Aku butuh sedikit waktu untuk memulainya lagi. Untuk berkisah denganmu lagi. Aku mulai sedikit demi sedikit kehilangan nafasku saat ini, semoga kau mengerti hingga aku tak perlu terlalu cepat atau terlalu emosional untuk berbicara denganmu saat ini. Jantungku lemas, kawan.. Denyutnya tak seritmis dulu lagi. Kau pasti tahu kan balon yang mulai mengempis? Seperti itulah paru-paruku saat ini.. Atau kau tahu jalanan aspal setelah hujan? Hitam dan terlihat sangat semu untuk memantulkan lampu kota, seperti itu mataku kini.. Aku dari sebuah perjalanan jauh, kawan.. Tempat yang aku sendiri tak tahu dimana utara atau selatannya. Bahkan kanankiripun sulit kubedakan. Aku tak tahu namaku, tak bisa bervisual hitam atau putih, tak mampu bandingkan mana siang atau malam.
Kau tahu dimana aku saat itu? Di -dunia antara- , dimana setan dan malaikat sedang tak
melakukan tugasnya, dimana
rembulan adalah matahari itu sendiri, dimana daun tergugur ke atas langit. Kau bingung? Aku pun begitu.. Dunia antara -kata ‘mereka yang disana’-, katanya dunia antara adalah ketika kita belum atau tidak memutuskan mana baik buruk, tapi bukan berarti kita dalam stagnansi. Dunia antara adalah ‚dunia proses‛. Kau tahu keping uang logam yang akan dijatuhkan ke tanah? Apa yang terjadi sebelum ia memutuskan sisi mana yang di atas? Dia di udara.. Itulah saat-saat ia menjadi ‚penghuni‛ dunia antara. Proses. Akan-ke, mau-akan, mau-ke, itu semua disebut JEDA !! Semua butuh jeda, kawan.. Apa yang terjadi jika ‚adatulisantanpajeda?‛. SUSAH. Padahal jeda di dunia antara juga susah.. Susah, karena aku melihat jeda itu sangat lama berproses. Seperti ketika aku diundang dalam perjamuan di dunia antara itu. Aku seperti dalam ruangan kosong yang sesak.. Riuh tapi redam.. Benderang tapi gulita.. Membingungkan !! Dualisme yang di-eka-kan dan seakan di‘rukun’kan.
JEDA.. Melelahkan di dunia antara!! Aku butuh jeda, tapi jangan pernah bawa aku ke dunia antara (lagi), karena akhirnya aku jadi sangat sakit seperti sekarang ini.. Hanya bisa diam dan bercerita padamu dengan susah payah. Setelah kepulanganku kemarin dari imaji dunia antara, satu kesimpulanku : Jeda adalah penghubung.. Kau sudah membuktikannya bahwa jeda adalah penghubung (darimana)? Dari sejak awal kau membaca kalimat-kalimatku. Berjeda bukan? Dan jika jeda butuh waktu, sementara jeda adalah penghubung, lalu waktu hanyalah selubung yang membuat jeda menjadi nyambung.. Sejenak.. Diamlah.. Rasakan ketika kau tak bergerak sama sekali, rasakan jeda detak jantungmu perlahan berproses.. 1.. 2.. 3.. 4.. 5.. ………………..Miliyar. Rasakan ketika kau sedang tak berpartisipasi pada sandiwara bumi! Rasakan ketika semua orang bergerak cepat dan kau sedang menikmatinya.. Seperti melihat sebuah video yang kau percepat. Maka rasakan betapa kita telah banyak meninggalkan hal kecil di hidup kita. Yakni merasakan J.E.D.A , sementara yang kita tahu selama ini, hanya hasil saja.
