dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan. Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Pembukaan lahan gambut dapat merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta dapat menghilangkan kemampuannya dalam menyimpan air dan unsur hara. Dengan pengorbanan yang besar dari sisi kualitas lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral. Setiap konversi lahan gambut akan menimbulkan dampak, baik itu positif mapupun negatif. Dampak positif berupa pemanfaatan lahan untuk pertanian. Sedangkan dampak negatif berupa dampak lingkungan global karena terganggunya sistem water table (sistem hidrologis secara keseluruhan). Kata Kunci : gambut, kemampuan lahan, dampak.
PENGANTAR Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi bahkan keadan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Tingkat kecocokan pola penggunaan lahan dinamakan kelas kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan ditetapkan menurut macam pengelolaan atau syarat pengelolaan yang diperlukan berkenaan dengan pengendalian bahaya degradasi lahan atau penekanan risiko kerusakan lahan selama penggunaannya untuk suatu maksud tertentu. Berdasarkan kelas kemampuannya, lahan dikelompokkan dalam delapan kelas, yaitu: - Kelas I, merupakan lahan dengan ciri tanah datar, butiran tanah agak halus, mudah diolah, sangat responsif terhadap pemupukan dan memiliki sistem pengaliran air yang baik. - Kelas II, merupakan lahan dengan ciri lereng landai, butiran tanahnya halus sampai agak kasar, agak peka terhadap erosi. - Kelas III, merupakan lahan dengan ciri tanah terletak di daerah yang agak miring dengan sistem pengairan air yang kurang baik. Dapat dijadikan lahan pertanian dengan tingkatan pengawetan tanah yang lebih khusus dan lebih berat. - Kelas IV, Merupakan lahan dengan ciri tanah terletak pada wilayah yang miring sekitar 12-30% dengan sistem pengairan yang buruk, masih dapat dijadikan lahan pertanian dengan tingkatan pengawetan tanah yang lebih khusus dan lebih berat. - Kelas V, merupakan lahan di wilayah yang datar atau agak cekung, namun permukaannya banyak mengandung batu dan tanah liat, seringkali tergenang air sehingga tingkat keasaman tanahnya tinggi. - Kelas VI, merupakan lahan dengan ciri ketebalan tanahnya tipis dan terletak di daerah yang agak curam dengan kemiringan lahan sekitar 30-45 %.
- Kelas VII, merupakan lahan dengan ciri terletak di wilayah yang sangat curam dengan kemiringan antara 45-65 % dan tanahnya sudah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai ditanami tanaman tahunan (tanaman keras). - Kelas VIII, merupakan lahan dengan ciri terletak di daerah dengan kemiringan di atas 65 %, butiran tanah kasar dan mudah lepas dari induknya, rawan terhadap kerusakan, karena itu harus dibiarkan secara alamiah tanpa campur tangan manusia atau dibuat cagar alam. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan (Buckman dan Brady, 1982). Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisasisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 - 5. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al. 1986, dalam Mutalib et al.1991.) Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Sumatera. Lahan gambut ini ada yang berupa hutan maupun hanya padang semak belukar. Saat ini, luas area lahan gambut di Riau semakin berkurang akibat adanya konservasi lahan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, seperti pertanian sayur-sayuran serta perkebunan kelapa dan kelapa sawit. Konservasi lahan ini mengakibatkan kemampuan lahan gambut menjadi meningkat, sehingga dapat dijadikan lahan pertanian. Namun, peningakatan kemampuan lahan gambut dan pengalihfungsiannya menjadi lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim global. PEMBAHASAN Provinsi Riau terletak di timur pulau Sumatera, secara geografis terletak antara 01005’00’’02025’00’’ LU atau antara 100’00’00” BT-105005’00” BT. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Jambi
dan provinsi Sumatera Barat, sebelah timur dengan provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka,serta sebelah barat berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan provinsi Sumatera Utara. Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas di Sumatera yaitu 4,044 juta hectar (56,1% dari luas lahan gambut Sumatera atau 45% dari luas daratan provinsi Riau). Lahan gambut di Riau termasuk dalam kelas kemampuan lahan ke V, karena memiliki tingkat keasaman yang tinggi dan kaya akan kandungan air. Lahan gambut ini tidak cocok dijadikan lahan pertanian dan lebih sesuai dijadikan padang rumput atau hutan gambut. Perluasan pemanfaatan lahan gambut terus meningkat pesat. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau (WWF, 2008). Pengkonversian lahan gambut ini bertujuan untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Gambar 1 Peta Lahan Gambut yang Berpotensi Dikonversi Lahan gambut memiliki fungsi yang besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuan lahannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon. Gambut juga memiliki kemampuan menjaga kestabilan sumber daya air bagi daerah sekitarnya dan pendukung keanekaragaman hayati. Pada saat musim kemarau gambut bisa melepaskan airnya ke daerah sekitar dan sebalik pada musim penghujan mampu menyerap cadangan air cukup besar. Selain itu, lahan gambut juga mampu mencegah intrusi air laut. Saat ini, lahan gambut di Riau sangat terancaman keberadaannya dari upaya konversi lahan. Konversi lahan ini merupakan ulah manusia untuk mendapatkan keuntungan finansial semata tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan. Konversi lahan yang dilakukan berupa pembakaran lahan, penebangan pohon dan semak belukar lahan gambut dan pengalihfungsian lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Akibat konversi lahan gambut, kemampuan lahan gambut mengalami perubahan. Perubahan kemampuan lahan gambut ini disebabkan karena penurunan ketebalan tanah serta berkurangnya potensi tanah menyimpan air sehingga tingkat keasamannya berkurang. Perubahan kemampuan lahan gambut ini berupa perubahan kelas kemampuan lahan dari kelas V ke kelas IV. Perubahan dari kelas kemampuan lahan ini berarti lahan gambut yang awalnya tidak baik untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena tingkat keasamannya tinggi, dapat dijadikan lahan pertanian dengan tingkat pengawetan tanah yang lebih khusus dan lebih berat. Penurunan ketebalan tanah dan berkurangnya potensi menyimpan air terjadi karena lahan gambut yang telah dikonversi kehilangan keanekaragaman hayatinya, sehingga lahan gambut tidak mampu lagi menyerap air yang datang pada musim penghujan maupun dari intrusi air laut. Selain itu, tidak adanya lagi tumbuhan yang mampu menyimpan air menyebabkan lahan gambut akan mengering. Gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air berubah menjadi tidak suka air karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (ketebalan tanahnya menipis). Perubahan kemampuan lahan gambut ini ada yang membawa dampak positif namun, ada juga yang membawa dampak negatif. Dampak positif perubahan kemampuan lahan gambut berupa beralihfungsinya lahan gambut dan dapat dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Perubahan kemampuan lahan gambut yang berupa penurunan ketebalan permukaan tanah membuat lahan
gambut menjadi lebih subur, karena gambut yang tipis memiliki kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan gambut yang tebal. Berkurangnya potensi lahan gambut dalam menyimpan kandungan air menyebabkan lahan gambut menjadi kering, sehingga kandungan asamnya juga menurun. Penurunan tingkat keasaman ini sangat berguna untuk pertanian dan perkebunan, karena budidaya tanaman menjadi lebih aman dari ancaman keracunan dan kebusukan akibat tingginya kandungan asam pada lahan gambut. Meningkatnya lahan pertanian dan perkebunan ini berarti juga turut meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, selain menimbulkan dampak positif, perubahan kemampuan lahan gambut juga menimbulkan dampak negatif. Perubahan kemampuan lahan gambut sehingga dapat dijadikan lahan pertanian dan perkebunan berupa penurunan ketebalan gambut dan berkurangnya potensi menyimpan pasokan air, ternyata menimbulkan masalah lingkungan yang besar. Penurunan permukaan gambut menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila gambut sudah mengalami penciutan, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air banyak bila terjadi hujan deras sehingga dapat menyebabkan banjir pada daerah sekitarnya. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau. Selain menurunnya kemampuan lahan gambut menahan air, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah sekitarnya. Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin menurun fungsinya jika dijadikan lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya dukung (bearing capacity) tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkut sarana pertanian dan hasil panen. Gambut tipis, tetapi berpotensi sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif dangkal), juga sangat berbahaya kalau dikonversi menjadi lahan pertanian. Bila terjadi konversi hutan gambut maka akan mempengaruhi unit hidrologi. Pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh dahan, ranting, batang tersebut mengalami subsidensi ini menyebabkan bakteri pembusuk akan hidup di tanah gambut. Setelah bakteri pembusuk mulai mengdekomposisi tanah gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, CO2 yang terkandung didalam bagian pohon tersebut akan teremisi keudara dan menutupi lapisan ozon yang akan menciptakan efek rumah kaca dan hal ini akan memacu pemanasan global yang berakibat naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim dunia. Semakin tipis permukaan lahan gambut, semakin banyak pula karbon yang teremisi. Selain itu, konversi lahan yang berupa pembakaran hutan dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia dari segi kesehatan. Meningkatnya kebakaran menimbulkan asap yang banyak pula sehingga dapat mengganggu sistem pernafasan. Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang. Perlindungan lahan gambut dapat dilakukan dengan konservasi lahan. Perlindungan terhadap lahan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks