OMA HANA Utami Panca Dewi
A
ku sering duduk di taman depan rumahku, sepulang sekolah sambil membawa buku yang kebetulan belum selesai aku baca. Sore itu aku sedang membaca White as Milk, Red as Blood, karya Allessandro D’Avenia. Rindangnya pohon kersen menaungiku dari sengatan matahari sore, mengingatkan aku pada payung yang dipegang Papa sewaktu aku kecil dulu. Kadang-kadang beberapa burung gereja mampir ke dahannya. Cericitnya yang gaduh menyisakan satu atau dua butir kersen merah yang terjatuh di tanah. Kuambil dan kukumpulkan di sebelah tempatku duduk. Lalu lewatlah dia dengan anjing kesayangannya. Perempuan tua dengan kerut
yang bagai alur-alur sungai di waktu kemarau. Kering dan dalam. Oma Hana. Dia tinggal beberapa blok dari rumahku. Tapi dia selalu hafal kebiasaan-kebiasaan setiap penghuni Jalan Damar, Perumahan Grand Regency. Juga kebiasaanku yang selalu duduk menyendiri di bangku taman, di bawah rimbun pohon kersen. “Sore, anak manis....” “Sore Oma….” “Masih belum selesai membaca novelnya?” Aku menggeleng sambil tersenyum. Anjing itu menarik-narik tali kekang yang sedang dipegang oleh tangan Oma. Rupanya golden retriever tua itu ingin buang air. Oma Hana membawanya ke selokan dekat perdu
beluntas. Anjing berbulu coklat muda itu menempelkan badannya ke sebuah tiang listrik dan pipis. Angin adalah contoh paling baik untuk pengungkapan sebuah kejujuran. Ia sering menyampaikan bau tidak enak yang kerap menyergap hidungku. Saat itu aku jadi tahu darimana bau menyengat itu berasal. “Romario butuh mengosongkan kantung kemihnya. Nanti malam hujan akan mengguyurnya, Loly. Jadi jangan mengkhawatirkan baunya, ya!” Oma Hana seperti tahu yang terlintas dalam pikiranku. “Maukah kamu main ke rumah, Loly? Tadi pagi Oma membuat kastengel.” Aku mengangguk setuju.Beberapa ekor kupu-kupu kuning terbang berkejaran di antara bunga-bunga soka. Aku terpaku.Kupu-kupu itu pasti sedang bersuka cita. Meskipun hidupnya singkat, namun ia tak pernah kesepian. “Aku menunggumu Loly!” teriak Oma tanpa menoleh. Kupu-kupu terbang meninggi setelah puas mendapatkan madu bunga soka. Pandanganku berpaling ke ujung jalan. Ekor Romario bergerak-gerak lucu saat mengikuti langkah majikannya. Gegas aku beranjak dari taman. Langit sore menyisakan cahaya kekuningan yang cemerlang. Mama pasti masih sibuk dengan seminar-seminar dan meeting-meeting. Di rumah hanya ada Bi Munah yang tiap sebentar selalu menanyakan keperluanku. Jadi tak ada salahnya kalau aku mengikuti langkah orang tua itu. Sebuah sedan hitam rem-nya berdecit dan klaksonnya berbunyi keras. Pasti bukan Mama, karena Mama tak akan pulang selagi matahari belum tenggelam. Dan sedan Mama berwarna krem, bukan hitam. Aku menepi, membiarkan paving block itu sepenuhnya digilas roda-roda mobil. Oma sudah berbelok ke rumahnya. Aku gegas menyusul, setelah terlebih dulu mengambil pembatas novel yang sempat terjatuh. Sebuah novel sangat berarti bagiku, sehingga harus kujaga keutuhannya. Mungkin seperti itulah arti Romario bagi Oma Hana. * Mama bilang, selalu ada yang aneh dari kehidupan seorang tua yang hidup sendiri. Aku membantah perkataan Mama, karena ada Romario yang menemani Oma Hana. Mama
