MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI
LUTFY ABDULAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2011 Lutfy Abdulah NRP. E151080081
ABSTRACT
LUTFY ABDULAH. Model Dynamic of Forest and Land Use Change and Carbon Trade Scenario in Jambi. Under Direction of HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT. The rate of deforestation and forest degradation in the sector of LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) continues to increase along with the increase in land and forest products. In 2009, the release of forest area in Jambi province reached 77,216 hectares, land use 344,305 hectares, and forest area exchange 80,861 hectares. The importance of non-forestry sector development has resulted in the decrease in forested areas (deforestation) and the cover of forested areas (forest degradation). The rate of deforestation in Jambi reached 165,665 hectares, in which 39.75% occurred in West Tanjung Jabung Regency. The use of forest area for non-forestry sector development is set out in the national development policy. The policy changes bring about the changes in the interaction of forest stakeholders to the forest areas. To reduce the rates of deforestation and forest degradation, the government has used REDD + scheme. One scenario in REDD+ scheme is with a moratorium on the use of forest areas. Projected deforestation and forest degradation can be done through dynamic system when a moratorium on forest area utilization is conducted on the intensity of 30%, 50% and 70% out of the forest area use permit in BAU. The implementation of a moratorium can decrease deforestation and degradation about 9% -43%. Implementation of a moratorium of forest area use permit in REDD+ scheme does not provide a very large income. The income of REDD + is only about 0.76 to 1.35 billion USD in every 5-year contract, much lower compared to BAU income of Jambi which reaches USD 678,912 per year and it may threaten 1,290,854 employment opportunities for people. Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction
RINGKASAN
LUTFY ABDULAH. Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT. Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga 2004. Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar. Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut 2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp. 4.433,3 Milyar (Kemenhut 2010). Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi Jambi. Sub tujuan yang ingin dicapai adalah dinamika kebijakan penggunaan kawasan hutan, simulasi interaksi aktor dengan kawasan hutan, nilai ekonomi REDD+ pada masing-masing fungsi hutan dan kombinasi fungsi kawasan hutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendugaan deforestasi dan degradasi hutan secara historis dengan bersumber pada data pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Pendugaan laju deforestasi dan degradasi hutan menggunakan metode IPCC tahun 2006 volume 4. Terdapat 4 kebijakan utama yang mengatur penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, yakni pinjam pakai kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan alih fungsi. Setiap stakeholder baik itu di pusat maupun di daerah memegang perannya masingmasing. Setiap stakeholder saling berinterasi dan bergantung satu sama lain. Ketika stakeholder kunci tidak dapat memainkan perannya maka tidak akan ada perubahan pada penggunaan kawasan tersebut. Isu REDD+ sangat dikenal oleh pengambil keputusan di pemerintah daerah Provinsi Jambi, namun tidak dengan pimpinan pada level yang rendah dan staf. Hal ini menyulitkan pada komunikasi kebijakan dengan masyarakat. Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412/Kpts-II/1999 adalah 2.179.440 hektar atau 42,73% luas daratan yang telah mengalami deforestasi mencapai 45.571 hektar/tahun. Luas kawasan hutan lindung mencapai 191.130 hektar terdeforestasi mencapai 3.140 hektar/tahun, kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar mengalami deforestasi mencapai 34.147 hektar/tahun. Luas hutan konservasi mencapai 676.130 hektar mengalami deforestasi mencapai 5.942 hektar/tahun.
Melalui REDD+ diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu skenario yang ditawarkan adalah moratorium ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana BAU. Bila moratorium ijin sebanyak 30% dari BAU maka laju deforestasi akan menurun menjadi 41.256 hektar/tahun. Bila moratorium ijin sebanyak 50% dari BAU maka dapat menurunkan laju deforestasi menjadi 37.991 hektar dan Bila moratorium ijin sebanyak 70% dari BAU akan menurunkan laju deforestasi mencapai 25.997 hektar/tahun. Penerapan skema REDD+ pada taraf 30%, 50% dan 70% diharapkan akan memberikan dampak positif pada penerimaan usaha kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36/Menhut-II/2009, dilakukan simulasi pendapatan dan biaya transaksi yang harus timbul ketika skema REDD+ dijalankan. Bila waktu proyek REDD adalah 30 tahun dengan harga C/ton adalah 5 US$ dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebanyak 30% adalah -0,42 milyar US$, -0,68 milyar US$ untuk standar Carbon Fix dan -0,74 milyar US$ untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30% mencapai -0,78 milyar US$. Penerapan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebesar 50% tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ 70%. Bila standar CCB (carbon, community and biodiversity) yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar 1,36 milyar US$. Standar Carbon Fix (CF) akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 milyar US$. Standar Plan Vivo (PV) akan memberikan income REDD+ sebesar 1,01 milyar US$. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar 1,06 milyar US$. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan konservasi dilakukan sebesar 30% maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70% yakni sebesar 136 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung sebesar 30% akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 70%. Income REDD+ akan mencapai 83 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 30%, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70%. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70% di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 2,63 milyar US$ setiap periode (5 tahun). Penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan salah satunya disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan atas dasar faktor biofisik di lapangan tanpa memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak disertai ijin pinjam pakai kawasan hutan mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial ekonomi dari HTI, HPH dan kebun. Penetapan skenario moratorium 30%, 50%
dan 70% tidak menjadi rekomendasi utama dalam manajemen hutan. Hal ini karena bila moratorium pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan ditetapkan sepihak tanpa mempertimbangkan usaha yang telah dilaksanakan selama BAU maka akan sangat mempengaruhi dampak ekonomi dan sosial masyarakat. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya pendapatan secara keseluruhan. Selain pendapatan secara makro, pendapatan masyarakat yang selama ini timbul akibat bisnis penggunaan hutan produksi seperti HPH akan semakin kecil. Bila di semester 2 tahun 2009 pendapatan daerah dari sektor pengusahaan hutan produksi berupa SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) mencapai Rp. 2.175.222.101,60 dan DR mencapai USD 437.220,32 atau mencapai Rp. 6.110.204.981,60 pada kurs rupiah 9000 harus dikurangi sebanyak 70% untuk mendapatkan income 4,84 milyar USD dari REDD+ maka perkiraan pendapatan dari pengusahaan hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah. Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum project dengan faktor konversi pencegahan deforestasi dan degradasi Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI
LUTFY ABDULAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis Nama NRP
: Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi : Lutfy Abdulah : E151080081 Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Anggota
Dr. Ir. Dodik R.Nurrochmat, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc
Tanggal Ujian: 18 Januari 2011
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tania June, M.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini ialah Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc. selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc sebagai penguji luar komisi. Tak lupa diucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pimpinan sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Gubernur Maluku dan Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan memperdalam ilmu dan pemahaman tentang pengelolaan hutan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Desy Ariyadhi Suyamto, Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Bapak Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Bapak Ketua BAPPEDA Jambi dan Bapak Kepala Dinas Pertambangan
Batubara
dan
Sumber
Mineral
Provinsi
Jambi.
Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu penulis dalam diskusi untuk mempertajam analisis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada istri tercinta Yeni Ratnasari dan anakku sayang Siti Syafirasari Thio serta kepada kakanda Drs. M. Saleh Thio, MS dan saudara-saudaraku tercinta lainnya. Terima kasih atas dukungan materiil dan doa yang selama ini diberikan.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan 1.4 Manfaat Penelitian
1 1 2 4 4
2
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan 2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan 2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi
5
10
2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD
14
METODOLOGI PENELITIAN
19
3.1 Kerangka pendekatan masalah
19
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
20
3.3 Alat dan Bahan
21
3.4 Metode penelitian
21
3.5 Tahapan analisis data
22
3.6 Simulasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan
23
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
28
4.1 Administrasi Provinsi Jambi
28
4.2 Kawasan Hutan dan Organisasi
28
HASIL PENELITIAN
31
5.1 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan
31
5.2 Dinamika Pembangunan Sektor Kehutanan
57
5.3 Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi
63
5.4 Pemahaman Stakeholder tentang REDD
69
3
4
5
5.5 Model Dinamika Kawasan Hutan
Penggunaan
dan
Pemanfaatan
8
72
vii
6
PEMBAHASAN
94
6.1 Penentuan Kawasan Hutan
94
6.2 Interaksi Stakeholder dengan Kawasan Hutan
95
6.3 Faktor Pendorong Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi 6.4 Perdagangan Karbon dan Skenario REDD
98 108
7
SIMPULAN DAN SARAN
111
8
DAFTAR PUSTAKA
112
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Nilai karbon terikat terhadap kandungan biomasa
6
2
Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan
10
3
Rencana strategi peningkatan serapan karbon di provinsi Jambi
13
4
Karbon terikat pada setiap penggunaan lahan
25
5
Wilayah administrasi dan kependudukan Provinsi Jambi
27
6
Klasifikasi hutan menurut TGHK dan tutupan hutan
28
7
Deforestasi provinsi jambi di dalam dan diluar kawasan hutan tahun 2003-2006
29
8
Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi
35
9
Rekapitulasi ijin lokasi perkebunan di Provinsi Jambi
43
10
Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi
44
11
Jumlah ijin dan luas areal konsesi yang dikelola
58
12
Sebaran HPH menurut status pengelola
59
13
Rekapitulasi potensi hasil hutan kayu Provinsi Jambi
60
14
Rekapitulasi realisasi penanaman HTI di Provinsi Jambi
61
15
Daftar perusahaan HTI di Jambi
62
16
Deforestasi Jambi Periode 2003 – 2006
63
17
Laju deforestasi menurut kabupaten di Provinsi Jambi periode tahun 2003 – 2006
65
18
Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK
74
19
Hubungan antar stakeholder dalam manajemen bentang lahan
75
20
Hubungan stakeholder dengan variabel flow
76
21
Bobot hubungan antar stakeholder dalam mempengaruhi flow
77
22
Laju deforestasi hutan tetap di Provinsi Jambi
81
23
Laju degradasi simpanan karbon hutan
82
24
Simpanan karbon akibat konversi hutam alam
82
25
Kuantifikasi perilaku aktor terhadap alokasi lahan HPH untuk HTI
84
26
Kuantifikasi perilaku aktor terhadap perambahan TNKS
85
27
Hasil simulasi penurunan laju deforestasi
86
28
Hasil simulasi penurunan laju degradasi
87
ix
29
Standar biaya dan upah serta nilai CO2
88
30
Perbandingan income REDD di hutan produksi berdasarkan standar
90
31
Hasil simulasi REDD+ pada kombinasi fungsi hutan
91
32
Uji sensivitas
92
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian
20
2
Hubungan antara aktor-arena dan institusi
23
3
Model konseptual
24
4
Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun 2008
33
5
Prosedur ijin pinjam pakai kawasan P.48/Menhut-II/2008 Peta sebaran potensi tambang di jambi
37
6 7
berdasarkan
38
Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor bukan kehutanan Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun 2010
40
45
13
Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 292/KPTS-II/1995 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum PP. No. 10 Tahun 2010 tahun 2010 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 Peta sebaran ijin HTI di provinsi jambi
14
Peta deforestasi periode tahun 2003 – 2006 di provinsi Jambi
64
15
Cadangan karbon pada tahun 1990
66
16
Cadangan karbon pada tahun 2000
66
17
Cadangan karbon pada tahun 2005
67
18
Kondisi penggunaan lahan tahun 1990-an
68
19
Kondisi penggunaan lahan tahun 2000-an
68
20
Kondisi penggunaan lahan tahun 2005
69
21
Organogram bentang alam provinsi jambi
73
22
Hasil simulasi dinamika perubahan bentang alam Jambi
78
23
Hasil simulasi dinamika luas penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan
79
24
Perubahan cadangan karbon
80
25
Perubahan cadangan karbon di hutan produksi akibat perilaku aktor dalam alokasi lahan bekas tebangan hph untuk HTI
84
26
Perilaku DISHUT terhadap perambahan TNKS
86
8 9 10 11 12
41
48 53 56 62
xi
27
Nilai simpanan karbon terhadap setiap fungsi terhadap REL
89
28
Pertumbuhan biomasa HTI
104
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Laju deforestasi pada kawasan hutan tetap
117
2
Laju degradasi pada kawasan hutan tetap
118
3
Laju deforestasi pada setiap fungsi
119
4
Simulasi Income REDD berdasarkan tingkat harga karbon di semua fungsi hutan
120
5
Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar CCB
121
6
Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar Carbon Fix
122
7
Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar Plan Vivo
123
8
Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar voluntary carbon AFOLU
124
9
Spesifikasi model kuantitatif
125
xiii
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga 2004. Dari angka tersebut 40% disumbang dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dan deforestasi dan degradasi hutan (IPCC 2007). Menurut Stern (2006) menyebutkan sektor deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang 18% emisi ke atmosfer. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun
2003 – 2006
mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kemenhut 2009). Secara umum, penurunan cadangan karbon di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Indonesia dari sektor pengelolaan lahan baik hutan maupun non hutan terus menurun terjadi pada periode tahun 1990-2000, yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi 1.046,78 Mt pada periode 2000-2003 atau 348,93 Mt /tahun, dan periode 2003-2006
menurun
lagi
menjadi
531,68
Mt
atau
177,56
Mt/tahun
(Budiharto 2009). Penurunan terbesar terjadi di P. Kalimantan dan P. Sumatera dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35 Mt/tahun dan 77,57 Mt/tahun. Saharjo (2009) menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau sekitar 53,1% terdapat di Indonesia yang terbagi pada 3 pulau besar yakni Sumatera tersimpan 18,3 Gt (41,1%), Kalimantan 15,1 Gt (33,8%) dan Papua Barat 10,3 Gt (23%). Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar. Deforestasi
hutan
Indonesia
berdampak
pada
penurunan
PDB
(Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut
2
2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp. 4.433,3 Milyar (Kemenhut 2010). Penurunan potensi hutan dan konversi lahan hutan terjadi merata di seluruh wilayah termasuk provinsi Jambi. Menurut Wurjanto diacu dalam Prasetyo (2009), dari perubahan citra landsat terlihat ada pengurangan jumlah tutupan hutan sebesar 2% per tahun dari total luas 1,2 juta hektar hutan di Jambi. Sampai dengan tahun 2008, tersisa 2 IUPHHK Hutan Alam dengan luas mencapai 45.825 hektar dan jatah tebangan tahunan 2008 mencapai 60.000 m3 atau turun 14.130 m3 di tahun 2006 (Kemenhut 2008). Untuk keperluan kayu industri, di provinsi Jambi telah dibangun HTI dari tahun 2004 – 2008 mencapai 101.907,34 hektar. IUPHHK Hutan Tanaman terdapat 13 unit usaha yang mengelola lahan seluas 572.054 hektar. Realisasi produksi kayu bulat untuk tahun 2008 hanya mencapai 4.895.484,55 m3 dari rencana sebanyak 8.334.519,58 m3. Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Portela dan Rademacher (2001), menggunakan model dinamika untuk menganalisis pola deforestasi yang ditunjukan oleh perbedaan pola degradasi lingkungan di hutan Amazon Brasil.
1.2 Perumusan Masalah Tingginya angka emisi sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) kebutuhan lahan dan hasil hutan yang terus meningkat. Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar 66.180.70 hektar, tahun 2006 seluas 151.892,73 hektar dan tahun 2007 sebesar 73.673.99 hektar. Sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas 77.216,73 hektar (Kemenhut 2008). Pentingnya
pembangunan
sektor
non-kehutanan
mengakibatkan
berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui HPH dan pemenuhan kebutuhan kayu industri melalui HTI merupakan faktor pendorong berubahnya
3
luas dan tutupan hutan. Selain itu, desakan masyarakat untuk mengelola kawasan hutan semakin tinggi. Hasil rekap data statistik Kementerian Kehutanan menunjukan bahwa sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pinjam pakai kawasan hutan seluas 344.305 hektar, tukar menukar kawasan yang keluar dari kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 mencapai 48.193 hektar dan yang masuk menjadi kawasan hutan sebesar 80.861 hektar. Jumlah HPH yang masih aktif sampai dengan tahun 2009 hanya 1 perusahaan dan HTI mencapai 131.260 hektar. Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan merencanakan pembangunan HKm seluas 45.500 hektar, hutan desa 39.000 hektar, RHL 62.100 hektar sampai dengan tahun 2014. Untuk memenuhi kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR dan HTI sampai tahun 2020 seluas 508.000 hektar. Selain itu akan dilakukan pemanfaatan LOA (Log Over Area) seluas 163 ribu hektar (Kemenhut 2010). Upaya menurunkan emisi pada BAU (business as usual) dengan skema REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak positif maupun negatif baik terhadap penutupan lahan, ekonomi masyarakat dan pendapatan negara dan daerah. Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah : (1) bagaimanakah bentuk manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan rencana akan datang? (2) bagaimana peran stakeholder di level provinsi Jambi dalam menentukan peruntukan lahan hutan selama ini? dan (3) bila REDD+ dilaksanakan, berapa nilai ekonomi yang dapat diterima? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis institusi pengurusan hutan pada masa lampau dan rencana akan datang serta peran aktor dalam manajemen hutan;
4
2. Membangun model simulasi pemanfaatan dan peruntukan hutan sebagaimana BAU (business as usual) dijalankan 3. Mengetahui nilai REDD+ yang dapat diperoleh berdasarkan standar pasar karbon yang ada.
1. 4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang : 1.
Peran yang dikendalikan oleh setiap stakeholder yang berwenang dalam pengurusan kawasan hutan;
2.
Membangun model dinamika perubahan lahan berdasarkan ketertarikan agen;
3.
Fluktuasi cadangan karbon ketika BAU dan REDD+ dijalankan
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan cadangan karbon ketika terjadi perubahan penggunaan lahan, misalnya dari areal berhutan menjadi kebun atau sebaliknya dari tanah kosong menjadi areal bertutupan vegetasi hutan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menduga simpanan karbon pada setiap jenis lahan diantaranya dilakukan oleh Rahayu et al (2005) dan Agus et al (2009). IPCC (2006) memberikan pedoman pendugaan cadangan karbon pada areal berhutan, pemukiman, lahan pertanian, padang rumput dan bentuk penggunaan lahan lainnya yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di beberapa negara. Karbon merupakan fungsi dari biomasa pohon. Biomasa merupakan fungsi dari volume yang dibentuk dari dimensi tinggi dan diameter. Pertambahan dimensi tinggi dan diameter terbentuk karena adanya proses fotosintesis yang mengubah CO2 dan H2O menjadi selulosa. Besarnya kandungan karbon dapat menduga besarnya serapan CO2 untuk keperluan fotosintesis yakni sebesar nilai karbon dikalikan dengan berat molekul CO2 yakni sebesar 44/12 yang dinyatakan dengan satuan ton/ha (Aminudin 2008). Kandungan karbon dalam biomasa diasumsikan sebesar 50% dari nilai biomasa (Brown 1997). Penelitian lain menemukan bahwa angka konversi biomasa ke nilai kandungan karbon tidak mencapai 50% atau hanya mencapai 10% atau kurang dari 50%. Kesalahan dalam penggunaan nilai konversi ini akan berakibat pada kesalahan pendugaan cadangan karbon pada satu individu pohon dan suatu hamparan penggunaan lahan (Tabel 1).
6
Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutan/jenis pohon 1.
Mangrove
2.
Hutan Kerangas, Kalimantan Barat Acacia mangium, Sumatera Selatan a. Areal Bekas Tebangan b. Areal Bukan Bekas Tebangan Pohon Puspa, Sumatera Selatan a. Kelas diameter 2 – 10 cm b. Kelas diameter 10 – 20 cm c. Kelas diameter > 20 cm Acacia crassicarpa, Sumatera Selatan a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun c. Umur 6 tahun Hutan Gambut bekas tebangan Sumatera Selatan Hutan gambut bekas terbakar a. Kelas diameter 2-10 cm b. Kelas diameter 10-20 cm c. Kelas diameter >20 cm
3.
4.
5.
6. 7.
Persen Karbon Terikat (%) 19.00 – 47.00
19.00 – 27.00
14.70 – 28.80 14.40 – 28.40 31.53 28.51 33.54 15.21 18.69 17.63 13.7 – 22.99
Sumber Pustaka Hilmi (2003) diacu dalam Widyasari (2010) Onrizal (2004) Ismail (2005) diacu dalam Widyasari (2010)
Salim (2005) diacu dalam Widyasari (2010) Limbong (2009) diacu dalam Widyasari (2010)
Novita (2010) Widyasari (2010)
17.7 16.83 16.99
Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari (2010) menyebutkan bahwa perbedaan pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown (1997) karena Brown (1997) tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer (1993) diacu dalam Aminudin (2008), sepotong kayu terdiri atas 49% unsur C, 6% unsur H dan 44% unsur O serta 0.1% abu. Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar 68,08-82,28% terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44%, di ranting terdapat 6,16-10,32% serta 7,15-7,45% terdapat di cabang (Widyasari 2010).
7
Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC (2006) mengklasifikasikan metode pendugaan karbon dalam 3 (tiga) tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1 dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian pengumpulan data. Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU (agriculture, forestry and other land use) dapat diduga dengan 2 cara yakni (1) perubahan bersih karbon stok pada suatu periode waktu tertentu dan (2) laju perubahan aliran CO2 ke dan dari atmosfer. Besarnya serapan CO2 dari atmosfer bergantung pada kerapatan biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO2 dipindahkan dari atmosfer ke ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO2 melalui fotosintesis sering disebut dengan gross primary product (GPP). Setengah dari GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production (NPP) yakni total produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun (IPCC 2006).
8
2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan Perubahan bentuk penggunaan lahan berkorelasi negatif dengan cadangan karbon, namun tidak berarti bahwa perubahan bentuk akan mengemisi sejumlah cadangan karbon yang dimiliki. Pada tanah mineral, konversi hutan primer dan hutan sekunder dengan simpanan karbon rata-rata berturut-turut 300 dan 132 t/ha, dapat menurunkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto positif). Jika
lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan
karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha direhabilitasi menjadi lahan perkebunan, pada umumnya akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Pembangunan kebun di lahan gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) akan meningkatkan cadangan karbon. Hal ini berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tCO2-e/ha/25 tahun (34 tCO2-e/ha/tahun), karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Bila belukar gambut dipertahankan maka akan mengemisi sekitar 22 CO2-e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturutturut menjadi 11, 7, dan 30 CO2-e/ha/tahun. Dengan demikian, rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut 11 dan 15 CO2-e/ha/tahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi perkebunan kelapa sawit hanya menambah emisi 8 CO2-e/ha/tahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO2 netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konversi lahan kosong atau belukar menjadi perkebunan dapat meningkatkan simpanan dan serapan karbon.
9
Namun jika perkebunan dibangun dengan mengkonversi hutan alam dengan cadangan karbon di hutan alam maka akan menurunkan simpanan karbon di lahan tersebut. Penurunan cadangan karbon tidak berarti akan mengemisi sebesar nilai cadangan karbon, namun dapat diduga dengan menghitung selisih perubahan cadangan karbon hutan alam ke perkebunan dikalikan dengan rendemen pengolahan kayu. Rendemen pengolahan kayu bulat dari hutan alam mencapai 57% – 70% dari volume yang dipanen (Kemenhut, 2007). Hal ini menunjukan bahwa pengambilan cadangan karbon dalam bentuk kayu tidak langsung diuapkan menjadi CO2 bebas di atmosfer namun dikonversi menjadi bentuk simpanan karbon lainnya seperti mebel, kayu pertukangan, konstruksi, kayu lapis, veneer dan lain-lain (Soedomo 2010). Untuk meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan, maka tegakan hutan yang pertumbuhannya telah mencapai klimaks perlu ditebang dan dilakukan permudaan sehingga selisih fotosintesis terhadap respirasi positif. Tumbuhan muda lebih membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dibandingkan tumbuhan yang tua yang telah mencapai keseimbangan antara serapan CO2 untuk proses fotosintesis dan melepaskan CO2 sebagai hasil respirasi. Pada awal penebangan akan terjadi kehilangan cadangan karbon, namun akan memberi ruang untuk tumbuh tanaman muda. Pinard dan Cropper (2000) menyebutkan bahwa, cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC (Annual Available Cutting) maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di 40-60 tahun mendatang. Lasco et al (2006) menyebutkan bahwa kegiatan penebangan akan menurunkan paling sedikit 50% dari simpanan karbon yang ada di hutan. Konversi hutan alam menjadi padang rumput atau lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan cadangan karbon kurang dari 40 ton/ha dari 500 ton/ha yang dimiliki. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman juga mengakibatkan penurunan cadangan karbon sekitar 50% dari cadangan karbon yang ada. Kegiatan pemanenan dan perlakuan TPTJ (tebang pilih tanam jalur)
10
memberikan pengaruh nyata pada kandungan karbon serasah. Kandungan karbon serasah di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan hutan primer. Kandungan karbon di serasah segar sekitar 6,1 ton C/ha pada areal bekas tebangan dan hanya 2,4 ton C/ha di hutan primer. Namun pelaksanaan silvikultur TPTJ tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon tanah pada kedalaman 0-40 cm (Almulqu 2008). Beberapa penelitian untuk menduga cadangan karbon pada jenis penggunaan lahan yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan No. Jenis Penggunaan Lahan Cadangan Sumber Pustaka Karbon Ton/Ha 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Kebun Karet Kebun Kelapa Sawit Alang-alang Agroforestry Hutan rakyat jati Kerangas di Taman Nasional Hutan gambut bekas terbakar Hutan gambut bekas tebangan Hutan Gambut
348.02 189.26 206.8 16.43 4,8 4,2 37,7 66,3 176,1 29,1 41,82
Tresnawan dan Rosalina (2002) Tresnawan dan Rosalina (2002) Widayati et al (2005) Yulianti (2009) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Aminudin (2008) Onrizal (2004) Widyasari (2010) Novita (2010)
2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi Menurut Lund (2008) bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan, perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya adalah : UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan. FAO (2010) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi
11
hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi. Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi (Lund, 2007). Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga menurunkan kapasitas produksi (FAO 1993 dalam Lund 2007). Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh manusia, untuk jangka panjang (terjadi selama X tahun atau lebih) atau sedikitnya Y% dari persediaan karbon hutan (dan nilai hutan) sejak waktu T dan tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan. Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD (Masripatin 2007). Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink yang mampu menyerap CO2 bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO2 akan makin meningkat. Menurut FAO (2010) bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun 1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun 2000-2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14% emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual (BAU) yang telah dijalankan selama ini, manajemen sampah yang benar 6%, dan efisiensi energi 6%. Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO2e dan kemampuan serapan CO2e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO2e (Kemenhut 2010). Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1%. Sektor transportasi dan industri
12
masing-masing 0,3% dan 0,01%, sektor pertanian 0,3%, sektor kehutanan 13,3%, pengelolaan limbah 1,6%, dan pengelolaan lahan gambut 9,6%. Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti mampu menyerap 1.31 Gt CO2e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan upaya lainnya. Skema REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP (Conference of Parties) ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin (2007) vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO2 atau dua kali lipat lebih banyak CO2 di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO2 lebih besar dari gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14%. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan, pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3 menjadi 9 juta m3 serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL (Reduced Impact Logging). Diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya dilakukan penanaman seluas 500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.
Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi (Kemenhut 2010) Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah HKm - 16.000 14.600 14.900 45.500
13
Hutan Desa HTI/HTR RHL Pengelolaan LOA
16.500 47.000 11.500 50.000
8.500 42.500 12.000
6.100 52.000 11.300
4.300 46.500 13.400 52.000
3.600 41.000 13.900 61.000
39.000 229.000 62.100 163.000
Skema REDD diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Insentif yang disiapkan negara-negara maju untuk mempersiapkan pelaksanaan REDD di negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis dalam Copenhagen Accord sebesar 30 milyar US$ dan untuk pembayaran REDD sampai tahun 2020 disiapkan dana sebesar 100 milyar US$ (UNFCCC 2009). Skema REDD perlu dilihat dari dua sisi perhitungan pilihan kerangka kerja yakni (1) pilihan untuk mengikutkan REDD pada semua kerangka kerja hanya di sektor kehutanan, dan (2) pilihan untuk mengikutkan sektor kehutanan dalam semua kerangka kerja pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Total stok karbon hutan pada suatu waktu ditentukan melalui dua faktor yakni (1) luas areal berhutan atau kawasan hutan dan (2) kerapatan karbon per hektar hutan (Angelsen et al 2008). Hal ini berarti bahwa dalam mengestimasi kandungan karbon suatu tegakan hutan perlu melihat keberadaan dan status kawasan hutan (tidak berkurang) yang disebut deforestasi dan tidak menurun stok karbon pada setiap hektar hutan yang disebut degradasi hutan. Menurut Stern (2008) diacu dalam Angelsen dan Kanounnikoff (2008), terdapat tiga kriteria dalam mengevaluasi pencapaian tujuan REDD yakni effectiveness yakni mitigasi dan adopsi emisi gas rumah kaca (GHG) pada skala yang disyaratkan untuk menjaga resiko dari perubahan iklim pada level yang dapat diterima. Kriteria kedua adalah efisiensi, yakni mitigasi emisi GHG harus diimplementasikan pada cara-cara yang efisien dan biaya yang minimum, dan equity yakni hasil penjualan karbon harus terdistribusi bagi seluruh masyarakat dan komponen bangsa. Mekanisme pembayaran REDD+ harus (i) efektif, yakni berkontribusi nyata dan bebas dari tekanan pihak ketiga dalam verifikasi stabilisasi konsentrasi GHG atmosfer, (ii) efisien, yakni menghasilkan nilai uang dan menyertakan
14
kelembagaan sektor swasta maupun publik untuk berpartisipasi secara adil, (iii) kesamaan, yakni meminimumkan atau menghindari resiko yang lebih besar dari masyarakat miskin dan marjinal yang mata pencahariannya bergantung pada hutan, mengalihkan/mencegah distorsi pasar hasil hutan dan melibatkan partisipasi pemerintah dalam kesepakatan keadilan pada level nasional dan internasional. 2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD REDD merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan atas serapan CO2 bebas di atmosfer oleh hutan melalui mekanisme fotosintesis. REDD merupakan skema untuk memperoleh nilai jasa hutan yang tidak semata karena kayu namun REDD dapat berjalan karena adanya potensi kayu dan bentuk serapan karbon lainnya. Adapun beberapa skenario yang mungkin dapat ditawarkan dalam pengelolaan hutan bersama REDD antara lain: 1. Moratorium Penebangan Moratorium penebangan adalah penundaan produksi atau ekstraksi hasil hutan kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga carbon sink dari hutan serta menjaga serapan karbon di atmosfer. Kebijakan ini berlangsung ketika hutan dianggap sebagai pabrik O2 dan ketika pabrik itu diganggu maka kemampuan serapan akan menurun. Emisi rujukan adalah proyeksi emisi dari deforestasi dan degradasi yang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran pengurangan emisi. Emisi rujukan dapat dinyatakan sebagai tolok ukur peta tutupan hutan yang menunjukkan lokasi hutan dan bagaimana variasi hutan-hutan tersebut terkait dengan karbon, atau kepentingan nasional lainnya (IFCA 2007b diacu dalam Budiharto 2009). Moratorium penebangan sering disebut dengan jeda tebangan sebagaimana kini telah dipraktekkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Instruksi Gubernur NAD Nomor 5 Tahun 2007. Menurut Instruksi Gubernur (INGUB) No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, latar belakang lahirnya kebijakan ini didasari oleh kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali, sehingga kerap melahirkan bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor,
15
serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakukan moratorium logging adalah “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi laju deforestrasi (Gumay 2008). Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3, dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Syumada 2010). Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan. Bila kebijakan pemenuhan kebutuhan kayu mengimpor, akan sangat mempengaruhi nilai investasi
yang diperlukan.
Indonesia
membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan 77 perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) (Effendi 2009). Lebih lanjut Effendi (2009) menjelaskan bahwa Luas hutan alam yang terdapat di areal konsesi 187 perusahaan-perusahaan HPH dan HTI tersebut mencapai 7,58 juta hektar, dan
perusahaan-perusahaan tersebut berencana
melakukan penebangan kayu dan konversi hutan alam seluas 1,84 juta hektar hingga 2018. Angka Rp 75,24 triliun adalah nilai penjualan kayu dari rencana eksploitasi kayu oleh 187 perusahaan HPH dan HTI tersebut hingga 2018 nanti yang mencapai 79,69 juta m3. 2. Penerapan RIL
16
RIL (Reduced Impact Logging) adalah suatu kebijakan pemanenan hutan dengan meminimalkan resiko kerusakan pada tegakan tinggal dan tapak serta untuk menjaga potensi di hutan. RIL merupakan suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dalam pemanenan kayu. RIL dapat menyimpan lebih dari 30 ton karbon per hektar. Penerapannya pada 30 juta ha areal HPH hutan alam di Indonesia berpotensi untuk mengurangi lebih dari satu milyar ton emisi CO2 (Wardojo 2009). Aplikasi RIL dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia tidak dapat berjalan baik. Ada 7 faktor yang mempengaruhi implementasi RIL, yakni (1) kepastian lahan, (2) klaim lahan oleh masyarakat, (3) illegal logging, (4) konflik penggunaan lahan, (5) tidak ada dukungan manajemen, (6) pelatihan yang kurang memadai, dan (7) masalah sumberdaya manusia serta biaya tambahan
implementasi
yang terlalu
tinggi.
Dua
faktor
yang sangat
mempengaruhi adalah investasi tambahan untuk meningkatkan teknologi dan tidak adanya dukungan dari pemerintah (Priyadi 2007). Tanpa kepemimpinan yang kuat, manejer di level tengah yang progresif maupun pekerja lapangan dan pengawasan yang memiliki sedikit insentif untuk mengubah status quo dapat mengakibatkan kegagalan implementasi RIL. Smith dan Applegate (2001) diacu dalam Priyadi (2007), illegal logging dan konversi hutan yang tidak terencana sebagai faktor penghambat pelaksanaan RIL. Enters et al (2001) diacu dalam Puts, et al (2008) menjelaskan bahwa Barney Chan dari Sarawak Timber Association (Malaysia) menjelaskan akronim RIL adalah
reduced
income
logging
karena
dalam
pelaksanaan
RIL
(reduced impact logging) membutuhkan investasi yang tinggi baik teknologi maupun sumberdaya manusia serta dibutuhkan dukungan implementasi kebijakan. Healey et al (2000); Smith et al (2006) diacu dalam Puts et al (2008) menjelaskan bahwa bila RIL ditujukan untuk mengurangi area tebangan dan tidak mendapatkan dukungan aturan yang tegas seperti di daerah tropis maka akan menurunkan pendapatan pemilik HPH apalagi dengan suku bunga yang tinggi. Sangat tidak mudah menjelaskan bahwa mengapa RIL tidak efektif berjalan dibandingkan dengan CL dari sisi performasi finansial, karena banyak faktor yang mendasari kelangsungan kebijakan ini. Harga produk, sumberdaya manusia,
17
kondisi hutan, upah tenaga kerja dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keuntungan dalam bisnis operasi HPH di tropis merupakan hal-hal mendasar yang mempengaruhi implementasi RIL (Put et al 2008). Beberapa penelitian juga menyimpulkan bahwa sebenarnya RIL tidak menjamin kelangsungan produksi hasil yang akan meningkat pada siklus berikutnya. Sist dan Fereira (2007) diacu dalam Puts et al (2008) menjelaskan bahwa panen awal di hutan dataran rendah basah Brazil mencapai 21 m3/ha namun setelah 30 tahun kemudian hasil yang akan ditebang hanya 50% dari volume awal. Dauber et al (2005) diacu dalam Puts et al (2008) meramalkan bahwa setelah pemanenan hanya terdapat 11,8 m3/ha dari hutan liana di Amazon Bolivia dengan RIL dan pada siklus tebang 25 tahun kemudian hanya akan dipanen 21% dari volume tebangan awal. RIL juga gagal mencapai tujuan silvikultur kelestarian hasil di hutan namun mampu mereduksi 50% kerusakan tegakan, menjaga biodiversitas dan fungsi ekosistem (Puts et al 2001 diacu dalam Puts et al 2008). Klassen (2010), hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu (1) efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, (2) masalah tenurial yang tidak pasti, (3) kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, (4) masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, (5) penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke bukan hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, (6) aktivitas penebangan liar dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor internal yang mempengaruhi yakni (1) kesalahan persepsi, (2) ketidakpahaman, (3) petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, (4) defisiensi kemampuan teknis dan (5) ketidakmampuan menggunakan alat.
18
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini (BAU) mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat bahwa periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2020, emisi yang terjadi dengan kegiatan BAU setiap tahunnya mencapai 1,24 Gt CO2e dan kemampuan untuk mitigasi emisi hanya mencapai 0.71 CO2e dan laju deforestasi dari tahun 2003-2006 mencapai 1,089 ha/tahun. Deforestasi disebabkan permintaan lahan hutan untuk transmigrasi dan perkebunan serta konversi untuk lahan budidaya tanaman semusim baik secara legal maupun illegal yang terus meningkat. Degradasi hutan disebabkan oleh permintaan kayu yang semakin tinggi dan tidak diikuti potensi hutan alam yang memadai sehingga perlu penanaman hutan tanaman industri di areal bekas HPH atau konversi hutan alam. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2009) mencatat bahwa realisasi penanaman HTI selama tahun 2009 hanya mencapai 35% dari target luas yang harus ditanam. Pembukaan hutan alam untuk kepentingan HTI tanpa diikuti penanaman maka akan mengakibatkan hilangnya cadangan karbon di kawasan hutan alam tersebut. Perubahan luas kawasan hutan dan tutupan kawasan berhutan dapat mempengaruhi cadangan karbon yang ada pada kawasan tersebut. Perubahan cadangan karbon dapat mengurangi serapan karbon oleh tegakan hutan meski karbon tersebut tersimpan dalam bentuk lain. Kepentingan stakeholder akan hasil hutan kayu dan lahan sangat beragam. Stakeholder Dinas Kehutanan Provinsi Jambi memainkan peran yang nyata dalam mengendalikan perubahan luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebijakan untuk mengakomodir kepentingan stakeholder lain selain kehutanan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan negara mengakibatkan hilangnya cadangan karbon. Alokasi lahan untuk perkebunan dan HTI tidak secara langsung menunjukkan nilai emisi namun konversi ini mengakibatkan berkurangnya cadangan karbon di hutan.
20
Perubahan cadangan karbon dapat dikendalikan dengan memanfaatkan cadangan karbon untuk serapan CO2 bebas di atmosfer. REDD+ merupakan salah satu skema perdagangan jasa lingkungan yang dapat meningkatkan cadangan karbon dan ekonomi masyarakat.
Keterangan : : Pengaruh Langsung : Pengaruh Tidak Langsung Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung di Provinsi Jambi, pada bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010.
3.3 Alat dan Bahan
21
Alat Dalam penelitian ini akan menggunakan program komputer Stela 9.0.1, kuesioner, Ms. Excel dan ArcView 3.2 Bahan Peta tutupan lahan, peta laju deforestasi, laporan ekonomi, Statistik Kehutanan, Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan kawasan . 3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Metode Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Primer Menggunakan kusioner untuk mengukur persepsi stakeholder tentang pengelolaan hutan dan isu REDD, meliputi: 1) Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah 2) Peran masyarakat lokal 3) Peran lembaga non pemerintah, akademisi dan bisnis b. Pengumpulan Data Sekunder Melakukan pengumpulan data hasil dan rencana manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan akan datang yang meliputi : a.
Data penggunaan kawasan hutan, yang mengurai tentang : 1) Data perubahan fungsi kawasan hutan; 2) Data pelepasan kawasan hutan 3) Data pinjam pakai kawasan 4) Data tukar menukar kawasan
b.
Data pemanfatan kawasan hutan, yang mengurai tentang: 1) Data pemegang hak konsesi HPH 2) Data pembangunan HTI
c.
Luas Rehabilitasi Hutan dan Lahan
22
d.
Kebakaran hutan
3.4.2 Penentuan Responden Penentuan responden dilakukan secara langsung pada instansi atau lembaga yang telah dibatasi sebelumnya, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jambi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Warung Konservasi Jambi (WARSI). 3.5 Tahapan Analisis Data Data yang diperoleh baik dari Kementrian Kehutanan maupun dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi serta instansi pemerintah dan non pemerintah lainnya dikaji dan dilihat hubungannya dengan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, gangguan serta nilai ekonomi yang diperoleh. Data ini dapat diperkaya dengan review hasil-hasil penelitian di lokasi lain. 1.
Eksplorasi prosedur ijin penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan Analisis kelembagaan dilakukan dengan identifikasi aktor dan peran
masing-masing aktor serta prosedur kerja sesuai produk hukum yang mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. 2.
Membangun model penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan pada BAU dan pengembangan strategi REDD+. Model dinamika penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dibangun
dengan memperhatikan pedoman model dinamika sesuai Grant et al (1997). Model ini akan menjelaskan perbandingan tutupan lahan dan simpanan karbon pada skema BAU dan REDD+ serta dampak ekonomi bagi masyarakat dari kedua skema tersebut.
23
3.6 Simulasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan Simulasi dilakukan dengan membangun hubungan antara arena (kawasan hutan), institusi yang berlaku dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan serta aktor yang relevan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, yakni pemerintah daerah provinsi Jambi, masyarakat lokal, pemegang hak penggunaan
dan
pemanfaatan
kawasan
hutan
dan
beberapa
lembaga
non- pemerintah. Pemodelan ini didasarkan pada tahapan pemodelan system dynamic sebagaimana dijelaskan oleh Grant et al (1997). Tahap awal akan ditetapkan rumusan masalah, tujuan pembangunan model dan batasan model. Tahap kedua yakni membangun hubungan konseptual antar variabel dengan mengedepankan arah model membentuk suatu sistem yang tertutup sebagaimana gambar 2.
ARENA
INSTITUSI
AKTOR
Gambar 2. Hubungan antara aktor-arena dan institusi
Langkah-langkah pemodelan dinamika perubahan peruntukan lahan adalah sebagai berikut. a. Membuat organogram landscape Jambi b. Membuat model konseptual
24
Secara umum, model ini dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) submodel yakni submodel dinamika perubahan landscape Jambi, perubahan cadangan karbon, pendugaan additionality project REDD+ dan nilai ekonomi project REDD+. perubahan luas kawasan hutan, perubahan biomasa hutan, pendugaan (gambar 3).
Gambar 3. Model Konseptual c.
Membuat daftar stakeholder dan hubungan antara stakeholder dengan stakeholder dan dengan variabel flow
d.
Membuat spesifikasi model kuantifikasi Tahapan spesifikasi model kuantitatif bertujuan untuk membentuk model
kuantitatif
model
simulasi.
Pembuatan
model
ini
dilakukan
dengan
menerjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model sistem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi. Langkah-langkah dalam spesifikasi model kuantitatif adalah memilih struktur kuantitatif umum model, memilih unit waktu dasar untuk simulasi,
25
mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model, menduga parameter dari persamaan model, memasukan persamaan ke dalam program simulasi, menjalankan simulasi acuan serta menetapkan persamaan model. 1.
Pendugaan perubahan kandungan karbon akibat konversi pemanfaatan lahan menggunakan asumsi pada tier 1. Perhitungan perubahan cadangan karbon dihitung dengan mengalikan luas penggunaan dan atau pemanfaatan kawasan hutan dengan nilai cadangan karbon berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Tabel 4).
Tabel 4. Karbon terikat pada setiap penggunaan lahan No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Penggunaan Lahan
Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Kebun Kopi Kebun Kelapa Sawit Alang-alang HTI E.urograndis
Cadangan Karbon ton/ha 348.02 189.26 206.8 16.43 4,8 157
Sumber Pustaka
Tresnawan dan Rosalina (2002) Tresnawan dan Rosalina (2002) Widayati et al (2005) Yulianti (2009) Widayati et al (2005) Mindawati et al (2010)
Dalam menentukan laju deforestasi dan degradasi yang terjadi dibatasi oleh perubahan luas kawasan hutan tetap dan cadangan karbon. Definisi deforestasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan luas hutan tetap menjadi bentuk pemanfaatan lain seperti kebun, tambang dan pemukiman dalam satuan waktu tahun. Definisi degradasi dalam penelitian ini adalah perubahan cadangan karbon yang diakibatkan oleh perubahan luas hutan tetap menjadi peruntukan lain yang dinyatakan dalam ton/ha. Dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan penurunan jasa lingkungan lain akibat perubahan penggunaan dan pemanfaatan hutan. 2.
Pendugaan nilai ekonomi menggunakan pendekatan yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.36/Menhut-II/2009. Nilai karbon yang disimulasikan adalah nilai cadangan karbon pada total kawasan hutan, kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
Salah satu model kuantitatif pendugaan income REDD+ adalah sebagai berikut:
26
BiayaAFOLU_2 = if mod(time,5)=0 THEN BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi _AFOLU]+SertifikatTonAFOLU_2 else 0 BiayaCCB_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi] +setifikattonCCB_2 else 0 BiayaCF_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+Sertifikat tonCF_2 else 0 BIayaPV_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+Sertifikat TonPV_2 else 0 IncomeAFOLUHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)-BiayaAFOLU_2 ELSE 0 IncomeCCBHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)-BiayaCCB_2 ELSE 0 IncomeCFHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)-BiayaCF_2 ELSE 0 IncomePVHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)-BIayaPV_2 ELSE 0 SertifikatTonAFOLU_2 = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*serapanCO2HK SertifikattonCF_2 = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*serapanCO2HK SertifikatTonPV_2 = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*serapanCO2HK setifikattonCCB_2 = serapanCO2HK*BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi]
e. Evaluasi Model Evaluasi model berguna untuk mengetahui keterandalan model sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Langkah-langkah dalam evaluasi model meliputi: 1) Evaluasi kewajaran model dan kelogisan model; 2) Membandingkan model dengan sistem nyata; 3) Analisis sensivitas, untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model secara ekstrim.
27
f. Penggunaan Model Tujuan tahapan ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model dan untuk menjawab tujuan penelitian. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario. Terdapat 3 level sebagai skenario yang disimulasikan. 30%, 50% dan 70% dari kebijakan penggunaan kawasan hutan dalam skema BAU. Angka tersebut menunjukan skenario ketika dalam skema REDD+, kebijakan penggunaan kawasan hutan diturunkan sebanyak angka tersebut.
28
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Administrasi Provinsi Jambi Provinsi Jambi dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958. Provinsi Jambi terletak antara 0045’ sampai 2045’ Lintang Selatan dan antara 101010’ sampai 104 055’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 53.436 km2, yang terdiri atas daratan 51.000 km2 dan lautan 426 km2. Provinsi Jambi berbatasan sebelah utara dengan Provinsi Riau, sebelah timur dengan laut cina selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Provinsi Jambi terdapat 9 kabupaten dan 128 Kecamatan serta 1.179 Desa dan 150 kelurahan. Jumlah penduduk di tahun 2008 mencapai 2.788.269 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 52,18 orang/Km2 dan laju pertumbuhan mencapai 1,68% (Tabel 5). Angka kepadatan penduduk per hektar ini menunjukan trend peningkatan. Di tahun 2004 terdapat 49,0 orang/Km2, tahun 2005 terdapat 49,7 orang/Km2, tahun 2006 terdapat 50,2 orang/Km2 dan tahun 2007 terdapat 51,3 orang/Km2 (Jambi dalam Angka 2009). Tabel 5. Wilayah administrasi dan kependudukan provinsi Jambi No. Nama Kabupaten Jumlah Luas Kecamatan Desa (km2) 1 Kerinci 12 209 3.808 2 Merangin 24 167 6.380 3 Sarolangun 10 131 7.820 4 Batanghari 8 114 4.983 5 Muaro Jambi 8 133 6.147 6 TanjungJabung Barat 13 70 4.870 7 Tanjung Jabung Timur 11 93 5.330 8 Bungo 17 145 7.160 9 Tebo 12 95 6.340 Sumber: BPS (2009)
Populasi (orang) 322.322 286.792 219.472 223.061 301.082 247.487 211.560 273.004 265.547
4.2 Kawasan Hutan dan Organisasi Kawasan hutan dapat dibedakan atas 2 (dua) tipe yakni kawasan hutan negara dan kawasan hutan milik. Kawasan hutan negara dapat berupa hutan adat dan hutan yang tidak ada status kepemilikan. Kawasan hutan negara dapat
30
diklasifikasikan atas kawasan hutan tetap dan kawasan hutan tidak tetap. Kawasan hutan tetap terdiri atas kawasan hutan konservasi (kawasan suaka alam dan pelestarian alam), kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Kawasan hutan tidak tetap terdiri atas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412/Kpts-II/1999 adalah 2.179.440 hektar atau 42,73% luas daratan. Luas kawasan hutan lindung 191.130 hektar, kawasan hutan produksi terbatas 340.700 hektar, kawasan hutan produksi tetap 971.490 hektar (Kemenhut 2009). Tabel 6. Klasifikasi hutan menurut TGHK dan tutupan hutan Citra Tahun Tipe Tutupan Fungsi 2006 Hutan (Ha) Lindung Hutan 134.300 Non_Hutan 38.700 Konservasi Hutan 589.400 Non_Hutan 122.100 Produksi Tetap Hutan 498.900 Non_Hutan 499.500 Produksi Terbatas Hutan 188.100 Non_Hutan 107.000 Areal Penggunaan Lain Hutan 161.200 (APL) Non_Hutan 2.409.000 TOTAL Sumber: Kemenhut (2008)
Luas TGHK (Ha) 191.130 676.130 971.490 340.690 2.920.560 5.100.000
Produksi hasil hutan terbesar di tahun 2008 adalah pulp yakni 506.804 m3 atau
turun
24.92%
dibandingkan
periode
sebelumnya
(BPS
2009).
Komoditi berikutnya adalah kayu bulat mencapai 108.722 ton atau turun 68,06% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi kayu yang menurun seiring dengan meningkatnya laju deforestasi di Provinsi Jambi. Tahun 2002 telah mengalihkan kawasan hutannya untuk perkebunan seluas 345.7756 hektar. Kebakaran hutan di provinsi Jambi ditaksir sejak tahun 2002 – 2007 mencapai 4.725 hektar dengan sebaran titik api di tahun 2004 terdapat 2.141 tahun 2005 mencapai 985 tahun 2006 mencapai 6.948 dan di tahun 2007 mencapai 3.120 dan pada akhir tahun 2008 mencapai 1.970. Suatu angka yang menunjukan terdapat penurunan potensi titik api (Kemenhut 2009).
31
Penurunan produksi hasil hutan dan meningkatnya sebaran titik api mengakibatkan
penurunan
tutupan
lahan
oleh
vegetasi
berhutan.
Budiharto (2009) menyebutkan bahwa cadangan karbon di provinsi Jambi periode 1990, 2000, 2003 dan 2006 mengalami penurunan sebanyak 6.52 Mt/tahun dengan laju perubahan penutupan lahan di tahun 1990-2000 mencapai 4.813.301 ha, 2000-2003 mencapai 4.813.305 ha dan di tahun 2003-2006 mencapai 4.813.237 ha. Kemenhut (2009) menyebutkan bahwa laju deforestasi di Provinsi Jambi antara tahun 2003 – 2006 mencapai 55.368, 2 hektar atau rata-rata tahunan mencapai 18.456,1 hektar/tahun (Tabel 7). Tabel 7. Deforestasi Provinsi Jambi di dalam dan diluar kawasan hutan tahun 2003-2006 No.
A.
B.
C.
Deforestasi Pada Kelompok Hutan
Hutan Primer Hutan lahan kering primer Hutan rawa primer Hutan mangrove primer Hutan Sekunder Hutan lahan kering sekunder Hutan rawa sekunder Hutan mangrove sekunder Hutan Lainnya TOTAL
KSAKPA 14,6 0 14,6 0 1.451 715,1
Kawasan Hutan Hutan Tetap HL HPT HP 0 0 0 0 378 36,1
626,1 342,1 109,9 0 0 0 1.465,7 378,2
760.4 0
APL
2,.8 20,8
3.097,5 0
760.4 0 0 0 4.025 18.757 3.739,3 13.636,2
3.097,5 0 8.496 6.354,4
285,3 5.120,6 2.009.5 0 0 131,8 0 0 0 4.785 28.158,6 34.787,5
Sumber: Kemenhut (2008) Dari tabel di atas, diketahui bahwa laju deforestasi di kawasan hutan tetap yakni di hutan produksi dengan laju 28.158,6 ha/tahun atau 40% dari laju deforestasi di daratan Jambi. Luas deforestasi terbesar terjadi di luar kawasan hutan yakni sebesar 50%. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan lahan untuk transmigrasi, kebun dan lahan usaha pertanian.
32
5. HASIL PENELITIAN 5.1 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Ruang lingkup peraturan ini meliputi perubahan peruntukan kawasan antara lain dengan prosedur tukar menukar kawasan dan pelepasan kawasan dan melalui perubahan fungsi kawasan hutan. Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari. Permintaan pasar terhadap produk non-kehutanan seperti hasil tambang, pertanian dan perkebunan mengakibatkan permintaan lahan terus meningkat sehingga mempengaruhi ekonomi bangsa dan sekaligus sebagai ancaman keberadaan hutan dan kelestarian potensi hutan. Permintaan dan desakan baik secara internal maupun eksternal merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan yang sekaligus mempengaruhi mental stakeholder sebagai aktor yang merubah pengelolaan hutan. Mengacu pada uraian di atas, dijelaskan dinamika kebijakan pengelolaan hutan yang dibagi atas 2 (dua) tipe waktu yakni waktu lampau yaitu waktu pelaksanaan kebijakan sampai dengan diganti atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Tipe waktu kedua yakni waktu kini yaitu pelaksanaan peraturan pengganti atau peraturan baru pada bidang yang sama. 5.1.1
Ijin pinjam pakai kawasan hutan
5.1.1.1 ijin pinjam pakai kawasan hutan sebelum tahun 2008 Sebelum terbit Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang ijin pinjam pakai kawasan, peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya yakni P.14/Menhut-II/2006 yang kemudian diubah dengan P.64/Menhut-II/2006
34
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Menurut kedua Peraturan Menteri Kehutanan tersebut bahwa pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Kawasan hutan yang diatur dengan Peraturan Menteri ini adalah hutan dengan fungsi lindung dan produksi. Adapun ijin ini diterbitkan untuk kepentingan pembangunan strategis dan kepentingan umum. Ijin ini dapat bersifat ekonomi maupun tidak yang kemudian dengan perubahan P.46/Menhut-II/2006 menegaskan bahwa perlu adanya lahan kompensasi atas ijin tersebut. Ijin pinjam pakai kawasan diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang sifatnya strategis dan untuk kepentingan terbatas, seperti penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
religi,
pertahanan
keamanan,
pertambangan,
pembangunan
ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi atau pembangunan jaringan instalasi air. Penggunaan untuk kepentingan umum terbatas adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang meliputi antara lain jalan umum dan jalan (rel) kereta api, saluran air bersih dan atau air limbah, pengairan, bak penampungan air, fasilitas umum, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio atau stasiun relay televisi. Adapun prosedur ijin ini pinjam pakai kawasan hutan disajikan pada gambar 4.
