia, C. rotundatus, B. bracteata dan P. rostratum dengan rata-rata INP 17% - 33%. Sedangkan pada komunitas kebun rakyat dan areal HTI selain tanaman budidaya Metroxylon spp. (57% - 265%), jenis vegetasi hutan yang hadir adalah M. semiglobosa, A. umbelliflora, B. bracteata, Arthocarpus sp., C. rotundatus dan P. ridleyi dengan kisaran INP 20% -28%. Perubahan kehadiran jenis pada ketiga komunitas ini lebih di sebabkan karena tipe penggunaan lahan yang berbeda. : Perubahan hutan alam menjadi areal kebun dan HTI berdampak besar terhadap kehadiran jenis utama hutan gambut. pembukaan areal kebun dan HTI dengan cara tebang pilih, tebang habis secara umum nyata telah merubah komposisi jenis vegetasi hutan dan kehadiran beberapa vegetasi hutan merupakan jenis yang tumbuh secara alami dan mampu beradaptasi. Beberapa jenis vegetasi hutan pada waktu tingkat semai maupun pancang memerlukan radiasi sinar matahasi yang cukup. Pembukaan lahan hutan di kebun rakyat dan areal HTI
45 memungkinkan tumbuhnya dan berkembang beberapa anakan dengan baik. Masuknya intensitas sinar matahari yang tinggi, maka terjadi persaingan dengan jenis jenis lain yang sesuai dengan kebutuhan cahaya pada masing-masing jenis. Persaingan dalam memperoleh unsure hara antar vegetasi hutan dan tanaman budidaya serta jenis pakuan (Nephrolepis sp.). Jumlah jenis terbanyak yang ditemukan pada kebun rakyat dan areal HTI adalah pada tingkat pertumbuhan pancang (12-14 jenis) kemudian tiang (5-8 jenis) dan tingkat pohon (3-9 jenis), hal ini terbalik dengan yang ditemukan di hutan alam yaitu terbanyak pada tingkat pertumbuhan pohon (26 jenis) kemudian tiang (22 jenis) dan pancang (17 jenis). Penyebab utamanya adalah bahwa selain di hutan alam, dua tipe punggunaan lahan lainnya merupakan lahan budidaya sehingga sering dilakukan pembersihan atau penebangan terhadap vegetasi selain Metroxylon spp. atau tanaman sagu. Menurut Indrawan (2000), hadirnya jenis vegetasi pada hutan-hutan bekas tebangan pada tingkat permudaan dibandingkan dengan hutan primer karna keanekaragaman jenis tumbuhan pada areal bekas tebangan telah diinvasi oleh jenis-jenis pohon pionir dan komunitas hutan bekas tebangan sedang mengalami suksesi sekunder menuju pada hutan klimaks. Hale (1980) mengemukakan ciri-ciri jenis pionir adalah : (1) Biji umumnya kecil, disebarkan oleh burung. (2) Mempunyai dormansi yang lama pada tanah hutan ( berkecarnbah bila terdapat sinar rnatahari ). (3) Semai memerlukan cahaya, pohon-pohon kecil, turnbuh dengan cepat. (4) Perturnbuhan pada iklirn makro, daun-daun besar dan lunak, cabang-cabang sedikit dan besar. (5) Kayu lunak dan berwarna terang (6) Perbandingan buah dan bunga tinggi Soeriaatmadja (1985) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis dari suatu komunitas tidak cukup diterangkan oleh kekayaan jenis, tetapi juga oleh kelimpahan relatif (relarive abundance) dari masing-masing populasi, yang akan memberikan gambaran mengenai ekuitabilitas (equitabily), Keanekaragaman lebih besar bilamana ekuitabilitas lebih besar, yaitu jika populasi-populasi itu merata
46 satu sama lain dalam kelimpahannya. Jika hanya beberapa jenis saja yang melimpah, sedangkan yang lain sangat jarang (ekuitabilitas rendah), maka keanekaragaman jenis tersebut adalah rendah. Kerapatan untuk tingkat pancang pada lokasi penelitian berkisar antara 1,920 – 3,120 individu/ha termasuk ke dalam klasifikasi tinggi, sedangkan kerapatan permudaan tingkat tiang di dua komunitas rnemiliki kisaran antara 580 – 640 individu/ha termasuk klasifikasi sedang kecuali pada kebun rakyat termasuk dalam kerapatan rendah, dan untuk kerapatan tingkat pohon termasuk klasifikasi rendah dengan kerapatan berkisar antara 155 - 225 individu/ha. Melihat hasil kelimpahan jenis, komunitas hutan alam memiliki kelimpahan yang tinggi untuk tingkat pancang (Gambar 7). sedangkan pada tingkat tiang dan pohon termasuk kategori rendah sampai sedang. Pada kebun rakyat dan areal HTI sagu. Klasifikasi sedang untuk tingkat pertumbuhan tiang pada hutan alam dan areal HTI, sedangkan rendah pada kebun rakyat. kerapatan pertumbuhan tingkat pohon termasuk klasifikasi rendah untuk semua komunitas hutan. Keadaan seperti ini hampir sama seperti dilaporkan oleh Kongse (1995) dan Wibowo (1999) dari hasil penelitian yang dilakukan masing-masing pada hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau dan Sumatera Selatan. Kelimpahan jenis hanya ada pada jenis-jenis budidaya yang merupakan jenis utama dalam penggunaan lahan dimaksud. Besarnya kerapatan dan lbds antara hutan