Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Yulmardi, Yulmardi; Junaidi, Junaidi; Nurjanah, Rahma Nurjanah
LAPORAN PENELITIAN
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JAMBI DESEMBER, 2010
Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Desember, 2010
RINGKASAN Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi
Yulmardi, Junaidi, Rahma Nurjanah
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) pertumbuhan penduduk kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat pertumbuhan/ pelayanan di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan. Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Data yang digunakan adalah data penduduk, penggunaan lahan dan sarana prasarana pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001 dan 2008. Analisis data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama dan Korelasi Hasil analisis menemukan: (1) Pertumbuhan penduduk bervariasi antar kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro Jambi dan yang terendah Kabupaten Kerinci. (2) Telah terjadi pergeseran struktur penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) Selama periode 2001 - 2008, Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi, sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki hirarki terendah. (4) Tidak ada keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat pelayanan/pertumbuhan. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan. Pada penelitian ini menyarankan untuk: (1) Perlu dikembangkan pusatpusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di Provinsi Jambi selain Kota Jambi. (2) Perlunya perhatian lebih pada wilayah yang terindikasi mengalami penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan.(3) Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan perlu diwaspadai, terutama ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi sudah relatif tinggi
i
KATA PENGANTAR
Penelitian ini berjudul “Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi”. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis: (1) pertumbuhan penduduk kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat pertumbuhan/ pelayanan di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat: 1. Bapak Rektor Universitas Jambi 2. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi 3. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi 4. Ketua Program Ekstensi Fakultas Ekonomi Universitas Jambi Atas segala bantuan baik moril maupun materil, sehingga terealisasinya penelitian ini. Akhirnya, semoga informasi singkat ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan peneliti lainnya serta pihak-pihak yang berkepentingan umumnya. Kritik dan saran membangun dari semua pihak selalu diterima dengan senang hati, demi kesempurnaan laporan ini.
Jambi,
Desember
2010
Ketua Peneliti
ii
DAFTAR ISI
halaman i ii iii iv v
RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I
II
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................ ....................................... 1.2. Perumusan Masalah..............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori................... ......................................... ....................................... 3 2.2. Kerangka Pemikiran...................................................... ....................................... 9 2.3. Hipotesis...... ................................................................ ....................................... 11
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian.......................................................... ....................................... 12 3.2. Manfaat Penelitian........................................................ ....................................... 12 IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................... ....................................... 13 4.2. Data yang Digunakan.................................................... ....................................... 13 4.3. Rencana Analisis Data................................................... ....................................... 13 V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk....................................................... ............................. 5.2. Penggunaan Lahan............................................................... .............................. 5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan ................................................. ............................... 5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan Lahan .............................................................. ...............................
17 23 31 34
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ................................................................. ....................................... 36 6.2. Saran ........................................................................... ....................................... 37 DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Judul
Halaman
Tabel 5.1.
Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2001 dan 2008
18
Tabel 5.2.
Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok Umur Tahun 2001-2008
18
Tabel 5.3.
Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi 2008
22
Tabel 5.4.
Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 – 2008 (dalam persentase)
24
Tabel 5.5.
Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota Provinsi Jambi Tahun 2001 (dalam persentase)
di
25
Tabel 5.6.
Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota Provinsi Jambi Tahun 2008 (dalam persentase)
di
25
Tabel 5.7.
Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi selama Periode 2001 – 2008 (dalam persen perubahan)
27
Tabel 5.8.
Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
28
Tabel 5.9.
Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2 Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
29
Tabel 5.10.
Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
32
Tabel 5.11.
Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
33
Tabel 5.12.
Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi
35
iv
DAFTAR GAMBAR
Judul Gambar 2.1.
Halaman
Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi
7
Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris
8
Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Penggunaan Lahan
11
Gambar 5.1.
21
Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008
v
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami pertumbuhan penduduk relatif tinggi. Selama periode 2001 - 2008, laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi sebesar 2,02 persen pertahun. Sebaliknya pada periode yang sama rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,35 persen pertahun. Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di suatu wilayah, pada gilirannya akan mengakibatkan kebutuhan lahan di wilayah tersebut cenderung meningkat. Pertambahan jumlah penduduk yang juga diikuti oleh meningkatnya berbagai aktivitas ekonomi akan mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap lahan dan memicu terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan pada suatu wilayah. Pergeseran pola penggunaan lahan ini menurut Saefulhakim, dkk (1994), akan memberikan implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian wilayah, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah. Implikasi tersebut dapat berdampak negatif, jika perubahan pola penggunaan lahan tersebut tidak ditanggapi melalui berbagai kebijakan-kebijakan publik yang tepat dan terarah. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengeliminir berbagai dampak negatif dari perubahan pola penggunaan lahan sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang pesat di Provinsi Jambi, maka perlu dilakukan kajian mengenai aspek-aspek perubahaan penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk wilayah tersebut. Selanjutnya dalam rangka mengkaitkannya dengan proses pembangunan yang terjadi, maka pertumbuhan penduduk juga akan dikaitkan dengan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi. 1.2. Perumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di 1
Provinsi Jambi ? 2. Bagaimanakah struktur penggunaan lahan dan pola perubahannya di Provinsi Jambi ? 3. Bagaimanakah hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi? 4. Bagaimanakah keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarki
pusat
pertumbuhan terhadap pola
perubahan struktur
penggunaan lahan di Provinsi Jambi ?
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. (http://www.datastatistikindonesia.com). Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Kekuatan-kekuatan yang menambah adalah kelahiran dan migrasi masuk, sedangkan kekuatan-kekuatan yang mengurangi adalah kematian dan migrasi keluar. Jadi pertumbuhan penduduk hanya dipengamhi oleh dua Cara yaitu: melalui perubahan reproduksi dan migrasi neto (Yasin, 2007). Pertumbuhan penduduk tersebut dapat dinyatakan dengan formula sebagai berikut: Pt=Po + (B-D) + (Mi - Mo) Dimana: Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar Pt : Jumlah penduduk pada tahun t B : kelahiran yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya D : kematian yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya Mi : Migrasi masuk yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya Mo : Migrasi keluar yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya Indikator
tingkat
pertumbuhan
penduduk
sangat
berguna
untuk
memprediksi jumlah penduduk di suatu wilayah atau negara dimasa yang akan datang. Diketahuinya jumlah penduduk yang akan datang, diketahui pula kebutuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang politik misalnya mengenai jumlah pemilih untuk pemilu yang akan datang. 2.1.2. Hirarki Pusat Pertumbuhan Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu: 3
1.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu;
2.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini, secara nasional melalui hirarkhi kotakota dan secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing (Soedjito, 1995).
Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler yang kemudian dikenal sebagai teori tempat central (Central Place Theory) yang selanjutnya dikembangkan oleh Losch, Berry dan Garrison (Hanafiah, 1985). Menurut teori pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan (Richardson, 1974). Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: 1. Pusat pelayanan pada tingkat lokal; 2. Titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; 3. Pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; 4. Kutub pertumbuhan pada tingkat nasional. Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang nntuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat 4
kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteranan masyarakat ini ditentukan oleh derajat penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang barn bagi kegiatan manusia. Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland) dalam ruang Iingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland). Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya. 2.1.3. Teori Lokasi dan Alokasi Sumberdaya Lahan Teori Von Thunen (Djojodipuro, 1992), dikenal sejak abad 19, dimana teori ini merupakan model tata ruang sederhana yang didasarkan pada suatu titik permintaan dalam suatu lingkaran ekonomi perdesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna, baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan, seluruh wilayah dapat dijangkau tetapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada ekspor dan impor. Berdasarkan asumsi tersebut, alokasi lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat pemukiman, kemudian areal sawah, tegalan, kebun dan hutan. Bentuk lingkaran tidak selalu simetris akan tetapi tergantung pada akses yang ada, misalnya melonjong mengikuti akses jalan ataupun sungai. Menurut Pakpahan dan ,Anwar, 1989 dalam Somaji (1994), teori ini merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga 5
parameter: harga jual, biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau digunakan sebagai pedoman keputusan alokasi lahan memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya kelemahan asumsi pasar yang sempurna, baik untuk input maupun output karena adanya spatial monopoli. Sistem satu pasar, dalam arti semua komoditi dijual di pusat kota merupakan kelemahan lain, sebab secara empirik ada beberapa komoditi yang dijual di pasar lain. Dernikian pula asumsi homogenitas transportasi adalah jauh dari realitas. Akan tetapi terlepas dari beberapa kelemahan diatas, model Von Thunen tersebut merupakan model awal yang penting sebagai peletak dasar untuk membuat model tata guna lahan yang lebih baik. Sementara itu, teori yang dikemukakan oleh Alfred Wcber (Glasson, 1990) biasanya disebut sebagai teori biaya terkecil. Di dalam teori tersebut Weber mengasumsikan: (1) bahwa daerah yang menjadi objek penelitian adalah daerah yang terisolasi, konsumennya terpusat pada pusat-pusat tertentu. Semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna; (2) semua sumberdaya alam tersedia secara tidak terbatas; (3) barang-barang lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat; (4) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional atau pasar dunia. Dalam model ini fungsi tujuan adalah meminimumkan ongkos transportasi sebagai fungsi dad jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output). Kritikan terhadap model ini terutama pada asumsi biaya
transportasi
dan
biaya
produksi
yang
bersifat
konstan,
tidak
memperhatil;Can faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.
6
Selanjutnya Anwar (1994), menggambarkan tentang hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial, nilai land rent-nya semakin kecil. Land rent dalam konteks ini diartikan sebagai Locational Rent. Gambar 2.1. Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi Land Rent
Lokasi Utama
Jarak dari lokasi utama (km)
Sumber : Anwar (1993) Selanjutnya, ilustrasi gambar tersebut diatas dapat digamarkan dalam bentuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993 dalam Somaji, 1994), dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasiikan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam gambar berikut ini:
7
Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris
Jarak (km) Sumber: Anwar, 1993 Keterangan: 1.
Kawasan Komersial (Finansial)
2.
Kawasan Industri
3.
Kawasan Perumahan
4.
Wilayah Pertanian
2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan adalah dampak dari segala kegiatan manusia diatas muka bumi (Sandy, 1995). Penggunaan lahan merupakan jenis usaha manusia secara bertahap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual dengan memanfaatkan sumberdaya yang disebut lahan. Dengan demikian, 'penggunaan lahan merupakan hasii kegiatan manusia yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serla kegiatan sosialekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah. Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan, antara lain: jenis lahan, topografi, ketinggian, aksesibilitas dan tekanan penduduk (Soerianegara, 1977). Sedangkan menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis berkaitan 8
dengan lingkungan fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan dukungan sifat-sifat alam yang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh•-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi meliputi: produktivitas, pemasaran, transportasi dan kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Sedangkan faktor institusi dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta kepercayaan, yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Penggunaan lahan juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan ketinggian, aksesibilitas, kemainpuan dan kesesuaian lahan serta tekanan penduduk. Lahan yang subur lebih banyak digunakan untuk pertanian dan biasanya berpenduduk padat (Sandy, 1985). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi arah perkembangan dan laju penggunaan lahan pertanian di perkotaan dan wilayah sekitarnya antara lain: indeks aksesibilitas, faktor sosial, faktor lingkungan fisik dan kebijakan infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu Bern (1977), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah akibat dan jumlah dan komposisi penduduk secara herkala ataupun permanen. Pengaruh yang lain ialah terhadap ekonomi iahan, seperti harga, sewa dan, pasar lahan.
2.2. Kerangka Pemikiran Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan lahan terus semakin meningkat. Hal ini akan membawa konsekuensi, bahwa lahan terutama di pusat pertumbuhan akan mempunyai nilai kelangkaan (scarcity) yang sangat tinggi, sehingga akan memberikan tekanan-tekanan terhadap lahan yang tersedia, dan pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya peruhahan penggunaan lahan. Pada saat yang bersamaan di pusat-pusat pertumbuhan, akan terjadi pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Pesatnya pertumbuhan penduduk tersebut antara lain disehabkan, baik oleh faktor alami seperti: fertilitas, maupun migrasi yang dapat dilihat dan adanya fenomena migrasi.
9
Selanjutnya pusat pertumbuhan dapat diurutkan tingkat hirarkhinya berdasarkan kemampuan dalam menyediakan fasilitas pelayanan. Hirarkhi pusat pertumbuhan dihasilkan oleh hubungan antara ukuran dan fungsi pusat pertumbuhan serta jarak inter-urban. Distribusi spatial yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan persebaran penduduk antara lain dipengaruhi oleh struktur jaringan transportasi. Teori pusat pertumbuhan, ini dapat diterapkan untuk menjelaskan interaksi antara pusat pertumbuhan dengan hinterland-nya atau menerangkan saling keterkaitan antar daerah dalam suatu hirarki wilayah. Proses interaksi dan saling keterkaitan dapat terjadi secara langsung tanpa perantaraan pusat atau wilayah yang lain maupun secara tidak langsung, yaitu melalui perantaraan pusat atau wilayah lain. Proses tersebut diasumsikan dilakukan melalui jarak terpendek. Dengan demikian, jarak merupakan faktor kunci bagi teori pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan, dianggap sebagai pusat pelayanan akan berpengaruh terhadap daerah belakangnya, dan diperkirakan faktor jarak dari pusat pelayanan akan berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan. Penggunaan lahan di pusat pertumbuhan cenderung memiliki intensitas yang lebih tinggi, dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari pusat pertumbuhan. Artinya, intensitas penggunaan lahan akan berbanding terbalik dengan jaraknya terhadap pusat pertumbuhan. Disini, penggunaan lahan sargat menentukan cara-cara masyarakat berfungsi, hal ini dapat dipahami mengingat lahan adalah matrik dasar kehidupan dan pembangunan. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Dengan demikian, pola penggunaan lahan merupakan pencerminan dari budaya, tingkat hidup dan corak kehidupan dari masyarakat. Oleh karena budaya, tingkat hidup dan corak kehidupan dari masyarakat bersifat dinamis yang orientasinya selalu berubah setiap saat sejalan dengan pertambahan penduduk dan dinarnika pembangunan, dengan demikian maka pola penggunaan lahan juga bersifat dinamis. Fenomena tersebut pada gilirannya akan berakibat pada perubahan mutu lingkungan hidup dan peningkatan nilai lahan. Bahkan dalam kerangka yang lebih luas, fenomena pemanfaatan lahan maupun alih guna lahan akan memberikan
10
implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian wilayah, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah. Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Penggunaan Lahan Aktivitas Sosial Ekonomi
Aktivitas Sosial Ekonomi
Hirarki Pusat Pertumbuhan/ Pelayanan
Aksesibilitas
Aktivitas Sosial Ekonomi
Kualitas Lingkungan Perubahan Pola Penggunaan Lahan
2.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: "Ada hubungan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarki pusat pertumbuhan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan di wilayah Provinsi Jambi" 11
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan utnuk: 1. Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi jambi 2. Untuk menganalisis perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi 3. Untuk menganalisis hirarkhi pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di Provinsi Jambi 4. Untuk menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan
3.2. Manfaat Penelitian Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan arahan bagi perumusan kebijaksanaan dalam pengarahan laju pertumbuhan penduduk pada masa yang akan datang, khususnya dalam usaha meninjau kembali pola penggunaan lahan dalam kerangka penataan ruang bagi pembangunan yang berwawasan spasial, integral dan berkelanjutan.
