PERMUKIMAN TROPIS BERKONSEP HIJAU RAMAH LINGKUNGAN Tri Harso Karyono Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Tarumanagara, Jakarta Email:
[email protected]
Diseminasi Peraturan Perundangan-undangan Bidang Bangunan Gedung dan Lingkungan, Direktorat Jendral Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Hotel Patra Jasa, Semarang, 5-7 Mei 2009
ABSTRAK Permukiman ramah lingkungan (eco settlement) merupakan permukiman berkonsep hijau atau berkelanjutan. Eco settlement merupakan langkah untuk merespons permasalahan lingkungan permukiman yang muncul di berbagai belahan dunia. Penurunan kualitas lingkungan, emisi karbondioksida secara berlebihan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan manusia. Kelangkaan air bersih, kontaminasi tanah, air, dan udara, pemanasan bumi dan perubahan iklim global memaksa semua pihak memikirkan langkah-langkah penanggulangannya. Dunia arsitektur pun tidak tinggal diam. Sebagian besar permasalahan di atas muncul sebagai konsekuensi ketidakcermatan arsitek dalam mengolah fisik kulit bumi. Pertambahan penduduk dan perkembangan aktifitas manusia memicu pembangunan fisik kawasan, meningkatkan jumlah hunian yang dibangun untuk mengakomodasinya. Permukiman lama tumbuh dan berkembang, dibarengi munculnya sejumlah permukiman baru. Sejumlah lahan terbuka hijau atau lingkungan alami dirubah menjadi lingkungan binaan yang padat bangunan dan infra struktur. Terjadi penurunan daya dukung lingkungan, menurunnya kemampuan alam dalam mensuplai air bersih, menurunnya kemampuan lingkungan mempurifikasi limbah padat, cair, dan gas hasil aktifitas manusia. Diperlukan suatu langkah pembangunan permukiman/perumahan yang menerapkan konsep eco atau green settlement. Makalah ini membahas isu-isu di atas. Latar belakang perlunya menerapkan konsep eco settlement dalam pembangunan permukiman. Perlunya menyediakan sarana dan prasarana fisik permukiman yang aman, nyaman, sehat, hemat energi, serta rendah emisi karbondioksida. Kata kunci: arsitektur hijau, energi terbarukan, hemat energi, pemanasan bumi, permukiman ramah lingkungan (eco settlement), tropis lembab
1.
PENDAHULUAN
Laju pertambahan penduduk di negara berkembang seperti Indonesia secara langsung meningkatkan kebutuhan sarana hunian beserta fasilitas pendukungnya. Kebutuhan utilitas permukiman seringkali tidak cukup tersedia secara memadai karena keterbatasan pelayanan kota di mana permukiman tersebut berada. Tidak tersedianya rencana induk utilitas kota, serta tidak cukupnya peraturan yang membatasi perluasan bangunan rumah mendorong
terjadinya
penurunan
kualitas
lingkungan
dan
perusakan
kawasan
permukiman. Kawasan permukiman atau perumahan cenderung rentan terhadap banjir. Tidak memadainya sistem drainase serta berkurangnya area resapan akibat pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali hanya sedikit dari sejumlah penyebab sering terjadinya banjir.
Melonjaknya kebutuhan sarana hunian bagi warga di kota-kota negara berkembang cenderung sulit dielakkan. Kecepatan pertumbuhan manusia di kota memerlukan
imbangan
kecepatan
dalam
penyediaan
sarana
hunian
untuk
mengakomodasi. Berbagai masalah di sektor permukiman pun muncul akibat minimnya fasilitas sarana dan prasarana penunjang kehidupan warga. Pembangunan permukiman/ perumahan diperlukan bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Meskipun demikian, disadari atau tidak tidak, pembangunan seringkali menimbulkan masalah lingkungan dan memicu terjadinya bencana, yang justru menurunkan kualitas hidup.
KONSEKUENSI PEMBANGUNAN PERMUKIMAN
MERUBAH FISIK LOKASI/ KAWASAN
KUALITAS LINGKUNGAN: KUALITAS AIR, KUALITAS TANAH, KUALITAS UDARA
A
MENAIKKAN KUALITAS LINGKUNGAN
B
MEMPERTAHANKAN KUALITAS LINGKUNGAN
C
MENURUNKAN KUALITAS LINGKUNGAN
Gambar 1. Konsekuensi Pembangunan Permukiman
Pembangunan memerlukan energi, baik energi yang digunakan dalam proses konstruksi maupun energi yang digunakan untuk membuat material misalnya semen, aspal, dan lainnya, serta energi yang digunakan untuk mengangkut material dari tempat produksi hingga ke lokasi pembangunan. Pada masa kini sebagian besar energi yang digunakan berasal dari energi fosil atau minyak. Pembakaran minyak selain menghasilkan panas juga dapat dikonversi menjadi energi listrik dan mekanik. Proses konversi ini mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) yang diduga kuat sebagai penyebab terjadinya pemanasan bumi dan perubahan iklim global. Patut disayangkan bahwa pembangunan permukiman/ perumahan oleh pihak pemerintah maupun swasta seringkali tidak dirancang untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, demikian pula permasalahan iklim tropis setempat sering diabaikan. Tuntutan terhadap kenyamanan fisik, penghematan energi, pelestarian lingkungan masih sulit dicapai. Ada kecenderungan hunian dibangun sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai tempat berlindung dari hujan, matahari serta kebutuhan privacy.