Aku merasa sangat ringan saat ini, ketika aku mulai tak lagi merasakan tubuhku. Riiiiiiiiiiiiiinggggggaaaaaaaaaaaaan.. Sangat nyaman.. Ketika itu seseorang berkata padaku : ‚SELAMAT DATANG DI DUNIA ANTARA!!‛ Kau adalah makhluk yang bertanggung jawab atas jedamu sendiri, prosesmu sendiri, waktumu sendiri.. Mau ikut denganku? Merasakan jeda Bunaken Malam, 21 Desember 2013 - S.L.A Dalam sebuah suasana malam yang anggun, ketika gerimis tipis mencurah penuh kasih, dan tak ada angin yang terlalu tajam menghujam. Hingga mendung pun tak terlalu adidaya menukar cahaya rembulan menjadi sekam. “Langit…”
Suara
dewasa
terdengar
memanggilku dari balik daun pintu kamar. Sedikit parau, tapi terdengar begitu lembut. Sekar Langit Andalusia. Ya, itu namaku. Sebuah nama penuh makna. „Sekar‟ yang bermakna bunga, „Langit‟ yang diidentikkan dengan -angkasa- yang katanya pemberi warna pada samudera, sedang „Andalusia‟ nama cantik dari Spanyol. Ayah memberi nama itu, agar kelak
aku tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan semangat membara,
menumbuhkan
segenap
komitmen
dan
bebunga harapan pada sekitar. “Ada apa Ma?” sahutku lembut menjawabnya. “Makan dulu, sayang. Sudah terlalu larut..” tukasnya lalu entah kemana bayangnya hilang ditelan malam. Pelan kututup laptop yang sedari tadi menemani malamku dengan tulisan-tulisan ini. Kubangkitkan diri yang sedari tadi terduduk. Beranjak menuju sebuah meja makan anggun di tengah damainya suasana Bunaken malam. Berjalan sembari mengguman, “Aku segera kembali, kawan.. Kita jejak lagi cerita kita. Kita tuntaskan rindu yang telah berguman di ujung bibir.”
Tahun ajaran yang lalu, Mei 2013 di sekolah lamaku…
Langit
senja masih nampak kelam. Bulir-bulir
putih terlepas dari pesanggrahan langit. Gerimis rupanya tertahan tak kunjung berujung. Segerombolan awan hitam pekat, masih nampak menguasai langit. Gelapnya langit semakin mencekam hingga ambang cakrawala. Udara dingin menggigit tubuhku yang tak gemuk. Hening turut menusuki relung jiwa. Sementara waktu terus merayap dalam senyap. Deru gemersik dedaunan pohon mangga saling berbisik. Menemani kelamnya senja yang masih belia. Angin bertiup menebarkan aroma tanah basah. Suara tangisan langit kian tersedu. Sebutir demi sebutir dingin tertabur hingga permukaan terdalam. Lalu angin mulai berhembus gemetar, menerpa dedaunan yang lelap dalam
selimut gelapnya. Suasana senja ini, dunia seperti disihir menjadi kelam membisu. Sementara gerimis, sibuk memperagakan
peran
monolog
dalam
panggung
sandiwara. Hanya suara gerimis. Semua diam. Hening. Beberapa anak manusia nampak mencapai titik kepenatan dalam penantian. Di guratan wajah mereka tergambar sketsa kebosanan, lalu mereka berlari terbiritbirit kesana kemari. Berulang kali untuk kesekian kalinya. Pun akhirnya buliran tangisan langit mulai berani mengungkapkan rasa. Entah apa yang ingin gerimis tunjukkan.
Seperti
memperlihatkan
semangat
yang
membara. Atau mungkin sedang melampiaskan amarah yang menggebu. Argh! Mungkin kita tak tersadar. Bahwa buliran gerimis itu mulai bersatu untuk menata kekuatan. Menjadi air yang sanggup menenggelamkan apapun. Lalu membeku. Sementara
beberapa
anak
manusia
lainnya,
nampak sayu memandangi tetesan air melewati jendela kelas. Sedang mereka yang baru sejangkah melangkah ataupun belum sama sekali, kini berdiri terpaku di bibir pintu kelas. Rona wajah mereka berselimutkan kemalasan, kekhawatiran, dan kejenuhan. Kebisuan nampak di antara mereka, diiringi keheningan senja yang kian terlarut.