12
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan, yang meliputi tahap persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan. Lokasi penelitian adalah Provinsi Jambi dengan cakupan 9 (sembilan) kabupaten dan 1 (satu) kota yang ada dalam wilayah Provinsi Jambi. Mengingat ketersediaan data, Kota Sungai Penuh yang merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 2008 dalam analisis ini masih tergabung dalam Kabupaten Kerinci sebagai kabupaten induknya. 4.2. Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penelitian ini, berupa data yang dihimpun dari berbagai publikasi resmi yang dikeluarkan oleh Dinas/Instansi Pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan tujuan penelitian ini, diantaranya data penduduk, penggunaan lahani dan sarana prasarana pelayanan (pendidikan, kesehatan, ekonomi) kabupaten/kota di Provinsi Jambi. 4.3. Rencana Analisis Data Data yang terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar sebagai upaya mempermudah proses analisis. Analisis data yang dilakukan meliputi: . a. Pertumbuhan Penduduk Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jambi digunakan data dasar penduduk kabupaten/kota tahun 2001 dan 2008. Pertumbuhan penduduk diukur dengan menggunakan rumus pertumbuhan eksponensial sebagai berikut:
r
(log( Pt / Po )) log e t Dirnana: r = tingkat pertumbuhan penduduk tahunan 13
Pt = jumlah penduduk akhir periode Po = jumlah penduduk awal periode e = angka eksponensial t = periode waktu
b. Hirarkhi Pusat Pertumbuhan/Pelayanan Untuk menganalisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan digunakan data dasar berupa jumlah unit sarana-prasarana sosial-ekonomi, jumlah penduduk dan luas wilayah pada tiap kabupaten dan kota. Sebelumnya data dasar tersebut akan ditransformasikan terlebih dahulu. Transformasi data dilakukan dengan cara menghitung indeks pemusatan pelayanan (IPP). Indeks Pemusatan Pelayanan (IPP) dihitung dengan cara sebagai berikut:
Menghitung IPP berdasarkan penduduk yaitu ratio sarana
perpenduduk
kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perpenduduk Provinsi terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana
Menghitung IPP berdasarkan wilayah yaitu ratio sarana per luas wilayah kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perluas wilayah Provinsi terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana
Menghitung rata-rata IPP dengan merata-ratakan IPP berdasarkan penduduk dengan IPP berdasarkan wilayah IPP pada masing-masing kabupaten atau kota dihitung pada dua titik
tahun yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2008. Selanjutnya untuk mengetahui sarana dan prasarana yang berpengaruh sebagai penentu perkembangan wilayah pada masing-masing daerah kabupaten/kota akan dilakukan melalui Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis). Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan menyusutkan atau mereduksi dimensinya (Gasperzs, 1992). Reduksi dimensi dilakukan dengan menghilangkan korelasi antar peubah melalui transformasi peubah-peubah asal ke peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y) disebut sebagai komponen utama yang merupakan basil transformasi dari peubah asal x.
14
Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah asal yang dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu. Komponen utama ke-j dapat dituliskan sebagai berikut: Yj = a1jX1 + a2jX2 + …+ apjXp Yj = Xaj Ragam komponen utama ke-j diperoleh dari persamaan berikut: Y=Xa
Y 11 Y 12 ... Y 1 p X 11 X 12 ... X 1 p a1 Y 21 Y 22 ... Y 2 p X 21 X 22 ... X 2 p a 2 Yn1 Yn 2 ... Ynp Xn1 Xn 2 ... Xnp a3
Dimana: sampel i = 1,2,3,...,n variabel asal j = 1 ,2,3,...,p a diperoleh dengan cara : max a'X'Xa' = Y'Y dengan kendala a'a = 1 sehingga diperoleh persamaan akar ciri sebagai berikut: X'Xa = λa, dimana a = vektor ciri (eigen vektor) dan X = akar ciri (eigen value). Vektor pembobot aj merupakan pembobot peubah asal bagi komponen utama ke-j Selanjutnya untuk mendapatkan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi digunakan nilai skor baku dari masing-masing komponen faktor utama yang memiliki akar ciri > 1. c. Penggunaan Lahan Untuk mengetahui pola penggunaan lahan, data dasar yang digunakan adalah data luas lahan dari tiap jenis penggunaan lahan di tiap kabupaten/kota. Analisis data akan dilakukan melalui penghitungan nilai LQ (Location Quotient) penggunaan lahan pada dua titik waktu. Selanjutnya nilai LQ penggunaan lahan tersebut akan dianalisis melalui Analisis Komponen Utama. Selanjutnya untuk mendapatkan posisi pangsa relatif jenis penggunaan lahan dalam komponen faktor utama antara kabupaten/kota di Provinsi Jambi
15
digunakan nilai skor baku masing-masing komponen faktor utama yang memiliki akar ciri > 1. d. Analisis Korelasi Pertumbuhan Penduduk dengan Pola Penggunaan Lahan Analisis korelasi dilakukan terhadap pertumbuhan penduduk dengan nilai skor baku dari peubah-peubah sarana prasarana (pusat perturnbuhan/pelayanan) dan penggunaan lahan. Untuk menguji nilai korelasi antara dua peubah X dan Y tersebut akan dilakukan melalui uji-t, dengan membandingkan nilai t hasil perhitungan dengan nilai t-tabel pada taraf nyata yang dibutuhkan. Selanjutnya, jika terdapat lebih dari satu hubungan dengan korelasi yang signifikan dari variabel-variabel yang dianalisis, akan dilanjutkan dengan analisis jalur (path analysis) dengan memanfaatkan informasi hubungan-hubungan yang signifikan secara statistik pada pengujian korelasi sebelumnya. Pengembangan model aliran kausal satu arah ini juga didasarkan pada kerangka pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap hirarki pusat pertumbuhan, dan selanjutnya akan mempengaruhi struktur penggunaan lahan. Sistem aliran satu arah ini juga dapat secara langsung terjadi antara pertumbuhan penduduk terhadap struktur penggunaan lahan.
