8 Lingkungan Permukiman Lingkungan permukiman adalah lingkungan buatan, bukan lingkungan alami. Lingkungan permukiman merupakan salah satu komponen pembentuk perkampungan / kota. Secara garis besar, lingkungan permukiman terbentuk oleh 4 komponen, yaitu: a. Bentuk bentang alam (dataran landai, dataran berbukit, dataran pantai, dll). Masingmasing bentuk bentang alam yang mempengaruhi bentuk pola permukiman yang dibangun di atasnya. b. Kegiatan komunitas manusia. Kegiatan manusia akan sangat bergantung pada potensi alam di daerah yang bersangkutan. Kegiatan komunitas manusia suatu tempat akan menghasilkan bentuk pola ruang tertentu
lingkungannya. Komunitas manusia di
perkotaan dengan kegiatan utama pada sector sekunder dan jasa akan membentuk pola ruang seperti daerah perdagangan, daerah industry, daerah jasa, dll. Sedangkan komunitas yang tinggal di daerah rural dengan kegiatan utama sector primer, juga akan membentuk pola ruang yang didominasi oleh lahan pertanian, perkebunan, perikanan, dll. c. Tingkat kepadatan penduduk, yaitu jumlah manusia/penduduk dibandingkan terhadap luas lahan yang tersedia. Lingkungan permukiman di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi akan berbeda dengan daerah dengan tingkat kepadatanrendah. d. Kemampuan masyarakat dan pemerintah, baik SDM maupun pendanaan/finansial untuk membangun perumahan berikut infrastruktur pendukung. e. Faktor eksternal lainnya seperti mekanisme pasar, kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada golongan bawah, dll.
1
Catatan : sekumpulan rumah dalam jumlah kecil akan membentuk perkampungan di daerah rural, dan ketika perkampungan semakin membesar maka akan terbentuk kota, mulai dari kota kecil dampai kota besar.
Kelima komponen tersebut di atas akan menentukan bentuk dan kondisi suatu lingkungan permukiman di suatu wilayah. Bahkan point b. sampai e. akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya secara sinergis. Dengan kata lain, dalam kondisi normal kedudukan lingkungan permukiman dalam suatu kota adalah setara dengan komponen kota lainnya, karena masalah lingkungan permukiman merupakan masalah perkotaan yang tidak bisa dipisahkan dari permasalahan perkotaan lainnya. Sebenarnya masalah lingkungan permukiman ini sudah lama menjadi persoalan bagi semua pemerintah kota dan terjadi di hampir semua daerah perkotaan di Jawa Barat, sehingga permasalahan ini menjadi sangat umum dan biasa. Lingkungan permukiman menimbulkan “permasalahan lingkungan” dan menjadi isu ketika muncul hal-hal berikut:
Tingkat kesehatan lingkungan permukiman yang buruk (kumuh) akibat buruknya sanitasi, tata bangunan, dan sirkulasi / lalu-lintas. Pada tahun 2003, jumlah keluarga yang tinggal di kawasan kumuh mencapai 1,26 %.
Ketidaktertiban perizinan yang terkait dengan ruang (izin tinggal / illegal occupancy).
Kedua hal tersebut merupakan keterbatasan kemampuan masyarakat dan pemerintah dalam hal menyediakan lingkungan permukiman yang sehat dan aman / legal. Ketidakmampuan tersebut meliputi: Mendapatkan rumah yang sehat Mendapatkan air bersih Menangani air kotor / tinja Menangani sampah Mendapatkan energi penerangan Semua itu bersumber pada ketidakmampuan secara financial (kemiskinan). 8.1.
Status
8.1.1. Tingkat Kemiskinan Pada tahun 2007 jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 41.483.729 jiwa, 20,84% berada di wilayah administrasi “Kota”. Ditinjau dari kemampuannya memenuhi kebutuhan dasar, pada tahun 2007 sebanyak 21 % penduduk Jawa Barat berada di bawah garis kemiskinan.