alam dan areal HTI didapatkan bahwa kerapatan dan lbds pada hutan alam lebih rendah dari lbds kebun rakyat dan areal HTI, rendahnya kerapatan dan lbds pada hutan alam disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pohon dan kerapatan pohon yang tentunya akan berakibat menurunnya luas bidang dasar tegakan. Hal sebaliknya yang ditemukan pada hutan alam adalah tingkat keragaman yang tinggi dari kedua tipe komunitas hutan lainnya, namun luas bidang dasarnya lebih kecil dari lbds pada kebun rakyat dan areal HTI, hal utama yang menyebabkannya adalah bahwa vegetasi dominan pada kedua tipe hutan tersebut adalah tanaman sagu (Metroxylon spp.) yang memiliki kecepatan tumbuh lebih cepat dari vegetasi pada hutan alam. Selanjutnya Tingkat kesamaan jenis antar komunias hutan dilokasi penetian ditunjukan oleh besarnya nilai indeks
47 kesarnaan komunitas, dari hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan bahwa nilai indeks kesamaan untuk semua tingkat pertumbuhan berkisar antara 6,90% 53,85%, dan secara umum dapat dikatakan bahwa keadaan antar komunitas yang di bandingkan memiliki kondisi yang sangat berbeda, karena tingkat kesamaan kuminitasnya kurang dari 55%. Hasil perhitungan diketahui bahwa keanekaragaman jenis untuk semua tingkat pertumbuhan pada lokasi penelitian tergolong ke dalam klasifikasi rendah. Keadaan ini sama seperti dilaporkan oleh Koesmawadi (1996) dari hasil penelitiannya yang dilakukan pada hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dimana nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhannya termasuk ke dalam klasifikasi rendah (nilai H' < 2). Membandingkan keanekaragaman jenis pada masing-masing komunitas hutan, memperlihatkan bahwa Keanekaragaman jenis tumbuhan pada hutan alam sangat tinggi jika dibandingkan dengan kebun rakyat dan areal HTI sagu. Kehadiran beberapa jenis vegetasi hutan pada kebun rakyat dan areal HTI adalah jenis-jenis yang memiliki kemampuan untuk hidup dan beradaptasi terhadap lingkungan pada hutan yang mengalami perubahan tersebut. Hardjowigeno (1997) mengemukakan bahwa kegiatan penebangan kayu di hutan gambut sudah barang tentu akan mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber bahan organik bagi pembentukan tanah gambut. Dekomposisi bahan organik yang berjalan terus rnenerus tidak dapat diimbangi oleh penambahan bahan organik dari serasah hutan yang jumlahnya semakin sedikit sehingga keseirnbangan dalarn ekosistem gambut terganggu, selain itu akibat pembukaan lahan hutan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan iklim mikro dan habitat bagi kehidupan flora dan fauna yang ada. Pendugaan Biomassa pada ketiga tipe penggunaan lahan menunjukan perbedaan nilai yang cukup besar, pada hutan alam sangat dipengaruhi oleh jenis tegakan tua seperti Shorea parvifolia, Shorea uliginosa dan Palaquium rostratum, sedangkan kebun rakyat dan areal HTI dipengaruhi oleh tanaman budidaya Metroxylon spp. Kandungan biomassa sangat dipengaruhi oleh kerapatan pohon dan diameter dari jenis-jenis yang dominan penyusun tegakan hutan. Selain itu berat
48 jenis tumbbuhan yangg berbeda-bbeda menyebabkan peerbedaan kaandungan bahan b organik pada p pohon tertentu seehingga beerat jenis merupakan m vvariable peenting dalam mennghitung kaandungan baahan organiic pohon. Haasil penelitiian menunj njukan bahw wa pada tiingkat perttumbuhan tiang, t kandungann biomassaa terbesar ada a pada komunitas k a areal HTI ddengan tan naman utaman saagu mempunnyai biomasssa sebesar 359,01 ton ha-1 dan padda tingkat pohon p 209,20 toon ha-1. Pada P komuunitas keb bun rakyat, biomassaa pada tingkat pertumbuhhan tiang seebesar 159,75 ton ha-1 dan tingkaat pohon sebbesar 107,2 22 ton ha-1. Sedaangkan di huutan alam untuk u tingkaat pertumbuuhan tiang sebesar 67,7 79 ton ha-1 dan tingkat pohon 161,13 toon ha-1. Secara keseluuruhan biom massa tegakaan pada tinggkat pertum mbuhan tiang g dan pohon padda komunittas tipe pennggunaan laahan masing-masing aadalah areall HTI 568,22 tonn ha-1, kebuun rakyat 2666,97 ton haa-1 dan Hutaan alam 2288,92 ton ha-11.
Biomssa (ton/ha) (
568.22
600.00 500.00 400.00
228.92
266.97
300.00 200.00 100.00 ‐ Hutan Alam Hutan A Alam
Kebun Rakyat Kebu un Rakyat
Areal HTI Areal HTI
Gaambar 10. T Total biomaassa pada keetiga komunnitas tipe peenggunaan lahan g gambut. Bioomassa totaal pada baggian pohon diatas tanaah pada hutan alam, kebun k rakyat dann areal HTII diperoleh dengan menggunakan persamaann allometrik kW= 0.0145D3- 0.4659D2 + 30.64D – 263.32 menunjukan juumlah yang cukup ting ggi.