35
PEMOHON Pimpinan Instansi Pemerintah/ Direksi perusahaan/ Koperasi
PEMKAB
rekomendasi
PEMPROV
MENHUT
Tim kaji
rekomendasi
Permohonan
Evaluasi
Amdal dan Izin Tambang (P.64/Menhut-II/2006) Hasil penilaian Persetujuan/ penolakan Persetujuan
2 tahun Pelaksanaan Kegiatan
Lama Izin 5 tahun (P.46 2006)
Gambar 4. Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun 2008
Perencanaan ijin berawal dari persetujuan dan rekomendasi pemerintah daerah yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi kehutanan dan disesuaikan dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Bupati akan menerbitkan rekomendasi bila kawasan yang diinginkan adalah kawasan yang berada di Kabupaten yang sama dan Gubernur akan menerbitkan rekomendasi atas dasar rekomendasi Bupati dan pertimbangan teknis instansi kehutanan di tingkat provinsi baik itu kawasan berada dalam 1 kabupaten atau lebih. Besarnya peran yang dimiliki aktor di level pimpinan daerah dalam pengurusan ijin ini bisa saja selaras dengan ijin lanjutan misalnya dari segi pertambangan. Sesuai dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa Gubernur dan atau Bupati berkewenangan untuk mengeluarkan ijin usaha pertambangan. Namun bila evaluasi ijin pinjam pakai kawasan tidak disetujui oleh Menteri Kehutanan maka apakah dengan sendirinya dapat menghapus IUP yang merupakan kewenangan Gubernur atau Bupati sebagaimana UU tentang pertambangan tadi. Hal ini justru akan menimbulkan
36
polemik dan berpotensi konflik lintas sektoral dari sektor kehutanan yang mengatur ijin penggunaan kawasan hutan bila usaha tersebut dalam kawasan dan ijin pertambangan. Rekomendasi ijin pinjam pakai kawasan dari Bupati dan Gubernur selanjutnya sebagai syarat kelengkapan permohonan untuk kegiatan pinjam pakai kawasan yang diajukan ke Menteri Kehutanan dengan tembusan pada jajaran eselon 1 Kemenhut. Setiap eselon 1 baik itu BPK, RLPS, Baplan dan PHKA melakukan analisis yang mengurai tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul ketika ijin tersebut diterbitkan. Kajian ini dilakukan dalam suatu tim terpadu yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Badan Planologi. Hasil penilaian selanjutnya merupakan masukan persetujuan prinsip Menteri Kehutanan atas ijin tersebut. Dari izin prinsip yang ada selanjutnya pemohon harus melakukan tata batas, survey potensi dan kegiatan lainnya dan kemudian merupakan bahan untuk diterbitkan izin oleh Menteri Kehutanan. Pemohon ijin pinjam pakai kawasan berkewajiban untuk membayar seluruh kegiatan akibat perijinan dan sekaligus menjamin dan memberikan kemudahan bagi aparatur untuk melakukan monitoring dan evaluasi baik itu dari Dinas Kehutanan kabupaten, Dinas Kehutanan provinsi maupun dari UPT Kemenhut dan Inspektorat Jenderal Kehutanan. Biaya yang ditimbulkan sangat tinggi karena pemohon tidak hanya berhenti pada perijinan namun selama kegiatan tersebut berlangsung, dalam setiap periode 1 tahun dilakukan monitoring oleh aparatur yang berbeda yang mungkin dapat mengunjungi perusahaan tersebut lebih dari 1 kali karena terdapat beberapa instansi yang berbeda dengan kewenangan yang berbeda pula. Selain itu terdapat beberapa kewajiban lainnya yang memang membutuhkan sumberdaya yang besar. Kewajiban yang timbul adalah membayar nilai tegakan pengganti dalam bentuk PSDH dan DR, melakukan reklamasi dan rehabilitasi kawasan, menjamin keamanan kawasan dan menjaga kawasan dari kebakaran dan lain-lain. Tentunya tingginya biaya yang dikeluarkan selama proses perijinan harus dikembalikan ketika ijin itu ada baik dengan menjual hasil tambang misalnya bila ijin itu untuk pertambangan atau menjual nilai tegakan dalam areal ijin atau melakukan eksploitasi hasil hutan sebesar-besarnya dari kawasan yang
37
bukan merupakan kawasan ijin. Hal inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi hutan ketika ijin pertambangan ada. Adapun contoh perijinan pertambangan yang telah diterbitkan IUP dari Bupati maupun Gubernur namun belum mendapatkan ijin penggunaan kawasan dari Menteri Kehutanan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi KP. PU NO.
KABUPATEN
KP. EKSPLORASI
KP. EKSPLOITASI
LUAS (Ha)
LUAS (Ha)
LUAS (Ha)
JML KP
JML. KP
5.000
1
161.933
96
TOTAL
JML. KP
JUMLAH
1.741
4
101
1
Batanghari
2
Muara Jambi
0
0
54.100
29
13.470
9
38
3
Tanjung Jabung Barat
0
0
4.486
4
1.927
4
8
4
Tebo
10.000
2
97.532
39
1.761
5
46
5
Bungo
0
0
0
0
6595
28
28
6
Sarolangun
0
0
170.562
54
20.935
14
68
7
Merangin
15.854
5
59.233
13
256
2
20
8
Kerinci
4.982
1
0
0
0
0
1
35.836
9
645.326
236
40.090
66
311
Jumlah
Sumber: Dinas Pertambangan, Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi (2010) Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai 5.243 hektar antara lain di dalam kawasan terdapat 3.106 hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar.
38
5.1.1.2 Pinjam Pakai Kawasan Hutan Berdasarkan P.43/Menhut-II/2008 Peraturan Menteri Kehutanan ini mengganti Peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya yang mengatur pedoman ijin pinjam pakai kawasan. Materi pertimbangan timbulnya peraturan ini adalah ijin akan diterbitkan dengan memperhatikan perbandingan luas hutan dan luas daratan yang kemudian dipadukan dengan PNBP dan lahan pengganti sebagaimana diatur dalam PP Nomor 2 tahun 2008. Pinjam pakai kawasan hutan dapat berbentuk (a) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat non komersial pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan Rp. 0,00 (nol rupiah), (b) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan (c) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi lahan bukan kawasan hutan. Ijin ini mengatur pinjam pakai kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan batasan bahwa di hutan lindung tidak dilakukan pola penambangan terbuka dan hanya dilakukan di hutan produksi. Bila luas kawasan hutan lebih besar dari 30% maka kompensasi lahan ditiadakan dan pemohon hanya membayar PNBP. Namun bila luas hutan kurang dari 30% luas daratan maka pemohon harus menyediakan lahan kompensasi yang berada pada 1 DAS atau Pulau dan juga harus membayar PNBP. Adapun prosedur ijin disajikan pada gambar berikut 5.
39
PEMOHON
TIM AMDAL
PEMKAB
PEMPROV
rekomendasi
rekomendasi
MENHUT
Tim kaji
Instansi Pemerintah/ perusahaan/
AMDAL
koperasi
Nilai
tolak
Permohonan
Hasil penilaian
Persetujuan/ penolakan Persetujuan 2 tahun Pelaksanaan Kegiatan
Gambar 5. Prosedur pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan P.48/Menhut-II/2008 Terbitnya peraturan ini tidak mengubah sama sekali konsideran ijin sebelumnya namun hanya merangkum dan menyesuaikan dengan PP Nomor 2 tahun 2008 tentang PNBP. Justru dengan timbulnya aturan ini penekanan pada kewajiban pemohon untuk membayar atas keinginan dalam memanfaatkan kawasan makin tinggi dengan membayar PNBP dan penyediaan lahan pengganti dan belum menjelaskan kedudukan peraturan ijin pinjam pakai kawasan dengan ijin-ijin lain yang timbul dari instansi berbeda sebagai langkah lanjut tujuan pinjam pakai kawasan misalnya untuk pertambangan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Peran aktor di level kabupaten maupun provinsi yang besar dan tingkat pemahaman serta kerjasama lintas sektoral sangat diperlukan agar kesepahaman penggunaan kawasan sama. Sama dalam arti bahwa di sektor pertambangan misalnya Bupati dan Gubernur berwenang menerbitkan IUP dan rekomendasi Bupati dan Gubernur atas ijin ini dapat merupakan pertimbangan kunci ketika
40
evaluasi dilakukan. Untuk itu dalam perijinan pinjam pakai kawasan hutan, evaluasi baiknya dilakukan secara saksama ketika peninjauan lokasi sebelum permohonan tersebut direkomendasikan oleh Gubernur atau Bupati sehingga rekomendasi Bupati dan Gubernur memang merupakan tinjauan teknis sektor kehutanan level daerah dan pusat yang merupakan tinjauan teknis atas ijin tersebut. Hal ini penting karena cenderung memicu konflik sektoral. Provinsi Jambi sendiri memiliki potensi tambang yang besar dan sebagian besar tersebar dalam kawasan hutan, sebagaimana dijelaskan pada gambar 6.
Gambar 6. Peta sebaran potensi tambang di Jambi (Sumber: data peta digital ICRAF 2010) 5.1.2 Pelepasan Kawasan 5.1.2.1 Sebelum Terbitnya PP Nomor 10 Tahun 2010 Perhatian untuk mengalokasikan sebagian lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan sudah ada sejak tahun 1990 dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/90 dan 23 – VIII – 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Definisi pelepasan kawasan hutan dalam SK bersama ini adalah pengubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk
41
keperluan Usaha Pertanian. Definisi usaha pertanian adalah usaha di bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan tanahnya cocok untuk usaha pertanian dan menurut tata guna hutan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya. Dapat dibayangkan bahwa seluruh lahan yang cocok dan dianalisis baik untuk pengembangan usaha pertanian seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan akan dilepas menjadi lahan pertanian maka hutan yang berada di daerah dataran rendah, dengan ciri-ciri fisik baik untuk usaha pertanian dilepas sehingga laju deforestasi yang terjadi akan sangat tinggi di masa itu. Pertimbangan kondisi tanah sebagai parameter tunggal diartikan sebagai pengabaian faktor fisik lainnya seperti potensi tegakan dan topografi menjadikan pembabatan hutan terus berlangsung tinggi. Pelepasan kawasan selanjutnya diatur dalam suatu level perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkan bahwa suatu kegiatan untuk mengubah status sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Berdasarkan data statistik Kemenhut bahwa pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non-kehutanan di Provinsi Jambi terjadi mulai tahun 1994 – 1999, sekitar 18.090,5 hektar dan kemudian pada periode 2004 – 2007 terdapat 369 hektar. Ini artinya bahwa rata-rata luas kawasan hutan yang telah dilepas untuk kepentingan budidaya sektor bukan kehutanan adalah sebesar 18.116 hektar per tahun. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7.
42
Pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non kehutanan 400000 350000
luas (Ha)
300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Luas 17881
51,3
22,3
14,3
76,4
45,2
-
-
-
-
10.8
12.0
-
345,
Gambar 7.
Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor bukan kehutanan (sumber: Statistik Kemenhut)
Bila dalam pengelolaan kawasan hutan yang dipertimbangkan adalah nilai ekonomi sumberdaya dan pendapatan negara akibat kegiatan tersebut maka bukan mustahil luas kawasan hutan di Provinsi Jambi akan lebih kecil 30% dari luas daratan dan pendapatan negara dan daerah akan terus meningkat seiring laju pelepasan yang mencapai 18.116 hektar per tahun. Keinginan untuk memanfaatkan ruang yang tidak bernilai ekonomi mengakibatkan fasilitasi yang memungkinkan kawasan hutan dilepas menjadi kawasan budidaya perkebunan, mengakibatkan luas kawasan hutan terus menurun dan pertumbuhan perkebunan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh nilai ekonomi konversi hutan menjadi kebun yang tinggi karena selain mendapatkan hasil penjualan komoditi perkebunan juga hasil kayu yang diperoleh dari hasil pembukaan lahan dengan sistem land clearing. Untuk mengetahui peran stakeholder dalam perijinan pelepasan kawasan dapat digambarkan sebagai berikut.
43
PEMOHON
PEMPROV
pencadangan lahan
MENTAN
MENHUT
Persetujuan Prinsip
Tim Terpadu
Telaah Teknis
Permohonan
Persiapan Usaha
BPN
SK HGU
Pengukuran Tanah
Membayar Biaya Kadastaral
Gambar 8. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun 2010
Dari gambar di atas, pelepasan kawasan hutan untuk usaha pertanian dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Kementerian Pertanian dan Kemenhut. Kementerian Pertanian berwenang menerbitkan persetujuan prinsip usaha pertanian dan Kemenhut berwenang untuk menerbitkan ijin lokasi dan kemudian ditetapkan dengan Hak Guna Usaha yang merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional di Provinsi. Terdapat 3 (tiga) lembaga berbeda dengan tugas pokok dan fungsi tertentu
sehingga
motivasi
yang
diusung
masing-masing
Kementerian
mempengaruhi kinerja ijin usaha pertanian dan proses pelepasan kawasan hutan. Hal ini tentunya diserahkan pada pemahaman dan preskripsi setiap Kementerian dalam memanfaatkan lahan termasuk kawasan hutan serta sangat bergantung pada nilai investasi saat itu. Pemahaman akan manfaat hutan baik langsung dan tidak langsung serta nilai hutan selain kayu merupakan hal mendasar ketika dibandingkan dengan tawaran investasi lainnya yang memang memiliki nilai yang terukur dan dapat diperoleh dalam waktu singkat. Bila nilai investasi lebih besar dari pendapatan daerah akibat dipertahankan sebagai hutan maka pelepasan kawasan akan berlangsung dengan mudahnya sebagai bagian dari tujuan sebagaimana diatur dalam PP ini. Namun tindakan ini dikendalikan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003
44
tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutan/Eks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan. Dalam SK Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang. Terkait pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi hutan dan kehutanan, Dinas Kehutanan saat itu masih merupakan bagian dari Kemenhut dalam bentuk kantor wilayah di level provinsi dan kantor di level kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktor yang ada di Kemenhut telah memainkan perannya sejak usulan dan penilaian ijin berlangsung. Sehingga materi yang diteruskan ke Bupati dan selanjutnya disetujui atau tidak oleh DPRD merupakan tinjauan teknis dari Kemenhut. Bila yang diusulkan adalah kawasan yang bukan HPK maka hal ini akan dievaluasi 2 (dua) kali oleh Kemenhut yakni yang pertama oleh aparatur yang ada di daerah dan yang kedua di pusat. Bila ini berjalan dengan normal tanpa penciptaan situasi yang membuat tidak normal maka efisiensi seperti ini sangat baik karena tidak melibatkan banyak lembaga. Jumlah lembaga yang terlibat disini adalah sekurang-kurangnya 7 lembaga dan sekurang-kurangnya 5
langkah.
Pengurusan
izin
pelepasan
selanjutnya
diperjelas
dengan
diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan sebagaimana dijelaskan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31/Menhut-II/2005. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi bahwa sampai dengan saat ini telah diterbitkan ijin lokasi perkebunan seluas 1.333.203,75 hektar sebagaimana dicantum pada tabel 10 berikut. Trend cenderung meningkat mengingat permintaan komoditi perkebunan baik itu untuk pemenuhan bahan baku industri atau sebagai bahan pelengkap. Meningkatnya permintaan ini akan direspon positif oleh pengusaha dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk mengubah bentang alam menjadi areal perkebunan.
45
Tabel 9. Rekapitulasi Ijin Lokasi Perkebunan di Provinsi Jambi No.
Kabupaten
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Batanghari Muaro Jambi Sarolangun Tebo Bungo Merangin Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Kerinci
8. 9.
JUMLAH
Perusahaan (BH) 21 36 26 15 17 17 16
Ijin Lokasi (IL) Koperasi Klp. Jumlah Tani IL (BH) 5 36 6 60 36 1 20 20 1 0 28 6 32
Luas (Ha)
212.314 216.523 161.166 143.409 253.969 93.577
12
-
-
14
84.135
160
14
5
246
1.333.204
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (2010)
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, terdapat 160 perusahaan, 5 kelompok tani dan 14 koperasi yang memiliki ijin lokasi dan hanya sekitar 58 perusahaan yang memiliki HGU. Ini artinya dari sekitar 179 pemegang ijin lokasi hanya 32% pemegang ijin yang telah terbit HGU. Sebaran pemegang izin terbanyak terdapat di Muaro Jambi dengan luas areal garapan mencapai 212.314,51 hektar dan yang telah memperoleh HGU (hak guna usaha) hanya 40.129,69 hektar oleh 20 perusahaan dan 8 kelompok tani dan koperasi. Selain pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, berdasarkan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Nomor SKB 126/MEN/1994 dan Nomor 422/Kpts-II/1994, perlu adanya penyiapan dan pelepasan kawasan untuk kepentingan transmigrasi dengan ketentuan pokok : a.
Areal hutan yang dapat dilepas untuk pembangunan pemukiman transmigrasi adalah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
b.
Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yang tidak berhutan (semak, belukar, alang-alang, dan tanah terbuka).
Berdasarkan keputusan bersama tersebut maka dilakukan pelepasan kawasan hutan untuk urusan transmigrasi sebagaimana disajikan pada Tabel 10 berikut.
46
Tabel 10. Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi Realisasi pelepasan menurut fungsi Tahun HL H.SA HPT HP HPK 2000 50.167,53 2001 2.712 2002 27.675 22.357 345.564,56 Sumber: Statistik Kemenhut (diolah)
APL 25.533 37.198
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa praktek pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi tidak hanya di HPK sesuai dengan SKB Menteri, namun juga terjadi di HPT dan HP. Di tahun 2001, dilepas HP seluas 2.712 hektar sedangkan di tahun 2002 dilepas HPT seluas 27.675 hektar dan 22.357 hektar di HP. Dengan demikian telah terjadi pelanggaran SKB sebesar 52.774 hektar. 5.1.2.2 Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Setelah PP. No. 10 Tahun 2010 Ijin pelepasan kawasan yang terbaru adalah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 10 tahun 2010 yang merupakan penyesuaian dari berbagai pra kondisi menuju pengelolaan hutan lestari. Dalam ijin ini terdapat beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1) Pelepasan kawasan hutan hanya bisa dilakukan di HPK; 2) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan. 3) Hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan. 4) Pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. 5) Jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Adapun prosedur ijin berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 terkait ijin pelepasan kawasan hutan disajikan dalam gambar 9.
47
BPN
MENHUT permohonan
ditolak
PEMOHON
Meneliti Izin Prinsip
diterima
Mengamankan hutan Melaksanakan tata batas IPK Lahan Dispensasi Sertifikasi Hak Tanah
Gambar 9. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010
Dari gambar di atas, mutlak ijin pelepasan kawasan hutan hanya berlangsung di HPK dan tidak ada pertimbangan lain bagi kawasan hutan dengan fungsi seperti fungsi lindung, fungsi produksi dan konservasi. Untuk itu tahapan yang melibatkan unsur legislatif untuk ikut terlibat diabaikan. Hal ini bisa dibenarkan pada suatu provinsi yang memang memiliki luas kawasan HPK yang besar dan mampu menampung aspirasi pembangunan sektor non-kehutanan. Namun
sebaliknya,
seperti
di
Jambi
yang
sejak
dikeluarkan
SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 telah tidak mengalokasikan HPK dan sudah dilepas dalam bentuk APL. Tentu fenomena yang nantinya akan membatasi peruntukan lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan. Tentunya untuk mengakomodasi keperluan ini, maka perlu adanya proses tukar menukar kawasan. Sehingga untuk urusan pembangunan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan harus didahului dengan proses tukar menukar kawasan.
48
Ijin pelepasan kawasan hutan melibatkan 3 lembaga dan 6 langkah perijinan. Suatu prosedur yang singkat dengan keterbatasan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hal yang rumit untuk mempertahankan luas kawasan hutan tetap dan semua yang lepas dari kawasan hutan harus disertifikasi kepemilikannya sehingga status tanah merupakan tanah milik. Adapun teknis pelaksanaan pelepasan kawasan HPK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Dalam peraturan Menteri ini menegaskan bahwa HPK yang dapat dilepas hanya pada provinsi dengan luas kawasan hutan di atas 30%. Adapun kewajiban pemohon pelepasan HPK adalah menanggung biaya perijinan dan melakukan tata batas yang dapat dikontrakan kepada konsultan. 5.1.3
Tukar Menukar Kawasan Kebijakan yang mengatur izin tukar menukar kawasan dimulai dengan
diterbitkannya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan dan selanjutnya hanya terjadi perbaikanperbaikan selama 5 (lima) kali tanpa menghapus atau mengganti peraturan terdahulu sehingga dalam membahas kebijakan tukar menukar kawasan hutan ini hanya dibatasi pada perbaikan-perbaikan oleh peraturan Menteri Kehutanan yang memperbaiki Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995. 5.1.3.1 SK Nomor 292/Kpts-II/1995 Definisi tukar menukar kawasan adalah suatu pelepasan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan dan kegiatan pelepasan kawasan hutan tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara realokasi fungsi hutan produksi konversi (HPK) menjadi hutan produksi tetap (HP). Dengan demikian proses tukar menukar kawasan dimaknai dengan terjadinya proses pelepasan kawasan hutan tetap menjadi bukan kawasan hutan dan kemudian memasukan lahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Namun hal ini bukan berarti mengubah fungsi HPK menjadi HP.
49
Dari definisi jelas bahwa HPK merupakan kawasan hutan tidak tetap sehingga dalam proses tukar menukar tidak merupakan bagian untuk digunakan dalam proses tukar menukar kawasan namun bila membutuhkan lahan untuk proses pelepasan kawasan berupa lahan HPK maka terlebih dahulu dilakukan tukar menukar kawasan hutan tetap menjadi kawasan hutan tidak tetap atau bukan kawasan hutan. HPK adalah kawasan hutan dan kawasan yang boleh dalam tukar menukar kawasan seperti areal penggunaan lain (APL). Dasar ijin tukar menukar kawasan adalah kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dengan tidak mengakibatkan menurunkannya luas kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan tetap. Meskipun nilai kegiatan tersebut sangat penting namun kepastian luas kawasan harus tetap dipertahankan. Yang dimaksudkan dengan pembangunan di luar sektor kehutanan adalah kepentingan pembangunan yang bersifat strategis dan menyangkut kepentingan umum yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan (okupasi) dan untuk memperbaiki kawasan hutan. Dengan membatasi bahwa kawasan yang boleh ditukar adalah kawasan hutan produksi tetap dan tidak boleh adanya proses perubahan fungsi kawasan dari HPK menjadi HP melainkan APL menjadi HP dengan demikian peran aktor adalah menetapkan APL yang mungkin untuk dijadikan kawasan hutan dengan batasan bahwa APL tersebut harus berbatasan dengan kawasan hutan, berada dalam suatu Sub DAS atau DAS atau dalam pulau yang sama di suatu provinsi tertentu serta memiliki ciri fisik untuk hutan lindung. Para aktor yang berperan adalah aktor yang berada di suatu provinsi dan mampu menginventarisir kawasan APL yang memiliki ciri fisik yang dapat dijadikan fungsi lindung serta memiliki potensi hutan sehingga ketika proses tukar menukar kawasan terjadi maka dapat dihutankan dengan cara konvensional. Pada periode ini, belum terdapat otonomi daerah sehingga sistem pemerintahan masih sentralistik pada Kemenhut beserta UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang berada di daerah serta kantor wilayah Kemenhut di provinsi. Adapun prosedur perijinan ini disajikan pada gambar 10.
50
PEMOHON
GUBERNUR
MENHUT
REKOMENDASI
SEKJEN
ESELON 1 KEMENHUT
PERMOHONAN
PERTIMBANG
KEPUTUSAN
Kewajiban: 1. 2. 3. 4.
Menyediakan dan menyerahkan lahan pengganti dalam tempo 2 (dua) tahun; Membayar IHH atau IHH dan DR; Membayar ganti rugi sarana dan prasarana; Membayar biaya penataan batas pada areal pengganti
Gambar 10. Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 292/Kpts-II/1995 Dari Gambar di atas, terlihat bahwa ijin tukar menukar merupakan pekerjaan yang dikendalikan dari Kemenhut beserta jaringan kerjanya yang berada di Provinsi lokasi kegiatan berlangsung. Aktor yang berperan dalam ijin ini adalah Kantor Wilayah Kehutanan di Provinsi dan Eselon 1 Kemenhut seperti Direktur Jenderal (Dirjen) Pemanfaatan Hutan (PH) dan Badan Planologi Kehutanan. Peran aktor dibatasi oleh ketentuan status kawasan dan fungsi juga besarnya rasio perbandingan lahan pengganti berdasarkan tujuan peruntukan ijin tukar menukar. Bila ijin tersebut untuk kepentingan umum terbatas oleh Pemerintah maka lahan rasio kawasan yang diijinkan dengan lahan pengganti adalah 1:1, namun jika untuk peningkatan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka rasionya 1:2 dan bila untuk okupasi, enclave dan pendudukan lahan oleh masyarakat tanpa izin Menteri Kehutanan serta proyek strategis Pemerintah maka rasionya adalah 1:3. Ketentuan-ketentuan ini merupakan faktor pembatas yang sangat mempengaruhi kinerja pembangunan di luar sektor kehutanan dan berlawanan dengan semangat UUD 1945 pasal 33 bahwa seluruh hasil bumi baik itu tanah dan air dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat
51
di kawasan hutan sehingga dapat meningkatkan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum, dibutuhkan lahan pengganti mencapai 2 sampai 3 kali luas kawasan hutan yang dimohonkan untuk ditukar. Bila areal itu tidak tersedia maka akankah ijin tersebut tidak terbit? Hal ini merupakan faktor pokok yang memicu tingginya tekanan masyarakat dan sektor lainnya pada kawasan hutan sehingga terjadi penyorobotan lahan hutan untuk pembangunan pertanian, pertambangan dan sebagainya. Perlu dibuat rancangan peruntukan lahan yang sesuai kondisi fisik yang sebenarnya di lapangan serta mengidentifikasi potensi sumberdaya alam yang terkandung serta sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat dibatasi kawasan hutan tetap yang tidak didasarkan oleh skor lahan dan kandungan nilai tegakan semata. Karena ketika yang dilihat adalah skor lahan saja yang dipengaruhi oleh ciri topografi, ketinggian tempat, jenis tanah dan curah hujan tidak mewakili kondisi sosial ekonomi dan belum mempertimbangkan potensi-potensi lain selain hutan serta tidak dibandingkan antara nilai hutan ketika dipertahankan sebagai hutan dan bila hutan itu dibuka dan dimanfaatkan sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara kontinyu. 5.1.3.2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 66/Menhut-II/2006 Perubahan yang terjadi dengan terbitnya peraturan Menteri kehutanan ini hanya pada pasal 1 dengan menambah konsideran bahwa untuk tukar menukar kawasan di hutan bakau/mangrove, bila tidak tersedia lahan pengganti maka dapat digantikan dengan lahan kering lainnya yang bukan bakau/mangrove setelah dibuktikan dengan pengujian dan penelitian. Keberadaan lahan pengganti mangrove tidak dijelaskan apakah sama dengan ketentuan lahan kering sebagaimana rasio antara kawasan yang dimohonkan dengan lahan pengganti atau tidak namun bila hal tersebut untuk kepentingan umum seperti pembangunan pelabuhan laut atau sarana eksploitasi pasir dan tambak maka perlu dibangun ekosistem buatan sehingga ekosistem pantai dan mangrove yang telah ada tidak terganggu secara permanen akibat kegiatan ijin tersebut.
52
5.1.3.3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26/Menhut-II/2007 Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini melakukan perubahan ketiga atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yakni pada Pasal 1 dengan merubah prinsip tukar menukar kawasan yang sebelumnya tidak diperbolehkan
HPK
diubah menjadi HP,
maka
dengan peraturan ini
memperbolehkan HPK dapat dijadikan HP pada proses tukar menukar kawasan. Hal ini merupakan suatu kebijakan positif karena sebagaian besar APL telah diubah menjadi pemukiman dan pertanian lahan kering namun untuk perkebunan, pertambangan dan sebagainya masih terdapat dalam kawasan hutan dan HPK dinilai layak untuk ditukar menjadi HP sebagai kompensasi dari HP yang dilepas. Kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pembangunan sarana prasarana terus meningkat seiring dengan upaya pemekaran wilayah administrasi sehingga tekanan pada kawasan hutan selanjutnya akan meningkat. Kebijakan untuk mengatur kembali rentang kendali administrasi serta tekanan pendirian daerah otonom mengakibatkan tingginya permintaan lahan dan sumberdaya hutan untuk penyediaan lahan serta pemenuhan bahan baku industri. Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini juga telah mengedepankan kriteria lahan yang diperbolehkan untuk proses ijin tukar menukar kawasan hutan. Areal yang diperbolehkan untuk ditukar adalah areal tidak berhutan, tanah kosong, padang alang-alang dan semak belukar serta tidak dibebani izin. Untuk lahan pengganti yang berasal dari HPK maka sebelum dilakukan tukar menukar kawasan maka sebelumnya melakukan proses pelepasan kawasan dari HPK menjadi APL. Selain itu diatur juga bahwa untuk areal pengganti harus dihapus kepemilikannya dari Badan Pertanahan Nasional.