2
Kemiskinan
inilah,
ditambah
dengan
keterbatasan
kemampuan
pemerintah
untuk
menyediakan prasarana dasar lingkungan permukiman yang kemudian membentuk lingkungan permukiman yang kumuh terutama di daerah perkotaan.
Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
8.1.2. Akses ke Air Bersih Ditinjau dari sumber air bersih yang digunakan oleh penduduk di Jawa Barat pada tahun 2007, sebagian besar (81,52%) penduduk mendapatkan air dari sumur (gali atau bor) dan dari mata air. Sebagian kecil (17,74%) khususnya yang tinggal di daerah Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi mendapatkan air bersih dari ledeng, dan hanya kurang dari 1 % yang menggunakan air sungai/air hujan/lainnya. Tabel 8.1 Sumber air bersih yang dipakai oleh penduduk Jawa Barat 2007 Sumber air bersih
Jumlah Rumah Tangga
Air kemasan /Ledeng (meteran / eceran) Sumur/mata air Sungai Air hujan lainnya Total
1.958.855 9.004.327 50.140 11.815 19.885 11.045.022
Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
3
% 17,74 81,52 0,45 0,11 0,18 100,00
Gambar 8.1 Proporsi Air Bersih yang Dipakai Penduduk Jawa Barat
Ditinjau dari cara mendapatkan air bersih, sebagian besar (78,66%) penduduk Jawa Barat tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Tetapi masih ada sebanyak 21,34% penduduk yang harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Yang terakhir ini terutama dialami oleh penduduk di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Bekasi. Tabel 8.2 Komposisi Rumah Tangga dalam Mendapatkan Air Bersih Cara mendapatkan air bersih Membeli Tidak beli Total RT Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jwa Barat 2008
4
Jumlah RT 2.357.419 8.688.597
% 21,34 78,66
11.046.016
100,00
Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
8.1.3. Pembuangan Kotoran (Tinja) Sebagian besar WC penduduk Jawa Barat (92%) sudah menggunakan kloset, baik yang menggunakan leher angsa ataupun plengsengan. Akan tetapi ditinjau dari tempat pembuangan akhir dari kotoran tersebut, kondisinya masih memperhatinkan karena masih ada separuh penduduk yang belum membuangnya ke tangki septic, melainkan dibuang langsung ke sungai, kolam, kebun, ataupun lubang. Kondisi seperti ini relative merata di semua daerah, tetapi yang agak menonjol adalah di daerah yang mempunyai budaya bertani kebun dan membudidayakan kolam ikan, yaitu di Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya.
5
Ilustrasi kondisi toilet di permukiman kumuh di Indonesia (kiri atas), toilet umum sementara di tempat umum (kanan atas), dan toilet sementara di tempat umum di negara maju yang bisa dibenamkan ketika sedang tidak digunakan (bawah).
Tabel 8.3 Tempat Pembuangan Akhir Kotoran / Tinja No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kabupaten / Kota Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu
Tempat Pembuangan Tinja / Penampungan Akhir Lubang Tangki Kolam, sungai, sawah, Lainnya Septik kebun, lubang, dll 39.61% 34.05% 22.23% 51.90% 27.12% 18.86% 45.11% 62.34% 58.68% 67.05% 63.39% 61.06%
6
58.45% 64.98% 75.91% 47.74% 71.32% 81.14% 53.80% 36.25% 40.86% 32.80% 36.46% 38.58%
1.94% 0.97% 1.86% 0.36% 1.56% 0.00% 1.08% 1.41% 0.46% 0.15% 0.15% 0.36%
No 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kabupaten / Kota Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar Jawa Barat