2
Tidak jarang dijumpai penghuni merasa tidak nyaman (secara termal) dan sebagian di antaranya menggunakan AC di unit hunian mereka. Lonjakan terhadap penggunaan energi serta emisi karbondioksida sulit dielakkan. Lemahnya pertimbangan ‘kenyamanan’ baik termal maupun visual dalam rancangan rumah umumnya didasari oleh anggapan bahwa membuat bangunan ‘nyaman’ diperlukan beaya ekstra, demikian pula untuk merancang permukiman hijau ramah lingkungan. Ini merupakan anggapan yang keliru. Bangunan nyaman, hemat energi, dan berkonsep hijau dapat dibangun dengan beaya awal sama jika arsitek menguasai strategi perancangan tersebut. Rancangan permukiman ramah lingkungan atau permukiman hijau adalah suatu rancangan yang secara arsitektur, lingkungan, dan sistem mekanikal-elektrikal menekan penggunaan energi yang bersumber dari energi fosil tanpa mengorbankan kenyamanan (termal dan visual) yang dibutuhkan penghuni, menekan penggunaan sumber daya alam lain termasuk material bangunan, dan mampu menekan dampak negatif terhadap lingkungan termasuk emisi CO2, banjir, kontaminasi air, tanah dan udara. Akibat keterbatasan pengetahuan dan kekeliruan dalam mengadopsi rancangan arsitektur dari negara-negara barat, cukup banyak bangunan rumah tinggal di kota besar di Indonesia justru dirancang bertentangan dengan konsep arsitektur hijau. Pada saatnya nanti, hal ini akan memunculkan permasalahan lingkungan: banjir, tanah longsor, pemanasan kawasan, dan pemanasan global. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia saat ini bukan saja membuat kehidupan menjadi semakin mudah, cepat dan nyaman, namun tanpa disadari, di sisi lain menciptakan ketergantungan manusia terhadap teknologi yang konsumtif energi. Tanpa adanya pemahaman tentang konsep arsitektur ramah lingkungan atau arsitektur hijau, kawasan permukiman dan perumahan akan menyumbang banyak masalah bagi keberlanjutan lingkungan secara lebih luas. 2. PEMAHAMAN ARSITEKTUR TROPIS RAMAH LINGKUNGAN 2.1. Arsitektur Tropis Bangunan berfungsi sebagi alat memodifikasi iklim. Problem yang ditimbulkan iklim tropis terkait dengan ketidaknyamanan perlu diatasi atau dimodifikasi oleh bangunan untuk menjadi iklim di dalam (bangunan) yang nyaman sesuai kebutuhan fisik manusia. Arsitektur
tropis
merupakan
karya
arsitektur
yang
diharapkan
mampu
mengantisipasi permasalahan yang ditimbulkan iklim tropis. Rancangan arsitektur tropis dapat berwujud apapun sepanjang mampu mengatasi problematik yang ditimbulkan iklim
3
tropis seperti halnya, hujan deras, terik matahari, suhu udara tinggi, kelembaban tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang umumnya rendah. Dengan pemahaman ini kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekadar 'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban tidak tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria tropis semacam ini pengguna bangunan harus dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di luar bangunan. 2.2. Arsitektur Ramah Lingkungan atau Arsitektur Hijau Arsitektur ramah lingkungan (eco architecture), arsitektur berwawasan lingkungan, arsitektur hijau (green architecture) atau arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture) memiliki pengertian yang sama, yakni arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam, dan minim memberikan dampak negatif terhadap alam, lingkungan dan manusia. Arsitektur ramah lingkungan merupakan usaha manusia untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Gerakan yang mengarah kepada pelestarian lingkungan menjadi sangat populer ketika mantan Perdana Menteri Norwegia GH Bruntland memformulasikan pengertian Pembangunan
Berkelanjutan
(sustainable
development)
tahun
1987
sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia masa kini tanpa mengorbankan potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Keberlanjutan terkait dengan aspek lingkungan alami dan buatan, penggunaan energi, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan. Meskipun dalam pembahasan berikut ini aspek lingkungan dan energi akan lebih diberi penekanan. Seberapa jauh suatu permukiman telah menerapkan konsep ramah lingkungan atau konsep ’hijau’, sejumlah acuan, alat ukur, atau standar telah dirumuskan dan digunakan di sejumlah negara maju. Di antara sistem penilaian tingkat ramah lingkungan atau tingkat ’hijau’ yang cukup populer digunakan adalah LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yang dikembangkan oleh Green Building Council Amerika dan NABERS (the National Australian Built Environment Rating System) NABERS digunakan untuk menilai bangunan yang sudah dibangun (eksisting). Penilian dilakukan terhadap konsumsi energi dan air, serta kualitas dan kenyamanan udara di dalam bangunan. Semakin rendah konsumsi energi per-meter persegi per-tahun, semakin rendah konsumsi air per-individu, serta semakin baik kualitas udara dan tingkat
4
kenyamanan di dalam bangunan, maka rating ’hijau’ nya semakin tinggi dan bangunan dianggap semakin ramah lingkungan. .
Sementara LEED digunakan untuk menilai bangunan atau lingkungan binaan baik
dalam tahap pra-rancangan maupun terbangun. Parameter yang digunakan LEED lebih bervariasi dibanding NABERS. Di antara tolok ukur (parameter) yang digunakan dalam LEED untuk menilai tingkat keberlanjutan suatu bangunan atau lingkungan binaan adalah: aspek pemilihan tapak, pengolahan tapak (termasuk peningkatan kualitas tapak), konsep pedestrian, konsep transportasi kawasan, konservasi air, konservasi energi (hemat energi), penggunaan energi terbarukan, penggunaan material yang berkelanjutan (renewable, re-use, re-cycle), material penutup tanah yang berpori, material yang rendah memberikan efek heat island (roof garden, green paving),
dan penggunaan material
bangunan yang sehat tidak mengkontaminasi lingkungan. Sektor penting yang berpengaruh dalam konsep arsitektur ramah lingkungan adalah pelestarian sumber daya alam, di antaranya adalah penggunaan energi fosil. Rumah berperan sebagai alat pencapaian kenyamanan fisik manusia dengan cara memodifikasi lingkungan alamiah yang tidak diinginkan menjadi lingkungan buatan yang nyaman. Bangunan rumah merupakan 'filter' (penyaring) faktor-faktor alamiah yang menyebabkan ketidaknyamanan: hujan, terik matahari, angin kencang, udara panas tropis agar tidak masuk ke dalam rumah. Cukup banyak bangunan rumah di Indonesia yang dirancang tanpa pertimbangan penghematan energi sehingga berkonsekuensi terhadap tingginya beaya operasional listrik setiap bulannya. Jika rumah dirancang tanpa pertimbangan energi, maka kesulitan akan muncul di kemudian hari, yakni dalam hal menanggulangi beban operasional listrik yang tinggi serta emisi CO2 dari mesin pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. Penghematan energi melalui rancangan arsitektur mengarah pada penghematan konsumsi listrik, baik bagi pendinginan udara, penerangan buatan, atau peralatan listrik lain dalam bangunan. Bagaimana rumah dirancang sedemikian rupa agar ruangan cukup terang tanpa banyak menggunakan lampu dan agar udara dalam ruang dapat sejuk tanpa bantuan mesin AC. Bagaimana penerangan dan pendinginan udara dapat dilakukan secara alamiah tanpa menggantungkan peralatan listrik yang konsumtif terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil. Semua ini dapat dijawab dengan strategi perancangan yang tepat. Suatu strategi rancangan permukiman ramah lingkungan yang mampu memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim ruang yang nyaman tanpa banyak mengkonsumsi energi listrik yang bersumber dari bahan bakar fosil.
5
Hemat energi sebagai bagian penting dalam usaha merancang arsitektur permukiman/perumahan ramah lingkungan sebagian merujuk pada penghematan energi yang tidak terbarukan. Penghematan ini dapat berupa penekanan penggunaan energi (listrik) yang bersumber dari bahan bakar fosil, atau menggunakan energi listrik non fosil yang tergolong sebagai sumber energi terbarukan seperti energi matahari (solar sel), energi angin, enegi air, dan lainnya.
3. PERMUKIMAN DAN PERUMAHAN Permukiman terbentuk sebagai konsekuensi naluri manusia yang cenderung hidup secara berkelompok. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup secara bersama malakukan interaksi satu dengan lainnya, melakukan kegiatan bersama dan tentu saja saling berkomuniksi
secara
lisan
maupun
tulisan
dengan
menggunakan
bahasa.
Kecenderungan hidup berkelompok ini menciptakan kumpulan tempat berteduh, tempat tinggal, beserta fasilitas pendukungnya. Permukiman merupakan bentuk lingkungan binaan yang dibuat manusia untuk menyelenggarakan kehidupan secara bersama. Permukiman umumnya tumbuh secara organik, seringkali lebih bersifat informal, tidak ada perencanaan awal apalagi rencana induk. Sebagai contoh: Permukiman Nelayan, Permukiman Petani, Permukiman Tradisional Suku Tertentu. Dalam wilayah permukiman, seringkali sulit dibedakan antara zona privat dan zona publik. Bangunan rumah jelas merupakan zona atau area privat milik penghuni, namun jalan, ruang terbuka, dan lainnya seringkali sulit dibedakan sebagai wilyah publik atau milik individu. Ruang terbuka di muka rumah seringkali berfungsi ganda, sebagai wilayah pribadi (untuk aktifitas pemilik rumah: menjemur makanan, pakaian, duduk-duduk) namun juga berfungsi sebagai area publik (sebagai jalan umum atau tempat bermain anak-anak). Di sisi lain kita mengenal istilah ‘perumahan’. Perumahan umumnya lebih bersifat formal, dibuat dengan suatu perencanaan awal dengan batasan-batasan tetentu yang cukup jelas. Dalam perumahan dikenal wilayah personal (rumah dan halamannya), wilayah publik (jalan, selokan, taman, fasilitas bersama). Perumahan dirancang dari sejak awal dengan menetapkan wilayah publik, wilayah privat (milik penghuni), serta batasbatas wilayah perumahan secara jelas. Pada mulanya istilah ‘perumahan’ lebih bersifat ‘homogen’, yakni kumpulan rumah-rumah beserta fasilitas penunjangnya yang dihuni oleh warga yang bekerja di suatu institusi yang sama, misalnya perumahan institusi pemerintah, swasta, militer, dan sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan waktu, perekonomian dan perubahan tatanan masyarakat, perumahan dapat dihuni oleh siapapun yang memang mampu membeli unit-unit rumah yang umumnya dikembangkan dan dijual oleh perusahaan properti.
