sekitar dua kaki dari lantai dan ditutupi kanopi berukir. Ping mengelus-elus seprainya yang terbuat dari sutra. Baru beberapa waktu kemudian dia mengerti kenapa ada dua seprai satu untuk ditiduri, satu lagi untuk selimut. Ping mengenakan baju rami, lalu berbaring di bawah selimut. Rasanya licin dan halus. Sepreinya juga hangat. Tidak ada perapian di ka mar Ping, tapi hawa panas dari api entah di mana di dalam istana itu pasti dialirkan lewat pipa ke tempat tidur. Malam itu dingin tapi belum pernah dia merasa begitu hangat dan nyaman dalam hidupnya.
20 Taman Keselarasan Tersembunyi Keesokan pagi Ping sarapan seorang diri. Hanya ada tiga tahap hidangan. Ping mengambil setiap jenis hidangan banyak-banyak. Tapi dia hanya makan sedikit. Sisanya dia masukkan ke mangkuk bambu yang telah disembunyi kannya di bawah gaunnya. Kemudian dia membawa makanan itu ke kandang. “Lihat,” kata Ping sembari menaruh mangkuk di depan sang naga. “Aku membawakanmu sedikit…” Hua melesat keluar dari tempat persembunyiannya, dan belum apa-apa sudah membenamkan wajah di dalam makanan itu sebelum Ping menyelesaikan ucapannya. “Apa kau tak mau makan sedikit, Danzi?” Ping bertanya. Sang naga mengulurkan satu kakinya dan mengambil sepotong daging dengan cakar. Dia mengendus-endusnya, kemudian memasukkan daging itu ke mulut. Dan mengunyahnya perlahan-lahan. “Makan yang banyak, Danzi,” Ping memohon. Sang naga menggeleng. Dia hampir tidak makan sejak tiba di Wucheng. Badannya tampak lebih kurus. Dia seperti tidak lagi memercayai makanan yang disediakan. “Di sini kau rupanya, Ping,” kata sebuah suara dari pintu kandang. Ternyata Kaisar. Ping cepat-cepat memasukkan Hua ke balik salah satu sisik sang naga yang tumbuh terbalik, lalu dia membungkuk di hadapan Kaisar. “Hamba cuma ingin memastikan naga ini mendapat cukup makan,” kata Ping. “Sepanjang pagi ini kuhabiskan bersama para peramal dan menteri,” kata Kaisar. “Aku perlu bicara. Kemarilah mengobrol denganku, Ping. Aku ada waktu senggang, sebelum para cendekiawan berdatangan.” Ping menatap sang naga. Dia tak ingin meninggalkan Danzi sendirian lagi. Dicobanya memikirkan alasan yang tepat. “Hamba hendak mengajak Danzi jalanjalan, Yang Mulia,” katanya. “Bagus,” kata Kaisar. “Aku ikut denganmu.” Ping melepaskan ikatan tali Danzi dan menuntun naga yang menggemuruh itu keluar kandang. “Kata ibuku, Taman Keselarasan Tersembunyi sangat indah pada bulan-bulan ini,” kata Kaisar. “Aku sudah berjanji akan melihat-lihat taman itu.”
Ping teringat perempuan kurus dan tampak menderita yang dulu dilihatnya di Huangling. “Apakah Ratu dalam keadaan baik?” tanyanya sopan. “Dia masih berkabung di Chang’an.” Ping lega karena Ratu tidak bermaksud mengunjungi putranya di sini. Ping dan Kaisar keluar ke udara pagi yang dingin menyegarkan. Ping gemetar dalam balutan gaun sutranya yang tipis serta selopnya. “Kami butuh mantel,” kata Kaisar. Para pelayan, yang tidak pernah jauh-jauh dari Kaisar, langsung maju menghampiri. “Dan Ping membutuhkan sepatu yang lebih kuat.” Seorang pelayan membungkuk, lalu pergi melaksanakan perintah Kaisar. Tidak lama kemudian dia sudah kembali dengan terengah-engah, membawa mantel-mantel dan sepatu-sepatu. Entah bagaimana, dia bisa membantu Kaisar memakai mantel sambil tetap berlutut. “Kalian tidak perlu menemaniku jalan-jalan,” kata Kaisar kepada para pelayannya. Sebenarnya sudah menjadi tugas mereka untuk mendampingi Kaisar sepanjang waktu, tapi mereka juga harus mematuhi perintahnya. Dengan tidak rela mereka memandangi Kaisar melangkah di jalan setapak itu meninggalkan mereka. Jalan setapak itu mengarah ke belakang rumah, dan menanjak ke lereng bukit. Kabut pagi belum lenyap. Sungai Kuning tersembunyi dari pandangan. Malah mereka hanya bisa melihat beberapa meter taman di sekeliling mereka. Bunga-bunganya masih menguncup, pohon-pohonnya gelap oleh embun, guagua yang dibuat dari karang tak beraturan tampak lebih mirip makhluk aneh yang menjulang ke luar dari balik kabut. Mereka mendaki menembus kabut, dan puncak bukit itu tampak di hadapan mereka, bermandikan cahaya matahari. Jalan setapak itu berliku naik ke atas bukit dengan sangat tak kentara, sampaisampai Ping tidak menyadari pendakian itu. Di puncak bukit tanahnya datar. “Inilah Taman Keselarasan Tersembunyi,” kata Kaisar. Taman itu dibuat mengitari sebuah danau kecil yang bentuknya tak beraturan. Bunga azalea ungu pucat menjadi pembatas di jalan setapak itu. Di atas mereka, kuncup bunga ceri bergemeresik tertiup angin sepoi-sepoi. Sebuah jembatan berbentuk zigzag membawa mereka dari satu sisi danau ke sisi seberangnya. Pada teralis di atas kepala, sulur-sulur tanaman wisteria tumbuh merambati jembatan, sarat oleh bunga berwarna ungu. Cabang-cabang yang tumbuh liar menjulur ke luar dan masuk ke dalam air. Ikan-ikan besar berwarna Jingga berenang berputar-putar dengan malasnya di bawah permukaan. Bebek berenang dan menyelam mencari makanan. Kaisar menatap lekatlekat ke dalam air. “Apa yang Tuanku cari?” tanya Ping. “Bagaimana kalau kau memanggil namaku saja? Namaku Liu Che.” “Rasanya hamba tidak pantas berbuat begitu, Yang Mulia,” sahut Ping. “Aku perintahkan kau memanggilku Liu Che,” Kaisar berkata dengan tersenyum. Ping menarik napas dalam-dalam, merasa senang bahwa Penasihat Tian tidak ada di dekat situ.
“Kenapa kau melihat ke dalam danau, Liu Che?” “Ada kurakura di dalam danau,” sahut Kaisar. “Begitulah kata ibuku.” Di seberang jembatan, bunga musim semi bunga crocus berwarna biru langit, dafodil, bunga popi salju yang mungil tumbuh berdesakan dari tanah yang gelap. “Belum pernah hamba melihat tempat seindah ini,” kata Ping. Ini tidak sepenuhnya benar. Dia pernah melihat taman seperti ini dalam lukisan di Istana Huangling, tapi dia tak ingin Kaisar tahu bahwa dia pernah masuk diamdiam ke salah satu istananya. Di belakangnya Ping bisa mendengar suara samar bernada sumbang, seakan ada yang memukul gong dengan tak sabar. Sang naga rupanya tidak menikmati acara jalan-jalan ini seperti dirinya. Mereka berhenti dan beristirahat di sebuah paviliun, sebuah bangunan kecil yang indah, seperti istana mini. Bangunan itu bersisi enam, dan atapnya yang mungil memiliki enam sudut yang menjungkit ke atas, ditopang oleh enam pilar. Para penjaga keempat penjuru angin dilukis di bawah masing-masing pinggiran atap: naga biru untuk sebe lah timur, harimau putih untuk sebelah barat, kurakura hitam untuk sebelah utara, dan burung merah untuk sebelah selatan. Tidak ada tembok. Paviliun itu dibangun semata-mata sebagai tempat untuk me ngagumi sebatang pohon istimewa. “Pohon apa itu, Liu Che?” Ping bertanya. Cabang-cabang ramping pohon itu berwarna cokelat gelap dan lembap. Pohon itu tidak berdaun, tapi memiliki kuncup paling besar yang pernah dilihat Ping. Putik bunganya seperti tangan-tangan pucat yang dikepalkan. Beberapa telah membuka, menampakkan bunga putih bersih yang cantik, sebesar piala. “Itu pohon magnolia. Indah, kan?” Kaisar berkata. “Paviliun ini namanya Paviliun Mengamati Kuncup Magnolia Bermekaran.” Ping tersenyum. Nama yang tepat sekali untuk bangunan kecil ini. Liu Che beranjak untuk memetik sekuntum bunga itu. Diberikannya bunga itu pada Ping. Kabut di bawah sana menguap dalam matahari pagi dan menampakkan pedesaan yang membentang hingga nun jauh di sana. Sungai Kuning berkelokkelok di sebelah timur, seperti segulung kain ber warna kuning-cokelat yang ditebarkan begitu saja di atas lanskap tersebut. Di seberang sungai, dataran yang rata itu terbagi menjadi ladang ada yang hijau, ada yang kuning, ada pula yang cokelat. Di sebelah selatan yang ada hanyalah dedaunan berwarna gelap. Taman itu dirancang begitu rupa sehingga lereng bukit tidak terlihat, dan hanya pemandangan sekitarnya yang tampak. Taman itu seakan mengambang di udara. Liu Che mengisahkan tentang masa kecilnya di Chang’an. “Kita memiliki kesamaan, Ping,” katanya. “Kita sama-sama tak punya teman bermain waktu masih kecil.” “Apa Paduka tidak punya saudara lakilaki dan perempuan?” tanya Ping. “Punya, tapi saudara-saudara lelakiku dikirim ke tempat jauh untuk memerintah di provinsi. Sau-dariku masih sangat muda waktu dia menikah dan pergi bersama suaminya. Sebagian besar masa kecil kuhabiskan bersama pelayan yang menjadi teman bermainku satu-satunya.” “Bagaimana dengan orangtua Paduka?” Tanya Ping. “Ayahku selalu sibuk dengan urusan kekaisaran. Kesehatan ibuku kurang bagus, dan dia menganggap permainan yang kulakukan terlalu berisik.”