49 Tabel 14. Perbandingan potensi biomassa tegakan di beberapa lokasi. Lokasi dan Jenis Pohon
(N/ha)
Diameter (cm)
Hutan rakyat (Jenis utama Sengon) * 6,2 - 43,8 1.Tegakan Murni di Pacekelen 2. Tegakan Campuran di Kertayasa Hutan Mangrove 643 11,3 - 38,1 1. Rhizophora apiculata 67 12,5 - 24,6 2. Rhizopora muconata 162 13,7 - 32,7 3. Bruguiera cpp 651 Damar Agroforest di Krui Lampung 670 2,4 - 35,7 Hutan Kerangas di Kalimantan 1233 5,6 - 13,1 Tegakan Acacia PT MHP-HTI 912 5,1 - 43,9 Hutan Rakyat Sengon di Pacekelen Hutan Rakyat Cempaka dan wasian 727 6,85 - 70,8 1. Tegakan Murni di Masarang 304 6,50 - 83,5 2. Tegakan campuran di Tareran 57 10 - 75.1 Tegakan Pohon Ramin di HPH Riau 1667 3,5 - 38,2 Tegakan Pinus di RPH Cianten 1234 4,6 - 25,4 Hutan Rakyat (Kayu Afrika) # 986 10,1 - 42,2 Kebun Campuran di Karacak 15thn# *Data dasar tidak ada; # Kandungan biomassa dalam (Mg/ha) Sumber : Langi YAR. (2007)
Biomassa (ton/ha)
Sumber Rusolono (2006)
162,4 147,6 Hilmi (2003) 926,2 23,56 71,26 689,4 874,9 14,86 166,2 504,5 142,5 25442.2 178,1Mg /ha 288Mg /ha 21,3Mg /ha
Salim (2005) Onrizal (2004) Ismail (2005) Sianturi (2004) Studi ini
Siregar (1995) Siahaan (2003) Asyisanti (2004) Yuli (2003)
Tanah rawa gambut di lokasi penelitian memiliki pH yang sangat masam (3,3 - 3,4), dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada hutan rawa gambut di berbagai tempat seperti Kalimantan Tengah (Istomo, 1994; Koesmawadi, 1996), Sumatera Selatan (Wibowo, 1999) dan Riau (Kongse, 1995), dilaporkan bahwa tanah gambut di masing-masing lokasi penelitian tersebut juga memiliki pH yang sangat masam. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Hardjowigeno (1996) bahwa secara umum pH tanah gambut di Indonesia berkisar antara 3 sampai 5 dan biasanya menurun dengan meningkatnya kedalaman. Tingginya tingkat kemasaman tanah menyebabkan berkurangnya aktivitas mikroorganisme dan menurunnya ketersediaan unsur hara. Kemasaman tanah dapat juga menyebabkan kekahatan unsur N, P, K, Ca, Mg, B, Zn dan Mo (Budiyanti et al. 1992 ; Hardjowigeno, 1996). Keadaan lokasi penelitian yang memiliki nilai KTK tanah yang sangat tinggi dan nilai kejenuhan basa yang sangat rendah sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hardjowigeno ( 1997) bahwa sifat umum yang dimiliki oleh
50 tanah gambut adalah antara lain kandungan bahan organik yang tinggi, mudah mengalami penyusutan, kapasitas tukar kation yang sangat tinggi dan kejenuhan basa yang sangat rendah. Tingginya nilai KTK ini disebabkan karena tanah gambut merupakan tanah yang kandungan bahan organiknya sangat tinggi. Menurut Foth (1995), sebagian besar tanah, bahan organik merupakan komponen dengan kapasitas tukar kation paling besar, Kapasitas tukar kation bahan organik meningkat sesuai dengan humifikasi. Selanjutnya di kemukakan bahwa pelapukan mineral merupakan sumber alami kation yang memungkinkan kemampuan mengadsorbsi sebagian kation dapat ditukar, dan persediaan kation paling besar diberikan oleh pelapukan. Hardjowigeno (1996) mengemukakan bahwa keadaan dimana KTK tanah yang tinggi dan kejenuhan basa yang sangat rendah, dapat menghambat ketersediaan unsur hara bagi tanaman terutama K, Mg dan Ca. Faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman pada tanah gambut adalah tidak tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Budiyanto et al. 1992). Rendahnya kadar unsur Cu dikarenakan rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah dan kuatnya ikatan kompleks Cu-organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Hardjowigeno, 1996). Kurangnya ketersediaan unsur-unsur hara bagi tanaman menjadi salah satu faktor penyebab dimana hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat hidup dan bertahan pada tanah gambut, sehingga jenis-jenis yang dijumpai pada hutan rawa gambut relatif sedikit.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Komposisi jenis permudaan di hutan gambut terdiri dari 43 jenis turnbuhan, Keragaman tertinggi terdapat di hutan alam dengan 37 jenis kemudian kebun rakyat 20 jenis dan areal HTI 14 jenis. Jenis dominan hutan alam untuk tingkat pancang, tiang dan pohon adalah Shorea parvifolia, Shorea uliginosa dan Cratoxylum arborescens. Sedangkan di kebun rakyat dan HTI didominasi oleh Metroxylon spp. 2. Kehadiran jenis vegetasi hutan pada kebun rakyat dan areal HTI adalah adalah Shorea parvifolia, Baccaurea bracteata, Palaqium rostratum, Palaqium ridleyi, Cratoxylum arborescens, Alseodaphne umbelliflora, Macaranga semiglobosa. Hal ini disebabkan karena perbedaan fungsi penggunaan lahan pada kumunitas hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI. 3. Hutan alam memiliki nilai keragaman tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan yaitu tingkat pohon sebesar 3,15 tingkat tiang 2,99 dan pancang 2,75. Nilai keragaman terendah pada komunitas Areal HTI untuk tingkat pohon sebesar 0,44 dan tiang 0,77 sedangkan nilai terendah pada tingkat pancang pada komunitas kebun rakyat dengan nilai indeks 1,95. 4. Pendugaan potensi biomassa pada areal HTI dengan tanaman utama Metroxylon spp. (sagu) untuk tingkat pertumbuhan pancang adalah sebesar 359,01 ton ha-1 dan tingkat pohon 209,20 ton ha-1. Komunitas kebun rakyat untuk biomassa tingkat pertumbuhan tiang sebesar 159,75 ton ha-1 dan tingkat pohon sebesar 107,22 ton ha-1. Sedangkan di hutan alam untuk tingkat pertumbuhan tiang sebesar 67,79 ton ha-1 dan tingkat pohon 161,13 ton ha-1. 5. Total kandungan biomassa tegakan pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon di masing-masing tipe penggunaan lahan adalah areal HTI 568,22 ton ha-1, kebun rakyat 266,97 ton ha-1 dan Hutan alam 228,92 ton ha-1.