Batasan lain yang harus dijadikan referensi adalah rasio tukar menukar kawasan. Bila tukar menukar kawasan untuk pembangunan kepentingan umum maka 1:1, namun jika untuk kepentingan strategis bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka 1:2. Jika untuk okupasi maka 1:1 dan jika untuk budidaya pertanian dan pemekaran wilayah pada provinsi yang luas hutannya lebih dari 50% maka 1:1. Namun bila luas hutan suatu provinsi antara
53
30% - 50% maka 1:2 dan jika luas hutan suatu provinsi kurang dari 30% maka 1:3. Secara umum proses perijinan sama sehingga peran aktor sama. Namun terjadi perubahan birokrasi karena pada era ini telah terbit UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sehingga untuk pertimbangan teknis lokasi dapat diurus oleh intansi otonom yang menangani kehutanan. Aktor yang berperan tentunya adalah aktor daerah dengan memperhatikan batasan-batasan yang diatur dalam peraturan ini. Bila hal tersebut dipenuhi maka eselon 1 Kemenhut tidak memiliki alasan yang cukup untuk menolak ijin tersebut. Peran yang tinggi serta tekanan
untuk
meningkatkan
PAD
dan
penyediaan
areal
untuk
pembangunan/pemekaran wilayah mengakibatkan aktor di daerah melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan memberikan ijin pemekaran sebelum ijin tukar menukar kawasan tersebut ada. 5.1.3.4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2007 Peraturan ini merupakan perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yang menegaskan pengertian umum terbatas yang berdampak pada peningkatan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum seperti jalan umum, saluran air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, fasilitas pemakaman, fasilitas keselamatan umum, transmigrasi serta penempatan korban bencana alam yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari keuntungan.
5.1.3.4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/Menhut-II/2008 Peraturan ini merupakan perubahan kelima atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa pemenuhan terhadap kewajiban tukar menukar kawasan hutan memerlukan proses sementara terdapat kondisi-kondisi tertentu terhadap kawasan yang dimohonkan sehingga diberikan dispensasi penggunaan kawasan tersebut untuk masa paling lama 2 tahun. Peraturan ini akan berdampak positif bila pengelola lahan atau instansi pemerintahan atau pemerintah setempat mematuhi hal-hal yang menjadi
54
kewajiban berikutnya. Namun bila ini terjadi pada masa transisi pemerintahan yang sampai kini belum melihat suatu program pemerintahan sebagai program yang berkelanjutan maka peraturan ini justru akan membiarkan kawasan hutan berkurang dan hilang potensinya begitu saja. 5.1.3.5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 16/Menhut-II/2009 Peraturan ini merupakan perubahan ke-6 atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa masih terdapat beberapa kegiatan penggunaan hutan yang belum terakomodir dalam
SK Menteri
Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dan perubahannya. Salah satunya adalah fasilitas pendidikan. 5.1.4
Ijin Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
5.1.4.1 Sebelum Terbitnya PP. Nomor 10 Tahun 2010 Perubahan fungsi kawasan hutan adalah merubah sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan. Dari pengertian ini dipahami bahwa kawasan hutan dapat diubah pada bagian-bagian tertentu maupun secara keseluruhan dalam suatu wilayah SubDAS, DAS atau pulau namun terbatas pada fungsi tertentu. Tujuan dari perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2001 bahwa menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Tujuan lainnya adalah terwujudnya kepastian hukum atas kawasan hutan, serta optimalisasi pemanfaatan lahan/hutan dalam rangka pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila kawasan yang akan diubah fungsi memenuhi kriteria dan standar penetapan fungsi hutannya, fungsi kawasan hutan yang akan diubah fungsinya harus didasarkan atas Peta Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi yang ditetapkan oleh Menteri serta perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan hasil penelitian
55
yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu.
Adapun tata cara perubahan fungsi
sebagaimana dijelaskan dalam PP ini disajikan pada gambar 11.
PEMKAB
DPRD KAB
PEMPROV
Permohonan
DPRD PROV
MENHUT
BAPLAN
Permohonan
Disetujui
Permohonan
Diteliti/ siapkan SK
SK Alih Fungsi
Gambar 11. Prosedur ijin alih fungsi kawasan hutan sebelum PP No. 10 Tahun 2010 Dari gambar di atas terlihat bahwa pengajuan permohonan perubahan fungsi hutan di level pemerintah kabupaten dan provinsi merupakan hasil pembahasan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Peran stakeholder di daerah sangat kuat dan daerah yang menentukan sendiri pola manajemen lahan dan hutan. Ketika permohonan tersebut disampaikan ke Kemenhut dan diteruskan ke Tim Kaji dalam hal ini Badan Planologi Kehutanan, permohonan tersebut hanya mengalami beberapa tinjauan dari segi kepastian fungsi kawasan dan tidak dilakukan evaluasi makna alih fungsi tersebut. Hal ini dikarenakan pada saat itu, otonomi daerah belum ada sehingga peran Kemenhut di daerah masih sangat kuat sehingga pertimbangan teknis instansi kehutanan kepada pemerintah daerah dan DPRD merupakan kajian teknis kehutanan yang kemudian disesuaikan dengan kepentingan politik ekonomi daerah. 5.1.4.2 Setelah Terbitnya PP. No. 10 Tahun 2010 Menurut PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok
56
hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan fungsi kawasan hutan dapat berlangsung pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi yang dapat dilakukan secara parsial atau dalam suatu wilayah provinsi. Namun perubahan kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%. Perubahan fungsi kawasan hutan meliputi:
kawasan hutan konservasi menjadi kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung atau hutan produksi. Selain itu ada beberapa hal yang memungkinkan yakni (a) sudah terjadi perubahan kondisi biofisik kawasan hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia; (b) diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan; atau (c) cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan
di
luar
kegiatan
kehutanan
yang
tidak
mendukung
kelangsungan proses ekologi secara alami.
kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung dan memenuhi kriteria sebagai hutan konservasi atau hutan produksi.
kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan lindung.
kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa,taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;
kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;
57
kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;
kawasan taman hutan raya menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau taman buru;
kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman buru;
kawasan taman buru menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman wisata alam.
hutan produksi terbatas menjadi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi;
hutan produksi tetap menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi;
hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi tetap.
Adapun prosedur perijinan perubahan fungsi kawasan hutan disajikan pada Gambar 12.
Usul
PEMPROV Usul
MENHUT
Permohonan
Tim Terpadu
Telaah Teknis
DPR
ditolak
PEMKAB
Hasil Telaah Persetujuan SK Alih Fungsi
diterima
Gambar 12. Prosedur Ijin Alih Fungsi Kawasan Hutan Berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 Berdasarkan gambar di atas, PP Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa kewenangan menerbitkan keputusan alih fungsi kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan setelah mendapat persetujuan DPR sesuai Pasal 31 dan Pasal 32. Namun pada parkteknya birokrasi yang panjang dan melibatkan lembaga tinggi negara ini terkadang diacuhkan di level pemerintahan daerah baik
58
itu kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat terjadi karena Bupati dan Gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan ijin perkebunan dan pertambangan yang mungkin saja berada dalam kawasan hutan tetap. Pelanggaran
kehutanan
ini
terjadi
karena
ketidakmampuan
untuk
menerapkan PP ini dalam waktu singkat. Suatu perijinan diajukan ketika melihat gejolak pasar atas komoditi tertentu dan cenderung pendek masa tersebut sedangkan perijinan untuk merubah fungsi terlalu panjang sehingga terkadang hal ini diabaikan. Peran aktor berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 adalah pemerintah kabupaten atau provinsi merekomendasikan atau mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan karena kondisi hutan di lapangan telah menjadi obyek perekonomian masyarakat dan susah untuk dipertahankan fungsinya. Hal ini tentunya telah didasarkan oleh tinjauan-tinjauan berbagai stakeholder di daerah yang selanjutnya disampaikan ke Menteri kehutanan untuk ditindaklanjuti. Menteri kehutanan membentuk tim terpadu untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas usulan tersebut dan selanjutnya dibahas bersama dengan DPR. Selanjutnya DPR berhak untuk memberi masukan atas usulan tersebut dan dilanjutkan dengan keputusan. Setiap aktor di level pemerintahan akan bernegosiasi namun pelaku perubahan fisik lapangan terkadang tidak dapat menunggu
panjangnya
garis
birokasi
dan
siapa
yang
berwenang.
Sehingga diprediksikan batas fungsi kawasan bukan lagi pembatas untuk pengembangan kegiatan di luar kehutanan karena lamanya perijinan yang dilakukan
dan
sempitnya
waktu
untuk
mempersiapkan
investasi.
Adapun peraturan teknis diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. 5.2 Dinamika Pembangunan Sektor Kehutanan 5.2.1 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) HPH merupakan hak yang diberikan Menteri Kehutanan kepada orang perorangan, swasta atau koperasi untuk mengambil hasil hutan di hutan produksi. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 1970 dan telah menjadi sektor yang mampu meningkatkan pendapatan negara. Namun keberhasilan untuk mendongkrak
59
ekonomi bangsa tidak diikuti untuk memelihara pabrik yang selama ini menghasilkan uang dan lapangan pekerjaan bagi bangsa ini. Penurunan potensi hutan mengakibatnya menurunnya daya usaha HPH, dan di Provinsi Jambi sendiri menurun tajam dari 30 unit di tahun 1988/1989 menjadi 2 unit di tahun 2009, sebagaimana disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah ijin dan luas areal konsesi yang dikelola Tahun Jumlah Ijin HPH Luas Areal Konsesi (Unit) (Ha) 1988/1989 30 2.566.000 1991/1992 27 2.120.000 1996/1997 16 1.447.779 1997/1998 15 1.153.499 1998/1999 14 1.113,499 1999/2000 13 859.984 2000/2001 13 859.984 2001 8 545.559 2002 8 545.559 2003 7 455.490 2004 5 328.349 2005 13 792.594 2006 2 45.825 2007 3 133.705 2008 2 45.825 Sumber: Statistik Kemenhut (diolah)
Terlihat bahwa sejak tahun 1988/1989 sampai dengan tahun 2008, jumlah perusahaan pemegang ijin HPH terus menurun dan meningkat di tahun 2005, dari 30 perusahaan IHPH di tahun 1988/1989 menjadi 5 perusahaan IHPH dan meningkat menjadi 13 di tahun 2005 dan di tahun 2008 tersisa 2 perusahaan IHPH. Hal ini ditunjukkan oleh luas area yang diusahakan yang makin menurun dari 2,6 juta hektar di tahun 1988/1989 menjadi 45.825 hektar di tahun 2008. Penurunan jumlah HPH di provinsi Jambi tidak semata terjadi karena potensi yang minim, namun berdasarkan hasil wawancara dengan Bidang Bina Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bahwa terdapat beberapa alasan sehingga penurunan pemegang HPH menurun, yakni (1) tekanan masyarakat baik terhadap kompensasi lahan, tagihan bantuan sampai dengan
60
penyorobotan lahan untuk pembangunan perkebunan kopi dan coklat, (2) pungutan liar yang merajalela sehingga tidak dapat ditutupi oleh nilai kayu yang dipanen, dan (3) penerbitan SK Menteri kehutanan dan perkebunan tahun 2000 yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk menerbitkan izin HPH Mungil (100 Ha) yang cenderung menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dan cenderung tidak lestari. Dari segi pemilikan ijin, baik pihak swasta, BUMN dan patungan dari tahun 2000 terbanyak dikuasai oleh pihak swasta sebagaimana digambarkan pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran HPH menurut status pengelola Tahun Jenis HPH Swasta Patungan 2000 6 3 2001 8 3 2002 7 1 2003 7 0 2004 6 1 2005 4 1 2006 2007 3 0 2008 2 0 Sumber: Statistik Kemenhut Tahun 2001-2009
Dengan
semakin
menurunnya
potensi
hutan
BUMN 2 2 0 0 0 0 0 0
Jambi,
menggiring
keberpihakan pada optimalisasi pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam semakin berkurang dan menjadikan kayu lapis dari HTI dan perkebunan karet sebagai primadona program kerja pemerintah daerah provinsi Jambi 2010. Penurunan jumlah HPH pemegang ijin pengelolaan hutan mengindikasikan produksi hasil hutan kayu yang juga menurun. Dampak penurunan potensi hutan terlihat bahwa semenjak tahun 1977 sampai dengan 2008, hasil hutan kayu yang dihasilkan baik melalui pengolahan maupun industri menunjukkan trend yang terus menurun sehingga menjadi indikator menurunnya nilai potensi hutan. Dampak dari penurunan luas hutan alam serta penurunan potensi hasil hutan kayu, mendorong untuk dibangunnya hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu industri baik untuk pasar lokal maupun regional. Menurunnya produksi kayu didukung oleh menurunnya potensi sebagaimana ditunjukan pada Tabel 13.
61
Tabel 13. Rekapitulasi potensi hasil hutan kayu provinsi Jambi Tahun Seluruh Jenis (m3) Jenis Komersil (m3) 20 50 20 50 >60 2001 262,07 99,74 14,30 4,87 2002 503,50 203,99 55,38 23,79 2003 503,50 203,99 55,38 23,79 2004 729 711,63 293,20 197,34 2005 728 710,63 293,20 197,34 2006 728 710,63 293,20 197,34 2007 164,90 82,60 118,97 48,60 32,75 2008 164,90 82,60 118,97 48,60 32,75 Sumber: Statistik Kemenhut
Keadaan potensi hutan di Jambi berdasarkan hasil enumerasi terdapat penurunan yang sangat signifikan di tahun 2007 -2008 pada semua kelas diameter. Di tahun 2005, kelas diameter > 50 cm untuk semua jenis berada pada angka 710,63 m3/ha turun menjadi 82,60 m3/ha di tahun 2007 dan 2008. Hal serupa terjadi di jenis komersil, di tahun 2005 mencapai 197,34 m3/ha turun menjadi 48,6 m3/ha di tahun 2007 dan 2008. 5.2.2 Hutan Tanaman Industri (HTI) Sejak tahun 1990, kebutuhan bahan baku industri perkayuan tersebut tidak mungkin lagi dipenuhi dari penebangan Hutan Alam Produksi. Oleh karena itu, perlu kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi melalui pembangunan Hutan Tanaman (HTI) dan telah dimulai sejak tahun 1990. Peningkatan potensi di awal tahun 2000 mungkin disebabkan peningkatan pembangunan HTI untuk membantu memenuhi selisih kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan kayu. Pembangunan HTI di provinsi Jambi dimulai sejak tahun 1994 sebagaimana disajikan pada Tabel 14.
62
Tabel 14. Rekapitulasi realisasi penanaman HTI di Provinsi Jambi Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Luas
Sumber data 12.100 18.038 21.017 19.027 13.260 23.007 16.294 15.569 26.134 15.012 25.337 21.593 20.297 416.802 424.914 424.914
Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Dishut Prov Jambi Statistik Dishut Prov Jambi Statistik Dishut Prov Jambi
Luas areal untuk pembangunan HTI terus meningkat dari tahun 1994 di angka 12.100 hektar menjadi 424.914 hektar di tahun 2009. Hal ini dirasakan sangat membantu untuk meningkatkan nilai usaha sektor kehutanan. Peningkatan luas HTI ini mendorong pemenuhan bahan baku industri dan pertukangan serta mampu meningkatkan serapan tenaga kerja. Mungkin yang menjadi pertanyaan bukan berada pada fungsi hutan namun pada bagaimana potensi dalam kawasan hutan tersebut dibenahi untuk selanjutnya dibangun HTI. HTI dibangun dengan system land clearing sebagaimana diatur dalam aturan pembangunan HTI bahwa HTI dilakukan dengan sistem THPB (tebang habis permudaan buatan) yang cenderung akan menyediakan emisi dan setelah itu dapat menyerap emisi sampai umur daur. Adapun sebaran spasial HTI di Provinsi Jambi disajikan pada Gambar 13.
63
Gambar 13. Peta sebaran ijin HTI di provinsi Jambi (Kemenhut 2009) Dari gambar di atas, terlihat bahwa sebaran HTI hanya terpusat pada empat kabupaten yakni kabupaten Sarolangun, Batanghari, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. UPHHK-HT Pemegang IUPHHK-HT di provinsi Jambi sebanyak 13 (tiga belas) perusahaan, luas konsesi 507.177,77
hektar
(Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2010) seperti Tabel 15. Tabel 15. Daftar perusahaan HTI di Jambi Jenis HTI/ Nama Perusahaan HTI Pulp a) PT. Wirakarya Sakti b) PT. Rimba Hutani Mas c) PT. Tebo Multi Agro HTI Trans a) PT. Wanakasita Nusantara b) PT. Wanamukti Wisesa c) PT. Wana Perintis d) PT. Wana Teladan HTI Pertukangan a) PT. Dyera Hutani Lestari b) PT. Samhutani c) PT. Limbah Kayu Utama d) PT. Arangan Hutan Lestari e) PT. Gamasia Hutani Lestari
Luas (Ha)
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2010)
Status
293.812 51.260 19.770
Aktif Aktif Aktif
9.030 9.263 6.900 9.800
Tidak aktif Aktif Tidak aktif Tidak aktif
8.000 35.955 19.300 9.400 15.012
Tidak aktif Aktif Tidak aktif Tidak aktif Aktif
64
Dari data di atas terlihat bahwa, HTI yang aktif adalah HTI pulp yang juga merupakan salah satu sektor primadona daerah yang mampu meningkatkan pendapatan daerah selain perkebunan karet dan sawit dari sektor pertanian. Pengembangan HTI pulp masih menjanjikan prospek sehingga kemungkinan ekspansi kawasan akan sangat besar. 5.3 Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi Fenomena menurunnya luas kawasan hutan dan potensi hasil hutan kayu di Jambi menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Beberapa
kajian
deforestasi
dan
cadangan
karbon
telah
dilakukan.
Budiharto (2009) menyimpulkan bahwa cadangan karbon di provinsi Jambi selama tahun 1990 – 2003 terus menurun dan untuk periode tahun 2003 – 2006 meningkat. Kajian-kajian deforestasi dan degradasi hutan tidak selamanya memberikan angka yang sama, hal ini dipengaruhi oleh definisi dan metodologi yang digunakan. Kerusakan hutan di Jambi disebabkan oleh tingginya interaksi stakeholder akan potensi dan kebutuhan lahan yang terdapat di hutan. HPH, tambang, transmigrasi dan kebun serta penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat juga sebagai faktor pemicu lainnya. Berikut disajikan laju deforestasi yang terjadi di Jambi selama tahun 2003 – 2006 (Kemenhut 2008). Tabel 16. Deforestasi Jambi periode 2003 – 2006 No. A.
B.
C
DEFORESTASI PADA KELOMPOK HUTAN Hutan Primer -. Hutan lahan kering primer -. Hutan rawa primer -. Hutan mangrove primer Hutan Sekunder -. Hutan lahan kering sekunder -. Hutan rawa sekunder -. Hutan mangrove sekunder Hutan Lainnya TOTAL
KSAKPA 14,6 0
HL
HPT
HP
JUMLAH
0 0
760.4 0
20,8 20,8
795,8 20,8
14,6 0 1.451,1 715,1
0 0 378,2 36,1
760.4 0 4.024,6 3.739,3
0 0 18.756,8 13.636,2
775 0 24.610,7 18.126,7
626,1 109,9
342,1 0
285,3 0
5.120,6 0
6.374,1 109,9
0 1.465,7
0 378,2
0 4.785
9.381 28.158,6
9.381 34.787,5
65
Deforestasi pada hutan tetap Provinsi Jambi mencapai 34.787,5 hektar dan terluas berada pada hutan produksi tetap yang mencapai 28.158,6 hektar atau sekitar 81% dengan laju rata-rata tahunan mencapai 9.386,2 hektar. Bila hal ini terus berlangsung dalam kerangka BAU maka diperkirakan bahwa sampai dengan 2020 nanti hutan akan terdegradasi mencapai 162.341 hektar dengan asumsi laju deforestasi rata-rata tahunan mencapai 11.596 hektar. Dari tabel di atas terlihat bahwa kerusakan hutan terbesar berada di hutan sekunder dan ini sesuai dengan keterangan yang diperoleh pada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bahwa perilaku merubah dan mengkonversikan hutan terjadi pada areal bekas tebangan HPH yang kemudian di jatah sisa kayunya dan lahannya ditanami kelapa sawit, kopi dan karet. Kecenderungan yang masih akan terus berlangsung mengingat tingginya harga karet dan kelapa sawit serta tidak adanya alokasi lahan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dalam hal ini hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Adapun sebaran spasial deforestasi hutan Jambi disajikan ada Gambar 14.
Gambar 14. Peta deforestasi periode tahun 2003 – 2006 di provinsi Jambi (Kemenhut 2008)
66
Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebaran poligon yang menunjukkan areal terdegradasi terbesar berada di daerah kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tebo. Deforestasi yang terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat mencapai 539.672,97 hektar. Adapun rincian deforestasi menurut kabupaten di provinsi Jambi disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Laju deforestasi menurut Kabupaten di Provinsi Jambi Periode tahun 2003 – 2006 No.
Kabupaten
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Batanghari Bungo Kerinci Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur JUMLAH
Deforestasi (Ha)
Rata-rata deforestasi tahunan (Ha/thn)
26.266 4.151 2.138 995 21.377 5.471 65.851 14.242
8.755 1.384 713 332 7.126 1.824 21.950 4.747
Laju deforestasi tahunan (%/thn) 15,85 2,51 1,29 0,60 12,90 3,30 39,75 8,60
165.665
55.222
100
Sumber: Peta deforestasi Kemenhut (2008) dan Peta Administrasi ICRAF (2010) (diolah) Dari tabel di atas, terlihat bahwa resiko deforestasi tertinggi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang mencapai 39,75% per tahunnya. Artinya dalam 1 satuan luas lahan tiap tahunnya berpeluang untuk dikonversi menjadi areal bukan hutan mencapai 40%. Tentunya perlu adanya tindakan manajemen yang tepat untuk menanggulangi gejala pengrusakan dan ini butuh sinergi dari berbagai pihak dalam pemanfaatan hutan dan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hasil pendugaan deforestasi dan degradasi hutan di Jambi juga dilakukan oleh ICRAF pada tahun 2010 dengan membandingkan kondisi tutupan lahan di Provinsi Jambi. Adapun hasil penelitian tersebut dilihat pada Gambar 15.
67
Gambar 15. Cadangan Karbon pada tahun 1990 (ICRAF 2010)
Gambar 16. Cadangan Karbon pada tahun 2000 (ICRAF 2010)
68
Gambar 17. Cadangan Karbon pada tahun 2005 (ICRAF 2010)
Dari set gambar di atas, terlihat bahwa di tahun 1990, cadangan karbon sebesar 1000 – 100.000 ton/ha dan lebih dari 1.000.000 ton/ha tersebar merata dan hanya sedikit sekali cadangan karbon yang kurang dari
7,5 – 10 ton/ha.
Sebaliknya terjadi pada kondisi tahun 2000 dan di tahun 2005 sebaran cadangan karbon lebih dari 1000 ton/ha semakin sedikit dan sebaliknya didominasi oleh cadangan karbon kurang dari 7,5 – 10 ton/ha. Sisa cadangan karbon yang ada di tahun 2005 hanya terdapat di daerah gambut dan taman nasional Kerinci Seblat. Perubahan cadangan karbon yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa neraca potensi tegakan hutan di Jambi terus menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai driven deforestation factor seperti HPH, HTI, Perkebunan, Transmigrasi, Pertambangan dan ijin-ijin lainnya untuk keperluan pembangunan sektor non-kehutanan serta bentuk pembukaan lahan dengan sistem tebas dan bakar. Pendugaan perubahan cadangan karbon di atas didasarkan pada perubahan penggunaan lahan di Provinsi Jambi. ICRAF (2010) menunjukkan perubahan penggunaan lahan pada tiga periode waktu sebagai berikut.
69
Gambar 18. Kondisi penggunaan lahan tahun 1990-an (ICRAF 2010)
Gambar 19. Kondisi penggunaan lahan tahun 2000-an (ICRAF 2010)
70
Gambar 20. Kondisi penggunaan lahan tahun 2005 (ICRAF 2010)
Terlihat bahwa Gambar 18 menunjukkan kondisi penggunaan lahan Jambi tahun 1990-an hutan virgin masih sangat luas dan kondisi gambut yang masih luas yang ditunjukkan dengan warna ungu. Namun hal ini berubah di tahun 2000-an, tutupan hutan virgin menurun serta telah terjadi pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah gambut. Di tahun 2005, menunjukkan kondisi yang lebih khususnya di gambut yang semakin menurun. 5.4 Pemahaman stakeholder tentang REDD Isu emisi dari sektor penggunaan lahan yang telah menyumbang emisi antara 18-20% emisi gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi perhatian utama melalui skema perdagangan karbon REDD. Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi 26% dari sektor penggunaan lahan di tahun 2020 dan bila ada dukungan internasional maka tekad tersebut akan ditingkatkan menjadi 41%. Untuk sektor kehutanan dibebankan 14% untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Sesuai dengan Siaran Pers Kemenhut Nomor S.59/PIK-1/2010 tanggal
71
1 Februari 2010 bahwa penetapan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Rakyat dan Hutan Desa sebagai salah satu upaya sektor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi karbon sebesar 14% dari target yang ditetapkan Presiden RI sebesar 26% pada 2020. Program mitigasi sektor kehutanan ini fokus pada penyerapan CO2 melalui penanaman pohon seluas 500 ribu ha/tahun melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa, 300 ribu hektar Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Daerah Aliran Sungai (DAS) super kritis, 500 ribu hektar pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 300 ribu ha/tahun HPH Restorasi Ekosistem dan 50 ribu hektar Hutan Rakyat Kemitraan dengan industri perkayuan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga meningkatkan pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, perambahan hutan dan pengurangan laju konversi hutan. Suatu perhatian yang perlu diuji di level pelaksanaan program pemerintah di daerah dalam hal ini Provinsi Jambi. Pengujian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi. Wawancara ditekankan pada pengambil kebijakan atau yang mewakili pada masing-masing institusi untuk dievaluasi pengetahuan dan pemahaman pengambil kebijakan terhadap program REDD. Evaluasi yang dilakukan di Dinas Kehutanan Provinsi Jambi adalah pemahaman keberadaan target penurunan emisi dari skema REDD hanya berada pada level pimpinan yakni pada level eselon III dan II. Inisiatif-inisiatif penentuan penggunaan lahan belum dilakukan dan masih menunggu kebijakan atau pedoman pemerintah pusat. Namun untuk menanggulangi laju penurunan luas dan potensi hutan telah dikembangkan pola budidaya tegakan hutan yakni penanaman buffer zone sekitar kawasan hutan di APL dengan tanaman jelutung dan karet, membuat demplot HTR, pendampingan HTR dengan dana APBD dan OMOT (one man one tree). Untuk kegiatan OMOT dilakukan beberapa kegiatan seperti Pembagian bibit gratis untuk ditanam di tempat kosong, di RT-RT, ada kebun bibit dan Tanaman Unggulan Lokal (TUL) seperti jernang, jelutung, bulian/ulin dan meranti yang semuanya memiliki persemaian atau dibeli dari masyarakat.