16
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Penduduk Pada Tahun 2008, jumlah penduduk Provinsi Jambi adalah sebanyak 2.788.269 jiwa. Jika dilihat tingkat pertumbuhannya, maka dapat dikemukakan bahwa selama periode Tahun 2001-2008, tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Jambi adalah 1,91 persen pertahun (dengan jumlah penduduk Tahun 2001 sebanyak 2.439.644 jiwa). Berdasarkan kabupaten/kota memperlihatkan pertumbuhan penduduk tertinggi dialami oleh Kabupaten Muaro Jambi dengan tingkat pertumbuhan sebesar 3,93 persen pertahun. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk relatif tinggi (diatas rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Bungo. Tingginya angka pertumbuhan penduduk Kabupaten Muaro Jambi selain disebabkan oleh faktor pertumbuhan alami (selisih antara kelahiran dan kematian), juga disebabkan oleh adanya migrasi masuk yang tinggi terutama yang berasal dari wilayah Kota Jambi. Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi menjadi salah satu alternatif penduduk yang bekerja di Kota Jambi (dengan harga pemukiman yang mahal) untuk bertempat tinggal di daerah ini. Selanjutnya daerah dengan pertumbuhan penduduk paling rendah adalah Kabupaten Kerinci. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk relatif rendah (dibawah rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan Kota Jambi. Rendahnya pertumbuhan penduduk Kabupaten Kerinci karena daerah ini memiliki budaya merantau yang tinggi pada penduduknya. Ini menyebabkan migrasi keluar penduduk Kabupaten Kerinci menjadi relatif tinggi.
17
Tabel 5.1.
Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2001 dan 2008 Tahun
Kabupaten/Kota
2001
2008
Pertumbuhan (%/tahun)
Kerinci
295,951
310,093
0.67
Merangin
258,125
286,578
1.49
Sarolangun
182,117
214,036
2.31
Batang Hari
194,251
219,181
1.72
Muaro Jambi
235,940
310,676
3.93
Tanjung Jabung Timur
191,844
211,789
1.41
Tanjung Jabung Barat
211,952
250,746
2.40
Tebo
225,739
253,373
1.65
Bungo
219,834
264,389
2.64
Kota Jambi
423,891
467,408
1.40
2,439,644
2,788,269
1.91
Provinsi Jambi
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
Selanjutnya untuk menggambarkan keadaan penduduk, salah satu karakteristik utama yang umum dianalisis adalah umur. Distribusi umur penduduk pada kenyataannya sering menggambarkan riwayat fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian) dan rata-rata umur penduduk. Selain itu dapat juga merefleksikan beban ketergantungan sekelompok umur tertentu terhadap kelompok umur lainnya, dalam hal ini beban tanggungan usia muda (0 – 14 Tahun) dan beban tanggungan usia tua (65+ Tahun) terhadap usia produktif (15 – 64 Tahun). Tabel 5.2. Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok Umur Tahun 2001-2008 Kelompok Umur 0-14 15 – 64 65+ Jumlah Beban Ketergantungan
2001 Jumlah %
2008 Jumlah
Pertumbuhan (% /Tahun)
%
795,325
32.60
836,138
29.99
0.71
1,572,073
64.44
1,856,812
66.59
2.38
72,246
2.96
95,319
3.42
3.96
2,439,644
100.00
2,788,269
100.00
1.91
55
50
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008 18
Secara teoritis, struktur umur penduduk dapat dikelompokkan atas dua kelompok yaitu: (1) struktur umur muda, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun lebih dari 40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas kurang dari 5 persen; (2) struktur umur tua, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun kurang dari 40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas lebih dari dari 10 persen Dalam konteks tersebut dapat dikemukakan bahwa struktur umur penduduk di Provinsi Jambi pada Tahun 2008 sudah tidak tergolong lagi pada struktur umur muda, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kategori struktur umur tua. Pada Tahun 2008, proporsi penduduk umur dibawah 15 tahun di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah sebesar
29,99 persen atau sudah dibawah 40
persen, tetapi proporsi penduduk usia 65 tahun keatas masih dibawah 10 persen (3,42 persen). Namun demikian, dengan mengamati perkembangan data selama Tahun 2001-2008, diperkirakan dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun kedepan, struktur umur penduduk akan mencapai kategori struktur umur tua. Selama periode Tahun 2001–2008 terlihat kecenderungan semakin berkurangnya proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun (0-14 tahun) yang diikuti dengan peningkatan yang pesat dari jumlah dan proporsi penduduk umur 65 tahun ke atas. Transisi struktur usia ini berdampak pada perubahan beban ketergantungan penduduk Provinsi Jambi. Dari Tabel 5.2. terlihat bahwa selama periode Tahun 2001-2008, beban ketergantungan penduduk telah mengalami penurunan dari angka 55 menjadi 50. Artinya, jika pada Tahun 2001 untuk 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sebanyak 55 orang penduduk belum/tidak produktif, maka pada Tahun 2008 untuk 100 orang penduduk usia produktif hanya menanggung 50 orang penduduk belum/tidak produktif. Terjadinya transisi struktur umur dari struktur umur muda ke struktur umur tua ini disebabkan transisi fertilitas dan mortalitas yang terjadi di Provinsi Jambi. Penurunan penduduk umur 0-14 Tahun ini merupakan dampak program keluarga berencana yang telah berhasil menurunkan angka kelahiran (fertilitas) 19
selama 15 tahun terakhir. Sebaliknya peningkatan penduduk umur 65 tahun ke atas merupakan dampak dari penurunan angka kematian (mortalitas) dan peningkatan usia harapan hidup sebagai akibat meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Transisi struktur umur ini menciptakan suatu potensi peningkatan pendidikan, khususnya penduduk muda. Dengan jumlah penduduk muda yang lebih sedikit, perhatian pada mutu pendidikan dapat menjadi lebih baik. Anggaran pemerintah dan masyarakat dapat lebih diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, dan bukan sekedar mengejar sasaran jumlah. Ditambah dengan perubahan pada tingkat keluarga (yang makin menginginkan anak dalam jumlah sedikit tetapi dengan mutu yang lebih tinggi), transisi struktur usia ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhan mutu pendidikan yang makin tinggi. Berbagai perubahan ini dapat mendorong terjadinya transisi pendidikan, dari masyarakat berpendidikan rendah ke masyarakat berpendidikan tinggi. Namun demikian, transisi struktur umur ini juga menyebabkan masalah baru, akibat peningkatan penduduk lanjut usia. Jika pertumbuhan penduduk yang cepat
mengakibatkan
peningkatan
jumlah
penduduk muda
yang telah
mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, pertumbuhan penduduk yang lambat menyebabkan transisi struktur usia ke penduduk yang makin banyak terdiri dari penduduk tua, yang merupakan bagian penduduk yang masih mengkonsumsi tetapi tidak berproduksi lagi. Pengeluaran pemerintah dan masyarakat akan makin banyak digunakan untuk para lansia ini. Hal lain yang perlu diwaspadai berkaitan dengan kesehatan. Transisi struktur umur/transisi demografis ini akan diikuti oleh transisi epidemiologi. Pola penyakit dominan akan berubah dari penyakit infeksi dan parasit ke penyakit degeneratif, kecelakaan dan penyakit jiwa. Ini secara langsung juga membutuhkan perubahan dalam orientasi pelayanan kesehatan. Gambar 5.1 memberikan secara lebih terperinci komposisi umur lima tahunan penduduk Provinsi Jambi dalam bentuk piramida penduduk. Piramida penduduk secara umum terdiri dari tiga bentuk yaitu:
20
(1) Expansive, jika sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur termuda. Bentuk piramidanya melebar kebawah dan semakin keatas semakin menyempit; (2) Constrictive, jika penduduk yang berada pada kelompok umur termuda jumlahnya sedikit, pada umur pertengahan lebih banyak dan semakin sedikit pada umur-umur diatasnya. Bentuk piramidanya menyempit pada bagian bawah, melebar bagian tengah dan kembali menyempit pada bagian-bagian ke atasnya; (3) Stationary, jika banyaknya penduduk dalam tiap kelompok umur hampir sama banyaknya, kecuali pada kelompok umur tertentu. Bentuk piramidanya lebih lurus dan hanya menyempit pada bagian puncaknya. Gambar 5.1.
Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka 2008
Dari gambar di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk piramida penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk kategori “constrictive”. Bentuk piramida “constrictive” ini adalah bentuk piramida penduduk yang dialami Amerika Serikat pada Tahun 1970an.
21
Hal yang perlu diwaspadai dalam bentuk piramida ini adalah akan adanya ledakan penduduk pada periode-periode mendatang terutama jika program keluarga berencana tidak terus diintensifkan dalam rangka penurunan angka kelahiran. Hal ini disebabkan, meskipun angka kelahiran telah rendah pada periode-periode 15 tahun sebelumnya (yang ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah penduduk umur muda 0–14 tahun), namun jumlah penduduk pada kelompok umur diatasnya terutama 15–29 tahun khususnya kelompok perempuan masih relatif tinggi. Penduduk perempuan pada kelompok umur ini termasuk kelompok usia subur, yang berpotensi meningkatkan total kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Selanjutnya, dari aspek keruangan, terdapat ketimpangan kepadatan penduduk antar kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Secara keseluruhan, tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Jambi adalah 52,2 jiwa per km2.
Namun
demikian, kepadatan penduduk ini tidak menyebar secara merata. Kabupaten Sarolangun hanya memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 27,4 jiwa perkm2 (sebagai daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terendah). Sebaliknya Kota Jambi memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 2280 jiwa perkm2 (sebagai daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi). Artinya ratio kepadatan tertinggi dan terendah mencapai lebih 80 kali lipat Tabel 5.3. Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2008 Kabupaten/Kota
Luas Wilayah
Penduduk
Kepadatan
Kerinci
4200
310,093
73.8
Merangin
6380
286,578
44.9
Sarolangun
7820
214,036
27.4
Batang Hari
4983
219,181
44.0
Muaro Jambi
6147
310,676
50.5
Tanjung Jabung Timur
5330
211,789
39.7
Tanjung Jabung Barat
4870
250,746
51.5
Tebo
6340
253,373
40.0
Bungo
7160
264,389
36.9
205
467,408
2280.0
53435
2,788,269
52.2
Kota Jambi Provinsi Jambi
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008 22
Ketimpangan persebaran penduduk ini berdampak negatif dalam pelaksanaan pembangunan. Pada daerah-daerah jarang penduduk, akan terjadi inefisiensi pembangunan terutama pembangunan fisik dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sebaliknya pada daerah-daerah dengan tingkat kepadatan tinggi, tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam juga akan tinggi, yang dapat mengancam kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang ada.
5.2. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan upaya manusia dalam interaksinya dengan sumberdaya fisik lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh
karenanya, pergeseran struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangmya luasan lahan tertentu dan meningkatnya penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat dengan peruhahan oientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (Nasution dan Winoto, 1990). Perubahan orientasi tersebut berkait dengan terjadinya proses transformasi struktur perekonomian yang dicirikan semakin menurunnya pangsa relatif sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan semakin meningkatnya pangsa relatif sektor sekunder dan tersier (industry dan jasa). Dengan demikian pembangunan ekonomi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian suatu wilayah terhadap sektor primer yang nmempunyai nilai tambah (value added) yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor sekunder dan terrier. Penggunaan dan pergeseran struktur penggunaan lahan di wilayah Provinsi Jambi diberikan pada tabel berikut:
23
Tabel 5.4.
Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 – 2008 (dalam persentase) Tahun
Penggunaan
2001
2007
Perubahan
Sawah
4.57
3.47
-1.11
Bangunan
6.94
9.72
2.78
Tegal/Huma/Ladang
25.61
19.07
-6.54
Pdg rumput/sementara tdk diusahakan
13.65
23.78
10.14
0.19
0.34
0.15
Tanaman kayu-kayuan
12.15
19.23
7.08
Hutan negara
36.89
24.39
-12.50
100.00
100.00
Tambak/Kolam/Empang
Jumlah
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada kondisi tahun 2008, hampir seperempat bagian (24,39 persen) lahan di Provinsi Jambi merupakan hutan negara. Di tempat kedua dengan proporsi penggunaan terbesar adalah untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh penggunaan untuk tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk tegal/huma/ladang, penggunaan untuk bangunan,
penggunaan
untuk
sawah
dan
penggunaan
untuk
tambak/kolam/empang. Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan lahan di Propinsi Jambi. Terdapat lahan yang mengalami pengurangan/penciutan, dengan urutan terbesar adalah penggunaan untuk hutan negara sebesar 12,50 persen diikuti oleh penggunaan untuk tegal/huma/ladang sebesar 6,54 persen dan penggunaan untuk sawah sebesar 1,11 persen. Sebaliknya, terdapat lahan yang mengalami peningkatan luasan secara proporsi, dengan urutan terbesar adalah penggunaan lahan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh penggunaan untuk tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk bangunan dan penggunaan untuk tambak/kolam/empang. Selanjutnya, secara terperinci struktur penggunaan lahan untuk masingmasing kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi pada tahun 2001, tahun 2008 dan perubahannya dalam periode tersebut, diberikan pada tiga tabel berikut: 24
Tabel 5.5.
Kabupaten/ Kota Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tanjab Timur Tanjab Barat Tebo Bungo Kota Jambi
Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2001 (dalam persentase) Pdg Tegal/ rumput/ Kolam/ Tanaman Huma/ Hutan Sawah Bangunan sementara Tambak/ KayuLadang Negara tdk diusa- Empang Kayuan kahan 4.37 1.17 29.30 3.50 0.07 18.38 43.21 1.81 10.88 25.94 10.58 0.08 16.38 34.32 1.29 3.60 2.75 16.53 8.59 1.40 3.28 7.70
5.63 6.53 7.53 7.72 4.80 3.20 12.30 48.09
15.88 20.60 25.60 10.50 37.55 27.94 40.04 29.48
33.84 5.82 18.99 29.26 4.71 5.31 7.43 11.99
0.10 0.14 0.50 0.26 0.32 0.06 0.11 1.39
8.66 24.30 13.47 17.44 1.92 4.43 7.30 1.35
34.59 39.01 31.16 18.28 42.12 57.66 29.54 0.00
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001
Tabel 5.6.
Kabupaten/ Kota Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tanjab Timur Tanjab Barat Tebo Bungo Kota Jambi Keterangan:
Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2008 (dalam persentase) Pdg Tegal/ rumput/ Kolam/ Tanaman Huma/ Hutan Sawah Bangunan sementara Tambak/ KayuLadang Negara tdk diusa- Empang Kayuan kahan 4.59 2.41 26.32 6.41 0.14 13.65 46.48 1.78 14.58 24.15 17.84 0.16 16.89 24.60 1.03 3.48 3.62 13.71 4.62 1.54 1.37 7.67
20.06 4.93 7.74 16.97 11.81 3.30 3.76 55.08
15.24 30.07 15.14 15.30 22.26 7.56 18.11 24.08
18.74 12.07 37.43 34.06 16.47 21.44 43.79 5.43
0.13 0.07 0.67 1.69 0.46 0.05 0.10 1.30
12.17 22.44 9.06 7.24 31.94 33.65 22.77 6.44
32.63 26.93 26.34 11.03 12.45 32.47 10.10 0.00
Klasifikasi penggunaan lahan pada tahun 2008 sedikit berbeda dengan klasifikasi tahun-tahun sebelumnya.Agar dapat diperbandingkan, klasifikasi tahun 2008 disesuaikan dengan angka penyesuaian tahun 2007.