Ping sulit memercayai hal itu. Dari satu segi, sang Kaisar boleh dikatakan telah ditelantarkan oleh keluarganya, seperti Ping. Meski menyentuh Kai sar bisa dianggap kejahatan serius, Ping tetap saja menyelipkan lengannya ke lengan Kaisar. Liu Che tak keberatan. Mereka mengitari danau, mencari kurakura. “Aku punya sesuatu untukmu,” kata Kaisar. Dia menarik sesuatu dari lengan bajunya. Ping tak sanggup berkata-kata. “Ini bukan hadiah, Ping,” kata Liu Che. “Ini sudah menjadi hakmu.” Ping mengulurkan tangan, kemudian menariknya lagi. Dia mengenali benda yang disodorkan Kaisar. “Ini stempel jabatanmu, Ping,” Kaisar melanjutkan. Benda itu adalah stempel batu zamrud putih yang dulu milik Master Lan. Stempel itu dulu terjuntai dari pinggangnya pada seutas pita kotor. Lebih dari sekali Master Lan telah melempar stempel itu pada Ping. Ping mengambil stempel itu dari Kaisar dan membolak-baliknya. Dia belum pernah berkesempatan memeriksa benda itu dengan saksama. Stempel itu berbentuk persegi panjang tipis, lebarnya tidak lebih dari dua setengah senti. Satu ujungnya pipih dan diukiri huruf-huruf. Ujung satunya ada ukiran naga. Ukiran itu begitu hidup, sehingga Ping tak bisa membayangkan bagaimana sang seniman bisa mengukir kaki, gigi, dan sisik naga dengan begitu persis. Pita kotor Master Lan sudah digantikan dengan pita sutra ungu yang baru. Liu Che juga memberi Ping sewadah kecil tinta stempel. Dia menunjukkan cara mencelupkan stempel itu ke dalam tinta merah yang tebal. Dia memandang sekelilingnya, mencari-cari sesuatu untuk distempel. Diambilnya bunga magnolia di tangan Ping dan ditekankannya stempel itu ke salah satu kelopak bunganya. Ping melihat kulit di sekitar kuku-kuku ibu jari Kaisar yang terawat itu seperti bekas digigiti. Stempel itu meninggalkan gambar dua huruf merah darah dengan seekor naga kecil mungil bergelung di sekelilingnya. “Hamba tidak bisa membaca,” Ping berkata sedih. “Apa arti tulisan itu?” “Artinya Pengurus Naga Kaisar.” “Tapi hamba bukan Pengurus Naga Kaisar.” “Kau Pengurus Naga Kaisar. Aku telah mengang— katmu.” Kaisar menyerahkan stempel itu kembali pada Ping. “Terima kasih, Liu Che.” Ping mengikatkan stempel itu ke sabuknya. Mereka terus berjalan melintasi taman. Angin sepoi-sepoi mengusik udara dan bunga-bunga merah muda berguguran dari pohon ceri. Kaisar memandangi kelopakkelopak merah muda yang menempel pada lengan bajunya dan mengibas-kannya. “Andai aku tidak perlu memakai jubah hitam ini sepanjang waktu,” Liu Che mengeluh. “Warnanya membosankan sekali.” Jubah Kaisar dibuat dari sutra hitam mengilap bersulam benang emas. Menurut Ping, jubah itu indah sekali. “Tidak bisakah Paduka memakai apa pun yang Paduka inginkan?” tanya Ping. “Tidak.” Liu Che menghela napas. “Aku harus selalu memakai jubah kekaisaran, dan
hitam adalah warna resmi kekaisaran.” “Itukah sebabnya puncak atap istana selalu hitam warnanya?” Liu Che mengangguk. “Kenapa tidak ganti saja warna resmi kekaisaran?” kata Ping. “Tidak bisa. Selama seratus tahun, warna resmi kekaisaran selalu hitam.” “Tapi Paduka adalah Kaisar, Liu Che,” sahut Ping. “Tidak bisakah Paduka melakukan apa pun yang Paduka inginkan?” Liu Che berhenti melangkah. “Bisa,” katanya. “Kau benar, Ping. Akulah sang Kaisar.” Dia mengamati lanskap yang menjadi wilayah ke kaisarannya. “Warna apa yang akan menjadi warna resmi kekaisaran? Harus warna yang ceria.” Ping melayangkan pandang sekitar taman itu. Bunga dafodil bertebaran di manamana di petak-petak taman, di antara karang bebatuan. “Bagaimana kalau kuning?” sahutnya. “Itu warna yang bagus dan ceria.” Wajah serius Liu Che merekah menjadi senyuman. “Bunga dafodil bermunculan di musim semi, cerah dan ceria setelah musim dingin yang gelap dan mati. Warnanya adalah warna matahari yang menyinari seluruh wilayah kekaisaran. Juga warna emas, logam yang kecemerlangannya tak pernah pudar. Kuning adalah warna yang sangat tepat untuk melambangkan pemerintahanku.” Mereka meneruskan jalan-jalan, hingga tiba di Paviliun Burung Bulbul Pembawa Keberuntungan. Pemandangan dari paviliun ini beda. Paviliun itu menghadap ke selatan, tempat tumbuhnya pepohonan lebat yang terbentang dari tepi-tepi taman sejauh mata memandang. “Pondok Ming Vang adalah pondok berburu kekaisaran,” Liu Che menjelaskan. “Ayahku membangunnya supaya dia bisa berburu di hutan itu.” “Binatang apa saja yang diburunya?” “Rusa, beruang, harimau.” “Di sini ada harimau?” tanya Ping seraya memandang cemas ke tengah pepohonan. Kaisar tertawa. “Di taman ini tidak ada, tapi di hutan ada.” “Paduka pernah melihat harimau?” “Belum pernah,” sahut Kaisar. “Kurasa tak banyak lagi harimau yang tersisa.” “Sayang sekali,” kata Ping, meski dalam hati dia senang mereka takkan berpapasan dengan harimau. “Tapi kau bisa mendengar suara monyet.” Ping memasang telinga. Dia mendengar suara celotehan samar. “Aku tidak suka berburu,” Kaisar melanjutkan. “Aku sedang menimbang-nimbang untuk mengubah Hutan Harimau menjadi taman, dan di sana dilarang berburu. Aku ingin membawa hewan lain kemari hewan-hewan aneh dari negeri-negeri barbar.”
“Sepertinya itu gagasan bagus,” kata Ping. Kaisar menoleh pada Danzi yang sedang berjongkok tak senang di jalan setapak, kepalanya yang besar dan hijau bertaburan kuncup ceri. “Nagaku akan menjadi penghuni pertama di taman itu,” kata Liu Che. “Akan kubuatkan tempat tinggal khusus untuknya, berikut danau, Naga suka berenang, kan?” “Ya,” kata Ping, yang berusaha tidak mendengarkan suara cemas yang diperdengarkan sang naga. “Kau juga akan tinggal di sini, Ping,” kata Liu Che. “Oh,” kata Ping. “Terima kasih, Liu Che. Hamba senang sekali.” Itu tidak bohong. Ping memang ingin tinggal di Pondok Ming Yang. Tapi hal itu tak mungkin. Penasihat Tian muncul sehingga Ping tak perlu membicarakan masalah tersebut lebih lanjut. “Ah, Penasihat Agung,” Kaisar menyapa dengan ceria. “Kebetulan sekali aku ingin bertemu denganmu. Aku akan mengeluarkan keputusan resmi. Dua malah. Pertama, Hutan Harimau akan kujadikan taman untuk binatang. Dilarang berburu di sana. Selain itu, warna resmi kekaisaran mulai saat ini adalah kuning. Harap atur pembuatan jubah baru, dan semua istana di kekaisaran ini atapnya harus berwarna kuning.” Penasihat Tian sama sekali tidak kelihatan senang mendengar pengumuman Kaisar ini. “Barangkali Yang Mulia ingin mendengar beberapa saran mengenai kedua hal itu,” sahutnya. “Tidak, keputusanku sudah bulat,” Liu Che berkata ceria. “Sekarang, ada perlu apa kau kemari?” “Saya datang untuk memberitahukan bahwa rom bongan pertama para cendekiawan sudah tiba.” Penasihat Agung tampak sangat kesal karena dia belum tahu, kenapa Kaisar memanggil para cendekiawan itu. “Mereka menunggu di Kamar Awan Bertebaran.” “Ping, ayo ikut aku menemui para cendekiawan itu,” Liu Che mengajak. “Aku ingin mereka melihatku ber sama nagaku.” Sejauh ini Ping begitu menikmati semua ini, sampaisampai dia lupa pada naga yang masih terikat di ujung tali yang dipegangnya. Suara gemuruh kesal Danzi semakin keras. “Apakah dia lapar?” tanya Kaisar. Mereka melangkah ke arah Kamar Awan Bertebaran. Tiba-tiba perut Ping menjadi kram. Perasaan hangat dan damai yang tadi memenuhi dirinya seketika membeku. Ada seseorang yang dikenalnya di kamar itu, tapi dia tidak tahu siapa orang itu. Bukan Diao, dia yakin itu. Barangkali si necromancer. Tentunya tak mungkin Liu Che mengundang orang itu. Para pengawal membuka pintu. Ping dan sang naga ikut masuk di belakang Kaisar. Sepuluh tambah dua lakilaki berwajah serius sudah menunggu. Para cendekiawan terpana menatap sang naga. Liu Che tampak senang bahwa dia berhasil membuat para cen dekiawan ini terkesan. Ping mengamati wajah mereka. Hampir semuanya sudah sangat tua, dengan jenggot kelabu panjang. Hanya ada satu orang yang lebih muda. Senyum lega merekah di wajah Ping ketika dia menyadari siapa orang itu. Ternyata Wang Cao. Baru saja dia hendak bergegas menyalami Wang Cao, suara gemuruh sang naga berubah menjadi suara gong bernada panik.