6
4. REKOMENDASI RANCANGAN KAWASAN PERMUKIMAN/ PERUMAHAN RAMAH LINGKUNGAN DI INDONESIA Ramah lingkungan dapat dicapai oleh kawasan permukiman jika dalam rancangan permukiman memperhatikan sejumlah aspek terkait dengan pendekatan arsitektur hijau, di antaranya adalah, pemilihan dan pengolahan tapak, penyediaan jalur pedestrian, penyelesaian transportasi kawasan, konservasi air, penghematan energi, penggunaan energi terbarukan, penggunaan material yang berkelanjutan, penutup permukaan tanah, meminimalkan efek heat island,
penggunaan material bangunan yang sehat, serta
perilaku warga masyarakat yang tanggap terhadap konsep keberlanjutan. 4.1. Pemilihan Tapak Dalam membangun permukiman/perumahan baru lokasi sebaiknya dekat dengan pusat transportasi masal (stasiun kereta, bis, dan lainnya). Jarak yang direkomendasi dalam standar LEED tidak lebih dari 800m (0,5 mil), atau tidak lebih dari 400m (0,25) mil dari halte bis, pemberhentian kereta, dan sebagainya. Rekomendasi ini dimaksudkan untuk memudahkan warga bepergian ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan umum sehingga mengurangi penggunaan kendaran pribadi. Untuk permukiman/perumahan yang sudah terbangun namun tidak memenuhi rekomendasi tersebut, pemerintah setempat perlu menguasahakan agar transportasi umum dapat diarahkan ke lokasi tersebut sehingga menjangkau warga yang membutuhkan. 4.2. Penggunaan dan Pengolahan Tapak Dalam aspek penggunaan dan pengolahan tapak, massa bangunan, jalan dan sarana aktifitas
ruang
luar
sebaiknya
dibangun
tanpa
banyak
harus
memodifikasi
tapak/permukaan tanah. Perkerasan permukaan tanah harus mempertimbangkan aspek ‘penyerapan’ air hujan. Material berpori, conblock, grassblock merupakan material yang direkomendasi. 4.3. Rancangan Transportasi Kawasan Perpindahan manusia di seputar kawasan permukiman, perumahan atau bagian kota sebaiknya diakomodir seoptimal mungkin dengan jenis transportasi yang tidak menggunakan bahan bakar minyak. Jalur pedestrian, jalur sepeda perlu disediakan secara memadai dari sisi dimensi dan kenyamanan penggunaan. Jalur transportasi, baik jalan kendaraan, jalur sepeda, jalur pedestrian, perlu diteduhi dengan pohon-pohon
7
pelindung, sehingga pengguna jalan ataupun jalur tidak langsung terkena sengatan matahari, sementara itu pemanasan perkerasan jalan dan jalur akibat radiasi langsung matahari dapat diminimalkan, sehingga efek ‘heat island’ juga dapat dikurangi. 4.4. Konservasi Air Selain upaya menghimbau warga untuk menghemat penggunaan air bersih, kawasan permukiman/perumahan perlu dirancang untuk mampu mengkonservasi air, baik air tanah maupun air hujan. Kawasan permukiman/perumahan dapat dilengkapi dengan danaudanau kecil sebagai tempat penampungan air yang sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi, pemancingan misalnya. Penempatan kolam sedemikian rupa di tempat yang paling rendah di kawasan perumahan dapat digunakan sebagai tempat penampungan air hujan dan mencegah genangan/banjir. Pengolahan air limbah dari rumah-rumah
dapat
dilakukan
secara
terpusat
disesuaikan
dengan
skala
permukiman/perumahan. Penggunaan air limbah yang sudah diolah untuk menyiram tanaman dan lainnya dapat mengkonservasi air tanah.
4.5. Penggunaan Material Bahan bangunan yang secara kesehatan tidak direkomendasikan sebaiknya dihindari untuk digunakan. Penggunakan material lokal lebih disarankan agar energi yang digunakan untuk pengangkutan (transportasi) rendah. Material terbarukan seperti halnya kayu, bambu sesungguhnya merupakan pilihan yang baik ditinjau dari sisi keberlanjutan karena dapat ditanam kembali, namun maraknya kasus penebangan liar dan pengrusakan hutan, penggunaan kayu, terutama kayu jenis keras: jati, ulin, dan lainnya, untuk bahan bangunan menjadi hal yang ‘sensitif’ di Indonesia. Material yang bersifat reuseable, dapat digunakan/dipasang kembali jika bangunan diruntuhkan lebih disarankan untuk digunakan. Demikian pula material yang dapat di recycle direkomendasikan untuk digunakan. 4.6. Penghematan Energi Dalam hal ini penghematan energi lebih mengarah kepada penghematan operasional kawasan dan bangunan. Sejumlah strategi penghematan perlu diterapkan dalam kawasan maupun bangunan. 4.6.1. Penghematan Energi Secara Umum dan Kawasan Rancangan dan tata letak massa bangunan di suatu kawasan permukiman sangat mempengaruhi penggunaan energi kawasan secara menyeluruh. Orientasi bangunan-
8
bangunan mempengaruhi tingkat kenyamanan fisik serta konsumsi energi, demikian pula ‘jarak’ antara bangunan atau fungsi yang saling terkait akan mempengaruhi konsumsi energi untuk pencapaian/transportasi. Rancangan jalur-jalur pedestrian yang tidak memadai akan membuat warga enggan berjalan kaki, cenderung menggunakan kendaraan bermotor meskipun untuk menempuh jarak pendek sekalipun. Demikian pula ‘dimensi’
kawasan
sangat
mempengaruhi
konsumsi
energi.