Tempat Pembuangan Tinja / Penampungan Akhir Lubang Tangki Kolam, sungai, sawah, Lainnya Septik kebun, lubang, dll 48.70% 51.04% 0.26% 61.55% 37.36% 1.09% 49.88% 48.96% 1.16% 51.84% 47.68% 0.48% 62.81% 36.44% 0.75% 67.93% 23.80% 40.42% 87.08% 85.60% 80.95% 67.88% 30.38% 36.40% 49.01%
31.58% 40.81% 53.02% 12.71% 13.86% 18.75% 22.38% 69.38% 63.60% 49.45%
0.49% 35.38% 6.56% 0.21% 0.54% 0.30% 9.75% 0.25% 0.00% 1.54%
Sumber: Diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2007
Tabel 8.4 Komposisi Penduduk Jawa barat menurut Tempat Pembuangan Akhir Tinja Tahun 2007 Cara Pembuangan Tinja
Jumlah Rumah Tangga
Tangki Sungai/kebun/pantai/kolam Lubang tanah Lainnya Total
5.413.565 4.361.208 1.101.258 169.985 11.046.016
% 49.01 39.48 9.97 1.54 100.00
Sumber: Diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2007
Gambar 8.3 Proporsi Rumah Tangga menurut Tempat Pembuangan Akhir Tinja di Jawa Barat Tahun 2007
Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
7
Sedangkan untuk air kotor dari cucian, dapur, dan kamar mandi, umumnya dibuang langsung ke saluran drainase perumahan. 8.1.4. Pembuangan Sampah Data timbulan sampah hanyalah sampah yang berasal dari wilayah perkotaan. Berdasarkan data dari BPS tahun 2007 Total timbulan sampah Jawa Barat 27.020,11 m3 / hari atau 9.862.340 m3 / tahun. Dinas Kebersihan baru mampu mengangkut 55.36 % dari wilayah pelayanannya. Daerah yang tingkat pelayanan angkutan sampah ke TPAnya bagus (> 80%) adalah Subang, Purwakarta, Kota Sukabumi, Kota Cirebon. Dengan demikian masih ada separuh lagi sampah yang tidak terangkut. Biasanya sampahsampah ini dibuang ke sungai atau dibakar setempat (onsite). Menurut pengamatan di Kota Bandung, jumlah TPS di Kota Bandung semakin meningkat dan masing-masing areanya semakin meluas dari tahun ke tahun. Alat angkut yang digunakan adalah gerobak sampah yang digunakan untuk mengangkut sampah dari rumah-rumah ke TPS, kemudian dilanjutkan dengan dump truck atau arm roll atau truk biasa untuk mengangkut sampah dari TPS ke TPA. Pada tahun 2005, jumlah TPA di Jawa Barat mencapai 52 buah, rata-rata masih menggunakan system opendumping.
Sumber: diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
8
Di Kota-kota besar seperti Bandung, terjadi fenomena tumbuhnya TPS ilegal di sembarang tempat. Hal ini diawali dengan kegiatan membuang / mengonggokkan sampah di tempat tertentu oleh seseorang (kemungkinan akibat tidak ada petugas yang mengangkut) yang kemudian diikuti oeh warga lainnya sampai akhirnya berubah seolah-olah menjadi TPS.
8.1.5. Bangunan-bangunan Liar Menurut pengamatan, menjamurnya bangunan-bangunan temporer yang liar mulai marak tumbuh di daerah perkotaan sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 / 1998. Sejak itu sebagian besar masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah mengalami keterpurukan yang amat sangat, sehingga memicu terjadinya exodus urbanisasi ke daerah perkotaan. Sejak itu sangat banyak dijumpai bangunan-bangunan temporer liar tumbuh di sembarang tempat yang masih terbuka di daerah perkotaan, seperti di taman, trotoar, ruang di sisi kiri – kanan jaringan jalan kereta, di kolong jembatan layang, di kolong jembatan sungai, dll. Tetapi jika diteliti lebih mendalam, hampir semua penghuni bangunan “liar” mengaku telah membayar sejumlah uang kepada “petugas” sebagai uang sewa tempat sehingga mereka merasa sah / legal untuk tinggal di bangunan tersebut.
9
Ilustrasi Lingkungan Permukiman di Bantaran Sungai di Perkotaan Jawa Barat.
8.2.
