1st Spring
Hujan lagi. Padahal ini hari Minggu dan tak ada yang berharap kalau hari ini akan hujan. Memang tidak besar, tapi cukup untuk membuat seluruh pakaianku basah. Aku baru saja keluar dari supermarket saat hujan deras itu tiba-tiba turun membasahi tanah. Musim semi baru saja dimulai, tapi akhir-akhir ini hujan turun tanpa henti seperti sedang perang dengan tanah. Beruntung aku membawa payung kesayanganku. Saat aku baru saja akan membuka payungku, aku mendengar seseorang memanggil namaku dari belakang. “Hoshijima Miyuki?”
Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan. Matanya teduh namun tajam di saat yang sama. Wajahnya tampak ramah. Rambut lurusnya jatuh menutupi dahinya. Entah kenapa, tapi aku merasa pernah melihat wajah itu. “Kau... Hoshijima Miyuki kan?” tanyanya lagi, memastikan kalau dia tak salah orang. Benar juga. Aku pernah sekelas dengannya saat semester satu. “Maruyama Yuta?” tanyaku. Aku memandangnya dengan wajah datar. Sesaat setelah aku memanggil nama itu, dia tersenyum. Saat itulah aku tahu bahwa aku tak salah orang. Maruyama Yuta. Lelaki yang cukup populer di kampusku. Aku sekelas dengannya pada satu mata kuliah di semester satu. Aku tak tahu dia pintar atau tidak, tapi aku bisa bilang kalau dia memang bekerja keras. Kini semester dua sudah tiba dan karena aku berada di jurusan yang sama dengannya, aku yakin akan sering bertemu dengannya.
2
“Kau sedang apa di sini? Apa kau sendirian?” tanya Yuta padaku. “Iya, aku tadi ada sedikit urusan. Saat baru saja akan pulang, tiba-tiba saja hujan turun,” ujarku. “Kau sendiri bagaimana?” Yuta tertawa kecil seakan menertawakan dirinya sendiri. “Aku juga mau pulang, tapi aku lupa membawa payungku,” katanya. Aku tertegun. “Kalau begitu pulang saja denganku. Rumahku dekat dari sini. Setelah sampai ke rumahku, kau bisa pakai payungku sampai ke rumahmu. Kembalikan saja kapankapan,” kataku. Aku memang bukan tipe orang yang mau sok ramah atau berbasa-basi, tapi tak ada salahnya membantu orang lain. Yuta terdiam dan berpikir sejenak, sepertinya mempertimbangkan tawaranku. “Memangnya tidak apa-apa?” tanyanya, merasa tak enak. “Jangan khawatir,” ujarku. “Aku tidak akan menawarkan bantuan padamu kalau aku tidak mau membantumu.” Aku serius saat mengatakan itu. “Baiklah kalau begitu, terima kasih.”
3
Aku membuka payung putih dengan motif hati warna merah jambu milikku dan Yuta pun ikut melompat masuk ke dalamnya. Di sepanjang perjalanan pulang, suasana benar-benar sunyi. Aku tak mengucapkan sepatah katapun, dan begitu pula dengan Yuta. Yang terdengar hanyalah suara rintik hujan yang menghantam payungku. Yuta yang sepertinya sudah tak nyaman dengan suasana kaku ini kemudian memulai pembicaraan. “Kau sepertinya tak banyak bicara ya?” tanyanya. Aku menoleh sekilas pada Yuta kemudian kembali melihat ke arah jalan. “Sebenarnya aku banyak bicara. Hanya saja saat bertemu dengan orang baru, aku takut dan tak tahu mau bicara apa. Dan kalaupun berhasil bicara, pasti bicaraku melantur. Aku bahkan tak akan bisa melihat mata mereka. Aku takut mereka akan menganggapku aneh.” “Tapi bukankah kau harus menatap lawan bicara saat sedang berbicara dengan mereka?” “Aku tahu, tapi bagiku itu benar-benar sulit.” “Jadi itu kenapa wajahmu selalu terlihat ketus,” kata Yuta seolah baru saja menemukan sesuatu. 4
“Aku hanya takut. Bukannya sengaja bersikap seperti itu,” kataku. Mungkin terdengar seperti alasan klise, tapi begitulah keadaannya. “Iya, aku tahu,” kata Yuta. “Tapi sebaiknya kau mulai berubah. Cobalah berbicara dengan orang asing terlebih dahulu. Lama-lama kau akan terbiasa.” Aku bisa merasakan kalau dia tulus mengatakan itu untuk membantuku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku sama sekali tak merasa kalau dia menganggapku aneh atau semacamnya. Aku tersenyum kecil kemudian berkata, “Terima kasih atas saranmu, Maruyama-kun.” “Ah, panggil saja aku Yuta,” ujarnya santai. “Baiklah, Yuta.” Kami terus berjalan dan tak terasa, kini kami sudah sampai di depan rumahku. Saat melihat rumahku, Yuta memandangnya dengan terkagum-kagum. Harus kuakui, rumahku memang termasuk rumah yang cukup besar. “Ini rumahmu?” tanya Yuta. “Iya,” jawabku. “Lain kali, kalau kau punya waktu, mainlah ke sini,” kataku lagi. Kali ini kurasa aku hanya berbasa-basi.