Senja
gerimis
dihempas
angin.
Kuterduduk
seorang diri di beranda masjid sekolah. Memeluk lutut ke dada. Meletakkan dagu di atas tempurung lutut. Sementara sunyi semakin mengiris relung hati. Senyapnya kian mendesau telinga. Tatkala gerimis tergantikan oleh tetesan hujan. Membasahi bumi dengan angkuhnya. Seketika seluruh ruas sudut dunia sejauh mata menangkap fokus pandangnya benar-benar kuyup. Pikirku terseret badai yang lalu, seiring kian pekat warna senja yang masih belia. Bukan kegelisahan yang menguasai naluri. Bukan kecemasan yang memporakporandakan
isi
hati.
Bukan
kekhawatiran
yang
meluluhlantahkan kuasa diri. Akan tetapi rasa kekecewaan kian melilit seluruh nurani. Kuhanya mampu terdiam. Kelu tuk berucap. Lelah bertutur kata. Pun akhirnya, hanya
membuat
diri
terjerembab
dalam
jurang
kekecewaan, lebih dalam lagi. Kuayunkan langkah untuk tak lagi menatap. Hanya saja, lagi-lagi rona abu-abu yang selalu terlintas dalam akal. Terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah kisah yang sebentar lagi menjadi kenangan. Sebuah masa yang mungkin hanya akan menjadi bayang-bayang. Semua hadir di benakku menyibak kerinduan yang menjadi
hantu. Setiap sudut tempat ini penuh dengan kisah kita. Kini, tempat ini semakin cantik, bak kembang desa yang kian dewasa. Kian nyaman dipandang. Menyajikan lebih banyak jejak-jejak yang terpatri dalam hati tempat ini. Argh! Tak bisa kugambarkan lagi, mungkin tempat ini lebih mengerti tentang kisah kita. Kita yang senantiasa mencurahinya dengan senyum hangat bersama orang yang kita sapa. “Jika kau akan meminangnya dengan hatimu, sesungguhnya ia telah meminangmu lebih terdahulu.” Katanya kala itu. Dan kini, sesungguhnya telah kurasakan ikatan itu. Ikatan yang mengalir begitu saja, seperti tempat ini yang membagikan nadi sungainya ke seluruh sudut tanah. Kita akan semakin rindu padanya nanti, iya bukan? Ya.. aku pun demikian. Meski hampir setiap hari kita habiskan waktu di sini, mencumbui aroma tanah basahnya yang menerpa udara setelah hujan. Tak perlu kuceritakan bagaimana indahnya langit yang nampak dari tempat pijakanku ini. Menikmatinya dengan sangat mendalam dan penuh kelegaan, bahkan ketika langit menjadi kelabu. Tapi bukankah itu berarti perayaan besar bagi kita? Hujan! Aku ingat jejak kita yang
riang membelah genangannya. Dan tempat ini tertawa girang melihat tingkah jenaka kita. Ketika ia menyajikan rekahan matahari, ia selalu berharap kita sudah di sini. Tapi, nyatanya, yang seringkali ia dapati, belum juga merasakan jatuhnya bayangmu di wajahnya. Tahukah kita? Ternyata, setiap dari kita adalah napas baginya. Kita tak tahu? Terkadang itulah yang membuatnya terus bergerak hingga tak pernah lelah. Kita serapahi ia, ia tak membalasnya, tapi ketika kita bergurau dengannya ia akan membuat kita tertawa geli. Sahabat, kini aku mengerti mengapa tempat ini terasa sangat sempit. Karena ia sesak oleh makna dan kenangan yang kita cipta. Tempat ini. Ya, surau ini yang mengajarkan kita bahwa bahagia itu sebenarnya sangat sederhana.