Kawasan
permukiman/perumahan dengan dimensi yang terlalu besar – dengan radius di luar jangkauan warga berjalan kaki atau berspeda, mengkonsumsi energi lebih besar dibanding permukiman/perumahan dengan dimensi kecil dengan radius kawasan yang terjangkau pejalan kaki atau pengguna sepeda. 4.6.2. Penghematan Energi Bangunan Prinsip utama dalam menurunkan suhu (panas) di dalam rumah adalah mengurangi ‘perolehan panas’ (heat gain) radiasi matahari yang jatuh mengenai bangunan rumah. Pengurangan radiasi matahari ini dapat melalui ‘pembayangan’ bangunan lain di sekitarnya, atau dengan pembayangan pohon besar di sekitar rumah. Jika perolehan panas matahari dapat diminimalkan, maka suhu udara di dalam rumah cenderung akan rendah. Penelitian kenyamanan termal yang dilakukan penulis di Bandung memperlihatkan responden merasa nyaman pada rentang suhu ruang antara 23 – 26.5oC. Rentang ini sangat dekat dengan suhu rata-rata bulanan kota Bandung, yakni antara 18 hingga 28oC. Temuan ini dapat menjelaskan bahwa tidak satupun bangunan hunian di Bandung yang memerlukan mesin pendingin (AC) jika dirancang dengan benar. Dengan rancangan arsitektur yang tepat sesuai iklim setempat, suhu ruang bangunan rumah di Bandung dengan mudah memberikan kenyamanan bagi penghuninya secara alamiah. Beberapa kota lain di Indonesia yang memiliki variasi suhu rata-rata mirip Bandung seperti Malang, Wonosobo, Prapat, Bukit Tinggi dan lannya memiliki potensi sama dengan Bandung untuk tidak perlu menggunakan pengkondisian udara buatan dalam setiap bangunan rumah yang dibangun. Penelitian
kenyamanan
termal
lain
yang
dilakukan
penulis
di
Jakarta
memperlihatkan rentang suhu nyaman responden berkisar antara 24,5 hingga 28,5 oC. Hal ini memiliki konsekuensi berbeda terhadap rancangan rumah di kota tersebut, atau kota-kota lain di Indonesia yang memiliki variasi suhu sama atau mirip dengan Jakarta, seperti Surabaya, Semarang kota, Denpasar, Padang, Palembang, Makasar, Manado, dan lainnya. Dengan suhu udara rata-rata maksimum yang dapat mencapai 34oC, rancangan rumah di Jakarta, atau kota lain yang memiliki kemiripan variasi suhu,
9
memerlukan penanganan rancangan yang lebih cermat agar kenyamanan termal penghuni dapat dicapai tanpa menggunakan mesin pengkondisian udara (AC). 4.6.2.1. Meminimalkan perolehan panas matahari Untuk meminimalkan panas yang diterima bangunan dari matahari perlu dilakukan sejumlah langkah. Pertama, menghalangi jatuhnya radiasi matahari langsung pada dinding-dinding transparan bangunan yang dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca akan menaikkan suhu dalam bangunan secara signifikan. Kedua, mengurangi transmisi panas dari dinding-dinding masif yang terkena radiasi matahari dengan melakukan penyelesaian rancangan sebagai berikut: - membuat dinding lapis (berongga) yang diberi ventilasi pada rongganya. - menempatkan ruang-ruang service (tangga, toilet, pantry, gudang, dsb.) pada sisi-sisi jatuhnya radiasi matahari langsung (sisi timur dan barat) - memberi ventilasi pada ruang antara atap dan langit-langit (pada bangunan rendah) agar tidak terjadi akumulasi panas pada ruang tersebut. Seandainya tidak, panas yang terkumpul pada ruang ini akan ditransmisikan ke bawah, kedalam ruang di bawahnya. Ventilasi atap ini sangat berarti untuk pencapaian suhu ruang yang rendah.