Tekanan
Sebagaimana sudah dijelaskan di bagian depan bahwa masalah permukiman di perkotaan terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan finansial masyarakat maupun pemerintah. Disamping itu juga masih ada penyebab lain, walaupun perannya tidak terlalu besar, yaitu keterbatasan kemampuan dan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan lingkungan dan keterbatasan SDM pemerintah. Tetapi secara rinci penyebab yang mendasar terjadinya permukiman kumuh di perkotaan adalah disebabkan oleh:
Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk
Terbatasnya lapangan kerja
Terbatasnya lahan kota
Terbatasnya kemampuan pemerintah kota (SDM dan pendanaan)
Kebijakan pemerintah
Rendahnya tingkat pendidikan
Dll
10
8.3.
Respon
Respon yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlalu berarti karena mereka sendiri merupakan obyek dari permasalahan. Sedangkan respon yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu respon berupa studi dan respon berupa aksi di lapangan. Respon berupa aksi antara lain:
Pengerahan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk membersihkan daerah-daerah yang dihuni secara liar. Akan tetapi aksi yang sering menimbulkan keributan ini kurang berhasil karena penduduk kembali akan menempati daerah tesebut. Dengan kata lain penyelesaian melalui cara ini tidak akan menuntaskan permasalahan.
Program-program pembenahan lingkungan perumahan sudah banyak yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya, baik berupa perbaikan drainase, WC, persampahan, dll.
Pembongkaran bangunan liar oleh Satpol PP
11
Tabel 8.5 Analisis State, Pressure dan Response untuk Aspek Lingkungan Permukiman
State Tingkat kemiskinan penduduk Jawa Barat masih tinggi, dimana 21 % penduduk Jawa Barat berada di bawah garis kemiskinan. Akses penduduk ke air bersih masih rendah, dimana 82 % penduduk masih menggunakan air sumur padahal kualitas air sumur di daerah perkotaan sudah banyak yang tercemar terutama oleh bakteri Coli; dan sebanyak 21 % penduduk Jawa Barat mendapatkan air bersih dengan cara membeli.
Cara membuang tinja: hampir 40% penduduk Jawa Barat membuang kotoran (tinja) langsung ke kolam, sungai, atau kebun.
Cara membuang sampah: sebagian besar penduduk di daerah perkotaan mengandalkan petugas kebersihan untuk mengangkut sampah, tetapi kemampuan pemerintah dalam mengangkut sampah ke TPA baru 55 % %, sehingga masih banyak sampah yang tidak terangkut. Akibatnya di daerah perkotaan saat ini banyak bermunculan TPS-TPS illegal yang semakin hari semakin meluas dan sangat mencemari kualitas udara terutama oleh bau dan kuman penyakit yang ditimbulkan.
Bangunan-bangunan liar terus tumbuh menjamur di daerah perkotaan. Kemampuan pemerintah mengendalikan kalah cepat dengan pertumbuhannya.
Pressure Keterbatasan masyarakat karena rendahnya tingkat pendapatan.
Tingkat urbanisasi yang tinggi akibat sulitnya peluang lapangan kerja di pedesaan.
Rendahnya kemampuan pemerintah (financial dan SNM) dalam pembangunan dan pengaturan sanitasi di lingkungan permukiman khususnya di perkotaan.
Kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya menyelesaikan akar permasalahan.
Respon Yang sudah dilakukan: Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya seperti: SatPol PP: melakukan pembersihan dan pembongkaran bangunanbangunan liar. Dinas Pekerjaan Umum - Cipta Karya: melakukan program pembangunan rutin seperti: pengadaan MCK umum, perbaikan saluran drainase. PDAM: mendistribusikan air bersih melalui truk tangki air bersih ke tangkitangki yang ditempatkan di lingkungan permukiman. Dinas Kebersihan: terus meningkatkan kemampuan pelayanan pengangkutan sampah. Yang masih harus ditingkatkan: Kebijakan ekonomi pembangunan perlu mencari jalan keluar untuk terus mengembangkan peluang usaha di pedesaan untuk menekan laju urbanisasi. Anggaran dan SDM pemerintah perlu ditingkatkan untuk menangani masalah lingkungan permukiman khususnya di perkotaan.
12