menjawab bahwa seekor anjing bukanlah teman yang bisa diajak bicara. Tapi aku pernah melihat Oma mengajak bicara Romario. Mama terdiam tak mau menanggapi lagi. Aku disambut oleh papan bertuliskan sebuah nama. Yohana Lastantia Sihaloho. Lalu sebuah lonceng aneh berbentuk kalung kerbau. Aku mencoba menggoyang talinya. Terdengar bunyi kelontangan yang segera disambut oleh suara Romario. “Masuklah Loly...” Tampak Oma Hana sedang menata sesuatu di dalam toples bening. Kue kastengel. Aku segera duduk di sofa berwarna merah. Oma membawa kastengel itu dan mempersilakan aku untuk mengambilnya. Alunan suara Julie Andrews dari gramafon tua di pojok ruangan mengiringi sensasi kelembutan kue buatan Oma itu. Ia lumer di lidahku. My Favorite Things adalah lagu kesukaanku, juga Papa. Dulu, saat malam turun hujan disertai petir yang menggelegar, aku selalu ketakutan. Papa akan mengambil gitar dan menyenandungkan lagu itu di tepi pembaringan sampai mataku terpejam. Ingatan itu terkadang menimbulkan nyeri. “Kamu pasti haus. Mau Oma buatin minum?” Aku menggeleng. Namun Oma sudah lesap ke dapur di bagian dalam rumahnya. Ada yang menarik di meja sebelah gramafon. Benang warna-warni dan beberapa hasil karya rajutan. Aku mendekatinya dan mengelus sebuah tas rajut dengan tatapanku. “Kamu tertarik belajar merajut, ya?” Keterkejutanku berubah menjadi senyuman ketika Oma menyuruhku untuk memegang setiap hasil karyanya. Kunjungan pertamaku di rumah Oma Hana berbuah manis. Sebab tak lama
kemudian aku sudah asyik belajar merajut. * Ada kesamaan antara aku dan Oma. Kami sama-sama kesepian. Aku selalu kesepian, karena setiap hari Mama berangkat kerja sebelum aku terbangun dan baru pulang kembali setelah lepas pukul delapan malam. Di sekolah aku hampir tak punya teman dekat. Mereka menjuluki aku sebagai lolypop putih yang pemurung. Seharusnya permen lolypop selalu berwarna. Namun aku yang pendiam dan kutu buku ini memang tak bisa seperti teman-teman lain yang kesehariannya selalu penuh warna. Aku hanyalah putih yang membosankan. Sedangkan Oma Hana, harus tinggal sendiri hanya bersama Romario, setelah suami Oma Hana meninggal. Satu-satunya anak Oma Hana tinggal di Singapura. Ada kabut tipis membayang di sepasang mata tua itu ketika ia menceritakan tentang Seam, cucu yang kata Oma mungkin seumuranku. “Bisa kamu tuliskan surat untuk Seam, Loly?” tanya Oma suatu ketika. “Kenapa tidak mencoba menelepon saja, Oma?” “Tahun lalu, telepon genggam Oma hilang sewaktu pergi ke pasar bersih. Tas Oma dirobek copet. Dan.... raiblah semua nomor penting.” Aku tersenyum sedih saat memberikan anggukan untuk permintaan Oma itu. Oma tersenyum senang melihat anggukanku. Lalu jiwa Oma mulai mengalir keluar lewat kata-kata yang diucapkannya. Dan aku mengubah kerinduan itu menjadi nyata di atas kertas putih. Seam sayang, Apa kabar? Sudah berapa tahun Oma tak pernah melihatmu lagi ya? Mungkin kamu sedang sibuk dengan tugas-tugas sekolahmu ketika kamu membaca surat dari Oma. Percayalah, Oma tak akan mengganggu kesibukanmu. Hanya saja