4. 6.2.2. Orientasi bangunan utara-selatan (memanjang timur-barat) Efek dari orientasi bangunan, ketebalan dinding dan warna dinding terhadap suhu udara di dalam bangunan diperlihatkan oleh percobaan Givoni (1998). Di kawasan sekitar equator, sisi barat-timur mendapatkan panas yang lebih tinggi dibanding sisi utaraselatan. Dalam percobaan dengan dinding warna putih, terlihat bahwa suhu udara ruang berfluktuasi terhadap suhu udara luar. Pada siang hari umumnya suhu udara di dalam bangunan lebih rendah dibanding suhu luar, sementara malam hari suhu udara di dalam bangunan lebih tinggi dibanding suhu luar. Semakin tebal dinding, fluktuasi semakin kecil, karena kondisi suhu udara di dalam bangunan semakin stabil. Efek orientasi bangunan terhadap suhu udara di dalam bangunan juga tampak jelas. Suhu ruang rata-rata pada sisi dinding timur-barat lebih tinggi dibanding suhu ruang pada sisi selatan. Perbedaan suhu ruang rata-rata timur-barat dengan ruang sisi selatan mencapai hampir 1oC untuk dinding tipis (10cm) dan lebih dari 1,5oC untuk dinding tebal (20cm) Untuk dinding warna abu-abu, pengaruh orientasi dan ketebalan dinding terhadap perbedaan suhu lebih jelas terlihat. Untuk ketebalan dinding 10cm suhu ruang terendah hampir selalu di bawah suhu luar. Sementara itu perbedaan terbesar rata-rata antara ruang pada sisi yang berbeda dapat mencapai 4,5oC, sedangkan perbedaan pada waktu tertentu, maksimum dapat mencapai 7,5oC. Semakin tebal dinding, variasi suhu udara
10
diberbagai waktu dan orientasi semakin rendah. Dinding tebal membuat fluktuasi suhu semakin kecil. 4.6.2.3. Organisasi ruang Dalam pengorganisasian ruang di bangunan rumah, ruang-ruang yang digunakan untuk aktifitas penting/utama diletakan di tengah, kemudian diapit oleh ruang-ruang yang berfungsi sebagai penunjang/service di sisi timur-barat Hindarkan penempatan ruang-ruang utama, seperti ruang tidur, ruang keluarga, dan lainnya pada sisi barat, kecuali jika ada pembayangan dari bangunan lain atau pohon besar pada sisi tersebut. Dinding ruang di bagian barat akan mendapatkan radiasi matahari siang dan sore yang sangat tinggi, dan membuat ruang di dalamnya panas. Sebaiknya sisi barat rumah digunakan untuk ruang-ruang servis seperti KM/WC, gudang, tangga, terutama jika sisi ini tidak mendapat pembayangan. 4.6.2.4. Memaksimalkan pelepasan panas bangunan Untuk mengurangi pemanasan bangunan, panas matahari yang masuk ke dalam bangunan harus segera dibuang. Hal ini dapat dilakukan dengan pemecahan rancangan arsitektur yang memungkinkan terjadinya aliran udara silang secara maksimum di dalam bangunan. Aliran udara sangat berpengaruh dalam menciptakan ‘efek dingin’ pada tubuh manusia, sehingga sangat membantu pencapaian kenyamanan suhu. 4.6.2.5. Meminimalkan radiasi panas dari plafon (untuk lantai teratas) Usahakan agar ruang di bawah atap (antara penutup atap dan langit-langit) diberi ventilasi semaksimal mungkin. Hal ini dimaksudkan agar udara panas yang terperangkap di bawah penutup atap (karena radiasi matahari) dapat dibuang atau dialirkan keluar, sehingga panas tersebut tidak merambat ke langit-langit melalui proses konveksi dan konduksi, yang akhirnya memanaskan ruang di bawahnya melalui proses radiasi. Dalam membuat bukaan pada ’ruang atap’ perlu diperhatikan masuknya burung atau kelelawar, untuk itu lubang-lubang ventilasi di ruang atap perlu diberi kawat (ayakan pasir). Atap merupakan komponen utama yang membuat rumah menjadi panas. Jika panas dari atap dapat dibuang, ruangan di bawahnya cenderung lebih dingin. Atap yang tinggi (volume ruang antara penutup atap dan langit-langit besar) membantu mengurangi pemanasan ruang-ruang di dalam rumah. Diusahakan ketinggian plafon dari lantai tidak kurang dari 3 meter. Plafon lantai atas (untuk rumah lebih dari satu lantai) menerima panas dari atap (secara radiasi) dan udara dalam ruang atap (secara konduksi). Plafon merupakan benda dengan suhu lebih
11
tinggi dari suhu udara ruang di bawahnya. Untuk itu plafon perlu dijauhkan dari kepala manusia agar kenyamanan termal lebih mungkin dicapai, dengan kata lain plafon perlu ditinggikan. 4.6.2.6. Hindari radiasi matahari memasuki bangunan atau mengenai bidang kaca Ketika sinar matahari secara langsung menembus bidang kaca, radiasi (dalam bentuk gelombang pendek) yang dipancarkan akan memanaskan (menaikkan suhu) bendabenda seperti halnya lantai, meja, kursi, manusia di dalam bangunan tersebut, selain memanaskan kaca itu sendiri. Akibat pemanasan tersebut, benda-benda memancarkan kembali panasnya ke udara di sekelilingnya, dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Karena secara umum bahan kaca tidak dapat meneruskan gelombang panjang, panas yang dipancarkan benda-benda tersebut akhirnya terperangkap di dalam bangunan. Hal ini mengakibatkan kenaikkan suhu ruang bangunan. Peristiwa ini disebut dengan 'effek rumah kaca' (the green house effect). Effek rumah kaca memanaskan ruang akibat dari pemanasan benda-benda di dalam ruang. Hal ini tidak menguntungkan bagi penghuni bangunan. Pemanasan ruang akibat efek rumah kaca ini seringkali diatasi dengan memasang mesin pendingin (AC) yang memerlukan energi besar, yang seharusnya tidak diperlukan. 