“Ping mesti pura-pura tidak kenal,” suara sang naga berkata dalam benaknya. Wang Cao menatap naga itu dengan penuh minat, seperti baru pertama kali melihatnya. Dia menatap Ping sekilas tanpa menunjukkan tandatanda mengenali ketika dia berlutut di hadapan Kaisar bersama para cendekiawan lainnya. “Aku harus menyambut tamuku,” Kaisar berkata kepada Ping. Liu Che menghampiri para cendekiawan. Ping merasa Danzi menarik-narik tali pengikatnya. “Kembali ke kandang,” katanya. Ping menuntun naga itu kembali ke kandang lalu melepaskan ikatan di lehernya. Dengan rasa bersalah ditatapnya sang naga; dia menyadari Danzi tidak menikmati acara jalan-jalan di Taman Keselarasan Tersembunyi, tidak seperti dirinya. “Bagaimana Wang Cao bisa tahu kita ada di sini?” Ping bertanya. Sang naga menggelengkan kepalanya yang besar. “Dia tidak tahu. Wang Cao tak punya mata batin.” “Jadi, dia di sini hanya karena kebetulan?” “Langit menebarkan jalanya ke mana-mana. Meski lubangnya tidak halus, tak ada yang lolos ke luar.” Seperti biasa, kata-kata bijak sang naga tidak dipahami Ping. Ping meninggalkannya di kandang. Dia butuh berpikir. Dia harus mencari jalan untuk melarikan diri. Maka dia melangkah balik mendaki lereng bukit, menuju Taman Keselarasan Tersembunyi. Sambil duduk di Paviliun Mengamati Kuncup Magnolia Bermekaran, dia menyadari bahwa dia tidak perlu pergi ke Samudra untuk bisa hidup seperti putri raja. Dia membayangkan kehidupan di tempat indah ini. Bisa jalan-jalan di seputar tempat ini setiap hari, memandangi pepohonan dan bunga berganti warna seiring perjalanan musim, mendengarkan kicau burung dan celotehan monyet di kejauhan, barangkali sekali-sekali pergi ke Hutan Harimau dan menangkap sekilas sosok kuning bergaris-garis hitam itu di antara pepohonan. Ping memain-mainkan stempel batu zamrud yang tergantung di pinggangnya. Kalau mau, dia bisa saja memilih kehidupan semacam itu. Dia bisa makan burung hantu panggang dan buah persik. Liu Che akan jalan-jalan bersamanya setiap kali Kaisar itu mengunjungi Pondok Ming Yang, meminta saran mengenai urusan kekaisaran. Orang paling penting di kekaisaran ini akan menjadi sahabatnya. Kalau dia kabur bersama sang naga, dia akan menjadi buronan lagi. Kaisar tidak akan lagi menjadi sahabatnya. Seekor tupai melompat turun dari pohon di dekatnya. Ekornya yang lebat berkedutkedut takut, sepasang matanya yang kecil dan cerah itu melirik ke sekeliling, mencari-cari apakah ada bahaya. Ping duduk begitu diam, hingga tupai itu tidak memerhatikannya. Ketika Ping berdiri, binatang itu melompat kaget ke atas pohon dan lenyap seketika. Kehidupan semacam ini tak mungkin bagi Ping. Dia harus mendampingi sang naga ke Samudra. Naga itu masih meringkuk sedih di kandangnya. “Mesti memikirkan cara kabur,” kata sang naga, “Aku sudah punya cara,” sahut Ping. Enam burung layang-layang panggang dihidangkan untuk sang naga, tapi makanan itu tidak disentuhnya. Bahkan Hua pun tidak kelihatan berminat pada makanannya.
“Kita harus pergi malam ini,” kata Ping. “Bagus,” sahut sang naga. “Kita akan melintasi Hutan Harimau,” Ping meneruskan. “Takkan ada yang berani mencari kita di sana.” “Selamat malam, Yang Mulia,” Ping berkata sembari berlutut dan membungkukkan kepala hingga ke lantai, ketika Kaisar memasuki bangsal makan. Ping bukan satu-satunya tamu Liu Che dalam jamuan makan malam itu. Para cendekiawan dan tamu lainnya juga hadir, semuanya berlutut dengan dahi menyentuh lantai. Liu Che tersenyum bahagia. “Hari ini banyak membuahkan hasil, Ping,” katanya seraya melambai menyuruh Ping duduk di sampingnya. Para cendekiawan mengambil tempat masing-masing pada jarak yang sepantasnya dari Kaisar. Ping duduk di samping Kaisar, dan menyadari betul bahwa Wang Cao mengawasinya. “Aku sudah banyak belajar dari para cendekiawan ini,” Liu Che melanjutkan ucapannya. Para pelayan mulai membawa masuk makanan. “Mereka tahu banyak sekali tentang cara membuat ramuan untuk awet muda. Tahukah kau bahwa salah satu ahli alkimia ini umurnya sudah lebih dari seratus tahun?” Dia menunjuk lakilaki yang kelihatannya seperti baru berumur enam kali sepuluh. Kaldu burung la yang-layang yang dihidangkan di hadapan Ping harum sekali, tapi Ping hanya sanggup makan bebe rapa sendok. Perutnya bergolak cemas. Kaisar makan sambil bercakap-cakap, menceritakan berbagai peristiwa hari itu kepada Ping. “Menurut mereka, untuk membuat ramuan awet muda hanya dibutuhkan sedikit perubahan.” Semakin banyak hidangan dibawa masuk burung puyuh panggang, ikan karper cincang, telur burung bangau. Ping hanya makan masing-masing hidangan sesendok. “Mereka akan mulai mengerjakan ramuan baru setelah kembali ke Chang’an. Aku sudah menyiapkan istana kecil untuk mereka gunakan. Sementara itu, aku harus makan buah persik dan telur burung bangau, dan menelan sepotong cinnabar setiap hari. Pernahkah kau melihat cinnabar, Ping?1 Ping menggeleng, meski sebenarnya dia sudah pernah melihat cinnabar dalam campuran serbuk ledak Wang Cao. “Tunjukkan sedikit cinnabar pada Ping,” Kaisar memerintahkan para cendekiawan. Mereka semua menatap Ping dengan curiga. “Tidak apa-apa, saudara-saudara,” kata Liu Che seraya mengambil buah plum kering serta kenari air. “Tak perlu takut pada Ping. Wang Cao, ambil cinnabar, supaya aku bisa menunjukkan padanya.” Wang Cao membungkuk kepada Kaisar dan keluar dari bangsal perjamuan. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kantong dari kulit. Dia membungkuk di samping meja Ping. Disingkirkannya piala anggur Ping dan dikeluarkannya cinnabar itu, yang terbuat dari kristal-kristal merah gelap.
“Indah sekali,” kata Ping, yang tidak berani menatap sang tabib. “Ping adalah Pengurus Naga Kaisar,” Liu Che menjelaskan. Wang Cao menatap sekilas dengan tajam sambil membungkuk ke arah Ping. “Para cendekiawan ini sangat berminat kepada nagaku,” Kaisar meneruskan. “Kata mereka, dia akan berguna. Benarkah itu?” “Benar, Yang Mulia,” sahut Wang Cao. “Sisik naga adalah bahan penting dalam membuat ramuan.” “Ping akan ambilkan beberapa. Bukankah begitu, Ping?” “Tentu, Yang Mulia,” jawab Ping, meski dia tak yakin Danzi bersedia memberikannya. “Mungkin perlu juga memeriksa sifat darah naga itu, Yang Mulia,” kata cendekiawan lainnya. Ping mengangguk pada cendekiawan itu, meski dia sama sekali tidak bakal meminta sang naga untuk melukai dirinya sendiri demi mengambil darahnya. Kaisar memberitahukan semua rencananya pada Ping. Dia hendak mengirim penjelajah ke barat, untuk mencari Pegunungan Kunlun serta buah kehidupan. Ping menghabiskan sisa anggurnya. Kini, setelah memutuskan bahwa sudah waktunya kabur, dia ingin menuntaskan rencananya itu sesegera mungkin. Tapi dia tak bisa meninggalkan bangsal perjamuan sebelum Kaisar beranjak dari sana. Dia berusaha menahan kuap. Ketika Liu Che akhirnya keluar ruangan, Ping kembali ke kamarnya. Seprai sutra dan ranjang yang hangat itu kelihatan begitu menggodanya. Ping menguap. Kenapa dia merasa sangat lelah, padahal ada tugas sangat penting yang harus dilaksanakan? Dilepasnya gaun sutra biru yang telah dia kenakan selama dua hari belakangan ini, dan dia letakkan dengan rapi di tempat tidur. Kemudian dia mengenakan gaun sederhana miliknya sendiri (yang telah dikembalikan pa danya dalam keadaan bersih dan wangi) lalu dia ambil keranjangnya. Untuk terakhir kali dia menatap gorden sutra dan lukisan di dinding yang hanya kelihatan samar-sama dalam cahaya bulan, lalu keluar dari kamar yang indah itu. Ada tiga pengawal kekaisaran di halaman. Ping menyelinap tanpa ketahuan. Dia melintasi kebun menuju ke kandang. Itu bukan rute yang paling dekat, tapi dia ingin melihat taman itu sekali lagi. Taman itu bermandikan cahaya bulan. Dedaunan tampak seperti diperciki cat warna perak. Setiap kolam dan anak sungai memantulkan rembulan yang bergerak di permukaan airnya. Hanya suara-suara pelan malam siulan seekor burung malam, kepakan sayap kelelawar, gemeresik suara binatang kecil yang mengganggu kesenyapan itu. Cahaya bulan tidak mencapai kandang itu. Ping menyesal kenapa tidak membawa lampu. Perlahan-lahan dia melangkah ke arah kandang, mencari-cari jalan sepanjang dinding-dinding kayu. Dia hanya bisa melihat naga itu samar-samar dalam kegelapan. Danzi tidak sendirian. Ada Wang Cao bersamanya. Mereka duduk berdekatan. Sang tabib berbisik. Sang naga memperdengarkan bunyi berdenting senang seperti helai-helai logam tipis yang bergoyang ditiup angin sejuk. Sudah berhari-hari Ping tidak mendengarnya memperdengarkan suara seperti itu. Ketika melihat Ping masuk, mereka berhenti meng obrol. “Ping,” kata Wang Cao. “Siapa mengira kita akan bertemu lagi!”