rasa rindu ini begitu kuat menyuruh Oma untuk menuliskan surat ini. Kabar Oma sangat baik, Seam. Romario, hadiah dari mamimu selalu setia menemani Oma ke mana pun Oma pergi. Dia sepertinya juga selalu mengerti dan memahami setiap kali Oma mengajaknya mengobrol. Kamu tak ingin melihat golden retriever yang kamu pilihkan saat kamu kecil dulu? Sekarang ia sudah mulai menua. Setiap saat ia selalu mengajak Oma untuk keluar, mengurangi isi kantung kemihnya. Oma bahagia dengan anjing hadiah dari kalian itu. Tidakkah kamu ingin pulang ke Indonesia untuk menjenguknya? Tolong sampaikan kepada Mami, bahwa Oma sudah memaafkan semua kesalahan Mami. Aku tunggu kabar baik darimu, Seam. Sayang selalu, Oma Hana. “Alamatnya mana Oma?” tanyaku setelah selesai dengan tulisanku. Gegas Oma masuk ke kamarnya. Aku menunggu dengan sabar. Namun kesabaranku itu harus berbuah kecewa, ketika melihat Oma keluar dengan raut gulana. “Oma... Oma lupa di mana menyimpannya, Loly.” Kubayangkan larik-larik tulisanku itu bisa berlompatan keluar. Beterbangan di udara, lalu lenyap terbawa angin sore, menuju ke sebuah tempat di Singapura. Namun surat selalu tak pernah bisa pergi sendiri. Ia membutuhkan petunjuk arah agar orang dapat menuntun kerinduan yang dibawanya ke tempat yang dituju. Oma Hana mengambil sebuah kotak kayu dari dalam kamarnya. Surat itu disimpannya di sana. Perasaanku jadi membiru. Segumpal kerinduan telah terperangkap dalam sebuah kotak kayu. Seperti kerinduanku pada Papa, yang terperangkap dalam kotak ponselku. Meskipun ponselku keluaran terbaru, aku tetap tak bisa menghubungi Papa. Nomor Papa yang terakhir kusimpan tidak pernah bisa membawaku kepada Papa. Mama hanya menggeleng, setiap kali aku menanyakan tentang nomor kontak Papa yang baru. Beberapa minggu menyambangi Oma, aku mulai bisa membuat rajutan bunga mawar. Tinggal menempelkan peniti di bagian
belakangnya, jadilah sebuah bross cantik. Oma memuji kecepatanku belajar merajut. Namun Oma selalu meminta upah untuk pelajaran yang diberikannya. Menuliskan surat untuk Seam. Sementara alamat itu tak kunjung ditemukan jua. Tinggalah surat-surat itu menumpuk di dalam kotak kayu tua. Mungkin kalau kotak itu bisa berbicara, ia akan berteriak pilu.Karena tak sanggup lagi menyimpan beban kerinduan yang menggumpal dan membeku dalam setiap lembar surat yang kutulis. * “Loly, apa yang kau cari di rumah orang tua itu?” Mama menatapku tajam. Tak ada senyum di bibir Mama. Itu artinya Mama sedang marah. Tapi kenapa? “Maksud Mama?” “Iya, kata Bi Munah kamu jarang di rumah sekarang.” Sudah kuduga, pasti Bi Munah yang bikin gara-gara. Sepertinya Bi Munah kurang suka kepada Oma Hana. Jelas Bi Munah sudah berbicara yang tidak-tidak sama Mama. “Loly belajar merajut Ma,” jawabku lirih. “Dengan nenek-nenek aneh itu? Pantesan kamu jadi ketularan aneh!” “Mama!” “Nah, sekarang kamu sudah mulai berani membentak Mama, kan? Pokoknya kamu pulang sekolah harus tetap di rumah, titik. Mama tidak suka kamu bergaul dengan nenek-nenek yang suka berbicara dengan anjing itu!” Aku berlari ke kamar. Kuempaskan tubuhku di tempat tidur. Mama boleh melarangku tentang apa pun, tapi tak boleh melarangku untuk satu hal: pergi ke rumah Oma
Hana.