52
Saran 1. Perlu dipertimbangkan untuk memelihara jenis-jenis vegetasi hutan dalam areal HTI tanaman perkebunan di kawasan hutan gambut, secara khusus pada jenis komersil maupun endemik. Namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap pengaruh jarak tanam dan persaingan antar jenis vegetasi hutan dan tanaman perkebunan jangka panjang. 2. Jenis-jenis dominan hutan alam (Shorea parvifolia, Shorea uliginosa, Beccaurea bracteata, Alseodaphne umbelliflora) yang muncul pada komunitas selain hutan alam dapat dijadikan jenis pilihan untuk mereforestasi hutan gambut yang telah terdegradasi.
DAFTAR PUSTAKA Andriesse JP. 1988. Nature and Mangement of Tropical Peat Soil. Food and Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Anderson JAR. 1964. The Structure and Development of The Peat Swamp of Sarawak and Brunai. J.Trop. Geograp. 18:6-7 Anwar J, Damanik SJ, Hisyam N, Whitten AJ. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Asian Wetland Bureau dan Direktorat Jenderal PHPA. 1993.Warta Konservasi Lahan Basah. Bogor. Barbour MG, Burk JH, Pitts WP. 1978. Terresterial Plant Ecology. The Benjamin/ Cumming Publishing. Co. Inc. California. Bintoro HMH, Setiadi DH, Allorerung D. Mofu WY. 2008. Pembibitan dan Karakteristik Lingkungan Tumbuh Sagu. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama LPPM-IPB dan Sekretariat Badan LITBANG DEPTAN. Bogor. Budiyanti Y, Ismail IG, Sudarsono, Rachim DA. 1992. Evaluasi Penyebaran Kedalaman Lapisan Berpotensi Sulfat Masam di Karang Agung Hulu, Sumatera Selatan. Proceeding Seminar Pengembangan Terpadu Kawasan Pasang Surut di Indonesia. Hal 181 - 188. Budianta D. 2003. Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut yang Berwawasan Lingkungan. Di Dalam CCFPI, editor. Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices. Proceeding of Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia; Bogor, 13-14 Oktober 2003. Bogor. CCFPI. WIIP. Dan Wildlife Habitat Canada. Hlm 183-192. Buckman HO, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. (diterjemahkan oleh Soegiman). Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A primer. FAO Forestry Paper. FAO. USA. Brown S, Gillespie AJR, Lugo AE. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forests with Application to Forest Inventory Data. Forest Science 35(4):881-902. Chapman SB. 1976. Production Ecology and Nutrient Budgets dalam Chapman SB. (Eds), Method in Plant Ecology 2nd ed.: 157-228. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Driensssen PM, Rochimah L. 1976. The Physical Propertis of Lowland Peats from Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolic Soils and Thei Potential for Agricalture in Indonesia. ATA 106:56-70. Driensssen PM. 1978. Peat Soil. Soils and Rice. Los Banos, Philippines. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Darmawijaya MI. 1990. Klasifikasi Tanah. Dasar teori bagi peneliti tanah dan pelaksanaan pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gajdah Mada University Press.
54
Elias. 2009. Sistim dan Teknik Silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia. Bogor: Diklat WAS-GANIS Pemanenan Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Ewusie JY. 1990. EkoIogi Tropika. Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik dan Dunia Baru. Diterjemahkan oleh U. Tanuwidjaya. Bandung: ITB. Foth HD. 1995. Dasar-dasar IImu Tanah. Edisi Ketujuh. Diterjemahkan oleh Endang D. Purbayanti, Dwi R. Lukiwati dan R. Trirnulatsih. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hakim N. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Halle FRAA, Oldeman, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest. An Architectural Analisys. Berlin: Springer Verlog. Harse HM, Foelster, Lindheim. 1985. On the accuracy of estimating above ground tree biomass in a evergreen forest near Manaus, Brazil. A Simulation Study. Biotropica, 17 (3) : 191-195. Hardjowigeno S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996. Hardjowigeno S. 1 997. Pernanfaatan Gambut Berwawasan Lingkungan. Alami : Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Vo12 (1) : 3 - 5 Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: CV. Akademika Pressindo. Hutchings MJ. 1986. The Structure of Plant Population. dalam Crawley MJ. 1986. Plant Ecology. Blackwell Scientific Publications. London. Ibie BF. 1997. Pendugaan Dimensi Tegakan Hutan Rawa Gambut Sekunder Berdasarkan Struktur Tegakan di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Istomo. 1992. Pelestarian Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut dan Permasalahannya di Indonesia. Makalah Penunjang pada Seminar Pengembangan Terpadu Kawasan Rawa Pasang Surut. Bogor: Fakultas Pertanian LPB. Istomo. 1994. Hubungan Antara Kompisisi, Struktur Penyebaran Ramin (Gonystylus becanus) (miq.) dengan Sifat-Sifat Tanah Gambut (Studi Kasus di Areal HPH PT. Inhutani III Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada Tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus di Wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Bagan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jacobs M. 1988. The Tropical Rain Forest. A First Encounter. Berlin: SpringerVerlag. Kusmana C, Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
55
Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005, tentang Sistem TPTII. Keputusan Menteri Kehutanan No. P. 30/Menhut-II/2005, tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project. 2008. Tanya dan Jawab Seputar Gambut di Asia, Khususnya di Indonesia. Kalimantan: CKPP. Kongse MA. 1995. Pengaruh Penebangan Terhadap Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Rawa Gambut. Studi Kasus di HPH PT. Kosrnar Timur Raya Propinsi Riau. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Koesmawadi N. 1996. Evaluasi Permuadaan Alam pada Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan HPH (Studi kasus di Areal HPH PT Bintang Arut, Kalimantan Tengah). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Langi YAR. 2007. Model Penduga Biomassa dan Karbon pada Tegakan Hutan Rakyat Cempaka (Elmerrillia ovalis) dan Waisan (Elmerrrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lugo AE, Snedaker SC. 1974. The Ecology of Mangroves. Ann. Rev. Ecol. Syst. 5: 3965 Mulyanto B, Sumawinata B. 2002. Pengelolaan Lahan gambut Secara Ekologis untuk Kesejahteraan Masyarakat . Di Dalam Noor, Yus Rusila, editor. Lahan Gambut untuk Perlindungan Iklim Global dan Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding Workshop; Bogor, 5-7 Agustus 2002. Bogor. CCFPI. WIIP. Hlm 402-409. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wilev & Sons. New York. National Timber And Forest Product. 1997. Studi Diagnostik Bina Desa Hutan. HTI-Murni PT. National Timber And Forest Product. Riau. Nisfiatul H. 2001. Keragaman Beberapa Sifat Dimensi Tegakan Pada Hutan Rawa Gambut yang dikelola dengan Sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009, tentang Sistim Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan HTI di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Polak B. 1975. Caracter and Occurrence of Pest Deposits in the Malaysia Tropic. Rotterdam: Proccedings on lndonesia Modem Quantemary Reseach in South East Asia. Presiden RI. 2011. Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Jakarta. Ramade F. 1980. Ecolog of Natural Resources. John Wiley & Sons Publishers, Netherlands.