Dia kedengaran senang melihat Ping, tapi wajahnya tetap tampak keras. Ping tersenyum. “Senang melihatmu lagi, Wang Cao.” Tabib itu memegang sesuatu di pangkuannya. Ping melihat lebih dekat. Senyumnya memudar. Yang ada di pangkuan Wang Cao itu batu naga. “Kulihat kau telah mengurus batu naga dengan lebih baik,” kata Wang Cao. “Kami akan pergi malam ini,” kata Ping. Entah ke napa mulutnya terasa susah sekali mengeluarkan kata-kata itu. “Danzi sudah mengatakan.” Ping mengulurkan tangan dan mengambil batu naga itu dari Wang Cao. Dilihatnya tabib itu membawa tas kulit di bahunya. Ping merasakan permukaan sejuk batu itu di bawah jemarinya. Gelombang rasa senang merambati lengannya, hingga ke keseluruhan tubuhnya. Pada saat yang sama, bulan muncul dari balik awan dan menyorotkan sejalur cahaya pucat pada batu itu, Warna ungunya begitu pekat dan mencolok, guratan putih susunya hanya terlihat samara dalam cahaya remang-remang. Ping menaruh batu itu ke dalam keranjang. Keranjang itu hampir-hampir tidak muat. Ping merasa pening. “Apa Ping yakin ingin pergi?” tanya sang naga. Ping menyandang keranjang itu di bahunya dan merasakan batu itu bersandar pada pinggulnya. “Aku yakin,” katanya. “Kaisar akan marah.” “Aku tahu. Liu Che akan memberlakukan kembali keputusan yang menyatakan aku mesti dipancung,” Ping berkata sedih. “Mau bagaimana lagi?” Ping melepaskan tali di seputar leher naga itu. Kemudian dia memastikan Hua nyaman ber ada di balik salah satu sisik Danzi yang tumbuh terbalik. “Danzi,” katanya. “Aku ingin minta bantuanmu.” Dibelainya bagian yang lunak di bawah dagu naga itu. “Para cendekiawan Liu Che menginginkan sisik naga untuk membuat ramuan awet muda untuk Kai sar,” katanya. “Bersediakah kau mengizinkan aku mengambil satu saja sisikmu untuk mereka?” Sekonyong-konyong naga itu berdiri pada kaki belakangnya. Ping mundur dengan kaget. Kemudian Danzi mulai memeriksa sisik-sisik di perutnya dengan kaki depannya. “Sisik di sebelah sini lebih gampang diambil,” katanya. “Tumbuh lebih cepat.” Ping mengamati naga itu memilih salah satu sisik. Dia teringat ucapan Danzi dulu, bahwa beberapa sisiknya bisa digunakan untuk kebaikan, beberapa lainnya untuk kejahatan. “Pastikan kau memilih yang untuk kebaikan,” katanya. Ping berjengit ketika sang naga mencabut sisiknya. Kelihatannya sakit sekali. Danzi mencabut satu lagi, dan satu lagi. Lalu diberikannya ketiga sisik itu pada Ping. “Bila aku bisa menulis, aku akan mening galkan pesan untuk Kaisar,” kata Ping. “Bisakah kau memastikan ketiga sisik ini sampai padanya, Wang Cao?”
Sang tabib mengambil sisik-sisik itu dan mengangguk. Danzi masih terus mencari-cari di antara sisik-sisiknya. Dia mencabut satu sisik lagi. “Satu ini buat Ping,” katanya seraya mengulurkan sisik itu. “Suatu hari nanti mungkin berguna.” Ping tak membayangkan dia akan keku rangan sisik naga saat dia membutuhkan, dengan adanya naga raksasa ini di sampingnya. Namun diambilnya juga sisik itu. Bentuknya seperti kipas kecil dan pas sekali di telapak tangannya. Rasanya keras seperti kuku dan kasar kalau disentuh. Sisik-sisik itu hijau, tapi warnanya berkesan aneh, membuat Ping berpikir bahwa kalau diangkat ke cahaya terang, sisik-sisik itu seperti transparan. Ada setitik darah di tempat sisik itu dicabut dari daging sang naga, Ping menoleh kepada Wang Cao. “Aku tak akan bertemu lagi denganmu,” katanya. Setidaknya itulah yang coba dia katakan, namun kata-katanya terdengar seperti diseret dan tak bisa dipahami. Dia maju selangkah, tapi kehilangan keseimbangan. Dia mengulurkan tangan untuk menahan badannya, tapi kakinya lemas dan ambruk sebelum tangannya sampai ke tembok. Kandang serasa memudar. Dia melihat ekspresi serius di wajah Wang Cao berubah. Semula dikiranya itu akibat pengaruh cahaya bulan, tapi tidak. Tabib itu tampak tersenyum. Pandangan Ping menjadi buram. Ping menunggu matanya bisa fokus kembali. Perlu beberapa saat untuk itu. Lalu dia bangkit dan berdiri goyah. Dia tak perlu mencari batu naga itu. Dia sudah tahu batu itu lenyap. Galur-galur cahaya bulan yang pucat menyelinap menembus batang bambu yang menjadi tembok kandang. Kandang itu kosong. Sang naga juga sudah pergi. Suara melengking memecahkan kesenyapan malam. Jerit kesakitan dan pengkhianatan. Jeritan menyayat hati yang membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi putus asa. Ping merangkak. Sesuatu yang kecil dan berbulu berlari cepat ke arahnya dan menyembunyikan diri di dalam lipatan gaunnya. Tapi itu pun tak membuatnya lebih tenang. Para pengawal istana muncul di belakangnya, mengarahkan lampu kepadanya, tapi terlalu takut untuk mendekat. Wajah mereka merefleksikan kepedihan dalam jeritan tadi. Jeritan itu masih terus dan terus terdengar. Jeritan yang akan menguras habis seluruh kebahagiaan di dunia. Ping serasa tak mengenali tubuhnya sendiri yang meringkuk di dalam jerami. Yang ada di kepalanya hanyalah jeritan itu. Jeritan itulah keseluruhan dirinya saat ini. Dan sampai nanti. Para pengawal membuka jalan, dan sebuah sosok kecil melangkah menghampiri dalam balutan pakaian tidur putih. Ping hanya samar-samar menyadari gerakan itu. Rasanya semuanya terjadi di tempat lain, jauh dari tempat dia berada saat ini. Kemudian sosok dalam pakaian tidur putih itu meraih kedua lengan Ping dan mengguncangnya. “Ping,” katanya. Jeritan itu berhenti dan Ping bersandar pada bahu sang Kaisar, dan menangis.
21 Setengah Jalan Ke Surga
Ping sudah kembali berada di tempat tidur hangat itu, di antara seprai dan selimut sutra yang halus. Dia meminum ramuan panas dari cangkir tanah liat berwarna biru. Minuman itu dibuat oleh tabib pribadi Kaisar. Kaisar berdiri di ujung tempat tidur, dikelilingi pengawal, menteri, dan para pelayan. Meski Kaisar menatap Ping dengan wajah cemas, orang lainnya memandangi gadis yang tadi menjerit nyaring itu dengan wajah ketakutan. Ping berharap bisa menganggap apa yang terjadi tadi sebagai mimpi buruk, tapi penyangkalan kecil itu pun tak dimungkinkan. Ping merasa seperti ada orang yang telah merogoh jantungnya dan meremasnya. “Naga itu sudah pergi,” katanya. Kaisar mengangguk. “Bukan hanya dia,” sahutnya. “Wang Cao, tabib dari Chang’an, juga menghilang semalam. Para pengawalku menemukan gerbang selatan sudah dibuka. Mereka yakin tabib dan naga itu pergi ke Hutan Harimau.” Kedua tangan Ping gemetar. Sang tabib meraih cangkirnya sebelum Ping menjatuhkannya. Ping terhenyak kembali ke tempat tidur. “Dia butuh istirahat, Yang Mulia,” kata sang tabib. “Pukulan ini terlalu berat buatnya.” Masih ada hal lain yang diucapkan, tapi Ping tak dengar. Sosoksosok di sekeliling tempat tidurnya lenyap. Dia hanya samar-samar menyadari ketika me reka pergi. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamar itu. Ping menutupi kepalanya dengan selimut sutra. Dia tak ingin melihat cahaya fajar yang cerah. Dunia di luar sana telah menjadi dunia hantu yang tidak sungguh-sungguh ada. Satu-satunya yang dia rasakan hanyalah kepedihan di jantungnya, seperti habis ditikam. Lao Ma pernah menceritakan kisah-kisah tentang para putri yang patah hati. Ping waktu itu tidak menyadari bahwa patah hati bisa menimbulkan kepedihan seperti ini. Danzi telah meninggalkannya, dengan membawa batu naga itu. Dia pernah mengatakan bahwa Ping orang yang istimewa, Pengurus Naga. Dia telah me ng ulurkan cermin Pengurus Naga kepada Ping. Ping telah mengulurkan tangan untuk menerimanya. Tapi cermin itu tak pernah sampai di tangannya, sebab perhatiannya teralihkan. Dia terlalu banyak meng habiskan waktu bersama Liu Che. Kenyamanan hidup di istana telah membuatnya terlena. Dia membiarkan dirinya dibelokkan dari tujuan untuk mencapai Samudra, oleh persahabatan dari orang yang sebaya dengannya. Dan yang terburuk, dia telah menerima stempel Pengurus Naga Kaisar. Danzi melihatnya mengambil stempel itu dari Kaisar. Wang Cao tentu telah melihat stempel itu terjuntai di pinggangnya, pada seutas pita ungu cerah. Rasa marah menguasai Ping ketika dia teringat tabib itu. Dia ingat tangan Wang Cao sekilas melewati pialanya ketika sedang menunjukkan kristal-kristal cinnabar itu padanya. Wang Cao pasti telah memasukkan sejenis obat tidur di dalam anggurnya agar dia tak bisa mengikuti mereka. Sang naga rupanya tidak memercayainya. Danzi telah memilih Wang Cao untuk pergi bersamanya ke Samudra. Ping tidak lulus ujian itu. s Ping tidak bangun dari tempat tidurnya selama tiga hari. Dia tidak banyak tidur, tapi dia merasa enggan untuk bangun. Setiap kali dia tidur sebentar, mimpinya selalu tentang batu naga itu. Dan dia terjaga karena mendengar suara-suara nyaring yang telah didengarnya di Wucheng. Dia tidak mau makan, dan ketika salah seorang pelayan datang untuk memandikan dan menyisiri rambutnya, Ping menarik Hua dari balik selimut. Pelayan itu lari keluar sambil menjerit-jerit. Kaisar datang mengunjunginya setiap hari. Dia mengirim pemusik dan monyet-monyet sirkus untuk menghibur Ping. Dia menyuruh para pelayan menggendong Ping ke taman. Tapi Ping tak menunjukkan minat pada apa pun.