4.6.2.7. Manfaatkan radiasi matahari tidak langsung untuk penerangan ruang Untuk penerangan ruang perlu diusahakan mengambil cahaya langit, bukan cahaya langsung matahari. Cahaya langit adalah cahaya yang dihasilkan dari cahaya diffuse matahari. Cahaya ini tidak memberikan efek pemanasan terhadap ruang yang diterangi. Untuk daerah di wilayah selatan Equator seperti Bandung dan Jakarta, sisi selatan bangunan tidak akan mendapatkan cahaya langsung matahari antara bulan April hingga September, Sementara sisi utara bangunan tidak akan mendapatkan cahaya langsung antara bulan Oktober hingga Maret. Hal ini perlu dipertimbangkan arsitek dalam membuat rancangan bangunan. 4.6.2.8. Optimalkan ventilasi silang (untuk bangunan non-AC) Jika ruang tidak menggunakan AC, usahakan agar terjadi aliran udara yang menerus (ventilasi silang) di dalam rumah, terutama bagi ruang-ruang yang dirasa panas. Dari sisi akustik hal ini memang kurang menguntungkan, meskipun dengan penyelesaian rancangan yang tepat hal ini dapat diatasi. Hindari menutup seluruh lahan dengan bangunan, atau dengan kata lain tidak ada ruang terbuka di dua sisi bangunan yang berlawanan. Jika hal ini terjadi, aliran udara menerus tidak dimungkinkan. Aliran udara
12
penting untuk menciptakan efek dingin bagi tubuh manusia. Ciptakan ruang-ruang terbuka di sekitar rumah jika lahan memungkinkan agar terjadi aliran udara silang dengan baik. 4.6.2.9. Hindari pemanasan permukaan tanah sekitar bangunan Untuk menghindari pemanasan udara luar di sekitar bangunan, penggunaan material keras (beton, aspal) sebagai penutup permukaan halaman, taman atau parkir yang tidak terlindung, perlu diminimalkan. Material keras yang terkena radiasi matahari langsung akan menaikkan suhu udara di sekitar rumah dan akhirnya membuat ruangan di dalam rumah panas. Penelitian karakteristik suhu pada beberapa tipe pelapis permukaan tanah di Afrika Selatan yang di laporkan oleh Lippsmeier (1980) dinyatakan bahwa suhu di atas permukaan rumput pendek dapat mencapai 4
o
C lebih rendah dari suhu di atas
o
permukaan beton dan 5 C lebih rendah seandainya rumput tersebut terlindung dari sinar matahari. 4.6.2.10. Penghijauan Atap Penghijauan atap atau atap hijau (green roof) merupakan salah satu cara untuk mengurangi pemanasan bangunan dan pemanasan kawasan. Penghijauan atap atau sering disebut sebagai atap bervegetasi atau atap-ekologis merupakan penghijauan di atas permukaan atap datar yang sudah diberi lapisan water-profing. Penghijauan atap dapat berupa taman atap yang dapat digunakan sebagai aktifitas manusia, atau sekadar penghijauan yang diisi oleh tanaman-tanaman jenis tertentu yang umumnya tahan terhadap lingkungan kering sehingga tidak banyak memerlukan air.
4.6.2.11. Warna dan Tekstur Dinding Luar Bangunan Warna terang cenderung memantulkan panas, sementara warna gelap menyerap lebih banyak panas. Agar radiasi matahari tidak memberikan tambahan panas ke dalam bangunan, dinding luar dan atap bangunan di daerah beriklim panas atau tropis perlu berwarna terang (misalnya putih). Sementara untuk wilayah beriklim dingin dengan suhu rata-rata rendah, warna dinding dan atap bangunan sebaiknya gelap. Hal ini dimaksudkan agar lebih banyak radiasi matahari yang dapat diserap bangunan sehingga bangunan menjadi lebih hangat. Beberapa bangunan di kawasan yang banyak menerima radiasi matahari seperti kawasan Timur Tengah atau pantai Karibia cenderung diberi warna putih atau terang. Sementara di Inggris dengan radiasi matahari yang sedikit, ditambah dengan suhu ratarata rendah dinding luar bangunan cenderung berwarna gelap (kusam). Demikian pula di
13
daerah dataran tinggi Dieng, rumah-rumah penduduk setempat banyak dicat hitam. Hal ini diharapkan agar lebih banyak radiasi mathari yang dapat diserap bangunan sehingga bangunan hangat. Tekstur
material
permukaan
luar
bangunan
juga
berpengaruh
terhadap
penyerapan radiasi panas matahari. Tekstur kasar menyerap lebih banyak panas dibanding tekstur halus. Fenomena ini perlu dipahami arsitek untuk digunakan dalam mengantisipasi iklim setempat secara benar.
4.7. Perilaku Warga Rancangan arsitektur permukiman/perumahan yang ramah lingkungan perlu didukung oleh perilaku warga yang ramah terhadap lingkungan. Diperlukan konsep hidup sederhana, hemat, tidak konsumtif, tidak bermewahan, disiplin, tertib, mematuhi aturan hidup bersama, memelihara lingkungan alami, dan lainnya, agar kualitas lingkungan permukiman/perumahan dapat terjaga dan dapat mendukung kehidupan warga secara layak, aman, nyaman dan sehat.
