SATU Kalau manusia didesain untuk memiliki lebih dari dua kaki oleh sang Pencipta, ia akan sangat bersyukur saat ini. Ia adalah seorang pria; kegelapan malam menutupi wujudnya. Kegelapan itu merupakan suatu keberuntungan baginya; ia tampak tegang dan gelisah, kepalanya dipalingkan ke kanan dan kirinya, seolah berusaha memastikan tak ada siapapun disana. Kedua kakinya terasa sakit karena digunakannya lari bermeter-meter dalam hutan ini. Ia lalu bersandar di sebuah pohon terdekat. Tapi istirahat itu tak berlangsung lama, karena segera saja, ia merasakan angin dingin yang membuat bulu kuduknya kembali berdiri. Sang pria kembali berlari. Kali ini rasa sakit yang ia rasakan tidak hanya berasal dari kakinya, tapi juga lengannya yang tertusuk semak-semak berduri. Ia menerobos dengan asal daun-daun yang menghalangi jalannya, berusaha menghindari arah angin—atau mirip angin, karena ia tahu dengan jelas udara itu bukan angin. Kakinya tidak bisa diajak berkompromi lagi. Terengah, ia kembali bersandar di sebuah pohon cukup besar. Setidaknya ia tidak merasakan keberadaan pengejarnya disini, ia pasti aman...
Dan ia baru menyadari betapa salahnya dirinya. Disana, muncul dari sebelah kirinya, ia merasakan gerakan udara yang cepat. Angin yang berhembus sangat kuat dan dingin; ia tidak mampu melarikan diri. Belum sempat pria itu mengatur napas kembali, hembusan kuat itu mencengkeram lehernya. Si pria tercekik, pandangannya tertutup debu-debu beterbangan yang hampir membutakannya. “Le—lepaskan aku—aku—tidak—tahu—apaapa—kumohon...” si pria terisak. Tapi lalu si pria menyesal sudah berbicara. Ia menghamburkan napasnya sia-sia, karena udara yang menyelubunginya semakin membuatnya sulit bernapas. Bahkan lebih dari itu, ia bisa melihat di tengah penderitaannya sebuah logam yang muncul entah darimana, logam yang bercahaya—pedang. “Ti—daaaaaak!” pria itu berteriak sekuat ia bisa. Kakinya yang sakit ia paksa untuk berjalan. Tapi usahanya sama nihilnya dengan kemampuannya untuk bernapas. Hanya dua pilihan yang ia punya: mati karena ditebas pedang, atau mati karena kehabisan napas... Ia tidak ingin keduanya. Tepat saat pedang itu menuju arah dadanya, ia berhasil menjatuhkan diri. Dalam kesempatan beberapa detik itu ia terlepas dari cengkeraman 2
udara, dan kembali berlari secepat kemampuannya. Ia mengambil arah berkelokkelok; berbelok ke kanan setelah berlari lurus, lalu mengambil arah kiri dan kanan lagi. Ia tahu ia tidak bisa lepas sepenuhnya dari kejaran udara; setidaknya, ia berharap, ia bisa bertemu keluarganya terlebih dahulu. Hampir tidak mempercayai keberuntungannya, si pria menyadari ia tiba di ujung hutan, setelah lebih dari satu jam berlari. Terlihat jauh di hadapannya, lampu-lampu penerangan desa terhampar luas. Memisahkan desa dan hutan adalah sebuah lembah lebar berumput. Mengabaikan rasa lelahnya, si pria melangkah cepat menuruni lembah. Desa yang terhampar mampu menyembunyikan keberadaan si pria dari pengejarnya, mengingat desa itu memiliki bangunan rumah hampir di setiap sisi jalan. Tidak seperti rumah-rumah biasanya, rumah di desa itu berbentuk lonjong, terbaring, dengan pintu persegi panjang di bagian tengah rumah. Jendela-jendela berbentuk bulat sempurna mendampingi pintu di setiap sisi atasnya. Dilihat dari kejauhan pada siang hari, rumah-rumah itu memberi kesan seperti kapsul terbaring berwarna-warni. Jauh dari tempatnya berada adalah sebuah cerobong asap yang tinggi menjulang, seolah pemimpin dari rumah-rumah
3
kapsul kecil di sekelilingnya. Namun sebelum mencapai cerobong asap itu, si pria berhenti. Dengan peluh yang mengucur dan rasa sakit di seluruh badan, pria itu tiba di tempat tujuan, sebuah rumah berwarna coklat muda. Lampu penerangan berwarna jingga tergantung di bagian atas pintu yang diketuk si pria dengan tidak sabar. Tak berapa lama, pintu dibuka. “Ayah! Akhirnya kau pulang!” seorang wanita gemuk pendek bergaun tidur muncul dari balik pintu, menyambut si pria. Wajahnya berubah mengeras saat melihat ekspresi dan luka-luka si pria. Wanita itu bertanya, “Ayah, kenapa kau? Ada apa dengan lengan dan kakimu? Apa ada masalah? Kau pucat sekali!” “Aku dikejar-kejar oleh mereka,” jawab si pria terengah, mengabaikan uluran tangan si wanita untuk mengobati luka-lukanya. “Dikejar oleh siapa?” “Mereka. Makhluk udara itu—Navara—milik bangsawan Osric,” jawabnya lagi, kali ini dengan suara yang hampir seperti bisikan. Si wanita terbelalak ketakutan. Ia menarik masuk si pria ke dalam rumah. Pintu dikunci. “Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kau berurusan dengan mereka? Ini berita terburuk yang pernah aku dengar. Dan aku sudah sering mendengar hal-hal buruk!” wanita itu berkata cepat.