“Kau telah membuat takut para pelayan,” kata Liu Che ketika dia datang mengunjungi Ping pada hari ketiga. “Gadis pelayan yang ditugasi melayani-mu menolak masuk ke kamarmu. Dia bilang kau penyihir. Katanya ada tikus di tempat tidurmu.” Liu Che terperanjat ketika Ping menarik keluar tikusnya dari balik selimut. “Ini Hua,” katanya. Liu Che tersenyum seraya memandangi Ping menggelitik perut tikus itu. “Apa kau sudah biasa berteman dengan hama?” “Hanya yang satu ini,” Ping menyahut. Kaisar duduk di ujung tempat tidur Ping dan dengan takut-takut membelai tikus itu. “Ping, besok aku akan ke Tai Shan,” katanya. “Menurut para peramalku, sebentar lagi adalah hari yang paling baik untuk mendaki ke puncaknya dan me mohon berkah dari Langit.” Ping tidak mengatakan apa-apa. “Aku ingin kau ikut,” kata Liu Che. “Tai Shan sangat indah, begitulah yang kudengar. Barangkali pemandangan di sana bisa mengembalikan semangatmu.” Kaisar berpikir sejenak. “Kau boleh mengajak tikusmu.” Ping tidak keberatan. Tak ada gunanya berdebat dengan Kaisar. Jarak ke Tai Shan tidak jauh, hanya sekitar seratus //, tapi Kaisar tidak perlu berjalan kaki ke sana. Dia juga tidak pergi sendirian. Sekereta penuh orang mengiringinya. Empat lakilaki mengusungnya dengan tandu dari kayu eboni mengilap berhiaskan pola halus awan yang berarak, dalam warna perak dan ungu pucat serta bertatahkan mutiara. Tiraitirai berbordir menyembunyikan sang Kaisar dari pan dangan. Pena sihat Agung, para menteri, dan ahli nujum yang akan melaksanakan upacara semuanya bepergian naik kereta. Serombongan kecil pengangkut barang membawa barang kekaisaran (makanan, peralatan memasak, berkotak-kotak jubah, tempat tidur portabel, tenda) yang digantung pada galah yang mereka pikul di pundak. Ada juga pengawal, pelayan, dan seorang juru masak. Di barisan paling belakang ada sepuluh kambing yang akan dijadikan per sembahan. Mereka diawasi oleh dua bocah yang tampak kumal. Ketika Kaisar bersikeras agar Ping naik salah satu kereta bersama para menteri, Ping tidak menolak. Dia tidak kuat lagi berjalan kaki. Dipandanginya lading yang datar tanpa minat. Kereta yang terantuk-antuk di jalanan pedesaan yang jelek membuat dia tak bisa tidur sepanjang perjalanan. Para menteri tidak meng ajaknya bicara. Dia dibiarkan dengan pikiranpi kirannya sendiri, yang terus saja mengulang-ulang kejadian pada minggu-minggu sebelumnya, sambil menyesali kenapa dia tidak mengambil keputusan yang berbeda. Ketika rombongan kaisar memasuki pedesaan, para petani di ladang menurunkan cangkul dan meninggalkan alat bertani mereka. Semuanya berlutut dengan wajah menyentuh tanah saat Kaisar lewat. Ketika rombongan itu berhenti untuk bermalam, perkemahan mereka terang benderang oleh lampu dan berisik oleh berbagai kegiatan. Mereka berangkat kembali keesokan paginya, rombongan itu meninggalkan hasil panen yang terinjak-injak, tulang ketika mereka ketika
ikan, kulit buah, dan kotoran sapi. Ping teringat betapa mudahnya dulu dia bepergian bersama Danzi. Betapa sedikit bawaan mereka. Betapa cepat bergerak melintasi pedesaan. Betapa sedikit orang yang memerhatikan mereka lewat.
Sewaktu rombongan berhenti pada penghujung hari kedua, Ping turun dari kereta,
Di sebelah utara, selatan, dan barat, pedesaan itu membentang datar dan tidak bergunung ataupun berbukit, tapi di sebelah timur keadaannya berbeda. Di arah itu sebuah pegunungan menjulang begitu saja dari dataran itu dalam serangkaian karang kelabu samar. Puncak-puncaknya yang tidak beraturan menghilang ke dalam awan. Satu-satunya tumbuhan di sana adalah pohon pinus yang tumbuh berpegangan pada lereng bukit dalam kantong tanah di dalam celah atau retakan. Pohon-pohon itu kecil dan tumbuh meliukliuk ke arah matahari. Pegunungan itu sangat megah dan aneh nya terlihat akrab. Sekonyong-konyong ingatan tentang Huangling berkelebat dalam benak Ping. Bukan karena Pegunungan Tai Shan yang megah itu mengingatkannya akan lereng gersang gunung yang dulu menjadi rumahnya. Keduanya tak bisa di bandingkan. Yang diingat Ping adalah lingkaran cahaya lampu dalam kegelapan. Salah satu lukisan yang pernah dilihatnya di tembok Istana Huangling menggambarkan pegunungan ini. Dulu dia mengira pegunungan terjal dan indah itu hanya ada dalam imajinasi si pelukis. Sampai sejauh ini, Ping tidak berminat tahu tentang tempat tujuan mereka, tapi kini, setelah melihat lereng keramat Tai Shan, perasaannya jadi ber beda. Dikeluarkannya Hua untuk menunjukkan pemandangan itu. “Lihat, Hua,” katanya. “Itu Tai Shan, dan kita akan mendakinya.” Keesokan paginya Ping tidak ikut naik kereta, Dia berjalan di samping tandu Kaisar. Matanya terarah ke pegunungan, memandangi gunung yang semakin besar dan tampak angkuh ketika mereka semakin dekat. “Tai Shan adalah satu dari lima gunung suci di kekaisaranku,” Lie Che memberitahunya ketika mereka berhenti untuk makan siang. “Puncaknya menjulang hampir mencapai Langit. Ke sanalah para Kaisar pergi untuk berbicara dengan para leluhurnya yang telah tiada, dan memohon berkah agar pemerintahannya langgeng dan sukses.” Kaisar bicara dengan ceria sambil makan, tapi Ping memerhatikan dia menggigiti kulit di seputar kuku ibu jarinya hingga berdarah. Rombongan mereka tiba di kaki Tai Shan malam itu. Para pemikul barang mendirikan tenda untuk Kaisar. Para pelayan pribadi Liu Che mengeluarkan meja, tempat tidur Kaisar, karpet dan bantal untuk melengkapi tenda. Juru masak mengeluarkan peralatan masak dan mulai menyiapkan makanan untuk Kaisar. Kaisar menghampiri Ping. “Kita akan beristirahat di sini besok,” katanya. “Lalu malamnya kita mulai mendaki gunung itu.” “Kenapa tidak mendaki di siang hari, Liu Che?” tanya Ping. “Hamba yakin itu jauh lebih mudah.” “Kalau mendaki pada malam hari, kita akan tiba di Puncak Kaisar Batu Zamrud saat subuh. Itu waktu yang paling bagus untuk menghadap Langit dan para leluhurku yang terhormat. Hanya aku, ahli nujum, Penasihat Tian, dan beberapa pelayan yang akan mendaki. Kau boleh tetap di perkemahan, Ping.” “Hamba ingin ikut mendaki gunung itu bersama Yang Mulia, kalau boleh.” “Hanya aku yang boleh menginjak Puncak Kaisar Batu Zamrud,” kata Liu Che. “Tapi kau boleh mendaki bersamaku ke Gerbang Selatan, kalau kau mau.” “Terima kasih, Yang Mulia.” Liu Che menatapnya. “Apa kau yakin bisa melakukan pendakian sesulit itu, Ping?” “Hamba yakin. Hamba sudah merasa jauh lebih baik.” Mereka makan sup kaki beruang, bangau pang gang dengan saus plum, acar ikan, dan Sentil merah, disusul dengan irisan jeruk, buah persik kering, dan kenari. Itulah makanan terakhir Kaisar sebelum mendaki gunung. Besok dia harus berpuasa sepanjang hari.
“Setelah aku memberikan persembahan kepada Langit,” kata Kaisar, “aku akan bertukar pikiran dengan menteriku dan memikirkan cara untuk menangkap kembali nagaku.” Ping tidak berkata apa-apa. Danzi memang telah memilih untuk meninggalkannya, tapi naga itu sudah bebas. Ping tahu dia tidak akan mau membantu Kaisar menangkap kembali naga itu. Keesokan harinya rasanya dua kali lebih lama daripada hari lainnya. Ping tidak sabar ingin segera mendaki. Semua orang sibuk mempersiapkan pendakian, tapi dia tak punya kegiatan apa pun untuk menghabiskan waktu. Dipandanginya anakanak bermain-main dengan kambing-kambing mereka, melemparkan bola kulit ke punggung binatang-binatang itu, main kejar-kejaran. Kegembiraan mereka ternyata menular, Mau tak mau Ping jadi tersenyum. Entah kenapa, membayangkan akan mendaki Tai Shan membuatnya merasa lebih bahagia daripada yang dirasakannya sejak Danzi meninggalkan dirinya. Siang itu Liu Che masuk ke tendanya bersama sang ahli nujum untuk melakukan upacara pembersihan diri. Ping, Penasihat Agung, dan para pelayan hanya makan sedikit makanan itu kalau dilihat dari stan dar makanan kekaisaran yang biasanya, tapi tetap jauh lebih mewah dibandingkan makananma kanan sederhana yang dimakan Ping dan Danzi se waktu mereka bepergian bersama. Bahkan ada kalanya mereka tidak makan berhari-hari karena tidak menemukan makanan. Ping tersenyum sendiri ketika teringat betapa senangnya Danzi setiap kali berhasil menangkap burung layang-layang untuk dipanggang. Ping sendiri sudah mulai menyukai makan burung layang-layang. Hidangan-hidangan Kaisar sangat le-zat, tapi Ping rela mengorbankan apa pun demi bisa duduk bersama Danzi di dekat api unggun kecil setelah seharian berjalan kaki, hanya makan kacang dan buah beri. Ping memberi makan Hua sebanyak yang mau dimakan tikus itu, supaya Hua mau tidur selama pendakian dan tidak gelisah. Selesai makan, ketika Ping mulai mengantuk, seorang menteri memukul gong sebagai pemberitahuan bahwa Kaisar akan mulai men daki Tai Shan. Rombongan yang akan berangkat jumlahnya jauh lebih sedikit. Selain Penasihat Tian, si ahli nujum, dua pengawal dan seorang pelayan, para penggembala juga diajak untuk menggiring kambing-kambing yang akan dijadikan sesajian. Liu Che keluar dari tenda dengan mengenakan jubah indah terbuat dari satin hitam, bersulamkan benang perak dan bertatahkan batu-batu mulia. “Apa kau akan ikut mendaki gunung bersamaku, Ping?” tanyanya. “Aku ingin sekali, Yang Mulia.” “Bakal makan waktu semalaman. Apa kau yakin kau cukup kuat?” “Aku yakin.” Kaisar mesti berpuasa sampai pagi, tapi juru masak membawakan kue-kue gandum untuk orang yang menemani Kaisar mendaki gunung. Seorang peng awal memimpin di depan dengan membawa obor yang menyala terang. Ahli nujum mengikuti dari belakang. Ping mengira Liu Che akan naik kembali ke tandu, tapi ternyata tidak. Dia mulai mendaki lereng. “Jalanlah bersamaku, Ping,” katanya. Penasihat sesuai permintaan Kaisar. Sang Penasihat Agung Che, diikuti si pelayan. Di belakangnya adalah Paling belakang berjalan pengawal satunya yang
Tian melotot, tapi Ping melakukan mengambil tempat di belakang Liu kambing dan para penggembala. juga membawa obor.