5
Yuta mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Kalau begitu, payungmu kupinjam dulu, ya!” Aku mengangguk sambil balas tersenyum pada Yuta. Yuta pun kembali berjalan menerjang hujan menuju rumahnya. Diam-diam aku merasakan jantungku bergetar. Yuta sepertinya orang yang baik. Dia tak menganggapku aneh seperti orang kebanyakan. Aku sebenarnya sedikit berharap kalau aku bisa menjadi lebih dekat dengannya. Malam itu, aku sedang mengerjakan tugas di kamarku saat tiba-tiba saja ada pesan masuk ke ponselku. Saat aku melihat nama pengirimnya, aku sedikit terkejut. Pesan itu ternyata dari Yuta. Buru-buru aku membuka pesan itu untuk melihat apa isinya. “Miyuki...” begitu bunyi pesannya. Aku terdiam sejenak. Aku merasa terheranheran dengan pesan yang kuterima dari Yuta. “Apa maksudnya ini? Dia hanya memanggil namaku.” Aku pun membalas, “Ada apa, Yuta?” “Apa kau sedang sibuk?” tanya Yuta lagi dengan membalas pesannya. 6
“Sedikit. Aku sedang mempersiapkan materi untuk presentasiku besok. Materinya terlalu banyak :’( Memangnya kenapa?” Aku kembali membalas. Yuta sepertinya bukanlah orang yang langsung mengatakan keperluannya, pikirku. Dia orang yang suka menjaga tata krama dengan berbasa-basi. “Ah, biarlah kalau kau sedang sibuk. Memangnya apa materi untuk presentasimu?” “Kebudayaan. Omong-omong, kau masih belum mengatakan ada apa.” “Ah, aku hanya ingin berterima kasih atas payung yang kau pinjamkan dan menanyakan beberapa kosakata yang tak aku tahu padamu. Bisa lain waktu, tenang saja. Kalau begitu lanjutkan saja pekerjaanmu.” “Baiklah, terima kasih.” Dan Yuta pun tak membalasnya lagi. Aku sesungguhnya sedikit bingung. Kenapa dia harus bertanya dulu apa aku sibuk atau tidak? Kenapa tak langsung saja mengatakan keperluannya padaku? Bukanlah akan lebih mudah seperti itu? Kalau aku jadi dirinya, aku pasti akan melakukan hal itu. Atau mungkin memang aku yang aneh? *** 7
Hari ini benar-benar membosankan. Tak ada seorangpun yang mengajakku bicara. Yah, aku mengatakan itu bukan karena aku ingin orangorang berbicara padaku atau apa. Aku tahu mereka tak berbicara padakau karena aku yang menjaga jarak pada mereka. Agar aku tak membuat kesalahan saat berbicara dengan orang lain, aku akan memainkan ponselku, walaupun sebenarnya tak ada apa-apa di dalam sana. Saat aku sedang duduk sendirian di kursiku, tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah benda yang tampak tak asing. Tentu saja, itu payung bermotif hati milikku. Aku yang semula menunduk melihat payung itu kemudian mendongak untuk memastikan siapa orang yang memberikan payung itu. “Oh, Yuta!” seruku kaget. “Terima kasih atas payungmu,” ujar Yuta sambil tersenyum. Aku mengangguk sambil meraih payungku dari genggaman Yuta dan memasukkannya ke dalam ranselku. “Kau mengambil kelas ini juga?” tanya Yuta. “Iya,” kataku singkat. 8
“Kau benar-benar tak banyak bicara saat berada di kampus, ya?” tanya Yuta lagi. “Yah, mungkin saja. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaanku.” “Rasa takut itu tak seharusnya kau jadikan kebiasaan.” Setelah mengatakan itu, Yuta tersenyum dan berjalan pergi, mencari tempat duduk yang ada di bagian belakang kelas. Kata-kata Yuta terasa menggema di telingaku. Rasa takut itu tak seharusnya kau jadikan kebiasaan. Kata-kata itu memang benar. Aku terlalu dihantui rasa takut sehingga aku nyaman menjadi diriku yang sekarang. Sejujurnya aku ingin menghilangkan rasa takutku. Aku ingin punya teman-teman untuk berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama, namun hal itu benar-benar sulit. Malam itu aku kembali mendapat pesan dari Yuta. Lagi-lagi pesannya hanya berisi namaku. Karena bingung harus menjawab apa, Aku pun kembali menjawab dengan pesan yang sama persis seperti kemarin. “Apa kau tahu artinya difference?” tanya Yuta dalam pesan balasannya. 9
“Difference artinya perbedaan. Kau bisa mencarinya di kamus manapun,” jawabku. “Ah, benar juga. Aku lupa.” “Kau ini bagaimana, jangan sampai lupa.” “Iya, terima kasih. Omong-omong, Miyuki. Apa yang membuatmu begitu takut untuk bersikap ramah pada orang baru?” Setelah membaca pesan itu, aku terdiam sejenak. Aku sudah tahu kalau Yuta hanya bertanya soal pelajaran untuk basa-basi. Aku tak yakin bagaimana harus menjelaskannya. Semuanya begitu rumit. Aku begini tentu saja bukan tiba-tiba. Aku menjadi diriku yang sekarang karena peristiwa masa laluku. “Aku takut mengecewakan dan dikecewakan orang lain,” balasku. “Memangnya kenapa? Ceritakan saja padaku.” Aku menghela nafas sambil menatap datar ponselku. Yuta sepertinya tak akan berhenti sebelum mendapatkan jawabannya. Apa aku harus menceritakannya? Tapi aku baru mengenalnya. Apa mungkin aku berpikir terlalu jauh? Kurasa menceritakan masa laluku pada orang seperti Yuta tak akan menyakiti siapapun.
10