56
Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest an Ecological Study. London: Cambridge of University London. Suhendang E. 1995. Penggunaan Model Dinamika Struktur Tegakan Dalam Pengaturan Hasil Pada Hutan Alam Tidak Seumur Berdasarkan Metode Jumlah Pohon. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Soil Survey Staff. 1998. Key to soil taxonomy. National Resources Conservation Service. United States Departement of Agriculture (USDA). Washington D.C. Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia. 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Soeriaatmadja RE. 1985. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Indonesia. Jakarta. Syaufina L, Nurudin AA, Basharuddin J, Laifood See and Yosuf MRM. 2004. The Effectts of Climatic Variations on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility. (Article) Trop. For. Manage. J. X (1) : 1-14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 1 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta. Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo. 2005. Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Kalimantan: Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Wahyunto, Suparto, Bambang H, Hasyim B. 2006. Sebaran Gambut, Luas dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programmed an Wildlife Habitat Canada. Widjaja-Adhi, IPG. 1976. Tinjauan Hasil Penjajagan Keadaan Hara Tanah Daerah Pasang Surut. Seminar Intern Lernbaga Penelitian Tanah pada tanggal 2 April 1976. Wibowo H. 1995. Studi Struktur Tagakan dan Komposisi Jenis Pohon pada Hutan Rawa Gambut PT. National Timber and Forest Product I, Riau. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor. Wiradinata OW. Hardjosoesastro R. 1979. Penyebaran beberapa sifat gambut di daerah Sumatera Selatan. Dalam Pros. Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia Buku II. Dept. Pek. Umum - Institut Pertanian Bogor, Palembang. Wiroatmodjo P. 1975. Hutan Ramin (Gonystilus bancanus) di Kalimantan. Kehutanan Indonesia Tahun II (Nopember). Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Whitten JA, Anwar J, Damanik SJ, Hisyam N. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
57
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996. Hardjowigeno, S. 1 997. Pernanfaatan Gambut Berwawasan Lingkungan. Alami : Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Vo12 (1) : 3 - 5 Barbour MG, Burk JH, Pitts WP. 1978. Terresterial Plant Ecology. The Benjamin/ Cumming Publishing. Co. Inc. California. Lugo AE, Snedaker SC. 1974. The Ecology of Mangroves. Ann. Rev. Ecol. Syst. 5: 3965
Wiradinata OW dan Hardjosoesastro R. 1979. Penyebaran beberapa sifat gambut di daerah Sumatera Selatan. Dalam Pros. Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia Buku II. Dept. Pek. Umum - Institut Pertanian Bogor, Palembang.
Parish F, Sirin A, Charman D, Joosten H, Minayeva T, Silvius M, Stringer L. (Eds.) 2008. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Wageningen: Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International. Wiroatmodjo P. 1975. Hutan Ramin (Gonystilus bancanus) di Kalimantan. Kehutanan Indonesia Tahun II (Nopernber). Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Hal 888. Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Claredon Press, Oxford. Whittaker RH. 1975. Communities and Ecosystem. Second Ed. McGraw Hill Book Co Inc., New York. Wibowo H. 1995. Studi Struktur Tagakan dan Komposisi Jenis Pohon pada Hutan Rawa Gambut PT. National Timber and Forest Product I, Riau. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor. Richards PW. 1952. The Tropical Rain Forest. New York: Cambridge at The University Press Company.
58
Kusmana, C. . K. Abe and A. Watanabe. 1992. An Estimation of Above ground Tree Biomass of Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Tropic, Vol 1 (4) p: 213 - 257. Kusmana, C. 1993. A Study on Mangrove Forest Management Base on l~cological Data in East Sumatera, Indonesia. Desertation at Faculty of Agricultural. Kyoto University. Japan. Kusmana, C., S. Sabiham, K. Abe dan H. Watanabe. 1992. An estimation of above ground tree biomass of a mangrove forest in East Sumatera, Indonesia. Tropics, 1 (4) : 243 - 257. Kusmana, C. 1997. An estimation of above and below-ground tree biomass of a mangrove forest in East Kalirnantan, Indonesia. J. of Biol. Res. Management. II (1) : 20 - 26.
Schmidt, P.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand.42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Jakarta
Syaufina L, Nurudin AA, Basharuddin J, Laifood See and Yosuf MRM. 2004. The Effectts of Climatic Variations on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility (Pengaruh Variasi Iklim Terhadap Kondisi Hutan Rawa Gambut Dan Kemampuan Terbakar Gambut). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. X No. 1 : 1-14 (2004) Artikel (Article) Trop. For. Manage. J. X (1) : 1-14 Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy: a basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys. Second Edition. Agr. Handb. National Resources Conservation Service. United States Departement of Agriculture (USDA). Washington D.C.