Mulanya pendakian itu mudah. Ping tidak membawa beban apa pun dan lereng gunung
itu mulanya landai saja. Bulan sudah muncul di langit. Ketika mereka lewat di bawah gerbang bercat, Ping bisa melihat ukiran naga dan qilin. “Itu Gerbang Awal Perjalanan,” kata Liu Che. “Paduka pernah ke sini, Liu Che?” tanya Ping. “Belum pernah,” sahut Kaisar, “tapi para menteriku sudah memberitahukan tahapan perjalanan ini. Berikutnya kita akan tiba di Terowongan Cypress.” Benar saja, bulan mulai menghilang di balik kegelapan pekat. Ping bisa melihat pohon di kedua sisi jalan setapak. Cabang gelap pepohonan menggapai dan bertemu di atas jalan itu, saling bertautan dan membentuk terowongan hidup. Ketika mereka keluar dari ujung Terowongan Cypress, jalan setapak itu men jadi lebih curam. Kambing-kambing di belakang Ping mengembik mengeluh. Anakanak penggembala memukul seraya berteriak kasar agar binatang-binatang itu jalan terus. Si ahli nujum mulai melantunkan nada-nada rendah. Tak lama kemudian semua orang melangkah beriringan mengikuti irama lantunan tersebut. Kemudian jalan setapak dari tanah itu berakhir dan Ping merasakan batu karang di bawah kakinya. Dia tersandung menabrak undakan. Ping mendongak dan cahaya bulan menerangi jalan kecil di hadapan mereka. Jalan itu terbuat dari ratusan anak tangga yang dipahat dalam batu karang Tai Shan. Rangkaian undakan itu menanjak ke atas gunung sejauh yang bisa terlihat dalam cahaya bulan samar-samar. “Ada berapa undakan?” tanya Ping. “Tujuh ribu,” sahut Liu Che. Sang Kaisar kedengaran lelah. Seharian dia tidak makan. Ping berpikir sebaiknya dia tidak bertanya macam-macam dan membiarkan Kaisar memusatkan pikiran untuk mendaki. Kini undakan itu terlalu sempit baginya untuk melangkah di samping Kaisar, jadi Ping berjalan di belakangnya. Sambil naik, Ping mulai menghitung undakan itu. Sampai pada angka tiga ratus, lima kali sepuluh, dan enam, dia tidak bisa menghitung lagi. Dia mulai lagi dari awal, tapi lantunan sang ahli nujum membuatnya mengantuk. Dia memejamkan mata, mendaki satu undakan mengikuti irama lantunan sang ahli nujum. Ping bertanyatanya, mungkinkah dia bisa berjalan sambil tidur? Kemudian dia terbangun dari mimpi di mana Master Lan berteriak menyuruhnya bangun. Dia menyadari bahwa dia tergeletak di undakan itu. Para penggembala kambing berteriak menyuruhnya terus berjalan, sebab dia menghambat kambing. Ping cepat-cepat menyusul rombongan di depannya. Tak lama kemudian Penasihat Tian berseru untuk berhenti, dan mereka bisa beristirahat sebentar. Ping makan sepotong kue gandum dan minum dari anak sungai gunung. Liu Che duduk dalam diam. Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan malam seperti ini, tidak ada pemandangan indah yang menghibur. Yang dilihat Ping hanyalah bentuk gelap batu-batu karang di tepi jalan setapak, sesekali ada pohon pinus bengkok dan undakan tanpa akhir yang menanjak di hadapannya. Mereka lewat di bawah sebuah gerbang berukir lain. “Kita sudah lebih dekat dengan puncak gunung?” Ping bertanya pada Penasihat Tian. Penasihat Tian menggeleng dan menunjuk ke lengkung gerbang. “Ini namanya Gerbang Setengah Jalan ke Surga.” Kaki-kaki Ping serasa terbuat dari batu. Otot be tisnya sakit sekali. Dia sangat lelah, hingga ingin rasanya menggeletak di pinggir jalan, meski malam itu udara mulai dingin. Dia tak penting bagi upacara ini. Takkan ada yang memerhatikan kalau dia tidak hadir. Tapi dia tak ingin mengecewakan Liu Che, membiarkan sang Kaisar mendaki tanpa ditemani. Meski puncak Tai Shan hanya tampak sebagai bentuk
hitam tak berbintang berlatar belakang langit malam, Ping bisa merasakan puncak itu menariknya untuk terus mendaki. Bayangan gunung yang menjulang itu, yang telah dilihatnya selama siang tadi, masih tetap terbayang meski dia memejamkan mata. Dia harus mendaki sampai ke puncak. Undakan itu menjadi securam tangga. Jalan setapaknya meliuk dan berkelok. Ping melangkah dengan susah payah. Dia tidak lagi melihat si pengawal yang membawa obor serta sosok Liu Che yang tampak gelap. Kemudian undakan itu berakhir dan jalan setapaknya menjadi landai. Sungguh melegakan setelah berjalan mendaki begitu lama. Sekonyong-konyong embusan angin sejuk melayang melintasi jalan setapak itu. Ping bisa melihat jalan di hadapannya, ditandai oleh batu kerikil putih kecil yang me mantul dalam cahaya pucat rembulan, namun kedua sisi jalan setapak itu gelap gulita. Dia baru saja bisa melihat karang di kedua sisinya ketika mendaki tadi. Kini kegelapan yang melingkupinya serasa ringan bagai udara, tak berujung. Angin bertiup dari bawah, mengembangkan gaunnya. Ping merasa ada turunan curam di kedua sisinya dan merasa bersyukur dia tak bisa melihatnya. Kambing sudah berhenti agak di belakangnya, mengembik dengan menyedihkan. Mereka tidak ingin melintasi jalan setapak itu. Penasihat Tian berbalik untuk menyuruh kedua penggembala agar bergegas. “Bawa binatang itu menyeberangi Jembatan Awan sebelum bulan ber sembunyi di balik awan,” teriaknya. Ping melangkah ke jembatan sempit itu. Dia memusatkan matanya pada batu-batu putih yang menandai jalur mereka dengan jelas, seperti diterangi ribuan lampu kecil. Kemudian bulan menghilang di balik awan dan batu-batu itu tak terlihat lagi. Ping berhenti di tengah jembatan. Di depan sana yang tampak hanya kegelapan pekat. Dia menoleh untuk melihat apakah yang lain ada di belakangnya, tapi si pengawal yang membawa obor juga tidak kelihatan, karena masih menapaki undakan terakhir. Ping tidak melihat siapa-siapa. Dia seorang diri di jalur sempit itu, diselubungi kegelapan, dan angin dingin. Tanah berada jauh di bawah sana. Dia berbalik, namun kehilangan arah. Dia tidak tahu mesti berjalan ke mana. Kalau salah melangkah, dia akan terjungkal jatuh dari atas gunung. Desau angin di sela bebatuan karang menenggelamkan suara bocah penggembala serta embikan kambing. Ping berseru, tapi angin menelan suaranya yang lemah begitu dia meneriakkannya, dan membawanya ke dalam kegelapan. Jantungnya berdebar makin kencang dan makin kencang di kedua telinganya, sampai detaknya menenggelamkan raungan angin. Kedua kakinya gemetar karena kedinginan, kelelahan, dan ketakutan. Beberapa hari sebelumnya, ketika Danzi meninggalkannya, dia tak peduli andai pun dia mati terjatuh dari atas gunung. Tapi kini dia tahu bahwa dia tak ingin mati. Serasa ada kekuatan baru yang memenuhi tubuhnya. Kekuatan yang bukan berasal dari kegelapan di sekelilingnya, melainkan dari dalam dirinya. Dia teringat ucapan Danzi bahwa dia memiliki mata batin. Maka, bukannya berusaha mencari jalan dalam kegelapan, Ping memejamkan mata. Jalannya menjadi lebih jelas. Memang dia tidak melihat, namun dia merasakan kekokohannya yang mantap. Dia maju se langkah dengan hatihati, lalu satu lagi. Tahu-tahu dia sudah melangkah maju dengan penuh keyakinan, kedua matanya terpejam rapat, sampai dia merasakan embusan angin berhenti dan batu karang yang kokoh kembali menjulang di kedua sisi jalan setapak. Maka dibukanya matanya. Bulan muncul dari balik awan. Batu-batu kerikil yang diterangi cahaya bulan mengapit kedua sisi jalan di belakangnya. Para penggembala membujuk kambing mereka satu persatu, tidak lagi memukuli dengan tongkat sambil memaki, melainkan membujuk dengan gumaman lembut, Undakan itu muncul kembali, meliuk ke sana dan kemari mengikuti lekuk gunung. Undakannya menjadi begitu curam, sampaisampai dipasangi tali pada cincin-cincin
besi di karang sepanjang jalan, untuk membantu pendakian. Seraya menarik dirinya naik di undakan curam itu, Ping bertanya-tanya bagaimana bocah penggembala akan menyeberangkan kambing. Akhirnya kegelapan itu memudar menjadi kelabu. Di langit tampak semburat merah muda samar. Undakan itu berakhir dengan mendadak dan jalan setapak menjadi rata, melintasi bentangan rumput yang datar. Sebuah gerbang lengkung tampak di jalan se tapak itu. “Kita sudah tiba di Gerbang Selatan ke Langit,” Penasihat Tian mengumumkan dengan lega. Sebuah anak sungai mengalir berliku di tanah berumput itu dan tumpah menjadi air terjun kecil di pinggir gunung. Dalam cahaya samar Ping bisa melihat sang ahli nujum menyelipkan sebilah belati tipis di pinggang. Samarsamar tampak juga olehnya Liu Che dalam jubah hitamnya sedang mempersiapkan bagian terakhir perjalanan itu. Di depan sana ada serangkaian undakan terakhir. Untuk bagian perjalanannya yang terakhir ini, Kaisar yang masih muda itu hanya akan didampingi sang ahli nujum, kambing, dan penggembala. Hewan-hewan itu berkumpul berdesakan di jalan setapak di belakang mereka. Para penggembala menggigil da lam udara menjelang subuh. Wajah mereka pucat, ketakutan. Salah satunya menangis. Penasihat Tian memberikan minuman pada anakanak itu. Ping terheran-heran melihat sang Penasihat Agung begitu ramah kepada para penggembala. Tapi dia ti dak menawarkan cangkir itu pada Ping. Minuman terse but sepertinya bisa menenangkan anakanak itu. Kemudian Penasihat Agung melepaskan jaket dan celana panjang