72
Selain itu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi telah memiliki kebun tanaman hutan yang disebut Kenali Asam yang berada di Km 11 dengan luas mencapai 10,25 hektar. Untuk mengakses wilayah ini maka pengunjung harus membayar retribusi. Selain itu terdapat juga kebun raya bukit sari dengan luasan mencapai 425 hektar yang dikelilingi oleh kebun sawit. REDD dianggap sebagai suatu program yang positif dan mampu untuk menjaga keberadaan hutan dan potensinya. Namun penekanan yang diharapkan adalah tindakan manajemen hutan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran
masyarakat sekitar hutan. Karena bila masyarakat di sekitar hutan tidak diperhatikan maka kebocoran atas kredit karbon yang diproyekkan akan terjadi dan bisa saja target penurunan emisi akan gagal. Untuk menyukseskan REDD, terdapat beberapa institusi yang menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dapat diajak bekerjasama yakni UPTD Dinas Kehutanan, UPT Kementerian dan Dinas Perkebunan. Sedangkan Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Kabupaten dianggap sebagai institusi yang sering mengeluarkan ijin yang tidak memperhatikan peruntukan dan penunjukan kawasan hutan sehingga terkadang terdapat ijin pertambangan yang dikeluarkan di dalam kawasan hutan. Dinas Energi dan sumberdaya mineral merupakan stakeholder lain yang perlu dievaluasi terkait dengan dampak pelaksanaan REDD terhadap usaha pertambangan. Hasil yang ditemukan adalah pemahaman REDD belum memadai namun pemahaman pemulihan areal bekas tambang sebagai konsekuensi pembukaan lahan pertambangan cukup baik. Demikian juga pemahaman akan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Batubara dan Mineral serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain kedua produk hukum tersebut terdapat produk hukum lainnya yang membatasi usaha pertambangan yakni UU no 26 tahun 2007 dan UU Nomor 41 tahun 1999. Dukungan terhadap perlindungan lingkungan hidup adalah melalui penertiban kegiatan reklamasi lahan pasca tambang serta jaminan bank atas dana reklamasi sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Namun yang menjadi permasalahan lanjutan adalah institusi apa yang lebih bertanggung jawab dalam mengontrol areal bekas tambang dan apa sanksi atas pelanggaran bila reklamasi areal bekas tambang tidak dapat mengembalikan tutupan lahan? Hal ini yang
73
sampai kini masih menjadi masalah klasik yang menurunkan potensi dan luas hutan Indonesia. Permasalahan lain yang ditemui adalah dari sejumlah ijin yang diterbitkan baik oleh Bupati atau Gubernur hanya terdapat 1 ijin pertambangan yang telah mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan seluas 5.243 hektar diantaranya 3.106 hektar terdapat di dalam kawasan hutan dan 2.136,75 hektar di luar kawasan hutan. Padahal luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha dan yang terdapat di dalam kawasan hutan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha.
5.5 Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
5.5.1 Organisasi bentang alam Penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sektor bukan kehutanan seperti pemukiman (transmigrasi), tambang dan kebun. Perubahan peruntukan lahan dapat dilakukan dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan. Luas kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 sebagaimana tabel 14. Luas hutan negara mencapai 2.179.440 hektar atau 43% dari luas daratan provinsi Jambi. Bila diasumsikan bahwa luas kawasan hutan sifatnya statis dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan stakeholder lain untuk memenuhi kebutuhan lahan dan potensi sumberdaya alam maka luas kawasan hutan dapat diproyeksikan tetap, yakni luas kawasan hutan konservasi tetap 676.120 hektar, luas kawasan hutan lindung 191.130 hektar, luas kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar dan kawasan areal penggunaan lain 2.920.560 hektar (gambar 21).
74
LUAS DARATAN JAMBI
KAWASAN HUTAN
TETAP
KONSERVASI
H
NH
LINDUNG
H
BUKAN KAWASAN HUTAN
TIDAK TETAP
PRODUKSI
NH
H
HPH
APL
PRODUKSI KONVERSI
H
COMMUNITY LOGGING
NH
HTI
NH
LADANG
PEMUKIMAN
KEBUN
KETERANGAN: NH : TIDAK BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN H
: BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN : TERDIRI ATAS : STOCK
Gambar 21. Organogram bentang alam provinsi Jambi
Luas lahan pertanian lebih besar dibandingkan dengan luas kawasan hutan tetap. Lebih dari 50% luas daratan dialokasikan untuk usaha pertanian. 17% dari luas daratan dipertahankan sebagai kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Interaksi stakeholder pada lahan ini akan semakin kecil terbatas pada pemanfaatan jasa lingkungan dan bukan produksi hasil hutan kayu (Tabel 18). Tabel 18. Luas Hutan Menurut Paduserasi dan TGHK Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK 1. Suaka alam a. Cagar Alam b. Suaka Margasatwa c. Cagar Biosfer 2. Hutan pelestarian alam a. Taman Nasional b. Taman Hutan Raya c. Taman Wisata d. Hutan Diklat 3. Hutan Lindung a. Hutan lindung b. Hutan Lindung Gambut 4. Hutan Produksi a. HP terbatas
Luas (Ha) 30.400 3.940 26.460 648.720 608.630 36.660 430 3000 191.130 105.550 85.630 340.700
75
b. HP tetap c. HP pola partisipasi masyarakat Luas kawasan hutan tetap Kawasan pertanian dan non pertanian Luas Daratan Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2009)
938.000 30.490 2.179.440 2.920.560 5.100.000
5.5.2 Identifikasi stakeholder kunci Kawasan hutan mengandung sumberdaya lahan dan sumberdaya alam lainnya yang tinggi.
Potensi sumberdaya hutan sangat dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan daerah dan negara. Kebutuhan lahan untuk kebun, tambang dan permukiman terus meningkat mengikuti laju permintaan pasar dan kepadatan penduduk. Kebutuhan akan kayu terus meningkat sehingga memerlukan daya dukung hutan alam yang tinggi. Akibatnya terjadi penurunan potensi. Untuk itu dibangun hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal demikian mengakibatkan hutan mengalami perubahan fungsi dan tutupan vegetasi. Perubahan tutupan lahan vegetasi dan penggunaan kawasan hutan mengakibatkan simpanan karbon yang terdapat di hutan mengalami perubahan baik positif maupun negatif. Perubahan positif bila HTI yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan kayu industri pada lahan yang tidak bervegetasi atau semak belukar dan tanah kosong. Kegiatan reboisasi dapat meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan. Dampak negatif yakni perubahan hutan menjadi kebun, akan mengakibatkan menurunnya serapan karbon di awal waktu pembangunan kebun namun setelah tanaman perkebunan tumbuh maka serapan karbon akan meningkat. Pembukaan lahan untuk eksplorasi dan eksploitasi tambang akan menurunkan dan bahkan menghilangkan serapan dan simpanan karbon, dan berlangsung dalam waktu yang lama. Perubahan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sangat bergantung pada peran stakeholder. Peran stakeholder didasarkan pada motivasi dan tujuan kebijakan manajemen hutan. Stakeholder yang mempengaruhi manajemen hutan di Jambi dapat terdiri dari sektor pemerintah baik itu pemerintah pusat,
76
pemerintah provinsi dan kabupaten. Stakeholder lainnya dapat berupa LSM (lembaga swadaya masyarakat), akademisi dan pengembang proyek (Tabel 19). Tabel 19. Hubungan antar stakeholder dalam manajemen bentang lahan Stakeholder (Provinsi Jambi) Dishut
Bappeda
BPN
Dishut
√
Bappeda BPN
√
Disbun ESDM BLHD Warsi
Stakeholder (Provinsi Jambi)
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Disbun
ESDM
√
√
√
√
√
√
√
BLHD
Warsi
Walhi
UNJA
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
UNJA
√
Walhi
√
√
√
√
√
√
√
Tabel di atas menjelaskan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (Dishut) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi berhubungan langsung dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), BPN (Badan Pertanahan Negara Wilayah Jambi), Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (Disbun), ESDM (Dinas Pertambangan, Energi dan Sumberdaya Mineral) dan BLHD (Badan Lingkungan Hidup Daerah) serta Universitas Jambi (UNJA). Namun interaksi balik (loop negatif) sebagai kontrol terhadap manajemen bentang alam akan dikendalikan
oleh
BLHD,
Warsi
(Warung
Konservasi)
dan
Walhi
(Wahana Lingkungan Hidup). Interaksi antar stakeholder dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai. Interaksi antara Dishut dengan BPN terletak pada penetapan HGU atas sebidang lahan dari kawasan hutan yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan atau sebaliknya melepas status kepemilikan atas sebidang lahan untuk dijadikan
77
kawasan hutan tetap. Interaksi Walhi dan Warsi terhadap Dishut yakni kontrol terhadap kebijakan pelepasan, pinjam pakai kawasan serta konversi fungsi kawasan hutan dengan pertimbangan daya dukung dan fenomena konservasi di lapangan (Tabel 20). Tabel 20. Hubungan stakeholder dengan variabel flow Variabel Flow
Dishut
Alokasi Luas HP/HL ke Tambang
Alokasi Luas HP ke kebun
Alokasi Luas HPH ke Transmigrasi
Pemulihan hutan dengan reboisasi
Alokasi Luas HP ke HPH
Alokasi Luas HP ke HTI
√
√
√
√
√
√
√
Bappeda
√
BPN
√
Disbun
√
ESDM BLHD
Stakeholder (Provinsi Jambi)
Alokasi Luas HPH ke HTI
√ √
√ √
√
Warsi
√
√
Walhi
√
√
√
√
√
√
√
UNJA
√
√
√
√
√
√
√
Tabel di atas menjelaskan bahwa ketertarikan hubungan antar stakeholder bergantung pada aliran informasi/materi (flow). Dinas Kehutanan memiliki ketertarikan lebih pada alokasi lahan kawasan hutan untuk dikelola melalui HPH, HTI dan melakukan rekondisi dengan reboisasi. Namun kewenangan dinas kehutanan juga untuk menerbitkan ijin prinsip dalam pertimbangan perijinan tambang, kebun dan transmigrasi. Tentunya Dinas Kehutanan akan berinteraksi dengan stakeholder lain. Dinas ESDM akan berinteraksi dengan Dinas Kehutanan terkait pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Dinas Perkebunan akan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Badan pertanahan Nasional untuk alokasi lahan serta status lahan. Walhi dan UNJA mempunyai ketertarikan untuk memberikan masukan dan kritik atas kebijakan-kebijakan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dari stakeholder yang berwenang.
78
Untuk memodelkan interaksi antar stakeholder dalam menentukan kebijakan manajemen bentang alam maka dilakukan pembobotan pengaruh stakeholder. Bobot yang diberikan didasarkan pada tinjauan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana diurai pada BAB sebelumnya. Semakin tinggi bobot suatu stakeholder maka semakin tinggi peran stakeholder tersebut dalam menentukan pola manajemen bentang alam (Tabel 22). Dalam model ini, interaksi aktor hanya dibatasi pada 2 (dua) aktivitas pemanfaatan lahan yakni alokasi lahan bekas HPH untuk pembangunan HTI dan pengendalian perambahan kawasan hutan konservasi oleh masyarakat untuk menanam kopi. Tabel 21. Bobot hubungan antar stakeholder dalam mempengaruhi flow Variabel Flow
Dish ut
1
Pelaku Bisinis
Stakeholder (Provinsi Jambi)
Alokasi Luas HPH ke HTI
1
Alokasi Luas HP/HL ke Tambang
Alokasi Luas HP ke kebun
Alokasi Luas HPH ke Transmigrasi
Pengendalian Perambahan TNKS
1
Tabel di atas menjelaskan bahwa stakeholder yang sangat memainkan peran manajemen bentang alam adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Ijin usaha pelepasan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang, tukar menukar kawasan hutan untuk pemukiman, transmigrasi dan lain-lain serta alih fungsi kawasan hutan berada pada kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Tentunya semakin tinggi bobot stakeholder tersebut menunjukkan bahwa stakeholder tersebut sebagai pengambil keputusan. 5.5.3 Dinamika Perubahan Kawasan Hutan dan Bentang Alam Jambi Luas daratan provinsi Jambi mencapai 5.100.000 hektar yang terdiri atas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Dinamika perubahan bentang alam di kawasan hutan mencakup semua fungsi kawasan hutan. Kebijakan pelepasan
79
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, tukar menukar kawasan, pinjam pakai kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan (gambar 22).
1: LuasHKonserv asi 2: LuasHL 1: 2: 3: 4: 5:
1: 2: 3: 4: 5:
5100000
3: Luas Hutan Tetap 4: LuasHP 5
5: Luas…atanJambi
5
5
5
2550000
3 1: 2: 3: 4: 5:
1
3
3 4
4
1
2
3 4
1
2
4
1 2
2
0 1.00
11.00
21.00 Y ears
Page 1
31.00 41.00 8:10 AM Wed, Dec 15, 2010
Gambar 22. Dinamika perubahan bentang alam Jambi
Gambar di atas menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi luas hutan tetap (garis bernotasi 3). Fluktuasi disebabkan oleh terjadinya alokasi lahan untuk usaha di sektor kehutanan maupun bukan sektor kehutanan. Selama 40 tahun, simulasi menunjukkan bahwa luas hutan tetap menurun dari 2.179.440 hektar atau 42% dari luas daratan Jambi menjadi 594.495 hektar atau berkurang menjadi 12% dari luas daratan Jambi. Kebijakan mengalokasikan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertambangan, perkebunan dan transmigrasi merupakan faktor penyebab berubahnya peruntukan lahan. Sejak awal periode tahun 1980, intensitas pengelolaan hutan berbasis kayu telah gencar dilakukan. Namun, di tahun 2010 tersisa 2 (dua) perusahaan pemegang
ijin
HPH
dan
hanya
1
(satu)
yang
masih
beroperasi.
Selain itu, pertumbuhan perkebunan baik legal maupun illegal terus meningkat sehingga terjadi koreksi luas kawasan hutan. Tekanan masyarakat sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat ikut mempengaruhi terkoreksinya luas taman nasional, meski secara de jure status kawasan tersebut masih taman nasional namun secara de facto sebagian dari
80
kawasan tersebut dikelola oleh masyarakat dalam bentuk kebun kopi dan permukiman (gambar 23). 1: KebunKopiTNKS 1: 2: 3: 4: 5:
6000 600000 300000 30000 20000
1: 2: 3: 4: 5:
3000 300000 150000 15000 10000
2: LuasHTI
3: LuasKebun
4: LuasTambang
5: LuasTrans 2
1
4
5
1
2 4
5
1
4
5
5
3
3 2 3 4
1: 2: 3: 4: 5:
0 0 0 0 0
3 2 1 1.00
11.00
Page 1
Gambar 23.
21.00 Y ears
31.00 41.00 8:42 AM Sat, Jan 01, 2011
Dinamika Luas Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
Gambar di atas menunjukkan bahwa trend ijin tambang akan terus bertambah, demikian juga dengan ijin kebun, HTI dan perambahan taman nasional. Laju kerusakan taman nasional oleh masyarakat untuk membuat kebun kopi, dianggap sebagai ancaman keberadaan taman nasional. Himbauan Bupati Kabupaten Merangin melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin nomor 522/710.A/DISBUNHUT/2010 yang isinya meminta kepada Petani-petani kopi di Sungai Tebal Kecamatan Lembah Masurai Kabupaten Merangin untuk segera meninggalkan kebun kebun kopi mereka paling lambat tanggal 30 September 2010. Luas HPH menunjukkan trend yang terus menurun, disebabkan oleh menurunnya potensi hutan alam dan tekanan masyarakat. Masyarakat sekitar areal konsesi sering melakukan pungutan-pungutan sebagai bentuk kompensasi serta areal sisa tebangan sering dijadikan sebagai kebun oleh masyarakat. Tingginya nilai produksi dan pajak menyebabkan perusahaan tidak mampu melanjutkan bisnis pengusahaan hasil hutan kayu.
81
5.5.4 Perubahan Cadangan Karbon Dinamika penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan mengakibatkan berubahnya cadangan karbon di hutan dalam menyerap CO2 dan mengubahnya melalui proses fotosintesis menjadi biomasa. Perubahan cadangan karbon diduga dengan menggunakan nilai cadangan karbon yang telah ditemukan oleh beberapa peneliti seperti pada Tabel 5. 1: C HK 1: 2: 3: 4:
2: C HL
3: C HP
4: C stock Hutan Tetap
758400000
4 1: 2: 3: 4:
4
4
4
379200000
3
1
3
3 1
1: 2: 3: 4:
2
3
1 2
1 2
2
0 1.00
11.00
Page 2
21.00 Y ears
31.00 41.00 8:46 AM Sat, Jan 01, 2011
Gambar 24. Perubahan Cadangan Karbon
Gambar di atas menunjukkan bahwa cadangan karbon secara keseluruhan mengalami penurunan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan oleh pada setiap fungsi
hutan,
cadangan
karbon
yang
ada
mengalami
penurunan.
Penurunan ini disebabkan oleh pembukaan luas hutan primer untuk dimanfaatkan hasil hutan kayu untuk HPH, alokasi lahan untuk HTI, alokasi lahan untuk transmigrasi dan kebun. Cadangan karbon di hutan lindung mengalami penurunan, disebabkan oleh pembukaan lahan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Hutan konservasi mengalami penurunan cadangan karbon karena tekanan masyarakat untuk memperoleh lahan usaha, seperti di kabupaten Merangin oleh petani kopi. Perubahan luas hutan tetap menjadi bukan kawasan hutan disebut sebagai deforestasi. Perubahan luas hutan mengakibatkan penurunan simpanan karbon yang disebut degradasi hutan. Laju deforestasi akibat alokasi kawasan hutan untuk
82
HPH, kebun, tambang dan transmigrasi di provinsi Jambi sebesar 45.571 ha/tahun (Tabel 22). Tabel 22. Laju deforestasi hutan tetap provinsi Jambi Kawasan Hutan Luas Deforestasi (Ha/Tahun) Konservasi 5.942 Lindung 3.140 Produksi 34.147 Rata-rata 14.410 Rata-rata total 45.571
Laju Deforestasi (%/tahun) 14 7 79 33 30
Tabel di atas menunjukkan bahwa laju deforestasi terbesar di hutan produksi mencapai 79% dari laju deforestasi di hutan Jambi. Tingginya laju deforestasi disebabkan oleh tingginya peruntukan lahan untuk HPH, HTI dan kebun serta permintaan lahan untuk permukiman. Tingginya laju deforestasi menyebabkan penurunan areal bertutupan hutan. Penurunan ini disebabkan oleh pembukaan lahan yang sebelumnya diasumsikan bertutupan hutan dan kemudian dibuka untuk pembangunan kebun, tambang dan HTI serta permukiman. Adapun laju degradasi simpanan karbon di hutan disajikan pada tabel berikut. Tabel 23. Laju Degradasi simpanan karbon hutan Kawasan Hutan Perubahan Simpanan Karbon (MT/Tahun) Konservasi 2.068 Lindung 401 Produksi 11.416 Rata-rata 4.628 Rata-rata total 15.859
Laju Degradasi (%/tahun) 15 3 82 33 30
Tabel di atas menunjukkan bahwa kehilangan simpanan karbon terbesar terjadi di hutan produksi. 82% per tahun, simpanan karbon hutan produksi diambil dan diubah menjadi bentuk lain. Kehilangan simpanan karbon di atas menunjukkan berkurangnya
simpanan
karbon hutan alam
yang belum
mempertimbangkan dampak konversi menjadi bentuk penggunaan lahan lain seperti HTI dan kebun serta bentuk perbaikan seperti kegiatan reboisasi. Bila hal
83
tersebut terjadi maka pengembalian simpanan karbon yang terjadi pada suatu areal disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Simpanan Karbon Akibat Konversi Hutan Alam Simpanan Karbon Pada Berbagai Penggunaan Lahan Tahun HTI Kebun Kopi Reboisasi Kebun Sawit 1 0 0 0 0 2 991.188 571 1.716 253.040 3 2.146.072 1.306 4.124 363.144 4 3.191.606 2.407 6.535 740.158 5 0 4.276 8.968 963.314 963.314 6 5.184.478 6.567 11.211 963.314 7 6.079.833 9.320 13.247 963.314 8 6.935.349 12.503 15.761 963.314 9 8.371.413 16.412 18.140
Tabel di atas menunjukkan bahwa penanaman HTI mampu mengganti simpanan karbon hutan alam yang dikonversi. Mindawati et al (2010) menyebutkan bahwa simpanan karbon di hutan tanaman industri Eucaliptus urograndis sebesar 157 ton/ha. Bila konversi hutan alam dilakukan dengan tebang habis dan kemudian menanam E. urograndis maka pengembalian simpanan karbon akan sebesar 157 ton/ha atau terjadi penurunan sebanyak 150 ton/ha dari simpanan karbon hutan alam. Penurunan ini untuk memacu serapan pada tegakan muda. Perambahan hutan alam di TNKS untuk menanam kebun kopi juga mampu meningkatkan serapan karbon meski tidak sebesar nilai karbon pada awalnya. Penanaman kebun sawit mampu memberikan sumbangan simpanan karbon sebesar 16 ton/ha (Yulianti 2009). Bila dilihat dari konsep serapan karbon, konversi hutan alam ke kebun atau HTI mampu memberikan serapan baru yang cenderung meningkat bila dibandingkan hutan tersebut dibiarkan. Hal ini karena hutan alam yang telah mencapai pertumbuhan klimaks nilai serapannya akan mendekati titik nol (balanced) atau NPP sama dengan nol.
84
5.5.5 Pengaruh Aktor Terhadap Cadangan Karbon BAU Perilaku aktor dapat disimulasikan terhadap 3 (tiga) bentuk kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yakni kegiatan alokasi lahan bekas tebangan HPH untuk HTI, perbaikan lahan kritis melalui reboisasi dan upaya untuk menghentikan laju perambahan kawasan hutan konservasi untuk kebun kopi masyarakat. Perilaku aktor terhadap alokasi lahan bekas HPH untuk HTI dipengaruhi oleh perilaku aktor bisnis dan kebijakan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Perilaku ini selanjutnya disimbolkan dalam nilai kuantitatif (Tabel 25). Tabel 25. Kuantifikasi Perilaku Aktor terhadap Alokasi Lahan Bekas HPH untuk HTI Aktor Makna Dinas kehutanan Pelaku Bisnis HTI Dinas 1 0 Bila kebijakan ada, namun kehutanan tidak ada interest dari pelaku bisnis maka kegiatan HTI tidak ada Pelaku 0 1 Bila kebijakan Dinas Bisnis Kehutanan tidak ada, HTI interest pelaku bisnis tinggi maka kegiatan ada Tabel di atas menunjukkan bahwa peran pelaku bisnis sangat besar dan dapat merubah kebijakan di Dinas Kehutanan. Yang dimaksud dengan kebijakan adalah tidak adanya keinginan untuk mengalokasikan lahan bekas tebangan HPH untuk HTI. Pelaku bisnis dapat menempuh jalur lain untuk intervensi kebijakan Dinas Kehutanan terhadap kegiatan alokasi HPH untuk HTI (Gambar 25).
85
hasil interaksi HTI: 1 - 2 - 3 - 4 1:
30000
1
4
1
4
1 1:
15000
1:
0
1
4
2
3
4
2
1.00
5.75
Page 1
3
2
3
10.50 Y ears
2 3 15.25 20.00 9:07 AM Sat, Jan 01, 2011
Gambar 25. Perubahan cadangan karbon di hutan produksi akibat perilaku aktor dalam alokasi lahan bekas tebangan HPH untuk HTI Gambar di atas menunjukkan bahwa bila interaksi stakeholder positif terhadap konversi dan perbaikan simpanan karbon di hutan. Interaksi negatif atau tidak terlaksananya konversi hutan alam ke HTI maka luas hutan akan tetap atau yang telah terdegradasi akan dipulihkan secara alami dan nilai serapan akan semakin rendah. Perilaku aktor terhadap pencegahan perusakan taman nasional atau mengeluarkan masyarakat petani kopi dari taman nasional. Aktor yang sangat berperan tentunya ada di Dinas Kehutanan. Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin nomor 522/710.A/DISBUNHUT/2010 yang isinya meminta kepada Petani-petani kopi di Sungai Tebal Kecamatan Lembah Masurai Kabupaten untuk segera meninggalkan kebun kebun kopi mereka paling lambat tanggal 30 September 2010. Tabel 26. Kuantifikasi Perilaku Aktor terhadap perambahan TNKS Makna Dinas kehutanan 1 0
Bila kebijakan untuk menghentikan perambahan tersebut dijalankan Kebijakan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin tidak dapat dilaksanakan
Tabel di atas menunjukkan bahwa peran Dinas Kehutanan sangat besar dalam menghentikan laju perambahan hutan oleh petani kopi yang asalnya dari
86
Bengkulu, Lampung dan Palembang. Diperkirakan bahwa 10 tahun yang lalu, jumlah petani yang masuk ke sekitar TNKS hanya 6 kepala keluarga (KK) dan di tahun 2010 telah mencapai 3000 KK. Bila luas yang dikelola oleh 1 (satu) KK adalah 2 hektar maka di tahun 2010 telah membuka 6000 hektar hutan TNKS dan dapat menurunkan cadangan karbon di kawasan taman nasional. HAsilKebijakanPerambahanTNKS: 1 - 2 1:
5000
1:
2500
2
2
2
2
1 1:
0 1.00
1 11.00
Page 3
1 21.00 Y ears
1 31.00 41.00 1:34 PM Sun, Jan 02, 2011
Gambar 26. Perilaku Dishut Terhadap Perambahan TNKS
Gambar di atas menunjukkan bahwa ketika Dishut tidak ada tindakan untuk mengendalikan laju perambahan TNKS, maka perambahan akan terus ada sebagaimana ditunjukkan dengan garis bernotasi 2. Namun, bila himbauan Bupati Merangin dilaksanakan maka laju perambahan dapat dikendalikan ke titik nol sebagaimana ditunjukkan dengan garis bernotasi 1.
5.5.6 Simulasi Skenario REDD+ Skenario REDD+ yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah mengurangi alokasi kawasan hutan tetap untuk pembangunan sektor kehutanan dan bukan sektor kehutanan yang lebih mengarah pada pembukaan luas bidang dasar hutan. Kegiatan dimaksud seperti alokasi kawasan hutan produksi untuk HPH, HTI dan kebun. Alih fungsi kawasan hutan lindung dan hutan konservasi menjadi hutan produksi dan hutan produksi yang dikonversi.
87
Intensitas pengurangan laju perubahan luas dan status kawasan hutan dilakukan pada 3 (tiga) level yakni 30%, 50% dan 70%. Setiap level akan mempengaruhi luas dan simpanan karbon yang ada pada setiap fungsi hutan.
Tabel 27. Hasil simulasi penurunan laju deforestasi Kawasan Hutan BAU SKENARIO REDD 30% 50% Konservasi 5.942 5.451 5.128 Lindung 3.140 2.330 1.702 Produksi 34.147 35.560 33.078 Rata-rata 14.410 14.447 13.303 Rata-rata total 45.571 41.256 37.991
70% 4.808 1.074 21.192 9.025 25.997
Berdasarkan tabel di atas, bila diterapkan skenario REDD+ untuk mengurangi alokasi lahan untuk pembangunan sektor kehutanan dan sektor non-kehutanan sebesar 30% dari besarnya alokasi lahan hutan pada skema BAU dapat menurunkan laju deforestasi 9% atau 41.256 ha/tahun. Bila skenario REDD+ sebesar 50% mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 17% atau 37.991 ha/tahun dan bila skenario REDD+ sebesar 70% mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 43% atau 25.997 ha/tahun. Penurunan laju deforestasi sangat berpengaruh pada degradasi yang terjadi. Dari hasil simulasi, terdapat 15.859 Mt/ha akan mengalami kehilangan simpanan karbon.