59
1
LAMPIRAN
2
58 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Hutan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti
PETA LOKASI PENELITIAN
Keanekaragaman Vegetasi Dan Biomassa Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut Di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
Lokasi Penelitian
Sumber : Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera / Maps of Area of Peatland Distributionand Carbon Content in Sumatera, 1990 – 2002. WIIP & WHC. (dimodifikasi)
59
Lampiran 2. Daftar jenis pohon yang ditemukan dalarn analisa vegetasi. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Nama Botani Actinodaphne glabra Aglaia ignea Valeton Alseodaphne umbelliflora Alstonia pneumatophora Alstonia spatulata Antidesma puncticulatum Arthocarpus sp. Baccaurea bracteata Cantleya corniculata Chalophyllum sclerophyllum Combretocarpus rotundatus Cratoxylum arborescens Criptocarya crassinervia Dillenia excelsa Diospyros maingayi Diospyros malacensis Dipterocarpus sp. Durio carianatus Elaeocarpus stipularis Endospermum malaccense Eugenia sp. Ficus benjamina Ficus microcarpa Garcinia rostrata Gardenia forsteniana Gonystylus becanus Kompassia malaccensis Litsea firma Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa Manginfera Melicope sp. Metroxylon spp. Muraya paniculata Palaquium ridleyi Palaquium rostratum Parartocarpus triandus Shorea parvifolia Shorea tesymanniana Shorea uliginosa Sunaptea sp. Tetrameristra glabra Vitex pubescens
Nama Umum/Daerah
Famili
Parak Medang Pulai Pulai gabus Kayu lundu
Meliaceae Lauraceae Apocynaceae Apocynaceae Euphorbiaceae
Hapuah
Euphorbiaceae
Nangui Perepat darat Geronggang
Guttiferaceae Rhizophoraceae Guttiferaceae
Simpur talang Madang Tampuai
Ramin Kempas Medang kuning Mahang putih Mahang merah
Dilleniaceae Ebenaceae Ebenaceae Dipterocarpaceae Bombaceae Eleocarpaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Moraceae Moraceae Clusiaceae Rubiaceae Tymelaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae
Jampang
Rutaceae
Balam Nyatoh Lilin lilin Meranti Meranti rawa Meranti batu
Sapotaceae Sapotaceae Moraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
Punak
Theaceae
Keruing Durian burung Madang Jambu Ara akar Ara Kandis
60
Lampiran 3a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Hutan Alam. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis Alseodaphne umbelliflora Baccaurea bracteata Combretocarpus rotundatus Cratoxylum arborescens Criptocarya crassinervia Diospyros maingayi Dipterocarpus sp. Elaeocarpus stipularis Endospermum malaccense Garcinia rostrata Gardenia forsteniana Macaranga semiglobosa Manginfera Palaquium rostratum Shorea parvifolia Shorea uliginosa Tetrameristra glabra
KR (%) 2,56 5,13 7,69 7,69 5,13 7,69 7,69 2,56 5,13 2,56 7,69 5,13 2,56 5,13 10,26 10,26 5,13
FR (%) 3,45 6,90 10,34 6,90 6,90 6,90 6,90 3,45 3,45 3,45 3,45 6,90 3,45 3,45 10,34 10,34 3,45
INP (%) 6,01 12,02 18,04 14,59 12,02 14,59 14,59 6,01 8,58 6,01 11,14 12,02 6,01 8,58 20,60 20,60 8,58
Lampiran 3b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Kebun Rakyat. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Alseodaphne umbelliflora Alstonia pneumatophora Antidesma punticulatum Arthocarpus sp. Baccaurea bracteata Dillenia excelsa Endospermum malaccense Garcinia rostrata Gardenia forsteniana Macaranga semiglobosa Shorea parvifolia Metroxylon spp.
KR (%) 8,33 4,17 8,33 8,33 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 12,50 4,17 33,33
FR (%) 9,52 4,76 9,52 9,52 4,76 4,76 4,76 4,76 4,76 14,29 4,76 23,81
INP (%) 17,86 8,93 17,86 17,86 8,93 8,93 8,93 8,93 8,93 26,79 8,93 57,14
61
Lampiran 3c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada Komunitas Areal HTI. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jenis Alseodaphne umbelliflora Alstonia spatulata Antidesma punticulatum Baccaurea bracteata Cantleya corniculata Combretocarpus rotundatus Endospermum malaccense Ficus microcarpa Garcinia rostrata Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa Metroxylon spp. Palaqium rostratum Tetrameristra glabra
KR (%) 6,72 3,36 3,36 13,45 3,36 3,36 3,36 3,36 3,36 3,36 6,72 39,50 3,36 3,36
FR (%) 9,09 4,55 4,55 13,64 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55 9,09 22,73 4,55 4,55
INP (%) 15,81 7,91 7,91 27,08 7,91 7,91 7,91 7,91 7,91 7,91 15,81 62,22 7,91 7,91
62
Lampiran 4a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Komunitas Hutan Alam. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Jenis Shorea uliginosa Shorea parvifolia Baccaurea bracteata Combretocarpus rotundatus Cratoxylum arborescens Garcinia rostrata Gonystylus becanus Macaranga semiglobosa Criptocarya crassinervia Manginfera Palaquium ridleyi Diospyros maingayi Aglaia ignea Valeton Palaquium rostratum Muraya paniculata Ficus microcarpa Sunaptea sp. Tetrameristra glabra Vitex pubescens Antidesma bunius Kompassia malaccensis
KR (%) 10,71 10,71 7,14 7,14 7,14 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57 3,57
FR (%) 11,11 7,41 7,41 7,41 7,41 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70 3,70
DR (%) 14,06 13,65 7,94 5,31 3,39 6,12 5,50 4,90 4,34 4,34 4,34 3,82 3,32 3,32 2,87 2,44 2,44 2,44 2,05 1,70 1,70
INP (%) 35,89 31,78 22,49 19,86 17,94 13,40 12,77 12,18 11,62 11,62 11,62 11,09 10,60 10,60 10,14 9,72 9,72 9,72 9,33 8,97 8,97
Lampiran 4b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Komunitas Kebun Rakyat. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Metroxylon spp. Arthocarpus sp. Palaquium ridleyi Baccaurea bracteata Shorea parvifolia Criptocarya crassinervia Elaeocarpus stipularis Melicope sp.