mereka, lalu menggantinya dengan jubah hitam pendek. Sang ahli nujum mengucapkan beberapa kata yang tidak dipahami Ping, kemudian Liu Che mulai menapaki undakan. Sang ahli nujum mengikuti. Para penggembala tidak menggigil lagi. Wajah mereka menjadi tenang. Tanpa disuruh kedua anak lelaki itu menggiring kelima belas kambing mendaki seratus undakan terakhir menuju Langit. Undakan itu tidak curam. Setelah susah payah mendaki begitu jauh, bagian terakhir perjalanan ini boleh dikatakan relatif mudah. Kambing mau mendaki, cukup dengan diberi pukulan ringan di pantat. Liu Che sama sekali tidak menoleh. Ketika langit makin terang, Ping melihat mereka dikelilingi lautan awan. Awan itu berubah menjadi merah muda bercahaya. Rupanya matahari sudah terbit, meski mereka tak bisa melihatnya di bawah awan. Puncak Kaisar Batu Zamrud menembus lautan empuk itu dan menjulang ke Langit dalam udara pagi yang hening. Di puncak bukit ada kuil. Para penggembala tampak sangat kecil, kambing juga tampak seperti mainan ketika mereka tiba di puncak. Ping tidak melihat Liu Che maupun sang ahli nujum. Mereka sudah masuk ke dalam kuil. Kuil itu pasti cukup besar untuk dimasuki kambing, sebab satu demi satu mereka lenyap dari pandangan. Ping mengira akan mendengar embikan panik kambing ketika sang ahli nujum menyembelih mereka, tapi tak ada suara apa pun yang memecahkan keheningan pagi itu. Matahari mengintip dari balik tepian awan dan membanjiri mereka dengan cahaya keemasan. Galur-galur sinarnya terpantul pada pola ber warna emas yang dilukis di kuil jauh di atas mereka. Waktu berlalu. Dua burung bangkai berputar-putar di atas puncak gunung. Kemudian sebuah sosok kecil muncul di luar kuil. Dia seorang diri. “Di mana kedua anak dan sang ahli nujum?” Ping berbisik pada Penasihat Tian. “Undakan terakhir menuju Langit hanya boleh dilalui oleh Kaisar,” sahutnya. “Hukuman bagi siapa pun yang melanggarnya adalah kematian.” Ping tercekat. Para penggembala yang ceria itu,
yang telah berbagi perjalanan berat ini bersamanya, telah dijadikan sesajen bersama kambingnya. “Kaisar membunuh mereka?” bisiknya. “Tidak, itu kewajiban ahli nujum, sebelum dia bunuh diri.” Penasihat Tian menatap Ping yang tertegun. “Mereka diberkati,” katanya. “Mereka akan menda patkan tempat istimewa di Langit.” Ketika Kaisar turun dari gunung itu, cahaya matahari terpantul pada sosoknya. Dia hampir terlalu menyilaukan untuk dipandang. Kaisar benarbenar tampak seperti dewa. Ketika dia tiba di undakan terakhir, Ping baru tahu mengapa dia tampak begitu cemerlang. Rupanya Kaisar telah mengganti jubah satin hitamnya yang muram itu dengan jubah kuning keemasan. Para menteri berlutut di hadapannya. Para pengawal dan pelayan sudah berlutut dengan wajah menyentuh tanah sejak saat Kaisar mula-mula kelihatan. Ping sendiri agak terlambat berlutut sampai kepalanya menyentuh tanah. “Langit telah menerima persembahanku,” Liu Che mengumumkan. “Langit telah memberkati pemerintahanku dan menyatakan pemerintahanku akan berlangsung lama dan sejahtera.” Ping mengangkat wajah. Dia melihat Kaisar melicinkan jubah barunya. “Langit juga telah merestui perubahan warna resmi kekaisaran dari hitam menjadi kuning.” Liu Che terhuyung-huyung. Penasihat Tian maju dan menangkapnya sebelum dia roboh. “Vang Mulia bisa berbuka puasa,” katanya. Didudukkannya Kaisar pada sebongkah karang. Pelayan memberinya beberapa potong kue gandum. Penasihat Tian menyodorkan cangkir emas pada Ping. “Isi dengan air dari anak sungai.” Ping mengambil cangkir emas itu lalu mencelupkannya ke dalam air yang berbuih. Ketika dia hendak menyerahkan cangkir itu kepada Liu Che, dua emosi yang saling bertentangan menghantamnya bagai tamparan ganda di pipinya. Yang satu adalah perasaan sukacita, yang mengaliri sekujur tubuhnya bagaikan serbuan udara hangat dan terdengar seperti nada tinggi yang manis. Yang satunya lagi adalah perasaan takut yang bercokol di dasar perutnya seperti melon yang busuk. Dijatuhkannya cangkir itu dan dia memandang sekeliling. Pemandangannya belum berubah, hanya saja kini Penasihat Tian berteriak marah atas kecerobohannya. Ping tidak mengacuhkannya. Dia merasa seakan emosi-emosinya sendiri saling bertarung. Entah kelelahan yang amat sangat, atau kurang tidur, atau tipisnya udara di sini yang membuatnya merasa seperti ini. Tapi bukan semua itu penyebabnya. Ping memejamkan mata. Rasanya mustahil, tapi dia tahu pasti bahwa batu naga itu ada di dekatdekat sini. Begitu pula si pemburu naga.
22 Pertumpahan Darah Di Tai Shan Ping tidak membuka mata. Dibiarkannya pikirannya melayang mencari sumber nyanyian itu, dan dibiarkannya kedua kakinya membawanya ke sana. Dia merasakan kelembapan yang dingin menyelimutinya, dan tahulah dia bahwa dia sedang turun ke dalam awan. Ketika dia menarik napas, udara dingin yang lembap itu memenuhi paru-parunya, membungkus jantungnya bagaikan es yang terbentuk di seputar tepian
kolam pada musim dingin. Rasanya seperti menghirup kesedihan. Hal itu, ditambah dengan onggokan kengerian yang pekat di dalam perutnya, pasti akan membuat ciut nyalinya kalau bukan karena nyanyian itu. Dia sudah semakin dekat ke sana, semakin dekat dengan batu naga itu. Lalu tiba-tiba nyanyian itu berubah menjadi pekikan melengking. Bunyi mangkuk tembaga yang saling berantukan, diiringi suara lain yang membuat gigi-gigi Ping bergemeletuk seperti dua pisau berkarat yang saling digesekkan. Itu suara Danzi kalau sedang cemas, takut, dan panik. Belum pernah Ping mendengar Danzi memperdengarkannya sekaligus. Ping membuka mata. Dia tak lagi membutuhkan amarah untuk memicu kemampuannya mencari, juga tak perlu memejamkan mata untuk merasakan benang yang menghubungkannya dengan apa yang dicarinya. Jalannya sudah jelas, seperti diterangi oborobor. Ping mulai berlari tanpa memikirkan keselamatannya sendiri. Dia tiba di Jembatan Awan. Kabut mu lai menipis ketika dia berdiri di sana. Dilihatnya bah wa jembatan itu bukanlah dibuat oleh manusia, me lainkan sebuah bentukan alam berupa lempengan sempit karang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter. Ketika kabut menguap sepenuhnya, tampak pemandangan yang membuat jantung tercekat. Ke dua sisi jalan setapak sempit itu diapit jurang yang sangat dalam. Di salah satu sisinya, karang itu meluncur ke lembah berhutan yang tersembunyi di dalam deretan pegunungan. Di sisi satunya, karang itu menukik turun sampai nyaris ke dasar gunung. Ping bisa melihat sampai ke dataran yang jauh di bawah sana. Dia tidak ragu maupun takut. Dia berlari, seakan jembatan itu selebar jalanan untuk Kaisar, dengan tanah rata yang terbentang aman di kedua sisinya. Di sisi lain jembatan, di sebelah timur, ada gunung lain. Lebih kecil daripada Puncak Kaisar Batu Zamrud. Ping melongok puncaknya yang rata, seakan salah satu dewa telah memangkas puncaknya dalam amukan amarah. Ada sebatang pohon pinus tumbuh di atasnya, meliuk dan keriput, Danzi berada di dataran tinggi kecil itu, berdiri pada kedua kaki belakangnya. Di sampingnya ada Wang Cao yang menggenggam pedang perunggu, tangan satunya lagi memegangi keranjang anyaman berisi batu naga. Jarak mereka terlalu jauh, sehingga Ping tidak bisa melihat apakah batu itu baikbaik saja. Mereka berdua berhadapan dengan sosok ketiga. Diao. Di antara Ping dan puncak yang lebih rendah itu ada lembah yang penuh dengan karang besar bersisi tajam. Ketiga orang itu tidak menyadari kehadiran nya. Danzi tiba-tiba saja menyerang si pemburu naga. Diao mengayunkan belati, tapi Danzi berhasil menghindar. Di perutnya sudah ada luka sabetan berwarna ungu. Wang Cao tidak bergerak. Kedua kakinya seperti menempel ke karang itu. Ping bergegas lari ke lembah yang memisahkannya dari dataran tinggi. Si pemburu naga menarik crossbow dari bahu dan mengarahkannya ke jantung sang naga. Ping menjerit persis ketika Diao menekan pemicu pada busurnya. Tiga pasang ma ta menoleh untuk mencari sumber jeritan itu, sementara anak panah Diao meluncur ke arah sang naga, Bunyi logam berkelontang bergema nyaring di puncak karang ketika pedang Wang Cao jatuh ke ta nah. Tabib itu menunduk menatap anak panah yang tertancap begitu dalam pada tubuhnya, hingga hanya ujungnya yang dihiasi bulu yang kelihatan. Teriakan Ping telah menyebabkan bidikan si pemburu naga meleset, sehingga Wang Cao yang terkena. Ping mendengar Diao menyumpah seraya mencabut anak panah lain dari tabungnya tanpa menoleh sedikit pun pada korbannya. Wang Cao ambruk ke tanah, Diao menggigit anak panah itu di antara giginya. Me narik crossbow perlu dua tangan. Batu naga itu ber guling jatuh dari cengkeraman Wang Cao. Benak Ping dipenuhi suara jeritan nyaring batu itu. Dia pun mulai berlari melintasi bentangan karang. Ping melompati karangkarang itu selincah kambing gunung, sampai tiba di dasar puncak yang lebih rendah. Dia menyesal tidak memiliki sayap. Karang itu tidak lebih dari tinggi empat lakilaki, namun terjal. Terdengar olehnya Diao menyumpah serapah ketika diserang Danzi. Kemudian Ping mendengar suara gemuruh amarah dan
