DAMBA Nestor Rico Tambunan
A
ku berdiri di halaman rumahku yang sempit, berpegangan pada pintu pagar sambil memandang sekeliling. Hujan baru saja berhenti. Aku selalu menyukai suasana sehabis hujan seperti ini. Segalanya tampak basah. Daun-daun pohon tampak bagai baru direndam. Bila ada sedikit angin, daundaun itu bergoyang, dan butir-butir air berjatuhan. Lembab. Sejuk. Terdengar suara vespa berhenti di mulut gang, di pinggir jalan tak seberapa besar yang membelah kampung. Aku seperti ditarik sesuatu untuk menatap ke sana. Seorang anak muda melangkah menuju tempatku berdiri. Langkahnya seperti alun gelombang yang tenang. Aku semakin seperti ditarik sesuatu untuk memperhatikannya. Tubuhnya tinggi ramping. Rambutnya setengah ikal, agak panjang, tapi tidak gondrong. Mengenakan celana jins biru, kemeja kotak-kotak biru, dan jaket berwarna coklat muda yang lengannya digulung sesiku. Aku seperti terlena menatapnya. Ia tampak ‘sangat laki’. Dan tahu-tahu saja anak muda itu sudah berdiri di depanku dan memergokiku sedang menatap padanya. Dadaku tiba-tiba seperti diresapi sebuah perasaan yang aku tidak tahu namanya. Rongga dadaku seperti dipenuhi kekaguman. Wajah itu, alisnya lebat, matanya teduh, dan hidungnya luar biasa bagus. Sangat laki. Bibirnya seperti selalu mengulum senyum. Aku seperti terlena. “Numpang tanya, yang mana ya, rumahnya Pak Dimin?” “O, itu,” aku menunjuk rumah berhalaman luas di seberang rumahku. “Terima kasih,” ia berbalik, lalu melangkah membelakangiku. Aku terpaku. Dadaku semakin seperti diresapi perasaan yang aku tidak tahu namanya. Punggung itu sungguh kekar. Rasanya seperti menatap sebuah menara yang tinggi dan megah. Tanpa terasa mataku membuntuti langkahnya melintasi halaman rumah Pak Dimin yang luas. Alis yang lebat… mata yang tegar… hidung yang luar biasa bagus… bibir yang seperti selalu mengulum senyum. Kucoba melukiskan kembali wajah itu. Rasanya aku pernah membayangkan
lukisan wajah seperti itu. Rasanya, aku seperti pernah melihat sosok yang sangat laki itu. Tapi di mana? Kapan? Aku berbalik dan bergegas masuk rumah. Kucoba mencari lukisan wajah itu dalam album foto kenangan. Satu satu wajah di sana kuteliti. Tapi aku tidak menemukan wajah itu. Baik dalam foto kenangan semasa SD, semasa SMP, maupun setelah di SMA. Lalu di mana? Aku kembali ke halaman. Seperti ada kekuatan memaksaku untuk berdiri dan bersitelekan di pintu pagar. Matahari mulai menampakkan diri kembali, tapi segalanya masih tampak basah. Masih lembab. Dan sejuk. Aku seperti menunggu sesuatu yang lama kudamba. Setengah jam kemudian, yang kutunggu muncul. la melintasi halaman rumah Pak Dimin yang luas, dengan langkahnya yang seperti alun gelombang yang tenang. Aku memperhatikan wajahnya lekat-lekat. Aku jadi yakin bahwa aku memang belum pernah melihatnya. Tapi, kenapa aku seperti pernah, entah di mana, entah kapan, melihat lukisan wajah itu? Aku seperti pernah mencarinya. Tak terasa pemuda itu melintas di depanku. “Mari….” la menolehkan wajah, sambil mengangguk kecil dan melemparkan senyum. Aku mengangguk, berusaha membalas sebisanya. Perasaanku seperti terbius. Tanpa sadar kakiku melangkah ke luar pagar, mengikuti langkahnya dengan tatapan, sampai ia menghilang, diikuti suara vespa yang membelah udara yang lembab. Kuraba dadaku pelan-pelan. Seperti ada denyut yang hilang dari sana. Kutatap kedua belah tanganku, kiri dan kanan. Ya Tuhan, aku seperti melihat kedambaan. Angan-angan dan keinginan! * Tiga minggu kemudian aku tiba-tiba menemukan lagi kedambaan yang kuanggap telah hilang itu. Aku baru pulang sekolah. Hujan baru saja berhenti. Segalanya tampak basah, tapi tidak selembab dan sesejuk saat pertama aku melihatnya. Di tanah kosong bekas kebun, di sisi kiri rumah Pak Dimin, aku melihat kesibukan. Beberapa kuli sedang menurunkan batu dan pasir dari truk. Darahku berdesir. Di pinggir gang, menghadap kesibukan itu, aku melihat punggung yang seperti menara yang tinggi dan megah itu. Dadaku tiba-tiba
kembali seperti diresapi sebuah perasaan yang aku tidak tahu namanya. Aku seperti terlena. Rasanya, seperti menatap kegagahan. “Hai,” tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan menyapa. “Hai,” aku membalas seperti tanpa sadar. “Baru pulang sekolah?” “Iya.” “Di mana?” “SMA 38. Mau dibangun, ya?” “lya. Eh, rumahmu itu kan?” “Iya.” “Tetangga dekat dong, kita nantinya.” “Oh, mau pindah ke sini? Tadinya tinggal di mana?” “Di Pasar Minggu.” “Kok, jauh amat bangun rumah ke pinggiran sini?” “Aku menyukai suasana kampung seperti ini. Di samping tenang, udaranya sejuk. Juga dekat tempat kerja.” “O. Emang kerjanya dimana?” “Di Pondok Cina situ. UI.” “Dosen?” Ia tersenyum. Senyum yang bagus dan tulus. Aku seperti menatap
keceriaan dan keramahan. Ah, tidak. Tidak hanya itu. Aku tiba-tiba seperti melihat kekaguman. Tanpa sadar aku menatap rumahku. Rumahku kecil dan sederhana, yang dibangun ketika aku masih kecil, belum sekolah, dan belum rampung hingga aku duduk di kelas dua SMA, kini. Kutatap wajah gagah di depanku dan kubayangkan ayahku. Wajah gagah ini masih muda, kukira belum tiga puluh, sementara ayahku sudah mulai tua. Anak muda ini, di usia segini, mendirikan rumah, sementara ayahku....? Leherku tiba-tiba tercekik. Rasanya seperti menelan seribu pil pahit. Terbayang istri muda ayah. Terbayang kupon-kupon undian judi gelap yang sering kudapati di kantong saat mencuci pakaiannya. Terbayang wajah adik-adikku yang seperti kurang gizi. Terbayang wajah ibuku yang lelah kalau pulang dari dagang sayur di pasar. Wajah kakak sulungku Hendra yang kini bekerja di proyek pembangunan jalan di Sulawesi, demi sekolahku dan adik kami. Tuhan, betapa bisa seorang ayah tak memberi harapan bagi anak-anaknya. Betapa…. “Maaf, boleh minta air minum? Haus sekali rasanya.” Aku tersentak bagai baru bangun dari mimpi buruk. “O, boleh, boleh. Sebentar saya ambil.” “Jangan. Aku saja yang ke sana.” Ia merendengi langkahku. Hidungku menangkap bau keringat yang khas, bau parfum yang lembut. Aku tak dapat menahan diri untuk tidak meliriknya. Kuremas kedua belah tanganku, kiri dan kanan. Aku seperti ingin bertanya, mengapa batin bisa diresapi perasaan seperti ini? Ah! Aku tiba-tiba merasakan kedambaan di sana. Kedambaan menyentuh dan memegang lengan yang kokoh yang melangkah di sisiku. Kugenggam tanganku erat-erat, berusaha meredam damba itu. Tapi damba ternyata adalah rasa yang sulit diredam. Ketika menyodorkan gelas, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan. Jemari tanganku serasa dijalari perasaan ajaib. Sesaat setelah ia mengembalikan gelas, pelan-pelan aku beringsut kembali masuk rumah. Aku masuk kamar. Di balik pintu, di depan cermin, aku berdiri termangu. Tanpa sadar tanganku terangkat, menatap bekas sentuhan tangannya di jemariku dan menyentuhkan pipi. Kubayangkan tangan itu yang menyentuh pipiku. Mataku terpejam. Napasku tertarik dalam-dalam. Seperti terbius. Ketika membuka mata, aku melihat bayangan wajahku diwarnai rona merah. Tiba-tiba rasa malu dalam batinku meronta. Rasanya aku ingin
menangis. Kutatap kedua belah tanganku. Aku ingin bertanya, mengapa batin bisa diresapi perasaan seperti ini? Sebegini dalam. Tapi aku tak menemukan jawaban. Tak. * Sebulan lebih proses pembangunan rumah Angga berlangsung. Selama itu, hampir setiap hari ia datang mengontrol. Kadang pagi, kadang siang, kadang sore. Dari hari ke hari semakin tampak wujud rumah itu. Sebuah rumah kecil yang sangat manis, dengan halaman yang lumayan luas. Mengamati proses pembangunan rumah itu, melihat Angga dalam berbagai suasana, dalam berbagai penampilan yang sangat laki, aku seperti melakukan perjalanan dengan beban yang makin la¬ma semakin berat. Kedambaan itu, semakin lama terasa begitu besar. Akhirnya rumah itu ditempati. Saat kepindahan itu, aku seperti menerima beban yang kian berat. Perabot dan barang-barang Angga tak kusangka begitu banyak dan lengkap. Ada sepuluh kardus besar buku dengan dua lemarinya. Ada tempat tidur besar, lemari pakaian besar, meja kerja, kursi tamu, meja-kursi dan lemari makan, mesin cuci, perabotan dapur, dan macam-macam. Bagus-bagus. Aku seperti menatap kehebatan. Menatap damba yang makin besar. . Hari-hari berikutnya, kulihat Angga menyapu dan mengepel sampai ke teras. Kulihat ia menjemur dan mengangkat cucian-cuciannya. Kulihat ia pulang membawa tanaman dan menanamnya sendiri di halamannya yang luas. Kulihat ia membawa pot-pot bunga dan menyusunnya sendiri di sekitar teras. Aku seperti melihat keindahan hidup. Aku mendamba ingin ikut bersamanya, melakukan semua itu. Aku kelimpungan. Kedambaan itu semakin lama makin membesar dan mengepungku. Aku seperti kehilangan kendali diri. Aku seperti dibelit kedambaan yang meresapi, kini tak cuma dada, tapi sekujur tubuhku. Dan yang namanya dibelit kedambaan adalah tidur tak nyenyak, makan tak nikmat, dan hati yang gelisah. Dan yang namanya gelisah adalah tak merasa malu untuk selalu mencuri pandang ke sana, ke rumah bercat krem lembut itu. Dari halaman rumah, dari jendela, dari gang ketika lewat, dari mana-mana, aku seperti selalu ingin menatap ke arah rumah itu. Menatap. Dan menatap. Banyak alasan yang tersedia untuk melakukan itu. Memanggil adikku laki-laki yang senang keluyuran sekitar kampung, membawa
adikku yang terkecil jalan-jalan, membeli sesuatu di warung di mulut gang, dan macam-macam. Sialnya, Angga selalu menyapaku dengan keramahannya. Dengan senyumnya yang bagus dan ramah. Suatu siang ia menemuiku sedang berjalan pulang sekolah. la menghentikan vespanya di sisiku. “Yok, bareng,” ajaknya. Aku naik ke boncengan vespanya. Di situlah aku menyadari betapa dalam, betapa jauh bayang-bayangnya me¬resapi batinku. Aku merasakan betapa damba itu telah merasuki sekujur tubuhku. Aku ingin menjulurkan lenganku memeluk pinggangnya. Aku ingin menyandarkan pipiku di punggungnya. Keinginan itu terasa begitu deras. Dan sepertinya begitu indah. Dan membuat aku ingin menangis. Tapi kedambaan ternyata bisa berakhir dengan derita. Tiba-tiba Angga pulang kampung dua minggu. Dan tahu-tahu ia kembali bersama seorang wanita berkulit putih, berwajah teduh, dan bermata sangat cantik. Amat manis. Amat serasi. Sorenya mereka berkeliling dari rumah ke rumah, memperkenalkan diri kepada tetangga-tetangga, termasuk kepada ibuku, kepadaku, sebagai penganten yang menikah seminggu yang lalu. Aku nyaris pingsan. Leherku bagai ditebas. Astaga…! Astaga…! Diam-diam aku beringsut masuk kamar. Kamarku serasa gelap. Kutatap kedua belah tanganku, kiri dan kanan. Aku melihat darah di sana. Kedambaan itu masih ada, tapi tergores, terluka. Kuraba dadaku. Segala getar seperti lenyap. Sepi. Hampa. Dan aku menangis. Lama. Lama sekali.
Keesokan paginya, ketika terbangun, kurasakan kepalaku pening. Kuraba tubuhku. Panas. Aku menyeret langkah membuka jendela. Dan aku serasa menatap panorama yang pilu. Di sana, di teras rumah mungil bercat krem lembut itu, aku melihat Angga sedang menyiram pot bu¬nga. Dari jauh pun tampak hidungnya luar biasa bagus. Di halaman samping, tak jauh dari teras itu, Indah, wanita berwajah teduh dan bermata sangat cantik itu, sedang menjemur cucian. Sesekali mereka tampak saling berbicara, saling menoleh, dan sambil saling tersenyum. Bahagia. Kupejamkan mata. Tapi aku tak lagi merasakan getaran yang hari-hari kemarin terasa begitu deras menjalari tubuhku. Aku menatap kedua telapak tanganku, kiri dan kanan. Tapi aku tak lagi menemukan kedambaan di sana. Telah pergi entah kemana. Yang ada hanya luka. Hanya kecewa. Berhari-hari, berminggu-minggu, nyaris berbulan, kecewa itu terus melekat di sekujur tubuhku. Rasanya aku ingin marah. Berkali-kali aku mencoba menatap kedua belah telapak tanganku, kiri dan kanan. Tapi yang ada tetap hanya luka. Hanya kecewa. Luka dan kecewa itu seperti mengejek dan menertawakanku. Dan aku jadi merasa malu. Aku mencoba mengingkari rasa malu itu. Apa salahnya mengharap sebuah damba? Tapi, berhari-hari, berminggu-minggu, lewat berbulan, lama-lama aku jadi tak tahan. Rasa malu itu terus mengejekku! Akhirnya aku menyerah. Oke, kamu menang. Sekarang apa maumu? Hilangkan damba itu dari hatimu! Jawab rasa maluku. Tapi aku tidak tahu caranya. Aku tak tahu harus bagaimana. Baik, akan kujelaskan. Coba kembali sejenak ke awal pertama kali kau melihatnya. Saat pertama kali dadamu diresapi perasaan yang kau tidak tahu namanya. Itu sesungguhnya sesuatu yang sangat wajar. Dia memang gagah. Dia seorang lelaki, dengan siapa semua wanita mungkin merasa mendamba, merasa terpikat saat pertama melihatnya. Kau ingat, saat itu kau merasa kau pernah melihatnya? Tak ada itu! Tak pernah. Itu sesungguhnya bayangan wajah lelaki idola dalam benakmu sendiri! Aku terpaku. Mengingat-ngingat kembali. Merenung. Oke, kuakui, itu benar. Lalu…? Kedambaan itu, bayangan lelaki idola itu semakin besar setelah kau tahu pekerjaannya, mengetahui masa depannya yang cerah, apa yang dia miliki, sikap bergaulnya, dan lainnya. Dan kau
melakukan kesalahan besar. Kesalahan besar? Ya! Kau membiarkan damba itu menguasai dirimu. Padahal ada aku, rasa malu, bagian dari dirimu juga. Kau menceburkan diri. Kau mengharap dia jadi milikmu, atau sebaliknya. Padahal dia tidak melakukan apa-apa padamu. Padahal kau belum tahu apa-apa tentang dia, termasuk bahwa dia telah bertunangan dengan gadis bermata sangat indah itu. Aku terhenyak. Rasa malu itu begitu telak menonjokku. Rasanya sakit. Tapi harus kuakui, dia benar. Oke! Kamu benar. Tapi sekarang aku ingin lepas dari rasa luka dan kecewa ini. Katakanlah, apa yang harus kulakukan. Ha-ha-ha…! Yang namanya luka, tak bisa sembuh seketika, dan pasti ada bekasnya. Tapi tak apa. Kalau kau sadar akan adanya luka itu, dan menjaganya agar jangan terjadi infeksi, nanti akan sembuh. Pasti. Kau yakin?
Ya! Juga bahwa nanti, entah di mana, entah kapan, kau akan bertemu lagi dengan kedambaan yang lain. Tidak usah takut atau menghindar. Terima saja apa adanya, tapi jangan terburu-buru seperti yang sudah terjadi. Jangan kamu biarkan damba itu menguasai hati dan tubuhmu. Maksudku, jangan terlalu cepat. Santai aja. Okey…?! Aku termangu. Lama. Lama sekali. Aneh, tubuhku tiba-tiba. terasa agak ringan. Aku melangkah ke halaman. Hujan baru saja berhenti. Daun-daun dan segalanya tampak basah. Kutengadahkan wajahku ke langit sambil menghirup nafas dalam-dalam. Di sana, di langit, samar-samar aku seperti melihat bayangan wajah yang gagah itu. Kutatap kedua belah tanganku, kiri dan kanan. Kedambaan itu memang tak ada lagi di sana. Yang ada hanya suara. Suara lirih yang mengatakan bahwa kedambaan itu telah pergi dari sana. Entah ke mana. Aku melangkah perlahan masuk rumah. Aku seperti yakin suatu saat akan menemukan kedambaan itu. Entah di mana. Entah kapan. *** *. Pernah dimuat di Majalah GADIS No. 17/14 Juli 1988