Kehilangan
simpanan
karbon
dalam
penelitian
ini,
tidak
mempertimbangkan faktor pertumbuhan (growth) yang terjadi pada setiap fungsi hutan. IPCC (2006) menyebutkan bahwa growth hutan alam tropika mencapai 4 ton/ha. Tabel 28. Hasil Simulasi Penurunan Laju Degradasi (Mt) Kawasan Hutan BAU SKENARIO REDD 30% 50% Konservasi 2.068 1.897 1.784 Lindung 401 327 246 Produksi 11.416 10.732 9.326 Rata-rata 4.628 4.318 3.786 Rata-rata total 15.859 14.357 13.221
70% 1.673 166 5.681 2.507 9.045
88
Tabel di atas menunjukkan bahwa skenario REDD+ sebesar 30% mampu mengurangi hilangnya simpanan karbon atau degradasi hutan menjadi 14.357 Mt/tahun. Bila skenario REDD+ sebesar 50% dapat menurunkan degradasi hutan menjadi 13.221 Mt/tahun dan bila skenario REDD+ sebesar 70% dapat menurunkan laju degradasi menjadi 9.045 Mt/tahun. Ahli
ekonomi
ekologi
menyarankan
perlu
adanya
metode
CSE
(Compensated Succesful Efforts) sebagai input dalam perhitungan kompensasi atas usaha menurunkan emisi dari deforestasi. Pendekatan CSE berbeda dalam melihat hubungan pendugaan usaha menghindari deforestasi. Pemberian kompensasi kepada negara berkembang atas usahanya untuk menghindari terjadinya deforestasi dianggap sebagai metode yang tepat dalam menurunkan laju deforestasi (Tacconi 2008). Perhitungan biaya dan upah serta harga nilai per ton CO2 digunakan standar harga sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (Tabel 29). Tabel 29. Standar biaya dan upah serta nilai CO2 Biaya, upah dan harga
Standar CCB
Standar Carbon Fix (US$)
Sistem dan Standar Plan Vivo (US$)
Jangka waktu sertifikasi Validasi Verifikasi Upah sertifikat CO2
5 tahun 5000–40000 -
Harga CO2 sertifikat
Premium
3-5 tahun 2050 10900–20500 0.68 per VER terjual 14.27
2-5 tahun 5000–12500 15000–30000 0.3 per VER terjual 8 – 30
Voluntary Carbon Standard (AFOLU) (US$) 5 tahun 5000–12500 15000–30000 0.04 per VER terjual 12 - 18
Setiap standar yang terdapat pada tabel di atas, memiliki tujuan, metode dan ukuran transparansi dan permanen yang berbeda. Selain itu, biaya transaksi yang timbul akibat proyek pada setiap standar berbeda. Secara umum, standar yang dapat memberikan keuntungan maksimum adalah voluntary carbon standard AFOLU (VCS AFOLU). Penentuan nilai karbon yang dijual didasarkan pada penetapan REL (Reference of Emission Level) yang disepakati. Kesepakatan ini disesuaikan dengan standar mana yang menjadi rujukan. Dalam penelitian ini, REL dianggap
89
sama yakni 20% dari rata-rata kehilangan simpanan karbon di hutan selama 10 tahun terakhir. Untuk menjaga permanen nilai karbon dan terhindar dari kebocoran akibat kegiatan pembangunan, maka ditetapkan 10% dari REL sebagai faktor koreksi yang disebut dengan DAF (Development Adjustment Factor), sehingga REL adalah rata-rata kehilangan simpanan karbon ditambah 10% dari rata-rata kehilangan tersebut. 1: 2: 3: 4:
1: 2: 3: 4:
1: StockREL 456600000
2: C HK
3: C HL
4: C HP
228300000 2 2
1 1: 2: 3: 4:
3
2
1
1 3
1.00
11.00
Page 4
3
1 3
4
4
0
2
4
4 21.00 Years
31.00
41.00 6:43 AM
Wed, Dec 08, 2010
Gambar 27. Nilai simpanan karbon pada setiap fungsi terhadap REL
Grafik di atas menggambarkan bahwa bila skenario REDD+ dijalankan income REDD+ akan menguntungkan di hutan konservasi dengan nilai korbanan yang lebih kecil. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi akan positif dengan korbanan yang besar. Diasumsikan bahwa lama proyek REDD adalah 5 tahun dengan harga C/ton adalah 5 US$ dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila REDD+ 30% adalah -0.39 milyar US$, -0.03 milyar US$ untuk standar Carbon Fix dan -0.03 milyar US$ untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30% mencapai -0.04 milyar US$.
90
Tabel 30. Perbandingan income REDD pada berbagai skenario dan standar (x 1 M US$) SKENARIO REDD+ CCB
Periode 30%
CF
50%
70%
30%
PV
50%
70%
30%
50%
VCS 70%
30%
50%
70%
5
-0.42
-0.31
1.35
-0.68
-0.01
0.93
-0.74
-0.01
1.01
-0.78
-0.02
1.06
10
-0.56
-0.39
0.48
-0.82
-0.43
0.51
-0.90
-0.47
0.55
-0.95
-0.49
0.58
15
-0.56
-0.39
0.49
-0.82
-0.43
0.52
-0.89
-0.47
0.57
-0.94
-0.50
0.60
20
-0.55
-0.39
0.54
-0.82
-0.43
0.56
-0.89
-0.46
0.61
-0.94
-0.49
0.64
25
-0.55
-0.39
0.62
-0.82
-0.41
0.61
-0.89
-0.44
0.66
-0.94
-0.47
0.70
30
-0.54
-0.39
0.66
-0.37
0.61
-0.88
-0.41
0.66
-0.93
-0.43
0.70
35 Ratarata 5 tahun
-0.52
-0.32
0.67
-0.79
-0.33
0.57
-0.86
-0.36
0.63
-0.91
-0.38
0.66
-0.42
-0.31
1.35
-0.68
-0.01
0.93
-0.74
-0.01
1.01
-0.78
-0.02
1.06
-0.81
Dari tabel di atas, terlihat bahwa penerapan skema REDD+ sebesar 30% tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ lebih dari 50%. Bila standar CCB (carbon, community and biodiversity) yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar -0,42 milyar US$ - 1,35 milyar US$. Standar Carbon Fix (CF) akan memberikan income REDD+ sebesar -0,68 milyar US$ - 0,93 milyar US$. Standar Plan Vivo (PV) akan memberikan income REDD+ sebesar -0,74 milyar US$ sampai dengan 1,01 milyar US$. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar -0,78 milyar US$ sampai dengan 1,06 milyar US$. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB. Income REDD+ akan berbeda bila skenario REDD+ dilaksanakan pada intensitas berbeda di masing-masing fungsi. Income REDD+ akan positif bila penerapan skenario REDD+ pada semua fungsi hutan sebesar 70% namun bila pada intensitas berbeda pada berbagai fungsi maka hasilnya akan sangat bervariasi.
91
Tabel 31. Simulasi REDD+ pada kombinasi fungsi hutan (x 1 M US$) setiap periode HK 30% HK
HL
HP
50%
HL 70%
HP
30%
50%
70%
30%
50%
70%
30%
-0.48
-1.49
-1.24
-0.99
-1.73
-1.04
1.36
50%
0.14
-0.87
-0.62
-0.37
-1.11
-0.42
1.98
70%
0.80
0.28
0.03
0.28
-0.46
0.23
2.63
30%
-1.49
-0.87
-0.21
-1.01
-2.26
-1.57
0.83
50%
-1.24
-0.62
0.03
-0.77
-2.02
-1.33
1.07
70%
-0.99
-0.37
0.28
-0.51
-1.76
-1.07
1.32
30%
-1.73
-1.11
-0.46
-2.26
-2.02
-1.76
-1.25
50%
-1.04
-0.42
0.23
-1.57
-1.57
-1.07
-0.56
70%
1.36
1.98
2.63
0.83
1.07
1.32
1.84
Tabel di atas menunjukkan bahwa bila hutan konservasi hanya diturunkan 30% maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70% yakni sebesar 136 juta US$. Bila hutan lindung diturunkan sebesar 30% akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan hutan produksi yang diturunkan sebesar 70%. Income REDD+ akan mencapai 830 juta US$. Bila hutan produksi akan diturunkan 30%, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70%. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70% di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 1,32 milyarUS$-2,63 milyar US$ setiap periode (5 tahun).
5.5.7 Uji Sensivitas Model Sensivitas model dilakukan untuk melihat variabel yang sangat sensitif ketika skenario dinaikkan 1 taraf. Bila terdapat variabel yang tidak sensitif, tidak berarti variabel itu salah atau tidak mempengaruhi model. Namun variabel tersebut tidak menjadi bagian dari skenario.
92
Tabel 32. Uji Sensivitas VARIABEL
SKENARIO Persen Luas Persen Luas Hutan Hutan Tetap Berdasarkan Fungsi
Luas Kawasan Hutan Konservasi Luas Kawasan Hutan Lindung Luas Kawasan Hutan Produksi ALokasi Luas Hutan untuk HPH ALokasi Luas Hutan untuk HTI ALokasi Luas Hutan untuk Kebun Pinjam Pakai HL untuk Tambang Perambahan HK C Stock HK C Stock HL C Stock HP C Stock HTI C Stock HPH C Stock Kebun C Stock Kebun Kopi Biaya Transaksi Income REDD Keterangan: S= sensitif, TS = tidak sensitif
S √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
TS
S √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
TS
Dari tabel di atas, terlihat bahwa semua variabel akan sangat sensitif ketika skenario dijalankan. Perubahan skenario sebesar akan berdampak pada setiap variable. Ini artinya semua variabel tersebut saling berhubungan membentuk suatu sistem yang utuh. 5.5.8. Keterbatasan Model
Terdapat beberapa keterbatasan model yang dibangun dalam menduga kenyataan di lapangan. Adapaun keterbatasan model tersebut adalah sebagai berikut: a.
Ketersediaan data yang tidak kontinyu pada semua variabel mengakibatkan keterbatasan dalam melaksanakan simulasi berdasarkan tahun yang
93
sebenarnya. Hal ini mengakibatkan pendugaan dilakukan berdasarkan satuan tahun proyeksi. b.
Model tidak mempertimbangkan prosedur ijin sebagaimana dijelaskan pada bagian pertama hasil penelitian, namun model hanya menyediakan data proyeksi akibat dijalankan kebijakan.
c.
Penentuan REL dianggap sama pada semua periode verifikasi dan validasi project REDD+, sehingga additionality yang timbul pada akhir periode tidak menjadi REL untuk project berikutnya.
d.
Penggunaan
bobot
pada
submodel
interaksi
aktor
merupakan
penyederhanaan dari suatu kompleksitas interaksi sehingga belum mampu menggambarkan secara detil sesuai dengan keadaan di lapangan.
94
6. PEMBAHASAN
6.1 Penentuan Kawasan Hutan Kawasan hutan terbagi atas kawasan hutan tetap dan tidak tetap. Kawasan hutan tetap harus tetap dipertahankan sebagai hutan, meski tutupan kawasan tersebut tidak didominasi oleh pepohonan atau tumbuhan bervegetasi lainnya. Kawasan hutan tidak tetap dapat dikonversi menjadi lahan pertanian, kebun, tambang dan permukiman. Pembagian kawasan hutan tetap dan tidak tetap awalnya ditentukan dengan metode pembobotan sebagaimana diatur dengan peraturan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung, yang diterbitkan tanggal 24 Nopember 1980. Terdapat 3 (tiga) parameter utama sebagai variabel pembentuk kawasan hutan yakni kelas lereng, intensitas hujan dan jenis tanah. Ketiga variabel tersebut sebagai referensi penunjukan kawasan hutan. Tidak ada variabel lain, sehingga ketika terjadi perluasan bidang usaha non-kehutanan kawasan hutan yang telah ditata harus terkoreksi atau termanfaatkan. Penetapan fungsi hutan ditentukan berdasarkan hasil perhitungan dengan cara pembobotan (1-5) menurut keadaan lereng
(berbobot 20%), kepekaan
terhadap erosi (berbobot 15%), dan intensitas hujan (berbobot 10%). Dikatakan hutan lindung bila total skor lebih besar dari 175, hutan produksi terbatas bila total skor antara 125-175 dan hutan produksi tetap bila total skor kurang dari 125. Pendekatan karakteristik fisik di lapangan merupakan langkah mudah untuk menetapkan fungsi suatu kawasan. Namun, langkah ini tidak mengakomodir kepentingan non-fisik yang justru sangat tinggi nilainya ketika kawasan tersebut dikelola. Pendekatan fisik cenderung mengantisipasi dampak ketika kawasan tersebut dikelola. Dengan semakin tinggi teknologi yang ada, karakteristik fisik kini menjadi variabel yang lemah dalam menentukan tindakan manajemen. Karakteristik permintaan pasar, tingkat sosial ekonomi masyarakat dan budaya kerja menjadi karakteristik dengan nilai tinggi dalam menentukan tindakan manajemen.
96
Tentunya karakteristik non-fisik ini terus mengalami dinamika dan tidak seragam di semua lokasi. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dalam menentukan kriteria penunjukan kawasan hutan masih menggunakan kriteria fisik sebagaimana diatur oleh peraturan sebelumnya. Padahal, pada era peraturan pemerintah tersebut telah banyak terjadi perubahan fungsi yang tidak dipengaruhi kriteria fisik namun oleh interaksi non-fisik. Meski dalam penunjukan dan peruntukan kawasan hutan telah disesuaikan dengan rencana pengelolaan kawasan yang diatur dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), pendekatan fisik menjadi batasan utama. Penentuan kebutuhan lahan untuk pembangunan perlu diprioritaskan karena sesuai dengan arah pembangunan daerah otonomi. Prioritas ini perlu dibatasi dengan karakteristik fisik lapangan namun tidak berarti bahwa ketika karakteristik lapangan tidak diijinkan untuk dikelola untuk keperluan produktif, maka prioritas itu menjadi menurun. Eksploitasi pengetahuan masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan lingkungannya perlu ditingkatkan serta perlu adanya penyesuaian pasar terhadap peruntukan lahan yang telah disepakati. Lima (5) kebutuhan dasar Maslow yakni (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan penghargaan dan (5) kebutuhan aktualisasi diri merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan agar penunjukan kawasan hutan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dikelola secara optimal. 6.2 Interaksi Stakeholder Dengan Kawasan Hutan Pemanfaatan kawasan hutan
disadari tidak hanya untuk pembangunan
sektor kehutanan namun juga sektor non-kehutanan. Alokasi lahan untuk usaha pertanian sebagaimana Surat Keputusan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/90 dan 23 – VIII – 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian sebagai contoh tingginya permintaan lahan hutan untuk usaha-usaha nonkehutanan.
97
Kebijakan pelepasan kawasan hutan mengakomodir pembangunan kebun dan usaha pertanian tanaman pangan lainnya. Tercatat 18.116 hektar per tahun, kawasan hutan Jambi harus dilepas untuk usaha pertanian. Tercatat 7 juta hektar sampai tahun 1997 lahan hutan yang harus dikonversi menjadi areal perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan Indonesia yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta hektar. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000
(FWI 2003).
Dan untuk itu respon tercepat terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut Kartodihardjo dan Supriyono diacu dalam FWI (2003) bahwa di tahun 1997 tercatat 7 juta hektar telah disetujui untuk dikonversi untuk perkebunan ditambah pencadangan 9 juta hektar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Casson diacu dalam FWI (2003) menyebutkan bahwa 840.000 hektar telah disetujui untuk dilepas dan 70% adalah untuk perkebunan kelapa sawit. Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutan/eks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang. Dalam aturan ini, tidak didefinisikan nilai historis dari lahan. Apakah lahan itu dari awalnya tidak berhutan atau lahan tersebut bekas pengelolaan yang tidak lestari dan akhirnya tersisa tanah kosong atau alang-alang atau semak belukar. Bila, yang dilihat hanyalah kriteria penutupan lahan yang bervegetasi sebagai pembatas, maka dapat saja dilakukan penebangan dan kemudian ditelantarkan sehingga kriteria ini terpenuhi.
98
Selain interaksi sktakeholder dalam bentuk pelepasan kawasan, interaksi lain adalah pinjam pakai kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan. Pinjam pakai kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan sektor non-kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Salah satu kegiatan sektor non-kehutanan yang sangat akrab dengan ijin ini adalah pertambangan. Usaha pertambangan hadir ketika ada potensi tambang dalam kawasan hutan. Dan kebanyakan potensi tambang tersebut terdapat dalam kawasan hutan tetap. Artinya terdapat upaya untuk merelakan potensi hutan dieksploitasi untuk keperluan pertambangan. Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai 5.243 hektar antara lain di dalam kawasan terdapat 3.106 hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar. Hal ini berarti bahwa terdapat 7% dari ijin usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan 93% illegal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, menjelaskan cara perhitungan PNBP dengan rumus PNBP = (L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif ) + (L3 x 2 x tarif ) Rp/tahun. L1 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (ha). L2 adalah area terganggu karena
99
penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi (ha). L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi (ha). Dengan luas ijin yang telah diterbitkan seluas 43.978,5 hektar maka dalam tahun pertama saja, nilai PNBP yang harus diterima mencapai 24,9 milyar rupiah. Bila realisasi hanya 7% dari luas tersebut, maka PNBP hanya mencapai 1,7 milyar rupiah. Ini artinya kerugian negara mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahun. Kerugian yang sangat besar ini harus berlangsung selama 30 tahun ijin. Atau dapat dikatakan mencapai 695 milyar rupiah hilang akibat ketidakmampuan para pemangku kepentingan di Jambi. Hilangnya nilai ini, berdampak pada pemulihan kondisi hutan dan pengembangan masyarakat. 6.3 Faktor Pendorong Deforestasi Dan Degradasi Hutan Jambi 6.3.1 HPH Pemanfaatan kawasan hutan dan kawasan hutan di Indonesia dan Jambi khususnya mulai efektif berlangsung sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, yang memberikan hak pengusahaan hutan kepada pihak swasta nasional, swasta multinasional untuk mengelola hutan selama 20-25 tahun (Hidayat 2008). Kebijakan ini menjadikan Indonesia muncul sebagai negara dengan devisa tertinggi kedua di dunia yakni 75% hasil panen kayu diekspor keluar negeri. Sehingga terjadi peningkatan yang sangat signifikan antara tahun 1968 dan tahun 1974. Di tahun 1968, devisa negara hanya 6 juta US$ dan di tahun 1974 meningkat menjadi 564 juta US$. Di tahun 1979, Indonesia menjadi negara pengekspor utama kayu dengan perolehan devisa mencapai 2,1 miliar US$ (Hidayat 2008). Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, agenda utama pada Pelita I sampai Pelita IV adalah pembangunan ekonomi bangsa dan sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang diberdayakan dengan memanen dan mengekspor log (kayu bulat). Pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai primadona pemanenan hasil hutan ini (Hidayat 2008).
Untuk itu dibuka pintu
100
selebar-lebarnya bagi pemilik modal asing untuk ikut serta dalam mempercepat pembangunan sektor ekonomi dengan diterbitkan 3 produk hukum yakni UU Nomor 1 tahun 1967 tentang imvestasi modal asing, UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Modal Dalam Negeri, UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 tahun 1970 tentang Mekanisme Perijinan HPH yang akhirnya berdampak pada kerusakan hutan tropika Indonesia. Menyadari peranan asing sangat besar maka melalui PP Nomor 18 tahun 1975 tanggal 13 Mei 1975 dilakukan perubahan atas Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang pemegang ijin HPH dibatasi pada perusahaan negara dan swasta nasional.
Awalnya perijinan pengusahaan hutan diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 64 Tahun 1957 namun dengan keluarnya PP Nomor 1 Tahun 1970 ini mencabut wewenang Pemerintah Daerah atas perijinan pengusahaan hutan berupa : 1.
Izin Konsesi Hutan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 10.000 ha.
2.
Izin persil penebangan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 5.000 ha.
3.
Izin penebangan, yaitu untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu selama-lamanya 2 tahun. Pelibatan pihak asing dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tersebar merata
di seluruh nusantara. George Pasific dan Wayerhouse dari Amerika Serikat di Kalimantan Timur, Mitsubishi, Sumitomo dan Shin Asahigawa dari Jepang, dari Korea Selatan terdapat perusahaan Korindo dan Kodeko di Kalimantan Selatan dan Papua. Dari Perancis International Forest Asiatique (IFA) di Jambi dan dari Singapura kelompok Sambu (Hurst 1990 diacu dalam Hidayat 2008). Pelibatan pihak asing yang berkolaborasi dengan pihak swasta nasional dalam eksplorasi hasil hutan kayu nasional dan khusus di provinsi Jambi menjadikan potensi hutan alam di Jambi terus menurun. Jumlah pemegang ijin HPH yang terus menurun dari angka 30 unit di tahun 1988 menjadi 2 unit di tahun 2008 atau dari luas konsesi sekitar 256.600 hektar di tahun 1988 menjadi 45.825 hektar.
101
Selain unsur kepemilikan perusahaan, masalah ketimpangan pendapatan ikut mempengaruhi sehingga terjadi penyerobotan lahan dan pungutan-pungutan kompensasi lainnya oleh masyarakat. Menurut Syahza (2004), masuknya HPH memberikan kesempatan kerja semakin besar, namun tidak untuk masyarakat lokal. Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar areal kegiatan HPH adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan yang diusahakan, antara lain ubi-ubian, jagung, kacang dan sayuran. Sedangkan jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah karet, kelapa sawit, dan kelapa. Luas areal pertanian masyarakat pada umumnya kecil dari 0,5 Ha. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat lokal, yaitu Rp 632.253,00 per KK per bulan. Sementara, tingkat pendapatan masyarakat pendatang relatif tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan cukup tinggi dengan Gini Rasio sebesar 0,443404. Kegiatan HPH menyebabkan berkurangnya pemilikan lahan bagi masyarakat lokal, sering terjadi konflik antara masyarakat pendatang maupun dengan pihak perusahaan HPH. Konflik timbul karena masalah perebutan lahan dan kegiatan illegal loging. Masalah penurunan potensi kayu di hutan lebih dipengaruhi oleh teknik penebangan yang diterapkan. Praktek penebangan hutan di Indonesia selama ini masih disebut dengan conventional logging (CL). Meski telah diperkenalkan teknis penebangan yang beresiko rendah pada lingkungan. Elias (2009) menjelaskan bahwa bila dibandingkan persentase kerusakan tegakan tinggal oleh conventional logging (CL) dan RIL, RIL mampu menurunkan resiko kerusakan ketika eksploitasi hasil hutan itu terjadi. Di tingkat semai kerusakan disebabkan oleh penerapan CL mencapai 33,47% sedangkan RIL mencapai 17,65% dengan rasio -44,27%, sedangkan pada tingkat sapling kerusakan dengan CL mencapai 34,93% dan RIL mencapai 19,59% dengan rasio -43,92%. Kerusakan pada tingkat tiang dan pohon dengan sistem CL mencapai 40,42% dan RIL mencapai 19.08% atau rasio mencapai -52,79%. Selain itu, bila dilihat keterbukaan wilayah akibat penebangan dengan sistem CL mencapai 11,1% sedangkan RIL mencapai 7,65% dan keterbukaan areal akibat penyaradan dengan CL mencapai 8,73% sedangkan RIL
mencapai
5,21%
atau
rasionya
mencapai
-40,32%.
102
Artinya dengan menerapkan RIL, kerusakan hutan akibat penyaradan dapat direduksi mencapai 40%. Namun RIL tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu 1) efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, 2) masalah tenure yang tidak pasti, 3) kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, 4) masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, 5) penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke non-hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, 6) aktivitas pemanenan illegal dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor
internal
yang
mempengaruhi
yakni
1)
kesalahan
persepsi,
2) ketidakpahaman, 3) petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, 4) defisiensi kemampuan teknis, 5) ketidakmampuan menggunakan alat (Klassen 2010). Berdasarkan hasil penelitian Pinard dan Cropper (2000) menyatakan bahwa cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk itu, untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di 40-60 tahun mendatang. Tresnawan dan Rosalina (2002), menyebutkan bahwa hutan alam Jambi mengandung simpanan karbon mencapai 348 ton/ha dan bila ditebang dengan CL akan menurunkan simpanan karbon menjadi 189,26 – 221.39 ton/ha. 6.3.2 HTI Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun bukan kayu. Tujuan pembangunan HTI adalah (1) meningkatkan produktivitas hutan produksi,
103
dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor)
dan
perbaikan
kualitas
lingkungan
hidup
(pro-enviroment);
(2) mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp & paper, meubel dan lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor (Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman Kemenhut 2009). Kebijakan pembangunan HTI dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990. HTI dibangun pada hutan produksi yang tidak produktif lagi. Dijelaskan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi yang tidak produktif adalah (1) pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha, (2) pohon induk < 10 batang/ha, dan (3) permudaan alamnya kurang, yaitu semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang < 240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha. Ditegaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 1999 bahwa ijin HTI tidak dapat diberikan pada suatu wilayah konsesi yang telah terdapat ijin HPH sehingga HTI maupun HPH merupakan dua bentuk badan usaha yang berbeda dan tidak tumpang tindih satu sama lainnya. Namun selanjutnya diterbitkan PP Nomor 34 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa (a) usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi (Pasal 30 ayat 3), (b) terhadap HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan ini dan HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum ditetapkannya PP. Hal ini tetap berlaku sampai haknya/izinnya berakhir (Bab X Pasal 99 huruf a). Pertentangan dengan kepemilikan dua bentuk usaha dalam satu ijin konsesi seperti dijelaskan oleh PP Nomor 34 Tahun 2002 di atas akhirnya dicabut dengan terbitnya PP Nomor 6 Tahun 2007, namun untuk HPH yang dibangun untuk keperluan pemberdayaan transmigrasi dan pola swasta murni diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.04/Menhut-II/2009 tentang Penyelesaian HPHTI Sementara yang diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
104
Nomor P.4/Menhut-II/2009 Tentang Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara. HPHTI sementara yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, akan dialihkan menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan definisi yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri (Kemenhut 2009). Konversi hutan alam menjadi HTI mengakibatkan simpanan karbon di hutan menurun. Bila hutan alam terdapat 348 ton/ha dan HTI yang dibangun adalah Eucaliptus urograndis dengan daur 5 tahun sebesar 157 ton/ha maka penurunan cadangan karbon mencapai 191 ton/ha. Konversi ini tentunya berdampak negatif pada simpanan namun berdampak positif bagi serapan. Bila hutan alam adalah hutan klimaks maka nilai serapan menjadi nol. Penanaman HTI meningkatkan serapan mencapai 157 dikalikan masa molekul CO2 atau 44/12 atau sama dengan 575,67 ton/ha. Pemanenan HTI tidak serta merta mengakibatkan seluruh simpanan karbon hilang. Namun, simpanan karbon dialihkan dalam bentuk lain dan bukan karbon yang tersimpan di hutan. Bila biomasa yang termanfaatkan adalah ½ dari biomasa tegakan di hutan, maka rotasi berikutnya simpanan karbon yang ada akan mencapai 157 ton/ha + (157 x 1/2 ) atau sama dengan 235 ton/ha. Bila ijin usaha HTI adalah 20 tahun maka simpanan karbon yang telah dibangun adalah sebanyak 1.727 ton/ha. Pertumbuhan biomasa HTI disajikan pada Gambar berikut.
105
350 Pertumbuhan Biomasa HTI
Biomasa (Ton/Ha)
300 250 200
Penebangan
150
Dekomposisi/loss
100 50
Produk Kayu
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Tahun
Gambar 28. Pertumbuhan Biomasa HTI
Gambar di atas menunjukan bahwa selama ijin HTI, pembangunan hutan tanaman ini telah meningkatkan simpanan biomasa baik yang terdapat di hutan maupun yang telah dikelola untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri. Bahwa pertumbuhan hutan tanaman akan terus meningkat dan nilai serapannya pun lebih baik. Untuk mengoptimalkan nilai simpanan dan serapan karbon pada HTI, perlu teknik manajemen lahan dan pengaturan waktu tanam yang tepat sehingga tidak hanya berfungsi untuk simpanan karbon namun dapat memperkecil dampak ikutan yang dihasilkan dari pembukaan lahan untuk replanting HTI. Pembukaan lahan merupakan langkah penting dalam menduga besarnya sumbangan kehilangan simpanan karbon dan sumbangan CO2. Salah satu teknik yang baik adalah dengan cara mekanis dan menghindari sistem bakar. Penyiapan lahan dengan sistem bakar dapat meningkatkan sumbangan CO2 di atmosfer serta mampu memusnahkan biota tanah serta habitat makhluk lainnya. Teknik mekanis, lebih ramah dengan sumbangan CO2 yang minim.