ketakutan sang naga berkumandang memantul pada lereng terjal Puncak Kaisar Batu Zamrud. Ping tak bisa melihat apa yang ter jadi. Dia harus mencari jalan untuk naik ke atas sana. Maka ditancapkannya jemarinya pada celah-celah karang yang paling dangkal, sementara kaki-kakinya mencari tumpuan pada tanjakan yang paling sempit, dan dia pun memanjat seperti serangga. Ping menarik tubuhnya melewati tepian karang. Diao berdiri memunggunginya. Bau busuk orang itu membuat Ping mual. Wang Cao tergeletak tak bergerak, darah mulai menggenang di bawah tubuh nya. Diao sudah memasang anak panah lagi pada crossbow dan kembali mengarahkannya pada Danzi. Naga itu tampak bingung dan matanya berkaca-kaca, seperti tidak tahu mesti berbuat apa. Dia memusat kan pikiran dengan saksama sehingga tak menyadari kehadiran Ping. Jarinya bergerak ke arah pemicu. Ping menerkam Diao, menjatuhkannya ke tanah, namun si pemburu naga masih sempat meluncurkan anak panah. Anak panah itu menancap pada kaki belakang sang naga dan tembus hingga ke batang pohon pinus, memaku Danzi ke pohon itu. Ping telah melingkarkan lengannya di leher Diao. Diao menyikut dada Ping. Dari jarak sedekat itu, wajah nya jadi semakin jelek. Ada empat luka dalam di pipinya akibat cakar. Didorong nya Ping ke samping, lalu dia merangkak ke arah batu naga dan mengambilnya. Ditariknya batu itu dengan kasar dari dalam keranjang anyaman, dan wa jah jeleknya pun merekahkan senyuman jahat. Di benak Ping, jerit ketakutan batu itu berubah menjadi pekik melengking penuh kengerian. Mustahil orang lain tidak ada yang mendengar. Ping merasa kekuatan di dalam dirinya mengumpul men jadi semburan dahsyat. Tubuhnya mengge letar dari kepala sampai ke kaki. Dia tak perlu menghitung mundur ataupun membayangkan bunga peoni, kekuatan itu sudah siap digunakan. Ping menjulurkan ke dua lengannya dan kekuatan itu melesat melalui ujung jarinya, menghantam crossbow di tangan Diao hingga terlepas. Seulas senyum sepahit biji apricot melintas di wajah Ping ketika dia menghampiri si pem buru naga. Dia hanyalah gadis budak dan dia se kepala lebih pendek dari Diao, tapi mata lakilaki itu memancarkan rasa takut. Si pemburu naga menye rang dengan belatinya yang jelek. Ping menepis belati itu dengan kekuatannya yang tak terlihat. Mengarahkan kekuatan c/w-nya dari jarak sedekat ini lebih sulit. Dia membutuhkan lebih banyak ruang. Diao kembali menyerang. Ping menahan serangan itu dengan lengannya. Lengan Diao gemetar ketika berusaha memaksa menundukkan Ping, namun Ping dapat mengimbangi kekuatan si pemburu naga. Tapi tepat ketika Ping hampir berhasil mengalahkan Diao, lakilaki itu menendang perutnya. Ping tersengal dan terhuyung mundur sampai ke pinggir dataran tinggi kecil yang melekuk langsung menjadi jurang. Karang itu sudah halus terkikis angin dan hujan. Kaki Ping terpeleset. Sol sepatunya yang sudah tipis karena dipakai berjalan begitu lama, tak bisa mencengkeram lagi. Ping terjungkal ke depan seraya mencakar-cakar karang itu, mencoba mencari pegangan. Ada sejumput rumput liat yang berhasil menemukan cukup tanah di dalam celah sebongkah karang untuk menancapkan akarakarnya. Ping menyambar rumput itu dengan dua tangan. Diao sudah mengacungkan belatinya lagi. Ping melihat ke bawah. Jaraknya tidak sejauh yang pernah dilihatnya di Tai Shan. Tapi cukup jauh untuk membuatnya patah leher kalau jatuh. Ketika bilah belati itu menghunjam ke arahnya, sekelebat warna kelabu melesat keluar dari lipatan gaun Ping dan lari merambati kaki Diao. Si pemburu naga memekik kesakitan dan terkejut ketika Hua menancapkan giginya ke pipi Diao yang terluka. Diao menjatuhkan belatinya ketika berusaha melepas kan tikus. Belati itu berkelontang jatuh ke jurang. Tangan Diao yang satu masih tetap memegangi batu naga, Akar rumput yang dijadikan pegangan Ping mulai tercabut akibat berat badannya. Kedua kaki Ping mengais-ngais di permukaan karang yang melandai, mencoba mencari pijakan. Diao melepaskan batu naga itu. Batu itu menghantam karang, suaranya membuat Ping berjengit. Lalu batu itu mulai menggelinding ke pinggir gunung dan pasti bakal terjungkal jatuh dari puncak, hancur di bawah sana. Kaki kanan Ping menemukan celah kecil. Dia mengangkat tubuhnya seraya menjepit karang dengan lutut dan mengulurkan tangan ke arah batu
naga, menahannya dengan ujung jari tepat sebelum batu itu menggelinding. Diao menjerit sambil berusaha melepaskan tikus di wa jahnya. Gigi Hua masih tertanam dalam-dalam di pipi si pemburu naga. Ping meraba-raba batu naga di bawah jemarinya. Rasa lega memenuhi dirinya ketika jeritan nyaring batu itu berubah menjadi nyanyian. Dipeluknya batu itu. Diao mengambil sebatang gada dari sabuknya dan memukul Hua dengan senjata itu, meski hantaman itu pasti menghancurkan tulang pipinya sendiri. Hua jatuh ke tanah, mulutnya masih menggigit sejumput daging pipi Diao. Ping melihat gada itu melengkung turun ke arahnya. Masih sambil berlutut, Ping mengulurkan tangan kanan dan aliran kekuatan chi merambat keluar dari dalam dirinya, kekuatannya bahkan semakin besar. Si pemburu naga terangkat dari tanah dan terlempar mundur melintasi dataran tinggi. Dia mendarat di tepi seberang. Dia menoleh ke belakang dan melihat hanya udara yang memisahkannya dari karangkarang di bawah sana. Dengan panik dia mencoba menjejakkan kaki, tapi terpeleset di permukaan karang yang licin. Dia jatuh ke jurang, kedua lengannya menggapai-gapai tak berdaya. Ping menunggu dengan tenang dan dingin, sampai mendengar bunyi sebagai tanda bahwa si pemburu naga telah menghantam karang. Ping tidak tahu mesti menoleh ke mana dulu. Danzi berdarah, tertancap di pohon oleh anak panah itu. Hua terbaring tak bergerak di atas karang, darah mengalir dari luka di kepalanya, salah satu kakinya bengkok dalam sudut yang tidak wajar. Ping menoleh pada sang naga dan mencengkeram anak panah itu, lalu menariknya lepas dari kaki sang naga. Darah mengalir dari lukanya. Ping mencabut segenggam lumut dari tanah di bawah pohon pinus, Ditutupinya luka itu dengan lumut. Kemudian dilepasnya stempel di pinggangnya. Dengan pita ungu pengikat stempel dibebatnya lumut tadi pada kaki sang naga. Lalu dia menghampiri Hua dan mengangkat tubuhnya yang kecil dan terkulai. Didekatkannya tikus itu ke wajahnya, dirasakannya bulu yang hangat di pipinya. Air mata merebak di kedua mata Ping. “Tikus tidak mati,” kata suara di dalam benaknya. Itulah pertama kalinya Danzi membuka suara. Ping memandangi tikus yang luka parah itu, tapi dia tahu sang naga benar. Sekonyong-konyong Ping menyadari dia sedang diawasi. Sosok Kaisar yang tampak keemasan berdiri di pinggir Jembatan Awan. Penasihat Tian, para pengawal, dan si pelayan ada bersamanya. Mereka tak bergerak, menatap lekatlekat ke arahnya. Liu Che meneriakkan perintah kepada pengawal. Mereka pun bertindak, berlari menyeberangi Jembatan awan, ke arah Ping dan sang naga. “Danzi mesti pergi,” kata sang naga. “Kau tak mungkin bisa ke Samudra dengan kaki luka dan lubang menganga di perutmu,” kata Ping. Para pengawal sudah menyeberangi jembatan dan sekarang susah payah melintasi batu karang. “Tak perlu jalan,” sahut sang naga, Dia merentangkan sayap. “Bisa terbang.” Jahitan Ping masih ada di situ, dan rupanya cukup manjur. Robekan di sayap kiri Danzi sudah sembuh sepenuhnya. “Cukup kuat untuk membawa penumpang?” Bunyi denting genta angin memenuhi udara. Dengan lembut Ping menaruh Hua di balik salah satu sisik sang naga. Sang naga berbelok ke Puncak Kaisar Batu Zamrud. “Kaisar akan senang Ping menyelamatkan naganya dari Diao,” katanya. “Ping akan mendapat kehormatan besar kalau tetap tinggal.”
“Aku tidak mau bersama Kaisar, Danzi,” sahut Ping. Stempel Pengurus Naga Kaisar tergeletak di batu karang dekat kakinya. Ping memungutnya dan menelurusi ukiran naga yang indah di stempel itu dengan jarinya. Kemudian diangkatnya stempel itu ke atas kepala, dengan maksud untuk melemparnya jauh-jauh. Dia memandang Liu Che di seberang lembah sana. Kemudian dia menurunkan tangan lalu dia masukkan stempel itu di dalam pundipundinya. Meski Liu Che tidak menyadarinya, Ping telah melakukan yang terbaik untuk sang naga, Bagaimanapun, dia masih tetap Pengurus Naga Kaisar, Ping mendengar pengawal di kaki batu karang sedang berusaha mencari jalan ke atas, “Apa kau yakin sanggup membawaku terbang?” tanyanya. “Yakin.” Ping mendengar erangan. Dia menoleh ke Wang Cao. Dia telah melupakan tabib itu. Dia pun berlutut di samping Wang Cao. Genangan darah lengket semakin melebar di seputar tubuh lakilaki itu. “Aku tidak punya keberanian untuk melawan Diao,” bisik Wang Cao. “Lagi-lagi aku telah mengecewakan Danzi. Kaulah Pengurus Naga yang sejati, Ping.” Dia mengulurkan tangan ke batu naga, namun tangannya terkulai sebelum menyentuh batu itu. “Orang yang mencoba menjadi pengganti tukang kayu pasti tangannya terluka,” sang naga berkata pelan. “Salah Danzi.” Para pengawal Kaisar telah menem