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008
25
Berdasarkan kondisi tahun 2008 memperlihatkan penggunaan lahan untuk sawah yang tebesar ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan proporsi mencapai 13,71 persen dari luas wilayah kabupaten ini. Penggunaan lahan untuk bangunan yang dominan adalah di Kota Jambi. Lebih separuh (55,08 persen), lahan di Kota Jambi merupakan lahan peruntukan bangunan. Disisi lain, penggunaan .lahan untuk tegal/huma/ladang yang terbesar ada di Kabupaten Batang Hari dengan proporsi mencapai 30,07 persen Selanjutnya
untuk
penggunaan
padang
rumput/sementara
tidak
diusahakan, yang terbesar adalah di Kabupaten Bungo. Untuk kolam/tambak/ empang di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Untuk tanaman kayu-kayuan di Kabupaten Tebo dan penggunaan lahan untuk hutan negara di Kabupaten Kerinci. Berdasarkan perkembangan selama periode 2001 – 2008 dapat dikemukakan bahwa terjadi penurunan proporsi luasan lahan sawah di tujuh daerah dengan penurunan terbesar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yaitu sebesar 3,97 persen, diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 2,83 persen, Kabupaten Bungo (1,90 persen), Kabupaten Sarolangun (0,26 persen), Kabupaten Batang Hari (0,13 persen), Kabupaten Merangin (0,03 persen) dan Kota Jambi (0,03 persen). Tiga daerah lainnya mengalami peningkatan, dengan peningkatan terbesar adalah Kabupaten Muaro Jambi, diikuti oleh Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tebo. Untuk bangunan, menunjukkan terjadi peningkatan hampir di semua daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Bungo. Peningkatan terbesar terutama terjadi di Kabupaten Sarolangun, yaitu sebesar 14,42 persen, sedangkan peningkatan terendah adalah untuk Kabupaten Tebo (0,09 persen) Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan serta kolam/tambak/empang. Penggunaan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan mengalami peningkatan hampir pada semua daerah kecuali Kabupaten Sarolangun dan Kota Jambi yang menunjukkan penurunan. Penggunaan lahan untuk tambak/kolam/empang mengalami peningkatan pada hampir semua daerah kecuali Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tebo dan Kota Jambi.
26
Sebaliknya
penggunaan
untuk
tegal/huma/ladang
memperlihatkan
penurunan hampir pada semua daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memperlihatkan peningkatan. Penurunan terbesar terjadi di Kabupaten Bungo, diikuti oleh Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sedangkan penurunan terkecil ada di Kabupaten Sarolangun. Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk hutan negara. Hampir semua daerah mengalami penurunan kecuali Kabupaten Kerinci yang menujukkan peningkatan luasan lahan hutan negara. Pengurangan hutan negara dengan proporsi yang terbesar terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Pada tahun 2001, sebanyak 42,12 persen wilayah ini merupakan hutan negara, menjadi hanya 12,45 persen pada tahun 2008, atau mengalami penciutan 29,67 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di tempat kedua dengan pengurangan proporsi penggunaan terbesar adalah Kabupaten Tebo (25,19 persen), diikuti oleh Kabupaten Bungo (19,44 persen), Kabupaten Batang Hari (12,08 persen), Kabupaten Merangin (9,73 persen), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (7,25 persen), dan Kabupaten Sarolangun (1,96 persen). Tabel 5.7.
Kabupaten/ Kota Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tanjab Timur Tanjab Barat Tebo Bungo Kota Jambi
Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi selama Periode 2001 – 2008 (dalam persen perubahan) Pdg Tegal/ rumput/ Kolam/ Tanaman Huma/ Hutan Sawah Bangunan sementara Tambak/ KayuLadang Negara tdk diusa- Empang Kayuan kahan 0.22 1.24 -2.98 2.91 0.07 -4.72 3.27 -0.03 3.70 -1.79 7.26 0.07 0.50 -9.73 -0.26 -0.13 0.87 -2.83 -3.97 0.14 -1.90 -0.03
14.42 -1.59 0.21 9.26 7.01 0.09 -8.53 6.99
-0.64 9.48 -10.46 4.79 -15.29 -20.38 -21.94 -5.40
-15.10 6.25 18.43 4.80 11.75 16.13 36.36 -6.56
0.03 -0.07 0.18 1.43 0.14 -0.02 0.00 -0.09
3.50 -1.86 -4.41 -10.20 30.02 29.21 15.46 5.09
-1.96 -12.08 -4.82 -7.25 -29.67 -25.19 -19.44 0.00
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008 27
Selanjutnya dari hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap tujuh jenis penggunaan lahan di kabupatenkota di wilayah Propinsi Jambi, dihasilkan sebanyak 2 komponen faktor utama yang memiliki akar ciri diatas satu, dengan tingkat keragaman 69,91 persen. Dari masing-masing komponen faktor utama (yang dilambangkan dengan LI dan L2) keseluruhan jenis penggunaan lahan memiliki korelasi yang signifikan (Factor Loading > 0,5). Ini berarti bahwa ketujuh jenis penggunaan lahan tersebut secara nyata merupakan penggunaan basis, meskipun pada kabupaten/kota yang berbeda-beda. Adapun penggunaan lahan yang menjadi penciri faktor dalam komponen faktor utama tersebut yaitu: LI:
Penggunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman kayu-kayuan, dan hutan negara
L2: Penggunaan lahan untuk tegal/huma/ladang dan penggunaan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan Tabel 5.8.
Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
Jenis Penggunaan Sawah Bangunan Tegal/Huma/Ladang Padang rumput/sementara tdk diusahakan Kolam/Tambak/Empang Tanaman kayu-kayuan Hutan negara
Rotated Factor Loading (Varimax Rotation) L1 L2 0.2263 0.6421* -0.2372 0.8554* 0.0378 -0.8972* 0.1447 0.8540* -0.0320 0.9381* 0.4261 -0.5464* -0.2284 -0.8198*
Initial Eigenvalues Total % of Variance Cumulative %
3.02 43.12 43.12
1.88 26.78 69.91
Rotation Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative %
3.02 43.10 43.10
1.88 26.81 69.91 28
Pada komponen faktor utama L1, penggunaan lahan untuk sawah, bangunan dan kolam/tambak/empang memiliki korelasi positif (factor loading positif), tetapi penggunaan lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan hutan negara memiliki korelasi negatif. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan lahan untuk sawah, bangunan serta kolam/tambak/empang berjalan searah, tetapi peningkatan pangsa lahan untuk ketiga jenis penggunaan tersebut cenderung mengurangi luasan tanaman kayu-kayuan dan hutan negara. Pada
komponen
faktor
utama
L2
penggunaan
lahan
untuk
tegal/huma/ladang memiliki korelasi negatif, tetapi penggunaan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan memiliki korelasi negatif. Ini berarti peningkatan pangsa lahan untuk tegal/huma/ladang cenderung mengurangi luasan lahan padang rumput/sementara tidak diusahakan. Dan analisis skor baku nilai L1 dan L2 didapatkan nilai positif dan negatif pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Skor baku positif menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif untuk jenis penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang lebih tinggi, dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Sebaliknya, skor baku negatif menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif untuk jenis penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Tabel 5.9.
Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2 Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
Kabupaten/Kota Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tanjabtim Tanjabbar Tebo Bungo Kota Jambi
L1 2001 -0.8344 -0.4872 -0.2882 -0.7681 0.0136 0.5745 0.1059 -0.7773 -0.0672 2.7120
L2 2008 -0.9027 -0.3678 -0.4416 -0.6236 0.0259 1.6379 -0.0726 -1.0789 -0.2657 1.9055
2001 -0.3838 -0.0056 1.4949 0.3565 0.4051 2.3331 -1.2385 -0.8784 -1.1767 -0.6276
2008 -1.1846 -0.5780 -0.1445 -0.9570 0.5814 0.8697 0.0743 1.0715 0.9628 -0.9748 29
Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L1 yang positif adalah Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Jabung Timur dan Kota Jambi, dengan nilai skor tertinggi adalah untuk Kota Jambi. Ini menunjukkan bahwa pengunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/ empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan negara (kecuali Kota Jambi yang tidak memiliki hutan negara) memiliki pangsa relatif yang lebih tinggi di kabupaten/kota ini dibandingkan kabupaten lainnya. Namun demikian, karena korelasi tanaman kayu-kayuan dan hutan negara bernilai negatif (lihat tabel 5.8), maka
peningkatan
luasan
lahan
untuk
sawah,
bangunan
serta
kolam/tambak/empang akan cenderung mengurangi luasan lahan tanaman kayukayuan dan hutan negara di wilayah ini. Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat dominasi penggunan lahan untuk kelompok L1 tersebut semakin meningkat pada Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur (yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai skor baku). Tetapi untuk Kota Jambi menunjukkan penurunan dominasi (yang ditunjukkan oleh penurunan nilai skor baku) Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku negatif adalah Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Tanjung Jabung Barat, Tebo dan Bungo. Kecuali Kabupaten Tanjung Jabung Barat, keseluruhan daerah tersebut pada tahun 2001 juga menunjukkan skor baku yang negatif. Selanjutnya, dari analisis skor baku nilai L2, menunjukkan bahwa dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi, separuhnya memiliki skor baku positif yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo dan Bungo. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan lahan untuk tegal/huma/ladang serta padang rumput/sementara tidak digunakan lebih tinggi di daerah-daerah ini dibandingkan daerah-daerah lainnya. Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat dominasi penggunan lahan untuk kelompok L2 tersebut semakin meningkat pada Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tebo dan Bungo. Bahkan untuk tiga kabupaten terakhir, nilai skor bakunya sempat mengalami nilai negatif pada tahun 2001 dan mengalami peningkatan yang pesat menjadi bernilai positif pada tahun 2008. Sebaliknya Kabupaten Tanjung Jabung Timur meskipun memiliki 30
nilai skor baku positif, tetapi jika dibandingkan keadaan tahun 2001, menunjukkan penurunan dominasi penggunaan lahan untuk kelompok L2 tersebut. Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L2 yang negatif adalah Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari dan Kota Jambi. Kabupaten Kerinci, Merangin dan Kota Jambi menunjukkan peningkatan nilai negatif dibandingkan keadaan tahun 2001. Kabupaten Sarolangun dan Batang Hari bahkan pada tahun 2001 memiliki nilai skor baku positif menjadi negatif pada tahun 2008. 5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan Sistem hirarki pusat-pusat perturnbuhan/pelayanan merupakan suatu susunan hirarki yang berjenjang atau teratur yang merupakan tempat berkumpulnya penduduk, pusat-pusat kegiatan sosial ekonumi yang dapat berfungsi sehagai pusat produksi untuk melayani wilayah sekitarnya dimana antara masing-masing pusat pengembangan yang berjenjang tersebut terdapat kegiatan yang saling menunjang. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam analisis perkembangan hirarki pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah Provinsi Jambi, dapat diketahui dari nilai indeks pusat pelayanan (IPP) pada dua titik waktu, yaitu tahun 2001 dan 2008. Terdapat
11
indikator sarana-prasarana
yang digunakan dalam
menentukan indeks pusat pertumbuhan/pelayanan ini yaitu: 1. Jumlah Sekolah TK 2. Jumlah Sekolah Dasar 3. Jumlah Sekolah SLTP 4. Jurnkah Sekolah SLTA 5. Jumlah Klinik KB 6. Jmnlah Puskesmas (Induk+Pembantu) 7. Panjang Jalan Aspal 8. Jumlah Kamar Hotel 9. Daya Terpasang Listrik 10. Jumlah Koperasi 11. Jumlah Bank Umum 31
Dari 11 indikator sarana prasarana yang merupakan variabel dalam menentukan indeks pusat pelayanan, meskipun semuanya memberikan pengaruh yang signifikan (factor loading > 0,5), namun demikian indikator-indikator tersebut hanya mengelompok pada satu kelompok, dan tidak mengelompok secara terpisah sesuai dengan fungsi pelayanannya (pendidikan, kesehatan, ekonomi dstnya). Hal ini memberikan arti bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayahwilayah yang memiliki karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat pelayanan dalam fungsi tertentu. Secara terperinci hasil analisis komponen utama indeks pusat pelayanan kabupate/kota dalam Provinsi Jambi diberikan pada tabel berikut:
Tabel 5.10.
Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
No.
Sarana Prasarana
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
TK SD SLTP SLTA Puskesmas + Puskesmas Pembantu Klinik KB Kapasitas Terpasang Listrik Panjang Jalan Beraspal Jumlah kamar hotel Jumlah Koperasi Jumlah Bank Umum Initial Eigenvalues Total % of Variance Cumulative %
Factor Loading 0.9962 0.9964 0.9968 0.9059 0.9961 0.9982 0.9126 0.9034 0.9980 0.9931 0.9976
10.41 94.68 94.68
Selanjutnya dari analisis skor baku menunjukkan bahwa hanya Kota Jambi yang memiliki nilai skor baku positif, sedangkan sembilan daerah lainnya keseluruhannya memiliki nilai skor baku negatif. Fakta ini menunjukkan dominasi yang sangat tinggi dari Kota Jambi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi, sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol dalam konteks 32
penyediaan sarana dan prasarana pelayanan tersebut. Fakta ini juga menjadi faktor yang menyebabkan tidak terdapatnya pengelompokan yang sesuai dengan sifat pelayanan tertentu. Mengingat tidak terpolanya wilayah-wilayah dalam pada pusat pelayanan dengan fungsi pelayanan tertentu, maka skor baku yang diperoleh dari analisis ini sekaligus menentukan hirarki pusat pertumbuhan kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Hirarki pusat pertumbuhan di Provinsi Jambi berdasarkan nilai skor baku ini diberikan pada tabel berikut: Tabel 5.11.
Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
Kabupaten/Kota Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tanjabtim Tanjabbar Tebo Bungo Kota Jambi
Skor Baku 2001 2008 -0.2529 -0.2913 -0.3137 -0.2880 -0.3654 -0.3347 -0.2328 -0.2406 -0.2524 -0.3770 -0.4720 -0.4322 -0.3045 -0.3319 -0.3942 -0.3629 -0.2798 -0.3094 2.8656 2.9700
Peringkat 2001 2008 4 4 7 3 8 7 2 2 3 9 10 10 6 6 9 8 5 5 1 1
Pada tahun 2008, Kota Jambi sebagai ibukota Provinsi Jambi merupakan wilayah yang berhirarki tertinggi, diikuti di tempat kedua oleh Kabupaten Batang Hari. Kedua wilayah ini juga menempati posisi yang sama pada tahun 2001. Meskipun demikian, jika dilihat perubahan skor nilai bakunya antara tahun 2001 dan 2008 memperlihatkan terjadinya penurunan nilai skor baku untuk Kabupaten Batang Hari. Penurunan nilai skor baku di Kabupaten Batang Hari menunjukkan relatif rendahnya kemampuan wilayah ini dalam menyediakan sarana prasarana dalam mengantisipasi perkembangan aktivitas sosial-ekonomi dan pertambahan jumlah penduduknya, dibandingkan rata-rata kemampuan wilayah lainnya dalam Provinsi Jambi. Pada posisi ketiga sebagai wilayah dengan hirarki pusat pertumbuhan/ pelayanan
tertinggi adalah Kabupaten Merangin. Kabupaten Merangin 33
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan pada dengan posisi yang dicapainya pada tahun 2001, yaitu pada posisi ketujuh. Pada posisi keempat, kelima dan keenam, secara berturut-turut ditempati oleh Kabupaten Kerinci, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kondisi ini berlaku sama baik pada tahun 2001 maupun 2008. Namun demikian, dari sisi perubahan nilai skor bakunya, memperlihatkan terjadinya penurunan untuk ketiga daerah ini. Pada posisi ketujuh dan kedelapan ditempati oleh Kabupaten Sarolangun diikuti oleh Kabupaten Tebo. Dibandingkan keadaan tahun 2001, kedua kabupaten ini telah menunjukkan peningkatan posisi dari masing-masing sebelumnya pada posisi kedelapan dan kesembilan. Pada posisi kesembilan ditempati oleh Kabupaten Muaro Jambi. Wilayah ini mengalami penurunan yang pesat dari peringkat 3 pada tahun 2001 menjadi peringkat 9 pada tahun 2008. Selanjutnya pada posisi terendah (kesepuluh) adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Posisi daerah ini tidak mengalami perubahan baik pada pada tahun 2001 maupun tahun 2008.
5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan terhadap permintaan lahan. Luasan lahan yang relatif tetap di satu pihak dan permintaan lahan yang terus meningkat di pihak lain, menyebabkan alih guna lahan di suatu wilayah tidak terelakkan. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, ketersediaan sarana prasarana serta penggunaan lahan di wilayah Provinsi Jambi, dengan menggunakan nilai skor baku komponen faktor utama, didapatkan matriks korelasi antar masing-masing komponen faktor utama sebagai berikut:
34
Tabel 5.12.
Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi
Komponen
P
S
P
L1 -0.23
S
-0.23
L1
-0.06
L2 -0.06
0.50
0.65*
-0.42
0.65*
0.01
L2 0.50 -0.42 0.01 Keterangan: * Korelasi signifikan pada tingkat signifikansi 5 % (one tail test)
Dari matriks korelasi tersebut terlihat bahwa hanya satu hubungan yang memiliki korelasi signifikan yaitu antara S dan L1. Komponen S adalah hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan sedangkan komponen L1 adalah penggunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan negara. Ini menunjukkan bahwa perubahan dalam hirarki pertumbuhan/pelayanan atau peningkatan dalam sarana prasarana pelayanan akan merubah struktur penggunaan lahan pada kelompok ini. Matrik korelasi tersebut juga memperlihatkan tidak adanya keterkaitan yang
nyata
antara
pertumbuhan
penduduk
(P)
dengan
hirarki
pusat
pelayanan/pertumbuhan (S). Temuan ini sebenarnya sejalan dengan kenyataan bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan sarana prasarana, dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal tersebut. Posisi daerah lain yang jauh tertinggal ini menyebabkan tidak terdeteksinya hubungan antara pertumbuhan
penduduk
dengan
hirarki
pusat
pertumbuhan/pelayanan
kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih rendahnya tingkat kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat kepadatan penduduk rendah, pertumbuhan penduduk tersebut belum menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara signifikan.
35
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi pada periode 2001 – 2008 adalah sebesar 1,91 persen pertahun. Pertumbuhan penduduk ini bervariasi antar kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro Jambi sebesar 3,93 persen pertahun dan yang terendah Kabupaten Kerinci sebesar 0,67 persen pertahun. 2. Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan lahan di Provinsi Jambi. Lahan yang mengalami penguranganrpenciutan adalah penggunaan untuk hutan negara, tegal/ladanghuma dan untuk sawah. Penciutan lahan untuk jenis penggunaan ini diikuti oleh peningkatan luasan lahan untuk jenis penggunaan bangunan, padang rumput/sementara tidak diusahakan, tambak/kolam/empang dan tanaman kayu-kayuan. 3. Berdasarkan analisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan menunjukkan bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat pelayanan dalarn fungsi pelayanan tertentu. Hal ini terlihat dari tidak mengelompoknya indikatorindikator sarana-prasarana sesuai dengan fungsi pelayanannya. Selain itu dominasi Kota Jambi sangat tinggi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi, sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol. 4. Selama periode 2001 - 2008, hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah Propinsi Jambi hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari tetap menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi, sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi wilayah dengan hirarki terendah. 5. Berdasarkan analisis korelasi dan analisis jalur didapatkan bahwa tidak adanya keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat pelayanan/pertumbuhan. Temuan ini sebenarnya sejalan dengan 36
kenyataan bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan sarana prasarana, dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal tersebut. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih rendahnya tingkat kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat kepadatan penduduk rendah, pertumbuhan penduduk tersebut belum menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara signifikan.
6.2. Saran-Saran 1. Dalam kerangka pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah, perlu dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di Provinsi Jambi selain Kota Jambi. 2. Perlunya perhatian lebih pada wilayah-wilayah yang terindikasi mengalami penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan dalam mendukung perkembangan aktivitas ekonomi dan pertambahan penduduk. 3. Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan, fenomena ini perlu diwaspadai, terutama ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi sudah relatif tinggi.
37
REFERENCES
Anwar, Affendi. 1994. Proses Pembentukan Sistem Kota-Kota Dan Analisis Ekonomi Kawasan Perkotaan. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor Barlowe, R. 1987. Land Resources Economics. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, New Jersey Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. LPFE-UI. Jakarta Glasson, John. 1990. Perencanaan Regional. Diterjemahkan oleh Paul Sitohang. LPFE-UI. Jakarta ' Gasper, Vincent. 1991. Tehnik Analisis Dalam Penelitian Percobaan Jilid 2. Penerbit Tarsito. Bandung Hanafiah, T. 1985. Kutub dan Pusat Pertumbuhan Dalam Pembangunan Wilayah. Pusat Pengembangan Wilayah Pedesaan-Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat IPB. Bogor Owen, F.J. 1978. "Selected Factor Affecting The Pattern of Agriculture Land Conversion in Washington Country". Oregon Diss.Abstr. Int 9 (5): 31773178 Richardson, Harry. W. 1974. Dasar-Dasar Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta Sandy, I Made. 1995. Tanah: UUPA 196& - 1995. PT. Indograph Bakti. FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta Saefulhakim. 1994. "A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use Management". Ph.D Disertation Kyoto University. Japan Soerianegara, I. 1975. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Sekolah Pascasarjana. Jurusan PSL-IPB. Bogor Somaji, R.P. 1994. "Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Petani di Jawa Timur". Thesis S-2. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Yasin,M. 2007. "Arti dan Tujuan Demografi" dalam Dasar-Dasar Demografi. LDFE-UI. Jakata
38