* Sore yang hangat dan setoples kastengel. Rajutan berbentuk kotak kecil telah hampir selesai. Rajutan itu untuk tempat ponselku. Aku memilih paduan benang berwarna coklat, krem dan kuning keemasan. Setelah selesai, Oma lalu menagih upahnya. Menuliskan sebuah surat untuk Seam. Aku tersipu-sipu malu, mendengar kata-kata Oma yang memuji-muji aku. Untunglah surat itu tak akan pernah dibaca oleh Seam. Toh nanti hanya berakhir di dalam sebuah kotak kayu. Namun aku agak terkejut saat mendengar perintah Oma. “Loly, kamu juga harus menulis surat untuk papamu!” “Tapi Oma...” Aku menghentikan kunyahan kastengel dalam mulutku. “Percayalah, dalam setiap kata yang tertuang di kertas, akan ada satu kelegaan yang membuat perasaanmu menjadi lebih ringan, Loly.” Suara dari gramafon tua membawa anganku kepada sosok lelaki yang kurindukan. Tidak seperti saat Oma mendiktekan kata-kata yang ingin disampaikannya untuk Seam, aku tersendat-sendat dalam memilih kata. Lima tahun aku dipisahkan dengan Papa. Jemariku kelu. Mungkin bibirkupun akan kelu saat bertemu langsung dengan Papa. Lalu di mana surat untuk Papa itu nanti akan kusimpan? Aku belum tahu pasti. Yang jelas, surat itu akan senasib dengan surat-surat Oma Hana untuk cucunya. Karena Mama tak pernah memberitahuku di mana alamat tempat Papa tinggal sekarang. Dear Papa, Lima tahun aku menyimpan wajah Papa dalam ruang ingatanku. Masihkah wajah Papa seperti dahulu? Pipi yang lebat dengan cambang, senyum miring yang tak dimiliki oleh siapapun.
Aku rindu Papa dan akan selalu merindukan Papa. Penuh rindu, Lolyta Kirana. “Sudah selesaikah Loly?” Aku mengangguk gamang. Oma pamit sebentar untuk masuk ke dalam kamarnya. Aku terkejut ketika melihat Oma membawakan beberapa buah balon. Ia menyuruhku untuk memilih warna yang kusukai. Aku memilih merah. Oma memilih balon warna biru. “Kau tiup dua buah balon itu, ya!” perintah Oma. Oma menggulung dua buah surat yang baru saja aku tulis, menjadi dua buah gulungan kecil. Saat balon yang kutiup sudah mulai membesar, Oma memintaku untuk memasukkan gulungan surat-surat itu. Aku masih melempar tatapan penuh tanya ketika Oma memintaku untuk mengikat setiap balon dengan seutas benang woll sisa aku merajut. “Loly, kamu percaya kepada angin?” tanya Oma. “Seperti halnya cermin, angin selalu mengungkapkan sebuah kejujuran, Oma.” Aku mengulang kalimat yang pernah aku baca dalam sebuah buku. “Kita akan meminta bantuannya, sekarang. Ikuti Oma!” Romario mengikuti langkah kaki kami menuju ke tanah lapang di pinggir kompleks perumahan. Aku dan Oma memegang benang pengikat balon dan mengangkat tangan kami tinggi-tinggi. Romario menyalak nyaring dan mengangkat kedua kaki depannya. Seolah ia iri karena hanya ada dua balon, dan tidak ada jatah untuknya. “Untuk kerinduanku kepada Seam dan maminya,” teriak Oma. “Untuk rasa kangenku kepada Papa,” teriakku tak kalah nyaring. Balon-balon itu melayang tinggi ke udara. Membawa segumpal rindu yang tersimpan di dalamnya. Langit seperti raksasa biru yang segera merengkuh kedua balon itu dalam keluasannya. Sejenak aku membayangkan ketika balon-balon itu meletus. Kata-kata di dalam surat itu akan berlompatan keluar dari dalam kertas. Angin pasti akan memberitahu arah yang benar tempat mereka harus menuju.