KR (%) 59,09 9,09 9,09 4,55 4,55 4,55 4,55 4,55
FR (%) 35,71 14,29 14,29 7,14 7,14 7,14 7,14 7,14
DR (%) 84,08 4,67 2,45 2,75 2,75 1,22 1,22 0,85
INP (%) 178,88 28,04 25,82 14,44 14,44 12,91 12,91 12,54
Lampiran 4c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Areal HTI, No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Metroxylon spp. Ficus microcarpa Combretocarpus rotundatus Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa
KR (%) 87,50 3,13 3,13 3,13 3,13
FR (%) 55,56 11,11 11,11 11,11 11,11
DR (%) 97,68 0,99 0,56 0,39 0,39
INP (%) 240,74 15,22 14,79 14,62 14,62
63
Lampiran 5a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Komunitas Hutan Alam. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Jenis Shorea parvifolia Shorea uliginosa Palaquium rostratum Cratoxylum arborescens Gonystylus becanus Kurz Diospyros maingayi Kompassia malaccensis Shorea tesymanniana Combretocarpus rotundatus Eugenia sp. Actinodaphne glabra Melicope sp. Elaeocarpus stipularis Tetrameristra glabra Diospyros malacensis Vitex pubescens Dillenia exelsa Palaquium ridleyi Muraya paniculata Chalophyllum sclerophyllum Litsea firma Garcinia rostrata Ficus benjamina Macaranga pruinosa Parartocarpus triandus Sunaptea sp.
KR (%) 9,30 6,98 4,65 6,98 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65 4,65 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33 2,33
FR (%) 7,89 5,26 5,26 5,26 5,26 5,26 5,26 2,63 5,26 5,26 5,26 5,26 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63 2,63
DR (%) 11,66 10,62 7,48 4,10 6,41 5,02 4,42 6,62 3,78 3,75 2,98 2,48 2,60 3,56 3,21 2,73 2,73 2,28 2,28 2,28 2,14 2,14 1,50 1,18 1,08 0,98
INP (%) 28,86 22,86 17,40 16,34 16,32 14,94 14,33 13,91 13,70 13,66 12,90 12,40 9,89 8,52 8,17 7,68 7,68 7,24 7,24 7,24 7,10 7,10 6,46 6,13 6,03 5,94
Lampiran 5b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Komunitas Kebun Rakyat. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Metroxylon spp. Artocarpus sp. Alstonia spatulata Blume Durio carianatus Elaeocarpus stipularis Palaqium ridleyi Ficus benjamina Cratoxylum arborescens Garcinia rostrata
KR (%) 67,74 6,45 6,45 3,23 3,23 3,23 3,23 3,23 3,23
FR (%) 33,33 13,33 13,33 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67
DR (%) 75,86 6,96 4,79 3,16 2,40 1,89 1,89 1,74 1,31
INP (%) 176,94 26,74 24,58 13,05 12,29 11,79 11,79 11,63 11,21
64
Lampiran 5c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Areal HTI. No. Jenis 1. Metroxylon spp. 2. Palaquium rostratum (miq.) Burck 3. Ficus microcarpa
KR (%) 95,56 2,226 2,226
FR (%) 71,43 14,29 14,29
DR (%) 98,63 0,68 0,68
INP (%) 265,62 17,19 17,19
65
Lampiran 6a. Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Tiang di ketiga komunitas penggunaan lahan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Jenis Antidesma bunius Kompassia malaccensis Cratoxylum arborescens Vitex conffassus Sunaptea sp. Tetrameristra glabra Muraya paniculata Aglaia ignea Valeton Palaqium rostratum Diospyros maingayi Manginfera Gonystylus becanus Garcinia rostrata Shorea uliginosa Macaranga pruinosa Macaranga semiglobosa Ficus microcarpa Combretocarpus rotundatus Melicope sp. Elaeocarpus stipularis Criptocarya crassinervia Palaquium ridleyi Baccaurea bracteata Shorea parvifolia Arthocarpus sp. Metroxylon spp. Total
Biomassa Jenis (kg/Jenis) Hutan Alam Kebun Rakyat Areal HTI 10,99 10,99 21,98 36,65 62,33 62,33 88,12 114,11 114,11 140,39 167,04 221,81 250,11 534,24 10,99 194,15 10,99 62,33 167,04 150,45 62,33 10,99 62,33 167,04 62,33 167,04 124,65 284,14 221,81 529,24 221,81 362,20 6.921,27 17.699,24 3.389,59 7.987,39 17.950,59
66
Lampiran 6b. Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Pohon di ketiga komunitas penggunaan lahan. Biomassa Jenis (kg/Jenis) No.