106
6.3.3 Kebun Perkebunan di Jambi mengalami masalah yang sama dengan tambang. Hanya terdapat 32% dari 179 ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah diterbitkan oleh Bupati/Gubernur Jambi yang memiliki HGU. Hal ini tentu saja disebabkan oleh interaksi oleh pengusaha dengan pemberi IUP. Pembukaan hutan alam atau hutan bekas tebangan untuk pembangunan kebun dapat mengakibatkan kehilangan simpanan karbon lahan yang sangat besar. Yulianti (2009) menyebutkan bahwa 0.7-16.43 ton/ha biomasa yang tersimpan di kebun sawit. Akumulasi karbon biomassa terbesar terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda karbon biomasa terakumulasi pada pelepah. Suatu angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan simpanan karbon di hutan alam Jambi yang mencapai 348 ton/ha dan hutan bekas tebangan yang mencapai 196 ton/ha. Perubahan tutupan hutan menjadi kebun atau hutan tanaman, tidak dapat dilihat sebagai sifat perusak cadangan karbon hutan alam. Bila kebun dan hutan tanaman dibangun di lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon netto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Rehabilitasi gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) menjadi lahan perkebunan, dibandingkan dengan konversi hutan gambut (dengan simpanan karbon 200 t/ha dan kedalaman drainase 0 meter), berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tCO2-e/ha/25 tahun (34 tCO2-e/ha/tahun), karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Belukar gambut yang dibiarkan tetap sebagai belukar gambut mengemisi sekitar 22 tCO2-e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan karet
atau
perkebunan
sawit,
tingkat
emisi
berturut-turut
menjadi
11 tCO2-e/ha/tahun,7 tCO2-e/ha/tahun, dan 30 tCO2-e/ha/tahun. Berarti bahwa rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut 11 tCO2-e/ha/tahun dan 15 tCO2-e/ha/tahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi perkebunan kelapa sawit hanya menambah
107
emisi 8 tCO2-e/ha/tahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO2 netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009). Pola deforestasi yang disebabkan oleh perkebunan, dapat diketahui oleh siklus. Sekitar 46% kebun sawit dikuasai oleh rakyat. Dengan siklus hidup 30 tahun dan waktu persiapan berbuah 5 tahun maka pada tahun ke-30 akan terjadi perbaruan tanaman. Bila perusahaan tersebut tidak taat hukum dan cenderung untuk meningkatkan pendapatan dengan sedikit korbanan waktu dan biaya maka dalam kurun waktu 25 tahun, perusahaan kebun sawit akan mencari lahan baru untuk dibuka menjadi kebun. Bila hal ini dibiarkan maka perambahan lahan hutan untuk kebun akan makin tinggi. 6.4 Perdagangan Karbon dan skenario REDD REDD adalah suatu skema kompensasi jasa negara-negara berkembang dalam menjaga hutan sebagai penyerap gas-gas rumah kaca di atmosfer terutama CO2. Jasa lingkungan ini terbagi atas dua yakni sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Hutan dapat berfungsi sebagai penyerap jika proses fotosintesis terus berlangsung. Dan hutan akan berfungsi sebagai penyimpan jika biomasa hutan tidak dimusnahkan dan hanya dialih bentuk ke berbagai produk berbasis biomasa. Pendugaan kandungan karbon dalam biomasa hutan telah banyak dilakukan. Nilai konversi karbon dari biomasa ditetapkan oleh Brown adalah setengah dari biomasa
pohon.
Meski beberapa
penelitian
lain
mengatakan
berbeda.
Semakin tinggi nilai konversi maka semakin tinggi nilai serapan CO2 namun juga semakin kecil kemungkinan untuk mengeksploitasi hutan untuk keperluan pembangunan. Meski nilai serapan CO2 tinggi, namun tidak disertai dengan tinggi nilai jual karbon. Rendahnya nilai jual karbon disinyalir sebagai faktor penghambat utama negara-negara dengan hutan tropis menjual jasa karbon
108
dibandingkan menjual kayu sebagaimana BAU. Penelitian ini dalam menentukan basis karbon menggunakan skenario BAU bersama dengan basis kredit untuk tanggung jawab bersama tetapi dengan tanggungan berbeda. Metode ini dikenali dengan pemberian jatah DAF (Development Adjusment Factor). Untuk menghindari resiko kebocoran, maka additionality project dihitung dari baseline ditambah DAF. Dengan kisaran harga karbon 5 US$ saja, simulasi skenario REDD untuk menahan laju penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebanyak 30% dari BAU masih belum memberikan income hasil usaha REDD+ yang positif. Bahkan, bila simulasi dilakukan di masing-masing fungsi, angka positif angka terbentuk jika moratorium di atas 50%. Income REDD akan positif bila luas penggunaan dan pemanfaatan hutan produksi ditahan sebanyak 70%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa menaikkan harga karbon menjadi 35US$ tidak memberikan income REDD+ positif bila hanya menurunkan laju penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebesar 30%. Namun, bila hutan produksi dilaksanakan kebijakan moratorium sampai dengan 70% hanya untuk mendapatkan income REDD+, maka usaha lain yang menggunakan kawasan ini semakin terbatas. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya pendapatan secara keseluruhan. Selain pendapatan secara makro, pendapatan masyarakat yang selama ini timbul akibat bisnis penggunaan hutan produksi seperti HPH akan semakin kecil. Bila di semester 2 tahun 2009 pendapatan daerah dari sektor pengusahaan hutan produksi berupa SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) mencapai Rp.
2.175.222.101,60 dan
DR mencapai USD 437.220,32 atau mencapai Rp. 6.110.204.981,60 pada kurs rupiah 9000 harus dikurangi sebanyak 70% untuk mendapatkan income 1,35 milyar USD dari REDD+ maka perkiraan pendapatan dari pengusahaan hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah. Pendapatan REDD+ belum menjawab permasalahan yang selanjutnya timbul yakni tentang pasokan kebutuhan kayu untuk pembangunan dan bagaimana usaha masyarakat selanjutnya dengan REDD+. Berdasarkan BPS (2009), jumlah angkatan kerja provinsi Jambi di tahun 2008 mencapai 1.290.854 orang. 688.541 orang di antaranya bekerja di sektor pertanian dan masih terdapat
109
892 orang yang masih mencari peluang kerja di sektor ini. Jadi, bila REDD+ dijalankan dengan skenario kebijakan moratorium hutan produksi maka peluang angka pengangguran lebih tinggi dari 1.290.854 orang mengingat laju pertumbuhan penduduk di provinsi Jambi mencapai 1.68%. Untuk itu, terkait dengan pelaksanaan REDD+, baiknya tidak menjalankan kebijakan skenario moratorium kawasan hutan di hutan produksi, namun mungkin di hutan konservasi dan hutan lindung dengan asumsi penetapan REL sebesar laju kehilangan simpanan karbon di kedua fungsi hutan tersebut. Sampai sekarang ini, masih terdapat perdebatan tentang metode penentuan basis atau baseline pembayaran upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Menggiring deforestasi dan degradasi hutan menjadi isu utama dalam perubahan iklim merupakan suatu upaya menyerahkan tanggung jawab negara-negara industri yang masuk dalam Annex I Protokol Kyoto. Negara-negara Annex I berkewajiban menurunkan tingkat emisi yang telah dikeluarkan. Penurunan emisi dapat ditempuh dengan membeli kredit karbon dan dengan perbaikan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya energi fosil. Hal ini kini berbalik, ketika negara-negara tersebut mempertanyakan basis pembayaran dan ketakutan terjadinya kebocoran serta tanggung jawab negara-negara pemilik hutan untuk membayar kompensasi atas kebocoran yang disebut dengan liability. Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum project dengan faktor
konversi pencegahan deforestasi dan degradasi.
Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Additionality = Luas Lahan REDD – (Luas Lahan BAU x faktor konversi)
110
Penentuan faktor konversi didasarkan pada keinginan buyer atau pembeli kredit karbon dari negara-negara Annex I. Bila tingkat emisi tahunan negara yang diperbolehkan untuk “carbon offset” adalah X juta ton/tahun, maka faktor konversi adalah dihitung dengan luas lahan dengan jumlah simpanan karbon lahan sebesar X juta ton dibagi luas total lahan hutan Y ha di negara berkembang. Bila ditetapkan adalah sebesar x ha/tahun, maka additionality yang harus dikompensasi adalah nilai seluas x hektar tersebut. Tidak semua nilai emisi yang dihasilkan negara pembeli jasa dapat dikompensasi dengan REDD+. Skema REDD+ baiknya peruntukkan untuk menambah
nilai serapan emisi,
dan bukan satu-satunya
skema
yang
membersihkan emisi yang dikeluarkan. Bila emisi negara tersebut berasal dari sektor industry, maka sebelum diturunkan lewat REDD+, perlu dilakukan efisiensi penggunaan bahan bakar, penggunaan teknologi yang low carbon dan metode lain sehingga sumbangan emisi sangat rendah. Penentuan basis lahan tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah di negara penyedia jasa karbon, karena belum tentu pembelian jasa karbon akan memberikan tambahan income bagi negara tersebut bila diusahakan sebagaimana BAU. Untuk itu, penentuan nilai karbon didasarkan pada indeks multiplier effect total kegiatan yang mungkin diperoleh bila BAU dijalankan. Sebagai contoh, menurut Syahza (2005), nilai multiplier effect dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 248,00 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa. Harga karbon harus mampu membayar minimal sama dengan usaha perkebunan yang akan dibangun jika project perdagangan emisi tidak ada. Bila project REDD akan dilaksanakan dengan luas 100 hektar, maka untuk menghitung harga karbon adalah (jumlah petani yang dibutuhkan dalam 100 hektar kebun kelapa sawit x 2,48 x gaji setiap bulan) + (jumlah sektor bisnis terkait x income bersih x 2,48). Atau nilai karbon tersertifikasi adalah nilai yang harusnya dikeluarkan melalui upaya penghematan penggunaan teknologi atau alih tekonologi yang low carbon. Sirkulasi pembagian hasil jual jasa serapan emisi haruslah disesuaikan dengan lalu lintas bisnis sebagaimana BAU. Hal ini dikarenakan, instrument yang
111
kini tersedia lebih akrab dengan BAU. Sertifikasi hanya dilakukan pada nilai kredit karbon yang akan dibeli dan tidak pada institusi pengelola. Sehingga yang harus dilakukan adalah memetakan lalu lintas BAU untuk diaplikasikan dalam REDD. Untuk memperpendek jalur birokrasi maka perlu membatasi stakeholder lain. Stakeholder lain seperti lembaga sertifikasi, verifikasi, validasi perlu dibatasi sehingga income REDD bias tinggi bagi negara penyedia jasa REDD+. Baiknya, proses sertifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan oleh negara pembeli (buyer) dalam luasan yang ditentukan dan tidak menjadi kewajiban tunggal bagi negara penyedia jasa REDD+. Hal ini dipandang penting, karena ketika negara penyedia REDD+ yang harus dikontrol namun negara pengemisi bebas melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer maka project penurunan emisi sulit tercapai.
112
7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1.
Kebijakan penggunaan dan pemanfaatan hutan dapat mengakibatkan perubahan simpanan karbon yang ada di hutan. Kebijakan dikendalikan oleh interaksi antara stakeholder dan kawasan hutan.
2.
Laju deforestasi kawasan hutan Jambi pada skema BAU mencapai 45.571 ha/tahun. Penerapan skenario REDD+ dapat menurunkan laju deforestasi antara 25.997– 41.256 ha/tahun.
3.
Degradasi hutan Jambi mencapai 15.859 Mt/ha. Penerapan skenario REDD+ dapat menurunkan laju degradasi sekitar 9.045-14.357 Mton/tahun.
4.
Skenario REDD+ dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan BAU sebanyak 70% akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 – 1,36 milyar US$.
5.
Skenario moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak memberikan nilai tambah Income REDD+ yang signifikan. Bila moratorium dilakukan secara bersamaan dengan fungsi hutan porduksi maka akan meningkatkan Income REDD+ menjadi 0,63– 2,63 milyar US$.
6.
Nilai income REDD+ yang terdapat pada point 4 dan 5 tidak merupakan referensi pilihan terbaik dalam manajemen hutan, namun hanya merupakan tinjauan konsekuensi bila skenario REDD+ dilaksanakan. Nilai karbon hanya sebagian kecil dari sejumlah jasa lingkungan hutan.
7.2 Saran 1. Perlu studi lanjutan tentang optimasi pemanfaatan hasil hutan secara keseluruhan berdasarkan fungsi kawasan. 2. Moratorium penggunaan kawasan hutan sebagai skenario REDD+ baiknya dilaksanakan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, dengan asumsi penetapan REL didasarkan pada rata-rata kehilangan simpanan karbon di kedua fungsi hutan tersebut.
114
DAFTAR PUSTAKA Agus F, Runtunuwu E, June T, Susanti E, Komara H, Syahbuddin H, Las I Dan Van Noorwijk M. 2009. Carbon Dioxide Emission In Land Use Transitions To Plantation. Jurnal Litbang Pertanian 28(4) Almulqu AA. 2008. Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) terhadap potensi kandungan karbon dalam tanah di hutan alam tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana ,Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan Aminudin S. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) .[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana ,Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan Angelsen A dan Kanounnikoff SW. 2008 What are the key design issues for REDD and the criteria for assessing options?. Angelsen (Ed) . Moving Ahead with REDD: Issues, Options and Implications. CIFOR Brown, S., 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests. FAO, Forestry Paper 134. A Forest Resources Assessment Publication, Rome. Pp, 1 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jambi Dalam Angka tahun 2009. BPS-Jambi Budiharto. 2009. Penentuan Rujukan Dan Skenario Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan Di Indonesia. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2007 (Semester 1). Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2007 (Semester 2). Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2008 (Semester 1). Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2008 (Semester 2). Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2009 (Semester 1). Jambi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Statistik Kehutanan Provinsi Jambi Tahun 2009 (Semester 2). Jambi Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman Kemenhut. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Gedung Manggala Wanabakti. Jakarta Effendi, E. 2009. Moratorium Pemanfaatan Hutan Butuh Rp 75,24 T. Harian Ekonomi Neraca. www.greenconomics.org [9 Februari 2010]
116
Effendi, E. 2010. Ekspansi Pertambangan Dapat Konsesi 2,2 Juta Hektar Hutan : Diprediksi 550-850 Juta Ton Karbon Terlepas. Harian Ekonomi Neraca. Www.Greenconomics.Org [9 Februari 2010] Elias. 2009. Handout Pemanenan Hasil Hutan Lanjutan. Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) Sepertamenen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010: Main Report. Forestry Paper No. 163 [FWI] Forest Watch Indonesia. 2003. Keadaan Hutan Indonesia. www.fwi.org [16 September 2009] Grant JW, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management : System Analysis and Simulation. John-Wiley & Sons Inc. Canada Gumay
D. 2008. Dua Tahun Moratorium Logging. http://dewagumay.wordpress.com /2009/06/10/dua-tahun-moratoriumlogging/ [16 Nopember 2010]
Hidayat H. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta [ICRAF] World Agroforestry Center. 2010. Pendugaan Cadangan Karbon Pada Skema LULUCF. Bogor. Tidak Diterbitkan [IPCC] International Panel on Climate Change. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 4: Agriculture, Forestry and Other Land Use. Kartodihardjo H dan Supriyono A. 2000. Dampak pembangunan sektoral terhdap konversi dan degradasi hutan alam: Kasus pembangunan HTI dan Perkebunan di Innodnesia. Occasional paper 26(1) CIFOR [Kemenhut] Kemenhut. 2007. Daftar Rendemen Kayu Olahan (Sumber: Lampiran Surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Nomor : S. 948/VI-BPPHH/2004 Tanggal : 26 Oktober 2004. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/904 [10 Oktober 2010] [Kemenhut] Kemenhut. 2008. Eksekutif Data Strategi Kehutanan. Jakarta [Kemenhut] Kemenhut. 2008. Perhitungan Deforestasi Indonesia Tahun 2008. Pusat Informasi dan Perpetaan Hutan Badan planologi Kehutanan. Gedung Manggala Wanabakti - Jakarta [Kemenhut] Kemenhut. 2008. Jakarta
Statistik Departemen Kehutanan Tahun 2008.
[Kemenhut] Kemenhut. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. [Kemenhut] Kemenhut. 2010. Nomor : P.08/Menhut-Ii/2010 Tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Jakarta
117
Klassen AW. 2010. Reduced-Impact Logging: Make it Works. Tropical Forest Foundation. Jakarta Lasco Rd, Macdicken Kg, Pulhin FB, Guillermo Iqr. Sales F Dan Cruz R. V. O. (2006). Carbon Stocks Assessment Of A Selectively Logged Dipterocarp Forest And Wood Processing Mill In The Philippines. Journal Of Tropical Forest Science 18(4): 166–172 (2006) Lund, H. Gyde. 2007. Definitions of old growth, pristine, climax, ancient forests,degradation, desertification, forest fragmentation, and similar terms. [Online publication], Gainesville, VA: Forest Information Services. Misc. pagination. http://home.comcast.net/~gyde/pristine.htm Lund,
H. Gyde (coord.) 2008. Definitions of Forest, Deforestation, Afforestation,and Reforestation. [Online] Gainesville, VA: Forest Information Services. Available from: http://home.comcast.net/~gyde/DEFpaper.htm. Misc.pagination
Masripatin, N. 2007. Apa itu REDD. www.dephut.go.id. 29 agustus 2009 Mindawati N, Indrawan A, Mansur I dan Rusdiana O. 2010. Kajian Pertumbuhan Tegakan Hybrid Eucaliptus urograndis di Sumatra Utara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman (7): 39-50 Motel PC, Pirard R dan Comber JL. 2009. Analysis: A methodology to estimate impacts of domestic policies on deforestation: Compensated Successful Efforts for “avoided deforestation” (REDD). Ecological Economic 68: 68-0-691 Murdiyarso M, Skutsch M, Guariguata M, Kanninen M, Luttrell C, Verweij V, Stella. 2008. Measuring And Monitoring Forest Degradation For REDD: Implications Of Country Circumstances. Info Brief. CIFOR. Novita N. 2010. Potensi karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Onrizal. 2004. Model penduga biomasa dan karbon tegakan hutan kerangas di taman nasional danau sentarum, Kalimantan barat. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Pinard MA dan Cropper WP. 2000. Simulated Effects of Logging on Carbon Storage in Dipterocarp Forest. Journal of Applied Ecology (37): 267283 Portela R. dan Rademacher I. 2001. A Dynamic Model of Patterns of Deforestation and Their Effect on the Ability of the Brazilian Amazonia to Provide Ecosystem Services. Ecological Modelling143: 115-146 Prasetyo EE. 2009. Laju Kerusakan Hutan Jambi 24.000 Hektar Per Tahun. http://regional.kompas.com/ read/ xml/2009/11/24/20035769/ laju.kerusakan.hutan.jambi.24.000.hektar.per.tahun [ 4 April 2010] Priyadi H. 2009. Towards Sustainable Forest Management by Implementation of Reduced-Impact Logging (RIL) Techniques in Indonesia with
118
References in Kalimantan. http://www.cifor.cgiar.org/Knowledge/Publications/Detail?pid=3082 Putz FE, Sist P, Fredericksen T dan Dykstra D. 2008. Reduced-Impact Logging: Challenges and Opportunities. Forest Ecology and Management 256 (2008) 1427-1433 Rahayu S, Lusiana B dan van Noordwijk M. 2005. Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai system penggunaan lahan di kabupaten Nunukan, Kalimantan timur. ICRAF Rizon M. 2005. Profil Kandungan Karbon pada setiap fase pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat menjadi repong damar. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Rochmayanto Y. 2009. Perubahan kandungan karbon dan nilai ekonominya pada konversi hutan rawa gambut menjadi hutan tanaman industri pulp. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Sahardjo, B.H. 2009. State Of The Art Indonesian REDD. Makalah disampaikan dalam AKECOP Forum on REDD in ASEAN Region Agricultural University Bogor, Indonesia. 14-15 Oktober 2009 Samsoedin I. 2006. Dinamika Luas Bidang Dasar Pada Hutan Bekas Tebangan di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol (III) Nomor 3 Soedomo, S. 2010. Karbon Dalam Rantai Suplai Kayu. Prosiding Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam Kawasan Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. Bogor Sorel D. 2007. Potensi Sistem Agroforestry untuk Kegiatan Proyek Karbon Kehutanan di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Syahza A. 2004. Dampak Kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Di Kabupaten Siak. Jurnal Pembangunan Pedesaan, Universiras Jenderal Soedirman (4) 2 Syahza A. 2004. Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan Di Daerah Riau. Jurnal Ekonomi, Th.X/03/November/2005 Suyamto D A dan Van Noordwijk M. 2005. Studi skenario tata guna lahan di Nunukan Kalimantan Timur (Indonesia): Faktor penyebab, sumber penghidupan local dan cadangan karbon yang relevan secara global Syumada,
R. 2010. Mengapa Harus Jeda Tebang?. http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logginga-forest-conversion/73-mengapa-harus-jeda-tebang.html. [16 Februari 2010]
119
Tacconi L. 2008. Commentary: Compensated successful efforts for avoided deforestation vs compensated reductions. Ecological Economics 68 (2009) 2469–2472 Tresnawan H dan Rosalina U. 2002. Pendugaan Biomasa Di Atas Tanah Di Ekosistem Hutan Primer Dan Hutan Bekas Tebangan (Studi Kasus Hutan Dusun Aro, Jambi). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VIII No. 1 : 15-29 (2002) Artikel (Article) Trop. For. Manage. J. VIII (1) : 15-29 (2002) [UNFCCC] United Nation Framework Convention on Climate Change. 2009. Submission of the United States of America Reducing Emissions and Enhancing Removals from Forests and Land Use http://unfccc.int/files/kyoto_protocol/application/pdf/usa290509.pdf [1 Februari 2010] Wahjono J. 2007. Pertumbuhan dan Riap Tegakan Tinggal di Beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan. Vol (IV) Nomor 5. Wardojo, W. 2009. HUTAN PRODUKSI DAN REDD: Pembelajaran dari Program Karbon Hutan Berau. http://www.dephut.go.id/files/HP_dan_REDD_Pak_Wahjudi.pdf [16 Februari 2010] Widayati A, Ekadinata A, Syam R. 2005. Alih Guna Lahan Di Kabupaten Nunukan: Pendugaan Cadangan Karbon Berdasarkan Tipe Tutupan Lahan Dan Kerapatan Vegetasi Pada Skala Lanskap Di dalam : Lusiana B, van Noordwijk M, Rahayu S, editor. Cadangan Karbon Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial Dan Pemodelan. Bogor, Indonesia : World Agroforestry Centre – ICRAF Widyasari NAE. 2010. Pendugaan Biomasa dan potensi karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan gambut merang bekas terbakar di Sumatera Selatan.[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana ,Institut Pertanian Bogor. Bogor Yulianti N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Hutan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV. AJAMU, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. [Tesis] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan
120
117
Lampiran 1. Laju Deforestasi Pada Kawasan Hutan Tetap LAJU DEFORESTASI (Ha/Tahun) SKENARIO REDD+ Tahun BAU 30% 50% 1 595263.3 416058.6 296588.8 2 465787.1 325263.3 231580.8 3 314342.2 283803.5 201812.4 4 110078 258885.1 183853.7 5 22811.45 151205.7 291498.3 6 6201.9 33960.9 22866.75 7 2276.17 20789.51 85764.44 8 58028.91 46037.36 46233.88 9 3753.11 3883.96 4664.43 10 5122.69 3553.24 4751.23 11 5196.78 3213.42 4226.46 12 5273.84 3134.45 3701.94 13 5354.07 3134.34 3177.68 14 5437.7 3158.49 2653.68 15 5524.99 3190.6 2129.96 16 5616.18 3225.77 1606.53 17 5711.6 3262.55 1083.39 18 5811.58 3300.59 560.54 19 5916.48 3339.77 38.01 20 6026.73 3380.13 484.2 21 6142.78 3421.7 1006.08 22 6265.19 3464.54 1527.63 23 6394.52 3003.97 2048.82 24 6531.48 2509.95 2569.64 25 6676.83 2017.43 3090.1 26 6831.44 1526.45 3610.16 27 6996.38 1037.14 4129.83 28 7172.81 549.57 4649.08 29 7362.14 63.86 5167.9 30 7566 419.89 5686.27 Rata-rata 56915.81 53126.53 47425.42
70% 177119.1 137898.4 119821.5 108827 240498.4 11792.67 49312.5 25373.36 208.01 32.17 502.52 1037.16 1571.74 2106.29 2640.78 3175.22 3709.62 4243.95 4778.24 5312.47 5846.65 6380.76 6914.84 7448.84 7982.78 5879.88 7064.7 7070.53 7076.43 7082.4 32290.29
118
Lampiran 2. Laju Degradasi Pada Kawasan Hutan Tetap LAJU DEGRADASI (Ton/Tahun) SKENARIO REDD+ Tahun BAU 30% 50% 1 207,151,622 144,788,398 103,212,916 2 162,093,900 113,191,631 80,590,131 3 109,391,088 98,763,630 70,230,727 4 38,307,158 90,092,004 63,981,081 5 7,938,384 52,619,599 101,441,394 6 2,158,264 11,818,395 7,957,628 7 792,105 7,234,749 29,846,027 8 20,194,061 16,021,000 16,089,391 9 1,306,084 1,351,620 1,623,220 10 1,782,698 1,236,525 1,653,429 11 1,808,479 1,118,270 1,470,808 12 1,835,295 1,090,789 1,288,275 13 1,863,216 1,090,749 1,105,832 14 1,892,321 1,099,158 923,482 15 1,922,695 1,110,329 741,228 16 1,954,432 1,122,565 559,072 17 1,987,638 1,135,370 377,018 18 2,022,429 1,148,605 195,069 19 2,058,935 1,162,241 13,228 20 2,097,301 1,176,285 168,502 21 2,137,689 1,190,751 350,117 22 2,180,285 1,205,659 531,614 23 2,225,295 1,045,382 712,989 24 2,272,955 873,464 894,237 25 2,323,534 702,063 1,075,354 26 2,377,344 531,206 1,256,337 27 2,434,740 360,924 1,437,180 28 2,496,138 191,251 1,617,879 29 2,562,023 22,223 1,798,428 30 2,632,967 146,121 1,978,823 Rata-rata 19,806,702 18,488,032 16,504,047
70% 61,637,434 47,988,643 41,697,865 37,871,798 83,693,427 4,103,848 17,160,750 8,829,932 72,385 11,195 174,876 360,930 546,968 732,988 918,992 1,104,978 1,290,946 1,476,896 1,662,827 1,848,740 2,034,633 2,220,507 2,406,362 2,592,196 2,778,010 2,046,196 2,458,515 2,460,545 2,462,598 2,464,673 11,237,022
119
Lampiran 3. Laju Deforestasi Pada Setiap Fungsi Hutan LAJU DEFORESTASI TAHUN
BAU HK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RATARATA
30%
HL
HP
HK
HL
50% HP
HK
70%
HL
HP
HK
HL
HP
453
-
594,810
317
-
415,742
226
-
296,362
136
-
176,983
64,883
-
400,904
64,708
-
260,555
64,591
-
166,990
64,474
-
73,424
127,154
17,018
204,206
121,736
17,203
179,270
118,124
13,799
97,487
114,512
10,395
15,704
29,770
28,247
108,555
20,826
19,773
257,832
14,870
14,124
183,107
8,919
8,474
108,383
1,957
21,394
540
1,327
14,976
134,903
929
10,697
279,873
546
6,418
233,534
2,358
4,384
540
1,596
3,069
29,296
1,116
2,192
19,559
656
1,315
9,822
2,736
80
540
1,849
56
18,885
1,291
40
84,433
758
24
48,531
4,096
54,473
540
2,780
38,131
5,126
1,948
27,237
17,050
1,147
16,342
7,885
4,293
-
540
2,886
-
998
2,009
-
2,656
1,176
-
968
453
-
540
317
-
240
226
-
2,116
136
-
1,507
23,815
12,560
131,172
21,834
9,321
130,285
20,533
6,809
114,963
19,246
4,297
67,674
119
120
Lampiran 4. Simulasi Income REDD Berdasarkan Tingkat Harga Karbon (Us$/Ton) di Semua Fungsi Hutan ( Juta US$) SIMULASI HARGA KARBON PADA STANDAR CCB TAHUN
5 10 15 20 25 30 35 RATA-RATA 5 TAHUN
5 US$
10 US$
35 US$
30%
50%
70%
30%
50%
70%
30%
50%
70%
349 -136 -167 -198 -228 -238 -225 -121
2,654 1,227 1,168 1,151 1,175 1,241 1,347 1,423
5,896 4,447 4,470 4,552 4,693 4,661 4,503 4,746
1,054 -412 -504 -598 -688 -718 -678 -363
8,005 3,701 3,524 3,472 3,545 3,742 4,063 4,293
17,784 13,412 13,481 13,729 14,155 14,057 13,583 14,314
2,463 -962 -1,179 -1,397 -1,608 -1,678 -1,585 -849
18,708 8,648 8,235 8,114 8,285 8,745 9,495 10,033
41,558 31,342 31,504 32,083 33,079 32,850 31,742 33,451
Lampiran 5. Simulasi Income REDD+ Pada Setiap Fungsi Pada Standar CCB (milyar US$) HUTAN KONSERVASI HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI Periode 30% 50% 70% 30% 50% 70% 30% 50% 70% 5
(0.46)
0.16
0.81
0.16
-0.66
0.45
0.81
-0.42
2.8
10
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.78
-0.83
0.79
-0.53
1.48
15
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.78
-0.85
0.79
-0.53
1.54
20
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.78
-0.82
0.79
-0.53
1.65
25
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.78
-0.75
0.79
-0.53
1.83
30
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.78
-0.64
0.79
-0.53
1.83
35
(0.48)
0.14
0.79
0.14
-0.66
-0.48
0.79
-0.43
1.71
Rata-rata 5 tahunan
(0.48)
0.14
0.80
0.14
(0.75)
(0.56)
0.79
(0.50)
1.83
Lampiran 6. Simulasi Income REDD+ Pada Setiap Fungsi Pada Standar Carbon Fix (milyar US$) HUTAN KONSERVASI HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI Periode 30% 50% 70% 30% 50% 70% 30% 50% 70% 5
(0.40)
0.14
0.71 (0.80)
(0.57)
(0.37)
(0.85)
0.39
2.44
10
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.16)
(0.72)
1.29
15
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.16)
(0.74)
1.34
20
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.15)
(0.71)
1.44
25
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.14)
(0.65)
1.59
30
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.11)
(0.56)
1.60
35
(0.42)
0.12
0.69 (0.89)
(0.68)
(0.46)
(1.06)
(0.42)
1.49
(0.42)
0.12
0.69
(1.09)
(0.49)
1.60
Rata-rata 5 tahunan
(0.88)
(0.67)
(0.45)
Lampiran 7. Simulasi Income REDD+ Pada Setiap Fungsi Pada Standar Plan Vivo (milyar US$) HUTAN KONSERVASI HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI Periode 30% 50% 70% 30% 50% 70% 30% 50% 70% 5
(0.44)
0.15
0.77 (0.87)
(0.62)
(0.40)
(0.92)
0.42
2.66
10
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.26)
(0.79)
1.40
15
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.26)
(0.80)
1.46
20
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.25)
(0.78)
1.57
25
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.24)
(0.71)
1.73
30
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.21)
(0.61)
1.74
35
(0.46)
0.13
0.75 (0.97)
(0.74)
(0.50)
(1.15)
(0.46)
1.62
Rata-rata 5 tahunan
(0.45)
0.14
0.75
(1.19)
(0.53)
1.74
(0.96)
(0.73)
(0.49)
Lampiran 8. Simulasi Income REDD+ Pada Setiap Fungsi Pada Standar Voluntary Carbon AFOLU (1 milyar US$) REDD+ 30% REDD+ 50% REDD+ 70% Periode HK HL HP HK HL HP HK HL HP 5
(0.46)
0.16
0.81
(0.92)
(0.66)
(0.42)
(0.97)
0.45
2.80
10
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.33)
(0.83)
1.48
15
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.33)
(0.85)
1.54
20
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.32)
(0.82)
1.65
25
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.31)
(0.75)
1.83
30
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.28)
(0.64)
1.83
35
(0.48)
0.14
0.79
(1.02)
(0.78)
(0.53)
(1.22)
(0.48)
1.71
(0.48)
0.14
0.80
(1.01)
(0.77)
(0.51)
(1.25)
(0.56)
1.84
Rata-rata 5 tahunan
127
Lampiran 9. Spesifikasi Model Kuantitatif 1.