Aku pulang sambil bersenandung riang. Hey... untuk pertama kalinya aku bisa bernyanyi selepas ini. Aku merasakan kebenaran dalam ucapan Oma. Ada kelegaan yang membuat setiap inchi tubuhku bergetar bersama lagu yang kusenandungkan. My mother, my mother she hold me Did she hold me, when I was out there My father, my father, he liked me Oh he liked me, does anyone care Oma memuji-muji kemerduan suaraku. Aku semakin larut dalam nada-nada lagu yang kunyanyikan.Hingga aku tak mendengar deru mobil yang melaju kencang dari arah belakang. Yang kudengar hanyalah gonggongan Romario yang mirip sebuah lengkingan. Lalu tiba-tiba tubuhku seperti terempas, dan langit biru itu mendadak berubah menjadi gelap. * Aku seperti sudah tertidur seabad lamanya, ketika kurasakan kepalaku yang sangat berat. Samar-samar kutangkap dinding yang berwarna putih dengan tirai berwarna hijau daun. Jelas ini bukan di kamarku. Dan selang infus di tanganku, alat ECG di sampingku... “Kau haus?” tanya seseorang yang suaranya mirip Mama. Saat pandangan mataku mulai agak terang, aku baru yakin bahwa itu memang Mama. “Mama...” “Tak usah banyak bergerak dulu, Sayang. Andaikan kamu menurut nasehat Mama...” Masih panjang lagi kata-kata Mama, namun hanya kutangkap sebagian. Karena aku kembali jatuh tertidur. Dan kali ini cukup lama. Ketika aku terbangun, tiba-tiba di sampingku sudah berdiri Oma Hana. Ia menatapku dengan sedih. “Maafkan Oma ya Nak. Oma hanya ingin mengantarkan ini untukmu,” ucap Oma menyerupai bisik. Diserahkannya sebuah tas rajutan bertuliskan Lolyta. Lalu Oma Hana mengecup keningku dan berpamitan. Bibir Oma terasa sedingin es. Kuelus tas itu dengan mata berair. Tas rajut itu adalah tas yang aku impikan dan Oma Hana telah mewujudkannya. * Setelah dua minggu dirawat di rumah sakit, aku diperbolehkan untuk pulang. Betapa aku merindukan untuk belajar merajut kembali bersama Oma Hana.Seorang cowok telah
datang ke rumah bersama Romario. Dan berita yang dibawanya benar-benar mengejutkanku. “Kau pasti yang bernama Lolyta. Perkenalkan aku Seam.” “Seam? Cucu Oma Hana, ya?” kusambut uluran tangannya dengan gamang, “kenapa tiba-tiba pulang ke Indonesia?” “Seorang kerabat mengabarkan tentang kecelakaan itu. Loly, aku sudah membaca surat-surat Oma yang tersimpan dalam kotak kayu itu. Aku sangat berterima kasih dan...” “Bagaimana keadaan Oma Hana?” tanyaku tak sabar. “Kamu dan Oma masuk rumah sakit karena kecelakaan itu. Namun dua hari kemudian nyawa Oma tidak bisa diselamatkan. Oma telah pergi dalam damai.” Untuk sesaat udara seperti membeku dan kesunyian mengepungku. Setelahnya, justru kata-kata terakhir yang diucapkan Seam terus bergema memenuhi kepalaku. Oma telah pergi... Oma telah pergi... Aku mulai terisak tanpa suara. Pundakku bergetar dalam gigil ngilu. Masih terasa lembut kastengel buatan Oma di mulutku. Lalu jemari keriput Oma yang menarikan benang bersama hakpen yang dipegangnya. Dan gramafon tua yang tak pernah lelah bersenandung itu...
Apakah ia juga merasakan kehilangan seperti yang kurasakan? “Ternyata kamu merasakan kesedihan yang sama seperti yang sedang kurasakan,” ucap Seam lirih. Aku takut tak bisa menyelesaikan sebuah kalimat, sehingga aku memilih untuk diam. “Tolong beritahu aku, bagaimana cara menghibur hati lain,saat hatimu sendiri diliputi kesedihan yang sama?” Seam mendekat, lalu meraih kedua tanganku yang terkulai. Keheningan menyergap kami selama beberapa detik. Saat itu aku merasa bisa mengatasi kesedihan, bukan dari kekuatan yang kumiliki. Kami saling membagi kekuatan lewat genggaman hangat tangannya pada jemariku. Romario mendekat dan menjilati kakiku. Aku melepaskan genggaman Seam, lalu bersimpuh dan mengelus lembut tubuh Romario. Mata golden retriever tua itu membasah. Kami sama-sama menangis karena kehilangan. Aku dan Romario. ***