Jenis
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Areal HTI
1. Shorea parvifolia
3.775,91
-
-
2. Shorea uliginosa
3.570,92
-
-
3. Palaquium rostratum
2.420,83
-
4. Gonystylus becanus
2.141,68
-
-
5. Shorea tesymanniana
2.121,52
-
-
6. Diospyros maingayi
1.583,19
-
-
7. Kompassia malaccensis
1.385,97
-
-
8. Cratoxylum arborescens
1.290,36
9. Combretocarpus rotundatus
1.188,44
-
-
10. Eugenia sp.
1.175,71
-
-
11. Tetrameristra glabra
1.144,84
-
-
12. Diospyros malacensis
1.023,88
-
-
13. Actinodaphne glabra
937,01
-
-
14. Dillenia exelsa
860,04
-
-
15. Vitex coffassus
860,04
-
-
16. Elaeocarpus stipularis
818,67
17. Melicope sp.
782,17
-
-
18. Chalophyllum sclerophyllum
715,21
-
-
19. Muraya paniculata
715,21
-
-
20. Palaquium ridleyi
715,21
404,13
-
21. Garcinia sp.
670,76
279,12
-
22. Litsea firma
670,76
23. Ficus benjamina
473,22
24. Sunaptea sp.
473,22
-
-
25. Macaranga pruinosa
371,36
-
-
26. Parartocarpus triandus
339,66
-
-
371,36
509,72
404,13
279,12
-
-
-
27. Metroxylon spp.
-
16.304,49
4.1282,73
28. Artocarpus sp.
-
1.480,53
-
29. Alstonia spatulata Blume
-
1.019,44
-
30. Durio carianatus
-
670,76
-
31. Ficus microcarpa
-
-
32.225,81
21.443,69
Total
279,12 41.840,97
67
Lampiran 7a. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut Pusat Penelitian Tanah, Bogor (1993). Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
C (%)
< 1,00
1,00 - 2,00
2,01 - 2,00
3,01 - 5,00
> 5,00
N-total (%)
< 0,10
0,10 - 0,20
0,20 - 0,50
0,51 - 0,75
> 0,75
C/N
<5
5-10
11 -15
16 -25
> 25
P205HC1 (mg1100 g)
< 10
10 -20
21 -40
41 -60
> 60
P205 Bray 1 (ppm)
< 10
10 -15
16 -25
26 -35
> 35
P205 Olsen (ppm)
< 10
10 -25
26 -45
46 -60
> 60
K20 HCI 25% (mg/100 g)
< 10
10 -20
21 -40
41 -60
> 60
KTK (me/100 g)
<5
5-I6
17 -24
25 -40
> 40
K (me/ 100 g)
< 0,1
0,1 - 0,2
0,3 -0,5
0,6-1,0
> 1,0
Na (me/100 g)
< 0,1
0,1 - 0,3
0,4 -0,7
0,8-1,0
> 1,0
Mg (me/100 g)
< 0,4
0,4 - 1,0
1,l -2,0
2,1 -8,0
> 8,0
Ca (me/100 g)
<2
2-5
6-10
11 -20
> 20
Kejenuhan Basa (%)
< 20
20 - 35
36 -50
51 -70
> 70
Kejenuhan Al (%)
< 10
10 - 20
21 -30
31 -60
> 60
Sifat Tanah
Sangat Tinggi
Kation :
pH
< 4,5 Sangat Masam
4,5 - 5,5 Masam
5,6 - 6,5 Agak Masam
6,6 - 7,5 Netral
7,6 - 8,5 Agak Alkalis
> 8,5 Alkalis
Lampiran 7b. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut Wiradinata dan Hardjosoesastro (1979). Uraian
Kriteria Penilaian Rendah
Sedang
Tinggi
pH (H2O)
<4
4,0 – 5,0
> 5, 0
N-total (%)
< 0,2
0,2 – 0,5
> 0,5
P-tersedia (ppm)
< 20
20 – 40
> 40
K-tersedia (me/100 g)
< 0,39
0,39 – 0,78
> 0,78
68
Lampiran 8a. Sifat kimia tanah pada tiga komunitas hutan rawa gambut. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Parameter pH H2O C Org (%) N Total (%) P Bray-1 (ppm) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) K (me/100 g) Na (me/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan B asa (%) Kadar Air (%) Kadar Abu (%)
Komunitas Hutan Hutan Kebun Areal HTI Alam rakyat 3,30 3,30 3,40 55,10 55,53 51,31 0,66 0,45 0,60 13,15 12,45 11,98 2,95 5,71 2,81 2,85 2,02 1,93 0,60 0,14 0,34 0,64 0,52 0,47 71,08 57,06 60,08 7,70 14,93 9,46 146,36 181,30 146,20 4,46 4,27 11,82
Kisaran 3,30 – 3,40 51,31 – 55,53 0,45 – 0,66 11,98 – 13,15 2,81 – 5,71 1,93 – 2,85 0,14 – 0,64 0,47 – 0,64 57,06 – 71,08 7,70 – 14,93 146,20 – 146,36 4,27 – 11,82
Lampiran 8b. Kriteria sifat kimia tanah pada lokasi penelitian menurut Pusat Penelitian Tanah, Bogor (1993). No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Parameter pH H2O C Org (%) N Total (%) P Bray-1 (ppm) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) K (me/100 g) Na (me/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan B asa (%) Kadar Air (%) Kadar Abu (%)
Hutan Alam 3,30 SM 55,10 ST 0,66 T 13,15 R 2,95 R 2,85 T 0,60 T 0,64 S 71,08 ST 7,70 SR 146,36 4,46
Komunitas Hutan Kebun rakyat 3,30 SM 55,53 ST 0,45 S 12,45 R 5,71 R 2,02 T 0,14 R 0,52 S 57,06 ST 14,93 SR 181,30 4,27
Areal HTI 3,40 SM 51,31 ST 0,60 T 11,98 R 2,81 R 1,93 S 0,34 S 0,47 S 60,08 ST 9,46 SR 146,20 11,82
Lampiran 8c. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut pada lokasi penelitian menurut Wiradinata dan Hardjosoesastro (1979). No. 1. 2. 3. 4.
Parameter pH H2O N Total (%) P Bray-1 (ppm) K (me/100 g)
Keterangan Lampiran (8b dan 8c) :
Komunitas Hutan Hutan Alam 3,30 R 0,66 T 13,15 R 0,60 S SM ST SR
Kebun rakyat 3,30 R 0,45 S 12,45 R 0,14 R
= Sangat Masam = Sangat Tinggi = Sangat Rendah
Areal HTI 3,40 R 0,60 T 11,98 R 0,34 R
S = Sedang T = Tinggi R = Rendah