Dinamika Perubahan Landscape Jambi BAU
KebunKopiTNKS(t) = KebunKopiTNKS(t - dt) + (PerambahanTNKS REDDHK) * dtINIT KebunKopiTNKS = 0 INFLOWS: PerambahanTNKS = (LuasTNKS/LuasHKonservasi)*(LajuPerambah*2) OUTFLOWS: REDDHK = PerambahanTNKS*Skenario_REDD LuasAPL(t) = LuasAPL(t - dt) + (TranstoAPL) * dtINIT LuasAPL = 2920560+LuasTrans INFLOWS: TranstoAPL = LuasTrans*0 LuasHKonservasi(t) = LuasHKonservasi(t - dt) + (REDDHK + REDDMUTASI_HK - MutasiOutHKtoHP - MutasiOutHK - PerambahanTNKS) * dtINIT LuasHKonservasi = 676130 INFLOWS: REDDHK = PerambahanTNKS*Skenario_REDD REDDMUTASI_HK = Skenario_REDD*MutasiOutHK OUTFLOWS: MutasiOutHKtoHP = GRAPH(TIME ) (1.00, 0.00), (2.00, 64299), (3.00, 109095), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) MutasiOutHK = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 17185), (4.00, 28247), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 720), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) PerambahanTNKS = (LuasTNKS/LuasHKonservasi)*(LajuPerambah*2) LuasHL(t) = LuasHL(t - dt) + (MutasiOutHK + MutasiInHL + PinjamInHK + REDDHL - PinjamOutHL - REDDMUTASI_HK) * dtINIT LuasHL = 191130 INFLOWS: MutasiOutHK = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 17185), (4.00, 28247), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 720), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) MutasiInHL = GRAPH(TIME ) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 5290), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00) PinjamInHK = if time>30 then 0*LuasTambang else 0
128
REDDHL = PinjamOutHL*Skenario_REDD OUTFLOWS: PinjamOutHL = GRAPH(TIME) (0.00, 0.00), (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 167), (4.00, 0.00), (5.00, 21394), (6.00, 4384), (7.00, 80.0), (8.00, 55193), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) REDDMUTASI_HK = Skenario_REDD*MutasiOutHK LuasHP(t) = LuasHP(t - dt) + (MutasiOutHKtoHP + ReboisasiHP + REDDHPTrans + REDDHPH + REDDKebun + REDDHPK - MutasiInHL MutasiInLuasHPK - LepasluasHPToTrans - AlokasiluasHPkeKebun alokasiluasHPkHPH) * dtINIT LuasHP = 1312180 INFLOWS: MutasiOutHKtoHP = GRAPH(TIME ) (1.00, 0.00), (2.00, 64299), (3.00, 109095), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) ReboisasiHP = (539.6*time+1546) REDDHPTrans = LepasluasHPToTrans*Skenario_REDD REDDHPH = alokasiluasHPkHPH*Skenario_REDD REDDKebun = AlokasiluasHPkeKebun*Skenario_REDD REDDHPK = MutasiInLuasHPK*Skenario_REDD OUTFLOWS: MutasiInHL = GRAPH(TIME ) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 5290), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00) MutasiInLuasHPK = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 4076), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00), (6.00, 2860), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) LepasluasHPToTrans = (if time=7 then 45808 else 0) AlokasiluasHPkeKebun = GRAPH(TIME ) (0.00, 17881), (1.00, 51337), (2.00, 22338), (3.00, 76489), (4.00, 45274), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 18116), (10.0, 18116) alokasiluasHPkHPH = GRAPH(TIME ) (0.00, 545559), (1.00, 545559), (2.00, 445490), (3.00, 328349), (4.00, 328349), (5.00, 792594), (6.00, 45825), (7.00, 133705), (8.00, 45825), (9.00, 0.00) LuasHPH(t) = LuasHPH(t - dt) + (alokasiluasHPkHPH - AlokasiluasHPHkHTI ReboisasiHP - REDDHPH) * dtINIT LuasHPH = 0 INFLOWS: alokasiluasHPkHPH = GRAPH(TIME )
129
(0.00, 545559), (1.00, 545559), (2.00, 445490), (3.00, 328349), (4.00, 328349), (5.00, 792594), (6.00, 45825), (7.00, 133705), (8.00, 45825), (9.00, 0.00) OUTFLOWS: AlokasiluasHPHkHTI = GRAPH(TIME ) (0.00, 12100), (1.00, 18038), (2.00, 21017), (3.00, 19027), (4.00, 13260), (5.00, 23007), (6.00, 16294), (7.00, 15569), (8.00, 26134), (9.00, 15012), (10.0, 25337) ReboisasiHP = (539.6*time+1546) REDDHPH = alokasiluasHPkHPH*Skenario_REDD LuasHPK(t) = LuasHPK(t - dt) + (MutasiInLuasHPK - LepasHPK_ke_Trans REDDHPK) * dtINIT LuasHPK = MutasiInLuasHPK INFLOWS: MutasiInLuasHPK = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 4076), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00), (6.00, 2860), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) OUTFLOWS: LepasHPK_ke_Trans = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 0.00), (4.00, 2712), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 4224), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) REDDHPK = MutasiInLuasHPK*Skenario_REDD LuasHTI(t) = LuasHTI(t - dt) + (AlokasiluasHPHkHTI) * dtINIT LuasHTI = 0 INFLOWS: AlokasiluasHPHkHTI = GRAPH(TIME ) (0.00, 12100), (1.00, 18038), (2.00, 21017), (3.00, 19027), (4.00, 13260), (5.00, 23007), (6.00, 16294), (7.00, 15569), (8.00, 26134), (9.00, 15012), (10.0, 25337) LuasKebun(t) = LuasKebun(t - dt) + (AlokasiluasHPkeKebun - REDDKebun) * dtINIT LuasKebun = 0 INFLOWS: AlokasiluasHPkeKebun = GRAPH(TIME ) (0.00, 17881), (1.00, 51337), (2.00, 22338), (3.00, 76489), (4.00, 45274), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 18116), (10.0, 18116) OUTFLOWS: REDDKebun = AlokasiluasHPkeKebun*Skenario_REDD LuasTambang(t) = LuasTambang(t - dt) + (PinjamOutHL - PinjamInHK REDDHL) * dtINIT LuasTambang = 0 INFLOWS: PinjamOutHL = GRAPH(TIME)
130
(0.00, 0.00), (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 167), (4.00, 0.00), (5.00, 21394), (6.00, 4384), (7.00, 80.0), (8.00, 55193), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) OUTFLOWS: PinjamInHK = if time>30 then 0*LuasTambang else 0 REDDHL = PinjamOutHL*Skenario_REDD LuasTrans(t) = LuasTrans(t - dt) + (LepasHPK_ke_Trans + LepasluasHPToTrans - TranstoAPL - REDDHPTrans) * dtINIT LuasTrans = LepasHPK_ke_Trans INFLOWS: LepasHPK_ke_Trans = GRAPH(TIME) (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 0.00), (4.00, 2712), (5.00, 0.00), (6.00, 0.00), (7.00, 4224), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00) LepasluasHPToTrans = (if time=7 then 45808 else 0) OUTFLOWS: TranstoAPL = LuasTrans*0 REDDHPTrans = LepasluasHPToTrans*Skenario_REDD LuasTNKS = 422190 Skenario_REDD = 1 LajuPerambah = GRAPH(TIME) (0.00, 0.00), (1.00, 363), (2.00, 468), (3.00, 632), (4.00, 872), (5.00, 1052), (6.00, 1262), (7.00, 1457), (8.00, 1786), (9.00, 2251), (10.0, 2940) 2.
Landscape Jambi
LuasDaratanJambi = KebunKopiTNKS+LuasAPL+LuasHKonservasi+LuasHL+LuasHPH+LuasHTI+ LuasTambang+LuasHP+ LuasKebun C Stock Landscape KebunKopiTNKS(t) = KebunKopiTNKS(t - dt)INIT KebunKopiTNKS = 0 LuasAPL(t) = LuasAPL(t - dt)INIT LuasAPL = 2920560+LuasTrans LuasHKonservasi(t) = LuasHKonservasi(t - dt)INIT LuasHKonservasi = 676130 LuasHL(t) = LuasHL(t - dt)INIT LuasHL = 191130 LuasHP(t) = LuasHP(t - dt)INIT LuasHP = 1312180 LuasHPH(t) = LuasHPH(t - dt)INIT LuasHPH = 0 LuasHTI(t) = LuasHTI(t - dt)INIT LuasHTI = 0 LuasKebun(t) = LuasKebun(t - dt)INIT LuasKebun = 0 CStockHA = 348
131
CStockHTI = 157 CStockSemak = 16 CStock_Kopi = 4.2 CStokLOA = 189 C_Change_Landscape = C_HPH+C_HTI+C_Htn_Tetap+C_Kopi+C_Sawit+C_stock_APL+C_stock_Rebo i C_HPH = LuasHPH*CStokLOA C_HTI = if mod(time,5)=0 then 0 else CStockHTI*(LuasHTI*RealisasiPenanamanHTI) C_Htn_Tetap = (LuasHKonservasi+LuasHL+LuasHP)*CStockHA C_Kopi = KebunKopiTNKS*CStock_Kopi C_reboisasi = 0.47*biomasaReboisasi C_Sawit = If mod(time,30)=0 then 0 else LuasKebun*C_stock_Kebun C_stock_APL = LuasAPL*CStockSemak C_stock_Kebun = 16.43 C_stock_Reboi = C_reboisasi+ReboisasiHP RealisasiPenanamanHTI = 35/100 ReboisasiHP = (539.6*time+1546) 3.
Perubahan Luas Hutan Tetap
LuasHKonservasi(t) = LuasHKonservasi(t - dt)INIT LuasHKonservasi = 676130 LuasHL(t) = LuasHL(t - dt)INIT LuasHL = 191130 LuasHP(t) = LuasHP(t - dt)INIT LuasHP = 1312180 C_Stock_HA = 348 C_stock_Hutan_Tetap = C_terikat_HK+C_terikat_HL+C_terikat_HP C_terikat_HK = C_Stock_HA*LuasHKonservasi C_terikat_HL = LuasHL*C_Stock_HA C_terikat_HP = LuasHP*C_Stock_HA deforestasi = luasHtn2-Luas_Hutan_Tetap EmisiRata2 = 337599164 luasHtn2 = if time>=1 then Luas_Hutan_Tetap else 0 Luas_Hutan_Tetap = LuasHKonservasi+LuasHL+LuasHP ReferenceEmissionLevel = 20/100*EmisiRata2
132
4.
Pendugaan Pengurangan Emisi
add10% = if time=5 then (ADDREDD[Periode_2_10%]ADDREDD[Periode_1_10%])*Mr_CO2 else if time=10 then (ADDREDD[Periode_3_10%]ADDREDD[Periode_2_10%])*Mr_CO2 else if time=15 then (ADDREDD[Periode_4_10%]ADDREDD[Periode_3_10%])*Mr_CO2 else if time=20 then (ADDREDD[Periode_5_10%]ADDREDD[Periode_4_10%])*Mr_CO2 else if time=25 then (ADDREDD[Periode_6_10%]ADDREDD[Periode_5_10%])*Mr_CO2 else if time=30 then (ADDREDD[Periode_7_10%]ADDREDD[Periode_6_10%])*Mr_CO2 else if time=35 then (ADDREDD[Periode_8_10%]ADDREDD[Periode_7_10%])*Mr_CO2 else if time=40 then (ADDREDD[Periode_9_10%]ADDREDD[Periode_8_10%])*Mr_CO2 else if time=45 then (ADDREDD[Peirode_10_10%]ADDREDD[Periode_9_10%])*Mr_CO2 else 0 ADDREDD[Periode_1_10%] = if time=1 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_2_10%] = if time=5 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_3_10%] = if time=10 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_4_10%] = if time=15 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_5_10%] = if time=20 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_6_10%] = if time=25 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_7_10%] = if time=30 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_8_10%] = if time=35 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Periode_9_10%] = if time=40 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0 ADDREDD[Peirode_10_10%] = if time=45 then (C_stock_Hutan_Tetap*Skenario_REDD)-StockREL else 0
133
C_stock_Hutan_Tetap = C_terikat_HK+C_terikat_HL+C_terikat_HP DAF = 10/100 Mr_CO2 = 44/12 ReferenceEmissionLevel = 20/100*EmisiRata2 SerapanCO2 = add10% Skenario_REDD = 1 StockREL = ReferenceEmissionLevel+(ReferenceEmissionLevel*DAF) 5.
IncomeREDDTotal
BiayaAFOLU = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi_AFO LU]+SertifikatTonAFOLU else 0 BiayaCCB = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi]+ setifikattonCCB else 0 BiayaCF = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+SertifikattonCF else 0 BIayaPV = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+SertifikatTonP V else 0 BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU] = 12500 BiayaStandarAFOLU[Verifikasi_AFOLU] = 30000 BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU] = 0.04 BiayaStandarCF[Validasi_CF] = 2050 BiayaStandarCF[Verifikasi_CF] = 20500 BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF] = 0.68 BiayaStandarCTradeCCB[Validasi] = 12500 BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi] = 40000 BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi] = 0.04 BiayaStandarPV[Validasi_PV] = 12500 BiayaStandarPV[Verifikasi_PV] = 30000 BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV] = 0.3 HargaCTon = 5 IncomeAFOLU = (SerapanCO2*HargaCTon)-BiayaAFOLU IncomeCCB = (SerapanCO2*HargaCTon)-(BiayaCCB)
134
IncomeCF = (SerapanCO2*HargaCTon)-BiayaCF IncomePV = (SerapanCO2*HargaCTon)-BIayaPV SertifikatTonAFOLU = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*SerapanCO2 SertifikattonCF = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*SerapanCO2 SertifikatTonPV = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*SerapanCO2 setifikattonCCB = BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi]*SerapanCO2 6.
SkenarioREDDHL
ADDREDDHL = (C_HL*Skenario_REDD)-StockREL C_HL = CStockHA*LuasHL Mr_CO2_3 = 44/12 serapanCO2HL = ADDREDDHL*Mr_CO2_3 7.
SkenarioREDDHK
LuasHKonservasi(t) = LuasHKonservasi(t - dt)INIT LuasHKonservasi = 676130 ADDREDDHK = (C_HK*Skenario_REDD)-StockREL CStockHA = 348 C_HK = LuasHKonservasi*CStockHA Mr_CO2_4 = 44/12 serapanCO2HK = ADDREDDHK*Mr_CO2_4 Skenario_REDD = 1 StockREL = ReferenceEmissionLevel+(ReferenceEmissionLevel*DAF) 8.
SkenarioREDDHP
LuasHP(t) = LuasHP(t - dt)INIT LuasHP = 1312180 ADDREDDHP = (C_HP*Skenario_REDD)-StockREL CStockHA = 348 C_HP = LuasHP*CStockHA Mr_CO2_5 = 44/12 serapanCO2HP = ADDREDDHP*Mr_CO2_5 Skenario_REDD = 1 StockREL = ReferenceEmissionLevel+(ReferenceEmissionLevel*DAF)
135
9.
IncomeREDDHK
BiayaAFOLU_2 = if mod(time,5)=0 THEN BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi_AFO LU]+SertifikatTonAFOLU_2 else 0 BiayaCCB_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi]+setifik attonCCB_2 else 0 BiayaCF_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+SertifikattonCF _2 else 0 BIayaPV_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+SertifikatTonP V_2 else 0 IncomeAFOLUHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)BiayaAFOLU_2 ELSE 0 IncomeCCBHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)BiayaCCB_2 ELSE 0 IncomeCFHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)BiayaCF_2 ELSE 0 IncomePVHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HK*HargaCTon)BIayaPV_2 ELSE 0 SertifikatTonAFOLU_2 = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*serapanCO2HK SertifikattonCF_2 = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*serapanCO2HK SertifikatTonPV_2 = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*serapanCO2HK setifikattonCCB_2 = serapanCO2HK*BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi] 10. IncomeREDDHL BiayaAFOLU_3 = if mod(time,5)=0 THEN BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi_AFO LU]+SertifikatTonAFOLU_3 else 0 BiayaCCB_3 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi]+setifik attonCCB_3 else 0 BiayaCF_3 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+SertifikattonCF _3 else 0 BIayaPV_3 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+SertifikatTonP V_3 else 0
136
IncomeAFOLUHL = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HL*HargaCTon)BiayaAFOLU_3 ELSE 0 IncomeCCBHL = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HL*HargaCTon)BiayaCCB_3 ELSE 0 IncomeCFHL = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HL*HargaCTon)BiayaCF_3 ELSE 0 IncomePVHL = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HL*HargaCTon)BIayaPV_3 ELSE 0 SertifikatTonAFOLU_3 = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*serapanCO2HL SertifikattonCF_3 = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*serapanCO2HL SertifikatTonPV_3 = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*serapanCO2HL setifikattonCCB_3 = serapanCO2HL*BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi] 11. IncomeREDDHP BiayaAFOLU_4 = if mod(time,5)=0 THEN BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi_AFO LU]+SertifikatTonAFOLU_4 else 0 BiayaCCB_4 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi]+setifik attonCCB_4 else 0 BiayaCF_4 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+SertifikattonCF _4 else 0 BIayaPV_4 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+SertifikatTonP V_4 else 0 IncomeAFOLUhp = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HP*HargaCTon)BiayaAFOLU_4 ELSE 0 IncomeCCBHP = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HP*HargaCTon)BiayaCCB_4 ELSE 0 IncomeCFHP = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HP*HargaCTon)BiayaCF_4 ELSE 0 IncomePVHP = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanCO2HP*HargaCTon)BIayaPV_4 ELSE 0 SertifikatTonAFOLU_4 = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*serapanCO2HP SertifikattonCF_4 = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*serapanCO2HP SertifikatTonPV_4 = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*serapanCO2HP
137
setifikattonCCB_4 = serapanCO2HP*BiayaStandarCTradeCCB[Sertifikasi] 12. Interaksi Aktor HTI dishut = 1 hasil_interaksi_HTI = interaksi_STK*AlokasiluasHPHkHTI interaksi_STK = if dishut=1 and private=0 then 0 else if dishut=0 and private=1 then 1 else if dishut=0 and private=0 then 0 else 1 private = 1 AlokasiluasHPHkHTI = GRAPH(TIME ) (0.00, 12100), (1.00, 18038), (2.00, 21017), (3.00, 19027), (4.00, 13260), (5.00, 23007), (6.00, 16294), (7.00, 15569), (8.00, 26134), (9.00, 15012), (10.0, 25337) 13. InteraksiTNKS dishut = 1 HAsilKebijakanPerambahanTNKS = if dishut=1 then 0+pola_perambahan else PerambahanTNKS PerambahanTNKS = (LuasTNKS/LuasHKonservasi)*(LajuPerambah*2) pola_perambahan = if time<=10 then PerambahanTNKS else 0
138
139
Lampiran 10. Bagan Model Penggunaan Kawasan Hutan dan Skenario
REDD+
140
Landscape Jambi
LuasAPL
LuasHPH
LuasHTI
LuasHL
LuasKebun
LuasDaratanJambi
LuasTambang
LuasHP
LuasHKonservasi
KebunKopiTNKS
C Stock Landscape
LuasKebun
LuasHPH
KebunKopiTNKS
LuasAPL
C reboisasi
ReboisasiHP
C stock Reboi C stock Kebun
CStokLOA
CStock Kopi
CStockSemak
C HPH C Sawit C Kopi
C stock APL
C Change Landscape CStockHTI C Htn Tetap C HTI
LuasHKonservasi
LuasHP
LuasHL
CStockHA RealisasiPenanamanHTI
LuasHTI
141
Pendugaan Pengurangan Emisi
Mr CO2 SerapanCO2
add10% ADDREDD
StockREL
Skenario REDD DAF C stock Hutan Tetap ReferenceEmissionLevel
Perubahan Luas Hutan Tetap
LuasHL
LuasHP
LuasHKonservasi
C Stock HA
C terikat HP
C terikat HL
C terikat HK
C stock Hutan Tetap
Luas Hutan Tetap
def orestasi luasHtn2 Ref erenceEmissionLev el EmisiRata2
142
IncomeREDDTotal
Biay aStandarCTradeCCB
Biay aStandarPV
Biay aStandarCF
setif ikattonCCB
Biay aStandarAFOLU
SerapanCO2
Sertif ikatTonAFOLU
Sertif ikatTonPV Sertif ikattonCF Biay aCCB Biay aCF
Biay aAFOLU
BIay aPV
IncomeCCB IncomeCF
IncomeAFOLU IncomePV
HargaCTon
SkenarioREDDHL
Mr CO2 3 serapanCO2HL
ADDREDDHL
LuasHL Skenario REDD C HL StockREL
CStockHA
143
SkenarioREDDHK
Mr CO2 4
serapanCO2HK
ADDREDDHK LuasHKonservasi Skenario REDD C HK StockREL
CStockHA
SkenarioREDDHP
serapanCO2HP
Mr CO2 5
StockREL
ADDREDDHP
Skenario REDD
LuasHP
C HP
CStockHA
144
Incom eR EDD HK
BiayaStandarAFOLU
BiayaStandarCF
BiayaStandarCTradeCCB
BiayaStandarPV
serapanCO2HK
setif ikattonCC B 2
Biay aCC B 2
Sertif ikatTonAFOLU 2
Sertif ikattonC F 2
Sertif ikatTonPV 2
Biay aC F 2
Incom eCFHK
Incom eCC BH K
Biay aAFOLU 2
BIay aPV 2
Incom ePVHK Incom eAFOLUH K
HargaCTon
Incom eR EDD HL
BiayaStandarAFOLU
BiayaStandarCF
BiayaStandarCTradeCCB
BiayaStandarPV
serapanCO2HL
setif ikattonCC B 3
Biay aCC B 3
Incom eCC BH L
Sertif ikatTonAFOLU 3
Sertif ikattonC F 3
Sertif ikatTonPV 3
Biay aC F 3
Biay aAFOLU 3
BIay aPV 3
Incom eCFHL
Incom ePVHL Incom eAFOLUH L
HargaCTon
145
Incom eREDD HL 2
BiayaStandarAFOLU
BiayaStandarCF
BiayaStandarPV
BiayaStandarCTradeCCB
serapanCO2HP
setif ikattonCC B 4
Sertif ikatTonAF OLU 4
Sertif ikattonC F 4
Biay aCC B 4
Sertif ikatTonPV 4
Biay aC F 4
Biay aAF OLU 4
BIay aPV 4
Incom eCF HP
Incom eCC BH P
Incom ePVHP Incom eAF OLUhp
HargaCTon
Int erak si Akt or H TI
priv at e
dishut
~ int eraks i STK
Alok asiluas HPHk HTI
has il int eraks i HTI
InteraksiTNKS
PerambahanTNKS dishut
HAsilKebijakanPerambahanTNKS
pola perambahan