5. PENUTUP Permukiman/perumahan tropis ramah lingkungan merupakan suatu rancangan kawasan dan bangunan rumah yang mempertimbangkan kondisi fisik lingkungan setempat, dan menjawab permasalahan iklim tropis. Rancangan arsitektur kawasan dan bangunan harus mempertimbangkan faktor lokasi/tapak, iklim setempat, sistem transportasi kawasan, konservasi air hujan dan air tanah, meminimalkan limbah padat, cair dan gas, penghijauan kawasan, dan lainnya yang sesuai dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur ramah lingkungan atau arsitektur hijau – berkesinambungan. Penghematan energi merupakan bagian penting dalam konsep perancangan arsitektur permukiman ramah lingkungan. Penghematan energi dapat menyisakan sumber energi bagi generasi mendatang serta meminimalkan emisi CO2 sebagai penyebab utama pemanasan bumi dan perubahan iklim global. Di samping aplikasi rancangan arsitektur, keberhasilan membangun permukiman ramah lingkungan juga banyak ditentukan oleh perilaku warga. Diperlukan perilaku yang ramah lingkungan, pola hidup hemat, tidak konsumtif, disiplin, tertib, mematuhi aturan hidup bersama, memelihara lingkungan alami dan lainnya, agar kualitas lingkungan permukiman/perumahan dapat terjaga dan dapat mendukung kehidupan warga secara layak, aman, nyaman dan sehat.
14
6. SUMBER BACAAN Blowers, Andrew (ed.)(1993), Planning for a sustainable environment a report by the Town and Country Planning Association, Earthscan Publications Ltd., London. Dean Hawkes (1996), The Environmental Tradition Studies in the architecture of environment, E&FN Spon Givoni B. (1969), Man, Climate and Architecture, Elsevier Publishing Company Ltd., London http://en.wikipedia.org/wiki/Leadership_in_Energy_and_Environmental_Design http://www.seattle.gov/dpd/GreenBuilding/OurProgram/DesignToolsStrategies/LEED/defa ult.asp http://en.wikipedia.org/wiki/NABERS - Home Page.mht Karyono, T.H. (1995), Arsitektur dan Energi, Harian Kompas, 21 September 1995 Karyono, T.H. (1995), Higher PMV causes Higher Energy Consumption in Air-conditioned Buildings: A Case Study in Jakarta, Indonesia, in Standards for Thermal Comfort Indoor Air Temperature Standards for the 21st Century, edited by Fergus Nicol, Michael Humphreys, Oliver Sykes and Susan Roaf, E & Spon and Chapman & Hall, London, UK. Karyono, T.H. (1995), Shaping the City through Energy Conservation, Paper for the Workshop on Urban Regeneration: Development through Conservation, Towards Shaping World Cities, King's Manor, University of York, 23-24 March 1995. Karyono, T.H. (2000), Mendefinisikan Kembali Arsitektur Tropis di Indonesia, Majalah Desain Arsitektur, vol. 1, April, pp.7-8. Karyono, T.H. (2000), Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in Jakarta, Journal of Building and Environment, vol. 35, pp 77-90, Elsevier Science Ltd., UK. Karyono, T.H. (2000), Konsep Kantung Pedestrian Kota Tropis, Kompas, 6 Desember Karyono, T.H. (2004), 5 Tips Rumah Adem Tak Boros Listrik. Majalah IDEA, Edisi 8, 1 September Karyono, T.H. (2004), Bangunan Hemat Energi: Rancangan Pasif dan Aktif, Kompas, 31 Oktober. Karyono, T.H. (2006), et al: Report on thermal comfort study in Bandung, Proceedings of International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’, Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom, 27-30 April 2006. Karyono, T.H. (2007), ‘Silaban’s House: Climate and Thermal Assessment, ’Workshop Silaban’s House, Gedung SPMA, Bogor, Juni 2007 Karyono, T.H. (2007), ‘Pemanasan Bumi Dan Tanggung Jawab Arsiteki’, Seminar sehari Pemanasan Bumi, Universitas Katolik Atmajaya, Yogyakarta, 6 September
15
Karyono, T.H. (2007), Rumah Susun Tropis Hemat Energi di Indonesia, Makalah Lokakarya Rumah Susun (RUSUN) Hemat Energi, Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September Karyono, T.H. (2008), Bandung Thermal Comfort Study: Assessing the Applicability of an Adaptive Model in Indonesia, Architectural Science Review, vol. 51.1, March, pp. 59-64, Australia. Karyono, T.H. (2008), Strategi Murah Membuat Rumah Sejuk. Majalah IDEA-RENOVASI, Edisi , Vol 1, Maret Karyono, T.H. (2008), Arsitektur Permukiman Tropis Berkelanjutan, Prosidings Seminar Nasional Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Universitas Budi Luhur, Jakarta, 8 April 2008 Karyono, T.H. (2008), Kota Hemat Energi: Antisipasi Ekonomi dan Pemanasan Bumi, Seminar Green Entrepeneur dengan Tema Peluang Bisnis Teknologi di Balik Perubahan Iklim Global , Hotel Mulia, Jakarta, 25 Juni Karyono, T.H. (2008), Menggagas Zero Energy Building, Harian Kompas, 31 Agustus Lippsmeier, G, et al (1980), Tropenbau Building in the Tropics, Germany Callwey Verlag, Muenchen. Roaf, S, et al. (2001), Ecohouse A Design Guide, Architectural Press, Oxford, UK Roaf, S, Crichton, D, Nicol, F (2005), Adapting Buildings and Cities for Climate Change A 21st Century Survival Guide, Architectural Press – Elsevier, UK Szokolay, SV (1978), Solar Energy and Building, The Architectural Press, London Vale, Brenda and Robert (1996), Green Architecture, Thames and Hudson, London World Commission on Environment and Development (1987), Our Common Future, Oxford Univ. Press.
16