4
“Aku tahu. Tapi pelankan suaramu,” si pria mendesis, “ceritanya panjang. Satu hal yang bisa kubilang. Negeri kita sedang dalam bahaya besar. Bangsawan Osric sedang merencanakan sesuatu untuk kehancuran kaum kita—dan seluruh Terra.” lanjutnya. Si wanita memandang si pria dengan mulut terbuka untuk beberapa saat. Ketika sepertinya ia telah menemukan kembali suaranya, wanita itu berujar lirih, “Apa? Rencana apa? Dan bagaimana kau bisa tahu?” Si pria berkata tak sabar, “Ceritanya panjang. Aku tidak bisa bilang padamu sekarang. Lagipula kita kaum minor, tidak ada yang bisa kita lakukan.” “Tapi—bahaya apa?” “Sudah kubilang ceritanya panjang. Aku tidak bisa bercerita sekarang. Yang harus kita lakukan sekarang adalah secepatnya pergi dari sini. Kalaupun benar mereka kehilangan arahku, aku yakin cepat atau lambat mereka akan tahu kalau aku tinggal disini. Mereka akan melakukan halhal buruk pada keluarga kita. Kau jelas tahu seperti apa kejahatan mereka,” “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Dan lukamu? Tidakkah kau pikir--” “Tak ada waktu untuk itu!” si pria kehilangan kesabaran, “Dan lagi, kau pikir aku bisa bekerja lagi disana setelah apa yang terjadi? Lagipula aku benci pekerjaan itu. Ayo!” 5
Si wanita kembali terdiam untuk beberapa saat. Ia memandangi suaminya, lalu beralih pada sekeliling rumah, dan kembali pada suaminya. Pikirannya sedang bekerja. “Baiklah. Ayo pergi. Aku akan bersiap-siap dan membangunkan anak-anak,” ia akhirnya berkata. Si pria mengambil topi hitam yang tersemat di gantungan kayu tinggi di samping sofa mungil. Setelahnya, sehelai kain tebal yang lebar ia ambil. Kain itu menjadi tasnya; ia memasukkan banyak barang kedalamnya. Makanan-makanan ikut menjejali kain itu, entah tahan lama atau tidak, si pria tidak peduli. Terakhir, ia memasukkan koin-koin dari emas dan perak sebagai hartanya. Si wanita datang dengan pakaian bepergian lengkap. Ia muncul bersama dua orang anaknya, satu laki-laki dan satu perempuan. Kedua anak itu terlihat masih dalam baju tidur mereka. Mereka menggesek-gesekkan punggung tangan ke mata sambil menguap. “Kenapa kita harus pergi malam-malam begini, ayah? Kita akan pergi kemana?” si anak perempuan bertanya. Anak itu berambut ikal sebahu dan bermata coklat. Ia mengenakan pakaian tidur berwarna biru. Si pria tersenyum. “Kita akan pergi ke tempat jauh. Kita harus pergi malam-malam agar kita bisa sampai pagi. Ayo.” Hampir tengah malam ketika keluarga kecil itu meninggalkan rumah mereka. Setelah akan 6
ditinggalkan, rumah kecil mereka terasa beribu kali lebih hangat dan nyaman dari tempat manapun di seluruh negeri yang akan mereka tuju. Si pria memimpin di depan, diikuti kedua orang anaknya dibelakang. Sementara sang ibu menjadi penjaga di belakang. Untuk beberapa menit, mereka tidak menemukan kesulitan berarti. Jalanan desa sempit; rumah-rumah berbaring di setiap sisinya. Pepohonan berdiri masih jauh di hadapan mereka. Beruntung desa itu memiliki penerangan sehingga si pria tidak perlu meraba jalan seperti sebelumnya. Tapi penerangan itu bisa saja menjebak mereka; si pengejar akan lebih mudah melihat dengan cahaya, bukan? Saat ini, yang mereka harapkan hanyalah para pengejar itu kembali ke tempat dimana mereka berasal, atau belum mencapai desa. Mungkin banyaknya rumah-rumah juga bisa membantu. Si pria memperkirakan satu jam telah berlalu semenjak mereka meninggalkan rumah. Kakinya terasa kebas. Namun ia masih bersikeras untuk berjalan sampai setidaknya keluar dari gerbang desa, dimana ia bisa menyewa kuda-kuda untuk transportasi—atau, kalau beruntung, ovuneel bekas yang masih berfungsi. Dari sana, ia berencana untuk pergi ke kota kecil Barfa. “Ayah,” ia mendengar istrinya memanggil pelan. “Ya?” 7
“Kenapa kita tidak meminta bantuan saja pada warga disini? Keluarga Halta, misalnya? Atau kita bisa meminjam ovuneel pada salah satu kaum mayor yang kita kenal.” bisik si wanita. “Tidak, tidak. Aku tidak ingin melibatkan orang lain. Aku tahu apa yang aku lakukan. Ayo!” “Tapi aku sudah capek sekali, ayah,” si anak laki-laki bersuara, diiyakan si anak perempuan. Pria itu terdiam. Kedua anaknya masih berusia sembilan dan delapan tahun, jelas mereka tidak akan kuat untuk bepergian sejauh itu. Apakah ia terlalu takut sehingga tidak ingin melibatkan orang lain untuk membantunya? Kalau ia mengatakan sesuatu tentang pelariannya, segalanya akan berakibat lebih buruk. Tidak hanya untuknya, tapi juga untuk keluarganya. “Baiklah,” ia akhirnya berkata, “rumah keluarga Halta tidak terlalu jauh dari sini, kan? Kita coba bermalam disana.” Maka keluarga kecil itu berbelok. Gerbang desa akan dicapai jika mereka berjalan lurus, sedangkan keluarga Halta, rekan mereka, berada di alur jalan sebelah kanan. Meskipun malam telah sangat larut, desa itu tetap bercahaya karena hampir setiap rumah disana memiliki lampu penerangan yang digantung di pintu. Mereka sudah setengah jalan ketika sesuatu yang mereka takutkan terjadi. Hembusan angin dingin tak wajar terasa dari belakang punggung mereka. Hanya dalam selang 8
waktu beberapa detik setelah mereka merasakan hembusan itu, kerikil-kerikil di jalanan melayang, perlahan membentuk kaki manusia. Semakin melayang ke atas, kerikil-kerikil itu berkumpul dengan semakin menyerupai bentuk tubuh manusia. Si pria bergegas mundur dan lari, meminta agar kedua anak dan istrinya mengambil jalan menuju gerbang desa. Kedua anaknya menangis. Istrinya terisak memohon agar mereka semua, tanpa terkecuali, melarikan diri bersama. Warga-warga desa bergegas keluar dari rumah mereka, didorong rasa penasaran. Navara itu sudah dekat. Kali ini tak hanya kerikil-kerikil yang bergabung dengannya, tapi juga debu. Beberapa warga desa yang sudah melihat kehadiran makhluk itu terlihat menyesal dengan keputusan mereka untuk keluar rumah. Sudah merupakan rahasia umum bahwa siapapun yang terkena cengkeraman (itu istilah yang digunakan penduduk) Navara, tidak akan berakhir selamat. Satu-satunya makhluk paling ditakuti dan paling misterius di negeri ini, dianggap sebagai penemuan terhebat bangsawan Osric; kalau saja makhluk itu tidak digunakan untuk membunuh siapapun yang dianggap pantas mati oleh penemunya. Kekacauan terjadi. Si wanita dan kedua anaknya berlari menuju arah gerbang desa, sementara si pria, setelah meyakinkan bahwa ia akan ikut lari bersama mereka, berbalik arah 9
menuju Navara. Warga-warga yang terlambat menyadari keberadaan makhluk itu menjerit; beberapa orang telah tergeletak mati oleh pedang panjang yang ikut melayang bersama kerikil dan debu. Mereka yang berusaha menyelamatkan diri ada yang berlari kembali ke dalam rumah, dan sisanya kabur. “Aduh! AYAH! AYAH DIMANA? AYAH KEMBALI!” si anak laki-laki menjerit terisak begitu ia berpaling dan mendapati ayahnya berbalik arah mendekati Navara-navara. Anak itu berlari menyusul ayahnya, diikuti si anak perempuan dan ibunya. Mereka terlambat. Bayangan terakhir yang mereka lihat adalah, si pria berusaha melawan Navara dengan tangan kosongnya, sebelum satu tebasan pedang mengenai perutnya. Sekarang pria itu tergeletak tak bergerak di tanah.
10